9
Artikel Perubahan Makna Pertunjukan Jaran Kepang pada Masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari, Medan Heristina Dewi Staf Pengajar Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU Based on a preliminary survey, the researcher noticed that the traditional performance jaran kepang was a very famous show among Jawa community in Tanjung Sari, Medan. At present, it was presumed that the meaning of the performance has been changed. This study was aimed at disclosing the change of meaning of the jaran kepang performance among Jawa community in Tanjung Sari Medan. A qualitative approach as suggested by Spradley was utilized to accomplish the the objective of the study. The key informants began with the actors and were expanded to audiences and persons who organized the performance by using the snowball technique. The data were collected through observation, interviews and the field notes. To improve the data validity such as credibility, transferability, dependability and confirmability, the researcher used triangulation method. The findings of the study indicate that the religious elements in jaran kepang performance, the actors, and the performance equipments have been changed in their meaning. In the meantime, the purpose of the performance becomes the traditional art performance and shows the Jawa community identity. Several factors influence the change, among others, the improvement of community education, specially in religion, and the culture of the sorrounding community. The improvement of their knowledge in Islamic religion was also contributed to the change of jaran kepang performance. There is also a tendency that people use the modern music instead of inviting the jaran kepang. Therefore, the youth generation does not laki anymore with the performance using the aliens.
Pendahuluan Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan dan tradisi masing-masing, yang merupakan ciri khas masyarakatnya. Kebudayaan dalam suatu masyarakat memiliki makna tersendiri bagi anggotanya serta diwariskan secara turun temurun di lingkungan keluarga ataupun dalam komunitasnya. Salah satu bagian dari kebudayaan yang telah diwariskan secara turun temurun di lingkungan masyarakat Jawa adalah pertunjukan jaran kepang. Jaran kepang1 adalah suatu bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa yang di dalam pertunjukannya ada unsur seni dan religi. Ciri khasnya menggunakan kuda yang terbuat dari anyaman bambu sebagai perlengkapan pertunjukan dan ada peristiwa kesurupan.2 Pertunjukan jaran kepang
1 Nama lain dari jaran kepang adalah kuda kepang, kuda lumping, jathilan dan ebeg 2 Menurut bahasa Jawa “jaran” berarti kuda, “kepang” berarti anyaman. Dinamakan jaran
HISTORISME
didukung oleh para anggota, terdiri dari pawang (sebagai pimpinan pertunjukan dan pengendali pertunjukan), pemain musik, penari, dan penonton. Peralatan yang digunakan berupa seperangkat alat musik, terdiri dari: kendhang, saron, demung, gong dan ketuk kenong. Perlengkapan penari, terdiri dari seperangkat pakaian, kuda kepang, cambuk, dan topeng. Sebagai perlengkapan pawang, terdiri dari sesaji berupa bunga, minuman, minyak wangi, dan kemenyan. Topeng digunakan penari dalam pertunjukan jaran kepang untuk melakonkan karakter tertentu, seperti lucu dan seram. Rasers (1982: 56) menjelaskan pertunjukan seperti lakon-lakon adalah peninggalan seremoni lengkap yang sudah punah. Pertunjukan tersebut, dewasa ini dipakai dalam upacara sunat, perkawinan, dan simbolis berkaitan dengan dualisme di dalam alam semesta yang masih muncul atau masih bisa dilihat di dalamnya. kepang karena di dalam pertunjukan menggunakan anyaman berbentuk kuda.
