PERUBAHAN ARTI METAFORIS DALAM KUMPULAN CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI DAN IMPLIKASI TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh Aisatul Fitriah NIM 1110013000051
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK Aisatul Fitriah, 1110013000051, 2014, “Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pembimbing Makyun Subuki, M.Hum.
Penelitian ini mendeskripsikan tentang perubahan arti metaforis meliputi metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak dan metafora sinaestetik pada 18 cerita pendek yang terkumpul dalam satu kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yaitu metode penelitian yang mendeskripsikan hasil temuan berupa perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi dokumentasi. Teknik penganalisaan data dibuat dengan menggolongkannya ke dalam empat bagian berdasarkan referen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 44 perubahan arti metaforis yang digunakan Dewi Lestari dalam karyanya berupa kumpulan cerpen Filosofi Kopi. 44 perubahan arti metaforis tersebut meliputi: metafora antropomorfis sebanyak 19 buah, metafora binatang sebanyak 9 buah, metafora konkret ke abstrak sebanyak 3 buah dan metafora sinaestetik sebanyak 13 buah.
Kata Kunci: Semantik, Perubahan arti, Metafora, Filosofi Kopi
i
ABSTRACT Aisatul Fitriah, 1110013000051, 2014, “Metaphorical Meaning Changes in the set of Short Story Filosofi Kopi Works Dewi Lestari and Implications Of Learning Indonesia”, Education Departement of Indonesia Language and Literature Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, State Islamic Universty Syarif Hidayatullah, Jakarta. Supervisor Makyun Subuki, M.Hum. This study describes the changes in the metaphorical senese include anthropomorphic metaphor, animal metaphor, metaphor concrete to the abstract and metaphorical sinaestetik in the 18 short stories collected in a collection of short stories of Dewi Lestari works Filosofi Kopi.
The purpose of this study is to determine the changes in the metaphorical sense that is contained in the collection of Filosofi Kopi short stories Dewi Lestari. The method used is descriptive qualitative research methods that describe the findings in the of changes in the metaphorical sense form contained in the collection of short stories. Data collection techniques using documentation study technique. Data analysis techniques created by classifying data into four sections based on the referents.
The results showed that there were 44 changes in the metaphorical sense used by Dewi Lestari in her works, Filosofi Kopi. 44 of these include changes in the metaphorical sense: as many as 19 pieces anthropomorphic metaphor, animal metaphor as much as 9 pieces, the concrete to the abstract metaphor 3 pieces and metaphorical sinaestetik and as many as 13 pieces.
Keywords: Semantics, The meaning changes, Metaphor, Filosofi Kopi
ii
KATA PENGANTAR Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Selawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi berjudul “Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia”, disusun guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan S-1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis membutuhkan bimbingan, bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada 1. Nurlena Rifa‟i, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Mahmudah Fitriah ZA., M.Pd. sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu memberikan kemudahan dan semangat. 3. Dra. Hindun, M.Pd. sebagai Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu memberikan semangat. 4. Makyun Subuki, M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi. 5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
iii
6. H. Nawawi, Hj. Maemunah dan Hj. Taslimah selaku kakek dan nenek tercinta yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa untuk penulis 7. M. Fahrurozi dan Fatonah selaku orang tua, motivator, dan penasehat terbaik yang selalu memberikan semangat, arahan, doa dan dukungan materil untuk penulis 8. Keluarga besar Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia (PBSI) khususnya kelas B angkatan 2010 yang selalu membuat suasana baik di dalam maupun di luar perkuliahan terasa berwarna. 9. Keluarga besar pojok seni tarbiyah (POSTAR) yang telah memberikan banyak pengetahuan, teman, dan pengalaman selama menjadi anggota 10. Keluarga besar lingkar sastra tarbiyah (LST POSTAR) yang telah memberikan banyak ekspresi, sahabat dan keluarga yang unik 11. Empat roda dan satu spion, Mabruroh, Yunia Ria Rahayu, Kurnia Dewi Nurfadilah dan Sari Satriyati yang telah memberikan banyak warna selama bersama baik di dalam maupun di luar pementasan LST 12. Temen kosan H. Asani yang telah membuat banyak canda tawa serta semangat dalam pembuatan skripsi, Ayu Rizqi Pramulya N, Tuti Alawiyah, Sutirih, dan Nur Aoliya 13. Semua orang yang berjasa dalam pembuatan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga semua kebaikan dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik lagi. Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri, semoga yang kita amalkan mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal „alamin. Akhirnya penulis memohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, dan penulis pun menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan hadirnya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca serta kemajuan ilmu pengetahuan. Jakarta, 20 Agustus 2014
Penulis iv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 5 C. Pembatasan Masalah ........................................................................... 6 D. Rumusan Masalah ............................................................................... 6 E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6 F. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6 G. Metode Penelitian ............................................................................... 7 H. Data dan Sumber Data........................................................................ 8 I. Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 8 J. Teknik Analisis Data........................................................................... 9 BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN.............. 12 A. Cerpen................................................................................................ 12 1. Sejarah Cerpen ................................................................................ 12 2. Pengertian Cerpen........................................................................... 12 3. Ciri-ciri Cerpen............................................................................... 14 4. Pembagian Cerpen.......................................................................... 14 5. Unsur Intrinsik Cerpen.................................................................... 16 B. Hakikat Perubahan Arti ....................................................................... 24 Keserupaan Antararti (Metafora)........................................................ 25 C. Penelitian yang Relevan........................................................................ 32
v
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................ 35 A. Biografi Dewi Lestari.......................................................................... 35 B. Analisis Data....................................................................................... 36 1. Metafora Antropomorfis................................................................... 37 2. Metafora Binatang ............................................................................ 64 3. Metafora dari Konkret ke Abstrak .................................................... 76 4. Metafora Sinaestetik......................................................................... 80 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran ....................................................... 94 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN................................................................. 96 A. Simpulan.............................................................................................. 96 B. Saran .................................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 98 UJI REFERENSI LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan arti terjadi beriringan dengan perkembangan bahasa. Edward Sapir mengungkapkan, “Bahasa bergerak terus sepanjang waktu membentuk dirinya sendiri. Ia mempunyai gerak mengalir tak satu pun yang sama sekali statis. Tiap kata, tiap unsur gramatikal, tiap peribahasa, bunyi dan aksen merupakan konfigurasi yang berubah secara pelan-pelan, dibentuk oleh getar yang tidak tampak dan impersonal, yang merupakan hidupnya bahasa.”1 Perubahan arti yang terjadi di dalam bahasa disebabkankan oleh dua faktor, yakni faktor kebahasaan dan faktor non-kebahasaan. Dari faktor kebahasaan, dapat dilihat pada penggunaan kata ya yang menunjuk arti persetujuan kini telah mengalami perubahan sebaliknya, yakni menyatakan arti penolakan, penyangkalan, atau pengingkaran terhadap sesuatu. Hal tersebut sangat sering kita jumpai dalam komunikasi sehari-hari. Perubahan tersebut disebabkan karena pemakaian kata ya yang terlampau tinggi sehingga batas arti antara kata ya atau sebaliknya menjadi kabur, samarsamar. Dilihat dari faktor non-kebahasaan, perubahan arti diakibatkan oleh berbagai faktor di antaranya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan sosial, perbedaan bidang pemakaian dan masih banyak lagi. Di bidang militer misalnya, digunakan kata operasi yang berarti penumpasan, penggeledahan, atau penangkapan terhadap pemberontak sedangkan di bidang kedokteran, kata operasi merupakan istilah kesehatan yang berarti pembedahan terhadap tubuh manusia untuk mengambil atau menghilangkan suatu penyakit yang dilakukan oleh dokter ahli. Hal ini menunjukkan adanya pemakaian kata operasi pada dua bidang yang berbeda, yakni militer dan kedokteran. Perubahan arti dalam penggunaan bahasa sudah sering dan banyak kita jumpai di dalam kehidupan sehari-hari sehingga perubahan tersebut menjadi 1
Stephen Ullman, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 247.
1
2
terasa lumrah dan wajar. Perkembangan bahasa yang terjadi di sepanjang waktu menuntut pengguna bahasa untuk terus menerus mengikuti perkembangan tersebut. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengguna bahasa dalam berkomunikasi. Secara sadar atau tidak, pengguna bahasa memiliki peranan penting dalam menciptakan perubahan bahasa. Hal ini senada dengan ungkapan Meillet, “Bahasa itu dialihkan secara turun temurun dalam suatu cara yang „tak bersinambungan‟ (discontinuous) dari generasi yang satu ke generasi berikutnya: tiap-tiap anak harus belajar bahasa itu seperti barang yang baru.”2 Dalam praktik berbahasa, perubahan arti tidak hanya kita jumpai dalam percakapan sehari-hari saja tetapi juga dalam media cetak seperti koran, salah satu sumber/media informasi berbentuk tulis. Pada koran, kita sering menjumpai penggunaan kata diamankan daripada kata ditahan atau kata dibunuh daripada dihabisi yang digunakan sebagai judul atau isi dalam berita. Hal ini menunjukan adanya pemilihan kata yang dirasa lebih pantas atau nyaman untuk digunakan dalam interaksi sosial. Dalam perubahan arti, hal ini disebut tabu yakni konsep yang menggambarkan larangan tertentu dalam dunia sosial. Pemilihan kata-kata tersebut disebabkan oleh faktor kenyamanan (taboo of delicacy). Cruse mengungkapkan, “Akibat dari tabu bahasa adalah munculnya eufemisme yaitu sebentuk ungkapan pengganti yang dipergunakan untuk memperhalus efek dari ungkapan lain yang dirasa lebih kasar.”3 Terjadinya perubahan arti memang disebabkan oleh berbagai faktor. Akan tetapi, perubahan arti yang terdapat dalam suatu ungkapan tertentu selalu memiliki hubungan yang mengaitkan arti lama dengan arti baru yang dimiliki oleh suatu kata. Jenis hubungan tersebut didasarkan pada dua kategori: pertama, kedekatan antararti (contiguity)/metonimi, merupakan sebutan pengganti untuk suatu objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan. Di Jakarta misalnya, salah satu ikon patung ucapan selamat datang dengan simbol dua orang 2 3
h. 110
Ibid. Makyun Subuki, Semantik Pengantar Memahami Makna, (Jakarta: Transpustaka, 2011),
3
pelajar lebih dikenal dengan Bundaran HI karena letaknya yang dekat dengan hotel grand Indonesia. Dalam penamaan tempat (pasar), masyarakat Jakarta banyak menggunakan waktu berupa hari seperti: senen, rabu, jum‟at dan minggu. Kedua, perubahan arti yang disebabkan karena keserupaan antararti (similarity)/metafora, secara umum merupakan perubahan arti yang mengaitkan suatu arti dengan arti lainnya, adanya referensi. Parera dalam buku teori Semantik menyatakan, metafora menjadi sumber untuk melayani motivasi yang kuat untuk menyatakan perasaan, emosi yang mendalam, dan sarana berbahasa yang bersifat ekspresif. Salah satu unsur metafora adalah kemiripan dan kesamaan tanggapan pancaindra. Perubahan arti karena keserupaan antararti (similarity)/metafora dapat kita temukan dalam cerpen (cerita pendek), salah satu media pengarang atau sastrawan dalam berkomunikasi dengan pembaca untuk menyampaikan suatu gagasan maupun pendapat. Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang pemilihan permasalahannya lebih terfokus, dalam menyelesaikan bacaan pun tidak memerlukan waktu yang lama selain itu cerpen juga dapat memberikan kesan tunggal terhadap pembaca mengenai permasalahan yang dibicarakan. Ellery Sedgwick dalam Notosusanto mengungkapkan, “cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu atau “a shortstory must not be cluttered up with irrelevance”.”4 Dalam dunia pendidikan, khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia cerpen merupakan salah satu dari beberapa bentuk karya sastra yang diperkenalkan dan dipelajari siswa di sekolah. Dalam materi cerpen, siswa melakukan kegiatan membaca sehingga dari kegiatan tersebut siswa diharapkan mampu memahami cerita dan pesan yang disampaikan pengarang di dalamnya dengan harapan siswa mampu menerapkannya di dalam kehidupan. Untuk memahami cerita dan pesan yang terdapat dalam cerpen, kegiatan yang dilakukan siswa melalui membaca saja belum cukup 4
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 179.
4
membantu, hal ini dikarenakan cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menggunakan bahasa kias (metafora). Hal ini senada dengan pernyataan Edi Subroto, “metafora adalah salah satu wujud kreatif bahasa di dalam penerapan maknanya; artinya berdasarkan kata-kata yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakai bahasa dapat memberi lambang baru pada referen tertentu, baik referen itu telah memiliki nama lambang atau belum. Metafora banyak terdapat dalam karya sastra”5. Untuk memahami cerita dan pesan yang terdapat dalam cerpen, siswa harus mengetahui arti dari bahasa yang mengalami perubahan arti (kiasan) berdasarkan konteks cerita. Melalui konteks cerita, selain membantu siswa untuk memahami arti dari penggunaan bahasa yang mengalami perubahan arti (kiasan), siswa juga dapat mengetahui unsur intrinsik lain dalam cerita. Dalam cerpen kita dapat menemukan kalimat Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning kata dasar dari bertengger adalah tengger (nomina) memiliki arti tenggeran, tempat bertengger; tenggekan (tongkat atau benda panjang yang diletakkan melintang dalam kandang untuk tempat binatang, ayam bertengger pada malam hari), kemuadian kata tengger mendapat prefiks ber- menjadi bertengger (verbal) memiliki arti hinggap (di dahan), berdiam atau bertempat tinggal. Dapat diketahui bertengger adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh binatang seperti ayam atau burung tetapi pada kalimat tersebut terdapat perbandingan nyata antara dua hal yang berbeda yakni binatang dan bulan, jika ditelusuri maksudnya ada kesamaan umum diantara keduanya, yakni sama-sama mendiami suatu tempat sehingga pada kalimat Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning mereferensikan pada kegiatan yang dilakukan oleh binatang dialihkan pada selain binatang. Hal tersebut merupakan contoh dari metafora binatang, selain itu ada tiga lagi metafora yakni: antropomorfis (metafora yang mengalihkan 5
Muna Riswati, “Perbandingan Variasi Metafora pada Puisi Karya Taufik Ismail dan W.S. Rendra”, dalam Sumarlam dkk (ed.), Pelangi Nusantara Kajian Berbagai Variasi bahasa, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 189.
5
sifat atau aktivitas manusia ke benda selain manusia), sinaestetik (pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra) dan metafora konkret-abstrak (metafora yang menjabarkan pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret). konteks munculnya kalimat tersebut adalah kekecewaan yang dialami Indi terhadap Lei, kekasihnya membuat dia mengurung diri dari segala aktivitas sampai pada saat yang dirasa tepat, Indi berusaha untuk kembali tegar dan menjalani kehidupan seperti biasa, begitu juga dengan kebiasaannya yang memandang bulan dari jendela kamarnya. Disimpulkan bahwa perubahan arti sangat banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam interaksi lisan maupun tulis sehingga dari sini penulis terinspirasi untuk meneliti bahasa, terutama perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity)/metafora yang terdapat dalam cerita pendek (cerpen), sehingga judul pada penelitian ini adalah Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan judul di atas, maka penelitian ini lebih menitikberatkan pada ragam perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen, identifikasi masalahnya meliputi: a. Perubahan arti terjadi seiring dengan perkembangan bahasa b. Bahasa mengalami perkembangan sepanjang waktu c. Perkembangan bahasa menyebabkan beberapa kata tertentu mengalami perubahan arti yang digunakan dalam bidang yang berbeda d. Perubahan arti sering dijumpai dalam kehidupan e. Selain media lisan perubahan arti juga terdapat dalam media tulis/cetak termasuk cerpen f. Cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dipelajari di sekolah
6
C. Pembatasan Masalah Sesuai dengan pemaparan di atas, hal yang akan dianalisis pada penelitian dengan judul Perubahan Arti Metaforis dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih memfokuskan pada ragam perubahan arti metaforis yang mengacu pada: pengalihan aktivitas atau sifat manusia ke benda selain manusia (antropomorfis), pengalihan aktivitas atau sifat binatang ke selain binatang (binatang), menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret (konkret ke abstrak), dan pertukaran tanggapan antarindra (sinaestetik) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.
D. Rumusan Masalah Bagaimana perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia?
E. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perubahan arti metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia
F. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan mampu membantu seluruh akademisi, terutama yang sedang belajar bahasa Indonesia agar lebih memahami tentang semantik, salah satu ilmu bahasa yang mempelajari makna, bahwa dalam semantik terdapat perubahan arti metaforis yang mengacu pada pengalihan sifat
atau
aktivitas
manusia
kepada
selain
manusia
(metafora
antropomorfis), mengacu pada aktivitas atau sifat binatang yang dialihkan ke selain binatang (metafora binatang), menjabarkan pengalamanpengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret (metafora konkret ke
7
abstrak), dan pertukaran tanggap antarindra (metafora sinaestetik) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.
b. Manfaat Praktis 1. Penelitian ini diharapkan mampu membantu guru, tenaga pendidik dalam menambah bahan referensi untuk pengajaran bahasa Indonesia di sekolah terkait dengan materi perubahan arti, sehingga diharapkan mampu memberikan pengajaran yang dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh siswa. 2. Penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat umum dalam memahami metafora, perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti yang terdapat dalam karya sastra terutama kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Denzin dan Lincoln menyatakan bahwa, “penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.”6 Pada penelitian ini, penulis akan meneliti fenomena perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity)/metafora pada bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Jenis penelitian yang dilakukan berupa studi kasus. Surachmad memaparkan bahwa pendekatan studi kasus hanya memusatkan perhatian secara rinci pada kasus yang diteliti. Penelitian studi kasus hanya terfokus pada satu objek yang diangkat sebagai kasus untuk diteliti secara mendalam. Penelitian kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya data dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau 6
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. 31, h. 5.
8
koefisien tentang hubungan antar-variabel. Pada penelitian ini, hasil analisis berupa kutipan data dan pendeskripsian kata-kata yang jelas dan rinci mengenai perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity)/metafora yang terdiri dari metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak, dan metafora sinaestetik pada bahasa yang terdapat dalam salah satu karya sastra berupa kumpulan cerpen karya Dewi Lestari berjudul Filosofi Kopi.
H. Data dan Sumber data Data adalah segala bahan keterangan atau fakta yang sudah dicatat (recorded) dan dapat diobservasi.7 Berdasarkan hasil membaca, peneliti menemukan fakta berupa ragam perubahan arti metaforis (similarity) atau metafora berupa metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak dan metafora sinaestetik pada penggunaan bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Sumber data sebagaimana Lofland dan Lofland menyatakan, “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.”8 Data lain yang dimaksud berupa sumber tertulis, foto, dan data statistik. Sumber penelitian yang peneliti peroleh berupa sumber tertulis, yakni kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.
I. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan teknik studi dokumentasi. Guba dan Lincoln mendefinisikan, “Dokumen ialah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik”9
7
Abdul Halim Hanafi, Metodologi Penelitian Bahasa, (Jakarta: Diadit Media Press, 2011), Cet. 1, h. 123. 8 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. 29, h. 157. 9 Ibid, h. 216.
9
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dokumen atau bahan-bahan tertulis terkait fokus penelitian. Berikut tahapan yang peneliti lakukan dalam mengumpulkan data: 1. Peneliti menentukan objek penelitian berupa kumpulan cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari 2. Membaca dan menganalisis bahasa yang digunakan pengarang dalam kumpulan cerpen tersebut. 3. Setelah membaca, peneliti menentukan fokus penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini lebih memfokuskan pada perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity) atau metafora yang terdiri dari metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak dan metafora sinaestetik. 4. Mengumpulkan buku atau sumber lain untuk membantu peneliti dalam melakukan penelitian 5. Menggabungkan
beberapa
teori
dari
berbagai
buku
dan
menyimpulkannya 6. Menganalisis data yang ada sesuai teori yang digunakan 7. Peneliti melakukan triangulasi/penggabungan data dari teori yang diperoleh dari buku dan hasil analisis yang telah dilakukan.
J. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini dengan menggunakan model Miles dan Huberman, meliputi: reduksi data, penyajian data dan mengambil kesimpulan.10 Berikut tahapan-tahapan yang dilakukan peneliti dalam menganalisis data sebagai berikut: 1. Reduksi data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan dan pemusatan perhatian pada data yang diperoleh di lapangan, dilanjutkan dengan menggolongkan data-data tersebut untuk dianalisis berdasarkan fokus penelitian. Pada 10
Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 1, h. 85.
10
tahapan ini, data yang peneliti peroleh dan menjadi fokus dalam penelitian berupa perubahan arti metaforis yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen berjudul Filosofi Kopi karya Dewi Lestari yang terdiri dari 18 cerita pendek yaitu: Filosofi Kopi, Mencari Herman, Surat yang Tak Pernah Sampai, Salju Gurun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Sikat Gigi, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Sepotong Kue Kuning, Diam, Cuaca, Lara Lana, Lilin Merah, Spasi, Cetak Biru, Buddha Bar dan Rico de Coro, kemudian dari data-data yang telah ditemukan, peneliti penggolongkannya berdasarkan referen. Adapun referennya sebagai berikut:
No 1.
