PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PADA KEDALAMAN MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT
SYAFINA PUSPARANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan dan Hasil Kedelai pada Kedalaman Muka Air dan Lebar Bedengan di Lahan Mineral dan Mineral Bergambut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016
Syafina Pusparani NIM A252124061
RINGKASAN SYAFINA PUSPARANI. Pertumbuhan dan Hasil Kedelai pada Kedalaman Muka Air dan Lebar Bedengan di Lahan Mineral dan Mineral Bergambut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan EKO SULISTYONO. Salah satu lahan marginal di Indonesia adalah lahan pasang surut yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Faktor pembatas pada lahan pasang surut antara lain adanya lapisan pirit, tinggi muka air, bahan organik, kemasaman tanah dan status unsur hara dalam tanah. Budidaya jenuh air merupakan salah satu teknik budidaya yang tepat untuk diterapkan pada lahan pasang surut, karena dapat mencegah oksidasi pirit dan menjaga kelembaban tanah selama masa pertumbuhan tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan membandingkan respon dari pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai dengan budidaya jenuh air di lahan mineral dan mineral bergambut. Penelitian dilakukan pada lahan mineral bergambut dan mineral di Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia pada bulan April hingga September 2014. Penelitian menggunakan rancangan Split-Plot dengan tiga ulangan. Petak utama adalah kedalaman muka air tanah yang terdiri dari 2 taraf yaitu 10 dan 20 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri dari 4 taraf yaitu 2, 4, 6 dan 8 m. Lebar bedengan 4 m tidak berbeda nyata dengan lebar 8 m, sedangkan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah memberikan produktivitas tertinggi pada lahan mineral. Kedalaman muka air hanya berpengaruh pada fase vegetatif, sedangkan perlakuan lebar bedengan 6 m bedengan nyata memberikan produktivitas kedelai terbaik pada lahan mineral bergambut. Pertumbuhan dan produktivitas kedelai di lahan mineral lebih baik dibandingkan pada mineral bergambut. Kata kunci: Glycine max (L.) Merr., tipe luapan, pirit, pasang surut, jenuh air
SUMMARY SYAFINA PUSPARANI. Response of Soybean Growth and Yield under Various Water Depth and Bed Width on Mineral Soil and Peaty Mineral Soil. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI and EKO SULISTYONO. One of marginal land in Indonesia is tidal swamp, which is potential for agriculture. Limitation factors in tidal swamps are pyrite layer, water table, organic matter, soil acidity and nutrients status. Saturated soil culture (SSC) is one of cultivation technologies that suitable on tidal swamps, because it can prevent pyrites oxidation and mantains soil moisture during plant growth. This research aimed to study the effect of water depth and bed width under soil culture on growth. The experiment was held on two soil types, they were peaty mineral and mineral soil in Tanjung Lago, Banyuasin District, South Sumatera Province, Indonesia from April to September 2014. The experiment was arranged in a split plot design with three replications. The main plot of the experiment was water table depth consisted of 10 and 20 cm below soil surface. The sub plot was bed widths consisted of 2, 4, 6 and 8 m. The result of the experiment showed that on mineral soil, the bed width on 4 m as same as 8 m and 20 cm water depth below soil surface gave the highest yield. Meanwhile, on peaty mineral soil, the 20 cm water depth below soil surface affected on vegetative phase only and 6 m of bed width showed the highest yield. The soybean growth and yield on mineral was higher than those on peaty mineral soil.
Keywords: Glycine max (L.) Merr., overflow, pyrite, saturated soil culture, tidal swamps
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PADA KEDALAMAN MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT
SYAFINA PUSPARANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Iskandar Lubis, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul Pertumbuhan dan Hasil Kedelai pada Kedalaman Muka Air dan Lebar Bedengan di Lahan Mineral dan Mineral Bergambut semoga dapat bermanfaat bagi pengelolaan lahan pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi MS dan Bapak Dr Ir Eko Sulistyono selaku pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Dr Ir Iskandar Lubis, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan masukan terhadap penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura 2012 dan 2013 atas segala kebersamaan dan dukungannya. Penulis juga ungkapan terima kasih kepada Bapak/Ibu Wakidi dan Bapak/Ibu Suaji yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan adik, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Syafina Pusparani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian
1 1 2 2 2 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanah Mineral dan Mineral bergambut pada lahan pasang surut Budidaya Jenuh Air Varietas Kedelai Toleran Masam
3 3 5 7
3 METODE Tempat dan Waktu Bahan Alat Analisis Data Prosedur Percobaan
8 8 8 8 8 9
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral Bergambut Perbandingan antara Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di kedua lahan Pasang Surut
11 11 13 18
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
25 25 25 25
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
43
23
DAFTAR TABEL 1 Hasil analisis tanah awal kedua lahan penelitian 2 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral 3 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral 4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral 5 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral 6 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai di lahan mineral 7 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral bergambut 8 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral bergambut 9 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral bergambut 10 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral bergambut 11 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai di lahan mineral bergambut 12 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai di lahan mineral bergambut (lanjutan) 13 Perbandingan pertumbuhan dan hasil kedelai di kedua lahan pasang surut
12 13 14 16 17 17 19 20 21 21 22 22 23
DAFTAR GAMBAR 1 Lahan pasang surut berdasarkan aspek hidrotopografi 2 Skematis pembagian tanah pasang surut berdasarkan kedalaman pirit dan ketebalan gambut 3 Tanah dengan pirit teroksidasi (kiri) tanah mineral bergambut (tengah) dan tanah mineral (kanan) 4 Denah penelitian pada kedua lahan pasang surut 5 Perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan) 6 Lapisan pirit di lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan) 7 Kedelai 9 MST pada perlakuan kedalaman muka air 10 (kiri) dan 20 cm (kanan) di lahan mineral 8 Aklimatisasi kedelai 3 MST di lahan mineral bergambut 9 Kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan) di bawah permukaan lahan mineral bergambut 10 Tanaman kedelai umur 9 MST lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan)
3 4 6 9 9 13 15 18 19 24
DAFTAR LAMPIRAN 1. Data curah hujan (mm/hari) daerah penelitian 2. Data suhu udara rata-rata (oC) daerah penelitian 3. Deskripsi varietas Tanggamus 4. Kriteria penilaian hasil analisis tanah 5. Rekapitulasi analisis sidik ragam data lahan mineral 6. Rekapitulasi analisis sidik ragam data lahan mineral bergambut 7. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral 8. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral (lanjutan) 9. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral bergambut 10. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral bergambut (lanjutan)
