REKAYASA PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG SECARA PASIF MENGGUNAKAN BIOMASSA SERBUK GERGAJI, KOTORAN AYAM DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT
FIRMANSYAH ADI PRIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*1 Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rekayasa Pengolahan Air Asam Tambang Secara Pasif Menggunakan Biomassa Serbuk Gergaji, Kotoran Ayam dan Bakteri Pereduksi Sulfat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2015 Firmansyah Adi Prianto A154130041
*Pelimpahan
hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN FIRMANSYAH ADI PRIANTO. Rekayasa Pengolahan Air Asam Tambang Secara Pasif Menggunakan Biomassa Serbuk Gergaji, Kotoran Ayam dan Bakteri Pereduksi Sulfat. Dibimbing oleh ANAS MIFTAH FAUZI dan IRDIKA MANSUR. Industri pertambangan dikenal sebagai industri pionir karena investasi pertambangan memerlukan pembangunan infrastruktur yang mampu membuka suatu wilayah dari isolasi geografis. Walau demikian kegiatan usaha pertambangan yang mengekploitasi serta membuka bentang alam, kegiatan utamanya adalah menggali bahan tambang dari dalam tanah dapat menyebabkan dampak bagi lingkungan. Salah satu dampak lingkungan yang terjadi akibat aktifitas pertambangan adalah terbentuknya air asam tambang (AAT). AAT terjadi karena adanya proses oksidasi bahan mineral pirit (FeS2) dan bahan mineral sulfida lainnya. Bahan mineral tersebut tersingkap ke permukaan tanah dalam proses pengambilan bahan mineral tambang. Proses oksidasi tersebut terjadi dengan adanya mineral pirit, air dan oksigen. Salah satu teknologi dalam penanganan AAT adalah pengolahan AAT secara pasif (passive treatment), yaitu dengan sistem constructed wetland atau lahan basah buatan. Penggunaan lahan basah di dunia pertambangan telah banyak dilakukan tetapi masih perlu penelitian lebih lanjut agar penggunaan lahan basah ini dapat efisien diterapkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara bioteknologi untuk pengelolaan AAT, yaitu dengan penggunaan bakteri pereduksi sulfat (BPS), bahan organik berupa biomassa serbuk gergaji dan kotoran ayam. Tujuan dari penelitian ini adalah: (i) Menganalisis kinerja pengolahan AAT secara pasif menggunakan lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat dan (ii) Merancang sistem pengolahan AAT yang optimal berbasis biologis menggunakan lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Maret 2015 di PT. Bukit Asam (Persero) Muara Enim, Sumatera Selatan. Penelitian ini terdiri dari 3 tahap yaitu : (i) Tahap seleksi isolat bakteri pereduksi sulfat (BPS) dan analisa bahan organik, (ii) Penelitian skala pilot project, (iii) Pembuatan rancangan lahan basah. Isolat BPS yang digunakan berasal dari Indonesian Center For Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor. Terdapat 6 isolat BPS yaitu ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8818, ICBB 8819, dan ICBB 8825. Sebelum digunakan pada lahan basah, isolat BPS terlebih dahulu di seleksi dengan 3 tahapan yaitu: seleksi berdasarkan waktu tumbuh, variasi lingkungan pH, dan seleksi berdasarkan berbagai konsentrasi BPS. Bahan organik yang digunakan untuk memperkaya lahan basah adalah serbuk gergaji. Terdapat 2 perlakuan serbuk gergaji, yaitu Serbuk Gergaji Segar (BSGS) dan Serbuk Gergaji Segar dicampur dengan kotoran ayam (BSGS+KA). Pada penelitian skala pilot project, sampel AAT diambil dari kolam penampungan Stockpile-1 yang terlebih dahulu dianalisis Fe, Mn, Sulfat, TSS, dan pH, kemudian ditambahkan pada kolam percobaan dengan tinggi muka air ±30 cm. Ketinggian matrik lahan basah yang terdiri dari gravel dan bahan organik masing- masing secara berurutan 30 cm
dan 10 cm. Pengambilan sampel air dilakukan setiap 3 hari sampai hari ke 21. Sampel tersebut kemudian dianalisa pH, kadar Fe, Mn dan TSS dilaboratorium. Dari hasil seleksi BPS, bakteri yang terpilih untuk digunakan dalam penelitian ini adalah ICBB 8818. Hasil penelitian skala pilot project menunjukkan bahwa perlakuan matriks serbuk gergaji dengan kotoran ayam (tanpa BPS) (Tsk0) dapat mempengaruhi penurunan Fe dan Mn pada air asam tambang, sehingga secara sinergis dapat meningkatkan nilai pH dalam 3 hari. Matriks tersebut memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar Fe dan Mn, dengan persentase efektifitas sebesar 98.08% pada Fe dan 99.39% pada Mn dalam waktu 13 hari. Pada parameter TSS, perlakuan yang dapat menurunkan kadar TSS adalah pada perlakuan matriks serbuk gergaji dan BPS (Tsg1). Hal ini disebabkan kemampuan serbuk gergaji dalam adsorbsi kandungan padatan yang terlarut. Dari hasil penelitian diatas, didapatkan rancangan lahan basah yaitu dengan 1 bak pengendap dan 6 settling pond. Dimensi bak pengendap yaitu 49.12 x 12.28 x 2.5 m, sedangkan dimensi settling pond yaitu 54.93 x 109.80 x 1 m. Setelah dilakukan perhitungan persentase kemampuan penyisihan zat pencemar pada rancangan lahan basah buatan diharapkan hasil kandungan logam Fe, Mn, TSS dan nilai pH diakhir unit rancangan lahan basah masing-masing sebesar 0,007 mg/L, 0,014 mg/l, 0,008 mg/L, 6,10 dan sesuai baku mutu lingkungan Kata kunci: Air asam tambang, bakteri pereduksi sulfat, lahan basah buatan, kotoran ayam, serbuk gergaji.
SUMMARY FIRMANSYAH ADI PRIANTO. Engineering of Acid Mine Drainage management by Passive Treatment using sawdust, chicken manure and Sulfate Reducing Bacteria. Supervised by ANAS MIFTAH FAUZI and IRDIKA MANSUR. Mining industries are called pioneer industries becuase investation for mining needs infrastructure development that can open an area from geographical isolation. Even so, mining mining activities exploit and open landscapes, thus its main activity of digging the land can impact the environmant. One of environmental impacts from mining activities is production of acid mine drainage (AMD). AMD forms by oxidation of pyrites (FeS2) and other sulphide minerals. The minerals are exposed to land surface by digging activity during mining. The oxidation process can occur by the presence of pyrites, water, and oxygen. One of technologies in AMD treatment is a passive treatmeny by constructed wetland. The constructed wetland has been used in many mining industries but further researches are needed to increase the treatment’s efficience. This research did a biotechnological apporach to AMD drainage by using sulphate-reducing bacteria (SRB) and organic matters such as sawdust biomass and chicken manure. Sawdust and chicken manure waste can be used due to their availability, especially around the mine. The aims of this research were: (i) To analyses the performance of AMD passive treatment using constructed wetland enriched by sawdust biomass, chicken manure, and sulphate-reducing bacteria, and (ii) To design optimal biobased AMD treatment system using constructed wetland enriched by sawdust biomass, chicken manure, and sulphate-reducing bacteria. This research was conducted in September 2014 to March 2015 in PT. Bukit Asam (Persero) Muara Enim, South Sumatera. This research consisted of 3 stages which were: (i) Selection of sulphate-reducing bacteria (SRB) isolate and organic matter, (ii) Pilot project scale research, and (iii) Design of constructed wetland. SRB isolates used were from Indonesian Center For Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor. There were 6 isolates which were ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8818, ICBB 8819, and ICBB 8825. Before being used in constructed wetland, SRB isolates were screened by 3 stages, which were: growth time, environmental pH variations, and SRB concentration variations. Organic matter used for wetland enrichment was sawdust. There were 2 treatments, fresh sawdust (BSGS) and fresh sawdust mixed with chicken manure (BSGS+KA). On pilot project scale experiment, AMD samples were taken from sediment trap Stockpile-1 that has been analyzed for its Fe, Mn, Sulphates, TSS, and pH characteristics, and then were added to experimental pond with water surface’s height of ±30 cm. Wetland matrix was composed by gravel and organic matter with 30 cm and 10 cm height, respectively. Water sampling was done every 3 days until day 21. Samples were further analyzed for pH, Fe, Mn, and TSS characteristics in the laboratory. Based of SRB screening result, isolate used in this researh was ICBB 8818. Pilot project result show that treatment using sawdust and chicken manure matrix without SRB (Tsk0) can decrease Fe and Mn content in AMD and
synergistically increase pH in 3 days. The matrix gave the decrease of Fe and Mn content with 98.08% and 99.39% effectively on Fe and Mn, respectively in 13 days. On TSS parameter, the treatment able to reduce TSS was sawdust matrix and SRB (Tsg1). This might due to sawdust’s ability to adsorb soluble solid content. Based on the results, wetland was designed to have 1 precipitation tube and 6 settling ponds. Precipitation tube’s dimension was 49.12 x 12.28 x 2.5 m, and settling pond dimension was 54.93 x 109.80 x 1 m. After calculation of the design’s ability to remove heavey metal, it showed that AMD treatment in the settling pond results in Fe content og 0.007 mg/l, Mn content of 0.014 mg/l, TSS of 0.008 mg/l and pH 6.10 Keywords: Acid mine drainage, sulphate-reducing bacteria, constructed wetland, chicken manure, sawdust.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
REKAYASA PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG SECARA PASIF MENGGUNAKAN BIOMASSA SERBUK GERGAJI, KOTORAN AYAM DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT
FIRMANSYAH ADI PRIANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Dosen Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Iskandar
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Rekayasa Pengolahan Air Asam Tambang Secara Pasif Menggunakan Biomassa Serbuk Gergaji, Kotoran Ayam dan Bakteri Pereduksi Sulfat. Tesis ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk penyelesaian pendidikan program Magister (S2) pada Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua dosen pembimbing yaitu Bapak Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Irdika Mansur, MForSc. sebagai anggota komisi pembimbing, Dosen Penguji Dr Ir Iskandar atas segala bimbingan dan motivasinya. Terima kasih juga yang sedalam-dalamnya kepada Ibunda Djuliar Ahmad, Ayahanda Zulkarnain Yazid, istriku tercinta Anesta Lastya, SH, ananda Khalisha Rinjani, Aruna Mekha, Raiya Fakhira, sahabatku Zahriska Dewani, S.Si. dan Madaniyah, S.Si. sebagai rekan dalam penelitian yang telah banyak memberikan bantuan, kerjasama dan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada PT. Bukit Asam (Persero) Tbk yang telah memfasilitasi, khususnya kepada Bapak Suhendi Arensta yang telah membantu penulis selama di lapangan, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini baik secara langsung maupun tidak langsung Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, November 2015 Firmansyah Adi Prianto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ruang Lingkup Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Pengolahan Air Asam Tambang Lahan Basah (Wetand) Serbuk Gergaji Pengolahan AAT dengan Biomassa Serbuk Gergaji dan Kotoran Ayam Bakteri Pereduksi Sulfat
3 3 5 6 8 9 9
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Prosedur Penelitian Seleksi Isolat BPS dan Analisa Biomassa Serbuk Gergaji Aplikasi Passive Treatment Skala Pilot Project Rancangan Konstruksi Lahan Basah Analisis Data
11 11 11 12 12 12 13 14 16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Biomassa Serbuk Gergaji Aplikasi Passive Treatment Skala Pilot Project Design Lahan Basah
16 16 20 22 26
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
28 28 29
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Metode pengukuran biomassa serbuk gergaji. Metode pengukuran parameter. Kode dan asal isolat BPS koleksi Laboratorium ICBB). Karakteristik AAT KPL Stockpile 1 - IUP Air Laya Rekapitulasi persentase penyisihan yang terjadi pada bak settling pond
12 14 16 22 28
DAFTAR GAMBAR 1 Desain matriks lahan basah buatan. 2 Kurva Hazen untuk penentuan efektifitas penyisihan yang terjadi pada settling pond dalam berbagai variasi. Sumber : Hazen (1971) 3 Foto kecepatan waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat(a) 4 hari setelah isolasi, (b) 9 hari setelah isolasi, (c) 16 hari setelah isolasi. 4 Kecepatan waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat. 5 Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada berbagai variasi nilai pH pada waktu inokulasi hari ke-12 6 Waktu rata-rata indikasi mulai tumbuh ketiga isolat bakteri pereduksisulfat pada kondisi lingkungan pH yang berbeda. 7 Kerapatan optik isolat BPS pada pH 3 setelah inkubasi selama 28 hari. 8 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat BPS ICBB 8818 yang diinokulasikan pada AAT. 9 Nisbah C/N pada biomassa serbuk gergaji. 10 Perbedaan nilai pH pada biomassa serbuk gergaji. 11 Profil nilai pH AAT pada matrik lahan basah. 12 Profil nilai A) Fe dan B) Mn AAT pada matrik lahan basah. 13 Kadar TSS AAT pada matrik lahan basah. 14 Profil pH (A), Fe (B), Mn (C) dan TSS (D) pada perlakuan AAT dengan serbuk gergaji dan kotoran ayam 15 Rancangan matriks lahan basah untuk settling pond. 16 Rancangan settling pond.
