PERUBAHAN DENGAN PENAMBAHAN BARIS, HURUF, KATA, DAN KALIMAT Perubahan dengan penanabahan yang diperbolehkan dalam penciptaan puisi di antaranya adalah penambahan baris. Baris ditambahkan karena menggantikan bunyi mati pada suatu kata. Penambahan dengan huruf adalah penambahan hurufhuruf yang dapat berupa nun, alf wawu, atau ya’. Huruf nun ditambahkan pada ism gairu munsarif munada, ism fail, atau ism alam karena kata-kata ini termasuk kata yang tidak boleh berakhiran bunyi tanwin yang sama bunyinya dengan nun, tetapi dalam puisi bunyi nun boleh ditambahkan. Sementara itu, al!f wawu, atau ya’ ditambahkan pada suku kata terakhir sebuah bait. Allf ditambahkan pada akhir suku kata sebuah bait yang berbariis atas, wawu ditambahkan pada akhir suku kata sebuah bait yang berbans depan, dan ya’ pada yang berbaris bawah. Penambahan kata adalah penambahan kata min, ‘al,fi, ma, alla, immã , tetapi penambahan ini tidak menambah arti dan tidak mengubah makna. Penambahan kalimat adalah penambahan kata kerja, yaitu akãdu, takãdu, qama, dan izhab yang juga tidak menambah arti dan tidak mengubah makna. Semua penambahan dilakukan karena untuk memenuhi matra yang telah ditentukan pada masing-masing pola puisi (bahr). Penambahan dengan Baris Penámbahan yang diperbolehkan dalam penciptaan puisi di antaranya adalah penambahan baris. Baris ditambahkan karena menggantikan bunyi mati pada suatu kata. Penambahan dilakukan karena untuk memenuhi metrum yang telah ditentukan pada masing-masing pola puisi (bahr). Meskipun demikian, penambahan ini tidak mengubah makna puisi. Penambahan Bans Atas Penambahan baris atas dapat ditemukan pada puisi Ru’bah (Syakir, 1974:76 1): (Wa
q -imul-a‘m qi
kh wil-mukhtaraq,
musytabahul-a
‘l mi
lamm ‘ul-khafaq),
‘Bendungan sumur itu dapat memadamkan kebakaran, menyerupai bendera yang berkibar-kibar dan berkilat-kilat’. Bagian yang berubah pada puisi di atas adalah kata al-khafqu ‘berkilat-kilaf (Munawwir, 1984: 384). Akan tetapi, kata tersebut apabila digunakan dalam bait di atas
tidak sesuai dengan pola bahr rajaz yang berpola /o/o//o (waq imul) /o/o//o
(a
‘m qikh ) /o/o/o (walmukhtaraq), /o/o//o (musytabahul) /o/o//o (a’lãmilam) /o/o//o (m ‘ilkhafaq). Dengan pola tersebut dapat dilihat bahwa kata al-khafqu dengan huruf tengah berbunyi mati tidak sesuai dengan pola /o/o//o. Kata ini akan sesuai dengan pola apabila bunyi mati tersebut diubah dengan menambah baris. OIeh karena itu, kata al-khafqu harus dibaca al-khafaqu dengan penambahan baris pada huruf tengahnya, yaitu fa, sedangkan baris yang ditambahkan adalah baris atas karena disesuaikan dengan baris huruf sebelumnya. Penambahan Bans Bawah Penambahan baris bawah dapat ditemukan pada puisi Al-Hazali (Al-Jabuni, 1971:203):
(iz tajarrada n hun qamat ma ‘ah darban al man bisibtin yal’ijul-jilid ), ‘Ketika Nuh sendirian, mereka berdua bersamanya melakukan pemukulan yang pedih dengan cap yang membakar kulit (lembu)’. Bagian yang berubah pada puisi di atas adalah kata jildan ‘kulit’ (Munawwir, 1984:217). Akan tetapi, kata tersebut apabila digunakan dalam bait di atas tidak sesuai dengan metrum bahr basit yang berpola /o/o//o (izãtajar) ///o (radan ) /o/o//o (hunqamat ) ///o (ma’ah ), /o/o//o (darbanal ) /o//o (manbisib) /o/o//o (tinyal’ijul) ///o (jilid ). Dengan pola tersebut dapat terlihat bahwa kata jildan dengan huruf tengah berbunyi mati tidak sesuai pola ///o. Kata ini akan sesuai dengan pola apabila bunyi mati tersebut diubah dengan baris. OIeh karena itu, kata jildan harus dibaca jilidan dengan menambah baris huruf tengahnya, yaitu lam. Baris yang ditambahkan adalah baris bawah disesuaikan baris huruf sebelumnya. Penambahan Bans Depan Penambahan
baris
depan
dapat
ditemukan
pada
puisi
Tarafah
(AI
Bastani,1952:80):
(ayyuhal-fity ni f majlisina, jarridu minha wurãdan wa syuqur) ‘Wahai para pemuda di majlis kami, lepaskanlah dirimu darinya dengan sikap berani dan tegas’. Bagian yang berubah pada puisi di atas adalah kata syuqrun ‘tegas’ (Munawwir, 1984:783). Akan tetapi, apabila kata tersebut digunakan dalam bait di atas
