KAJIAN PEMANFAATAN BIOMASSA DAUN KAYU PUTIH DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT DALAM PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG
ZAHRISKA DEWANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*1 Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Zahriska Dewani A15413001
*Pelimpahan
hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN ZAHRISKA DEWANI. Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang. Dibimbing oleh ANAS MIFTAH FAUZI dan IRDIKA MANSUR. Batubara merupakan salah satu sumber energi yang penting bagi dunia. Keberlimpahan dan biaya yang rendah dalam menggunakan batubara telah membuatnya menjadi pilihan bahan bakar utama untuk membangun pembangkit listrik. Seiring dengan meningkatnya permintaan energi, maka ekplorasi dan eksploitasi penambangan batubara akan terus dilaksanakan. Proses penambangan ini nantinya dapat menghasilkan suatu limbah, berupa Air Asam Tambang (AAT). AAT merupakan limbah yang berbahaya sebab mengandung logam-logam berat dan sulfat yang tinggi. Pengolahan AAT dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu secara aktif maupun pasif. Pengolahan secara aktif adalah melalui penambahan bahan kimia bersifat alkali, sedangkan pengolahan secara pasif melalui pembuatan lahan basah buatan. PT. Bukit Asam telah melakukan penanganan secara pasif. Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem aktif. Namun, metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena mengandalkan peran alami tanaman. Maka dari itu, dibutuhkan strategi yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Strategi yang dilakukan adalah melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan memanfaatkan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) dan biomassa daun kayu putih, baik limbah segar maupun yang telah mengalami proses dekomposisi. Saat ini perkebunan kayu putih pada wilayah PT. Bukit Asam tidak kurang dari 100 hektar. Produksi hasil penyulingan daun kayu putih dihasilkan limbah berkisar 300 kg. Limbah yang melimpah tersebut belum termanfaatkan dan dibiarkan terakumulasi di sekitar pabrik penyulingan daun kayu putih. Penggunaan kompos daun kayu putih dalam penelitian adalah sebagai sumber karbon (donor elektron). Sumber karbon tersebut merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan BPS. Hal ini disebabkan karena BPS termasuk golongan heterotrof anaerob. Tujuan penelitian ini adalah seleksi isolat BPS dan menganalisis karakter biomassa daun kayu putih, sehingga mendapatkan rancangan proses penanganan AAT melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan memanfaatkan peranan BPS dan biomassa daun kayu putih. Penelitian ini merupakan penelitian skala semi lapangan yang bersifat deskriptif. Teknik pengambilan sampel berupa Simple Randomized and Composite pada tiga titik kedalaman yang berbeda pada lahan basah buatan. Sampel AAT dianalisis berdasarkan nilai pH, kadar besi (Fe), kadar mangan (Mn), dan residu tersuspensi (TSS) dan populasi kepadatan sel BPS, melalui metode MPN. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa isolat BPS ICBB 8818 merupakan isolat yang paling unggul dibandingkan isolat ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8819, dan ICBB 8825 dalam skala laboratorium. Kebutuhan sumber karbon untuk aktivitas BPS ICBB 8818 dapat dipenuhi dari bahan organik berupa kompos daun kayu putih. Hal ini disebabkan karena kompos memiliki karakter nisbah C/N 22.53; pH 6.38; dan kadar air 12% yang artinya bahan organik telah mengalami mineralisasi sehingga unsur-unsur yang dibutuhkan oleh BPS ICBB 8818 telah tersedia.
Berdasarkan uji lapang dalam skala pilot didapatkan rancangan proses penanganan AAT yang tepat, yaitu dengan memanfaatkan matrik berupa gravel yang ditambahkan kompos (tanpa BPS). Hal ini diindikasikan dengan peningkatan nilai pH yang signifikan, penurunan kadar Fe dengan efektivitas sebesar 94.89% dan Mn mencapai 99.18%, serta penurunan TSS yang paling efektif dibanding perlakuan lainnya. Matrik tersebut juga dapat memenuhi target baku mutu lingkungan dalam waktu retensi 3 hari dengan rata-rata efektivitas yang tinggi pada keseluruhan parameter, serta efisiensi biaya yang juga tinggi, sehingga dapat diterapkan pada lahan basah buatan PT. Bukit Asam. Kata kunci: air asam tambang, bakteri pereduksi sulfat, limbah daun kayu putih, lahan basah buatan, sistem pasif
SUMMARY ZAHRISKA DEWANI. Study of the Eucalyptus Leaves Biomass and Sulphate Reducing Bacteria Utilisation in Acid Mine Drainage Treatment. Supervised by ANAS MIFTAH FAUZI and IRDIKA MANSUR. Coal is one of world’s important energy sources. The coal’s availability and low cost makes it as the primary fuel in building power plants in the world. As energy demand is increasing, exploration and exploitation of coal mining continues. The mining process result in waste such as acid mine drainage (AMD). AMD is a dangerous waste because it contains high concentration of heavy metals and sulphates. AMD treatment can be done in 2 ways, active and passive. Active treatment is done by alkaline chemical addition, while passive treatment is done by constructed wetlands. PT. Bukit Asam has done passive treatment. The advantage of this system is its relatively more economic cost compared to active treatment. But this method needs longer time because it relies on natural plant’s roles. Because of that, a strategy is needed to get better advantage. Strategy that can be implemented is wetland enrichment by sulphate-reducing bacteria (SRB) and eucalyptus leaves biomass, both fresh and decomposed. Nowadays eucalyptus plantation in PT. Bukit Asam area is not less than 100 hectare. Eucalyptus leaves distillation produces around 300 kg waste. The abundant waste has not been utilized and resulted in accumulation in the areas around distillation factory. Eucalyptus leaves compost was used in this research as carbon source (electron donor). The carbon source acts as energy source for life and metabolism activities of SRB. This is due to the fact that SRB is anaerob heterotroph that needs organic matter as carbon source. This research used eucalyptus leaves biomass, both fresh and composted. Utilization of the eucalyptus leaves biomass and SRB in AMD treatment is expected to optimize the treatment product to meet environmental quality standards. The aim of this research is to screen SRB isolates and analyze the eucalyptus leaves biomass characteristics in order to design AMD treatment process by wetland enrichment using SRB roles and eucalyptus leaves biomass (fresh and composted). This research is a descriptive semi-field scale research. Sampling was done by simple randomized and composite technique in three different depth points in constructed wetland. AMD samples were analyzed for pH, iron (Fe) content, manganese (Mn) content, suspended residue (TSS), and SRB population’s cell density determined by MPN method. The result showed that ICBB 8818 SRB isolate is the most potent in laboratory scale compared to ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8819, and ICBB 8825 isolates. Carbon source requirement for ICBB 8818 isolated could be meet from organic matter in the form of eucalyptus leaves compost. This was due to the characteristics of compost such as C/N ratio of 22.53; pH 6.38; and water content of 12% which indicated that organic matters were mineralized, therefore providing elements needed by ICBB 8818 SRB.
Based on pilot scale field test, an AMD treatment process was designed, which used gravel as matrix and supplemented by compost (without SRB). This was indicated by the significant increase in pH, decrease in Fe and Mn content with 94.98% and 99.18% effectively respectively, and decrease in TSS most effective compared to other treatments. The matrix can meet environmental quality standards in 3 days retention time of with high affectivities in all parameters, and high cost efficieny. Thus the design can be implemeted in constructed wetlands in PT. Bukit Asam. Key words: acid mine drainage, eucalyptus leaves biomass, passive treatment, sulphate reducing bacteria, constructed wetland
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN PEMANFAATAN BIOMASSA DAUN KAYU PUTIH DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT DALAM PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG
ZAHRISKA DEWANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Dosen Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Mohammad Yani, MEng
Judul Tesis : Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang Nama : Zahriska Dewani NIM : A154130041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng Ketua
Dr Ir Irdika Mansur, MForSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Dwi Andreas Santosa, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 23 Oktober 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 hingga Maret 2015 ini ialah air asam tambang, dengan judul Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang. Sumber dana penelitian berasal dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) – Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti). Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng dan Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran. Terima kasih kepada Prof Dr Ir Dwi Andreas Santosa, MS selaku Ketua Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan (BTL) yang telah memberi dorongan dan motivasi selama masa studi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Mohammad Yani, MEng selaku penguji luar komisi atas segala masukkannya. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Rahayu Widyastuti, MSi sebagai perwakilan dari program studi BTL yang telah memimpin ujian tesis penulis dan memberikan banyak saran. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Firmansyah Adi Prianto, ST dan Madaniyah, SSi sebagai rekan dalam tim penelitian. Terima kasih juga kepada seluruh staf dan teknisi pada Laboratorium Bioteknologi Tanah IPB dan Laboratorium Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor yang telah banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada PT. Bukit Asam yang telah memfasilitasi sarana maupun jasa teknis lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu dan ayah yang selalu dengan sabar memberikan limpahan dorongan, kasih sayang, semangat, serta do’a yang tiada hentinya. Kepada kedua adik penulis, Adam Maulana Dewanto dan Amalia Yuanita Dewanti terima kasih atas do’a, semangat, dan pengertiannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2015 Zahriska Dewani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Sumber Pembentukkan Air Asam Tambang Pengolahan Air Asam Tambang Biomassa Daun Kayu Putih Bakteri Pereduksi Sulfat Biofilm Sel Bakteri 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Prosedur Penelitian Uji Lapang Lahan Basah Buatan dengan Matrik Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Karakter Limbah Segar dan Kompos Daun Kayu Putih Uji Lapang Lahan Basah Buatan dengan Matrik Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat Pembentukkan Biofilm dan Kepadatan Sel Bakteri Pereduksi Sulfat 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
1 1 4 6 6 6 6 7 8 9 10 11 12 12 12 12 12 14 15 16 16 20 22 26 27 27 27 27 33 35
DAFTAR TABEL 1 Metode pengukuran parameter limbah dan kompos daun kayu putih. 2 Rancangan pengambilan sampel pada tiap kolam air asam tambang dengan kombinasi perlakuan matrik yang berbeda. 3 Metode pengukuran parameter air asam tambang. 4 Kode dan asal isolat bakteri pereduksi sulfat pada Laboratorium ICBB. 5 Data nisbah C/N limbah segar daun kayu putih dan kompos 6 Karakter kimia limbah air asam tambang Stockpile-1 Air Laya. 7 Kepadatan sel bakteri pereduksi sulfat terimmbolisasi pada gravel.
14 15 16 16 21 23 26
DAFTAR GAMBAR 1 Kegiatan (a) penambangan batubara pada IUP TAL, (b) temuan genangan air asam tambang pada IUP Bangko Barat. 2 Sistem aktif (a) mixer pengapuran, sistem pasif (b) lahan basah buatan. 3 Tumpukkan (a) limbah segar daun kayu putih hasil penyulingan, (b) limbah sekitar pabrik yang tidak termanfaatkan. 4 Perumusan masalah dalam penanganan air asam tambang 5 Diagram alir metode penelitian 6 Desain matrik lahan basah menggunakan biomassa daun kayu putih dan bakteri pereduksi sulfat. 7 Indikasi awal waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat (a) 4 hari setelah isolasi, (b) 9 hari setelah isolasi. 8 Histogran awal waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat. 9 Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada berbagai variasi nilai pH. 10 Histogram waktu rata – rata indikasi awal tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat pada kondisi lingkungan pH yang berbeda. 11 Kerapatan optik isolat bakteri pereduksi sulfat pada pH 3. 12 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat bakteri pereduksi sulfat ICBB 8818 yang diinokulasikan pada air asam tambang. 13 Limbah segar dan kompos daun kayu putih. 14 Profil nilai pH, Fe, Mn, TSS air asam tambang pada matrik lahan basah buatan.
