PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BERBAGAI KEDALAMAN MUKA AIR DI LAHAN RAWA PASANG SURUT
DANNER SAGALA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juni 2010
Danner Sagala NRP A252080011
ABSTRACT DANNER SAGALA. Growth and Production of Soybean Varieties under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps. Under direction of MUNIF GHULAMAHDI and MAYA MELATI Saturated soil culture (SSC) is a cultivation technology that provides continuous irrigation. It keeps water depth constantly and makes soil layer in saturated condition. By keeping the water-table constantly, soybean is avoided from negative effect of inundation on its growth because it will acclimatize and improve its growth. This technology appropriate to prevent pyrite oxidation on tidal swamps and has been proved to increase the productivity of soybean on nontidal swamp. The objective of the research was to determine the response of soybean varieties under saturated soil culture on tidal swamps. The research was conducted at Banyu Urip, Tanjung Lago, Banyuasin District, and South Sumatera Province, Indonesia from April to August 2009. The experiment was arranged in a split plot design with three replications. The main-plot of the experiment was water depth in the furrow consisted of without watering, 10, 20, 30, and 40 cm under soil surface (USS). The subplot of the experiments was soybean varieties consisted of Tanggamus, Slamet, Wilis, and Anjasmoro. The result showed that the interaction between varieties and water depth significantly affected growth and seed production, but not for pod numbers/plant. The values of all variables were higher under SSC compared to those cultivated without watering, but varieties responded to SSC differently. Nutrient absorption of N, K and Mn by Tanggamus was higher than those of other varieties, except K, however K absorption of Tanggamus was not significantly different from Anjasmoro. P and Fe absorption of Tangamus tended to be higher than the other varieties, although statistically they were not affected by variety. The highest seed production was obtained from Tanggamus with 40 cm USS, i.e. 4.83 ton/ha but it was not significantly different from those at water depth 20 (4.63 ton/ha) and 30 cm USS (4.71 ton/ha). However, technically and economically, 20 cm USS was the most appropriate water depth for soybean production at tidal swamps. Key words : Glycine max (L.) Merr., Tanggamus, Slamet, Wilis, Anjasmoro, nutrient uptake, inundation, pyrite
RINGKASAN DANNER SAGALA. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan MAYA MELATI. Budidaya jenuh air (BJA) merupakan suatu teknologi yang mempertahankan irigasi secara terus-menerus di dalam saluran sehingga kedalaman muka air dalam saluran selalu tetap dan menciptakan lapisan jenuh air pada tanah. Teknologi ini sesuai dengan prinsip pencegahan oksidasi pirit di lahan pasang surut dan telah terbukti meningkatkan produktivitas kedelai di lahan nonpasang surut. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kedalaman muka air parit terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut dan respon beberapa varietas kedelai yang adaptif di lahan rawa pasang surut terhadap kedalaman muka air parit yang berbeda. Percobaan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang sebanyak tiga kali. Petak utama adalah tinggi muka air yang terdiri dari 5 taraf, yaitu tanpa pengairan, 10, 20, 30 dan 40 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Anak petak adalah varietas yang terdiri dari 4 jenis yaitu Tanggamus, Slamet, Wilis dan Anjasmoro. Saluran air dibuat di antara anak petak berukuran lebar 30 cm dan dalamnya 50 cm dan dengan pengaturan ini maka kondisi petakan akan selalu basah pada saat irigasi diberikan. Air irigasi diberikan mulai saat tanam. Teknologi BJA dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas kedelai di lahan pasang surut dan setiap varietas yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan kedalaman muka air. Tinggi tanaman semua varietas yang ditanam dengan BJA lebih dari 50 cm, sementara semua varietas yang ditanam pada perlakuan tanpa pengairan berada di bawah 40 cm. Slamet merupakan varietas tertinggi di antara varietas-varietas yang ditanam dengan BJA, namun berbeda tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air 10-40 cm DPT. Bobot kering semua komponen tanaman varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkankan dengan varietas lainnya, kecuali bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akar varietas Anjasmoro merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Tanggamus. Bobot kering batang pada varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkankan varietas lainnya meskipun secara statistik berpengaruh tidak nyata. Bobot kering total tanaman varietas Wilis merupakan yang terendah, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Pertumbuhan varietas Anjasmoro pada awal pertumbuhan lebih cepat dibandingkan varietas lainnya, namun pada umur 8 dan 10 minggu setelah tanam pertumbuhannya menurun. Pertumbuhan varietas Tanggamus lebih stabil dibandingkankan varietas lainnya. Jumlah daun dan jumlah cabang kedelai yang ditanam dengan BJA nyata berbeda di antara varietas dan kedalaman muka air. Varietas Tanggamus merupakan varietas yang yang paling responsif terhadap perlakuan kedalaman muka air dimana jumlah daun dan jumlah cabang varietas Tanggamus dapat mencapai tiga kali jumlah daun dan jumlah cabang tanpa pengairan. Jumlah daun
dan cabang yang tinggi memberi keuntungan bagi kedelai untuk menghasilkan polong dan pengisian polong tersebut. Jumlah polong kedelai yang ditanam dengan BJA nyata lebih banyak dibandingkankan dengan yang ditanam dengan tanpa pengairan. Kedelai yang ditanam dengan kedalaman muka air 10 cm DPT menghasilkan polong delapan kali lebih banyak dibandingkankan tanpa pengairan. Berdasarkan jumlah polong, varietas Tanggamus dan Slamet dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut dengan teknologi BJA. Jumlah polong pada percobaan ini juga lebih tinggi dibandingkankan dengan jumlah polong di lahan non-pasang surut dengan teknologi BJA. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro yang diuji di lahan pasang surut ini menghasilkan berturut-turut 105.4, 96.4, 39.9 dan 42.1 polong/tanaman pada kedalaman muka air 20 cm DPT. Produksi biji semua varietas nyata meningkat dengan penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Kedalaman muka air 20-40 cm DPT memberi hasil 8-9 kali produksi biji dibandingkan dengan tanpa pengairan. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha, namun berbeda tidak nyata dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) dan 30 cm DPT (4.71 ton/ha). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm akan lebih mudah dan lebih murah dibandingkankan dengan saluran dengan kedalaman 30 dan 40 cm DPT. Oleh karena itu kedalaman 20 cm merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai dengan teknologi BJA di lahan pasang surut yang mempunyai kandungan liat tinggi. Kadar hara N satu-satunya hara yang memberi pengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan semua varietas. Kadar hara N varietas Tanggamus merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Kadar hara N varietas Wilis nyata paling rendah dibandingkan dengan varietas lainnya dan secara statistik sama dengan varietas Anjasmoro. Serapan hara N, K dan Mn varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain, akan tetapi serapan hara K varietas Tanggamus berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro. Serapan hara P dan Fe varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkankan varietas lainnya meskipun secara statistik varietas berpengaruh tidak nyata. Data analisis tanah yang dilakukan sebelum pengolahan tanah adalah pH (KCl) 4.4, 21.4 ppm P2O5 (Bray 1), 117 ppm K2O, 3.15 me/100 g Al3+, 64.5 ppm Mn, 1.19% Fe, 0.44% pirit. Namun, pemberian kapur dan pupuk dapat meningkatkan pH dan hara tanah, sementara stabilitas air di bawah permukaan tanah akibat penerapan budidaya jenuh air menyebabkan pirit dalam keadaan reduktif sehingga oksidasi pirit menjadi Fe dapat ditekan dan tidak meracuni tanaman. Kadar pirit tanah saat panen adalah 0.17% dan kadar Fe adalah 1.13% dengan pH tanah 5.3 Kata kunci: Glycine max (L.) Merr., Tanggamus, Slamet, Wilis, Anjasmoro, serapan hara, budidaya jenuh air, pirit
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB.
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BERBAGAI KEDALAMAN MUKA AIR DI LAHAN RAWA PASANG SURUT
DANNER SAGALA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S.
Judul Tesis
Nama NRP
: Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut : Danner Sagala : A252080011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Ketua
Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 10 Juni 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Berkurangnya lahan produktif menyebabkan pengembangan lahan pertanian diarahkan pada lahan marginal potensial, di antaranya adalah lahan rawa pasang surut. Pengelolaan lahan rawa pasang surut membutuhkan penanganan khusus karena mengandung pirit baik aktual maupun potensial. Tesis yang berjudul Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut ini akan mencoba memberikan salah satu jawaban atas pengelolaan lahan pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan. Penulis sangat bersyukur pada Yesus Kristus atas segala karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan tesis ini dengan baik. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih pada Dr. Munif Ghulamahdi dan Dr. Maya Melati sebagai komisi pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ketua Gabungan Kelompok Tani, Bapak Tukijo, dan para petani Desa Banyu Urip, secara khusus kepada Bapak Ngatimin, Bapak/Ibu Suaji, Bapak Muhtar dan Bapak Sumarno, yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas dukungan yang selalu diberikan oleh ayah, ibu, kakak, adik dan Arlien Shirley Sitorus serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
Bogor,
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Kandang Kerbau, Sumatera Utara, pada tanggal 4 Oktober 1981 sebagai anak keempat dari pasangan M. Sagala dan A. br. Sinaga. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dan lulus pada tahun 2004. Penulis bekerja sebagai dosen di Kopertis Wilayah II Palembang yang diperbantukan di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu sejak tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2008 di Mayor Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB dengan biaya pendidikan dari Dirjen Dikti Kemendiknas melalui program Beasiswa Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS). Selama mengikuti program S2, penulis menjadi anggota Himpunan Ilmu Gulma Indonesia dan pengurus di Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forsca) Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB sebagai sekretaris. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Agronomi Umum dan mata kuliah Padi dan Palawija di Program Diploma IPB. Sebuah artikel berjudul Production of Soybean Varieties under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps telah diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia 37(3):226-232 bersama-sama dengan pembimbing.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiv PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... Tujuan ........................................................................................................ Hipotesis ....................................................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut ................................................... Varietas Kedelai Adaptif Lahan Masam.................................................... Budidaya Jenuh Air pada Kedelai .............................................................
4 7 8
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu ..................................................................................... Bahan dan Alat .......................................................................................... Metode Penelitian ...................................................................................... Prosedur Percobaan ................................................................................... Peubah dan Pengolahan Data.....................................................................
