PERTUMBUHAN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron Linn.) DAN LONGKIDA (Nauclea orientalis Linn.) PADA KONDISI TERGENANG AIR ASAM TAMBANG
MIFTAHUL MAWADDAH
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERTUMBUHAN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron Linn.) DAN LONGKIDA (Nauclea orientalis Linn.) PADA KONDISI TERGENANG AIR ASAM TAMBANG
MIFTAHUL MAWADDAH
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN MIFTAHUL MAWADDAH. Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang. Di bawah bimbingan: IRDIKA MANSUR dan LANA SARIA. Sebagian besar metode penambangan batubara di Indonesia menggunakan sistem penambangan terbuka yang menyebabkan tereksposenya mineral sulfida, sehingga memicu timbulnya Air Asam Tambang (AAT) bila teroksidasi dengan O2 dan bertemu dengan H2O. Permasalahan tersebut dialami oleh setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan batubara, termasuk PT Mandiri Intiperkasa. Penanganan AAT yang sudah dilakukan adalah dengan pemberian kapur guna menetralkan pH sebelum dilepas ke perairan umum. Akan tetapi, hal ini hanya dapat dilakukan bila perusahaan masih aktif beroperasi. Oleh karena itu, AAT juga perlu ditangani secara pasif, yang akan terus bekerja meski perusahaan sudah berhenti beroperasi. Penanganan AAT secara pasif dilakukan dengan pembuatan kolam pengendapan (settling pond) yang biasanya ditanami dengan rumput tifa (Typha angustifolia). Teknik ini juga dikenal dengan istilah wetland. Meskipun teknik ini mampu menyelesaikan masalah AAT, namun dapat menyebabkan lahan menjadi tidak produktif karena hanya ditumbuhi jenis rumput saja. Oleh karena itu, perlu ditambahkan jenis-jenis pohon komersial yang mampu bertahan dan tumbuh dengan baik pada kondisi genangan AAT, sehingga suatu saat nanti dapat memberikan nilai tambah dari kayu maupun non-kayunya. Pemilihan jenis pohon didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kayu putih (Melaleuca leucadendron) dan longkida (Nauclea orientalis) mampu bertahan pada kondisi genangan air. Kedua jenis itu pula yang dipilih pada penelitian ini, namun air yang digunakan untuk penggenangan adalah AAT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hidup dan pertumbuhan kayu putih dan longkida pada genangan AAT, serta pengaruh kedua jenis tersebut terhadap peningkatan pH AAT. Penelitian dilakukan di persemaian milik PT Mandiri Intiperkasa, Kalimantan Timur pada Mei–Juli 2011. Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan berupa kombinasi jenis tanaman, yaitu tifa dan kayu putih, tifa dan longkida, serta tifa saja. Masingmasing diulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat sembilan unit percobaan. Pengamatan bibit dilakukan selama empat minggu dengan peubah yang diamati ialah pertumbuhan diameter dan tinggi, pH AAT, berat kering tanaman, nisbah pucuk akar, analisis organ vegetatif tanaman, dan analisis lumpur. Perolehan data diolah menggunakan Microsoft Excel dan Minitab 14. Hasil penelitian menyatakan bahwa setiap unit percobaan mengalami peningkatan pH AAT, dengan pH awal sebesar 2,8 dan di akhir pengamatan naik menjadi 6,6. Akan tetapi, kenaikan pH AAT tersebut tidak dipengaruhi oleh jenis tanaman. Adapun kedua jenis pohon, baik kayu putih maupun longkida mampu bertahan dan tumbuh dengan baik selama empat minggu pada kondisi genangan AAT. Kata kunci: Melaleuca leucadendron, Nauclea orientalis, Typha angustifolia, Air Asam Tambang (AAT), wetland
SUMMARY MIFTAHUL MAWADDAH. The Growth of Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) and Longkida (Nauclea orientalis Linn.) in Acid Mine Drainage Puddle Conditions. Under supervision of: IRDIKA MANSUR and LANA SARIA. Most of the coal mining operations in Indonesia use open mining systems that could expose sulfide minerals, so cause Acid Mine Drainage (AMD) surface if oxidized with O2 and met H2O. The problems experienced by each company which is active in mining coal, including PT Mandiri Intiperkasa. Handling of AMD that has been done is the provision of lime to neutralize the pH before being released into public waters. However, this can only be done if the company is still actively operating. Therefore, the AMD also need to be addressed passively, which will continue to work even though the company has stopped operating. Handling AMD passively conducted with make a pond sedimentation (settling pond) which is usually planted with grass tifa (Typha angustifolia). This technique is also known as wetland. Although this technique is capable of resolving the problem AMD, but can cause land becomes unproductive because overgrown grass species only. Therefore, it is necessary to add commercial tree types that can survive and grow well in a pool of AMD condition, so that someday can provide the added value of wood and non-wood. The selection of tree species based on the results of previous research that states that the kayu putih (Melaleuca leucadendron) and longkida (Nauclea orientalis) is able to survive in conditions of puddle water. The both types were also selected in this research, but the water used for flooding is the AMD. This research aims to know the viability and growth of kayu putih and longkida in a puddle of AMD, and the influence of both types are on the increase in pH AMD. The research conducted in the nursery PT Mandiri Intiperkasa, East Kalimantan in May–July 2011. The research conducted using Completely Randomized Design (CRD) by treatment with a combination of plants, namely tifa and kayu putih, tifa and longkida, as well as the tifa alone. Each experiment repeated three times, so there are nine units of the experiment. The observations of seedlings conducted during the four-week with the observed variables are the diameter and height growth, the pH of the AMD, plant dry weight, root shoot ratio, analysis of the vegetative organs of plants, and sludge analysis. The acquisition of data processed using Microsoft Excel and Minitab 14. The research states that each unit experiment increase in pH AMD, with first pH of 2.8 and at the end of the observation of up to 6.6. However, the increase in pH of the AMD was not influenced by the type of plant. The both types of trees, both kayu putih and longkida able to survive and to grow well for four weeks on puddle AMD condition. Keywords: Melaleuca leucadendron, Nauclea orientalis, Typha angustifolia, Acid Mine Drainage (AMD), wetland
PERNYATAAN Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri di bawah bimbingan Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc dan Dr. Lana Saria serta belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Miftahul Mawaddah NIM E44070014
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang Nama : Miftahul Mawaddah NIM : E44070014
Menyetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc NIP. 19660523 199002 1 001
Dr. Lana Saria NIP. 19681013 199803 2 006
Mengetahui: Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan kasih dan sayangNya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang” merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada Mei hingga Juli 2011 di persemaian milik PT. Mandiri Intiperkasa, Kalimantan Timur guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc dan Dr. Lana Saria atas perhatian dan bimbingannya kepada penulis. 2. Pimpinan
PT.
Mandiri
Intiperkasa
beserta
staf
yang
telah
memperkenankan dan membantu penulis dalam melakukan penelitian. 3. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas do’a dan kasih sayangnya yang tak berhingga kepada penulis. 4. Uda Irsyadinnas, Adek Mahmudah El Gumeri, dan Adek Ihzam Hifshin atas do’a dan semangat yang senantiasa diberikan kepada penulis. 5. Rekan satu bimbingan, yaitu Rovan, Pita, Yani, dan Kak Reytha atas bantuan dan semangatnya kepada penulis. 6. Kawan-kawan seperjuangan SVK’44 atas perhatian dan dukungannya kepada penulis. 7. Kawan-kawan seperjuangan de’AsBeL atas tawa dan candanya untuk menghibur serta penyemangat bagi penulis. 8. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuannya hingga penelitian dan penyusunan skripsi ini selesai. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai cambuk agar dapat berkarya lebih baik lagi. Penulis juga berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Februari 2012 Miftahul Mawaddah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Belitung pada 28 Januari 1990 dari Ayahanda Wardi A. dan Ibunda Dian R. Misba. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan formal ditempuh penulis di tempat kelahirannya, yaitu Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang diawali dengan bersekolah di TK Perwanida (1994–1995). Penulis kemudian melanjutkan ke SDN No. 16 Tanjungpandan (1995–2001). Setelah itu, penulis melanjutkan ke SMPN No. 03 Tanjungpandan (2001–2004) dan dilanjutkan ke SMAN No. 01 Tanjungpandan (2004–2007). Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama berkuliah di IPB, penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang, diantaranya Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cikeong–Burangrang pada Juli 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada Juli–Agustus 2010, dan Praktek Kerja Profesi (PKP) pada Mei–Agustus 2011 di PT. Mandiri Intiperkasa, Kalimantan Timur. Pada tahun 2011, penulis memperoleh dana DIKTI untuk melaksanakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dalam bidang Penelitian dengan judul Pemanfaatan dan Pengembangan Jamur Cantharellus cibarius sebagai Bahan Pangan Baru. Selain itu, penulis juga berperan aktif dalam keanggotaan Ikatan Keluarga Pelajar Belitung (IKPB) Cabang Bogor. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, dengan judul “Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang” di bawah bimbingan Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc dan Dr. Lana Saria.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................... 1.2 Tujuan................................................................................ 1.3 Manfaat ..............................................................................
1 1 2 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2.1 Kayu Putih (M. leucadendron) ........................................... 2.1.1 Morfologi Kayu Putih .............................................. 2.1.2 Syarat Tempat Tumbuh Kayu Putih ......................... 2.1.3 Budidaya Kayu Putih ............................................... 2.1.4 Kegunaan Kayu Putih .............................................. 2.2 Longkida (N. orientalis) ..................................................... 2.2.1 Morfologi Longkida ................................................. 2.2.2 Syarat Tempat Tumbuh Longkida ............................ 2.2.3 Kegunaan Longkida ................................................. 2.3 Ketahanan (Resistensi) terhadap Toksik ............................. 2.4 Air Asam Tambang ............................................................ 2.5 Rawa Buatan untuk Reklamasi Daerah Pertambangan ........ 2.5.1 Tifa (T. angustifolia) ................................................ 2.5.1.1 Morfologi Tifa ............................................ 2.5.1.2 Syarat Tempat Tumbuh Tifa ....................... 2.5.1.3 Kegunaan Tifa ............................................