1 2 3 5 13 14 17 17 18 18 19 20 20 24
DAFTAR LAMPIRAN 1 Statistik deskriptif dan uji normalitas serta eksponensial data 2 Dokumentasi lapangan
33 34
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Batubara merupakan salah satu sumber energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik hampir 40% di seluruh dunia (World Coal Institute 2009). World Coal Institute meramalkan bahwa penggunaan batubara akan meningkat sebesar 60% selama 14 tahun mendatang. Keberlimpahan dan biaya yang rendah dalam menggunakan batubara telah membuatnya menjadi pilihan bahan bakar utama untuk membangun pembangkit listrik di dunia. Batubara termasuk bahan bakar fosil yang paling melimpah dari segi cadangan global, dan berjumlah 29% dari total konsumsi energi pada tahun 2009 – proporsi tertinggi sejak 1970 (ELAW 2010). Dalam IMA (2014) disebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-3 dalam ekspor batubara. Seiring dengan meningkatnya permintaan energi, maka ekplorasi dan eksploitasi penambangan batubara akan terus dilaksanakan. Salah satu pertambangan batubara milik negara adalah PT. Bukit Asam (PT.BA). Perusahaan BUMN tersebut merupakan perusahaan tambang batubara dengan Izin Usaha Pertambangan untuk Tambang Air Laya (TAL) seluas 7.700 Ha, Muara Tiga Besar (MTB) 3.300 Ha, dan Banko Barat 4.300 Ha (Annual report PT. BA 2014). Berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada, total cadangan yang tertambang sebesar 1,2 miliar ton. Potensi batubara di PT.BA saat ini memungkinkan untuk ditingkatkan lagi dengan memberikan prioritas yang lebih besar pada pengembangan dan pemanfaatannya. Kegiatan penambangan tersebut diawali dengan pembersihan lahan, peledakan tanah penutup dan/atau pemindahan tanah penutup, pembersihan batubara, pemuatan, dan pengangkutan batubara menuju ruang penyimpanan (stockpile-room). Proses penambangan ini nantinya akan menghasilkan suatu limbah, disamping produk yang dihasilkan. Salah satu permasalahan yang ditimbulkan adalah Air Asam Tambang (AAT) yang dihasilkan dari proses pencucian batubara untuk meningkatkan kualitas batubara, juga dari air larian yang kontak dengan mineral pirit yang terkandung dalam batubara (Gambar 1).
(a) (b) Gambar 1 (a) Kegiatan penambangan batubara pada IUP TAL, (b) temuan genangan air asam tambang pada IUP Bangko Barat
2 Air Asam Tambang (AAT) merupakan limbah yang berbahaya sebab mengandung logam-logam berat seperti Fe, Al, Mn, Cu, Zn, Cd, Pb, As, dan sulfat yang tinggi (Achterberg et al. 2003). Bakteri yang ada secara alami dapat mempercepat reaksi yang bisa menyebabkan terjadinya AAT. Fowler et al. (1999) menyatakan bahwa proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans. Adanya aktivitas bakteri pengoksida menyebabkan laju oksidasi meningkat hingga 106 kali lipat (Hossner dan Doolittle 2003). Keasaman dan kelarutan logam yang tinggi telah menyebabkan hilangnya beberapa jenis dari biota akuatik sehingga mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Keberadaan logam terlarut juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Gautama (2012) melaporkan bahwa pembentukan AAT di Indonesia cukup tinggi, mengingat 95% tambang di Indonesia adalah tambang terbuka dan intensitas hujan sangat tinggi. Berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara serta Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pelaku usaha pertambangan harus bertanggung jawab terhadap berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Maka dari itu pemerintah menetapkan baku mutu air limbah batubara yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 18 Tahun 2005. Di dalam baku mutu tersebut ditetapkan bahwa batas pH effluen adalah 6-9, residu tersuspensi 300 mg/L, besi total 7 mg/L, dan mangan total 4 mg/L. Terkait hal tersebut, tentunya PT. BA diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap limbah AAT yang dihasilkan. Pengolahan AAT dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu secara aktif maupun secara pasif. Salah satu pengolahan AAT secara aktif adalah melalui penambahan bahan kimia bersifat alkali, seperti kapur, sedangkan pengolahan secara pasif merupakan proses pengolahan yang tidak memerlukan operasi atau perawatan oleh manusia secara regular, salah satunya adalah melalui pembuatan lahan basah buatan (Gambar 2).
(a) (b) Gambar 2 (a) Mixer pengapuran pada TAL Utara Udongan (sistem aktif), (b) lahan basah buatan pada Stockpile 1 - Cik Ayip (sistem pasif) PT. BA telah melakukan penanganan secara pasif, yaitu dengan menggunakan metode lahan basah buatan. Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem aktif. Namun, metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena mengandalkan peran alami tanaman sehingga debit air yang masuk harus rendah agar tanaman bekerja lebih efektif, sehingga tidak efisien secara waktu dan terbatasnya lahan yang tersedia. Maka dari itu, dibutuhkan strategi yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar.
3 Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan rancangan proses penanganan air asam tambang yang efektif dan efisien secara biologis. Perlakuan yang ditentukan adalah melalui pengkayaan (enrichment) lahan basah dengan memanfaatkan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) dan biomassa daun kayu putih, baik limbah segar maupun yang telah mengalami proses dekomposisi; serta kombinasi antara keduanya. BPS digunakan sebagai salah satu variabel dalam perlakuan. Hal ini disebabkan karena BPS mampu tumbuh dan hidup di lingkungan yang banyak mengandung sulfat (Yusron 2009). Dalam proses metabolismenya, BPS memanfaatkan ion sulfat sebagai terminal akseptor elektron dan bahan organik sebagai donor elektron (Bridge et al. 1999). BPS pada sistem CW mampu meningkatkan pH dan mempercepat presipitasi logam berat (Henny 2010). Kandungan bahan organik yang tinggi dapat menyediakan lingkungan yang baik bagi populasi BPS. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempertahankan kandungan bahan organik dalam lahan basah buatan. Bahan organik yang umum digunakan pada lahan basah buatan diantaranya kompos, lumut, gambut, akar tanaman yang dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (Leduc dan Ferroni 1994). Proses akumulasi bahan organik dalam waktu yang lama dapat meningkatkan konsumsi oksigen, sehingga membuat kondisi lahan basah menjadi bersifat anaerob (Matias et al. 2005; Neculita et al. 2006). Kondisi seperti ini dapat meningkatkan kandungan asam organik rantai pendek dan mendukung pertumbuhan BPS (Frank 2000). Astuti (2013) melaporkan saat ini perkebunan kayu putih pada wilayah PT. Bukit Asam tidak kurang dari 100 hektar. Produksi hasil penyulingan daun kayu putih dihasilkan limbah berkisar 300 kg. Limbah daun kayu putih dapat menimbulkan bahaya sebab limbah tersebut mudah terbakar (Sutapa dan Aris 2010). Limbah tersebut belum termanfaatkan dan dibiarkan terakumulasi di sekitar pabrik penyulingan daun kayu putih (Gambar 3).
(a) (b) Gambar 3 (a) Limbah segar daun kayu putih hasil penyulingan, (b) limbah daun kayu putih yang tidak termanfaatkan dihamparkan di sekitar pabrik minyak kayu putih PT. Bukit Asam Proses dekomposisi limbah daun kayu putih secara alami membutuhkan waktu lama dan menghasilkan CO2 dalam tanah (Sutapa dan Aris 2010). Adanya lignoselulosa pada dinding sel sekunder tanaman menyebabkan lamanya waktu dekomposisi (Zumrotiningrum et al. 2004). Penggunaan kompos daun kayu putih dalam penelitian adalah sebagai sumber karbon (donor elektron).
4 Sumber karbon merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan BPS. Hal ini disebabkan karena BPS tergolong dalam bakteri heterotrof anaerob (Bridge et al. 1999), sehingga membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon. Penelitian ini memanfaatkan biomassa daun kayu putih, baik berupa limbah segar maupun yang telah berupa kompos. Pemanfaatan biomassa daun kayu putih dan BPS dalam pengolahan AAT diharapkan dapat optimal dengan hasil olahan sesuai dengan baku mutu lingkungan.
Perumusan Masalah Limbah AAT merupakan permasalahan lingkungan yang dihadapi di seluruh industri tambang di dunia. Menurut Gautama (2012), AAT terjadi karena tersedianya 3 hal, yaitu mineral sulfida (sebagai sumber sulfur atau asam), oksigen (dalam udara, sebagai pengoksidasi), dan air dari pencuci hasil oksidasi. Melihat permasalahan lingkungan yang ditimbulkan, beberapa tindakan telah dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak negatif tersebut. Salah satunya adalah melaui langkah preventif, yakni menghindari terjadinya limbah AAT. Prinsip langkah preventif ini adalah menghindari terjadinya proses oksidasi bahan mineral pirit dan sulfida lainnya (Johnson dan Hallberg, 2005), yakni dengan menyimpan batuan mineral pirit dalam kondisi anaerob. Reaksi pembentukan AAT yang memerlukan oksigen adalah kunci dari upaya preventif (Prasetya dan Gautama 2009). Menutup batuan yang berpotensi membangkitkan asam dengan bahan yang dapat menghalangi suplai oksigen dan/atau air, diharapkan dapat mereduksi terbentuknya AAT. Terdapat 3 jenis bahan penutup berupa dry cover, diantaranya soil cover, oxygen-consuming cover, dan synthetic cover (Lestari dan Sonny 2011). Soil cover didesain untuk mereduksi koefisien difusi oksigen pada material penutup dan mereduksi jumlah fluks oksigen pada permukaan sulfida. Bahan yang biasa digunakan adalah tanah liat yang dipadatkan karena permeabilitas dari tanah jenis ini relatif kecil. Oxygenconsuming cover merupakan material organik yang dapat diambil dari limbah organik, misalnya kulit kayu, serbuk gergaji. Adanya proses dekomposisi bahan organik, menjadikan bahan penutup ini tidak dapat dipilih sebagai solusi yang permanen. Bahan sintetis berupa HDPE (High-Density Polyethylene) juga sudah sering digunakan sebagai cover timbunan. Bahan ini efektif untuk mencegah infiltrasi air pada timbunan, tetapi tidak efektif untuk mengendalikan masuknya oksigen. Pada wet cover, material penghalang yang digunakan adalah air yang memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah. Batuan yang berpotensi menghasilkan asam direndam di dalam air sehingga oksigen tidak berdifusi ke dalam air (Abfertiawan dan Gautama 2011). Upaya preventif ini cukup sulit untuk diterapkan, sehingga langkah yang bisa dilakukan adalah meminimalkan dampak negatif AAT terhadap aliran dan ekosistem sungai, serta dampak negatif tersebut terhadap lingkungan yang lebih luas. Terdapat beberapa teknik yang telah dikembangkan dalam mengurangi dampak negatif AAT. Teknik remediasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi remediasi abiotik dan biologi (Johnson dan Hallberg 2005).