tidak sesuai dengan metrum bahr ramal yang berpola ///o/o (ayyuhalfit) ///o/o (yãnufimaj) ///o (lisina) /o//o/o (jarridümin) /o//o/o (hawurãdan ///o (wasyuqur). Dengan pola tersebut dapat terlihat bahwa kata syuqru dengan huruf tengah berbunyi mati tidak sesuai dengan pola ///o. Kata ini akan menjadi cocok apabila bunyi mati tersebut diubah dengan menambah baris. OIeh karena itu, kata syuqru berubah menjadi syuquru dengan penambahan baris pada huruf tengahnya, yaitu qaf Baris yang ditambahkan adalah baris depan karena menyesuaikan dengan baris huruf sebelumnya. Penambahan dengan Huruf Penambahan dengan huruf adalah penambahan yang diperbolehkan dalam puisi. Huruf-huruf yang ditambahkan dapat berupa nun, alif wawu, atau ya’. Huruf nun ditambahkan pada ism gairu munsarif mun d , ism f il, ism alam karena kata-kata ini termasuk kata yang tidak boleh berakhiran bunyi tanwin yang sama bunyinya dengan nun, tetapi dalam puisi bunyi nun boleh ditambahkan. Sementara itu, alif, wawu, dan ya’ ditambahkan pada suku kata di akhir sebuah bait. alif ditambahkan pada akhir suku kata sebuah bait yang berbaris atas, wawu ditambahkan pada akhir suku kata sebuah bait yang berbaris depan ya’ pada yang berbaris bawah. Penambahan ini dilakukan karena untuk memenuhi metrum yang telah ditentukan masing-masing pola bahr yang digunakan. Ruruf Nun pada Ism gairu Munsarif Ism gairu munsarif adalah kelompok kata yang tidak dapat menerima tanda (bunyi tanwin an, in atau un) dan baris bawah. Akan tetapi, tanwin boleh digunakan dalam puisi akan menghasilkan penambahan bunyi yang sesuai dengan bahr. Penambahan nun pada ism gairu munsarif dapat ditemukan pada puisi Umru’uI Qais Asy-Syinqiti, 1335 H.:64):
(wayauma dakhaltul-khizra khizra ‘unaizatin, faqãlat lakal-wailãtu innaka murjili) ‘Suatu hari ketika aku memasuki kamar Unaizah, dia berkata: Celaka engkau, cepatlah keluar’. Huruf yang ditambahkan dalam bait di atas adalah nun yang ditambahkan pada kata unaizati. Kata unaizati termasuk ism gairu munsarif karena nama perempuan. Akan tetapi, nun ditambahkan karena untuk menyesuaikan bunyi dengan metrum bahr tawil yang berpola //o/ (wayawna) //o/o/o (dakhaltulkhiz) //o/o (rakhizra) //o//o
(unaizatin), //o/o (faqälat) //o/o/o (lakalwaila) //o/o (tuinna) //o//o (kamurjili). Apabila tidak dilakukan penambahan, maka tidak sesuai dengan pola kaki sajaknya, yaitu //o//o dan tidak ada pola kaki sajak bahr tawil yang berbentuk o//o//. Oleh karena itu, penambahan harus dilakukan. .Huruf Nun pada Munada Munada adalah kata yang terletak setelah kata panggll seperti ya atau ayyuha ‘hai’. Kata yang terletak sesudah kata panggil tidak dapat dibaca tanwin atau yang berakhiran dengan bunyi nun, misalnya nama Muhammadun bila diawali dengan kata panggi ya, maka harus dibaca ya Muhammadu ‘hai Muhammad’. Akan tetapi, huruf nun dapat ditambahkan karena untuk memenuhi metrum yang telah ditentukan pada masing-masing pola bait puisi. Penambahan itu dapat ditemukan path puisi Al-Ahwas (Syakir, 1974:667):
(salamuilähi
yä
matarun
‘alaihi,
wa
laisa
‘alaikayã
matarus-salämü),
‘Kesejahteraan dari Allah wahai hujan baginya, dan bukanlah kesejahteraan itu untukmu, wahai hujan’ Bagian yang berubah pada bait diatas adalah kata ya matarun yang asalnya adalah ya ‘wahai hujan’. Akan tetapi, ya mataru apabila digunakan tanpa penambahan nun, tidak sesuai dengan metrum bahr wafir yang berpola //o/o/o (salãmulla) //o///o (hiyamatarun) //o/o (alaihã), //o///o (walaisa-alai) //o///o (kayamatarus) //o/o (salämu). Bagian hiyamatarun apabila tidak ditambahkan nun pada akhir kata, maka tidak sesuai dengan pola kaki sajak bahr wafir, yaitu /-/o-/-/-/o (hi-ya-ma-ra-run). Penambahan nun juga terdapat pada puisi Lubaid (Al-Ja.zini, tt.: 152):
(qaddim iz q la qaisun qaddim wahfazul-majda biatrãfil-asal), ‘Majulah, ketika dikatakan hai Qais majulah, dan jagalah keutamaan dengan pucuk-pucuk anak panah’. Bagian yang berubah pada bait di atas adalah kata Qaisun ‘Qais (nama diri)’ yang asalnya adalah ya Qaisu (kata ya tidak ditampilkan dalam bait). Akan tetapi, kata Qaisu apabila digunakan tanpa penambahan nun, maka tidak sesuai dengan metrum bahr wafir yang berpola /o//o/o (qaddim iz) /o//o/o (qilaqaisu) /o//o (qaddim ), /o//o/o (wahfazulrnaj) /o//o/o (dabiatrã) /o//o (fIlasal). Bagian qilaqaisu tidak sesuai dengan pola /o//o/o dan akan sesuai apabila ditambahkan nun pada akhir kata sehingga berbunyi /o-/-/o-/o (qi-Ia-qai-sun).
