PERENCANAAN PARIWISATA ALAM BERBASIS DATA SPASIAL DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
PURWOKO AGUNG NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Pariwisata Alam Berbasis Data Spasial di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2010
Purwoko Agung Nugroho NRP:E352080101/MEJ
ABSTRACT PURWOKO AGUNG NUGROHO. Nature Tourism Planning Based on Spatial Data at The National park of Bukit Barisan Selatan. Under direction of E.K.S. HARINI MUNTASIB and LILIK BUDI PRASETYO. The National Park of Bukit Barisan Selatan (TNBBS) was declared as “Cluster Natural World Heritage Site” at 2004. The declaration will support a sustainable nature-tourism utilization. Development of nature tourism at TNBBS is concentrated in Kubu Perahu and Sukaraja Atas area. Objective of the research is to develop a plan of nature tourism based on spatial data. The research proposed application of planning model, proposed by Gunn (1994) which is combined with ADO-ODTWA (Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Pariwisata Alam) promoted by PHKA (2003b). Spatial analysis was done with Arcview 3.3. The overlay spatial analysis proposed a prime and support criterias. Prime criteria consist of habitat fragility, soil, rainfall and slope sensitivity, the attraction of nature phenomena and wildlife. Support criteria is the potential accessibility. The result of the spatial analysis showed that Sukaraja Atas and Kubu Perahu have two categories of nature tourism area that is medium intensity tourism area and low intensity tourism area. Sukaraja Atas area have 483.8 hectare (71.2%) of medium intensity tourism area and 195.4 hectare (28.2%) of low intensity tourism area. Kubu Perahu area have 374.9 hectare (32.7%) of medium intensity tourism area and 771.0 hectare (67.3%) of low intensity tourism area.The result of the reoverlay between the classification map and the maps of each criterias showed that the spatial analysis which were used in this research had capability to bounding the tourism development based on resources sensitivity (showed the importance of conservation) and supported the resources potencies to gave the recreational value. Spatial system at Sukaraja Atas and Kubu Perahu had 2 (two) areas, (1) Low intensity tourism area and (2) Medium intensity tourism area. The wide of each areas be the same with the wide of the classification result. The main facility is an interpretation trail that have fungtion as a connector the visitor to the attraction site and inter-site of attraction. The setting of the interpretation trails more priored in the medium intensity tourism area. Development of nature tourism in the areas for low intensity tourism have purpose as a connection interarea for medium intensity tourism and give an attraction opportunity which have special quality for challenge variance. Facility development in the areas for low intensity tourism were finited for an interpretation trail and nature shelter. Trail development in steep areas must pay attention with visitor’s safety with stepsmaking, however the steps must built from nature material and specific wide to minimization soil-clearing and a distrubance to animal movement. The conclution of this researh, first, spatial analysis which were used in this research had capability aimed at the importance of conservation and gave the recreational value. Second, spatial system at Sukaraja Atas and Kubu Perahu consist of the low intensity tourism area and medium intensity tourism area. Third, management variation of nature tourism with spatial system and a plan of facility can make variation of nature-tourism opportunity especially variation of interest, variation of visitors, variation of spend time and variation of interpretation. Keywords : Nature tourism, spatial-based planning, spatial system
RINGKASAN PURWOKO AGUNG NUGROHO. Perencanaan Pariwisata Alam Berbasis Data Spasial di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan LILIK BUDI PRASETYO. Penetapan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai “Cluster Natural World Heritage Site” pada tahun 2004 dan dukungan berbagai kebijakan peraturan perundangan mendorong TNBBS untuk mengembangkan pariwisata alam. Kebijakan pengembangan wisata alam di TNBBS saat ini difokuskan pada pada 2 (dua) lokasi yaitu Kubu Perahu dan Sukaraja Atas dengan luas masingmasing 1.145,9 hektar dan 679,2 hektar. Kegiatan pariwisata alam di Taman Nasional mempunyai misi diantaranya sebagai wahana pelestarian sumberdaya alam hayati Taman Nasional. Untuk mengarah pada upaya-upaya tersebut penting dilakukan manajemen pengelolaan sumberdaya ekologis kawasan. Manajemen pengelolaan tersebut yaitu penataan ekologis (ecological setting) (Muntasib 2004). Kondisi ekologis kawasan penting dipelajari dan dievaluasi karena masingmasing sumberdaya mempunyai tingkat kemampuan yang tidak seragam. Kedua lokasi tersebut belum dilakukan analisis spasial kesesuaian semberdaya yang mengacu pada kepentingan konservasi dan tetap memberikan nilai rekreasi. Guna melakukan analisis spasial tentu sangat memerlukan kriteria-kriteria syarat pengembangan pariwisata alam. Saat ini belum ada ketentuan khusus untuk analisis spasial kesesuaian sumberdaya untuk pengembangan pariwisata alam, sedangkan yang ada adalah kriteria analisis daerah wisata yang telah beroperasi yaitu Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADOODTWA) PHKA (2003).Penelitian ini membangun kriteria untuk analisis spasial dengan modifikasi metode perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994) dan ADO-ODTWA PHKA (2003). Penelitian bertujuan untuk menyusun perencanaan pariwisata alam berbasis data spasial pada lokasi wisata alam Sukaraja Atas dan Kubu Perahu di TNBBS dengan menggunakan model perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994) yang dimodifikasi dengan ADO-ODTWA (PHKA 2003b). Metode perencanaan wisata alam pada kedua lokasi tersebut dengan menggunakan sistem basis data digital dengan software ArcView 3.3. Kirteria analisis spasial mengacu pada metode perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994) dan ADO-ODTWA PHKA (2003) yaitu dengan kirteria sumberdaya utama biofisik dan kriteria penunjang. Kriteria utama tersebut adalah (1) unsur kepekaan habitat, (2) kepekaan kemiringan lereng, (3) kepekaan jenis tanah dan (4) kepekaan terhadap curah hujan yang mengacu pada konservasi; (5) potensi daya tarik fenomena alam, (6) daya tarik flora dan fauna yang mengacu pada nilai rekreasi. Unsur kriteria penunjang yaitu (7) unsur potensi aksesibilitas yang mengambarkan tingkat potensi kemudahan akses suatu lokasi. Perencanaan dilakukan dengan pemetaan potensi daya tarik wisata, pengolahan peta-peta tematik seluruh unsur kriteria, dan overlay peta-peta tematik seluruh unsur kriteria untuk menghasilkan peta komposit kesesuaian pengembangan wisata alam.
Perencanaan wisata alam meliputi tiga aspek yaitu rencana tata ruang wisata alam, rencana atraksi wisata alam dan rencana fasilitas wisata alam. Hasil analisis spasial bahwa Sukaraja Atas dan Kubu Perahu memiliki 2 (dua) kategori yaitu kesesuaian pengembangan wisata intensitas rendah dan wisata intensitas sedang. Sukaraja Atas didominansi oleh daerah dengan kesesuaian pengembangan wisata alam intensitas sedang seluas 483,8 ha (71,2%) dan 195,4 ha (28,9%) daerah dengan kesesuaian pengembangan wisata intensitas rendah. Kubu Perahu terdapat 374,9 ha (32,7%) daerah dengan kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang dan 771,0 ha (67,3%) daerah dengan kesesuaian pengembangan wisata intensitas rendah. Keseluruhan daerah habitat tidak peka (lahan terbuka) dan habitat agak peka (hutan sekunder) di Sukaraja Atas berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang. Keseluruhan daerah datar - landai dan agak curam berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang. Seluruh daerah berkemiringan lereng sangat curam dan 92,5% dari daerah curam berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas rendah. Seluruh daerah dengan potensi daya tarik fenomena alam tinggi dan cukup berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang. Daerah dengan daya tarik fenomena alam sangat rendah berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang, karena lokasi tersebut merupakan lahan terbuka, daerah landai, tidak sebagai habitat satwa dan berada pada sisi jalan. Ruang wisata intensitas rendah memiliki daya tarik fenomena alam yang rendah. Seluruh daerah dengan potensi daya tarik flora dan fauna peringkat cukup dan rendah berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang, hal ini karena pengaruh unsur kriteria yang lain dimana kedua daerah ini merupakan hutan sekunder dan lahan terbuka memiliki topografi datar, landai dan sedikit agak curam serta didukung potensi aksesibilitas. Keseluruhan daerah dengan potensi aksesibilitas tinggi berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang. Berdasarkan kepekaan habitat, 84,4% dari daerah habitat tidak peka di Kubu Perahu berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Daerah seluas 98% dari luas daerah berkemiringan lereng datar dan landai berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Sedangkan 98,7% dari luas daerah berkemiringan lereng curam berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas rendah. Berdasarkan unsur kriteria daya tarik wisata alam, 81,9% dari luas daerah dengan daya tarik fenomena alam yang tinggi berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Sedangkan 71,6% dari luas daerah dengan daya tarik wisata flora dan fauna berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas rendah, hal ini karena pengaruh unsur kriteria yang lain yang memberikan batasan pemanfaatan potensi wisata alam untuk kepentingan kelestarian sumberdaya. Seluruh daerah dengan potensi aksesibilitas tinggi berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Daerah dengan potensi aksesibiltas rendah (152,3 ha) berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Hasil overlay ulang antara peta klasifikasi kesesuaian sumberdaya dengan peta masing-masing unsur kriteria menunjukkan bahwa analisis spasial dengan kriteria yang digunakan dalam perencanaan pariwisata alam di Sukaraja Atas dan Kubu Perahu mampu memberikan batasan pengembangan wisata alam
berdasarkan kerentanan sumberdaya untuk kepentingan konservasi dan tetap mendorong potensi daya tarik wisata alam untuk memberikan nilai rekreasi. Tata ruang kedua lokasi memiliki 2 (dua) kategori yaitu ruang wisata intensitas rendah dan ruang wisata intensitas sedang. Ruang wisata intensitas sedang dan rendah diarahkan pada wisata yang memiliki tujuan khusus pengetahuan, pendidikan, variasi keunikan yang tetap mengutamakan kealamiahan obyek daya tarik. Fasilitas utama yaitu jalur interpretasi berfungsi untuk menghubungan pengunjung pada lokasi atraksi dan menghubungkan dengan lokasi atraksi wisata alam yang lain. Penempatan jalur interpretasi lebih diutamakan pada ruang wisata intensitas sedang. Pengembangan wisata alam di ruang wisata intensitas rendah sebagai penghubung antar ruang wisata intensitas sedang dan memberikan rencana atraksi wisata alam dengan keunggulan variasi tantangan. Pengembangan fasilitas pada ruang wisata intensitas rendah terbatas pada pembuatan jalur interpretasi, dan shelter bila perlu. Pembangunan jalur interpretasi pada lokasi yang terjal penting memperhatikan keselamatan pengunjung dengan pembangunan jalur membentuk tangga, namun tetap dengan bahan alami dan lebar tertentu untuk meminimalkan pembukaan tanah dan meminimalkan gangguan terhadap pergerakan satwa. Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pertama, analisis spasial yang digunakan dalam perencanaan pariwisata alam di TNBBS yaitu modifikasi metode perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994) dan metode penilaian ADO-ODTWA PHKA (2003) mampu memberikan batasan pengembangan wisata alam berdasarkan kerentanan sumberdaya untuk kepentingan konservasi dan tetap mendorong potensi daya tarik wisata alam untuk memberikan nilai rekreasi pariwisata alam. Kedua, kedua lokasi memiliki ruang wisata intensitas sedang dan rendah yang diarahkan pada wisata yang memiliki tujuan khusus yang tetap mengutamakan kealamiahan obyek daya tarik. Pengembangan wisata alam di ruang wisata intensitas rendah sebagai penghubung antar ruang wisata intensitas sedang dan memberikan rencana atraksi wisata alam dengan keunggulan variasi tantangan. Ketiga, variasi pengelolaan wisata alam dengan rencana tata ruang dan fasilitas menciptakan peluang rencana wisata alam yang bervariasi dari aspek waktu kunjungan, variasi target pengunjung, variasi daya tarik wisata dan variasi interpretasi wisata alam. Kata kunci : Pariwisata alam, perencanaan berbasis spasial, tata ruang
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERENCANAAN PARIWISATA ALAM BERBASIS DATA SPASIAL DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
PURWOKO AGUNG NUGROHO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc
Judul Tesis
: PERENCANAAN PARIWISATA ALAM BERBASIS DATA SPASIAL DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
Nama Mahasiswa
: PURWOKO AGUNG NUGROHO
Nomor Pokok
: E352080101
Program
: Magister Sains
Mayor
: Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Mayor Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 28 Juni 2010
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala Maha-Nya sehingga penulisan tesis yang berjudul “Perencanaan Pariwisata Alam Berbasis Data Spasial di Taman Nasional Bukit barisan Selatan” dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di bawah bimbingan Komisi Pembimbing, Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS selaku Ketua Komisi dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku Anggota Komisi. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS selaku Ketua Komisi dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku Anggota Komisi, atas segala dukungan, nasihat, bimbingan, arahan dan bantuan yang tak ternilai; Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc selaku dosen penguji atas segala dukungan yang tak ternilai. Ucapan terimakasih juga kepada Kepala Pusdik Kehutanan dan staf; Kepala Balai dan seluruh struktural dan staf Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan; Bapak Nandi K. atas segala saran, dukungan dan bantuan; Gingin; Masyarakat Pekon Sukaraja dan Pekon Sedayu di sekitar ODTWA Sukaraja Atas; Masyarakat Desa Kubu Perahu; Pengelola Pacsasarjana khususnya lingkup KSDH yaitu mbak Irma dan Mas Sofwan; Wildlife Conservation Society di Kotaagung; Yayasan Badak Indonesia/RPU di Kotaagung; Mbak Tri, mas Opik, mas Dodi; V.Diah Qurani, Rudi Aryanto, Endang Karlina, Ianah, Karsudi, Ritabulan, Popy Oktadiani. Bogor,
Juli 2010
Purwoko Agung Nugroho
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gunungkidul pada tanggal 03 September 1976 dari bapak Rustamto dan ibu Rukminiyatsih. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri I Wonosari. Pendidikan sarjana ditempuh pada jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, fakultas Kehutanan UGM, lulus pada tahun 2000. Pekerjaan penulis diawali sebagai staf pemasaran di perusahaan ekspor furnitur di Yogyakarta dari sejak lulus sarjana sampai akhir tahun 2001. Pada tahun 2001 – 2003, penulis bekerja di perusahaan farmasi sebagai medical representative. Penulis bekerja di Balai Diklat Kehutanan Pekanbaru sejak tahun 2004. Pada tahun 2008 mendapat kesempatan tugas belajar di Pogram Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Program Pascasarjana IPB, dengan pembiayaan dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia melalui Pusat Diklat Kehutanan.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xvii I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 3 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 3 1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian................................................................. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 7 2.1 Pariwisata Alam di Taman Nasional......................................................... 7 2.2 Perencanaan Pariwisata Alam dan Kriteria Penilaian Sumberdaya .......... 9 2.3 Sistem Informasi Geografi ...................................................................... 14 III. METODE PENELITIAN ................................................................................... 19 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 19 3.2 Bahan dan Alat ........................................................................................ 20 3.3 Batasan dan Asumsi ................................................................................ 20 3.4 Metode Perencanaan ............................................................................... 21 3.4.1 Data.................................................................................................23 3.4.2 Analisis ...........................................................................................29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 33 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian ........................................................ 33 4.1.1 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .........................................33 4.1.2 Sukaraja Atas dan Kubu Perahu ....................................................43 4.2 Tahapan Perencanaan.............................................................................. 53 4.2.1 Sukaraja Atas ..................................................................................53 4.2.1.1 Pemeringkatan dan Pembobotan Unsur Kriteria........................53 4.2.1.2 Analisis Spasial Kesesuaian Pengembangan Wisata Alam .......77 4.2.1.3 Formulasi Konsep Rencana Wisata Alam .................................81 4.2.1.4 Perencanaan Wisata Alam .........................................................82 4.2.2 Kubu Perahu ...................................................................................92 4.2.2.1 Pemeringkatan dan Pembobotan Unsur Kriteria........................92 4.2.2.2 Analisis Spasial Kesesuaian Pengembangan Wisata Alam .....111 4.2.2.3 Formulasi Konsep Rencana Wisata Alam ...............................115 4.2.2.4 Perencanaan Wisata Alam .......................................................120 V. KESIMPULAN ................................................................................................... 125 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 125 5.2 Saran ..................................................................................................... 126 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 127 Lampiran...................................................................................................................... 131
xiv
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24 Tabel 25 Tabel 26 Tabel 27 Tabel 28
Halaman Pembobotan faktor perencanaan wisata berdasar Gunn (1994) ......... 11 Bentuk data hasil pengumpulan .......................................................... 23 Kelas kemiringan lereng ..................................................................... 26 Kelas jenis tanah ................................................................................. 26 Kelas curah hujan................................................................................ 27 Asumsi spasial untuk peta SIG kriteria sumberdaya biofisik ............. 28 Asumsi spasial untuk peta SIG kriteria sumberdaya penunjang ........ 29 Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam............................ 30 Aksesibilitas di kawasan TNBBS ....................................................... 35 Jalan tembus di kawasan TNBBS ....................................................... 35 Jenis tanah dan penyebarannya di kawasan TNBBS .......................... 36 Tipe-tipe ekosistem di kawasan TNBBS ............................................ 39 Pemeringkatan kepekaan habitat di Sukaraja Atas ............................. 54 Pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng di Sukaraja Atas ........... 56 Pemeringkatan kepekaan terhadap curah hujan di Sukaraja Atas ...... 62 Pemeringkatan potensi daya tarik fenomena alam di Sukaraja Atas .................................................................................................... 64 Pemeringkatan unsur kriteria flora dan fauna di Sukaraja Atas ......... 74 Pemeringkatan potensi aksesibilitas di Sukaraja Atas ........................ 75 Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam di Sukaraja Atas .................................................................................................... 77 Hasil overlay unsur kriteria sumberdaya dan hasil klasifikasi spasial ................................................................................................. 79 Pemeringkatan unsur kriteria kepekaan habitat di Kubu Perahu ........ 92 Pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng di Kubu Perahu ............ 94 Pemeringkatan kepekaan terhadap curah hujan di Kubu Perahu ........ 97 Pemeringkatan potensi daya tarik fenomena alam di Kubu Perahu ............................................................................................... 103 Pemeringkatan potensi daya tarik flora dan fauna di Kubu Perahu ............................................................................................... 107 Pemeringkatan unsur potensi aksesibilitas di Kubu Perahu ............. 111 Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata di Kubu Perahu ........ 111 Hasil overlay unsur kriteria sumberdaya dan hasil klasifikasi spasial ............................................................................................... 113
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19 Gambar 20 Gambar 21 Gambar 22 Gambar 23 Gambar 24 Gambar 25 Gambar 26 Gambar 27 Gambar 28
Halaman Kerangka pemikiran penelitian.........................................................5 Model perencanaan wisata taman nasional berdasar Gunn (1994) .............................................................................................12 Peta lokasi Kubu Perahu dan Sukaraja Atas di TNBBS.................19 Bagan alir perencanaan wisata alam berbasis data spasial .............22 Alur proses analisis spasial.............................................................31 Peta Situasi TNBBS .......................................................................34 Peta ordo tanah di TNBBS wilayah Lampung ...............................37 Peta desa sekitar kawasan Sukaraja Atas .......................................44 Peta jalan dan fasilitas penunjang wisata alam di Sukaraja Atas .................................................................................................46 Peta desa sekitar kawasan Kubu Perahu .........................................49 Peta jalan dan fasilitas penunjang wisata di kawasan Kubu Perahu .............................................................................................51 Peta pemeringkatan kepekaan habitat di Sukaraja Atas .................55 Kondisi kemiringan lereng di sekitar air terjun ..............................56 Peta pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng di Sukaraja Atas .................................................................................................57 Peta kontur wilayah Sukaraja Atas dan sekitar ..............................58 Peta kontur curah hujan Taman nasional Bukit Barisan Selatan ...........................................................................................60 Peta pemeringkatan kepekaan terhadap curah hujan Sukaraja Atas .................................................................................................61 Fenomena alam sungai di Sukaraja Atas ........................................63 Peta fenomena alam sebagai daya tarik wisata di Sukaraja Atas .................................................................................................64 Peta pemeringkatan fenomena alam sebagai daya tarik wisata di Sukaraja Atas ..............................................................................65 Rafllesia arnoldii ............................................................................71 Amorphophallus deculsivae............................................................72 Peta perjumpaan flora langka dan jejak satwa di kawasan Sukaraja Atas ..................................................................................73 Peta pemeringkatan flora dan fauna sebagai daya tarik wisata di Sukaraja Atas ..............................................................................74 Peta pemeringkatan potensi aksesibilitas di Sukaraja Atas ............76 Peta klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam di Sukaraja Atas ..................................................................................78 Peta potensi wisata alam wilayah Sukaraja Atas ............................83 Peta alternatif atraksi wisata alam di Sukaraja Atas .......................85
xvi
Gambar 29 Gambar 30 Gambar 31 Gambar 32 Gambar 33 Gambar 34 Gambar 35 Gambar 36 Gambar 37 Gambar 38 Gambar 39 Gambar 40 Gambar 41 Gambar 42 Gambar 43 Gambar 44 Gambar 45 Gambar 46
Peta rencana wisata alam Sukaraja Atas ........................................87 Peta pemeringkatan kepekaan habitat di Kubu Perahu ..................93 Peta pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng di Kubu Perahu .............................................................................................95 Peta kontur wilayah Kubu Perahu dan sekitarnya ..........................96 Peta fenomena alam sebagai daya tarik wisata di Kubu Perahu .............................................................................................99 Fenomena alam sungai di Kubu Perahu .......................................100 Fenomena alam air terjun dan sekitarnya di Kubu Perahu ...........101 Peta pemeringkatan fenomena alam sebagai daya tarik wisata di Kubu Perahu .............................................................................102 Beberapa jenis flora di Kubu Perahu ............................................105 Jejak muncak (Muntiacus muntjak) dan lokasi perjumpaan jejak gajah (Elephas maximus sumatranus) di Kubu Perahu .......106 Ground cuckoo sumatera (Carpococcyx viridis) dan lokasi penyebarannya ..............................................................................107 Peta perjumpaan flora langka dan jejak satwa di Kubu Perahu ...108 Peta pemeringkatan flora dan fauna sebagai daya tarik wisata di Kubu Perahu .............................................................................109 Peta pemeringkatan potensi aksesibilitas di Kubu Perahu ...........110 Peta klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam di Kubu Perahu .................................................................................112 Peta potensi wisata alam wilayah Kubu Perahu ...........................117 Peta alternatif atraksi wisata alam di Kubu Perahu ......................119 Peta rencana wisata alam Kubu Perahu ........................................121
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Paduan wawancara kepada petugas tentang flora dan fauna ..........131 Lampiran 2 Data primer koordinat titik hasil survai verifikasi flora, fauna, fenomena alam, fasilitas di Sukaraja Atas ......................................132 Lampiran 3 Data primer koordinat titik hasil survai verifikasi flora, fauna, fenomena alam, fasilitas di Kubu Perahu .......................................133
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu kawasan konservasi di Indonesia yang terletak di Provinsi Lampung dan Provinsi Bengkulu. TNBBS pada bulan Juli 2004 ditetapkan menjadi Tapak Warisan Dunia (Cluster Natural World Heritage Site) oleh UNESCO. TNBBS menjadi bagian Tropical Rainforest of Heritage Sumatera bersama dengan Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNBBS 2005a). Penetapan Tapak Warisan Dunia menjadi salah satu modal promosi dan mendorong pemanfaatan wisata alam secara lestari. Berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, bahwa kepariwisataan harus berasas pada kelestarian dan keberlanjutan serta bertujuan untuk melestarikan alam, lingkungan dan sumberdaya. Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam, bahwa pariwisata alam di kawasan konservasi diharapkan meningkatkan pemanfaatan keunikan, kekhasan, keindahan alam dan/atau keindahan jenis atau keanekaragaman jenis satwa liar dan/atau jenis tumbuhan dengan asas konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kegiatan pariwisata alam di Taman Nasional mempunyai misi diantaranya sebagai wahana pelestarian sumberdaya alam hayati Taman Nasional. Untuk mengarah pada upaya-upaya tersebut penting dilakukan manajemen pengelolaan sumberdaya ekologis kawasan. Manajemen pengelolaan tersebut yaitu penataan ekologis (ecological setting) (Muntasib 2004). Penataan ekologis kawasan harus memperhatikan seluruh aspek kondisi ekologis kawasan antara lain topografi dan bentuk lahan, materi permukaan, air, vegetasi dan fauna. Kondisi ekologis kawasan tersebut penting dipelajari dan dianalisis masing-masing sumberdaya karena masing-masing mempunyai tingkat kemampuan yang tidak seragam. Analisis
menghasilkan
klasifikasi
daerah
kesesuaian
ekologis
untuk
pengembangan wisata alam. Hasil klasifikasi menjadi dasar perencanaan wisata alam dalam rencana tata ruang pengunaan wisata alam, rencana atraksi dan rencana fasilitas pengembangan wisata alam.
2
Salah satu cara untuk analisis sumberdaya ekologis dan perencanaan pariwisata alam tersebut adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG merupakan sistem komputer berbasis data spasial yang mempunyai kekuatan dan kecepatan untuk mengidentifikasi daerah pengembangan dengan kriteria-kriteria untuk mengeliminasi daerah-daerah yang tidak memenuhi syarat pengembangan (Prahasta 2005). Kemampuan eliminasi ini dapat digunakan dalam berbagai kriteria sumberdaya, sehingga menghasilkan beberapa peta daerahdaerah yang memenuhi syarat pengembangan berdasarkan beberapa kriteria yang telah dibangun. Namun pengelola belum memiliki ketentuan kriteria untuk analisis spasial kesesuaian ekologis pengembangan pariwisata alam sebagai dasar dalam perencanaan pariwisata alam. Pembangunan kriteria penilaian karakteristik sumberdaya penting memasukan kepentingan konservasi sumberdaya alam, dimana kriteria penilaian bertujuan mengeliminasi daerah yang rentan untuk kegiatan wisata dan memberikan batasan intensitas kegiatan wisata. Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan PHKA mengembangkan instrumen kriteria Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-OWTWA) yang mengakomodasi kepentingan konservasi namun ADOODTWA tersebut sulit untuk diterapkan dalam analisis spasial. Sedangkan dalam lingkup internasional telah berkembang metode perencanaan pariwisata alam berbasis data spasial diantaranya metode perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994). Sehingga pembangunan kriteria perencanaan berbasis data spasial dalam penelitian ini menggunakan modifikasi metode perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994) dan ADO-ODTWA (PHKA 2003b) disesuaikan dengan kebutuhan perencanaan. Aplikasi SIG mampu melakukan analisis spasial model overlay (tumpang tindih) beberapa peta menjadi peta komposit baru berdasarkan keseluruhan kriteria yang ditumpangtindihkan. Kemampuan analisis spasial model overlay dalam proses perencanaan pariwisata alam diharapkan membantu menghasilkan tata ruang lokasi pariwisata alam berdaya tarik tinggi dengan tetap memperhatikan pelestarian sumberdaya.