5 Teknik remediasi abiotik yang telah dikembangkan yaitu dengan cara menetralisir sifat masam dengan menambahkan bahan kimia (Coulton et al., 2003). Teknik ini dikenal dengan sistem aktif. Penambahan bahan kimia alkali pada AAT akan meningkatkan pH, mempercepat laju oksidasi kimia dari ion Fe2+ dan mengendapkan logam-logam yang ada pada larutan dalam bentuk hidroksida atau karbonat. Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan rancangan proses penanganan AAT yang efektif dan efisien secara biologis. Perlakuan yang diterapkan adalah melalui pengkayaan lahan basah dengan memanfaatkan BPS dan biomassa daun kayu putih, baik limbah segar maupun yang telah mengalami proses dekomposisi; serta kombinasi antara keduanya. BPS digunakan sebagai salah satu variabel dalam perlakuan. Hal ini disebabkan karena BPS mampu tumbuh dan hidup di lingkungan yang banyak mengandung sulfat (Yusron 2009). Dalam proses metabolismenya, BPS memanfaatkan ion sulfat sebagai terminal akseptor elektron dan bahan organik sebagai donor elektron (Bridge et al. 1999). BPS pada sistem CW mampu meningkatkan pH dan mempercepat presipitasi logam berat (Henny 2010). Variabel lainnya adalah biomassa daun kayu putih (DKP). Limbah hasil penyulingan daun kayu putih yang melimpah pada PT.BA belum termanfaatkan. Maka dari itu, pemanfaatan biomassa daun kayu putih dan BPS dalam pengolahan AAT diharapkan menghasilkan olahan yang sesuai dengan baku mutu lingkungan. Berdasarkan permasalahan tersebut, secara ringkas disajikan pada Gambar 4. Air Asam Tambang Sistem Penanganan Kajian Penanganan
Sistem Aktif
Sistem Pasif
Biaya Operasional Tinggi
Biaya Operasional Rendah
Proses berjalan lambat
Baku Mutu Lingkungan : Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 18 Tahun 2008 (pH, Fe, Mn, TSS)
Pengkayaan lahan basah buatan
Bakteri Pereduksi Sulfat dan Biomassa Daun Kayu Putih
Gambar 4 Perumusan masalah dalam penanganan air asam tambang
6 Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dipecahkan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana efektivitas dan efisiensi pengolahan AAT, melalui pemanfaatan limbah maupun kompos daun kayu putih dan BPS? 2. Bagaimana optimasi proses pengolahan AAT menggunakan limbah maupun kompos daun kayu putih dan BPS? 3. Bagaimana peranan limbah maupun kompos daun kayu putih dan BPS terhadap penurunan kadar Fe, Mn, residu tersuspensi (TSS), dan nilai pH dalam pengolahan AAT?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah seleksi isolat BPS dan menganalisis karakter biomassa daun kayu putih, sehingga mendapatkan rancangan proses penanganan AAT melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan memanfaatkan peranan BPS dan biomassa daun kayu putih (limbah segar maupun kompos). Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu memperkaya pengetahuan terkait sistem pasif pada pengolahan AAT menggunakan BPS dan biomassa daun kayu putih; serta meningkatkan kinerja proses pengolahan AAT melalui sistem pasif, sehingga dapat memaksimalkan kinerja lahan basah buatan yang telah tersedia pada wilayah PT. BA. . 2 TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Air Asam Tambang (AAT) adalah air limbah hasil penambangan dengan tingkat keasaman tinggi (pH rendah, < 4). AAT timbul dari hasil reaksi dari oksidasi batuan yang terpapar oleh air, sehingga menghasilkan asam sulfat dan endapan besi hidroksida (Achterberg et al. 2003). Warna kekuningan yang mengendap di dasar saluran tambang atau pada dinding kolam pengendap lumpur merupakan gambaran visual dari endapan besi hidroksida (Aube dan Payant 1997). Secara umum reaksi pembentukan air asam tambang adalah sebagai berikut (Lizama dan Suzuki 1989): 4 FeS2 + 15 O2 + 14 H2O → 4 Fe(OH)3(s) + 8 H2SO4 Pyrite + Oxygen + Water → “Yellowboy” + Sulfuric Acid Dalam reaksi umum pembentukan AAT, terjadi empat reaksi pada pirit yang menghasilkan ion - ion hidrogen yang bila berikatan dengan ion - ion negatif dapat membentuk asam. Reaksi oksidasi pirit dapat ditulis dengan persamaan:
7 FeS2 (s) + 7/2 O2 + H2O - Fe2+ + 2SO42- + 2H+ Fe2+ + 1/4 O2 + H+ - Fe3+ + 1/4 H2O 3+ FeS2 (s) + 14Fe + 8H2O-15 Fe2+ + 2SO42- + 16 H+ Fe3+ + 3H2O - Fe(OH)3 (s) + 3H+
(1) (2) (3) (4)
Secara keseluruhan oksidasi pyrite mengikuti persamaan berikut: FeS2 (s) + 15/4 O2 + 7/2 H2O - Fe(OH)3 (s) + 2SO42- + 4H+ + energi (5) Oksidasi terhadap pyrite akan menghasilkan besi (II) dan sulfat, kemudian besi (II) teroksidasi kembali menjadi besi (III). Reaksi akan berlangsung lambat dalam kondisi asam dan semakin cepat dengan kenaikan besi hidroksida. Besi (III) yang belum mengendap akan mengoksidasi pyrite yang belum mengalami oksidasi. Penurunan kemasaman lingkungan merupakan kondisi yang cukup sesuai bagi pertumbuhan bakteri asidofilik pengoksida besi dan sulfur. Bakteri yang ada secara alami dapat mempercepat reaksi yang bisa menyebabkan terjadinya AAT. Fowler et al. (1999) menyatakan bahwa proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans. Hossner dan Doolittle (2003) melaporkan adanya aktivitas bakteri pengoksida dapat menyebabkan laju oksidasi meningkat hingga 106 kali lipat.
Sumber-Sumber Pembentukan Air Asam Tambang AAT berasal dari kegiatan tambang terbuka, pengolahan batuan buangan, maupun unit pengolahan limbah tailing (World Coal Institute 2009). Pada kegiatan tambang terbuka, lapisan batuan akan terbuka akibat terkupasnya lapisan penutup. Hal ini menyebabkan unsur-unsur sulfur yang terdapat dalam batuan sulfida akan teroksidasi dan bila bereaksi dengan air dan oksigen akan membentuk AAT (Lizama dan Suzuki 1989). Material yang banyak terdapat limbah kegiatan penambangan adalah batuan buangan (waste rock). Jumlah batuan buangan ini akan semakin meningkat dengan bertambahnya kegiatan penambangan. Batuan buangan yang mengandung sulfur nantinya akan berhubungan langsung dengan udara terbuka membentuk senyawa sulfur oksida yang selanjutnya dengan adanya air akan membentuk AAT (Achterberg et al. 2003). Kandungan unsur-unsur sulfur di dalam tailing juga diketahui mempunyai potensi dalam membentuk AAT. Air yang masuk ke dalam tailing pond yang bersifat asam diperkirakan akan menyebabkan limbah asam bila merembes keluar dari tailing pond (World Coal Institute 2009). Pada areal IUP TAL PT. Bukit Asam, AAT berasal dari berbagai sumber, diantaranya: lokasi penambangan atau galian, timbunan, stockpile, dan Train Loading Station (TLS) (Nurisman 2012). Lokasi penambangan atau galian merupakan salah satu sumber terbentuknya AAT. Air yang berasal dari limpasan air hujan maupun air tanah akan tertampung pada mine sump sebelum dialirkan ke kolam pengendapan lumpur. Timbunan batubara juga menghasilkan AAT karena adanya kontak langsung dengan udara bebas yang selanjutnya terjadi pelarutan akibat adanya air. Masalah ini berkaitan erat dengan proses pembentukan batubara dimana pembentukan batubara terdapat sulfur dan mineral yang berupa mineral
8 sulfida (Mays dan Edwards 2000). Stockpile adalah tempat penyimpanan sementara batubara dalam bentuk timbunan maupun tumpukan. Sumber AAT berasal dari limpasan air pencucian batubara dan air hujan yang berasal dari pelapisan B2C yang mengandung mineral sulfida (Nurisman 2012). TLS merupakan tempat pengisian batubara untuk diangkut menggunakan kereta. Pada TLS, AAT dapat terbentuk dikarenakan adanya tumpahan-tumpahan batubara yang berasal dari pengisian ke dalam gerbong kereta. Tumpahan-tumpahan batubara tersebut dapat bereaksi dengan udara dan air sehingga membentuk AAT.
Pengolahan Air Asam Tambang Jhonson and Hallberg (2005) menyatakan bahwa pengolahan AAT dapat dilakukan melalui 2 sistem yaitu sistem aktif dan sistem pasif. Pengolahan yang paling umum digunakan adalah metode sistem aktif dengan menggunakan bahan kimia alkali yang ditambahkan terus-menerus ke AAT. Proses penetralan AAT akan mengendapkan logam-logam terlarut dan membentuk selimut lumpur (sludge blanket). Kelemahan dari pengolahan aktif ini adalah membutuhkan biaya operasional yang tinggi, serta intervensi operator dalam pemindahan atau membuang selimut lumpur yang mengandung logam. Metode lainnya yaitu berupa sistem pasif. Pada sistem pengolahan pasif hanya memerlukan perawatan dan penggantian secara periodik. Prinsip perlakuan system pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami. Munawar (2007) memaparkan perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Henny et al. (2010) menyatakan bahwa sistem pasif adalah suatu sistem yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara alami seperti gradien topografi, energi metabolisme mikrob, fotosintesis dan energi kimia. Teknologi sistem pasif melalui lahan basah buatan sudah banyak digunakan di negara maju dengan menggunakan berbagai jenis tanaman sebagai pengolah limbah. Pada lahan basah buatan, bahan organik atau substrat, tanaman air, dan bakteri memegang peranan penting. Tujuan utama membangun lahan basah buatan sekitar tambang adalah menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah galian tambang beserta dengan senyawa logam seperti pirit. Proses pengolahan AAT pada sistem pasif yaitu menghasilkan zat anorganik dengan struktur lebih sederhana (Henny et al. 2010). Hasil penguraian zat organik menjadi anorganik diabsorpsi oleh tanaman melalui proses metabolisme untuk pertumbuhannya (Hammer dan Bastian, 1989). Adapun sistem yang umum digunakan dalam pengolahan AAT seperti sistem permeable reactive barrier (PRB), open limestone channels (OLCs), anoxic limestone drains (ALDs) dan lahan basah buatan (CW; constructed wetland) (Benner, 1997; Gilbert et al., 2003; Zipper dan Jage, 2002; Zimkiewicz et al., 2003). Pengolahan AAT biasanya menggunakan sistem pengolahan bertingkat dari beberapa sistem tersebut (Zipper dan Jage 2002; Faulkner et al. 2005; Zimkiewicz et al. 2003; Hedin et al. 1994). Sistem pasif yang sangat efektif dalam menurunkan asiditas AAT adalah sistem OLCs dan ALDs yang digabung dengan sistem lahan basah buatan. Sistem ini sudah dikembangkan secara komersial di Kanada dan Amerika Serikat. Sistem limestone dan lahan basah buatan yang terpisah akan lebih efektif. Lagos dan Gary (2011) melakukan
9 penelitian untuk mengolah AAT dan leachate dari pertambangan batubara di Ohio, USA. Pada penelitian tersebut dihasilkan persen reduksi Fe yang mencapai 99.90% dengan kondisi pH 9. Nyquist dan Greger (2008) juga melakukan penelitian dengan menggunakan lahan basah buatan untuk mengolah AAT, sehingga diketahui bahwa lahan basah buatan dapat mereduksi Cu dalam air limbah sebesar 36-57%.
Biomassa Daun Kayu Putih Daun kayu putih dapat menghasilkan minyak atsiri sekitar 0.5% hingga 1.5% (Sutapa dan Aris 2010). Dalam pengolahan minyak kayu putih dihasilkan limbah padat berupa sisa daun, ranting dan tanaman hasil dari proses destilasi. PT. BA telah berhasil memproduksi minyak kayu putih. Semula penanaman pohon minyak kayu putih ini hanya sebagai upaya penghijauan di lahan bekas galian tambang batu bara. Namun, seiring perkembangannya tanaman kayu putih dinilai cukup potensial dan menghasilkan, sehingga PT. BA mulai melakukan upaya serius dalam pengolahannya. Dalam proses pengolahan daun kayu putih pada PT. BA dihasilkan limbah organik sekitar 300 kg pada tiap kali produksi (Astuti 2013). Limbah tersebut belum termanfaatkan dan hanya dibiarkan terakumulasi di sekitar pabrik penyulingan, sehingga membutuhkan lahan yang luas untuk membuangnya. Proses dekomposisi limbah daun kayu putih secara alami membutuhkan waktu lama dan menghasilkan CO2 dalam tanah (Sutapa dan Aris 2010). Adanya lignoselulosa pada dinding sel sekunder tanaman menyebabkan lamanya waktu dekomposisi (Zumrotiningrum et al. 2004). Menurut Isroi (2008), proses dekomposisi umumnya melibatkan beberapa kelompok organisme baik mikroflora, mikrofauna, makroflora, dan makrofauna. Berdasarkan penelitian Sahwan (2011), pada proses dekomposisi bahan organik terdapat 3 golongan konsorsium mikrob yang terlibat, diantaranya bakteri, Actinomycetes, dan fungi. Jenis-jenis dari kelompok mikrob tersebut, yaitu: 1. Bakteri: Aerobacter, Bacillus megatherium, B. Stearothermophillus, B. Cereus, B. Mycoides, Psedomonad sp., Flavobacterium sp., Micrococcus sp., Sarcina sp., Thiobacillus thiooxidans, T. Denitrificans. 2. Actinomycetes: Thermospora viridis, T. Curcata, Actinoplanes sp., Micromonospora parva, M. Vulgaris, Pseudonocardia, Streptomyces thermoviolaceus, S. Thermofuscus, Thermonospora fusca. 3. Fungi: Rhizopus nigricans, Rhizoctonia sp., Mucor pusillus, Mucor racemosus, Pennicilium digitatum, Aspergillus flavus, Saccharomyces sp., Pulluloria sp., Hanusenula sp., Trichoderma koningi. Berdasarkan jenis-jenis mikrob tersebut, terdapat beberapa jenis yang termasuk golongan multifungsional, seperti B. megatherium, Pennicilium digitatum, Pseudomonas sp., Thiobacillus thiooxidans, dan Trichoderma koningi. Golongan bakteri akan mengurai senyawa golongan protein, lipid, dan lemak pada kondisi termofilik serta menghasilkan energi panas. Actinomycetes dan fungi selama proses dekomposisi berada pada kondisi mesofilik dan termofilik yang berfungsi untuk mengurai senyawa-senyawa organik yang kompleks dan selulosa dari bahan organik (Metcalf dan Eddy 1991).