10 10 10 13 14
HASIL DANPEMBAHASAN Hasil ........................................................................................................... 16 Pembahasan ............................................................................................... 29 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................ 38 Saran .......................................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 39 LAMPIRAN ........................................................................................................ 44
DAFTAR TABEL Halaman 1 Data analisis tanah sebelum tanam ................................................................. 20 2 Data analisis air .............................................................................................. 21 3 Pengaruh varietas terhadap komponen pertumbuhan kedelai pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST................................................................................ 22 4 Kadar dan serapan hara N, P, K, Fe dan Mn dalam daun pada beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air ....................................... 24 5 Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar dan total beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air ....................................................... 24 6 Pengaruh interaksi kedalaman muka air dan varietas terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada akhir pengamatan ............... 26 7 Jumlah polong empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air .......................................................................................................... 26 8 Produktivitas empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air .......................................................................................................... 27 9 Pengaruh kedalaman muka air terhadap umur 50% berbunga dan umur panen ..................................................................................................... 27 10 Pengaruh varietas terhadap umur 50% berbunga dan umur panen ................ 28
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Ukuran saluran dan pengukuran kedalaman muka air ................................. 10
2
Skema Pengaturan Air ................................................................................. 11
3
Petak percobaan yang telah dibentuk ........................................................... 12
4
Peta lokasi penelitian ................................................................................... 17
5
Klasifikasi rawa pasang surut menurut luapan pasang maksimun dan minimum ............................................................................................... 17
6
Jaringan drainase di Desa Banyu Urip ......................................................... 18
7
Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) ........................................................................................................... 18
8
Kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah ............................................ 19
9
Keragaan empat varietas kedelai pada BJA di lahan pasang surut pada umur 6 MST ........................................................................................ 28
10 Jumlah polong varietas Tanggamus pada BJA dan kontrol pada umur 8 MST ................................................................................................. 29 11 Tata air makro dan mikro di daerah pasang surut untuk penerapan BJA .............................................................................................................. 36
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data analisis tanah saat panen ........................................................................ 44 2 Data curah hujan (mm/hari) daerah penelitian ............................................... 45 3 Data suhu udara maksimum (oC) daerah penelitian ....................................... 46 4 Deskripsi varietas Tanggamus........................................................................ 47 5 Deskripsi varietas Slamet ............................................................................... 48 6 Deskripsi varietas Wilis.................................................................................. 49 7 Deskripsi varietas Anjasmoro ........................................................................ 50 8 Rekapitulasi analisis sidik ragam data sebelum panen ................................... 51 9 Rekapitulasi analisis sidik ragam data saat panen .......................................... 51 10 Korelasi antar peubah yang diamati ............................................................... 52
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Konversi lahan pertanian dari lahan yang berproduktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian atau menjadi lahan pertanian non-pangan merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai nasional. Data dalam naskah Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK)
tahun 2005
mencontohkan konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330 000 ha atau setara dengan 110 000 ha/tahun. Menurut Sudaryanto dan Swastika (2007), proyeksi konsumsi kedelai di Indonesia dari tahun 2005 hingga 2020 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 konsumsi kedelai Indonesia akan mencapai 2 juta ton, sementara angka ramalan I tahun 2010 dari data BPS (2010) menunjukkan bahwa produksi kedelai nasional masih 963 000 ton dengan luas panen 709 000 ha dan produktivitas 1.357 ton/ha. Salah satu upaya pengembangan lahan pertanian dapat ditempuh melalui pemanfaatan lahan potensial. Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan kedelai di masa depan (Sudaryono et al. 2007). Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia berkisar 20 juta ha (Subagyo 2006a) dan diperkirakan sekitar 9.53 juta ha cocok untuk usaha pertanian (Suyamto et al. 2007). Sumberdaya lahan rawa di Indonesia secara dominan terdapat di empat pulau besar di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, dan sebagian kecil di Pulau Sulawesi (Subagyo 2006a). Tahun 2008 Departemen Pertanian merencanakan pencapaian areal tanam kedelai sekitar satu juta hektar meliputi berbagai provinsi di Indonesia. Areal pengembangan kedelai tersebut termasuk juga lahan pasang surut yang ada di Sumatera Selatan (Deptan 2008). Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah tanaman kedelai tidak tahan dengan air yang berlebihan sebagaimana karakteristik lahan rawa, sedangkan apabila lahan dikeringkan akan mengoksidasi pirit. Pirit dapat menyebabkan rendahnya pH tanah pada kondisi teroksidasi. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah, 800 kg/ha (Djayusman et al. 2001). Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan
2 Fe, Al, dan Mn menjadi tinggi, serta rendahnya ketersediaan P dan K (Suastika & Sutriadi 2001). Oleh sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa secara berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu. Budidaya jenuh air adalah sistem produksi yang dikembangkan di semi arid tropis Australia yang dilaporkan dapat meningkatkan hasil kedelai di atas pencapaian yang ditanam dengan irigasi konvensional. Teknologi budidaya jenuh air mempertahankan air dalam saluran antara bedengan dari awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan. Pertumbuhan kedelai pada awal pemberian jenuh air, mengalami tekanan namun setelah melewati masa aklimatisasi pertumbuhan kemudian meningkat. Budidaya jenuh air juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong, tidak mengalami senessen saat masa pengisian polong sehingga akhirnya dapat meningkatkan indeks panen (Fehr et al. 1971; Garside et al. 1982; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984; Lawn 1985). Penelitian yang dilakukan oleh Ghulamahdi (1999) di lahan non pasang surut, Bogor, menunjukkan produksi kedelai yang tinggi dengan budidaya jenuh air yaitu mencapai 2.9 ton/ha pada genotipe PTR 32. Teknologi budidaya jenuh air yang telah terbukti memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan non-pasang surut ini merupakan peluang untuk menurunkan kadar pirit sehingga kedelai dapat dibudidayakan di lahan pasang surut. Usaha penurunan kadar pirit dapat dilakukan dengan cara pengaturan kedalaman muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Kedalaman muka air yang tetap di dalam saluran akan menghilangkan pengaruh dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman. Pengembangan varietas kedelai dewasa ini juga harus diarahkan pada kedelai yang toleran lahan sub optimal. Alihamsyah dan Ar-Riza (2006) menemukan bahwa varietas Tanggamus, Wilis, dan Slamet merupakan varietas yang dapat dikembangkan di lahan rawa lebak. Kedelai merupakan tanaman lahan kering sehingga menurut CSIRO (1983) dan Ghulamahdi et al. (1991), tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air akan berbeda-beda. Sebagai contoh, varietas kedelai yang berumur panjang biasanya mempunyai pertumbuhan lebih baik dan produksi lebih tinggi dari pada kedelai yang berumur pendek jika dibudidayakan dengan budidaya jenuh air.
3 Uraian di atas dan masih sedikitnya informasi mengenai penerapan budidaya jenuh air di lahan rawa pasang surut menunjukkan perlunya mempelajari pengaruh berbagai kedalaman muka air parit dan beberapa varietas yang adaptif dibudidayakan dengan teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut.
Tujuan a.
Mempelajari pengaruh kedalaman muka air saluran terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut.
b.
Mempelajari respon beberapa varietas kedelai yang adaptif di lahan rawa pasang surut terhadap kedalaman muka air parit yang berbeda.
Hipotesis a.
Ada kedalaman muka air tertentu yang memberi pertumbuhan dan produksi kedelai terbaik di lahan rawa pasang surut.
b.
Setiap varietas kedelai memberi respon yang berbeda terhadap kedalaman muka air yang berbeda di lahan pasang surut.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut) yaitu antara daratan dan laut atau di daratan sendiri yaitu antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karakteristik lahan ini adalah tergenang dangkal, selalu jenuh air atau mempunyai air tanah yang dangkal sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (Subagyo 2006b). Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut pada tahun 1992 di Cisarua, Bogor, menyepakati bahwa istilah rawa mempunyai dua pengertian, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak (swampy atau non-tidal swamps). Rawa pasang surut diartikan sebagai daerah rawa yang mendapatkan pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surutnya air laut/sungai sekitarnya. Rawa lebak diartikan sebagai daerah rawa yang mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan terendah antara 25-50 cm (Noor 2004). Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar di musim hujan, bagian daerah aliran sungai dapat dibagi menjadi tiga zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini adalah Zona I (Wilayah rawa pasang surut air asin/payau), Zona II (Wilayah rawa pasang surut air tawar), dan Zona III (Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut). Wilayah zona II sudah berada di luar pengaruh air asin/salin dan yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai, namun energi pasang surut masih cukup dominan yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai. Saat volume air sungai relatif tetap atau malahan berkurang di musim kemarau, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai pada bulan-bulan terkering yaitu bulan Agustus-Oktober (Widjaja-Adhi et al. 1992; Subagyo 1997). Menurut Noor (2004), lahan rawa pasang surut dibagi menjadi empat tipe luapan yaitu tipe A, B, C dan D. Tipe A merupakan daerah yang diluapi baik oleh air pasang besar maupun air pasang kecil. Tipe B merupakan daerah yang diluapi
5 hanya oleh air pasang besar. Sementara tipe C dan D tidak mengalami luapan air pasang namun muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 50 cm untuk tipe C dan lebih dari 50 cm untuk tipe D. Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut yang dapat diklasifikasikan menurut posisi bahan sulfidik di dalam tanah. Tanah dengan reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam (acid sulphate soils). Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit pada jeluk >50 cm yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah tidak dapat digunakan untuk pertanian (Noor 2004; Suriadikarta 2005). Kandungan pirit di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%. Pirit menjadi permasalahan utama yang berat ketika tanah rawa dibuka untuk pertanian (Subagyo 2006b). Pirit yang mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe3+). Setiap 1 mol pirit yang teroksidasi akan membebaskan 4 mol ion H+, dan apabila Fe3+ kemudian bertindak sebagai oksidator maka akan dibebaskan sebanyak 16 mol ion H+ (Noor 2004). Hasil akhirnya merupakan tanah dengan reaksi masam ekstrim (pH <3.5), dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4-), besi bervalensi 2 (Fe2+), dan aluminium (Al3+). Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat, antara lain Al, Mn, Zn dan Cu sehingga bersifat toksik (Suriadikarta 2005). Pada musim hujan air tanah berangsur naik ke permukaan dan dapat menggenangi tanah. Potensial redoks tanah menjadi lebih tinggi dan pH tanah meningkat kembali. Hal ini mengakibatkan konsentrasi ion H dan Al dalam larutan tanah menurun atau kurang bersifat toksik, tetapi muncul masalah-masalah baru. Kandungan ion sulfat (SO42-) dalam larutan tanah meningkat kembali yang disebabkan oleh hidrolisis Al-sulfat hidrat: AlOHSO4 + 2H2O7 → Al(OH)3 + 2H+ + SO42-, atau desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks pertukaran liat tanah Tanah-SO4 + 2H2O → Tanah-(OH)2 + 2H+ + SO42Oksigen yang berada dalam tanah dalam waktu relatif singkat segera digunakan oleh bakteri aerobik sehingga konsentrasinya mendekati nol karena diffusi oksigen udara pada tanah jenuh air sangat lambat. Bakteri anaerobik akan memanfaatkan semua senyawa-senyawa teroksidasi sebagai sumber oksigennya.
6 Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat (NO3-), sehingga semua nitrat akan direduksi menjadi ion amonium (NH4+). Setelah semua nitrat habis, oksida-mangan (MnO2) yang ada akan direduksi menjadi ion Mn2+. Dalam 1-3 minggu penggenangan, hampir seluruh Mn dapat tukar, direduksi menjadi Mn2+. Sesudah semua MnO2 habis, reduksi sebarang Fe3+ (ferri-oksida) mulai terjadi, yang menghasilkan Fe2+ (ferro) yang melimpah, dan peningkatan pH oleh karena dihasilkannya senyawa hidrokarbonat dalam larutan tanah. Fe(OH)3 + ¼ CH2O + 2H+ → Fe2+ + ¼ CO2 + 1¼ H2O Peningkatan pH larutan tanah bersifat menstabilkan reduksi Fe3+, sehingga dihasilkan ion Fe2+ dalam konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap tanaman. Jumlah ion Fe2+ yang melimpah mendesak ke luar basa-basa dapat tukar Ca dan Mg dari kompleks adsorpsi tanah, sehingga jumlahnya meningkat dalam larutan tanah. Kedua unsur hara ini dengan mudah terbawa keluar dari lingkungan akar oleh air yang mengalir. Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi sulfat mulai terjadi, yang berakibat menurunkan konsentrasi ion sulfat dan ion H+ (karena digunakan untuk membentuk bikarbonat), dan disertai dengan peningkatan pH tanah. SO42- + 2CH2O → H2S + 2HCO3Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks antara -0.12V dan -0.19V, serta hanya terjadi di atas pH 5.0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, pH 2.8-3.4. Sulfida yang terbentuk segera bereaksi dengan Fe2+ yang tersedia dalam larutan tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida. Adanya reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan FeS yang berwarna hitam, dan terkadang oleh bau (busuk) H2S. Senyawa H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat bersifat sangat toksik terhadap pertumbuhan tanaman. Penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan penurunan konsentrasi Al. Namun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion Fe2, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi keracunan H2S, dan pencucian unsur basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alami tanah rawa (Konsten et al. 1990; Subagyo 2006b). Oleh karena itu pengelolaan tanah dan air merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan tanah dan air meliputi jaringan tata air makro maupun mikro (Widjaya-Adhi
7 1995), teknologi budidaya jenuh air (Ghulamahdi 1999), ameliorasi dan pemupukan (Suriadikarta & Sjamsidi 2001) serta penataan lahan (Suriadikarta 2005).
Varietas Kedelai Adaptif Lahan Masam Penambahan areal penanaman ke lahan pasang surut dihadapkan pada kendala fisik dan kimia tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Produktivitas kedelai di lahan pasang surut tergolong rendah, 800 kg/ha (Djayusman et al. 2001). Menurut Sabran et al. (2000), kendala penanaman kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air. Genangan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu dan jangka panjang dapat mematikan tanaman. Masalah lain yang dihadapi adalah kemasaman tanah. Drainase yang berlebihan pada tanah sulfat masam menciptakan kondisi aerob yang mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi dan melepaskan asam yang merupakan racun bagi tanaman. Upaya untuk mengatasi kondisi tanah sulfat masam dapat ditempuh melalui perakitan varietas kedelai yang toleran tanah sulfat masam atau mengadaptasikan varietas-varietas unggul yang sudah ada pada kondisi tanah sulfat masam. Penelitian yang dilakukan oleh Suastika dan Ismail (1992) menyimpulkan bahwa salah satu varietas yang tumbuh dan berkembang baik di lahan potensial adalah varietas wilis dengan tingkat hasil antara 1.7-2 ton/ha biji kering. Menurut Sabran et al. (2000), pengujian galur-galur yang berasal dari hasil persilangan Balitkabi pada lahan sulfat masam telah menghasilkan 4 galur yang berdaya hasil tinggi yaitu 3034/Lamp 3-II-1, 3034/Lamp 3-II-2, MSC 8613-6-8 dan SJ-5. Selanjutnya Alihamsyah dan Ar-Riza (2004) menemukan bahwa varietas Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Galunggung, Slamet, Lawit, Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas, Tanggamus dan Menyapa mampu memberikan hasil panen sebesar 1.5-2.4 ton/ha di lahan rawa lebak. Mengadaptasikan varietas-varietas unggul yang sudah ada di lahan pasang surut juga dimaksudkan untuk mendapatkan varietas yang adaptif dengan stabilitas yang tinggi. Menurut Lin et al. (1996), ada 3 konsep mengenai genotipe yang stabil yaitu bila ragam hasilnya lintas lingkungan kecil, bila responnya terhadap perubahan lingkungan sebanding dengan rataan respon genotipe-
8 genotipe lainnya yang diuji, dan bila penyimpangan hasilnya dari garis regresi rataan hasil terhadap indeks lingkungan kecil. Stabilitas hasil merupakan ukuran kemampuan suatu genotipe untuk menenggang perubahan lingkungan.