13 15 17 17 18 19 19 20 21 22 23 24 25 26 26 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 Dokumentasi Lapangan 2 Perhitungan Rancangan Pembuatan Lahan Basah Buatan 3 Perhitungan persentase kemampuan penyisihan zat pencemar pada 6 buah rancangan settling pond
32 33 35
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan pertambangan merupakan suatu usaha pengelolaan bahan tambang dengan cara mengekstrak bahan galian yang bernilai ekonomis dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Secara umum, kegiatan pertambangan menyangkut kegiatan eksploitasi bahan galian permukaan dan bawah permukaan dengan menggunakan bantuan teknologi. Sampai saat ini, kegiatan pertambangan di Indonesia telah mencapai masa keemasan dimana poin-poin penting kegiatan pertambangan yaitu pemanfaatan sumberdaya mineral dan batubara menjadi tulang punggung pendapatan devisa negara dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia. Industri pertambangan mempunyai potensi besar untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama untuk daerah terpencil. Industri pertambangan dikenal sebagai industri pionir karena investasi pertambangan memerlukan pembangunan infrastruktur yang mampu membuka suatu wilayah dari isolasi geografis. Walau demikian kegiatan usaha pertambangan yang mengekploitasi serta membuka bentang alam, kegiatan utamanya adalah menggali bahan tambang dari dalam tanah, dapat menyebabkan dampak bagi lingkungan. Salah satu dampak lingkungan yang terjadi akibat aktifitas pertambangan adalah terbentuknya air asam tambang (AAT). AAT terjadi karena adanya proses oksidasi bahan mineral pirit (FeS2) dan bahan mineral sulfida lainnya. Bahan mineral tersebut tersingkap ke permukaan tanah dalam proses pengambilan bahan mineral tambang. Proses oksidasi tersebut terjadi dengan adanya mineral pirit, air dan oksigen. AAT akan memberikan serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya pH serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya merupakan unsur logam meningkat dengan konsentrasi tinggi, sehingga dapat berakibat buruk pada kesehatan lingkungan maupun manusia (Gautama 2007). AAT adalah air tambang yang mengandung sulfat bebas, terdapat sebagai air lindian (leachate), air rembesan (seepage), atau air penirisan (drainage) yang telah tercemar/terpengaruh oleh proses oksidasi mineral-mineral sulfida yang terdapat pada batuan, sebagai akibat kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi, sehingga air tersebut mempunyai nilai pH rendah (<7) (Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara 2013). AAT menjadi salah satu dampak penting dari kegiatan pertambangan yang harus dikelola tidak saja karena dampaknya terhadap lingkungan perairan atau air tanah, tetapi juga karena sekali telah terbentuk akan sulit untuk menghentikannya (kecuali salah satu komponennya habis) dan bisa berdampak sangat lama, melampaui umur tambang. Tingkat kemasaman yang tinggi pada AAT secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas lingkungan dan kehidupan makhluk hidup. Sebagian besar tumbuhan dan hewan tidak mampu hidup pada pH sangat rendah. Hanya mikroorganisme asidofil yang mampu bertahan dan hidup pada pH rendah, sehingga adanya AAT dapat merusak keragaman hayati (Widyawati 2011). Tingkat kemasaman yang tinggi meningkatkan kelarutan logam-logam berbahaya seperti As, Cd, Cr, dan Pb, yang sering berasosiasi dengan mineral pirit. Keberadaan logam terlarut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Walaupun pada konsentrasi yang sangat
2
rendah efek ion logam terlarut dapat berdampak langsung ataupun terakumulasi dalam rantai makanan (Gautama 2012). Logam terlarut tersebut dapat ditransfer dengan jangkauan yang sangat jauh di lingkungan, berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Resiko yang dihadapi oleh pertambangan terhadap AAT tidak saja pada masa operasi tetapi yang lebih penting adalah pada masa pascatambang. Berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku usaha pertambangan harus bertanggungjawab terhadap berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkannya, apabila pelaku usaha pertambangan diangap lalai dalam melakukan pengelolaan lingkungan maka dapat dikenakan sangsi berupa denda maupun pidana (Saria 2012). Pada masa sekarang seiring dengan menurunnya harga batubara, maka banyak perusahaan mengakhiri kegiatannya. Hal ini disebabkan karena tidak ekonomis lagi dilakukan kegiatan penambangan (Dahlius 2014), sehingga banyak lahan bekas bukaan tambang yang tidak dilakukan pengelolaan lingkungannya termasuk pengelolaan AAT. Pengelolaan AAT dengan metode konvensional menggunakan bahan kimia membutuhkan biaya besar serta tenaga manusia yang secara terus menerus mengelola instalasi pengelolaan AAT untuk menambah bahan kimia, sementara kegiatan pertambangannya sudah berhenti. Lain halnya dengan passive treatment atau perlakuan pasif hanya memerlukan dana pada awal pembangunan serta sedikit perawatan dan tidak memerlukan tenaga manusia yang sering ke lokasi instalasi pengelolaan air asam tambang. Passive treatment atau sistem pasif yaitu suatu sistem pengolahan air yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara alami seperti gradien topografi, energi metabolisme mikroba, fotosintesis dan energi kimia dan membutuhkan perawatan secara reguler tetapi jarang untuk beroperasi sepanjang umur rancangannya (GARD Guide 2009). Salah satu passive treatment dengan pendekatan secara bioteknologi salah satunya dengan menggunakan bakteri pereduksi sulfat (BPS). Akumulasi sulfat (termasuk dalam AAT) dapat diturunkan dengan memanfaatkan aktivitas BPS. Bakteri tersebut mampu menggunakan ion sulfat, sulfit atau thiosulfat sebagai aseptor elektron untuk mendapatkan energi dalam proses metabolismenya (Yusron 2009). Ion-ion tersebut setelah menerima elektron akan terreduksi menjadi sulfida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tanah bekas tambang batubara yang diberi perlakuan bahan organik (berupa biomasa kulit kayu) yang dikoloni oleh BPS dapat menurunkan ketersediaan logam Fe, Mn, Zn dan Cu dalam tanah dengan efisiensi antara 68 - 97% setelah 15 hari inkubasi (Widyati 2006). Bahan organik lain seperti campuran serbuk gergaji juga dapat mengurangi kandungan sulfat dan logam berat sebesar 91,8 - 99,8 % pada skala laboratorium. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penambahan serbuk gergaji dan kotoran ayam dapat meningkatkan efisiensi dalam pengurangan sulfat dan kandungan logam berat pada reaktor AAT (Naculita et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini memanfaatkan limbah serbuk gergaji. Serbuk gergaji merupakan limbah pengolahan kayu yang tersedia melimpah, khususnya di sekitar tambang.
3 Ruang Lingkup Penelitian ini membahas proses pengolahan AAT di PT Bukit Asam (Persero) Tbk. dengan cara pasif menggunakan lahan basah buatan. Lahan basah buatan menggunakan matriks berupa krakal yang berasal dari lokasi pertambangan, biomasa serbuk gergaji, kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat.Adapun parameter yang ingin dilihat adalah kadar besi (Fe), mangan (Mn), Total Suspended Solid (TSS) dan nilai pH sesuai dengan baku mutu lingkungan air limbah pertambangan batubara menurut SK Gubernur Sumatera Selatan No. 16 tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kinerja pengolahan AAT menggunakan lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat? 2. Bagaimana rancangan lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini antara lain bertujuan untuk: 1. Menganalisis kinerja pengolahan AAT dengan sistem pasif menggunakan lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat. 2. Merancang sistem pengolahan AAT yang optimal berbasis biologis menggunakan lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat.
Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini yaitu memberikan informasi terkait pengelolaan AAT dengan sistem pasif menggunakan lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat, serta mendapatkan rancangan lahan basah yang optimal berbasis biologis.
2 TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Air Asam Tambang (AAT) adalah air yang bersifat asam, dengan tingkat keasaman yang tinggi dan ditandai dengan nilai pH yang rendah (pH< 5) sebagai
4
hasil dari oksidasi mineral sulfida yang terpajan atau terdedah (exposed) di udara dengan kehadiran air (Gautama 2012). Kegiatan penambangan yang utama adalah penggalian, sehingga dapat mempercepat proses pembentukan AAT. AAT menjadi salah satu dampak penting dari kegiatan pertambangan yang harus dikelola. Hal ini disebabkan karena sekali terbentuk akan sulit untuk menghentikannya (kecuali salah satu komponennya habis), dapat berdampak sangat lama melampaui umur tambang. Gautama (2012) menambahkan bahwa AAT dapat menimbulkan dampak negatif terhadap biota perairan, dapat terjadi baik secara langsung karena tingkat keasaman yang tinggi maupun karena peningkatan kandungan logam di dalam air (air yang bersifat asam mudah melarutkan logam-logam) sehingga dapat mengganggu ekosistem perairan. Pembentukan AAT terjadi bila teroksidasinya mineral-mineral sulfida yang terdapat pada batuan hasil galian yang terekspos dengan air dan oksigen yang membentuk air asam yang tinggi berupa aliran yang kaya akan kandungan sulfat. AAT tidak hanya dihubungkan dengan penambangan batubara tetapi juga dikaitkan dengan materi geologi hasil galian lain seperti dalam konstruksi jalan raya, penambangan logam dan penggalian tambang dalam. Ada beberapa tipe mineral sulfida yaitu: logam sulfida yang terdapat pada lapisan batubara biasanya berupa pirit dan markasit (FeS2) dan beberapa logam lain yang dapat bersifat kompleks sulfida yang menyebabkan AAT. Komposisi dan konsentrasi logam tergantung pada tipe dari mineral sulfida serta kuantitatif kehadirannya. Oksidasi logam sulfida dan konversi berikutnya dalam membentuk asam terjadi dalam beberapa reaksi sebagaimana yang diuraikan dalam 4 persamaan berikut: Persamaan 1: FeS2 Persamaan2 : Fe+2 Persamaan3 : Fe+3 Persamaan4 : FeS2
+ 7/2O2 + H2O Fe+2 + 2 SO4-2 + 2H+ + 1/4O2 + H+ Fe+3 + 1/2H2O + 3H2O Fe(OH)3 + 3H+ + 14Fe+3 + 8H2O 15Fe+2 + 2SO4-2 + 16H+
Pada persamaan pertama, logam sulfida mengalami oksidasi sehingga melepaskan logam Fe+2, sulfat dan asam. logam Fe+2 pada persamaan kedua teroksidasi membentuk logam Fe+3. Logam Fe+3 dapat mengalami hidrolisa membentuk ferri hidroksida dan asam pada persamaam ketiga, atau dapat secara langsung merombak pirit yang berperan sebagai katalis yang dalam turunannya akan membentuk logam besi, sulfat dan asam dalam jumlah yang besar. Pemisahan logam logam Fe+2, sulfat dan asam menyebabkan peningkatan pemisahan larutan total dan asiditas di dalam air. Selain itu netralisasi dan peningkatan asam berkaitan erat dengan nilai pH. Dalam lingkungan yang sesuai, oksidasi akan berjalan dengan baik, maka sebagian besar logam Fe3+ akan teroksidasi menjadi logam Fe+2. Pada pH 2.3 sampai dengan pH 3.5 logam Fe3+ akan mempercepat pembentukan Fe(OH)3, meninggalkan sebagian kecil Fe3+ dalam larutan yang memiliki pH rendah di waktu yang sama. Pada persamaan kedua dikenal sebagai tahap pembatas karena logam besi (Fe3+) dikonversikan lambat menjadi logam Fe3+ dalam kondisi abiotik. Namun bakteri oksidasi besi yang dinamakan Thiobacillus ferrooxidans meningkat secara besar-besaran, mempercepat oksidasi besi yang dalam kecepatan besar akan membentuk asam (Gautama 2012).