10 Bakteri Pereduksi Sulfat Kandungan sulfat dalam AAT dapat diturunkan dengan memanfaatkan aktivitas BPS. Hal ini disebabkan karena BPS mampu menggunakan ion sulfat, sulfit atau thiosulfat sebagai aseptor elektron untuk mendapatkan energi dalam proses metabolismenya (Hards dan Higgins 2004). Ion-ion tersebut akan tereduksi menjadi sulfida. Terbentuknya hidrogen sulfida juga akan sangat menguntungkan terhadap lingkungan yang mengandung logam terlarut tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Widyawati (20066) menunjukkan bahwa pada tanah bekas tambang batubara yang diberi perlakuan bahan organik yang dikoloni oleh BPS dapat menurunkan ketersediaan logam Fe, Mn, Zn dan Cu dalam tanah dengan efisiensi antara 68 - 97% setelah 15 hari inkubasi. Bahan organik berperan sebagai donor elekton dalam metabolisme yang juga berguna sebagai bahan penyusun sel BPS (Kolmert dan Johnson 2001). Berikut adalah reaksi reduksi sulfat oleh BPS menurut Postgate dan Campbell (1966): SO4 2- + H2 + 2 H+ → H2S + 4H2O Metabolisme BPS membutuhkan senyawa organik sederhana seperti laktat dan piruvat sebagai sumber karbon dengan sumber karbon dengan reaksi sebagai berikut: 2C3H5O3 + SO422CH3COO- + 2CO2 + H2O + S2Asimilasi bahan organik merupakan metabolisme untuk memperoleh energi, yang dilakukan dengan proses fosforilasi transport elektron. Donor elektron yang digunakan berupa senyawa organik sederhana. Pada tahap awal, sumber karbon akan dioksidasi dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Pada kondisi dimana hidrogen dipergunakan sebagai donor elektron, maka CO2 akan dimanfaatkan sebagai sumber karbon. Energi yang diperoleh dari oksidasi laktat ditransfer ke hidrogenase pada sitoplasma dan dihasilkan H2 yang dioksidasi kembali untuk menghasilkan elektron. Selanjutnya, proton H+ dilepaskan dan dipergunakan untuk mendorong pembentukan ATP dalam reduksi sulfat menjadi S2-. Berikut adalah reaksi terbentuknya sulfida dan proses reduksi sulfat, yang kemudian bereaksi dengan kation - kation logam membentuk logam sulfida, yang berlangsung pada kondisi anaerob: 2 (CH2O) + 5H2 + M2+ +
SO42SO4 2S2-
H2S + 2H2CO3 H2S + 4H2O + 2e MS
Peranan BPS dalam mengolah AAT yaitu dengan menetralisir atau mengurangi keasaman dan meningkatkan pH yang merupakan refleksi dari pengurangan sulfat dalam perairan.
11 Biofilm Sel Bakteri Biofilm merupakan sekumpulan sel bakteri yang melekat erat pada suatu permukaan sehingga berada dalam keadaan diam, tidak mudah terlepas atau berpindah tempat (Kolmert dan Johnson 2001). Pelekatan ini disertai dengan penumpukan bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri tersebut (Donlan 2002). Pembentukan biofilm tersebut menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi aktivitas bakteri (Santegoeds et al. 1998). Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri dan permukaan yang ditempeli. Waktu yang diperlukan untuk membentuk biofilm sangat beragam, tergantung dari jenis bakteri, permukaan bahan penempelan, dan kondisi lingkungan. Santegoeds et al. (1998) melaporkan bahwa BPS mulai membentuk biofilm satu minggu setelah inokulasi, dan pada media hematit biofilm bakteri mulai terbentuk 2 minggu setelah inkubasi. Kelebihan bakteri yang membentuk biofilm adalah sel bakteri mampu bertahan pada kondisi makanan yang terbatas. Immobilisasi bakteri dalam membentuk biofilm dilakukan untuk menghasilkan kepadatan populasi sel dalam bioreaktor yang lebih tinggi, sehingga dihasilkan ukuran bioreaktor yang lebih kecil, waktu tinggal yang lebih pendek dan laju aliran yang lebih tinggi (Hrenovic et al. 2007). Lingkungan yang ideal untuk membentuk biofilm adalah adanya kontak antara permukaan benda padat dengan cairan (Masak et al. 2003). Sel bakteri akan melekat ke permukaan dengan adanya daya tarik elektrostatis dan fisik. Sel bakteri tersebut selanjutnya menempel pada permukaan padatan dengan adanya extracellular polymeric substances (EPS). O’Toole (2003) mengemukakan EPS tidak hanya berfungsi sebagai bahan pengikat antara sel dengan permukaan padatan, tetapi berperan dalam sistem pertukaran ion. Proses tersebut berfungsi untuk mengikat nutrisi dalam air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel. Pada saat ketersediaan nutrisi mencukupi, sel bakteri berkembang dan sel baru membentuk EPS tersendiri. Perkembangan semacam ini terus berlanjut, sehingga membentuk kelompok koloni yang saling terkait. Hidrofobisitas permukaan sel, keberadaan flagela, serta produksi EPS, merupakan beberapa karakteristik bakteri yang menentukan kecepatan pelekatan bakteri (Donlan 2002). Proses pembentukan biofilm juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti permukaan bahan padatan, luas area permukaan, kecepatan laju alir dan ketersediaan nutrisi. Karakteristik permukaan bahan padatan menjadi faktor kunci yang menentukan proses penempelan sel bakteri. Penempelan koloni bakteri lebih mudah terjadi pada permukaan yang kasar. Hal ini dikarenakan pada permukaan yang kasar, pemukaan padatan semakin luas.
12
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada September 2014 hingga Maret 2015. Tahap pertama merupakan persiapan bahan penelitian berupa biomassa daun kayu putih dan BPS yang dilaksanakan di Indonesian Center of Biodiversity and Biotechnology (ICBB) Laboratory – Bogor, Jawa Barat. Tahap selanjutnya merupakan aplikasi uji lapang pada skala pilot di wilayah penambangan batubara Stockpile 1 KPL Cik Ayip – IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian adalah biomassa daun kayu putih, baik berupa limbah segar maupun kompos, batu kerakal (gravel), BPS dengan kode ICBB 8813; ICBB 8815; ICBB 8816; ICBB 8818; ICBB 8819; ICBB 8825, sedimen lumpur, bokasi, media postgate B, AAT dari Stockpile 1 – IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., larutan standart Fe, larutan standart Mn, aquadest, alkohol, dan spiritus.
Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian adalah 6 kolam buatan yang masing – masing berukuran (320x40x75) cm3 sebagai bioreaktor, plastik, AAS (Atomic Absorbtion Spectrometer), labu Erlenmeyer, gelas ukur, oven, desikator, tabung ulir, timbangan analitik, WhatmannTM No. 41 D125 mm, cellulose nitrate filter 0.45 µm, pipet ukur, botol sampel 100 ml.
Prosedur Penelitian Pada tahap persiapan dilakukan peremajaan serta seleksi isolat BPS dan dekomposisi alami limbah daun kayu putih dari hasil penyulingan. Pada proses peremajaan isolat BPS digunakan media Postgate B (Atlas 1993) yang terdiri dari komponen utama, yaitu: natrium laktat (8 ml/L), magnesium sulfat (1.0 g/L), ammonium klorida (0.5 g/L), kalium dihidrogen fosfat (1.0 g/L), besi fosfat (0,1 g/L) dan asam askorbat (0.5 g/L), glukosa (0.1 g/L), kalsium klorida (0.1 g/L), natrium sulfat (0.5 g/L), dan ekstrak khamir (0.1 g/L). Terdapat 6 sampel BPS yang diisolasi dari koleksi unggul Laboratorium ICBB, yaitu ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8818, ICBB 8819, ICBB 8825. Diagram alir metode penelitian secara komprehensif disajikan pada Gambar 5.
13
Perumusan Masalah
Penentuan Lokasi Penelitian
Pengumpulan Data
Data Primer
Fisika : - pH - TSS - Warna
Kimia : - Kadar Fe - Kadar Mn
Data Sekunder
Biologi : Bakteri Pereduksi Sulfat
Desain lahan basah eksisting dan data AAT pada effluent
Analisis Populasi Sel BPS
Analisis Kualitas Air
Pengolahan Data
Penulisan Tesis Kesimpulan dan Saran Gambar 5 Diagram alir metode penelitian Dalam pengujian BPS, dilakukan 3 tahapan seleksi, yaitu: seleksi berdasarkan waktu tumbuh, variasi lingkungan pH, dan seleksi berdasarkan berbagai konsentrasi. Seleksi pertama yaitu berdasarkan waktu tumbuh, bakteribakteri tersebut diremajakan terlebih dahulu pada media Postgate B. Bakteri yang paling cepat tumbuh selanjutnya akan digunakan dalam seleksi berdasarkan variasi pH. Nilai pH yang digunakan, yaitu: pH 3, pH 4, pH 6, pH 7, kemudian dilihat absorbansi kepadatan bakteri melalui spektrofotometer. Seleksi tahap akhir adalah berupa pengujian inokulasi BPS ke dalam sampel AAT.
14 Inokulasi BPS dilakukan dengan berbagai konsentrasi, yaitu 1%, 2%, 3%, dan 5% (v/v). Analisis dilakukan berdasarkan peningkatan nilai pH AAT. BPS membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon dalam treatment AAT. Bahan organik yang digunakan pada penelitian ini adalah biomassa daun kayu putih. Dalam menentukan karakteristik biomassa daun kayu putih yang dapat dimanfaatkan oleh BPS pada treatment AAT, maka terlebih dahulu dilakukan beberapa analisis pengujian. Terdapat 2 jenis bahan organik yang dianalisis berdasarkan karakteristik fisika dan kimia, yaitu limbah segar daun kayu putih [L] dan kompos daun kayu putih [K]. Kompos berasal dari limbah daun kayu putih yang terdekomposisi aerob secara alamiah selama 1 tahun. Karakter limbah dan kompos daun kayu putih dilihat berdasarkan nilai pH, C-Organik, N-Total, nisbah C/N, kadar air, dan kadar kering. Berikut Tabel 1 menyajikan Standard Operating Procedure (SOP) dalam pengukuran parameter pada limbah dan kompos daun kayu putih. Tabel 1 Metode pengukuran parameter limbah dan kompos daun kayu putih Pengujian Metode Alat yang digunakan pH SNI 03-6787-2002 Soil tester C-organik Walkley dan Black Titrimeter N-total Kjehdal Destilator Kadar air SNI 19-3964-1995 Oven
Uji Lapang Lahan Basah dengan Matrik Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) Tahap selanjutnya adalah tahap pengoperasian di lapangan. Pada tahap ini, matrik lahan basah buatan yang diterapkan oleh PT. BA direplikasi dengan ukuran yang diperkecil menjadi (320x40x75) cm3 (Gambar 6), sehingga kapasitas volume AAT yang tertampung adalah sebesar 600 L, dengan tinggi permukaan air 30cm. Jenis kolam lahan basah buatan yang digunakan adalah anaerobic wetland.