Jenis perubahan arti
Referensi
metaforis Metafora
Pengalihan aktivitas/sifat manusia kepada benda
Antropomorfis
selain manusia (manusia → benda selain manusia)
2.
Metafora Binatang
Pengalihan aktivitas/sifat binatang ke selain binatang (binatang → selain binatang)
3.
4.
Metafora Konkret ke
menjabarkan pengalaman abstrak ke dalam hal
abstrak
yang konkret
Metafora Sinaestetik
Pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra
2. Penyajian data Penyajian data merupakan pendeskripsian sekumpulan informasi tersususn yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Dari datadata
yang telah dikelompokkan berdasarkan referennya, peneliti
menganalisis data-data tersebut berdasarkan teori yang digunakan.
3. Penarikan kesimpulan Pada tahapan ini, peneliti menyimpulkan hasil penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan umum dari hasil analisis sementara pada bahasa
11
terkait perubahan arti metaforis yang digunakan oleh Dewi Lestari dalam kumpulan cerpen Filosofi Kopi menunjukkan bahwa penggunaan metafora antropomorfis lebih dominan dari pada metafora yang lain. Hal ini ditunjukkan dari hasil temuan yang peneliti dapatkan sebanyak 19 buah. Selain metafora antropomorfis, pengarang juga banyak menggunakan metafora sinaestetik, yakni sebanyak 13 buah. Sedangkan metafora binatang dan metafora konkret ke abstrak berjumlah 9 dan 3 buah perubahan.
BAB II KAJIAN TEORI A. Cerpen 1. Sejarah Cerpen Berbagai bentuk cerita telah lama dituturkan dalam bentuk tulis, tetapi prinsip-prinsip cerita pendek modern baru dikristalkan pada abad kesembilan belas menyusul kemunculan Edgar Allan Poe. Dia menetapkan batas panjangnya, yaitu bahwa cerita tersebut harus cukup panjang untuk dibaca selama kurang lebih satu setengah sampai dua jam. Dia juga menetapkan gaya (style) plotnya, dengan serangkaian peristiwa yang muncul menuju klimaks, dan suspen menjadi sentral. Penulis Amerika lain, O. Henry, menambahkan ―surprise ending‖ sebagai ciri lain dari cerpen. Penulis-penulis terdahulu ini menekankan plot dan mengorbankan kecermatan penggarapan klimaks. Bentuk cerita yang konvensional inidramatis, bergerak cepat, dan menyukai akhir cerita yang mengejutkansejak dulu sangat popular di kalangan pembaca, bahkan hingga kini. Sekalipun demikian, jenis cerita yang lebih realistis, yang lebih berkonsentrasi pada karakter dan suasana, telah dikembangkan oleh aliran Rusia. Aliran ini membiarkan plot berkembang tanpa dipaksakan mengikuti pola konvensional. Tchkov adalah bapaknya aliran ―slice of ice‖ ini.1
2. Pengertian Cerpen Cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur. 2 Edgar Alan Poe dalam Jassin mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita 1
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), cet. 1, h. 34. 2 Heru Kurniawan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1, h. 59.
12
13
yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.3 Ellery Sedgwick dalam Notosusanto mengatakan, ―cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu atau ―a shortstory must not be cluttered up with irrelevance‖ ‖.4 Dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita bergenre fiksi yang di dalamnya memuat rangkaian peristiwa yang memunculkan konflik antar tokoh atau diri tokoh, dimana cerita tersebut memunculkan kesan bagi pembacanya dan habis terbaca dalam sekali duduk, yakni sekitar satu sampai dua jam. Fiksi berasal dari kata ―Fiction‖ yang dalam kamus Hornby berarti rekaan, khayalan, cabang sastra yang mencakupi cerita pendek (cerpen), novel, roman. Fiksi dalam bahasa Indonesia disebut ―cerkan‖ (cerita rekaan). Cerkan adalah sebuah tulisan naratif yang timbul dari imajinasi pengarang dan tidak mementingkan segi fakta sejarah. H.G. Tarigan, mengemukakan, ―fiksi adalah sesuatu yang dibuat, sesuatu yang dibentuk, sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang diimajinasikan.‖5 Sedangkan fiksi menurut Atar Semi, ―cerita dalam prosa hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tapisan, dan penilaiannya tentang peristiwaperistiwa yang pernah terjadi ataupun tentang pengolahan tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam khayalan.‖6 Dapat kita ketahui bahwa cerpen termasuk cerita yang bergenre fiktif. Fiksi adalah karangan naratif yang bersifat rekaan ataupun imajinasi pengarang tentang peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi ataupun tidak dalam kehidupan nyata.
3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h. 10. 4 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 179. 5 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), cet. 1, h. 33. 6 Ibid.
14
3. Ciri-ciri Cerpen Ciri-ciri cerita pendek menurut Widjojoko dan Endang Hidayat dalam buku berjudul Teori dan Sejarah Sastra Indonesia terdiri dari: a. Penyampaian cerita secara singkat dan padat b. Jalinan jiwa dan kejadian jiwa bulat dan padu, dan di dalamnya mengandung unsur pertikaian yang akhirnya mencapai klimak dan diakhiri dengan penyelesaian masalah c. Tema cerita tentang nilai kemanusiaan, moral, dan etika d. Membicarakan masalah tunggal dan dapat dibaca dalam waktu singkat e. Memusatkan perhatian pada tokoh protagonis f. Unsur utama yang terdapat dalam cerpen adalah adegan, tokoh, dan gerak g. Adanya kebulatan kisah (cerita) h. Bahasa yang digunakan dalam cerpen tajam, sugestif dan menarik perhatian i. Sebuah cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung j. Dalam cerita pendek terdapat satu kejadian atau persoalan yang menguasai jalan cerita7
4. Pembagian Cerpen Dilihat dari perkembangannya cerita pendek dibagi dua, yaitu: a. Cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerpen yang mengandung nilai sastra (moral, etika dan estetika) b. Cerita pendek hiburan (cerpen pop) yaitu cerita pendek yang umumnya untuk menghibur yang mengutamakan selera pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, etika. Henry Guntur Tarigan dalam bukunya berjudul Prinsip-prinsip Dasar Sastra, mengadakan pembagian atau klasifikasi terhadap cerita pendek dari berbagai sudut pandangan; yang umumnya yaitu: a. Berdasarkan jumlah kata, dan b. Berdasarkan nilai Berikut ini akan dibicarakan satu per satu secara ringkas. 7
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), cet. 1, h. 37.
15
a. Berdasarkan jumlah kata Menurut Brooks dalam Tarigan, berdasarkan jumlah kata yang dikandung oleh cerita pendek, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: 1) Cerpen yang pendek (short short story) adalah cerita pendek yang jumlah kata-katanya pada umumnya di bawah 5.000 kata, maksimum 5.000 kata, atau kira-kira 16 halaman kuarto spasi rangkap, yang dapat dibaca dalam waktu kira-kira seperempat jam. 2) Cerpen yang panjang (long short story) adalah cerita pendek yang jumlah kata-katanya diantara 5000 sampai 10.000 kata; minimal 5.000 kata dan maksimal 10.000 kata, atau kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap, yang dapat dibaca kira-kira setengah jam.8 b. Berdasarkan nilai sastra Notosusanto dalam Tarigan mengklasifikasikan cerpen berdasarkan nilai sastra sebagai berikut: 1) Cerpen sastra 2) Cerpen hiburan Memang sulit membuat batas yang tegas antara cerpen sastra dengan cerpen hiburan, karena cerpen sastra pun mungkin juga mengandung hiburan, dan cerpen hiburan bernilai sastra. Dari buku atau majalah yang memuat cerpen itu dapat kita ketahui termasuk ke dalam jenis mana suatu cerpen. Di Indonesia misalnya: Indonesia, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Cerita Pendek, Horison, Budaya Jaya, adalah cerpen sastra, dan yang dimuat dalam majalah Terang Bulan dan sejenisnya, adalah cerpen hiburan.9
8
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 181-
9
Ibid.
182.
16
5. Unsur Intrinsik Cerpen Sebuah fiksi cerita pendek memiliki unsur-unsur intrinsik seperti: tokoh, latar, titik pandang/sudut pandang, gaya bahasa, alur dan tema.
a. Tokoh Tokoh dalam cerita ini merujuk pada ―orang‖ atau ―individu‖ yang hadir sebagai pelaku dalam sebuah cerita, yaitu orang atau individu yang akan mengaktualisasikan ide-ide penulis. Lewat tokoh inilah
penulis
menyampaikan
gagasan-gagasannya.
Sudjiman
menyatakan bahwa, ―Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.‖10 Sedangkan
menurut
Aminuddin,
―Tokoh
adalah
pelaku
yang
mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.‖11 Dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang ataupun pemeran yang mengemban suatu peristiwa dalam cerita. Jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam novel dan cerpen terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama. Dibandingkan dengan novel, tokoh-tokoh cerita pendek lebih lagi terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan. Ditinjau dari perkembangan kepribadian tokoh, Aminuddin membagi tokoh atas tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya mengalami perkembangan. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami perkembangan kepribadian, atau bisa disebut kepribadiannya tetap dari awal sampai akhir cerita.
10
Melani Budianta, dkk; Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), Cet. 2, h. 86. 11 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 142.
17
b. Latar Cerita (Setting) Menurut Stanton, ―latar cerita adalah lingkungan, yaitu dunia cerita sebagai tempat terjadinya peristiwa.‖12 Abrams mengemukakan, ―latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.13 Setting/latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat diamati termasuk di dalamnya adalah waktu.14 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah tempat terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita. Latar yang ada, tidak hanya terpaut dengan tempat terjadinya peristiwa saja, tetapi lebih luas dari itu yakni waktu dan kebiasaan masyarakat setempat. Latar dalam cerpen biasanya mempunyai dua tipe, pertama, latar yang diceritakan secara detail, ini biasanya terjadi jika cerpen fokus pada persoalan latar. Kedua, latar yang tidak menjadi fokus utama atau masalah, biasanya latar hanya disebut sebagai background saja sebagai tempat terjadinya peristiwa, tidak dideskripsikan secara detail.15 Pelukisan latar cerita untuk novel dan cerpen dilihat secara kuantitatif
terdapat
perbedaan
yang
menonjol.
Cerpen
tidak
memerlukan detail-detail khusus tentang keadaan latar, misalnya yang menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu memberikan suasana tertentu yang dimaksudkan. Novel, sebaliknya, dapat saja melukiskan keadaan latar secara rinci
12
Heru Kurniawan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1, h. 66. 13 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 149. 14 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), cet. 1, h. 47. 15 Heru Kurniawan dan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1, h. 55-67.
18
sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret, dan pasti.16 c. Titik Pandang/Sudut Pandang Titik
pandang/sudut
pandang
adalah
tempat
sastrawan
memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.17 Harry Shaw dalam Sudjiman menyatakan, ―Titik pandang terdiri atas: (1) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga.‖18 Abrams menyatakan, ―sudut pandang, point of view, menyaran pada sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca‖19. Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa titik pandang/sudut pandang adalah teknik sastrawan dalam mengemukakan ceritanya mencakup tokoh, perasaan atau sikap pengarang, peristiwa, tempat, waktu yang dipaparkan berdasarkan karakter ataupun gaya berceritanya. Sudut pandang/pusat pengisahan menerangkan ―siapa yang bercerita‖. Pusat pengisahan ini penting untuk memperoleh gambaran tentang kesatuan cerita. Dalam kesusastraan Indonesia menurut Widjojoko dan Endang Hidayat memaparkan bahwa ada lima macam ―pencerita‖, yaitu: a) Tokoh utama menceritakan ceritanya sendiri; 16
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h. 13. 17 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 151. 18 Ibid., h. 152. 19 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h. 248.
19
b) Tokoh bawahan menuturkan cerita tokoh utama; c) Pengarang pengamat, yang menuturkan cerita dari luar sebagai seorang observer; d) Pengarang analitik, yang menuturkan cerita tidak hanya sebagai seorang pengamat, tetapi berusaha juga menyelam kedalamnya; e) Campuran antara poin (a) dan (d) yaitu, cara melaksanakan cakapan batin.20
d. Gaya Bahasa Aminuddin menyatakan, ―Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.‖21 Disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah pemilihan bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam menciptakan karya sastra, sehingga mampu mengantarkan suasana yang mampu menyentuh emosi dan daya pikir pembaca. Aminuddin memaparkan, ―Dari segi katanya, karya sastra menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif, sedangkan kalimatkalimatnya menunjukan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuansa makna tertentu saja. Alat gaya melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, majas bunyi‖.22 Berhasil atau tidaknya seorang pengarang fiksi, tergantung dari kecakapannya mempergunakan gaya yang serasi dalam karyanya. Seperti juga tidak ada dua orang yang sama betul, maka dalam penggunaan gaya atau majas pun tidak terdapat dua pengarang yang sama. Penggunaan majas ini sedikit banyak tergantung pada usia, pendidikan, pengalaman, temperamen, keterampilan, serta kecakapan pelaku yang secara tidak langsung menuturkan cerita itu.
20
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), cet. 1, h. 47. 21 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 158-159. 22 Ibid., h. 159.
20
e. Alur Stanton mengungkapkan, ―Alur adalah keseluruhan sekuen (bagian) peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita, yaitu rangkaian peristiwa yang terbentuk karena proses sebab akibat (kausal) dari peristiwa-peristiwa lainnya.‖23 Abrams menyatakan, ―Alur (Plot), rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.‖24 Sudjiman mengartikan, ―Alur sebagai jalinan peritiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu, jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat).‖25 Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa alur (plot) adalah jalinan peristiwa yang terdapat dalam cerita, yang terdiri dari beberapa tahapan cerita yang satu sama lain saling berkaitan sehingga menjalin satu kesatuan cerita utuh yang dihadirkan oleh tokoh yang terdapat di dalamnya. Alur atau plot cerpen umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak cerpen, juga novel, yang tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca). Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan tokoh dan latar, biasanya tak berkepanjangan. Berhubung berplot tunggal, konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh pun, biasanya, bersifat tunggal pula.26 Aminuddin
membedakan
tahapan-tahapan
peristiwa
atas
pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. a) Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang 23
Heru Kurniawan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012),
h. 69. 24
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 159. Ibid. 26 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h. 12. 25
21
b)
c)
d)
e)
f)
g)
dikenalkan dari tokoh ini, misalnya nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya. Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan. Ada konflik lahir dan konflik batin. Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini, konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh. Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan, yang diikuti oleh krisis atau titik balik. Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian. Saat dalam alur yang ditandai oleh perubahan alur cerita menuju selesainya cerita. Karena setiap klimaks diikuti krisis, keduanya sering disamakan. Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan kearah selesaian. Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama. Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dapat dijelaskan, rahasia dibuka. Ada dua macam selesaian: tertutup dan terbuka. Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.27
f. Tema Brooks dan Warren mengatakan bahwa, ―tema adalah dasar atau makna suatu cerita.‖ Sementara Brooks, Purser, dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa, ―tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra‖28 Aminuddin memaparkan bahwa, ―tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal otak
27 28
Siswanto, op. cit., h. 159 – 160. Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 125.
22
pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.‖29 Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan dasar suatu cerita yang dipaparkan pengarang dalam karya sastra. Tema biasanya berupa pandangan hidup, perasaan, maupun nilai-nilai terkait kehidupan pengarang. Tema dapat digolongkan dalam beberapa kategori yang berbedabeda tergantung dari segi mana penggolongan tersebut dilakukan. Penggolongan tema yang akan dikemukakan berikut dilakukan berdasarkan dua sudut pandang, yaitu penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional dan penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa Shipley.30 Pertama, tema tradisional dan nontradisional. Menurut Meredith dan Fitzgerald, ―Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya ―itu-itu‖ saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya, berbunyi: (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii) setelah menderita, orang baru teringat Tuhan, (iii) atau seperti (pepatah-pantun) berakitrakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Tema-tema tradisonal, walau banyak variasinya, boleh dikatan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan‖31 Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, katakan sesuatu yang bersifat nontradisional. Karena sifatnya yang nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat
29
Siswanto, op. cit., h. 161. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. 8, 2010), h. 77. 31 Ibid. 30
23
melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.32 Kedua, tingkatan tema menurut Shipley. Shipley dalam dictionary of world literature mengartikan tema sebagai wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan—semuanya
ada
lima
tingkatan—berdasarkan
tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ketingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut: a) tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molukel, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.33 b) tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan, khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami-istri, atau skandal-skandal seksual yang lain.34 c) tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksiinteraksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan 32
Ibid. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. 8, 2010), h. 80. 34 Ibid. 33
24
alam, mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan dan berbagai masalah hubungan sosial lainnya.35 d) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa ―menuntut‖ pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya
sebagai
makhluk
individu,
manusia
pun
mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.36 e) tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.37
B. Hakikat Perubahan Arti Aksioma Leibniz menyatakan ―Natura non facit saltus‖, yang berarti ―Alam itu tidak membuat loncatan‖ (artinya, alam itu berubah secara perlahan-lahan).38 Pernyataan tersebut sepenuhnya cocok untuk perubahan arti. Tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu, selalu saja ada 35
Ibid., h. 81. Ibid. 37 Ibid., h. 82. 38 Stephen Ullman, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 263. 36
25
hubungan, ada asosiasi, antara arti lama dan arti baru. Dalam beberapa hal asosiasi itu bisa begitu kuat untuk mengubah arti dengan sendirinya; sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain; tetapi bagaimana pun suatu jenis asosiasi itu akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi itu dapat dianggap sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan arti. Dalam sejarah ilmu semantik, teori asosiasi muncul dalam dua bentuk. Beberapa dari ahli semantik awal mengakui suatu asosiasinisme yang sederhana: mereka mencoba menjelaskan perubahan arti sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri). Pada dekadedekade terakhir, suatu pandangan yang lebih maju, berdasarkan prinsipprinsip struktural, telah meluas; perhatian telah berubah dari kata-kata tunggal menjadi satuan-satuan yang lebih luas, yaitu disebut, ―medan asosiatif‖ (associative fields).39 Dengan teori medan asosiasi sebagai hipotesis kerja, maka perubahan arti dibedakan atas dua kategori, yakni perubahan arti berdasarkan asosiasi antara penangkapan pancaindra, dan perubahan arti berdasarkan asosiasi nama-nama. Masing-masing kategori perubahan arti dibedakan lagi atas dua asosiasi, yakni asosiasi berdasarkan keserupaan (similarity)/metafora dan asosiasi berdasarkan kedekatan (contiguity)/metonimi. Pada penelitian ini, penulis hanya memfokuskan penelitiannya pada asosiasi berdasarkan keserupaan (similarity)/metafora.40 Keserupaan Antararti (Metafora) There are two traditional positions on the role of metaphor in language. The first, often called the classical view since it can be traced back to Aristotle‘s writings‘s on metaphor, sees metaphor as a kind of decorative addition to ordinary plain language; a rhetorical device to be used at certain times to gain certain effects. This view portrays metaphor as something outside normal language and which requires special forms of interpretation from listeners or readers. The second traditional approach to metaphor, often called the Romantic view since it 39 40
Ibid., h. 264. J.D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), 119.
26
is associated with eighteenth-and nineteenth-century Romantic views of the imagination, takes a very different view of metaphor. In this view metaphor is integral to language and thought as a way of experiencing the world. It is evidence of the role of the imagination in conceptualizing and reasoning and it follows that all language is metaphorical. In particular, there is no distinction between literal and figurative language.41 ―Ada dua pandangan tradisional mengenai kedudukan metafora dalam bahasa. Pertama, sering disebut pandangan Klasik karena dapat ditelusuri dalam tulisan-tulisan Aristoteles mengenai metafora. Metafora dilihat sebagai tambahan dekoratif untuk bahasa sederhana, perangkat retoris yang digunakan pada waktu tertentu untuk mendapatkan efek-efek tertentu, pandangan ini menggambarkan metafora sebagai sesuatu di luar bahasa normal dan memerlukan penafsiran khusus dari pendengar atau pembaca. Kedua sering disebut pandangan Romantis karena berkaitan dengan imajinasi yang terjadi pada abad ke 18 dan 19. Metafora dipandang sebagai bagian yang tidak terpisah dari bahasa dan imajinasi berperan dalam konsep dan penalaran untuk memahaminya. Hal ini menunjukkan bahwa semua bahasa adalah metafora. Khususnya, tidak ada perbedaan antara bahasa harfiah dan bahasa kiasan‖ On the traditional view of metaphor, which goes right back to Aristotle, metaphors are principally seen as a matter of (especially literary) usage. On this understanding, metaphors assert a resemblance between two entities. Thus, the metaphor the holiday was a nightmare works because is assert a resemblance or similarity between the holiday and a nightmare. Understanding the meaning of the metaphorical utterance involves identifying things which holidays and nightmares might hold in common, such as being unpleasant.42 ―Pandangan traditional mengenai metafora dikemukakan oleh Aristoteles, metafora dilihat sebagai perkara penggunaan bahasa (terutama dalam sastra). Dalam pemahaman ini, metafora menegaskan kemiripan antara dua entitas. 41 42
p.246.