Budidaya Jenuh Air pada Kedelai Budidaya kedelai yang biasa dilakukan oleh petani adalah dengan memberikan pengairan secara berkala baik dengan cara luapan maupun penyiraman. Kondisi ini menyebabkan tanaman kedelai akan mengalami kelebihan air pada suatu waktu dan stress kekurangan air pada suatu waktu tertentu. Pemberian air secara terputus-putus sangat mengganggu pertumbuhan tanaman karena pada waktu kering akan mengalami stres dan saat air diberikan terjadi pemulihan namun sebelum pulih tanaman kembali mengalami stres kekeringan. Penggenangan terputus-putus juga dapat menghambat penambatan N dibandingkan dengan tanpa penggenangan (Tampubolon 1988). Budidaya jenuh air adalah sistem produksi yang dikembangkan di semi arid tropis Australia yang dapat meningkatkan hasil kedelai dibandingkan dengan irigasi konvensional. Budidaya jenuh air mempertahankan air dalam saluran antar bedengan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan (Fehr et al. 1971; Nathanson et al. 1984). Pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Peningkatan pertumbuhan ini sangat berhubungan dengan peningkatan nodulasi dan fiksasi N2 yang besar (Ghulamahdi et al. 2006). Budidaya jenuh air juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong, tidak mengalami senessen saat masa pengisian polong sehingga akhirnya dapat meningkatkan indeks panen (Fehr et al. 1971; Garside et al. 1982; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984). Menurut Inderadewa et al. (2004), genangan dalam parit dapat meningkatkan hasil biji kedelai 20-80% dari hasil biji tanaman kontrol yang diluapi. Ralph (1983) menyimpulkan bahwa peningkatan pertumbuhan dan hasil biji ini terjadi karena tanaman kedelai mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong dan mengalami penundaan penuaan serta perpanjangan fase reproduktif.
9 Sebaliknya dengan pengairan luapan yang dilakukan petani, tanaman kedelai mengalami kekurangan air saat tidak diairi dan kekurangan oksigen saat diairi. Ghulamahdi (1999), selanjutnya menambahkan bahwa budidaya jenuh air memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan tanaman kedelai dengan meningkatnya kadar etilen dalam jaringan tanaman. Mekanisme adaptasi tanaman kedelai pada budidaya jenuh air dimulai dengan meningkatnya kandungan prekusor etilen, aminocyclopropana-1-carboxylic acid, di akar yang diikuti dengan meningkatnya kandungan etilen akar. Etilen akar meningkatkan terbentuknya jaringan aerenkima dan perakaran baru. Dalam penelitian yang lebih detail dilakukan oleh Hartley et al. (1993) dengan galur yang lebih representatif di Lawes, ada variasi yang sangat besar dalam respon relatif (RR) tanaman terhadap budidaya jenuh air (dimana respon relatif didefinisikan sebagai respon terhadap budidaya jenuh air dikurangi respon terhadap irigasi konvensional kemudian dibagi dengan respon terhadap irigasi konvensional tersebut) dengan hasil biji menurun hingga 52%, meningkat hingga 37% atau tidak berubah tergantung genotipe dan manajemen agronominya. Variasi genotipe dalam hal RR umumnya konsisten antar musim dan bervariasi dalam hal penotipe antar genotipe bila ditanam pada sistem irigasi konvensional. Secara umum, genotipe-genotipe yang memberi respon paling positif adalah genotipe yang memulai fase pembungaannya lambat karena tanaman harus beraklimatisasi terhadap budidaya jenuh air dan durasi berbunganya lama. Genotipe-genotipe yang berespon negatif adalah genotipe-genotipe yang fase vegetatifnya singkat karena fase pembungaan mulai sebelum aklimatisasi selesai. Berdasarkan lamanya periode tumbuh dari sejak tanam sampai polong matang, varietas kedelai digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu umur genjah (<80 hari), umur sedang (80-85 hari) dan umur dalam (>85 hari) (Somaatmadja et al. 1985). Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda (Ghulamahdi 2008; Ghulamahdi & Nirmala 2008). Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedelai yang berumur pendek (Hunter et al. 1980; CSIRO 1983; Ghulamahdi et al. 1991).
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di lahan pasang surut Desa Banyu Urip Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian mulai bulan April hingga Agustus 2009.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi benih kedelai, inokulan Rhizobium sp, insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%, pupuk kandang, urea, SP18 dan KCl. Alat yang digunakan adalah peralatan pengolaan tanah dan peralatan pertanian lainnya seperti sprayer.
Metode Penelitian Percobaan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang sebanyak tiga kali. Sebagai petak utama adalah tinggi muka air yang terdiri dari lima taraf, yaitu tanpa pengairan, 10, 20, 30 dan 40 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Sebagai anak petak adalah varietas yang terdiri dari empat jenis yaitu Tanggamus, Slamet, Willis, dan Anjasmoro. Anak petak berukuran 2 m x 5 m. Diantara anak petak dibuat saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalamnya 50 cm sehingga petak utama berukuran 5.90 m x 11 m, dan dengan pengaturan ini maka kondisi petakan akan selalu basah pada saat irigasi diberikan (Gambar 1, 2 dan 3). Air irigasi diberikan mulai saat tanam.
vvvvvvv vv
30 cm
vvvvvvv vv
20 cm 50 cm
Gambar 1 Ukuran saluran dan pengukuran kedalaman muka air
11
2mx5m
2mx5m
2mx5m
2mx5m
Saluran Tersier
Jalan Keterangan:
: Pintu air : Aliran air : Jembatan
2mx5m
2mx5m
2mx5m
2mx5m
: Pematang / Jalan : Anak petak (2 m x 5 m) : Jarak antar anak petak Pintu air
Saluran (lebar 30 cm) Pembatas petak utama (50 cm) S a l
Saluran Primer Jalur 17
S e k u n d e r
Gambar 2. Skema pengaturan air
Lahan Percobaan
Saluran Tersier
Saluran Primer Jalur 17
12
Gambar 3 Petak percobaan yang telah dibentuk
13 Model linier dari rancangan petak terpisah (Mattjik & Sumertajaya 2002) adalah: Yijk = µ + δi + αj + εij + βk + (αβ)jk + Єijk Dimana: i
: Ulangan/kelompok (1, 2, 3)
j
: Tinggi muka air (1, 2, 3, 4, 5)
k
: Varietas (1, 2, 3, 4)
Yijk
: Hasil pengamatan pengaruh tinggi muka air ke-j, Varietas ke-k dan ulangan ke-i
µ
: Nilai tengah
δi
: Pengaruh ulangan/kelompok ke-i
αj
: Pengaruh tinggi muka air ke-j
εij
: Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan ulangan/kelompok ke-i
βk
: Pengaruh varietas ke-k
(αβ)jk : Pengaruh interaksi antara tinggi muka air ke-j dan varietas ke-k Єijk
: Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan varietas ke-k pada ulangan ke-i
Prosedur Percobaan Pada waktu pengolahan tanah diberikan 2 ton kapur/ha, 2.5 ton pupuk kandang/ha, 400 kg SP18/ha dan 100 kg KCl/ha. Kapur dan pupuk kandang diberikan pada saat pengolahan tanah kemudian diinkubasi selama 2 minggu. Pupuk SP 18 dan KCl diberikan pada saat tanam dengan cara ditugal. Pupuk N tidak diberikan dengan harapan bintil akar dapat memenuhi kebutuhan tanaman akan nitrogen, namun, untuk membantu pemulihan daun saat aklimatisasi, tanaman disemprot N melalui daun pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam (MST) dengan konsentrasi 7.5 g urea/l air. Setelah dua minggu masa inkubasi kapur dan pupuk kandang, kedelai yang telah diberi inokulan Rhizobium sp (5 g/kg benih) dan insektisida berbahan aktif karbosulfan 25.53% (15 g/kg benih) ditanam. Insektisida ini diberikan untuk mengatasi lalat bibit. Benih ditanam dangkal dengan kedalaman 2-3 cm dengan jarak tanam 20 cm x 25 cm, setiap lubang diisi dengan dua benih kedelai sehingga populasi per petak berjumlah 400 tanaman. Pemeliharaan meliputi penjagaan kecukupan air sesuai dengan perlakuan tinggi muka air, pengendalian gulma dan pengendalian hama. Gulma
14 dikendalikan dengan cara mekanis, sedangkan hama dikendalikan dengan menggunakan insektisida.
Peubah dan Pengolahan Data Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 4 MST. Peubah-peubah yang diamati adalah: 1.
Tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen
2.
Jumlah daun trifoliate pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen
3.
Jumlah cabang pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen
4.
Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar, dan total Tanaman sampel berumur 6 MST sebanyak delapan tanaman (diperkirakan berat kering daun cukup untuk analisis hara daun) diambil mulai dari akar. Sampel dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 60oC. Setelah dikeringkan, bagian-bagian tanaman dipisahkan yaitu batang, daun, akar, dan bintil, lalu ditimbang.
5.
Jumlah polong isi
6.
Umur 50% berbunga
7.
Umur panen
8.
Bobot biji per hektar
9.
Analisis hara N, P, K, Fe dan Mn daun Contoh daun umur 6 MST diambil dari lapangan, dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 72 jam kemudian daun kering dihaluskan. Kandungan N daun ditentukan dengan metode Kjeldahl dengan alat titrasi. P daun ditentukan dengan metode pengabuan kering dan ditetapkan dengan spektrofotometer. K, Fe dan Mn ditentukan dengan metode HClO4+HNO3 menggunakan alat Atomic Absorption Spectrometer (AAS).
10.
Analisis tanah sebelum tanam dan sesudah panen Analisa tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu dan liat), pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan KTK, kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, dan Mn, dan pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah (pH) ditentukan dengan ekstrak 1:5 menggunakan H2O dan KCl. C organik ditentukan dengan metode kurmis. N ditentukan dengan metode Kjeldahl.
15 P2O5 ditentukan dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan. Kation dan unsur hara mikro dengan metode AAS, KTK dengan metode titrasi. 11.
Analisis air meliputi pH, DHL, kation, anion dan kadar lumpur Keasaman tanah (pH) diukur dengan pH meter menggunakan elektrode gelas kombinasi. Daya hantar listrik diukur dengan menggunakan alat konduktometer. Kation diukur dengan metode yang sesuai dengan masingmasing kation. Ca, Mg, Fe, Al, Mn ditentukan dengan metode AAS; K dan Na dengan fotometer nyala; NH4 dengan kolorimeter metode biru indofenol; NO3 dengan spektrofotometri; SO4 dengan turbidimetri, Cl dengan argentometri; PO4 dengan kolorimetri pewarnaan biru molibden pada panjang gelombang 693 nm; CO3 dan HCO3 dengan titrasi menggunakan asam hingga pH tertentu. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam pada taraf 5%
dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang umur 4, 6, 8 dan 10 MST, bobot kering total, batang, daun, bintil akar dan akar, kadar dan serapan hara daun dianalisis tanpa menggunakan pembanding perlakuan tanpa pengairan sehingga rerata yang diperoleh adalah rerata kedalaman muka air 10, 20, 30 dan 40 cm DPT. Peubah-peubah ini dimaksudkan untuk mempelajari pola pertumbuhan empat varietas yang diuji pada BJA. Peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang saat panen, jumlah polong, umur 50% berbunga, umur panen dan produktivitas dianalisis dengan menggunakan pembanding kontrol sehingga rerata yang diperoleh adalah rerata dari kedalaman muka air tanpa pengairan, 10, 20, 30 dan 40 cm DPT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan dan provinsi Bengkulu di barat (Gambar 4). Luas daratan provinsi Sumatera Selatan adalah 87 017 km2 atau 1.68 persen dari total luas daratan wilayah Indonesia dan dialiri oleh 34 Sungai besar dan kecil (Sumsel 2010). Kabupaten Banyuasin adalah salah satu kabupaten di provinsi Sumatera Selatan pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin yang terbentuk berdasarkan UU No. 6 Tahun 2002. Kabupaten Banyuasin terletak pada posisi antara 1.30°4.0° LS dan 104° 00’-105° 35’ BT yang terbentang dari bagian tengah provinsi Sumatera Selatan sampai dengan bagian timur dengan luas wilayah seluruhnya 11 832.99 km2 atau 1 183 299 ha. Kabupaten Banyuasin terbagi menjadi 15 kecamatan yaitu Banyuasin I, Banyuasin II, Banyuasin III, Betung, Makarti Jaya, Muara Padang, Muara Telang, Pulau Rimau, Rambutan, Talang Kelapa, Rantau Bayur, Tungkal Ilir, Tanjung Lago, muara Sugihan, dan Air Saleh (Pusdatarawa 2006; Banyuasin 2010). Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran sungai Musi dan sungai Banyuasin (Gambar 4). Wilayah Kabupaten Banyuasin hampir 80% adalah dataran rendah berupa rawa pasang surut dan lebak sedangkan 20% sisanya merupakan penyebaran lahan kering dengan topografi datar sampai dengan bergelombang. Oleh karena itu sebagian besar lahan tersebut dimanfaatkan untuk pertanian pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut. Areal lahan kering merupakan sentra perkebunan rakyat dan usaha milik negara terutama karet, kelapa sawit dan hortikultura. Daerah perairan baik payau maupun laut di sepanjang pesisir timur sebagian besar merupakan area penangkapan ikan perairan umum, hanya beberapa lokasi yang telah dijadikan areal budidaya tambak ikan dan udang (Banyuasin 2010).
17
Gambar 4 Peta lokasi penelitian (diolah dari Pusdatarawa 2006) Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago merupakan salah satu desa eks transmigrasi penempatan tahun 1980-1981 yang berasal dari Pulau Jawa. Desa Banyu Urip mempunyai luas lahan 1 600 ha dengan penggunaan 1 100 ha untuk lahan sawah penanaman padi. Desa ini terletak pada ketinggian 1-2 m dari permukaan laut dan berjarak 42 km dari Selat Bangka (Gambar 4). Berdasarkan tipe luapan, areal ini termasuk dalam tipe luapan C dan D (Gambar 5; Monografi desa Banyu Urip).