Gambar 6 Desain matrik lahan basah menggunakan biomassa daun kayu putih dan bakteri pereduksi sulfat
15 Gravel dimasukkan ke dalam kolam hingga mencapai ketinggian 30cm. Gravel berfungsi sebagai material dalam pembentukkan biofilm bagi BPS. Komponen selanjutnya adalah limbah daun kayu putih yang berfungsi sebagai sumber karbon bagi BPS ataupun bioakumulator logam berat dimasukkan hingga mencapai ketinggian 10 cm. Pada pengkayaan melalui penambahan isolat BPS, dilakukan penambahan sebanyak 5% dari total volume AAT yang tertampung. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode Simple Randomized and Composite pada tiga titik kedalaman 10 cm, 20 cm, 30 cm pada lahan basah buatan selama 17 HSP disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rancangan pengambilan sampel pada tiap kolam air asam tambang dengan kombinasi pelakuan matrik yang berbeda. Waktu Pengamatan Perlakuan 0 HSP 3 HSP 6 HSP 10 HSP 13 HSP 17 HSP tLBb0 tLBb3 tLBb6 tLBb10 tLBb13 tLBb17 tLB tOGb0 tOGb3 tOGb6 tOGb10 tOGb13 tOGb17 tOG tL0b0 tL0b3 tL0b6 tL0b10 tL0b13 tL0b17 tL0 tL1b0 tL1b3 tL1b6 tL1b10 tL1b13 tL1b17 tL1 tK0b0 tK0b3 tK0b6 tK0b10 tK0b13 tK0b17 tK0 tK1b0 tK1b3 tK1b6 tK1b10 tK1b13 tK1b17 tK1 Keterangan: 1. AAT + Lumpur + Bokasi 2. AAT + Gravel 3. AAT + Gravel + Limbah segar 4. AAT + Gravel + Kompos 5. AAT + Gravel + Limbah segar + BPS 6. AAT + Gravel + Kompos + BPS 7. Hari Setelah Perlakuan
[tLB] [tOG] [tL0] [tK0] [tL1] [tK1] [HSP]
Analisis Data Penelitian ini dilakukan pada skala semi lapangan (pilot) tanpa ulangan, sehingga dapat dimungkinkan unit percobaan yang tidak homogen (heterogen). Metode ini dipilih karena keterbatasan biaya dan fasilitas dalam pembuatan kolam-kolam percobaan (Lampiran 2). Pengolahan dan penyajian data dilakukan secara deskriptif dengan mengumpulkan data - data variabel yang diplot dalam sistem koordinat. Hasil plotting berupa titik–titik penyebaran data sehingga membentuk kurva. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah AAT yang terdapat pada kolam lahan basah buatan. BPS dan biomassa daun kayu putih, baik berupa limbah segar maupun kompos merupakan variabel bebas, sedangkan pH, Fe, Mn, dan TSS dilakukan sebagai variabel terikat. Waktu pengamatan yang diterapkan adalah 3 HSP hingga 4 HSP. Standard Operating Procedure (SOP) dalam pengukuran Fe, Mn, pH, dan TSS berdasarkan SNI disajikan pada Tabel 3.
16 Tabel 3 Metode pengukuran parameter air asam tambang Pengujian Metode Alat yang digunakan pH SNI: 6989.11-2004 pH meter Kadar Fe SNI: 6989.4-2009 AAS Kadar Mn SNI: 6985.5-2009 AAS Residu tersuspensi (TSS) SNI: 6989.3-2004 Kertas saring Analisis secara biologis dilakukan pula terhadap populasi kepadatan sel BPS melalui metode MPN. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara anaerob dengan memasukkan mulut botol sampel terlebih dahulu ke dalam kolam, kemudian gravel dimasukkan ke dalam botol sampel tersebut dan ditutup di dalam kolam. Sebanyak 25g gravel yang telah ditumbuhi biofilm BPS dimasukkan ke dalam botol dan ditambahkan 5ml akuades steril, kemudian dikocok hingga BPS terlepas dari gravel. Akuades yang telah mengandung sel BPS diambil sebanyak 1 ml dan ditumbuhkan pada media Postgate cair. Setelah BPS tumbuh, dilakukan pengenceran hingga 5 kali dan pada tiap tingkat pengenceran dilakukan isolasi sebanyak 10 seri tabung. Perhitungan tabung positif yang mengandung BPS, dilakukan berdasarkan perubahan warna media yang berubah menjadi warna hitam. Jumlah tabung-tabung positif tersebut hasilnya dibaca berdasarkan nilai MPN yang terdapat pada tabel MPN (Most Probable Number), kemudian nilai MPN sampel dapat dihitung, sehingga satuannya adalah CFU/ml. Berikut rumus perhitungan MPN sampel (Oblinger dan Koburger 1975):
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) BPS koleksi ICBB diisolasi dari ekosistem sedimen di kolam penampungan AAT industri batubara PT. BA oleh peneliti sebelumnya, yaitu Yusron (2009). Terdapat 6 sampel BPS unggul yang diisolasi pada penelitian kali ini. Kode isolat BPS beserta asal isolat disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kode dan asal isolat bakteri pereduksi sulfat koleksi Laboratorium ICBB No. Kode Isolat Asal Isolat 1 ICBB 8813 ALP 3, Sedimen air laya PT. BA 2 ICBB 8815 KPL 4, Sedimen air laya PT. BA 3 ICBB 8816 Tower 4, Sedimen air laya PT. BA 4 ICBB 8818 KTU 1, Sedimen air laya PT. BA 5 ICBB 8819 Tupak 3, Sedimen air laya PT. BA 6. ICBB 8825 Limau Tembe 2, Sedimen air laya PT. BA Sumber: Yusron (2009)
17
Pertumbuhan isolat bakteri pereduksi sulfat Pertumbuhan BPS ditandai dengan perubahan warna pada media dari bening menjadi hitam pekat pada tabung reaksi. Perubahan wama media tersebut disebabkan karena reaksi reduksi sulfat, SO42- yang direduksi oleh BPS menjadi S2-, dan bereaksi dengan ion logam membentuk logam sulfida yang berwarna hitam dan tidak larut (Yusron, 2009).
(a) (b) Gambar 7 Indikasi awal waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat. (a) 4 hari setelah isolasi, (b) 9 hari setelah isolasi Isolat BPS ICBB 8818 memiliki kemampuan waktu awal tumbuh yang lebih cepat dibandingkan dengan kelima isolat lainnya (Gambar 7). Waktu awal pertumbuhan diindikasikan dengan adanya warna kehitaman pada media. Berikut adalah histogram kecepatan pertumbuhan keenam isolat BPS (Gambar 8).
Kode Isolat BPS
ICBB 8825 ICBB 8819 ICBB 8818 ICBB 8816 ICBB 8815 ICBB 8813 0
5
10
15
20
25
30
35
Awal waktu tumbuh (hari)
Gambar 8 Histogram awal waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat. Berdasarkan histogram di atas dapat dilihat bahwa isolat BPS ICBB 8818 memiliki kemampuan waktu tumbuh yang paling cepat, kemudian disusul dengan ICBB 8815 dan 8813, sehingga pada tahapan seleksi selanjutnya digunakan 3 isolat BPS tersebut. Hal ini disebabkan karena efektifitas kinerja BPS dapat dilihat berdasarkan waktu awal tumbuhnya (Widyawati 2011).
18
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan isolat Tahap seleksi BPS selanjutnya adalah berdasarkan pertumbuhan pada variasi lingkungan pH. Nilai pH yang digunakan, yaitu pH 3, pH 4, pH 6, dan pH 7, kemudian dilihat absorbansi kepadatan bakteri melalui spektrofotometer. Pengaturan pH 3 dan pH 4 dilakukan dengan penambahan asam sulfat sebelum disterilisasi. Pertumbuhan BPS pada variasi nilai pH disajikan pada Gambar 9.
pH 3
pH 4
pH 7
pH 6
Gambar 9 Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfar pada berbagai variasi nilai pH
Kode Isolat BPS
Isolat ICBB 8818 hanya membutuhkan waktu 4 hingga 6 hari untuk tumbuh pada pH 6 dan pH 7, sedangkan pada pH 3 dan pH 4 membutuhkan 8 hingga 10 hari untuk dapat diindikasikan mulai tumbuh. Isolat ICBB 8813 dapat terlihat indikasi mulai tumbuh pada pH 3 dan pH 4 selama 18 hingga 21 hari dan ICBB 8815 terlihat indikasi mulai tumbuh yang lebih cepat, yaitu 15 hingga 19 hari namun kedua isolat tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama dari ICBB 8818, begitu pula pertumbuhan kedua isolat tersebut pada pH 6 dan pH 7. Histogram pertumbuhan ketiga isolat BPS pada kondisi lingkungan pH yang berbeda disajikan pada Gambar 10. pH 7 pH 6 pH 4 pH 3
ICBB 8818
ICBB 8815
ICBB 8813
0
5
10 15 Waktu tumbuh (hari)
20
25
Gambar 10 Histogram waktu rata-rata indikasi awal tumbuh ketiga isolat bakteri pereduksi sulfat pada kondisi lingkungan pH yang berbeda. Perubahan pH secara langsung dapat mempengaruhi struktur enzim dan protein lain dalam sel bakteri, karena aktivitas fisiologis intraselular selalu berada dalam kondisi mendekati netral (Yusron, 2009). Oleh karena itu, sel bakteri perlu melakukan adaptasi fisiologis atau penyesuaian apabila kondisi lingkungan di luar sel terlalu masam atau terlalu basa. Kondisi pH yang terlalu masam atau terlalu basa akan menghambat pembentukan ATP, sedangkan kondisi pH netral
19 pembentukan ATP berjalan lebih cepat (Garland 1977; Mitchell 1961). Berdasarkan hal tersebut, maka waktu tumbuh BPS pada pH rendah lebih lama dibandingkan dengan pH mendekati netral (Gambar 10). Kondisi lingkungan yang asam juga menentukan pertumbuhan BPS. Secara kualitatif pertumbuhan biomassa BPS ditunjukkan dengan absorbansi atau kerapatan optik (pengukuran OD) melalui spektrofotometer dengan panjang gelombang 600nm (Gambar 11). Metode ini merupakan cara yang baik untuk melihat pertumbuhan bakteri tanpa harus mengganggu kultur bakteri (Black 2007). Pada tahap ini kerapatan optik diukur 28 hari setelah inkubasi pada pH 3, dengan blanko berupa media tanpa isolat BPS.
Gambar 11 Kerapatan optik isolat bakteri pereduksi sulfat pada pH 3 Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa isolat BPS ICBB 8818 memiliki kemampuan waktu tumbuh yang paling cepat, baik pada pH netral maupun asam. Secara kualitatif pertumbuhan biomassa BPS ICBB 8818 juga memiliki nilai kerapatan optik yang paling tinggi yaitu 0.76, sehingga isolat yang dapat diaplikasikan di lapangan adalah isolat BPS dengan kode ICBB 8818. Isolat tersebut termasuk dalam kelompok Desulfovibrio sp (Yusron 2009). Desulfovibrio sp. adalah BPS dengan karakteristik bersifat mesofil, gram negatif, batang, tidak membentuk spora dan hanya menunjukkan pertumbuhan pada kondisi anaerob (Widdel dan Bak 1994). Bakteri ini mengoksidasi karbon organik secara tidak sempurna. Rzeczycka dan Blaszczyk (2005) melaporkan bahwa Desulfovibrio tumbuh lebih baik dengan laktat sebagai sumber karbon. Namun demikian kelompok bakteri ini juga dapat memanfaatkan sumber karbon lain, seperti malat, pyruvat, propionat, butyrat, dalam mereduksi sulfat (Postgate dan Campbell 1966). Penentuan tetapan konsentrasi Pre-treatment terakhir adalah berupa pengujian inokulasi BPS ICBB 8818 ke dalam sampel AAT yang diketahui memiliki kadar logam terlarut yang sangat tinggi dengan nilai pH 2.41. Penentuan tetapan konsentrasi bertujuan untuk besaran persentase konsentrasi banyaknya isolat BPS ICBB 8818 yang dapat ditambahkan ke dalam AAT dalam pengaplikasiannya di lapangan. Berbagai konsentrasi yang diuji yaitu 1%, 2%, 3%, dan 5% (v/v) duplo, sedangkan AAT tanpa inokulasi isolat BPS berperan sebagai kontrol.
20 Analisis dilakukan berdasarkan peningkatan nilai pH AAT. Fluktuasi nilai pH pada berbagai konsentrasi isolat BPS mulai dari 0 hari setelah inokulasi (HSI) hingga 16 HSI ditujukan pada Gambar 12. 2.80 2.75
pH
2.70
Kontrol
2.65
1%
2.60
2%
2.55 2.50
3%
2.45
5%
2.40
0
4 8 12 Waktu Inokulasi (HSI)
16
Gambar 12 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat bakteri pereduksi sulfat ICBB 8818 (%) yang diinokulasikan pada air asam tambang. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai pH pada kontrol terlihat adanya sedikit peningkatan. Hal ini dimungkinkan terdapat kontaminasi dari BPS terhadap AAT, sebab tidak adanya proses sterilisasi AAT terlebih dahulu. Penambahan isolat BPS ICBB 8818 sebanyak 5% memiliki kemampuan yang optimal dalam meningkatkan nilai pH bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga didukung dengan penelitian Widyawati (2011) yang memaparkan bahwa dalam menurunkan Fe dan Mn berturut-turut dosis yang paling baik adalah 5% dengan waktu inkubasi 4 hari. Oleh karena itu, tetapan konsentrasi yang dapat diaplikasikan di lapangan adalah dengan menambahkan isolat BPS ICBB 8818 sebanyak 5% dari volume AAT.
Karakter Limbah Segar dan Kompos Daun Kayu Putih BPS membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon dalam treatment AAT. Bahan organik yang digunakan pada penelitian ini adalah biomassa daun kayu putih. Terdapat 2 jenis biomassa daun kayu putih, yaitu limbah segar daun kayu putih [L] dan kompos daun kayu putih [K] (Gambar 13).