John I. Saeed, Semantics, (United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd, 2003), p. 346. Nick Riemer, Introducing Semantics, (New York: Camberidge University Press, 2010),
27
Contoh metafora liburan adalah pekerjaan mimpi buruk menegaskan kemiripan/kesamaan antara mimpi buruk dan liburan, yakni sama-sama hal yang tidak menyenangkan‖ Di dalam Webster’s Third New International Dictionary metafora didefinisikan secara tipikal sebagai ―sebuah kiasan yang menggunakan sepatah kata atau frase yang mengacu kepada objek atau tindakan tertentu untuk menggantikan kata atau frase yang lain sehingga tersarankan suatu kemiripan atau analogi diantara keduanya (a figure of speech in which a word or a phrase denoting one kind of object or action is used in place of another to suggest a likeness or analogy between them).‖43 Edi Subroto memaparkan, ―metafora adalah salah satu wujud kreatif bahasa di dalam penerapan maknanya; artinya, berdasarkan kata-kata yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakai bahasa dapat memberi lambang baru pada referen tertentu, baik referen baru itu telah memiliki nama lambang atau belum. Metafora banyak terdapat dalam karya sastra ataupun dalam bidang pemakaian lainnya, misalnya lawak. Manfaat metafora dapat memberi kesegaran dalam berbahasa, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tak bernyawa, menjauhkan kebosanan karena ketunggalnadaan (monoton), dan mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh‖44 Metafora sangat bertali-temali dengan jaringan tutur manusia: sebagai faktor utama motivasi, sebagai perabot ekspresi, sebagi sumber sinonim dan polisemi, sebagai saluran emosi yang kuat, sebagi alat untuk mengisi senjang dalam kosakata, dan dalam beberapa peran yang lain. Struktur dasar metafora itu sangat sederhana. Disana selalu ada dua hal: sesuatu yang sedang kita bicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang kita pakai sebagai bandingan. Dalam terminology Dr. Richards, sesuatu yang kita bicarakan itu tenor (makna atau arah umum) dan bandingannya disebut wahana (vehicle), sedangkan unsur atau unsur-unsur yang biasa mereka 43
Kris Budiman, Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), cet. 1, h. 87. 44 Muna Riswati, ―Perbandingan Variasi Metafora pada Puisi Karya Taufik Ismail dan W. S. Rendra‖, dalam Sumarlam dkk (ed.), Pelangi Nusantara Kajian berbagai Variasi Bahasa, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 189
28
punyai membentuk dasar dari metafora.45 Sebagai contoh, jika berujar ―Fernanado menanduk bola.‖, maka kita sedang berbicara tentang seorang manusia bernama Fernando, yang kita bandingkan atau umpamakan sebagai seekor binatang bertanduk, dan karena itu bisa menanduk, misalnya, kerbau atau sapi. Fernando ialah sesuatu yang kita bicarakan (tenor), dan binatang ialah bandingannya (wahana). Pada keduanya, Fernando dan kerbau, ada unsur umum yang dapat kita bayangkan, yang mengacu pada kesamaan makna, yakni ―suatu tindakan yang menggunakan kepala‖; pada manusia tindakan itu disebut menyundul dan pada kerbau menanduk. Uraian panjang yang bersifat verbal di atas cukup dirumuskan secara singkat-ringkas dalam metafora ―menanduk bola‖, dan itulah terobosan verbal.46 Kesamaan antara tenor dan wahana mungkin ada dua, yakni objektif dan emotif. Contoh di atas adalah kesamaan yang objektif. Kesamaan itu disebut emotif jika misalnya kita bicara tentang pengalaman (kekecewaan) pahit, karena yang ditimbulkan sama dengan rasa pahit. Suatu faktor penting dalam keefektifan metafora adalah jarak antara tenor dengan wahana, atau yang oleh Dr. Sayce disebut ―sudut‖ bayang (angle of the image). Jika dua hal yang dibandingkan sangat berdekatan – misalnya bunga dibandingkan dengan bunga yang lain – maka metafora akan muncul juga tetapi mutu ekspresifnya tidak ada sama sekali. Sebaliknya, jika jarak antara dua objek yang dibandingkan itu cukup jauh, metafora itu makin efektif. Stephen Ullman dalam bukunya berjudul Pengantar Semantik yang diadaptasi oleh Sumarsono membagi metafora menjadi empat macam dari sekian banyak metafora yang diekspresikan oleh manusia dalam bahasa yaitu metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora dari konkret ke abstrak dan metafora sinaestetetik. a. Metafora Antropomorfis Metafora antropomorfis merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa 45 46
Stephen Ullman, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 265. Stephen Ullman, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 266.
29
yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Menurut Ullman dalam Subuki memaparkan bahwa, ―metafora Antropomorfis mengacu pada jenis metafora yang mengalihkan aktivitas dan sifat manusia kepada benda selain manusia.‖47 Pecs Jelentestan mengemukakan bahwa salah seorang pemikir yang memerhatikan metafora jenis ini adalah filosof Italia abad ke- 18, Giambattista Vico. Dalam tulisannya berjudul Scienza Nuova, yang dikutip oleh Gombocz, ia mengatakan, ―dalam semua bahasa sebagian besar ekspresi yang mengacu kepada benda-benda tak bernyawa dibandingkan dengan cara pengalihan (transfer) dari tubuh dan anggota badan manusia, dari indera dan perasaan manusia.‖48 Kecenderungan ini dibuktikan dalam berbagai bahasa dan peradaban, dan terletak pada akar ekspresi yang tak terhitung jumlahnya dalam pemakaian. Contoh seperti ungkapan punggung bukit, mulut sungai, mulut gua, kaki gunung, bahu jalan, dan jantung kota. Hal yang sebaliknya, yaitu metafora yang mengalihkan sifat benda kepada manusia, dapat juga berlaku. Akan tetapi jenis metafora ini tidak seproduktif metafora antropomorfis. Dalam terminology Sperber, tubuh manusia itu adalah pusat perluasan metafora dan pusat atraksi yang kuat. Tetapi secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa metafora yang berasal dari cara ini (yaitu dari manusia ke benda tak bernyawa) tampaknya lebih umum dibandingkan dengan yang sebaliknya (ke arah manusia).49 b. Metafora Binatang Sumber utama imajinasi atau metafora yang lain adalah dunia binatang. Ullman dalam Subuki memaparkan, ―metafora binatang mengacu kepada aktivitas atau sifat binatang yang dialihkan ke selain binatang‖.50 Metafora jenis ini bergerak dalam dua arah utama. Sebagian
47
Makyun Subuki, Semantik Pengantar Memahami makna, (Jakarta: Transpustaka, 2011),
h. 112. 48
Ullman, op. cit., h. 267. Ibid. 50 Subuki, op. cit., h. 113. 49
30
diterapkan untuk binatang atau benda tak bernyawa. Banyak tumbuhan menggunakan nama binatang misalnya ada lidah buaya, kumis kucing, kuping gajah dan cocor bebek. Selain pada tumbuhan, metafora binatang juga dapat kita jumpai dalam makanan. Di Indonesia kita mengenal telur mata sapi. Selain itu, dapat kita jumpai seperti fondasi ceker ayam, rambut ekor kuda, si jago merah (untuk api).51 Selain properti dari binatang, ada juga aktivitas binatang yang digunakan untuk selain binatang (manusia) di mana ada konotasi humor, ironis, pejoratif (melemahkan nilai) atau fantastik. Seseorang dapat disebut pembeo, pengekor, karena watak atau perilakunya seperti binatang atau bagian dari tubuh binatang tersebut. Tindakan orang juga bisa diserupakan dengan tindakan binatang. Dalam bahasa Indonesia ada istilah membeo, membabi buta, membebek dengan awalan me- dalam arti ‗berbuat atau bertingkah laku seperti‘. Ada pula ungkapan seperti si macan bola, si jago tembak, disamping kata atau ungkapan seperti mengoceh (untuk orang yang banyak bicara), menggerogoti uang Negara (kata menggerogoti biasa untuk bajing, tikus), menggondol piala, nyengir kuda, kata-katanya masih menyengat, menanduk bola, mengais rejeki.52 Benda-benda tak bernyawa juga ada yang bisa bertingkah, dan tingkah ini dimetaforakan dengan sumber binatang: truk itu menyeruduk mobil dari belakang, panas matahari yang menyengat, generasi muda telah mengeluarkan kreativitasnya53. Dalam hal ini, kita dapat katakan bahwa sifat dan aktivitas binatang digunakan dalam arti yang lebih luas dari yang dikandungnya secara mendasar. Dalam kalimat lain, dapat kita katakan bahwa arti dari kata-kata tersebut telah mengalami perluasan.54 c. Metafora dari konkret ke abstrak Salah satu kecenderungan dasar dalam metafora adalah menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret. Transfer 51
Ullman, op. cit., h. 268 Ibid. 53 Ibid. 54 Subuki, loc. cit. 52
31
semacam ini terjadi sepanjang waktu; dan rasanya tak akan mungkin membicarakan hal yang abstrak tanpa menjamah transfer-transfer (dari yang konkret tersebut).55 Metafora-metafora bahasa Inggris, dapat diambil sebagai contohnya, yakni yang berhubungan dengan light ‗sinar, cahaya; lampu‘. Begitu banyak ungkapan metaforis yang menggunakan kata light dengan berbagai cirinya yang melekat. Jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia, kondisinya sama juga. Artinya, dari kata sinar, cahaya, lampu (termasuk sulut, pelita) yang konkret kita temukan banyak ungkapan metaforis yang abstrak. Misalnya, sorot mata,sinar mata, sinar wajah, hidupnya sedang bersinar dan senyumnya berseri56. d. Metafora Sinaestetik Sinaestetik atau yang biasa disebut dengan sinestesia adalah istilah yang digunakan untuk perubahan makna akibat pertukaran indra. Kata sinaestesi berasal dari Yunani sun ‗sama‘ ditambah aisthetikos ‗nampak‘.57 Ullman dalam Subuki memaparkan, ―Metafora sinaestetik mengacu kepada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra, misalnya dari penglihatan ke pendengaran, dari sentuhan ke penglihatan, dan dari pendengaran ke sentuhan misalnya penglihatan ke pendengaran, dari sentuhan ke penglihatan, dan dari pendengaran ke sentuhan.‖58 Dari teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa metafora sinaestetik atau sinestesia adalah perubahan arti yang disebabkan oleh pertukaran tanggapan atau pemakaian aktivitas atau sifat antar indra dalam memaparkan sesuatu. Indra kita yang lima jumlahnya yang lazim disebut pancaindra mempunyai tugas masing-masing. Mata mempunyai tugas untuk melihat. Berkaitan dengan tugas melihat itu dapat dilakukan dengan jalan menatap, melotot, menonton, dan melirik. Hidung bertugas untuk membau. Melalui
55
Ullman, op. cit., h. 268-269. Ibid., h. 269. 57 Novi Resmini, Iyos A. Rosmana dan Basyuni, Kebahasaan (Fonologi, Morfologi, dan Semantik), (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 289. 58 Makyun Subuki, Semantik, (Jakarta: Transpustaka, 2011), h. 113. 56
32
mata dapat diketahui suatu bentuk yang indah atau jelek, beraneka warna, dan berbagai gerak. Tugas membau itu dapat dilakukan dengan mengidu dan mencium. Lidah bertugas untuk mencecap sehingga dapat diketahui berbagai rasa, misalnya manis, pedas, masam, asin, pahit, dan lain-lain. Kulit bertugas untuk meraba sehingga diketahui keadaan halus, lembut, kasar, licin, dingin, panas, dan lain-lain. Telinga bertugas untuk mendengar suara yang merdu, sumbang, keras, dan lemah.59 Suatu jenis pengkhususan adalah
penggunaan
dalam memilih kata-kata yang tepat
istilah-istilah
yang
menyatakan
pengalaman-
pengalaman yang dicerap oleh pancaindra, yaitu cerapan indra penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pencium karena kata-kata ini menggambarkan pengalaman manusia melalui pancaindra yang khusus, maka terjamin pula daya gunanya, terutama dalam membuat deskripsi. Dalam bahasa Indonesia terdapat kata manis. Kata ini berhubungan dengan indra perasa. Tetapi kalau orang berkata ―Rupanya manis sekali,‖ atau ―Penampilannya manis sekali,‖ atau ―Bajunya manis sekali,‖ atau ―Orangnya hitam manis‖, maka kata manis pada kalimat-kalimat di atas tidak berhubungan dengan indra perasa lagi, tetapi sudah dihubungkan dengan indra penglihatan. Maknanya tidak berhubungan dengan nilai rasa, tetapi cantik, menarik, komposisi baju yang cocok.60
C. Penelitian yang Relevan Penelitian terkait metafora pernah dilakukan oleh Sarwo Indah Wigati, program studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2003 dengan judul ―Tuturan Metaforis dalam Lirik Lagu-lagu Ebiet G. Ad‖. Penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk-bentuk metafora dari segi wujud penulisan, ekologi (ruang persepsi manusia) dan tingkat keekspresifannya. Teknik analisis yang digunakan penulis ditinjau dari segi sintaksis, semantik dan ekologi. Secara sintaksis, 59
Ngusman Abdul Manaf, Semantik Bahasa Indonesia, (Padang: UNP Press Padang, 2010), h.109-110. 60 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), h. 175.
33
tuturan metaforis dikelompokkan berdasarkan bentuknya yakni kelompok kata (frase), metafora klausa, dan metafora kalimat. Secara semantik, untuk mengetahui makna yang terdapat di dalam lirik lagu dan ditinjau secara ekologi (ruang persepsi manusia), untuk mengetahui ekologi berdasarkan kategori tertentu dalam lirik lagu-lagu karya Ebiet G. Ade (Album 19972001) hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi wujud penulisan, banyak ditemukan metafora berbentuk klausa dan dilihat dari jenis metafora kaitannya dengan ekologi menunjukkan adanya ketidakseimbangan sistem ekologi hal ini ditunjukkan dari banyaknya penggunaan metafora manusia sebanyak 53 buah (35, 55 %). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sarwo Indah Wigati, jika dibandingkan dengan penelitian yang peneliti lakukan dapat diketahui bahwa adanya perbedaan objek penelitian yakni lirik lagu sedang objek yang peneliti ambil adalah kumpulan cerpen. Isi dari penelitian pun berbeda, pada penelitian yang dilakukan oleh Sarwo Indah Wigati mendeskripsikan ragam perubahan arti metaforis berdasarkan bentuk-bentuk metafora dari segi wujud penulisan, ekologi (ruang persepsi manusia) dan tingkat keekspresifannya sedangkan isi dari penelitian yang peneliti lakukan hanya meliputi ragam perubahan arti metaforis tanpa mengelompokkannya berdasarkan wujud penulisan. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menunjukkan salah satu ragam perubahan arti metaforis yang dominan pada bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen. Penelitian selanjutnya terkait metafora juga dilakukan oleh Fanny Fajarianti program studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Depok tahun 2008 dengan judul ―Metafora dalam Komik‖. Penelitian ini menganalisis jenis-jenis metafora yang digunakan dalam komik Prancis, yang terdiri dari 12 judul dari komik yang berbeda seperti aventure humoristique ‗petualangan lucu‘, western dan humour ‗humor‘. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jenis metafora yang dominan dalam komik tersebut adalah metafora konkret ke abstrak, hal ini ditunjukan dari porsentase yang diperoleh sebanyak 40% (17 buah).
34
Dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat diketahui perbedaan dari objek penelitian yang digunakan. Objek pada penelitian Fanny Fajarianti adalah komik sedangkan pada peneliti adalah kumpulan cerpen. Hasil penelitian pun terkait kesamaan menganalisis metafora menunjukkan perbedaan, pada penelitian yang dilakukan oleh Fanny Fajarianti menunjukkan ragam perubahan arti metaforis berupa konkret ke abstrak lebih dominan digunakan yakni sebanyak 17 buah (40%) sedangkan hasil dari penelitian yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa metafora antropomorfis lebih dominan daripada metafora lain yang digunakan oleh Dewi Lestari dalam kumpulan cerpennya yakni sebanyak 19 buah. Penelitian terkait metafora juga pernah dilakukan oleh Dedy Rahmad Sitinjak, mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Melayu Fakultas Ilmu Budaya Departemen Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2012 dengan judul ―Metafora dalam Peribahasa Bahasa Melayu Dialek Batubara‖ penelitian dilakukan pada peribahasa bahasa melayu yang digunakan oleh penduduk batubara. Analisis dilakukan berdasarkan makna, fungsi, dan tujuan yang ada pada peribahasa tersebut. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa metafora yang digunakan dalam peribahasa melayu yang ada di masyarakat batubara meliputi metafora antropomorfik, hewan, bercitrakan abstrak ke konkrit, dan bercitra sinaestesia. Fungsi estetika yang terdapat di dalamnya meliputi estetika kesenian, moral, etika dan budaya. Perbedaan dari penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah objek penelitiannya, objek pada penelitian Dedy Rahmad Sitinjak adalah peribahasa bahasa melayu berupa dialek yang digunakan oleh masyarakat batubara sedangkan objek yang digunakan oleh peneliti berupa kumpulan cerpen. Selain objek, analisis yang dilakukan pun terdapat perbedaan. Analisis metafora pada peribahasa bahasa melayu berupa dialek yang dilakukan oleh Dedy berdasarkan makna, fungsi dan tujuan peribahasa sedangkan
analisis
metafora
yang
dilakukan
oleh
peneliti
adalah
mendeskripsikan ragam perubahan arti yang terdapat dalam kumpulan cerpen.
BAB III HASIL PENELITIAN A. Biografi Dewi Lestari Dewi Lestari lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Ia merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Ia terlahir dari keluarga yang menurutnya “Batak banget”. Sang ayah, Yohan Simangunsong merupakan anggota militer yang memiliki ketertarikan besar pada seni dan jago bercerita. Sementara ibunya, Tiurlan Siangin, adalah ibu rumah tangga yang sistematis, intelektual, dan strict.1 Nama Dee melambung bersama Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, karya fiksi hasil produksinya sendiri pada 2001. Fiksi perdananya itu dinominasikan dalam KLA (Khatulistiwa Literary Award) 2002 bersama karya-karya sastrawan senior, seperti Danarto (Setangkai Melati disayap Jibril), Dorothea Rosa Herliany (Kill The Radio), Sutardji Calzoum Bachri (Hujan Menulis Ayam), dan Hamzad Rangkuti (Sampah Bulan Desember).2 Kumpulan cerpen dan prosa bertajuk Filosofi Kopi merupakan karya Dee selanjutnya. Rico de Coro, salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen dan prosa bertajuk Filosofi Kopi merupakan salah satu dari dua skenario yang akan divisualkan sebagai film animasi.3 Dewi adalah penulis yang berani mempertahankan karakternya dan berhasil mengeksplorasi bahasa Indonesia untuk persoalan-persoalan baru dengan tidak memedulikan perdebatan karyanya Dewi terus menulis untuk memenuhi hasrat berekspresi. Kini, Dewi sedang berproses memantapkan posisinya di dunia Sastra Indonesia.4
1
Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan, My Life As Writter, (Jakarta: PlotPoint, 2013), h. 87. 2 Anonim, Harian Republika, “Selebritis Rama-ramai Bikin Buku”, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Minggu, 04 Juli 2004) 3 Anonim, Harian Kompas, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Minggu, 22 Januari 2006) 4 Anonim, Harian Media Indonesia, “Inspiring Woman”, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Minggu, 02 Februari 2005)
35
36
Dee dulu dikenal sebagai salah satu personel trio penyanyi Rita Sita Dewi (RSD) karena sejak kecil, Dewi Lestari aktif dalam paduan suara oikumene, Glorify Lord Ensemble di gereja HKBP Bandung namun, Dewi lebih dulu akrab dengan tulis-menulis yang telah dimuat di majalah dan bulletin sekolahnya, SMAN 2 Bandung.5 Sebelum bergabung dengan trio RSD (Rita, Sita, Dewi), Dewi pernah menjadi backing vocal Iwa K, Java Jive, dan Chrisye. Tidak heran Dewi mempunyai kelebihan dibandingkan dengan vokalis-vokalis grup lain. Selain terampil bermain piano, dia juga pandai menulis. Itulah sebabnya lagu ciptaan Dewi berlirik puitis, ini dipengaruhi oleh kegemarannya menulis cerpen dan novel. Sayangnya vokal Rita Sita Dewi (RSD) bubar pada tahun 2003 setelah menghasilkan empat album, yaitu Antara Kita (1995), Bertiga (1997), Satu (1999) dan The Best of Rita Sita Dewi (2002).
