Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SERAYU HULU Land Cover Changes in Upper Serayu Watershed Andry Rustanto1, Dhruba P. Shrestha2, Victor G. Jetten2 1
2
Departemen Geografi FMIPA UI Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente, NL Email :
[email protected] Abstract
The upper Serayu watershed is one of several agriculture centres production in the Central Java province. The land cover of this area has been changed since it was utilizied as agricultural and plantation area. The land cover changes observation of the upper Serayu watershed was done for 20 years period, it was during 1989 to 2009 period. The land cover changes analysis were done by using Landsat TM and ETM+ images. The results are series of land cover maps which were obtained by using supervised classification method together with no-change vector analysis method. The land cover of the upper Serayu watershed in 1989 was dominated by forest cover while in 1994 was dominated by dry land cultivation. Dry land cultivation and plantation dominated land cover of the upper Serayu watershed in 1999 dan 2003, while in 2009 was dominated by plantation cover. Land cover changes in the area between 1989 to 1994 was dominated by forest cover conversion to dry land cultivation, while conversion from dry land cultivation and forest cover to plantation was dominated land cover changes of the area in the 1994 to 2009 period, beside forest cover conversion to dry land cultivation. According to field observation in 2009, plantation cover is dominated by albasiah plantation which is fast growing plant. Dry land cultivation is dominated by potato and cabbage. Key words : Upper Serayu watershed, land cover change, supervised classification, no-change vector analysis Abstrak Daerah aliran sungai Serayu hulu dikenal sebagai salah satu pusat produksi pertanian sayur mayur di wilayah Jawa Tengah. Daerah ini telah mengalami perubahan tutupan lahan semenjak diusahakan sebagai wilayah budidaya pertanian dan perkebunan. Perubahan ini berhasil diamati selama kurun waktu 20 tahun semenjak 1989 sampai dengan 2009. Analisis perubahan tutupan lahan ini dilakukan dengan bantuan citra rekaman sensor satelit Landsat TM dan ETM+. Hasil pengolahan citra berupa peta tutupan lahan dihasilkan dengan metode klasifikasi terselia yang digabungkan dengan no-change vector analysis. Tutupan lahan di daerah aliran sungai Serayu hulu pada tahun 1989 didominasi oleh tutupan hutan, sedangkan pada tahun 1994 tutupan lahan di daerah ini didominasi oleh pertanian tanah kering. Pada tahun 1999 dan 2003 tutupan lahan di daerah ini didominasi oleh pertanian tanah kering dan perkebunan, sedangkan pada tahun 2009 tutupan lahan di daerah ini didominasi oleh tutupan lahan perkebunan. Perubahan tutupan lahan yang terjadi antara tahun 1989 sampai dengan 1994 didominasi oleh perubahan tutupan hutan menjadi pertanian tanah kering, sementara pada kurun waktu 1994 sampai dengan 2009 didominasi oleh perubahan tutupan pertanian tanah kering dan hutan menjadi perkebunan disamping hutan menjadi pertanian tanah kering. Berdasarkan pengamatan lapangan pada tahun 2009, tutupan perkebunan didominasi oleh tanaman albasiah yang memiliki waktu panen relatif singkat, sementara pertanian tanah kering didominasi oleh tanaman kentang dan kubis. Kata kunci : Daerah aliran Sungai Serayu hulu, peruban tutupan lahan, klasifikasi terselia, no-change vector analysis
1
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
I. PENDAHULUAN Perkembangan sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang sangat dinamis memberikan dampak pada berbagai komponen lingkungan tempat hidup masyarakat tersebut, salah satunya adalah pada tutupan lahan yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut antara lain dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan penunjang kehidupan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan pangan dengan pembukaan lahan pertanian, pemenuhan kebutuhan perumahan dengan pembangunan permukiman sampai dengan pembangunan industri untuk memenuhi berbagai kebutuhan kehidupan lainnya. Usaha-usaha pemenuhan kebutuhan tersebut membutuhkan lahan baru atau menyebabkan alih fungsi lahan, dengan kata lain menyebabkan terjadinya perubahan tutupan lahan. Salah satu dampak perubahan tutupan lahan di Indonesia yang menajadi sorotan dunia adalah deforestasi atau berkurangnya tutupan hutan. Laju deforestasi di Indonesia setiap tahunnya kurang lebih mencapai 1 juta hektar (Pagiola, 2004). Perubahan tutupan hutan ini sebagian besar antara lain menjadi lahan perkebunan; menjadi semak belukar, lahan terbuka atau hutan sekunder akibat penebangan liar maupun kebakaran hutan; serta menjadi lahan pertanian maupun permukiman pernduduk (Djajadilaga et al., 2009). Perubahan tutupan lahan pada prinsipnya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan sosial ekonomi dan demografi masyarakat yang sangat dinamis. Terlebih lagi di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebesar 228 juta jiwa atau terbesar ke empat di dunia dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen (Djajadilaga et al., 2009). Namun demikian, guna mengantisipasi dampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungannya yang mungkin ditimbulkan, diperlukan adanya monitoring secara berkala terhadap perubahan tutupan lahan (Lambin, Geist, & Rindfuss, 2006). Berbagai macam cara dan teknik telah dikembangkan manusia sejak lama mengikuti perkembangan teknologi pemetaan dan observasi muka bumi, dan saat ini monitoring perubahan tutupan lahan sangat terbantu dengan