Gambar 5 Klasifikasi rawa pasang surut menurut luapan pasang maksimun dan minimum (Widjaja-Adhi et al. 1992)
18 Daerah reklamasi rawa pasang surut ini dibuka dengan cara membuat jaringan drainase. Semua saluran belum dilengkapi pintu air, sehingga sistem pengelolaan air hanya tergantung dengan fluktuasi pasang surut. Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan saluran kuarter (Gambar 6).
Saluran Sekunder
Saluran Tersier
Saluran Kuarter dan BJA
Gambar 6 Jaringan drainase di Desa Banyu Urip
Gambar 7 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) (Widjaja-Adhi et al. 1992)
19 Lahan pasang surut lokasi penelitian termasuk dalam zona II menurut klasifikasi Widjaja-Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997) (Gambar 7). Saat volume air sungai relatif tetap atau berkurang di musim kemarau, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai pada bulan-bulan terkering yaitu bulan Agustus-Oktober. Curah hujan di daerah ini cukup tinggi yaitu 1 700 mm/thn, namun tidak merata sepanjang tahun. Curah hujan tertinggi mencapai 560.8 mm dan terjadi pada bulan Maret 2009, kemudian curah hujan menurun hingga bulan Agustus 2009 hanya mencapai 39.6 mm (Lampiran 2). Suhu udara di lokasi penelitian adalah 27.7-34.4oC (Lampiran 3). Hasil analisis tanah memperlihatkan tingkat kesuburan yang relatif baik dengan kandungan bahan organik, P2O5 dan K2O yang tinggi. Akan tetapi tanah memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 4.4 dan Al3+ 3.15 me/100g. Nilai tukar kation Ca, K dan Na rendah, namun nilai tukar kation Mg tergolong tinggi. Kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa sedang. Tekstur tanah adalah liat berdebu dengan komposisi pasir 1%, debu 42% dan liat 57%. Tanah juga mengandung pirit dan Fe (Gambar 8 dan Tabel 1). Sumber air untuk BJA dalam penelitian adalah memanfaatkan air yang berada di saluran drainase. Air berasal dari pengaruh pasang surut air laut. Hal ini berpengaruh pada kandungan kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik air tidak terlalu tinggi yaitu 0.493 dS/m. Air ini juga memiliki keasaman yang tinggi dengan pH 4.6 (Tabel 2).
Gambar 8 Kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah
20 Tabel 1 Data analisis tanah sebelum tanam No 1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12
Peubah analisis Hasil analisis Tekstur (pipet) a. Pasir a. 1% b. Debu b. 42% c. Liat c. 57% Ekstrak 1 : 5 a. pH H2O a. 4.4 b. pH KCl b. 3.8 Bahan organik a. C Walkley & Black a. 6.20% b. N Kjedahl b. 0.31% c. C/N c. 20% P2O5 a. HCl 25 % a. 53 mg/100 g b. Bray 1 b. 21.4 ppm K2O a. HCl 25 % a. 12 mg/100g b. Morgan b. 117 ppm Nilai Tukar Kation (NH4Acetat 1 N, pH 7) a. Ca a. 3.05 cmol(+)/kg b. Mg b. 4.87 cmol(+)/kg c. K c. 0.23 cmol(+)/kg d. Na d. 1.44 cmol(+)/kg e. KTK e. 18.69 cmol(+)/kg f. KB f. 51% Al3+ 3.15 cmol(+)/kg H+ 0.43 cmol(+)/kg Mn 64.5 ppm S 0.25% (2500 ppm) Fe 1.19% (11900 ppm) Pirit 0.47% (4700 ppm)
*Pusat Penelitian Tanah (1980)
Kriteria* Liat berdebu
Sangat masam
a. Sangat tinggi b. Sedang c. Tinggi a. Tinggi b. Sangat tinggi a. Rendah
a. Rendah b. Tinggi c. Rendah d. Rendah e. Sedang f. Sedang Tinggi
21 Tabel 2 Data analisis air No 1 2 3
4
5
Peubah analisis DHL 25oC pH Kation a. NH4 b. K c. Ca d. Mg e. Na f. Fe g. Al h. Mn i. Jumlah kation Anion a. NO3 b. PO4 c. SO4 d. Cl e. HCO3 f. CO3 g. Jumlah anion Kadar lumpur
Hasil analisis 0.493 dS/m 4.6 a. b. c. d. e. f. g. h. i.
0.02 me/l air bebas lumpur 0.09 me/l air bebas lumpur 0.40 me/l air bebas lumpur 1.17 me/l air bebas lumpur 3.42 me/l air bebas lumpur 0.00 me/l air bebas lumpur 0.05 me/l air bebas lumpur 0.01 me/l air bebas lumpur 5.16 me/l air bebas lumpur
a. 0.01 me/l air bebas lumpur b. 0.00 me/l air bebas lumpur c. 1.67 me/l air bebas lumpur d. 3.27 me/l air bebas lumpur e. 0.03 me/l air bebas lumpur f. 0.00 me/l air bebas lumpur g. 4.98 me/l air bebas lumpur 50 mg/l
Pertumbuhan dan Produksi Varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, dan 10 MST, jumlah daun pada umur 4 dan 6 MST dan jumlah cabang pada umur 8 dan 10 MST. Kedalaman muka air dan interaksi antara varietas dan kedalaman muka air tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah di atas (Lampiran 8). Pertumbuhan awal varietas Anjasmoro lebih cepat dibandingkan dengan varietas lain. Hal ini terlihat pada komponen pertumbuhan umur 4 MST dimana Varietas Anjasmoro nyata paling tinggi dengan jumlah daun yang berbeda tidak nyata dengan varietas Tanggamus. Jumlah daun varietas Tanggamus lebih banyak namun tidak berbeda nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Jumlah daun varietas Wilis nyata terendah dibanding varietas lainnya (Tabel 3). Pola pertumbuhan tanaman pada umur 6 MST sama dengan pola pertumbuhan pada umur 4 MST. Varietas Anjasmoro menghasilkan tanaman tertinggi dan varietas Tanggamus menghasilkan daun terbanyak. Varietas Slamet dan Wilis menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah daun yang sama. Semua varietas belum mengeluarkan cabang hingga umur 6 MST (Tabel 3).
22 Pola pertumbuhan tanaman pada umur 8 dan 10 MST berbeda dengan pola pertumbuhan sebelumnya. Semua varietas telah membentuk percabangan dan tanaman tertinggi diperoleh pada varietas Slamet. Jumlah daun dan cabang varietas Tanggamus tetap nyata lebih banyak dibandingkan varietas lainnya (Tabel 3). Tabel 3 Pengaruh varietas terhadap komponen pertumbuhan kedelai pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST Varietas Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro
Komponen pertumbuhan Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Jumlah cabang 4 MST 21.37 c 6.1 a * 24.12 b 6.0 a * 23.95 b 5.4 b * 27.50 a 5.9 a * 6 MST 41.90 c 18.2 a * 48.91 b 14.5 bc * 48.80 b 13.4 c * 54.30 a 15.0 b * 8 MST 61.73 b ** 3.7 a 80.22 a ** 2.7 b 60.12 b ** 2.6 bc 59.03 b ** 2.3 c 10 MST 63.32 b *** 4.4 a 83.14 a *** 3.1 b 62.20 b *** 2.8 c 60.20 b *** 2.4 c
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT * Tanaman belum mengeluarkan cabang ** Merupakan pengamatan terakhir untuk peubah jumlah daun dan disajikan pada Tabel 6 *** Daun sudah gugur, sehingga data tidak dipakai
Puncak pertumbuhan tanaman adalah pada umur 8 MST. Pertambahan tinggi tanaman dari umur 4-6 MST mencapai 100% dari tinggi 4 MST, dari umur 6-8 MST mencapai 35% dari tinggi 6 MST, sedangkan dari umur 8-10 MST hanya bertambah 1-3%. Pertambahan jumlah daun yang dihitung pada penelitian ini hanya sampai umur 8 MST karena pada umur 10 MST daun sudah mulai gugur. Pertambahan daun dari umur 4-6 MST adalah 10 daun, sementara dari umur 6-8 MST adalah 7 daun (Tabel 3 dan 6).
23 Varietas berpengaruh nyata terhadap kadar hara N, serapan hara N, K dan Mn, bobot kering daun, bintil akar, akar dan total, namun berpengaruh tidak nyata terhadap kadar hara P, K, Fe, Mn, serapan hara P, Fe, dan bobot kering batang. Kedalaman muka air dan interaksinya dengan varietas berpengaruh tidak nyata terhadap semua peubah yang diamati (Lampiran 8). Kadar hara dalam daun semua varietas kedelai yang diuji dengan teknologi BJA di lahan rawa pasang surut mencukupi bagi pertumbuhan tanaman menurut kriteria Small dan Ohlrogge (1973) dan Marschner (1995), kecuali K dan Mn. Kadar hara K dalam daun semua varietas berada di bawah interval mencukupi bagi tanaman dan kadar hara Mn berada di atas interval mencukupi. Kadar hara N pada daun varietas Tanggamus merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Kadar hara N varietas Wilis nyata paling rendah dibandingkan dengan varietas lainnya dan secara statistik sama dengan varietas Anjasmoro. Kadar semua hara yang diamati lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm DPT meskipun secara statistik berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air lainnya (Tabel 4). Serapan hara N, K dan Mn varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain, akan tetapi serapan hara K varietas Tanggamus berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro. Serapan hara P dan Fe varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun secara statistik varietas berpengaruh tidak nyata. Serapan semua hara yang diamati lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm DPT meskipun secara statistik berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air lainnya (Tabel 4). Bobot kering semua komponen tanaman varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, kecuali bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akar varietas Anjasmoro merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Tanggamus. Bobot kering batang pada varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun secara statistik berpengaruh tidak nyata. Bobot kering total varietas Wilis merupakan yang terendah, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Bobot kering semua komponen pertumbuhan yang diamati lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm DPT meskipun secara statistik berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air lainnya (Tabel 5).