3 3 3 4 4 4 5 5 6 6 6 7 10 11 11 12 12
BAB III METODOLOGI ........................................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu .............................................................. 3.2 Alat dan Bahan................................................................... 3.3 Rancangan Penelitian ......................................................... 3.4 Tahapan Penelitian ............................................................. 3.4.1 Penyiapan Bibit........................................................ 3.4.1.1 Kayu Putih ................................................. 3.4.1.2 Longkida .................................................... 3.4.2 Pengemasan Bibit .................................................... 3.4.3 Aklimatisasi Bibit .................................................... 3.4.4 Penyiapan Media Tanam .......................................... 3.4.5 Penanaman............................................................... 3.5 Pengamatan dan Pengambilan Data .................................... 3.5.1 Diameter Bibit (mm) ................................................ 3.5.2 Tinggi Bibit (cm) ..................................................... 3.5.3 pH Air Asam Tambang ........................................... 3.5.4 Berat Kering Tanaman (g)........................................ 3.5.5 Nisbah Pucuk Akar .................................................. 3.5.6 Analisis Organ Vegetatif Tanaman...........................
13 13 13 13 14 14 14 15 15 16 16 16 17 17 17 17 17 17 18
3.5.7 Analisis Lumpur ...................................................... Analisis Data ......................................................................
18 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 4.1 Hasil .................................................................................. 4.1.1 Pertumbuhan Diameter dan Pertumbuhan Tinggi ..... 4.1.2 Kondisi pH Air Asam Tambang ............................... 4.1.3 Berat Kering Total ................................................... 4.1.4 Nisbah Pucuk Akar .................................................. 4.1.5 Analisis Organ Vegetatif Tanaman........................... 4.1.6 Analisis Lumpur ...................................................... 4.2 Pembahasan .......................................................................
19 19 19 20 21 22 22 23 24
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 5.1 Kesimpulan ........................................................................ 5.2 Saran ..................................................................................
30 30 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
31
LAMPIRAN ..............................................................................................
34
3.6
DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengaruh kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam tambang menurut hasil uji F .................................................................
20
2 Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada kayu putih ......
23
3 Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada longkida .........
23
4 Kandungan hara lumpur .......................................................................
23
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pertumbuhan diameter kayu putih dan longkida yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang ..........................
19
2 Pertumbuhan tinggi kayu putih dan longkida yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang ...........................
20
3 Kenaikan pH air asam tambang pada setiap unit percobaan ..................
21
4 Berat kering total kayu putih dan longkida............................................
21
5 Nisbah pucuk akar kayu putih dan longkida ..........................................
22
6 Bak yang ditanami rumput tifa dan kayu putih ......................................
35
7 Bak yang ditanami rumput tifa dan longkida.........................................
35
8 Bak yang hanya ditanami rumput tifa saja ............................................
35
9 Tumbuhnya akar sebagai adaptasi kayu putih pada kondisi genangan air asam tambang..................................................................................
36
10 Akar yang baru tumbuh (a) dan akar yang sudah berkembang sebagai adaptasi longkida pada kondisi genangan air asam tambang (b) ............
36
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kombinasi jenis tanaman yang diberikan sebagai perlakuan .................
35
2 Akar kayu putih dan longkida sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi genangan air asam tambang ..................................................................
36
3 Hasil uji F mengenai pengaruh kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam tambang .............................................................
37
4 Hasil uji laboratorium terhadap organ vegetatif tanaman kayu putih dan longkida ...............................................................................................
39
5 Hasil uji laboratorium terhadap media tanam berupa lumpur ................
40
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Di Indonesia, sebagian besar penambangan batubara dilakukan dengan
sistem terbuka (open pit mining). Hal ini menimbulkan kekhawatiran bila tidak dilaksanakan dan dikelola dengan baik karena dapat berakibat pada munculnya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu kerusakan iklim mikro setempat (klimatis) dan kerusakan tanah (edafis). Widyati (2006) menyatakan bahwa permasalahan yang paling berat akibat penambangan terbuka adalah tereksposenya lapisan batuan yang tersusun atas senyawa sulfida, misalnya pirit, markasit, dan kalkopirit. Lapisan yang tersingkap ini akan teroksidasi, sehingga melepaskan ion sulfat dan ion hidrogen yang dapat menurunkan pH air dan tanah. Jika bertemu dengan air, peristiwa oksidasi ini menghasilkan air yang bersifat asam atau lebih dikenal dengan sebutan Air Asam Tambang (AAT). Dalam istilah Inggris disebut Acid Mine Drainage (AMD) atau Acid Rock Drainage (ARD). PT. Mandiri Intiperkasa (PT MIP) adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan pertambangan batubara yang memiliki permasalahan dengan air asam tambang. Penanganan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penanganan secara aktif dan pasif. Penanganan secara aktif dilakukan melalui pemberian kapur pada air asam tambang untuk menetralkan pH sebelum air dilepas ke perairan umum. Penanganan aktif ini hanya dapat dilakukan pada saat perusahaan masih aktif beroperasi serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kleinman (1990) dan Evangelou (1995) dalam Munawar (2007) menyatakan bahwa di Amerika Serikat (USA), industri pertambangan menghabiskan $1 juta dolar per hari untuk perlakuan aktif ini. Oleh karena itu, air asam tambang juga perlu ditangani secara pasif, yang akan terus bekerja meski perusahaan sudah berhenti beroperasi. Selain itu, Skousen dan Ziemkiewicz (1996) dalam Munawar (2007) menyatakan bahwa perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Penanganan air asam tambang secara pasif dilakukan menggunakan teknik lahan basah buatan (constructed wetland) yang biasanya dibuat dalam bentuk
2
kolam-kolam atau lebih dikenal dengan istilah settling pond. Kolam-kolam tersebut ditanami dengan rumput tifa (Typha angustifolia Linn.). Munawar (2007) mengemukakan bahwa tifa merupakan tumbuhan yang mampu tumbuh bagus pada media yang diairi air asam tambang. Teknik penanganan secara pasif ini, meskipun dapat menyelesaikan masalah air asam tambang, tetapi menyebabkan lahan menjadi tidak produktif karena hanya ditumbuhi oleh jenis rumput saja. Oleh karenanya, perlu ditambahkan jenis-jenis pohon komersial yang tidak hanya mampu bertahan, tapi juga dapat tumbuh dengan baik pada kondisi genangan air asam tambang, sehingga suatu saat nanti dapat memberikan nilai tambah, baik itu dari hasil kayu maupun non-kayunya. Kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan longkida (Nauclea orientalis Linn.) merupakan jenis tanaman yang tahan terhadap genangan (Handayani 2011). Jenis kayu putih dapat beradaptasi dengan tanah yang sangat masam, tergenang sampai tanah kering, dan daunnya dapat disuling untuk menghasilkan minyak kayu putih (Mansur 2010). Longkida disebut sebagai tanaman perintis, biasanya hidup di sepanjang sungai ataupun dekat sungai (Kurniawati 2011). Kedua jenis tanaman itu pula yang dipilih dalam penelitian ini, namun air yang digunakan untuk penggenangan adalah air asam tambang yang memiliki keasaman lebih tinggi dibandingkan dengan air pada umumnya. Munawar (2011) menyatakan bahwa keasaman air asam tambang dapat mencapai pH 2–3. 1.2
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh air asam tambang terhadap pertumbuhan kayu putih dan longkida. 2. Mengetahui ada tidaknya pengaruh kayu putih dan longkida terhadap peningkatan pH air asam tambang.
1.3
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis-
jenis pohon kehutanan yang dapat ditanam pada areal wetland guna menambah nilai ekonomi dan ekologi dari lahan tersebut.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kayu Putih (M. leucadendron) Klasifikasi ilmiah kayu putih yang dinyatakan oleh USDA (2011) adalah
sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Subkerajaan
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Rosidae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Melaleuca
Spesies
: M. leucadendron Linn. Lutony dan Rahmayati (1994) mengemukakan mengenai nama daerah di
Indonesia untuk kayu putih, antara lain: inggolom (Batak), gelam (Sunda, Jawa), ghelam (Madura), ngelak (Roti), calam (Dayak), baru galang (Makasar), waru galang (bugis), ilen sakeran (Piru), irano (Amahai), ai kelano (Hila), irono (Haruku), ilano (Nusa Laut, Saparua), elan (Buru), danruk (Merauke). 2.1.1 Morfologi Kayu Putih Suatu perdu atau pohon yang dapat mencapai ketinggian hampir 14 m (Guenther 1990) dengan batang berwarna abu-abu keputih-putihan yang kerakkeraknya terkelupas-kelupas dalam bentuk lembaran-lembaran agak tebal dan bersifat seperti sepon. Daun tunggal, bertangkai pendek, bangun jorong atau memanjang. Bunga berwarna kuning gading, merah jambu, atau lembayung yang tersusun dalam bulir yang keluar dari ketiak-ketiak daun (Tjitrosoepomo 2005). Buahnya berbentuk kotak dan bijinya halus seperti sekam (Lutony dan Rahmayati 1994).