teknologi penginderaan jauh (Ramankutty et al., 2006). Fokus penelitian perubahan tutupan lahan penelitian ini difokuskan pada wilayah daerah aliran Sungai (DAS) Serayu Hulu Jawa tengah (gambar 1). Hal ini berkaitan dengan isu perubahan tutupan lahan di daerah ini selama 20 tahun terakhir semenjak giatnya aktivitas pertanian sayur mayur pada era 80-an. Daerah ini berlokasi pada wilayah administrasi Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo dengan luas area sebesar 95.173 ha. Daerah aliran Sungai Serayu hulu dikelilingi oleh komplek pegunungan vulkanik pada wilayah utara (komplek dataran tinggi Dieng) dan timur (Gunung Sumbing dan Sindoro) yang terletak pada ketinggian 225 m di atas permukaan laut sampai dengan 3325 m di atas permukaan laut. Sedangkan di sebelah selatan di batasi oleh perbukitan lipatan (gambar 2).
Gambar 1. Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Dampak negatif yang disinyalir terjadi akibat perubahan tutupan lahan di daerah aliran Serayu hulu ini selain deforestasi adalah meningkatnya tingkat erosi tanah yang berimbas pada terganggunya operasional waduk PB Sudirman (Mrica) yang berlokasi di outlet daerah ini (Syariman & Soewarno, 2008). Disamping itu, erosi juga dapat berdampak pada menurunnya kualitas tanah atau berkurangnya kesuburan tanah. Hal ini dapat memicu pembukaan lahan pertanian baru guna menjaga stabilitas produksi disamping lebih intensifnya penggunaan pupuk kimia.
2
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
Gambar 2. Gambaran morfologi DAS Serayu Hulu
Memperhatikan fenomena dampak negatif yang disinyalir muncul akibat perubahan tutupan lahan di daerah aliran Serayu hulu, diperlukan adanya monitoring perubahan tutupan lahan. Hasil dari monitoring ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk analisis lebih lanjut mengenai dampak perubahan tutupan lahan bagi kehidupan manusia dan lingkungan di daerah aliran Serayu hulu. Lebih jauh, hasil ini juga dapat digunakan sebagai arahan kebijakan penggunaan tanah di daerah ini guna melanjutkan pembangunan daerah yang lebih berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
II. BAHAN DAN METODOLOGI II.1
Bahan
II.1.1 Citra Landsat Monitoring tutupan lahan dalam jangka waktu 20 tahun (1989 – 2009) dengan bantuan citra satelit dengan akses data yang relatif mudah, dapat dilakukan dengan seri citra satelit Landsat. Hal ini dikarenakan seri satelit Landsat telah beroperasi semenjak tahun 1971 dengan perkembangan resolusi spektral dan spasial yang signifikan (NASA, 2010) serta memadai untuk pemetaan tutupan lahan dengan skala 100.000 (Anderson, Hardy, Roach, & Witmer, 1976; Houghton, Joos, & Asner, 2004). Disamping itu, seri data citra landsat disediakan secara gratis oleh beberapa instansi pemerintah maupun universitas di Amerika Serikat yang dapat diunduh secara gratis.
Penelitian ini melakukan monitoring tutupan lahan pada DAS Serayu Hulu mulai dari tahun 1989 sampai dengan 2009 dengan interval waktu 5 tahun. Data citra satelit Landsat yang digunakan antara lain : a. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 21 Juni 2009 yang diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). b. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 18 Juni 2008 yang diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). c. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 7 Juni 2004 yang diperoleh dari GLCF University of Maryland (http://glcf.umiacs.umd.edu). d. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 20 Mei 2003 yang diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). e. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 1 Juli 2001 yang diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). f. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 13 Agustus 1999 yang diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). g. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 20 Juni 1994 yang diperoleh dari LAPAN. h. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 28 Juni 1991 yang diperoleh dari GLCF University of Maryland (http://glcf.umiacs.umd.edu).. i. Landsat ETM + dengan tanggal akuisisi 11 April 1989 yang diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). Data yang dikumpulkan untuk monitoring 5 tahunan dalam penelitian ini lebih dari 5 citra Landsat. Hal ini dikarenakan kondisi citra yang terkadang direkam dalam kondisi berawan sehingga membutuhkan citra Landsat lain sebagai penambal tutupan awan tersebut. Citra Landsat penambal ini di pilih dari waktu akusisi yang terdekat dengan citra Landsat utama.