HERISTINA DEWI Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 Universitas Sumatera Utara
10
Artikel Soedarsono (1983: 143) menjelaskan pertunjukan jaran kepang pada sebelum Islam berkembang abad XV dilaksanakan dalam upacara pemujaan (ritual worship). Kuda secara metaforik dalam pertunjukan jaran kepang berfungsi untuk melanjutkan hubungan antara masyarakat pendukung dengan roh orang yang sudah meninggal. Perkembangan selanjutnya, jaran kepang ditampilkan dalam upacara bersih desa, yang berfungsi untuk menghalau roh-roh jahat penyebab penyakit dan malapetaka lainnya. Dewasa ini pertunjukan jaran kepang masih ada unsur religinya yang ditandai masih adanya peristiwa kesurupan (kemasukan roh halus) pada para pemain pertunjukan. Jaran kepang yang pada awalnya hidup pada masyarakat Jawa di Pulau Jawa, telah menyebar ke berbagai wilayah Nusantara. Hal tersebut berlangsung bersamaan dengan kepindahan orang Jawa dari suatu daerah ke daerah lain. Salah satu daerah penyebaran budaya Jawa yaitu di daerah-daerah pemukiman sektor perkebunan dan pertanian, seperti di pinggiran Kota Medan dan sekitarnya. Kedatangan masyarakat Jawa sebagai pekerja perkebunan secara besar-besaran ke Propinsi Sumatera Utara- Medan sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Bekas daerah perkebunan Belanda tersebut hingga kini didiami oleh masyarakat Jawa (Mohammad Said, 1990: 20). Etnis Jawa di Medan dewasa ini berjumlah 628.898 jiwa atau 33% dari total jumlah penduduk kota Medan 1.904.272 (BPS Kota Medan 2003). Di daerah perkebunan tersebut, buruh-buruh berlatar belakang budaya Jawa tetap mempertahankan tradisi daerah asal, di antaranya melakukan pertunjukan kesenian: Ludruk, wayang, dan Jaran Kepang (Edi Sedyawati, 1984: 64). Salah satu wilayah pemukiman masyarakat Jawa tersebut adalah Kelurahan Tanjung Sari Medan. Di daerah ini juga terdapat suku bangsa lain, seperti Melayu, Karo, Batak, Mandailing, Minangkabau, Pakpak, Simalungun, dan Aceh. Walaupun mereka sudah berbaur dengan berbagai suku bangsa lain, tetapi tradisi Jawa masih dipertahankan. Hal ini terlihat dari seni budaya dan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari.
HISTORISME
Hildred Geertz (1982) menjelaskan orang Jawa di dalam kehidupan sehari-hari sangat kuat memegang tradisi leluhurnya, baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan sosial maupun seni budayanya. Keluarga inti merupakan orang-orang yang terpenting di dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajari nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat. Di dalam siklus kehidupan mereka tidak lepas dari masalah kekuatan-kekuatan gaib (makhluk-makhluk halus) dan sesaji (sajen), sehingga selalu ada upacara-upacara untuk terhindar dari makhluk-makhluk halus. Salah satu pertunjukan yang digunakan dalam upacara dalam siklus kehidupan, seperti perkawinan dan sunatan pada masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari adalah pertunjukan jaran kepang yang sampai saat ini masih hidup dan bertahan. Masyarakat Jawa di daerah ini berpandangan, pertunjukan jaran kepang dilaksanakan supaya terhindar dari gangguan makhlukmakhluk halus dan hiburan. Mulder (1999: 3) menjelaskan, bahwa di dalam kehidupannya orang Jawa mencampurkan antara kehidupan beragama dengan kepercayaan lama nenek moyangnya. Pertunjukan jaran kepang dikenal masyarakat Medan secara luas, karena adanya kelompok jaran kepang yang mengadakan pertunjukan keliling. Dewasa ini, pertunjukan jaran kepang keliling