5 Pengolahan Air Asam Tambang Pengolahan AAT dapat dikategorikan atas 2 yaitu pengolahan pasif dan pengolahan aktif. Pengolahan yang paling umum digunakan adalah dengan metode mengolah AAT dengan pengolahan aktif dimana pengolahan tersebut menggunakan kimia penetral yang ditambahkan terus menerus ke AAT (Johnson dan Hallberg 2005; Nurisman et al. 2012). Proses penetralan AAT ini akan mengendapkan logam-logam terlarut dan akan membentuk endapan lumpur (sludge). Pada pengolahan aktif dilakukan penambahan bahan kimia yang dapat menetralisir kemasaman limbah. Penambahan bahan alkalin akan meningkatkan nilai pH, mempercepat laju oksidasi ion ferro (Fe2+), serta mengendapkan logam terlarut dalam bentuk hidroksida dan karbonat. Berbagai bahan penetralisir telah banyak digunakan seperti kalsium oksida, kalsium karbonat, sodium hidroksida, magnesium oksida dan magnesium hidroksida. Efektivitas masing-masing bahan tersebut sangat beragam. Sodium hidroksida (NaOH) jauh lebih efektif tetapi harganya sangat mahal. Penambahan bahan kimia tersebut sangat efektif dalam mengolah air asam tambang, tetapi biaya operasionalnya sangat tinggi, serta menghasilkan lumpur limbah yang sangat banyak, terutama pada penggunaan senyawa kalsium. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan kimia, dan untuk mengurangi limbah yang dihasilkan, beberapa peneliti telah melakukan perbaikan teknik pengendalian AAT. Aube dan Payant (1997) mencoba memperbaiki teknik pengolahan limbah melalui penambahan bahan kimia secara bertahap dan mempertahankan nilai pH, mampu membersihkan beberapa logam seperti arsenik dan molibdenum. Kelemahan dari pengolahan aktif ini adalah memerlukan biaya yang besar dalam memindahkan atau membuang endapan lumpur yang mengandung logam. Prinsip perlakuan pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami. Munawar (2007) memaparkan perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Pemilihan metode pasif dalam pengolahan AAT dibandingkan dengan pengolahan secara aktif mempunyai kelebihan terutama dari segi perawatan dan biaya yang lebih rendah. Sistem pengolahan pasif hanya memerlukan perawatan dan penggantian secara periodik. Teknologi passive treatment dalam pengelolaan AAT dapat dikelompokkan menjadi 4 tipe, yaitu: anoxic limestone drainage (ALD), successive alkalinity producing system (SAPS), constructed wetland treatment (CWT), dan biosorption system anoxic limestone drainage (ALD) adalah teknik penambahan bahan alkalin (kapur) dalam kondisi anoksik sehingga dapat mempertahankan ion Fe2+ dalam bentuk tereduksi dan mengendapkan Fe(OH)3 dalam kapur. Penambahan bahan kapur akan meningkatkan nilai pH pada kisaran 6-7 yang akan mendorong pengendapan logam. Teknik ALD ini tidak dapat diterapkan pada semua limbah AAT. Pada kondisi dimana AAT mengandung ion ferri atau aluminium yang tinggi, penerapan teknik ALD akan memberikan hasil yang cukup baik. Namun dengan adanya endapan hidroksida akan mengurangi permeabilitas drainase, dan hal ini sering terjadi sekitar 6 bulan setelah pembuatan ALD. Oleh karena itu, teknik ALD ini diterapkan dan merupakan bagian dari pengolahan pasif, yang diterapkan bersama-sama dengan lahan basah aerob atau lahan basah kompos. Kleinmann et al. (1998) melaporkan bahwa penambahan ALD pada lahan basah
6
buatan mampu mengolah AAT dengan efektif. Successive alkalinity producing system (SAPS) merupakan suatu teknik yang mengkombinasikan teknologi lahan basah kompos dengan anoxic limestone drains (ALD). Pada sistem ini batu kapur diletakkan di bagian dasar, sedangkan bahan organik berada di atas batu kapur. AAT dilewatkan dan keluar dari sistem melalui bagian dasar sistem. Kandungan oksigen dalam air asam tambang akan berkurang dengan adanya bahan organik, yang kemudian akan melewati batu kapur yang bersifat alkalin (Johnson dan Hallberg 2005).
Lahan Basah (Wetland) Salah satu pengolahan AAT dengan metode pasif dengan menggunakan constructed wetland treatment (CWT) atau lahan basah buatan. Pada teknik ini bahan organik atau substrat, tumbuhan air, dan bakteri memegang peranan penting (Henny 2010). Lahan basah adalah daerah-daerah yang tergenang baik dengan air permukaan atau air tanah pada frekuensi dan durasi yang cukup untuk mendukung spesies atau jenis komunitas tumbuhan dan hewan baik yang hidup di air atau di darat (US EPA 2013). Dalam perkembangannya, lahan basah dapat digunakan sebagai suatu cara atau teknik untuk memperbaiki kualitas air di lingkungan atau digunakan untuk teknik remediasi AAT. Dalam hal remediasi AAT, pengertian lahan basah adalah suatu kolam atau daerah yang dialiri air terus menerus sebagai suatu sistem ekologi. Lahan basah yang digunakan untuk remediasi dikenal dengan nama lahan basah buatan. Lahan basah buatan (constructed wetland treatment) merupakan suatu sistem ekologi di mana proses fisika, kimia, dan biologi terjadi yang dapat mengubah sifat kimia dari suatu limbah cair. Proses yang terjadi pada air limbah diantaranya adalah oksidasi reduksi, presipitasi, khelasi, adsorpsi, sedimentesi, filtrasi, penyerapan aktif oleh tanaman, dan aktivitas mikroba. Konstruksi lahan basah buatan pada sekitar tambang dilakukan dengan cara mengeruk tanah untuk membentuk kolam-kolam dangkal (0.3 m hingga 0.5 m). Tanaman yang toleran terhadap lingkungan asam dan kadar logam yang tinggi ditanam di dasar kolam, di lahan basah dan di lahan kering di sepanjang tanggul. Jenis tanaman yang biasa digunakan dalam lahan basah adalah rerumputan air, seperti Typha latifolia. Tujuan utama membangun lahan basah buatan disekitar tambang adalah menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah galian tambang beserta dengan senyawa logam belerang, seperti pirit (FeS2) yang dapat menghasilkan asam sulfat dalam keadaan basah dan sisa-sisa bijih logam. Ada 2 tipe umun dari sistem lahan basah buatan, yaitu: lahan basah yang bersifat aerobik dan yang bersifat anaerobik. Lahan basah aerobik sangat efektif untuk proses oksidasi reduksi yang dapat meningkatkan presipitasi logam sebagai oksida dan hidroksida pada sedimen lahan basah. Sedangkan lahan basah anaerobik meningkatkan proses biologis oleh BPS sehingga meningkatkan alkalinitas dari air asam tambang dan reaksi abiotik (Tim Penyusun PT. Bukit Asam 2013). Pada dasarnya lahan basah aerob adalah buatan manusia yang dibentuk dengan menggali tanah dan mengisinya dengan tanah dan liat sebagai media tumbuh bagi tanaman lahan basah. Lahan basah aerob adalah sistem lahan basah yang relatif dangkal yang beroperasi dengan aliran permukaan. AAT dialirkan
7 pada permukaan wetland yang biasanya ditumbuhi oleh tanaman sejenis cattail (Typha sp) yang tumbuh di atas tanah atau substrat organik. Pada proses ini logam akan dihilangkan melalui proses oksidasi dan mengendapkannya. Proses oksidasi Fe masih menjadi perdebatan, apakah oksidasi tersebut murni oksidasi abiotik, atau dipercepat dengan adanya aktivitas mikroorganisme (Johnson dan Hallberg 2005). Pengurangan konsentrasi logam sebagian terjadi karena proses pengendapan logam dengan adanya reduksi sulfat secara biologi, dan sebagian kecil juga diserap oleh tanaman. Tanaman lahan basah yang ditanam pada sistem aerob ditanam dengan alasan estetika untuk mengatur aliran air dan menyaring serta menstabilkan endapan besi yang terakumulasi. Selain itu, adanya tanaman pada sistem lahan basah aerob memberikan kontribusi meningkatkan kandungan bahan organik melalui zat-zat hasil sekresi dan dekomposisi sisa tanaman (Munawar 2007). Berbeda dengan lahan basah aerobik, pada lahan basah anaerobik menggunakan instalasi pengolahan AAT dengan sistem tertutup seluruhnya dibawah permukaan tanah. Sehingga penggunaan tanaman tidak dibutuhkan dalam sistem anaerobik. Pada sistem ini dibutuhkan bahan organik dalam pengoperasiannya. Lahan basah anaerob seperti juga lahan basah aerob, sistem ini juga dibuat oleh manusia, dimana batu kapur diletakkan pada bagian dasar lahan basah kemudian dilapisi bahan organik atau dicampur dengan bahan organik (Collins et al. 2004). Batuan kapur akan memberikan kondisi alkalin pada AAT, sedangkan bahan organik menjadi media tumbuh bagi tanaman lahan basah dan sumber energi bagi pertumbuhan BPS. Dengan adanya aliran AAT melalui bahan organik menyebabkan kondisi anoksik. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan BPS dan menghasilkan sulfida. Pada kondisi tidak ada oksigen bebas, oksidasi logam akan berjalan lebih lambat sehingga pembentukan logam oksihidroksida juga lambat dibandingkan dengan kondisi aerob. Adapun dalam lahan basah perombakan materialsecara langsung menjadi materi yang sangat sederhana dapat dilakukan oleh komunitas mikrob. Keberadaan tumbuhan dengan sistem perakarannya mampu menyokong pertumbuhan mikrob dalam sistem yang juga akan mendegradasi senyawa - senyawa logam berat pada sistem. Penelitian dengan serbuk gergaji sudah pernah diuji coba di PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan penambahan serbuk gergaji dan kotoran ayam dapat meningkatkan air yang semula asam dengan pH 3 menjadi netral dengan pH 7 (Proper PT BA 2013). Diwilayah Sumatera Selatan banyak terdapat area pengergajian kayu di sepanjang area sungai musi yang limbahnya apabila tidak termanfaatkan akan dapat menyebabkan pencemaran atau pendangkalan sungai dan polusi udara jika dilakukan pembakaran secara langsung. Oleh karena itu, penelitian dengan penambahan BPS, limbah biomassa serbuk gergaji dan kotoran ayam dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan AAT dengan metode lahan basah PT Bukit Asam (Persero) Tbk. Lahan basah anaerobik dalam beberapa jurnal juga tidak selamanya berupa instalasi yang tertutup seluruhnya, akan tetapi dapat berupa kolam yang terbuka seperti lahan basah aerobik, tetapi bedanya air asam tambang yanga akan di kelola dilewatkan pada matrik atau dibawah permukaan kolam. Sistem lahan basah di mana air mengalir di bawah permukaan tanah disebut dengan subsurface flow wetland treatment (SSF). SSF terdiri dari:
8
a. Media matriks diantaranya adalah kerikil, pasir, batuan, dan bahan organik. Bahan organik pada sistem lahan basah meningkatkan pertukaran ion, adsorpsi logam, dan menstimulasi aktivitas mikroba. b. Membran impermeabel: dapat berupa tanah liat atau membran plastik (PVC dan HDPE) c. Tanaman lahan basah: misalnya Typha angustifolia, Prhagmites sp., Scirpus sp.
Serbuk Gergaji Limbah kayu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu limbah eksploitasi dan limbah industri pengolahan kayu. Limbah industri pengolahan kayu terbesar berasal dari limbah industri penggergajian dan industri kayu lapis. Bakri et al. (2006) mendefinisikan limbah industri penggergajian sebagai bagian kayu yang dihasilkan dari proses penggergajian yang karena bentuk, ukuran dan cacat yang dimiliki tidak memungkinkan lagi dibuat sebagai sortimen kayu gergajian. Limbah industri pengolahan kayu dapat berupa serbuk gergaji (sawdust), sebetan (slabs), potongan-potongan (trims), dan serutan (skaring). Di Indonesia ada tiga macam industri kayu yang secara dominan mengkonsumi kayu dalam jumlah relatif besar, yaitu: penggergajian, vinir/kayu lapis, dan pulp/kertas. Limbah biomassa dari industri kayu telah dimanfaatkan kembali dalam proses pengolahannya, yang menimbulkan masalah adalah limbah penggergajian yang kenyataannya dilapangan masih ada yang di tumpuk dan sebagian dibuang ke aliran sungai (pencemaran air), atau dibakar secara langsung (ikut menambah emisi karbon di atmosfir). Produksi total kayu gergajian Indonesia mencapai 2.6 juta m3 per tahun (DepHut 1998). Dengan asumsi bahwa jumlah limbah yang terbentuk 54.24% dari produksi total, maka dihasilkan limbah penggergajian sebanyak 1.4 juta m3 per tahun (Martawijaya dan Sutigno 1990), angka ini cukup besar karena mencapai sekitar separuh dari produksi kayu gergajian. Di sepanjang aliran sungai musi terdapat banyak pengergajian kayu.Bahan kayu banyak berasal dari pohon kecapi. Pohon kecapi, sentul atau ketuat (Sandoricum koetjape) banyak dibudidayakan di Indonesia terutama untuk dimanfaatkan buahnya. Selain itu, kayu kecapi juga memiliki kualitas yang baik untuk digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan kerajinan. Bagian kayu kecapi yang merupakan salah satu limbah padat yaitu limbah potongan kayu atau serbuk hasil penggergajian kayu yang cukup menjadi masalah penting. Di Sumatera Selatan sendiri limbah kayu ini jarang dimanfaatkan dan biasanya dibuang begitu saja sehingga menyebabkan pencemaran di lingkungan perairan sekitar sungai Musi. Selain itu, pemanfaatan serbuk kayu dimasyarakat belum begitu luas. Penggunaannya baru terbatas pada bahan baku pembuatan pupuk, bahan bakar, dan bahan baku pada industri pengepresan kayu.