3
Kebijakan pengembangan wisata alam di TNBBS saat ini difokuskan pada pada 2 (dua) lokasi yaitu Kubu Perahu dan Sukaraja Atas. Kedua lokasi tersebut memiliki akses jalan dan jalur komunikasi yang lebih mudah dibanding dengan lokasi lainnya (BTNBBS 2005b; BBTNBBS 2009b). 1.2 Rumusan Masalah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan memiliki nilai konservasi tinggi dengan sumberdaya alam yang khas dan beranekaragam, baik flora, fauna, bentang lansekap maupun kehidupan masyarakat sekitarnya. Sehingga ditetapkan menjadi bagian dari Tapak Warisan Dunia yang mewakili sumberdaya alam Pulau Sumatera. Potensi TNBBS tersebut memberikan peluang daya tarik wisata alam, sebagai salah satu upaya pemanfaatan jasa lingkungan kawasan dengan tanpa menimbulkan efek destruktif hutan. Berdasarkan Masterplan Pengembangan Obyek Wisata Alam, TNBBS telah menetapkan sasaran lokasi pengembangan wisata alam tahap awal adalah lokasi Kubu Perahu dan Sukaraja Atas (BBTNBBS 2009b). Sumberdaya atraksi wisata alam kedua lokasi tersebut sebagian telah terindentifikasi namun belum terpetakan yang menggambarkan letak geografis masing-masing sumberdaya atraksi. Pengembangan potensi wisata tersebut tentu harus tetap memperhatikan kepentingan konservasi sumberdaya alam, sehingga penting dilakukan analisis ekologis sumberdaya alam, diantaranya dengan analisis spasial sumberdaya ekologis. Namun analisis spasial kesesuaian sumberdaya untuk pengembangan pariwisata alam di kedua lokasi belum dilakukan dengan memasukkan unsur kriteria yang mengacu pada konservasi dan mengacu pada nilai rekreasi. Hal tersebut juga disebabkan karena pengelola belum memiliki ketentuan kriteria penilaian untuk analisis spasial kesesuaian sumberdaya alam untuk perencanaan pariwisata alam. Sehingga penting adanya pembangunan kriteria analisis dan perencanaan pengembangan pariwisata alam berbasis data spasial pada kedua lokasi tersebut. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun perencanaan pariwisata alam berbasis data spasial pada lokasi wisata alam Sukaraja Atas dan Kubu
4
Perahu di TNBBS dengan menggunakan model perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994) yang dimodifikasi dengan ADO-ODTWA (PHKA 2003b) disesuaikan dengan kebutuhan perencanaan. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai rujukan bagi Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata alam. 1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian Balai Besar TNBBS menetapkan 6 (enam) lokasi pariwisata alam yakni Suoh, Tampang-Belimbing, Muara Canguk Pemerihan, Sukaraja Atas, Kubu Perahu dan Keramat Menula. Berdasarkan Masterplan Pengembangan Obyek Wisata Alam, TNBBS telah menetapkan sasaran lokasi pengembangan wisata alam tahap awal yaitu lokasi Kubu Perahu dan Sukaraja Atas (BBTNBBS 2009b). Sumberdaya biofisiknya yang memiliki nilai konservasi yang tinggi merupakan salah satu daya tarik dari lokasi ini. Keindahan dari bentukan lansekap memberikan motivasi untuk kegiatan pariwisata alam yang aman dan nyaman. Pengelolaan pariwisata alam merupakan salah satu bentuk pemanfaatan jasa kawasan dengan kemampuan potensi biofisik dan sumberdaya penunjang. Salah satu cara untuk menganalisis sumberdaya adalah dengan melakukan analisis spasial model overlay peta kriteria masing-masing sumberdaya. Pemetaan data sumberdaya tersebut diperoleh dengan proses scanning, digitasi, dan konversi melalui beberapa fasilitas program komputer aplikasi sistem informasi geografi. Dari hasil analisis overlay peta semua kriteria sumberdaya akan memperoleh kesesuaian sumberdaya kawasan untuk pengembangan wisata alam. Oleh karena itu evaluasi kesesuaian kawasan dengan menggunakan SIG menjadi salah satu pilihan untuk perencanaan pariwisata alam di TNBBS. Pola kerangka pikir penelitian ini diilustrasikan dalam Gambar 1.
5
Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Sukaraja Atas dan Kubu Perahu)
Sumberdaya Penunjang
Sumberdaya Utama
Skoring Peta Berdasar Kriteria Penilaian OTDWA
Kriteria Penilaian ODTWA
Analisis kesesuaian untuk wisata alam dengan SIG
Sintesis klasifikasi kesesuaian wisata alam dan alternatif atraksi wisata alam
Peta Rencana Pariwisata Alam
Gambar 1
Kerangka pemikiran penelitian
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Alam di Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan yang diperuntukkan bagi perlindungan kawasan alami dan pemandangan indah serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Taman nasional dalam IUCN Protected Area Management Category termasuk dalam katagori II dan didefinisikan sebagai wilayah alamiah di daratan atau di lautan yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan generasi kini dan yang akan datang; (b) melarang eksploitasi dan okupasi yang bertentangan dengan tujuan penunjukkannya; (c) memberikan landasan untuk pengembangan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan budaya (Eagles and McCool 2002; Lavieren 1983). Karakteristik tersebut tercermin bahwa taman nasional selain terdapat sistem perlindungan terhadap suatu area tetapi juga adanya karakteristik pengembangan pariwisata alam. Berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, kepariwisataan secara umum saat ini harus berasaskan pada kelestarian dan keberlanjutan serta bertujuan untuk melestarikan alam, lingkungan dan sumberdaya, namun diletakkan setelah tujuan finansial. Wisata berbasis ekologi atau ekowisata secara lebih spesifik menempatkan pelestarian alam sebagai fundamental pertama, tanpa mengesampingkan pendidikan, ekonomi, partisipasi masyarakat, dan unsur rekreasi (Muntasib 2004; Widada 2008). Sehingga pengembangan pariwisata alam di kawasan pelestarian alam baik TN, TWA, Tahura maupun Taman Buru menuntut kualifikasi khusus bagi para pengelola pariwisata alam dan kriteria khusus bagi kinerja usaha pariwisata alam (Muntasib 2004), yaitu : 1. Keuntungan pariwisata alam harus mampu membiayai pelestarian obyek wisata dan ekosistemnya (manfaat konservasi), 2. Pariwisata alam harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal (manfaat sosial budaya). Muntasib (2004) juga menyatakan bahwa kerangka logis pengembangan pariwisata alam dalam kawasan pelestarian alam (KPA) berbasis pada pokokpokok pemikiran berikut :
8
1. Manajemen pariwista alam adalah sistem pelayanan publik yang memiliki tujuan sesuai dengan kedua kriteria di atas, 2. Unit manajemen pariwista alam di KPA terbatas pada pengelolaan seluruh aset wisata di dalam KPA dan jaringan bisnis terkait langsung dengan sistem manajemen (konservasi) yang diterapkan, 3. Unit manajemen pariwisata alam di KPA terletak pada tata ekologis (ecological setting) dan tata sosial (social setting) kearah pelestarian SDA. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam nomor 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung, bahwa Taman nasional (TN) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Pengelolaan wisata alam harus memperhatikan sistem zonasi kawasan. Berdasarkan
Peraturan
Pemerintah
nomor
36
tahun
2010
tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam, bahwa pemanfaatan pariwisata alam di Taman Nasional dapat dilakukan seluruh zona kecuali zona inti. Pengusahaan pariwisata alam meliputi usaha jasa dan usaha sarana wisata. Pengembangan usaha jasa wisata dapat dilakukan pada zona pemanfaatan dan zona rimba, sedangkan usaha sarana wisata hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan wisata. Pengelolaan wisata pada zona pemanfaatan penting dilakukan penentuan rencana tata ruang wisata dengan mendasarkan pada tingkat kesesuaian sumberdaya kawasan untuk pengembangan wisata. Berdasarkan Renstra BTNBBS tahun 2005 – 2009, TNBBS dalam proses melakukan revisi zonasi pengelolaan. Penetapan mintakat masih didasarkan pada SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Nomor : 57/Kpts/Dj-VI/1990 tanggal 31 Mei 1990. Pembagian mintakat-mintakat pengelolaan, mintakat inti 191.125 ha, mintakat rimba 160.012,5 ha, mintakat pemanfaatan 850 ha dan mintakat penyangga 4.812,5 ha. Pemanfaatan wisata alam di TNBBS yang akan dikembangkan adalah 6 lokasi wisata alam yakni Suoh, Tampang-Belimbing, Muara Canguk Pemerihan,
9
Suka-raja Atas, Kubu Perahu dan Keramat Menula (BTNBBS 2005b). Berdasarkan Masterplan Pengembangan Obyek Wisata Alam, TNBBS telah menetapkan sasaran lokasi pengembangan wisata alam tahap awal yaitu lokasi Kubu Perahu dan Sukaraja Atas (BBTNBBS 2009b). 2.2 Perencanaan Pariwisata Alam dan Kriteria Penilaian Sumberdaya Pengembangan pariwisata alam di kawasan konservasi dan lindung harus mengikuti kunci-kunci penting dalam perencanaan. Menurut Eagles et al. (2002) bentuk kunci perencanaan pariwisata alam di kawasan perlindungan adalah : 1.
Kebijakan, aturan tertulis yang diadop dan diikuti oleh para pihak,
2.
Perencanaan, proses dimana kebijakan ditempatkan dalam struktur yang dapat diterapkan,
3.
Dokumen perencanaan, dokumen yang mencakup kebijakan, tujuan, proses keputusan dan aksi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan,
4.
Perencanaan manajemen, alat untuk mengindikasikan bagaimana kawasan menjadi lestari, bermanfaat, terbangun dan terkelola,
5.
Proses perencanaan,
langkah
atau
tahap-tahap
yang dilalui dalam
mempersiapkan rencana pariwisata alam di kawasan konservasi. Model perencanaan wisata berbasis lingkungan menurut Fennell dan Dowling (2003) memiliki 5 (lima) tahap strategi pendekatan perencanaan, kelima tahap tersebut adalah (1) penentuan tujuan; (2) survai dan penilaian; (3) evaluasi; (4) sintesis; dan (5) proposal. Langkah pertama penentuan tujuan diawali dengan analisis latar belakang hubungan antara wisata dan lingkungan yang akan menjadi arahan dasar dalam tahap penentuan tujuan. Penentuan tujuan penting sebagai kerangka dalam melakukan survai studi lokasi. Tahap yang kedua yaitu survai dan penilaian, pada tahap ini mendiskripsikan dan penilaian kriteria lingkungan dan mendiskripsikan dan penilaian sumberdaya wisata. Selanjutnya evaluasi informasi hasil yang digabungkan dalam tahap sistesis. Wearing dan Neil (2009) mengulas tentang dampak, potensi dan kemungkinan ekowisata dan mengatakan bahwa dalam perencanaan ekosiwata untuk mencapai formulasi dokumen perencanaan harus melalui 5 tahap yaitu (1) studi pendahuluan; (2) penentuan tujuan; (3) survai; (4) analisis dan sintesis; dan (5) formulasi kebijakan dan perencanaan. Dengan melihat kedua acuan tersebut
10
pada dasarnya memiliki kesamaan tahapan, dimana proses analisis sama dengan proses penilaian terhadap sumberdaya pariwisata alam dengan menggunakan kriteria yang dibangun berdasar ketentuan umum maupun secara khusus menyangkut karakteristik lansekap kawasan. Perencanaan wisata menurut Gunn (1994) dilakukan dalam tiga skala, (1) skala tapak, dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti resort, marina, hotel dan taman; (2) skala tujuan/destinasi, dimana aktraksi-atraksi wisata terkait dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah daerah, dan sektor swasta yang dilibatkan; (3) skala wilayah, dimana lebih diarahkan pada tata guna lahan yang terkait sumberdaya yang harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial. Model perencanaan berdasar Kiemstedt (1967) diacu dalam Gunn (1994), dengan melakukan pengukuran dan pemetaan 3 set faktor untuk menetapkan area terbaik yang sesuai untuk wisata alam. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor fisik, fasilitas yang tersedia, serta keberadaan budaya dalam satu kawasan. Kemudian setiap set faktor dirubah menjadi indeks skala aktraksi, yang meliputi beberapa tahap awal yaitu mengukur subkomponen yang berkaitan dengan lokasi dimana fungsi atraksi, nilai atraksi dari setiap peubah dihitung. Selanjutnya analisis overlay peta untuk melihat sumberdaya paling sesuai untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata alam. Perencanaan lansekap kawasan yang baik menurut Simond (1961) harus melindungi tata hidrologi, mengkonservasi hutan dan sumber mineral, menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk rekreasi dan suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memiliki nilai keindahan dan ekologis. Sehingga pembangunan kriteria penilaian karakteristik sumberdaya penting mengakomodir kepentingan diatas, dimana kriteria penilaian mengeliminasi daerah yang rentan untuk kegiatan wisata. Gunn (1994) telah beberapa kali mengadakan kajian mengenai struktur geografis dengan pendekatan kartografis untuk mengidentifikasi kawasan wisata. Diantaranya pada tahun 1988 bersama dengan Larsen mengadakan perencanaan wisata alam di Oklahoma. Kriteria sumberdaya dalam perencanaan wisata berdasarkan Gunn (1994) seperti Tabel 1.
11
Tabel 1
Pembobotan faktor perencanaan wisata berdasar Gunn (1994)
No
Faktor
a) 1 2 3 4 5 6 7
Perencanaan wisata Oklahoma Air Topografi/tanah Flora/fauna Sejarah Fenomena alam/atraksi Kota Aksesibilitas Total Perencanaan wisata alam di Taman Nasional Karolina Selatan Air, kehidupan air Flora dan fauna Topografi, tanah Pembangunan sumberdaya alam yang ada Aksesibilitas Kota Total Perencanaan wisata budaya di Karolina Selatan Arkeologi, legenda Sejarah, etnik Pembangunan ekonomi Pembangunan sumberdaya budaya yang ada Transportasi, akses Kota Total
b) 1 2 3 4 5 6 c) 1 2 3 4 5 6
Bobot 15 8 8 15 12 20 22 100 30 22 16 10 18 4 100 6 18 20 20 15 21 100
Sumber : Gunn (1994)
Gunn pada tahun 1990 mengadakan perencanaan wisata alam di taman nasional Karolina Selatan. Secara garis besar variabel fisik yang menjadi unsur kriteria dalam analisis spasial adalah (1) air dan satwa air (2) vegetasi, satwa liar, (3) topografi, tanah, (4) pengembangan sumberdaya alam yang telah ada, (5) Aksesibilitas, (6) kota, (7) arkeologi, legenda, (8) sejarah, etnik, (9) pengembangan sumberdaya budaya yang telah ada (10) transportasi dan aksesibilitas. Secara lengkap pembobotan seperti pada Tabel 1 b dan c.
12
Gambar 2
Model perencanaan p n wisata tamaan nasional bberdasar Gunnn (1994)
Diagram m diatas mennggambarkaan model perrencanaan wisata di tamaan nasional d dikembangk kan oleh Gunn G pada ttahun 19888, yang meengilustrasikan konsep p perencanaan n yang lesttari yang mengidentifik m kasi hubunggan antara 5 zona : p perlindungan n sumberdaaya, pemanffaatan alam m liar dan ppemanfaatan n minimal, r rekreasi eksstensif, ruangg pengunjunng dan ruanng komplek pelayanan. Pembagian P z zona di Taaman Nasioonal di Inddonesia terb bagi dalam m 3 zona yaitu y zona p pemanfaatan n, zona rimbba dan zona iinti. Berdasaar Peraturan Pemerintah Nomor 36 t tahun 2010, pengemban ngan usaha jjasa wisata alam dapat dilakukan pada p semua z zona kecualli zona inti, dan pengem mbangan usaaha sarana hhanya dapatt dilakukan p pada zona pemanfaataan namun. Berdasarkann Gambar 22, zona peerlindungan s sumberdaya memiliki fungsi f sama dengan zonna inti padaa sistem zonnasi Taman N Nasional di Indonesia. Demikian juuga pemanfa faatan wisataa di zona peemanfaatan a alam liar (G Gambar 2) dan d zona riimba pada sistem s zonasi Taman Nasional N di I Indonesia teerbatas padaa usaha jasaa wisata alam m liar. Nam mun pemanffaatan zona p pemanfaatan n Taman Nasional ddi Indonesia dengan fasilitas bus tidak
13
diperkenankan
karena
dalam
pedoman
pengembangan
pariwisata
alam
mengisyaratkan penggunaan media transportasi yang ramah lingkungan atau tidak berakibat polusi udara dan polusi suara. Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan juga menyusun instrumen analisis daerah obyek dan daya tarik wisata alam yang ditujukan sebagai arahan kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis Direktorat Ditjen PHKA/pengelola dalam melalukan analisis di masing-masing wilayah. Dalam analisis ini ditetapkan unsur kriteria penilaian, bentuk pembobotan, dan perhitungan semua nilai unsur kriteria. Penilaian yang disusun oleh PHKA memakai istilah kriteria sama dengan istilah faktor yang disampaikan oleh Gunn di atas. Kriteria yang dipakai sebagai dasar dalam penilaian terdiri dari : daya tarik (potensi kawasan), potensi pasar, kadar hubungan, kondisi lingkungan, pengelolaan dan pelayanan, iklim, akomodasi, prasarana dan sarana penunjung ketersediaan air bersih, hubungan dengan obyek wisata lain, keamanan, daya dukung, pengaturan pengunjung, pemasaran, dan pangsa pasar. Masing-masing kriteria dibagi lagi kedalam beberapa unsur dan sub unsur. Masing-masing kriteria diberi bobot yang berbeda-beda yang besarannya antara 1 sampai dengan 6. Unsur dan sub unsur disusun dalam bentuk tabel, dan penilaian berdasar pilihan nilai yang telah disusun dalam kolol-kolom sesuai dengan tingkat pemenuhan terhadap unsur kriteria masing-masing (PKHA 2003b). Dalam penelitian ini menggunakan model perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994) yang dimodifikasi dengan ADO-ODTWA (PHKA 2003b) disesuaikan dengan kebutuhan penelitian yang berbasis data spasial. Menurut studi yang dilakukan Turk dan Gumusay (2003) perencanaan yang optimum untuk suplai wisata adalah dengan menggunakan desain dan aplikasi SIG. Hal tersebut seiring dengan Gunn (1994) yang menyatakan bahwa bantuan teknologi komputer cukup membantu dalam proses perencanaan kawasan wisata, melalui program SIG akan diperoleh peta yang mempresentasikan sumberdaya yang paling sesuai untuk kegiatan wisata alam dan sumberdaya yang paling rentan untuk wisata. Hasil dari proses analisis kesesuaian ini dapat membantu pembuat kebijakan dalam membuat perencanaan pariwisata alam.
14
2.3 Sistem Informasi Geografi Pada dasarnya sistem informasi geografi (SIG) merupakan gabungan dari tiga unsur pokok yaitu: sistem, informasi dan geografis. Berdasarkan ketiga unsur pokok tersebut maka jelas SIG merupakan suatu sistem informasi dengan tambahan unsur geografis atau SIG merupakan suatu sistem yang menekankan unsur informasi geografi. Istilah geografis merupakan bagian dari keruangan atau spasial. Penggunaan kata geografis berisikan pengertian suatu persoalan tentang bumi : permukaan dua dimensi atau tiga dimensi. Sistem informasi geografi mengandung pengertian informasi tempat-tempat yang terletak dipermukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi suatu obyek
dan informasi mengenai
keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diketahui (Prahasta 2005). Mendasarkan pada teknologi informasi, menurut McAdam (1999) GIS didefinisikan sebagai hubungan kemampuan manipulasi database antara data spasial (dalam bentuk peta digitasi) dan atribut data (gabungan set data dalam bentuk catatan alpha-numerical). Data spasial diperoleh dari peta dasar berkoordinat yang disimpan dalam bentuk file komputer, sedangkan atribut data dibuat dalam catatan detail tentang fitur-fitur atau item dalam peta dengan koordinat masing-masing. Aplikasi SIG yang merupakan apilikasi berbasis data spasial telah biasa digunakan dalam wilayah yang berbeda seperti aktifitas wisata yang berinteraksi dengan hal lain seperti budaya masyarakat. Aplikasi SIG dapat digunakan dalam berbagai hal dalam pengembangan wisata yaitu aplikasi inventarisasi sumberdaya wisata, aplikasi analisis wisata, dan aplikasi manajemen wisata. Adil yang terbesar dari kemampuan SIG dalam wisata yaitu dalam perencanaan pengembangan wisata. Pada bentuk operasional, langkah pertama yaitu mengidentifikasi indikator, kriteria dan kebijakan yang tepat untuk pengembangan wisata yang berkelanjutan (Yianna dan Paulicos 2010). Dalam perencanaan wisata dengan menggunakan SIG diperlukan peta-peta layers atribut obyek wisata untuk dilakukan overlay, antara lain (Turk dan Gumusay 2003) : 1.
Penentuan tempat-tempat penting untuk wisata,
2.
Penentuan tempat-tempat bersejarah,
15
3.
Penentuan hotel terbaik,
4.
Penentuan rencana tempat titik pandang yang optimum,
5.
Penentuan jarak terdekat antara tempat-tempat terpilih. SIG merupakan sistem komputer yang mempunyai kekuatan dan kecepatan
untuk mengidentifikasi daerah pengembangan dengan kriteria-kriteria untuk mengeliminasi daerah-daerah yang tidak memenuhi syarat pengembangan (Prahasta 2005). Analisis spasial overlay dengan kriteria sesuai dengan tujuan akan menghasilkan penentuan lokasi-lokasi yang sesuai untuk wisata alam. Hasil penentuan ini dapat menjadi pertimbangan bagi pengelola pariwisata alam dalam perencanaan selanjutnya. McAdam (1999) memberikan beberapa contoh penggunaan SIG dalam pengelolaan wisata di beberapa tempat di dunia, antara lain aplikasi SIG yang digunakan dalam penelitian di Gunung Siberian pada tahun 1994, pembuatan peta kehidupan liar taman nasional di Ukraina pada tahun 1995, aplikasi SIG dalam evaluasi keindahan di Gunung Cairngorm, aplikasi SIG untuk perencanaan lansekap Taman Red-Stone Cina pada tahun 1997. Antunes (1993) juga telah menggunakan SIG dalam perencanaan ekowisata dan konservasi di Taman Nasional Guaraqueçaba di Brazil. Meskipun demikian McAdam (1999) masih menganggap bahwa SIG jarang dipakai dalam konteks wisata tetapi sebenarnya dapat digunakan dalam studi perencanaan lansekap, membangun pemahaman persepsi pengunjung yang lebih baik dalam bentuk preferensi pengunjung untuk variasi atraksi di lokasi wisata, dan SIG dapat digunakan dalam perencanaan wisata. Namum setelah 6 (enam) tahun berjalan menurut Boers dan Cottrell (2005) pernyataan McAdam tersebut sudah tidak relevan lagi, SIG sudah banyak dimanfaatkan dalam kegiatan perencanaan dan manajemen wisata. Memperhatikan pernyataan tersebut berarti selama selang waktu 6 (enam) tahun telah terjadi perkembangan yang pesat pemanfaatan SIG dalam perencanaan dan manajemen wisata. Pada tahun 2000, Boers dan Cottrell juga telah melakukan penelitian dengan aplikasi SIG untuk penzonaan wisata di hutan lindung Sinharaja Sri Langka (Boers dan Cottrell 2005). Aplikasi SIG juga digunakan oleh Bukenya (2000) dalam pengambilan keputusan dalam pengembangan ekowisata di Taman
16
Nasional Uganda dengan menerapkan SIG dan multi-criterion decision-making framework (MCDM) dalam menyelesaikan permasalahan berbagai tujuan keruangan. Distrik Ba Vi merupakan salah satu tujuan wisata di Vietnam untuk tujuan pengembangan ekowisata pada tahun 2007 yang dibangun berdasarkan basisdata SIG. Basisdata berisi file spasial dan atribut data sumberdaya alam dan budaya yang tersimpan dalam format Arcview GIS yang mudah dimunculkan kembali, efektif dianalisis dan dapat diperbaharui disesuaikan dengan perkembangan lokasi (Minh 2007). Perkembangan pemanfaatan SIG juga terjadi di Indonesia. Roslita (2001) melakukan penelitian dengan aplikasi SIG untuk merencanakan lansekap wisata di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Dalam perencanaan tersebut mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Gunn tahun 1994 yang dimodifikasi
disesuaikan
dengan
kondisi
sumberdaya
TN
KS.
Gunn
mengembangkan metode perencanaan wisata dengan SIG yang dipublikasikan pada tahun 1993 dalam sebuah jurnal dan terus diaplikasikan dan publikasi. Edisi terbaru dengan judul yang sama yakni “Tourism Planning Basics, Consept, Cases” dipublikasikan pada tahun 2002 bersama dengan ilmuwan lain bernama Turgut Var. Penelitian zonasi pengembangan wisata di Suaka Margasatwa Nantu di Gorontalo oleh Dunggio (2005) dengan menggunakan aplikasi SIG dengan metode skoring menggunakan analisis Hirarki proses (AHP). Pada tahun berikutnya, Kusumoarto (2006) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi potensi lansekap pesisir Kecamatan Jerowaru Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk rekreasi alam dengan menggunakan SIG dan metode penilaian dengan berdasar pada pandangan beberapa ahli (profesional judgement). Penelitian lain dengan SIG juga dilakukan oleh Windoatmoko (2006) yang melakukan evaluasi potensi sumberdaya fisik untuk pengembangan pariwisata di Kabupaten Magelang Jawa Tengah, metode penilaian dengan metode mengkuantitatifkan kenampakan setiap obyek wisata dan fasilitasnya sehingga dapat akumulasi nilai obyek wisata berbanding lurus dengan tingkat potensi obyek wisata tersebut. Metode penelitian tersebut juga digunakan oleh Pramudia (2008)
17
untuk mengevaluasi potensi wisata di Kabupaten Agam Sumatera Barat dalam rangka perencanaan program pengembangan wisata. Pada penelitian di TNBBS khususnya lokasi Kubu Perahu dan Sukaraja Atas ini menggunakan SIG dengan metode perencanaan dan metode penilaian mengacu pada model penilaian yang dikembangkan oleh Gunn yang diacu juga oleh Roslita (2001), dengan tahapan perencanaan mengacu pada Wearing dan Neil (2009). Gunn menyampaikan bahwa tujuan perencanaan wisata adalah untuk memberikan kepuasan terhadap pengunjung, keuntungan ekonomi dan bisnis, serta pelestarian sumberdaya. Sedangkan pengembangan wisata alam di taman nasional menempatkan nilai rekreasi pada prinsip yang ke-5, sedangkan yang utama adalah prinsip konservasi. Sehingga metode penilaian dalam penelitian ini diharapkan berorientasi pada konservasi dan bernilai rekreasi.
18
IIII.
METO ODE PEN NELITIAN N
3 Tempatt dan Waktu Penelitian 3.1 n Penelitiian ini dilakuukan di Tam man Nasionaal Bukit Bariisan Selatan (TNBBS). S Secara geoggrafis terletaak TNBBS tterletak padaa 429’ - 557’ LS dann 10324’ 10444’ BT. Lokasi pennelitian difokkuskan padaa 2 (dua) lokkasi yaitu Kuubu Perahu d Bukit Penetoh Kabbupaten Lam di mpung Baraat dan Sukkaraja di Kubu K Nicik K Kabupaten T Tanggamus P Provinsi Lam mpung.
Gam mbar 3 Petaa lokasi Kubuu Perahu dan n Sukaraja A Atas di TNBB BS (Sumber : BTNBB BS 2009b) Penelitiian dilaksanakan selamaa 5 (lima) bulan b (20 miinggu). Alokkasi waktu t tahapan survvai sampai dengan rekkomendasi perencanaan p mulai bulaan Oktober 2 2009 sampaii dengan bullan Maret 20010.