II.1.2 Data Lapangan Data lapangan digunakan sebagai referensi dalam melakukan klasifikasi citra Landsat guna memperoleh peta tutupan lahan. Disamping itu, data lapangan juga digunakan sebagai referensi dalam menilai tingkat akurasi hasil klasifikasi citra Landsat. Data lapangan yang diperoleh sebanyak 347 titik pengamatan dengan bantuan global positioning system (GPS) (gambar 3). 3
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
Tahap pra-pengolahan citra landsat dilakukan dalam rangka mengurangi efek topografi, bising atmosfer serta memperbaiki adanya bising garis akibat kesalahan sensor (striping) serta menambal tutupan awan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi citra serta membuat seri citra Landsat dapat digunakan untuk analisis waktu berseri (time series) (Yuan & Elvidge, 1996); Lunetta et al, 1995; Song et al, 2000; Olthof et al, 2005).
Gambar 3. Lokasi titik pengamatan lapangan
II.1.3 Perangkat Lunak Pengolah Data Pengolahan dan interpretasi citra Landsat untuk memperoleh informasi tutupan lahan dibantu dengan dukungan perangkat lunak GRASS GIS 6.4 RC5. Selain itu, dukungan analisis statistik spektral untuk melakukan klasifikasi seri citra Landsat tahun sebelumnya dibantu dengan dukungan perangkat lunak RKWard dan R.
II.2
Metodologi
Koreksi topografi
Daerah aliran Sungai Serayu hulu yang terletak pada wilayah vulkanik dan lipatan yang kompleks memberikan efek iluminasi pada perekaman citra Landsat daerah ini. Hal ini dapat mengakibatkan kurang akuratnya hasil klasifikasi citra, untuk itu koreksi topografi dipelukan dalam pengolahan citra landsat daerah ini. Metode yang digunakan untuk koreksi topografi pada citra Landsat daerah penelitian ini adalah metode C correction (Teillet et al, 1981). Metode ini dianggap paling sesuai untuk wilayah tropis (Twele & Erasmi, 2005). C correction merupakan metode semi empiris yang menggunakan pendekatan regresi statistik antara nilai reflektansi band yang asli dengan perkiraan nilai iluminasi dilapangan yang diperoleh dari model ketinggian digital (DEM).
II.2.1 Pengumpulan Data Lapangan
Data lapangan dikumpulkan melalui pengamatan lapangan yang dilakukan secara acak yang terstruktur (stratified random sampling). Sebelum pergi ke lapangan, 60 titik yang akan dikunjungi dari 10 kelas tutupan lahan ditentukan dan dipersiapkan pada peta survey sebagai estimasi awal berdasarkan pengamatan peta topografi dan googleearth. Penentuan lokasi titik sampel ini juga dilakukan dengan mempertimbangkan faktor aksesibilitas. Informasi lapangan direkam dengan bantuan GPS dan kamera digital serta peta kerja.
Kondisi atmosfer yang dinamis mengharuskan dilakukannya koreksi pada citra yang digunakan dalam analisis tutupan lahan berseri (time series land cover analysis) (Moran et al, 1992; (Chavez, 1996); (Song, Woodcock, Seto, Lenney, & Macomber, 2000). Koreksi atmosfer yang dilakukan adalah koreksi akibat hamburan Mie dan Rayleigh, dimana kedua hamburan ini adalah bising yang paling sering dan dominan ada pada citra penginderaan jauh (Mather & Tso, 2009; Richards & Jia, 2006). Hamburan tersebut menyebabkan efek kabut tipis pada citra. Metode koreksi atmosfer yang digunakan pada penelitian ini adalah dark object substraction-4 (DOS-4) (Song et al, 2000). Metode ini merupakan pendekatan citra, dipilih karena tidak diperolehnya informasi lapangan mengenai paramater kondisi atmosfer yang
II.2.2 Pengolahan Citra Landsat Baberapa tahapan pengolahan citra Landsat yang dilakukan untuk mendapatkan peta tutupan lahan antara lain : a. Pra-pengolahan
Koreksi atmosfer
4
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
diperlukan dalam koreksi atmosfer yang diperlukan dalam metode dengan pendekatan kondisi atmosfer aktual. Metode DOS-4 merupakan pendekatan koreksi atmosfer yang dipandang cukup baik dibandingkan dengan metode koreksi atmosfer dengan pendekatan citra lainnya (Song et al, 2000)
Normalisasi radiometrik relatif
Berkaitan dengan analisa waktu berseri citra Landsat yang dilakukan pada penelitian ini, selain koreksi atmosfer, diperlukan juga normalisasi radiometrik pada seluruh citra yang digunakan dalam penelitian ini agar dapat dibandingkan satu sama lain. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir variasi kondisi permukaan objek pada citra yang direkam pada waktu dan kondisi permukaan objek yang berbeda yang dapat diakibatkan antara lain oleh perbedaan kelembaban objek dari waktu ke waktu (Mas, 1999). Metode yang digunakan untuk normalisasi radiometrik relatif dalam penelitian ini adalah dengan regresi linear nilai reflektansi objek pada citra yang tidak berubah dari waktu ke waktu (Lunetta et al, 1995). Metode ini dianggap cukup efektif dibandingkan dengan metode lainnya (Yuan & Elvidge, 1996).