9 Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Biomasa Serbuk Gergaji dan Kotoran Ayam
Serbuk gergaji berbentuk butiran - butiran halus yang terbuang saat kayu akan digergaji, maka sangat banyak jumlah serbuk gergaji yang dihasilkan pada industri pengolahan kayu. Dalam hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan bahwa bakteri selulolitik dan BPS dapat tumbuh dalam sludge bubur kayu yang mengandung selulosa pada komposisi kimiawi kayu. Sludge mempunyai struktur yang halus dan kadar air yang tinggi sehingga mendorong suasana anaerob. Pada proses pengolahan air telah banyak diteliti mengenai penurunan kandungan logam berat di air dengan mengunakan serbuk gergaji sebagai penjerap logam berat dikarenakan struktur serbuk gergaji yang sangat berpori dapat menjerap kandungan logam berat, akan tetapi dalam penelitian pada sistem lahan basah anaerobik, komposisi reaktif material yang digunakan seperti kompos, daunan, serbuk gergaji ditambahkan lumpur dari lahan basah tersebut berguna untuk menstimulasi pertumbuhan BPS untuk menaikan alkalinitas dan menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfida (Chang et al. 2000). Karbon organik dari serbuk gergaji tidak mudah tersedia untuk BPS, diperlukan periode aklimatisasi panjang untuk dapat mengahasilkan bioreaktor yang diisi dengan serbuk gergaji sehingga efisien untuk pengolahan AAT. Namun, setelah periode aklimatisasi, didapatkan hasil yang lebih baik dalam penurunan kandungan logam berat dan penurunan kandungan sulfat dengan menggunakan serbuk gergaji (Johnson dan Hallberg 2005) dibandingkan dengan kompos saja (Gibert et al. 2004; Zagury et al. 2006). Oleh karena itu, serbuk gergaji dapat digunakan sebagai substrat untuk BPS, dalam operasi bioreaktor jangka panjang.
Bakteri Pereduksi Sulfat Kandungan sulfat dalam AAT dapat diturunkan dengan memanfaatkan aktivitas BPS (Widyawati 2011). Hal ini disebabkan karena BPS mampu menggunakan ion sulfat, sulfit atau thiosulfat sebagai aseptor elektron untuk mendapatkan energi dalam proses metabolismenya. Ion-ion tersebut setelah menerima elektron akan tereduksi menjadi sulfida. Terbentuknya hidrogen sulfida juga akan sangat menguntungkan terhadap lingkungan yang mengandung logam terlarut tinggi, sebab senyawa ini sangat reaktif dan akan segera bereaksi dengan logam membentuk logam-sulfida yang sangat stabil sehingga logam terlarut dalam AAT akan mengendap. Dalam pertumbuhannya, BPS memerlukan donor elektron dari asam-asam organik berbobot molekul rendah seperti laktat, asetat, propionat, butirat, etanol yang dapat diperoleh dari mineralisasi bahan organik. Selain itu, terkait dengan sumber karbon, BPS memerlukan bahan organik sehingga dikelompokkan ke dalam bakteri heterotrof. Widyawati (2011) menambahkan bahwa saat melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon.
10
Karbon tersebut berperan selain sebagai donor elekton dalam metabolisme juga merupakan bahan penyusun selnya. Terdapat beberapa tipe sumber karbon dan energi yang dapat digunakan oleh BPS. BPS mampu memanfaatkan berbagai macam sumber karbon yang merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan bakteri. Berikut reaksi persamaan reduksi sulfat oleh BPS: SO42- + 8e- + 4H2O -> S2- + 8OH-. Pada reaksi tersebut, terlihat bahwa elektron yang dibutuhkan didapat dari aktivitas oksidasi bahan organik, berupa laktat, asetat, propionat, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh BPS. Disamping sebagai donor elektron dan sumber karbon, bahan organik juga berfungsi sebagai sumber energi (Jhonson dan Hallberg 2005). Pada tahap awal, senyawa karbona dioksidasi dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Pada kondisi dimana hidrogen dipergunakan sebagai donor elektron, maka CO2 akan dimanfaatkan sebagai sumber karbon. Energi yang diperoleh dari oksidasi laktat ditransfer ke hidrogenase pada sitoplasma dan dihasilkan H2 yang dioksidasi kembali untuk menghasilkan elektron. Selanjutnya, proton H+ dilepaskan dan dipergunakan untuk mendorong pembentukan ATP dalam reduksi sulfat menjadi S2-. Mekanisme penting bagi aktivitas BPS adalah proses reduksi sulfat tersebut berlangsung dalam kondisi anaerob dan kondisi faktor lingkungan yang optimal bagi pembentukan sulfida yang maksimal. Reduksi sulfat dapat terjadi pada kisaran pH, tekanan, suhu dan salinitas yang lebar, namun ketersediaan senyawa karbon sebagai donor elektron dan molekul hidrogen dapat menjadi pembatas. BPS adalah bakteri yang memanfaatkan sulfat (SO42-), tiosulfat (S2O32-), sulfit (SO32-) sebagai penerima elektron di dalam respirasi metabolismenya. Dalam respirasinya BPS memerlukan substrat organik sebagai donor elektron. Berikut adalah reaksi terbentuknya sulfida dan proses reduksi sulfat, yang kemudian bereaksi dengan kation - kation logam membentuk logam sulfida, yang berlangsung pada kondisi anaerob : H2S + 2HCO3 2 (CH2O) + SO425H + SO42H2S + 4H2O + 2e 2+ 2M + S MS Substrat organik tersebut umumnya berupa asam-asam organik rantai pendek seperti asam laktat, piruvat, dan asam organik lainnya. Di alam, substrat tersebut dihasilkan dari aktivitas fermentasi bakteri anaerob. Berdasarkan kemampuan metabolisme tersebut, maka BPS mampu hidup dan berperan pada sedimen perairan AAT (Jhonson dan Hallberg 2005). Peranan BPS dalam mengolah AAT yaitu dengan menetralisir atau mengurangi keasaman dan meningkatkan pH yang merupakan refleksi dari pengurangan sulfat dalam perairan. Asimilasi bahan organik merupakan metabolisme untuk memperoleh energi yang dilakukan dengan proses fosforilasi transport elektron yang memungkinkan asimilasi senyawa-senyawa organik seperti asam - asam organik, asam amino dan senyawa kompleks (Napoleon 2013). Proses reduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh beberapa kondisi, antara lain waktu tinggal, pH, suhu, oksigen terlarut, dan potensial redoks. BPS adalah bakteri anaerob obligat yang membutuhkan lingkungan mikro anaerob. Suyasa
11 (2002) mengemukakan bahwa pH optimal bagi pertumbuhan BPS berkisar antara 5 sampai 8. BPS yang diisolasi dari ekosistem air hitam Kalimantan mampu menyesuaikan diri pada pH 2.5, dan menunjukkan pertumbuhan yang pesat pada kisaran pH antara 4 dan 7. Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan bahwa pada tanah bekas tambang batubara yang diberi perlakuan bahan organik (berupa biomasa kulit kayu) yang dikoloni oleh BPS dapat menurunkan ketersediaan logam Fe, Mn, Zn dan Cu dalam tanah dengan efisiensi antara 68 - 97% setelah 15 hari inkubasi. Pada sedimen lahan basah buatan, khususnya lahan basah anaerobik terdapat banyak BPS dan nutrien. Kandungan bahan organik yang tinggi dalam sedimen lahan basah menyediakan lingkungan yang baik untuk populasi BPS dan untuk presipitasi kompleks logam. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mempertahankan kandungan bahan organik dalam lahan basah. Selain itu, dalam media matriks lahan basah dapat juga ditambahkan kompos atau bahan organik lainnya. Efisiensi dari SSF lahan basah anaerobik tergantung pada aktivitas BPS dan ketersediaan karbon organik sebagi sumber energi untuk pertumbuhan mikrob. Bahan organik yang umum digunakan pada lahan basah anaerobik diantaranya adalah: kompos, lumut, pupuk, serbuk gergaji, gambut, akar tanaman yang dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (Naculita et al. 2007). Proses akumulasi dan penghancuran bahan organik dalam waktu yang lama dapat meningkatkan konsumsi oksigen sehingga membuat kondisi lahan basah menjadi bersifat anaerobik.
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi kegiatan Izin Usaha Pertambangan PT Bukit Asam (Persero) Tbk. yang terletak di wilayah Kecamatan Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Analisa sampel penelitian, berupa AAT dilakukan di laboratorium PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. dengan parameter pH, Besi (Fe), Mangan (Mn), dan Total Suspended Solid (TSS). Waktu penelitian dilaksanakan pada September 2014 hingga Maret 2015.
Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam,batu kerakal, BPS dengan kode ICBB 8813; ICBB 8815; ICBB 8816; ICBB 8818; ICBB 8819; dan ICBB 8825, media postgate B, AAT dari Stockpile 1-IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., aquadest, larutan standart Fe, larutan standar Mn, alkohol, dan spiritus.
12
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 kolam buatan yang masing – masing berukuran 320x40 cm dengan kedalaman 75 cm, sehingga volume kolam mencapai 960 l/kolam sebagai bioreaktor bioremediasi, terpal, AAS (Atomic Absorbtion Spectrometer), labu erlenmeyer, gelas ukur, oven, desikator, tabung ulir, timbangan analitik, botol sampel 100 ml, Filter paper no 41 WhatmannTm D125 mm (CAT No 1441-125), Cellulose nitrate filter 0,45 µm (Sartorius stedim biotech), pipet ukur, gunting, corong gelas dan labu semprot.
ProsedurPenelitian Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat dan Analisa Biomassa Serbuk Gergaji Pada tahap ini dilakukan seleksi isolat BPS. BPS yang digunakan berasal dari Indonesian Center For Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor. Terdapat 6 isolat BPS yang diambil dari koleksi unggul Laboratorium ICBB, antara lain: 1. ICBB 8813 4. ICBB 8818 2. ICBB 8815 5. ICBB 8819 3. ICBB 8816 6. ICBB 8825 Seleksi isolat BPS dilakukan dengan 3 tahapan yaitu: seleksi berdasarkan waktu tumbuh, variasi lingkungan pH, dan seleksi berdasarkan berbagai konsentrasi BPS. Seleksi pertama yaitu berdasarkan waktu tumbuh, bakteribakteri tersebut diremajakan terlebih dahulu pada media Postgate B. Bakteri yang paling cepat tumbuh selanjutnya akan digunakan dalam seleksi berdasarkan variasi pH. Seleksi kedua berdasarkan variasi nilai lingkungan pH, nilai pH yang digunakan yaitu: pH 3, pH 4, pH 6, pH 7, kemudian dilihat absorbansi kepadatan bakteri melalui spektrofotometer. Seleksi ketiga berdasarkan berbagai konsentrasi isolat BPS terpilih. Konsentrasi yang digunakan yaitu 1%, 2%, 3%, dan 5% (v/v). Pengujian BPS dengan berbagai konsentrasi dilakukan dengan menginokulasikan BPS ke dalam sampel AAT yang berasal dari PT Freeport Indonesia, diukur berdasarkan peningkatan nilai pH pada AAT. Bahan organik yang digunakan untuk memperkaya lahan basah adalah serbuk gergaji. Terdapat 2 perlakuan serbuk gergaji, yaitu Serbuk Gergaji Segar (BSGS) dan Serbuk Gergaji Segar dicampur dengan kotoran ayam (BSGS+KA). Pada perlakuan serbuk gergaji segar dicampur dengan kotoran ayam (BSGS+KA) menggunakan perbandingan serbuk gergaji segar : kotoran ayam (3:1) yaitu 48 kg serbuk gergaji dan 16 kg kotoran ayam per kolam lahan basah. Fungsi kotoran ayam adalah menurunkan kadar C/N pada serbuk gergaji. Sebelum digunakan pada kolam lahan basah, bahan organik tersebut dianalisa terlebih dahulu. Metode Pengukuran biomassa serbuk gergaji sebelum digunakan pada penelitian ini adalah : Tabel 1 Metode pengukuran biomassa serbuk gergaji Pengujian Metode pH SNI 03-6787-2002 C Walkley dan Black N Kjehldal
Alat yang digunakan Soil Tester Titrimeter Spektrofotometer
13 Aplikasi Passive Treatment Skala Project Tahap selanjutnya adalah tahap pengoperasian di lapangan. Pada tahap ini, matriks lahan basah yang diterapkan oleh PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. direplikasi dengan ukuran yang diperkecil menjadi 320x40x75 cm (Gambar 1), sehingga kapasitas volume sebesar 600 l, dengan tinggi permukaan air 30 cm. Jenis kolam lahan basah (wetlands) yang digunakan adalah anaerobic wetland.