B. Analisis Data Berdasarkan hasil analisis sementara melalui membaca semua kumpulan cerita pendek yang terkumpul dalam satu buku berjudul Filosofi Kopi karangan Dewi Lestari, yang terdiri dari 18 cerita pendek yakni: Filosofi Kopi, Mencari Herman, Surat yang Tak Pernah Sampai, Salju Gurun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Sikat Gigi, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Sepotong Kue Kuning, Diam, Cuaca, Lara Lana, Lilin Merah, Spasi, Cetak Biru, Buddha Bar dan Rico de Coro ditemukan 44 penggunaan bahasa yang mengalami perubahan arti metaforis, yakni perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity)/metafora. Perubahan arti metaforis terdiri dari empat perubahan arti, yakni antropomorfis, binatang, konkret ke abstrak dan sinaestetik. Pada bab hasil penelitian ini, peneliti akan menganalisis perubahan arti yang terdapat dalam kumpulan cerita pendek secara berkelompok. Maksudnya, peneliti akan menganalisis perubahan arti berdasarkan referen yang ada. Urutan referen pada bab analisis ini dimulai dari metafora antropomorfis, metafora 5
Anonim, Harian Media Indonesia, “Dewi Lestari Karya besar dan Kodrat Ibu”, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Minggu, 10 April 2005), h. 12.
37
binatang, metafora konkret ke abstrak dan metafora sinaestetik. Analisis yang peneliti lakukan sebagai berikut: 1. Metafora Antropomorfis 1) Sementara di pusat orbit sana, Ben mengoceh tanpa henti6 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat sementara di pusat orbit sana, Ben mengoceh tanpa henti terdapat frasa pusat orbit yang perlu digarisbawahi. Jika ditelaah artinya dari tiap kata dapat diketahui sebagai berikut, kata pusat dalam KBBI memiliki arti tempat yang letaknya di bagian tengah7, kata orbit dalam KBBI memiliki arti jalan yang dilalui oleh benda langit dl peredarannya mengelilingi benda langit lain yang lebih besar gaya gravitasinya.8 Dalam ilmu pengetahuan alam, benda langit yang lebih besar gaya gravitasinya, berada di tengah/menjadi pusat dan dikelilingi oleh benda langit lain dalam tata surya adalah matahari. Hal ini menunjukkan bahwa kalimat di atas mengumpamakan Ben seperti matahari (berada di pusat/tengah dan dikelilingi oleh planet lain). Ben berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan matahari berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, Ben dan matahari terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “Posisi atau letak yang berada ditengah dan dikelilingi oleh sesuatu yang lain”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat sementara di pusat orbit sana, Ben mengoceh tanpa henti terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan sifat benda kepada manusia.
6
Dewi Lestari, Filosofi Kopi, (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2012), Cet. 1, h. 3. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. 1, h. 1120. 8 Ibid., h. 987. 7
38
Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (berada di tengah). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda yakni manusia dan matahari. Kalimat Sementara di pusat orbit sana, Ben mengoceh tanpa henti mengumpamakan Ben seperti matahari (berada di pusat/tengah dan dikelilingi oleh planet lain). Konteks dari kalimat tersebut dalam cerpen menggambarkan kejadian yang menerangkan bahwa Ben, adalah peramu kopi (barista) terhandal. Dia sangat mencermati betul setiap detail yang berkaitan dengan kedai dan racikan kopinya. Hal ini terbukti dari peletakan ruang untuk meramu kopi (bar) yang diletakkan di tengah pengunjung kedai. Ini dilakukan karena Ben ingin lebih dekat dengan pengunjung serta menciptakan suasana ngopi-ngopi yang istimewa. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen yakni, bar merupakan (latar tempat) yang digunakan pengarang dalam memaparkan aktivitas Ben (mengoceh). Ben merupakan (tokoh utama) hal ini ditunjukkan dari pengarang yang menceritakan aktivitas Ben dalam membangun kedai kopi yang menunjukkan serba tahu, maka dapat diketahui bahwa sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerita berupa (tokoh bawahan menuturkan cerita tokoh utama). Konteks pada bagian ini juga secara tidak langsung menggambarkan alur berupa (pengenalan) dimana Ben, digambarkan sebagai seseorang yang memiliki sifat teliti dalam melakukan sesuatu. 2) “Kopi itu sangat berkarakter.” Kudengar sayup-sayup Ben Berkata kepada salah satu pengunjung perempuan yang duduk di bar9 Analisis:
9
Lestari, op. cit., h. 4.
39
Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat Kopi itu sangat berkarakter terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata berkarakter. Kata dasar dari berkarakter adalah karakter dalam KBBI memiliki arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak,10 kemudia kata karakter mendapat imbuhan ber- menjadi berkarakter memiliki arti memiliki karakter; mempunyai kepribadian; berwatak.11 Kalimat di atas mengumpamakan kopi seperti manusia (memiliki sifat, tabiat dan watak yang menjadi ciri khas). Kopi adalah sesuatu yang dibicarakan (tenor) dan manusia merupakan sesuatu yang dijadikan sebagai bandingannya (wahana). Pada keduanya, kopi dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “ciri khas yang dapat dibedakan dengan yang lainnya”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat Kopi itu sangat berkarakter terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (kopi). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (memiliki ciri khas yang dapat dibedakan dengan yang lainnya). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda yakni manusia dan kopi. Konteks yang dihasilkan dari kalimat “Kopi itu sangat berkarakter.” Kudengar sayup-sayup Ben Berkata kepada salah satu pengunjung perempuan yang duduk di bar dalam cerpen adalah Ben dalam meramu kopi tidak hanya sekedar meramu atau mengecap rasanya saja tetapi Ben juga merenung tentang kopi yang telah dibuatnya sehingga dari situ dia 10 11
Depdiknas, op. cit., h. 623. Ibid.
40
mengetahui ciri dan arti dari setiap jenis kopi, hal itulah yang membuat Ben menciptakan satu filosofi yang menjadi ciri khas dari setiap jenis kopi. Melalui pengalamannya tentang kopi, Ben ingin membaginya dengan para pengunjung kopi termasuk perempuan yang memesan kopi di bar. Dari pemaparan tersebut diketahui unsur intrinsik cerpen yang terdapat di dalamnya yakni bar tempat perempuan memesan kopi sekaligus Ben meramu kopi merupakan (latar tempat) terjadinya cerita. (Tokoh utama) dalam cerpen adalah Ben, hal ini ditunjukkan dari seringnya pencerita menceritakan keadaan Ben. Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen adalah (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama). 3) Anda tahu, cappucino ini kopi paling genit12 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Dari kalimat Anda tahu, cappucino ini kopi paling genit terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata genit. Kata genit dalam KBBI memiliki arti bergaya-gaya (tingkah lakunya); banyak tingkahnya; keletah,13 maka kalimat di atas mengumpamakan kopi cappucino seperti manusia (banyak gaya/tingkah). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa kopi cappucino merupakan hal yang sedang dibicarakan (tenor) sedangkan manusia merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, kopi cappucino dan manusia terdapat kesamaan umum berupa “usaha untuk menampilkan diri agar terlihat menarik”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat Anda tahu, cappucino ini kopi paling genit terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan sifat manusia kepada benda selain manusia (kopi).
12 13
Lestari, op. cit., h. 4. Depdiknas, op. cit., h. 440.
41
Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (usaha menampilkan diri agar terlihat menarik). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan kopi. Konteks dari kalimat Anda tahu, cappucino ini kopi paling genit merujuk pada konteks yang terdapat pada nomor 2 yakni Ben dalam meramu kopi tidak hanya sekedar meramu atau mengecap rasanya saja tetapi Ben juga merenung tentang kopi yang telah dibuatnya sehingga dari situ dia mengetahui ciri dan arti dari setiap jenis kopi. Hal itulah yang membuat Ben menciptakan satu filosofi yang menjadi ciri khas dari setiap jenis kopi. Melalui pengalamannya tentang kopi, Ben ingin membaginya dengan para pengunjung kopi termasuk perempuan yang memesan kopi di bar yang memesan cappucino menandakan bahwa pemesannya menyukai kelembutan dan keindahan hal ini senada dengan arti dari kopi cappucino teksturnya lembut dan tidak sembarangan dalam penyajiannya (rapi). Dari pemaparan tersebut diketahui unsur intrinsik cerpen yang terdapat di dalamnya yakni bar tempat perempuan memesan kopi sekaligus Ben meramu kopi merupakan (latar tempat) terjadinya cerita. (Tokoh utama) dalam cerpen adalah Ben, hal ini ditunjukkan dari seringnya pencerita menceritakan keadaan Ben. Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerita memposisikan dirinya serba tahu (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama). 4) “Bagaimana dengan kopi tubruk?” seseorang bertanya iseng. “Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam,”14 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat 14
Lestari, op. cit., h. 5
42
“Bagaimana dengan kopi tubruk?” seseorang bertanya iseng. “Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam,” terdapat dua kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata lugu dan kata sederhana. Kata lugu dalam KBBI memiliki arti tidak banyak tingkah; bersahaja; sewajarnya; apa adanya.15 Kata sederhana dalam KBBI artinya adalah bersahaja; tidak berlebih-lebihan,16 maka kalimat di atas mengumpamakan kopi tubruk seperi manusia (sederhana, tidak berlebihlebihan dan apa adanya). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa kopi tubruk merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan manusia merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, kopi tubruk dan manusia terdapat kesamaan umum berupa “kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan dalam penampilan”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat “Bagaimana dengan kopi tubruk?” seseorang bertanya iseng. “Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam,” terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan sifat manusia kepada benda selain manusia (kopi). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan dalam proses atau cara menampilkan). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan kopi. Konteks dari kalimat “Bagaimana dengan kopi tubruk?” seseorang bertanya iseng. “Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam,” adalah masih merujuk pada nomor 2, selain pada perempuan yang memesan cappucino, Ben juga ingin membagi pengalamannya bersama seorang pengunjung yang tiba-tiba bertanya 15 16
Depdikna, op. cit., h. 845. Ibid., h. 1238.
43
mengenai kopi tubruk bahwa penghidangan kopi tubruk memang tidak secermat dan seapik kopi cappucino tapi ada hal yang akan membuat penikmat kopi kagum jika dia tau cara menikmati kopi tubruk. Meskipun penghidangannya sederhana, kelebihan dari kopi tubruk akan terasa saat penikmatnya mencium aroma dari kopi tubruk sebelum meminumnya. Dari pemaparan tersebut diketahui unsur intrinsik cerpen yang terdapat di dalamnya yakni bar tempat seorang pengunjung memesan kopi tubruk sekaligus Ben meramu kopi merupakan (latar tempat) terjadinya cerita. (Tokoh utama) dalam cerpen adalah Ben, ini ditunjukkan dari seringnya pencerita menceritakan keadaan Ben. Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerita memposisikan dirinya serba tahu (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama).
5) Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar membuatnya pun sangat cepat17 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Dari kalimat Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar membuatnya pun sangat cepat terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni tidak peduli penampilan. Jika diteliti perkata, memiliki arti sebagai berikut: kata tidak dalam KBBI merupakan
partikel
untuk
menyatakan
pengingkaran;
penolakan;
penyangkalan dan sebagainya.18 Kata peduli dalam KBBI memiliki arti megindahkan;
memperhatikan;
menghiraukan.19
Kata
dasar
dari
penampilan adalah kata tampil dalam KBBI memiliki arti menampakkan diri; muncul, kemudian kata tampil mendapat imbuhan peN- menjadi penampil
memiliki
arti
orang
yang
menampilkan,
orang
yang
mempertontonkan, kemudian kata penampil mendapat akhiran –an
17
Lestari, op. cit., h. 5. Depdiknas, op. cit., h. 1460. 19 Ibid., h. 1036. 18
44
menjadi penampilan memiliki arti proses, cara, perbuatan menampilkan.20 Kalimat di atas mengumpamakan kopi tubruk seperti manusia (tidak memedulikan penampilannya). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa kopi tubruk merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan manusia merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, kopi tubruk dan manusia terdapat kesamaan umum berupa “tidak memedulikan penampilan”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar membuatnya pun sangat cepat terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (kopi). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (tidak memedulikan penampilan). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan kopi. Konteks dari kalimat Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar membuatnya pun sangat cepat merujuk pada nomor 4. 6) Kopi ini bertuliskan: “KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:….” Dan keterangan filosofinya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkan harap untuk menjalani hari21 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat Kopi ini bertuliskan: “KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:….” Dan keterangan filosofinya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, 20 21
Ibid., h. 1389. Lestari, op. cit., h. 7-8.
45
bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkan harap untuk menjalani hari. Terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata menyumbangkan. Kata dasar dari kata menyumbangkan adalah kata sumbang dalam KBBI memiliki arti beri, kemudian mendapat imbuhan meN- menjadi menyumbang memiliki arti memberikan sesuatu kepada orang yang sedang mengadakan pesta dan sebagainya sebagai sokongan, turut membantu (menyokong) dengan tenaga, pikiran, dan sebagainya kemudian kata menyumbang mendapat akhiran –kan menjadi menyumbangkan memiliki arti memberikan sesuatu sebagai bantuan (pada pesta perkawinan dan sebagainya); memberikan bantuan atau sokongan (kepada).22 Kalimat di atas mengumpamakan kartu kecil yang dibagikan kepada pengunjung kopi seperti manusia (dapat memberikan bantuan kepada orang lain). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa kartu kecil merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan manusia merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, kartu kecil dan manusia terdapat kesamaan umum berupa “memberikan bantuan”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Kopi ini bertuliskan: “KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:….” Dan keterangan filosofinya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkan harap untuk menjalani hari terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (kartu kecil). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (memberikan bantuan). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan kartu kecil.
22
Depdiknas, op. cit., h. 1352.
46
Konteks dari kalimat Kopi ini bertuliskan: “KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:….” Dan keterangan filosofinya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkan harap untuk menjalani hari adalah Ben melakukan pembaharuan terhadap kedainya yakni dengan membuat kartu kecil berisi nama kopi yang dipesan serta keterangan filosofinya. Kartu tersebut dibagikan kepada pengunjung kopi sebagai gambaran jati diri. Unsur intrinsik yang terdapat dari pemaparan tersebut berupa (latar tempat) yakni kedai kopi.
7) Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu23 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata tonjokan. Kata dasar dari kata tonjokan adalah kata tonjok dalam KBBI memiliki arti tinju, kata tonjok mendapat akhiran –an menjadi tonjokan memiliki arti hasil menonjok; tinjuan; pukulan.24 Kalimat di atas mengumpamakan kafein atau cerita Ben seperti manusia (dapat memukul orang lain sehingga meninggalkan bekas). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa kafein atau cerita Ben merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan manusia merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, kafein atau cerita Ben dan manusia terdapat kesamaan umum berupa “memberi bekas/berbekas”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu terdapat perubahan metaforis berupa antropomorfis, yakni
23 24
Lestari, op. cit., h. 9. Depdiknas, op. cit., h. 1480.
47
metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (kafein/cerita Ben). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (memberi bekas/ berbekas). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan kafein. Konteks dari kalimat Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu adalah Ben dan Jody, rekan kerjanya sedang menikmati secangkir kopi di bar saat larut malam kemudian Ben bercerita bahwa dirinya mendapat tantangan dari seorang lelaki parlente yang berumur di bawah 30 tahun untuk membuat kopi dengan rasa sempurna. Kopi tersebut dapat membuat peminumnya merasa takjub dan berkata “hidup ini sempurna”, mendengar cerita tersebut Jody merasa pening. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen yakni larut malam menerangkan (latar waktu) terjadinya percakapan antara Ben dan Jody sedangkan bar merupakan (latar tempat) terjadinya peristiwa tersebut. 8) Jakun bapak bergerak gugup25 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat Jakun bapak bergerak gugup terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni frasa bergerak gugup. Jika diteliti perkata, memiliki arti sebagai berikut: kata gerak merupakan kata dasar dari bergerak dalam KBBI memiliki arti peralihan tempat atau kedudukan, baik hanya sekali atau berkali-kali.26 Kata gerak mendapat imbuhan ber- menjadi bergerak dalam KBBI 25 26
Lestari, op. cit., h. 16. Depdiknas, op. cit., h. 443.
48
memiliki arti berpindah dari tempat atau kedudukan (tidak diam saja).27 Kata gugup dalam KBBI memiliki arti berbuat atau berkata dl keadaan tidak tenang; gagap; sangat tergesa-gesa; bingung.28 Kalimat di atas mengumpamakan jakun seperti manusia (bergerak secara berpindahpindah/beralih dari tempatnya semula karena merasa tidak nyaman). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa jakun merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan manusia merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, jakun dan manusia terdapat kesamaan umum berupa “beralih dari tempat semula karena merasa tidak nyaman”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Jakun bapak bergerak gugup terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan sifat manusia kepada benda selain manusia (jakun). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (bergerak secara berpindah-pindah karena merasa tidak nyaman). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan jakun. Konteks kalimat Jakun bapak bergerak gugup dalam cerpen adalah bapak pengunjung kedai kopi merasa tersudut ketika Ben mencecarnya dengan pertanyaan bahwa ada kopi lain yang rasanya lebih nikmat dibandingkan ben’s perfecto, kopi ternikmat yang ada di kedai Filosofi Kopi. Unsur intrinsik cerpen dari konteks tersebut adalah kedai merupakan (latar tempat) dalam peristiwa tersebut.
27 28
Ibid., h. 444. Ibid., h. 464.
49
9) Benlah sesungguhnya tungku tempat ini29 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat Benlah sesungguhnya tungku tempat ini terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni tungku. Kata tungku dalam KBBI memiliki arti batu dan sebagainya yang dipasang untuk perapian (dapur), tempat tumpuan periuk dan sebagainya waktu memasak, dapur (perapian) terbuat dari baja dan sebagainya untuk menjerangkan atau memasak sesuatu; batu tungku.30 Kalimat di atas mengumpamakan Ben seperti tungku perapian (dapat dijadikan tumpuan). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa Ben merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan tungku merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, Ben dan tungku terdapat kesamaan umum berupa “menjadi tumpuan”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Benlah sesungguhnya tungku tempat ini terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan sifat benda kepada manusia. Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (menjadi tumpuan). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan tungku. Konteks dari kalimat Benlah sesungguhnya tungku tempat ini adalah banyaknya surat, kiriman bunga bahkan kucuran dana yang datang ke kedai. Hal ini dikarenakan banyaknya pengunjung yang penasaran dan menanyakan kabar Ben serta perkembangan kedai yang akhir-akhir ini tutup. Padahal tiap malam Ben ada di kedai, tetapi dia tidak mau lagi 29 30
Lestari, op. cit., h. 25. Depdiknas, op. cit., h. 1505.
50
berurusan dengan kopi hal ini dikarenakan kekecewaannya terhadap dirinya sendiri yang mengaku barista terhandal yang mampu membuat kopi ternikmat, padahal tidak. Unsur intrinsik cerpen dari pemaparan tersebut adalah kedai merupakan (latar tempat) terjadinya peristiwa. Pada bagian ini konteks cerita dari Filosofi Kopi menggambarkan tahapan alur ke arah (krisis) dimana Ben yang menjadi tumpuan kedai mengalami penurunan semangat untuk meramu dan berdiskusi dengan para penikmat kopi.
10) Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa31 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa terdapat frasa putus asa yang perlu digarisbawahi. Jika ditelaah artinya dari tiap kata dapat diketahui sebagai berikut, kata putus dalam KBBI memiliki arti tidak berhubungan (bersambung) lagi (karena terpotong dan sebagainya), habis, selesai; rampung; berakhir.32 Kata asa dalam KBBI juga memiliki arti harap (an); semangat,33 sehingga jika kata putus disandingkan dengan kata asa, menjadi frasa putus asa memiliki arti habis (hilang) harapan, tidak mempunyai harapan lagi. Kalimat di atas mengumpamakan nyamuk seperti manusia (tidak memiliki harapan akan sesuatu hal). Nyamuk berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan manusia berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, nyamuk dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “tidak mendapatkan yang diinginkan”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui 31
Lestari, op.cit., h. 45. Depdiknas, op.cit., h. 1124. 33 Ibid., h. 89. 32
51
bahwa pada kalimat Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan sifat manusia kepada benda selain manusia (nyamuk). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa emotif,
membicarakan
mengenai
kesamaan
pengalaman
(tidak
mendapatkan yang diinginkan). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan binatang (nyamuk). Kontek kalimat Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa dalam cerpen berjudul Surat yang Tak Pernah Sampai adalah saat malam datang, tokoh kamu merasa tersiksa akibat perpisahannya dengan kekasihnya. Kesedihan itu semakin terasa ketika tokoh kamu melihat lagi foto, tulisan-tulisan serta kenangan diantara mereka. Unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita ini adalah, malam merupakan (latar waktu) terjadinya peristiwa tokoh kamu merasa sedih dan tokoh kamu merupakan (tokoh utama), hal ini dikarenakan tokoh kamu merupakan fokus dalam cerita sehingga dari sini dapat diketahui sudut pandang yang digunakan pengarang yakni (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama) yang memposisikan dirinya serba tahu mengenai tokoh kamu. 11) Tiap rintik menusuk bagai pisau34 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat tiap rintik menusuk bagai pisau terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata menusuk. Kata dasar dari kata menusuk adalah tusuk dalam KBBI memiliki arti memasukkan (dengan cara menikamkan) suatu benda yang 34
Lestari, op.cit., h. 82.