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Data dari Badan Pusat Statistik (2015), menunjukkan produksi kedelai pada tahun 2012 di Indonesia mencapai 843.15 ribu ton biji kering dan tahun 2013 sebesar 780.16 ribu ton biji kering sehingga mengalami penurunan 63 ribu ton biji kering. Luasan panen tahun 2013 sebesar 550.79 hektar, sedangkan luasan panen tahun 2012 sebesar 567.62 hektar mengalami penurunan 17 ribu hektar. Produktivitas kedelai tahun 2012 sebesar 1.85 t ha-1 sedangkan pada tahun 2013 yaitu sebesar 1.46 t ha-1 yang mengalami penurunan sebesar 0.39 t ha-1. Noor (2014) menambahkan, upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kedelai nasional adalah dengan perluasan lahan dan pemanfaatan lahan marjinal yang ada di Indonesia, salah satunya adalah lahan rawa pasang surut. Potensi lahan rawa pasang surut sangat luas diperkirakan seluas 24.7 juta ha dengan luas 9.53 juta ha sesuai untuk pertanian. Menurut Noor (2014), lahan rawa pasang surut ditinjau dari aspek tanahnya dibagi menjadi tanah sulfat masam, tanah gambut, tanah potensial dan tanah salin. Penerapan dan pengembangan teknologi pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas kedelai nasional. Teknologi pertanian yang dapat diterapkan pasa lahan rawa pasang surut yaitu dengan penggunaan varietas adaptif yang dikombinasikan dengan teknologi perbaikan kesuburan tanah (Purwantoro et al. 2009). Penerapan perbaikan kesuburan tanah yang sesuai untuk diterapkan di lahan rawa pasang surut salah satunya adalah budidaya jenuh air (BJA). Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi secara terus menerus dan membuat tinggi muka air tanah tetap (sekitar 5 cm di bawah permukaan tanah) sehigga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. (Sagala 2010) menambahkan, pemberian air irigasi pada tanah sulfat masam dilakukan sejak awal tanam untuk menghindari terjadinya oksidasi pirit yang terdapat pada lahan rawa pasang surut. Pengaturan tinggi muka air yang tetap pada budidaya jenuh air dapat menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Nathanson et al. 1984). Budidaya jenuh air (BJA) sebagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan pada budidaya kedelai sehingga tanaman mampu memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan produksi dibandingkan budidaya dengan pemberian irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai (Hunter et al. 1980; Nathanson et al. 1984; Treodson et al. 1984 dan Sumarno 1986). Kedelai varietas Tanggamus merupakan salah satu varietas kedelai yang memiliki kemampuan beradaptasi pada tanah masam dengan penerapan budidaya jenuh air di lahan sulfat masam. Produktivitas kedelai varietas Tanggamus tanpa perbaikan kesuburan tanah di lahan sulfat masam tanpa pengairan hanya mencapai 850 kg ha-1 (Sagala 2010), sedangkan dengan penerapan budidaya jenuh air di lahan sulfat masam mampu mencapai 4.51 t ha-1 biji kering (Ghulamahdi 2009). Lahan sulfat masam yang digunakan pada penelitian ini meliputi tanah mineral dan tanah mineral bergambut. Penelitian mengenai perlakuan lebar bedengan dengan kedalaman muka air sudah dilakukan di tanah mineral, sedangkan
2 pada tanah mineral bergambut belum terdapat penelitian dengan perlakuan yang sama. Produktivitas kedelai pada perlakuan lebar bedengan 2 m dengan kedalaman muka air tanah 20 cm di bawah permukaan tanah mampu meningkatkan produktivitas kedelai sebesar 4.15 t ha-1 di tanah mineral (Sahuri dan Ghulamahdi 2014). Tanaman pangan yang mampu beradaptasi pada lahan bergambut antara lain padi, jagung, kedelai, ubi kayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya. Penerapan teknologi perbaikan tanah bergambut untuk dapat meningkatkan produktivitas tanaman pangan yang dibudidayakan adalah dengan pembuatan parit drainase. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada tanah bergambut. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak tergenang untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek jarak antar parit drainase yang mengelilingi petakan tanam di tanah bergambut, maka hasil tanaman semakin tinggi, oleh karena itu penentuan lebar bedengan yang memisahkan antara parit yang tepat diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai di tanah mineral bergambut. Faktor pembatasan utama pada tanah bergambut adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman (Agus dan Subiksa 2008). Perumusan Masalah Budidaya kedelai dengan perlakuan lebar bedengan dan kedalaman muka air pernah dilakukan di tanah mineral dan mampu meningkatkan produktivitas kedelai, sedangkan untuk tanah mineral bergambut belum pernah diupayakan budidaya dengan perlakuan yang serupa. Apakah lebar bedengan dan kedalaman muka air yang direkomendasikan di lahan mineral terdahulu dapat memberikan produktivitas yang terbaik di lahan mineral bergambut? Bagaimana produktivitas kedelai di kedua lahan pada satu musim yang sama dengan perlakuan yang diaplikasikan? Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Memperoleh kedalaman muka air serta lebar bedengan terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral. Memperoleh kedalaman muka air serta lebar bedengan terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral bergambut. Membandingkan pertumbuhan dan produksi kedelai di kedua tanah pada lahan pasang surut. Hipotesis
1. Pengaturan kedalaman muka air akan memberikan pertumbuhan mineral. 2. Pengaturan kedalaman muka air akan memberikan pertumbuhan mineral bergambut.
semakin dalam dan lebar bedengan tersempit dan produksi kedelai yang optimal di tanah semakin dalam dan lebar bedengan tersempit dan produksi kedelai yang optimal di tanah
3 3. Pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral lebih tinggi dibandingkan mineral bergambut pada lahan pasang surut. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pengaturan kedalaman muka air pada budidaya jenuh air dan lebar bedengan terbaik sehingga dapat memperoleh pertumbuhan dan produksi kedelai secara optimal di tanah mineral dan mineral bergambut lahan pasang surut. 2 TINJAUAN PUSTAKA Tanah Mineral dan Mineral Bergambut pada Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut ditinjau dari aspek hidrotopografi dibagi menjadi empat tipe luapan, yaitu tipe luapan A, B, C dan D (Gambar 1). Lahan pasang surut dengan tipe luapan A selalu terluapi air pasang besar maupun kecil baik pada saat musim hujan maupun musim kemarau. Lahan pasang surut dengan tipe luapan B hanya terluapi oleh air pasang besar pada musim hujan. Lahan pasang surut dengan tipe luapan C sudah tidak terkena luapan air pasang, namun memiliki kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm yang dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang surut. Lahan pasang surut tipe luapan D sudah tidak terluapi oleh air pasang dan memiliki kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm yang tidak dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang (Noor 2014).
Gambar 1 Lahan pasang surut berdasarkan aspek hidrotopografi Teknologi pengelolaan lahan pasang surut dan tata air hasil dari berbagai penelitian masih perlu dikembangkan secara luas pada beberapa jenis tanah yang ada di lahan pasang surut. Ditinjau dari aspek tanahnya, lahan penelitian tergolong tanah sulfat masam yang merupakan tanah mineral dan mineral bergambut (Gambar 2). Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa seluruhnya merupakan endapan
4 bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang yang ditambah dengan bahan alluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Tanah endapan tersebut pada kedalaman tertentu terdapat bahan sulfidik (pirit) yang menentukan tingkat kemasaman tanah Allluvial tersebut. Tanah yang terbentuk akibat endapan ini merupakan tanah aluvial basah yang terdapat lapisan gambut di atas permukaan tanah (< 20 cm), atau agak tebal antara 20-50 cm. Tanah mineral bergambut merupakan tanah aluvial basah dengan lapisan gambut setebal 20-50 cm di atas permukaan tanah. Berdasarkan sistem klasifikasi tanah lama, tanah mineral yang agak kering atau tidak selalu basah disebut Alluvial. Tanah mineral bergambut berdasarkan klasifikasi tanah lama disebut Glei Humus (Subagyo 2006). Tanah Alluvial merupakan bagian dari tanah mineral yang belum mengalami perkembangan profil tanah. Tanah Glei Humus dikenal sebagai tanah Alluvial bergambut yang merupakan peralihan dari tanah Alluvial ke tanah Organosol. Tanah ini belum atau mengalami sedikit perkembangan profil dan terbentuk dari endapan lumpur dan bahan organik dalam suasana jenuh air. Lapisan atas berwarna gelap karena banyak mengandung bahan organik. Tanah ini mempunyai ketebalan bahan organik 20-50 cm (Subagyo 2006).