Ism Fa’il yang Berkait dengan Kata Ganti Ism fa’il adalah kata dengan pola tertentu yang menunjukkan arti pelaku pekerjaan. Pola-pola yang frekwensi pemakaiannya tinggi adalah fa’ilun (ãmirun), muf’ilun (mukrimun), mufä”ilun (mukãrrimun), mufta’ilun (muktarimun), munfa’ilun, (munqalibun), mustaf’ilun (mustagfirun). Bentuk jamak pada pola-pola ism fa’il di atas adalah dengan menambahkan alif dan nun atau ya dan nun pada bentuk ganda, sementara dalam bentuk jamak ditambah dengan wawu dan nun atau ya dan nun. Kata mukarrimun menjadi mukarrimãni/aini (ganda) dan mukarrimuna/ina (jamak). Bentuk ganda dan jamak dan pola-pola ism fa’il tersebut apabila dikaitkan dengan kataganti, maka nunnya menjadi hilang, misalnya kata qariuna ‘para pembaca’ dihubungkan dengan kataganti hü ‘nya’ , maka huruf nun harus dilesapkan sehingga kata qariunahü menjadli qariuhu. Dalam puisi, penambahan kembali huruf nun pada ism fa’il seperti di atas diperbolehkan karena untuk memenuhi metrum pada setiap pola bahr. Penambahan itu dapat ditemukan pada puisi anonim (Muhammad, 1980:27):
(humul-qilunal-kahira wal-ämirunahu, iza mã khasyau min muhdasil-amri Mu’zamá), ‘Mereka orang-orang yang mengatakan kebaikan dan memrintahkannya, ketika mengkhawatirkan kejadian itu menjadi persoalan besar?. Bagian yang berubah pada bait di atas adalah kata al-amirunahu yang berasal dari kata al-amiruna dan h . Kata al-ãmirüna dan kataganti hu apabila digabungkan, huruf nun harus dilesapkan sehingga menjadi al-ämirühu. Akan tetapi, apabila al-ämiruhu digunakan pada bait di atas, maka tidak sesuai dengan metrum bahr tawil yang berpola //o/o (humulqa) //o/o/o (ilunalkhai) //o/o (rawal-ä) //o/o/o (mirunahu), //o/o (izäma) //o/o/o (khasyauminmuh) //o/o (Idasil-am) //o//o (rimu’zama). Pola kaki sajak yang digunakan adalah I-/o-/-/o (mi-ru-nahu). Penambahan Nun Penegas pada Ism Fa’iI Nun Penegas biasanya hanya dapat digabungkan dengan kata kerja masakini seperti pada kata yaktubanna ‘sungguh dia sedang menulis’ berasal dari yaktubu dan nna. Sementara itu, penambahan penegas pada ism fa’il (bentuk ism fa’il lihat 2.2.3) hanya dapat dilakukan dalam puisi karena untuk mernenuhi metrum yang telah ditentukan. Kata katibun yang digabungkan dengan nna menjadi katibanna adalah pengecualian yang hanya terjadi pada puisi.
Penambahan nun penegas pada ism fa‘il dapat ditemukan pada puisi Ru’bah (AlBagdadi, 1299 H. :574):
(mulaffifan wa yalbasul-burudã, aqãilanna akhdarusy-syuhüdã), ‘Dia berselubung dan berselimut, aku berkata benar, haruskah aku datangkan seorang saksi?’. Bagian yang berubah dalam bait di atas adalah kata aqa-ilanna ‘apakah sungguh dia berkata’ yang terdiri dan kata qãilun (ism fa‘il) dan nna. Struktur ini seharusnya terdiri dari kata kerja masa kini, yaitu yaqulu dan nna menjadi yaqülanna. Akan tetapi, penggunaan yaqülanna dalam bait di atas tidak sesuai dengan metrum bahr rajaz yang berpola //o//o (mulaffifan) //o//o (wayalbisul) //o/o (burudã),//o//o (ayaqulan) //o//o (na-akhdarisy) //o/o (syuhidâ). Penggunaan ayaqulan dalam bait di atas
tidak
sesuai dengan pola //o//o dan penyesuaiannya adalah dengan
menggabungkan nun pada ism fa’ilnya sehingga menjadi /-/o-/-/o (a-qa-i-lan). Penambahan nun penegas pada ism fa’il ini ternyata memberi inspirasi juga pada para penyair untuk menambahkan nun, seperti bentuk nun penegas tersebut, pada ism-ism biasa, misalnya pada kata sifat atau kata benda yang lain, tetapi tidak memberi arti penegas dan hanya untuk pemenuhan bunyi. Hal ini kemudian melembaga dan termasuk dalam licensia poetika Penambahan nun pada ism lain dapat ditemukan pada puisi Rajiz (dalam Muhammad, 1980:31):
(uhibbu
minka
maudi’al-wihsyanni
wa
maudi’al-izari
wal-qafanni),
‘Aku
mencintaimu seperti selendang, sarung, dan kain panjangku’. Bagian yang ditambah nun dalam bait di atas adalah wisyhanni yang berasal dan kata wisyhun ‘selendang’ (Munawwir, 1984:1664) dan qafanni yang berasal dari kata qafa ‘kain’ (Munawwir, 1984:123 1). Kedua kata ini adalah kata benda yang tidak biasa ditambah dengan nun dan penambahan nun dalam bait di atas juga tidak memberi tambahan arti apapun. Penambahan nun dilakukan karena untuk memenuhi metrum bahr rajaz yang berpola //o//o (uhibbumin) //o//o (kamaudi-al) /o/o/o (wisyhanni), //o//o (wamaudi-al) //o//o (izariwal) //o/o (qaffanni).