Gambar 1 Desain lahan basah buatan Batu kerakal dimasukkan ke dalam kolam hingga mencapai ketinggian 30 cm, kerakal berfungsi sebagai pelekat dalam pembentukkan biofilm bagi BPS. Komponen selanjutnya adalah biomassa serbuk gergaji yang berfungsi sebagai sumber karbon bagi BPS ataupun bioakumulator logam berat. Jenis biomassa serbuk gergaji yang telah optimal berdasarkan hasil analisa dimasukkan hingga setebal 10 cm. Pada pengkayaan melalui penambahan isolat BPS, dilakukan penambahan sesuai dengan konsentrasi yang optimal. Sampel AAT diambil dari kolam penampungan Stockpile-1 yang terlebih dahulu dianalisis pH, kadar Besi (Fe) terlarut, kadar Mangan (Mn) terlarut dan Total Suspended Solid (TSS). AAT kemudian ditambahkan pada kolam percobaan hingga tinggi permukaan air mencapai 30 cm dari ketebalan biomassa serbuk gergaji. Aplikasi perlakuan pada lahan basah buatan adalah sebagai berikut: 1. AAT + Gravel (kontrol) [T0g] 2. AAT + Gravel + BSGS [Tsg0] 3. AAT + Gravel + BSGS+BPS [Tsg1] 4. AAT + Gravel + BSGS + KA [Tsk0] 5. AAT + Gravel + BSGK + KA + BPS [Tsk1] Keterangan : AAT : Air Asam Tambang BSGS : Biomassa Serbuk Gergaji Segar KA : Kotoran Ayam BPS : Bakteri pereduksi sulfat
14
Pengambilan sampel air dilakukan setiap 3 hari sampai hari ke 21. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah Simple Randomized and Composite pada tiga titik kedalaman yang berbeda pada lahan basah buatan. Sampel air asam tambang dianalisis berdasarkan nilai pH, kadar Fe, kadar Mn, dan TSS. Berikut adalah Standard Operasional Prosedur (SOP) dalam pengukuran pH, Fe, Mn, dan TSS berdasarkan SNI. Tabel 2 Metode pengukuran parameter Pengujian Metode pH SNI: 6989.11-2004 Kadar Fe SNI: 6989.4-2009 Kadar Mn SNI: 6985.5-2009 TSS SNI: 6989.3-2004
Alat yang digunakan pH meter AAS AAS Kertas saring/ Gravimetri
Rancangan Konstruksi Lahan Basah Desain rancangan bangunan pengelolaan AAT terdiri dari dua jenis bangunan pengolahan, yakni yang pertama bak penampung sedimen (sediment trap) dan settling pond. Bak penampung sedimen berfungsi untuk mengendapkan lumpur yang ikut masuk menuju bangunan pengolahan dari lokasi tambang,sedangkan settling pond berfungsi untuk meningkatkan kadar pH dan menurunkan kandungan logam berat yang ada pada AAT dengan melewatkan AAT ke dalam settling pond yang terdapat biomassa serbuk gergaji dan kotoran ayam. Pada penghubung bak penampung sedimen dan settling pond terdapat saluran overflow yang langsung mengalirkan air dari bak penampung sedimen menuju ke settling pond dengan gravitasi. Bak penampung sedimen yang digunakan adalah tipe kotak. Bak penampung sedimen harus mampu mengendapkan saat debit minimum hingga maksimum. Debit yang digunakan adalah debit air sesuai dengan data intensitas hujan di lapangan dengan perhitungan intensitas curah hujan sebesar 374.850 m3/th. Dimensi bak penampung sedimen dibuat dengan rasio P:L = 4:1 dengan tinggi (H) sedalam 2 m untuk mengoptimalkan lahan yang tersedia dan memanfaatkan peralatan pertambangan untuk menguras lumpur yang terdapat dalam bak penampung sedimen. Dalam menguras lumpur, excavator diupayakan bisa menjangkau sesuai desain bak penampung sedimen. Saluran overflow adalah saluran yang mengalirkan air dari bak penampung sedimen 1 ke settling pond. Dalam perencanaannya debit air sama dengan debit yang keluar dari bak penampung sedimen 1. Kecepatan aliran air dibuat samayakni 1161.2 m/jam sesuai dengan hasil percobaan di lokasi. Panjang dan lebar dibuat dengan range yang proposional agar lumpur yang melalui bak penampung sedimen memiliki waktu untuk melakukan pengendapan. Setelah melalui bak penampung sedimen 1 dengan waktu tinggal 1 hari selanjutnya AAT akan melalui settling pond yang terdiri dari 6 kompartemen. Selama melalui 6 kompartemen ini direncanakan waktu tinggal sebesar 3 hari dengan rasio P : L = 2 : 1. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan awal yang menyimpulkan bahwa lahan basah yang diperkaya dengan biomasa serbuk gergaji dan kotoran ayam dapat menaikkan pH yang awalnya asam menjadi pH normal dengan rentang pH 6-9 serta menurunkan kandungan logam berat dan TSS di dalam AAT. Settling pond ini akan tersusun secara berurutan aliran airnya dari
15 kompartemen pertama sampai kompartemen keenam. Adapun perhitungannya pembuatan rancangan bak penampung sedimen dan settling pond adalah sebagai berikut: Q Bak = Q air + Q lumpur Volume tiap bak (Vol) o td= Vol / Q bak o Vol = Q bak x td Keterangan: Luas permukaan (As) td : waktu tinggal AAT o As = Vol / h vol : volume Panjang dan lebar bak Q : debit o P : L = 4 : 1 h : tinggi As= P x L = 4 L x L P : panjang = 4 L2 L : lebar Setelah dilakukan perhitungan untuk mendapatkan dimensi bak pengendap dan settling pond maka dilakukan perhitungan efisiensi penyisihan yang terjadi pada settling pond untuk mengetahui seberapa besar kemampuan mereduksi konsentrasi pencemar yang ada. Adapun persentase efisiensi penyisihan yang terjadi pada settling pond ini dapat dihitung dengan cara membandingkan antara kecepatan aliran dengan debit dan luas penampang settling pond itu sendiri. Sehingga nilai persentase efisiensi V ( ῃ ) masing-masing settling pond diperoleh rumus dengan keterangan : (Q / A) V = kecepatan (m/hari) Q = debit (m3/hari) A = luas penampanng (m2) Hasil perhitungan tersebut kemudian di plot ke grafik persentase kemampuan penyisihan pada unit pengendap, dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Kurva Hazen untuk penentuan efektifitas penyisihan yang terjadi pada settling pond dalam berbagai variasi. Sumber : AWWA 1971.
16
Setelah waktu tinggal, dimensi bak pengendap dan settling pond diketahui maka dihitung prosentase penyisihan suatu unit settling pond untuk mengetahui settling pond yang dibuat termasuk dalam range good performance atau tidak. maka presentase removal suatu unit pengolahan dalam hal ini bak pengendap dapat ditentukan dengan melihat grafik Hazen (1971) diatas. Jika nilai waktu tinggal x dengan good performance, maka jika ditarik garis didapatkan nilai prosentase removal suatu unit adalah y % sehingga konsentrasi pencemar yang memasuki unit diharapkan akan tersisih hingga sesuai baku mutu lingkungan diakhir unit pengolahan
Analisis Data Analisa data dilakukan secara tabulasi dan grafik melalui plotting sumbu x dan y dengan tujuan melihat profil parameter berdasarkan hasil perlakuan. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan yaitu data sebelum, pada saat, dan setelah proses pengolahan AAT. Data primer tersebut diambil pada tiap 3 hingga 4 HSP (hari setelah perlakuan) selama 20 hari, sedangkan data sekunder yang dibutuhkan berupa referensi atau data, baku mutu pemerintah, dan studi kepustakaan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Bakteri Pereduksi Sulfat yang digunakan adalah BPS koleksi ICBB yang berhasil diisolasi dari ekosistem air asam di kolam penampungan AAT industri batubara PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. (Yusron 2009). Terdapat 6 sampel BPS yang diseleksi pada penelitian kali ini. Berikut adalah daftar kode isolat BPS beserta asal isolat (Tabel 3). Tabel 3 Kode dan asal isolat BPS koleksi Laboratorium ICBB No. Kode Isolat Asal Isolat 1 ICBB 8813 ALP 3, Sedimen air laya PT. Bukit Asam 2 ICBB 8815 KPL 4, Sedimen air laya PT. Bukit Asam 3 ICBB 8816 Tower 4, Sedimen air laya PT. Bukit Asam 4 ICBB 8818 KTU 1, Sedimen air laya PT. Bukit Asam 5 ICBB 8819 Tupak 3, Sedimen air laya PT. Bukit Asam 6. ICBB 8825 Limau Tembe 2, Sedimen air laya PT. Bukit Asam Sumber : Yusron 2009. a.
Berdasarkan waktu tumbuh Seleksi BPS yang pertama berdasarkan waktu tumbuh. Pertumbuhan BPS ditandai dengan perubahan warna pada media dari bening menjadi hitam pekat
17 pada tabung reaksi (Gambar 3). Perubahan warna media tersebut disebabkan karena reaksi reduksi sulfat, SO42- yang direduksi oleh BPS menjadi S2-, dan bereaksi dengan ion logam membentuk logam sulfida yang berwarna hitam dan tidak larut. Oleh karena itu, makin banyak logam sulfida yang terbentuk, larutan dalam tabung akan semakin hitam pekat (Yusron 2009).
[a]
[b]
[c]
Keterangan : Dari kiri kekanan ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8818, ICBB 8819, dan ICBB 8825.
Gambar 3 Foto kecepatan waktu tumbuh BPS (a) 4 hari setelah isolasi, (b) 9 hari setelah isolasi, (c) 16 hari setelah isolasi. Berikut adalah kecepatan pertumbuhan keenam isolat BPS (Gambar 4). Pertumbuhan BPS diamati selama 30 hari. 35 29
Waktu Tumbuh (hari)
30 25
25 20 16
15 10
16 12 9
5 0 ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818 ICBB 8819 ICBB 8825
Kode Isolat BPS Gambar 4 Kecepatan waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat. Berdasarkan Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa isolat BPS ICBB 8818 memiliki kemampuan waktu tumbuh yang paling cepat dibandingkan dengan kelima isolat lainnya. Oleh karena itu, pada tahapan seleksi selanjutnya digunakan
18
3 isolat BPS dengan waktu tumbuh yang tercepat, yaitu ICBB 8813, ICBB 8815, dan ICBB 8818. Hal ini disebabkan karena efektifitas kinerja BPS dapat dilihat berdasarkan kecepatan waktu tumbuhnya (Widyawati 2011).
Berdasarkan variasi lingkungan pH Tahap seleksi BPS selanjutnya adalah berdasarkan pertumbuhan pada variasi lingkungan pH. Pada tahap ini digunakan tiga isolat BPS yang sudah diseleksi berdasarkan kecepatan tumbuh,yaitu ICBB 8813, ICBB 8815, dan ICBB 8818.Nilai pH yang digunakan, antara lain pH 3, pH 4, pH 6, dan pH 7, kemudian dilihat absorbansi kepadatan bakteri melalui spektrofotometer. Pada pengujian variasi lingkungan pH ini media yang digunakan adalah media Posgate B. Pengaturan pH 3 dan pH 4 dilakukan dengan penambahan asam sulfat sebelum disterilisasi. Berikut gambaran pertumbuhan BPS pada variasi nilai pH selama 21 hari (Gambar 5). b.