4
2.1.2 Syarat Tempat Tumbuh Kayu Putih Kayu putih tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik, dari ketinggian tempat antara 5–450 m dpl, terbukti bahwa tanaman ini memiliki toleransi yang cukup baik untuk berkembang. Sebagai contoh, di daerah Sukaraja, Jawa Barat, yang berketinggian tempat 340–380 m dpl dengan curah hujan 2.000–3.000 mm per tahun dan kondisi tanahnya yang miskin unsur mineral yang terdiri dari laterit merah dan sebagian berbatu kapur tertier, masih dapat menghasilkan minyak kayu putih yang bermutu baik (kadar sineol lebih dari 60%). Keistimewaan dari tumbuhan ini adalah mampu bertahan hidup di tempat yang kering, di tanah yang berair, atau di daerah yang banyak memperoleh guncangan angin atau sentuhan air laut (Lutony dan Rahmayati 1994). Pohon tanaman ini sangat kuat dan resisten, serta dapat mematikan tanaman lainnya dan tidak dapat dimusnahkan dengan cara ditebang atau dibakar. Hutan-hutan kayu putih sering dimusnahkan oleh api, namun dapat segera tumbuh kembali (Guenther 1990). 2.1.3 Budidaya Kayu Putih Dalam dunia perdagangan, minyak kayu putih dikenal dengan nama cajeput oil atau melaleuca oil yang diperoleh dari hasil penyulingan daun. Daun kayu putih yang akan disuling minyaknya mulai bisa dipangkas atau dipungut setelah berumur lima tahun. Seterusnya dapat dilakukan pemangkasan setiap enam bulan sekali sampai tanaman berusia 30 tahun. Di beberapa daerah yang subur, tanaman kayu putih telah bisa dipungut daunnya pada usia dua tahun. Setiap pohon kayu putih yang telah berumur lima tahun atau lebih dapat menghasilkan sekitar 50–100 kg daun berikut ranting (Lutony dan Rahmayati 1994). 2.1.4 Kegunaan Kayu Putih Minyak kayu putih banyak digunakan dalam industri farmasi. Penduduk Indonesia telah mengenal minyak kayu putih sejak berabad-abad serta mempergunakannya sebagai obat gosok dan obat masuk angin untuk dewasa maupun anak-anak (Lutony dan Rahmayati 1994). M. leucadendron var. latifolia mengandung 98% metileugenol yang bersifat sebagai attractant atau penarik lalat buah jantan (Agusta 2000).
5
Guenther (1990) menyatakan bahwa penduduk pribumi di Malaya menggunakan minyak kayu putih untuk obat sakit perut dan saluran pencernaan (internal), serta sebagai obat kulit (luar). Khasiatnya sebagai obat oles bagi penderita sakit kepala, kemungkinan disebabkan karena memiliki cooling effect. Akan halnya sebagai obat internal, minyak ini berfungsi sebagai anthelmintic, terutama efektif sebagai obat demam. Jika diteteskan ke dalam gigi, dapat mengurangi rasa sakit gigi. Menurut penduduk pribumi, minyak ini sangat efektif sebagai insektisida. Kutu (bukan kuman) pada anjing dan kucing, akan mati jika diolesi minyak kayu putih. Di Malaya, minyak kayu putih ini digunakan untuk membasmi kutu busuk dan berbagai jenis serangga. 2.2
Longkida (N. orientalis) Turner dan Wasson (1997) menyatakan klasifikasi ilmiah longkida sebagai
berikut: Kerajaan
: Plantae
Subkerajaan
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Euasterid I
Ordo
: Gentianales
Famili
: Rubiaceae
Subfamili
: Cinchonoideae
Genus
: Nauclea
Spesies
: N. orientalis Linn. Orwa et al. (2009) mengemukakan beberapa nama lokal dari longkida,
diantaranya yellow cheesewood atau leichhardt pine (English) dan kanluang (Thai). Longkida merupakan jenis asli Australia, Indonesia, Malaysia, dan Thailand. 2.2.1 Morfologi Longkida Longkida memiliki tinggi pohon yang bervariasi dengan ketinggian maksimum mencapai 30 m dan diameter sebesar 1 m. Permukaan kulit batang
6
berwarna abu-abu, halus, pecah-pecah, dan bersisik. Daunnya berbentuk hati dengan bagian atas daun berwarna hijau tua dan mengkilap. Sedangkan sisi bawah daun berwarna kekuningan. Buahnya berdaging, berbentuk bulat tidak teratur, massal, dan berbiji banyak, serta berwarna coklat kemerahan (Orwa et al. 2009). 2.2.2 Syarat Tempat Tumbuh Longkida Longkida biasanya tumbuh pada jenis tanah alluvial di sepanjang pinggiran sungai. Jenis ini juga dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang sering terjadi banjir. Longkida termasuk jenis pionir, tumbuh pada ketinggian tempat 0–500 m dpl, suhu tahunan rata-rata 25 °C, dan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 800–3.800 mm (Orwa et al. 2009). 2.2.3 Kegunaan Longkida Longkida dibudidayakan karena kayunya dapat digunakan sebagai bahan ukiran, bahan baku pembuatan kertas, serta dapat digunakan untuk kebutuhan interior bangunan, seperti kusen dan lantai. Kayunya mudah dipotong (cheesewood), tetapi tidak tahan terhadap paparan cuaca dalam waktu yang lama. Selain itu, kayu longkida telah terbukti dapat menjadi racun bagi rayap Cryptotermes domesticus. Akan tetapi, kayu gubalnya rentan terhadap serangan Lyctus. Daun dan kulit batangnya digunakan sebagai obat sakit perut, gigitan binatang, dan luka. Bunga-bunganya yang berwarna kuning merupakan sumber nektar untuk pemeliharaan lebah. Di Malaysia, buah longkida dimanfaatkan sebagai sumber makanan bekantan (Nasalis larvatus). Buahnya juga dimakan oleh penduduk asli Australia, rubah terbang, dan burung, meskipun terasa pahit (Orwa et al. 2009). 2.3
Ketahanan (Resistensi) terhadap Toksik Fitter dan Hay (1991) menyatakan bahwa beberapa jenis tanaman dapat
tumbuh pada tanah-tanah yang mengandung tingkat ion toksik yang dapat mematikan untuk spesies lain. Ada empat mekanisme utama hingga hal tersebut dapat terjadi, diantaranya: 1. Penghindaran (escape) fenologis, apabila stress yang terjadi pada tanaman bersifat musiman, tanaman menyesuaikan dengan siklus hidupnya, sehingga tumbuh dalam musim yang sangat cocok saja.
7
2. Eksklusi, dengan cara mengenali ion yang toksik dan mencegah agar tidak terambil, sehingga tidak mengalami toksisitas. 3. Penanggulangan (ameliorasi), dengan cara mengabsorbsi ion tersebut, tetapi bertindak sedemikian rupa untuk meminimumkan pengaruhnya. Jenis ini meliputi pembentukan kelat (chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi. 4. Toleransi, dengan cara mengembangkan sistem metabolis yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksik yang potensial, mungkin dengan molekul enzim. Adanya berbagai alasan, tidaklah mungkin satu tanaman menyingkirkan ion toksik. Jika konsentrasi internal harus dihadapi, ion-ion akan dipindahkan dari tempat sirkulasi dengan beberapa jalan atau menjadi toleran di dalam sitoplasma. Bentuk preoses yang pertama tersebut didefinisikan di sini sebagai ameliorasi. Terdapat empat pendekatan, yaitu: 1. Lokalisasi, intra atau ekstra seluler dan biasanya di dalam akar. 2. Ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk, atau secara pasif dengan akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi daun (lepasnya daun). 3. Dilusi (melemahkan), terutama penting dalam kaitan dengan salinitas. 4. Inaktivasi secara kimia, sehingga ion ada dalam bentuk kombinasi dengan toksisitas yang berkurang. 2.4
Air Asam Tambang Air Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD) adalah air
yang terdapat atau berasal dari areal pertambangan yang bersifat asam sebagai hasil reaksi oksidasi antara batuan yang mengandung mineral sulfida seperti pirit (FeS2) dan pirotit (FeS) dengan udara dan air, yang dikatalisasi oleh bakteri Thiobacillus ferrooxidans (Johnson dan Hallberg 2005). Nugraha (2010) menyatakan ada beberapa mineral sulfida yang umum ditemukan pada kegiatan pertambangan,
yaitu pyrite (FeS2), chalcocite (Cu2S), cuvellite (CuS),
chalcopyrite (CuFeS2), molybdenite (MoS2), millerite (NiS), galena (PbS), sphalerite (ZnS), dan arsenopyrite (FeAsS). Gautama et al.