Gambar 2 Skematis pembagian tanah pasang surut berdasarkan kedalaman pirit dan ketebalan gambut (Subagyo 2006). Tanah gambut (Organosol) merupakan tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama (Subagyo 2006). Tanah gambut umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase (Hardjowigno 1986 dan Najiyati et al. 2005). Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substrantum gambut dan ketebalan lapisan gambut. Menurut Najiyanti et al. (2005), gambut di Sumatera relatif lebih subur dibandingkan gambut di Kalimantan. Lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Asam-asam organik tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
5 menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut (Sabiham et al. 1997 dan Saragih 1996). Budidaya Jenuh Air Menurut Ngudiantoro et al. (2010), reklamasi atau pengembangan lahan rawa pasang surut di Sumatera Selatan telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1969 melalui program transmigrasi dengan sistem jaringan tata air yang dibangun masih merupakan sistem jaringan terbuka dengan fungsi utama untuk drainase. Sistem jaringan terbuka bergantung pada tipe luapan air pasang dalam penerapan sistem usaha tani. Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik. Budidaya jenuh air (BJA) memberikan solusi dalam pengelolaan air pada lahan pasang surut yaitu budidaya dengan memberikan irigasi secara terus-menerus dan membuat kedalaman muka air tetap sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Budidaya jenuh air juga dapat dilakukan dengan melakukan irigasi terbuka di bawah permukaan tanah jika air berkurang dan drainase permukaan jika air berlebih. Penanaman palawija pada areal dengan drainase kurang baik menggunakan sistem surjan. Sistem surjan memerlukan biaya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan budidaya jenuh air, karena bedengannya cukup tinggi (Ghulamahdi 1999). Pengaturan kedalaman muka air tetap pada BJA akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Troedson et al. 1983). Kedalaman muka air dan lebar bedengan yang tepat pada kondisi tanah tertentu perlu diteliti agar memperoleh pertumbuhan kedelai yang baik dengan hasil yang tinggi pada beberapa lahan pasang surut. Kedalaman muka air tanah menjadi faktor penting dalam budidaya kedelai di lahan pasang-surut. Pengaturan kedalaman muka air tanah dalam BJA berkaitan dengan kecukupan ruang tumbuh untuk perkembangan perakaran dan mikroorganisme di dalam tanah sekaligus dapat menekan pengaruh keracunan dan kemasaman tanah (Welly 2013). Perlakuan lebar bedengan pada budidaya jenuh air diharapkan mampu memperoleh lebar bedengan yang dapat direkomendasikan pada masing-masing jenis tanah di lahan pasang surut. Penelitian Sahuri (2011) menunjukkan lebar bedengan 2 m merupakan lebar bedengan yang direkomendasikan untuk budidaya kedelai di lahan mineral, sedangkan pada lahan mineral bergambut belum pernah dilakukan penelitian lebih lanjut untuk perlakuan lebar bedengan dengan budidaya jenuh air. Muka air tanah merupakan batas antara permukaan atas tanah dengan tanah yang terjenuhi air tanah. Lapisan tanah paling atas hanya sebagian pori tanah yang terisi air sedangkan lainnya berisi udara. Pada bagian bawah muka air tanah semua pori tanah terisi (jenuh) dengan air. Lapisan jenuh ini disebut lapisan jenuh air. Kedalaman muka air bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain, yang umumnya muka air tanah relatif lebih dalam pada dataran tinggi dibandingkan dataran rendah (Ngudiantoro 2009). Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatur lahan sulfat masam adalah dengan pengelolaan air secara tepat (Dent 1986 dan Sen 1988) sebagai contoh dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah maka laju oksidasi pirit dan
6 produksi asam dapat dikendalikan. Perlakuan irigasi serta pencucian dapat menghilangkan kemasaman dari profil tanah (Bronswijk et al. 1995). Menurut Susanto (2000), pengendalian muka air tanah di blok tersier merupakan suatu proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui pengendalian air di saluran tersier, namun teknik pengelolaan air yang dilakukan hingga saat ini masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di lapangan dengan membuat sumur-sumur pengamatan di petak lahan. Pengendalian drainase lahan bergambut bertujuan untuk mencegah terjadinya penurunan lapisan gambut (subsiden). Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari pengusikan lapisan gambut dan mengatur tinggi muka air tanah di daerah rhizosfer. Salampak (1999) melaporkan bahwa pengelolaan saluran drainase pada tanah bergambut yaitu dengan mempertahankan kondisi lengas tanah. Praktek pengelolaan air dengan mempertahankan lengas tanah pada kondisi kecukupan dapat dilakukan dengan mengatur permukaan air tanah agar fungsi fisiologis tanaman tetap berjalan serta menerapkan praktek budidaya dengan olah tanah minimal sebagai upaya konservasi untuk memperkecil subsiden lapisan gambut.
Gambar 3 Tanah dengan pirit teroksidasi (kiri), tanah mineral bergambut (tengah) dan tanah mineral (kanan) Pembuatan saluran drainase tanpa pengelolaan yang tepat akan menyebabkan permukaan air tanah menjadi turun melebihi lapisan pirit yang terdapat di dalam lapisan tanah. Penurunan air tanah yang melebihi lapisan pirit pada tanah akan menyebabkan tanah bagian atas lapisan permukaan air terpapar di lingkungan aerob yang akan menyebabkan terjadinya oksidasi. Lapisan pirit dalam tanah yang ikut terpapar oksigen akan mengalami oksidasi dan menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhir dari proses oksidasi pirit pada tanah akan menyebabkan tanah bereaksi masam ekstrim yaitu pH tanah menjadi turun hingga < 3.5, tanah banyak mengandung ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2 (Fe-II), dan aluminium (AL3+). Gambar 3 menunjukkan tanah dengan pirit yang sudah teroksidasi berwarna coklat atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat kemerahan (brown layer), sedangkan tanah yang masih tereduksi berwarna kelabu tua hingga kelabu gelap (gray layer) (Subagyo 2006). Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan yang tepat dalam pembuatan saluran drainase dan pengaturan
7 ketinggian muka air tanah pada lahan sulfat masam yang mengandung lapisan pirit untuk diusahakan sebagai lahan pertanian. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan bergambut. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi. Pengaturan pembuatan drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun demikian semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden gambut (Agus dan Subiksa 2008). Drainase sebidang lahan gambut tidak hanya berpengaruh pada bidang lahan yang didrainase saja, tetapi juga terhadap lahan dan hutan gambut disekitarnya. Semakin dalam saluran drainase semakin besar dan luas pula pengaruhnya dalam menurunkan muka air lahan gambut sekitarnya, yang selanjutnya mempercepat emisi gas rumah kaca. Konservasi lahan gambut melalui pendekatan hidrologi harus diterapkan pada seluruh hamparan gambut (Agus dan Subiksa 2008). Varietas Kedelai Toleran Masam Kedelai varietas unggul nasional yang adaptif lahan rawa pasang surut antara lain adalah Lawit dan Menyapa memiliki daya hasil cukup tinggi yaitu 2 t ha-1. Selain itu, terdapat Varietas Rinjanim, Galunggung, Merbabu, Kerinci, Tampomas dan Tanggamus yang memiliki daya hasil 1.5 hingga 2.4 t ha-1 (BPTPI 2010). Berdasarkan penelitian terdahulu, Tanggamus mampu memberikan produktivitas melebihi dari deskripsi varietasnya ketika dibudidayakan di lahan sulfat masam dengan BJA (Lampiran 3). Tanggamus memiliki pola pertumbuhan yang lebih stabil dari awal tanam hingga umur 13 MST. Tanggamus juga mampu menggunakan nitrogen secara efisien untuk meningkatkan bobot kering tanaman terutama pada pembentukan polong di lahan sulfat masam (Sagala et al. 2011). Tanggamus merupakan varietas yang paling adaptif di lahan pasang surut yang ditunjukkan dengan produksi biji tinggi dengan teknologi BJA dan cukup baik dengan budidaya tanpa pengairan. Sagala (2010) menunjukkan produktivitas Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan di lahan pasang surut sebesar 850 kg ha-1 sama dengan produktivitas kedelai pasang surut yang ditemukan sebelumnya oleh Djayusman et al. (2001) yaitu sebesar 800 kg ha-1. Sagala (2010) menunjukkan bahwa Tanggamus lebih responsif terhadap teknologi BJA di lahan pasang surut dan diikuti oleh Slamet, Anjasmoro dan Wilis. Tanggamus mampu menghasilkan produktivitas mencapai 4.83 t ha-1 dengan muka air 20 cm di bawah tanah bedengan tanam. Pertumbuhan kedelai varietas Tanggamus lebih stabil dibandingkan ketiga varietas lainnya karena mampu menggunakan unsur hara yang diserap untuk semua komponen tanaman secara merata. Pola serapan unsur hara N, P, K, Fe dan Mn Tanggamus secara umum lebih tinggi dibandingkan ketiga varietas lainnya meskipun kadar hara keempat varietas yang dibudidayakan relatif sama. Adaptasi genotipe Tanggamus terhadap pola penyerapan hara memberikan adaptasi yang lebih baik pada lahan pasang surut (Sagala et al. 2011).