24 Tabel 4 Kadar dan serapan hara N, P, K, Fe dan Mn dalam daun pada beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air Perlakuan Varietas Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro
N
3.36 a 3.36 a 2.91 b 3.19 ab
Tanggamus 1100.83 a Slamet 810.00 bc Wilis 645.00 c Anjasmoro 856.67 b Kedalaman muka air (cm) 10 20 30 40
3.10 3.25 3.30 3.18
10 20 30 40
792.41 951.68 856.26 811.56
Ket:
P
K
Fe
Kadar hara daun (%) 0.31 1.39 0.03 0.33 1.28 0.03 0.37 1.28 0.04 0.36 1.56 0.04 Serapan hara daun (mg/tanaman) 103.33 455.83 a 11.41 78.33 311.67 b 6.69 79.17 288.33 b 9.52 94.17 421.67 a 10.48 Kadar hara (%) 0.33 1.43 0.04 0.36 1.45 0.04 0.34 1.39 0.03 0.33 1.24 0.03 Serapan hara (mg/tanaman) 82.06 368.27 11.65 103.90 431.98 10.11 88.40 360.51 8.39 82.58 315.90 7.96
Mn
0.02 0.01 0.02 0.01 5.43 a 3.46 b 3.81 b 3.87 b
0.02 0.02 0.02 0.01 3.95 4.72 4.21 3.69
angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
Tabel 5
Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar dan total beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air
Perlakuan
Batang Varietas Tanggamus 31.03 Slamet 27.79 Wilis 25.57 Anjasmoro 27.52 Kedalaman muka air (cm) 10 27.91 20 31.52 30 27.44 40 25.03
Daun
Bobot kering (g) Akar Bintil akar
Total
32.80 a 23.97 b 22.03 b 26.45 b
7.31 a 6.14 ab 5.49 b 5.46 b
1.79 ab 1.41 b 1.67 b 2.41 a
72.93 a 59.32 b 54.75 b 61.84 ab
25.15 28.97 25.90 25.24
6.44 6.50 5.54 5.93
1.97 1.89 1.72 1.70
61.47 68.88 60.60 57.90
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
25 Pertumbuhan dan hasil tanaman pada BJA lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengairan (Tabel 6). Kedalaman muka air dan varietas nyata mempengaruhi jumlah polong per tanaman, umur 50% berbunga dan umur panen. Interaksi kedalaman muka air dan varietas nyata mempengaruhi tinggi tanaman saat panen, jumlah daun umur 8 MST, jumlah cabang saat panen, dan produktivitas (Lampiran 9). Tinggi tanaman semua varietas pada BJA lebih besar dari 50 cm, sementara semua varietas yang ditanam pada perlakuan tanpa pengairan berada di bawah 40 cm. Varietas Slamet merupakan varietas tertinggi di antara varietas-varietas pada BJA, namun tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air 10-40 cm DPT. Tanaman pada BJA dengan kedalaman muka air 20 cm DPT cenderung lebih tinggi dibandingkan tanaman pada kedalaman muka air lainnya, namun secara statistik tidak berbeda nyata (Tabel 6). Tinggi tanaman tidak berkorelasi positif dengan jumlah daun dan jumlah cabang (Lampiran 10) dimana jumlah daun dan cabang terbanyak dihasilkan oleh varietas Tanggamus, sementara tanaman tertinggi adalah varietas Slamet (Tabel 6). Jumlah daun pada BJA nyata berbeda diantara varietas dan kedalaman muka air. Jumlah daun terbanyak pada umur 8 MST diperoleh pada varietas Tanggamus dengan kedalaman muka air 30 cm, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air 10, 20 dan 40 cm DPT serta dengan varietas Slamet pada kedalaman muka air 30 dan 40 cm DPT. Jumlah daun varietas Tanggamus pada BJA 2.5 kali lebih banyak dibandingkan dengan tanpa pengairan. Jumlah cabang kedelai pada BJA nyata berbeda diantara varietas dan kedalaman muka air. Jumlah cabang terbanyak diperoleh pada varietas Tanggamus dengan kedalaman muka air 40 cm DPT, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air 20 dan 30 cm DPT varietas Tanggamus dan Slamet. Jumlah cabang varietas Tanggamus pada BJA dapat 3,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan tanpa pengairan (Tabel 6). Jumlah polong kedelai yang ditanam dengan BJA nyata lebih banyak dibandingkan dengan yang ditanam dengan tanpa pengairan (Tabel 7). Kedelai yang ditanam dengan kedalaman muka air 10 cm DPT menghasilkan polong 8 kali lebih banyak dibandingkan tanpa pengairan. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro yang diuji di lahan pasang surut ini pada kedalaman muka
26 air 20 cm DPT dapat menghasilkan secara berturut-turut 105.4, 96.4, 39.9 dan 42.1 polong/tanaman. Tabel 6 Pengaruh interaksi kedalaman muka air dan varietas terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada akhir pengamatan Kedalaman muka air (cm) Tanpa pengairan
10 20 30 40 Rerata Tanpa pengairan
10 20 30 40 Rerata Tanpa pengairan
10 20 30 40 Rerata
Varietas Tanggamus
Slamet
Wilis
Anjasmoro
Tinggi tanaman saat panen (13 MST) 34.78 d 37.22 d 38.11 d 36.89 d 63.54 c 79.24 ab 61.39 c 67.55 bc 66.71 bc 84.01 a 66.77 bc 67.43 bc 65.46 bc 85.90 a 65.53 bc 55.47 c 62.05 c 91.19 a 59.88 c 53.62 c 58.51 75.51 58.34 56.19 Jumlah daun umur 8 MST 12.1 g 19.0 ef 16.4 fg 21.7 cdef 27.5 ab 22.5 bcde 20.4 def 18.9 ef 28.6 a 22.2 cde 18.8 ef 19.3 ef 29.9 a 26.0 abc 19.4 ef 16.2 fg 29.7 a 25.6 abcd 18.2 ef 17.7 ef 25.6 23.1 18.7 18.8 Jumlah cabang saat panen (13 MST) 2.0 f 2.4 f 2.4 f 3.0 ef 4.9 cde 5.0 cde 4.0 def 4.0 def 6.4 abc 5.4 abcd 4.0 def 3.8 def 7.0 ab 5.5 abcd 3.9 def 3.1 ef 7.4 a 5.2 bcd 3.6 def 2.9 ef 5.5 4.7 3.6 3.4
Rerata
36.75 67.93 71.23 68.09 66.68
17.3 22.3 22.2 22.9 22.8
2.5 4.5 4.9 4.8 4.8
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada semua kolom dan baris masing-masing peubah menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
Tabel 7 Jumlah polong empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air Kedalaman muka air (cm DPT) Tanggamus 20.6 Tanpa pengairan 10 94.1 20 105.4 30 107.7 40 94.5 Rerata 84.5 a Ket:
Varietas Slamet Wilis 4.8 6.6 68.2 46.9 96.4 39.9 75.1 47.2 72.5 32.3 63.4 b 34.6 c
Anjasmoro 1.3 46.1 42.7 38.6 30.9 31.8 c
Rerata 8.3 b 63.8 a 70.9 a 67.2 a 57.6 a
angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
27 Produksi biji semua varietas nyata meningkat dengan penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Kedalaman muka air 20-40 cm DPT memberi hasil 8-9 kali produksi biji dibandingkan dengan tanpa pengairan. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha, namun berbeda tidak nyata dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) dan 30 cm DPT (4.71 ton/ha). Produktivitas varietas Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Produktivitas vatietas Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan mampu mencapai 850 kg/ha (Tabel 8). Umur berbunga dan umur panen kedelai pada BJA nyata lebih panjang dibandingkan dengan tanpa pengairan, akan tetapi berbeda tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air 10-40 cm DPT. Varietas Tanggamus dan Slamet dipanen nyata lebih lambat dibandingkan Varietas Wilis dan Anjasmoro (Tabel 9). Tabel 8 Produktivitas empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air Kedalaman muka air (cm DPT) Tanggamus 0.85 g Tanpa pengairan 10 3.85 b 20 4.63 a 30 4.71 a 40 4.83 a Rerata 3.78
Varietas (ton/ha) Slamet Wilis 0.16 g 0.30 g 2.35 def 2.59 cde 2.85 cd 2.47 cdef 3.20 bc 1.97 ef 2.61 cde 1.72 f 2.23 1.81
Anjasmoro 0.09 g 2.61 cde 2.62 cde 2.64 cde 2.15 def 2.02
Rerata 0.35 2.85 3.14 3.13 2.83
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada semua kolom dan baris menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
Tabel 9 Pengaruh kedalaman muka air terhadap umur 50% berbunga dan umur panen Kedalaman muka air (cm DPT) 50% berbunga (hst) Tanpa pengairan 33.8 b 10 38.2 a 20 37.6 a 30 37.6 a 40 37.3 a
Umur panen (hst) 86.4 b 90.6 a 89.8 a 90.0 a 89.5 a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
28 Tabel 10 Pengaruh varietas terhadap umur 50% berbunga dan umur panen Perlakuan Varietas Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro
50% berbunga (hst)
Umur panen (hst)
37.0 a 37.7 a 36.5 b 36.3 b
90.1 a 89.8 a 88.5 b 88.6 b
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
Tanggamus
Wilis Gambar 9
Slamet
Anjasmoro
Keragaan empat varietas kedelai pada BJA di lahan pasang surut pada umur 6 MST
29
Tanpa pengairan
BJA
Gambar 10 Jumlah polong varietas Tanggamus pada BJA dan tanpa pengairan pada umur 8 MST
Pembahasan Pengaruh Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Pertumbuhan tanaman pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST menunjukkan respon yang berbeda-beda antar varietas yang diuji terhadap BJA di lahan pasang surut. Varietas Anjasmoro menunjukkan respon awal yang lebih baik. Varietas Anjasmoro merupakan tanaman tertinggi dengan jumlah daun yang berbeda tidak nyata dengan Tanggamus pada umur 4 MST. Varietas Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan awal yang sangat cepat namun mengalami penurunan hingga umur 10 MST. Varietas Slamet dan Wilis juga menunjukkan pertumbuhan yang tidak stabil pada setiap pengamatan. Pertumbuhan varietas Slamet merupakan yang paling tertekan selama masa aklimatisasi di awal pertumbuhan. Hal ini terlihat dari tinggi varietas ini yang rendah pada umur 4 MST dan merupakan tanaman tertinggi pada umur 10 MST. Pertumbuhan varietas Tanggamus lebih stabil sejak awal pertumbuhan hingga umur 10 MST yang ditunjukkan oleh peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang (Tabel 3). Menurut Ghulamahdi et al. (2006), pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Pertumbuhan semua varietas mulai berhenti pada umur 8 MST. Pada saat umur 8 MST tanaman telah berada pada fase generatif. Hal ini sesuai dengan tipe pertumbuhan keempat varietas tersebut yang tergolong dalam tipe determinit (Lampiran 4, 5, 6 dan 7).
30 Kadar hara daun yang dibutuhkan kedelai untuk pertumbuhan optimal adalah 2-5% N, 0.3-0.5% P, 1.7-2.5% K, 50-500 ppm Fe dan 21-100 ppm Mn (Marschner 1995; Small dan Ohlrogge 1973). Rendahnya kadar hara K (1.28-1.56%) dan tingginya kadar hara Mn (142.58-169.50 ppm) melampaui kadar kecukupan bagi tanaman ternyata belum mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut dengan teknologi BJA. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan serapan hara K dan Mn antar varietas yang diuji. Kekurangan K dan kelebihan Mn yang tidak terlalu jauh dari batas optimum dan adanya hara N yang memberi pengaruh nyata diduga mampu mendorong pertumbuhan tanaman. Kadar hara N merupakan satu-satunya hara yang memberi pengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan semua varietas sehingga terjadi perbedaan serapan hara daun. Marschner (1995) menyatakan bahwa nitrogen merupakan unsur hara pembentuk sebagian besar komponen tanaman seperti asam amino, sistem enzim dan bagian dari molekul klorofil. Selanjutnya Taiz dan Zeiger (1998) menyatakan bahwa legum dengan bintil akar dapat memanfaatkan gas nitrogen dari udara maupun nitrogen anorganik dari dalam tanah dalam bentuk ion amonium dan nitrat. Nitrat mula-mula direduksi menjadi nitrit oleh nitrat reduktase sedangkan gas nitrogen disemat oleh nitrogenase. Pertumbuhan dan hasil kedelai dengan BJA meningkat karena penyematan nitrogen dan pertumbuhan akar di atas muka air tanah ditingkatkan. Pola serapan hara daun tanaman kedelai yang dibudidayakan di lahan rawa pasang surut dengan BJA berbeda antar varietas yang diuji. Serapan hara N, P, K, Fe dan Mn varietas Tanggamus secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan serapan hara daun varietas lainnya namun bobot kering varietas Tanggamus nyata lebih tinggi. Serapan hara daun varietas Slamet, Wilis dan Anjasmoro juga memperlihatkan pola serapan hara yang berbeda dan spesifik. Hasil ini berbeda dengan
hasil
penelitian
sebelumnya
di
lahan
non-pasang surut
yang
menyimpulkan bahwa pola serapan hara pada semua genotipe yang diuji adalah serapan hara meningkat karena meningkatnya kadar hara daun dan bobot kering daun (Ghulamahdi 1999). Perbedaan pola serapan hara antar varietas ini diduga merupakan adaptasi genotipe kedelai terhadap lingkungan rawa pasang surut dimana varietas Tanggamus memperlihatkan adaptasi yang lebih baik.
31 Varietas Tanggamus menyerap N lebih banyak dan mampu menggunakan N secara efisien untuk meningkatkan Bobot kering tanaman. Kadar hara N pada daun varietas Tanggamus secara statistik sama dengan varietas Slamet, namun bobot kering total varietas Tanggamus nyata lebih besar dibandingkan dengan varietas Slamet. Varietas Slamet lebih banyak menggunakan hara untuk pembentukan akar dan pemanjangan batang, sementara Varietas Tanggamus menggunakannya untuk semua komponen tanaman secara merata (Tabel 3). Varietas Slamet merupakan tanaman tertinggi yaitu mencapai 91.19 cm, namun varietas Tanggamus memiliki jumlah daun dan cabang yang lebih banyak (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa jarak antar buku varietas Slamet lebih panjang dibandingkan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro lebih banyak menggunakan hara untuk pembentukan bintil akar. Varietas Wilis merupakan varietas yang paling tidak adaptif yang ditunjukkan dengan kadar hara N dan bobot kering total yang paling rendah. Jumlah daun dan cabang yang banyak pada varietas Tanggamus memberi keuntungan untuk menghasilkan polong dan pengisian polong tersebut. Irwan (2006) menyatakan bahwa tangkai bunga kedelai umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang disebut rasim. Semakin banyak cabang dengan jarak antar buku yang pendek semakin banyak pula rasim untuk munculnya bunga. Berdasarkan jumlah polong, varietas Tanggamus dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut dengan teknologi BJA. Hal ini juga dapat dilihat dari jumlah polong varietas Tanggamus yang dengan perlakuan tanpa pengairan dapat mendekati jumlah polong kedelai yang ditanam di lahan non-pasang surut, yaitu 20.56 polong (Tabel 7 dan Gambar 10). Ghulamahdi et al. (2009) menemukan bahwa dengan teknologi BJA di lahan non-pasang surut (Bogor) kedelai hanya menghasilkan 38 (Tanggamus), 49 (Slamet), 27 (Wilis) dan 18 (Anjasmoro) polong/tanaman pada kedalaman muka air yang sama. Jumlah daun dan jumlah polong yang banyak merupakan perpaduan yang menguntungkan bagi produktivitas tanaman. Daun merupakan source utama dan polong atau biji juga merupakan sink utama bagi tanaman kedelai. Marschner (1995) menyatakan bahwa keterbatasan source dan sink dapat menghambat laju pertumbuhan dan hasil suatu tanaman. Source yang lemah (sedikit) akan menyebabkan pengisian sink lambat, sebaliknya apabila source kuat (banyak)
32 namun sink lemah juga akan menyebabkan produksi biji yang rendah. Data analisis hara daun (source) dalam penelitian ini menunjukkan serapan hara Tanggamus lebih tinggi (1 100 mg N, 103 mg P2O5, dan 455 mg K2O/tanaman) dibandingkan Slamet (810 mg N, 78 mg P2O5, dan 311 mg K2O/tanaman), Wilis (645 mg N, 79 mg P2O5, dan 288 mg K2O/tanaman), dan Anjasmoro (856 mg N, 94 mg P2O5, dan 421 mg K2O/tanaman). Umur berbunga semua varietas pada BJA nyata lebih lambat (di atas 36 hst) dibandingkan tanpa pengairan (33 hst) dan produksi biji semua varietas pada BJA nyata lebih tinggi dibandingkan tanpa pengairan. Menurut Hartley et al. (1993), secara umum genotipe-genotipe yang paling memberi respon positif adalah genotipe yang memulai fase pembungaannya lambat. Menurut CSIRO (1983); Ghulamahdi et al. (1991); Ghulamahdi (2008); Ghulamahdi dan Nirmala (2008), hal ini disebabkan adanya waktu yang cukup untuk aklimatisasi sebelum masuk pada fase reproduktif. Umur 50% berbunga dan umur panen tidak memiliki korelasi secara langsung dengan produktivitas kedelai di lahan pasang surut dengan teknologi BJA (Lampiran 10) meskipun secara statistik umur 50% berbunga dan umur panen antar varietas berbeda nyata. Kondisi ini terjadi karena perbedaan umur 50% berbunga dan umur panen antar varietas hanya 1 hari. Umur 50% berbunga berkorelasi dengan jumlah daun, jumlah cabang dan jumlah polong (Lampiran 10) yang secara tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas. Hasil ini menunjukkan bahwa varietas Tanggamus merupakan varietas yang paling adaptif di lahan pasang surut sebagaimana ditunjukkan oleh produksi biji baik dengan teknologi BJA maupun tanpa pengairan. Produktivitas varietas Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan di lahan pasang surut (850 kg/ha) sama dengan produktivitas kedelai pasang surut yang ditemukan sebelumnya oleh Djayusman et al. (2001) yaitu sebesar 800 kg/ha. Alihamsyah dan Ar-Riza (2006) menyatakan bahwa varietas Tanggamus, Wilis dan Slamet merupakan varietas yang dapat beradaptasi dengan baik di lahan rawa lebak. Namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa Tanggamus lebih responsif terhadap teknologi BJA di lahan pasang surut dan diikuti oleh varietas Slamet. Hal ini juga sesuai dengan deskripsi varietas Tanggamus dan Slamet yang dirakit untuk adaptasi lahan masam (Lampiran 4 dan 5).