Gambar 5 Pertumbuhan BPS pada berbagai variasi nilai pH pada waktu inokulasi hari ke-12. Isolat ICBB 8818 membutuhkan waktu 4 hingga 6 hari untuk tumbuh pada pH 6 dan pH 7, sedangkan pada pH 3 dan pH 4 membutuhkan 8 hingga 10 hari untuk dapat diindikasikan mulai tumbuh. Isolat ICBB 8813 mulai tumbuh pada pH 3 dan pH 4 selama 18 hingga 21 hari dan ICBB 8815 mulai tumbuh yaitu pada 15 hingga 19 hari. Pertumbuhan Isolat ICBB 8813 dan ICBB 8815 pada pH 6 dan pH 7 berturut turut memerlukan waktu 11 hingga 12 hari dan 9 hingga 11 hari pada ICBB 8815. Berikut adalah pertumbuhan ketiga isolat BPS pada kondisi lingkungan pH yang berbeda (Gambar 6).
Waktu Tumbuh (hari)
19 25
21
20
19
18
15
15
12 11
pH 3
11 9
10
10
pH 4
8 6
pH 6
4
5
pH 7 0 ICBB 8813
ICBB 8815
ICBB 8818
Kode Isolat BPS Gambar 6 Waktu rata-rata indikasi mulai tumbuh ketiga isolat bakteri pereduksi sulfat pada kondisi lingkungan pH yang berbeda.
Perubahan pH secara langsung dapat mempengaruhi struktur enzim dan protein lain dalam sel bakteri, karena aktivitas fisiologis intraselular selalu berada dalam kondisi mendekati netral. Oleh karena itu, sel bakteri perlu melakukan adaptasi fisiologis atau penyesuaian apabila kondisi lingkungan di luar sel terlalu masam atau terlalu basa. Kondisi pH yang terlalu masam atau terlalu basa akan menghambat pembentukan ATP, sedangkan kondisi pH netral pembentukan ATP berjalan lebih cepat (Garland 1977; Mitchell 1961) sehingga waktu tumbuh BPS pada pH rendah lebih lama dibandingkan dengan pH mendekati netral (Gambar 6). Kondisi lingkungan yang asam juga menentukan pertumbuhan BPS. Secara kualitatif pertumbuhan biomassa BPS ditunjukkan dengan absorbansi atau kerapatan optik (pengukuran OD) melalui spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm (Gambar 7). Metode ini merupakan cara yang baik untuk melihat pertumbuhan bakteri tanpa harus mengganggu kultur bakteri (Black 2005). Pada tahap ini kerapatan optik diukur 28 hari setelah inkubasi pada pH 3. 0.76
Kerapatan Optik (600nm)
0.8 0.7 0.6 0.5
0.38
0.4
0.25
0.3 0.2 0.1
0.015
0 Blanko
ICBB 8813
ICBB 8815
ICBB 8818
Kode Isolat BPS Gambar 7 Kerapatan optik isolat BPS pada pH 3 setelah inkubasi selama 28 hari.
20
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa isolat BPS ICBB 8818 memiliki kemampuan waktu tumbuh yang paling cepat, baik pada pH netral maupun asam. Secara kualitatif pertumbuhan BPS ICBB 8818 juga memiliki nilai kerapatan optik yang paling tinggi yaitu 0.76, sehingga isolat yang dipilih diaplikasikan di lapangan adalah isolat BPS dengan kode ICBB 8818. c.
Penentuan tetapan konsentrasi Seleksi isolat BPS terakhir adalah berupa pengujian inokulasi BPS terpilih yaitu ICBB 8818 ke dalam sampel AAT yang berasal dari PT. Freeport Indonesia, Papua. AAT tersebut memiliki nilai pH 2.41. Penentuan tetapan konsentrasi bertujuan untuk menentukan konsentrasi banyaknya isolat BPS ICBB 8818 yang dapat ditambahkan ke dalam AAT dalam aplikasinya di lapangan. Berbagai konsentrasi isolat BPS yang diuji yaitu1%, 2%, 3%, dan 5% (v/v). Analisa dilakukan berdasarkan peningkatan nilai pH AAT. Berikut adalah grafik fluktuasi nilai pH pada berbagai konsentrasi isolat BPS mulai dari 0 hari setelah inokulasi (HSI) hingga 15 HSI (Gambar 8). 2.9 2.8
Nilai pH
2.7
2.76
2.62
2.68 2.65 2.64
2.7 2.69
2.6
2.58 2.53
2.5 2.4
2.8 2.78 2.75
2.41
2.45
2.54
2.73 2.64 2.59 2.57
2.46
Kontrol 1% 2% 3% 5%
2.3 2.2 0HSI
3HSI
6HSI
12HSI 15HSI
Gambar 8 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat BPS ICBB 8818 yang diinokulasikan pada AAT. Berdasarkan pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa penambahan isolat BPS ICBB 8818 sebanyak 5% memiliki kemampuan meningkatkan nilai pH yang sangat signifikan bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga didukung dengan penelitian Widyawati (2011) yang memaparkan bahwa dalam menurunkan Fe dan Mn berturut-turut dosis yang paling baik adalah 5% dengan waktu inkubasi 4 hari. Oleh karena itu, tetapan konsentrasi yang dapat diaplikasikan di lapangan adalah dengan menambahkan isolat BPS ICBB 8818 sebanyak 5% dari volume AAT.
Biomassa Serbuk Gergaji BPS membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon dalam pengelolaan AAT. Bahan organik yang digunakan pada penelitian ini adalah
21 biomassa serbuk gergaji segar. Terdapat 2 jenis biomassa serbuk gergaji yaitu : serbuk gergaji segar (BSGS) dan serbuk gergaji segar dengan kotoran ayam (BSGS+KA). Sebelum digunakan pada penelitian skala pilot project biomassa serbuk gergaji dianalisa berdasarkan kandungan N, C, rasio C/N, dan pH. Analisa nisbah C/N Analisa C/N bertujuan untuk mengetahui lama proses dekomposisi bahan organik berdasarkan perbandingan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam serbuk gergaji. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nisbah C/N biomassa sebuk gergaji segar (BSGS) berbeda dengan biomassa sebuk gergaji segar yang ditambahkan kotoran ayam segar (BSGS+KA), yaitu masing-masing sebesar 204.14 dan 24.09. Hal ini disebabkan karena limbah yang berasal dari serbuk gergaji segar memiliki kadar nitrogen yang rendah dan mengakibatkan nisbah C/N masih tinggi, sehingga mikrob akan kekurangan N untuk sintesis protein dan pada akhirnya dekomposisi berjalan lambat. Pada biomassa serbuk gergaji segar yang ditambahkan kotoran ayam, nisbah C/N telah mengalami penurunan yang sangat signifikan, yaitu 24.09. Hal ini dikarenakan kotoran ayam mengandung kadar N yang sangat tinggi (Gambar 9). a.
204.14
57.16 41.92 24.09 0.28
1.74
BSGS
BSGS + KA
C-organik
57.16
41.92
N-total
0.28
1.74
204.14
24.09
Nisbah C/N
Gambar 9 Nisbah C/N pada biomassa serbuk gergaji. b.
Analisa nilai pH Analisa nilai pH merupakan faktor yang berperan pada dekomposisi bahan organik karena pada rentang pH yang tidak sesuai, maka mikrob tidak dapat tumbuh dengan maksimum bahkan dapat mengakibatkan kematian (Simamora & Salundik 2006). Hasil pengujian pH menunjukkan terdapat perbedaan pH antara biomassasebuk gergaji segar (BSGS) dengan biomassa serbuk gergaji segar yang
22
Nilai pH
ditambahkan kotoran ayam segar (BSGS+KA) yaitu secara berturut-turut 6.44 dan 7.3 (Gambar 10). 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7.31 6.44
BSGS
BSGS + KA
Perlakuan Matrik Keterangan :BSGS: biomassa serbuk gergaji segar, BSGS+KA: biomassa serbuk gergaji segar yang ditambahkan kotoran ayam segar
Gambar 10 Perbedaan nilai pH pada biomassa serbuk gergaji.
Aplikasi Passive Treatment Skala Project Metode pengolahan AAT pada penelitian ini menggunakan jenis kolam berupa anaerobic wetland. Penggunaan wetland dalam pengolahan AAT memiliki potensi sebagai sumber inokulum BPS dalam mereduksi sulfat terlarut yang bisa memulihkan tingkat keasaman badan air menjadi pH 6-7 (Fahruddin 2013). Selain itu, peningkatan pH juga akan memicu terjadinya pengendapan logam berat sehingga akan menghilangkan pencemaran logam berat yang terlarut dalam perairan. Karakteristik Air Asam Tambang KPL Stockpile 1 – IUP Air Laya AAT yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Kolam Pengendapan Lumpur (KPL) Stockpile-1, pertambangan batubara PT. Bukit Asam (persero) Tbk., Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Karakterisasi AAT dilaksanakan dengan mengambil sampel dari kolam penampungan tersebut. Karakteristik AAT diuji melalui analisa kandungan Fe, Mn, TSS, dan nilai pH. Hasil uji karakteristik kimia AAT disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik AAT KPL Stockpile 1 - IUP Air Laya Stockpile-1 Kadar Maksimum1) Fe (mg/L) 4.49 0.30 Mn (mg/L) 8.75 0.10 TSS (mg/L) 28 50 Nilai pH 3.45 6-8 1)
SK Gubernur Sumatera Selatan No. 16 tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai
23 Nilai pH AAT sangat rendah yaitu 3.45. Tingginya kemasaman limbah AAT juga menyebabkan logam terlarut cukup tinggi terutama Fe dan Mn, yaitu 4.49 mg/L dan 8.75 mg/L. Pada kadar Mn dan nilai pH, kualitas AAT jauh melebihi batas ambang yang telah ditetapkan dalam SK Gubernur Sumatera Selatan No. 16 tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. AAT pada KPL Stockpile-1 merupakan air limbah akibat kegiatan pertambangan, oleh karena itu, AAT tersebut perlu diolah sebelum dialirkan ke dalam perairan.
Analisa Matrik Lahan Basah Berdasarkan Nilai pH Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa pengolahan AAT dengan menggunakan matrik lahan basah anaerob, menunjukkan bahwa seluruh perlakuan dapat meningkatkan pH AAT dalam waktu 10 hari, dan sudah sesuai baku mutu lingkungan dalam waktu 3 hari. Gambar 11 menunjukkan bahwa perlakuan serbuk gergaji yang ditambahkan kotoran ayam (Tsk0) lebih efektif dalam meningkatkan pH AAT. Peningkatan pH dikarenakan penambahan bahan organik. Bahan organik berupa biomassa serbuk gergaji dapat meningkatkan nilai pH AAT. Salah satu hasil mineralisasi bahan organik adalah bikarbonat, dimana bikarbonat akan mengikat ion H+ sehingga pH akan meningkat (Bohn 1985). Peningkatan nilai pH pada perlakuan Tsk0 terjadi dalam waktu 10 hari.
Tog : Kontrol Tsg0 : BSGS Tsk0 : BSGS + KA Tsg1 : BSGS + BPS Tsk1 : BSGS + KA + BPS
Keterangan : BSGS: biomassa serbuk gergaji segar, BSGS+KA: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar, BSGS+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + bakteri pereduksi sulfat, BSGS+ KA+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar + bakteri pereduksi sulfat.
Gambar 11 Profil nilai pH AATpada matrik lahan basah.
Analisa Matrik Lahan Basah Berdasarkan Kadar Fe dan Mn Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa semua perlakuan dapat menurunkan ketersediaan Fe maupun Mn dalam AAT (Gambar 12). Penurunan Fe pada perlakuan biomassa serbuk gergaji terjadi karena bahan organik tersebut akanmembentuk kompleks dengan mineral logam. Penurunan kedua logam
24
tersebut terjadi karena adanya sistem pengendapan maupun pembentukan kompleks. Gambar 12A dan Gambar 12B menunjukkan bahwa perlakuan yang ditambahkan dengan kotoran ayam (Tsk0) dapat menurunkan kandungan Fe dan Mn lebih baik daripada perlakuan bahan organik tanpa kotoran ayam dengan persentase efektifitas sebesar 98.08% pada Fe dan 99.39% pada Mn dalam waktu 13 hari. Penurunan ketersediaan logam ini juga terjadi secara kimia akibat meningkatnya nilai pH yang terjadi karena adanya penambahan bahan organik dan aktivitas BPS (Tan 1993). Hal ini terjadi karena dalam aktivitas mikrob yang berada di kotoran ayam menghasilkan H2S yang bersifat reaktif dan segera bereaksi dengan logam-logam membentuk senyawa logam sulfida yang sukar larut (Hards dan Higgins 2004). Akibat aktivitas mikrob ini logam akan terpresipitasi sehingga kelarutan logam menjadi sangat rendah dan diharapkan konsentrasinya tidak berbahaya bagi lingkungan. Tog : Kontrol Tsg0 : BSGS Tsk0 : BSGS + KA Tsg1 : BSGS + BPS Tsk1 : BSGS + KA + BPS
A
B
Keterangan : BSGS: biomassa serbuk gergaji segar, BSGS+KA: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar, BSGS+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + bakteri pereduksi sulfat, BSGS+ KA+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar + bakteri pereduksi sulfat.