52
runcing (jarum, pisau dan sebagainya) ke benda lain; cocok. Kata tusuk mendapat imbuhan meN- menjadi menusuk memiliki arti mencocok dengan barang yang runcing; mencoblos, menikam.35 Kalimat di atas mengumpamakan rintik hujan seperti manusia (membuat orang lain merasa sakit akibat sesuatu). Rintik hujan berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan manusia berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, rintik hujan dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “membuat orang lain merasa sakit akibat sesuatu”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat tiap rintik menusuk bagai pisau terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (rintik hujan). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa emotif, membicarakan mengenai kesamaan pengalaman (rasa sakit yang timbul karena sesuatu). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan rintik hujan. Konteks dari kalimat Tiap rintik menusuk bagai pisau dalam cerpen berjudul Sepotong Kue Kuning adalah Indi terbangun dari tidur malamnya akibat suara halilintar dan telepon yang berdering. Telepon itu dari Lei, kekasihnya yang memberikan keputusan secara mendadak bahwa hubungan diantara keduanya harus berakhir. Indi pun merasa kecewa karena doa dan usahanya selama ini sia-sia. Unsur intrinsik dari konteks tersebut adalah malam merupakan (latar waktu) terjadinya peristiwa dan Indi merupakan (tokoh utama) dalam cerita, ini dikarenakan fokus cerita dalam cerpen tersebut termasuk pada kalimat Tiap rintik menusuk bagai pisau menceritakan Indi termasuk perasaannya pada malam itu.
35
Depdiknas, op.cit., h. 1510.
53
12) Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana36 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata menusuk. Kata dasar dari kata menusuk adalah tusuk dalam KBBI memiliki arti memasukkan (dengan cara menikamkan) suatu benda yang runcing (jarum, pisau dan sebagainya) ke benda lain; cocok. Kata tusuk mendapat imbuhan meN- menjadi menusuk memiliki arti mencocok dengan barang yang runcing; mencoblos, menikam.37 Kalimat di atas mengumpamakan kertas (berisi nomor telepon) seperti manusia (dapat membuat orang lain merasakan sesuatu misalnya sakit). Kertas putih (berisi nomor telepon) berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan manusia berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, kertas (berisi nomor telepon) dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “membuat orang lain merasakan sesuatu”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (kertas). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa emotif, membicarakan mengenai pengalaman (merasakan sesuatu). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni manusia dan kertas. Konteks dari kalimat sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana dalam cerpen berjudul Lara Lana adalah Lana 36 37
Lestari, op.cit., h. 88. Depdiknas, op. cit., h. 1510.
54
merasakan perasaan aneh ketika melihat angka nomor telepon Lara, sahabatnya dua puluh tiga tahun silam. Perasaan tersebut bercampur baur, antara kangen dan bersalah. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah Lana merupakan (tokoh utama) dalam cerita, ini dikarenakan Lana merupakan fokus cerita dalam cerpen dan salah satunya ditunjukkan pada kalimat sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana menceritakan Lana termasuk perasaannya saat itu. 13) Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya38 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata memancing. Kata dasar dari kata memancing adalah pancing dalam KBBI memiliki arti alat untuk menangkap ikan, terbuat dari sepotong kawat yg ujungnya melengkung dan berkait, diberi tali dan gagang dari kayu, bambu, dsb; kail.39 Kata pancing mendapat imbuhan meN- menjadi memancing memiliki arti menangkap ikan dengan pancing; mengail, memberikan sesuatu untuk memikat orang lain sehingga dapat
memperoleh
apa
yang
diinginkannya.40
Kalimat
di
atas
mengumpamakan ruang tunggu seperti manusia (memberikan harapan kepada orang lain). Ruang tunggu berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan manusia berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, ruang tunggu dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “memberikan harapan pada orang lain”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya terdapat perubahan arti metaforis
38
Lestari, op. cit., h. 88. Depdiknas, op. cit., h. 1009. 40 Ibid. 39
55
berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (ruang tunggu). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (memberikan harapan kepada orang lain). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni ruang tunggu dan manusia. Konteks dari kalimat ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya dalam cerpen adalah sore hari saat Lana menunggu di ruang tunggu bandara, dia mengingat Lara, sahabatnya. Lana ingin sekali menyapa Lara sama seperti saat dua puluh tiga tahun silam tetapi dia ragu, ada kebimbangan dalam hatinya. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah bandara, tempat Lana menunggu pesawat menggambarkan (latar tempat), sore hari menunjukkan (latar waktu) terjadinya peristiwa dan Lana dalam cerpen merupakan (tokoh utama) ini dikarenakan Lana merupakan fokus cerita dalam cerpen dan salah satunya ditunjukkan pada kalimat
ruang
tunggu
selalu
memancing
dilema
dalam
hatinya,menceritakan perasaan Lana. Sudut pandang atau titik pandang yang digunakan pengarang adalah (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama) yakni pengarang memposisikan dirinya serba tahu keadaan Lana, ini ditunjukkan pada kalimat diatas, dimana terdapat penggunaan akhiran – nya pada kata hati. 14) Lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah41 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni frasa tersungkur mati. Jika diteliti perkata, artinya 41
Lestari, op.cit., h. 97.
56
sebagai berikut: Kata dasar dari kata tersungkur adalah sungkur dalam KBBI memiliki arti menyungkur, menundukkan kepala rendah-rendah (hampir sampai ke tanah). Kata sungkur mendapat imbuhan ter- menjadi tersungkur memiliki arti jatuh terjerembap dengan muka mengenai tanah; jatuh tertiarap.42 Kata mati dalam KBBI memiliki arti sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi, tidak bernyawa; tidak pernah hidup. 43 Kalimat di atas mengumpamakan lilin seperti manusia (jatuh dari suatu tempat dengan posisi muka lebih dulu mengenai tanah sehingga mati, tidak bernyawa). Lilin berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan manusia berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, lilin dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “jatuh dengan posisi bagian atas lebih dahulu mengenai tanah dan mati”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (lilin). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (jatuh dan mati). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni lilin dan manusia. Konteks dari kalimat lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah adalah ulang tahun yang dirayakan dalam kesunyian dapat mengingatkan kembali pada masa lalu seperti keberhasilan atau kegagalan yang dapat membuat seseorang tertawa geli. Lilin merah yang menyala di atas kue ulang tahun, sebagai tanda pergantian umur akan dibuang begitu saja ke
42 43
Depdiknas, op.cit., h. 1357. Ibid., h. 888.
57
dasar tempat sampah setelah ditiup. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah sunyi merupakan (latar suasana) terjadinya peristiwa.
15) Masa kecilnya (Hunter, raja kecoak) dihabiskan di lubang dekat televisi, karena itulah dia pintar, berbudaya, dan punya wawasan luas44 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat masa kecilnya (raja kecoak) dihabiskan di lubang dekat televisi, karena itulah dia pintar, berbudaya, dan punya wawasan luas (h. 111) terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni frasa pintar, berbudaya, dan punya wawasan luas. Jika ditelititi perkata memiliki arti sebagai berikut: Kata pintar dalam KBBI memiliki arti pandai; cakap, cerdik; banyak akal, mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu).45 Kata berbudaya memiliki kata dasar budaya memiliki arti pikiran; akal budi, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju) kemudian kata budaya mendapat imbuhan ber- menjadi berbudaya memiliki arti mempunyai budaya; pikiran dan akal yang sudah maju.46 Kata wawasan memiliki kata dasar wawas dalam KBBI memiliki arti mewawas, meneliti; memandang; meninjau; mengamati. Kemudian kata wawas mendapat akhiran –an menjadi wawasan memiliki arti hasil mewawas; tinjauan; pandangan, konsepsi; cara pandang.47 Kata luas dalam KBBI memiliki arti lapang; lebar, umum (tentang masyarakat dan sebagainya), banyak dan beragam (tentang pengetahuan).48 Pada bagian ini dan seterusnya cerpen dengan judul Rico de Coro menceritakan mengenai sekumpulan kecoa dan manusia yang hidup berdampingan. Kalimat di atas mengumpamakan Hunter (raja kecoak) seperti manusia (cerdik, memiliki budaya yang maju,
44
Lestari, op. cit., h. 111. Depdiknas, op. cit., h. 1078. 46 Ibid., h. 214. 47 Ibid., h. 1559. 48 Ibid., 884. 45
58
dan memiliki cara pandang/pemikiran yang luas). Hunter berkedudukan sebagai
(tenor),
berkedudukan
yakni
sebagai
sesuatu (wahana),
yang
dibicarakan
sesuatu
yang
dan
manusia
dipakai
sebagai
bandingannya. Pada keduanya, kecoak dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “memiliki ciri khas yang dapat dibedakan dengan yang lainnya”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat Masa kecilnya (Hunter, raja kecoak) dihabiskan di lubang dekat televisi, karena itulah dia pintar, berbudaya, dan punya wawasan luas terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan sifat dan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (kecoak). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (memiliki ciri khas yang dapat dibedakan dengan yang lainnya). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni kecoak dan manusia. Konteks dari kalimat Masa kecilnya (Hunter, raja kecoak) dihabiskan di lubang dekat televisi, karena itulah dia pintar, berbudaya, dan punya wawasan luas dalam cerpen menjelaskan bahwa Hunter merupakan perpaduan antara kecoak hutan dan rumahan yang melakukan urbanisasi dengan menyelinap di sayur-sayuran yang diangkut ke pasar induk sampai akhirnya dia sampai ke rumah Haryanto yang sekarang menjadi kerajaan bagi bangsanya. Selain fisik yang kuat, Hunter juga pintar jika dibandingkan dengan kecoak lain. Hal ini dikarenakan masa kecilnya banyak dihabiskan di lubang dekat televisi, itu yang menjadikannya sebagai raja. Unsur intrinsik yang diketahui dari pemaparan tersebut adalah Hunter merupakan (tokoh) dalam cerpen. Pasar, rumah Haryanto dan lubang deket tv merupakan (latar tempat) Hunter melakukan urbanisasi.
59
16) Kecoak WC tidak beradab49 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat kecoak WC tidak beradab terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni frasa tidak beradab. Jika ditelititi perkata memiliki arti sebagai berikut: kata tidak dalam KBBI memiliki arti partikel untuk menyatakan pengingkaran; penolakan; dan sebagainya.50 Adab merupakan kata dasar dari beradab dalam KBBI memiliki arti kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak kemudian kata adab mendapat imbuhan ber- menjadi beradab memiliki arti mempunyai adab; mempunyai budi bahasa yang baik; berlaku sopan.51 Kalimat di atas mengumpamakan kecoak yang hidup di toilet seperti manusia yang tidak berpendidikan (tidak memiliki budi pekerti yang baik dan sopan). Kecoak WC berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan manusia berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, kecoak dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “ciri khas yang dapat dibedakan dengan yang lainnya”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat Kecoak WC tidak beradab terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (kecoak). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (ciri khas yang dapat dibedakan dengan yang lainnya).
Sudut
bayang
yang dihasilkan
dari
metafora
tersebut
menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni kecoak dan manusia.
49
Lestari, op. cit., h. 111. Depdiknas, op. cit., h. 1460. 51 Ibid., h. 7. 50
60
Konteks dari kalimat Kecoak WC tidak beradab dalam cerpen menjelaskan bahwa Hunter membandingkan rakyatnyanya dengan kecoak wc, menurutnya kecoak wc tidak memiliki martabat seperti kecoak yang dipimpinnya. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah Hunter merupakan salah satu (tokoh) dalam cerita.
17) Sarah memberi nama pada seekor kecoak jelata! Sebuat aku penjiplak, plagiator, dan sebagainya, tapi aku tak mungkin membiarkan nama yang terlontar dari buah hatiku hilang bersama nyawa kecoak tak jelas52 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat Sarah memberi nama pada seekor kecoak jelata! Sebuat aku penjiplak, plagiator, dan sebagainya, tapi aku tak mungkin membiarkan nama yang terlontar dari buah hatiku hilang bersama nyawa kecoak tak jelas terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni frasa penjiplak, plagiator. Jika diteliti perkata memiliki arti sebagai berikut: jiplak merupakan kata dasar dari penjiplak, dalam KBBI memiliki arti mencontoh atau meniru (tulisan, pekerjaan orang lain); mencontek, mencuri karangan orang lain dan mengakui sebagai karangan sendiri tanpa seizin penulisnya. Kemudian kata jiplak mendapat imbuhan peN- menjadi penjiplak memiliki arti orang yang menjiplak.53 Kata plagiator dalam KBBI memiliki arti orang yang mengambil karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri; penjiplak.54 Kalimat di atas mengumpamakan aku (anak raja kecoak) seperti manusia (mengambil karangan orang lain untuk dirinya sendiri tanpa seizin pengarang). Aku (anak raja kecoak) berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan manusia berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, kecoak dan 52
Lestari, op. cit., h. 113. Depdiknas, op. cit., h. 586. 54 Ibid., h. 1083. 53
61
manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “mengambil karangan orang lain untuk dirinya sendiri tanpa seizin pengarang”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat Sarah memberi nama pada seekor kecoak jelata! Sebuat aku penjiplak, plagiator, dan sebagainya, tapi aku tak mungkin membiarkan nama yang terlontar dari buah hatiku hilang bersama nyawa kecoak tak jelas terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan sifat manusia kepada benda selain manusia (kecoak) Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (menjadikan sesuatu milik orang lain menjadi miliknya). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni kecoak dan manusia. Konteks kalimat Sarah memberi nama pada seekor kecoak jelata! Sebuat aku penjiplak, plagiator, dan sebagainya, tapi aku tak mungkin membiarkan nama yang terlontar dari buah hatiku hilang bersama nyawa kecoak tak jelas dalam cerpen menjelaskan bahwa tokoh aku melihat Sarah, gadis yang dicintainya sedang memberi makan ikan arwana dengan kecoak, kemudian atas inisiatifnya sendiri Sarah memberi nama pada kecoak apes itu dengan nama Rico, Rico de Coro dan tokoh aku tidak rela jika nama pemberian dari gadis pujaannya hilang bersama kecoak yang disantap ikan arwana. Nama tersebut pun menjadi namanya sekarang. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah Sarah merupakan salah satu (tokoh) dalam cerpen dan tokoh aku, Rico de Coro merupakan (tokoh utama) karena menjadi fokus dalam cerita. Sudut pandang yang digunakan pengarang yakni (tokoh utama menceritakan ceritanya sendiri) hal ini dapat dilihat dari penggunaan –ku pada kalimat di atas, yang merujuk serba tahu.
62
18) Kawanan semut sudah mengarak-araknya pergi55 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat kawanan semut sudah mengarak-araknya pergi terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata mengarak-araknya. Arak merupakan kata dasar dari mengarak dalam KBBI memiliki arti iring; kirim. Kamudian kata arak mendapat imbuhan meN- menjadi mengarak memiliki arti mengiringkan (mengantarkan, membawa berkeliling, dan sebagainya) beramai-ramai.56 Kata mengarak mengalami pengulangan sebagian menjadi mengarak-arak kemudian akhirn –nya menunjuk pada kecoak. Kalimat di atas mengumpamakan
semut
seperti
manusia
(berkeliling
bersama-
sama/beramai-ramai sambil mengangkat sesuatu). Semut berkedudukan sebagai
(tenor),
berkedudukan
yakni
sebagai
sesuatu (wahana),
yang
dibicarakan
sesuatu
yang
dan
manusia
dipakai
sebagai
bandingannya. Pada keduanya, kecoak dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan makna yakni “berkeliling bersama-sama/beramai-ramai sambil mengangkat sesuatu”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat kawanan semut sudah mengarak-araknya pergi terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan aktivitas manusia kepada benda selain manusia (semut). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (membawa sesuatu dengan cara diangkat dan dibawa berkeliling). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni semut dan manusia.
55 56
Lestari, op. cit., h. 115 Depdiknas, op. cit., h. 84.
63
Konteks dari kalimat kawanan semut sudah mengarak-araknya pergi dalam cerpen menjelaskan bahwa pada suatu malam di lemari gas LPG yang merupakan istana Hunter dan kaumnya terjadi rapat besar dan mendadak. Isi rapat tersebut adalah memberitahukan bahwa salah satu warganya Lala Pita telah mati. Ketika ditemukan, bangkai tersebut sudah diarak oleh kawanan semut. Unsur intrinsik yang diketahui dari pemaparan tersebut adalah malam menunjukkan (latar waktu) dan lemari gas LPG merupakan (latar tempat) terjadinya rapat besar. 19) Diluar dugaan kami, Ayah (Hunter, raja kecoak) malah naik pitam57 Analisis: Kalimat
di
atas
terdapat
perubahan
arti
metaforis
berupa
antropomorfis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: kalimat Diluar dugaan kami, Ayah (Hunter, raja kecoak) malah naik pitam terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni frasa naik pitam. Jika diartikan perkata, tiap kata memiliki arti sebagai berikut: kata naik dalam KBBI memiliki arti bergerak ke atas atau ketempat yang lebih tinggi, timbul, mendaki; menanjak; memanjat.58 Kata pitam dalam KBBI memiliki arti pusing kepala (karena darah naik ke kepala).59 Jika kata naik disandingkan dengan kata pitam menjadi naik pitam memiliki arti (menjadi) marah sekali (panas hati). Kalimat di atas mengumpamakan kecoak seperti manusia (marah karena suatu hal). Hunter, raja kecoak berkedudukan sebagai (tenor), yakni sesuatu yang dibicarakan dan manusia berkedudukan sebagai (wahana), sesuatu yang dipakai sebagai bandingannya. Pada keduanya, kecoak dan manusia terdapat unsur umum yang dapat dibayangkan, mengacu pada kesamaan
makna
yakni
“merasa
terusik
karena
sesuatu
hal
mengancamnya”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat Diluar dugaan kami, Ayah (Hunter, raja kecoak) malah naik pitam
57
Lestari, op. cit., h. 117. Depdiknas, op. cit., h. 948. 59 Ibid., h. 1082. 58
64
terdapat perubahan arti metaforis berupa antropomorfis, yakni metafora yang mengalihkan sifat manusia kepada benda selain manusia (kecoak). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (merasa terusik). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni kecoak dan manusia. Konteks kalimat Diluar dugaan kami, Ayah (Hunter, raja kecoak) malah naik pitam dalam cerpen menjelaskan bahwa Hunter merasa sangat marah setelah mendapat laporan dari Petruk, bawahannya di salah satu ruangan istana, dapur. Kemarahan itu disebabkan karena Om Haryanto sedang dibelit keuangan sehingga berimbas pula pada pakan ikan arwana, salah satu cara yang dilakukan adalah mengganti pakan tersebut dengan kecoak. Inilah jawaban dari pertanyaannya beberapa hari ini mengenai warganya yang habis terbantai oleh keluarga Om Haryanto. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah dapur merupakan (latar tempat) Hunter menerima laporan dari petruk. Pada bagian ini alur berupaka komplikasi atau rumitan terlihat, hal ini dikarenakan konflik yang terjadi semakin tajam. Konflik ini timbul dari dua kepentingan yang berbeda yakni, Hunter (bangsa kecoak) tidak suka dengan keputusan Om Haryanto (manusia) yang menangkap bangsa kecoak untuk pakan ikan akibat keuangannya yang sedang terganggu, ini menunjukan sebab-akibat terjadinya komplikasi.
2. Metafora Binatang 1) Nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya60 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya terdapat kata yang perlu 60
Dewi Lestari, Filosofi Kopi, (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2012), cet. 1, h. 6
65
digarisbawahi, yakni kata menyengatnya. Kata dasar dari menyengat adalah kata sengat dalam KBBI memiliki arti alat tajam dan berbisa pada serangga dan binatang lain, seperti lebah, lipan, dan kala untuk menyerang atau mempertahankan diri kemudian kata sengat mendapat imbuhan meNmenjadi menyengat memiliki arti menusuk dengan sengat; mengantup.61 Kalimat di atas mengumpamakan seolah sesuatu yang membuat nada bicara Ben melonjak, dalam cerpen dimaksudkan (daftar menu) seperti binatang (lebah, lipan yang menyengat atau menusuk sehingga seseorang merasakan sesuatu). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa daftar menu merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan binatang merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, daftar menu dan binatang terdapat kesamaan umum berupa “usaha menampilkan diri”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas binatang ke selain binatang (daftar menu). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (usaha menampilkan diri). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan daftar menu. Konteks kalimat nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya dalam cerpen adalah pada malam itu setelah kedai tutup, akhirnya Ben dan Jody, rekan kerjanya bisa bersantai ria sambil menikmati kopi disudut bar. Tiba-tiba Ben bercerita dengan semangatnya mengenai racikan kopinya dalam daftar menu yang dapat diterima dan disukai pengunjung. Hal itu membuat Ben samakin yakin dan semangat 61
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. 1, h. 1270.