8
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip (tanah mineral) dan Desa Mulyasari (tanah mineral bergambut), Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Palembang dari bulan April-September 2014. Bahan Bahan yang digunakan meliputi benih kedelai varietas Tanggamus, inokulan Bradyrhizobium sp, pupuk kandang, kapur dolomit, pupuk daun N, SP36, KCl, insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%. Alat Alat yang digunakan adalah peralatan tanam dan peralatan pertanian lainnya seperti sprayer, alat tulis, timbangan analitik, pressure plate apparatus dan tabung kuningan. Analisis Data Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot) dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang 3 kali. Petak utama adalah kedalaman muka air yang terdiri dua taraf, yaitu 10 cm (T1) dan 20 cm (T1) di bawah permukaan tanah. Anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri dari empat taraf, yaitu 2 m (L1), 4 m (L2), 6 m (L3) dan 8 m (L4). Berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002), model linear dari rancangan petak terpisah secara umum dapat dituliskan sebagai berikut : Yijk = µ + δi + αj + εij + βk + (αβ)jk + Єijk Keterangan: i : Ulangan/kelompok j : Kedalaman muka air (1, 2) k : Lebar bedengan (1, 2, 3, 4) Yijk : Nilai hasil pengamatan pengaruh kedalaman muka air ke-j, lebar bedengan ke-k dan ulangan ke-i µ : Rataan umum/nilai tengah δi : Pengaruh ulangan/kelompok ke-i αj : Pengaruh kedalaman muka air ke-j εij : Pengaruh galat yang muncul pada kedalaman muka air ke-j dan ulangan ke-i βk : Pengaruh lebar bedengan ke-k (αβ)jk : Nilai interaksi antara faktor kedalaman muka air taraf ke-j dan lebar bedengan taraf ke-k Єijk : Pengaruh galat kedalaman muka air ke-j dan lebar bedengan ke-k pada ulangan ke-i
9 Percobaan ini merupakan combined experiment antara kedua lokasi. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam pada taraf 5% dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test pada taraf 5% yang kemudian dilanjutkan dengan uji t student untuk membandingkan antara kedua lokasi lahan. Prosedur Percobaan 1.
Persiapan lahan Persiapan lahan dilakukan dengan cara membuat bedengan anak petak berukuran 2 m x 5 m, 4 m x 5 m, 6 m x 5 m, 8 m x 5 m sehingga petak utama berukuran 20 m x 5 m. Setiap petak utama dibuat saluran air dengan lebar 30 cm dan kedalaman 25 cm untuk menjaga kondisi bedengan selalu lembab (Gambar 4).
Gambar 4 Denah penelitian pada kedua lahan pasang surut Air irigasi diberikan sejak tanam dengan pengaturan kedalaman muka air sesuai dengan perlakuan. Pemberian air irigasi pada lahan mineral setiap satu minggu sekali, sedangkan untuk lahan mineral bergambut setiap 3 hari sekali apabila air pada parit turun 5 cm untuk kedalaman muka air 10 cm (T1) sedangkan untuk kedalaman muka air 20 cm (T2) diupayakan untuk tetap dipertahankan sesuai dengan perlakuan pada penerapan di lapang (Gambar 5).
Gambar 5 Perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan)
10 2.
3.
4.
5.
Penanaman Penanaman kedelai menggunakan jarak tanam 40 cm x 12.5 cm dan setiap lubang tanam diisi 2 benih kedelai ditanam dangkal 1-2 cm. Sebelum benih kedelai ditanam, diinokulasi dengan Bradyrhizobium sp sebanyak 5 g kg-1 benih terlebih dahulu. Pemberian insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53% sebanyak 15 g kg-1 benih diberikan bersamaan pada saat tanam. Pemupukan Pemberian pupuk kandang sebanyak 2 t ha-1 dan pemberian kapur sebanyak 1 t ha-1 dilakukan pada saat pengolahan lahan, setelah itu lahan diinkubasi selama 2 minggu. Pupuk SP 36 sebanyak 200 kg ha-1 dan KCl sebanyak 100 kg ha-1 diberikan pada saat tanam dengan cara ditugal. Pupuk N tidak diberikan pada saat tanam, karena diharapkan bintil akar dapat memenuhi kebutuhan nitrogen bagi tanaman, pupuk N daun dengan konsentrasi 10 g urea l-1 air diberikan pada umur 3, 4 dan 5 minggu setelah tanam (MST) untuk membantu pemulihan daun pada saat aklimatisasi. Pemeliharaan Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 5 hari setelah tanam. Pemeliharaan meliputi penjagaan kecukupan air sesuai dengan perlakuan tinggi muka air, pengendalian gulma dan pengendalian hama. Pengendalian gulma dilakukan secara mekanik, sedangkan pengendalian hama menggunakan insektisida. Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 4 MST. Peubah-peubah yang diamati adalah : 1) Tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (cm). 2) Jumlah daun trifoliate pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (buah). 3) Jumlah cabang pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (buah). 4) Bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar (g). 5) Jumlah polong total, isi dan hampa per tanaman (buah). 6) Bobot biji per tanaman (g). Dilakukan dengan cara menimbang biji yang dipanen pada setiap tanaman sampel. 7) Produktivitas (t ha-1). 8) Pengamatan dilakukan terhadap komponen sifat fisik dan kimia tanah meliputi : a. Porositas total tanah Menghitung porositas total dengan rumus : 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 Porositas total = (1 - 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑝𝑎𝑟𝑡𝑖𝑘𝑒𝑙) x 100% (Sitorus et al. 1980). b. Tekstur tanah Penentuan tekstur tanah secara kuantitatif dilakukan melalui proses analisis mekanis. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah menjadi butir-butir tunggal dan kemudian diikuti dengan sedimentasi. c. Analisis tanah sebelum tanam Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu, dan liat). pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan KTK, Kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, Mn, Cu dan Zn serta pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah
11 (pH) ditentukan dengan ekstrak 1 : 5 menggunakan H2O dan KCl, C organik ditentukan dengan metode kurmis. N ditentukan dengan metode Kjeldahl. P2O5 ditentukan dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan. Kation dan unsur hara mikro dengan metode AAS, KTK dengan metode titrasi.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah dengan posisi yang terletak di bagian hilir aliran sungai Musi dan sungai Banyuasin. Wilayah Kabupaten Banyuasin hampir 80% adalah dataran rendah berupa rawa pasang surut dan lebak sedangkan 20% sisanya merupakan penyebaran lahan kering dengan topografi datar sampai dengan bergelombang. Lahan tersebut banyak dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut. Areal lahan kering merupakan sentra perkebunan rakyat dan usaha milik negara terutama karet, kelapa sawit dan hortikultura (Banyuasin 2012). Batas wilayah Tanjung Lago antara 104o20’15” – 104o52’39” bujur timur dan o 2 23’33” – 2o47’51” lintang selatan. Kecamatan Tanjung Lago memiliki luas wilayah 829.40 km2. Keadaan topografi wilayah Kecamatan Tanjung Lago sebagian besar terdiri dari dataran rendah, beberapa desa berada di pinggir aliran anak sungai musi. Ketinggian wilayah berkisar antar 0 – 4 m di atas permukaan laut. Secara rata-rata 40.33% luas wilayah Kecamatan Tanjung Lago digunakan untuk lahan pertanian, 54.97% luas wilayah sebagai lahan usaha non pertanian termasuk hutan rakyat, 4.73% digunakan untuk pemukiman dan fasilitas umum lainnya termasuk jalan. Lahan pertanian di Kecamatan Tanjung Lago meliputi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Desa Mulya Sari memiliki luas wilayah 18.83 km2 dengan letak geografis bukan pantai dan topografi wilayah merupakan dataran rendah. Desa Mulya Sari berdasarkan tipe luapan air pasang termasuk tipe luapan B dan C. Desa Banyu Urip memiliki luas wilayah 14.37 km2 dengan letak geografis bukan pantai dan topografi wilayah merupakan dataran rendah. Berdasarkan tipe luapan, areal ini termasuk dalam tipe luapan C dan D. Daerah reklamasi rawa pasang surut ini dibuka dengan cara membuat jaringan drainase. Semua saluran belum dilengkapi pintu air, sehingga sistem pengelolaan hanya tergantung pada fluktuasi pasang surut. Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan saluran kuarter (Banyuasin 2012). Menurut Susanto (2000), pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka air tanah di petak lahan. Muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Upaya pengendalian harus dilakukan agar muka air dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral bergambut pada awal pertumbuhan tanaman mengandalkan air luapan pasang besar dan membuang kelebihan air melalui pintu air, selanjutkan perlakuan muka air pada saat memasuki musim kemarau dibantu dengan memompa air ke dalam saluran pada petakan. Perlakuan kedalaman muka air pada lahan mineral sejak awal tanam dibantu dengan memasukkan air melalui pompa air dikarenakan sudah tidak
12 terpengaruh hempasan air pasang dari sungai. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga September 2014 di lahan mineral bergambut dan lahan mineral. Persiapan lahan membutuhkan 3 minggu sebelum tanam. Perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan dilakukan pada saat olah tanam hingga panen. Penanaman pada lahan mineral bergambut dan mineral dilakukan pada bulan Mei 2014. Penanaman pada kedua lahan dilakukan pada akhir musim hujan dengan curah hujan pada bulan Mei sebesar 93 mm bulan-1 dengan suhu mencapai 27.9 oC. Pembentukan polong dan pengisian polong terjadi pada bulan Juli dengan curah hujan sebesar 112 mm bulan-1 dan suhu mencapai 28 oC. Pemasakan biji terjadi pada bulan Agustus dengan curah hujan 63 mm bulan-1 dan suhu mencapai 27.5 oC, sedangkan pada saat panen di bulan September untuk curah hujan hanya sebesar 16 mm bulan-1 dengan suhu mencapai 28 oC (Lampiran 1 dan 2). Tabel 1 Hasil analisis tanah awal kedua lahan penelitian Parameter 1. pH H2O 2. pH KCl 3. C Organik (%) 4. N total (%) 5. P tersedia (ppm) 6. Ca (me 100g-1) 7. Mg (me 100g-1) 8. K (me 100g-1) 9. Na (me 100g-1) 10. KTK (me 100g-1) 11. Al (me 100g-1) 12. Mn (ppm) 13. Fe (ppm) 14. KB (%) 15. Porositas total (%) 16. Berat volume tanah (g cm-3) 17. Tekstur tanah
Mineral bergambut 4.2 (sangat masam) 3.3 (sangat masam) 38 (mineral bergambut) 1.85 (sangat tinggi) 45.8 (sangat tinggi) 8.30 (sedang) 2.76 (tinggi) 0.71 (tinggi) 0.45 (sedang) 89.68 (sangat tinggi) 2.50 (sangat tinggi) 24.85 (sangat tinggi) 59.76 (sangat tinggi) 13.6 (sangat rendah) 60.65 0.65 bergambut
Mineral 4.5 (masam) 3.7 (sangat masam) 3.4 (mineral) 0.22 (sedang) 7.7 (sedang) 5.65 (sedang) 6.15 (tinggi) 0.32 (sedang) 1.74 (sangat tinggi) 28.43 (tinggi) 1.45 (sangat tinggi) 19.05 (tinggi) 11.74 (tinggi) 48.75 (sedang) 46.57 1.12 Lempung liat berdebu
Sumber : Balai Penelitian Tanah (2009) (Lampiran 4) Herudjito dan Haridjaja (1978) mengklasifikasikan tanah berdasarkan tingkat kematangan tanah menjadi 3 kelompok yaitu tanah mineral (kandungan C organik hingga 18%), tanah mineral bergambut (kandungan C organik antara 18% ̶ 38%) dan tanah organik (kandungan C organik lebih dari 38%). Berdasarkan analisis tanah awal, kedua tanah penelitian tergolong pada tanah sulfat masam potensial yang memiliki reaksi tanah sangat masam hingga agak masam (pH > 4) dengan warna tanah kelabu tua sampai kelabu gelap. Sifat kimia tanah kedua tanah memiliki kandungan Al dan Fe yang sangat tinggi pada lahan mineral bergambut dan tinggi pada lahan mineral. Keberadaan Fe secara fisik dapat terlihat dari lapisan berwarna karat pada tanah dan air (Gambar 6). Lapisan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah mineral, kandungan Na yang sangat tinggi ternyata belum sampai mempegaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan penerapan teknologi BJA.
13
Gambar 6 Lapisan pirit di lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan) Porositas total tanah mineral bergambut lebih besar dibandingkan tanah mineral. Hal ini dikarenakan kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah mineral bergambut. Pada berat volume tanah mineral bergambut yang lebih rendah disebabkan karena tingginya kandungan bahan organik pada lapisan tanah. YongYong et al. (2015) menjelaskan bahwa rendahnya berat volume tanah akan memicu peningkatan volume kebasahan tanah yang disebabkan oleh tingginya porositas tanah dan kelembaban tanah. Berat volume serta porositas tanah merupakan indikator fisik yang dapat menggambarkan dan berhubungan dengan keadaan infiltrasi, permeabilitas, kekompakan-pemadatan tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik tanah. Kondisi dari karakteristik tersebut akan berkaitan dengan fungsi tata udara dan air yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, organisme lainnya serta konservasi tanah dan air (Wall dan Heiskanen 2009; Cannavo et al. 2011). Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dengan uji lanjut DMRT untuk pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan mineral dipengaruhi oleh perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan (Lampiran 5). Pada fase vegetatif, perlakuan kedalaman muka air tanah hanya berpengaruh pada awal pertumbuhan tanaman di lahan mineral. Berdasarkan uji DMRT, kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah memberikan jumlah terbanyak pada daun dan cabang umur 4 MST (Tabel 2). Tabel 2 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral Kedalaman muka air DPT (cm)
4
10 20
30.1 32.2
10 20
6.5 b 9.5 a
10 20
0.3 b 1.0 a
Umur (MST) 6 8 Tinggi tanaman (cm) 64.9 86.9 68.4 91.1 Jumlah daun 12.8 16.5 15.9 19.1 Jumlah cabang 2.2 2.8 2.5 3.1
10 87.9 91.1 14.3 17.9 3.1 3.2
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