Penambahan Nun pada Kata “man” Kata “man” adalah kata tanya yang berarti ‘siapa?. Kata ini biasanya digunakan tanpa tambahan apapun, tetapi penambahan nun pada kata tersebut dapat terjadi pada puisi. Hal itu dilakukan karena untuk pemenuhan metrum pada bahr tertentu yang digunakan. Nun ditambahkan pada kata man sehingga menjadi manuna dan penambahan ini tidak mengubah atau menambah arti apapun. Penambahan nun tersebut dapat ditemukan pada puisi Syumair (Al-Bajawi, 1965:154): Dita
(atau nãri faqultu manüna antum, faqalal-jinnu qultu lahu ‘amü zalãm), ‘Mereka mendatangi apiku, lalu kutanya: siapa kamu semua, mereka menjawab: jin, kukatakan: kamu semua tertimpa kegelapan?’. Bagian yang ditambah dalam bait di atas adalah kata manuna yang berasal dari kata man ‘siapa’. Jadi, kalimat tanya dalam bait di atas, yaitu manuna antum? ‘siapa anda biasanya berbunyi man antum?. Penambahan nun pada kata man di atas tidak menambah atau mengubah arti, sedangkan penambahan tersebut dilakukan karena untuk metrum bahr wafir yang berpola //o/o/o (ataunäri) //o///o (faqultumanu) //o/o (naantum), //o/o/o (faqaluljin) //o///o (nuqultu’amü) //o/o (zalama).Apabila penambahan tidak dilakukan, akan terjadi kekurangan bunyi pada pola. Penambahan Alif, Wawu, dan Ya’ pada Kata. Alif. wau, dan ya’ dapat ditambahkan di tengah sebuah kata atau di akhir kata apabila hal itu diperlukan. Alif ditambahkan apabila huruf sebelumnya berbaris atas, wawu ditambahkan apabila huruf sebelumnya berbaris depan, dan ya’ ditambahkan apabila huruf sebelumnya berbaris bawah. Penambahan alif yang juga termasuk dalam pembicaraan ini penambahan alif pada ism maqsur, yaitu ism yang berpola fa‘la-u dengan akhiran alif berbentuk ya, sehingga menjadi fa ‘la-u. Penambahan alif dapat ditemukan pada puisi Farazdaq (As-Sawi,1936:77 1):
(fazallã yuhitanil-waraqa ‘alaihima, biaidlhima min akil syarri ta ‘âmi), ‘Mereka masih mengelilingi daun yang berada di tangan mereka dan berisi makanan yang jelek Bagian yang berubah pada bait di atas adalah kata al-waraqa yang berasal dari kata ‘daun’ (Munawwir, 1984: 1657). Perubahan yang terlihat adalah adanya tambahan huruf ra dan alif ditambahkan karena huruf ra tersebut berbaris atas. Penambahan itu
dilakukan karena untuk memenuhi metrum bahr tawil yang berpola //o/o (fazalla) //o/o/o (yuhitanil) //o/ (waraqa) //o//o (alaihimã), //o/ (biaidi) //o/o/o (himaminkul) //o/o (lisyarri) //o/o (ta‘ami). Apabila kaki sajak waraqa tidak ditarnbah dengan alif setelah ra, maka bahr tawil tersebut tidak terpenuhi karena pola /-/-/o (wa.rã-qa) pada bahr tawil dan yang ada adalah /-/o-/ (wa-rä-qa). Penambahan wawu dapat ditemukan pada puisi Al-Farra’ (Abdul-Hamid, 1945:15):
(wa innani haisu ma yusnal-hawa basari, min haisuma salaku adnü fa anzürü) sesungguhnya kesenanganku mengikuti pandangan mataku, kemanapun mereka pergi aku mendekat dan aku memandang’.
Bagian yang berubah pada bait di atas adalah kata anzuru yang berasal dan kata kerja anzuru ‘saya melihat’ (Munawwir, 1984: 1532). Perubahan yang terlihat adalah adanya tambahan wawu setelah huruf za ‘ dan wawu ditambahkan karena huruf za ‘ tersebut berbaris depan. Penambahan itu dilakukan karena untuk memenuhi metrum bahr basit yang berpola //o//o (wainnani) /o//o (haisuma) /o/o//o (yusnalhawa) ///o (basari) ‘ /o/o//o (minhaisumä) ///o (salaku) /o/o//o (adnufa-an) /o/o (zürü). Apabila kata anzuru pada kaki sajak adnufa-an dan zuru tidak ditambahkan dengan wawu, maka metrum bahr basit: pada bait di atas tidak terpenuhi karena pola /-/o (zu-ru) pada bahr basit tidak ada dan yang ada adalah /o-/o (zu-ru). Penambahan ya’ dapat diternukan pada puisi Farazdaq (Abdul-Hamid, 1945:16):
(tanfi yádähal-hasa fi kulli hãfiratin, nafyud-dananira tanqadus-sayarfi), ‘Tangannya melepaskan batu-batu kerikil di setiap hari panas, seperti uang dinar yang dibayarkan oleh para kasir’. Bagian yang berubah pada bait di atas adalah kata as-sayãrifi yang berasal dan kata as-sayarifi bentuk jamak kata sairaf ‘kasir atau penukaran uang’ (Munawwir, 1984: 829). Perubahan yang terlihat adalah adanya tambahan ya setelah huruf nun dan ya ditambahkan karena huruf nun tersebut berbaris bawah. Penambahan itu dilakukan