20
3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah data-data sekunder dan peta dasar TNBBS. Alat yang diperlukan untuk pengukuran verifikasi lapangan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah Global Positioning System (GPS), kamera, dan taly sheet. Untuk melakukan analisis data spasial diperlukan alat personal komputer dan software Arcview 3.3 beserta ekstensi pendukung. 3.3 Batasan dan Asumsi Penggunaan istilah pariwisata alam mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam. Rencana penelitian perencanaan pariwisata alam di TNBBS dibatasi pada 2 (dua) lokasi pengembangan pariwisata alam yaitu Sukaraja Atas dan Kubu Perahu. Menurut Hall (2003) bahwa kawasan yang telah ditetapkan sebagai Tapak Warisan Dunia harus mempunyai skala aplikasi ekowisata minat khusus (hardcore ecotourism). Ekowisata minat khusus (hard-core ecotourism) memiliki komitmen yang kuat terhadap konservasi (Weaver 2002). Metode penilaian ADOODTWA PHKA (2003b) berorientasi utama pada konservasi dan pendidikan konservasi kemudian diikuti ekonomi, partisipasi masyarakat dan nilai rekreasi. Metode penilaian tersebut digunakan untuk menilai kawasan wisata alam yang telah dikembangkan. Metode penilaian ADO-ODTWA tersebut tidak dapat diterapkan secara utuh untuk analisis spasial kesesuaian sumberdaya. Gunn (1994) mengembangkan metode perencanaan wisata berbasis data spasial melalui analisis spasial kesesuaian sumberdaya utama dan penunjang. Kriteria penilaian sumberdaya dan unsur penunjang pada penelitian di TNBBS ini menggunakan modifikasi kedua metode tersebut yang disesuaikan dengan kondisi sumberdaya lokasi, dengan asumsi spasial (Tabel 6 dan 7) yang berorientasi pada konservasi dan nilai rekreasi. Pengembangan pemanfaatan wisata di taman nasional secara keseluruhan mengarah pada tujuan pelestarian dan sudah terdapat ketetapan adanya zona penyangga, namun untuk meningkatkan upaya konservasi maka penting pemberian sempadan atau penyangga (buffer) pada sumberdaya sungai. Ketentuan sempadan akan mengikuti peraturan perundangan yang berlaku.
21
3.4 Metode Perencanaan Perencanaan wisata alam TNBBS menggunakan tahap dan metode perencanaan modifikasi tahap perencanaan Wearing dan Neil (2009) dan metode perencanaan Gunn (1994) berbasis data spasial sumberdaya alam. Tahap perencanaan pariwisata alam dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Survai untuk pengembangan wisata alam Tahap survai ini dilakukan setelah melakukan studi pendahuluan yang menjadi dasar dalam tahap penentuan tujuan penelitian. Survai yang dilakukan meliputi tahap inventarisasi dan mempelajari dokumen yang ada, peta-peta, data-data sekunder pendukung lainnya, dan melakukan verifikasi data serta wawancara dengan petugas lapang unsur kriteria yang disurvai berdasar panduan wawancara (lampiran 1). 2. Analisis Melakukan evaluasi hasil survai, pemberian peringkat dan pembobotan masing-masing unsur kriteria, melakukan analisis spasial dengan SIG dan melakukan evaluasi hasil analisis. 3. Formulasi konsep rencana wisata alam Tahap ini menghasilkan (1) peta potensi wisata alam dan (2) alternatif atraksi wisata alam. Hasil tahap tersebut diperoleh potensi wisata alam dan alternatif atraksi yang dikembangkan untuk perencanaan wisata alam. 4. Perencanaan wisata alam Perencanaan wisata alam meliputi tiga aspek yaitu (1) rencana tata ruang wisata alam (2) rencana atraksi wisata alam dan (3) rencana fasilitas wisata alam. Bagan alir perencanaan seperti pada Gambar 4. Perencanaan wisata alam memperhatikan zonasi kawasan, saat ini dalam proses revisi zonasi. Penetapan mintakat saat ini didasarkan pada SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Nomor : 57/Kpts/DjVI/1990 tanggal 31 Mei 1990, terbagi dalam 4 mintakat yaitu mintakat inti, mintakat rimba, mintakat pemanfaatan dan mintakat penyangga. Berdasarkan kebijakan BBTNBBS (2009b), BBTNBBS menetapkan Sukaraja Atas dan Kubu Perahu dengan luasan tertentu sebagai lokasi pengembangan wisata alam.
22
Pemilihan lokasi
Studi awal 1. 2.
Analisis ODTWA model PHKA Metode perencanaan pariwisata alam (Gunn 1994)
Perumusan masalah
PEMBANGUNAN METODE PERENCANAAN PARIWISATA ALAM BERBASIS DATA SPASIAL
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER DAN DATA PRIMER
Data point flora dan fauna
Peta Penutupan Lahan
Data point fenomena alam
Peta sungai
Peta kemiringan lereng
Peta Kontur
Peta fasilitas jalan
BUFFER
Peta Area fenomena Alam
Data point curah hujan
Interpolasi
Peta potensial pemandangan alam
Buffer 4 km
Peta hasil interpolasi curah hujan
Peta kontur curah hujan
OVERLAY
Peta kontur curah hujan
Peta kelas kepekaan tanah (K6)
Peta kelas kepekaan pada curah hujan (K7)
OVERLAY
OVERLAY
Peta kelas daya tarik flora fauna (K1)
Peta jenis tanah
Peta kelas kepekaan habitat (K2)
Peta kelas daya tarik fenomena alam (K3)
Peta kelas kepekaan kemiringan lereng (K4)
Peta kelas potensi kemudahan akses (K5)
OVERLAY
Skor = ((K1*16)+(K2*22)+(K3*12)+(K4*16)+(K5*18)+(K6*8)+(K7*8)) / 100
Klasifikasi kesesuaian sumberdaya untuk pengembangan pariwisata alam Perencanaan Pariwisata Alam Berbasis Data Spasial
Gambar 4
Bagan alir perencanaan wisata alam berbasis data spasial
23
3.4.1 Data Data dalam penelitian ini meliputi kriteria sumberdaya biofisik dan penunjang. Data terdiri dari beberapa unsur kriteria. Data digital menggunakan software arcview 3.3 dan beberapa ekstensi tambahan, yang dikelola berdasar sumber, tema, bentuk, dan kriteria. Pemberian atribut data dengan pemberian peringkat dan pembobot pada masing-masing peta digital tersebut. Metode penilaian kriteria dan unsur kriteria yang digunakan dengan metode Gunn (1994) yang dimodifikasi dan memperhatikan ADO-ODTWA (PHKA 2003b) disesuaikan dengan kondisi sumberdaya. Pembagian unsur kriteria berorientasi pada kepentingan konservasi (PHKA 2003b) dan memberikan nilai rekreasi dengan kepuasan pada pengunjung (Gunn 1994; PHKA 2003b). Data meliputi sumberdaya biofisik dan sumberdaya penunjang yang merupakan hasil pengumpulan data primer maupun data sekunder (Tabel 2). Untuk kepentingan analisis spasial, data dikelompokkan dalam 2 katogeri yaitu kriteria utama dan kriteria penunjang. Kriteria utama merupakan kriteria atraksi yang utama wisata alam yang diharapkan berorientasi pada konservasi dan juga memberikan nilai rekreasi. Kriteria penunjang memberikan dukungan pada kepentingan nilai rekreasi. Untuk mencapai harapan upaya konservasi, kriteria utama sumberdaya biofisik dibagi menjadi unsur kepekaan habitat, kepekaan kemiringan lereng, kepekaan jenis tanah dan kepekaan terhadap curah hujan berdasarkan kemungkinan pengembangan yang mengacu pada konservasi dan unsur kriteria utama potensi daya tarik fenomena alam, potensi daya tarik flora dan fauna yang mengacu pada nilai rekreasi. Kriteria penunjang yaitu unsur potensi aksesibilitas berdasarkan kemungkinan pengembangan yang mengacu pada nilai rekreasi dan kenyamanan pengunjung. Tabel 2
Bentuk data hasil pengumpulan
No.
Jenis Data
Skala
Sumber/ catatan
I
Sekunder Peta situasi TNBBS Peta Jenis tanah TNBBS Kemiringan lereng Kubu Perahu (30m) Peta penutupan lahan Kubu Perahu Peta kontur 10 m Kubu Perahu
1 : 5.000.000 1 : 750.000 1 : 30.000 1 : 30.000 1 : 30.000
BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS
1 2 3 4 5
24 No. 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 II. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis Data
Skala
Sumber/ catatan BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS BMG
Peta kontur 10 m Sukaraja 1 : 27.500 Peta penutupan lahan Sukaraja 1 : 27.500 Peta Kemiringan lereng Sukaraja (30m) 1 : 27.500 Peta hidrologi Kubu Perahu 1 : 30.000 Peta hidrologi Sukaraja 1 : 27.500 Peta aksesibilitas jalan Kubu Perahu 1 : 30.000 Peta aksesibilitas jalan Sukaraja 1 : 27.500 Data curah hujan Liwa (terdekat dengan Kubu Perahu) dan Gunung Cahyakuningan Data curah hujan Wonosobo dan Sri Kuncoro BMG (terdekat dengan Sukaraja) Peta administrasi desa sekitar ODTWA Sukaraja 1 : 50.000 BBTNBBS Atas Peta administrasi desa sekitar ODTWA Kubu 1 : 50.000 BBTNBBS Perahu Primer Data pustaka peta digital hasil survai badak 2003 -2008 (TNBBS - Mitra) Data pustaka peta digital hasil survai harimau 1999 – 2002 (TNBBS Mitra) Data pustaka peta digital hasil survai gajah 1999 – 2002 (TNBBS - Mitra) Data pustaka peta digital hasil survai tapir 1999 – 2002 (TNBBS - Mitra) Koordinat hasil survai jejak satwa di daerah Sukaraja Atas Koordinat hasil survai jejak satwa di daerah Kubu Perahu Koordinat hasil survai flora penting (langka/endemik/daya tarik) di daerah Sukaraja Atas Koordinat hasil survai flora penting (langka/endemik/daya tarik) di daerah Kubu Perahu Koordinat hasil survai lokasi fenomena alam di daerah Sukaraja Atas Koordinat hasil survai lokasi fenomena alam di daerah Kubu Perahu Koordinat hasil survai lokasi fasilitas wisata di daerah Sukaraja Atas Koordinat hasil survai lokasi fasilitas wisata di daerah Kubu Perahu
Masing-masing unsur kriteria kepekaan habitat, kepekaan kemiringan lereng, kepekaan jenis tanah dan kepekaan terhadap curah hujan diberikan peringkat berdasar kemungkinan pengembangan yang mengacu pada konservasi, yaitu 4 (tidak peka), 3 (agak peka), 2 (peka), dan 1 (sangat peka). Sedangkan unsur kriteria potensi daya tarik fenomena alam, potensi daya tarik flora dan fauna serta unsur kriteria potensi kemudahan aksesibilitas diberi peringkat berdasar kemungkinan pengembangan yang mengacu pada nilai rekreasi, yaitu 4 (tinggi), 3 ( cukup), 2 (rendah), dan 1 (sangat rendah). Masing-masing diberikan bobot yang berbeda karena masing-masing memiliki kepentingan dan dampak yang berbeda dalam kegiatan wisata alam. Jumlah pembobot total 100, dengan pemberian bobot berdasarkan hasil penelitian Gunn (1994).
25
Kriteria utama sumberdaya biofisik meliputi kepekaan habitat, kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah hujan, serta potensi daya tarik fenomena alam, flora dan fauna. Masing-masing unsur kriteria diberi peringkat sebagai berikut : 4. Kepekaan habitat penting menjadi pertimbangan ketika memasukkan kehidupan liar khususnya satwa menjadi obyek wisata alam. Higham dan Lusseau (2007) menyatakan bahwa identifikasi serta perlindungan yang memadai terhadap habitat perlu dilakukan dalam manajemen wisata kehidupan liar. Selain itu juga menyatakan bahwa pada kawasan wisata yang telah berkembang, interaksi wisatawan dan kehidupan liar umumnya terjadi di lokasi yang ditandai oleh keberadaan dan atau kelimpahan populasi kehidupan liar. Kondisi ekosistam kawasan yang rusak diasumsikan memiliki kelimpahan kehidupan liar yang lebih kecil dibanding kawasan berpenutupan hutan sekunder atau primer. Pemberian peringkat berdasarkan kondisi penutupan hutan. Boers dan Cottrell (2005) dalam penelitiannya membagi penutupan hutan yaitu hutan primer, hutan sekunder, hutan terdegradasi, hutan tanaman, pertanian dan padang rumput. Pada penelitian ini peringkat 4 (tidak peka) diberikan untuk kondisi penutupan lahan sudah terbuka, Peringkat 3 (agak peka) untuk kawasan berpenutupan hutan sekunder, peringkat 2 untuk ekosistem dengan hutan primer, peringkat 1 (sangat peka) untuk ekosistem hutan primer gambut. Data dikumpulkan berdasarkan peta dan data sekunder penutupan lahan. 5. Kepekaan kemiringan lereng yang berbeda memberikan tingkat bahaya yang berbeda juga sehingga kriteria kemiringan lereng ini didasarkan pada tingkat bahaya yang dapat terjadi. Semakin besar kemiringan lereng memberikan peluang semakin besar tingkat resiko bahaya yang dapat terjadi, yang dapat berdampak pada keselamatan pengunjung dan kawasan itu sendiri. Peluang resiko bahaya tersebut tetap tidak lepas dari faktor lain yaitu jenis tanah, curah hujan dan penutupan vegetasi. Klasifikasi kemiringan lereng berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung seperti Tabel 3. Peringkat 4 (bahaya minimal) diberikan untuk kemiringan lereng 0 – 15% (datar dan landai). Peringkat 3 (agak bahaya) untuk kemiringan lereng 15 – 25% (agak
26
curam), peringkat 2 (bahaya) untuk kemiringan lereng 25 – 45% (curam), dan peringkat 1 (bahaya tinggi) untuk kemiringan lereng ≥45% (sangat curam). Tabel 3
Kelas kemiringan lereng
Kelas Lereng
Kemiringan lereng
Keterangan
1 2 3 4 5
0–8% 8 – 15 % 15 – 25 % 25 – 45 % 45 % atau lebih
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Sumber : Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980
6. Kepekaan jenis tanah memberikan juga pengaruh pada tingkat bahaya, semakin peka jenis tanah memberikan peluang semakin tinggi tingkat bahayanya. Peluang resiko bahaya tersebut tetap tidak lepas dari faktor lain yaitu kemiringan lereng, curah hujan dan penutupan vegetasi. Ketentuan kelas kepekaan jenis tanah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung seperti Tabel 4. Pemberian peringkat mulai dari peringkat 4 untuk daerah dengan tingkat bahaya minimal atau bahkan tidak berbahaya untuk kelas tanah tidak peka, peringkat 3 untuk kelas tanah agak peka dan kurang peka, peringkat 2 untuk kelas tanah peka, dan peringkat 1 untuk tingkat bahaya tertinggi yaitu kelas tanah sangat peka. Tabel 4
Kelas jenis tanah
Kelas Tanah
Jenis Tanah
Keterangan
1
Aluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf Kelabu, Literit Air Tanah; Latosol; Brown Forest Soil, Non Calcic Brown, Mediteran; Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol, Podsolik ; Regosol, Litosol, Organosol, Renzina.
Tidak Peka
2 3 4 5
Agak Peka Kurang Peka Peka Sangat Peka
Sumber : Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980
7. Kepekaan terhadap curah hujan berpengaruh juga terhadap tingkat kerawanan bahaya erosi suatu kawasan yang berpengaruh pada kawasan itu sendiri dan bagi pengunjung. Tingkat bahaya lahan berbanding lurus dengan tingkat curah hujan. Peluang resiko bahaya tersebut tetap tidak lepas dari faktor lain yaitu
27
jenis tanah, kemiringan lereng dan penutupan vegetasi. Ketentuan kelas curah hujan
berdasarkan
Surat
Keputusan
(SK)
Menteri
Pertanian
No.
837/Kpts/Um-/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung seperti Tabel 5. Peringkat 4 untuk kelas curah hujan sangat rendah dan rendah, peringkat 3 untuk kelas curah hujan sedang, peringkat 2 untuk kelas curah hujan tinggi dan peringkat 1 untuk kelas curah hujan sangat tinggi. Tabel 5
Kelas curah hujan
Kelas Curah hujan 1 2 3 4 5
Curah hujan (mm/hari) s/d 13.6 13.6 – 20.7 20.7 – 27.7 27.7 – 34.8 34.8 ke atas
Keterangan Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Sumber : Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980
8. Potensi daya tarik fenomena alam didasarkan pada suatu gejala alam yang unik yang terdapat pada suatu wilayah. Pertimbangan unsur darat meliputi variasi pandangan, keberadaan sumber air panas, air terjun, gua, dan sungai; pertimbangan dalam unsur danau meliputi variasi pandangan, keunikan, kestabilan tinggi muka air, dan luas tidaknya danau; pertimbangan dalam unsur pantai meliputi variasi pandangan, keunikan, pasir pantai, dan keberadaan mangrove.
Penentuan area fenomena alam didasarkan pada
poligon buffer sungai, poligon punggungan bukit atau bukit, buffer jalan setapak. Area fenomena alam ditumpangtindihkan berdasar penutupan lahan. Pemberian peringkat 4 untuk poligon dengan fenomena alam lebih dari 2 fenomena alam, peringkat 3 untuk poligon yang memiliki 1 atau 2 fenomena alam. Kondisi lahan hutan diasumsikan memiliki fenomena alam rendah dan diberi peringkat 2, kondisi kawasan yang tanpa fenomena alam (lahan kosong) akan diberi peringkat 1. Berdasar Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um-/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung, sempadan sungai: sungai kecil (lebar < 30 m) lebar sempadan 50 meter; sungai besar (lebar > 30 m) lebar sempadan 100 meter. 9. Potensi daya tarik flora dan fauna dikelompokkan berdasar ketentuan pemerintah, flora dan fauna yang endemik lokasi atau langka dan status
28
perlindungannya. Berdasarkan hasil penelitian Roslita (2001) bahwa data flora dan fauna ditumpangtindihkan berdasarkan penutupan lahan sehingga didapat data flora dan fauna yang ada dalam satu wilayah penutupan lahan tertentu. Peringkat 4 untuk jenis flora dan fauna endemik lokasi/langka lebih dari 1 jenis; peringkat 3 untuk area dengan 1 jenis flora dan fauna endemik lokasi/langka; peringkat 2 diberikan bagi flora dan fauna dilindungi (seluruh flora dan fauna dalam kawasan adalah dilindungi). Tabel 6
Asumsi spasial untuk peta SIG kriteria sumberdaya biofisik
Unsur Kriteria
Bentuk
Kepekaan Habitat
Lahan terbuka Hutan sekunder Hutan primer Hutan Primer gambut Kepekaan Datar - landai kemiringan Agak curam Lereng Curam Sangat curam Kepekaan jenis Tidak peka tanah Agak dan kurang peka Peka Sangat peka Kepekaan Sangat rendah-rendah terhadap curah Sedang hujan Tinggi Sangat tinggi Daya tarik >2 fenomena alam fenomena alam 1-2 fenomena alam Daya tarik flora Lebih dari 1 jenis Key dan fauna spesies/endemik/langka 1 jenis Key spesies/endemik/langka Status dilindungi Sumber : Gunn (1994) dan PHKA (2003b) (modifikasi)
Peringkat 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3
Bobot
22
16
8
8
12
4 3
16
2
Kriteria penunjang meliputi potensi kemudahan aksesibilitas. Aksesibilitas memberikan kemudahan menuju lokasi obyek sehingga memberikan kepuasan terhadap pengunjung. Pemberian peringkat sebagai berikut : 10. Potensi kemudahan aksesibilitas diberikan peringkat berdasarkan jarak obyek wisata alam dengan jalan raya. Lavieren (1983) mengemukakan bahwa jarak obyek wisata alam untuk wisata umum efektif terjauh 3 km dan waktu tempuh
29
maksimal 2 jam berjalan kaki. Lebih dari jarak tersebut biasanya diminati oleh pengunjung minat khusus. Namun untuk kawasan hutan Indonesia yang luas maka jarak tempuh tersebut penting untuk disesuaikan. Berdasarkan Bibby dkk. (2000) menyatakan bahwa dalam pengamatan burung tidak lebih dari 10 km dan menyarankan jarak jalur 4 km. Dalam penelitian ini menggunakan acuan tersebut, jarak tempuh efektif 8 km kembali ketitik semula sehingga jarak efektif dari jalan adalah 4 km. Peringkat 4 diberikan untuk lokasi obyek dengan jarak antara 0 – 4 km dan potensi akses mudah. Peringkat 3 untuk lokasi obyek dengan jarak lebih dari 4 km dan potensi akses mudah. Peringkat 2 untuk lokasi obyek dengan jarak kurang dari 4 km dengan potensi akses berat. Serta peringkat 1 untuk lokasi obyek dengan jarak lebih dari 4 km dan potensi akses berat. Penentuan kemudahan akses berdasarkan kemiringan lereng, kondisi lokasi akses berat dengan ketentuan kemiringan lereng >25% (curam – sangat curam). Poligon radius 4 km dari jalan ditumpangtindihkan dengan peta kemiringan lereng untuk mendapatkan peta wilayah berdasarkan bentuk asumsi spasial aksesibilitas dimaksud. Tabel 7
Asumsi spasial untuk peta SIG kriteria sumberdaya penunjang
Unsur Kriteria
Bentuk
Aksesibilitas
0 – 4 km, mudah >4 km, mudah 0 – 4 km, berat >4 km, berat
Peringkat
Bobot
4 3 2 1
18
3.4.2 Analisis Analisis data meliputi analisis data awal untuk pembangunan kriteria asumsi spasial dan analisis spasial berdasar asumsi spasial (Tabel 6 dan 7). Hasil analisis spasial merupakan suatu peta yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur kriteria utama dan unsur penunjang. Peta pengembangan wisata berdasarkan sumberdaya alam adalah hasil analisis spasial kriteria sumberdaya biofisik dengan kriteria penunjang. Total pembobotan perpaduan biofisik dan sumberdaya penunjang adalah 100 (seratus). Penentuan klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam didasarkan pada perhitungan peringkat dan bobot unsur kriteria. Proses alur analisis spasial dengan asumsi spasial menggunakan proses overlay pada Gambar 5.
30
Skor/nilai = dimana
X1i Y1i X2 Y2 100
∑ : Peringkat unsur kriteria ke-i sumberdaya biofisik : Bobot unsur kriteria ke-i sumberdaya biofisik : Peringkat unsur kriteria sumberdaya penunjang : Bobot unsur kriteria sumberdaya penunjang : total pembobotan
Klasifikasi dikategorikan menjadi 4 kategori seperti pada Tabel 8. Interval nilai adalah selisih nilai maksimum dan minimum dibagi dengan 4 kategori. Interval nilai =
Skor maks
Skor min 4
Nilai maksimal dan nilai minimal dari rumus perhitungan diatas yaitu nilai 4 (empat) untuk nilai maksimal dan 1 (satu) untuk nilai minimal. Sehingga interval nilai adalah 0,75. Klasifikasi kesesuaian untuk pengembangan wisata alam sebagai berikut : Tabel 8 No 1 2 3 4
Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam Skor 1,00 – 1,75 1,76 – 2,50 2,51 – 3,25 3,26 – 4,00
Kategori Kesesuaian pengembangan intensitas sangat rendah; Kesesuaian pengembangan intensitas rendah; Kesesuaian pengembangan intensitas sedang; Kesesuaian pengembangan intensitas tinggi.
Keseluruhan hasil klasifikasi tersebut memberikan arahan tingkat intensitas pengembangan wisata alam. Peta hasil klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam ditumpangtindih ulang dengan masing-masing unsur kriteria untuk mengetahui dan mengevaluasi secara detail masing-masing unsur kriteria dalam setiap kategori. Hasil dari proses tersebut menjadi dasar dalam perencanaan tata ruang pengembangan wisata alam. Perencanaan dilakukan dengan pemaduan antara peta hasil klasifikasi Perencanaan wisata alam meliputi tiga aspek yaitu (1) rencana tata ruang wisata alam (2) rencana atraksi wisata alam dan (3) rencana fasilitas wisata alam.dengan peta alternatif atraksi wisata alam untuk perencanaan pengembangan wisata alam pada daerah/lahan tertentu. Perencanaan wisata alam meliputi tiga aspek yaitu (1) rencana tata ruang wisata alam (2) rencana atraksi wisata alam dan (3) rencana fasilitas wisata alam.
31
Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Asumsi Spasial
Sumberdaya biofisik
Penunjang
Peta kepekaan habitat
Peta kemiringan lereng
Peta jenis tanah
Peta curah hujan
Lahan terbuka
Datar-landai
Tidak peka
Sangat rendah - rendah
Hutan Sekunder
Agak curam
Agak-kurang
Hutan primer
Curam
Peka
Primer gambut
Sangat curam
Sangat peka
Sedang
Peta Flora dan Fauna
Peta fenomena alam
>2 fenomena alam
Tinggi Sangat tinggi
1-2 fenomena alam
0 – 4 km, mudah >1spesies kunci/Endemik / langka 1 spesies kunci/Endemik/ langka Dilindungi
Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam
Peta kesesuaian pengembangan wisata alam (1) Peta Rencana Pariwisata Alam Sukaraja Atas (2) Peta Rencana Pariwisata Alam Kubuperahu Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Gambar 5
Alur proses analisis spasial
0 – 4 km, berat >4 km, mudah >4 km, berat
Overlay
Peta Aksesibilitas
32
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 4.1.1 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Kawasan TNBBS memiliki luasan areal 356.800 Ha berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 dan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan (CAL-BBS) seluas 21.600 Ha sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Februari 1990. Secara geografis kawasan TNBBS terletak antara 4º29’-5º57’ lintang selatan dan 103º24’ - 104º44’ bujur timur, sedangkan secara administratif kawasan TNBBS termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung seluas ± 10.500 ha, Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung seluas ± 280.300 ha dan Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu ± 66.000 ha. Wilayah yang termasuk Provinsi Lampung meliputi beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Lampung Barat meliputi Kecamatan Bengkunat, Pesisir Selatan, Pesisir Tengah, Karya Penggawa, Pesisir Utara, Lemong, Balik Bukit, Sukau, Belalau, Sekincau, Suoh, Batu Brak, Sumber Jaya dan Way Tenong. Sedangkan Kabupaten Tanggamus meliputi Kecamatan Pematang Sawa dan Semaka. Sementara yang termasuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu meliputi beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Kaur yaitu Kecamatan Muara Nasal, Maje, Kaur Selatan dan Kaur Utara (BTNBBS 2005b). Peta situasi TNBBS disajikan pada Gambar 6. Kondisi umum TNBBS digambarkan sebagai berikut : a.
Aksesibilitas Kawasan TNBBS dapat ditempuh dari kota-kota terdekat yaitu Kotaagung,
Liwa, Krui yang terletak di Provinsi Lampung dan Bintuhan di Provinsi Bengkulu. Beberapa ruas jalan yang merupakan jalur alternatif lintas barat Sumatera yang memotong kawasan dapat digunakan sebagai akses menuju kawasan TNBBS yakni jalan tembus Sanggi – Bengkunat sepanjang 11,5 km; jalan tembus Liwa – Krui sepanjang 15 km dan jalan tembus Rataagung – Way Manula sepanjang 14 km (BTNBBS 2005b). Aksesibilitas ke kawasan TNBBS selengkapnya disajikan dalam Tabel 9 dan 10.