14 Pemberian jenuh air menyebabkan tanaman menyesuaikan diri (aklimatisasi) terhadap kondisi lingkungan yang suboptimum untuk pertumbuhannya. Tanaman kedelai beraklimatisasi sebagai respon terhadap kondisi jenuh air dimulai pada umur 3 MST hingga umur 5 MST. Ghulamahdi (1999) menjelaskan bahwa aklimatisasi ditunjukkan dengan gejala klorosis akibat penurunan penyerapan nitrogen. Penurunan penyerapan nitrogen disebabkan oleh kematian beberapa akar yang tumbuh melebihi lapisan jenuh air. Pemberian pupuk nitrogen cair melalui daun bertujuan untuk pemulihan klorosis selama proses aklimatisasi. Ghulamahdi et al. (2006), juga menyimpulkan pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuhan di atas muka air, kemudian pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Perlakuan kedalaman muka air tidak berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata namun rata-rata nilai disetiap pertambahan umur yang ditunjukkan pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah. Pertumbuhan kedelai pada lahan mineral lebih stabil sejak awal pertumbuhan hingga umur 10 MST yang ditunjukkan berdasarkan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang (Tabel 2). Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan kedalaman muka air berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil umur 9 MST, jumlah polong panen, jumlah polong isi panen, bobot per tanaman dan produktivitas. Berdasarkan uji duncan diperoleh bahwa kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah nyata lebih tinggi untuk peubah jumlah bintil umur 9 MST, jumlah polong panen, jumlah polong isi panen, bobot biji per tanaman dan produktivitas. Tabel 3 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral Pengamatan Panjang akar 9 MST (cm) Bobot kering tajuk 9 MST (g) Bobot kering akar 9 MST (g) Bobot kering bintil 9 MST (g) Jumlah bintil 9 MST Jumlah polong panen Jumlah polong isi panen Jumlah polong hampa panen Bobot biji per tanaman (g) Produktivitas (t ha-1)
Kedalaman muka air DPT (cm) 10 20 28.6 30.5 30.2 34.1 2.4 2.6 0.5 0.8 46.9 b 85.5 a 103.5 b 128.9 a 99.8 b 123.8 a 3.6 5.1 21.2 b 25.8 a 3.6 b 4.4 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Kedalaman muka air berpengaruh pada fase generatif tanaman kedelai di lahan mineral. Ketersediaan air selama pembungaan hingga pengisian polong merupakan periode kritis untuk produksi kedelai. Oleh karena itu dengan pemberian jenuh air akan menyediakan ketersediaan air bagi tanaman selama periode tersebut. Ketersediaan air pada budidaya jenuh air memperpanjang fase vegetatif tanaman kedelai dan menunda senesen daun selama pengisian polong sehingga memperpanjang waktu remobilisasi unsur hara dari daun menuju biji. Hasil fotosintesis di lahan mineral lebih banyak di distribusikan pada pembentukan dan
15 pengisian polong, hal ini terlihat dari jumlah polong panen dan polong isi (Tabel 3). Jumlah polong panen berkorelasi dengan jumlah polong isi (p-value 0.00). Jumlah polong isi kemudian berkorelasi dengan bobot biji per tanaman (p-value 0.00) dan berkorelasi dengan produktivitas kedelai (p-value 0.00) (Lampiran 8). Kirkham (2005) melaporkan bahwa muka air pada kedalaman ± 20 cm di bawah permukaan tanah memberikan sumbangan kelengasan tanah 20 – 50%. Ralph (1983) menyimpulkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan BJA mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi karena mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisisan polong, dan mengalami penundaan penuaan. Agarwal et al. (2012) juga menambahkan penundaan senesen dapat terjadi dengan peningkatan biosintesis etilen yang dapat terjadi pada kondisi jenuh air. Sudaryono et al. (2007) kemudian menambahkan bahwa dengan kecukupan penyediaan air untuk kelengasan tanah optimal merupakan komponen budidaya kedelai yang sangat penting. Berdasarkan pertumbuhan tanaman di lapang, ditunjukkan dengan penundaan masa vegetatif maksimum tanaman yang lebih lama dengan budidaya jenuh air di lahan mineral. Ghulamahdi et al. (2009) juga menunjukkan produktivitas kedelai yang tinggi pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 4.63 ton ha-1 di lahan mineral. Ghulamahdi et al. (2009) menyimpulkan bahwa kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah merupakan kedalaman terbaik secara ekonomi (lebih murah) yang tetap dapat menghasilkan produktivitas tinggi. Potensial air tanah pada tinggi muka air 5 sampai 10 cm dari dasar parit akan menyebabkan kondisi selalu berada di sekitar kapasitas lapang.
Gambar 7 Kedelai 9 MST pada perlakuan kedalaman muka air 10 (kiri) dan 20 cm (kanan) di lahan mineral. Berdasarkan hasil analisis tanah awal, kandungan Al dan Fe pada lahan mineral tergolong tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya lapisan pirit pada lahan mineral. Lapisan pirit pada lahan mineral berada pada kedalaman ± 30 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 6). Pemberian jenuh air pada lahan mineral menyebabkan kondisi reduktif pada lapisan pirit sehingga tidak menyebabkan
16 toksisitas Al dan Fe pada tanaman selama pertumbuhannya. Kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah juga mampu menekan oksidasi pirit yang terdapat pada lapisan tanah mineral pasang surut, hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya gejala tanaman yang keracunan Al dan Fe dari awal tanam hingga panen. Pertumbuhan tanaman pada perlakuan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 7) juga menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pada perlakuan kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah. Selama masa pertumbuhan vegetatif, perlakuan lebar bedengan hanya berpengaruh pada jumlah daun. Vegetatif maksimum terjadi pada umur 9 MST di lahan mineral dengan budidaya jenuh air. Jumlah daun pada umur 10 MST nyata lebih banyak pada lebar bedengan 2 dan 8 m (Tabel 4), hal ini berbeda dengan penelitian Sahuri (2011) yang menunjukkan jumlah daun umur 10 MST tidak berbeda nyata pada semua perlakuan lebar bedengan tanam. Hal ini disebabkan karena jumlah daun umur 10 MST mulai mengalami senesen pada lebar bedengan 4 dan 6 m, sedangkan pada lebar 2 dan 8 m jumlah daun masih dapat ditingkatkan. Tabel 4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral Lebar bedengan (m)
4
2 4 6 8
31.8 31.8 30.4 30.7
2 4 6 8
8.4 7.8 7.8 7.9
2 4 6 8
0.9 0.5 0.6 0.7
Umur (MST) 6 8 Tinggi tanaman (cm) 66.5 89.8 67.3 87.8 67.1 89.4 65.9 88.9 Jumlah daun 13.2 b 16.4 b 16.3 a 20.1 a 15.7 a 18.6 a 12.2 b 15.9 b Jumlah cabang 2.5 3.1 2.2 3.1 2.3 2.7 2.3 2.9
10 89.6 87.5 90.3 90.5 18.7 a 13.9 b 13.7 b 18.2 a 3 3.3 3.3 3.0
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Selama fase generatif tanaman, perlakuan lebar bedengan hanya berpegaruh pada bobot biji per tanaman dan produktivitas kedelai di lahan mineral. Berdasarkan uji duncan untuk bobot biji per tanaman dan produktivitas diperoleh lebar 4 m tidak berbeda nyata dengan 2 dan 8 m, tetapi nyata lebih tinggi dibandingkan lebar 6 m. Hal ini dikarenakan bobot biji per tanaman pada lebar 4 m paling tinggi dibandingkan dengan lebar bedengan lainnya. Diduga translokasi fotosintat dan remobilisasi unsur hara selama pengisian dan pemasakan biji yang tinggi pada lebar bedengan 2, 4, dan 8 m menyebabkan bobot biji per tanaman juga lebih tinggi dibandingkan lebar 6 m (Tabel 5). Jumrawati (2010) juga menjelaskan bahwa, bobot biji per tanaman mengindikasikan kemampuan tanaman dalam menggunakan asimilat untuk pengisian biji.