Penambalan awan dan bising garis (striping) Penambalan awan dan bising garis akibat kerusakan sensor Landsat (SLC-off) dilakukan dengan metode cropping awan dan bising garis pada citra dan menggantinya dengan citra lain dari waktu perekaman yang berdekatan dengan menggunakan formula matematika (map calculator). Formula yang digunakan adalah : Citra_akhir=if(mask=true,
, ) b. Klasifikasi citra Landsat terkini Setelah semua tahap pra-pengolahan citra dilakukan, selanjutnya citra Landsat terkini dapat diklasifikasi dengan training sampel dari data hasil pengamatan lapangan. Metode yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing dengan bantuan algoritma Sequential Maximum A Posteriori (SMAP). Algoritma ini dipilih dengan pertimbangan bahwa hasil klasifikasi yang diperoleh memberikan akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa metode populer lain seperti algoritma Maximum Likelihood
(ML) (McCauley & Engel, 1995). Algoritma SMAP memiliki keunggulan berupa pendekatan geometrik disamping pendekatan radiometrik sebagaimana algoritma ML, sehingga dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi (Neteler & Mitasova, 2005). Mekanisme klasifikasi algoritma SMAP dijelaskan oleh Bouman & Shapiro (1994) adalah dengan membangun file signature awal dari training sampel yang ditentukan menggunakan pendekatan distribusi Gaussian Mixture berdasarkan rata-rata nilai spektral dan parameter kovarian. Selanjutnya nilai spektral dan parameter kovarian ini digunakan sebagai kode identifikasi kelas tutupan lahan yang diketahui dengan menyertakan nilai spektral tetangga yang berbeda yang diasumsikan memiliki kelas yang sama pada berbagai skala hingga menghasilkan hasil yang paling halus (smoth). Jika pixel tetangga yang berbeda menghasilkan beberapa kelas yang berbeda pada beberapa proses pengulangan (iterasi), maka skala penghalusan dikurangi. Hal ini dilakukan hingga mencapai kestabilan. Hasil dari klasifikasi menggunakan algoritma SMAP memiliki segmentasi dengan region yang lebih halus (McCauley & Engel, 1995). c. Penilaian tingkat akurasi hasil klasifikasi Setelah citra Landsat melalui tahap klasifikasi, tahap selanjutnya adalah melakukan penilaian tingkat akurasi hasil klasifikasi terhadap sample tutupan lahan yang diperoleh dari lapangan. Metode yang digunakan adalah error matrix dan kappa statistics (Congalton & Green, 2009). d. Klasifikasi citra Landsat tahun-tahun sebelumnya Setelah proses klasifikasi citra Landsat terkini dilakukan, maka proses selanjutnya adalah melakukan ekstraksi nilai spektral reflektansi semua kelas yang diteliti yang digunakan sebagai panduan klasifikasi 4 citra Landsat tahun-tahun sebelumnya, dalam hal ini memiliki 5 tahun interval ke belakang. Asumsi yang digunakan adalah setiap objek dilapangan memiliki karakteristik reflektansi kanopi tertentu yang kurang lebih tidak berubah (Richards & Jia, 2006). Nilai reflektansi kanopi tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek yang sama pada citra dengan waktu perekaman yang berbeda setelah 5
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
melalui tahap pra-pengolahan sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelumnya (Yuan et al, 1996; Lunetta et al, 1995). Proses identifikasi karakteristik reflektansi objek tertentu dapat dilakukan dengan bantuan identifikasi feature space dan analisis statistik dari hasil ekstraksi nilai reflektansi hasil klasifikasi yang menjadi referensi (dalam hal ini hasil klasifikasi citra Landsat terkini) (Mather & Tso, 2009). Adanya kumpulan titik yang berdekatan atau awan titik pada feature space multi spektral mengindikasikan sebuah kelas objek dari citra Landsat (gambar 4). Nilai tengah dari awan titik itu menginformasikan nilai moda dari objek yang bersangkutan. Posisi sebuah awan titik pada feature space dapat diidentifikasi dengan menggunakan nilai sudut dan magnitud dari awan titik sebuah objek (gambar 4). Konsep vektor pada feature space ini yang dimanfaatkan untuk mengklasifikasi citra Landsat tahun-tahun sebelumnya.