(2003) dalam
8
Wahyuni (2008) menyatakan bahwa pirit (FeS2) merupakan penghasil air asam tambang yang paling signifikan di areal pertambangan batubara. Nugraha (2010) mengemukakan bahwa penanganan masalah air asam tambang dibagi menjadi dua, yaitu pencegahan pembentukan air asam tambang dan penanganan air asam tambang yang telah terbentuk, khususnya yang akan keluar dari lokasi kegiatan penambangan. Pencegahan pembentukan air asam tambang dapat dilakukan dengan mengurangi kontak antara mineral sulfida dengan air dan oksigen di udara. Ada dua cara untuk melakukan hal tersebut, yaitu menempatkan batuan PAF (Potentially Acid Forming) di bawah permukaan air, dengan penetrasi oksigen terhadap lapisan air yang sangat rendah atau dikenal dengan istilah wet cover systems, atau di bawah lapisan batuan/material tertentu dengan tingkat infiltrasi air dan difusi/adveksi oksigen yang rendah, umumnya disebut sebagai dry cover system. Dengan menerapkan metode ini, diharapkan pembentukan air asam tambang dapat dihindari. Penanganan air asam tambang yang telah terbentuk, yang berpotensi keluar dari lokasi penambangan, dilakukan untuk mencapai kondisi kualitas air seperti yang disyaratkan dalam peraturan pemerintah tentang kualitas air (Nugraha 2010). Pengolahan air asam tambang bertujuan untuk menghilangkan kandungan logam terlarut dan meningkatkan pH ke kondisi netral (Skousen et al. 1998 dalam Kirby dan Cravotta 2005 dalam Fajrin 2006). Teknik pengendalian air asam tambang secara garis besar dibedakan menjadi dua, yakni perlakuan aktif (active treatment) dan perlakuan pasif (passive treatment). Perlakuan aktif dilakukan dengan pemberian kemikalia alkalin untuk meningkatkan pH dan menurunkan kelarutan logam (Skousen et al. 1990 dalam Munawar 2007). Prinsip perlakuan pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami (Munawar 2007). Skousen dan Ziemkiewicz (1996) dalam Munawar (2007) menyatakan bahwa perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Faulkner dan Skousen (1994) dalam Munawar (2007) menyatakan bahwa pengendalian pasif air asam tambang juga sangat beragam, di antaranya adalah lahan basah buatan (constructed wetland). Munawar (2007) menyatakan bahwa pada teknik ini bahan/substrat, tumbuhan air, dan mikrobia memegang peranan penting. Skousen et al. (1996) dalam Munawar (2007) menyatakan bahwa
9
tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting, seperti: 1. Konsolidasi substrat oleh akar tanaman dengan cara memegang substrat bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland. 2. Stimulasi proses jasad renik melalui penyediaan tapak (site) oleh tanaman untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya, menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof. 3. Tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi satwa liar, sehingga dapat membentuk habitat satwa liar. 4. Lahan basah dengan tanamannya lebih enak dipandang mata (estetika). 5. Akumulasi logam. Keppler dan McClearly (1994) dalam Johnson dan Hallberg (2005) menyatakan bahwa secara umum terdapat empat metode penanganan air asam tambang secara pasif. Masing-masing metode memiliki keunggulan serta kelemahan, sehingga perlu dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Metode-metode tersebut adalah: 1. Aerobic Wetland, umumnya digunakan dalam penanganan air asam tambang tipe net alkalin. Hal ini disebabkan karena ion H+ yang dihasilkan dari reaksi oksidasi Fe2+ dan hidrolisis Fe3+ dalam proses remediasi pada sistem akan menurunkan pH air asam tambang. Air asam tambang dialirkan pada permukaan wetland yang biasanya ditumbuhi oleh tanaman sejenis cat tail (Typha sp.) yang tumbuh di atas tanah atau substrat organik. 2. Organic Substrate Wetland, juga disebut dengan istilah kompos wetland. Pada wetland jenis ini, air asam tambang mengalir melalui lapisan organik yang relatif tebal. Lingkungan anaerobik yang terbentuk dalam lapisan organik tersebut menstimulasi terjadinya proses mikrobiologis yang menghasilkan alkalinitas dan sulfida yang mampu meningkatkan pH dan mengendapkan logam. Oleh karena itu, sistem ini tepat digunakan dalam pengolahan air asam tambang net acid dengan konsentrasi logam yang tinggi.
10
3. Anoxic Limestone Drainage (ALD) adalah pengolahan air asam tambang dengan memanfaatkan batu gamping dalam sebuah konstruksi yang tertutup untuk membentuk kondisi aerobik. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya filtrasi oksigen yang menyebabkan timbulnya armoring pada batu gamping. Peningkatan pH air asam tambang pada sistem tersebut berlangsung melalui reaksi keterlarutan CaCO3 batu gamping yang menghasilkan alkalinitas. 4. Successive Alkalinity Producing System (SAPS) adalah sistem pengolahan yang mengkombinasikan penggunaan kompos wetland dan ALD. 2.5
Rawa Buatan untuk Reklamasi Daerah Pertambangan Tujuan utama membangun rawa buatan sekitar tambang adalah
menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah galian tambang beserta dengan senyawa logam belerang, seperti pirit (FeS2) yang dapat menghasilkan asam sulfat dalam keadaan basah dan sisa-sisa bijih logam. Bila tanah dan batuan di sekitar tidak mampu menetralisirnya, maka asam sulfat tersebut akan memasuki perairan. Limpahan air hujan dari galian tambang yang mengandung asam sulfat sangat berbahaya bagi perairan karena dapat mematikan flora dan fauna air yang peka terhadap pH yang rendah. Kadar logam yang tinggi dalam limbah tambang juga meracuni tanaman dan karena senyawa logam bertahan lama di alam, tanah di sekitar tambang tidak dapat ditumbuhi oleh tanaman yang peka terhadap senyawa logam dalam waktu yang panjang. Penciptaan rawa buatan di sekitar tambang dilakukan dengan cara mengeruk tanah untuk membentuk kolam-kolam dangkal (0,3–0,5 m) dan membangun tanggul di sekelilingnya sehingga cukup kuat untuk menampung air dalam volume yang besar ketika hujan turun sewaktu-waktu. Air tampungan tersebut kemudian dilepas sedikit demi sedikit ke dalam rawa buatan yang selanjutnya melepaskan lagi ke saluran umum. Flora yang toleran terhadap lingkungan asam dan kadar logam yang tinggi ditanam di dasar kolam, di lahan basah dan di lahan kering di sepanjang tanggul. Untuk memudahkan kehidupan tanaman pada tahap pendahuluan, lahan yang bersifat asam tersebut sering diolah lebih dahulu dengan cara menebari kapur dan pupuk alami. Jenis tanaman yang biasa digunakan dalam rawa buatan adalah rerumputan air, seperti tifa. Tifa
11
merupakan tanaman yang mencuat di atas permukaan air. Ada beberapa jenis tifa yang digunakan, diantaranya Typha domingensis, Typha latifolia, dan Typha orientalis (Khiatuddin 2003). 2.5.1 Tifa (T. angustifolia) Klasifikasi ilmiah rumput tifa dalam USDA (2011) adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Subkerajaan
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Subkelas
: Commelinidae
Ordo
: Typhales
Famili
: Typhaceae
Genus
: Typha
Spesies
: T. angustifolia Linn. Don et al. (2000) menyatakan bahwa di kedai bunga potong, bunga
tanaman ini lebih populer dengan nama stok. Di penjual tanaman hias disebut tifa. 2.5.1.1 Morfologi Tifa Ciri khas tanaman ini adalah munculnya bunga berbentuk silindris mirip cerutu yang bertengger tegak di ujung tangkai tanaman. Sebenarnya bunga tersebut adalah bunga betina yang berwarna coklat tua. Panjangnya 7–20 cm, jika sudah matang tebalnya 2 cm. Bunga jantan terletak tepat di atasnya. Keduanya dipisahkan oleh tangkai sepanjang 1–8 cm. Panjang bunga jantan tersebut berbeda jauh dengan bunga betinanya, tetapi ukurannya lebih kecil dan ramping. Seperti julukannya, narrow leaf, tanaman ini tumbuh merumpun dengan daun sempit, tipis, dan tumbuh dalam seludang (daun pelindung). Tinggi daun dan tangkai bunganya hampir sama, 0,6–1,5 m. Akar tifa berupa rimpang yang rebah horizontal dari dasar daun. Di habitat aslinya rimpang biasa mencapai panjang 70 cm dengan diameter 2–4 cm. Biasanya diperbanyak dengan memisahkan rimpang atau rumpunnya. Di alam,
12
biji-bijinya yang ringan diterbangkan angin sehingga tersebar dan tumbuh menjadi tanaman baru. Selain T. angustifolia masih ada lagi satu spesies yang serupa tapi tak sama, yakni T. latifolia. Pada jenis ini, ukuran daun dan bunganya lebih lebar, lebih gemuk, dan lebih berisi. Tidak seperti narrow leaf, tepat di atas bunga betina yang berwarna coklat tua tidak ada tangkai yang menyangga bunga jantan. Namun, bunga-bunga jantan yang berwarna coklat muda dan lembut tersebut langsung menempel pada ujung bunga betina (Marianto 2001). T. latifolia dan T. angustifolia merupakan jenis-jenis cat tail yang mudah dijumpai (Don et al. 2000). 2.5.1.2 Syarat Tempat Tumbuh Tifa Sesuai dengan namanya, tanaman jenis ini habitat aslinya daerah berlumpur dan sedikit digenangi air (Marianto 2001). Tanaman ini membutuhkan cahaya matahari penuh. Tanah liat merupakan media tanam yang sangat bagus untuk pertumbuhannya (Prayugo 2006). 2.5.1.3 Kegunaan Tifa Selain untuk penghias kolam, tanaman keluarga Typhaceae ini juga banyak digunakan sebagai ornament rangkaian bunga potong (Marianto 2001). Di Brazil, daun Typha juga digunakan untuk membuat sejenis tikar atau kerajinan tangan lainnya (Puspita et al. 2005).
BAB III METODOLOGI 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di persemaian milik PT MIP site Krassi, Kecamatan
Sembakung,
Kabupaten Nunukan,
Provinsi
Kalimantan Timur.
Adapun
pengecambahan benih dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Waktu penelitian dimulai dari Mei hingga Juli 2011. 3.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: bak berukuran 1 m x 1
m x 0,5 m sebanyak 9 buah, plastik untuk melapisi bak, mistar, jangka sorong, pH meter digital, spidol, dan kamera digital untuk dokumentasi. Sedangkan bahan yang digunakan adalah air asam tambang batubara, 27 bibit kayu putih berumur ± 3 bulan, 27 bibit longkida berumur ± 8 bulan, dan rumput tifa sebanyak 144 bibit, serta lumpur atau endapan settling pond sebagai media tanam. 3.3
Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu perlakuan yang berupa kombinasi jenis tanaman, yaitu rumput tifa dan kayu putih, rumput tifa dan longkida, serta rumput tifa saja. Masing-masing diulang sebanyak tiga kali. Dengan demikian, dalam percobaan terdapat 3 x 3 = 9 unit percobaan. Pengaruh perlakuan, yaitu kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam tambang diduga dengan model rancangan yang sesuai dengan Mattjik dan Sumertajaya (2006). Yij = µ + σi + εij Keterangan: Yij
= Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
σi
= Pengaruh perlakuan ke-i
εij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i
= 1,2,3
j
= 1,2,3
14
3.4
Tahapan Penelitian Pada penelitian ini terdapat sembilan unit percobaan yang berupa bak.