17 Tabel 5 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral Pengamatan Panjang akar (9 MST) (cm) Bobot kering tajuk (9 MST) (g) Bobot kering akar (9 MST) (g) Bobot kering bintil (9 MST) (g) Jumlah bintil (9 MST) Jumlah polong panen Jumlah polong isi panen Jumlah polong hampa panen Bobot biji per tanaman (g) Produktivitas (t ha-1)
2 31.3 33.8 2.6 0.7 81.0 115.9 111.1 4.8 23.4 ab 3.9 ab
Lebar bedengan (m) 4 6 27.2 29.7 30.7 30.1 2.5 2.3 0.5 0.5 50.7 52.7 128.7 102.3 124.5 98.1 4.2 4.2 26.4 a 20.1 b 4.5 a 3.4 b
8 30.0 33.9 2.6 0.9 80.5 118.0 113.7 4.4 24.0 ab 4.1 ab
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Kombinasi perlakuan pada lahan mineral hanya berpengaruh pada tinggi tanaman 6 MST, jumlah daun 10 MST dan bobot kering bintil. Berdasarkan uji duncan, kombinasi lebar 6 m dengan kedalaman muka air 20 cm dan lebar 4 m dengan kedalaman muka air 20 cm tidak berbeda nyata pada tinggi tanaman 6 MST. Kombinasi lebar 2 m dengan kedalaman muka air 20 cm dan lebar 8 m dengan kedalaman muka air 20 cm tidak berbeda nyata pada jumlah daun 10 MST. Kombinasi lebar 8 m dengan kedalaman muka air 20 cm nyata lebih tinggi dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya pada bobot kering bintil (Tabel 6). Tabel 6 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai di lahan mineral Bobot kering bintil Kombinasi Tinggi 6 MST (cm) Jumlah daun 10 MST -1
(g tan )
L1T1 L2T1 L3T1 L4T1 L1T2 L2T2 L3T2 L4T2
66 b 64.17 b 63.73 b 66.07 b 67 ab 70.4 a 70.47 a 65.9 b
17.5 bc 11.57 d 10.63 d 17.5 bc 19.9 a 16.27 c 16.83 bc 18.83 ab
0.57 c 0.45 c 0.59 c 0.51 c 0.92 b 0.49 c 0.39 c 1.21 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Analisis korelasi menunjukkan bahwa jumlah daun umur 10 MST berkorelasi nyata dengan bobot biji per tanaman (p-value 0.04) dan produktivitas (p-value 0.04) (Lampiran 7). Kombinasi lebar bedengan 8 m pada kedalaman muka air 20 cm tidak berbeda nyata dengan kombinasi lebar bedengan 2 m pada kedalaman 20 cm. Jumlah daun pada fase vegetatif maksimum merupakan source utama bagi pengisian polong yang akan terbentuk (sink). Asimilat dari hasil fotosintesis kemudian akan ditranslokasikan ke biji sebagai sink yang kuat selama proses pengisian biji pada fase generatif tanaman kedelai. Lebar bedengan 8 m dengan kedalaman muka air 20 disarankan untuk budidaya kedelai di lahan mineral, meskipun tidak memberikan interaksi antar kedua perlakuan. Lebar bedengan 8 m
18 lebih baik dibandingkan lebar bedengan lainnya dikarenakan kemudahan dalam pengolahan tanah awal, selain itu mampu menghasilkan produktivitas kedelai sebesar 4.1 t ha-1. Perlakuan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah lebih baik dibandingkan kedalaman muka air 10 cm dikarenakan kemudahan pemberian air di lapang serta mampu menghasilkan produktivitas kedelai sebesar 4.4 t ha-1. Kandungan Na (1.74 me 100 g-1) berdasarkan hasil analisis pada tanah mineral tergolong sangat tinggi. Muka air tanah yang dipertahankan tetap pada budidaya jenuh air mampu menekan Na sehingga tidak menghambat pertumbuhan tanaman dikarenakan sifat natrium yang mudah tercuci. Keberadaan unsur hara Na tidak saja berpengaruh pada sifat kimia tanah tetapi juga pada sifat fisik tanah, terutama dalam kemantapan struktur. Konsentrasi yang tinggi di dalam tanah selain secara fisiologi dapat menimbulkan gangguan pada metabolisme tanaman juga berpengaruh pada sifat osmosis dan kemantapan agregat (Supriyadi 2009). Pengapuran lahan mineral pasang surut dilakukan untuk meningkatkan pH tanah yang masam dikarenakan adanya lapisan pirit, Koesrini et al. (2011) juga melaporkan bahwa pengapuran dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan cara meningkatkan pH tanah dan menurunkan kejenuhan Al serta meningkatkan produktivitas kedelai pada lahan sulfat masam. Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral Bergambut Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dengan uji lanjut DMRT untuk pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan mineral bergambut dipengaruhi oleh perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan (Lampiran 6). Secara umum pertumbuhan tanaman kedelai di awal stadia pertumbuhan sangat tercekam terutama dikarenakan kelembaban tanah yang terlampau tinggi. Nugroho et al. (1997) dan Widjaja-Adhi (1988) menyatakan bahwa tanah bergambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya sehingga sebagian tanaman mudah terserang jamur. Penanggulangan terhadap serangan jamur dilakukan dengan menyemprotkan fungisida berbahan aktif propineb 70% pada seluruh tanaman dan menyulam tanaman yang mati akibat jamur.
Gambar 8 Aklimatisasi kedelai 3 MST di lahan mineral bergambut Pertumbuhan tanaman hingga umur 4 MST tergolong lambat dikarenakan tanaman kedelai di lahan mineral bergambut juga melakukan aklimatisasi dengan budidaya jenuh air (Gambar 8). Berdasarkan penelitian Ghulamahdi (1999)
19 aklimatisasi dimulai dengan terjadinya khlorosis yang disebabkan karena berkurangnya penyerapan nitrogen dan terjadinya alokasi hasil fotosintesis ke bagian bawah (ke perakaran baru dan bintil baru). Penyemprotan urea melalui daun pada umur 3, 4 dan 5 MST membantu pemulihan daun selama proses aklimatisasi. Kedalaman muka air berpengaruh pada fase vegetatif tanaman kedelai di lahan mineral bergambut (Gambar 9). Hal ini juga ditunjukkan pada tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang (Tabel 7). Berdasarkan uji duncan, kedalaman muka air 20 cm nyata lebih tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif tanaman.Welly (2013) dan Sagala (2010) juga menunjukkan tinggi tanaman kedelai terbaik diperoleh pada perlakuan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Sahuri (2011) juga menunjukkan bahwa jumlah cabang terbaik pada kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Hal ini di duga karena kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan bedengan memberikan ruang tumbuh dan pori aerasi yang lebih baik dibandingkan kedalaman 10 cm sehingga pertukaran udara lebih baik dan akar tanaman tumbuh lebih baik. Tabel 7 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral bergambut Kedalaman muka air DPT (cm)
4
10 20
27.5 29.4
10 20
6.2 5.3
10 20
1.3 1.2
Umur (MST) 6 8 Tinggi Tanaman (cm) 65.0 89.4 b 70.6 101.2 a Jumlah Daun 13.2 19.9 12.0 21.2 Jumlah Cabang 2.7 3b 3.1 3.3 a
10 87.8 b 96.2 a 21.2 b 22.9 a 3.2 3.3
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
Gambar 9 Kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan) di bawah permukaan lahan mineral bergambut