(a) (b) Gambar 13 (a) Limbah segar daun kayu putih, (b) kompos daun kayu putih umur satu tahun
21 Proses dekomposisi limbah organik berupa daun kayu putih secara alami membutuhkan waktu yang lama. Proses tersebut juga menghasilkan CO2 sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman juga pencemaran udara walaupun relatif rendah (Murbandono, 1999). Lama dekomposisi limbah tersebut secara alami kurang lebih 1 tahun dikarenakan sifat daun yang sangat sulit hancur. Mudah dan sukarnya dekomposisi suatu seresah tergantung dari zat-zat yang terkandung di dalam jaringannya (Ambarwati, 2001). Adanya lignoselulosa pada dinding sel sekunder tanaman menyebabkan lamanya waktu dekomposisi (Beguin dan Aubert 1992; Fengel dan Wegener 1995). Menurut Sutedjo (1991), bahan lignoselulosa tersebut secara alami sulit terdegradasi sehingga untuk mempercepat proses pengomposan diperlukan mikroba yang mampu mendegradasinya. Pada umumnya selulosa dapat didegradasi oleh Alternaria, Aspergillus, Fomes, Fusarium, Myrothecium, Penicillium, Polyporus, Rhizopus, dan Verticillum (Alexander, 1977). Dalam penelitian Zumrotingrum et al. (2003) diperoleh 6 jenis isolat cendawan yang tumbuh pada limbah daun kayu putih dan tanah di tempat pembuangan limbah penyulingan daun kayu putih, yaitu: Aspergillus niger, A. oryzae, A. parasiticus, A. nidulans, Trichoderma harzianum dan Rhizopus oligoporus. Aspergillus parasiticus, A. nidulans dan Trichoderma harzianum mampu mendegradasi selulosa dan A. parasiticus mampu mendegradasi lignoselulosa limbah daun kayu putih. Di antara isolat cendawan yang diperoleh, A. parasiticus paling berpotensi mendegradasi senyawa selulosa dan lignoselulosa limbah daun kayu putih. Dalam melihat karakter biomassa daun kayu putih yang dapat dimanfaatkan oleh BPS dalam treatment AAT, maka terlebih dahulu dilakukan beberapa analisis pengujian. Analisis nisbah C/N Analisis C/N bertujuan untuk mengetahui lama proses dekomposisi bahan organik berdasarkan ketersediaan karbon dan nitrogen yang dibutuhkan oleh BPS. Dampak nisbah C/N yang rendah (N tinggi) menunjukkan adanya penurunan aktifitas mikrob. Mikrob memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Data rasio C/N pada limbah segar daun kayu putih dan kompos disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Data nisbah C/N limbah segar daun kayu putih dan kompos Parameter Limbah segar Kompos C-organik 55.7 32.9 N-total 1.31 1.46 Nisbah C/N 42.52 22.53 Nisbah C/N limbah segar daun kayu putih [L], yaitu sebesar 42.52. Hal ini disebabkan karena limbah yang berasal dari daun kering memiliki kadar nitrogen yang rendah dan mengakibatkan nisbah C/N masih tinggi, sehingga mikrob akan kekurangan N untuk sintesis protein dan pada akhirnya dekomposisi berjalan lambat. Pada kompos daun kayu putih [K], nisbah C/N telah mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu 22.53. Semakin rendah nisbah C/N (< 40) pada bahan organik, menunjukkan bahwa bahan organik tersebut telah terdekomposisi oleh mikrob (Tanimu et al. 2014).
22 Analisis nilai pH Analisis nilai pH merupakan faktor yang berperan pada dekomposisi bahan organik karena pada rentang pH yang tidak sesuai, maka mikob tidak dapat tumbuh dengan maksimum bahkan dapat mengakibatkan kematian. Selama tahap awal proses dekomposisi akan terbentuk asam‐asam organik. Kondisi asam ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan akan mendekomposisi lignin dan selulosa pada bahan organik. Hal inilah yang menyebabkan pH pada proses dekomposisi mengalami penurunan hingga berada pada kondisi asam (pH < 6-7). Nilai pH limbah segar daun kayu putih [L], yaitu sebesar 5.41. Selama proses dekomposisi berlangsung, nilai pH pada asam‐asam organik akan menjadi netral. Hal ini disebabkan karena mikrob dapat menghasilkan panas akibat dekomposisi bahan organik kompleks menjadi asam organik sederhana, sehingga pada kompos daun kayu putih [K] yang telah matang dihasilkan pH 6.38. Nilai pH pada kompos daun kayu putih berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi bahan organik. Kompos menjadi matang biasanya memiliki pH antara 6.00 hingga 7.00 (SNI: 197030-2004). Analisis kadar air Pada penelitian ini dilakukan pula analisis perbandingan kadar air dan kadar kering, untuk melihat efektifitas kinerja bioproses dari sistem dekomposisi limbah daun kayu putih secara alamiah. Dalam 1kg (berat basah) limbah segar daun kayu putih [L] diketahui mengandung 0.61kg air dan 0.39kg materi kering, sedangkan pada kompos daun kayu putih [K] tiap 1 kilogram (berat basah) mengandung 0.12kg air dan 0.88kg materi kering. Pada tahap awal dekomposisi bahan organik, mikrob sangat aktif menyerap bahan organik, dimana hasil proses degradasi ini menghasilkan air lindi. Hal inilah yang menyebabkan kadar air belum berkurang secara nyata pada awal dekomposisi. Air dihasilkan berdasarkan reaksi berikut : Bahan organik
CO2 + H2O + Humus + Hara + Energi.
Penurunan kadar air menandakan bahwa degradasi limbah daun kayu putih telah berlangsung. Hal ini juga ditandai dengan korelasi antara kadar air dan kadar volatil yang menunjukkan korelasi, yaitu semakin rendahnya kadar volatil, maka semakin rendah pula kadar air yang dihasilkan dari degradasi limbah daun kayu putih. Misi dan Forster (2001) menyatakan bahwa pengukuran kadar volatil dilakukan untuk menilai keberhasilan proses degradasi bahan organik.
Uji Lapang Lahan Basah dengan Matrik Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat Dalam pengolahan AAT pada penelitian ini menggunakan jenis kolam berupa anaerobic wetland. Penggunaan lahan basah buatan dalam pengolahan AAT memiliki potensi sebagai sumber inokulum BPS dalam mereduksi sulfat terlarut yang bisa memulihkan tingkat keasaman badan air menjadi pH 6-7 (Fahruddin dan Abdullah 2013). Selain itu, peningkatan pH juga akan memicu terjadinya pengendapan logam berat sehingga akan menghilangkan pencemaran logam berat yang terlarut dalam perairan.
23 Karakter limbah air asam tambang Stockpile 1 - Air Laya, PT. Bukit Asam. AAT yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Stockpile 1 – Air Laya. Karakterisasi AAT dilaksanakan dengan mengambil sampel dari kolam penampungan tersebut. Karakteristik limbah AAT diuji melalui analisis kandungan Fe, Mn, TSS, dan nilai pH. Hasil uji karakter kimia limbah AAT disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Karakter kimia limbah air asam tambang Stockpile 1 - Air Laya Stockpile-1 Kadar Maksimum1) Fe (mg/L) 4.4905 0.300 Mn (mg/L) 8.7479 0.100 TSS (mg/L) 28 50 Nilai pH 3.23 6-8 1)
SK Gubernur Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai
Nilai pH pada limbah AAT sangat rendah sehingga menyebabkan kemasaman, yaitu 3.23. Tingginya kemasaman limbah AAT juga menyebabkan logam terlarut cukup tinggi, terutama Fe dan Mn, yaitu 4.4905mg/L dan 8.7479mg/L. Pada kadar Fe, Mn, dan nilai pH, kualitas limbah ini jauh melebihi batas ambang (bila langsung dialirkan ke sungai) yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. Oleh karena itu, limbah AAT tersebut perlu diolah sebelum dibuang ke perairan. Analisis matrik lahan basah buatan berdasarkan nilai pH, Fe, Mn, dan TSS Nilai pH diukur berdasarkan – log [H+]. Pada pH rendah terdapat banyak ion H+ yang terbebas. Ion H+ dapat diikat dengan komponen ion negatif yang terdapat pada bahan organik, seperti kompos. Bahan organik tersebut diketahui mengandung bermacam-macam unsur. Salah satu hasil mineralisasi bahan organik adalah bikarbonat yang dapat berikatan dengan H+, sehingga terjadi peningkatan nilai pH (Bohn et al. 1985). Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa matrik limbah maupun kompos daun kayu putih, dan BPS dapat meningkatkan pH dan menurunkan kadar Fe, Mn, dan TSS pada AAT (Gambar 14). Perlakuan K1 (6.60), LB (6.33), K0 (6.14) pada 3 HSP telah memenuhi batas ambang baku mutu lingkungan (pH 6 – 8). Pada perlakuan K1 (matrik kompos yang diinokulasikan BPS ICBB 8818) peningkatan nilai pH lebih unggul dibanding LB dan K0 pada 3 HSP. Namun peranan BPS ICBB 8818 yang diinokulasikan dari luar, tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini dapat dilihat pada 6 HSP dan seterusnya, nilai pH pada perlakuan LB berada di atas K1. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa BPS yang berperan adalah BPS yang secara alami berada pada sedimen matrik. Pada matrik berupa Lumpur dan Bokasi (LB) secara alami terdapat banyak BPS. Hal ini disebabkan karena LB mengandung sulfat dan pH rendah yang merupakan habitat bagi pertumbuhan BPS (Matias et al. 2005). Salah satu faktor penentu pertumbuhan BPS adalah ketersediaan karbon organik. Karbon organik merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan mikrob. Reaksi reduksi sulfat oleh BPS mengikuti persamaan seperti berikut: SO42- + 8e- + 4H2O -> S2- + 8OH-
24
Gambar 14 Profil nilai pH, kadar Fe, kadar Mn, dan residu tersuspensi (TSS) air asam tambang pada kolam berisi matrik lahan basah buatan Keterangan:
25 Pada reaksi tersebut, elektron yang dibutuhkan diperoleh dari aktivitas oksidasi senyawa organik (laktat, asetat, propionat, dan lain-lain) yang dilakukan oleh BPS. Pada tahap awal, sumber karbon akan dioksidasi dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Peningkatan pH karena aktivitas BPS alami yang mereduksi sulfat akan memberikan dampak ganda, yaitu menghasilkan H2S dan ion bikarbonat (HCO3-). H2S adalah hasil reduksi sulfat (sulfat menurun, maka pH akan meningkat) dan bikarbonat berperan sebagai yang dapat meningkatkan pH (Frank 2000). Berdasarkan kadar logam Fe terlarut, perlakuan K0 (0.2253) dan LB (0.0010) pada 3 HSP telah memenuhi batas ambang baku mutu lingkungan (0.3000). Penurunan kadar logam tersebut terjadi akibat Fe2+ yang bereaksi dengan ion sulfida membentuk logam sulfida (FeS) yang tidak larut. Peranan BPS ICBB 8818 yang diinokulasikan dari luar (perlakuan K1 maupun L1) tidak berpengaruh secara signifikan. Penurunan kadar Fe terlarut ini terjadi karena peranan bahan organik (baik berupa kompos maupun bokasi) dan BPS yang secara alami berada pada matrik. Kompos tersebut akan membentuk kompleks atau kelasi dengan mineral logam (mengikat Fe2+). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlakuan yang paling efektif dalam menurunkan kadar Fe terlarut adalah LB dengan efektivitas sebesar 99.98%, kemudian diikuti oleh K0 (94.89%) dalam waktu retensi 3 hari. Penurunan logam lainnya yaitu Mn. Penurunan kedua logam tersebut terjadi karena adanya sistem pengendapan maupun pembentukan kompleks. Dalam Gambar 15 juga dapat dilihat penurunan kadar logam Mn terlarut. Perlakuan matrik baru dapat memenuhi batas ambang baku mutu lingkungan pada 13 HSP. Pengendapan logam sulfida (MnS) berjalan lambat. Reaksi dan pengendapan logam sulfida ditentukan oleh konstanta kelarutan (KSp) masing-masing senyawa. Semakin rendah nilai KSp, maka semakin cepat senyawa tersebut mengendap. Senyawa FeS dan MnS berkeseimbangan dalam larutan mengikuti reaksi: FeS : Fe2+ + S2- ; MnS : Mn2+ + S2- ;
KSp : 3.7 x 10-19 KSp : 1.0 x 10-22
Pada kondisi homogen, MnS akan mengendap lebih cepat dibanding FeS. Namun, kondisi larutan yang berada pada matrik lahan basah buatan tidak pada kondisi homogen. Hal ini tentunya proses pengendapan MnS juga dipengaruhi oleh faktor lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu: transport massa, reaksi pengikatan oleh bahan organik (kompos), pengikatan dengan bahan polimer ekstraseluler bakteri, serta sifat dari logam tersebut yang irreversible. Perlakuan yang efektif dalam menurunkan kadar Mn terlarut adalah K0 dengan efektivitas sebesar 99.13%, yang kemudian diikuti oleh K1 (98.50%) dalam waktu retensi 13 hari. Waktu retensi yang panjang (13 hari), dapat menimbulkan biaya operasional yang tinggi, sebab diperlukan lahan yang luas dalam mengolah bahan pencemar. Dalam mempercepat waktu retensi (dengan target 3 hari) diperlukan strategi melalui pendekatan biostimulasi maupun bioaugmentasi. Penyusunan substrat yang optimal dalam konduktivitas hidrologis lahan basah buatan juga perlu diperhitungkan. Strategi lainnya adalah pemilihan kombinasi jenis vegetasi akuatik yang optimal dalam mengabsorbsi logam berat secara cepat, serta pemanfaatan sedimen yang secara alami terdapat banyak BPS.