Tiga bak ditanami rumput tifa dan kayu putih, tiga bak ditanami rumput tifa dan longkida, serta tiga bak lainnya hanya ditanami rumput tifa saja. Adapun tahapan kerjanya sebagai berikut: 3.4.1 Penyiapan Bibit Bibit longkida yang digunakan memiliki ukuran tinggi ± 1 m dan kayu putih berukuran ± 30 cm. Kedua bibit, baik kayu putih maupun longkida berasal dari benih yang disemai. Benih kayu putih berasal dari Jawa Timur, sedangkan benih longkida diperoleh dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Tepatnya diunduh dari pohon-pohon longkida yang tumbuh di rawa sekitar kampus Universitas Haluoleo. 3.4.1.1 Kayu Putih Pembibitan kayu putih dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Media yang digunakan untuk pengecambahan benih kayu putih ialah pasir yang sudah diayak dan disterilisasi dengan cara disangrai selama ± 1 jam. Pasir yang steril, kemudian dimasukkan ke dalam tempat kue berbahan mika dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 5 cm yang sebelumnya sudah diberi lubang. Setelah itu, dilakukan penyemprotan dengan air agar kelembaban media tetap terjaga. Sebelum ditabur, benih kayu putih terlebih dahulu dicampur pasir halus dengan komposisi 2:3. Saat penaburan benih, jarak tanam tidak diperhatikan. Hal ini mengingat ukuran benih kayu putih yang sangat kecil. Penyiraman rutin dilakukan setiap hari selama proses perkecambahan. Kecambah kayu putih muncul ± 1 minggu setelah benih ditabur. Kecambah siap disapih bila sudah memiliki 1–2 pasang daun. Media sapih yang digunakan adalah campuran tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 2:1:1. Media tersebut dimasukkan ke dalam pot tray. Kecambah yang siap sapih terlebih dahulu dipindahkan ke pot tray sebelum ditanam dalam polybag. Pemindahan ini dilakukan dengan cara dicungkil. Sebelum dicungkil, media sebaiknya disiram terlebih dahulu guna mempermudah proses pencungkilan. Saat pencungkilan, media diusahakan ikut terbawa supaya
15
akar tetap utuh. Pemindahan ke dalam polybag dilakukan bila longkida sudah memiliki tinggi ± 6 cm dan jumlah daun sebanyak 10–12 helai. 3.4.1.2 Longkida Pembibitan longkida dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Media yang digunakan untuk pengecambahan benih longkida ialah pasir yang sudah diayak dan disterilisasi dengan cara disangrai selama ± 1 jam. Pasir yang sudah steril, kemudian dimasukkan ke dalam tempat kue berbahan mika dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 5 cm yang sebelumnya sudah dilubangi. Setelah itu, dilakukan penyemprotan dengan air agar kelembaban media tetap terjaga. Sebelum ditabur, benih longkida terlebih dahulu dicampur pasir halus dengan komposisi 2:3. Saat penaburan benih, jarak tanam tidak diperhatikan. Hal ini mengingat ukuran benih longkida yang sangat kecil. Penyiraman rutin dilakukan setiap hari selama proses perkecambahan. Kecambah longkida muncul ± 1 minggu setelah benih ditabur. Kecambah siap disapih bila sudah memiliki 1–2 pasang daun. Media sapih yang digunakan adalah campuran tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 2:1:1. Media tersebut dimasukkan ke dalam pot tray. Kecambah yang siap sapih terlebih dahulu dipindahkan ke pot tray sebelum ditanam dalam polybag. Pemindahan ini dilakukan dengan cara dicungkil. Sebelum dicungkil, media sebaiknya disiram terlebih dahulu guna mempermudah proses pencungkilan. Saat pencungkilan, media diusahakan ikut terbawa supaya akar tetap utuh. Pemindahan ke dalam polybag dilakukan bila longkida sudah memiliki tinggi ± 3 cm dan jumlah daun sebanyak 5–6 helai. 3.4.2 Pengemasan Bibit Pengemasan bibit perlu dilakukan untuk keperluan pengiriman bibit dari persemaian Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor ke persemaian milik PT. MIP di site Krassi, Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Pengiriman ini dilakukan menggunakan jasa Titipan Kilat (TIKI). Sebelum dikemas, akar tanaman kayu putih dan longkida dibebaskan dari media tanamnya, sehingga akar tersebut benar-benar berada dalam kondisi telanjang. Hal ini dilakukan guna mengurangi berat saat sudah dikemas dan
16
efisiensi biaya pengiriman. Selain itu, daunnya juga dipotong untuk mengurangi penguapan. Selanjutnya, kedua bibit tersebut dibungkus plastik secara terpisah dan dimasukkan ke dalam kotak berukuran 1 m x 0,5 m x 0,2 m. 3.4.3 Aklimatisasi Bibit Proses pengiriman bibit hingga sampai di lokasi penelitian membutuhkan waktu ± 5 hari. Sesampainya di lokasi penelitian, bibit kayu putih dan longkida dipindahkan ke dalam polybag. Media tanam yang digunakan berupa campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Penambahan pasir tidak diperlukan lagi karena kondisi tanah yang sudah mengandung pasiran. Selanjutnya dilakukan pemeliharaan berupa penyiraman rutin setiap hari selama ± 6 minggu untuk proses aklimatisasi bibit. Namun, selama pemeliharaan, bibit kayu putih tidak dapat bertahan dan mati. Oleh karena itu, kebutuhan bibit kayu putih diganti dengan bibit yang sudah ada milik persemaian PT. MIP, tetap dengan jenis yang sama. 3.4.4 Penyiapan Media Tanam Media tanam yang digunakan berupa lumpur atau endapan settling pond yang ditempatkan dalam bak berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m. Lumpur tersebut dimasukkan ke dalam bak dengan ketinggian 20 cm dari dasar bak. 3.4.5 Penanaman Penanaman bibit dilakukan pada bak yang sudah berisi lumpur, setelah itu digenangi dengan air asam tambang setinggi 10 cm dari permukaan lumpur. Pada bak yang ditanami kayu putih dan rumput tifa, antar bibit kayu putih ditanam dengan jarak 30 cm x 30 cm. Sedangkan penanaman rumput tifa dilakukan di sela-sela bibit kayu putih. Selanjutnya, pada bak yang ditanami longkida dan rumput tifa, antar bibit longkida juga ditanam dengan jarak 30 cm x 30 cm. Sama halnya dengan penanaman sebelumnya, penanaman rumput tifa juga dilakukan di sela-sela bibit longkida. Adapun yang berperan sebagai kontrol adalah bak yang hanya ditanami dengan rumput tifa saja.
17
3.5
Pengamatan dan Pengambilan Data Peubah yang diukur pada penelitian ini adalah pertumbuhan diameter
bibit, pertumbuhan tinggi bibit, pH air asam tambang, berat kering tanaman, nisbah pucuk akar, analisis organ vegetatif tanaman, dan analisis lumpur. 3.5.1 Diameter Bibit (mm) Pengukuran diameter bibit dilakukan menggunakan jangka sorong dan diukur pada batang dengan ketinggian 5 cm di atas permukaan air yang sebelumnya sudah diberi penanda untuk mempermudah pengukuran selanjutnya. Pengukuran diameter bibit dilakukan sekali dalam seminggu selama satu bulan. 3.5.2 Tinggi Bibit (cm) Pengukuran tinggi bibit dimulai dari 5 cm di atas permukaan air hingga pucuk tanaman menggunakan mistar. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama satu bulan. 3.5.3 pH Air Asam Tambang Pengukuran pH air asam tambang dilakukan setiap minggu selama satu bulan menggunakan pH meter digital. Alat dicelupkan ke dalam air, kemudian tombol power ditekan untuk mengaktifkan. Selanjutnya ditunggu hingga angka yang ditampilkan pada layar berhenti. 3.5.4 Berat Kering Tanaman (g) Pengukuran berat kering tanaman dilakukan pada akhir pengamatan dengan cara memotong sampel menjadi dua bagian, yaitu bagian akar dan bagian pucuk (batang dan daun). Kemudian, kedua bagian tersebut dibungkus koran secara terpisah, selanjutnya dilakukan pengovenan pada suhu 60°C selama 48 jam. Setelah tercapai berat kering yang konstan, dilakukan penimbangan. Penimbangan tersebut menghasilkan data berat kering akar dan berat kering pucuk. 3.5.5 Nisbah Pucuk Akar Nisbah pucuk akar diperoleh dengan membandingkan berat kering pucuk dengan berat kering akar.
18
3.5.6 Analisis Organ Vegetatif Tanaman Analisis organ vegetatif dilakukan pada akhir pengamatan untuk mengetahui kemampuan bibit dalam menyerap unsur-unsur N, P, K, dan Fe dari media tanam yang digunakan. Ada dua sampel yang diambil dari masing-masing jenis bibit, yaitu akar dan pucuk (batang dan daun). Analisis ini dilakukan di Services
Laboratory SEAMEO BIOTROP Bogor. 3.5.7 Analisis Lumpur Analisis lumpur dilakukan pada akhir pengamatan untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya, seperti N, P, K, Fe, dan S. Ada dua sampel yang diambil untuk dianalisis, yaitu lumpur yang berasal dari semua perlakuan yang dikompositkan dan lumpur yang diambil dari bak yang tanpa ditanami apa-apa. Analisis ini juga dilakukan di Services Laboratory SEAMEO BIOTROP Bogor. 3.6
Analisis Data Data yang diperoleh, kemudian dianalisis menggunakan Microsoft Excel
2007 dan Minitab 14. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, yaitu kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam tambang dilakukan analisis keragaman dan kemudian diuji dengan uji F. Setelah data dianalisis, kemudian dibuat daftar sidik ragam (Analysis of Variance/ANOVA), sehingga dapat diketahui besarnya Fhitung. Dengan demikian, dapat dilakukan pengujian perlakuan dengan kriteria uji: Jika
Fhitung ≥ Ftabel tolak H0 Fhitung < Ftabel terima H0
Hipotesis yang digunakan dalam pengujian tersebut adalah: H0 : perlakuan berupa kombinasi jenis tanaman tidak memberikan pengaruh terhadap kenaikan pH air asam tambang. H1 : perlakuan berupa kombinasi jenis tanaman memberikan pengaruh terhadap kenaikan pH air asam tambang.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pertumbuhan diameter,
pertumbuhan tinggi, pH air asam tambang, berat kering tanaman, nisbah pucuk akar, analisis organ vegetatif tanaman, dan analisis lumpur. 4.1.1 Pertumbuhan Diameter dan Pertumbuhan Tinggi Respon pertumbuhan bibit terhadap kondisi genangan air asam tambang dapat dilihat dari besarnya pertambahan diameter dan tinggi bibit pada setiap minggu selama waktu pengamatan. Besarnya pertumbuhan diameter dan tinggi kedua bibit, baik kayu putih maupun longkida yang ditanam bersama rumput tifa dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. 3,00
Diameter (mm)
2,50 2,00
Kayu Putih Longkida
1,50 1,00 0,50 0,00
Minggu ke1
2
3
4
Gambar 1 Pertumbuhan diameter kayu putih dan longkida yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang Selama satu bulan pengamatan, kayu putih yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang mengalami pertumbuhan diameter sebesar 1,02 mm. Longkida yang juga ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang mengalami pertumbuhan diameter sebesar 2,69 mm.
