ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG HULU DALAM KAITANNYA DENGAN BANJIR JAKARTA
SANTI AGUSTINA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perubahan Penutupan Lahan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu dalam Kaitannya dengan Banjir Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013 Santi Agustina NIM G24090034
ABSTRAK SANTI AGUSTINA. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu dalam Kaitannya dengan Banjir Jakarta. Dibimbing oleh DANIEL MURDIYARSO. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu (15.258 ha) merupakan DAS yang memiliki potensi untuk mengendalikan banjir Jakarta. Perubahan penutupan lahan di DAS Ciliwung Hulu secara signifikan memberikan pengaruh terhadap aliran langsung yang teramati di bendung. Penelitian ini menganalisis perubahan penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu dengan teknik Sistem Informasi Geografi (SIG) dan pengaruhnya terhadap aliran langsung dengan menggunakan metode Soil Conservation Method (SCS). Berdasarkan hasil analisis dengan SIG diketahui bahwa penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1994 dan 2000 didominasi oleh hutan dengan luas masing-masing 6608 ha (43% luas total) dan 5180 ha (34%) sedangkan penutupan lahan tahun 2010 didominasi oleh kebun campur dan perkebun teh seluas 5518 ha (36%). Selama periode 1994-2010 aliran langsung hasil pendugaan meningkat hingga 83%, disebabkan oleh peningkatan luas area pemukiman dan tegalan serta penurunan luas hutan. Perubahan penutupan lahan juga secara signifikan meningkatkan frekuensi kejadian banjir dan aliran total (debit) serta tinggi muka air yang digunakan sebagai informasi kondisi siaga peringatan dini banjir DKI Jakarta di Bendung Katulampa. Tahun 1990 banjir terbesar tercatat pada kondisi siaga IV dengan aliran langsung terbesar adalah 31% dari curah hujan (CH). Tahun 2000 dan 2010 kondisi banjir terbesar meningkat hingga kodisi siaga III dan II dengan persentase CH yang berubah menjadi aliran langsung adalah sebesar 31% dan 62%. Kata kunci : aliran langsung, metode SCS, penutupan lahan, SIG
ABSTRACT SANTI AGUSTINA. Analysis of Land Cover Change of Upper Ciliwung Watershed in Relation to the Jakarta’s Flood. Supervised by DANIEL MURDIYARSO. Upper Ciliwung watershed (15.258 ha) is a catchment area having potential to control flooding in Jakarta. Land cover changes that occured in Upper Ciliwung significantly affect direct runoff, expressed in the outlet of the watershed. Geographical Information System (GIS) technique was employed to analyze land cover change, and SCS (Soil Conservation Service) method was used to analyze the impacts of land cover change on direct runoff. Based on the GIS analysis land cover in Upper Ciliwung watershed in 1994 and 2000 were dominated by forest of 6608 ha (43% of total area) and 5180 ha (34%) respectively.While the land cover in 2010 was dominated by mixed garden and tea plantation (5518 ha or 36% total area). Estimated direct runoff increased up to 83% in 1994-2010, caused by the increase of settlement area and dry land farming along with the decrease of forest area. Land cover changes increased flood frequency, river discharge, and water level that used as early warning system of Jakarta’s flood at Katulampa. In 1990 the largest flood recorded in the warning level IV with largest direct runoff was 31% of rainfall. In 2000 and 2010 the largest flood conditions increased to warning level III and II with the percentage of rainfal that turned into direct runoff were 31% and 62%. Keywords : direct runoff, GIS, land cover, SCS method
ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG HULU DALAM KAITANNYA DENGAN BANJIR JAKARTA
SANTI AGUSTINA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Analisis Perubahan Penutupan Lahan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu daJam Kaitannya dengan Banjir Jakarta : Santi Agustina Nama : G24090034 NIM
Disetujui oleh
Prof Dr Daniel Murdiyarso MS
Pembimbing
Diketahui oleh
,I..
.
.
,~
.
\
DrIr Tania June M Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
2 S NOV 201J
Judul Skripsi : Analisis Perubahan Penutupan Lahan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu dalam Kaitannya dengan Banjir Jakarta Nama : Santi Agustina NIM : G24090034
Disetujui oleh
Prof Dr Daniel Murdiyarso MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Tania June M Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulilllah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Analisis Perubahan Penutupan Lahan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu dalam Kaitannya dengan Banjir Jakarta berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang penulis buat sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Geofisika dan Meteorolgi, Faklutas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada : 1. Seluruh keluarga terutama Bapak, Ibu, dan Yuni atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannnya selama ini 2. Bapak Prof Dr Daniel Murdiyarso MS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran, serta waktu kepada penulis. 3. Bapak Dr Ir Sobri Effendy M Si dan Bapak Idung Risdianto S Si M Si selaku dosen penguji. 4. Seluruh Dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB yang mendukung kelancaran dalam proses belajar hingga penelitian. 5. Bapak Cecep Firman dan Ibu Neng Wati selaku staf BPDAS CiliwungCisadane yang telah banyak membantu pengumpulan data peta dasar DAS Ciliwung, curah hujan, debit dan lain-lain serta Bapak Andi selaku staf BPSDA Ciliwung-Cisadane dan Bapak Andi Sudirman, Kepala Kantor Bendung Katulampa yang membantu pengumpulan data debit dan curah hujan. 6. Teman-teman Laboratorium Hidrometeorologi: Noya, Didi, Edo, Zia, Ima, Hifdi, Dodik, May, Risna, Eka Fay, Ika Farah, dan Eka. Serta Mas Eko, Kak Fauzan, dan Dwi yang banyak membantu berbagi ilmu dalam mempelajari software. 7. Teman-teman GFM 46: Wengky, Dieni, Ocha, Nowa, Dissa, Ian, Lidel, Dwi, Eko, Wayan, Enda, Alin, Abu, Winda, Normi, Nita, Silvi, Hijjaz, Muha, Jame, Icha, Tommy, Iif, Dungka, Rini, Rikson, Dimas, Ipin, Risa, Pahmi, Zaenal, Ika Icih, Ervan, Rizal, Solah, Halimah, Gaseh, Depe, dan Bambang. 8. Teman-teman Sateliters (Mbak Anik, Mbak Ria, Nita, Normi, Diah, Fithri, dan Mira). Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, karena kesmpurnaan hanya milik Allah SWT. Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat baik sekarang atau dikemudian hari.
Bogor, November 2013 Santi Agustina
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
METODE
3
Bahan
3
Alat
3
Prosedur Analisis Data
4
Pengolahan Data Citra
4
Perhitungan Perubahan Luas Penutupan Lahan
5
Pendugaan Aliran Langsung
6
Karakteristik DAS Ciliwung Hulu
7
Pendugaan Aliran Langsung pada Kejadian Banjir
8
Pendugaan Waktu Konsentrasi Tc (Time of Concentration)
8
Validasi Aliran Total (Debit)
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hulu
11 11
Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hulu
11
Perubahan Penutupan Lahan
11
Pengaruh Perubahan Penutupan Lahan terhadap Aliran Langsung
15
Pengaruh Cuaca Ekstrem El Nino dan La Nina terhadap Aliran Langsung 17 Analisis Karakteristik DAS Ciliwung Hulu
18
Analisis Kejadian Banjir serta Validasi Aliran Total (Debit)
21
Analisis Aliran Langsung pada Kejadian Banjir
21
Validasi Aliran Total
24
KESIMPULAN DAN SARAN
26
Kesimpulan
26
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kriteria kategori AMC Kelompok hidrologi tanah Variabel DAS yang dikuantifikasi Kriteria kondisi siaga sistem peringatan dini banjir Luas penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1994, 2000, dan 2010 Perubahan luas penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu Perubahan penutupan lahan tahun 1994 – 2000 (ha) Perubahan penutupan lahan 2000 – 2010 (ha) Perubahan penutupan lahan 1994 – 2010 (ha) Pendugaan aliran langsung DAS Ciliwung Hulu dengan metode SCS Perubahan tutupan lahan dan aliran langsung (%) Pendugaan aliran langsung pada kondisi El Nino, Normal dan La Nina dengan metode SCS Morfometri DAS Ciliwung Hulu (Faktor Sungai) Morfometri DAS Ciliwung (Faktor Areal) Analisis aliran total (debit) DAS Ciliwung Hulu Kejadian banjir tahun 1990 Kejadian banjir tahun 2000 Kejadian banjir tahun 2010
6 7 7 8 11 12 13 14 15 16 16 18 19 19 21 23 23 23
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
6 7
Wilayah DAS Ciliwung Hulu Diagram alir penelitian Pola perubahan penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu Peta jaringan sungai DAS Ciliwung Hulu yang dibangun dari DEM (Digital Elevation Model) data SRTM resolusi 90 meter Curah hujan rata-rata bulanan dari tiga stasiun pengukuran cuaca di wilayah Ciliwung Hulu (a) dan aliran total (debit) rata-rata bulanan di Bendung Katulampa tahun 1994-2010 (b) Aliran total (debit) dan aliran dasar Katulampa tahun 2006 yang direkonstruksi dengan metode algoritma Lyne dan Hollick Korelasi aliran total dugaan SCS dengan aliran total observasi Katulampa tahun 2006