karena untük memenuhi metrum bahr basil yang berpola /o/o//o (tanfiyadä) /o//o (halhasa) /o/o//o (flkulliha) ///o (jiratin), /o/o//o (tanfiddana) /o//o (niratun) /o/o//o (qadussayä) /o/o (rifi). Apabila kata sayarifi pada kaki sajak qadussaya dan rifi tidak ditambahkanya’, maka metrum bahr basit pada bait di atas tidak terpenuhi karena pola /-/o tidak ada dan yang adalah /o-/o (ri-fi). Penambahan alif pada kata yang maqsur terdapat pada puisi Ka’ ab (As-Sukri, 1950 : 38)
(faradltu ‘anhã bir-ridã‘i lamã atat, min duni gadbati sa’biha wa yasari), ‘Saya senang padanya dengan sungguh senang ketika dia (pr.) datang tanpa kemarahan sedikitpun’. Bagian yang berubah pada bait di atas adalah kata ar-rida-i yang berasal dan kata arrida ‘senang, rela’ (Munawwir, 1984:54 1). Penambahan yang terlihat adalah adanya alif yang ditambahakan setelah kata ar-ridã sehingga menjadi Ar-rida’i. Penambahan ini dilakukan karena untuk memenuhi metrum bahr kamil yang berpola ///o//o (faradituan) /o/o//o (habir rida ) ///o//o (ilama-atat), /o/o//o (mindunigad) ///o//o (batisa ‘bihä) ///o/o (wayasäri). Apabila kata ar-rida pada kaki sajak /o/o//o dan ///o//o tidak ditambah alif maka metrum bahr kamil di atas tidak terpenuhi karena pola //o//o pada bahr basit tidak ada sehingga penambahan alif tersebut diperlukan. Penambahan dengan Penetapan Huruf ‘illat (alif, wawu, ya di akhir kata) Huruf ‘illat yang berada di akhir kata pada kondisi tertentu biasanya dilesapkan, yaitu apabila didahului oleh partikel nasb dan jazm, atau huruf akhir pada ism manqus. Akan tetapi, huruf ‘illat dapat ditambahkan kembali dalam puisi karena untuk memenuhi metrum pola bahr Penetapan huruf ‘illat ya’ itu dapat ditemukan pada puisi Jarir (Syakir, 1974:374):
(fa yauman yujazibnal-hawa gaira mãdiyin, wa yauman tarä minhunna gaulan tagawwalu), ‘Suatu ketika, cinta itu membuat mereka (pr.) tertarik tanpa ingat yang lalu, dan suatu ketika cinta itu membuat mereka sangat ketakutan’. Bagian kata yang berubah pada puisi di atas adalah kata madiyin yang biasanya mädin ‘berlalu’ (Munawwir, 1984) dengan melesapkan huruf illatnya, yaitu ya’. ya dalam bait di atas untuk memenuhi metrum bahr tawil yang berpola //o/o
(fayauman) //o/o/o (yujazibnal) //o/o (hawâgai)//o//o (ramadiyin), //o/o (wayauman) //o/o/o (taraminhun) //o/o (nagaulan) //o/o//o (tagawwalu). Apabila huruf ya tidak ditetapkan pada kata madin, maka metrum bahr tawil bait di atas tidak terpenuhi karena pola //o/o (ramadin) tidak ada. Oleh karena itu, ya perlu ditetapkan sehingga menjadi /-/o-/-/o (ra-ma-di-yin). Penambahan huruf ‘illat ya‘ juga terdapat pada puisi Farazdaq (Syakir, 1974:17):
(falau kâna ‘abdullãhi maulã hujütihi wa lãkinna ‘abdullaha maulã mawaliya), seandainya Abdullah itu pemimpin orang-orang yang mengejeknya, tetapi Abdullah itu pemimpin para pimpinan yang lain’. Bagian yang berubah pada bait di atas. adalah kata rnawäliya yang biasanya berbentuk mawalin, bentuk jamak dan kata maulã ‘tuan’ (Munawwir, 1984:1691). Penetapan ya dalam bait di atas untuk memenuhi metrum bahr tawil yang berpola //o/o (falauka) //o/o/o (na-abdallã) //o/o (himaulä) //o//o (hujutihi), //o/o (walakin) //o/o/o (naabdalla) //o/o (himaulã) //o//o (mawäliya). Apabila huruf ya tidak ditetapkan pada kata mawaliya, maka metrum bahr tawil di atas tidak terpenuhi karena pola //o/o (mawlin) tidak ada. OIeh karena itu, ya ‘ perlu ditetapkan sehingga menjadi /-/o-/-/o (ma-wa-li-y). Penambahan huruf ‘illat wawu terdapat pada puisi Abu ‘Amr Ibnul-’Ala’ (Abdul. . Hamid, 1945: 15):
(hajauta zabbãna summa ji‘ta mu‘tazirä, min hajwi zabbana lam tahjü wa lam tada ‘i), ‘Engkau mengejek Zabban, kemudian engkau datang meminta maaf untuk tidak mengejeknya lagi’. Bagian yang berubah adalah kata lam tahju yang terdiri dan kata lam dan tahjü. Kata tahjü ‘mengejek’ (Munawwir, 1984:1592) adalah katakerja masakini yang apabila didahului oleh lam, maka huruf illat (wawu) yang melekat pada katakerja tersebut harus lesap. Penetapan wawu pada bait di atas untuk memenuhi metrum bahr basit yang brpola /o/o//o (hajautazab) /o//o (bãnasum) /o/o//o (maji‘tamu’) ///o (taziran), lob/b (minhajwizab) /o//o (banalam) /o/o//o (tahjuwalam) ///o (tada’i). Apabila wawu tidak ditetapkan, maka metrum bahr basit tidak terpenuhi karena pola /o///o (tahjuwalam) tidak ada. Oleh karena itu, wawu perlu ditetapkan sehingga menjadi /o-/o-/-/o (tah-juwa-lam).