20
20,00
Tinggi (cm)
16,00 12,00 Kayu Putih Longkida
8,00 4,00 0,00
Minggu ke1
2
3
4
Gambar 2 Pertumbuhan tinggi kayu putih dan longkida yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang Kayu putih yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang memiliki pertumbuhan tinggi sebesar 19,70 cm selama satu bulan pengamatan. Longkida yang juga ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang hanya memiliki pertumbuhan tinggi sebesar 1,33 cm. 4.1.2 Kondisi pH Air Asam Tambang Ada tidaknya pengaruh jenis tanaman terhadap kondisi pH air asam tambang dapat dilihat pada perubahan pH air asam tambang tersebut. Hasil uji F menyatakan bahwa perlakuan berupa kombinasi jenis tanaman tidak memberikan pengaruh terhadap kenaikan pH air asam tambang, seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1. Tabel 1
Pengaruh kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam tambang menurut hasil uji F
Minggu Minggu Minggu Minggu ke-0 ke-1 ke-2 ke-3 pH air asam tambang tn tn tn tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% Parameter
Minggu ke-4 tn
Meski kondisi pH air asam tambang tidak dipengaruhi oleh adanya perlakuan, akan tetapi kenaikan pH air asam tambang terjadi setiap minggu pada semua unit percobaan, baik itu pada bak yang ditanami rumput tifa dan kayu putih, rumput tifa dan longkida, maupun pada bak yang hanya ditanami rumput tifa saja. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.
21
pH Air Asam Tambang
7,00 6,00 5,00 4,00 Tifa+Kayu Putih Tifa+Longkida Tifa
3,00 2,00 1,00
Minggu ke-
0,00 0
1
2
3
4
Gambar 3 Kenaikan pH air asam tambang pada setiap unit percobaan Air asam tambang mengalami kenaikan pH dengan pH awal sebesar 2,8. Setelah empat minggu, pH pada bak yang ditanami rumput tifa dan kayu putih naik menjadi 6,6. Pada bak yang ditanami rumput tifa dan longkida pH-nya naik menjadi 6,0. Serta pada bak yang hanya ditanami rumput tifa saja naik menjadi 6,6. 4.1.3 Berat Kering Total Perhitungan berat kering total dilakukan guna mengetahui baik tidaknya pertumbuhan tanaman, sebab berat kering total dapat menggambarkan efisiensi proses fisiologis dalam tanaman dengan interaksi lingkungan tempat tumbuh. Besarnya berat kering total kedua bibit, baik kayu putih maupun longkida dapat dilihat pada Gambar 4. gram (g) 70,00 60,00 50,00
40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Kayu Putih
Longkida
Gambar 4 Berat kering total kayu putih dan longkida
22
Kayu putih yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang memiliki berat kering total sebesar 4,40 g dan longkida yang juga ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang memiliki berat kering total sebesar 61,60 g. Berat kering total merupakan penjumlahan antara berat kering akar dengan berat kering pucuk. 4.1.4 Nisbah Pucuk Akar Informasi mengenai nisbah pucuk akar diperlukan untuk mengetahui keseimbangan antara pertumbuhan pucuk tanaman sebagai tempat terjadinya proses fotosintesis dengan pertumbuhan akar sebagai bidang serapan hara dan air. Nisbah pucuk akar kedua bibit, baik kayu putih dan longkida dapat dilihat pada Gambar 5.
4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Kayu Putih
Longkida
Gambar 5 Nisbah pucuk akar kayu putih dan longkida Kayu putih yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang memiliki nisbah pucuk akar sebesar 3,89. Nisbah pucuk akar yang dimiliki oleh longkida yang juga ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang adalah sebesar 2,26. 4.1.5 Analisis Organ Vegetatif Tanaman Analisis organ vegetatif tanaman dilakukan guna mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam suatu tanaman. Banyaknya unsur N, P, K, dan Fe yang terdapat dalam bibit kayu putih dan longkida dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Kandungan ini diperoleh dari perkalian antara konsentrasi unsur dengan berat kering tanaman.
23
Tabel 2 Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada kayu putih Akar Pucuk Konsentrasi (%)** Kandungan (mg) Konsentrasi (%)** Kandungan (mg) N 0,18 1,62 1,04 36,40 P 0,05 0,45 0,65 22,75 K 0,32 2,88 1,06 37,10 Fe 0,93 8,37 0,26 9,10 **Sumber: Services Laboratory SEAMEO BIOTROP, 14 September 2011 Unsur Hara
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kayu putih memiliki kandungan unsur N, P, K, dan Fe yang lebih banyak di bagian pucuk dibandingkan dengan akar. Demikian halnya pada longkida, seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada longkida Akar Pucuk Konsentrasi (%)** Kandungan (mg) Konsentrasi (%)** Kandungan (mg) N 1,14 215,46 1,05 448,35 P 0,17 32,13 0,12 51,24 K 7,58 1432,62 3,57 1524,39 Fe 5,10 963,90 0,34 145,18 **Sumber: Services Laboratory SEAMEO BIOTROP, 14 September 2011 Unsur Hara
Longkida juga memiliki unsur N, P, dan K yang lebih banyak terdapat di bagian pucuk daripada akar. Namun demikian, tidak dengan Fe. Unsur Fe pada longkida lebih banyak terdapat di bagian akar dibandingkan pucuk. 4.1.6 Analisis Lumpur Adapun kandungan hara yang terdapat di dalam lumpur dapat dilihat pada Tabel 4. Lumpur ini digunakan sebagai media tanam. Tabel 4 Kandungan hara lumpur*** Lumpur yang Diberi Lumpur Tanpa Perlakuan Perlakuan N Total % 0,11 0,12 P Tersedia ppm 58,76 64,90 K cmol/kg 0,82 0,88 Fe Tersedia % 9,29 10,11 S Tersedia % 0,24 0,23 ***Sumber: Services Laboratory SEAMEO BIOTROP, 14 September 2011 Parameter Uji
Satuan
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa unsur N, P, K, dan Fe pada lumpur yang diberi perlakuan, yaitu berupa tanaman memiliki kadar yang lebih rendah dibandingkan pada lumpur tanpa adanya perlakuan atau tanpa adanya tanaman.