4 10 12 20
22 25 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu 1994 Peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2000 Peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2010 Tabel CN (Kondisi AMC II, Ia = 0.2 S) Tabel penyesuaian CN kondisi AMC I, II, dan III
29 30 31 32 33
PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung adalah DAS yang wilayahnya mencakup beberapa kota besar termasuk Bogor, Depok, dan Jakarta, pada tahun 2010 kepadatan penduduknya mencapai 13.000 jiwa/km2 (BPS 2010). Wilayah DAS Ciliwung Hulu terletak di Kabupaten hingga Kota Bogor dengan elevasi antara 300 sampai 3.000 m dpl dan kemiringan 2-45% dengan topografi bergelombang hingga bergunung (BPDAS Citarum-Ciliwung 2003). Bentuk DAS Ciliwung Hulu adalah radial, berbentuk kipas di mana anak sungainya terkonsentrasi ke suatu titik (Katulampa) sedangkan di bagian hilir bentuknya memanjang. Topografi ini menyebabkan aliran total (debit) di hulu akan lebih cepat mengalir ke hilir dan melambat ketika mencapai hilir. Faktor tekanan penduduk telah mengubah keseimbangan DAS Ciliwung Hulu terutama yang disebabkan oleh tata guna lahan. Menurut Runtuwuwu et al. (2010) pada tahun 1990 area pemukiman di DAS Ciliwung Hulu adalah 37% dari luas total, kemudian bertambah menjadi 58% pada tahun 2006, sedangkan di sisi lain jumlah area hutan berkurang 10% pada periode yang sama. Perubahan hutan menjadi pemukiman dan lahan gundul akan menaikkan aliran total (debit) ratarata dan menyebabkan nilai debit puncak yang lebih besar (Isik et al. 2013). Metode SCS (Soil Conservation Service) digunakan untuk menduga aliran langsung dari curah hujan berdasarkan bilangan kurva atau curve number (CN), CN adalah indeks yang menggambarkan kemampuan suatu permukaan lahan dalam menerima hujan, kombinasi dari kelompok hidrologi tanah dan klasifikasi penggunaan lahan (McCuen 1989). CN merupakan fungsi dari tiga faktor yaitu kelompok tanah, keadaan penutupan lahan oleh tanaman, dan kelembaban tanah awal (Antecedent Moisture Condition/AMC). Kegiatan deforestasi menurut Deshmukh et al. (2013) menyebabkan munculnya lahan gundul yang menjadi batas antara hutan dan lahan pertanian yang menyebabkan kenaikan CN. Kisaran CN berada antara 1-100, ketika CN 100 menunjukkan aliran langsung yang sangat besar. Secara umum, kenaikan CN akan menaikkan aliran langsung hasil perhitungan SCS. Pengelolaan lahan yang tidak tepat seringkali menimbulkan beberapa masalah, karena pola penggunaan lahan akan sangat menentukan kuantitas dan kualitas aliran total. Semakin banyak lahan terbangun dan berkurangnya vegetasi penutup tanah akan meningkatkan aliran total (debit) sehingga dampak yang terjadi adalah banjir. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2005), perubahan tata guna lahan merupakan peyebab utama banjir, apabila hutan suatu DAS diubah menjadi pemukiman maka debit puncak sungai akan meningkat antara 6 sampai 20 kali yang tergantung dari jenis hutan dan jenis pemukiman. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Kumar et al. (2013) juga menyatakan bahwa jika pertumbuhan lahan perkotaan mencapai 63% maka akan dapat menaikan debit puncak hingga 11%. Banjir adalah suatu kejadian ketika tanah tidak dapat lagi menyerap dan menyimpan air sehingga terjadi genangan yang luas di permukaan suatu wilayah. Banjir Jakarta merupakan masalah yang setiap tahun pasti terjadi. Kejadian banjir
2 pada tahun 2007 disebut-sebut sebagai kejadian banjir terparah yang dialami oleh kota ini. Tahun 2013 banjir melumpuhkan hampir seluruh wilayah Jakarta walaupun curah hujan pada tahun 2007 lebih besar dibanding tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang menjadi pemicu banjir tidaklah hanya dari faktor cuaca dan iklim, namun faktor lain seperti pengolahan tata ruang juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu penanganan banjir Jakarta perlu dilakukan secara menyeluruh mulai dari bagian hulu sampai ke hilir. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menganalisis dampak alih guna lahan pada sebuah DAS terhadap karakteristik hidrologi DAS tersebut. Zhang et al. (2007) menyelidiki respon hidrologi dua DAS terhadap perubahan pengunaan dan penutupan lahan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa aliran total dipengaruhi oleh presipitasi, evaporasi, dan perubahan penggunaan lahan. Kunu (2008) melakukan penelitian untuk menganalisis efek perubahan lahan terhadap aliran total di DAS Ciliwung pada periode 1950 hingga 2003, dan Fakhrudin (2003) untuk periode 1990-1996 serta Dasanto dan Riyanto (2006) dengan model regresi logistik memprediksi perubahan penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu periode 2005 sampai 2020. Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografi untuk mengamati perubahan penutupan lahan dan menganalisis pengaruhnya terhadap aliran langsung di hulu DAS Ciliwung yang akhirnya akan mempengaruhi banjir Jakarta (hilir DAS Ciliwung). Perumusan Masalah Perubahan penutupan lahan yang terjadi di daerah Ciliwung Hulu akan berpengaruh terhadap aliran langsung. Selain faktor penutupan lahan, jumlah curah hujan pada tahun tertentu juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada aliran langsung. Hasil analisis perubahan luas penutupan lahan dan karakteristik DAS Ciliwung Hulu dapat digunakan untuk menduga perubahan aliran langsung di Hulu dengan metode SCS dan akibatnya terhadap kejadian banjir Jakarta. Masalah yang dijelaskan dalam penelitian adalah bagaimana pola perubahan penutupan lahan yang terjadi di Ciliwung Hulu dan apa akibatnya terhadap aliran langsung yang merupakan kontributor aliran total ke daerah Ciliwung Tengah dan Hilir dengan menyertakan faktor iklim curah hujan (pada cuaca ekstrem El Nino dan La Nina). Karakteristik DAS berupa gambaran kondisi biofisik DAS Ciliwung Hulu juga dapat menjadi salah satu faktor yang dianalisis pengaruhnya terhadap aliran total. Tujuan Penelitian 1.
2.
Menganalisis pengaruh cuaca ekstrem (tahun La Nina dan El Nino) periode 1994-2010 terhadap aliran langsung DAS Ciliwung Hulu dengan metode SCS. Menganalisis pengaruh perubahan penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu terhadap aliran langsung pada kejadian banjir Jakarta
3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah mengetahui luas perubahan penutupan lahan yang terjadi di DAS Ciliwung Hulu dan bagaimana pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap aliran langsung DAS. Hasil analisis perubahan penutupan lahan berguna untuk menentukan perencanaan penggunaan lahan yang tepat sehingga dapat mengurangi dampak terjadinya bencana banjir. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan dan aliran langsung di daerah Ciliwung Hulu yang merupakan kontributor aliran total (debit sungai) yang menuju ke hilir (Jakarta) karena penanganan banjir Jakarta perlu dilakukan secara terintegrasi mulai dari bagian hulu sampai ke hilir.
METODE Bahan 1.
2. 3. 4.
5.
6. 7.
Masing - masing satu lembar (scene) citra LANDSAT 5 tahun 1994 dan LANDSAT 7 tahun 2000 serta dua scene citra LANDSAT 7 tahun 2010 wilayah Jawa Barat (path/row : 122/65) (Sumber : mengunduh dari http://usgsglovis.gov tanggal 20 Februari 2013) Peta batas administratif DAS Ciliwung (Sumber : BPDAS CiliwungCisadane) Foto udara untuk klasifikasi penutupan lahan (Sumber : Googlemaps tahun 2013) Data curah hujan harian DAS Ciliwung Hulu (Stasiun Citeko, Gunung Mas, dan Katulampa) tahun 1990 sampai 2010 (Sumber : BPSDA CiliwungCisadane) Data debit harian DAS Ciliwung Hulu di Bendung Katulampa tahun 1990 sampai dengan 2010 (Sumber : Kantor Bendung Katulampa dan BPSDA Ciliwung-Cisadane) Data debit dan kejadian banjir DAS Ciliwung Hulu di Bendung Katulampa tahun 1990, 2000 dan 2010 (Sumber : Kantor Bendung Katulampa) Data ketinggian atau DEM (Digital Elevation Model) Jawa Barat dari SRTM 90 m (Shuttle Radar Topographic Mission) NASA. (Sumber : mengunduh dari http://usgsglovis.gov tanggal 21 Agustus 2013) Alat
Seperangkat komputer dengan aplikasi spreadsheet dan beberapa perangkat lunak untuk mengolah data citra Landsat dan DEM.
Lokasi Penelitian Penelitian dibatasi pada wilayah DAS Ciliwung Hulu dengan luas kurang lebih 152 km2, dimulai dari Bendung Katulampa sampai kearah selatan Gunung
4 Pangrango yang secara administratif berada di Kabupaten Bogor. DAS Ciliwung Hulu berada dalam kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja dan Kota Bogor. Secara geografis DAS Ciliwung Hulu terletak pada 6 o35’ LS s/d 6o 49’ LS dan 106o 49’ BT s/d 107o 00’ BT dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 mdpl. Penelitian terfokus pada identifikasi perubahan penutupan lahan dan aliran langsung di DAS Ciliwung Hulu. DAS Ciliwung Hulu sebelah barat berbatasan dengan DAS Cisadane, sebelah utara berbatasan dengan DAS Citarum dan sebelah timur berbatasan dengan DAS Cileungsi/Bekasi.