Penambahan dengan Mengembalikan Alif Pada kondisi tertentu, alif harus dilesapkan karena adanya bunyi mati yang beriringan, misalnya kata kerja tanamu ‘engkau sedang tidur’ apabila sebelumnya ada partikel lam ‘tidak’, maka akan menjadi lam tanam. Karena ada dua bunyi mati yang beriringan, maka alif dilesapkan sehingga menjadi lam tanam. Akan tetapi, alif dapat dikembalikan lagi apabila hal itu diperlukan untuk pemenuhan metrum dalam puisi, bahkan huruf sesudahnya yang berbunyi mati dapat diberi baris lagi sehingga contoh di atas, yaitu lam tanam menjadi lam tanami. Penambahan dengan memunculkan kembali alif yang telah dilesapkan dapat ditemukan pada puisi Al-Farra’ (Muhammad, 1980:47):
(waihan fidã-an laka ya fudãlah, ajirrahur-rumha wa la tahalah), ‘ Celakalah, ini menjadi tebusanmu wahai Fudalah, aku akan membayar panahnya dan jangan engkau membalasnya’. Bagian yang berubah pada bait di atas adalah kata Ia tahala yang asalnya terdiri dan kata Ia dan tahala. Dalam kalimat biasa, struktur ini menjadi Ia tahal, tetapi alif yang telah dilesapkan itu dimunculkan kembali karena untuk pemenuhan metrum bahr rajaz yang berpola /o/o//o (waihanfida) /o///o (anlakayà) //o/o (fudãlah), //o//o (ajirrahur) /o///o (rumhawalã) //o/o (tahãlah). Apabila tidak dilakukan penambahan, akan terbentuk pola /-/o-/ (ta-hal-hu). Sementara itu, pola kaki bahr rajaz adalah /-/o-/o (ta-hã-lah). Penambahan alif juga ditemukan pada puisi Al-Kisa’i (Muhammad, 1980:48):
.(ya hibbi qad amsaina, wa lam tantimil- ‘aina), ‘Wahai kekasih, hari telah sore, tetapi mata ini belum juga tertidur’. Bagian yang berubah pada bait di atas adalah kata lam tanami yang terdin dan kata lam dan tanamu. Dalam kalimat biasa, struktur ini menjadi lam tanam, tetapi alif yang telah dilesapkan itu dimunculkan kembali karena untuk pemenuhan metrum bahr rajaz majzu’ yang berpola /o/o// (yahibbiqad) /o/o/o (amsaina), //o//o (walamtana) /o/o/o (mil ‘aina), bahkan huruf mim pada kata tanam diberi baris bawah karena untuk menghidupkan dua bunyi mati di antara kata tanam dan ‘l-aina.
Demikian pula termasuk dalam pembicaraan ini adalah memfungsikan kembali alif pada kata anã ‘saya’ yang biasanya dilesapkan bunyi alifnya meskipun tulisannya tetap ada. pemfungsian kembali alif dalam kata ana termasuk dalam licensia poetika dan oleh karenanya hanya boleh digunakan dalam puisi. Hal ini dapat ditemukan pada puisi Al-A’ sya (Husain, 1950:53):
(fa kaifa anä wantihalil-qawãfiyyu ba‘dal-masyibi kafa zaka ‘ari), ‘Bagaimana aku, sedangkan perubahanku dan maksiat setelah datangnya uban cukup membuatku malu’. Kata yang berubah adalah ana ‘saya’ dan perubahannya adalah memfungsikan kembali bunyi alif yang dalam kalimat biasa selalu dilesapkan. Pengembalian fungsi alif tersebut karena untuk memenuhi metrum bahr mutaqarab yang berpola//o/ (fakaifa) //o/o (anawan) //o/o (tihalil) //o/o (qawafu) //o/o (yaba ‘dal) //o/ (masyibi) //o/o (kafazã) //o/o (ka’ari). Apabila alif tidak difungsikan kembali, pola kaki sajaknya menjadi /-/-/o (ana-wan) dan pola ini tidak ada dalam bahr mutaqarab. Setelah alif difungsikan kembali, maka pola kaki sajak dalam bait di atas menjadi penuh sehingga terbentuk pola /-/o-/o (a-ni-wan). Penambahan melalui Penggantian Alif Wasal dengan Alif Qat’ Alif wasal adalah alif yang tidak difungsikan bunyinya, misalnya alif yang terdapat pada artikel al. Alif wasl ditulis dengan kepala sad di atasnya atau tanpa ada tanda apapun. Sementara itu, alif qat’ adalah alif yang difungsikan bunyinya , disebut juga hamzah dan diberi tanda kepala ‘ain di atasnya, seperti pada kata akala ‘dia (lk) makan’. Dalam kalimat biasa, penggantian alif wasl dengan alif qat’ dianggap tidak gramatikal, tetapi penggantian ini diperbolehkan dalam puisi. Penggantian alif wasai dengan alif qat’ ini dapat ditemukan pada puisi Lubaid (Muhammad, 1980:53):
(Wa la yubadir fisy-syita‘i walidunä, al-qidru yanziluha bigairi ji’ali), ‘Janganlah para anak-anak kita itu berlomba di musim dingin, periuk ini diturunkan tanpa alas kain’. Alif wasl dalam bait di atas adalah alif yang terdapat pada kata al-qidru ‘periuk’ (Munawwir, 1984:1177). Dalam kalimat biasa, bunyi a dalam kata al-qidru hanya
muncul dalam bacaan saja, tetapi bunyi a dalam puisi dapat muncul, baik secara ucapan maupun tulisan. Penggantian alif wasl dengan alif qat’ dalam bait di atas karena untuk memenuhi metrum bahr kamil yang berpola /o/o//o (wallayuba) ///o//o (diruffisysyita’i) ///o//o (iwaliduna), /o/o//o (alqidruyan) I/folio (ziluhabigai) ///o/o (riju’ala). Apabila alif wasl tidak diganti dengan alif qat’, maka metrum bait di atas tidak penuh karena kaki sajak yang berpola /-/o//o (l-qid-ru-yan) tidak ada dalam bahr wafir. Setelah penggantian, pola kaki sajak tersebut menjadi penuh, yaitu /o-/o-/-/o (al-qad-ru-yan). Penggantian juga terdapat pada puisi Jumail (Al-Bajawi, 1965:150):