66
untuk melakukan terobosan-terobosan baru. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah malam menunjukkan (latar waktu) dan bar menunjukkan (latar tempat) terjadinya percakapan antara Ben dan Jody. Ben merupakan (tokoh utama) dalam cerpen, hal ini dikarenakan fokus cerita dalam cerpen tersebut adalah Ben selain itu hal ini juga didukung dari sudut pandang pengarang berupa (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama) yang memposisikan dirinya menceritakan tokoh utama. 2) Buku ini adalah buku yang hidup62 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Dari kalimat Buku ini adalah buku yang hidup terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata hidup. Kata hidup dalam KBBI memiliki arti masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya (manusia, binatang, tumbuhan, dan sebagainya); berlangsung (ada) karena sesuatu.63 Kalimat di atas mengumpamakan daftar menu kopi seperti binatang (hidup, dapat bergerak dan mengalami perkembangan). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa daftar menu kopi merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan binatang merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, daftar menu kopi dan binatang terdapat kesamaan umum berupa “mengalami perubahan”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Buku ini adalah buku yang hidup terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas binatang ke selain binatang (daftar menu kopi). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (mengalami perubahan). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki 62 63
Lestari, op. cit., h. 6. Depdiknas, op. cit., h. 496.
67
mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan buku. Kontek kalimat Buku ini adalah buku yang hidup dalam cerpen merujuk pada nomor 1 yakni pada malam itu setelah kedai tutup, akhirnya Ben dan Jody, rekan kerjanya bisa bersantai ria sambil menikmati kopi disudut bar. Tiba-tiba Ben bercerita dengan semangatnya mengenai racikan kopinya dalam daftar menu dapat diterima dan disukai, hal itu membuat Ben samakin yakin dan semangat untuk melakukan terobosanterobosan baru pada daftar menu kopi. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah malam menunjukkan (latar waktu) dan bar menunjukkan (latar tempat) terjadinya percakapan antara Ben dan Jody. 3) Hera tersenyum setengah mendengus sambil menggeleng kenes64 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Dari kalimat Hera tersenyum setengah mendengus sambil menggeleng kenes terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata mendengus. Kata dasar dari kata mendengus adalah dengus dalam KBBI memiliki arti tiruan bunyi binatang seperti lembu, kerbau, kuda mengembuskan napas kuat-kuat.65 Kata dengus mendapat imbuhan meN- sehingga menjadi mendengus, memiliki arti berdengus. Kata berdengus memiliki arti mengeluarkan bunyi seperti lembu, kerbau, kuda mengembuskan napas kuat-kuat.66 Kalimat di atas mengumpamakan Hera seperti binatang (lembu, kerbau, kuda yang mengeluarkan bunyi dan mengembuskan (nafas) nya kuat). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa Hera merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan binatang merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, Hera dan binatang terdapat kesamaan umum berupa “mengeluarkan bunyi”. Penjelasan 64
Lestari, op. cit., h. 34. Depdiknas, op. cit., h. 313. 66 Ibid. 65
68
tersebut
membuktikan
bahwa
kalimat
Hera
tersenyum
setengah
mendengus sambil menggeleng kenes terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas binatang ke selain binatang (manusia). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (mengeluarkan bunyi). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan manusia. Konteks kalimat Hera tersenyum setengah mendengus sambil menggeleng kenes dalam cerpen adalah tokoh aku menemui Hera di rumahnya, kawan yang telah menjadi pramugari dan disela-sela pertemuannya tokoh aku menanyakan keinginan Hera untuk menikah tapi pertanyaan tersebut dijawab Hera dengan senyuman yang mengartikan tidak. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah rumah Hera merupakan (latar tempat) terjadinya percakapan antara tokoh aku dan Hera. Dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa tokoh aku merupakan sudut pandang yang pengarang gunakan dalam cerita (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama) hal ini dikarenakan fokus cerita dalam cerpen Mencari Herman adalah Hera, sehingga dapat diketahui bahwa (tokoh utama) dalam cerpen tersebut adalah Hera.
4) Hera telah bermetamorfosis menjadi perempuan modern yang tak terjangkau ukuran sosialku67 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat Hera telah bermetamorfosis menjadi perempuan modern yang tak terjangkau ukuran sosialku terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata bermetamorfosis. Kata dasar 67
Lestari, op. cit., h. 34.
69
dari kata bermetamorfosis adalah metamorfosis dalam KBBI memiliki arti perubahan bentuk atau susunan; peralihan bentuk (misal dari ulat menjadi kupu-kupu).68 Kata metamorfosis mendapat imbuhan ber- menjadi bermetamorfosis, memiliki arti berubah bentuk atau susunan; beroleh bentuk lain (baru).69 Kalimat di atas mengumpamakan Hera seperti binatang (mengalami perubahan bentuk). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa Hera merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan
binatang
(kupu-kupu)
merupakan
hal
yang
menjadi
bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, Hera dan binatang terdapat kesamaan umum berupa “perubahan bentuk kearah yang lebih baik dari sebelumnya”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Hera telah bermetamorfosis menjadi perempuan modern yang tak terjangkau ukuran sosialku terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan sifat binatang ke selain binatang (manusia). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (mengalami perubahan). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan manusia. Konteks kalimat Hera telah bermetamorfosis menjadi perempuan modern yang tak terjangkau ukuran sosialku dalam cerpen merujuk pada nomor 3 yakni, tokoh aku menemui Hera di rumahnya, kawan yang telah menjadi pramugari dan disela-sela pertemuannya tokoh aku menanyakan keinginan Hera untuk menikah tapi pertanyaan tersebut dijawab Hera dengan senyuman yang mengartikan tidak. Hera telah berubah, bukan saja penampilannya tetapi juga pola pikirnya. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah rumah Hera merupakan (latar tempat) terjadinya 68 69
Depdiknas, op. cit., h. 909. Ibid.
70
percakapan antara tokoh aku dan Hera. Dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa tokoh aku merupakan sudut pandang yang pengarang gunakan dalam cerita (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama) hal ini dikarenakan fokus cerita dalam cerpen adalah Hera, sehingga dapat diketahui bahwa (tokoh utama) dalam cerpen tersebut adalah Hera. 5) Kembali Hera tertawa lepas70 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kembali Hera tertawa lepas terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata lepas. Kata lepas dalam KBBI memiliki arti dapat bergerak (lari) ke mana-mana; tidak tertambat, bebas dari ikatan; tidak terikat lagi, dan lolos dari kandangnya (kurungan, kerangkeng dan sebagainya).71 Kalimat di atas mengumpamakan Hera seperti binatang (bebas dari sesuatu yang membatasi geraknya). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa Hera merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan binatang (kuda atau burung) merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, Hera dan binatang terdapat kesamaan umum berupa “bebas dari sesuatu yang membatasinya”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Kembali Hera tertawa lepas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan sifat binatang ke selain binatang (manusia). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (ingin bebas dari sesuatu yang membatasi geraknya). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan manusia. 70 71
Lestari, op. cit., h. 34. Depdiknas, op. cit., h. 817.
71
Konteks kalimat Kembali Hera tertawa lepas dalam cerpen adalah masih merujuk pada nomor 3 yakni tokoh aku menemui Hera di rumahnya, kawan yang telah menjadi pramugari dan disela-sela pertemuannya tokoh aku selain menanyakan keinginan Hera untuk menikah juga menanyakan ambisinya yang ingin menemukan nama Herman dan Hera pun tertawa lepas, karena sekarang dia tidak ingin menemukan nama Herman tetapi dia ingin bertemu langsung dan menjabat tangan seseorang yang bernama Herman. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah rumah Hera merupakan (latar tempat) terjadinya percakapan antara tokoh aku dan Hera. Dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa tokoh aku merupakan sudut pandang yang pengarang gunakan dalam cerita (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama) hal ini dikarenakan fokus cerita dalam cerpen adalah Hera, sehingga dapat diketahui bahwa (tokoh utama) dalam cerpen tersebut adalah Hera. 6) Rasa bersalah menggigitku72 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Kalimat Rasa bersalah menggigitku terdapat kata yang perlu digaris bawahi, yakni kata menggigitku. Kata dasar dari kata menggigit adalah kata gigit dalam KBBI memiliki arti jepit dengan gigi, kemudian kata gigit mendapat imbuhan meN- menjadi menggigit memiliki arti menjepit (mencekam dan sebagainya) dengan gigi73 dan ku menunjuk pada seseorang bernama Tio, maka kalimat di atas mengumpamakan rasa bersalah yang dimiliki Tio seperti binatang. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa rasa bersalah yang dimiliki Tio merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan binatang merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, perasaan bersalah (Tio) dan binatang terdapat kesamaan 72 73
Lestari, op. cit., h. 59. Depdiknas, op. cit., h. 451.
72
umum berupa “membuat sakit”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Rasa bersalah menggigitku terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas binatang ke selain binatang (perasaan manusia). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa emotif, membicarakan mengenai pengalaman (rasa sakit) yang timbul dalam hati hampir sama dengan rasa sakit yang timbul akibat digigit oleh binatang. Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan manusia. Konteks kalimat Rasa bersalah menggigitku dalam cerpen berjudul Sikat Gigi menjelaskan bahwa malam, sepulang Egi dan Tio dari puncak, Egi menyikat gigi di kamar mandi sedangkan Tio membaca di sofa panjang, ruang tamu. Tiba-tiba disela membaca Tio mendapati perubahan pada Egi, Tio tidak mendengar suara orang menyikat gigi dan dari pantulan kaca Tio mendapati sahabatnya, Egi terdiam di depan kaca dengan mulut penuh busa. Setelah dirasa selesai, Egi pamit pulang namun Tio beralasan tidak mau mengantarnya. Tanpa disadari Egi menangis, ada rasa bersalah yang hadir dalam diri Tio karena ketidakpekaan dan ketidaktahuannya mengenai persaan-perasaan Egi. Unsur intrinsik dari konteks tersebut dalam cerpen adalah malam merupakan (latar waktu) terjadinya cerita, kamar mandi dan ruang tamu menunjukkan (latar tempat). Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen berupa (tokoh utama menceritakan ceritanya sendiri), hal ini karena fokus cerita dalam cerpen adalah Tio dan perasaannya terhadap Egi. Dari sini dapat diketahu bahwa Tio merupakan (tokoh utama)
7) Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning74 Analisis: 74
Lestari, op. cit., h. 82.
73
Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Dari kalimat Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata bertengger. Kata dasar dari kata bertengger adalah kata tengger dalam KBBI memiliki arti tenggeran (tempat bertengger, tenggekan), kemudian kata tengger mendapat imbuhan ber- menjadi bertengger memiliki arti hinggap (di dahan), berdiam; bertempat tinggal.75 Kalimat di atas mengumpamakan bulan seperti binatang (berdiam dan bertempat tinggal di dahan). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa bulan merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan binatang merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, bulan dan binatang terdapat kesamaan umum berupa “mendiami/berada pada suatu tempat”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas binatang ke selain binatang (bulan). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (mendiami suatu tempat). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan bulan. Konteks kalimat Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning dalam cerpen adalah malam itu Indi memberanikan diri untuk tidak lagi bergantung dengan kehadiran Lei, kekasihnya yang pergi. Indi memberanikan diri menikmati kue kuning tanpa Lei sambil menatap bulan dari jendela yang lama tertutup tirai. Indi pun mulai bangkit dari kesedihan dan 75
Depdiknas, op. cit., h. 1440.
74
kekecewaannya pada Lei. Melalui bulan, Indi mengerti bahwa bumi terus berputar begitu juga kehidupannya yang harus berlanjut. Berdasarkan pemaparan konteks tersebut, unsur intrinsiknya berupa malam yang menunjukkan (latar waktu) terjadinya peristiwa. Indi merupakan (tokoh utama) dalam cerpen karenakan Indi menjadi fokus dalam cerita. Hal ini salah satunya dibuktikan dalam kalimat Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning yang menceritakan perasaan Indi.
8) Terbang bersama lolongan perempuan India yang melatari dentuman bas dan drum76 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Dari kalimat terbang bersama lolongan perempuan India yang melatari dentuman bas dan drum terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata lolongan. Kata dasar dari kata lolongan adalah kata lolong dalam KBBI memiliki arti raung, kemudian kata lolong mendapat akhiran –an menjadi lolongan memiliki arti bunyi raung.77 Kalimat di atas mengumpamakan suara perempuan India seperti binatang (mengeluarkan bunyi yang nyaring dan panjang). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa perempuan India merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan binatang (serigala) merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, perempuan India dan binatang terdapat kesamaan umum berupa “mengeluarkan suara yang nyaring dan panjang”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat terbang bersama lolongan perempuan India yang melatari dentuman bas dan drum terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas binatang ke selain binatang (manusia). 76 77
Lestari, op. cit., h. 102-103. Depdiknas, op. cit., h. 839.
75
Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (mengeluarkan bunyi yang nyaring dan panjang). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan manusia. Konteks kalimat terbang bersama lolongan perempuan India yang melatari dentuman bas dan drum dalam cerpen adalah malam itu lima kawanan sahabat Nelly, Probo, Omen, Jack, dan Bejo datang ke diskotik. Mereka berlima merupakan lulusan sarjana yang sudah bekerja di perusahaan besar. Sensasi dari lima tequila shot yang sudah dipesan membuat sisa gaji mereka ludes. Berdasarkan pemaparan tersebut, unsur intrinsik dalam cerpen berjudul Budha Bar adalah malam menunjukkan (latar waktu) dan diskotik merupakan (latar tempat) terjadinya peristiwa. Berdasarkan kalimat di atas, sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen berupa (pengarang pengamat, yang menuturkan cerita dari luar sebagai observer) hal ini dikarenakan dalam cerpen termasuk dalam kalimat di atas, pengarang memposisikan dirinya sebagai pengamat yang mengamati hal-hal terkait aktivitas lima kawanan tersebut. 9) Probo mencintai dirinya, menjilati kulitnya sendiri bila kepingin78 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Dari kalimat Probo mencintai dirinya, menjilati kulitnya sendiri bila kepingin terdapat kata yang perlu digarisbawahi, yakni kata menjilati. Kata dasar dari kata menjilati adalah kata jilat dalam KBBI memiliki arti menjilat, kemudian kata jilat mendapat imbuhan meN- menjadi kata menjilat memiliki arti menjulurkan lidah untuk merasai (mencolet).79 Kata menjilat mendapat akhiran –i 78 79
Lestari, op. cit., h. 103. Depdiknas, op. cit., h. 584.
76
menjadi kata menjilati memiliki arti menjulurkan lidah secara berulangulang untuk merasai. Kalimat di atas mengumpamakan Probo seperti binatang. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa Probo merupakan hal yang dibicarakan (tenor) sedangkan binatang merupakan hal yang menjadi bandingannya (wahana). Dari kedua hal tersebut, Probo dan
binatang
terdapat
kesamaan
umum
berupa
“merasai
sesuatu/keaadaan”. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kalimat Probo mencintai dirinya, menjilati kulitnya sendiri bila kepingin terdapat perubahan arti metaforis berupa binatang, yakni metafora yang mengacu pada pengalihan aktivitas binatang ke selain binatang (manusia). Kesamaan antara tenor dan wahana pada kalimat tersebut berupa objektif, karena membicarakan mengenai kesamaan hal yang ada pada masing-masing objek (merasai sesuatu/keadaan). Sudut bayang yang dihasilkan dari metafora tersebut menghasilkan metafora efektif (memiliki mutu ekspresif) karena membandingkan dua hal yang berbeda jauh yakni binatang dan manusia. Konteks kalimat Probo mencintai dirinya, menjilati kulitnya sendiri bila kepingin dalam cerpen adalah dalam diskotik, Probo menari dia merupakan pribadi yang penuh cinta dan dia sangat mencintai sekelilingnya termasuk dirinya. Berdasarkan pemaran tersebut, unsur intrinsiknya berupa diskotik menunjukkan (latar tempat) terjadinya peristiwa. Kalimat di atas menunjukkan sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen, yakni berupa (pengarang pengamat, yang menuturkan cerita dari luar sebagai observer) hal ini dikarenakan dalam cerpen termasuk dalam kalimat di atas, pengarang memposisikan dirinya sebagai pengamat yang mengamati hal-hal yang berkaitan dengan Probo.
77
3. Metafora Konkret ke Abstrak 1) Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar membuatnya pun sangat cepat80 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa konkret ke abstrak, yakni metafora yang menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar membuatnya pun sangat cepat terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni membuatnya pun sangat cepat. Jika diteliti perkata, maka memiliki arti sebagai berikut: kata membuatnya berasal dari kata dasar buat dalam KBBI memiliki arti kerjakan; lakukan; bikin, kemudian kata buat mendapat imbuhan meNmenjadi membuat memiliki arti menciptakan (menjadikan, menghasilkan); membikin, melakukan; mengerjakan.81 Imbuhan -nya menunjuk pada kopi tubruk. Kata sangat dalam KBBI memiliki arti terlebih-lebih (halnya, keadaannya, dan sebagainya) amat; terlalu.82 Kata cepat dalam KBBI memiliki arti waktu singkat dapat menempuh jarak cukup jauh (perjalanan, gerakan, kejadian dan sebagainya); laju.83 Frasa membuatnya pun sangat cepat merupakan
frasa
yang mengartikan sebagai suatu proses
menciptakan kopi tubruk (pengalaman konkret) dengan sangat cepat (pengalaman abstrak). Hal ini menunjukan bahwa adanya pengalaman abstrak yang dijabarkan ke dalam hal konkret, karena kata cepat merupakan kata yang memiliki arti (abstrak) cepat itu sendiri tidak memiliki ukuran yang pasti (untuk mengukur sesuatu dikatakan cepat atau lambat), hanya sebatas membandingkan. Konteks kalimat Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar membuatnya pun sangat cepat dalam cerpen adalah Ben, seorang barista
80
Dewi Lestari, Filosofi Kopi, (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2012), cet. 1, h. 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi IV, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. 1, h. 213. 82 Ibid., h. 1220. 83 Ibid., 260. 81
78
kopi
terhandal
ingin
membagi
pengalamannya
bersama
seorang
pengunjung di bar kedai yang tiba-tiba bertanya mengenai kopi tubruk. Penghidangan kopi tubruk memang tidak secermat dan seapik kopi cappucino. Meskipun penghidangannya sederhana, kelebihan dari kopi tubruk akan terasa saat penikmatnya mencium aroma dari kopi tubruk sebelum meminumnya, ini yang menjadi ciri khas dari kopi tubruk. Dari pemaparan tersebut diketahui unsur intrinsik cerpen yang terdapat di dalamnya yakni bar tempat seorang pengunjung memesan kopi tubruk sekaligus Ben meramu kopi merupakan (latar tempat) terjadinya cerita. 2) Mata itu tampak berbinar puas84 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa konkret ke abstrak, yakni metafora yang menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut Mata itu tampak berbinar puas terdapat frasa yang perlu digarisbawahi, yakni berbinar puas. Jika diteliti perkata, tiap kata pada frasa tersebut memiliki arti sebagai berikut: kata berbinar berasal dari kata dasar binar dalam KBBI memiliki arti sinar kemudian kata binar mendapat imbuhan ber- menjadi berbinar memiliki arti bersinar.85 Kata puas dalam KBBI memiliki arti merasa senang (lega, gembira, kenyang dan sebagainya karena sudah terpenuhi hasrat hatinya).86 Penggunaan frasa berbinar puas dalam kalimat Mata itu tampak berbinar puas mengartikan bahwa mata seseorang (pengalaman konkret) menunjukan rasa senang dan puas karena sesuatu hal (pengalaman abstrak). Hal ini menunjukan bahwa adanya pengalaman abstrak yang dijabarkan ke dalam hal konkret, karena frasa berbinar puas merupakan ekspresi (konsep) yang ada pada seseorang.
84
Lestari, op. cit., h. 5. Depdiknas, op. cit., h. 194. 86 Ibid., h. 1110. 85
79
Konsep kalimat Mata itu tampak berbinar puas dalam cerpen menjelaskan bahwa pengunjung kopi yang tiba-tiba bertanya kepada Ben di bar mengenai ciri khas kopi tubruk. Mendengar penjelasan Ben, pengunjung tersebut pun langsung menikmati kopi tubruk sesuai tahapan yang telah dijelaskan. Pengunjung tersebut pun terpukau setelah menikmati sendiri kopi tubruk buatan Ben, karena sesuai dengan apa yang dijelaskan. Pemaparan tersebut menjelaskan unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen yakni bar tempat seorang pengunjung memesan kopi tubruk sekaligus Ben meramu kopi merupakan (latar tempat) terjadinya cerita. 3) Otak-otak nakal mereka langsung giat berputar87 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis berupa konkret ke abstrak, yakni metafora yang yang menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut Otak-otak nakal mereka langsung giat berputar terdapat kata yang perlu digarisbawahi, nakal. Kata nakal dalam KBBI memiliki arti suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya, terutama bagi anak-anak), buruk kelakuan.88 Penggunaan kata nakal dalam kalimat Otak-otak nakal mereka langsung giat berputar mengartikan bahwa otak anak-anak (pengalaman konkret) sedang berfikir nakal (pengalaman abstrak) untuk melakukan sesuatu hal. Hal ini menunjukan bahwa adanya pengalaman abstrak yang dijabarkan ke dalam hal konkret, karena kata nakal merupakan pemikiran/tindakan spontanitas yang ada (konsep) terutama pada anak-anak. Konteks kalimat Otak-otak nakal mereka langsung giat berputar dalam cerpen menjelaskan bahwa anak-anak Om Haryanto, Sarah, David dan Natali di rumahnya memberi nama pada beberapa kecoak yang akan 87 88
Lestari, op. cit., h. 112. Depdiknas, op. cit., h. 949.