Gambar 1 Wilayah DAS Ciliwung Hulu (Sumber : BPDAS Ciliwung-Cisadane)
Prosedur Analisis Data Pengolahan Data Citra Pengolahan citra Landsat yang dilakukan adalah (1) Koreksi geometrik (2) Deliniasi data citra Landsat untuk membatasi wilayah kajian Ciliwung Hulu dan (3) Klasifikasi citra dengan menggunakan foto udara penutupan lahan. Koreksi geometrik dilakukan untuk memperbaiki citra sehingga memiliki orientasi dan proyeksi sesuai dengan peta. Koreksi geometrik membutuhkan Ground Control Point (GCP) sebagai titik referensi. GCP diperoleh dari peta atau citra yang telah
5 terkoreksi. Klasifikasi citra merupakan proses pengelompokan piksel suatu citra ke dalam sejumlah kelas, sehingga setiap kelas menggambarkan kategori tertentu. Anderson et al. (1976) membuat klasifikasi lahan menjadi beberapa level yang dibedakan menurut ketinggian satelit pengambil gambar. Level I adalah klasifikasi lahan untuk data dengan tipe karakteristik satelit Landsat, Level II untuk data yang diambil pada ketinggian lebih dari 12.400 m (skala kurang dari 1 : 80.000), dan Level III untuk data yang diambil di ketinggian antara 8.10012.400 m (skala 1 : 20.000 sampai 1: 80.000) serta level IV untuk data yang diambil dibawah 8.100 m (lebih dari 1 : 20.000). Klasifikasi citra Landsat menggunakan klasifikasi Level I yang membagi penutupan lahan menjadi 9 kelas utama: (1) Lahan perkotaan atau lahan terbangun (Urban atau Build-up Land) (2) Lahan pertanian (3) Rangeland yang termasuk ke dalamnya adalah padang rumput, semak, dan tanaman tidak berkayu (4) Hutan (5) Badan Air (6) Wetland atau lahan basah seperti sawah dan rawa (7) Lahan kosong, tanah gundul atau tanah yang tidak dapat menghasilkan (hanya 2-3 bagian yang ditanami) dengan karakteristik tanah berpasir dan berbatu (8) Tundra (9) Penutupan es atau salju. Penelitian lain dengan citra Landsat pernah dilakukan oleh Sriwongsitanon dan Taesombat (2011) untuk daerah tropis Thailand, menggunakan klasifikasi citra dengan membagi ke dalam 5 kategori termasuk hutan, hutan terganggu, lahan pertanian, badan air, dan area perkotaan. Klasifikasi lahan DAS Ciliwung Hulu dibagi menjadi 6 kelas yang dianggap mewakili penutupan lahan daerah tersebut yaitu: 1. Hutan lebat 2. Semak dan belukar 3. Kebun campur dan perkebunan teh 4. Tegalan atau ladang 5. Sawah (sawah irigasi dan tadah hujan) 6. Pemukiman (termasuk jalan, lahan terbuka, dan lapangan) Hasil dari proses ini adalah peta tematik penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1994, 2000 dan 2010 dan pola penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu. Perhitungan Perubahan Luas Penutupan Lahan Perubahan luas penutupan lahan yang diamati adalah perubahan luas penutupan lahan periode 1994-2000 dan 2000-2010 serta 1994-2010. 1. Luas penutupan lahan Resolusi 1 piksel citra Landsat = 30 m x 30 m
2. Menghitung perubahan luas penutupan lahan (ha)
Luas tahun 0 = Luas penutupan lahan tahun awal analisis Luas tahun 1 = Luas penutupan lahan tahun akhir analisis
6
Pendugaan Aliran Langsung 1. Menghitung curah hujan wilayah DAS Ciliwung Hulu dengan metode poligon Thiessen (Mori et al.1977). Hasil perhitungan curah hujan wilayah dengan menggunakan metode ini ditentukan oleh sejauh mana penempatan alat penakar hujan mampu mewakili daerah pengamatan.
Rn merupakan hasil pengukuran curah hujan seluruh alat penakar (n), A adalah luas daerah yang mewakili tiap titik pengamatan. Stasiun pengukuran curah hujan yang digunakan adalah stasiun Citeko, Gunung Mas dan Katulampa berada dalam wilayah DAS Ciliwung Hulu. Curah hujan wilayah diperlukan untuk menyusun rancangan pemanfaatan air dan pengendalian banjir bukan curah hujan di suatu titik (Mori et al. 1977). 2. Menduga aliran langsung dengan metode yang disusun oleh Soil Conservation Service (SCS) (USDA 1986; McCuen 1989). a. Menentukan nilai bilangan kurva atau curve number (CN) DAS yang nilainya berasal dari CN masing-masing penggunaan lahan. CN DAS dihitung berdasarkan persamaan: S
1 1
Dimana Ai adalah luas lahan dengan penutupan lahan jenis i, CNi adalah CN jenis penutupan lahan i. Kondisi kelembaban tanah awal (AMC), dan keadaan hidrologi tanah menurut jenis, tekstur serta laju infiltrasi tanah juga akan memengaruhi CN.
Tabel 1 Kriteria kategori AMC Kondisi AMCa AMC I AMC II AMC III a
Total CH 5 hari sebelum (mm) <35.6 35.6 – 53.3 >53.3
Sumber : McCuen (1989)
7
Tabel 2 Kelompok hidrologi tanah Kelompok Tanaha
Laju Infiltrasi (mm/jam)
Keterangan
Potensi aliran total paling kecil, termasuk tanah pasir dalam dengan unsur debu dan liat. Laju 8-12 infiltrasi tinggi. Potensi aliran total kecil, tanah berpasir lebih B dangkal dari A. Tekstur halus sampai sedang. Laju 4-8 infiltrasi sedang. Potensi aliran total sedang, tanah dangkal dan C mengandung cukup liat. Tekstur sedang sampai 1-4 halus. Laju infiltrasi rendah. Potensi aliran total tinggi, kebanyakan tanah liat, D dangkal dengan lapisan kedap air dekat permukaan 0-1 tanah. Laju infiltrasi paling rendah. a Sumber : Asdak (1995) b. Menghitung retensi potensial (S) dalam mm dengan persamaan: A
S
5400 S
54
c. Menghitung aliran langsung: 0 S 0 S Nilai Q adalah aliran langsung (mm) dari seluruh jumlah curah hujan wilayah (P). Karakteristik DAS Ciliwung Hulu Sebagai gambaran tentang keadaan wilayah DAS Ciliwung Hulu, dilakukan identifikasi karakteristik DAS termasuk faktor sungai, aliran dan areal. Peta jaringan sungai dibangun dari data DEM (Digital Elevation Model) berdasarkan ketinggian wilayah DAS Ciliwung Hulu yang diproses dengan perangkat SIG. Berikut adalah variabel-variabel DAS yang dikuantifikasi. Tabel 3 Variabel DAS yang dikuantifikasi Variabela Jumlah ordo Jumlah segmen ordo (Nu) Rasio percabangan (Rb) Panjang total segmen (L, km) Panjang rata-rata (Lrata-rata , km)
Persamaan atau Definisi
Nu/Nu+1 Lrata-rata = L/ Nu
8 Rasio panjang (Rl) Panjang DAS (Lb,km) Keliling DAS (Pb, km) Luas DAS (A, km2) Rasio bentuk (Rf)
Rl = Lrata-rata/Lu-1
Rasio kebulatan (Rc)
Rc =
Rasio pemanjangan (Re)
Re =
Kepadatan drainase (D, km/km2)
D = L/A Perbedaan ketinggian antara bendung dengan titik tertinggi DAS Rasio antara relief dan jarak horizontal dari cekungan bendung ke titik tertinggi batas luar DAS
Relief (H,m) Rasio relief (Rh) Qmaks (m3/s) Qmin (m3/s) Selisih debit (m3/s) Rasio debit a
Rf = A/ Lb2
Qmaks/Qmin
Sumber : Chow (1964); Murdiyarso dan Kurnianto (2008)
Pendugaan Aliran Langsung pada Kejadian Banjir Kejadian banjir diklasifikasikan menurut kondisi siaga banjir untuk sistem peringatan dini banjir. Setelah ditetapkan tanggal-tanggal kejadian banjir, dilakukan pendugaan aliran langsung dengan metode SCS. Tabel 4 Kriteria kondisi siaga sistem peringatan dini banjir Kondisi Siagaa Siaga I Siaga II Siaga III Siaga IV a
Tinggi Muka Air (cm) >310 240-310 170-240 90-170
Q (m3/s) >1864 702-1854 411-702 106-411
Sumber : Kantor Bendung Katulampa
Pendugaan Waktu Konsentrasi Tc (Time of Concentration) Waktu konsentrasi (Tc) dihitung dengan menggunakan lag method (McCuen 1982). Lag method menghubungkan antara waktu jeda (time lag) TL, kemiringan sungai (S), panjang sungai (L), dan CN. T L didefinisikan sebagai waktu (jam) dari waktu titik berat hujan sampai puncak hidrograf banjir.
9 TL L S CN Tc
= time lag (jam) = panjang sungai utama (km) = kemiringan sungai (m/m) = curve number = time of concentration (jam)
Kemiringan sungai utama DAS Ciliwung Hulu adalah 107.68 m/km (Natakusumah et al. 2011). Validasi Aliran Total (Debit) 1. Pemisahan aliran dasar (baseflow) harian sungai Ciliwung. Pemisahan aliran dasar dilakukan dengan memisahkan nilai aliran langsung dari aliran total (debit) dengan algoritma Lyne dan Hollick (Smakhtin 2001). Qb = Q(i) - Qf(i) Qf(i) = Q f(i-1 ) + (Q(i) - Q(i -1)) Qb Q(i) Q(i -1) Qf(i) Q f(i-1 )
1
= aliran dasar = aliran total (debit) hari ke-i = aliran total (debit) hari i-1 = aliran langsung hari ke-i = aliran langsung hari i-1 = parameter filter (0.925)
2. Menambahkan nilai aliran dasar harian ke dalam nilai aliran langsung harian pendugaan SCS sehingga terbentuk nilai aliran total (debit) pendugaan SCS (m3/s). 3. Melakukan plotting aliran total (debit) pendugaan SCS (m3/s) dengan aliran total (debit) observasi Katulampa (m3/s).