26 Strategi tersebut diharapkan dapat menurunkan kadar logam Mn terlarut hingga memenuhi batas maksimal dalam waktu 3 hari. Residu tersuspensi (TSS) merupakan material dalam air yang tertahan oleh filter dengan diameter lebih kecil atau sama dengan 2 mikrometer. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral, dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TSS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Kadar TSS pada limbah AAT PT. BA tidak bermasalah jika ingin langsung dialirkan ke badan sungai. Hal ini disebabkan karena kadar TSS tersebut telah memenuhi baku mutu lingkungan (yaitu 50) meskipun tanpa pengolahan terlebih dahulu. Nilai TSS dari AAT tersebut sangat memenuhi baku mutu limbah cair dari kegiatan penambangan yang disyaratkan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005. Nilai TSS yang memenuhi baku mutu lingkungan yang disyaratkan ini menunjukkan bahwa air limbah aman untuk dibuang ke Sungai Enim.
Pembentukan Biofilm dan Kepadatan Sel Bakteri Pereduksi Sulfat Berdasarkan hasil pembacaan tabel MPN (Most Probable Number), nilai MPN sampel dihitung melalui rumus Oblinger dan Koburger (1975), sehingga satuannya adalah CFU/ml. Data kepadatan sel BPS pada gravel yang diinokulasikan dengan BPS ICBB 8818 selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kepadatan sel bakteri pereduksi sulfat yang terimmobilisasi pada gravel Kepadatan Sel (CFU/ml) Kode Sampel 7 HSP 14 HSP 20 HSP 3 3 tOG 1.8 x 10 1.8 x 10 1.8 x103 5 5 tL1 1.8 x 10 1.8 x 10 2.0 x 105 tK1 2.1 x 106 3.2 x 106 3.2 x 106 Pada Tabel 7 dapat dijelaskan bahwa hasil perhitungan populasi pada sampel gravel yang diinokulasikan BPS ICBB 8818 pada akhir treatment dengan metode MPN memperlihatkan bahwa populasi pada kompos lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada limbah segar. Hal ini disebabkan karena kompos daun kayu putih merupakan bahan organik yang sudah mengalami mineralisasi sehingga unsur-unsur yang dibutuhkan oleh BPS sudah tersedia. BPS tidak mampu menggunakan bahan organik yang kompleks, seperti yang terdapat pada limbah segar daun kayu putih (Suflita 1997). Berdasarkan analisis grafik yang didukung oleh baku mutu lingkungan, waktu retensi, persentase efektifitas, dan efisiensi biaya, maka dapat dikatakan perlakuan matrik berupa gravel yang ditambahkan kompos (tanpa BPS) [K0] merupakan perlakuan yang dapat direkomendasikan untuk diterapkan pada lahan basah buatan PT. BA. Dalam mengolah AAT hanya diperlukan penambahan kompos (pendekatan biostimulasi) untuk menstimulasi keberadaan BPS yang secara alami sudah terdapat pada sedimen lahan basah buatan.
27
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Isolat BPS ICBB 8818 merupakan isolat yang paling unggul dibandingkan isolat ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8819, dan ICBB 8825 dalam skala laboratorium. Kebutuhan sumber karbon untuk aktivitas BPS ICBB 8818 dapat dipenuhi dari bahan organik berupa kompos daun kayu putih. Hal ini disebabkan karena kompos memiliki karakter nisbah C/N 22.53; pH 6.38; dan kadar air 12% yang artinya bahan organik telah mengalami mineralisasi sehingga unsur-unsur yang dibutuhkan oleh BPS telah tersedia. Berdasarkan uji lapang dalam skala pilot didapatkan rancangan proses penanganan AAT yang tepat, yaitu dengan memanfaatkan matrik berupa gravel yang ditambahkan kompos (tanpa BPS). Matrik tersebut dapat memenuhi target baku mutu lingkungan dalam waktu retensi 3 hari dengan rata-rata efektivitas yang tinggi pada keseluruhan parameter, serta efisiensi biaya yang juga tinggi, sehingga dapat diterapkan pada lahan basah buatan PT. Bukit Asam.
Saran Hasil penelitian skala pilot ini dapat diaplikasikan ke skala lapang melalui pendekatan peningkatan skala (scale up). Secara alami, BPS telah ada dalam matriks lahan basah buatan yang diterapkan oleh PT. Bukit Asam (matriks kontrol, LB). Sedimen lahan basah buatan yang mengandung sulfat dan pH rendah merupakan habitat bagi pertumbuhan BPS, sehingga dalam mengolah AAT hanya diperlukan penambahan kompos (pendekatan biostimulasi) untuk menstimulasi keberadaan BPS.
DAFTAR PUSTAKA Abfertiawan S dan RS Gautama. 2011. Development of Catchment Area Approach in Management of Acid Mine Drainage [Conference Paper] Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung [diunduh 2015 November 7]. Tersedia pada: http://www.researchgate.net/publication/268819128_ Development_of_Catchment_Area_Approach_in_Management_of_Acid_ Mine_Drainage Achterberg EP, VMC Herzl, CB Braungardt, GE Millward. 2003. Metal behaviour in an estuary polluted by acid mine drainage: the role of particulate matter. Environ. Poll.121, 283–292 Alexander, M. 1977. Introduction Soil Microbiology.USA: John Willey and Sons Ambarwati. 2001. Biodegradasi Limbah Padat Teh oleh Kultur Mikrobia dari Berbagai Sumber. [Karya Ilmiah]. Yogyakarta: Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada
28 Annual Report. 2014. Energizing the Spirit of Transformation. Laporan Tahunan [Internet] Tanjung Enim (ID): PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. 508. [diunduh 2015 Okt 14]. Tersedia pada: http://ptba.co.id/public/uploads/FINAL_AR_PTBA_2014_MARET.pdf Astuti F. 2013. PT. Bukit Asam kembangkan produksi minyak kayu putih. Sindo news [Internet] Jakarta (ID): Sindonews [diunduh 2014 Agustus 7]. Tersedia pada: http://ekbis.sindonews.com/read/770577/34/ptba-kembangkanproduksi-minyak-kayu-putih Atlas RM. 1993. Hand book of microbiological media. Boca Raton, Florida: CRC Press Inc. Aube BC and S Payant. 1997. The Geo process: a new high density sludge treatment for acid mine drainage. [4th International Conference Acid Mine Drainage] Vancouver BC, vol. 1: 165-180 Beguin P and JP Aubert. 1992. Cellulaces. In: Encyclopedia of Microbiology I. New York: Academic Press. Benner SG, DW Blowes, CJ Ptacek. 1997. A Full Scale Porous Reactive Wall for Prevention of Acid Mine Drainange. GWMP. Vol 17(4): 99 – 107 Beyenal H, Z Lewandowski. 2004. Dynamics of lead immobilization in sulfate reducing biofilms. J. Water Res. 38: 2726-2736 Black J. 2007. Microbiology. Principles & Explorations. 7th Ed. [E-book] Australia [UK]: John Wiley & Sons, Inc. National Library of Australia Bridge TA, C White, GM Gadd. 1999. Extracellular metal-binding activity of the sulphate-reducing bacterium Desulfococcus multivorans. J. Microbiol. 145: 2987-2995 Bohn HL, BL McNeal, GA O'Connor. 1985. Soil Chemistry 2nd Ed. [E-book] Australia [UK]: John Willey & Sons, Inc. National library of Australia Brown AE. 2001. Benson: Microbiological Application, Laboratory Manual in General Microbiology 8thEd. New York: Mac Graw Hill Companies Coulton R., C. Bullen, C. Hallet, J. Wright and C. Marsden. 2003. Wheal Jane mine water active treatment plant-design, construction and operation. Land Contam. Reclam. 11:245-252. Donlan RM. 2002. Biofilms: Microbial life on surface. J Emerg Infect Dis. 8(9): 881–890. [ELAW] Environmental Law Alliance Worldwide. 2010. Guidebook for Evaluating Mining Project EIAs. Eugene (US): Garden Avenue. 110. [diunduh 2015 Okt14]. Tersedia pada: https://www.elaw.org/files/miningeia-guidebook/Full-Guidebook.pdf Fahruddin dan Abdullah. 2013. Dinamika Populasi Bakteri pada Sedimen yang diperlakukan dengan air asam tambang. J Alam Lingk 4(7): 39-43 Faulkner B, BE Grif, JA Chermak, KF Miller. 2005. The Largest Acid Mine Drainange treatment Plant in The World. [Conference] U.S. Fish dan Wildlife Service, Kearneysville, WV. Paper presented at the 26th West Virginia Surface Mine Drainage Task Force FDA (Food and Drug Administration). 2001. Bacteriological manual Appendix 2: Most probable number from serial dilution Fengel D dan G Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Penerjemah: Sastrohamidjojo, H. Yogyakarta: UGM Press.
29 Ferliana R. 2014. Definisi Waktu Tinggal. Scribd [Internet] Jakarta (ID): Scribd.com [diunduh 2015 November 3]. Tersedia pada: http://www.scribd.com/doc/218332832/1-DEFINISI-WAKTU-TINGGAL #scribd Fowler TA and FK Crundwell. 1998. Leaching of zinc sulfide by Thiobacillus ferrooxidans: Experiments with a controlled redox potential indicate no direct bacterial mechanism. Appl. Envi. Microbiol. 64: 3570-3575 Frank P. 2000. Bioremediation by sulfate reducing bacteria of acid mine drainage. Nature Berkeley [diunduh 2014 Agustus 7]. Tersedia pada: http://nature.berkeley.edu/classes/es196/projects/2000final/frank.pdf Garland PB. 1977. Energy transduction in microbial systems. Symp Soc. Gen. Microbiol. 27: 1-21 Gautama RS. 2012. Pengelolaan Air Asam Tambang. Bimbingan Teknis Reklamasi dan Pasca Tambang pada Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara. [Tayangan]. Yogyakarta (ID): Forum Pengelola Lingkungan Pertambangan Mineral dan Batubara Gilbert O, de Pablo, J Cortina, JL Ayora. 2003. Evaluation of municipal compost/limestone/iron mixtures as filling material for permeable reactive barriers for in situ acid mine drainage treatment. J. Chem. Technol. Biotechnol.78, 489–496. Hammer DA and RK Bastian. 1989. Wetlands ecosystems : Natural Water Purifiers. In Constructed Wetlands for Wastewater Treatment. DA Hammer, ed. Lewis publishers: 5-20. Hards BC and JP Higgins. 2004. Bioremediation of Acid Rock Drainage Using SRB. Jacques Whit Environment Limited. Ontario Hazra F, E Widyawati. 2007. Isolasi, seleksi bahan pembawa dan formulasi inokulum Thiobacillus spp. J. Tanah Lingk 9(2): 71-76 Hedin RS, RW Nairn, RLP Kleinmann. 1994. Passive treatment of coal mine drainage. (US): Bureau of Mines Information Circular IC 9389. Pittsburgh Henny, SA Guruh, S Evi. 2010. Pengolahan air asam tambang menggunakan sistem pasif. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V. 331-344 Hossner LR and JJ Doolittle. 2003. Iron sulfide oxidation as influenced by calcium carbonate application. J. Envi. Qual. 32:773-780 Hrenovic J, D Tibijas, Y Orhan. 2007. Immobilization of Acinetobacter calcoaceticus using natural carriers. Acta Chim. Slov 54: 661-666 IMA. 2014. Potensi dan Tantangan Pertambangan di Indonesia. Indonesian Mining Association . Jakarta (ID): IMA (Terakhir diperbaharui 28 Mei 2014). [diunduh 2015 Okt 14]. Tersedia pada: http://www.imaapi.com/index.php?option=com_content&view=:potensi-dan-tantanganpertambangan-di-indonesia:media-news&Itemid=id Indra P. 2014. Most Probable Number (MPN) / Angka Paling Mungkin (APM). Mikrobiologi praktik [Internet] Jakarta (ID): mikrobiologipraktik.com [diunduh 2015 Oktober 27]. Tersedia pada: http://mikrobiologipraktik.com/most-probable-number-mpn-angka-palingmungkin-apm/ Isroi. 2008. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Makalah Kompos : Bogor.