jarang ditemukan, karena semakin sedikit lapangan terbuka yang dapat dimanfaatkan untuk pertunjukan tersebut secara bebas. Di sisi lain, pertunjukan tersebut tidak dapat dilakukan secara bebas setelah keluar peraturan pemerintah.3 Undang-undang menggariskan membuat keramaian harus ada izin dari pemerintah terkait, seperti polisi dan kelurahan. Setelah pemberlakuan Undang Undang tersebut, pemain jarang kepang mengalami kesulitan mengurus izin pertunjukan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan dana dalam pengurusan izin. 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
HERISTINA DEWI Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 Universitas Sumatera Utara
11
Artikel Berdasarkan pengamatan di Kelurahan Tanjung Sari terdapat dua kelompok jaran kepang yang bernama Tunggal Wargo dan Darma Kusuma. Kelompok tersebut jarang main di Kelurahan Tanjung Sari, apakah mulai berubah makna dan pandangan masyarakat terhadap pertunjukan? Kelihatannya lebih mengarah sebagai pertunjukan seni biasa atau sebagai hiburan. Anggotanya pun sudah ada yang tidak mau kesurupan dan pertunjukan jaran kepang tampil berdasarkan pesanan, seperti: acara perkawinan, sunatan dan Hari Kemerdekaan (tanggal 17 Agustus), sudah jarang tampil secara sukarela (ngamen). Selain hal tersebut, peralatan yang dipergunakan sudah mulai usang. Sardono (2004: 3) menjelaskan kesenian yang bermuara dari produk budaya lokal sedang menghadapi tantangan zaman, antara lain karena semangat modernisasi merebak di segala belahan dunia. Ruang religiusitas yang terkandung di dalam kesenian semakin tidak berkembang. Kesenian hanya menjadi objek yang dikemas tanpa bermuara pada proses budaya masyarakat dan memperlemah budaya itu sendiri, akhirnya tersingkirkan. Berpedoman dari pernyataan di atas, tentu amat penting diteliti makna dan perubahan jaran kepang agar seni pertunjukan tersebut dapat terus berkembang sesuai dengan kebutuhan pendukungnya tanpa mengorbankan unsur-unsur dasar jaran kepang. Bertitik tolak dari fenomena tersebut menarik unsur religi dan seni yang terdapat dalam pertunjukan jaran kepang ditelusuri lebih lanjut melalui penelitian ini, bagaimana masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari Medan memaknai dan memajukan serta mempertahankan pertunjukan jaran kepang. Pengungkapan permasalahan tersebut bermanfaat dalam pemahaman kebudayaan etnis Jawa pada lingkungan yang berbeda dalam upaya memahami keberagaman budaya Indonesia secara keseluruhan.
Metode Penelitan Jaran kepang merupakan salah satu kesenian yang terdapat di tengahtengah masyarakat Jawa di Medan, sehingga penelitian ini lebih tepat menggunakan HISTORISME
metode kualitatif. Spradley (1997) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif lebih tepat digunakan pada penelitian budaya/perilaku dalam situasi sosial yakni berusaha mengungkapkan makna perilaku dan tindakan orang-orang dalam berbagai situasi sosial di masyarakat. Pendekatan kualitatif bertitik tolak dari pandangan fenomenologis yang menekankan pentingnya yaitu pemahaman makna tingkah laku manusia sebagaimana yang dimaksudkan oleh pelakunya sendiri, dan bagi peneliti sendiri sifatnya interpretative (Weber, dalam Bogdan dan Taylor, 1975). Artinya pandangan fenomenologis tidak mengakui bahwa peneliti tahu apa makna sesungguhnya tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang diteliti. Dengan kata lain, pendekatan kualitatif ingin mengetahui makna suatu fenomena menurut si pelakunya sendiri.