10 Mulai DEM Jawa Barat, debit
Citra Landsat 1994, 2000, dan 2007
harian
Debit Observasi Katulampa
Identifikasi penutupan lahan Ya Berubah Tidak Curah hujan Analisis Karakteristik DAS
Menduga aliran langsung
Analisis perubahan penutupan lahan dan banjir
Selesai Gambar 2 Diagram alir penelitian
Identifikasi CN
11
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hulu Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hulu Total luas wilayah DAS Ciliwung Hulu yang teridentifikasi pada penelitian ini adalah 15258 Ha, berada dalam wilayah kabupaten dan kota Bogor. Wilayah kajian meliputi kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Babakan Mada, Sukamakmur, Kadudampit, Bogor Selatan dan Bogor Timur. Tabel 5 Luas penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1994, 2000, dan 2010
Penutupan Lahan Hutan Semak/Belukar Kebun campur dan Perkebunan teh Tegalan Sawah Pemukiman Total
Tahun 1994 Luas (ha) % 6608 43 1636 11 3469
23
Tahun 2000 Luas (ha) % 5180 34 1428 9 4523
30
1476 10 2328 1288 8 558 781 5 1241 15258 100 15258
15 4 8 100
Tahun 2010 Luas (ha) % 3447 23 1733 11 5518
36
2156 14 432 3 1971 13 15258 100
Hasil identifikasi menunjukkan jenis penutupan lahan yang mendominasi di DAS Ciliwung Hulu adalah hutan serta kebun campur dan perkebunan teh. Dominasi terbesar pada tahun 1994 adalah kawasan hutan yang mencapai 6608 ha atau mencapai 43% dari luas total, kemudian kebun campur dan perkebunan teh (23%), semak/belukar (11%), tegalan (10%), dan sawah (8%), sedangkan pemukiman berada pada urutan terendah dengan luas sebesar 781 ha (5% total luas). Tabel 5 merupakan luas masing-masing penutupan lahan tahun 1994, 2000 dan 2010. Penutupan lahan pada tahun 2000 memiliki pola yang hampir serupa dengan tahun 1994, penutupan lahan berupa hutan masih mendominasi seluas 34% (5177 ha) dari total luas, namun terjadi peningkatan peringkat dominasi tegalan, serta pemukiman. Penutupan lahan yang yang mengalami penurunan peringkat dominasi adalah semak/belukar dan sawah (4% dari total luas). Tahun 2010 dominasi utama penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu mengalami perubahan, pada tahun ini total luas kebun campur dan perkebunan teh (36%) lebih mendominasi dibanding luas hutan (23%), dominasi lahan pemukiman juga mengalami kenaikan peringkat yang ditandai dengan persentase luas yang jauh lebih besar (13%) dari periode sebelumnya (8%). Hal ini menunjukkan terjadi konversi lahan di DAS Ciliwung Hulu. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan pola dominasi penutupan lahan menunjukkan terjadinya perubahan penutupan lahan di daerah Ciliwung Hulu. Terlihat pada Gambar 3 dan Tabel 6 yang menunjukkan pola perubahan luas penutupan lahan DAS Ciliwung
12 Hulu. Terlihat bahwa pada periode tahun 1994-2010 luas penutupan hutan dan sawah terus mengalami penurunan, hal sebaliknya terjadi pada luas penutupan lahan kebun campur dan perkebunan teh serta pemukiman. Penutupan lahan berupa tegalan mengalami kondisi naik dan turun, namun penurunan ini tidak sebanding dengan kenaikan. Luas hutan pada tahun 2000 berkurang sebesar 1428 ha atau 22 %, dan berkurang lagi sebesar 1733 ha pada tahun 2010. Luas sawah juga mengalami penurunan yang signifikan pada periode 1994-2000 (55%) dan pada periode berikutnya berkurang kembali sebesar 22%. Penutupan lahan berupa semak atau belukar dapat dikatakan konstan, terjadi perubahan namun tidak signifikan. Tabel 6 Perubahan luas penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu Penutupan Lahan
Perubahan Luas (ha) % 2000-2010 % 1994-2010 -22 -1733 -33 -3161 -13 305 21 97
% -48 6
2049
59
1994-2000 Hutan -1428a Semak/Belukar -209 Kebun campur dan 1053 30 995 22 perkebunan teh Tegalan 852 58 -173 -7 Sawah -730 -57 -125 -22 Pemukiman 460 59 730 59 a Tanda (-) menunjukkan penurunan luas penutupan lahan
100%
Pemukiman
80% Luas (%)
681 46 -855 -66 1190 152
Sawah
60%
Tegalan
40% Kebun campur dan Perkebunan Teh
20%
0% 1994
Semak & Belukar 2000 Tahun
2010
Hutan
Gambar 3 Pola perubahan penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu Pola perubahan ini menunjukkan terjadinya konversi lahan hutan dan sawah menjadi kebun campur dan perkebunan teh, tegalan serta pemukiman. Pola perubahan penelitian ini serupa dengan penelitian Dasanto dan Risyanto (2006) yang memprediksi penutupan lahan hutan di DAS Ciliwung Hulu pada periode 2005-2020 dengan metode regresi logistik. Penutupan lahan hutan periode 20052015 diprediksi mengalami penyusutan sedangkan pemukiman dan tegalan akan bertambah dan secara umum akan meningkatkan aliran total. Peran hutan dalam
13 mempengaruhi aliran total sangat besar, kerapatan perakaran tanaman hutan dapat meminimalkan aliran total dan memaksimalkan simpanan air tanah. Lisnawati dan Wibowo (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan konversi lahan hutan dan perkebunan menjadi pemukiman dan sawah akan menambah area kedap air serta merusak struktur dan tekstur tanah sehingga mempengaruhi aliran total. Kebun campur dan perkebunan teh yang terdiri dari tanaman teh dan campuran merupakan tanaman yang baik untuk konservasi tanah dan air. Konversi lahan hutan menjadi pemukiman dan pertanian akan menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang terjadi adalah kerusakan struktur dan tekstur tanah dan menambah luasan daerah kedap air. Hal ini kemudian akan berakibat pada penurunan laju infiltrasi ke dalam tanah sehingga menambah jumlah aliran total dan mengurangi simpanan air bumi. Zhang et al. (2007) menyatakan bahwa dalam curah hujan yang sama, total aliran dengan kondisi lahan bervegetasi baik berkurang hingga 16-19% karena vegetasi dapat meningkatkan struktur tanah dan intersepsi. Tabel 7 Perubahan penutupan lahan tahun 1994 – 2000 (ha)
Penutupan Lahan Hutan Semak/Belukar Kebun campur dan perkebunan teh Tegalan Sawah Pemukiman Jumlah a b
Penutupan Lahan tahun 2000 Kebun campur dan Tegalan Sawah Pemukiman perkebunan teh 1428 0 0 0 209 0 0 0
Hutan
Semak/ Belukar
6608a 0
0 1636
-1428b
-209
3469
1407
-823
0
0 0 0 5180
0 0 0 1428
-1406 823 0 4523
1476 -94 -460 2328
94 1288 0 558
461 0 781 1241
=
Luas penutupan lahan tahun 1994 Tanda minus (-) menunjukkan pengurangan luas penutupan lahan
Identifikasi perubahan penutupan lahan dari jenis satu penutupan tertentu ke penutupan yang lain dapat dilihat di Tabel 7, 8, dan 9. Tabel 7 merupakan perubahan yang terjadi pada periode 1994-2000. Tahun 1994 penutupan lahan yang paling mendominasi adalah hutan kemudian berubah menjadi kebun campur dan perkebunan teh pada tahun 2000. Hal ini disebabkan oleh konversi hutan menjadi kebun campur dan perkebunan teh sebesar 1428 ha dan penambahan seluas 209 ha dari semak belukar. Lahan sawah yang terkonversi juga menyumbang pertambahan luas kebun campur dan perkebunan teh sebesar 823 ha. Konversi lahan sawah tersebut menyebabkan lahan sawah berkurang hingga 57 % (Tabel 6). Penutupan luas tegalan mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sekitar 58%, peningkatan luas tegalan disebabkan oleh konversi kebun campur dan perkebunan teh serta sawah. Penutupan lahan berupa pemukiman naik sebesar 59% yang dihasilkan dari konversi tegalan. Lahan berupa kebun campur dan perkebunan teh terkonversi menjadi tegalan namun jumlah ini lebih sedikit
14 dibanding dengan penambahan yang terjadi, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada periode 1994-2000 lahan hutan, dan sawah banyak terkonversi menjadi kebun campur dan perkebunan teh. Sebagian lahan yang semula berupa kebun campur dan perkebunan teh terkonversi menjadi tegalan dan tegalan terkonversi menjadi pemukiman. Tabel 8 Perubahan penutupan lahan 2000 – 2010 (ha)
Penutupan Lahan Hutan Semak/Belukar Kebun campur dan perkebunan teh Tegalan Sawah Pemukiman Jumlah a b
Hutan 5180a 0
Penutupan Lahan tahun 2010 Kebun Semak/ campur dan Tegalan Sawah Belukar perkebunan teh 0 1733 0 0 1428 -305 0 0
Pemukiman 0 0
-1733b
501
4523
64
214
154
0 0 0 3447
-196 0 0 1733
-64 -214 -154 5518
2328 305 -542 2156
-305 558 -34 432
542 34 1241 1971
=
Luas penutupan lahan tahun 2000 Tanda minus (-) menunjukkan pengurangan luas penutupan lahan