Gambar 12 Kadar Fe (A) dan Mn (B) dalam AAT pada matrik lahan basah.
25 Analisa Matrik Lahan Basah Berdasarkan Total Suspended Solid (TSS) Pemberian isolat BPS pada AAT dapat menurunkan konsentrasi TSS pada air tersebut dengan waktu inkubasi antara 17 hari disajikan pada Gambar 13. Tog : Kontrol Tsg0 : BSGS Tsk0 : BSGS + KA Tsg1 : BSGS + BPS Tsk1 : BSGS + KA + BPS
Keterangan : BSGS: biomassa serbuk gergaji segar, BSGS+KA: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar, BSGS+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + bakteri pereduksi sulfat, BSGS+ KA+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar + bakteri pereduksi sulfat.
Gambar 13 Kadar TSS AAT pada matrik lahan basah Berdasarkan Gambar 13 dapat dijelaskan bahwa serbuk gergaji pada perlakuan Tsg1 merupakan bahan organik yang paling baik dalam menurunkan kadar TSS. Tsg1 merupakan perlakuan serbuk gergaji yang dicampurkan dengan BPS. Pada perlakuan ini penambahan kotoran ayam dengan serbuk gergaji tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar TSS. Kotoran ayam hanya dapat membantu kinerja BPS dalam memanfaatkan karbon organik yang berasal dari serbuk gergaji sebagai sumber energi. Hasil penelitian skala project didapatkan bahwa perlakuan serbuk gergaji dengan campuran kotoran ayam dapat menaikkan pH hanya dalam waktu 3 hari, menurunkan logam berat dan menurunkan kadar TSS seperti yang terlihat pada Gambar 14.
26
A
B
C
D
Gambar 14 Profil pH (A), Fe (B), Mn (C) dan TSS (D) pada perlakuan AAT dengan serbuk gergaji dan kotoran ayam
Desain Lahan Basah Menggunakan Passive Treatment Penelitian diatas dijadikan dasar untuk membuat desain lahan basah untuk diterapkan dalam skala lapang. Desain lahan basah untuk pengelolaan AAT terdiri dari dua jenis yakni yang pertama bak penampungan sedimen (sediment trap) dan settling pond. Rancangan matriklahan basah yang akan digunakan seperti Gambar 15.
Gambar 15 Rancangan matriks lahan basah untuk settling pond
27 Setelah mendapatkan data mengenai hidrologi di lapangan maka dilakukan perhitungan mengenai kapasitas tampung bangunan pengolahan AATuntuk merencanakan sistem pengolahan AAT dengan sistem pasif. Berdasarkan rata-rata intensitas curah hujan yang terjadi di IUP TAL PT Bukit Asam (Persero) Tbk. yaitu 3576.94 mm/th di dapat debit air yang masuk sebesar 1026.98 m3/hari dan kecepatan aliran air limbah yang dihasilkan 1161.2 m/jam serta dipadukan dengan hasil penelitian skala pilot dengan waktu tinggal 3 hari maka didapat perhitungan rancangan lahan basah buatan skala lapangan seperti pada Lampiran 2. Hasil dari perhitungan diatas didapatkan rancangan passive treatment berupa 1 buah bak penampungan sedimen dan 6 buah settling pond (Gambar 21). Bak penampungan sedimen berdimensi (P) 49.12 m X (L) 12.28 m X (h) 2.5 m dan 6 kompartemen settling pond dengan dimensi (P) 109.80 m X (L) 54.93 m X (h) 1 m. Sehingga untuk pengolahan limbah itu sendiri membutuhkan total lahan seluas 6634.508 m2.
Gambar 16 Rancangan Settling Pond Bak penampungan sedimen berfungsi untuk menyamakan debit aliran air limbah yang masuk dari berbagai lokasi stockpile-1 ke unit settling pond agar didapatkan aliran yang laminer sehinga proses pengendapan lumpur lebih mudah terjadi. Settling pond berfungsi untuk menaikkan kadar pH dan menurunkan kandungan logam berat yang ada pada AAT dengan melewatkan AAT ke dalam settling pond yang terdapat biomassa kotoran ayam dan serbuk gergaji. Dalam penghubung bak penampungan sedimen dan settling pond terdapat saluran overflow yang langsung mengalirkan air dari bak penampungan sedimen menuju ke settling pond dengan gravitasi. Setelah melakukan perhitungan dimensi pada masing-masing bak pengendap dan settling pond, maka dilakukan perhitungan persentase kemampuan penyisihan zat pencemar pada 6 buah rancangan settling pond (Lampiran 3). Hasil perhitungan prosentase penyisihan yang terjadi pada rancangan bak settling pond dapat dilihat pada Tabel 5.
28
Tabel 5 Rekapitulasi prosentase penyisihan yang terjadi pada bak settling pond
Pada unit setting pond terjadi penyisihan kandungan logam berat dan kenaikan kadar pH AAT. Berdasarkan Tabel 5 pada bak SP1 terjadi penyisihan sebanyak 77 % dari total kandungan logam dan menaikkan kadar pH, sehingga kandungan logam dan kadar pH yang masuk ke bak SP2 yaitu untuk Fe, Mn, TSS dan pH masing-masing sebesar 1,033 mg/L, 2,013 mg/L, 6,440 mg/L dan 6,107. Pada bak SP2 terjadi penyisihan sebanyak 80 % dari total kandungan logam yang masuk, sehingga kandungan logam dan kadar pH yang masuk pada bak SP3 yaitu untuk Fe, Mn, dan TSS masing-masing sebesar 0,207 mg/L, 0,403 mg/L, 1,288 mg/L. Kadar pH pada bak ini sudah sesuai baku mutu dan tidak perlu dilakukan pengolahan AAT karena pada proses SP1 kadar kenaikan pH sudah memenuhi standar baku mutu yang ada. Pada bak SP3 terjadi penyisihan sebanyak 81 % dari total kandungan logam yang masuk, sehingga kandungan logam dan nilai pH yang masuk pada bak SP4 yaitu untuk Fe, Mn, dan TSS masing-masing sebesar 0,039 mg/L, 0,076 mg/L dan 0,245 mg/L. Pada bak SP4 ini terjadi penyisihan sebanyak 82 % dari total kandungan logam yang masuk, sehingga kandungan logam yang masuk pada bak SP5 yaitu untuk Fe, Mn, dan TSS masing-masing sebesar 0,007 mg/L, 0,014 mg/L dan 0,044 mg/L. Kadar logam dan kadar pH pada bak ini sudah sesuai baku mutu sehingga tidak dilakukan lagi perhitungan kemampuan penyisihan pada bak SP5 dan SP6. Penggunaan 6 kolam settling pond dimaksudkan untuk menampung debit air dan adanya penambahan air dari curah hujan sehingga AAT tidak meluber kemana mana.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan BPS yang digunakan dalam penelitian ini adalah ICBB 8818. Hasil penelitian skala Pilot project menunjukkan bahwa perlakuan matriks serbuk gergaji dengan kotoran ayam (tanpa BPS), dapat mempengaruhi penurunan Fe dan Mn pada air asam tambang, sehingga secara sinergis dapat meningkatkan nilai pH dalam 3 hari. Matriks tersebut memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar Fe dan Mn, dengan persentase efektifitas sebesar 98.08% pada Fe dan 99.39% pada Mn dalam waktu 13 hari. Pada parameter TSS, perlakuan yang dapat menurunkan kadar TSS adalah pada perlakuan biomasa serbuk segar dengan BPS. Hal ini disebabkan kemampuan serbuk gergaji dalam adsorbsi kandungan padatan yang terlarut.Dari hasil penelitian diatas, didapatkan rancangan lahan basah yaitu dengan 1 bak pengendap dan 6 settling pond. Dimensi bak pengendap yaitu 49.12
29 x 12.28 x 2.5 m, sedangkan dimensi settling pond yaitu 54.93 x 109. 80 x 1 m. Setelah dilakukan perhitungan persentase kemampuan penyisihan zat pencemar pada rancangan lahan basah buatan diharapkan hasil kandungan logam Fe, Mn, TSS dan nilai pH diakhir unit rancangan lahan basah masing-masing sebesar 0.007 mg/L, 0.014 mg/l, 0.008 mg/L, 6.10 dan sesuai baku mutu lingkungan
Saran Hasil rancangan ini dapat diaplikasikan secara lapangan berdasarkan perhitungan rerata curah hujan dan debit air limbah melalui pembuatan satu buah bak pengendap 49.12 x 12.28 x 2.5 m yang dilengkapi oleh 6 kompartemen settling pond 54.93 x 109.80 x 1 m. Pada kompartemen settling pond dilengkapi dengan matriks serbuk gergaji yang ditambahkan dengan kotoran ayam.
DAFTAR PUSTAKA Aube BC, Payant S. 1997. The Geo process: a new high density sludge treatment for acid mine drainage. Proc. of the Fourth International Conference on Acid Rock Drainage. Vancouver BC. (1): 165-180. Bakri, Gunawan E, Sanusi Dj. 2006. Sifat fisik dan mekanik komposit kayu semen-serbuk gergaji. J.Parennial. 2(1):38-41 Black, J. 2005. Microbiology. Principles & Explorations. 6th Ed. John Wiley & Sons, Inc. p.150. Chang IS, Shin PK, Kim BH. 2000. Biological treatment of acid mine drainage under sulphate-reducing conditions with solid waste materials as substrate. Wat Res. 34:1269–1277. Collins B, McArthur JV, Sharitz RR, 2004. Plant effects on microbial assemblages and remediation of acidic coal pile runoff in mesocosm treatment wetlands. Ecol. Eng. 23:107–115 Dahlius, A.Z. 2014. Potensi dan Tantangan Pertambangan di Indonesia. [Artikel Online]. Investor Daily-Berita Satu. [Diakses pada 14 Juli 2014] Tersedia pada http://www.investor.co.id/home/Potensi-dan-TantanganPertambangan-di-Indonesia/8499. [DEPHUT]. Departemen kehutanan. 1998. Laporan statistik kehutanan tahun 1997/1998 indonesia. Jakarta (ID): DepHut. [DIRJEN MINERBA] Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. 2013. Kumpulan Pedoman Teknis Lingkungan Pertambangan. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Fahruddin, Abdullah A. 2013. Dinamika Populasi Bakteri pada Sedimen yang diperlakukan dengan Air Asam Tambang. J Alam dan Lingk. 4(7):39-43 [GARD Guide] Global Acid Rock Drainage Guide. 2009. The Internasional Network For Acid Prevention. INAP. Garland PB. 1977. Energy transduction in microbial systems. Symp. Soc. Gen. Microbiol. 27:1.