Hasil dan Pembahasan Pertunjukan jaran kepang bermula dari pertunjukan yang mengandung makna religi, dipercaya dengan mengadakan pertunjukan jaran kepang dapat terhindari dari gangguan makhluk-makhluk halus. Pertunjukan jaran kepang merupakan media yang bisa menghubungkan masyarakat dengan makhluk halus atau roh nenek moyang. Hal ini adalah inti utama dari makna pertunjukan jaran kepang, ditemukan pada acara perkawinan, sunatan, panen dan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Namun kini pertunjukan jaran kepang sudah menjadi seni pertunjukan tradisional yang lebih mengutamakan seni hiburan. Walaupun di dalam pertunjukan masih ada peristiwa kesurupan dan ada unsur religi tetapi tidak dimaknai agar terjauhi dari gangguan makhluk-makhluk halus, hanya merupakan seni pertunjukan yang melakukan atraksi-atraksi yang jarang dimiliki oleh kebanyakan orang. Walaupun masih ada orang yang mempercayainya tetapi bagi orang Jawa yang tinggal di Kelurahan Tanjung Sari sudah berbeda memaknainya. Makna pertunjukan jaran kepang lebih merupakan sebagai identitas orang Jawa yang masih menjaga kelestarian keseniannya dan sebagai hiburan masyarakat. Hal ini HERISTINA DEWI Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 Universitas Sumatera Utara
12
Artikel ditemukan pada acara perkawinan, sunatan, perayaan Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus dan pelantikan. Hal di atas sejalan dengan Usman Pelly (1994: 162) menjelaskan, kebudayaan itu dinamis, bagaimanapun juga kebudayaan itu akan berubah, hanya kecepatan perubahannya yang berbeda. Lebih lanjut Edi Sedyawati (1987) mengungkapkan perubahan-perubahan terjadi karena manusia-manusia pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah, karena perubahan cara hidup, dan pergantian generasi. Perubahan dalam hal memaknai unsur religi yang menghadirkan makhlukmakhluk halus dalam pertunjukan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki pendukungnya. Hal ini terjadi pada generasi penerusnya dan orang-orang tuanya, sehingga para pembina kelompok jaran kepang mengizinkan anak yang tidak mau berhubungan dengan makhluk halus untuk menjadi anggota. Selain hal tersebut, pertunjukan tanpa menghadirkan makhluk halus pun dapat mereka tampilkan. Umar Kayam (1981: 5) kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan, dengan demikian kesenian harus dimengerti pada situasi masyarakat yang akan menikmatinya. Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut membuat para orang tua ingin anaknya dapat sekolah lebih maju. Ada kekhawatiran dengan berhubungan dengan makhluk halus dapat mengganggu pikiran anaknya. Hal ini sudah sangat berbeda dengan orang-orang tua terdahulu yang mendukung jaran kepang, di mana mereka berpandangan dengan menjadi anggota jaran kepang mereka dapat lebih terlindungi dari marabahaya. Budiono (1984: 127) menjelaskan, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan teknologi modern berpengaruh terhadap pandangan hidup orang Jawa dalam melanjutkan tradisi nenek moyangnya. Penghayatan akan makna simbolis tradisional dan religius sudah berubah, sekarang lebih rasional dan daya simboliknya sudah berubah makna. Masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari mulai berubah pandangan
HISTORISME
terhadap makhluk-makhluk halus. Dahulu, mereka masih percaya pada anak yang disunat dengan menghadirkan jaran kepang dapat terhindar dari gangguan makhluk halus, tetapi saat ini mereka memohon perlindungan kepada Allah saja dan mengobati anak tersebut ke dokter. Hal ini menunjukkan pengaruh pengetahuan agama yang mereka dapat di dalam lingkungan masyarakat Medan telah menggeser kedudukan kesenian tersebut. Kesenian jaran kepang, apabila diundang tidak lebih hanya sebagai hiburan dan identitas budaya saja. Teknologi dan informasi yang dapat diterima dengan cepat melalui berbagai media cetak dan elektronik, hampir dapat menyeragamkan selera pasar khususnya dalam hal seni hiburan seperti musik. Secara tidak langsung berdampak pada suguhan hiburan pada acara selamatan di Kelurahan Tanjung Sari, lebih cenderung mengundang organ tunggal atau band. Hal ini tentu menggeser hiburan seni tradisional seperti jaran kepang. Kemajuan keadaan tingkat ekonomi anggota pendukung jaran kepang memberi pengaruh kepada minat menjadi anggota pemain jaran kepang. Biasanya mereka tidak ingin lagi manjadi pemain. Perubahan keadaan tingkat ekonomi seseorang dapat merubah kehidupan sosialnya. Wilbert Moore (dalam Lauer, 1979: 4) kebudayaan selalu berkaitan dengan perubahan sosial masyarakat. Pertunjukan jaran kepang dibina dan dikembangkan oleh masyarakat terutama oleh para pekerja seni melalui pembinaan dan pengembangan. Anggota pemain baru direkrut meskipun ada di antaranya yang tidak mau turut kesurupan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Umar Kayam (1981: 48), sudah waktunya kreativitas kesenian dipahami dalam konteks perkembangan masyarakat, agar strategi pengembangan kesenian mengacu kepada perkembangan masyarakat. Pertunjukan jaran kepang di Kelurahan Tanjung Sari dikelola secara mandiri oleh kelompok tersebut, baik menyediakan peralatan yang dibutuhkan dan dalam hal melatih para anggotanya,