34
Gambar 6
Peta Situasi TNBBS (BBTNBBS 2009b)
35
Tabel 9
Aksesibilitas di kawasan TNBBS Waktu Tempuh (jam) ±9
± 406
Kendaraan Roda Empat Kendaraan Roda empat Kendaraan Roda Empat
±7
± 278
±3
± 180
±8
± 270
Kapal Motor Peasawat Udara
±4 ± 0.5
-
Rute
Transportasi
Bandar Lampung – Kotaagung – Sanggi – Bengkunat – Krui – Punggung Tampak – Menula – Merpas – Bintuhan – Muara Saung – Ulak Bandung Bandar Lampung – Kota Bumi – Bukit Kemuning – Liwa – Krui Bengkulu – Mana’ – Bintuhan – Merpas
Kendaraan Roda Empat
Kotaagung - Banding - Suoh – Sukabumi – Liwa Simpang Sender – Ranau – Banding Agung – Pulau Beringin – Ujan Mas Kota Agung – Tampang Bandara Branti (Provinsi Lampung) – Belimbing Sumber : BTNBBS (2005)
Jarak (km)
Tabel 10 Jalan tembus di kawasan TNBBS No Rute 1 Sanggi – Bengkunat 2 Liwa – Krui 3 Pugung Tampak – Menula 4 Suoh – Sukabumi Sumber : BTNBBS (2005b)
Jarak (km) ± 11,5 ± 15 ± 14 ±8
b. Topografi Kawasan TNBBS terletak di bagian ujung selatan dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan, terdiri dari daerah dataran rendah (0-600 m dpl) dan berbukit (6001.000 m dpl), terletak dibagian selatan taman nasional, serta daerah pegunungan (1.000-2.000 m dpl) terletak di bagian tengah dan utara taman nasional. Di bagian utara taman nasional terdapat gunung/bukit dengan ketinggian melebihi 1.500 m dpl yaitu: G. Pandan (1.832 m), G. Pulung (1.964 m), Bukit Gendang (1.627 m), sedangkan di bagian tengah terdapat G. Sekincau (1.783 m), dan lainnya dibawah 1.500 m dpl yakni Gunung Liu (1.265 m), G. Sipulang (1.315 m), Bukit Panetoh (1.151 m), dan G. Bawang Ucung (1.041 m). Bagian selatan taman nasional bertopografi relatif landai dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl. Keadaan lapangan di bagian utara taman nasional relatif berbukit sampai bergunung dengan kemiringan bervariasi antara 20% sampai dengan 45%, sedangkan di bagian
36
selatan pada umumnya datar sampai bergelombang dengan kemiringan antara 3% sampai 5% (BTNBBS 2005b). c.
Geologi Berdasarkan Peta Geologi Sumatera yang disusun oleh Lembaga Penelitian
Tanah (1965), TNBBS terdiri dari batuan endapan seperti miosin bawah, neogen, paleosik tua, aluvium; batuan vulkanik seperti recent, kuatener tua, andesit tua, basa intermediet; dan batuan plutonik seperti batuan asam. Batuan vulkanik merupakan batuan yang paling luas dijumpai di bagian tengah dan utara taman nasional (BTNBBS 2005b). d. Tanah Berdasarkan Soil Survai Staff USDA (1975) yang merupakan data digital TNBBS, ordo tanah di kawasan TNBBS digambarkan pada Gambar 7. Penentuan ordo tanah diperoleh dari Tabel ordo, sub-ordo, dan grup besar taksonomi tanah. Berdasarkan peta tanah yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor (1976) dalam BTNBBS (1999) di kawasan TNBBS terdapat enam jenis tanah, dimana jenis tanah yang paling luas penyebarannya adalah podsolik merah kuning. Tanah podsolik merah kuning merupakan jenis tanah yang keasamannya tinggi, kandungan unsur haranya rendah dan peka terhadap erosi. Jenis tanah dan sebarannya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Jenis tanah dan penyebarannya di kawasan TNBBS No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Tanah Aluvial Rensina Latosol Podsolik Merah Kuning Andosol Andosol
Sumber : BTNBBS (1999)
Penyebaran Sebelah Barat Sekincau Belimbing-Tanjung Cina Bagian Utara-Tengah TNBBS Bagian Selatan-Tengah TNBBS Sekincau dan Peg. Sebelah Utara Danau Ranau Bag. Utara Taman Nasional sekitar Gunung Pandan
37
Gambar 7
Peta ordo tanah di TNBBS wilayah Lampung
38
e.
Iklim Menurut Oldeman, Irsal Las dan Darwis (1979) dalam BTNBBS (1999),
akibat pengaruh Bukit Barisan maka TNBBS memiliki 2 (dua) zona iklim yaitu : 1.
Zona A (bulan basah lebih dari 9 bulan), terdapat di bagian barat TNBBS.
2.
Zona B ( bulan basah 7-9 bulan), terdapat di bagian timur TNBBS. Bagian barat taman nasional memiliki curah hujan 3.000-3.500 mm/tahun
dan bagian timur taman nasional memilki curah hujan 2.500-3.000 mm/tahun BTNBBS (1999). f.
Hidrologi Kawasan TNBBS merupakan daerah hulu dari 23 sungai besar dan
merupakan daerah tangkapan air (water catchment area), sehingga memiliki nilai dan peranan sangat penting dalam melindungi sistem tata air (Hidroorologi). Sungai-sungai yang mengalir di bagian utara taman nasional antara lain Air Nasal Kiri, Air Nasal Kanan, Air Sambat, Way Menula, Way Lemong, Way Melesom, Way Laai, Way Krui, Sungai yang mengalir di bagian tengah taman nasional yaitu Way Tenumbang, Way Biha, Way Marang, Way Ngambur, Way Tembulih, Way Ngaras, Way Pemerihan, Way Bambang, Way Semong, dan Way Semangka. Sedangkan sungai-sungai yang mengalir di bagian selatan taman nasional antara lain Way Canguk, Way Sanga, Way Menanga Kiri, Way Menanga Kanan, Way Paya,
Way
Kejadian,
Way
Sulaiman,
way
Blambangan,
dan
Way
Belimbing(BTNBBS 1999; 2005b). Di bagian ujung selatan taman nasional terdapat danau yang letaknya berbatasan langsung dengan pantai yaitu Danau Menjukut. Sementara di dataran tinggi Suoh terdapat 4 (empat) danau yaitu Danau Besar, D. Lebar, D. Belibis dan D. Minyak. Bagian tenggara, selatan, dan barat taman nasional dibatasi oleh Samudera Indonesia yang juga merupakan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan (BTNBBS 1999; 2005b). g.
Ekosistem Taman Nasional Bukit Barisan Selatan mempunyai tipe ekosistem yang
lengkap dari mulai ekosistem hutan pantai sampai dengan ekosistem hutan hujan. Tipe-tipe ekosistem penyusun kawasan TNBBS disajikan pada Tabel 12.
39
Tabel 12 Tipe-tipe ekosistem di kawasan TNBBS Tipe Ekosistem Hutan Pantai
No. 1.
3.568
Ketinggian (M dpl) 0-2
Luas (ha)
%
Famili/Jenis Vegetasi Dominan
0,9
Teminalia cattapa, Baringtonia asiatica, Callophyllum inophyllum, Hibiscus sp., Casuarina sp., Pandanus sp., Ficus septic Pohon : Dipterocarpus kunstleni, Shorea laevis, Hopea sp. Tumbuhan bawah : Urophyllum sp., Phrynium sp., Khortalsia sp., Calamus sp. Pohon : Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Annaonaceae Tumbuhan bawah : Neolitsia cassianeforia, Psychottria rhinocerotes, Areca sp., Globba pendella Pohon : Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae Jenis pohon : Magnolia sp., Quercus sp., Garcinia sp. Tumbuhan bawah : Ammomum sp., Calamus sp. Pohon : Lauraceae, Fagaceae Jenis pohon : Eugenia sp., Castanopsis sp. Tumbuhan bawah : Nepenthes sp. -
2.
Hutan hujan dataran rendah
160.560
2-500
42,4
3.
Hutan bukit
121.312
500-1000
32,0
4.
Hutan hujan pegunungan bawah
60.655
1000-1500
16,0
5.
Hutan hujan pegunungan tinggi
10.704
> 1500
2,8
6.
CAL
21.600
-
5,7
hujan
Sumber : BTNBBS (1999)
h. Flora Berdasarkan RPTN tahun 1999 – 2024, TNBBS dijumpai paling sedikit 514 jenis pohon, tumbuhan bawah sekitar 98 jenis dari famili antara lain Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Fagaceae, Annonaceae, Rosaceae, Zingiberaceae dan lain-lain serta 126 jenis anggrek, 26 jenis rotan, 24 jenis liana dan 15 jenis bambu yang hidup di kawasan TNBBS. Kawasan TNBBS merupakan habitat bagi jenis-jenis tumbuhan berbunga unik, langka dan masih ada dalam proses evolusi yaitu bunga Rafflesia (Rafflesia sp.) dan 2 buah jenis bunga bangkai
masing-masing
Amorphophallus
titanum
dan
Amorphophallus
deculsivae. Tanaman obat telah teridentifikasi sebanyak 124 jenis yang tersebar di kawasan TNBBS (BTNBBS 1999). Vegetasi yang dijumpai di hutan pantai adalah Terminalia cattapa, Hibiscus sp., Baringtonia asiatica, Callophyllum inophyllum, Casuarina sp., Pandanus sp., Ficus septica. Hutan dataran rendah didominansi oleh Shorea sp., Dipterocarpus
40
sp., dan Hopea sp. dengan jenis tumbuhan bawah diantaranya Urophyllum sp., Phrynium sp, Korthalsi sp, Calamus sp. Famili pohon yang dominan pada hutan hujan bukit adalah Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae dan Annonaceae. Kawasan TNBBS juga merupakan habitat penting dari Damar Mata Kucing (Shorea javanica), Damar Batu (Shorea ovalis) dan Jelutung (Dyera sp.) (BTNBBS 1999). i.
Fauna Berdasarkan RPTN tahun 1999 – 2024, TNBBS dijumpai 122 jenis mamalia
termasuk 7 jenis primata, 450 jenis burung termasuk 9 jenis burung rangkong, 91 jenis herpetofauna (reptil dan amphibi) serta 53 jenis ikan hidup di kawasan TNBBS. Terdapat 6 jenis binatang mamalia yang terancam menurut Red Data Book IUCN masing-masing Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus), Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), Tapir (Tapirus indicus), Beruang Madu (Helarctos malayanus) dan Ajag (Cuon alpinus). Berdasarkan RPTN tahun 1999 – 2024, penetapan kawasan TNBBS diantaranya bertujuan konservasi satwa Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus), Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), Tapir (Tapirus indicus) dan Ajag (Cuon alpinus). j.
Keadaan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Jumlah penduduk di sekitar kawasan TNBBS yang meliputi 23 kecamatan
berkisar 658.053 jiwa, kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus yaitu 186 jiwa/km2 dan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Batu Brak Kabupaten Lampung Barat yaitu 32 jiwa/km2. Mata pencaharian penduduk mayoritas adalah tani (BBTNBBS 2009a). Masyarakat Lampung mengikuti pola patrilinial yang dalam kehidupan sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut : 1.
Pi’il pasengiri maksudnya menghormati kemandirian dan reputasi seseorang atau kelompok orang.
2.
Sakai Sembayan maksudnya meliputi kegiatan saling tolong menolong, gotong royong, kerjasama dengan orang lain dan mau menerima ide orang lain dalam musyawarah.
41
3.
Nemu Nyimah maksudnya ramah dan suka menolong orang lain termasuk pendatang.
4.
Bejuluk Beadek maksudnya penghargaan yang diberikan oleh masyarakat melalui prosesi tradisi (BAPPEDA 2009).
k. Pengunjung Dalam lima tahun terakhir (2003-2008) tercatat sebanyak 2618 orang pengunjung datang ke TNBBS baik dengan tujuan penelitian, rekreasi, pendidikan, dan sebagainya. Daerah Tampang-Belimbing saat ini dikelola oleh perusahaan pariwisata alam PT Adhiniaga Kreasi Nusa, namun akses lokasi ini sulit tidak seperti lokasi Kubu Perahu dan Sukaraja yang merupakan dua lokasi wisata alam yang memiliki akses yang mudah. l.
Pemanfaatan Kawasan Sesuai dengan UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, TNBBS mempunyai manfaat penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya pariwisata dan rekreasi. 1. Penunjang Budidaya (Sumber Plasma Nutfah) Seperti telah disebutkan di atas, kawasan TNBBS memiliki keanekaragaman jenis flora maupun fauna yang cukup tinggi. Keanekaragaman flora/fauna tersebut dapat dimanfaatkan untuk menujang budidaya melalui kegiatan penangkaran. Namun demikian, kegiatan yang dilakukan harus tetap menjaga kelestariannya sehingga pemanfaatan dapat dilakukan secara terus menerus pada masa mendatang. Pembangunan demplot tanaman obat di daerah Sukaraja Atas serta Demplot Anggrek dan Demplot Gaharu di Daerah Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu serta Inokulasi Gaharu di lahan masyarakat merupakan beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam pengembangan plasma nutfah. Selain itu, dalam rangka mengembangkan plasma nutfah satwa liar di TNBBS upaya yang telah dilakukan mendukung pengembangbiakan Badak Sumatra, 1 ekor badak betina telah dikirimkan ke Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) pada akhir tahun 2005. 2. Penelitian/Ilmu Pengetahuan/Pendidikan Keanekaragaman jenis flora maupun fauna di kawasan TNBBS serta faktorfaktor abiotik pendukung kehidupan flora dan fauna merupakan obyek-obyek
42
yang menarik untuk kegiatan penelitian. Hingga saat ini, telah banyak penelitian yang dilakukan baik untuk menggali potensi flora, fauna maupun faktor abiotiknya. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak seperti Balai Besar TNBBS, LSM, maupun Universitas menghasilkan data yang terekam dalam database TNBBS. Namun demikian, sebenarnya masih banyak kegiatan penelitian yang dapat dilakukan di kawasan TNBBS, hal ini dikarenakan masih banyak data-data potensi yang belum tergali diantaranya data populasi satwasatwa yang terancam punah seperti Tapir, Harimau Sumatera, Beruang dan lain sebagainya. 3. Penyangga Kehidupan (fungsi hidrologis) Sungai-sungai yang memrupakan jasa ekologis dari keberadaan TNBBS, secara tradisional sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Lampung, terutama warga Lampung Barat dan Tanggamus. Berkembangnya sektor pertanian dan perikanan masyarakat, tak bisa dilepaskan dari peran sentral TNBBS. Dalam banyak kasus, merosotnya produktivitas pertanian suatu daerah selalu berkorelasi positif dengan menurunnya debit air-air sungai. Dan, berkurangnya kapasitas air sungai itu selalu akibat rusaknya hutan yang menjadi catchment area. 4. Pariwisata/Rekreasi Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan memiliki keanekaragaman jenis hayati (biodiversity) yang sangat tinggi baik flora maupun fauna. Potensi flora TNBBS meliputi 514 jenis pohon dan tumbuhan bawah, 26 jenis rotan, 15 jenis bambu serta 126 jenis anggrek termasuk 2 jenis tumbuhan langka yaitu bunga bangkai
(Amorphophallus sp) serta bunga rafflesia (Rafflesia sp).
Berdasarkan hasil identifikasi, sebanyak 137 jenis tumbuhan di TNBBS dapat digunakan sebagai tanaman obat. Sementara itu, potensi fauna yang teridentifikasi sebanyak 90 jenis mamalia, 322 jenis burung, 51 jenis ikan dan 52 jenis herpetofauna.
Selain kekayaan flora dan fauna kawasan ini juga memiliki
keindahan alam yang sangat menarik, karena terdapat : 4 buah danau, 4 buah air terjun, 7 buah gua alam, 23 buah DAS dan lain-lain yang potensial dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata (BTNBBS 2005b). Obyek daya tarik utama TNBBS adalah satwa liar dan selanjutnya keindahan alam termasuk air terjun, sumber air panas dan pemandangan indah. Beragam
43
obyek wisata terdapat di kawasan TNBBS, TNBBS terdapat lokasi-lokasi yang potensial sebagai lokasi tujuan wisata yakni daerah Sukaraja Atas, Muara Canguk - Pemerihan, Kubu Perahu, Suoh, Kramat Menula dan Tampang-Belimbing (BTNBBS 1999). Berdasarkan Masterplan Pengembangan Obyek Wisata Alam di Kawasan TNBBS, wilayah ODTWA Sukaraja Atas dan Kubu Perahu sebagai prioritas tahap awal pengembangan wisata alam di TNBBS (BBTNBBS 2009b). 4.1.2 Sukaraja Atas dan Kubu Perahu Sukaraja Atas terletak di bagian selatan-tengah kawasan TNBBS, dapat ditempuh dengan rute Bandar Lampung - Kotaagung - Wonosobo - Sukaraja Atas sepanjang ± 129 Km (BTNBBS 2007). Secara geografis pintu masuk kawasan Sukaraja Atas terletak pada koordinat 5031’ 13,96” Lintang Selatan dan 104027’ 14,40” Bujur Timur. Bumi perkemahan terletak sekitar 1,8 km dari pintu gerbang, pada koordinat 50 31’ 48,52” Lintang Selatan dan 1040 27’ 38,82” Bujur Timur. Kawasan pengembangan wisata Sukaraja Atas adalah kawasan yang direncanakan sebagai salah satu obyek wisata TNBBS, Sukaraja Atas berbatasan langsung dengan masyarakat. Sukaraja Atas berbatasan langsung dengan Kecamatan Semaka. Sukaraja Atas secara langsung berbatasan dengan 2 (dua) desa (lebih dikenal dengan istilah pekon) terdekat yaitu Pekon Sukaraja dan Pekon Sedayu (Gambar 8). Kedua pekon ini merupakan “pintu masuk” menuju obyek dan daya tarik wisata (ODTWA) Sukaraja Atas. Luas Pekon Sukaraja adalah 723 hektar sedangkan Pekon Sedayu mempunyai luas 2.023 hektar. Dusun Wonorejo, Wonosari dan Sumberejo berbatasan langsung dengan Sukaraja Atas. Masyarakat Dusun Wonorejo terletak berdekatan dengan lokasi bumi perkemahan. Jalan menuju Dusun Wonorejo melalui pintu gerbang Sukaraja Atas dan merupakan batas kawasan dengan dusun tersebut. Akses jalan menuju Sukaraja Atas, dari Kotaagung, Ibukota Tanggamus dan lokasi kantor Balai Besar TNBBS, dihubungkan dengan jalan negara dan jalan provinsi dari Wonosobo sampai Sukaraja (BAPPEDA 2005). Jalan menuju Krui ini memotong kawasan TNBBS sepanjang ± 11,5 km.
Akses jalan dari
Wonosobo menuju Sukaraja melalui tebing-tebing tinggi yang gundul. Tipe tanah di sekitar jalan ini sama dengan lokasi Sukaraja yakni tanah podsolik yang
44
tergolong tanah peka. Sehingga jalan kawasan ini rawan bencana longsor meskipun curah hujan daerah ini tergolong rendah.
Gambar 8
Peta desa sekitar kawasan Sukaraja Atas
Luas wilayah ODTWA Sukaraja Atas adalah seluas 679,2 hektar (BBTNBBS 2009b). Luasan tersebut membatasi pengembangan sarana wisata alam, sedangkan usaha jasa wisata alam dapat dilakukan juga pada zona rimba.
45
Sarana angkutan yang ada dari Kotaagung ke desa Sukaraja dapat ditempuh dengan kendaraan umum berupa bus jurusan Krui dan Liwa Lampung Barat, dengan frekuensi pemberangkatan tergolong jarang. Berdasar informasi petugas lapang dan para pihak, hal transportasi tersebut yang menjadi keluhan bagi pengunjung terutama turis mancanegara. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus Tahun 2005 – 2015, di Kecamatan Wonosobo akan di bangun subterminal (BAPPEDA 2005). Kecamatan Wonosobo adalah kecamatan terdekat dengan Sukaraja dan dilintasi jalan yang menghubungkan antara Kotaagung dan Sukaraja. Pada saat penelitian, di area pintu gerbang dibangun gedung Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Semaka berukuran 300 m2 dengan arsitektur modern. Memasuki pintu gerbang dengan akses jalan tanah ke dusun Wonorejo telah dibangun bumi perkemahan. Akses jalan menuju bumi perkemahan dapat ditempuh dengan sepeda motor, sepeda gunung dan mobil terkecuali pada musim hujan lebih tepat dengan kendaraan anti selip. Jalan sekitar kawasan Sukaraja Atas dan bumi perkemahan digambarkan pada Gambar 9. Lokasi bumi perkemahan luasnya sekitar 0,363 Ha dengan satu bangunan yang layak digunakan, sumber air terdapat 3 titik dan terjangkau yakni dengan jarak sekitar 100 meter. Ketiga sumber air ini juga digunakan oleh sebagian masyarakat sekitar. Bangunan ditempati dan dijaga oleh masyarakat sekitar. Namun area perkemahan dalam kondisi tidak terawat, semak tumbuh liar. Sarana pemondokan yang saat ini disekitar kawasan antara lain camp rhino yang berkapasitas 2 orang, berkemah di bumi perkemahan, atau tinggal bersama masyarakat (home stay). Sarana pemondokan Camp Rhino yang berkapasitas 2 orang dengan arsitektur bangunan alami dan mengikuti bentang alam. Camp Rhino juga dilengkapi sebuah gazebo kecil untuk tempat berdiskusi dan bersantai. Masyarakat mempunyai semangat dan terbuka terhadap aspek wisata untuk menyediakan home stay namun pemahaman terhadap home stay masih kurang, karena meskipun home stay dikelola alami sesuai kondisi masyarakat tetapi kebutuhan dasar pengunjung seperti layanan MCK dan air bersih tetap harus disediakan.
46
Gambar 9
Peta jalan dan fasilitas penunjang wisata alam di Sukaraja Atas
47
Sukaraja Atas dapat juga dijangkau dengan menginap di penginapan yang ada di Kotaagung. Kotaagung terdapat 1 penginapan melati I yang memiliki 10 kamar, dan dapat ditempuh hanya dalam waktu 45 – 60 menit sampai kawasan Sukaraja Atas. Gisting, sebuah kota yang sejuk, juga telah tersedia 4 (empat) hotel kelas melati I dan untuk mencapai Sukaraja Atas dapat ditempuh cukup dengan waktu ±90 menit. Masyarakat secara tidak langsung sudah membuat jalan setapak, yaitu jalan yang biasa masyarakat gunakan untuk memasuki kawasan Sukaraja Atas, diantaranya untuk menuju air terjun yang merupakan salah satu tempat hiburan bagi masyarakat sekitar dan sekolah-sekolah yang berkemah di Sukaraja Atas. Air terjun diapit oleh 2 (dua) bukit, dan posisi air terjun menghadap selatan sehingga akses sulit melalui arah utara. Masyarakat menuju air terjun melalui arah timur dan memotong bukit. Layanan interpretasi masih terbatas, biasanya secara mendadak dilakukan oleh kader koservasi, mitra dan atau penduduk sekitar, dan belum terorganisir. Antusias masyarakat untuk memandu wisatawan sangat tinggi namun belum didukung dengan kemampuan kepemanduan yang cukup. Para mitra yang memiliki pemahaman kawasan cukup terutama mengenai keberadaan satwa berpeluang untuk bekerjasama dalam pengembangan interpretasi wisata alam. Terbentuknya Pekon Sukaraja berawal dari adanya transmigrasi kolonialisasi Belanda pada tahun 1937, yang diberangkatkan dari Ponorogo. Sebagian diarahkan ke Way Sukaraja. Pada tahun 1941 dipilih seorang Kepala Kampung dan daerah ini disebut Desa Sukaraja. Jumlah penduduk Pekon Sukaraja adalah 715 KK, dengan jumlah penduduk 3.431 jiwa yang terdiri dari laki-laki 1.572 orang dan perempuan 1.859 orang (Pemerintah Pekon Sukaraja 2008). Penduduk Pekon Sukaraja sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Sebagian lagi mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang, pegawai, wiraswasta dan buruh. Keberadaan bumi perkemahan juga dapat menambah penghasilkan masyarakat sekitarnya yang berpeluang untuk berjualan, namun sejak tahun 2008 sampai saat ini tidak kegiatan perkemahan. Masyarakat sangat menghargai orang pendatang yang berkunjung untuk berkemah dan berwisata, hal tersebut didukung
48
juga pemahaman masyarakat tentang kawasan Sukaraja Atas terutama air terjun, lokasi satwa-satwa besar gajah, harimau, tapir, rusa dan babi. Antusias masyarakat untuk memandu wisatawan sangat tinggi namun belum didukung dengan kemampuan kepemanduan yang cukup dan pengetahuan umum tentang obyek. Suku Jawa mendominansi hampir seluruh dusun sehingga adat istiadat yang dikuti adalah budaya Jawa. Adat istiadat yang masih dijalankan oleh masyarakat Pekon Sukaraja diantaranya ritual Bersih Desa, Suronan. Sedangkan kesenian tradisional yang masih ada Sukaraja diantaranya Kuda Kepang, Jonang Joneng (Shalawatan), Reog Ponorogo, Wayang Kulit, Ketoprak dan Campur Sari. Kubu Perahu terletak di bagian tengah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dapat ditempuh dengan rute Bandar Lampung - Kotaagung - krui – Kubu Perahu. Secara geografis pintu masuk kawasan Kubu Perahu TNBBS terletak pada koordinat 50 4’15,78” Lintang Selatan dan 1040 3’6,65” Bujur Timur. Letak Kubu Perahu terkait dengan desa sekitar diiustrasikan pada Gambar 10. Berdasarkan Masterplan Pengembangan Obyek Wisata Alam Kawasan TNBBS tahun 2009 luas wilayah ODWTA Kubu Perahu sub-ODTWA Way Sepapa 279,73 hektar dan sub-ODTWA Way Asahan 40,08 hektar dan secara keseluruhan ODTWA Kubu Perahu seluas 1.145,9 hektar. Kubu Perahu mempunyai letak yang strategis berdekatan dengan kota Liwa, ibukota Kabupaten Lampung Barat. Jarak dari Kota Liwa ± 5 km dengan waktu tempuh ± 10 menit. Oleh karena itu Kubu Perahu mudah diakses dari kota Liwa. Obyek dan daya tarik wisata Kubu Perahu secara administrasi berada di wilayah Kabupaten Lampung Barat. Masyarakat sekitar kawasan ini adalah masyarakat Pekon (desa) Kubu Perahu. Pekon Kubu Perahu dengan luas 3.942 hektar merupakan bagian dari Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, terbagi menjadi empat dusun yaitu Dusun Kubu Perahu, Dusun Kampung Baru, Dusun Taman Jaya dan Dusun Taman Indah. Desa Kubu Perahu merupakan desa pemekaran dari desa induk yakni desa pasar Liwa Negeri Skala Brak atas dasar wewenang pemerintah kecamatan Balik Bukit pada bulan Mei 1973 (BBTNBBS 2009b).
49
Gambar 10
Peta desa sekitar kawasan Kubu Perahu
Sarana jalan yang menghubungkan Liwa dengan Kubu Perahu merupakan jalan raya yang menghubungkan Liwa dan Krui. Jalan ini memotong kawasan TNBBS, tidak rawan longsong karena topografi jalan yang dilalui cukup landai dan didukung tutupan vegetasi meskipun jenis tanah termasuk jenis tanah podsolik merah kuning yang peka terhadap erosi.