sumbu yang dalam hal ini mewakili masing band, digunakan persamaan di bawah ini.
x θ X = arccos ...2 X Dimana : θ X = sudut vektor magnitudo terhadap sumbu band x
Untuk mengakomodasi variasi dalam satu kelas tutupan lahan maka interpretasi manual dilakukan dengan bantuan histogram masingmasing kelas pada masing-masing band (gambar 5).
Gambar 5. Penentuan jangkauan magnitudo/sudut pada suatu kelas pada satu band
Gambar 4. Posisi objek (awan titik) pada feature space
Untuk mengetahui nilai magnitudo awan titik terhadap pusat sumbu pada feature space, digunakan persamaan di bawah ini.
X=
2 1
2 2
2 3
2 4
2 5
x + x + x + x + x ... + x
2 n
...1 Dimana :
x
X
= nilai magnitudo vektor awan titik
= nilai reflektasi band
Untuk mengetahui nilai sudut posisi objek pada feature space terhadap masing-masing
Dengan demikian diperolehlah nilai jangkauan sudut dan magnitudo masing-masing kelas pada tiap band yang digunakan untuk memperkirakan objek-objek yang tidak mengalami perubahan. Setelah objek-objek tersebut teridentifikasi maka selanjutnya digunakan sebagai training sampel untuk proses klasifikasi lebih jauh dengan metode SMAP. Metode ini diadaptasi dari (Kontoes, 2008).
II.2.3 Perubahan Tutupan Lahan Analisa perubahan tutupan lahan dilakukan dengan metode pasca klasifikasi. Metode ini sangat umum digunakan dan didukung oleh banyak perangkat lunak penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (Chen et al, 2003). Teknik yang umum digunakan adalah tumpang susun yang disusul dengan operasi tabel. Dua hasil klasifikasi dari dua waktu yang berbeda yang ditumpang susunkan bila 6
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
menunjukkan atribut tabel yang sama mengindikasikan tidak adanya perubahan tutupan lahan dan sebaliknya. Disamping itu analisi tumpang susun dapat dilakukan secara virtual dengan bantuan kalkulator peta (map calculator) sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini.
dijumpai semak belukar, tanah terbuka serta danau kawah.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil klasifikasi seri citra Landsat daerah aliran Sungai Serayu Hulu menghasilkan delapan jenis identifikasi tutupan lahan, yaitu : derah terbangun, persawahan, badan air, pertanian tanah kering, hutan, semak belukar, perkebunan dan tanah terbuka. Lebih lengkap mengenai kondisi tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu dijelaskan pada bagian 3.1. Sementara itu, dari hasil penilaian akurasi terhadap hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2009 didapatkan nilai akurasi keseluruhan sebesar 85,7% dan nilai perkiraan kappa sebesar 0.83.
III.1
Tutupan Lahan 1989 – 2009
Tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu pada tahun 1989 (gambar 6) di dominasi oleh tutupan hutan sebesar 43,7%, disusul oleh pertanian tanah kering sebesar 24,4%, perkebunan sebesar 16,5% dan persawahan sebesar 10,8%. Tutupan hutan dapat ditemui dibagian utara, tengah, timur dan barat dari daerah aliran Sungai Serayu Hulu. Daerahdaerah yang memiliki tutupan hutan pada umumnya merupakan kaki pegunungan vulkanik sampai dengan wilayah kerucut vulkanik dan punggunungan monoklinal. Sementara pertanian tanah kering secara dominan dijumpai pada wilayah Plato Dieng. Perkebunan dapat dijumpai di wilayah tengah dan selatan yang merupakan wilayah belereng terjal yang telah tererosi dan wilayah teras aliran utama Sungai Serayu. Persawahan dapat dijumapai pada wilayah teras aliran utama Sungai Serayu dan beberapa anak sungai yang berada di kaki pegunungan vulkanik bagian bawah. Dibagian puncak pegunungan vulkanik
Gambar 6 Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 1989
Tutupan lahan di daerah aliran Sungai serayu Hulu pada tahun 1994 (gambar 7) di dominasi oleh pertanian tanah kering sebesar 36,3%, disusul oleh tutupan hutan sebesar 29,4%, perkebunan sebesar 16,7% dan persawahan sebesar 7,8%. Jika dibandingkan dengan luasan pada tahun 1989, terjadi penurunan yang cukup signifikan dari luas areal tutupan hutan dan sebaliknya terjadi pertambahan luas pertanian tanah kering yang juga signifikan. Persawahan mengalami penurunan luas kurang lebih sebesar 20% dibandingkan luasan pada tahun 1989.