24
Namun demikian, lumpur dengan tanpa ditanami memiliki kadar S yang lebih rendah dibandingkan dengan lumpur yang ditanami. 4.2
Pembahasan Kayu putih dapat dijumpai dari dataran rendah hingga ketinggian tempat
400 m dpl, dapat tumbuh di dekat pantai di belakang hutan bakau, di tanah berawa atau membentuk hutan kecil di tanah kering sampai basah. Longkida biasanya dijumpai di sepanjang sungai ataupun dekat sungai. Hal ini menunjukkan bila kedua jenis tersebut mampu tumbuh pada kondisi genangan. Kayu putih menghasilkan minyak atsiri melalui proses penyulingan yang telah dipercaya oleh masyarakat memiliki manfaat sebagai obat. Lain halnya dengan longkida. Tanaman ini belum banyak dikenal, sehingga pemanfaatannya pun masih terbatas. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan dengan menanam kayu putih dan longkida pada kondisi genangan air asam tambang, sehingga penting untuk dilakukan guna mengetahui daya tahan sekaligus pertumbuhan kedua jenis pada kondisi tersebut yang nantinya diharapkan dapat diterapkan pada areal wetland. Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang dilakukan tanaman hidup pada lingkungan tertentu dan dengan sifat-sifat tertentu untuk menghasilkan kemajuan perkembangan dengan menggunakan faktor lingkungan. Pada penelitian ini, parameter yang dijadikan sebagai tolak ukur adanya pertumbuhan adalah diameter dan tinggi bibit, serta berat kering dan nisbah pucuk akar, seperti yang dikemukakan oleh DIKTI (1991) bahwa pertumbuhan dapat diukur dengan istilah-istilah berat kering, panjang (panjang lamina daun misalnya), tinggi tanaman atau diameter batang dan lainlain. Pertambahan diameter merupakan pertumbuhan sekunder pada tanaman. Pertumbuhan sekunder dimulai oleh kambium yang terdapat dalam jaringan pembuluh. Kambium ini secara terus-menerus menghasilkan jaringan pembuluh, yaitu xylem dan floem (Heddy 1986). Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati, baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan
25
ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat (Sitompul dan Guritno 1995). Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kayu putih menunjukkan respon pertumbuhan diameter yang lebih lambat dibandingkan dengan longkida. Berbanding terbalik dengan pertumbuhan tingginya, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Respon pertumbuhan tinggi yang dimiliki oleh kayu putih terjadi lebih cepat daripada longkida. Hal ini dikarenakan kayu putih berupaya untuk memenuhi kebutuhannya akan cahaya matahari, sehingga hal tersebut memicu kayu putih untuk mempercepat pertumbuhan tingginya, seperti yang dikemukakan oleh Gardner et al. (1991) bahwa cahaya mempunyai pengaruh nyata terhadap pertumbuhan batang. Ruas tanaman yang ternaung lebih terentang/lebih panjang. Perlu diketahui, kedua jenis, baik kayu putih maupun longkida ditanam di bawah naungan. Pengaruh naungan itu dianggap disebabkan oleh peningkatan auksin, yang mungkin bekerja secara sinergis dengan gibberellic acid (GA). Secara teoritis, perusakan auksin karena cahaya lebih sedikit pada tegakan ternaung, karena penyinaran kuat menurunkan auksin dan mengurangi tinggi tanaman. Masing-masing jenis, baik kayu putih maupun longkida ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang yang mengandung pirit (FeS2). Keberadaan mineral pirit dengan mudah dapat dijumpai pada lahan pascatambang batubara, seperti yang kemukakan oleh Gautama et al. (2003) dalam Wahyuni (2008) bahwa pirit (FeS2) merupakan penghasil air asam tambang yang paling signifikan di areal pertambangan batubara. Bila material berpirit ini terekpose ke udara dan air, maka akan teroksidasi menghasilkan asam sulfat dan mengakibatkan kemasaman yang sangat tinggi pada air sekaligus tanah. Munawar (2011) menyatakan bahwa mineral sulfida, seperti pirit (FeS 2) jika teroksidasi akan menghasilkan kemasaman yang sangat luar biasa (dapat mencapai pH 2–3). Tingkat kemasaman yang tinggi ini juga meningkatkan kelarutan logam-logam di dalam tanah dan air sampai tingkat meracun, sehingga dapat membatasi keberhasilan revegetasi lahan pascatambang dan merusak kehidupan pada ekosistem akuatik. Pada penelitian ini, air asam tambang yang digunakan untuk menggenangi tanaman memiliki pH sebesar 2,8. Namun, selama pengamatan satu bulan, pH-nya mengalami kenaikan hingga mencapai 6,6. Diduga hal ini disebabkan oleh adanya
26
tanaman, seperti yang dikemukakan oleh Fitter dan Hay (1991). Keduanya menyatakan bahwa tanaman barangkali mengabsorbsi ion toksik, akan tetapi tanaman bertindak sedemikian rupa untuk meminimumkan pengaruhnya. Adapun ion toksik yang dimaksud adalah unsur Fe sebagai pembentuk pirit (FeS2). Unsur Fe merupakan unsur hara mikro. Akan tetapi, unsur ini dapat manjadi toksik bagi tanaman bila terdapat dalam jumlah yang berlebih. Unsur Fe tersebut diserap oleh akar tanaman, seperti yang dikemukakan oleh DIKTI (1991) bahwa besi dalam bentuk kation Fe2+ dan Fe3+ serta senyawa Fe-kelat dapat disuplai ke akar tanaman (DIKTI 1991), tetapi tanaman lebih banyak menyerap bentuk Fe 2+. Hubungan antara Fe2+ dan Fe3+ di dalam larutan tanah tergantung kepada kondisi oksidasi dan reduksi (redoks). Pada kondisi reduktif, maka Fe2+ dominan dan mudah tersedia bagi tanaman (Munawar 2011). Dalam hal ini, kondisi reduktif disebabkan oleh adanya genangan. Adanya penyerapan unsur Fe oleh akar ditunjukkan melalui analisis terhadap organ vegetatif tanaman, seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 menunjukkan jumlah unsur Fe yang terkandung dalam akar kayu putih, yaitu sebesar 8,37 mg. Adapun kandungan unsur Fe yang terdapat di dalam akar longkida ditunjukkan oleh Tabel 4, yaitu sebesar 963,90 mg. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan yang terdapat di bagian pucuk. Ini merupakan cara bagi tanaman untuk meminimumkan pengaruh ion toksik tersebut, yaitu hanya menyimpan unsur yang diserap pada bagian tertentu saja, yang disebut dengan istilah lokalisasi, seperti halnya yang dikemukakan oleh Fitter dan Hay (1991). Lokalisasi dilakukan pada intra dan ekstra seluler dan biasanya di dalam akar. Akar adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tanaman dan mempunyai fungsi yang sama pentingnya dengan bagian atas tanaman. Kalau tajuk khususnya jaringan fotosintesis berfungsi menyerap CO2, maka akar berfungi menyerap air dan unsur hara (Sitompul dan Guritno 1995). Adaptasi kedua jenis, baik kayu putih dan longkida terhadap genangan ditunjukkan melalui kondisi akarnya. Tumbuhnya akar pada bagian pangkal batang yang terendam air, seperti yang terlihat pada Lampiran 2, diduga untuk memenuhi perolehan oksigen bagi tanaman. Perlu diketahui, pada penelitian ini tanaman digenangi dengan air asam tambang hingga ketinggian 10 cm dari permukaan media.
27
Meskipun kenaikan pH air asam tambang diduga akibat adanya tanaman, akan tetapi kenaikan tersebut tidak dipengaruhi oleh jenis tanaman, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan berupa kombinasi jenis tanaman tidak memberikan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap kenaikan pH air asam tambang setiap minggunya. Hal ini berarti kedua jenis, baik kayu putih maupun longkida yang ditanam bersama rumput tifa tidak memberikan pengaruh terhadap kenaikan pH air asam tambang tersebut. Berat kering total merupakan indikator yang umum digunakan untuk mengetahui baik atau tidaknya pertumbuhan bibit karena berat kering total dapat menggambarkan efisiensi proses fisiologis di dalam tanaman. Semakin baik atau semakin efisiensi proses fisiologis suatu tanaman, maka berat kering tanaman akan semakin besar, artinya tanaman mampu menyerap unsur hara yang tersedia untuk digunakan dalam proses pertumbuhan (Salisbury dan Ross 1995). Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa kayu putih memiliki nilai berat kering total sebesar 4,40 g dan longkida sebesar 61,60 g. Hal ini dikarenakan longkida memiliki umur yang lebih tua dibandingkan kayu putih, sehingga memiliki biomassa yang lebih banyak dibandingkan kayu putih. Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa berat kering tanaman atau biomassa tanaman meliputi semua bahan tanaman yang secara kasar berasal dari hasil fotosintesis, serapan unsur hara, dan air yang diolah melaui proses biosintesis. Nilai berat kering total sekaligus menunjukkan nilai biomassa suatu tanaman. Semakin besar nilai berat kering total, maka semakin besar nilai biomassanya. Dengan demikian, semakin besar nilai biomassa, maka akan semakin baik pula pertumbuhan bibit, hal ini dikarenakan tanaman selama hidupnya atau selama masa tertentu membentuk biomassa yang mengakibatkan pertambahan berat dan diikuti dengan pertambahan ukuran lain yang dapat dinyatakan secara kuantitatif. Pada penelitian ini, diperoleh nisbah pucuk akar kayu putih dan longkida berturut-turut adalah 3,89 dan 2,26. Perolehan nilai tersebut masih tergolong baik, seperti yang dikemukakan oleh Duryea dan Brown (1984) bahwa kemampuan hidup semai terbaik pada umumnya terjadi pada nisbah pucuk akar 1–3. Kedua jenis, baik kayu putih maupun longkida memiliki nisbah pucuk akar yang tinggi. Nilai nisbah pucuk akar yang tinggi menunjukkan pertumbuhan bagian pucuk
28
tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan akarnya. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa lebih besarnya biomassa tajuk dibandingkan dengan biomassa akar dapat memungkinkan terjadinya pengendalian penyerapan hara oleh tajuk. Tajuk akan meningkatkan penyerapan hara oleh akar secara cepat dan menggunakan hara tersebut dalam bentuk produk pertumbuhan (asam nukleat, protein, dan klorofil). Selain itu juga, tajuk dapat memasok karbohidrat yang digunakan akar dalam proses respirasi untuk menghasilkan ATP yang digunakan dalam penyerapan hara. Banyak unsur di dalam tanah mengalami perubahan bentuk akibat perubahan reaksi di dalam tanah. Hal ini terkait dengan perubahan tingkat kelarutan senyawa dari unsur-unsur tersebut di dalam tanah dengan pH lingkungan di dalam tanah. Oleh karena itu, pH tanah bertanggung jawab terhadap ketersediaan hara bagi tanaman. Pengaruh pH tanah terhadap ketersediaan N lebih bersifat tidak langsung, yakni melalui pengaruh pH terhadap aktivitas jasad renik yang terlibat dalam ketersediaan N. Ketersediaan P paling tinggi berkisar pada pH 5,5–6,8. Jika pH tanah turun di bawah 5,8, P akan bereaksi dengan Fe dan Al membentuk senyawa-senyawa fosfat Fe dan Al yang tidak larut, sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Munawar 2011). Pengaruh pH terhadap ketersediaan K bersifat tidak langsung, yaitu melalui pengaruh pH terhadap jenis kation dominan pada kompleks jerapan tanah dan ruang antarlapisan mineral liat. Tanah masam dengan kompleks jerapan tanah akan didominasi oleh Al3+ tinggi, dan ion Alhidroksil akan mengumpul pada ruang antarlapisan mineral liat (Havlin et al. 2005 dalam Munawar 2011). Akibatnya, K cenderung akan berada di dalam larutan tanah, sehingga mudah tersedia bagi tanaman (Munawar 2011). Kebanyakan unsur hara mikro logam terpengaruh langsung oleh pH tanah. Jika pH turun, ketersediaan Fe, Mn, Zn, B, dan Cu meningkat. Pada pH kurang dari 5, Al, Fe, dan Mn menjadi sangat larut bahkan sampai pada konsentrasi meracun terhadap beberapa jenis tanaman (Munawar 2011). Spesies tumbuhan secara genetis sangat beragam dalam kemampuannya untuk toleran atau tidak toleran terhadap unsur tak esensial: timbel, kadmium, perak, aluminum, raksa, timah, dan sebagainya, dalam jumlah yang meracuni (Woolhouse 1983 dalam Salisbury dan Ross 1995), termasuk besi. Pada beberapa spesies, unsur tersebut
29
diserap hanya dalam jumlah terbatas, sehingga lebih merupakan penghindaran daripada toleransi (Taylor 1987 dalam Salisbury dan Ross 1995). Pada spesies lain, unsur itu tertimbun di akar dan dipindahkan sedikit saja ke tajuknya (Salisbury dan Ross 1995). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa unsur Fe pada longkida jauh lebih banyak terdapat di akar, yaitu sebesar 963,90 mg dibandingkan dengan pucuk yang hanya 145,18 mg. Hal ini berarti sebagian besar unsur Fe yang diserap, disimpan di dalam akar dan hanya sebagian kecilnya saja yang dikirim ke pucuk. Havlin et al. (2005) dalam Munawar (2011) menyatakan bahwa unsur Fe diperlukan untuk berfungsinya sejumlah enzim di dalam tanaman, terutama yang terlibat di dalam reaksi oksidasi dan reduksi di dalam respirasi dan fotosintesis. Pada spesies yang lainnya, menurut Salisbury dan Ross (1995), akar dan tajuknya mengandung unsur tersebut dalam jumlah yang jauh lebih tinggi daripada yang dapat ditahan oleh spesies lain, seperti yang ditunjukkan oleh kayu putih pada Tabel 2. Akar dan pucuk kayu putih, masing-masing memiliki jumlah Fe berturut-turut sebesar 8,37 mg dan 9,10 mg. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa unsur N, P, K, dan Fe pada lumpur yang diberi perlakuan, yaitu berupa tanaman memiliki kadar yang lebih rendah dibandingkan pada lumpur tanpa adanya perlakuan atau tanpa adanya tanaman. Hal ini diduga karena adanya penyerapan terhadap unsur-unsur tersebut oleh tanaman. Namun demikian, lumpur dengan tanpa ditanami memiliki kadar S yang lebih rendah dibandingkan dengan lumpur yang ditanami. Diduga hal ini disebabkan karena adanya guguran daun atau serasah sebagai penyumbang bahan organic. Seperti yang dikemukakan oleh Munawar (2011) bahwa bahan organik merupakan pemasok hara, terutama N, P, K, dan S di dalam tanah setelah mengalami mineralisasi dan ini signifikan bagi tanaman hutan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan 1. Kayu putih (M. leucadendron) dan longkida (N. orientalis) mampu bertahan dan tumbuh dengan baik pada bak berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m menggunakan media tanam berupa lumpur atau endapan settling pond yang digenangi air asam tambang selama 4 minggu. 2. pH air asam tambang mengalami kenaikan dalam waktu 4 minggu dengan pH awal sebesar 2,8. Pada bak yang ditanami rumput tifa (T. angustifolia) dan kayu putih (M. leucadendron) menjadi 6,6. Pada bak yang ditanami rumput tifa (T. angustifolia) dan longkida (N. orientalis) menjadi 6,0. Serta pada bak yang hanya ditanami rumput tifa (T. angustifolia) menjadi 6,6. Adanya tanaman berpengaruh terhadap kenaikan pH air asam tambang. Akan tetapi, kenaikan tersebut tidak dipengaruhi oleh jenis tanaman.