50
Sarana angkutan yang melalui Kubu Perahu antara lain angkutan desa jenis mobil kecil dan angkutan umum jenis bus jurusan Krui dan/atau Kotaagung. Dukungan akses ini memberikan potensi yang kuat terhadap kegiatan wisata di Kubu Perahu. Dukungan akomodasi penginapan juga penting bagi pengunjung yang berasal dari luar daerah maupun mancanegara. Sarana penginapan di kawasan Kubu Perahu yang ada saat ini yang dapat digunakan adalah bumi perkemahan bagi pengunjung yang menyukai berkemah atau bagi wisatawan petualang, dapat juga memanfaatkan camp resort Balik Bukit yang memiliki 2 kamar tidur. Pengunjung juga dapat menginap di Liwa. Berdasarkan data statistik Kabupaten Lampung Barat tahun 2008, Liwa terdapat 6 hotel/penginapan dengan kapasitas 109 kamar, yang didukung jarak dan kemudahan akses, namun hal ini tidak memberikan ketertarikan bagi wisatawan minat khusus/ekowisatawan yang menginginkan akomodasi yang berdekatan dengan obyek dan bersifat alami. Fasilitas layanan pengunjung untuk memasuki kawasan telah tersedia di pintu gerbang Kubu Perahu dengan dibangunnya pos loket, kantor resort Balik Bukit, dan papan informasi. Pos loket tertata dengan rapi dan selalu dijaga petugas. Papan informasi yang telah ada antara lain papan petunjuk lokasi, papan skema jalan setapak, papan aturan berkunjung dan beberapa papan interpretasi seperti papan nama jenis pohon yang ada disekitar pintu gerbang. Namun belum memberikan infomasi yang cukup dan mempertimbangkan faktor perbedaan kemampuan berjalan pengunjung. Bumi perkemahan berjarak ±60 meter dan dihubungkan dengan jalan beton. Bumi perkemahan seluas 0,59 hektar dengan hamparan yang ditumbuhi rumput, dilengkapi dengan sebuah gazebo dan shelter. Sumber air telah dikelola dengan memanfaatkan air tanah (sumur). Fasilitas jalan setapak di lokasi ini telah tersedia dengan berbagai tujuan pengamatan. Awal jalan setapak menyeberangi Sungai selebar 23 meter dan sudah disediakan jembatan bambu. Jalan setapak juga diperkeras dengan batu dengan lebar 80 cm, namun pada tanah miring belum dibentuk tangga untuk mempermudah menapakkan kaki. Fasilitas menara pengamat juga tersedia sekitar 150 meter dari sungai, dengan kondisi rusak pada papan lantai. Keanekaragaman anggrek dalam kawasan Kubu Perahu juga dikelola dalam sebuah demplot
51
anggrek dengan koleksi sekitar 130 jenis, dengan kondisi yang terkelola dengan baik. Pertengahan jalan setapak antara demplot anggrek dan air terjun telah dibangun shelter kayu dengan kondisi yang mulai rapuh. Peta aksesibilitas jalan dan sarana wisata yang telah ada disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11
Peta jalan dan fasilitas penunjang wisata di kawasan Kubu Perahu
Jalan menuju air terjun sungai Way Asahan kiri belum dibangun. Lokasi air terjun sungai Way Asahan Kiri dekat dengan daerah enclave berupa sawah, kolam ikan dan tambang batu. Air terjun dapat dijangkau melalui daerah enclave ini dan
52
dapat juga ditempuh melalui Patok TN 25 yang berada 400 meter dari enclave ke arah Liwa. Untuk mencapai air terjun sungai Way Asahan Kiri memerlukan waktu 30 – 45 menit, lebih singkat dibanding seluruh jalan yang menuju air terjun Sepapa dengan waktu tempuh 2 jam untuk mencapai air terjun sungai Way Sepapa kiri. Layanan interpretasi mandiri masih terbatas, beberapa papan nama jenis pohon di pintu gerbang dan kanan kiri jalan sampai dengan beberapa titik setelah demplot anggrek. Kepemanduan banyak dibantu oleh Kader konservasi yang memiliki pemahaman terhadap jalan setapak, keberadaan fauna, pengenalan jenis jejak satwa, pengenalan beberapa jenis pohon dan flora lainnya. Pengenalan terhadap berbagai jenis anggrek lebih menonjol namun masih perlu pendalaman dalam pengenalan dan nama jenis ilmiah. Salah satu kader konservasi mempunyai kemampuan memanggil burung ground cuckoo (Carpococcyx viridis) dengan nada siulan tertentu. Sejarah keberadaan enclave Kubu Perahu dimulai pada tahun 1917 saat datangnya para pekerja yang berasal dari Banten dan Bogor untuk proyek pembuatan jalan setapak yang melintasi kawasan hutan yang menghubungkan daerah Liwa dan Krui. Saat itu kawasan hutan ini masih dikuasai oleh seorang kepala negeri yang berkedudukan di Balik Bukit Liwa. Sekitar tahun 1929, kegiatan pembuatan jalan tersebut dilanjutkan untuk memperlebar jalan setapak yang sudah ada sehingga jalan tersebut dapat dilalui oleh gerobak. Pada saat mengerjakan jalan tersebut para pekerja membuat tempat peristirahatan berbentuk gubuk (kubu) yang atapnya menyerupai perahu, maka disitulah terbentuknya istilah nama Kubu Perahu. Pada tahun 1935 oleh pemerintahan Kolonial Belanda, daerah Kubu Perahu ditetapkan menjadi Enclave Kubu Perahu berdasarkan pada Besluit van den Gouvernour-Generaal van Nederlandsch-Indie van no. 46 tahun 1935 tanggal 24 Desember 1935 dengan luas sekitar 100 hektar. Desa atau pekon yang terdekat dan bahkan enclave dengan kawasan di Resort Balik Bukit dengan luas 3942 hektar, terbagi menjadi empat dusun yaitu Dusun Kubu Perahu, Dusun Kampung Baru, Dusun Taman Jaya dan Dusun Taman Indah. Desa Kubu Perahu merupakan desa pemekaran dari desa induk yakni Desa
53
Pasar Liwa Negeri Skala Brak atas dasar wewenang pemerintah kecamatan Balik Bukit pada bulan Mei 1973. Di Pekon Kubu Perahu terdapat kantung pemukiman (enclave) Kubu Perahu seluas 100 hektar. Enclave Kubu Perahu berada dalam kawasan konservasi/taman nasional namun bukan merupakan bagian dari wilayah taman nasional. Keberadaan enclave itu sendiri telah diakui dan dilindungi secara hukum oleh pemerintah. Secara administratif, Enclave Kubu Perahu merupakan wilayah administrasi Pekon (Desa) Kubu Perahu Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung (BBTNBBS 2009b). 4.2 Tahapan Perencanaan 4.2.1
Sukaraja Atas
4.2.1.1 Pemeringkatan dan Pembobotan Unsur Kriteria Data meliputi kriteria sumberdaya utama dan kriteria penunjang. Kriteria utama sumberdaya biofisik dibagi menjadi unsur kepekaan habitat, kepekaan kemiringan lereng, kepekaan jenis tanah dan kepekaan terhadap curah hujan berdasarkan kemungkinan pengembangan yang mengacu pada konservasi dan unsur kriteria potensi daya tarik fenomena alam, flora dan fauna serta unsur potensi aksesibilitas berdasarkan kemungkinan pengembangan yang mengacu pada nilai rekreasi. Masing-masing unsur kriteria kepekaan habitat, kepekaan kemiringan lereng, kepekaan jenis tanah dan kepekaan terhadap curah hujan diberikan peringkat berdasar kemungkinan pengembangan yang mengacu pada konservasi, yaitu 4 (tidak peka), 3 (agak peka), 2 (peka), dan 1 (sangat peka). Sedangkan unsur kriteria potensi daya tarik fenomena alam, potensi daya tarik flora dan fauna serta unsur kriteria potensi kemudahan aksesibilitas diberi peringkat berdasar kemungkinan pengembangan yang mengacu pada nilai rekreasi, yaitu 4 (tinggi), 3 ( cukup), 2 (rendah), dan 1 (sangat rendah). Masing-masing diberikan bobot yang berbeda karena masing-masing memiliki kepentingan dan dampak yang berbeda dalam kegiatan wisata alam. Jumlah pembobot total 100, dengan pemberian bobot berdasarkan hasil penelitian Gunn (1994). Pembobotan dan pemeringkatan secara rinci pada Tabel 6 dan 7.
54
a.
Kriteria sumberdaya biofisik
1.
Kepekaan habitat Kepekaan habitat penting menjadi pertimbangan ketika memasukkan
kehidupan liar khususnya satwa menjadi obyek wisata alam. Kondisi ekosistam kawasan yang rusak diasumsikan memiliki kelimpahan kehidupan liar yang lebih kecil dibanding kawasan berpenutupan hutan sekunder atau primer. Sukaraja Atas berada pada ketinggian 300 – 650 mdpl sehingga berdasar Tabel 12 maka termasuk dalam tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan bukit. Berdasarkan interpretasi Citra tahun 2008 Sukaraja Atas ditutupi oleh vegetasi hutan, sedangkan lahan terbuka terletak pada beberapa lokasi pinggir jalan. Sukaraja Atas didominansi oleh hutan primer. Berdasarkan keterangan petugas, mitra dan pengakuan masyarakat bahwa hutan primer di Sukaraja Atas pernah mengalami tekanan dari masyarakat sekitar dimana masyarakat menggambil getah dari meranti batu (Shorea ovalis) dan penebangan sekitar batas kawasan. Hal tersebut menyebabkan terganggunya gajah (Elephas maximus sumatranus) dan keluar hutan mengganggu tanaman pertanian masyarakat. Masyarakat juga merusak sisi pinggir kawasan yang ingin dijadikan kebun kopi. Dengan kerja keras TNBBS dengan bantuan pemerintah daerah dan para mitra melalui penyuluhan dan batuan moral/material untuk menyadarkan masyarakat, kegiatan perusakan tersebut berakhir sekitar tahun 2002. Sebagian kawasan yang telah terjadi kerusakan ditanami dengan sono keling (Dalbergia latifolia). Peta penutupan lahan dan pemeringkatan kepekaan habitat di Sukaraja Atas dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan asumsi spasial (Tabel 6), maka pemeringkatan kepekaan habitat disajikan pada Tabel 13. Pembobotan berdasarkan Gunn (1994) dalam pengembangan wisata alam di Carolina Selatan yang memberikan bobot 22 (dua puluh dua) untuk sumberdaya kehidupan liar (vegetasi bersama fauna). Tabel 13 Pemeringkatan kepekaan habitat di Sukaraja Atas No. 1 2 3 4
Bentuk Lahan Terbuka Hutan Sekunder Hutan Primer Hutan gambut Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 5,4 38,7 635,1 0,0 679,2
Persentase (%) 0,8 5,6 93,6 0,0 100,0
55
Gambar 12
Peta pemeringkatan kepekaan habitat di Sukaraja Atas
56
2.
Kepekaan kemiringan lereng Klasifikasi kemiringan lereng berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri
Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Kondisi kemiringan lereng Sukaraja Atas bervariasi dari kondisi datar (0 – 8%) sampai sangat curam (≥ 45%). Pemberian bobot berdasarkan Gunn (1994) dalam pengembangan wisata alam di Carolina Selatan, memberikan bobot 16 (enam belas) untuk unsur kriteria topografi. Kawasan Sukaraja Atas merupakan hutan berbukit dengan ketinggian terrendah (lembah) 300 mdpl dan bukit tertinggi 650 mdpl (Gambar 15). Sukaraja Atas terdapat 2 bukit dengan ketinggian 630 – 650 mdpl, sedangkan yang lain < 600 mdpl. Pertama, puncak bukit 650 mdpl terletak di sebelah barat air terjun. Kedua, lokasi dimana camp rhino berada yakni dengan ketinggian 640 mdpl. Pemeringkatan kemiringan lereng dalam penelitian ini pada Tabel 14 dan Gambar 14. Wilayah ODTWA Sukaraja Atas didominansi kemiringan lereng datar-landai, dan lereng sangat curam hanya 3,1% dan tersebar beberapa lokasi.
Gambar 13
Kondisi kemiringan lereng di sekitar air terjun
Tabel 14 Pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng di Sukaraja Atas No. 1 2 3 4
Kategori Datar - landai Agak curam Curam Sangat curam Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 240,0 229,5 190,8 18,9 679,2
Persentase (%) 35,3 33,6 28,3 2,8 100,0
57
Gambar 14
Peta pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng di Sukaraja Atas
58
Gambar 15
Peta kontur wilayah Sukaraja Atas dan sekitar
59
3.
Kepekaan jenis tanah Kawasan Sukaraja Atas berdasarkan Soil Survey Staff Soil Conservation
Service USDA (1975) termasuk dalam grup besar drytropepts, humitropepts, tropohumuls dan klasifikasi dalam ordo inseptisol-ultisol. Terkait dengan klasifikasi kepekaan yang digunakan maka penting disesuaikan dengan klasifikasi jenis tanah yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan tabel padanan klasifikasi tanah (Hardjowigeno 2003), ordo tanah inseptisol-ultisol berpadanan dengan jenis tanah podsolik. Sukaraja Atas merupakan terletak dibagian selatantengah kawasan TNBBS (Tabel 11), jenis tanah Sukaraja Atas memiliki jenis tanah podsolik merah kuning (BTNBBS 1999). Hal tersebut dibuktikan dengan survai verifikasi dari jalan tanah, pinggir sungai saat melintas jalan, bekas kubangan badak, bukaan tanah pada jalan yang berseresah tipis. Ketentuan kelas kepekaan jenis tanah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung seperti pada Tabel 4. Jenis tanah podsolik merah kuning merupakan jenis tanah yang peka atau rawan terhadap bahaya erosi, sehingga tebing yang terbuka akan sangat mudah sekali mengalami longsor. Wilayah ODTWA Sukaraja Atas seluas 679,18 ha termasuk dalam kategori peka dengan peringkat 2 (peka). Hal ini penting diperhatikan dalam pembangunan fasilitas wisata alam dan fasilitas lain. Pembobotan berdasarkan pembobotan yang digunakan Gunn (1994), memberikan bobot 8 (delapan). 4.
Kepekaan terhadap curah hujan Pendekatan curah hujan di Sukaraja Atas dan Kubu Perahu diperoleh dengan
data diproses interpolasi dengan ekstensi “Modelbuilder” ArcView 3.3 dengan model proses “point interpolation”. Proses interpolasi dengan acuan luas (extent) kawasan TNBBS. Data BMG tahun 1992 – 2001 curah hujan rata-rata perhari di stasiun Wonosobo sebesar 19,82 mm/hari dan stasiun Sri Kuncoro sebesar 19,09 mm/hari, Liwa sebesar 28,04 mm/hari, Gunung Cahyakuningan sebesar 26,4 mm/hari. Hasil interpolasi keempat titik adalah berupa grid yang dapat diproses menjadi kontur dengan interval sesuai dengan kebutuhan, dalam pengolahan ini kontur menggunakan interval 0,1 mm/hari. Peta kontur curah hujan hasil pengolahan tersaji pada Gambar 16.
60
Gambar 16
Peta kontur curah hujan Taman nasional Bukit Barisan Selatan (hasil pengolahan data sekunder BMG)
61
Berdasarkan peta kontur curah hujan hasil interpolasi, Sukaraja Atas memiliki curah hujan 20,2 – 21,2 mm/hari. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung, Sukaraja Atas mempunyai 2 kategori curah hujan (Tabel 15 dan Gambar 17). Pembobotan berdasarkan pembobotan yang digunakan Gunn (1994), memberikan bobot 8 (delapan).
Gambar 17
Peta pemeringkatan kepekaan terhadap curah hujan Sukaraja Atas
62
Tabel 15 Pemeringkatan kepekaan terhadap curah hujan di Sukaraja Atas No. 1 2 3 4
5.
Kategori Sangat rendah - rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 404,6 274,6 0,0 0,0 679,2
Persentase (%) 59,5 40,5 0,0 0,0 100,0
Potensi daya tarik fenomena alam Pertimbangan fenomena alam berdasarkan ADO-ODTWA PHKA (2003b)
meliputi keberadaan sumber air panas, air terjun, gua, sungai dan fenomena menarik lainnya. Penentuan area fenomena alam didasarkan pada poligon buffer sungai dan poligon punggungan bukit atau bukit. Area fenomena alam ditumpangtindihkan berdasar penutupan lahan. Pemberian peringkat 4 untuk poligon dengan fenomena alam lebih dari 2 fenomena alam, peringkat 3 untuk poligon yang memiliki 1 atau 2 fenomena alam. Kondisi lahan hutan diasumsikan memiliki fenomena alam rendah dan diberi peringkat 2, kawasan yang tanpa fenomena alam (lahan kosong) akan diberi peringkat 1. Sukaraja Atas terdapat 2 sungai yaitu Sungai Srengseng dan Sungai Pemerihan yang kemudian keduanya menyatu tidak jauh dari wilayah Sukaraja Atas. Namun keduanya mempunyai cirikhas yang berbeda, dasar Sungai Srengseng didominansi oleh fosil kayu berukuran bervariasi (Gambar 18 a dan b). Sedangkan Sungai Pemerihan sebelum pertemuan dengan Sungai Srengseng, banyak ditumbuhi oleh vegetasi pandan (Gambar 18 c). Fosil kayu jumlahnya yang melimpah, kondisi sungai Srengseng berair cukup jernih dan variasi pandang yang menarik memberikan tingkat daya tarik fenomena alam yang tinggi untuk pengembangan wisata alam. Sungai Pemerihan yang bervegetasi pandan dan air yang cukup jernih memberikan variasi pemandangan alam yang menarik, memberikan dukungan yang cukup bagi pengembangan wisata alam. Sungai Pemerihan mempunyai air terjun 1 lapis dan bertingkat dengan ketinggian air terjun ±30 meter. Basin air terjun berkisar 20 m2 dengan kedalaman 3 meter. Sisi barat air terjun terdapat gua kecil dengan kedalaman sekitar 10 meter, lebar mulut 5 meter dan menyempit kedalam (Gambar 18 d). Fenomena air terjun, basin yang luas dan menjadi tempat hidup ikan, serta variasi pandang
63
vegetasi pandan sehingga air terjun dan sekitarnya (sempadan 50 meter) mempunyai peringkat tinggi dalam pengembangan wisata alam. Peringkat fenomena alam yang cukup memberikan dukungan pada pengembangan wisata alam juga diatributkan pada lokasi punggungan dan puncak bukit yang potensial memberikan variasi pandang lokasi sekitar. Puncak bukit tertinggi di Sukaraja Atas adalah pada ketinggian 650 mdpl. Hal ini tentu menambah nilai daya tarik fenomena alam yang ada. Peta lokasi fenomena alam disajikan pada Gambar 19. Pemeringkatan kriteria potensi daya tarik fenomena alam disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 20. Gunn (1994) memberikan bobot 12 (dua belas) untuk atraksi, dalam penelitian ini menggunakan bobot 12 untuk atraksi fenomena alam.
a)
b)
c)
d)
Gambar 18
Fenomena alam sungai di Sukaraja Atas a) Sungai Srengseng b) Fosil Kayu c) Sungai Pemerihan d) Air terjun di Sungai Pemerihan
64
Gambar 19 Tabel 16 No. 1 2 3 4
Peta fenomena alam sebagai daya tarik wisata di Sukaraja Atas Pemeringkatan potensi daya tarik fenomena alam di Sukaraja Atas
Kategori Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 12,6 46,9 614,3 5,4 679,2
Persentase (%) 1,9 6,9 90,4 0,8 100,0
65
Gambar 20
Peta pemeringkatan fenomena alam sebagai daya tarik wisata di Sukaraja Atas
66
6.
Potensi daya tarik flora dan fauna Vegetasi yang mendominansi tipe hutan di Sukaraja Atas antara lain jenis-
jenis dari famili Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Annaonaceae. Sedangkan tumbuhan bawahnya antara lain jenis Neolitsia cassianeforia, Psychottria rhinocerotes, Areca sp., Globba pendella (BTNBBS 1999). Meranti batu (Shorea ovalis) merupakan salah satu jenis dari famili Dipterocarpaceae yang banyak dijumpai di Sukaraja Atas, jenis ini menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat sekitar hutan sampai tahun 2002 dengan mengambil getah damarnya. Jenis flora lain dari famili Dipterocarpaceae antara lain merawan (Hopea mangarawan), meranti pirang atau masyarakat menyebutnya meranti tembaga (Shorea leprosula). Jenis pandan (Pandanus sp.) mendominansi sungai Pemerihan sekitar air terjun ke arah hilir. Terap (Artocarpus elasticus) dan terentang (Campnosperma aurculata) yang dapat dijumpai di hutan sekunder selain tanaman sono keling. Hutan primer Sukaraja Atas menjadi tempat hidup spesies kunci (key species) (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus). Meskipun Sukaraja Atas merupakan perbukitan tetapi merupakan tempat hidup badak, dimana menurut Graves 1967 dalam Muntasib 2002 bahwa badak sumatera lebih adaptif dengan lingkungan pegunungan. Berdasarkan data TNBBS-mitra hasil survai badak tahun 2003 -2008, hutan primer Sukaraja Atas merupakan habitat badak (Dicerorhinus sumatrensis) yang dapat dijumpai sampai tahun 2006, sedangkan mulai 2007 - 2008 tidak lagi dijumpai satwa, jejak maupun kubangan aktif. Pada tahun 2008 dijumpai terdekat sejauh sekitar 3 km dari jalan raya lintas yang memotong kawasan. Menurut petugas TNBBS dan mitra, fenomena ini karena faktor pembuatan jalan dan aktifitas kendaraan di jalan potong kawasan yang mengganggu aktifitas badak. Kubangan tidak aktif dijumpai di titik 5,530 Lintang Selatan dan 104,440 Bujur Timur, dan berdasarkan pengamatan kubangan tersebut sudah digunakan oleh babi yang juga memiliki kebiasaan berkubang. Setelah berkubang badak seringkali menggosokkan badannya pada batang-batang pohon disepanjang jalur yang dilaluinya (Muntasib 2002), dan melihat batang-batang pohon disekitar kubangan sudah tidak terlihat bekas yang baru.
67
Badak adalah binatang berkuku ganjil (perrisodactyla), pada tahun 1758 Linnaeus telah memberi nama marga (genus) Rhinoceros. Secara taksonomi badak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Perissodactyla Famili : Rhinocerotidae Genus : Dicerorhinus Spesies : Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814 Dicerorhinus berasal dari bahasa Yunani yaitu Di berarti "dua" dan Cero berarti "cula" (berarti bercula dua), rhinus berarti "hidung", sumatrensis: merujuk pada Pulau Sumatera. (ditambah akhiran ensis menurut bahasa Latin, berarti lokasi). Berdasarkan penampilan bentuk tubuh dan morfologinya, badak Sumatera adalah sebagai berikut (Djuri 2009): 1.
Tinggi badak sumatera dewasa dari telapak kaki sampai bahu antara 120-135 cm, panjang dari mulut sampai pangkal ekor antara 240-270 cm
2.
Berat tubuhnya dapat mencapai 909 kg. Tubuhnya gemuk dan agak bulat, kulitnya licin dan berambut jarang, menarik perhatian dengan adanya dua lipatan kulit yang besar
3.
Lipatan pertama melingkari pada paha diantara kaki depan, dan lipatan kedua di atas abdomen dan bagian lateral
4.
Di atas tubuhnya tidak ada lipatan, jadi lipatan kulit tampak nyata dekat kaki belakang dan lipatan bagian depan dekat kedua culanya
5.
Cula bagian depan (anterior) di atas ujung dari moncongnya jauh lebih besar dari cula bagian belakang (pasterior)
6.
Badak sumatera merupakan badak terkecil dan jenis yang paling primitif dari kelima jenis badak yang masih hidup di dunia. Harimau
Sumatera
(Panthera
tigris
sumatrae)
saat
ini
semakin
mengkhawatirkan. Kehilangan habitat dan mangsa (Bovidae dan Cervidae) menyebabkan satwa yang hidup di pulau sumatera ini semakin terancam
68
keberadaannya. Pada tahun 1999 diperkirakan berkisar 400-500 ekor yang masih tersisa di alam. Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Carnivora Famili : Felidae Genus : Panthera Spesies : Panthera tigris sumatrae Harimau Sumatera, seperti halnya dengan jenis-jenis harimau lainnya, adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor harimau adalah : 1. Adanya habitat dengan kwalitas yang baik termasuk vegetasi cover sebagai tempat berteduh dan beristirahat agar bisa terlindung dari dari panas dan sebagai tempat untuk membesarkan anak serta berburu. 2. Terdapat sumber air, karena satwa ini hidupnya sangat tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang. 3. Tersedianya mangsa dalam jumlah yang cukup. Hewan yang menjadi mangsa harimau antara lain Rusa Sambar (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak), Kancil (Tragulus sp.), dan Babi hutan liar (Sus sp.). Kerbau liar (Bubalus bubalis), Tapir (Tapirus indicus), Kera (Macaca irus), Langur (Presbytis entellus),Landak (Hystrix brachyura),Trenggiling (Manis javanica), Beruang madu (Heralctos malayanus), jenis-jenis Reptilia seperti kurakura, ular, dan biawak, serta berbagai jenis burung, ikan, dan kodok dan jenisjenis satwa liar lainnya (Waldemar dalam Indotoplist 2009). Berdasarkan data hasil survai TNBBS-mitra dan hasil verifikasi penelitian masih dijumpai jejak harimau sumatera di pinggir Sungai Pemerihan, sedangkan data sekunder penemuan petugas di sekitar Sungai Srengseng. Sebagai hewan karnivora keberadaan hewan mangsa sangat penting, Sukaraja Atas masih dapat dijumpai babi (Sus sp), Rusa (Cervus unicolor), Tapir (Tapirus indicus). Hewan mangsa tersebut masih dijumpai di sekitar kedua sungai, sehingga masih
69
memungkinkan harimau bergerak antar sungai atau spesies harimau sumatera yang berbeda, masih penting penelitian lain lebih lanjut. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu
jenis mamalia besar yang terdapat di Pulau Sumatera. Hampir seluruh Pulau Sumatera mulai dari Lampung sampai Aceh merupakan habitat gajah. Gajah Sumatera dapat dijumpai di berbagai tipe ekosistem. Mulai dari pantai sampai ketinggian di atas 1.750 meter seperti di Gunung Kerinci. Habitat gajah dapat berupa hutan primer, hutan sekunder bahkan di daerah pertanian. Habitat yang paling disenangi adalah hutan dataran rendah (warsi 2010). Klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut (Shoshani dan Eisberg 1982) : Sukaraja Atas merupakan salah satu tempat hidup gajah sumatera. Berdasarkan data sekunder TNBBS dan keterangan masyarakat, sampai tahun 2002 gajah di Sukaraja Atas sangat terusik oleh aktiftas masyarakat baik sekitar maupun dari luar yang bertujuan untuk mencari getah damar batu dari meranti batu (Shorea ovalis) dan usaha masyarakat untuk membuka kebun kopi (sekarang menjadi hutan sekunder ditanami sonokeling). Dan sejak adanya berbagai penyuluhan dan pembinaan maka kondisi berangsur berubah dan memahami maksud dari keberadaan taman nasional. Berdasarkan hasil survai dengan perjumpaan jejak, lintasan dan kotoran gajah, satwa jenis ini masih menjadi salah satu bagian dari ekosistem hutan di Sukaraja Atas. Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Proboscidea Famili : Elephantidae Genus : Elephas Spesies : Elephas maximus sumtranus Tapir Asia (Tapirus indicus) adalah salah satu jenis tapir yang terbesar dari keempat jenis tapir dan satu-satunya yang berasal dari Asia. Nama ilmiahnya indicus merujuk pada Hindia Timur, yaitu habitat alami jenis ini. Klasifikasi Tapirus indicus sebagai berikut (Fahey 1999) : Kingdom
: Animalia
70
Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Perissodactyla Famili : Tapiridae Genus : Tapirus Spesies : Tapirus indicus Berdasarkan hasil verifikasi, tanda keberadaan tapir dijumpai di sekitar Sungai Srengseng, dan berdasarkan keterangan petugas dan anggota mitra bahwa satwa tapir juga sering dijumpai disekitar camp rhino, namun pergerakan tapir di Sukaraja Atas penting penelitian lain lebih lanjut untuk kelestariannya dan kepentingan wisata dan interpretasi wisata yang mendukung upaya pelestarian. Satwa lain yang dapat dijumpai di Sukaraja Atas adalah Siamang (Hylobates syndactyllus), rusa (Cervus unicolor), babi hutan (Sus scrofa), Tarsius (Tarsius sp.), burung rangkong (Burceros sp.), bebagai jenis burung, serangga serta keanekaragaman jenis lainnya. Sukaraja Atas juga dapat dijumpai pohon kiara, pada jalan pintas masyarakat dapat dijumpai 2 pohon kiara. Keberadaan pohon kiara (ficus sp.) yang menjadi kesukaan burung terutama saat berbuah. Menambah daya tarik terutama untuk atraksi bird watching. Peta perjumpaan jejak satwa disajikan pada Gambar 23. Untuk mendukung pengembangan interpretasi wisata alam di Sukaraja Atas maka penting penelitian lain lebih lanjut tentang pergerakan spesies kunci dan siklus hidup flora langka sebagai daya tarik inti wisata alam serta seluruh keanekaragaman flora dan fauna. Flora langka di Sukaraja Atas adalah Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus sp. Rafflesia (Rafflesia arnoldii) adalah tumbuhan yang ditetapkan untuk dilindungi sejak tahun 1978. Pada tahun 1993 bunga tersebut ditetapkan sebagai puspa langka nasional dengan status hampir punah. Secara alamiah, Rafflesia arnoldii tumbuh sebagai parasit tumbuhan Tetrastigma sp., yaitu tumbuhan tahunan dari familia Vitaceae (Ampelidaceae) yang umumnya dicirikan sebagai perdu memanjat, daun tersebar dengan daun penumpu, alat pembelit berhadapan dengan daunsesuai dengan karangan bunga. Hasil pengamatan Meiyer (1958) yang diacu dalam Misnawaty (2007), di cagar alam Batang Palupuh menunjukkan bahwa untuk membuka sempurna knop Rafflesia arnoldii yang berdiameter 15 cm
71
memerlukan waktu 2-3 bulan, knop berdiameter 20 cm memerlukan waktu 1-2 bulan, knop yang berdiameter 25 cm memerlukan waktu 20-30 hari. Di lokasi Talang Tais mencatat waktu yang berbeda, untuk mencapai mekar sempurna knop berdiameter 6.6 cm memerlukan waktu lebih kurang 2-2.5 bulan, sedangkan knop yang berdiameter 14cm hanya memerlukan waktu 15 hari [Rahmat 2002, diacu dalam Misnawaty (2007)]. Klasifikasi Rafflesia arnoldii sebagai berikut : Divisi Kelas
: Spermatophyta : Angiospermae
Subkelas : Dicotyledoneae Ordo : Aristochiales Famili : Rafflesiaceae Genus : Rafflesia Spesies : Rafflesia arnoldii
Gambar tanggal 03/11/2009 Gambar 21
Gambar tanggal 07/11/2009 Rafllesia arnoldii
Berdasarkan data jenis flora TNBBS, taman nasional ini memiliki 2 (dua) jenis Bunga bangkai yaitu Amorphophallus titanum dan Amorphophallus deculsivae. Berdasarkan hasil survai dan keterangan petugas TNBBS, flora langka yang terdeteksi pada 2 lokasi (Gambar 23), sekitar 20 dan 50 meter dari jalan lintas menuju bumi perkemahan dan terdeteksi mekar pada tahun 2008 dan bulan Januari 2010 adalah jenis bunga bangkai jangkung (Amorphophallus deculsivae). Divisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus
: Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledoneae : Alismatales : Araceae : Armophophallus
72
Spesies
: Amorphophallus deculsivae
a
b
Gambar 22 Amorphophallus deculsivae a). Amorphophallus deculsivae (7 Januari 2010)(BBTNBBS 2010) b). Batang tangkai sisa Amorphophallus deculsivae (8 Maret 2010) Berdasarkan hasil penelitian Roslita (2001) bahwa data flora dan fauna ditumpangtindihkan berdasarkan penutupan lahan sehingga didapat data flora dan fauna yang ada dalam satu wilayah penutupan lahan tertentu. Peringkat 4 untuk area dengan jenis flora dan fauna endemik lokasi/langka lebih dari 1 jenis; peringkat 3 untuk area dengan 1 jenis flora dan fauna endemik lokasi/langka; peringkat 2 diberikan bagi flora dan fauna dilindungi. Pemeringkatan unsur kriteria flora dan fauna didmoniasni oleh peringkat pontensi tinggi (Tabel 17) dan peta pemeringkatan disajikan pada Gambar 24. Gunn (1994) memberikan bobot vegetasi atau kehidupan liar dengan bobot 8 untuk perencanaan wisata alam di Oklahoma, dan dalam penelitian ini bobot gabungan antar keduanya yaitu bobot 16 (enam belas).