33 Pengaruh Kedalaman Muka Air terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Pertumbuhan dan hasil kedelai pada BJA di lahan pasang surut lebih tinggi dibandingkan tanpa pengairan (Tabel 6, 7 dan 8). Hal ini disebabkan adanya air yang stabil di bawah permukaan tanah sehingga lengas tanah dalam keadaan kapasitas lapang dan dapat menekan oksidasi pirit. Data analisis tanah yang dilakukan sebelum pengolahan tanah adalah pH (KCl) 4.4, 3.15 me/100 g Al3+, 64.5 ppm Mn, 1.19% Fe, 0.44% pirit. Adanya lapisan pirit pada kedalaman 20 cm (Gambar 8) menjadi penghambat pertumbuhan kedelai jika ditanam saat musim kering tanpa BJA. Hal ini terbukti dari pertumbuhan dan hasil yang berbeda antara BJA dengan tanpa pengairan. Penyebabnya adalah karena pada musim kering, air tanah akan turun melebihi lapisan pirit. Suriadikarta (2005) menyatakan bahwa pirit yang mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe3+). Hasil akhirnya merupakan tanah dengan reaksi masam ekstrim (pH <3.5), dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4-), besi bervalensi 2 (Fe2+), dan aluminium (Al3+). Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat, antara lain Al, Mn, Zn dan Cu sehingga bersifat toksik. Penerapan BJA akan menyebabkan pirit dalam keadaan reduktif karena sebagian ruang pori tanah diisi oleh air. Hal ini menyebabkan oksidasi pirit menjadi Fe dapat ditekan dan terhindar dari penurunan pH yang makin rendah, sementara pemberian kapur dan pupuk dapat mengatasi kekurangan unsur hara dan pH tanah yang rendah. Kadar pirit saat panen adalah 0.17% dan kadar Fe adalah 1.13% dengan pH tanah 5.3 (Lampiran 1). Pemberian kondisi jenuh air di pasang surut berbeda dengan di lahan nonpasang surut. Pemberian air di pasang surut air dimulai saat tanam, sedangkan di lahan non-pasang surut air diberikan saat tanaman berumur 2 MST. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah oksidasi pirit sejak awal pertumbuhan tanaman. Teknologi BJA mampu menciptakan komposisi aerobik-anaerobik yang seimbang sehingga akar dapat mencukupi oksigen dan air untuk pertumbuhannya dan melakukan mekanisme adaptasi terhadap jenuh air. Penelitian Ghulamahdi (1999) di lahan non-pasang surut menunjukkan bahwa kedelai yang ditanam dengan teknologi budidaya jenuh air melakukan suatu mekanisme adaptasi
34 terhadap kondisi jenuh. Tanaman akan meningkatkan kandungan asam aminosiklopropana-karboksilik akar pada lapisan yang jenuh air. Adanya oksigen pada lapisan di atas lapisan jenuh air mendorong terjadinya perubahan aminosiklopropana-karboksilik menjadi etilen di akar sehingga kandungan etilen akar meningkat. Etilen akar akan merangsang pembentukan aerenkima dan akarakar baru. Inderadewa et al. (2004) menemukan bahwa akar-akar baru tersebut akar juga meningkatkan pembentukan bintil-bintil akar, dan Ghulamahdi et al. (2006) melaporkan bahwa peningkatan pembentukan bintil akar dapat meningkatkan aktivitas nitrogenase dan serapan hara. Produksi kedelai yang tinggi pada penerapan teknologi budidaya jenuh air ini juga sesuai dengan hasil penelitian Inderadewa et al. (2004) yang menunjukkan bahwa budidaya jenuh air secara nyata meningkatkan produksi kedelai hingga 20-80% dibandingkan dengan pengairan konvensional. Hal ini terjadi karena bubidaya jenuh air menyebabkan kondisi tanah pada kapasitas lapang. Sebaliknya, teknik pengairan konvensional, sebagaimana yang diterapkan oleh petani, menyebabkan kondisi air tanah tidak stabil. Ralph (1983) menyimpulkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan BJA mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi karena mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong, dan mengalami penundaan penuaan. Menurut Sudaryono et al. (2007), kecukupan penyediaan air untuk mencapai kelengasan tanah optimal merupakan komponen budidaya kedelai yang sangat penting. Stabilitas air di bawah permukaan tanah yang terjadi dari awal pertumbuhan hingga stadia pemasakan biji dan tingginya suhu di daerah lahan pasang surut (27.7-34.4oC) menginduksi tanaman untuk mengeluarkan bunga yang banyak. Pembentukan bunga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Irwan (2006) melaporkan bahwa pada suhu yang tinggi dan kelembaban udara yang rendah, radiasi matahari akan merangsang munculnya tunas bunga menjadi bunga. Arifin (2008) juga menemukan bahwa pada suhu yang rendah, tunas lateral akan kembali menjadi tunas vegetatif dan tidak menjadi tunas bunga. Selanjutnya Purcel et al. (1997) menyimpulkan bahwa BJA harus dikombinasikan dengan suhu dan radiasi matahari yang tinggi. Kesimpulan ini dibuat berdasarkan penelitian yang
35 dilakukan di sub tropis memperlihatkan hasil yang rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di daerah tropis karena suhu dan radiasi yang lebih rendah di daerah sub tropis. Fehr et al. (1971); Garside et al. (1982), Nathanson et al. (1984); Troedson et al. (1984) menyimpulkan bahwa budidaya jenuh air juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong. Menurut Fehr et al. (1971); Nathanson et al. (1984), kondisi jenuh air yang dipertahankan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan menyebabkan tanaman tidak cepat mengalami senessen saat masa pengisian polong. Selanjutnya Garside et al. (1982); Troedson et al. (1984) menyatakan bahwa kondisi ini menyebabkan suplai asimilat dari source ke sink berlangsung lama dan akhirnya dapat meningkatkan indeks panen. Varietas Tanggamus merupakan varietas yang paling responsif terhadap perlakuan kedalaman muka air dimana jumlah daun dan jumlah cabang varietas Tanggamus dapat mencapai tiga kali jumlah daun dan jumlah cabang tanpa pengairan. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha, namun tidak nyata berbeda dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) dan 30 cm DPT (4.71 ton/ha). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm DPT akan lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan saluran dengan kedalaman 30 dan 40 cm DPT. Oleh karena itu kedalaman 20 cm DPT merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai di lahan pasang surut dengan teknologi BJA. Kedalaman muka air di lahan pasang surut ini juga dipengaruhi oleh tekstur tanah lokasi penelitian. Tanah bertekstur liat akan memegang air lebih kuat dibanding tanah yang bertekstur pasir. Tanah di lokasi penelitian bertekstur liat berdebu. Oleh karena itu kedalaman muka air pada BJA di lahan rawa pasang surut ini lebih dalam (20 cm DPT) dibandingkan dengan yang telah dilakukan di tanah dengan kadar liat yang lebih rendah. Penelitian Ghulamahdi (1999) di Bogor menunjukkan bahwa kedalaman muka air 5 cm DPT cocok digunakan untuk penerapan BJA. Tanah di Bogor memiliki tekstur pasir. Jika kedalaman muka air 5 cm DPT diterapkan di pasang surut lokasi penelitian maka tanah akan mengandung terlalu banyak air di dekat perakaran sehingga tanaman tidak mampu tumbuh dengan baik.
36 Penerapan Budidaya Jenuh Air di Lahan Rawa Pasang Surut Daerah pasang surut memiliki potensi yang besar untuk pengembangan kedelai di Indonesia jika dikelola dengan tepat. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan budidaya kedelai di pasang surut. Adanya tata air makro dan mikro mendukung penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Tata air ini dibentuk mulai dari saluran primer hingga saluran kuarter sehingga penerapan BJA untuk skala besar berada di antara saluran kuarter. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan nasional akan kedelai masih perlu dilakukan pengujian BJA dalam skala besar yang di lahan yang dibatasi oleh dua saluran sekunder dan dua saluran tersier (Gambar 11). Pengujian semacam ini akan lebih memperlihatkan pengelolaan tata air makro dan mikro yang terpadu dan stabilitas hasil pada genotipe dan teknologi budidaya yang dipilih (BJA). Menurut Lin et al. (1996), ada 3 konsep mengenai genotipe yang stabil yaitu bila ragam hasilnya lintas lingkungan kecil, bila responnya terhadap perubahan lingkungan sebanding dengan rataan respon genotipe-genotipe lainnya yang diuji, dan bila penyimpangan hasilnya dari garis regresi rataan hasil terhadap indeks lingkungan kecil. Lahan pasang surut lokasi penelitian termasuk dalam zona II menurut klasifikasi Widjaja-Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997). Saat volume air sungai relatif tetap atau berkurang di musim kemarau, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai pada bulan-bulan terkering
yaitu
bulan
Agustus-Oktober.
Salinitas
belum
mempengaruhi
pertumbuhan kedelai karena penelitian dilakukan pada musim kemarau I yaitu bulan April-Agustus 2009. Pada bulan ini air yang berada dalam saluran masih merupakan sisa air hujan, namun kadar kation dan anion air telah dipengaruhi air laut. Kation dan anion yang dominan pada air di lahan pasang surut adalah Na dan Cl. Salinitas air sangat rendah yaitu daya hantar listrik 0.493 dS/m (Tabel 2). Menurut Sunarto (2001), daya hantar listrik 2-4 mmhos/cm masih tergolong salinitas rendah dan kedelai mulai berkurang hasilnya pada tekanan osmose 7 dS/m. Oleh sebab itu perlu pengujian penerapan BJA pada musim kemarau II yaitu bulan Agustus-Nopember.
37 Keterpaduan antara varietas, teknologi budidaya dan keadaan agroekologi lokasi budidaya merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan produktivitas kedelai. Lahan pasang surut yang memiliki keterbatasan karena adanya lapisan pirit dapat menjadi lahan yang berpotensi tinggi untuk budidaya kedelai jika dilakukan dengan BJA di lahan yang memiliki kesuburan relatif baik dengan kandungan bahan organik, P2O5 dan K2O yang relatif tinggi, termasuk dalam zona pasang surut air tawar dengan daya hantar lisrik 0.5 dS/m dan tipe luapan C. 400 m SALURAN SEKUNDER SALURAN KUARTER Budidaya Jenuh Air
SALURAN KUARTER Budidaya Jenuh Air S A L U R A N T E R S I E R
SALURAN KUARTER Budidaya Jenuh Air
SALURAN KUARTER Budidaya Jenuh Air
SALURAN KUARTER Budidaya Jenuh Air
SALURA N KUARTER
S A L U R A N T E R S I E R
800 m
Budidaya Jenuh Air SALURAN KUARTER Budidaya Jenuh Air SALURAN KUARTER SALURAN SEKUNDER Gambar 11 Tata air makro dan mikro di daerah pasang surut untuk penerapan BJA
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Varietas Tanggamus menghasilkan daun, cabang, polong dan produksi biji tertinggi pada semua kedalaman muka air. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha namun berbeda tidak nyata dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) and 30 cm DPT (4.71 ton/ha).
2.
Secara teknis dan ekonomis, kedalaman muka air 20 cm DPT dan varietas Tanggamus merupakan kedalaman muka air dan varietas yang paling cocok untuk budidaya kedelai di lahan rawa pasang surut.