80
dijadikan pakan ikan arwana dengan nama teman-teman mereka. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa rumah Om Haryanto menunjukkan (latar tempat) terjadinya peristiwa penamaan kecoak yang akan dijadikan pakan ikan arwana. Latar tempat tersebut merupakan unsur intrinsik yang ada dalam cerpen.
4. Metafora Sinaestetik 1) Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar89 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni frasa berurat kasar. Jika diteliti perkata, maka tiap kata dari frasa tersebut memiliki arti sebagai berikut: kata berurat dalam KBBI memiliki kata dasar urat artinya bagian dalam tubuh yang menyerupai benang atau tali, jalur atau garis yang tampak pada permukaan (kayu, daun, dan sebagainya), akar, kemudian kata urat mendapat imbuhan ber- menjadi berurat memiliki arti ada uratnya, berakar.90 Seseorang dapat mengetahui kayu merbau memiliki urat/berurat dengan cara menggunakan indra penglihatannya yakni dengan melihat, aktivitas menggunakan mata untuk memandang (memperhatikan). Kata kasar dalam KBBI memiliki arti agak besar; tidak halus, kasap; kesat; tidak halus waktu diraba.91 Untuk mengetahui keadaan kayu merbau halus atau kasar seseorang dapat menggunakan indra peraba yakni dengan cara meraba, menyentuhnya (memegang) dengan telapak tangan.
89
Dewi Lestari, Filosofi Kopi, (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2012), cet. 1, h. 2. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi IV, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. 1, h. 213. 91 Ibid., h. 630. 90
81
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra penglihatan ke indra peraba. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata berurat berhubungan dengan indra melihat, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar kata berurat pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra penglihatan, tetapi sudah dihubungkan dengan indra peraba. Dalam cerpen, konteks kalimat tersebut menggambarkan kedai yang dibangun oleh Ben sangat bagus dan terkonsep baik tata letak ruangan maupun barang-barang yang digunakan. Hal ini salah satunya terlihat dari pemilihan kayu yang digunakan untuk dinding dan lantai. Ben sangat memperhatikan betul detail-detail barang yang digunakan untuk kedai kopinya, hal ini dikarenakan Ben sangat mengutamakan kenyamanan dan nuansa yang dihasilkan saat meminum kopi. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah kedai merupakan (latar tempat) yang menunjukkan pemilihan dan penggunaan kayu oleh Ben untuk lantai dan dinding kedainya. 2) Perempuan itu tertawa kecil92 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Perempuan itu tertawa kecil terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni frasa tertawa kecil. Jika diteliti perkata, maka tiap kata dari frasa tersebut memiliki arti sebagai berikut: kata tertawa dalam KBBI memiliki kata dasar tawa artinya ungkapan rasa gembira, senang, geli dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan, sedang, keras) melalui alat ucap kemudian kata tawa mendapat imbuhan ter- menjadi tertawa memiliki arti melahirkan rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan suara 92
Lestari, op. cit., h. 4.
82
berderai.93 Kata kecil dalam KBBI memiliki arti kurang besar (keadaannya dan sebagainya) daripada yang biasa.94 Untuk mengetahui keadaan sesuatu disebut
kecil
atau
besar,
seseorang
dapat
menggunakan
indra
penglihatannya dengan cara melihat. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari penglihatan ke pendengaran. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata kecil berhubungan dengan indra melihat, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Perempuan itu tertawa kecil kata kecil pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra penglihatan, tetapi sudah dihubungkan dengan indra pendengaran. Dalam cerpen, konteks kalimat tersebut menggambarkan seorang wanita yang mengeluarkan suara sedang (tidak terbahakbahak/lirih) saat tertawa ketika barista kedai filosofi kopi, Ben menyorongkan secangkir kopi cappucino yang diibaratkan sama dengan perempuan tersebut, lembut. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut adalah kedai merupakan (latar tempat) yang menunjukkan terjadinya peristiwa pengunjung perempuan merasa tersanjung oleh Ben saat dirinya disamakan dengan kopi cappucino, memiliki kepribadian lembut.
3) Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur95 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni frasa pipinya kasar. Jika diteliti perkata, maka tiap kata dari frasa tersebut memiliki arti sebagai
93
Depdiknas, op. cit., h. 1412. Ibid., h. 644. 95 Lestari, op. cit., h. 11. 94
83
berikut: Kata pipi dalam KBBI memiliki arti sisi muka (di bawah pelipis)96 dan –nya menunjuk pada Ben. Kata kasar dalam KBBI memiliki arti agak besar; tidak halus, kasap; kesat; tidak halus waktu diraba.97 Untuk mengetahui
keadaan
sesuatu
halus
atau
kasar
seseorang
dapat
menggunakan indra peraba yakni dengan cara meraba, menyentuhnya (memegang) dengan telapak tangan. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra peraba ke indra penglihatan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata kasar berhubungan dengan indra peraba, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur. Kata kasar pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra peraba, tetapi sudah dihubungkan dengan indra penglihatan. Dalam cerpen, konteks kalimat tersebut menggambarkan setiap malam setelah kedai tutup Ben tidak pernah beranjak dari barnya. Ini dikarenakan Ben sedang menjalankan tantangan dari seorang pengunjung kopi, pengusaha muda yang menantangnya untuk membuat kopi yang ketika kopi tersebut diminum akan membuat peminumnya menahan napas saking takjubnya dan berkata “hidup ini sempurna” sehingga Ben tidak memedulikan penampilannya. Pemaparan tersebut menunjukkan adanya (latar waktu) yakni malam dan (latar tempat) bar sebagai unsur intrinsik terjadinya peristiwa. 4) Pria itu tertawa lebar membacanya98 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Pria itu tertawa lebar membacanya terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni 96
Depdiknas, op. cit., 1079. Ibid., h. 630. 98 Lestari, op. cit., h. 13. 97
84
frasa tertawa lebar. Jika diteliti perkata, maka tiap kata dari frasa tersebut memiliki arti sebagai berikut: kata tertawa dalam KBBI memiliki kata dasar tawa artinya ungkapan rasa gembira, senang, geli dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan, sedang, keras) melalui alat ucap kemudian kata tawa mendapat imbuhan ter- menjadi tertawa memiliki arti melahirkan rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai.99 Kata lebar dalam KBBI memiliki arti lapang; tidak sempit, lintang suatu bidang, luas.100 Untuk mengetahui keadaan sesuatu dikatakan luas atau sempit, seseorang dapat menggunakan indra penglihatannya dengan cara melihat. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra penglihatan ke indra pendengaran. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata lebar/luas berhubungan dengan indra penglihatan, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Pria itu tertawa lebar membacanya. Kata lebar pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra penglihatan, tetapi sudah dihubungkan dengan indra pendengaran. Dalam cerpen, konteks kalimat tersebut menggambarkan sore itu merupakan hari terakhir sekaligus pembuktian, tantangan yang diberikan oleh lelaki parlenten kepada Ben untuk membuat kopi yang dapat menghasilkan rasa sempurna. Semua pengunjung yang hadir pun merasakan cemas sama seperti Ben. Kopi buatan Ben pun mulai diminum oleh lelaki tersebut dan perlahan dia mengucapkan “Hidup ini sempurna” menandakan tantangan berhasil. Ben merasa senang telah menyelesaikan tantangan darinya dan memberinya kartu kecil bertuliskan: Kopi Yang Anda Minum Hari Ini: Ben’s PERFECTO Artinya: Sukses adalah Wujud Kesempurnaan Hidup” lelaki tersebut pun tertawa. Unsur intrinsik dalam cerpen dari pemaparan tersebut berupa sore hari menunjukkan (latar waktu) dan bar menunjuk (latar tempat) terjadinya peristiwa. 99
Depdiknas, op. cit., h. 1412 Ibid., h. 800.
100
85
5) Pak Seno tertawa lepas101 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Pak Seno tertawa lepas terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni tertawa lepas. Jika diteliti tiap kata pada frasa tersebut, memiliki arti sebagai berikut: kata tertawa dalam KBBI memiliki kata dasar tawa artinya ungkapan rasa gembira, senang, geli dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan, sedang, keras) melalui alat ucap kemudian kata tawa mendapat imbuhan ter- menjadi tertawa memiliki arti melahirkan rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai.102 Kata lepas dalam KBBI memiliki arti dapat bergerak (lari) ke mana-mana; tidak tertambat, bebas dari ikatan; tidak terikat lagi, dan lolos dari kandangnya (kurungan, kerangkeng dan sebagainya).103 Penjelasan tersebut menunjukan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra penglihatan ke indra pendengaran. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata lepas berhubungan dengan indra penglihatan, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Pak Seno tertawa lepas. Kata lepas pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra penglihatan, tetapi sudah dihubungkan dengan indra pendengaran. Dalam cerpen, konteks kalimat tersebut menggambarkan Ben dan Jody menemukan tempat kopi tiwus yang menurut pengunjung kedai Ben enak bahkan hampir mengalahkan Ben’s perfecto. Jika dilihat tempatnya, rasanya tak mungkin. Warung reyot dari gubuk sederhana yang dinaungi pohon besar dan terletak di atas bukit kecil. Mereka pun berkunjung, Pak Seno merasa tersanjung mendengar pernyataan Jody, partner Ben di kedai kopi yang mengatakan bahwa beliau terkenal karena kenikmatin kopi tiwusnya. Unsur intrinsik dalam cerpen 101
Lestari, op. cit., h. 20. Depdiknas, op. cit., h. 1412. 103 Ibid., h. 817. 102
86
berdasarkan pemaparan tersebut adalah warung reyot dari gubuk milik pak seno merupakan (latar tempat) terjadinya peristiwa Ben dan Jody akan memesan kopi tiwus.
6) Wajah-wajah hangat oleh kepulan uap kopi yang meruap dari cangkircangkir yang dia suguhkan setiap harinya dengan cinta104 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Wajahwajah hangat oleh kepulan uap kopi yang meruap dari cangkir-cangkir yang dia suguhkan setiap harinya dengan cinta terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni wajah-wajah hangat. Jika diteliti tiap kata pada frasa tersebut, memiliki arti sebagai berikut: kata wajah dalam KBBI memiliki arti bagian depan dari kepala; roman; muka, gambaran; corak. Kata wajah mengalami pengulangan seluruh menjadi wajah-wajah105. Kata hangat dalam KBBI memiliki arti agak panas.106 Seseorang dapat merasakan panas atau dingin dengan cara menggunakan indranya, yakni indra peraba (kulit). Penjelasan tersebut menunjukan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra meraba ke indra melihat. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata hangat berhubungan dengan indra peraba, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Wajah-wajah hangat oleh kepulan uap kopi yang meruap dari cangkir-cangkir yang dia suguhkan setiap harinya dengan cinta. Kata hangat pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra peraba, tetapi sudah dihubungkan dengan indra penglihatan. Dalam cerpen, kalimat tersebut menggambarkan malam itu, melalui kartu ucapan yang berdatangan ke kedai, membuat Ben membacanya dan teringat kembali wajah-wajah pengunjung kopi yang 104
Lestari, op. cit., h. 28. Depdiknas, op. cit., h. 1553. 106 Ibid., h. 479. 105
87
pernah dilihatnya, ramah, dan senang mengopi sambil berdiskusi atau sekedar penasaran dengan kopi yang ada di kedai tanpa menuntut kesempurnaan seperti Ben’s perfecto. Unsur intrinsik dari pemaparan tersebut dalam cerpen adalah malam menunjukkan (latar waktu) dan kedai merupakan (latar tempat terjadinya peristiwa). 7) Hera yang manis dan manut107 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Hera yang manis dan manut terdapat kata yang perlu digarisbawahi yakni kata manis. kata manis dalam KBBI memiliki arti rasa seperti rasa gula.108 Seseorang dapat mengetahui sesuatu memiliki rasa manis atau pahit dengan indra perasanya, yakni dengan mencecap. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra perasa ke indra penglihatan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata manis berhubungan dengan indra mencecap, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Hera yang manis dan manut kata manis pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra mencecap, tetapi sudah dihubungkan dengan indra penglihatan. Dalam cerpen, konteks kalimat tersebut menggambarkan gadis bernama Hera memiliki paras yang menarik hati serta ketaatannya pada orang tua, agama, dan negara. Fokus cerita dalam cerpen berjudul Mencari Herman adalah Hera sehingga (tokoh utama) dalam cerpen tersebut adalah Hera. Berdasarkan kalimat di atas, sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen berupa (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama) yang memposisikan dirinya serba tahu mengenai keadaan Hera. 107 108
Lestari, op. cit., h. 32. Depdiknas., op. cit., h. 875.
88
8) Wajah manisnya berubah pahit sekian lama109 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat wajah manisnya berubah pahit sekian lama terdapat frasa wajah manisnya dan kata pahit yang perlu digarisbawahi. Kata wajah dalam KBBI memiliki arti bagian depan dari kepala; roman; muka, gambaran; corak.110 Kata manis dalam KBBI memiliki arti rasa seperti rasa gula.111 Kata pahit dalam KBBI memiliki arti rasa tidak sedap seperti rasa empedu.112 Seseorang dapat mengetahui sesuatu memiliki rasa manis atau pahit dengan indra perasanya, yakni dengan mencecap. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra perasa ke indra penglihatan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata manis dan pahit berhubungan dengan indra mencecap, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Wajah manisnya berubah pahit sekian lama. Kata manis dan pahit pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra mencecap, tetapi sudah dihubungkan dengan indra penglihatan. Dalam cerpen, kalimat tersebut menggambarkan Hera gadis berparas menarik yang dulu dikenal taat kepada orang tua dan agama, kini berubah menjadi Hera berparas murung, hal itu disebabkan karena perbuatannya yang melanggar agama sehingga berefek pada salah satu organ dalam tubuhnya. Fokus cerita dalam cerpen berjudul Mencari Herman adalah Hera sehingga (tokoh utama) dalam cerpen tersebut adalah Hera. Berdasarkan kalimat di atas, sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen berupa (tokoh bawahan menceritakan tokoh utama) yang memposisikan dirinya serba tahu mengenai keadaan Hera. 109
Lestari, op. cit., h. 33. Depdiknas, op. cit., h. 1553. 111 Ibid., h. 875. 112 Ibid., h. 999. 110
89
9) Dia berbisik-bisik payah113 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Dia berbisik-bisik payah terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni kata berbisik-bisik payah. Jika diteliti perkata, tiap-tiap kata pada frasa tersebut memiliki arti sebagai berikut: kata bisik adalah kata dasar dari berbisik dalam KBBI memiliki arti suara desis perlahan-lahan, kemudian kata bisik mendapat imbuhan ber- menjadi berbisik memiliki arti berkata dengan suara perlahan-lahan (seakan hanya mendesis dan tidak nyaring). Kata berbisik mengalami pengulangan sebagian menjadi berbisik-bisik memiliki arti berbisik.114 Kata payah dalam KBBI memiliki arti lelah; penat, sukar; susah, kesulitan (kesukaran, bahaya, dan sebagainya).115 Seseorang dapat mengetahui keadaan orang lain dalam kesukaran atau tidak dengan indra penglihatannya, yakni dengan cara melihat. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra penglihatan ke indra pendengaran. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata payah berhubungan dengan indra penglihatan, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Dia berbisik-bisik payah. Kata payah pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra penglihatan, tetapi sudah dihubungkan dengan indra pendengaran. Dalam cerpen, konteks kalimat tersebut menggambarkan setelah selesai menggosok gigi, Egi menghampiri Tio yang ada di ruang tamu kemudian menitikkan air mata menahan tangis akibat luka yang terlalu lama disimpan dan merasa bersalah terhadap sahabatnya karena dia selalu melihat dan mendengar keluhannya. Unsur intrinsik cerpen dari pemaparan tersebut adalah ruang tamu menunjukkan (latar tempat) terjadinya peristiwa 113
Lestari, op. cit., h. 60. Depdiknas, op. cit., h. 199. 115 Ibid., h. 1033. 114
90
10) Bisik Lei halus116 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Bisik Lei halus terdapat kata yang perlu digarisbawahi yakni kata bisik dan halus. Kata bisik dalam KBBI memiliki arti suara desis perlahan-lahan.117 Kata halus dalam KBBI memiliki arti lumat; kecil-kecil, tidak kasar; lembut; licin.118 Seseorang dapat mengetahui keadaan sesuatu halus atau kasar dengan indra perabanya (kulit), yakni dengan cara meraba. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra peraba ke indra pendengaran. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata halus berhubungan dengan indra peraba, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Bisik Lei halus. Kata halus pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra peraba, tetapi sudah dihubungkan dengan indra pendengaran. Dalam cerpen, konteks kalimat tersebut menggambarkan malam ketika Lei dan Indi berbincang-bincang tiba-tiba indi tertawa, Lei pun bertanya lembut pada Indi mengenai perihal tersebut. Unsur intrinsik cerpen dari pemaparan tersebut adalah malam menunjukkan (latar waktu) terjadinya peristiwa 11) Lana tersenyum tipis, ringan119 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Lana tersenyum tipis, ringan terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni frasa 116
Lestari, op. cit., h. 73. Depdiknas, op. cit., h. 199. 118 Ibid., h. 477. 119 Lestari, op. cit., h. 95. 117
91
tersenyum tipis. Jika diteliti perkata, tiap kata pada frasa tersebut memiliki arti sebagai berikut: Kata senyum adalah kata dasar dari tersenyum dalam KBBI memiliki arti gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka dengan mengembangkan bibir sedikit.120 Kata tipis dalam KBBI memiliki arti sedikit antara permukaan yang satu dengan yang lainnya (tentang barang-barang yang pipih), kurang tebal.121 Untuk mengetahui keadaan sesuatu dikatakan tebal atau tipis, seseorang dapat menggunakan indra perabanya untuk meraba. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra peraba ke indra penglihatan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata tipis berhubungan dengan indra peraba, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Lana tersenyum tipis, ringan. Kata tipis pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra peraba, tetapi sudah dihubungkan dengan indra penglihatan. Dalam cerpen, kalimat tersebut menggambarkan di ruang tunggu bandara Lana berusaha menyapa sahabatnya, Lara menekan segala rasa untuk bisa menyapanya lewat telepon sebelum dia pergi. Lana jujur dengan keadaannya dan pasrah serta berani untuk menjadi beda, bahwa dia mencintai Lara, tidak akan berubah meskipun keadaan telah berubah. Bandara menunjukkan (latar tempat) terjadinya peristiwa dalam cerpen yang merupakan salah satu unsur intrinsik. 12) Gadis yang kucintai adalah seorang remaja berparas manis122 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Gadis yang kucintai adalah seorang remaja berparas manis terdapat frasa berparas manis yang perlu digarisbawahi. Kata dasar dari berparas adalah 120
Depdiknas, op. cit., h. 1277. Ibid., h. 1471. 122 Lestari, op. cit., h. 109. 121
92
paras dalam KBBI memiliki arti rupa muka, kemudian kata paras mendapat imbuhan ber- menjadi berparas memiliki arti memiliki rupa muka.123 Kata manis dalam KBBI memiliki arti rasa seperti rasa gula.124 Seseorang dapat mengetahui sesuatu memiliki rasa manis atau pahit dengan indra perasanya, yakni dengan mencecap. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra perasa ke indra penglihatan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata manis berhubungan dengan indra perasa, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Gadis yang kucintai adalah seorang remaja berparas manis kata manis pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra perasa, tetapi sudah dihubungkan dengan indra penglihatan. Dalam cerpen, kalimat tersebut menggambarkan Rico, seekor kecoak tertarik pada Sarah, seorang manusia yang memiliki rupa manis. Sarah merupakan salah satu dari anak Om Haryanto tempat dimana Rico dan kerajaan kecoak yang dipimpin ayahnya berada. Pemaparan tersebut menunjukkan (alur pengenalan) dalam cerpen, hal ini diketahui dari penggambaran sifat Rico yang menyukai manusia. Dari kalimat tersebut, sudut pandang yang digunakan pengarang pun diketahui berupa (tokoh utama menceritakan ceritanya sendiri) ini diketahui dari penggunaan imbuhan –ku yang menunjuk diri sendiri, yang menceritakan kekagumannya sendiri (Rico) pada Sarah. 13) Sarah-ku ada di sana, tertawa-tawa manis di pinggir akuarium125 Analisis: Kalimat di atas terdapat perubahan arti metaforis sinaestetik, yakni perubahan arti yang mengacu pada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antarindra. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, kalimat Sarah-ku ada di sana, tertawa-tawa manis di pinggir akuarium terdapat frasa yang perlu digarisbawahi yakni tertawa-tawa manis. Jika diteliti tiap kata pada 123
Depdiknas, op. cit., h. 1021. Ibid., h. 875. 125 Lestari, op. cit., h. 112 124
93
frasa tersebut, memiliki arti sebagai berikut: kata tertawa dalam KBBI memiliki kata dasar tawa artinya ungkapan rasa gembira, senang, geli dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan, sedang, keras) melalui alat ucap kemudian kata tawa mendapat imbuhan ter- menjadi tertawa memiliki arti melahirkan rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan suara berderai kemudian kata tertawa mengalami pengulangan sebagian menjadi tertawa-tawa.126 Kata manis dalam KBBI memiliki arti rasa seperti rasa gula.127 Seseorang dapat mengetahui sesuatu memiliki rasa manis atau pahit dengan indra perasanya, yakni dengan mencecap. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada kalimat diatas terdapat pertukaran pemakaian aktivitas antarindra, yakni dari indra perasa ke indra pendengaran. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kata manis berhubungan dengan indra perasa, tetapi setelah digunakan dalam kalimat Sarah-ku ada di sana, tertawa-tawa manis di pinggir akuarium kata manis pada kalimat tersebut tidak lagi berhubungan dengan indra perasa, tetapi sudah dihubungkan dengan indra pendengaran. Dalam cerpen, kalimat tersebut menggambarkan Rico, seekor kecoak melihat Sarah, manusia yang disukainya sedang tertawa riang bersama kedua saudaranya di pinggir akuarium, rumahnya saat memberi makan ikan arwana berupa kecoak yang diberi nama teman-teman dekat rumahnya. Berdasarkan pemaparan tersebut diketahui bahwa rumah Om Haryanto merupakan (latar tempat) terjadinya peristiwa dan Rico merupakan (tokoh utama) dalam cerpen, hal ini ditunjukkan dari fokus cerita yang menceritakan perasaan dan hal-hal terkait Rico pada Sarah salah satunya dibuktikan dalam kalimat di atas. Selain itu, kalimat di atas juga menunjukkan sudut pandang yang digunakan pengarang yakni (tokoh utama menceritakan ceritanya sendiri) ini diketahui dari penggunaan imbuhan –ku yang menunjuk diri sendiri, menceritakan kekagumannya sendiri (Rico) pada Sarah.