73
Gambar 23
Peta perjumpaan flora langka dan jejak satwa di kawasan Sukaraja Atas
74
Gambar 24 Tabel 17 No. 1 2 3 4
Peta pemeringkatan flora dan fauna sebagai daya tarik wisata di Sukaraja Atas Pemeringkatan unsur kriteria flora dan fauna di Sukaraja Atas
Kategori Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 635,1 38,7 5,4 0,0 679,2
Persentase (%) 93,6 5,6 0,8 0,0 100,0
75
b. Kriteria penunjang Kriteria penunjang dalam penelitian ini adalah potensi aksesibilitas. Peringkat 4 diberikan untuk lokasi obyek dengan jarak antara 0 – 4 km dan potensi akses mudah. Peringkat 3 untuk lokasi obyek dengan jarak lebih dari 4 km dan potensi akses mudah. Peringkat 2 untuk lokasi obyek dengan jarak kurang dari 4 km dengan potensi akses berat. Peringkat 1 untuk lokasi obyek dengan jarak lebih dari 4 km dan potensi akses berat. Wilayah Sukaraja Atas secara keseluruhan tidak lebih dari 4 km, dengan kondisi topografi yang datar sampai dengan sangat curam. Sehingga pemeringkatan pada kategori 2 peringkat yaitu peringkat 4 (tinggi) dan peringkat 2 (rendah). Lokasi dengan kemiringan lereng <25% (datar – agak curam) namun akses jangkauannya harus melewati kemiringan lereng >25% (curam – sangat curam) maka dimasukkan dalam kategori akses berat. Pemeringkatan disajikan pada Tabel 18 dan Gambar 25. Pembobotan dengan berdasarkan Gunn (1994) yang memberikan bobot 18 untuk aksesibilitas pada perencanaan wisata alam di Karolina Selatan. Tabel 18 Pemeringkatan potensi aksesibilitas di Sukaraja Atas No. 1 2 3 4
Kategori Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 420,2 0,0 259,0 0,0 679,2
Persentase (%) 61,9 0,0 38,1 0,0 100,0
Sukaraja Atas didominansi oleh daerah dengan potensi aksesibilitas tinggi (61,9%). Akses rendah sekitar 204 hektar atau 78,8 % dari akses rendah berada di tengah barat wilayah sekitar bukit tertinggi di Sukaraja Atas. Sedangkan sisanya (21,2 % dari akses rendah) terletak menyebar dibeberapa bagian wilayah Sukaraja Atas. Namun jika didukung oleh potensi yang tinggi dapat menjadi obyek wisata yang bersifat minat khusus, dan hal ini belum dapat menjadi acuan karena proses penentuan
kesesuaian
pengembangan
wisata
alam
berdasarkan
penggabungan dengan keenam unsur kriteria sumberdaya alam di atas.
hasil
76
Gambar 25
Peta pemeringkatan potensi aksesibilitas di Sukaraja Atas
77
4.2.1.2 Analisis Spasial Kesesuaian Pengembangan Wisata Alam Proses klasifikasi dilakukan dengan geoProcessing pilihan “union two theme” semua unsur kriteria sumberdaya alam dan kriteria penunjang secara bertahap dengan peringkat dan bobot yang telah ditentukan dan dimasukkan dalam atribut masing-masing unsur kriteria. Hasil overlay merupakan peta komposit ketujuh unsur kriteria dan dilakukan perhitungan klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam. Hasil perhitungan nilai analisis spasial overlay, Sukaraja Atas memiliki nilai antara 2,16 sampai dengan 3,24. Berdasarkan klasifikasi Tabel 8, maka wilayah Sukaraja Atas terdapat 2 kategori yaitu kesesuaian wisata alam intensitas rendah (nilai antara 1,76 sampai dengan 2,50) dan kesesuaian wisata alam intensitas sedang (nilai antara 2,51 sampai dengan 3,25). Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam disajikan dalam Tabel 19 dan Gambar 26. Tabel 19 Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam di Sukaraja Atas No. 1 2 3 4
Kategori Wisata intensitas sangat rendah/tidak sesuai Wisata intensitas rendah Wisata intensitas sedang Wisata intensitas tinggi Total
Luas (ha) 0,0 195,4 483,8 0,0 679,2
Persentase (%) 0,0 28,8 71,2 0,0 100,0
Lokasi dengan klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata intensitas rendah sekitar 152 ha daerah kategori kesesuaian wisata intensitas rendah) cenderung terkumpul pada bagian tengah-barat wilayah sekitar sungai Pemerihan, 43,4 ha daerah kategori kesesuaian wisata intensitas rendah terletak menyebar pada beberapa bagian wilayah. Daeah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang seluas 34,4 ha terapit oleh area kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas rendah. Proses selanjutnya yaitu melakukan overlay ulang antara peta komposit hasil overlay ketujuh unsur kriteria dengan masing-masing unsur kriteria. Hasil tumpang tindih ulang ini dimaksudkan untuk mengetahui secara detail masingmasing unsur kriteria dalam setiap kategori (Tabel 20).
78
Gambar 26
Peta klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam di Sukaraja Atas
79
Tabel 20 Hasil overlay unsur kriteria sumberdaya dan hasil klasifikasi spasial Unsur kriteria Kepekaan habitat
Total Kepekaan kemiringan lereng
Total Kepekaan jenis tanah
Total Kepekaan terhadap curah hujan
Total Daya tarik fenomena alam
Total Daya tarik flora dan fauna
Total Potensi aksesibilitas
Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah
Total
Wisata intensitas rendah Luas Persentase (ha) (%) 0,0 0,0 0,0 0,0 195,4 28,8 0,0 0,0 195,4 28,8 0,0 0,0 0,0 0,0 176,5 26,0 18,9 2,8 195,4 28,8 0,0 0,0 0,0 0,0 195,4 28,8 0,0 0,0 195,4 28,8 81,6 12,0 113,8 16,8 0,0 0,0 0,0 0,0 195,4 28,8 0,0 0,0 0,0 0,0 195,4 28,8 0,0 0,0 195,4 28,8 195,4 28,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 195,4 28,8 0,0 0,0 0,0 0,0 195,4 28,8 0,0 0,0 195,4 28,8
Wisata intensitas sedang Luas Persentase (ha) (%) 5,4 0,8 38,7 5,6 439,2 64,7 0,0 0,0 483,8 71,2 240,0 35,3 229,5 33,6 14,3 2,3 0,0 0,0 483,8 71,2 0,0 0,0 0,0 0,0 483,8 71,2 0,0 0,0 483,8 71,2 322,9 47,5 160,9 23,7 0,0 0,0 0,0 0,0 483,8 71,2 12,6 1,9 46,9 6,9 418,9 61,6 5,4 0,8 483,8 71,2 439,5 64,8 38,7 5,6 5,4 0,8 0,0 0,0 483,8 71,2 420,2 61,9 0,0 0,0 63,6 9,3 0,0 0,0 483,8 71,2
Setiap unsur kriteria memberikan pengaruh hasil klasifkasi kesesuaian pengembangan wisata alam. Unsur kriteria kepekaan jenis tanah memberikan pengaruh yang seragam merata pada seluruh kawasan Sukaraja Atas karena daerah ini memiliki jenis tanah yang seragam. Unsur kriteria yang lain, selain unsur kriteria kepekaan jenis tanah, memberikan pengaruh yang berbeda-beda karena memiliki variasi peringkat.
80
Keseluruhan daerah habitat tidak peka (lahan terbuka) dan habitat agak peka (hutan sekunder) berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang. Berdasarkan kemiringan lereng, keseluruhan daerah datar landai dan agak curam berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang. Seluruh daerah berkemiringan lereng sangat curam dan 92,5% dari daerah curam berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas rendah. Daerah lahan terbuka tersebut terletak ditepi jalan antara Kantor Wilayah Semaka dan camp Rhino dan tidak ada pemanfaatan lahan tersebut sehingga penting adanya rehabilitasi lahan terbuka tersebut dengan vegetasi endemik hutan hujan bukit. Daerah dengan potensi daya tarik fenomena alam tinggi dan cukup secara keseluruhan berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang. Daerah dengan daya tarik fenomena alam sangat rendah berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang, karena lokasi tersebut merupakan lahan terbuka yang merupakan daerah non habitat satwa, daerah landai dan berada pada sisi jalan. Ruang wisata intensitas rendah memiliki daya tarik fenomena alam yang rendah. Daerah dengan potensi daya tarik flora dan fauna peringkat cukup dan rendah secara keseluruhan berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang, hal ini karena pengaruh unsur kriteria yang lain dimana kedua daerah ini merupakan hutan sekunder dan lahan terbuka memiliki topografi datar, landai dan sedikit agak curam serta didukung letaknya di sisi jalan yang mempermudah aksesibilitas. Berdasarkan potensi aksesibilitas, keseluruhan daerah dengan potensi aksesibilitas tinggi berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang. Seluas 63,6 ha daerah potensi aksesibilitas rendah berada pada daerah kategori kesesuaian pengembangan wisata intensitas sedang, hal ini disebabkan pengaruh tingginya daya tarik wisata alam dan unsur kriteria kepekaan sumberdaya yang rendah. Berdasarkan hasil overlay ulang antara peta komposit dengan masing-masing unsur kriteria bahwa kriteria yang dibangun dalam penelitian ini mampu memberikan batasan batasan pengembangan wisata alam berdasarkan kerentanan sumberdaya untuk kepentingan konservasi dan tetap mendorong potensi daya tarik
81
wisata alam untuk memberikan nilai rekreasi pariwisata alam. Berdasar hal tersebut maka hasil klasifikasi tersebut menjadi dasar dalam perencanaan tata ruang wisata alam di Sukaraja Atas. 4.2.1.3 Formulasi Konsep Rencana Wisata Alam Formulasi konsep rencana wisata alam ini menghasilkan peta potensi wisata alam dan peta alternatif atraksi wisata alam. Potensi wisata alam berdasarkan pada kondisi sumberdaya hidrologi, penutupan lahan, flora dan fauna, topografi, fenomena alam yang telah tergambarkan kondisi lokasi penelitian. Menurut Jubenville (1987) bahwa potensi wisata alam merupakan sumberdaya alam (flora, fauna, lansekap, topografi, pemandangan) yang memiliki peluang menjadi atraksi wisata alam. Potensi wisata alam yang utama di wilayah Sukaraja Atas adalah hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan bukit yang menjadi tempat hidup spesies kunci (key species) badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus), flora langka Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus deculsivae. Namun sejak tahun 2007 satwa badak sudah tidak dijumpai lagi baik satwa, jejak, lintasan aktif, maupun kubangan aktif. Satwa lain yang dapat dijumpai di Sukaraja Atas adalah Siamang (Hylobates syndactyllus), rusa (Cervus unicolor), babi hutan (Sus scrofa), Tarsius (Tarsius sp.), burung rangkong (Burceros sp.), berbagai jenis burung, serangga dan tentu keanekaragaman yang tinggi yang belum dilakukan penelitian secara mendalam. Secara umum seluruh flora dan fauna dalam kawasan Sukaraja Atas adalah dilindungi. Sebagai potensi pendukung wilayah Sukaraja Atas juga memiliki fenomena alam lain sebagai potensi daya tarik wisata alam.
Peta potensi wisata alam
wilayah Sukaraja Atas yang telah teridentifikasi disajikan pada Gambar 27. Potensi wisata alam akan menjadi atraksi wisata alam dengan digabungkan dengan pengelolaan (pengembangan, jalan, dan peraturan). Kombinasi variasi kualitas kondisi, pengelolaan dapat menghasilkan variasi kesempatan pengalaman berwisata/wisatawan (Jubenville 1987). Berdasarkan potensi wisata di Sukaraja Atas maka dapat disusun alternatif atraksi wisata alam.
82
Tujuan dari tahap ini adalah untuk memunculkan potensi wisata alam yang telah teridentifikasi menjadi alternatif atraksi wisata alam. Alternatif atraksi wisata alam berguna dalam tahap selanjutnya yaitu pada tahap perencanaan atraksi wisata dan fasilitas utama untuk dikembangkan di setiap rencana tata ruang wisata alam. Peta alternatif atraksi wisata alam Sukaraja Atas disajikan pada Gambar 28. Alternatif atraksi wisata di Sukaraja Atas sebagai berikut : 1.
Ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan hujan bukit dan peralihan antar keduanya,
2.
Atraksi satwa spesies kunci (key species) harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus),
3.
Atraksi flora, habitat dan atau siklus hidup spesies flora langka Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus deculsivae,
4.
Atraksi bekas kubangan dan perkembangan hilangnya badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dari Sukaraja Atas,
5.
Atraksi spesies Siamang (Hylobates syndactyllus), rusa (Cervus unicolor), babi hutan (Sus scrofa), Tarsius (Tarsius sp.), burung rangkong (Burceros sp.), bebagai jenis burung, serangga serta keanekaragaman jenis lainnya,
6.
Atraksi pemandangan dan kanopi hutan primer hutan hujan bukit dan hutan hujan dataran rendah,
7.
Atraksi vegetasi hutan sekunder dan peralihan hutan sekunder – hutan primer,
8.
Atraksi Sungai Pemerihan dan Sungai Srengseng,
9.
Atraksi fosil kayu di Sungai Srengseng dan air terjun di Sungai Pemerihan.
10. Atraksi pemandangan dari berbagai ketinggian punggungan dan atas bukit (bukit tertinggi di Sukaraja Atas adalah 650 mdpl), 11. Atraksi wisata perkemahan. 4.2.1.4 Perencanaan Wisata Alam Tahap akhir dari perencanaan pengembangan wisata alam ini adalah penyusunan rencana pengembangan wisata alam. Perencanaan berdasarkan perpaduan peta klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam dan alternatif atraksi wisata alam. Perencanaan pengembangan wisata alam ini adalah (a) rencana tata ruang wisata alam (b) rencana atraksi wisata alam dan (c) rencana fasilitas wisata alam.
83
Gambar 27
Peta potensi wisata alam wilayah Sukaraja Atas
84
85
Gambar 28
Peta alternatif atraksi wisata alam di Sukaraja Atas
86
a.
Rencana tata ruang wisata alam Berdasarkan hasil analisis spasial bahwa klasifikasi kesesuaian sumberdaya
mampu memberikan batasan dalam pengembangan wisata alam yang mengacu kepentingan konservasi dan tetap mendorong potensi daya tarik wisata alam untuk memberikan nilai rekreasi pariwisata alam. Hasil klasifikasi tersebut menjadi dasar perencanaan tata ruang wisata alam. Perencanaan tata ruang wisata alam di Sukaraja Atas diperoleh 2 (dua) kategori ruang pengembangan wisata alam yaitu : 1. ruang wisata alam intensitas sedang dan 2. ruang wisata alam intensitas rendah. Tata ruang tersebut menjadi dasar pengelola dalam variasi rencana pengelolaan yang disesuaikan dengan sumberdaya pengelola. Variasi pengelolaan menurut Jubenville (1987) dapat menghasilkan variasi kesempatan pengalaman berwisata/wisatawan. Kedua ruang diarahkan pada wisata yang memiliki tujuan khusus
pengetahuan,
pendidikan,
variasi
keunikan,
untuk
mengamati/memahami/mengabadikan suatu obyek langka tertentu, unik, daya tarik khusus tertentu dan atau wisata lain yang tetap mengutamakan kealamiahan obyek daya tarik. Ruang wisata intensitas rendah memberikan batasan pada minat pengunjung karena ruang ini mempunyai keunggulan dalam variasi tantangan bagi pengunjung. Sukaraja Atas tidak terdapat ruang untuk pengembangan wisata alam intensitas tinggi yang dapat dikembangkan untuk wisata massal. Menurut Fennel (2008) bahwa wisata massal merupakan wisata dengan pembangunan wisata dengan cara menciptakan dan merubah obyek wisata dengan tujuan utama mempertemukan antara harapan dan permintaan pengunjung. b. Rencana atraksi wisata alam Berdasarkan perpaduan antara peta klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam (Gambar 26) dan peta alternatif atraksi wisata alam (Gambar 28) bahwa kedelapan belas alternatif atraksi berada pada ruang pengembangan wisata alam kesesuaian sedang. Berdasarkan hal tersebut, rencana atraksi wisata alam pada ruang pengembangan wisata alam dengan tingkat kesesuaian untuk wisata alam intensitas sedang sebagai berikut (Gambar 29) :
87
Gambar 29
Peta rencana wisata alam Sukaraja Atas
88
1. Interpretasi ODTWA Sukaraja Atas di pusat informasi, 2. Atraksi vegetasi hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan bukit yang dapat difasilitasi dengan (a) jalur interpretasi loop pendek melalui topografi landai di sekitar pusat infomasi untuk menyajikan atraksi vegetasi hutan sekunder dan hutan primer hutan hujan bukit, (b) jalur interpretasi panjang bersama dengan atraksi lain yaitu jalur interpretasi permanen di ruang wisata intensitas sedang dan rendah serta jalur interpretasi tidak permanen di ruang wisata intensitas rendah, 3. Atraksi vegetasi hutan sekunder dan peralihan hutan sekunder – hutan primer, 4. Atraksi spesies kunci harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus) di sekitar Sungai Srengseng, 5. Atraksi satwa lain seperti rusa (Cervus unicolor), babi (Sus sp.), burung dan satwa lain di sekitar Sungai Srengseng, 6. Habitat dan interpretasi siklus tumbuh flora langka Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus sp., 7. Sungai Srengseng dengan fosil kayu yang mendominansi dasar Sungai Srengseng, 8. Atraksi pemandangan dan kanopi hutan primer hutan hujan bukit dan hutan hujan dataran rendah, 9. Sungai Pemerihan yang bervegetasi pandan, 10. Atraksi spesies kunci gajah dan harimau (pengamatan langsung/jejak) serta bekas kubangan badak di sekitar Sungai Pemerihan, 11. Atraksi satwa lain seperti tapir (Tapirus indicus), rusa (Cervus unicolor), babi (Sus sp.), burung dan satwa lain di sekitar Sungai Pemerihan, 12. Air terjun bertingkat, 13. Atraksi bekas kubangan dan perkembangan hilangnya badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dari Sukaraja Atas, 14. Flora langka Rafflesia arnoldii dan spesies Tarsius sp. di Sekitar “Camp Rhino”, 15. Wisata perkemahan dan out bound,
89
16. Atraksi pemandangan dari berbagai ketinggian punggungan dan atas bukit (bukit tertinggi di Sukaraja Atas adalah 650 mdpl). Meskipun semua alternatif atraksi wisata (Gambar 29) dapat dijumpai pada ruang wisata intensitas sedang, tidak berarti dapat mengabaikan ruang wisata intensitas rendah. Pertama, beberapa lokasi ruang wisata intensitas sedang diapit oleh ruang wisata intensitas rendah sehingga umtuk mencapainya harus melewati ruang wisata intensitas rendah. Kedua, ruang wisata intensitas rendah memberikan tambahan daya tarik minat khusus dengan kondisi topografi yang lebih menantang. Rencana atraksi wisata alam pada ruang wisata alam intensitas rendah sebagai berikut : 1.
Atraksi spesies kunci gajah (Elephas maximus sumatranus) dan harimau (Panthera tigris sumatrae) serta satwa lain seperti tapir (Tapirus indicus), rusa (Cervus unicolor), babi (Sus sp.), burung dan satwa lain,
2.
Vegetasi pada daerah topografi curam dan sangat curam,
3.
Susur tebing.
c.
Rencana fasilitas wisata alam Salah satu variasi pengelolaan adalah dengan pengembangan fasilitas wisata
alam dalam wilayah ODTWA Sukaraja Atas. Weaver (2002) mengemukakan bahwa
ekowisata
soft-hard
core
tidak
mengutamakan
fasilitas,
lebih
mengutamakan kealamiahan daya tarik dan variasi pengalaman namun fasilitas tetap diperlukan, hal ini sesuai dengan pendapat Gunn (1994) bahwa fasilitas dibangun untuk kepentingan menghubungkan antara suplai/obyek daya tarik dengan wisatawan. Fasilitas jalur interpretasi berfungsi untuk menghubungan pengunjung pada lokasi atraksi dan menghubungkan dengan lokasi atraksi wisata alam yang lain. Fasilitas yang telah dibangun di daerah ODTWA Sukaraja Atas adalah : 1.
Bumi perkemahan seluas 0,36 ha dengan satu bangunan pondok penjaga dan 3 sumber mata air,
2.
Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Semaka seluas 300 m2 dengan arsitektur modern,
3.
“Camp rhino” dengan fasilitas kamar tidur tamu kapasitas 2 orang dan sebuah gazebo,
90
4.
Akses jalan menuju bumi perkemahan berupa jalan tanah selebar ± 3 meter. Keberadaan
fasilitas
tersebut
penting
untuk
diperhatikan
dalam
pengembangan pariwisata alam. Fasilitas yang ada penting untuk disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan wisata alam. Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Semaka perlu tambahan ornamen ciri khas budaya daerah dan atau ciri khas kawasan. Rencana fasilitas di ruang wisata intensitas sedang antara lain : 1. Pengembangan area Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Semaka dengan pengembangan area parkir dan area istirahat, pusat informasi Sukaraja Atas, dan layanan penerimaan pengunjung, 2. Jalur interpretasi dan papan interpretasi, baik jalur interpretasi mandiri (Self Guided Trail) maupun jalur interpretasi terpandu (Guided Trail). Jalur interpretasi yang dapat dikembangkan antara lain : a. Jalur pendek di sekitar Kantor Bidang Pengelolaan TN Wilayah Semaka, b. Jalur interpretasi dari Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Semaka ke sekitar Sungai Srengseng dan lokasi habitat Amorphophallus sp. c. Jalur interpretasi sekitar Sungai Pemerihan dan bukit tertinggi di Sukaraja Atas, d. Jalur interpretasi sekitar “camp rhino”, e. Jalur fasilitas outbound di sekitar bumi perkemahan. 3. Shelter di bumi perkemahan dan di jalur interpretasi, 4. Jembatan di Sungai Srengseng dan Pemerihan, 5. Pangaman habitat flora langka, 6. Pos layanan di titik keluar jalur interpretasi, 7. Layanan sirkulasi (jalur setapak sisi jalan, sepeda, kendaraan bermotor) dari titik keluar jalur interpretasi ke lokasi lain (camp rhino/lokasi flora langka/pusat informasi/perkemahan/homestay), 8. Pengembangan fasilitas di Camp Rhino dengan perbaikan fasilitas air bersih dan MCK, 9. Pengembangan area bumi perkemahan (luas saat penelitian adalah 0,36 hektar), dengan pembangunan gazebo, shelter, jalur setapak pendek, fasilitas
91
outbound, serta sarana MCK dan air bersih. Perluasan bumi perkemahan kompetibel ke arah selatan dan barat, sedangkan ke arah timur topografi tidak mendukung. Sukaraja Atas terdapat 34,3 ha ruang wisata intensitas sedang yang dikelilingi oleh ruang wisata intensitas rendah. Pengembangan wisata alam di ruang wisata intensitas rendah bertujuan sebagai penghubung antar ruang wisata intensitas sedang dan memberikan rencana atraksi wisata alam di ruang wisata intensitas rendah dengan kondisi yang lebih menantang. Rencana fasilitas di ruang wisata intensitas rendah antara lain : 1. Jalur interpretasi penghubung antar ruang wisata intensitas sedang, 2. Jalur interpretasi tidak permanen untuk memfasilitasi rencana wisata minat khusus di ruang wisata intensitas rendah. Unsur kriteria jenis tanah menjadi pertimbangan dalam pengembangan fasilitas wisata alam, dimana Sukaraja Atas memiliki jenis tanah podsolik merah kuning yang termasuk peka (rawan) terhadap bahaya longsor dan erosi. Sehingga pembangunan fasilitas harus meminimalkan pembukaan vegetasi termasuk tumbuhan bawah. Pembangunan jalur interpretasi pada lokasi yang terjal penting memperhatikan keselamatan pengunjung dengan pembangunan jalur membentuk tangga, namun tetap dengan bahan alami dan lebar tertentu untuk meminimalkan pembukaan tanah dan meminimalkan gangguan terhadap pergerakan satwa. Dalam perencanaan detail fasilitas penting memperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 1.
Pengembangan fasilitas pada ruang wisata intensitas rendah terbatas pada pembuatan jalur interpretasi dan shelter bila perlu, sedangkan fasilitas lain dikembangkan pada ruang wisata intensitas sedang,
2.