Hal yang berbeda terjadi pada periode 2000-2010 (Tabel 8), namun pada periode ini perubahan luas hutan masih mengalami penurunan mencapai 33%. Luas hutan berkurang disebabkan konversi menjadi kebun campur dan perkebunan teh sebesar 1733 ha. Penurunan terbesar kedua terjadi pada sawah yang berkurang sebesar 22 % dari luas tahun 2000, lahan sawah terkonversi menjadi tegalan sebesar 305 ha dan 34 ha menjadi pemukiman. Luas area pemukiman pada periode ini juga naik sebesar 59% dari luas tahun 2000, dengan kontributor terbesar tegalan (596 ha). Selain tegalan, kebun campur dan perkebunan teh serta sawah sebagain besar terkonversi menjadi pemukiman pada periode ini. Kecenderungan konversi lahan pada periode ini adalah konversi dari hutan menjadi kebun campur dan perkebunan teh, kebun campur dan perkebunan teh serta sawah menjadi tegalan dan konversi lahan tegalan menjadi pemukiman. Jika dilihat perubahan langsung selama periode 1994-2010 maka dapat disimpulkan bahwa penutupan lahan yang mengalami konversi paling intensif adalah perubahan lahan dari hutan menjadi kebun campur dan perkebunan teh, kemudian kebun campur dan perkebunan teh menjadi tegalan, serta sawah menjadi pemukiman. Tabel 9 menunjukkan terjadinya perubahan dari hutan menjadi semak atau belukar, tegalan, sawah, dan pemukiman berbeda dengan tabel 7 dan 8 yang tidak menunjukkan adanya pola konversi lahan hutan tersebut. Hal ini disebabkan oleh konversi lahan yang dilakukan oleh penduduk mungkin dilakukan secara bertahap. Alur konversi adalah dari hutan menjadi kebun campur dan perkebunan teh serta tegalan, kemudian kebun campur dan perkebunan teh terkonversi menjadi tegalan lalu tegalan akhirnya terkonversi menjadi pemukiman. Lahan sawah sebagian besar terkonversi menjadi tegalan atau pemukiman. Terlihat dari pola perubahan lahan, konversi lahan hutan dan sawah di DAS
15 Ciliwung cenderung mengarah kepada kebun campur dan perkebunan teh serta tegalan dan kemudian pada akhirnya dibangun pemukiman pada lahan tegalan tersebut. Tabel 9 Perubahan penutupan lahan 1994 – 2010 (ha)
Penutupan Lahan
Hutan Semak/Belukar Kebun campur dan perkebunan teh Tegalan Sawah Pemukiman Jumlah a b
Penutupan Lahan tahun 2010 Kebun campur dan Tegalan Sawah perkebunan teh 2161 676 105 114 2 -85
Hutan
Semak/ Belukar
6608a -1b
1 1636
-2161
-114
3470
1281
-51
-115
-676 -105 -218 3447
125 85 0 1733
-391 51 115 5518
1476 114 16 3565
-4 1288 -821 432
266 821 781 1971
Pemukiman 218 0
=
Luas penutupan lahan tahun 1994 Tanda minus (-) menunjukkan pengurangan luas penutupan lahan
Pengaruh Perubahan Penutupan Lahan terhadap Aliran Langsung Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menganalisis hubungan penggunaan lahan dengan aliran langsung adalah metode SCS (USDA 1986). Metode SCS menduga aliran langsung dari curah hujan berdasarkan bilangan kurva atau CN, CN disusun sebagai indeks yang menggambaran kombinasi dari kelompok hidrologi tanah dan klasifikasi penggunaan lahan (McCuen 1989). CN merupakan fungsi dari tiga faktor yaitu kelompok tanah, keadaan penutupan lahan oleh tanaman, dan kelembaban tanah awal (AMC). McCuen (1989) menyatakan bahwa kelompok hidrologi tanah yang digunakan untuk metode SCS dapat diidentifikasi dengan tiga cara yaitu pertama dengan melihat karakteristik tanah, survei, atau dengan melihat laju infiltrasi minimum. Menurut data BPSDA Ciliwung-Cisadane, sebagian besar wilayah DAS Ciliwung Hulu termasuk dalam kategori kelompok hidrologi tanah C dengan laju infiltrasi sebesar 1-4 mm/jam dan D dengan laju infiltrasi sebesar 0-1 mm/jam. Tekstur tanah agak halus sampai halus, di bagian gunung Pangrango memiliki tanah jenuh permanen. Tabel 10 menunjukkan CN rata-rata dan aliran langsung satu tahun DAS yang dihitung dengan metode SCS. Hasil pendugaan menunjukkan peningkatan CN dan aliran langsung pada setiap titik tahun pengamatan perubahan lahan. Semakin tinggi CN maka semakin besar hujan yang akan berubah menjadi aliran langsung. Luas penutupan lahan (%) mempengaruhi CN, CN lahan dengan dominasi tertinggi memberikan kontribusi yang lebih besar dalam mempengaruhi perubahan CN DAS. Secara umum periode selama 1994-2010 kontributor CN DAS Ciliwung Hulu terbesar adalah hutan serta kebun campur dan perkebunan teh karena kedua penutupan lahan ini paling mendominasi. Tahun 1994 kontributor CN DAS terbesar adalah hutan serta kebun campur dan perkebunan teh, begitu pula pada tahun 2000 dan 2010. Penutupan lahan yang
16 memiliki CN tertinggi adalah pemukiman dan sawah, namun karena luas lahan ini tidak terlalu besar maka berpengaruh lebih kecil terhadap peningkatan CN DAS jika dibandingkan dengan hutan dan perkebunan. CN sawah berkontribusi lebih besar pada tahun 1994 karena memiliki luas lebih besar dibanding tahun 2000 dan 2010 sedangkan pemukiman lebih banyak berkontribusi meningkatkan CN DAS tahun 2010 karena mengalami perluasan. Tabel 10 Pendugaan aliran langsung DAS Ciliwung Hulu dengan metode SCS Penutupan Lahan Hutan Semak/Belukar Kebun campur & Perkebunan teh Tegalan Sawah Pemukiman CN DAS Jumlah aliran langsung (mm)
1994 Luas CN (%) 43 65.8 11 66.8
2000 Luas (%) 34 9
65.2 66.4
CN
2010 Luas CN (%) 23 71.6 11 72.1
23
71.0
30
70.6
36
75.8
10 8 5
73.5 75.4 84.6 69.6
15 4 8
73.2 75.1 84.5 70.1
14 3 13
78.1 79.3 86.7 76.3
448
493
819
Terlihat pada Tabel 11, jika penutupan lahan hutan dan semak atau belukar serta sawah berkurang sedangkan pemukiman, kebun campur dan perkebunan teh, serta tegalan bertambah (periode 1994-2000) maka aliran langsung naik sebesar 10%. Peningkatan ini tidak terlalu besar karena hutan serta kebun & perkebunan memiliki CN yang relatif tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan perbedaan CN hutan-pemukiman. Selama periode ini terjadi penurunan luas hutan namun kebun campur dan perkebunan teh bertambah sehingga aliran langsung tidak berubah terlalu besar. Peningkatan lebih dipengaruhi oleh penurunan luas lahan sawah dan peningkatan luas pemukiman dan tegalan. Tabel 11 Perubahan tutupan lahan dan aliran langsung (%) Penutupan Lahan Hutan Semak/Belukar Kebun campur dan perkebunan teh Tegalan Sawah Pemukiman Perubahan aliran langsung (%)
Perubahan Luas 1994-2000 2000-2010 1994-2010 -22 -33 -48 -13 21 6 30
22
59
58 -57 59
-7 -22 59
46 -66 152
10
66
83
Kontributor peningkatan aliran langsung pada periode 1994-2000 adalah pemukiman dan tegalan. Luas kedua penutupan lahan ini bertambah hingga lebih dari 50%, namun karena luas pemukiman dan tegalan tidak terlalu besar maka
17 tidak begitu berkontribusi pada peningkatan aliran langsung di sisi lain lahan sawah dengan CN tinggi dan kondisi tergenang akan mudah mengalirkankan hujan yang jatuh. Ketika lahan sawah berkurang maka aliran langsung berkurang, oleh karena itu peningkatan aliran langsung periode 1994-2000 hanya 10%. Peningkatan aliran langsung lebih besar terjadi pada periode 2000-2010. Komposisi perubahan penutupan lahan periode 2000-2010 menyebabkan aliran langsung meningkat hingga 66%. Peningkatan aliran langsung ini disebabkan oleh peningkatan kembali luas pemukiman serta berkurangnya luas hutan sehingga kontribusi hutan dalam menurunkan CN DAS makin berkurang. Selain itu walaupun tegalan yang memiliki CN cukup tinggi mengalami penurunan luas, namun hanya berkurang 7% hingga kontribusi tegalan untuk meningkatkan CN pada tahun ini masih besar. Perubahan penutupan lahan pada periode keseluruhan (1994-2000) meningkatkan aliran langsung sekitar 83%. Menurut pola perubahan penutupan lahan, dapat disimpulkan bahwa komponen penutupan lahan yang memiliki kontribusi terbesar dalam peningkatan aliran langsung berurutan adalah peningkatan luas pemukiman dan tegalan serta penurunan luas hutan. Jika di DAS Ciliwung Hulu (Kab. Bogor dan sekitarnya) terus mengalami penurunan luas lahan hutan dan peningkatan tegalan serta pemukiman, maka aliran langsung wilayah ini akan meningkat. Peningkatan aliran langsung di Hulu tentu akan mepengaruhi aliran total ke sub DAS Ciliwung Tengah dan Hilir (Depok dan Jakarta) yang memiliki elevasi lebih rendah. Bentuk DAS Ciliwung dari hulu sampai ke Katulampa berbetuk radial dan pararel sampai ke hilir, sehingga peran daerah hulu penting sebagai kontributor aliran total. Pengaruh Cuaca Ekstrem El Nino dan La Nina terhadap Aliran Langsung Selain penutupan lahan, faktor curah hujan merupakan faktor lain yang mempengaruhi aliran langsung. Oleh sebab itu penelitian ini mencoba menduga aliran langsung pada beberapa kondisi hujan berbeda. Curah hujan yang dipilih adalah curah hujan yang terjadi pada tahun-tahun El Nino (1994, 1997, dan 2006) dan La Nina (2005, 2007, dan 2010) dibandingkan dengan kondisi normal. Berikut (Tabel 12) adalah hasil pendugaan aliran langsung yang menghubungkan antara perubahan penutupan lahan dan curah hujan dengan aliran langsung. Hasil perhitungan menunjukkan aliran langsung pada tahun-tahun La Nina dengan curah hujan relatif lebih tinggi dilimpaskan lebih besar dibanding tahuntahun El Nino dengan curah hujan lebih rendah. Ketika terjadi La Nina intensitas dan durasi hujan rata-rata lebih besar, sedangkan hujan dengan intensitas kecil dan durasi panjang terjadi di musim hujan yang berkepanjangan pada fase ini. Keadaan tersebut menyebabkan tanah cenderung jenuh sehingga kemampuan infiltrasi tanah menurun dan hujan yang jatuh lebih banyak melimpas dan menjadi aliran langsung. Jika dibandingkan dengan tahun normal (tahun 1996 dan 2001), pada tahun-tahun El Nino curah hujan yang berubah menjadi aliran langsung lebih rendah. Hal berbeda terjadi pada tahun La Nina, pada tahun-tahun La Nina curah hujan yang berubah menjadi aliran langsung beragam. Tahun 2007 dan 2010, aliran langsung yang terjadi relatif sama dan lebih besar sedangkan tahun 2005 lebih rendah. Hal ini terjadi karena jumlah curah hujan tahun 2005 (La Nina) nilainya relatif lebih kecil dibanding tahun normal. Isik et al. (2013) menerangkan bahwa hubungan curah hujan dan aliran sangat kompleks dan tidak benar-benar