Saran Budidaya jenuh air dapat diterapkan dalam pengembangan teknologi budidaya di lahan rawa pasang surut dengan tipe luapan C untuk meningkatkan produksi kedelai nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah T, Ar-Riza I. 2006. Teknologi pemanfaatan lahan rawa lebak. Di dalam: Suriadikarta DA, Kurnia U, Suwanda MH, Hartatik W, Setyorini D, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Ed ke-1. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 181201. Arifin. 2008. Respon tanaman kedelai terhadap lama penyinaran. Agrivita 30(1): 61-66. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Palawija di Indonesia. www.bps.go.id [19 Maret 2010]. Banyuasin. 2010. Letak geografis banyuasin. www.banyuasin.go.id [5 Mei 2010]. [CSIRO] Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation. 1983. Soybean response to controlled waterlodging. Di dalam: Lehane R, editor. Rural Research. The Science Communication of CSIRO’s Beaureau of Scientific Services. hlm 4-8. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2008. Rencana aksi percepatan peningkatan produksi kedelai tahun 2008. Pertemuan teknis penanaman kedelai. Jakarta. 17 hlm. Djayusman M, Suastika IW, Soelaeman Y. 2001. Refleksi pengalaman dalam pengembangan sestem usaha pertanian di lahan pasang surut, Pulau Rimau. Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor, Juni 2001. Fehr WR, Cavines CE, Burmood DT, Pennington JS. 1971. Stage of development descriptions for soybeans Glycine max (L.) Merill. Crop Sci., 11: 929-931. Garside AL, Lawn RJ, Byth DE. 1982. Irrigation Management of Soybean (Glycine max (L.) Merill) in a Semi-arid Tropical Environment. III. Response to Saturated Soil Culture. Aust. J. Agric. Res., 43: 1019-1032. Ghulamahdi M, Rumawas F, Wiroatmojo J, Koswara J. 1991. Pengaruh pemupukan fosfor dan vari terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai pada budidaya jenuh air. Forum pasca Sarjana, 14(1): 25-34. Ghulamahdi M. 1999. Perubahan fisiologi tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada budidaya tadah hujan dan jenuh air. Disertasi. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian. Bogor.
40 Ghulamahdi M, Aziz SA, Melati M, Dewi N, Rais SA. 2006. Aktivitas nitrogenase, serapan hara dan pertumbuhan dua varietas kedelai pada kondisi jenuh air dan kering. Bul. Agron., 34(1):32-38. Ghulamahdi M. 2008. Pengaruh genotip dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai panen muda pada budidaya jenuh air. J. Agripeat, 9(2):49-54. Ghulamahdi M, Nirmala E. 2008. Pengaruh waktu pemetikan dan genotip terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai pada budidaya jenuh air. Anterior Jurnal, 8(1):6-13. Ghulamahdi M, Melati M, Murdianto. 2009. Penerapan teknologi budidaya jenuh air dan penyimpanan benih kedelai di lahan pasang surut. Laporan akhir program insentif tahun 2009. Kementrian Negara Riset dan Teknologi. Hartley RA, Lawn RJ, Byth DE. 1993. Genotypic Variation in Growth and Seed Yield of Soybean [Glycine max (L.) Merr.] in Saturated Soil Culture. Aust. J. Agric. Res., 44: 689-702. Hunter MN, De Fabrun PLM, Byth DE. 1980. Response of Nine Soybean Line to Soil Moisture Conditions Close to Saturation. Austral. J.Exp. Agric. Anim. Husb., 20: 339-345. Inderadewa D, Sastrowinoto S, Notohadiswarno S, Prabowo H. 2004. Metabolisme nitrogen pada tanaman kedelai yang mendapat genangan dalam parit. Ilmu Pertanian, 2: 68-75. Irwan AW. 2006. Budidaya tanaman kedelai (Glycine max (l.) Merill). Jatinangor: Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Unpad. 40 hlm. Konsten CJM, Suping S, Aribawa IB, Widjaja-Adhi IPG. 1990. Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and Central Kalimantan, Indonesia. Di dalam: Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO. hlm 109-135. Lawn B. 1985. Saturated Soil Culture Expanding the Adaptation of Soybeans. Food Legumes Newsletter, 3: 2-3. Lin SC, Binns MR, Lafkovitch LP. 1996. Stability analysis, where do we tand. Crop Sci., 26: 894-900. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. London. Academic Press. hlm 229-369. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. Bogor. IPB Press.
41 Nathanson K, Lawn R L, De Fabrun PLM, Byth DE. 1984. Growth, nodulation and nitrogen accumulation by soybean in saturated soil culture. Field Crops Res., 8: 73-92. Noor M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suastika IW, Sutriadi MT. 2001. Pengaruh Perbaikan Tata Air Mikro terhadap Kualitas Air Tanah dan Hasil Tanaman. Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitin dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Juni 2001. [PUSDATARAWA] Pusat Data - Informasi Daerah Rawa & Pesisir. 2006. Manajemen air & lahan rawa pasang surut. http://www.pusdatarawa.or.id/wp-content/uploads/2010/01/LWMTL.pdf [5 Mei 2010]. Purcell LC, Vories ED, Pounce PA, King CA. 1997. Soybean growth and yield response to saturated soil culture in a temperate environment. Field Crops Research, 49, 205-213. Ralph W. 1983. Soybean Response to Controlled Waterlodging. Rural Res., 120: 4-8. Sabran M, William E, Saleh M. 2000. Pengujian galur kedelai di lahan pasang surut. Bul. Agron: 28(2) 41-48. Small HG, Ohlrogge AJ. 1973. Plant analysis as an aid in fertilizing soybean and peanuts. Di dalam: Walsh LM, Beaton JD, editor. Soil testing and plant analysis. Edisi Revisi. Madison: Soil Science Society of America. hlm 315327. Somaatmadja et al. 1985. Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 509 hal. Suastika IW, Ismail IG. 1992. Budidaya Tanaman Pangan di Daerah Pasang Surut. Di dalam: Partohardjono S, Syam M, editor. Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Di lahan Rawa Pasang Surut Dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Suastika IW, Sutriadi MT. 2001. Pengaruh Perbaikan Tata Air Mikro terhadap Kualitas Air Tanah dan Hasil Tanaman. Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumater Selatan. Badan Penelitin dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Juni 2001.
42 Subagyo H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. h. 17-55. Di dalam: A.S. Karama et al., editor. Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta, 2527 Juni 1996. Subagyo H. 2006a. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa. Di dalam: Suriadikarta, D.A., U. Kurnia, Mamat H.S., W. Hartatik, D. Setyorini, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Ed ke-1. Bogor: Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm 1-22. Subagyo H. 2006b. Lahan Rawa Pasang Surut. Di dalam: Suriadikarta, D.A., U. Kurnia, Mamat H.S., W. Hartatik, D. Setyorini, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Ed ke-1. Bogor: Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm 23-98. Sudaryanto T, Swastika DKS. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto dan Kasim H, Editor. Kedelai – Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. hlm 1-27. Sudaryono, Taufiq A, Wijanarko A. 2007. Peluang peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto dan Kasim H, Editor. Kedelai – Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. hlm 130-167. [SUMSEL] Sumatera Selatan. 2010. Sumatera Selatan. www.sumsel.go.id [5 Mei 2010]. Sunarto. 2001. Toleransi kedelai terhadap tanah salin. Bul. Agron., 29(1), 27-30. Suriadikarta DA. 2005. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam untuk Usaha Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 36-45. Suriadikarta DA, Sjamsidi G. 2001. Teknologi peningkatan produktivitas tanah sulfat masam. Laporan akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah dan Iklim. Suyamto et al. 2007. Pengelolaan tanaman terpadu padi lahan rawa pasang surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 37 hlm. Taiz L, Zeiger E. 1998. Plant Physiology. Ed ke-2. Massachucetts: Sinauer Associates Inc. Publ. hlm 259-282.
43 Taufik A, Kustyastuti H, Mansuri AG. 2004. Pemupukan dan ameliorasi lahan kering masam untuk peningkatan produktivitas kedelai. Prosiding lokakarya pengembangan kedelai melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu di lahan kering masam. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, 30 September 2004. hlm 21-40. Tampubolon B. 1988. Pengaruh Penggenangan pada Berbagai Fase Pertumbuan Kedelai (Glycine max L.) terhadap Pertumbuhan dan Produksi [tesis]. Bogor. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Troedson RJ, Lawn RJ, Byth DE, Wilson GL. 1984. Nitrogen Fixation by Soybean in Saturated Soil. Austral. Legume Nodulation Conf. Sidney. Troedson RJ, Garside AL, Lawn RJ, Byth DE, Wilson GL. 1984. Saturated soil culture-an innovative water management option for soybean in the tropics and subtropics. Di dalam: Shanmugasundaram S and Sulzberger EW, Editor. Soybean in Tropical and Subtropical Cropping Systems. Proc. of a Symp. Tsukuba. Japan. hlm 171–180. Widjaja-Adhi IPG, Nugroho K, Suriadikarta DA, Karama A.S. 1992. Sumberdaya Lahan Rawa: Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Didalam: Partohardjono, S. dan M. Syam, editor. Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Di lahan Rawa Pasang Surut Dan Lebak. Cisarua 3-4 Maret 1992. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Widjaja-Adhi IPG. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
44 Lampiran 1 Data analisis tanah saat panen Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Rerata
P2O5 (Bray 1) (ppm) 185.60 193.60 180.00 196.90 186.50 179.50 214.80 221.70 178.90 191.10 193.70 190.00 199.90 206.10 200.10 195.20 194.60
K2O (Morgan) (ppm) 69.70 43.40 40.10 63.10 82.10 54.80 20.30 66.50 59.10 49.30 30.40 38.50 79.90 25.40 49.90 38.30 50.68
Mn (ppm)
S (%)
Fe (%)
Pirit (%)
110.00 103.00 106.00 110.00 108.00 166.00 191.00 161.00 114.00 88.00 104.00 98.00 153.00 103.00 112.00 116.00 121.44
0.07 0.09 0.11 0.10 0.07 0.08 0.09 0.08 0.09 0.10 0.09 0.09 0.09 0.10 0.09 0.10 0.09
1.03 1.07 1.04 1.08 1.01 1.09 1.03 1.08 1.04 1.17 1.20 1.27 1.18 1.21 1.36 1.19 1.13
0.14 0.17 0.21 0.19 0.13 0.16 0.18 0.15 0.17 0.18 0.16 0.18 0.17 0.19 0.17 0.18 0.17
pH
5.3
45 Lampiran 2 Data curah hujan (mm/hari) daerah penelitian Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah
JAN 3.2 1.9 17.6 4.0 18.8 0.8 37.3 TTU 4.5 2.8 TTU 8.0 4.3 2.6 0.4 1.4 TTU -
FEB 42.1 0.3 12.4 TTU 0.7 4.3 0.4 TTU 12.4 2.9 1.3 0.5 14.0 6.8 7.1
4.0 30.7 3.4 10.7 19.1 2.7 12.9 191.1