Penempatan jalur interpretasi lebih diutamakan pada ruang wisata intensitas sedang. Jika melewati ruang wisata intensitas rendah dengan topografi yang curam maka untuk kepentingan keselamatan pengunjung penting dibuat tangga dengan bahan yang alami lebih diutamakan kayu untuk kepentingan kealamiahan dan meminimalkan gangguan terhadap pergerakan satwa liar,
92
3.
Jalur di sekitar sungai Srengseng dan Pemerihan dirangcang keluar masuk pinggir sungai pada posisi tanah berpasir atau lembek potensial perjumpaan jejak satwa,
4.
Kajian lebih lanjut terhadap pergerakan satwa, ketepatan waktu pengamatan, dan pola perilaku lain untuk pengembangan layanan interpretasi,
5.
Kajian lebih lanjut terhadap habitat flora langka, siklus tumbuh dan pola tumbuh lain untuk pengembangan layanan interpretasi secara mendetail dan menarik.
4.2.2
Kubu Perahu
4.2.2.1 Pemeringkatan dan Pembobotan Unsur Kriteria a.
Kriteria Sumberdaya biofisik
1.
Kepekaan habitat Kubu Perahu dengan ketinggian 520 – 1170 mdpl, berdasarkan tipe hutan
TNBBS (Tabel 12), mempunyai 2 tipe hutan yaitu hutan hujan bukit dan hutan hujan pengunungan bawah. Berdasarkan interpretasi Citra tahun 2008 Kubu Perahu ditutupi oleh vegetasi hutan. Lahan terbuka hanya sebagian kecil (0,8%) kawasan TNBBS yang berdekatan dengan Desa enclave Kubu Perahu (Gambar 30). Lahan terbuka yang termasuk dalam kawasan TNBBS yaitu pada jalan yang memotong kawasan TNBBS, sebagian kecil disekitar enclave dan bumi perkemahan. Wilayah kajian Kubu Perahu didominansi oleh habitat peka (hutan primer) sedangkan hutan sekunder dan lahan terbuka memiliki persentase yang kecil (Tabel 21). Tabel 21 Pemeringkatan unsur kriteria kepekaan habitat di Kubu Perahu No. 1 2 3 4
Bentuk Lahan Terbuka Hutan Sekunder Hutan Primer Hutan gambut Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 9,6 272,3 864,0 0,0 1.145,9
Persentase (%) 0,8 23,8 75,4 0,0 100,0
93
Gambar 30
Peta pemeringkatan kepekaan habitat di Kubu Perahu
Hutan primer yang memiliki keanekaragaman tinggi merupakan habitat berbagai jenis flora fauna yang peka terhadap aktifitas manusia termasuk wisata alam. Lahan terbuka sangat jarang menjadi habitat penting bagi flora dan fauna sehingga tidak peka terhadap aktifitas wisata alam, lahan terbuka memiliki potensi
94
untuk pengembangan fasilitas dan wisata yang lebih padat dari pada di lokasi hutan sekunder terlebih lagi dari pada lokasi hutan primer. Namun tetap dibatasi oleh faktor alam lain seperti topografi, jenis tanah dan curah hujan. Gangguan habitat yang pernah terjadi di Kubu Perahu lebih berat dari pada di Sukaraja Atas, hal ini terlihat dari presentase hutan primer Kubu Perahu (75,4%) lebih kecil dari pada di Sukaraja Atas (93,5%). Hutan sekunder mendominansi di sebelah barat jalan raya (Gambar 30), dengan kondisi di beberapa lokasi yang minim vegetasi pohon, lebih didominansi oleh semak yaitu di sekitar koordinat 5,05970 Lintas Selatan dan 104,0610 Bujur Timur yang terletak sebelah barat lokasi enclave yang terdapat galian C. Sekitar area ini memiliki topografi datar sampai landai sehingga mudah terjangkau oleh perambah. Tetapi saat ini perambahan di Kubu Perahu sudah tidak terjadi lagi dengan ketegasan petugas terhadap pelaku perambah. 2.
Kepekaan kemiringan lereng Proses pemeringkatan dan pembobotan sama dengan proses pengolahan data
Sukaraja Atas. Pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng Kubu Perahu pada Tabel 22 dan Gambar 31. Kubu Perahu berbeda dengan Sukaraja Atas yang didominansi oleh lereng datar dan landai (41,7 %), Kubu Perahu lebih didominansi lereng curam yaitu 41,8%. Lokasi dengan lereng datar dan landai hanya 15,2% dan hampir sama dengan persentase area lereng sangat curam (14,0%). Lereng sangat curam memiliki persentase lebih besar dibanding wilayah Sukaraja Atas yang hanya 2,1% dari wilayah Sukaraja Atas. Tabel 22 Pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng di Kubu Perahu No. 1 2 3 4
Kategori Datar - landai Agak curam Curam Sangat curam Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 173,7 332,5 478,5 161,2 1.145,9
Persentase (%) 15,2 29,0 41,8 14,0 100,0
Kawasan Kubu Perahu merupakan hutan berbukit dan gunung rendah dengan ketinggian terrendah (lembah) 520 mdpl dan bukit tertinggi 1170 mdpl (Gambar 32). Puncak bukit dan punggung bukit dapat memberikan pandangan yang indah ke area sekitar dari sela-sela pohon tinggi. Area puncak atau punggungan yang memiliki kemiringan lereng 0 – 15% (datar – landai) dan menghadap sisi curam
95
memberikan peluang pemandangan yang menarik dan untuk beristirahat dari perjalanan tracking.
Gambar 31
Peta pemeringkatan kepekaan kemiringan lereng di Kubu Perahu
96
Gambar 32
Peta kontur wilayah Kubu Perahu dan sekitarnya
97
3.
Kepekaan jenis tanah Kawasan Kubu Perahu berdasarkan Soil Survai Staff Soil Conservation
Service USDA (1975) termasuk dalam grup besar drytropepts, humitropepts, tropohumuls dan klasifikasi dalam ordo inseptisol-ultisol. Terkait dengan klasifikasi kepekaan yang digunakan maka penting disesuaikan dengan klasifikasi jenis tanah yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan tabel padanan klasifikasi tanah (Hardjowigeno 2003), ordo tanah inseptisol-ultisol berpadanan dengan jenis tanah podsolik. Kubu Perahu merupakan terletak dibagian tengah kawasan TNBBS (Tabel 11), jenis tanah Kubu Perahu memiliki jenis tanah podsolik merah kuning (BTNBBS 1999). Hal tersebut dibuktikan dengan survai verifikasi dari air sungai yang cepat berwarna kuning keruh pada saat hujan meskipun vegetasi rapat, bukaan tanah yang berseresah tipis, sekitar bekas jejak satwa, lokasi galian C di desa enclave. Ketentuan kelas kepekaan jenis tanah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung seperti pada Tabel 4. Jenis tanah podsolik merah kuning merupakan jenis tanah yang peka atau rawan terhadap bahaya erosi, sehingga tebing yang terbuka akan sangat mudah sekali mengalami longsor. Seluruh wilayah Kubu Perahu seluas 1.145,9 ha termasuk dalam kategori peka dengan peringkat 2 (peka). Pembobotan berdasarkan pembobotan yang digunakan Gunn (1994), yaitu bobot 8 (delapan) untuk jenis tanah. 4.
Kepekaan terhadap curah hujan Berdasarkan peta kontur curah hujan hasil pengolahan interpolasi data tersaji
pada Gambar 17, Kubu Perahu memiliki curah hujan 27,7 – 28,0 mm/hari. Pengkategorian kelas curah hujan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung (Tabel 5). Kubu Perahu memiliki kategori intensitas curah hujan yang tinggi dengan peringkat 2 (peka) (Tabel 23).
Pembobotan berdasarkan
pembobotan yang digunakan Gunn (1994), memberikan bobot 8 (delapan). Tabel 23 Pemeringkatan kepekaan terhadap curah hujan di Kubu Perahu No. Kategori 1 Sangat rendah - rendah 2 Sedang
Peringkat 4 3
Luas (ha) 0,0 0,0
Persentase (%) 0,0 0,0
98 No. Kategori 3 Tinggi 4 Sangat tinggi Total
Peringkat 2 1
Luas (ha) 1.145,9 0,0 1.145,9
Persentase (%) 100,0 0,0 100,0
5. Potensi daya tarik fenomena alam Pembobotan dan pemeringkatan sama dengan metode yang digunakan untuk pengolahan data fenomena alam Sukaraja Atas. Berdasarkan peta digital hidrologi TNBBS, keterangan petugas, masyarakat dan verifikasi lapang, Kubu Perahu memiliki satu sungai induk yaitu Sungai Way Laay (Gambar 33). Sungai Way Laay kemudian mengalir ke Sungai Way Simpang kanan. Way Laay di wilayah Kubu Perahu mempunyai 2 anak sungai dari arah timur yaitu Sungai Way Sepapa dan Way Asahan. Sungai Way Sepapa berasal dari 3 sungai yaitu Sungai Way Sepapa Lunik, Way Sepapa Kanan dan Way Sepapa Kiri. Sungai Way Asahan berasal dari 2 cabang yaitu Sungai Way Asahan Kanan dan Way Asahan Kiri. Sungai di Kubu Perahu termasuk sungai kecil karena lebar sungai < 30 meter, dan lebar sempadan adalah 50 meter. Wilayah Kubu Perahu memiliki 3 (tiga) buah air terjun yaitu air terjun di Sungai Way Asahan Kiri, air terjun di Sungai Way Sepapa Kiri dan air terjun di Way Sepapa Kanan. Air terjun di Way Asahan Kiri berjarak sekitar 1 km dari jalan raya melewati wilayah enclave persawahan dan aktifitas galian batu desa Kubu Perahu. Waktu tempuh sekitar 45 menit dengan kondisi belum terbangun jalan setapak, pengembangan fasilitas jalan setapak akan mempermudah akses dan mempercepat waktu tempuh. Ketinggian air terjun ±30 meter. Di bawah air terjun terdapat basin berbatu dengan lebar 15,8 meter, pada saat tidak hujan air mengalir jernih dan menggenang dengan kedalaman basin 30 cm. Saat hujan debit akan meningkat dan air sedikit keruh warna kuning kecoklatan pengaruh jenis tanah podsolik yang peka. Dua air terjun yang lain berada di aliran Sungai Way Sepapa. Air terjun di Way Sepapa Kiri memiliki ketinggian ±40 meter. Air terjun satu lapis dan ditampung basin berbatu terjal. Untuk mencapai air terjun di Way Sepapa Kiri melewati tebing atraktif dan atau menyusuri sungai. Demikian juga untuk menuju air terjun di Way Sepapa Kanan harus menyusuri sungai. Pontensi fenomena alam
99
air terjun, sungai dan variasi pandang memberikan peringkat yang tinggi untuk area buffer 50 meter titik air terjun.
Gambar 33
Peta fenomena alam sebagai daya tarik wisata di Kubu Perahu
Kubu Perahu terdapat aliran sungai yang bercabang-cabang (Gambar 33), sungai di Kubu Perahu berciri khas berdasar batu vulkanik dengan topografi mulai landai sampai curam. Hal ini menjadi fenomena alam khusus untuk kegiatan wisata susur sungai (Gambar 34), sehingga memberikan peringkat cukup pada area buffer sungai 50 meter. Kubu Perahu terdapat 6 pertemuan sungai yang menambah daya tarik sungai, vairasi pandang sekitar memberikan peringkat tinggi
100
pada area buffer 50 meter titik pertemuan sungai. Variasi pandang di hutan memberikan peringkat rendah, namun variasi pandang hutan pada lokasi punggung bukit dan atas bukit berkontribusi peringkat cukup dalam pemeringkatan fenomena alam.
a)
b)
c)
d)
e)
Gambar 34 a. b. c. d.
f)
Fenomena alam sungai di Kubu Perahu
Sungai Way Sepapa Kiri Are buffer Sungai Way Sepapa Kiri Muara 2 sungai Way Sepapa Sungai Sepapa Lunik (dekat demplot anggrek)
e. Pinggir muara 2 Sungai Way Asahan f. Sungai Way Laay, dekat bumi perkemahan
101
Gambar 35
a)
b)
c)
d)
Fenomena alam air terjun dan sekitarnya di Kubu Perahu
a) Air terjun di Sungai Way Asahan Kiri b) Air terjun di Sungai Way Sepapa Kiri
c) Sekitar Air terjun di Sungai Way Asahan Kiri d) Menuju air terjun di Way Sepapa Kiri
Potensi tersebut menjadi dasar dalam pemeringkatan daya tarik fenomena alam. Pemeringkatan ruang potensi daya tarik fenomena alam disajikan pada Gambar 36 dan Tabel 24.
102
Gambar 36
Peta pemeringkatan fenomena alam sebagai daya tarik wisata di Kubu Perahu
103
Tabel 24 Pemeringkatan potensi daya tarik fenomena alam di Kubu Perahu No. 1 2 3 4
Kategori Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 20,4 156,7 964,3 4,5 1.145,9
Persentase (%) 1,8 13,7 84,2 0,3 100,0
Daya tarik fenomena alam dengan peringkat tinggi hanya 1,8% (Tabel 24) dari seluruh wilayah, namun dengan luasan yang kecil tidak berarti tidak berpotensi sebagai obyek wisata, luasan yang kecil tersebut potensi tinggi menjadi sasaran wisata alam. Daerah daya tarik tidak harus luas tetapi lebih menitikberatkan keindahan dan keunikan. 6.
Potensi daya tarik flora dan fauna Kubu Perahu yang memiliki 2 tipe hutan yaitu hutan hujan bukit dan hutan
hujan penggunungan bawah, memberikan kontribusi pada tingginya peringkat flora dan fauna pada hutan primer, dengan keanekaragaman vegetasi yang tinggi. Vegetasi sekitar sungai Way Laay sampai vegetasi pada ketinggian 1.170 mdpl. Vegetasi yang mendominansi tipe hutan di Kubu Perahu antara lain jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Annaonaceae, Magnolia sp., Quercus sp., Garcinia sp. Sedangkan tumbuhan bawahnya antara lain jenis Neolitsia cassianeforia, Psychottria rhinocerotes, Areca sp., Globba pendella, Ammomum sp., Calamus sp. (BTNBBS 1999). Daerah Sekitar bumi perkemahan meskipun terbuka namun masih terdapat vegetasi. Hutan sekunder di sekitar bumi perkemahan terdapat vegetasi bambu yang cukup banyak terdapat ditepi sungai Way Laay. Bambu ini menjadi makanan gajah yang datang secara periodik yaitu setiap 4 bulan (keterangan petugas dan Pamswakarsa). Vegetasi sekitar sungai Way Laay didominansi hutan sekunder. Hutan primer Kubu Perahu merupakan habitat bagi berbagai jenis anggrek. Potensi tersebut dimanfaatkan BBTNBSS dengan membuat demplot anggrek. Demplot anggrek seluas ± 80 m2 terletak ± 50 meter dari sungai Way Sepapa Lunik pada ketinggian ± 630 mdpl. Koleksi anggrek sebanyak ±130 jenis, dan beberapa jenis kantong semar. Diantarnya Paphiopedilum sp., Anggrek ki aksara (Macodes petola) Anggrek bulan Sumatera (Phalaenopsis sumatrana). Seluruh
104
anggrek di demplot merupakan jenis anggrek yang berada di kawasan Kubu Perahu. Anggrek ditanam di pot yang ditata di atas papan dan digantung. Demplot anggrek dikelola oleh petugas dan dibantu oleh Pamswakarsa. Vegetasi sekitar demplot anggrek masih banyak pohon sendok-sendok (Endospernum malaccensis). Jenis ini banyak tumbuh alami di sekitar sungai dan cukup basah namun tidak tergenang. Vegatasi pohon mulo mendominansi daerah di atas demplot anggrek. Flora lain yang dapat dijumpai antara lain meranti batu (Shorea ovalis), balam (Palaquium sp.), pasang (Quercus sp.), medang (Litsea sp.), liana, soka hutan (Ixora timorensis), Pakis monyet (Cibotium barometz), Burahol (Stelechocarpus burahol) dan sebagainya. Pakis monyet adalah jenis pakis besar, bulu pada tangkai berwarna hitam, banyak digunakan tanaman hias bernilai tinggi. Burahol (Stelechocarpus burahol) merupakan salah satu jenis flora langka. Burahol dijumpai ±150 meter setelah dari air terjun menyusuri sungai Way Sepapa Kiri menuju hilir. Burahol (Stelechocarpus burahol) merupakan jenis tanaman buah-buahan Indonesia. Tinggi pohon burahol dapat mencapai 25 m, batang lurus berwarna coklat tua, diameter mencapai 40 cm, memiliki benjolan-benjolan bekas keluar bunga dan buah. Daun tunggal, elip-lonjong sampai bundar telur-lanset, panjang 12-27 cm dan lebar 5-9 cm. Klasifikasi burahol sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Subkelas : Dicotyledoneae Ordo : Ranuculales Famili : Annonaceae Genus : Stelechocarpus Spesies : Stelechocarpus burahol (BL) Hook.f.&Th. Bentuk tajuknya seperti kerucut dengan percabangan yang hampir tegak lurus dengan batang Pohon ini memiliki berbagai khasiat baik buah, biji, daun maupun akar pohon. Burahol merupakan jenis tanaman penghasil wangi-wangian, hal ini telah banyak dimanfaatkan sejak dahulu. Buah burahol mengandung alkoloid yang dapat digunakan untuk mencegah kehamilan (Heriyanto dan Garsetiasih 2005). Buahnya dimakan untuk melancarkan air seni, menghilangkan bau nafas, bau keringat, dan membantu mencegah peradangan ginjal [Mardisiswojo dan
105
Rajakmangunsudarso 1968, diacu dalam Heriyanto dan Garsetiasih (2005)]. Bentuk buah burahol seperti Gambar 37.
Stelechocarpus burahol (BL) Hook.f.&Th.
Soka hutan (Ixora timorensis)
Koleksi bunga anggrek
Pakis monyet (Cibotium barometz)
Gambar 37
Anggrek Eria sp (epifit) (alam)
Beberapa jenis flora di Kubu Perahu
106
Gambar 38
a) b) Jejak muncak (Muntiacus muntjak) dan lokasi perjumpaan jejak gajah (Elephas maximus sumatranus) di Kubu Perahu
a) Lokasi kemunculan gajah di tepi sungai Way Laay dekat bumi perkemahan b) Jejak muncak (Muntiacus muntjak)
Hutan sebelah barat jalan raya didominansi oleh hutan sekunder, berdasarkan hasil survai dan wawancara dengan petugas bahwa hutan sebelah barat jalan menjadi tempat hidup Siamang (Hylobates syndactyllus), babi hutan (Sus scrofa), berbagai jenis burung, gajah dijumpai namun jarang. Salah satu spesies kunci yaitu satwa gajah (Elephas maximus sumatranus) hidup di hutan primer sebelah timur jalan raya, berdasar hasil wawancara petugas dan PamSwakarsa masyarakat sekitar 4 bulan sekali muncul di hutan sekunder sekitar bumi perkemahan. Jenis spesies burung langka juga terdapat di Kubu Perahu yaitu jenis Ground cuckoo. Ground cuckoo (Carpococcyx viridis) merupakan jenis burung langka yang hidup dihutan Kubu Perahu. Sehingga keberadaan spesies kunci, flora langka dan burung langka maka hutan primer di sebelah timur jalan raya mempunyai peringkat potensi flora dan fauna yang tinggi. Berdasarkan data BirdLife International burung Ground cuckoo sumatera (Carpococcyx viridis) termasuk dalam kategori IUCN Red List, mempunyai populasi yang sangat kecil dan dinyatakan satwa hampir punah. Populasi burung langka ini hanya di wilayah Bukit Barisan Selatan (Gambar 39), pertama kali terrekam oleh kamera trap pada bulan November 1997. Burung dewasa memiliki panjang kira-kira 55 cm, dengan ekor yang panjang. Berkaki dan berparuh hijau. Bermahkota hitam dan berbayang hijau di belakang mahkota. Bulu ekor dan sayap berwarna mengkilat hitam kehijauan. Bagian leher bawah dan dada berwarna hijau memudar.
107 Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Aves Ordo : Cuculiformes Famili : Cuculidae Genus : Carpococcyx Spesies : Carpococcyx viridis
Gambar 39
Ground cuckoo sumatera (Carpococcyx viridis) dan lokasi penyebarannya (Sumber : BirdLife International 2000)
Satwa lain yang dapat dijumpai di Kubu Perahu antara lain muntjak (Muntiacus muntjak), kura-kura darat, biawak (Varanous sp.), beruang madu (Helarctos malayanus), siamang, beruk, rangkong, berbagai jenis burung dan keanekaragaman yang tinggi yang penting penelitian lain secara mendalam untuk perencanaan interpretasi wisata alam lebih lanjut. Secara umum seluruh flora dan fauna dalam kawasan Kubu Perahu adalah dilindungi. Lokasi burahol, demplot anggrek dan fauna penting di Kubu Perahu disajikan pada Gambar 40. Pemeringkatan spasial potensi daya tarik flora dan fauna Kubu Perahu disajikan pada Tabel 25 dan dipetakan pada Gambar 41. Kubu Perahu didominansi area berpotensi daya tarik flora fauna peringkat tinggi. Tabel 25 Pemeringkatan potensi daya tarik flora dan fauna di Kubu Perahu No. 1 2 3 4
Kategori Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 792,7 343,6 9,6 0,0 1.145,9
Persentase (%) 69,2 30,0 0,8 0,0 100,0
108
Gambar 40
Peta perjumpaan flora langka dan jejak satwa di Kubu Perahu
109
Gambar 41
Peta pemeringkatan flora dan fauna sebagai daya tarik wisata di Kubu Perahu
110
b. Kriteria penunjang Wilayah Kubu Perahu secara keseluruhan jika ditarik garis lurus dari jalan raya maka memiliki jarak < 4 km, dengan kondisi topografi yang datar sampai dengan sangat curam. Pemeringkatan disajikan pada Gambar 42 dan Tabel 26.
Gambar 42
Peta pemeringkatan potensi aksesibilitas di Kubu Perahu
111
Tabel 26 Pemeringkatan unsur potensi aksesibilitas di Kubu Perahu No. 1 2 3 4
Kategori Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Total
Peringkat 4 3 2 1
Luas (ha) 222,6 0,0 923,3 0,0 1.145,9
Persentase (%) 19,4 0,0 80,6 0,0 100,0
Kubu Perahu memiliki karakteristik potensi aksesibilitas berbeda dengan Sukaraja Atas, Kubu Perahu lebih didominansi oleh lokasi yang berakses rendah yakni 80,6 % dari wilayah Kubu Perahu. Sisanya yaitu 19,4 % merupakan akses tinggi. Potensi atraksi petualangan menantang (wild adventure) akan menjadi salah satu daya tarik dalam pengembangan wisata di wilayah Kubu Perahu. 4.2.2.2 Analisis Spasial Kesesuaian Pengembangan Wisata Alam Hasil perhitungan nilai analisis spasial overlay, Kubu Perahu memiliki nilai antara 1,96 sampai dengan 3,24. Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam, wilayah Kubu Perahu berada pada 2 kategori yaitu kesesuaian wisata alam intensitas rendah dan intensitas sedang (Tabel 27). Pengembangan wisata alam dengan intensitas sedang dan rendah diarahkan pada bentuk wisata yang memiliki tujuan khusus pengetahuan, pendidikan, variasi keunikan, pengalaman tantangan untuk mengamati/memahami/mengabadikan suatu obyek langka tertentu dan atau wisata lain yang tetap mengutamakan kealamiahan obyek daya tarik. Tabel 27 Klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata di Kubu Perahu No. 1 2 3 4
Kategori Wisata intensitas sangat rendah/tidak sesuai Wisata intensitas rendah Wisata intensitas sedang Wisata intensitas tinggi Total
Luas (ha) 0,0 771,0 374,9 0,0 1.145,9
Persentase (%) 0,0 67,3 32,7 0,0 100,00
Kubu Perahu didominansi oleh daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas rendah. Berdasarkan Gambar 43, kesesuaian wisata intensitas sedang berada di sekitar jalan raya. Daerah bumi perkemahan dan sekitarnya, demplot anggrek, sampai muara 2 sungai Way Sepapa, sampai daerah hampir mendekati air terjun di Way Sepapa, daerah menuju air terjun Way Asahan Kiri adalah daerah dengan kesesuaian wisata intensitas sedang.
112
Gambar 43
Peta klasifikasi kesesuaian pengembangan wisata alam di Kubu Perahu
113
Peta klasifikasi tersebut ditumpangtindihkan ulang dengan masing-masing unsur kriteria, hasil tumpang tindih peta dimaksudkan untuk mengetahui secara detail masing-masing unsur kriteria dalam setiap kategori (Tabel 28). Tabel 28 Hasil overlay unsur kriteria sumberdaya dan hasil klasifikasi spasial Unsur kriteria Kepekaan habitat
Total Kepekaan kemiringan lereng
Total Kepekaan jenis tanah
Total Kepekaan terhadap curah hujan
Total Daya tarik fenomena alam
Total Daya tarik flora dan fauna
Total Potensi aksesibilitas
Total
Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah
Wisata intensitas rendah Luas Persentase (ha) (%) 1,5 0,2 141,2 12,3 628,3 54,8 0,0 0,0 771,0 67,3 3,5 0,3 134,2 11,7 472,2 41,2 161,1 14,1 771,0 67,3 0,0 0,0 0,0 0,0 771,0 67,3 0,0 0,0 771,0 67,3 0,0 0,0 0,0 0,0 771,0 67,3 0,0 0,0 771,0 67,3 3,7 0,3 57,2 5,0 708,9 61,9 1,2 0,1 771,0 67,3 567,5 49,6 202,0 17,6 1,5 0,1 0,0 0,0 771,0 67,3 0,0 0,0 0,0 0,0 771,0 67,3 0,0 0,0 771,0 67,3
Wisata intensitas sedang Luas Persentase (ha) (%) 8,1 0,7 131,1 11,4 235,7 20,6 0,0 0,0 374,9 32,7 170,2 14,9 198,3 17,3 6,3 0,5 0,0 0,0 374,9 32,7 0,0 0,0 0,0 0,0 374,9 32,7 0,0 0,0 374,9 32,7 0,0 0,0 0,0 0,0 374,9 32,7 0,0 0,0 374,9 32,7 16,7 1,5 99,5 8,7 254,4 22,2 3,3 0,3 374,9 32,7 225,2 19,6 141,6 12,4 8,1 0,7 0,0 0,0 374,9 32,7 222,6 19,4 0,0 0,0 152,3 13,3 0,0 0,0 374,9 32,7
Unsur kriteria kepekaan jenis tanah dan kepekaan terhadap curah hujan memberikan pengaruh yang merata pada seluruh daerah Kubu Perahu dan
114
seragam yaitu peringkat 2 (peka). Sedangkan unsur kriteria yang lain, selain jenis tanah dan curah hujan, memberikan pengaruh bervairasi karena masing-masing unsur kriteria memiliki variasi peringkat. Berdasar unsur kriteria sumberdaya fisik, lokasi Kubu Perahu berbeda dengan Sukaraja Atas yaitu berdasar curah hujan dan dominansi kemiringan lereng. Kubu Perahu lebih didominansi kemiringan lereng curam yang tergolong peka, sedangkan Sukaraja Atas didominansi lereng datar sampai dengan landai. Kubu Perahu berada pada daerah dengan curah hujan tinggi dan memberikan tingkat kerawanan tinggi (peka), sedangkan Sukaraja Atas pada daerah dengan curah hujan tergolong tidak rawan dan agak rawan (tidak peka dan agak peka). Berdasarkan kepekaan habitat, 84,4% dari daerah habitat tidak peka berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Berdasarkan asumsi spasial bahwa daerah lahan terbuka tidak peka terhadap kegiatan wisata alam dibandingkan dengan tipe tutupan lahan hutan sekunder maupun primer. Kepekaan sumberdaya alam tidak terlepas dari faktor kemiringan lereng. Daerah seluas 170,2 ha (98% dari luas daerah berkemiringan lereng datar dan landai) daerah berkemiringan lereng datar dan landai berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Sedangkan 472,2 ha (98,7% dari luas daerah berkemiringan lereng curam) daerah berkemiringan lereng curam berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas rendah. Berdasarkan unsur kriteria daya tarik wisata alam, 81,9% dari luas daerah dengan daya tarik fenomena alam yang tinggi berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Sedangkan 71,6% dari luas daerah dengan daya tarik wisata flora dan fauna berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas rendah, hal ini karena pengaruh unsur kriteria yang lain yang memberikan batasan pengembangan wisata alam berdasarkan kerentanan sumberdaya. Berdasarkan unsur kriteria potensi aksesibilitas, seluruh daerah dengan potensi aksesibilitas tinggi berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang. Daerah dengan potensi aksesibiltas rendah (152,3 ha) berada pada daerah kategori kesesuaian wisata alam intensitas sedang, hal ini disebabkan
115
pengaruh tingginya daya tarik wisata alam dan unsur kriteria kepekaan sumberdaya yang rendah. Berdasarkan hasil overlay tersebut bahwa kriteria yang dibangun dalam penelitian ini mampu memberikan batasan pengembangan wisata alam berdasarkan kerentanan sumberdaya untuk kepentingan konservasi dan tetap mendorong potensi daya tarik wisata alam untuk memberikan nilai rekreasi pariwisata alam. Berdasar hal tersebut maka hasil klasifikasi tersebut menjadi dasar dalam perencanaan tata ruang wisata alam di Kubu Perahu. 4.2.2.3 Formulasi Konsep Rencana Wisata Alam Formulasi konsep rencana wisata alam ini menghasilkan peta potensi wisata alam dan peta alternatif atraksi wisata alam. Berdasarkan potensi flora, fauna dan fenomena alam pada kondisi lokasi penelitian di atas maka dapat disusun alternatif atraksi wisata alam Kubu Perahu. Potensi wisata alam yang telah diidentifkasi di Kubu Perahu dipetakan pada Gambar 44. Alternatif atraksi wisata alam Kubu Perahu sebagai berikut (Gambar 45) : 1.