30
Gautama RS. 2012. Pengelolaan Air Asam Tambang. [Tayangan]. Yogyakarta (ID): Bimbingan Teknis Reklamasi dan Pasca Tambang pada Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara. Forum Pengelola Lingkungan Pertambangan Mineral dan Batubara. Gibert OJ, de Pablo JL, Cortina, Ayora, C. 2005. Municipal compostbased mixture for acid mine drainage bioremediation: Metal retention mechanisms. Appl Geochem. 20:1648–1657. HardsBC, Higgins JP. 2004. Bioremediation of Acid Rock Drainage Using SRB. Jacques Whit Environment Limited. Ontario Henny C, Ajie GS, Susanti E. 2010. Pengolahan AAT menggunakan sistem “passive treatment”. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V 2010.Bogor (ID): Pusat Penelitian Limmologi – LIPI. Jhonson DB, Hallberg KB. 2005. Acid Mine Drainage Remediation Option. Sci. of The Tot. Enviro J. :3-14. Kleinmann RLP, Hedin RS, Naim RW. 1998. Treatment of acid mine drainage by anoxic limestone drains and constructed wetlands. In Geller A., H. Klepper and W. Salomons. (Eds) Acidic Mine Lakes: Acid Mine Drainage, Limnology and Reclamation. Berlin: Springer. 3303-3319. Martawijaya A, Sutigno P. 1990. Peningkatan efisiensi dan produktivitas pengolahan kayu melalui pengurangan dan pemanfaatan limbah. Seminar Teknologi Perkayuan. Mitchell, P. 1961. Coupling of phosphorylation to electron and hydrogen transfer by a chemiosmotic type of mechanis. Nature. 191:144 Munawar, A. 2007.Pemanfaatan sumber daya biologis lokal untuk pengendalian pasif air asam tambang. J. Ilmu Tan.dan Lingk. (7):31-42. Neculita CM, Zagury GJ, Bussiere B. 2007. Passive treatment of acid mine drainage in bioreactors using sulphate-reducing bacteria : critical review and research need. J. of Environ Quality. 36:1-16. Napoleon. 2013. Kemampuan Desulfurvribio indigen sp pada bioremediasi AAT batubara di Sumatera Selatan. [Prosiding Seminar Nasional]. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Nurisman E, Roby C, Imam H. 2012. Studi terhadap dosis penggunaan kapur tohor (CaO) pada proses pengolahan AAT pada kolam pengendap lumpur tambang air laya PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. J. Tek.Patra Aka. (5). Proper. 2013. Laporan Hasil Verifikasi Lapangan. [Annual Report]. PT. Bukit Asam (Persero), Tbk.: Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Simamora S, Salundik. 2006. Meningkatkan kualitas kompos. [Buku] Agromedia Pustaka: Jakarta Saria L. 2012. Inspeksi air asam tambang. [Prosiding Diklat Inspektur Tambang]. Jakarta (ID) : KESDM. Suyasa IWB. 2002. Peningkatan pH dan Pengendapan logam berat terlarut air asam tambang (AAT) dengan bakteri pereduksi sulfat dari ekosistem air hitam Kalimantan. [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Tan, K.H. 1993. Principles ofSoil Chemistry. New York (USA): Marcel and Dekker. [US EPA] United State Enviromental Protections Agency. 2013. Wetland definitions. [Diunduh 28 Oktober 2015]. Tersedia Pada :http://water.epa.gov/lawsregs/guidance/wetlands/definitions.cfm
31 Widyawati, E. 2011.Formulasi inokulum bakteri pereduksi sulfat yang diisolasi dari sludge industri kertas untuk mengatasi air asam tambang. J.Tekno.Hut.Tan. 4(3):119-125. Widyati E. 2006. Bioremediasi tanah bekas tambang batubara untuk memacu revegetasi lahan. [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Yusron M. 2009. Pengolahan AAT menggunakan biofilm bakteri pereduksi sulfat. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zagury GJ, Kulnieks V, Neculita CM. 2006. Characterization and reactivity assessment of organic substrate for sulpHate-reducing bacteria in acid mine drainage treatment. ChemospHere. 64:944-954.
32
Lampiran 1 Dokumentasi di Lapangan Proses pembuatan dan pengisian matriks dalam kolam percobaan
AAT hasil pengolahan Pasive treatment mengunakan bakteri pereduksi sulfat, biomasa kotoran ayam dan serbuk gergaji
33 Lampiran 2 Perhitungan Rancangan Pembuatan Lahan Basah Buatan 1 Bak penampungan sedimen (sediment trap) Direncanakan bak penampungan sedimen (sediment trap) : Td = 1 hari Rasio P : L = 4 : 1 Kedalaman (H) = 2 m Perhitungan: Q air = 374.850 m3/th = 1.027 m3/hari Q lumpur = 179.87 m3/hari Q Bak = Q air + Q lumpur = 1.027 m3/hari + 179.87 m3/hari = 1.206.87 m3/hari Volume tiap bak (Vol) Td = Vol / Q bak Vol = Q bak x td = 1.206.87 m3/hari x 1 hari = 1.206.87 m3 Luas permukaan (As) As = Vol / h = 1.206.87 m3/ 2 m = 603,44 m2 Maka panjang dan lebar bak P : L = 4 : 1 As = P x L = 4 L x L = 4 L2 603 ,44 As L = = = 12.28 m 4 4 P = 4 x 12.28 = 49.12 m Dimensi bak penampungan sedimen (sediment trap) Panjang (P) = 49.12m Lebar (L) = 12.28 m Kedalaman (h) = 2 m + 0.5 m (fb) 2
Saluran overflow Direncanakan: - Q saluran = - V rencana = - Lebar saluran (L) = - Panjang saluran (P) = Perhitungan: Q 42 ,79 A = = V 1.161,2 A = L x H 0.037 0.074 m H = 0,5
1.027 m3/hari = 42.79 m3/jam 1.161,2 m/jam 0.5 m 1m = 0.037 m2
34
-
Dimensi saluran Tinggi (H) = Panjang (P) = Lebar (L) =
: 0.074 m +0,1 m (fb) = 0.174 m 1m 0.5 m
3 Settling pond Direncanakan settling pond: Td = 3 hari Rasio P : L = 2 : 1 Kedalaman (H) = 1 m Perhitungan: Q Bak = 374.850 m3/th = 1.027 m3/hari td total = 3 hari = 72 jam td tiap kompartemen = 72 jam / 6 kompartemen = 12 jam = 0.5 hari Volume tiap kompartemen (Vol) td = Vol / Q bak Vol = Q x td = 1.206.87 m3/hari x 0.5 hari = 603.44 m3 Luas permukaan (As) As = Vol / h = 603.44 m3/ 0,1 m = 6.034.4 m2 Maka panjang dan lebar bak P:L = 2 : 1 As = P x L = 2 L x L = 2 L2 As 6.034 ,4 L = = = 54.93 m 2 2 P = 2 x 54.93 = 109.86 m Dimensi setting pond Panjang (P) = 109.86 m Lebar (L) = 54.93 m Kedalaman (h) = 0.8 m (biomassa, krakal)+0.1 m (tinggi air) + 0.1m (fb) = 1 m.
35 Lampiran 3 Perhitungan persentase kemampuan penyisihan zat pencemar pada 6 buah rancangan settling pond. 1.
Efisiensi masing-masing bak settling pond Efisiensi bak settling pond 1. Q air = 374.850 m3/th = 1.027 m3/hari Q lumpur = 179.87 m3/hari Qin Bak = Q air + Q lumpur = 1.027 m3/hari + 179.87m3/hari = 1.206,87 m3/hari V rencana = 1.8 m/jam = 43,2 m/hari Lebar bak (L) = 109.86 m Panjang bak (P) = 54.93 m Kedalaman (h) = 1m V 43,2 Efisiensi bak (ῃ ) = = (1.206 ,87 / 54,93) (Q / A) = 1,97 (plot ke grafik), maka diperoleh ῃ = 77 % Q lumpur1 = 179,87m3/harix 77 % = 138,5m3/hari Q lumpur1sisa =179,87m3/hari - 138,5 m3/hari = 41,37m3/hari Efisiensi penyisihan yang terjadi pada bak setting pond 1. Fe (mg/L) = 4.49mg/L = 4.49mg/L x 77 % = 3,457 mg/L Fe sisa = 4.49mg/L - 1,033 mg/L = 1,033 mg/L Mn (mg/L) = 8.75mg/L = 8.75mg/L x 77 %= 6,738mg/L Mn sisa = 8.75mg/L - 6,738 mg/L = 2,013mg/L TSS (mg/L) = 28mg/L = 28mg/L x 77 % = 21,56mg/L TSS sisa = 28mg/L - 21,56mg/L = 6,440mg/L Nilai pH = 3.45 = 3.45x 77 % = 2,657 Nilai pHakhir = 3.45+2,657 = 6,107 Efisiensi bak setting pond 2. Q air = 374.850 m3/th = 1.027 m3/hari Q lumpur = 41,37 m3/hari Qin Bak = Q air + Q lumpur = 1.027 m3/hari + 41,37m3/hari = 1.068,37 m3/hari V rencana = 1.8 m/jam = 43,2 m/hari Lebar bak (L) = 109.86 m Panjang bak (P) = 54.93 m Kedalaman (h) =1m
36
V 43,2 = (1.068 ,37 / 54,93) (Q / A) = 2,22 (plot ke grafik), maka diperoleh ῃ =80 % Q lumpur1 = 41,37m3/hari x 80 % = 33,096m3/hari Q lumpur1 sisa = 41,37m3/hari - 33,096 m3/hari = 8,274m3/hari Efisiensi bak ( ῃ )
=
Efisiensi penyisihan yang terjadi pada bak setting pond 2. Fe (mg/L) = 1,033mg/L = 1,033 mg/L x 80 % = 0,826mg/L Fe sisa =1,033 mg/L–0,826 mg/L = 0,207 mg/L Mn (mg/L) = 2,013 mg/L =2,013 mg/L x 80 %= 1,61mg/L Mn sisa = 2,013 mg/L–1,61mg/L = 0,403mg/L TSS (mg/L) = 6,44mg/L = 6,44mg/L x 80 % = 5,152 mg/L TSS sisa = 6,44mg/L–5,152 mg/L = 1,288 mg/L Efisiensi bak setting pond 3. Q air = 374.850 m3/th = 1.027 m3/hari Q lumpur = 8,274 m3/hari = Q air + Q lumpur Qin Bak = 1.027 m3/hari + 8,274 m3/hari = 1.035,274 m3/hari V rencana = 1.8 m/jam = 43,2 m/hari Lebar bak (L) = 109.86 m Panjang bak (P) = 54.93 m Kedalaman (h) = 1m V 43,2 Efisiensi bak ( ῃ ) = = (1.035 ,274 / 54,93) (Q / A) = 2,29 (plot ke grafik), maka diperoleh ῃ = 81 % Q lumpur1 = 8,274 m3/hari x 81 % = 6,702 m3/hari Q lumpur1 sisa =8,274 m3/hari–6,702 m3/hari = 1,572m3/hari Efisiensi penyisihan yang terjadi pada bak setting pond 3. Fe (mg/L) = 0,207 mg/L =0,207 mg/L x 81 % = 0,167mg/L Fe sisa = 0,207 mg/L – 0,167 mg/L = 0,039 mg/L Mn (mg/L) = 0,403mg/L = 0,403 mg/L x 81 %= 0,254mg/L Mn sisa = 0,403 mg/L – 0,254mg/L = 0,068mg/L TSS (mg/L) = 1,288mg/L = 1,288 mg/L x 81 % = 1,043mg/L TSS sisa = 1,288 mg/L – 1,043 mg/L = 0,201mg/L
37 Efisiensi bak setting pond 4. Q air = 374.850 m3/th = 1.027 m3/hari Q lumpur = 1,572 m3/hari Qin Bak = Q air + Q lumpur = 1.027 m3/hari + 1,572 m3/hari = 1.028,572 m3/hari V rencana = 1.8 m/jam = 43,2 m/hari Lebar bak (L) = 109.86 m Panjang bak (P) = 54.93 m Kedalaman (h) = 1m V 43,2 Efisiensi bak ( ῃ ) = = (Q / A) (1.028 ,572 / 54,93) = 2,31 (plot ke grafik), maka diperoleh ῃ = 82 % Q lumpur1 = 1,572 m3/hari x 82 % = 1,289 m3/hari Q lumpur1 sisa =1,572 m3/hari – 1,289 m3/hari = 0,283 m3/hari Efisiensi penyisihan yang terjadi pada bak setting pond 4. Fe (mg/L) = 0,039 mg/L = 0,039 mg/L x 82 % = 0,032mg/L = 0,039 mg/L – 0,032 mg/L = 0,007mg/L Fe sisa Mn (mg/L) = 0,076mg/L = 0,076 mg/L x 82 %= 0,063 mg/L Mn sisa = 0,076 mg/L – 0,063 mg/L = 0,014mg/L TSS (mg/L) = 0,245mg/L = 0,245 mg/L x 82 % = 0,201mg/L TSS sisa = 0,245 mg/L – 0,201 mg/L = 0,044mg/L
38
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 6 September 1981, merupakan putra ke empat dari lima bersaudara dari pasangan Zulkarnain Yazid, S.E. dan Djuliar Ahmad. Pada tahun 1999, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas dari SMA Nurul Iman Palembang dan pada tahun 2001, penulis lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada Fakultas Teknik jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya Palembang. Selama masa studi S1, penulis juga aktif dalam kepanitiaan kampus, sehingga diamanahkan untuk memegang jabatan sebagai ketua 1 Mahasiswa Pencinta Alam dan Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa pada tahun 2003.Penulis menyelesaikan studi S1 Pada tahun 2006 dengan masa studi 5 tahun. Pada tahun 2013, penulis diterima sebagai mahasiswa S2 pada Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Pada tahun 2006 – 2007 penulis pernah bekerja pada perusahaan tambang batubara PT Manunggal Inti Artamas sebagai Mine Engineer, pada tahun 2007 – 2010 penulis bekerja pada salah satu Badan Usaha Milik Negara bidang Pertambangan PT Timah (Persero) Tbk sebagai Perencana Tambang Darat, dan Sekarang penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Energi Dan Sumberdaya Mineral, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Direktorat Teknik dan Lingkungan, dengan jabatan fungsional sebagai Inspektur Tambang.