Gambar 7 Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 1994 7
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
Pada tahun 1999, tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu (gambar 8) didominasi oleh tutupan pertanian tanah kering sebesar 31,6%, hutan sebesar 23,2%, perkebunan sebesar 22,2%, semak belukar sebesar 10,1% dan persawahan sebesar 9,3%. Dibandingkan dengan luasan tutupan lahan tahun 1994, luasan wilayah pertanian tanah kering mengalami sedikit penurunan, demikian juga luasan tutupan hutan. Di sisi lain luas perkebunan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Semantara luas areal persawahan mengalami sedikit peningkatan. Adanya perluasan perkebunan dapat di amati pada bagian atas dari wilayah berlereng terjal yang telah tererosi yang terletak di bagian tengah menuju kaki pegunungan vulkanik di bagian utara. Sementara perluasan semak belukar dapat diamati pada kaki pegunungan sampai dengan puncak gunung berapi.
hutan. Sementara itu luas areal persawahan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Perluasan areal perkebunan antara lain dapat diamati pada wilayah kaki pegunungan vulkanik sampai dengan wilayah tengah dari kerucut vulkanik pada bagian barat laut dan tengah dari daerah aliran Sungai Serayu Hulu. Sementara itu perluasan semak belukar pada umumnya terjadi pada wilayah kerucut vulkanik dan kaki pegunungan vulkanik di bagian timur dan utara daerah aliran Sungai Serayu hulu.
Gambar 9 Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 2003
Gambar 8 Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 1999
Pada tahun 2003, tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu (gambar 9) didominasi oleh pertanian tanah kering sebesar 29,5%, disusul oleh perkebunan sebesar 24,7%, hutan sebesar 19,3%, semak belukar sebesar 17% dan persawahan sebesar 5,7%. Bila dibandingkan dengan tutupan lahan pada tahun 1999, pertanian tanah kering mengalami sedikit penurunan luas areal, demikian juga tutupan
Tutupan perkebunan sebesar 36,2% mendominasi tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu pada tahun 2009 (gambar 10). Disusul oleh pertanian tanah kering sebesar 21,8%, semak belukar sebesar 19,3%, hutan sebesar 11,2% dan persawahan sebesar 6%. Dibandingkan dengan luasan pada tahun 2003, wilayah pertanian tanah kering mengalami penurunan yang cukup signifikan, demikian juga tutupan hutan. Sebaliknya perluasan wilayah perkebunan sangat signifikan, sementara semak belukat mengalami sedikit pertambahan luas wilayah. Untuk tutupan wilayah terbangun, meskipun proporsi luasannya kurang signifikan dibandingkan luas keseluruhan daerah aliran Sungai Serayu Hulu tapi jika dibandingkan dengan luasan pada tahun 2003 mengalami peningkatan hampir dua kali lipat.
8
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
Gambar 10Perluasan Tutupan lahan DAS Serayudapat Hulu tahun 2009pada perkebunan ditemui
wilayah tengah dari daerah aliran Sungai Serayu Hulu, sementara semak belukar telihat meluas pada wilayah kerucut vulkanik. Semetara itu perluasan wilayah terbangun terlihat menyebar diseluruh wilayah daerah aliran Sungai Serayu Hulu.