18 linear, hubungan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti AMC, evaporasi, infiltrasi, dan distribusi serta durasi curah hujan. Tabel 12 Pendugaan aliran langsung pada kondisi El Nino, Normal dan La Nina dengan metode SCS
Tahun 1994 1997 2006 1996 2001 2005 2007 2010
El Nino Normal La Nina
CN 69.6 67.3 69.1 71.3 72.8 72.4 70.9 76.3
Curah Aliran Hujan % langsung Wilayah CH (mm) (mm) 3084 448 15 2630 364 14 2808 403 14 3954 756 19 4167 780 19 3633 461 13 3564 825 23 4480 819 18
Perubahan penutupan lahan memang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi aliran langsung. Selain faktor penutupan lahan, faktor yang juga sangat berpengaruh pada aliran langsung adalah faktor curah hujan. Mori et al. (1977) membagi faktor yang mempengaruhi aliran menjadi dua, yaitu elemen meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan elemen pengaliran yang menyatakan sifat fisik daerah pengaliran. Merz et al. (2013) menyimpulkan bahwa area tangkapan hujan dengan kondisi tanah kering memiliki aliran total yang lebih kecil dibanding dengan kondisi basah dan keadaan kelembaban tanah lebih berpengaruh dibanding dengan jenis tanah. Curah hujan secara langsung akan memengaruhi kondisi AMC yang pada akhirnya akan mempengaruhi laju infiltrasi. Kondisi AMC sendiri dibagi menjadi tiga, AMC I ketika tanah dalam kondisi kering, AMC II normal dan AMC III kondisi tanah jenuh ketika hujan lebat atau hujan ringan dan suhu udara rendah (McCuen 1989). Ketika kelembaban tanah sebelumnya sudah dalam kondisi jenuh, jika terjadi hujan maka sebagian besar curah hujan tersebut akan menjadi aliran langsung. Sebaliknya jika dalam kondisi AMC I, hujan yang jatuh akan cepat terinfiltrasi ke dalam tanah dan sedikit yang mengalir di permukaan. Semakin besar nilai perbandingan aliran langsung dan curah hujan menunjukkan semakin banyak hujan yang berubah menjadi aliran langsung. Nilai terbesar terjadi pada tahun 2007, menunjukkan bahwa dalam satu tahun sebesar 23% total curah hujan yang jatuh di DAS Ciliwung Hulu berubah menjadi aliran langsung. Analisis Karakteristik DAS Ciliwung Hulu Analisis karakteristik DAS dilakukan untuk mengetahui bagaimana karakter DAS Ciliwung Hulu dalam mengalirkan curah hujan yang jatuh. Analisis karakteristik DAS dilakukan dengan mengidentifikasi geomorfologi dan karakteristik debit sungai DAS Cilwung Hulu. Morfometri DAS merupakan ukuran dan analisis matematis bentuk permukaan bumi termasuk panjang, lebar, bentuk dan dimensi suatu DAS. Analisis morfometri dilakukan untuk memahami
19 dinamika dan karakteristik geologi serta hidrologi suatu DAS. Analisis morfometri DAS meliputi faktor sungai dan faktor areal DAS. Faktor sungai diantaranya adalah jumlah ordo sungai, panjang sungai, rasio percabangan (Rb) dan rasio panjang (Rl) sedangkan faktor area diantaranya keliling, relief, rasio bentuk, dan rasio kebulatan dari wilayah DAS. Tabel 13 menunjukkan morfometri DAS Ciliwung Hulu yang dibangun dari data-data satelit yaitu data ketinggian atau DEM (Digital Elevation Model) resolusi 90 meter dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) milik NASA. Tabel 13 Morfometri DAS Ciliwung Hulu (Faktor Sungai)
Ordo
1 2 3 4 5
Jumlah Panjang Panjang Rasio Rasio segmen total ratapercabangan panjang ordo segmen rata (Rb) (Rl) (Nu) (L, km) (km) 345 152 85 38 37 657
2.3 1.8 2.2 1.0 1.8
195 79 45 19 16 354
0.6 0.5 0.5 0.5 0.4 2.6
0.9 1.0 1.0 0.9 0.9
Tabel 14 Morfometri DAS Ciliwung (Faktor Areal) Varabel Panjang DAS (Lb,km)
21.8
Keliling DAS (Pb, km)
61.7
Luas DAS (A, km2)
152.6
Rasio bentuk (Rf)
0.04
Rasio kebulatan (Rc)
0.5
Rasio pemanjangan (Re)
0.6 2
Kepadatan drainase (D, km/km ) Relief (H,m) Rasio relief (Rh)
2.3 2608 7.4
Terlihat pada Tabel 13 dan 14 bahwa sungai di DAS Ciliwung Hulu terdiri dari lima ordo, dan jumlah anak sungai pada ordo yang lebih tinggi lebih sedikit dibanding pada ordo yang lebih rendah sehingga panjang total sungai ordo satu lebih panjang dibanding panjang sungai ordo dua dan selanjutnya. Menurut BPDAS Ciliwung-Cisadane sungai ordo 1 merupakan sungai-sungai musiman yang mengalir hanya pada musim hujan. Panjang rata-rata sungai di DAS Ciliwung Hulu adalah 2.6 km. Seperti terlihat pada Gambar 4 sungai di DAS
20 Ciliwung Hulu memiliki percabangan yang banyak dengan struktur yang rumit serta menyempit ketika menuju hilir. Rasio percabangan (Rb) tidak sama pada setiap ordo sungai, menurut Chow (1964) semaikn tinggi Rb semakin banyak jumlah sungai ordo satu dan semakin lama air hujan sampai ke sungai utama. Nilai Rb yang tinggi mengindikasikan kompleksitas struktur yang lebih rumit dan terdapat banyak anak sungai mengakibatkan aliran total (debit) lebih berfluktuasi (Reddy et al. 2004). Berdasarkan nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa volume aliran total yang terkumpul di DAS Ciliwung Hulu besar karena sungai yang banyak bercabang. Ketika terjadi hujan, kenaikan muka banjir di sungai akan berlangsung cepat.
Gambar 4 Peta jaringan sungai DAS Ciliwung Hulu yang dibangun dari DEM (Digital Elevation Model) data SRTM resolusi 90 meter Faktor lainnya adalah faktor areal DAS, keliling DAS Ciliwung Hulu kurang lebih 61.7 km dan jarak terjauh dari bendung Katulampa ke bagian terluar di Hulu adalah 21.8 km serta memiliki luas sebesar 152.6 km2. Nilai Rc menunjukkan kebulatan suatu DAS semakin bulat suatu DAS maka nilai R c mendekati 1. Semakin bulat bentuk DAS semakin lama waktu yang diperlukan untuk terjadi aliran total di bendung begitupun penurunannya namun keadaan ini akan sangat dipengaruhi oleh geologi, kemiringan dan penutupan lahan (Reddy et al. 2004). Relief DAS Ciliwung mencapai 2608 m dengan rasio relief (Rh) 7.37, titik tertinggi ada pada 2934 m dpl dan terendah pada 326 m dpl. Karakteristik relief sperti ini mengakibatkan aliran total (debit) dari hulu lebih cepat mengalir ke hilir. Nilai Rf mengindikasikan puncak aliran, Rf yang tinggi menunjukkan
21 debit puncak terjadi pada durasi yang lebih singkat. Karena bentuk DAS Ciliwung Hulu termasuk ke dalam bentuk radial (Mori et al. 1977), banjir besar terjadi dekat titik pertemuan anak sungai. Koefisien pemanjangan (Re) menunjukkan kapasitas infiltrasi dan aliran, nilai Re tinggi menunjukkan tingkat infiltrasi tinggi dan aliran total rendah (Reddy et al. 2004). Kerapatan drainase (D) DAS Ciliwung Hulu bernilai 2.3, nilai D antara 0.25-10 menunjukkan kelas kerapatan sedang dan alur sungai melewati batuan dengan resistensi lunak sehingga sedimen yang terangkut besar. Semakin tinggi nilai D maka semakin impermeabel suatu permukaan dan memiliki potensi aliran total lebih besar (Reddy et al. 2004). Faktor-faktor di atas merupakan faktor geomorfologi DAS Ciliwung Hulu yang menggambarkan secara keseluruhan karakteristik dan kondisi fisik DAS tersebut dan bernilai konstan. Tabel 15 merupakan variabel karakteristik DAS yang dapat berubah karena terjadi perubahan lahan. Debit pada Tabel 15 merupakan debit sungai yang terukur di Katulampa, merupakan aliran total gabungan dari aliran langsung dan aliran dasar. Debit yang dipilih adalah debit tahun 1994, 2000, dan 2010 karena merupakan titik pengamatan perubahan penutupan lahan dan dianggap mewakili pengaruh penutupan lahan terhadap karakteristik debit tahun tersebut. Tabel 15 Analisis aliran total (debit) DAS Ciliwung Hulu Variabel Qmaks (m3/s) Qmin (m3/s) Selisih debit (m3/s) Rasio debit (Qmax/Qmin)
1994 378 2 378 221
2000 526 1 524 431
2010 630 1.3 628 481
Debit maksimum cenderung mengalami peningkatan dan debit minimum menurun (1994-2010). Fluktuasi debit cenderung meningkat setiap tahun karena rasio dan selisih debit semakin besar. Hal ini mengindikasikan ketika curah hujan tinggi, debit maksimum meningkat karena kemampuan DAS Ciliwung Hulu dalam menginfiltrasi air berkurang. Akibat konversi lahan hutan menjadi tegalan dan pemukiman yang terjadi di DAS Ciliwung Hulu, debit maksimum bertambah besar. Hal yang sebaliknya terjadi ketika curah hujan rendah, debit minimum turun karena daerah resapan berkurang sehingga mengurangi cadangan air DAS Ciliwung Hulu pada musim hujan. Analisis Kejadian Banjir serta Validasi Aliran Total (Debit) Analisis Aliran Langsung pada Kejadian Banjir DAS Ciliwung merupakan daerah yang memiliki curah hujan cukup tinggi. Pola curah hujan wilayah ini masuk ke dalam tipe curah hujan monsunal yang memiliki puncak musim hujan sekitar bulan November-Februari, rata-rata curah hujan wilayah tahunan pada periode 1994-2010 adalah 3555 mm dan curah hujan rata-rata tertinggi 4480 mm. Menurut Narulita et al. (2010) DAS Ciliwung Hulu jarang mendapat bulan kering kecuali pada peristiwa El Nino.