13.1 12.8 1.7 20.3 0.4
153.5
MAR 9.3 11.0 7.3 33.8 0.4 64.4 61.0 43.8 9.0 44.7 26.4 70.7 16.5 0.8 1.4 10.8 36.0 65.0 0.5 TTU 4.5 TTU 1.5 42.5 560.8
APR
MEI
19.6 59.3 24.6 45.3 9.0 TTU 0.5 0.3 41.7 31.1 TTU TTU 8.0 0.8 -
TTU 8.9 TTU 0.8 4.7 7.3 0.5 2.5 1.7 6.6 0.3 19.1 -
17.0 -
52.4
257.2
JUN 5.7 1.0 21.6 5.0 TTU 0.2 56.0 1.2 16.9 TTU 0.8 6.9 0.6 71.6 1.0 189.5
JUL TTU 21.1 3.5 0.8 TTU TTU TTU 2.9 TTU 28.3
AGT TTU 2.9 1.6 11.7 3.0 TTU 0.3 2.2 9.5 8.4 -
39.6
Keterangan: - Pengukuran curah hujan dilakukan setiap jam 07.00 WIB - Hujan ringan jika intensitas 5 – 20 mm/hari - Hujan sedang jika intensitas 20 – 25 mm/hari - Hujan lebat jika intensitas 50 – 100 mm/hari - Hujan sangat lebat jika intensitas >100 mm/hari - TTU = hujan tidak terukur (curah hujan < 0.1 mm/hari)
SEP
46 Lampiran 3 Data suhu udara maksimum (oC) daerah penelitian Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Max Min rerata
JAN 30.9 31.2 32.4 30.4 30.8 28.8 28.9 28.0 30.2 29.4 31.1 30.8 33.0 27.6 30.8 30.1 29.2 31.0 30.4 30.0 30.8 32.3 32.5 32.8 28.7 29.2 30.3 32.0 30.3 31.2 29.8 33.0 27.6 30.6
FEB 29.2 30.2 29.8 29.4 31.4 30.9 31.2 30.5 30.8 31.0 29.8 31.8 32.5 33.6 33.0 32.0 31.4 30.4 31.0 29.5 31.8 31.0 29.4 30.5 30.8 31.7 32.0 31.6
33.6 29.2 31.1
MAR 33.8 32.9 33.0 33.0 30.8 33.4 29.2 32.3 33.2 29.9 33.5 31.2 32.8 31.2 28.8 32.4 33.2 33.8 30.6 33.5 31.2 32.2 33.4 30.4 33.7 31.7 32.4 336 33.5 30.1 30.5 33.8 28.8 32.2
APR 32.6 32.6 31.2 31.6 32.4 31.3 32.8 31.6 32.8 33.4 33.2 32.6 32.4 33.6 33.2 30.6 34.2 34.6 32.5 34.0 32.6 33.5 29.4 33.8 33.6 34.3 33.3 34.0 33.6 34.6 34.6 29.4 32.9
MEI 33.4 32.4 33.4 32.8 33.1 33.2 33.8 32.7 31.6 32.8 27.0 32.8 33.6 31.8 33.3 33.2 32.6 29.4 32.8 31.6 33.2 33.9 33.9 33.8 33.8 34.2 33.6 34.2 34.4 34.0 33.4 34.4 27.0 32.9
JUN 33.8 34.0 32.6 31.4 33.7 34.6 33.4 32.0 33.4 34.0 34.4 31.0 33.7 33.0 33.6 30.2 33.2 31.9 32.8 33.1 32.8 32.6 33.3 32.6 32.4 32.6 32.6 33.0 32.0 31.4 34.6 30.2 32.9
JUL 32.2 30.4 31.0 32.6 33.4 32.6 30.4 31.3 33.0 33.0 31.8 32.8 31.7 31.8 32.6 33.2 33.2 32.6 33.4 32.4 33.6 32.8 33.2 33.2 32.7 30.6 32.1 33.7 32.8 32.7 32.8 33.7 30.4 32.5
AGT 33.4 32.6 33.0 33.0 33.9 33.6 33.5 34.2 32.9 31.3 32.8 34.3 34.4 33.5 33.9 32.2 31.8 34.0 32.4 33.4 33.7 33.0 33.3 33.6 33.1 32.6 33.3 33.6 34.1 33.6 34.2 34.4 31.3 33.3
SEP 34.0 33.5 33.8 33.5 34.3 34.0 33.8 34.2 34.1 34.0 34.1 35.3 34.6 34.3 31.6 32.7 30.4 32.9 33.8 34.6 34.1 35.1 34.4 34.2 35.6 36.2 35.0 33.5 34.1 36.2 30.4 34.1
47 Lampiran 4 Deskripsi varietas Tanggamus Nomor asal
: K3911-66
Asal
: Persilangan tunggal (singlecross) antara kerinci x No.3911
Warna hipolotil
: Ungu
Warna epikotil
: Hijau
Warna daun
: Hijau
Warna biji
: Kuning
W. kulit polong masak
: Coklat
Warna bulu
: Coklat
Tipe pertumbuhan
: Determinate
Tinggi tanaman
: 67 cm
Umur mulai berbunga
: 35 hari
Umur polong masak
: 88 hari
Kerebahan
: Tahan
Bobot 100 biji
: 11 g
Kandungan protein
: 44%
Kandungan lemak
: 12.9%
Rata-rata hasil
: 1.7 ton/ha
Ketahanan penyakit
: Toleran penyakit karat
Keterangan
: Wilayah adaptasi lahan masam
Pemulia
: Darman M. Arsyad, M. Muchlish Adie, Heru, Kuswantoro, Purwantoro
Tahun dilepas
: 2001
Sumber
: Balitbang Deptan (2009)
48 Lampiran 5 Deskripsi varietas Slamet Nomor asal
: T33 (Unsoed 1)
Asal
: Persilangan Dempo x wilis
Warna hipolotil
: Ungu
Warna epikotil
: Ungu
Warna daun
: Hijau
Warna biji
: Kuning
W. kulit polong masak
: Coklat
Warna bulu
: Coklat
Tipe pertumbuhan
: Determinate
Tinggi tanaman
: 65 cm
Umur mulai berbunga
: 37 hari
Umur polong masak
: 87 hari
Kerebahan
: Tahan
Bobot 100 biji
: 12.5 g
Kandungan protein
: 34%
Kandungan lemak
: 15%
Rata-rata hasil
: 2.26 ton/ha
Ketahanan penyakit
: Agak tahan penyakit karat
Keterangan
: Sesuai untuk lahan masam
Pemulia
: Sunarto, Noor Farid, dan Suwarto
Tahun dilepas
: 1995
Sumber
: Balitbang Deptan (2009)
49 Lampiran 6 Deskripsi varietas Wilis Nomor asal
: B 3034
Asal
: seleksi keturunan persilangan orba x n0.1682
Warna hipolotil
: Ungu
Warna epikotil
: Ungu
Warna daun
: Hijau
Warna, bentuk biji
: Kuning, oval, agak pipih
W. Kulit polong masak : Coklat tua Warna bulu
: Coklat tua
Tipe pertumbuhan
: Determinate
Tinggi tanaman
: 60 cm
Umur mulai berbunga
: 39 hari
Umur polong masak
: 88 hari
Kerebahan
: Tahan
Bobot 100 biji
: 10 g
Kandungan protein
: 37%
Kandungan lemak
: 18%
Rata-rata hasil
: 1.6 ton/ha
Ketahanan penyakit
: Toleran penyakit karat dan virus
Keterangan
: Polong tua tidak mudah pecah
Pemulia
: Sumarno, Darman M. Arsyad, Rodiah, Ono Sutrisno
Tahun dilepas
: 1983
Sumber
: Balitbang Deptan (2009)
50 Lampiran 7 Deskripsi varietas Anjasmoro Asal
: Seleksi massa dari populasi galur murni
Warna hipolotil
: Ungu
Warna epikotil
: Ungu
Warna daun
: Hijau
Warna bunga
: Ungu
Warna biji
: Kuning
W. kulit polong masak
: Coklat muda
Warna bulu
: Putih
Warna hilum
: Kuning kecoklatan
Tipe pertumbuhan
: Determinate
Bentuk daun
: Oval
Ukuran daun
: Lebar
Perkecambahan
: 78 – 76%
Tinggi tanaman
: 64 - 68 cm
Jumlah cabang
: 2.9 – 5.6
Jumlah buku btg utama : 12.9 – 14.8 Umur berbunga
: 35.7 – 39.4 hari
Umur polong masak
: 82.5 – 92.5 hari
Kerebahan
: Tahan
Bobot 100 biji
: 14.8 – 15.3 g
Kandungan protein
: 41.78 – 42.05%
Kandungan lemak
: 17.12 – 18.6%
Rata-rata hasil
: 2.25 – 2.03 ton/ha
Ketahanan karat daun
: Sedang
Ketahanan pecah polong : Tahan Pemulia
: Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaluddin M, Darman M. Arsyad, M. Muchlish Adie
Tahun dilepas
: 2001
Sumber
: Balitbang Deptan (2009)
51 Lampiran 8 Rekapitulasi analisis sidik ragam data sebelum panen Peubah 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST N P K Fe Mn Batang Daun Bintil akar Akar Total N P K Fe Mn
P Value Kedalaman muka air Varietas Tinggi tanaman 0.0815tn 0.0001* tn 0.1451 0.0003* 0.6203tn 0.0001* 0.6359tn 0.0001* Jumlah daun tn 0.3741 0.0004* 0.5233tn 0.0001* Jumlah cabang 0.6029tn 0.0001* 0.7415tn 0.0001* Kadar hara daun 0.7110 tn 0.0242* tn 0.3848 0.1536 tn tn 0.5410 0.2022 tn tn 0.7328 0.0653 tn 0.6325 tn 0.1841 tn Bobot kering 0.6650tn 0.4029tn tn 0.6083 0.0002* 0.9173tn 0.0371* tn 0.4998 0.0150* 0.6647tn 0.0263* Serapan hara daun 0.6551tn 0.0001* tn 0.3356 0.0609tn 0.5504tn 0.0066* 0.7731tn 0.1308tn 0.6566tn 0.0032*
Interaksi 0.2214tn 0.3024tn 0.5540tn 0.4188tn 0.1032tn 0.2876tn 0.6556tn 0.3591tn 0.2988 tn 0.7978 tn 0.9014 tn 0.5587 tn 0.6909 tn 0.6615tn 0.5506tn 0.3514tn 0.9297tn 0.7129tn 0.6006tn 0.8708tn 0.7033tn 0.3893tn 0.7553tn
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 5% tn berpengaruh tidak nyata pada taraf 5%
Lampiran 9 Rekapitulasi analisis sidik ragam data saat panen Peubah Tinggi tanaman Jumlah daun 8 MST Jumlah cabang Jumlah polong/tanaman Produktivitas Umur 50% berbunga Umur panen
Kedalaman muka air 0.0001* 0.0001* 0.0001* 0.0001* 0.0001* 0.0500* 0.0001tn
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 5% tn berpengaruh tidak nyata pada taraf 5%
P Value Varietas 0.0001* 0.0001* 0.0001* 0.0001* 0.0001* 0.0001* 0.0015*
Interaksi 0.0487* 0.0001* 0.0206* 0.0948tn 0.0019* 0.0827tn 0.6344tn
52 Lampiran 10 Korelasi antar peubah yang diamati Tinggi tanaman Jumlah daun 0.070 tn Jumlah cabang 0.256 tn Jumlah polong 0.343 * Produktivitas -0.001 tn Umur 50% berbunga 0.264 tn Umur panen 0.000 tn Bobot kering batang 0.431* Bobot kering daun 0.146 tn B.K. bintil akar -0.271 tn Bobot kering akar 0.284* Bobot kering total 0.303* Serapan N 0.263 tn Serapan P 0.129 tn Serapan K 0.179 tn Serapan Fe -0.173 tn Serapan Mn 0.195 tn Kadar N 0.390* Kadar P -0.118 tn Kadar K 0.084 tn Kadar Fe -0.234 tn Kadar Mn 0.149 tn
Jumlah daun
Jumlah cabang
Jumlah polong
0.798* 0.766* 0.796* 0.349* 0.192 tn 0.048 tn 0.309 * -0.187 tn 0.393 * 0.183 tn 0.336* 0.116 tn 0.107 tn -0.047 tn 0.254 tn 0.253 tn -0.284* -0.069 tn -0.190 tn 0.094 tn
0.851* 0.759* 0.463* 0.065 tn 0.248 * 0.429 * -0.155 tn 0.438 * 0.346* 0.440* 0.265 tn 0.235 tn 0.004 tn 0.300 * 0.279 tn -0.219 tn -0.009 tn -0.146 tn 0.033 tn
0.74* 0.490* -0.032 tn 0.356* 0.540* -0.110 tn 0.450 * 0.455* 0.547* 0.337* 0.372* 0.034 tn 0.404* 0.317* -0.277* 0.076 tn -0.155 tn 0.085 tn
Produktivitas
0.278 tn 0.212 tn 0.244 tn 0.540* 0.042 tn 0.482* 0.407* 0.523* 0.336* 0.336* 0.195 tn 0.460* 0.237 tn -0.285* 0.041 tn 0.009 tn 0.136 tn
Lampiran 10 Korelasi antar peubah yang diamati (lanjutan)
Umur panen Bobot kering batang Bobot kering daun B.K. bintil akar Bobot kering akar Bobot kering total Serapan N Serapan P Serapan K Serapan Fe Serapan Mn Kadar N Kadar P Kadar K Kadar Fe Kadar Mn Ket:
Umur 50% berbunga 0.317* 0.021tn 0.056 tn -0.196 tn 0.164 tn 0.039 tn 0.039 tn -0.141 tn -0.073 tn -0.177 tn -0.038 tn 0.004 tn -0.382* -0.189 tn -0.209 tn -0.118 tn
Umur panen -0.186 tn -0.082 tn -0.011 tn 0.215 tn -0.115 tn -0.052 tn -0.132 tn -0.157 tn 0.115 tn -0.144 tn 0.044 tn -0.133 tn -0.120 tn 0.095 tn -0.180 tn
Bobot kering batang
Bobot kering daun
B.K. bintil akar
0.839* 0.207 tn 0.640* 0.961* 0.837* 0.724* 0.794* 0.373* 0.794* 0.383* -0.108 tn 0.382* 0.052 tn 0.322*
0.290* 0.678* 0.952* 0.937* 0.822* 0.812* 0.432* 0.805* 0.311* -0.150 tn 0.286* 0.062 tn 0.171 tn
0.054 tn 0.294* 0.191 tn 0.246 tn 0.256 tn 0.618* 0.231 tn -0.130 tn 0.024 tn 0.138 tn 0.536* 0.045 tn
angka yang tertera dalam sel adalah nilai korelasi Pearson, * ada korelasi yang nyata pada taraf 5%, tn tidak ada korelasi yang nyata pada taraf 5%
53 Lampiran 10 Korelasi antar peubah yang diamati (lanjutan)
Bobot kering total Serapan N Serapan P Serapan K Serapan Fe Serapan Mn Kadar N Kadar P Kadar K Kadar Fe Kadar Mn
Bobot kering akar 0.725* 0.655* 0.525* 0.549* 0.269tn 0.560* 0.250 tn -0.144 tn 0.209 tn -0.005 tn 0.124 tn
Bobot kering total 0.916* 0.798* 0.833* 0.442* 0.830* 0.352* -0.133 tn 0.352* 0.083 tn 0.258 tn
Serapan N
Serapan P
Serapan K
0.859* 0.866* 0.378* 0.823* 0.613* -0.021 tn 0.446* 0.025 tn 0.266 tn
0.839* 0.320* 0.712* 0.458* 0.408* 0.504* 0.013 tn 0.196 tn
0.318* 0.805* 0.520* 0.118 tn 0.774* 0.033 tn 0.356*
Lampiran 10 Korelasi antar peubah yang diamati (lanjutan)
Serapan Mn Kadar N Kadar P Kadar K Kadar Fe Kadar Mn Ket:
Serapan Fe 0.353* 0.054tn -0.106 tn 0.095 tn 0.890* 0.080 tn
Serapan Mn
Kadar N
Kadar P
Kadar K
Kadar Fe
0.418* -0.090 tn 0.458* 0.058 tn 0.708*
0.232 tn 0.576* -0.062 tn 0.334*
0.364* -0.060 tn -0.012 tn
0.009 tn 0.394*
0.020 tn
angka yang tertera dalam sel adalah nilai korelasi Pearson. * ada korelasi yang nyata pada taraf 5%, tn tidak ada korelasi yang nyata pada taraf 5%