III.2 Perubahan Tutupan Lahan 1989 – 2009 Selama kurun waktu 1989 sampai dengan 2009, telah terjadi perubahan tutupan lahan yang cukup signifikan dan dinamis di daerah aliran Sungai Serayu Hulu. Tutupan hutan telah berubah menjadi wilayah pertanian tanah kering, perkebunan maupun semak belukar. Berdasarkan analisa perubahan tutupan lahan, luasan hutan turun sebesar 33% dalam kurun waktu 1989 sampai dengan 1994 dan terus menurun sampai dengan tahun 2009 sebesar rata-rata 26%. Secara keseluruhan penurunan luasan hutan semenjak tahun 1989 sampai dengan 2009 adalah sebesar 74%. Alih fungsi hutan menjadi wilayah pertanian tidak terlepas dari motif pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang juga dipengaruhi oleh faktor sosial politik Indonesia selama kurun waktu tersebut (Lavigne & Gunnell, 2006). Alih fungsi pertanian tanah kering menjadi perkebunan yang juga silih berganti terjadi pada kurun waktu 1989 sampai dengan 2009 tidak terlepas dari kecenderungan daya serap pasar
terhadap produk pertanian terutama kentang yang fluktuatif disamping munculnya wilayahwilayah sentra produksi baru serta menurunnya kualitas kesuburan tanah. Selama kurun waktu 1989 sampai dengan 1994 terlihat jelas perubahan tutupan hutan, perkebunan dan persawahan menjadi pertaniana tanah kering yang sebagian besar memproduksi kentang sebesar 11 ribu ha. Menurut informasi pemerintah lokal, hal ini dapat difahami berkaitan dengan permintaan produksi kentang di wilayah Jawa Tengah dan Nasional yang sedang meningkat. Pada periode berikutnya luasan pertanian tanah kering berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Sebaliknya perubahan itu lebih banyak kepada perluasan perkebunan albasiah yang dikenal dapat tumbuh dengan cepat sehingga dapat segera dipanen serta memiliki pasar yang relatif lebih stabil.
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa klasifikasi citra Landsat, dominasi tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu didominasi oleh hutan dan pertanian tanah kering pada kurun waktu 1989 sampai dengan 1999. Sementara pada kurun waktu berikutnya sampai dengan tahun 2003, dominasi tutupan lahan di daerah ini adalah pertanian tanah kering dan perkebunan, sedangkan sampai dengan tahun 2009 didominasi oleh perkebunan dan pertanian tanah kering. Perubahan tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu selama kurun waktu 1989 sampai dengan 1994 didominasi oleh konversi hutan, perkebunan, semak belukar dan persawahan menjadi pertanian tanah kering. Sementara selama kurun waktu 1994 sampai dengan tahun 1999 dominasi perubahan tutupan lahan adalah dari hutan, pertanian tanah kering, semak belukar dan persawahan menjadi perkebunan. Perubahan persawahan, hutan, pertanian tanah kering, perkebunan dan padang rumput menjadi semak belukar mendominasi perubahan tutupan lahan pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2003 di daerah ini. Sedangkan konversi lahan persawahan, pertanian tanah kering, hutan dan semak belukar 9
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
menjadi perkebunan mendominasi perubahan tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu pada kurun waktu tahun 2003 sampai dengan 2009.
V.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tulisan ini merupakan bagian dari tesis penulis pertama untuk meraih gelar Master of Science di Faculty of ITC University of Twente, Netherlands. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua pembimbing, Dr. Dhruba Pikha Shestha dan Prof. Dr. Victor G. Jetten. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Geografi Universitas Indonesia, Drs. Triarko Nurlambang, MA atas dukungan penuh terhadap studi penulis di Faculty of ITC University of Twente. Kepada editor, Kuswantoro, SSi, penulis menghaturkan banyak terima kasih atas kesabarannya.
VI. DAFTAR PUSTAKA Anderson, B. J., Hardy, E. E., Roach, J. T., & Witmer, R. E. (1976). A Land Use And Land Cover Classification System For Use With Remote Sensor Data. Development (964 ed., Vol. 2001, p. 41). Washington: United States Department of the Interior and USGS. Bouman, C. A., & Shapiro, M. (1994). A Multiscale Random Field Model for Bayesian Image Segmentation. IEEE transactions on image processing : a publication of the IEEE signal processing society, 3(2), 162-77. doi: 10.1109/83.277898. Chavez, P. (1996). Image-based atmospheric corrections-revisited and improved. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 62(9), 1025–1035. [Falls Church, Va.] American Society of Photogrammetry. Retrieved from http://www.asprs.org/publications/pers/96journa l/september/1996_sep_1025-1036.pdf. Chen, J., Gong, P., He, C., Pu, R., & Shi, P. (2003). Land-Use/Land-Cover Change Detection Using Improved Change-Vector Analysis. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 69(4), 369-379. Congalton, R., & Green, K. (2009). Accuracy Remotely Sensed Data (Second Edi., p. 183). Boca Raton: CRC Press.