22
(a)
(b)
Gambar 5 Curah hujan rata-rata bulanan dari tiga stasiun pengukuran cuaca di wilayah Ciliwung Hulu (a) dan aliran total (debit) rata-rata bulanan di Bendung Katulampa tahun 1994-2010 (b) Gambar 5 menunjukkan pola curah hujan dan aliran total (debit) sungai yang terukur di Bendung Katulampa. Pola curah hujan yang terukur oleh ketiga stasiun penakar curah hujan di DAS Ciliwung Hulu memiliki pola yang hampir serupa dengan aliran total rata-rata yang terukur di Bendung Katulampa. Hal ini menunjukkan bahwa besar aliran total (debit sungai) yang terukur di Katulampa dipengaruhi oleh curah hujan, sehingga ketika curah hujan di DAS Ciliwung Hulu tinggi debit juga akan tinggi. Curah hujan rata-rata maksimum terjadi pada bulan Januari dan Februari, begitupula dengan rata-rata debit maksimum. Oleh karena itu, pada bulan-bulan ini perlu diwaspadai terjadinya banjir atau aliran total maksimum yang besar mengalir dari hulu. Bendung Katulampa merupakan pos pengamat tinggi muka air pertama dari seluruh DAS Ciliwung. Aliran total (debit) sungai yang terukur di Katulampa tiba di titik pengamatan selanjutnya Depok kurang lebih 3 s/d 4 jam kemudian. Pos pengamatan terakhir adalah Manggarai (kurang lebih 8 s/d 10 jam kemudian). Pos-pos pengamatan ini memberikan informasi mengenai aliran total (debit) yang mengalir menuju DKI Jakarta. Informasi banjir diberikan melalui sistem peringatan dini (early warning system) banjir untuk warga Jakarta (BPDAS 2003) yang disusun menurut tinggi muka air (TMA) di Katulampa, Depok, dan Manggarai. Salah satu variabel yang menunjukkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk volume hujan di Hulu akan sampai di pos pengamatan pertama (Katulampa) adalah waktu konsentrasi (Tc). Waktu konsentrasi (Tc) adalah waktu yang diperlukan air hujan untuk mengalir dari titik terjauh DAS ke bendung (McCuen 1989). Informasi mengenai Tc Ciliwung Hulu berguna untuk memperkirakan berama lama aliran akan terkumpul di Katulampa setelah terjadinya hujan. Berikut adalah kejadian banjir menurut tinggi muka air kriteria kondisi siaga sistem peringatan dini banjir Jaakrta di Katulampa.
23 Tabel 16 Kejadian banjir tahun 1990 Tanggal 14/01/1990 27/01/1990 24/02/1990 10/12/1990
TMA (cm)
Siaga
CH (mm)
AMC
CN
90 90 100 100
IV IV IV IV
23.003 28.576 25.406 5.737
AMC III AMC III AMC III AMC II
88.5 88.5 88.5 74.7
Q SCS (mm) 5 9 7 2
% 24 31 27 31
Tc (jam) 0.9 0.9 0.9 1.6
Tabel 17 Kejadian banjir tahun 2000 Tanggal 27/01/2000 28/01/2000 03/02/2000 04/02/2000 05/02/2000 06/02/2000 12/11/2000
TMA (cm)
Siaga
CH (mm)
130 90 90 130 110 130 200
IV IV IV IV IV IV III
57 73 63 17 43 27 49
AMC
CN
AMC III AMC III AMC III AMC III AMC III AMC III AMC III
88.9 88.9 88.9 88.9 88.9 88.9 88.9
Q SCS (mm) 31 46 36 2 19 8 24
%
Tc (jam)
55 62 57 15 45 30 50
0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9
Tabel 18 Kejadian banjir tahun 2010 Tanggal
TMA (cm)
Siaga
09/02/2010 12/02/2010 15/02/2010 17/02/2010 18/02/2010 19/02/2010 09/03/2010 11/03/2010 17/03/2010 18/03/2010 25/03/2010 10/05/2010 08/06/2010 25/08/2010 01/09/2010 03/09/2010 24/09/2010 06/10/2010 30/10/2010 13/11/2010
150 250 90 130 90 90 110 160 100 100 110 130 130 200 100 140 100 100 150 90
IV II IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV III IV IV IV IV IV IV
24/11/2010
90
IV
CH (mm)
AMC
CN
29 55 26
AMC III AMC III AMC III
89.3 89.3 89.3
35 49 40 25 50 59
AMC III AMC III AMC III AMC III AMC III AMC III
89.3 89.3 89.3 89.3 89.3 89.3
22 14 52 96 54 74
AMC III AMC III AMC III AMC III AMC III AMC III
89.3 89.3 89.3 89.3 89.3 89.3
33 26 19 29 11 12
AMC III AMC III AMC I AMC III AMC I AMC I
89.3 89.3 58.9 89.3 58.9 58.9
Q SCS (mm) 10 30 8 14 25 18 7 26 33 6 1 28 67 30 47 13 8 2 10 4 3
%
Tc (jam)
34 55 31 40 52 45 29 52 57 25 11 53 70 54 63 39 31 9 34 33
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 2.7 0.8 2.7
28
2.7
24 AMC III AMC III AMC III
89.3 89.3 89.3
19
IV
41 30 48
IV
36
AMC III
89.3
25/11/2010 28/11/2010
110 90
IV IV
04/12/2010
130
06/12/2010
130
11
46 35
0.8 0.8
24
50
0.8
15
42
0.8
Terlihat dari tabel 16, 17, dan 18 bahwa jumlah kejadian banjir menurut kondisi siaga setiap titik tahun meningkat. Tahun 1990 kondisi banjir terbesar adalah kondisi siaga IV, pada tahun 2000 kondisi terbesar adalah siaga III, sedangkan pada tahun 2010 terdapat banjir hingga siaga II. Banjir sebagian besar terjadi pada kondisi AMC III ketika tanah dalam keadaan basah dan jumlah hujan 5 hari sebelum kejadian banjir tinggi. Persentase curah hujan yang berubah menjadi aliran langsung terbesar menurut perhitungan SCS pada tahun 1990 adalah 31% sedangkan tahun 2000 meningkat hingga 62%. Tahun 2010 curah hujan yang berubah menjadi aliran langsung terbesar adalah 70%. Waktu konsentrasi (Tc) rata-rata per kejadian banjir di DAS Ciliwung Hulu adalah sekitar 0.8 jam atau sekitar 48 menit hingga 2.7 jam tergantung pada kondisi kelembaban tanah dan CN. Semakin besar CN maka Tc akan semakin cepat. Hal ini mengindikasikan jika hujan yang jatuh di Hulu Ciliwung akan lebih cepat mengalir ke hilir ketika CN di Hulu besar. Kesimpulan yang dapat diambil adalah perubahan penutupan lahan yang terjadi di DAS Ciliwung Hulu meningkatkan frekuensi kejadian banjir dan secara umum meningkatkan aliran langsung serta mempercepat aliran menuju Jakarta. Kodoatie dan Sjarief (2005) menyebutkan bahwa banjir dan genangan di suatu lokasi diakibatkan oleh faktor yang bersifat alami dan antropogenik. Faktor alami antara lain erosi dan sedimentasi, curah hujan, pengaruh fisiografi atau geofisik sungai, pengaruh air pasang, kapasitas sungai dan drainase serta lahan di daerah aliran sungai (DAS). Faktor antropogenik adalah perubahan tata guna lahan, pembuangan sampah, perencanaan DAS yang tidak tepat, bendung dan bendungan serta kerusakan bangunan pengendali banjir. Tingginya curah hujan ditambah berkurangnya daerah resapan air di DAS Ciliwung Hulu tentunya meningkatkan resiko terjadinya banjir di daerah Tengah dan Hilir. Selain itu faktor lain seperti sampah dan sedimentasi sungai juga akan menyebabakan terhambatnya aliran sungai ke laut sehingga sungai meluap. Seperti yang dikemukakan Steinberg (2007), sekitar 23.400 m3 sampah setiap harinya dibuang di Jakarta dan hanya 14.700 m3 yang dapat diolah oleh dinas kebersihan kota. Validasi Aliran Total Hasil pendugaan aliran langsung dengan metode SCS kemudian dibandingkan dengan aliran total pengamatan (debit observasi) yang terukur di Katulampa. Debit yang terukur di Katulampa adalah aliran total gabungan aliran langsung dengan aliran dasar sehingga untuk hasil korelasi yang lebih akurat perlu dilakukan pemisahan aliran dasar. Aliran dasar merupakan debit sungai pada saat tidak terjadi aliran langsung, berasal dari aliran langsung kejadian hujan sebelumnya dan aliran sub permukaan yang tersimpan dalam suatu DAS (Chow 1964). Aliran dasar kemudian dijumlahkan dengan aliran langsung dugaan SCS sehingga menunjukkan besar aliran total SCS. Data yang yang dijadikan acuan adalah debit harian observasi tahun 2006, tahun ini dipilih karena data memiliki data observasi harian paling lengkap.
25
Gambar 6 Aliran total (debit) dan aliran dasar Katulampa tahun 2006 yang direkonstruksi dengan metode algoritma Lyne dan Hollick
Gambar 7 Korelasi aliran total dugaan SCS dengan aliran total observasi Katulampa tahun 2006 Hasil regresi linier aliran total observasi dan pendugaan menunjukkan Koefisien determinasi (R2) bernilai 0.57, aliran total hasil pendugaan SCS ratarata memilki nilai yang lebih besar dari nilai aliran total observasi. Perbedaan nilai ini terjadi karena metode SCS menghitung berapa jumlah curah hujan yang berubah menjadi aliran langsung, ketika curah hujan tinggi maka aliran langsung yang dihasilkan juga tinggi. Namun menurut data observasi tidak semua curah hujan tinggi menghasilkan aliran langsung yang besar. Beberapa parameter dalam perhitungan SCS juga perlu dilakukan penyesuaian kembali agar sesuai kondisi DAS sehingga menghasilkan pendugaan aliran langsung yang lebih akurat.