HERISTINA DEWI Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 Universitas Sumatera Utara
13
Artikel serta dalam hal mencari dana untuk dapat menjalankan kesenian tersebut. Sri Hastanto (2002: 7) mengungkapkan bahwa kesenian daerah itu telah menjadi milik masyarakat dan kehidupannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Ada yang berpendapat sebaliknya, perlu dikelola secara terencana, maka konsep pengelolaan kesenian harus ditangani dengan cermat. Untuk itu kita harus paham benar dasar sebuah bentuk kesenian daerah dan tahu peruntukkannya. Juga harus tahu betul akan dibawa kemana kesenian tersebut, agar kehidupannya lebih baik dan mempunyai daya guna bagi masyarakat pendukungnya. Unsur religi yang menghadirkan makhluk-makhluk halus pada jaran kepang dapat disikapi dengan bijaksana oleh para pembina. Pertunjukan tanpa menghadirkan makhluk halus jika diinginkan pemesan dapat diterima, begitu juga dengan masalah anggotanya, jika tidak ingin berhubungan dengan makhluk halus pun dapat diterima.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan pembahasan di atas dapat dikemukakan beberapa simpulan. Pertama, jaran kepang yang terdapat pada masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari Medan hingga kini masih tetap bermakna dan ditampilkan pada acara selamatan seperti perkawinan, sunat dan perayaan Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, walaupun sudah di luar daerah budaya asalnya. Unsur religi yang terdapat pada aktivitas pertunjukan, pendukung dan peralatan pertunjukan mulai berubah maknanya. Perubahan makna terjadi pada unsur religi yang menghadirkan makhluk halus di mana sebelumnya dipercaya dapat melindungi dari gangguan yang tidak diinginkan, tetapi saat ini sudah mulai berubah ke arah seni pertunjukkan yang dimaknai sebagai hiburan dan merupakan identitas budaya Jawa. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan makna pertunjukan jaran kepang pada masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari di antaranya dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, pergantian generasi, serta kondisi lingkungan di mana kebudayaan itu HISTORISME
berada. Hal tersebut terlihat pada generasi penerus yang duduk dibangku sekolah tidak mau berhubungan dengan makhluk halus atau kesurupan. Pengaruh pengetahuan agama terlihat sudah mulai berkurangnya pada acara selamatan mengundang pertunjukan jaran kepang, dan para pemainnya tidak menyerahkan diri sepenuhnya kepada makhluk halus. Kondisi keadaan ekonomi pemain memberi pengaruh kepada daya dukung pertunjukan, apabila pemain kehidupannya sudah termasuk dalam kategori sejahtera, kebanyakan sudah tidak mau diajak bermain jaran kepang. Mereka hanya sebagai pendukung di luar arena pertunjukan jaran kepang. Lebih lanjut, kemajuan informasi dan teknologi secara perlahan turut menggeser keberadaan kesenian tradisional. Masyarakat lebih cenderung mengundang musik organ tunggal pada acara selamatan. Ketiga, Para pekerja seni maupun pembina berupaya tetap mempertahankan seni pertunjukan jaran kepang dengan cara membina para anggota dan mengembangkan pertunjukan dalam bentuk perekrutan anggota dan memperkenalkannya ke tengah masyarakat. Berdasarkan hasil temuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka diajukan beberapa saran: pertama, mempertahankan unsur religi (kesurupan) dalam pertunjukan jaran kepang bukanlahlah hal yang mudah. Agar kesenian ini tidak punah, maka kesenian ini perlu dibina dan dikembangkan oleh pendukungnya, tetapi tetap mempertahankan bentuk alat musik yang digunakan, unsur dasar musik dan tariannya, agar identitas jaran kepang tetap tampak. Kedua, pekerja seni yang terlibat dalam pembinaan jaran kepang sebaiknya bekerjasama dengan kelompok Jaran Kepang di daerah lain agar arah pengembangan dapat didiskusikan secara bersama-sama. Ketiga, Pemerintah diharapkan turut membina kesenian jaran kepang dalam hal memfasilitasi kesempatan kelompok jaran kepang dapat mengadakan pertunjukan, agar mereka dapat memiliki dana di dalam membina dan mengembangkan kesenian tersebut.