30 Indriyati. 2004. Pengaruh Waktu Tinggal terhadap Perbandingan COD dan BOD, serta Pembentukkan Gas Metan [Paper] J. Tek. Lingk. 5(1): 30 – 33 Jhonson DB, KB Hallberg. 2005. Acid Mine Drainage Remediation Option. J Sci. Total Environ. 3-14. Kolmert A and DB Johnson. 2001. Remediation of acid waste waters using immobilised, acidophillic sulphate-reducing bacteria. J. Chem. Tech. Biotech. 76: 836-843. Lagos and I Gary. 2011. The Use of Bench-Scale Treatability Studies in the Design of Engineered Wetlands for the Remediation of Acid Mine Drainage (AMD) and Leachate in the Vicinity of Coal Mines : A Case Study in Ohio, United States. Procedia Earth and Planetary Sciences, Vol. 3: 11 – 16 Leduc LG and GD Ferroni. 1994. The chemolithotrophic bacterium Thiobacillus ferrooxidans. FEMS Microb. Rev. 14: 103-120 Lestari I dan A Sonny. 2011. Studi Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash dalam Pengelolaan Batuan Penutup untuk Pencegahan Air Asam Tambang [Conference] Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung [diunduh 2015 November 7] Tersedia pada: http://www.researchgate.net /publication/2688_Studi_Pemanfaatan_Fly_Ash_dan_Bottom_Ash_dalam _Pengelolaan_Batuan_Penutup_untuk_Pencegahan_Air_Asam_Tambang Lizama HM and I Suzuki. 1989. Rate equations and kinetic parameters of the reaction involved in pyrite oxidation by Thiobacillus ferrooxidans. Appl. and Envi. Microbiol. 55:2918-2923 Matias PM, IAC Pereira, CM Soares, MA Carrondo. 2005. Sulphate respiration from hydrogen in Desulfovibrio bacteria: a structural biology review. Prog. Biophyis. Molec. Biol. 89: 292-329. Masak J, A Cejkova, M Siglova, D Kotrba, V Jirku, P Hron. 2003. Biofilm formation: A tool increasing biodegradation activity. [Web Publication]. Prague (CZ): Dept. of Fermentation Chemistry and Bioengineering, Institute of Chemical Technology. Mays PA and GS Edwards. 2000. Comparison of Heavy Metal Accumulation in a Natural Wetland and Constructed Wetlands Receiving Acid Mine Drainage. Eco Eng, 16: 487 – 500 Mc Mullin and Weber. 1935. Modelling of Chemical Kinetics and Reactor Design: The Residence Time Distribution Function and Their Relationship [E-book] Cambridgeshire (UK): Weber State University Press Metcalf and Eddy Inc. 1991. Wastewater Engineering Treatment, Disposal, Reuse [E-book] Mc Graw-Hill International 3rd Edition Misi SN and CF Forster. 2001. Batch co-digestion of multi-component agrowastes. J. Bioresource Technol 80:19-28. Mitchell P. 1961. Coupling of phosphorylation to electron & hydrogen transfer by a chemiosmotic type of mechanism. Nature 191: 144-148 Moreau JW, JH Fournelle, JF Banfield. 2013. Quantifying heavy metals sequestration by sulfate-reducing bacteria in an acid mine drainagecontaminated natural wetland. J. Front. Microbiol .4:43. Munawar A. 2007. Pemanfaatan sumber daya biologis lokal untuk pengendalian pasif air asam tambang. J Tanah Lingk 7: 31-42 Muyzer G and JM Stams. 2008. The ecology and biotechnology of sulphatereducing bacteria. Nature 6: 441-454. doi:10.1038/nrmicro1892
31 Neculita C, G Zagury, B Bussiere. 2007. Passive treatment of acid mine drainage in bioreactors using sulfate reducing bacteria. J Environ Qual 36:1-16 Nurisman E. 2012. Studi Terhadap Dosis Penggunaan Kapur Tohor (CaO) pada Proses Pengolahan Air Asam Tambang Pada Kolam Pengendap Lumpur Tambang Air Laya PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. Jurnal Teknik Patra Akademika. Politeknik Akamigas Palembang Nyquist J, M Greger. 2008. A Field Study of Constructed Wetlands For Preventing and Treating Acid Mine Drainage. J. Ecol Eng 35: 630 – 642 O’Toole GA. 2003. To build a biofilm. J. Bacteriol. 185: 2687-2689 Oblinger JL and JA Koburger. 1975. Understanding and Teaching the Most Probable Number Technique. J. Milk Food Technol. 38(9): 540–545 Postgate JR and LL Campbell. 1966. Classification of Desulfovibrio Species, the nonsporulating sulfate-reducing bacteria. Bactiorol. Rev. 30: 732-738 Rzeczycka M and B Blaszczyk. 2005. Growth and activity of sulphate-reducing bacteria in media containing phosphogypsum and different source of carbon. Polish J. Envi. Studies 14: 891-895. Sahwan. 2011. Evaluasi Mikroba Fungsional Pupuk Organik Kompos. [Internet] Jakarta (ID): Pusat Teknologi Lingkungan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi: [diunduh 2015 Januari 20]. Tersedia pada: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/12211187196_1411-318X.pdf Santegoeds CM, TG Ferdelman, G Muzyer, D Beer. 1998. Structural and functional dynamics of sulfate-reducing population in bacterial biofilms. J Appl. Environ Microbiol. 64(10): 3731-3739 Septiadi T. 2011. Residence Time (Waktu Tiggal). [Internet] Jakarta (ID): teddyseptiadi.com [diunduh 2015 November 11]. Tersedia pada: http://teddyseptiadi.com/2011_11_01_archive.html Suflita JM, KL Londry, GA Ulric. 1997. Determination of Anaerobic Biodegradation Activity. In Manual of Environmental Microbiology. [Ebook] Washington (UK): ASM Press Sutedjo MM, AG Kartasapoetra, dan RD. Sastroadmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Jakarta: P.T. Rineka Cipta. Sutapa JP dan NH Aris. 2010. Pemanfaatan Limbah Daun dan Ranting Penyulingan Minyak Kayu Putih (Melaleuca cajuputi Powell) untuk Pembuatan Arang Aktif [Paper] Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV: 379 – 385 Tampion J and MD Tampion. 1987. Immobilized Cells: Principles and Applications. Cambridge Studies in Biotechnology 5th.Ed. [E-book] Cambridgeshire (UK): Cambridge University Press Tanimu MI, I Tinia I, M Ghazi, RM Harun. 2014. Effect of carbon to nitrogen ratio of food waste on biogas methane production in a batch mesophilic anaerobic digester. Int. J. Innov Manage and Technol. 5(2): 116-119 Taoufik J, Y Zeroual, A Moutaouakkil, S Mousaid. 2004. Aromatic hydrocarbons removal by immobilized bacteria (Pseudomonas sp., Staphylococcus sp.) in fluidized bed bioreactor. J. Annals of Microbiol. 54: 189-200 Timm DC. 1967. Effect of residence time and suspension density on crystal size distributions in continuous crystallization [E-book] Iowa (US): Digital repository, Iowa State University
32 Widdel F and F Bak. 1994. Gram-negative mesophilic sulfate-reducing bacteria. In Balows A. et al. (Eds). The Prokaryotes. Second Edition. A Handbook on the Biology of Bacteria: Ecophysiology, Isolation, Identification, Application. Springer-Verlag, New York. p. 3352-3378. Widyawati E. 2006. Bioremediasi tanah bekas tambang batubara untuk memacu revegetasi lahan. [Disertasi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Widyawati E. 2007. Pemanfaatan BPS untuk Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara. J. Biodiversitas 8(4): 283-286 Widyawati E. 2011. Formulasi inokulum BPS diisolasi dari sludge industri kertas untuk mengatasi air asam tambang. J Tekno Hut Tanaman 4(3): 119-125 World Coal Institute. 2009. The coal resource: overview of coal report. World Coal [Internet] London (UK): Cambridge House. 44 p; [diunduh 2015 Okt 14]. Tersedia pada: http://www.worldcoal.org/coal-the-environment/coaluse-the-environment/ Yusron M. 2009. Pengolahan airasam tambang menggunakan biofilm BPS. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zimkiewics PF, JG Skousen dan J Simmons. 2003. Long Term Performance of Passive Acid-Mine Drainage Treatment Sistems. Mine Water dan the Environment. 22: 118-129 Zipper C dan C Jage. 2002. Passive Treatment of Acid-Mine Drainage with Vertical Flow Sistems. Reclamation Guidelines. Powell River Project Zumrotiningrum BD dan AS Wiryanto. 2004. Seleksi dan identifikasi isolat cendawan selulolitik dan lignoselulolitik dari limbah penyulingan daun kayu putih (M. Leucadendron). J. Natural Products Biochem.1(2): 24-28
33 Lampiran 1 Statistik deskriptif dan uji normalitas serta eksponensial data
Descriptive Statistics pH Fe Mn TSS
N 84 84 84 84
Mean 5.9971 .887905 3.04153 16.38
Std. Deviation Minimum Maximum 1.3266 3.00 7.59 1.5084 .0010 4.4905 2.8908 .0712 8.7479 10.491 1 46
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test pH N 84 a Normal Parameters Mean 5.9971 Std. Deviation 1.3266 Most Extreme Absolute .275 Differences Positive .147 Negative -.275 Kolmogorov-Smirnov Z 2.517 Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a. Test Distribution is Normal.
Fe 84 .8879 1.5084 .333 .333 -.278 3.050 .000
Mn 84 3.0415 2.8908 .168 .168 -.152 1.543 .017
TSS 84 16.38 10.491 .164 .164 -.106 1.502 .022
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test 2 pH Fe Mn TSS N 84 84 84 84 a Exponential parameter. Mean 5.9971 .8879 3.0415 16.38 Most Extreme Absolute .412 .289 .149 .169 Differences Positive .282 .289 .149 .123 Negative -.412 -.136 -.087 -.169 Kolmogorov-Smirnov Z 3.774 2.648 1.364 1.549 Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .000 .048 .016 a. Test Distribution is Exponential.
34 Lampiran 2 Dokumentasi lapangan
Pembuatan kolam dan pengisisan matrik lahan basah buatan
AAT hasil treatment selama 20 hari
35 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 November 1991 sebagai anak sulung dari pasangan Heru Dewanto dan Yuliani Bhakti Sitepu. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bekasi. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Bioteknologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia, melalui jalur Beasiswa Korporat (IPBK) dan lulus pada tahun 2013, dengan masa studi 3.5 tahun. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2015. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) melalui Beasiswa pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Penulis bekerja sebagai Konsultan Individual bidang sanitasi lingkungan pada tahun 2013 dan ditempatkan di Subdirektorat Persampahan, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum. Bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawab konsultan individual ialah penilaian kinerja Tempat Penampungan Sementara sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS sampah 3R) seluruh Indonesia. Semasa kuliah S1 penulis telah mempublikasikan 2 paper ilmiah, yaitu berjudul Anaerobic Fermentation of Ethanol from Cassava, Sweet Potato, and Rice by Saccharomyces cerevisiae pada International Seminar on Science and Technology Innovations, University of Al Azhar Indonesia dan Keanekaragaman Invertebrata Laut di Rataan Pulau Pari, Kepulauan Seribu pada Seminar Nasional Taksonomi Fauna, Universitas Soedirman. Selain itu, sebagian karya ilmiah dari penulisan tesis ini akan diterbitkan dengan judul Pengolahan Air Asam Tambang secara Sistem Pasif melalui Pengkayaan Lahan basah buatan pada PT. Bukit Asam pada Jurnal tekMIRA – Bandung.