26
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil analisis dengan SIG dan pendugaan aliran langsung dengan metode SCS, komponen penutupan lahan yang memiliki kontribusi terbesar dalam peningkatan aliran langsung berurutan adalah peningkatan pemukiman dan tegalan serta penurunan luas hutan. Aliran langsung yang terjadi ketika tahun La Nina (2005, 2007, dan 2010) dengan curah hujan tinggi lebih besar dibanding aliran langsung pada tahun El Nino (1994, 1997, dan 2006). 2. Perubahan penutupan lahan berdampak pada peningkatan frekuensi banjir dan jumlah aliran langsung pada beberapa kejadian banjir menurut siaga banjir sistem peringatan dini banjir Jakarta di Katulampa. Saran Perubahan penutupan lahan menjadi faktor penyebab peningkatan aliran langsung DAS Ciliwung Hulu selama tahun 1994 – 2010 sehingga mengakibatkan banjir di hilir. Peningkatan aliran langsung di hulu terjadi akibat berkurangnya daerah resapan (hutan) dan bertambahnya daerah kedap (pemukiman dan tegalan). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi aliran langsung yang menyebabkan banjir adalah dengan menambah daerah resapan di hulu adalah menambah daerah resapan. Bertambahnya daerah resapan dapat meningkatkan CN sehingga hujan yang berubah menjadi aliran langsung tidak terlalu besar dan tidak mengalir terlalu cepat menuju hilir. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan malakukan perbandingan antara DAS Ciliwung dengan DAS yang memiliki kondisi iklim dan wilayah serupa. Sebagai pendukung dalam melakukan klasifikasi lahan dan identifikasi karakteristik DAS dapat dilakukan peninjauan lapang langsung untuk mengetahui kondisi DAS yang sebenarnya.
27
DAFTAR PUSTAKA Anderson JR, Hardy EE, Roach JT, Witmer RE. 1976. A land use and land cover classification system for use with remote sensor data. U.S Geological Survey Professional Paper : 964. Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Edisi Pertama. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University. Chow VT. 1964. Handbook of Applied Hydrology. New York (US): McGraw-Hill. Dasanto BD, Risyanto.2006. Evaluasi dampak perubahan penggunaan lahan terhadap volume limpasan studi kasus: DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. J. Agromet Indonesia. 20(2):1-13. Deshmukh DS, Chaube UC, Ekube A, Aberra D, Tegene M. 2013. Estimation and comparision of curve numbers based on dynamic land use land cover change, observed rainfall-runoff data and land slope. J of Hydrology. 2013:1-37. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.jhydrol.2013.04.001 [BPS] Badan Pusat Statistika (ID). Penduduk Indonesia Menurut Provinsi [Internet]. Tersedia pada : http://www.bps.go.id/. [BPDAS] Balai Pengelolaan DAS Ciliwung – Citarum. 2003. Laporan Akhir Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Ciliwung. Bogor (ID) : BPDAS. Fakhrudin M. 2003. Kajian respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan DAS Ciliwung dengan model Sedimot II [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Isik S, Kalin L, Schoonover JE, Srivastava P, Lockaby BG. 2013. Modeling effects of changing land use/cover on daily streamflow: an artificial neural network and curve number based hybrid approach. J of Hydrology. 185:103-112. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.jhydrol.2012.08.032 Kodoatie RJ, Sjarief R. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Ed ke-2. Yogyakarta (ID): ANDI. Kumar DS, Arya DS, Vojinovic Z. 2013. Modeling of urban growth dynamics and its impact on surface runoff characteristics. Computers, Environmental and Urban Systems. 41:124-135. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.compenvurbsys.2013.05.004 Kunu PJ. 2008. Efek perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung terhadap limpasan. J Budidaya Pertanian. 4(2) : 94-102 Lisnawati Y, Wibowo A. 2010. Analisis fluktuasi debit air akibat perubahan penggunaan lahan di kawasan puncak, Kabupaten Bogor. J Penelitian Hutan Tanaman. 7(4):221–226. McCuen RH. 1989. A Guide to Hydrologic Analysis Using SCS Methods. New Jersey (US): Prentice Hall. McCuen RH. 1989. Hydrologic Analysis and Design. New Jersey (US): Prentice Hall. Merz R, Blöschl G, Parajka J. 2006. Spatio-temporal variability of event runoff coefficients. J of Hydrology. 331:591-604. doi:10.1016/j.jhydrol.2006.06.008 Mori K, Ishii H, Somatani A, Hatakeyama. 1977. Hidrologi Untuk Pengairan. Taulu L, penerjemah; Sosrodarsono S,Takeda K, editor. Jakarta (ID):
28 Pradnya Paramita. Terjemahan dari : Manual on Hydrology.Terjemahan dari : Manual on Hydrology. Murdiyarso D, Kurnianto S. 2008. Ecohydrology of the Mamberamo Basin: An Initial Assessment Of Biophysical Processes. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR). Narulita I, Maria R, Djuwansah MR. 2010. Karakteristik curah hujan di wilayah pengaliran sungai (wps) Ciliwung-Cisadane. Riset Geologi dan Pertambangan. 20(2):95-110. Natakusumah DK, Hatmoko W, Harlan D. 2011. Prosedur umum perhitungan hidrograf satuan sintetis dengan cara ITB dan beberapa contoh penerapannya. J. Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil. 18(3): 251291. Reddy GPO, Maji AK, Gajbhiye KS. 2004. Drainage morphometry and its influence on landform characteristics in a basaltic terrain, Central India – a remote sensing and GIS approach. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation. 5:1-16.doi:10.1016/j.jag.2004.06.003 Runtuwuwu E, Hendrayanto, Pawitan H, Kondo A. Yamanaka T, Kosugi K. 2010. Integrated watershed management for sustainable water use in a humid tropical region. Tanaka T, Pawitan H, Yamanaka T, editor. Bulletin of the Terrestrial Environment Research Center University of Tsukuba. 10(1):1926. Smakhtin VU. 2001. Estimating continuous monthly baseflow time series and their possible applications in the context of the ecological reserve. Water SA. 27(2):213-218. Sriwongsitanon N, Taesombat W. 2011. Effects of land cover on runoff coefficient. J of Hydrology. 410:226-238. doi:10.1016/j.jhydrol.2011.09.021 Steinberg F. 2007. Jakarta: environmental problems and sustainability. Habitat International. 31(2007) : 354–365. doi:10.1016/j.habitatint.2007.06.002 [USDA] United States Department of Agriculture. 1986. Urban hydrology for small watersheds Natural Resources Conservation Service Technical Release 55, June 1986. Zhang X, Yu X, Wu S, Zhang M, Li J. 2007. Response of land use/coverage change to hydrological dynamics at watershed scale in the Loess Plateau of China. Acta Ecologica Sinica. 27(2):414−4 3
29
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu 1994
30 Lampiran 2 Peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2000
31 Lampiran 3 Peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2010
32 Lampiran 4 Tabel CN (Kondisi AMC II, Ia = 0.2 S) No 1
Penggunaan lahan Hutan
2
Semak/Belukar
3
Tanaman semusim Lereng Lereng Kontur Kontur Kontur dan Teras Kontur dan Teras Tanaman Padi dan sejenisnya Lereng Lereng Kontur Kontur Kontur dan Teras Kontur dan Teras Tegalan atau Ladang Perlakuan mekanis Perlakuan mekanis Perlakuan mekanis Kontur Kontur Kontur Pemukiman Luas rata-rata tanah kapling (m2) 500 1000 1200 2000 4000
4
5
6
Sumber : McCuen (1989)
Kelompok Hidrologi Tanah A B C Baik 45 66 77 Sedang 36 60 73 Buruk 25 55 70 Baik 45 67 77 Sedang 35 56 70 Buruk 30 48 65
D 83 79 77 83 77 73
Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik
72 67 70 65 66 62
81 78 79 75 74 71
88 85 84 82 80 78
91 89 88 86 82 81
Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik
65 63 63 61 61 59
76 75 74 73 72 70
84 83 82 81 79 78
91 89 88 86 92 81
Baik Sedang Buruk Baik Sedang Buruk
68 49 39 47 25 6
79 69 61 67 59 35
86 79 74 81 75 70
89 84 80 88 83 80
77 61 57 54 51
85 75 72 70 68
90 83 68 80 79
92 87 86 85 84
33 Lampiran 5 Tabel penyesuaian CN kondisi AMC I, II, dan III
Bilangn Kurva Kondisi AMC II
Penyesuaian untuk kondisi
100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Sumber : McCuen (1989)
AMC I 100 87 78 70 63 57 51 45 40 35 31 27 23 19 15 12 9 7 4 2 0
AMC III 100 99 98 97 94 91 87 83 79 75 70 65 60 55 50 45 39 33 26 17 0
34
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 1991, putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Ladiman dan Ibu Salmah. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis merupakan anggota BP Koordinasi Keuangan Himpunan Mahasiswa Meteorologi Indonesia (HMMI) periode 2010/2012. Selain itu penulis juga pernah aktif sebagai staf di departemen Internal (2010/2011) dan departemen Kominfo (2011/2012) himpunan profesi HIMAGRETO. Penulis juga pernah aktif menjadi volunteer pengajar PILH (Pendidikan Iklim dan Lingkungan Hidup) selama satu tahun untuk kegiatan yang dilakukan oleh ICSF (Indonesian Climate Student Forum). Pada bulan Juli 2012 penulis mengikuti kegiatan IGTF (IPB Goes To Field) selama satu bulan di daerah emak, Jawa Te gah de ga tema keg ata “ e gukura Kadar Sal tas pada Lahan Ex-Tambak d Kabupate emak”