126 127
Depdiknas, op. cit., h. 1412. Ibid., h. 875.
94
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran di Sekolah Pendidikan merupakan salah satu bukti dan faktor bagi kemajuan bangsa. Melalui pendidikan, sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas terbentuk. Pendidikan yang ada di Indonesia selalu melakukan perubahan dan pengembangan terkait kurikulum, ini merupakan salah satu bentuk langkah pemerintah untuk memajukan dan memutukan pendidikan di Indonesia. Pergantian kurikulum dilakukan berdasarkan kebutuhan serta tujuan yang ada. Dalam mencetak dan melahirkan sumber daya manuisa yang berkualitas, pendidikan menetapkan aspek-aspek yang harus dicapai peserta didik pada semua jenjang. Aspek-aspek tersebut meliputi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Hal ini penting di ajarkan bagi peserta didik, karena bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan serta bahasa nasional yang digunakan oleh bangsa Indonesia. Pentingnya bahasa Indonesia untuk peserta didik terlihat dari pengajaran yang sudah dilakukan sejak jenjang sekolah dasar. Secara umum, fungsi bahasa meliputi alat komunikasi, alat ekspresi dan alat berpikir.128 Melalui bahasa siswa dapat berkomunikasi dengan siswa lain, guru atau orang disekitarnya guna menyampaikan informasi, pendapat atau berinteraksi sebagai makhluk sosial. Bahasa sebagai alat ekspresi dapat membentu siswa dalam mengungkapkan rasa setuju, tidak setuju, paham atau belum paham dalam menerima pelajaran di kelas dan bahasa sebagai alat berpikir membantu siswa dalam menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulis seperti karya ilmiah. Pembelajaran bahasa Indonesia yang didapat siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia pada masing-masing jenjang, berdasarkan kurikulum yang digunakan. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia pada jenjang SMP berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menurut Depdiknas tahun 2004 yakni, mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP merupakan hasil penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dan telah 128
Ramlan A. Gani dan Mahmudah Fitriyah Z. A., Disiplin Berbahasa Indonesia, (Jakarta: FITK PRESS, 2010), cet. 1, h.2.
95
diatur dalam undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003. Dalam ketentuan umum undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 diperoleh penjelasan sebagai berikut. Pendidikan adalah usaha dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.129 Berdasarkan pemaparan tersebut, menunjukkan bahwa keterampilan yang diajarkan pada pembelajaran bahasa Indonesia tidak hanya mencakup bahasa saja tetapi juga sastra. Sastra mengajarkan siswa terhadap kelembutan, kepekaan, dan cinta terhadap sekitar dari sini diharapkan siswa mampu menanamkan nilai-nilai budaya dan kehidupan yang didapat dari karya sastra dalam kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah menurut Depdiknas tahun 2004 yaitu, sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, sarana peningkatan keterampilan dan pengetahuan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya dan sarana pemahaman keanekaragaman budaya Indonesia melalui khasanah bahasa Indonesia.130 Pemaparan tersebut menjelaskan bahwa bahasa dan sastra merupakan dua hal penting yang perlu diajarkan pada peserta didik. Pada penelitian ini, hasil penelitian dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada jenjang SMP kelas IX semester ganjil,
pada materi cara menemukan unsu-unsur
cerpen dan implementasinya. Pada pembelajaran tersebut, siswa melakukan kegiatan membaca isi cerpen serta mencari arti dari kata ataupun frasa pada bahasa yang mengalami perubahan arti dan disesuaikan dengan konteks yang ada untuk mengetahui maksud cerita. Dari sini, siswa dapat menemukan unsur intrinsik lain yang terdapat di dalam cerpen. Kegiatan ini menuntun siswa untuk menemukan pesan yang ada dalam cerpen, dengan harapan dapat diterapkan dalam kehidupan siswa. 129
Kalius Sabakalek, Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia Tingkat SD, SMP, SMA, PT, 2013, (Kalius-sabakalek.blogspot.com). 130 Ibid
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang peneliti dapat dari hasil analisis sebagai berikut: Ditemukan 44 perubahan arti metaforis yang digunakan Dewi Lestari dalam karyanya berupa kumpulan cerpen Filosofi Kopi. 44 perubahan arti metaforis tersebut meliputi: metafora antropomorfis sebanyak 19 buah, metafora binatang sebanyak 9 buah, metafora konkret ke abstrak sebanyak 3 buah dan metafora sinaestetik sebanyak 13 buah. Perubahan arti metaforis berupa antropomorfis sebanyak 19 buah yang ditemukan meliputi: 7 buah perubahan arti menunjukkan perubahan yang mengalihkan aktivitas manusia kepada benda selain manusia, 8 buah perubahan arti menunjukkan perubahan yang mengalihkan sifat manusia kepada benda selain manusia, 1 buah perubahan arti menunjukkan perubahan yang mengalihkan sifat dan aktivitas manusia kepada benda selain manusia dan 3 buah lagi perubahan arti menunjukkan perubahan yang mengalihkan sifat benda kepada manusia. Perubahan arti metaforis berupa binatang sebanyak 9 buah perubahan, meliputi: 7 buah perubahan arti menunjukkan perubahan yang mengalihkan aktivitas binatang ke selain binatang dan 2 buah perubahan arti lainnya menunjukkan perubahan yang mengalihkan sifat binatang ke selain binatang. Perubahan arti metaforis berupa sinaestetik yang terdiri dari 13 buah perubahan arti yang menunjukkan pertukaran aktivitas antar indra, meliputi: indra peraba ke indra penglihatan sebanyak 4 buah, perubahan arti dari indra penglihatan ke indra pendengaran sebanyak 4 buah, 3 buah perubahan arti dari indra perasa ke penglihatan, 1 buah perubahan arti dari indra peraba ke indra pendengaran dan 1 buah dari indra perasa ke indra pendengaran. Fungsi metafora dalam sastra, selain membantu pembaca dalam memahami cerita
96
97
juga membantu pembaca dalam menemukan tokoh, latar, alur, sudut pandang yang merupakan unsur intrinsik dalam cerpen Implikasi penelitian ini terhadap pendidikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan mampu membantu siswa dalam menemukan dan memahami unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen serta diharapkan siswa mampu mengambil dan menerapkan pesan positif yang disampaikan pengarang dalam kehidupannya.
B. Saran 1. Pada hakikatnya perubahan arti terdiri dari dua, yakni perubahan arti berdasarkan keserupaan (similarity)/metafora dan perubahan arti berdasarkan kedekatan (contiguity)/metonimi. 2. Metafora banyak ditemukan dalam karya sastra, salah satunya cerpen. Metafora membantu pembaca dalam memahami maksud cerita berdasarkan konteks yang ada dan membantu pembaca menemukan serta mengetahui unsur intrinsik dalam cerpen. 3. Implikasi dari penelitian ini adalah menambah referensi pembelajaran di sekolah pada materi cara menemukan unsur-unsur cerpen, terutama pada gaya bahasa yang digunakan pengarang berupa metafora atau perubahan arti yang disebabkan oleh keserupaan antararti (similarity) bahwa metafora terdiri dari metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora konkret ke abstrak dan metafora sinaestetik.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Hiski dan YA3 Anonim. Harian Kompas. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Minggu 22 Januari 2006. Anonim. Harian Media Indonesia. “Dewi Lestari Karya besar dan Kodrat Ibu”. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Minggu 10 April 2005. Anonim. Harian Media Indonesia. “Inspiring Woman”. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Minggu 02 Februari 2005. Anonim. Harian Republika. “Selebritis Rama-ramai Bikin Buku”. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Minggu 04 Juli 2004. Aziez, Furqonul., dan Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia, Cet. I, 2010. Budianta, Melani., dkk., Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera, Cet. III, 2006. Budiman, Kris. Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas. Yogyakarta: Jalasutra, Cet. I, 2011. Dedy Rahmad Sitinjak, “Metafora dalam Peribahasa Bahasa Melayu Dialek Batubara”, Skripsi pada Universitas Sumatera Utara Medan: 2012 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. I, 2008. Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT. Refika Aditama. Fanny Fajarianti, “Metafora dalam Komik”, Skripsi pada Universitas Indonesia Depok: 2008 Hanafi, Abdul Halim. Metodologi Penelitian Bahasa untuk Penelitian, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Diadit Media Press, Cet. I, 2011. Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan. My Life As Writter. Jakarta: PlotPoint, 2013. Kalius Sabakalek. Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia Tingkat SD, SMP, SMA, PT. Kalius-sabakalek.blogspot.com, 2013 Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. XIX, 2009. Kurniawan, Heru dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. Edisi I. Yogyakarta: Graha Ilmu, Cet. I, 2012
98
99
Lestari, Dewi. Filosofi Kopi. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. Cet. I, 2012. Manaf, Ngusman Abdul. Semantik Bahasa Indonesia. Padang: UNP Press Padang, 2010. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. IV, 1993. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Cet. VIII, 2010. Parera, J. D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga, 2004. Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. I, 2001. Ramlan A. Gani dan Mahmudah Fitriyah Z. A. Disiplin Berbahasa Indonesia. Jakarta: FITK PRESS, Cet. 1, 2012. Resmini, Novi., dkk., Kebahasaan (Fonologi, Morfologi, dan Semantik). Edisi I. Bandung: UPI Press. Cet. I, 2006. Riemer, Nick. Introducing Semantics. New York: Camberidge University Press, 2010. Saeed, John I. Semantics. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd, 2003 Sarwo Indah Wigati, “Tuturan Metaforis dalam Lirik Lagu-lagu Ebiet G. Ad”, Skripsi pada Universitas Sebelas Maret Surakarta: 2003 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008. Subuki, Makyun. Semantik Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka, Cet. I, 2011. Sumarlam., dkk., Pelangi Nusantara Kajian Berbagai Variasi Bahasa. Edisi I. Yogyakarta: Graha Ilmu, Cet. I, 2012. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2011. Ullman, Stephen. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. III, 2011. Usman, Husaini., dan Akbar, Purnomo Setiady. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I. 2008. Widjojoko., dan Hidayat, Endang. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Edisi I. Bandung: UPI Press, Cet. I. 2006.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama Sekolah
: Sekolah Menengah Pertama
Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/semester
: IX/1
Alokasi waktu
: 4 x 40 menit
Materi Pembelajaran : Cara menemukan unsu-unsur cerpen dan implementasinya Standar Kompetensi : Membaca Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca buku kumpulan cerita pendek (cerpen) Kompetensi Dasar
: Menemukan tema, latar, dan penokohan pada cerpencerpen dalam satu kumpulan cerpen
Indikator : 1. Mampu menyimpulkan tema cerpen 2. Berdiskusi untuk menentukan tema, latar, dan penokohan dalam tiaptiap cerpen 3. Menunjukkan
keterkaitan
antar
unsur
cerpen
sebagai
dasar
pembulatcermatan makna cerpen secara utuh Metode Pembelajaran
: Ceramah, Diskusi dan latihan
Karakter yang diharapkan : dapat dipercaya, rasa hormat, perhatian, dan tekun Langkah-langkah pembelajaran A. Kegiatan pendahuluan Mengucapkan salam Mengabsen kehadiran siswa
Memberitahukan kepada siswa mengenai materi yang akan dipelajari Menyebutkan beberapa indikator yang harus dicapai oleh siswa dalam pembelajaran B. Kegiatan inti a) Eksplorasi Dalam kegiatan ini, guru: Menggali pengetahuan siswa mengenai hal-hal yang dijumpai disekitar kehidupan berkaitan dengan materi yang akan dipelajari b) Elaborasi Dalam kegiatan ini, guru: Menjelaskan materi serta mengajak siswa untuk ikut serta berpartisipasi dalam mengemukakan pendapat maupun ide berkaitan dengan materi yang diajarkan Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai materi yang belum dimengerti Memberikan kesempatan kepada siswa lain untuk berpartisipasi dalam menjawab pertanyaan berdasarkan pengetahuan yang didapatnya Meluruskan dan
menguatkan pemahaman siswa jika terdapat
kekeliruan dalam memahami materi yang diajarkan c) Konfirmasi Dalam kegiatan ini, guru: Memberikan penugasan kepada siswa (kelompok, terdiri dari 7 orang) Cerpen yang akan dibahasa untuk diskusi kelompok hanya terdiri dari dua cerpen yang dipilih dari kumpulan cerpen Masing-masing kelompok mendapat salah satu cerpen yang telah dipilih berdasarkan sistem hitung (ganjil genap) dari kumpulan cerpen
Masing-masing siswa dari tiap kelompok memilih satu unsur intrinsik
untuk
dianalisis
berdasarkan
cerpen
yang
akan
didiskusikan dalam kelompok. Membahas bersama tugas yang telah dikerjakan siswa yakni dengan cara satu kelompok menjelaskan hasil diskusinya dan kelompok lain boleh menyanggah atau memperbaiki jika terdapat kekeliruan Bersama siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari bersama C. Kegiatan penutup Guru menutup pelajaran dengan membaca doa D. Sumber/alat/bahan Maryati dan Sutopo. Bahasa dan Sastra Indonesia 3 untuk SMP/MTS Kelas IX. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.2008. In Focus E. Indikator penilaian Indikator Pencapaian
Teknik
Bentuk
Kompetensi
Penilaian
penilaian
Tes tulis
Uraian
Mampu menyimpulkan tema cerpen Menentukan
tema,
latar, dan penokohan dalam tiap-tiap cerpen
Instrumen penilaian Apa tema dari cerpen berikut? Tentukan tema, latar,
Tes tulis
Uraian
dan penokohan serta unsur intrinsik lain dari cerpen berikut!
Menjelaskan
Dari hasil diskusi
keterkaitan antar unsur
yang telah dilakukan,
cerpen sebagai dasar pemahaman
makna
cerpen secara utuh
Tes tulis
Uraian
pelajaran apa yang dapat diambil dari cerpen tersebut?
Bentuk tes: tes tulis No 1.
2.
3.
Aspek penilaian Mampu menyimpulkan tema cerpen! a. Tepat b. Kurang tepat c. Tidak tepat
Skor
5 3 1
Mampu menentukan tema, latar, dan penokohan dalam cerpen a. Tepat b. Kurang tepat c. Tidak tepat
5 3 1
Menjelaskan keterkaitan antar unsur cerpen sebagai dasar pemahaman makna cerpen secara utuh a. Tepat b. Kurang tepat c. Tidak tepat
5 3 1
Skor maksimum
15
Nilai akhir
Nilai
x 100
Tangerang Selatan, 30 April 2014 Mengetahui, Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Aisatul Fitriah
A. Metafora antropomorfis No.
Kalimat
Halaman
1.
Sementara di pusat orbit sana, Ben mengoceh tanpa henti
3
2.
Kopi itu sangat berkarakter
4
3.
Anda tahu, cappucino ini kopi paling genit
4
4.
“Bagaimana dengan kopi tubruk?” seseorang bertanya iseng. “Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau
5
kita mengenalnya lebih dalam,” 5.
Kopi
tubruk
tidak
peduli
penampilan,
kasar
membuatnya pun sangat cepat 6.
5
Kopi ini bertuliskan: “KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:….” Dan keterangan filosofinya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda
7-8
keberuntungan yang menyumbangkan harap untuk menjalani hari 7.
Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu
9
8.
Jakun Bapak bergerak gugup
16
9.
Benlah sesungguhnya tungku tempat ini
25
10.
Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan nyamuk-
45
nyamuk yang putus asa 11.
Tiap rintik menusuk bagai pisau
12.
Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana
82 88
13.
Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya
88
14.
Lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah
97
15.
Masa kecilnya (Hunter, raja kecoak) dihabiskan di lubang dekat televisi, karena itulah dia pintar,
111
berbudaya, dan punya wawasan luas 16.
Kecoak WC tidak beradab
111
17.
Sarah memberi nama pada seekor kecoak jelata! Sebuat aku penjiplak, plagiator, dan sebagainya, tapi aku tak mungkin membiarkan nama yang terlontar dari
113
buah hatiku hilang bersama nyawa kecoak tak jelas 18.
Kawanan semut sudah mengarak-araknya pergi
115
19.
Diluar dugaan kami, Ayah (Hunter, raja kecoak) malah naik pitam
117
B. Metafora binatang No.
Kalimat
Halaman
1.
Nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya
2.
Buku ini adalah buku yang hidup
3.
Hera
tersenyum
setengah
6 mendengus
sambil
menggeleng kenes 4.
6
Hera telah bermetamorfosis menjadi perempuan modern yang tak terjangkau ukuran sosialku
34
34
5.
Kembali Hera tertawa lepas
34
6.
Rasa bersalah menggigitku
59
7.
Bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langit dengan warna menguning
8.
Terbang bersama lolongan perempuan India yang melatari dentuman bas dan drum
9.
Probo mencintai dirinya, menjilati kulitnya sendiri bila kepingin
82
102-103
103
C. Metafora konkret ke abstrak No. 1.
Kalimat Kopi
tubruk
tidak
peduli
Halaman penampilan,
kasar
membuatnya pun sangat cepat 2.
Mata itu tampak berbinar puas
3.
Otak-otak nakal mereka langsung giat berputar
5 5 112
D. Metafora sinaestetik No. 1.
Kalimat Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar
2.
Perempuan itu tertawa kecil
3.
Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur
Halaman 2 4 11
4.
Pria itu tertawa lebar membacanya
13
5.
Pak Seno tertawa lepas
20
6.
Wajah-wajah hangat oleh kepulan uap kopi yang meruap dari cangkir-cangkir yang dia suguhkan setiap
28
harinya dengan cinta 7.
Hera yang manis dan manut
32
8.
Wajah manisnya berubah pahit sekian lama
33
9.
Dia berbisik-bisik payah
60
10.
Bisik Lei halus
73
11.
Lana tersenyum tipis, ringan
95
12.
Gadis yang kucintai adalah seorang remaja berparas manis
13.
Sarah-ku ada di sana, tertawa-tawa manis di pinggir akuarium
109
112
DAFTAR RIWAYAT HIDUP AISATUL FITRIAH biasa disapa dengan Ais lahir di Tegal, 08 Maret 1993. Anak tunggal dari pasangan M. Fahrurozi dan Fatonah memulai pendidikannya di MIAlmunawaroh
Tegal
(1998-2004),
kemudian
melanjutkan pendidikannya di MTS N Model Babakan Tegal (2004-2007), MAN Babakan Tegal (2007-2010) sambil belajar ilmu agama Islam di Ponpes Ma’hadut Tholabah Babakan Tegal. Lulus dari MAN, penulis melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama kuliah, penulis tercatat sebagai anggota POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah) dan fokus pada LST (Lingkar Sastra Tarbiyah). Pengalaman mengajarnya di mulai pada tahun 2012, yakni mengajar di SMK Informatika Ciputat sebagai pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia selama setahun.