(ala la arã isnaini ahsana syimatan, ‘ala hadasãnid-dahri minni wa min jumli), ‘Ingatlah, aku tak melihat dua orang itu bertanda yang paling bagus atas dua peristiwa tahun ini, dariku atau dan kelompokku’ . Alif wasl yang diganti adalah yang terdapat pada kata isnaini ‘dua’ (AlMunawwir, 1984:171) yang secara gramatikal seharusnya dibaca bersambung dengan kata sebelumnya, yaitu ara sehingga berbunyi arasnaini. Akan tetapi, dalam bait ini harus dibaca ara isnaini dengan mengganti alif wasl dengan alif qat’ karena utnuk memenuhi metrum bahr tawil yang berpola //o/o (alalã) //o/o/o (araisnai) //o/ (niahsa) //o//o (nasyimatan), //o/o ( ‘alaha) //o/o/o (dasaniddah) //o/o (riminni) //o/o/o (waminjumli). Apabila alifnya wasl dan dibaca arasnai, pola kaki sajaknya akan menjadi //o/o dan ini tidak memenuhi metrum pola kaki sajak //o/o/o. Setelah penggantian, pola kaki sajak tersebut menjadi penuh , yaitu /-/o-/o-/o (a-rä-is-nai). Penambahan Satu Huruf Penambahan huruf yang dapat dilakukan lagi adalah penambahan satu huruf pada kata. Huruf yang ditarnbahkan dapat bervariasi menurut kehendak penyair dan hal itu penyair selain untuk memenuhi metrum bahr yang digunakan juga untuk member perhatian kepada pembaca karena bentuk yang sesungguhnya terlalu sering digunakan. Akan tetapi hal ini jarang dilakukan karena tidak ada batasan cara penambahannya. Penambahan (Muhammad,1980:55):
satu
huruf
dapat
ditemukan
pada
puisi
Ibn
Mahran
(talabun li‘urfIka yabna yahyã ba ‘damã, tataqata ‘at bi dünakal-asbãbü), ‘Wahai anak Yahya, aku ingin kembali menemuimu setelah terputus hubungan antara aku dan engkau karena berbagai sebab’. Bagian yang mendapat tambahan satu huruf adalah kata tataqatta‘at ‘terpotong-potong, terputus’ (Munawwir, 1984:1220). Kata yang biasa dipakai adalah taqata ‘a, tetapi apabila taqatta ‘a digunakan, metrum kaki sajaknya tidak terpenuhi. Oleh karena itu, penyair menambah satu huruf ta’ di bagian awal kata sehingga menjadi tataqatta’at. Akan tetapi, penambahannya itu berdasarkan kreativitas penyair saja karena tidak ada ketentuan huruf apa yang harus ditambahakan. Bait di alas mengikuti bahr kamil yang berpola ///o//o (talabunli‘ur) ///o//o (fikayabnayah) ///o//o (yiyaba ‘dama), ///o//o (tataqatta ‘at) ///o//o (biyadunakal) /o/o/o (asbabu) Penambahan
huruf
yang
lain
dapat
ditemukan
pada
puisi
anonim
(Muhammad,1980 :55):
(inna syakIi wa innã syaklaki syattâ falzimil-khussa wakhfidi tabyadiddã), ‘Keadaanku dan keadaanmu berbeda, yakinlah akan keistimewaanmu dan jangan sombong, maka engkau akan menjadi cantik’. Bagian yang mendapat tambahan satu huruf adalah kata tabyadidda yang berasal dan kata tabyadda ‘menjadi putih, cantik’ (Munawwir, 1980:133), sedangkan huruf yang ditambahkan adalah dad. Penambahan dengan dad berdasarkan kreativitas penyairnya dan bukan karena ketentuan yang berlaku dan dilakukan karena juga untuk memenuhi metrum bahr khafif Pola bait di atas adalah /o//o/o (innasyakli) //o//o (wainnasyak) ///o//o (lakasyatta), /o//o/o (falzimilkhus) //o//o (sawahfadi) /o//o/o (tabyadiddã). Penambahan Kata Kata yang dapat ditambahkan adalah kata panggil ya ‘hai’, partikel penegas Ia ‘sungguh’, partikel an dan in penegas, kata depan, kata sambung, dan partikel illa ‘kecuali’. Penambahan kata tersebut hanya mempengaruhi tambahan bunyi, tetapi tidak memberi tambahan arti. Penambahan Kata Ya Penambahan ya dapat ditemukan pada puisi Umayyah ibn Abis-Salt (AlBagdadi, 12991-1.1:358):
(innl iza ma hadasun almmã, aqilu yallahumma yallahumma) ‘Sesungguhnya aku bila tertimpa hal yang pedih, kukatakan wahai Allah, wahai Allah’. Penambahan kata panggil ya ‘hai, wahai’ dalam bait di atas terletak sebelum kata Allahumma yang telah mengandung arti ‘wahai Allah’ sehingga terjadi pengulangan kata panggil. Akan tetapi, pengulangan ini tidak menyebabkan pengulangan arti karena pengulangan dengan ya untuk memberi tambahan bunyi sehingga sesuai dengan metrum bahr rajaz yang berpola /o//o//o (innizâ) /o///o (mähadasun) //o/o (alammä), //o//o (aqiliyat) /o/o//o (lãhummayal) //o/o (lãhumma). Penambahan Partikel Penegas La Penambahan partikel penegas Ia dapat ditemukan pada puisi anonim (Muhammad,1980:57):
(alam takun hallafta bil-lahil- ‘ally, anna matäyaka lamin khairil-matiy), ‘Tidakkah engkau bersumpah demi Allah Yang Maha Tinggi bahwa kendaraanmu itu sebaik-baik kendaraan’. La yang ditambahkan dalam bait di atas terdapat sebelum kata min sehingga menjadi lamin. Penambahan Ia penegas, secara gramatikal, tidak ditambahkan pada khabar anna, tetapi pada khabar inna. Dalam bait ini, Ia ditambahkan untuk menambah bunyi sehingga sesuai dengan metrum bahr rajaz yang berpola /o/o//o (alamtakun) /o/o//o (hallaftabil) /o/o//o (lahil ‘ally), /o/o//o (annamatã) /o///o (yakalamin) /o/o//o (khaitllmut’iy). Penambahan Partikel An dan In Penambahan partikel an yang secara gramatikal tidak terjadi, yaitu yang ditemukan pada puisi Hassan Ibn Sabit (Al-Bagdadi, 1299 FL,3:584):
(faqãlat akullunnãsi asbahta mãniha, lisãnuka kaimã an tagurra wa takhda ‘a), ‘ Dia berkata: apakah semua manusia akan kau jadikan orang yang selalu memberi mulutmu supaya engkau dapat menipu daya’.