Atraksi ekosistem hutan hujan bukit dan hutan hujan pegunungan bawah,
2.
Atraksi sumatran ground cuckoo sebagai spesies endemik Sumatera dan hanya berada di TNBBS,
3.
Atraksi gajah (Elephas maximus sumatranus),
4.
Atraksi satwan siamang (Hylobates syndactyllus), muncak (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), burung rangkong (Burceros sp.), bebagai jenis burung, serangga serta keanekaragaman jenis lainnya,
5.
Atraksi keanekaragaman anggrek di demplot dan atau di alam,
6.
Atraksi flora langka burahol (Stelechocarpus burahol),
7.
Atraksi air terjun di Sungai Way Asahan yang mudah terjangkau,
8.
Atraksi air terjun di Sungai Way Sepapa melewati susur tebing dan susur sungai atraktif,
9.
Atraksi pertemuan 2 sungai,
10. Atraksi demplot gaharu, 11. Atraksi pemandangan dari berbagai ketinggian punggungan dan atas bukit, 12. Atraksi wisata perkemahan.
116
117
Gambar 44
Peta potensi wisata alam wilayah Kubu Perahu
118
119
Gambar 45
Peta alternatif atraksi wisata alam di Kubu Perahu
120
4.2.2.4 Perencanaan Wisata Alam Perencanaan
berdasarkan
perpaduan
peta
klasifikasi
kesesuaian
pengembangan wisata alam dan alternatif atraksi wisata alam. Perencanaan pengembangan wisata alam ini adalah (a) rencana tata ruang wisata alam (b) rencana fasilitas wisata alam dan (c) rencana atraksi wisata alam. a.
Rencana tata ruang wisata alam Berdasarkan hasil klasifikasi, daerah Kubu Perahu diperoleh 2 (dua) kategori
ruang pengembangan wisata alam yaitu : 1. ruang wisata alam intensitas sedang dan 2. ruang wisata alam intensitas rendah. Kubu Perahu tidak terdapat ruang untuk pengembangan wisata alam intensitas tinggi yang sesuai untuk wisata massal. Tata ruang tersebut menjadi dasar pengelola dalam variasi rencana pengelolaan yang disesuaikan dengan sumberdaya pengelola. b. Rencana atraksi wisata alam Berdasarkan peta alternatif atraksi wisata alam, rencana atraksi wisata alam pada ruang pengembangan wisata alam dengan tingkat kesesuaian untuk wisata alam intensitas sedang sebagai berikut (Gambar 46): 1. Interpretasi ODTWA Kubu Perahu di pusat informasi, 2. Atraksi vegetasi hutan hujan bukit yang dapat difasilitasi dengan (a) jalur interpretasi loop pendek melalui topografi landai di sekitar bumi perkemahan dan demplot anggrek, (b) jalur interpretasi panjang bersama dengan atraksi lain yaitu jalur interpretasi permanen di ruang wisata intensitas sedang, 3. Atraksi keanekaragaman anggrek di demplot anggrek dan di alam, 4. Atraksi demplot gaharu, 5. Atraksi spesies kunci gajah (Elephas maximus sumatranus), 6. Atraksi satwa lain seperti muncak (Muntiacus muntjak) babi (Sus sp.), berbagai jenis burung, 7. Atraksi sungai Way Laay, Way Sepapa, Way Sepapa Lunik, dan Way Asahan serta atraksi pertemuan antar sungai-sungai tersebut,
121
Gambar 46
Peta rencana wisata alam Kubu Perahu
122
8. Atraksi susur sungai terjal berbatu ke/dari air terjun di Way Sepapa Kiri dan Kanan, 9. Atraksi air terjun di Way Sepapa Kanan serta di Way Asahan Kiri, 10. Wisata perkemahan dan out bound. Rencana atraksi wisata alam pada ruang pengembangan wisata alam intensitas rendah sebagai berikut : 1.
Atraksi ekosistem hutan hujan bukit, hutan hujan pegunungan bawah dan peralihan antar keduanya,
2.
Atraksi sumatran ground cuckoo, gajah, muncak, siamang keanekaragaman fauna lain,
3.
Atraksi anggrek di lokasi tumbuh alami,
4.
Atraksi flora langka Burahol/kepel (Stelechocarpus burahol),
5.
Atraksi air terjun Way Sepapa Kiri,
6.
Atraksi susur tebing,
7.
Atraksi pemandangan dari berbagai ketinggian punggungan dan atas bukit.
c.
Rencana fasilitas wisata alam Kubu Perahu telah dibangun beberapa fasilitas penunjang kegiatan wisata
alam. Fasilitas yang telah dibangun di Kubu Perahu adalah : 1.
Bumi perkemahan seluas 0,59 ha pada ruang wisata intensitas sedang, dengan fasilitas tersedia 1 buah gazebo, shleter, sarana MCK dan air bersih. Tidak merekomendasikan untuk memperluas karena lokasi dekat dengan perlintasan gajah setiap 4 bulan sekali (berdasar keterangan petugas dan PamSwakarsa),
2.
Jalur interpretasi yang melalui dua ruang wisata yang berbeda. Jalur dibangun sampai lokasi susur tebing terjal mendekati air terjun Way Sepapa Kiri dengan penataan batu untuk memperkeras jalur, namun penataan penting diperbaiki dan dibentuk tangga pada lokasi lereng. Fasilitas shelter terdapat 2 buah dan sebuah menara pengamat dengan kondisi perlu perbaikan,
3.
Kantor resort Balik Bukit, pos jaga dan pintu gerbang memasuki jalur menuju bumi perkemahan di ruang wisata intensitas sedang,
4.
Demplot anggrek dan demplot gaharu di ruang wisata intensitas sedang. Keberadaan
fasilitas
tersebut
penting
untuk
diperhatikan
dalam
pengembangan pariwisata alam. Fasilitas yang ada penting untuk disesuaikan
123
dengan kebutuhan pengembangan wisata alam. Rencana fasilitas di ruang wisata intensitas sedang antara lain : 1. Pengembangan area area parkir dan area istirahat, pusat informasi dan layanan penerimaan pengunjung pada 2 lokasi yaitu area pintu gerbang bumi perkemahan dan area pengembangan obyek wisata Sungai Way Asahan, 2. Jalur interpretasi dan papan interpretasi, baik jalur interpretasi mandiri (Self Guided Trail) maupun jalur interpretasi terpandu (Guided Trail). Jalur interpretasi yang dapat dikembangkan antara lain : a. Jalur loop pendek pada ruang wisata intensitas sedang melalui obyek demplot anggrek, pertemuan Way Sepapa dan Way Sepapa Lunik, demplot gaharu, pertemuan Way Sepapa dan Way Laay, b. Perbaikan jalur menuju air terjun di Way Sepapa Kiri, c. Jalur interpretasi menuju obyek Way Asahan dengan titik akhir pada lokasi air terjun. 3. Jembatan sungai, 4. Shelter di jalur interpretasi. Berdasarkan rencana pengembangan dan penambahan fasilitas maka perencanaan detail tata letak fasilitas harus dilakukan kajian lain yang lebih mendalam. Bentuk disesuaikan dengan budaya daerah dengan pemilihan bahan yang alami dan sederhana namun tetap disesuaikan dengan kebutuhan kekuatan yang diperlukan. Pengembangan wisata alam di ruang wisata intensitas rendah bertujuan sebagai penghubung antar ruang wisata intensitas sedang dan memberikan rencana atraksi wisata alam di ruang wisata intensitas rendah dengan kondisi yang lebih menantang. Rencana fasilitas di ruang wisata intensitas rendah antara lain : 1. Jalur interpretasi penghubung antar ruang wisata intensitas sedang, 2. Jalur interpretasi tidak permanen menuju obyek atraksi burung sumatran ground cuckoo, pengamatan flora dan fauna lain, photo hunting atau penelitian. Unsur kriteria jenis tanah menjadi pertimbangan dalam pengembangan fasilitas wisata alam, dimana Kubu Perahu memiliki jenis tanah podsolik merah kuning yang termasuk peka (rawan) terhadap bahaya longsor dan erosi. Ruang
124
wisata intensitas rendah di Kubu Perahu juga didonimansi oleh topografi yang curam dan dan sangat curam. Sedangkan 58,6% dari daerah topografi agak curam berada pada ruang wisata intensitas sedang, berbeda dengan wilayah Sukaraja Atas dimana seluruh daerah topografi agak curam berada pada ruang wisata intensitas sedang. Curah hujan yang tinggi juga meningkatkan kerawanan di Kubu Perahu. Hal tersebut penting diperhatikan dalam pengembangan fasilitas wisata alam. Pembangunan fasilitas harus meminimalkan pembukaan vegetasi termasuk tumbuhan bawah. Pembangunan jalur interpretasi pada lokasi yang terjal penting memperhatikan keselamatan pengunjung dengan pembangunan jalur membentuk tangga, namun tetap dengan bahan alami dan lebar tertentu untuk meminimalkan pembukaan tanah dan meminimalkan gangguan terhadap pergerakan satwa. Dalam perencanaan detail fasilitas penting memperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 1.
Pengembangan fasilitas pada ruang wisata intensitas rendah terbatas pada pembuatan jalur interpretasi, papan interpretasi dan shelter bila perlu, sedangkan fasilitas lain dikembangkan pada ruang wisata intensitas sedang,
2.
Penempatan jalur interpretasi lebih diutamakan pada ruang wisata intensitas sedang. Jika melewati ruang wisata intensitas rendah dengan topografi yang curam maka untuk kepentingan keselamatan pengunjung penting dibuat tangga dengan bahan yang alami lebih diutamakan batu untuk kepentingan kealamiahan dan meminimalkan gangguan terhadap pergerakan satwa liar. Penggunaan batu karena batuan vulkanik banyak dijumpai di Kubu Perahu,
3.
Pengembangan luas bumi perkemahan tidak dipekenankan pada lokasi bumi perkemahan saat ini. Perluasan dapat dilakukan pada ruang wisata intensitas sedang pada area hutan sekunder dekat daerah enclave dengan pembersihan alang-alang dan mempertahankan keberadaan pohon,
4.
Kajian terhadap pergerakan satwa, ketepatan waktu pengamatan, dan pola perilaku lain untuk pengembangan layanan interpretasi secara mendetail dan menarik,
5.
Kajian terhadap habitat flora, siklus tumbuh dan pola tumbuh lain untuk pengembangan layanan interpretasi secara mendetail dan menarik.
V. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Analisis spasial kesesuaian sumberdaya ekologis dalam perencanaan pariwisata alam di TNBBS dengan modifikasi metode perencanaan yang dikembangkan oleh Gunn (1994) dan ADO-ODTWA (PHKA 2003b), mampu memberikan batasan pengembangan wisata alam berdasarkan kerentanan sumberdaya untuk kepentingan konservasi dan tetap mendorong potensi daya tarik wisata alam untuk memberikan nilai rekreasi pariwisata alam. Perencanaan pariwisata alam berbasis data spasial di TNBBS menghasilkan sebagai berikut : 1.
Tata ruang kedua lokasi memiliki 2 (dua) ruang wisata alam yaitu ruang wisata intensitas rendah dan ruang wisata intensitas sedang. Sukaraja Atas didominansi oleh ruang wisata alam intensitas sedang seluas 483,8 ha (71,2%) dan 195,4 ha (28,9%) untuk ruang wisata intensitas rendah. Kubu Perahu terdapat 374,9 ha (32,7%) untuk ruang wisata intensitas sedang dan 771,0 ha (567,3%) untuk ruang wisata intensitas rendah.
2.
Ruang wisata intensitas sedang dan rendah diarahkan pada wisata yang memiliki tujuan khusus pengetahuan, pendidikan, variasi keunikan, mengamati/memahami /mengabadikan suatu obyek langka tertentu, unik, daya tarik khusus tertentu dan atau wisata lain yang tetap mengutamakan kealamiahan obyek daya tarik. Pengembangan wisata alam di ruang wisata intensitas rendah sebagai penghubung antar ruang wisata intensitas sedang dan memberikan rencana atraksi wisata alam dengan keunggulan variasi tantangan.
3.
Variasi pengelolaan wisata alam dengan rencana tata ruang dan fasilitas menciptakan peluang rencana wisata alam yang bervariasi dari aspek waktu kunjungan, variasi target pengunjung, variasi daya tarik wisata dan variasi interpretasi wisata alam.
126
5.2 Saran Perencanaan pariwisata alam lebih sempurna apabila : a) Dipadukan dengan data potensi sumberdaya (satwa, flora, dan sumberdaya pendukung lain) yang telah teramati secara berkala (time series). b) Keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengembangan pariwisata alam. c) Memadukan rencana penataan ekologis (Ecological setting) dengan penataan sosial (Social setting).
DAFTAR PUSTAKA
Antunes AFB. 1993. The Use of Geo-Information System to Ecotourism and Conservation Planning in Guaraquecaba, South Barzil. Brazil : Univerdade Universal do Parana. 7p. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanggamus. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus 2005 – 2015. Kotaagung : BAPPEDA. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2009. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Lampung 2009 – 2029. Bandar Lampung : BAPPEDA. Bildlife International. 2000. Sumatran Ground cuckoo (Carpococcyx viridis). Bildlife International Bibby C, M Jones, S Marsden. 2000. Teknik-teknis Ekspedisi Lapang Survai Burung. Bogor : Birdlife International-Indonesia Programme. [BTNBBS] Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 1999. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (1999 – 2024). Kotaagung : Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [BTNBBS] Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2005a. Mengenal World Heritage Convention. Kotaagung : Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [BTNBBS] Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2005b. Rencana Strategis Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 2005 -2009. Kotaagung : Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [BTNBBS] Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2007. Rencana Paket Wisata Alam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Lampung : Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 37 hal. [BBTNBBS] Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2009a. Statistik Balai Besar TNBBS Tahun 2009. Kotaagung : Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [BBTNBBS] Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2009b. Masterplan Pengembangan Obyek Wisata Alam di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kotaagung : Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Boers B, S Cottrell. 2005. Sustainable Tourism Infrastructure Planning : A GIS Based Approach. E.D. Rodgers and J.G. Peden (Ed.). Proceedings of the 2005 Northeastern Recreation Research Symposium. April 10 – 12. New York : Bolton Landing. Bukenya JO. 2000. Application of Gis In Ecotourism Development Decisions: Evidence From The Pearl of Africa. Virginia : Natural Resource Economics Program, West Virginia University. 30p. [Depbudpar] Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2009. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta : Depbudpar. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2006. Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 Tentang Jalan. Jakarta
128
[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2009. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah. Jakarta : Depdagri [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Undang Undang Nomor 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Jakarta [Dephut] Departemen Kehutanan. 2010. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam. Jakarta [Deptan] Departemen Pertanian. 1980. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta : Deptan. Djuri S. 2009. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Cahaya Wana (14) Dunggio I. 2005. Zonasi Pengembangan Wisata di Suaka Margasatwa nantu Provinsi Gorontalo. Tesis. Gogor : Institut Pertanian Bogor. 134 hal. Eagles PFJ, SF McCool. 2002. Tourism in National Parks and Protected Areas : Planning and Management. CABI Publishing. 320p. Eagles PFJ, SF McCool, CD Haynes. 2002. Sustainable Tourism in Protected Areas : Guidelines for Planning and Management. A. Phillips (Ed.). United Nations Environment Programme, World Tourism Organization and IUCN – The World Conservation Union. 183p. Fahey, B. 1999. "Tapirus indicus" (On-line), Animal Diversity Web. Akses 19 Februari 2010 pada alamat http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Tapirus_i ndicus.html. Fennel D. 2008. Ecotourism. Third Edition. London and New York : Taylor and Francis Group Routledge. 282p. Fennel D, RK Dowling. 2003. Ecotourism Policy and Planning : Stakeholders, Management and Governance. D. Fennel and R.K. Dowling (Ed.). Ecotourism Policy and Planning. UK : CAB Publishing. 331 – 361. Gunn CA. 1994. Tourism Planning Basics, Consept, Cases. New York : CraneRussah. Hall CM. 2003. Institutional Arrangements for Ecotourism Policy. D. Fennel and R.K. Dowling (Ed.). Ecotourism Policy and Planning. UK : CAB Publishing. 21 – 38. Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta : Akademika Pressindo. Heriyanto NM, R Garsetiasih. 2005 Kajian Ekologi Pohon Burahol (Stelechocarpus burahol) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Buletin Plasma Nutfah 11 (2): hal. 65 – 73. Higham J, D Lusseau. 2007. Defining Critical Habitat : the spatio-ecological approach to managing tourism-wildlife interactions. J Higham (Ed.).
129
Critical Issues in ecotourism : Understanding a Complax Tourism Phenomenon. UK : Oxford, Elsevier. 256 – 269. Indotoplist.com. Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatraensis). Akses 19 Februari 2010 pada alamat http://www.indotoplist.com. Jubenville A, BW Twight, RH Becker. 1987. Outdoor Recreation Management : Theory and Application. PA : Venture Publishing. 219p. Lavieren LP. 1983. Planning and Management of Parks and Reserves. Bogor : School of Environmental Conservation Management (For Internal Use Only). 209p. Kusumoarto A. 2006. Identifikasi Potensi Lansekap Pesisir Kecamatan Jerowaru, Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk Rekreasi Alam dengan Menggunakan Sistem Informasi Geiografi. Tesis. Gogor : Institut Pertanian Bogor. 141 hal. McAdam D. 1999. The Value and Scope of Geographical Information Systems in tourism Management. Journal of Sustainable Tourism 7 (1). 77 – 92. Minh ND. 2007. Buliding a GIS Database for Ecotourism Development in Ba Vi District, Ha Tay Province, Vietnam. VNU Journal of Science, Earth Sciences 23. Hal. 146 – 151. Misnawaty. 2007. Pencandraan Raflesia arnoldii pada Testrastigma sp. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus 3 : Hal. 440 – 443. Muntasib EKSH. 2002. Penggunaan Ruang Habitat Oleh Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Desm.1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Muntasib EKSH. 2004. Pengembangan Wisata Alam. Di dalam : E.K.S. Harini Muntasib dan R. Meilani (Ed.). Proseding Diskusi Tentang Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan; Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Institut Pertanian Bogor, 12 Februari 2004. Bogor : Studio Rekreasi Alam. Hal. 45 – 53. [PHPA] Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam . 1996. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam nomor 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung. Bogor : PJLWA – PHKA [PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2001. Pedoman Pengembangan Pariwisata Alam di Taman Nasional – Untuk Pengelola dan Para Pihak. Bogor : PJLWA – PHKA. 31 hal. [PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003a. Pedoman Pengembangan Pariwisata Alam Nasional di Kawasan Hutan. Bogor : PJLWA – PHKA. 48 hal. [PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003b. Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODA-ODTWA). Bogor : PJLWA – PHKA. 28 hal. Pemerintah Pekon Sukaraja. 2008. Monografi Pekon Sukaraja Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus. Sukaraja : Pemerintah Pekon Sukaraja. Pemerintah Pekon Sedayu. 2008. Monografi Pekon Sedayu Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus. Sukaraja : Pemerintah Pekon Sukaraja.
130
Pemerintah Pekon Kubu Perahu. 2008. Monografi Pekon Kubu Perahu Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus. Sukaraja : Pemerintah Pekon Sukaraja. Prahasta E. 2005. Konsep-konsep Sistem Informasi Geografis. Bandung : Informatika Press. Pramudia E. 2008. Evaluasi Potensi Obyek Wisata Aktual di Kabupaten Agam Sumatera Barat untuk Perencanaan Program Pengembangan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 125 hal. Roslita. 2001. Perencanaan Lanskap Wisata di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Jambi menggunakan Sistem Informasi Geografis. Tesis. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 120 hal. Simonds JO. 1961. Landscape Architecture. New York : McGraw-Hill Book Co. 244p. Shoshani J, JS Eisenberg. 1982. Elephas maximus.The American Society Mammalogists : Mammalian Spesies 182 : hal. 1 – 8. Turk T, MU Gumusay. 2003. GIS Design and Application for Tourism. Isambul :Yildiz Technical University. 4p. USDA. 1975. Data Digital Jenis Tanah Provinsi Lampung. Lampung : BTNBBS – BP- DAS. Warsi. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Akses 19 Februari 2010 pada alamat http ://www.warsi.com Wearing S, J Neil. 2009. Ecotourism : Impacts, Potentials, and Possibilities?. Second Edition. UK :Oxford, Elsevier. 286p. Weaver DB. 2002. Hard-core Ecotourists in Lamington National Park, Australia. Journal of Ecotourism 2 (1) : hal. 19 – 35. Widada. 2008. Mendukung Pengelolaan Taman Nasional yang Efektif Melalui Pengembangan Masyarakat Sadar Konservasi yang Sejahtera. Jakarta : Ditjen PHKA – JICA. 136 hal. Windoatmoko. 2006. Evaluasi Potensi Sumberdaya Fisik untuk Pengembangan Pariwisata Pada Lokasi Wisata di Magelang. Tesis. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 112 hal. Yianna F, P Paulicos. Gis Contribution For The Evaluation And Planning of Tourism:A Sustainable Tourism Perspective. Akses 29 Juni 2010, alamathttp:ww.gipsynoise.gr/HellasGI/KoinonikesPraktikes/papers/Farsaki. pdf
131
Lampiran Lampiran 1
Paduan wawancara
Wawancara tentang flora fauna, meliputi : 1. Pemahaman petugas terhadap flora langka atau endemik dan satwa, 2. Pemahaman petugas tentang lokasi habitat flora dan fauna langka dan atau endemik; 3. Pemahaman petugas tentang akses menuju lokasi.
132
Lampiran 2
Data primer koordinat titik hasil survai verifikasi flora, fauna, fenomena alam, fasilitas di Sukaraja Atas UTM (48 M)
Nama Flora dan fauna Jejak gajah (Elephas maximus sumatranus) Jejak gajah (Elephas maximus sumatranus) Jejak gajah (Elephas maximus sumatranus) Lintasan gajah (Elephas maximus sumatranus) Jejak gajah (Elephas maximus sumatranus) Kotoran gajah (Elephas maximus sumatranus) Jejak harimau (Panthera tigris sumatrae) Bekas kubangan badak (Dicerorhinus sumatrensis) Lokasi tapir, harimau, rusa (Ket. RPU dan masyarakat) Jejak Rusa (Cervus unicolor) Jejak Rusa (Cervus unicolor) Jejak Rusa (Cervus unicolor) Jejak babi (Sus crofa) Jejak babi (Sus crofa) Rangkong Rangkong Rangkong Habitat Amorphophallus sp Rafflesia arnoldii di Camp rhino Rafflesia arnoldii di Camp rhino Rafflesia arnoldii di pinggir jalan Pohon kiara (Ficus sp) Pohon kiara (Ficus sp) Fenomena alam Air terjun Fasilitas Camp rhino Pintu gerbang Titik masuk jalan setapak masyarakat Titik Keluar jalan setapak masyarakat
X
Y
439203,9488 439176,9852 439508,9225 439468,6694 439571,0926 437683,9781 438118,8612 437862,5494
9388637,316 9388609,670 9388673,660 9388689,171 9388422,676 9388752,617 9388546,854 9388666,910
437972,5485 439075,9281 439211,7362 439216,1556 439211,7362 439216,1556 438659,1398 439545,6080 437253,5675 439920,3354 436943,9288 436900,7054 438036,0380 439333,0122 437862,5494
9388618,878 9388859,013 9388780,666 9388730,385 9388780,666 9388730,385 9388786,964 9388659,248 9389043,851 9388857,027 9391282,999 9391284,632 9390249,769 9388735,265 9388666,910
438124,4147
9388575,379
436954,1854 439522,8479 439780,2362 436410,3290
9391278,792 9389767,399 9388937,428 9389176,026
133
Lampiran 3
Data primer koordinat titik hasil survai verifikasi flora, fauna, fenomena alam, fasilitas di Kubu Perahu
Nama Flora dan fauna Lintasan gajah (Elephas maximus sumatranus) Jejak gajah (Elephas maximus sumatranus) Kotoran gajah (Elephas maximus sumatranus) Lintasan gajah (Elephas maximus sumatranus) Lintasan gajah (Elephas maximus sumatranus) Lokasi kijang sering muncul Jejak kijang (Muntiacus muntjak) Jejak kijang (Muntiacus muntjak) Lokasi Sumatran Ground cuckoo Jejak babi (Sus sp) Lintasan kijang (Muntiacus muntjak) Demplot anggrek Burahol (Stelechocarpus burahol) Burahol (Stelechocarpus burahol) Burahol (Stelechocarpus burahol) Soka hutan (Ixora timorensis) Shorea ovalis (diameter 137 cm) Palem serdang Pakis monyet (Cibotium barometz) Anggrek eria sp Anggrek alam Fenomena alam Air terjun Way Asahan Kiri Air terjun Sungai Way Sepapa Kiri Air terjun Sungai Way Sepapa Kanan Fasilitas Bumi perkemahan Pos Balik Bukit Shelter Shelter roboh Pintu Gerbang Menara Pengamat
UTM (48 M) X
Y
396163,1919 395871,7624 395982,0000 394848,0000 395332,0000 396755,7307 396454,0286 396071,3556 396498,0000 395043,0000 395077,7571 395102,8369 396730,3075 396720,5249 396713,1766 395458,0000 395645,0000 395788,0000 396048,9171 395295,0000 395240,0564
9439122,9761 9438551,5708 9438558,9007 9439230,0000 9439182,0000 9440648,0834 9440613,6229 9439126,2715 9440809,2561 9439273,0397 9439229,8963 9439166,6460 9438914,6312 9438898,0640 9438879,6931 9439227,0000 9439220,0000 9439250,0000 9439137,7388 9439157,0000 9439130,5316
396781,0665 396781,0000 396715,0000
9440637,9444 9439035,6370 9438271,6176
394896,18040 394899,78351 395931,35009 396044,87917 394907,12313 395026,55450
9439321,04866 9439404,99091 9439231,80008 9438602,28743 9439384,41144 9439319,25813