HERISTINA DEWI Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 Universitas Sumatera Utara
14
Artikel Daftar Pustaka
Abdulsyani. 1994. Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara. Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1993. Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian. (terj. A. Khozin Fandi), Surabaya: Usaha Nasional. Budiono Herusatoto. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. Karim, W.J. 1989. Emotions of Culture: A Malay Perspective. Singapore: Oxford University Press. Kartomi, Margaret. 1973. “Music And Trance In Java”, di dalam Journal Ethno- musikologi vol. 17: 163-208. Keesing, M. Roger. 1993. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Jakarta: Jambatan. ............, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. .......... ., 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Laur, Robert H. 1989. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Aksara. Lincoln, Y. S. & Guba. 1983. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: California Sage Publications. Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta: Gramedia. Merriam,A.P.1964. The Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press. Mestika Zed, 1995. “Analisis Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial: Beberapa Catatan Tentang Klasifikasi, Tipologi dan Indeks. Di dalam Jurnal Forum Pendidikan No.1, tahun XX, hlm.19-46, Padang: IKIP Padang. Mohammad H. Said. 1990. Koeli Koentrak Tempo Doeloe: dengan Derita dan Kemarahannya. Medan: Waspada. Muhammad Nasuruddin. G. 1990. “Dancing to Estasy on the Hobby Horse” di dalam Karim, W.J. (ed.) Emotion of Culture: A Malay Perspective. Singapore: Oxford University Press.
HISTORISME
Mulder, Neils. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. M.Yunus Melalatoa, 1999. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. Nurmalinda. 2000. Makna Seni Musik Gendang Ketobung dalam Upacara Belian di Suku Terasing Propinsi Riau. Tesis UNP- Padang. Paloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rassers, W. H. 1982. Panji, The Culture Hero: A Structural Study of Religion In Java. The Haque: Martinus Nijhoff. Remy Sylado. 1983. Menuju Apresiasi Musik. Bandung: Angkasa. Rouget, G. 1985. Music and Trance: A General Theory of the Relations between Music and Possession, Chicago: The University of Chicago Press. Salmurgianto. 1995. “Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan “dalam Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: MSPI Sardono. 2004. “Seni dan Tantangan Zaman”. (Online) http//www. Seni. PL diakses Oktober 2004. Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Soekarno, 1983. Pertunjukan Rakyat Kuda Lumping di Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sperber, Dan. 1979. Rethinking Symbolism, Cambridge: Cambridg University Press. Spradley, James P (1997). Metode Etnografi. Jakarta: Tiara Wacana. Sujarwa. 1999. Manusia dan Fenomena Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar harapan.
HERISTINA DEWI Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 Universitas Sumatera Utara
15
Artikel Usman Pelly. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Depdikbud.
HISTORISME
Yasraf A. Piliang. 2000. Global/Lokal: Mempertimbangkan Masa Depan. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
HERISTINA DEWI Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 Universitas Sumatera Utara