Partikel an dalam bait di atas terletak sebelum kata yagurru. Kata yagurru dibaca yagurra karena sebelumnya ada kaimã, tetapi dalam bait ini an ditambahkan yang aslinya juga berfungsi menasabkan kata kerja sesudahnya. Dalam bait ini, penambahan an bukan untuk mempengaruhi kata kerja yagurru menjadi yagurra, melainkan untuk menambah bunyi yang sesuai dengan metrum bahr tawil yang berpola //o/o (aqalat) //o/o/o (akullunna) //o/o (siasbah) //o// (tamaniha), //o/ (lisanu) //o/o/o (kakaimäan) //o/ (tagurra) //o//o (watukhdi ‘a). Penambahan Kata Depan Penambahan kata depan bi ‘dengan’, min ‘dan’, ka ‘seperti’,fi ‘di dalani’, Ii ‘bagi’, ‘ala ‘di atas’, ila ‘ke’, tetapi penambahan ini terletak pada posisi yang seharusnya tidak ada kata depan. Penambahan kata depan bi dapat ditemukan pada puisi Qais Ibn Zuhair (Muhammad,1980:63):
(‘alam ya‘tika wal-anba‘u tanmi, bimä laqat labünu bani ziyadi), ‘Tidakkah datang padamu, padahal berita telah menyebar, sesuatu yang berhubungan dengan unta milik Bani Ziyad. Kata depan yang ditambahkan dalam bait di atas adalah bi yang terletak sebelum ma laqat Kata bi seharusnya tidak ada dan tidak diperlukan penambahannya, tetapi penambahan dalam bait ini untuk menambah bunyi sehingga sesuai dengan metrum bahr wafir yang Ia //o/o/o (alamya ‘II) //o/o/o (kawalanbä) //o/o (utanmi), //o/o/o (bimalaqat) //o///o (labunubani) //o/o (ziyadi). Penambahan Kata Sambung Kata sambung yang ditambahkan adalah wa ‘dan, bal ‘tetapi’ ,fa ‘maka’, atau am ‘atau’. Seperti penambahan kata depan, kata sambung ditambahkan juga pada posisi yang seharusnya tidak ada kata sambung. Penambahan ini dilakukan karena untuk memenuhi bunyi. Penambahan kata sambung dapat ditemukan pada pulsi Al-Farra’ (Al-Bagdadi, 1299 H.,2:3 19):
(fainna rasyidan wabna marwana lam yakun, Iiyaf’ala haifa yusdiral-amru musdira,),‘sesungguhnya Rasyid Ibn Marwan tidak melakukan sehingga masalah itu betul-betul terbuka’. Penambahan kata sambung wa ‘dan’ dalam bait di atas terletak sebelum kata ibn marwan, padahal maksudnya adalah Rasyid ibn Marwan dan bukan Rasyid dan Ibn Marwan. Penambahan ini tidak untuk penambahan arti, tetapi untuk memenuhi bunyi bahr tawil yang berpola //o/o (fainna), //o/o/o (rasyidanwab) //o/o (namarwã) //o//o (nalamyakun), //o/ (Ilyaf’a) //o/o/o (Iahattãyas) Ilolo (duralam) //o//o (ramasdarã). Penambahan Kalimat Penambahan dengan kalimat hanya dapat dilakukan dengan memakai kata kerja yakadu ‘dia hampir’ (Munawwir, 1980:). Yakãdu disebut kalimat karena kata kerja masakini dan setiap kata kerja dalam bahasa Arab adalãh kalimat karena telah mengandung unsur subjek dan predikat. Kalimat yakadu (dapat berupa takãdu, akadu) yang ditambahkan dalam bait puisi tidak dimaksudkan untuk memberi tambahan arti atau mengubah makna bait karena tambahan itu hanya untuk memenuhi metrum bahr yang digunakan. Hal ini dapat ditemukan pada puisi Hassan (dalam Muhammad, 1980:79):
(watakdu taksulu an taji’afirasyahã, fi jismi khar’abatin wa lini qawãmi), ‘Dia (pr.) malas mendatangi peraduannya, dengan badan yang lemah dan lemas’. Kalimat yang ditambahkan adalah takadu ‘dia (pr) hampir’ (Munawwir, 1984:1329), tetapi penambahan ini tidak menambah atau mengubah arti bait di atas karena kalimat yang sesungguhnya dalam bait ini adalah “dia malas mendatangi peraduannya” dan bukan “hampir malas”. Jadi, penambahan itu untuk memenuhi metrum bahr kämil yang berpola ///o//o (watakädutak) /o//o//o (suluantaji) ///o//o (afirasaha) * /o/o//o (fijismikhar) ///o//o (‘abatinwali) ///o/o (niqawami) dan tanpa adanya tambahan kalimat takadu, pola ///o//o ini tidak terpenuhi. Hal yang sama ditemukan pada puisi anonim (Muhammad, 1980:79):
(fa in Ia alümun-nafsu fimä asbaha, wa in Ia akädu bil-lazi niltu anjahü), ‘Bila aku tidak mencela hal yang menimpa jiwa, bila tidak aku akan berhasil dengan hal yang telah aku Kalimat yang ditambahkan pada bait di atas adalah kalimat akdu ‘aku hampir’ (Munawwir, 1984:1329), tetapi penambahan ini tidak menambah atau mengubah arti bait di atas karena maksud penyair dalam bait ini adalah “aku akan berhasil dengan yang sudah saya peroleh dan bukan “hampir berhasil”. Jadi, penambahan ini untuk memenuhi metrum bahr tawil yang berpola //o/o (failla) //o/o/o (alümunnaf) //o/o (sufimã) //o/o/o (asãbahã), //o/o (waillá) //o/o/o (akâdubil) //o/o (laziniI) //o//o (tuanjahu) dan tanpa tambahan kalimat akadu, kaki sajak //o/o/o tidak terpenuhi.