5.2
Saran 1. Perlu dilakukan uji lanjut di lapangan dengan menanam bibit kayu putih dan longkida pada areal wetland untuk mengetahui lebih lanjut daya tahan kedua jenis pohon, serta pengaruhnya terhadap kenaikan pH air asam tambang. 2. Perlu dilakukan penambahan terhadap parameter yang diamati, yaitu kandungan dan perubahan kandungan logam berat dalam air asam tambang setelah diberi perlakuan penanaman dengan kayu putih dan longkida yang dikombinasikan dengan rumput tifa.
DAFTAR PUSTAKA Agusta A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Penerbit ITB.
Bandung:
Nugraha C. 2010. Air asam tambang. http://airasamtambang.info/%20apaituaat/ [16 Des 2010]. [DIKTI] Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1991. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kesuburan Tanah.
Don WS, Threes E, Cherry H. 2000. Tanaman Air. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Duryea ML, Brown GN. 1984. Seedling Physiology and Reforestation Success. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers. Fajrin AM. 2006. Pemanfaatan kompos limbah kulit kayu dalam pengolahan air asam tambang menggunakan metode Successive Alkalinity Producing System (SAPS) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta: UGM Press. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. Jakarta: UI Press.
1991.
Fisiologi Tanaman Budidaya.
Guenther E. 1990. Minyak Atsiri. Jilid IVB. Jakarta: UI Press. Handayani S. 2011. Pengaruh pupuk daun terhadap pertumbuhan beberapa pohon kehutanan pada kondisi tergenang [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Heddy S. 1986. Hormon Tumbuhan. Jakarta: Rajawali. Johnson DB, Hallberg K. 2005. Acid mine drainage remediation option: a review. Science of Total Environmental 338:3-14. http://www.mediafire.com/?4bn297gco5tq2pd [02 Feb 2012]. Khiatuddin M. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air dengan Teknologi Rawa Buatan. Yogyakarta: UGM Press. Kurniawati P. 2011. Pengaruh pemberian inokulum mikoriza dan pemupukan NPK terhadap pertumbuhan semai longkida (Nauclea orientalis L.) pada kondisi tergenang dan tidak tergenang [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
32
Latifah S. 2004. Pertumbuhan dan hasil tegakan Eucalyptus grandis di hutan tanaman industri. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/946 [07 Jan 2011]. Lutony TL, Rahmayati Y. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Jakarta: Penebar Swadaya. Mansur I. 2010. Teknik Silvikultur untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Marianto LA. 2001. Tanaman Air. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Ed ke-2. Bogor: IPB Presss. Munawar A. 2007. Pemanfaatan sumberdaya biologis lokal untuk pengendalian pasif air asam tambang: lahan basah buatan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 7:31-42. Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor: IPB Press. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Nauclea orientalis. Agroforestree Database: a tree reference and selection guide version 4.0. http://www.worldagroforestry.org/treedb2/AFTPDFS/Nauclea_orientalis. pdf [13 Des 2011]. Prayugo S. 2006. Pesona Tanaman Hias Air. Jakarta: Penebar Swadaya. Puspita L, Ratnawati E, Suryadiputra INN, Meutia AA. 2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia. Bogor: Wetlands International–Indonesia Programme. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I. Bandung: ITB Press. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid II. Bandung: ITB Press. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid III. Bandung: ITB Press. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: UGM Press. Tjitrosoepomo G. 2005. UGM Press.
Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan.
Turner, Wasson. 1997. Nauclea orientalis. 00135. html [21 Des 2011].
Yogyakarta:
http://titanarum.uconn.edu/1998
33
[USDA] United States Department of Agriculture. 2011. Typha angustifolia. http://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=profile&symbol =TYAN&display=31 [21 Des 2011]. [USDA] United States Department of Agriculture. 2011. Melaleuca leucadendron. http://plants.usda.gov/java/nameSearch?keywordquery= melaleuca+leucadendron&mode=sciname&submit.x=0&submit.y=0 [03 Jan 2012]. Wahyuni T. 2008. Kajian bioreaktor untuk pengolahan limbah air asam tambang dengan menggunakan bakteri pereduksi sulfat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widyati E. 2006. Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri kertas untuk memacu revegetasi lahan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
35
Lampiran 1 Kombinasi jenis tanaman yang diberikan sebagai perlakuan
Gambar 6 Bak yang ditanami rumput tifa dan kayu putih
Gambar 7 Bak yang ditanami rumput tifa dan longkida
Gambar 8 Bak yang hanya ditanami rumput tifa saja
36
Lampiran 2
Akar kayu putih dan longkida sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi genangan air asam tambang
Gambar 9 Tumbuhnya akar sebagai adaptasi kayu putih pada kondisi genangan air asam tambang
a
b
Gambar 10 Akar yang baru tumbuh (a) dan akar yang sudah berkembang sebagai adaptasi longkida pada kondisi genangan air asam tambang (b)
37
Lampiran 3
Hasil uji F mengenai pengaruh kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam tambang
Minggu ke-0 One-way ANOVA: pH Air Asam Tambang versus Kombinasi Jenis Tanaman Source
DF
SS
MS
F
P
Kombinasi Jenis Tanaman
2
0,002022
0,001011
2,12
0,202
Error
6
0,002867
0,000478
Total
8
0,004889
S = 0,02186 R-Sq = 41,36% R-Sq(adj) = 21,82% Minggu ke-1 One-way ANOVA: pH Air Asam Tambang versus Kombinasi Jenis Tanaman Source
DF
SS
MS
F
P
Kombinasi Jenis Tanaman
2
0,450
0,225
0,69
0,538
Error
6
1,961
0,327
Total
8
2,412
S = 0,5718 R-Sq = 18,68% R-Sq(adj) = 0,00% Minggu ke-2 One-way ANOVA: pH Air Asam Tambang versus Kombinasi Jenis Tanaman Source
DF
SS
MS
Kombinasi Jenis Tanaman
2
0,228
0,114
Error
6
1,071
0,179
Total
8
1,299
F
P
0,64 0,561
S = 0,4226 R-Sq = 17,55% R-Sq(adj) = 0,00% Minggu ke-3 One-way ANOVA: pH Air Asam Tambang versus Kombinasi Jenis Tanaman Source
DF
SS
MS
F
P
Kombinasi Jenis Tanaman
2
0,329
0,164
1,64
0,270
Error
6
0,601
0,100
Total
8
0,929
S = 0,3164 R-Sq = 35,37% R-Sq(adj) = 13,83%
38
Minggu ke-4 One-way ANOVA: pH Air Asam Tambang versus Kombinasi Jenis Tanaman Source
DF
SS
MS
F
P
Kombinasi Jenis Tanaman
2
0,609
0,304
1,96
0,221
Error
6
0,930
0,155
Total
8
1,538
S = 0,3937 R-Sq = 39,56% R-Sq(adj) = 19,42%
39
Lampiran 4 Hasil uji laboratorium terhadap organ vegetatif tanaman kayu putih dan longkida
40
Lampiran 5 Hasil uji laboratorium terhadap media tanam berupa lumpur