Djajadilaga, M., Agustina, H., Pribadi, W., Harimurti, Lindawati, Gaol, L. P., et al. (2009). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008 (State of Environment Report of Indonesia). Jakarta. Houghton, R. H., Joos, F., & Asner, G. P. (2004). Land Change Science. In Land Change Science, Remote Sensing and Digital Image Processing (Vol. 6, pp. 237-256). Dordrecht: Springer Netherlands. doi: 10.1007/978-1-4020-2562-4. Kontoes, C. C. (2008). Operational land cover change detection using change vector analysis. International Journal of Remote Sensing, 29(16), 4757-4779. doi: 10.1080/01431160801961367. Lambin, E. F., Geist, H., & Rindfuss, R. R. (2006). Introduction: Local Processes with Global Impacts. In Land-Use and Land-Cover Change, Global Change - The IGBP Series (pp. 1-8). Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. doi: 10.1007/3-540-32202-7. Lavigne, F., & Gunnell, Y. (2006). Land cover change and abrupt environmental impacts on Javan volcanoes, Indonesia: a longterm perspective on recent events. Regional Environmental Change, 6(1-2), 86-100. doi: 10.1007/s10113-005-0009-2. Lunetta, R. S., Elvidge, D., Yuan, D., & Weerackoon, R. D. (1995). Relative Radiometric Normalization Landsat Multispectral Scanner (MSS) Data Using an Automatic Scattergram Controlled Regression. American Society for Photogrammetry and Remote Sensing, 61(10), 1225-1260. Mas, J. (1999). Monitoring land-cover changes: a comparison of change detection techniques. International Journal of Remote Sensing, 20(1), 139–152. London: Taylor \& Francis, c1980-. Retrieved from http://nature.berkeley.edu/~bingxu/UU/spatial/R eadings/IJRSMas1999.pdf. Mather, P., & Tso, B. (2009). Classification Methods for Remotely Sensed Data, Second Edition (Second., p. 347). Boca Raton: CRC Press. Retrieved from http://www.informaworld.com/978-0-41525908-8. McCauley, J., & Engel, B. (1995). Comparison of scene segmentations: SMAP, ECHO, and maximum likelihood. IEEE Transactions on Geoscience and Remote
10
Jurnal Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, no.1 tahun 2010
Sensing, 33(6), 1313-1316. doi: 10.1109/36.477185. Moran, M., Jackson, R., Slater, P., & Teillet, P. (1992). Evaluation of simplified procedures for retrieval of land surface reflectance factors from satellite sensor output. Remote Sensing of Environment, 41(2-3), 169184. doi: 10.1016/0034-4257(92)90076-V. NASA. (2010). The Landsat Program History. Retrieved from http://landsat.gsfc.nasa.gov/about/landsat5.html. Neteler, M., & Mitasova, H. (2005). Open source GIS: A GRASS GIS Approach (Second Edi., p. 417). Boston: Kluwer Academic Publisher. Retrieved from http://books.google.com/books? hl=nl&lr=&id=5JIwSM_fr-YC&pgis=1. Olthof, I., Pouliot, D., Fernandes, R., & Latifovic, R. (2005). Landsat-7 ETM+ radiometric normalization comparison for northern mapping applications. Remote Sensing of Environment, 95(3), 388-398. doi: 10.1016/j.rse.2004.06.024. Pagiola, S. (2004). Land Use Change in Indonesia. Others. Washington. Retrieved from http://econwpa.wustl.edu/eps/othr/papers/0405/ 0405007.pdf. Ramankutty, N., Graumlich, L., Achard, F., Alves, D., Chhabra, A., DeFries, R. S., et al. (2006). Global Land-Cover Change: Recent Progress, Remaining Challenges. In Land-Use and Land-Cover Change, Global Change - The IGBP Series (pp. 9-39). Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. doi: 10.1007/3-540-32202-7.
Richards, J., & Jia, X. (2006). Remote sensing digital image analysis : an introduction (Fourth edi., p. 439). Berlin: Springer-Verlag. Song, C., Woodcock, C. E., Seto, K. C., Lenney, M. P., & Macomber, S. A. (2000). Classification and Change Detection Using Landsat TM Data: When and How to Correct Atmospheric Effects? Remote Sensing of Environment, 4257(00). Syariman, P., & Soewarno. (2008). Sedimentation Control: Part II. Intensive Measures The Inside of The Mrica Reservoir, Central Java. Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation, 3(1), 17-24. Retrieved from www.trisanita.org. Teillet, P. M., Guindon, B., & Goodenough, D. G. (1981). On the SlopeAspect Correction of Multispectral Scanner Data. Symposium A Quarterly Journal In Modern Foreign Literatures. Twele, A., & Erasmi, S. (2005). Evaluating topographic correction algorithms for improved land cover discrimination in mountainous areas of central sulawesi. Remote Sensing and GIS for Environmental Studies, 113, 287-295. Yuan, D., & Elvidge, C. (1996). Comparison of relative radiometric normalization techniques. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 51(3), 117–126. Elsevier. Retrieved from http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/09242 71696000184.
11