20 Penelitian Ghulamahdi (1999) di lahan non-pasang surut menunjukkan bahwa kedelai yang ditanam dengan teknologi budidaya jenuh air melakukan suatu mekanisme adaptasi terhadap kondisi jenuh air. Tanaman akan meningkatkan kandungan asam aminosiklopropana-karboksilik akar pada lapisan yang jenuh air. Adanya oksigen pada lapisan di atas lapisan jenuh air mendorong terjadinya perubahan asam aminosiklopropana-karboksilik menjadi etilen di akar sehingga kandungan etilen akar meningkat. Marschner (2012) juga menambahkan terjadinya peningkatan pembentukan aerenkim merupakan respon akar pada kondisi oksigen yang rendah di perakaran atau terjadinya peningkatan konsentrasi etilen. Bailey-Serres dan Voesenek (2008) menjelaskan bahwa peningkatan etilen menginduksi berbagai respon terhadap pertumbuhan dan perkembangan seperti pembentukan aerenkim, perkembangan akar adventif dan meningkatkan pemanjangan tajuk. Indradewa et al. (2004) menemukan bahwa akar-akar baru tersebut juga meningkatkan pembentukan bintil-bintil akar, dan Ghulamahdi et al. (2006) melaporkan bahwa peningkatan bintil akar dapat meningkatkan aktivitas nitrogenase dan serapan hara. Perlakuan kedalaman muka air hanya berpengaruh nyata pada saat vegetatif maksimum yaitu umur 9 MST, namun tidak berpengaruh terhadap fase generatif tanaman (Tabel 8). Berdasarkan uji lanjut diperoleh bahwa kedalaman muka air 20 cm nyata lebih tinggi dibandingkan kedalaman muka air 10 cm pada kedua peubah tersebut. Hal ini diduga karena karbohidrat yang terbentuk lebih banyak digunakan untuk perkembangan akar, batang dan daun sehingga lebih sedikit karbohidrat utuk perkembangan kuncup bunga, polong dan biji. Tabel 8 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral bergambut Peubah Pengamatan Panjang akar 9 MST (cm) Bobot kering Tajuk 9 MST (g) Bobot kering Akar 9 MST (g) Bobot kering Bintil 9 MST (g) Jumlah bintil 9 MST Jumlah polong panen Jumlah polong isi panen Jumlah polong hampa panen Bobot biji per tanaman (g) Produktivitas (t ha-1)
Kedalaman muka air DPT (cm) 10 20 20.1 b 23.5 a 38.8 42.1 2.2 b 2.6 a 0.5 0.5 84 88.6 56.0 58.5 54.7 57.4 1.2 1.5 14.9 15.6 2.5 2.6
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Perlakuan kedalaman muka air tidak berpengaruh pada produktivitas kedelai di lahan mineral bergambut, namun demikian nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan produktivitas yang pernah diperoleh pada lahan yang sama. Penelitian Prakasa (2015) di lahan mineral bergambut menujukkan produktivitas kedelai hanya sebesar 1.3 t ha-1 dengan budidaya jenuh air. Oleh karena itu, untuk kemudahan dalam irigasi di lapang disarankan perlakuan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah pada budidaya jenuh air di lahan mineral bergambut. Perlakuan lebar bedengan berpengaruh pada fase vegetatif tanaman kedelai di lahan mineral bergambut. Berdasarkan uji duncan diperoleh lebar bedengan 6 m
21 lebih tinggi pada jumlah daun, namun tidak berbeda dengan 2 m pada jumlah cabang umur tanaman 8 MST (Tabel 9). Tabel 9 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral bergambut 4
Lebar bedengan (m) 2 4 6 8
27.8 b 28.9 a 27.8 b 29.2 a
2 4 6 8
5.7 5.8 5.7 5.7
2 4 6 8
1.2 1.2 1.2 1.2
Umur (MST) 6 8 Tinggi tanaman (cm) 67.2 ab 94.8 70.2 a 99.1 64.4 b 91.4 69.5 a 95.9 Jumlah daun 12.6 20.9 b 12.6 18.1 c 12.8 22.9 a 12.5 20.3 b Jumlah cabang 3.2 3.5 a 2.6 2.7 b 2.9 3.4 a 2.9 2.9 b
10 89.1 92.7 90.8 95.2 24.1 a 20.1 b 20.9 b 23.1 a 3.5 a 3.1 b 3.1 b 3.3 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Jumlah daun 8 MST pada lebar 6 m lebih tinggi diduga karena pada lebar 4 dan 8 m, tanaman cenderung menggunakan hasil asimilat untuk meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan pembentukan jumlah daun dan cabang, sedangkan pada lebar 2 dan 6 m hasil asimilat tidak hanya digunakan untuk menambah tinggi tanaman namun juga untuk pembentukan daun dan cabang baru (Tabel 9). Jumlah daun dan cabang pada umur 8 MST merupakan fase mulai terbentuknya polong dari bunga yang muncul pada ketiak cabang. Jumlah daun merupakan source bagi pembentukan polong hingga pengisian biji (sink), dengan jumlah daun yang lebih banyak maka hasil fotosintesis akan ditranslokasikan ke sink. Tabel 10 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral bergambut Pengamatan Panjang akar 9 MST (cm) Bobot kering tajuk 9 MST (g) Bobot kering akar 9 MST (g) Bobot kering bintil 9 MST (g) Jumlah bintil 9 MST Jumlah polong panen Jumlah polong isi panen Jumlah polong hampa panen Bobot biji per tanaman (g) Produktivitas (t ha-1)
2 21.8 b 49.8 2.7 0.6 118.5 a 58.3 56.7 1.8 15.4 ab 2.6 ab
Lebar bedengan (m) 4 6 21.8 b 18.8 b 39.7 33.2 2.1 2.3 0.3 0.7 61.8 b 85.8 ab 51.5 65.7 50.5 64.9 1.3 0.8 13.8 b 18.2 a 2.4 b 3.1 a
8 25.0 a 39.0 2.5 0.5 79.3 b 53.6 52.0 1.6 13.6 b 2.3 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
22 Perlakuan lebar bedengan berpengaruh pada fase vegetatif maksimum hanya pada panjang akar dan jumlah bintil pada akar. Panjang akar terpanjang diperoleh pada lebar bedengan 8 m diduga karena jangkauan akar yang lebih jauh dalam memperoleh air terutama pada tanaman yang berada di tengah bedengan. Jumlah bintil terbanyak diperoleh pada lebar bedengan 2 m diduga karena ketersediaan air pada lebar bedengan 2 m relatif lebih merata diseluruh bedengan (Tabel 10). Bobot biji dan produktivitas pada lebar 6 m lebih baik dibandingkan lebar bedengan lainnya. Hal ini diduga karena translokasi fotosintesis dan remobilisasi unsur hara lebih banyak digunakan untuk pembentukan polong dan pengisian biji kedelai dibandingkan lebar petakan lainnya. Lebar bedengan 6 m direkomendasikan untuk budidaya kedelai di lahan mineral bergambut karena dapat menghemat biaya tenaga olah tanah awal dan memberikan produktivitas kedelai sebesar 3.1 t ha-1. Tabel 11 dan 12 menunjukkan pengaruh kombinasi perlakuan berpengaruh pada fase vegetatif tanaman. Berdasarkan uji duncan di peroleh kombinasi kedalaman muka air 20 cm dan lebar 6 m pada jumlah daun 8 MST dan jumlah cabang 10 MST. Tabel 11 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai di lahan mineral bergambut Kombinasi L1T1 L2T1 L3T1 L4T1 L1T2 L2T2 L3T2 L4T2
Tinggi 4 MST (cm) 27.36 cd 28.46 cbd 26.78 d 27.24 cd 28.18 cbd 29.3 b 28.84 bc 31.11 a
Tinggi 6 MST (cm) 66.78 bc 70.54 ab 59.63 d 63.14 cd 67.58 bc 69.78 ab 69.15 bc 75.83 a
Jumlah daun 4 MST 5.25 de 5e 5.65 cd 5.2 de 6.15 abc 6.65 a 5.8 bc 6.2 ab
Jumlah daun 8 MST 19.15 de 18.85 de 21.4 bc 20.05 cd 22.6 ab 17.25 e 24.35 a 20.45 cd
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Tabel 12 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai di lahan mineral bergambut (lanjutan) Kombinasi L1T1 L2T1 L3T1 L4T1 L1T2 L2T2 L3T2 L4T2
Jumlah cabang 10 MST 3.4 ab 3.2 bc 2.85 d 3.3 b 3.6 a 3 cd 3.4 ab 3.25 bc
Jumlah bintil 111.5 ab 111.5 ab 47 cd 66 bc 125.5 a 12 d 124.5 a 92.5 abc
Bobot kering akar (g tan-1) 2.46 ab 2.41 ab 1.71 b 2.41 ab 3.01 a 1.71 b 2.95 a 2.63 ab
Bobot kering bintil (g tan-1) 0.74 ab 0.57 abc 0.32 bc 0.5 bc 0.38 bc 0.12 c 1.05 a 0.59 abc
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
23 Analisis korelasi menunjukkan bahwa jumlah daun 8 MST dan jumlah cabang umur 10 MST (p-value 0.03) berkorelasi dengan produktivitas kedelai di lahan mineral bergambut (Lampiran 9). Selanjutnya, bobot biji per tanaman berkorelasi dengan produktivitas kedelai (p-value 0.00) (Lampiran 10). Daun merupakan source bagi pembentukan biji kedelai (sink), selain itu jumlah cabang yang banyak akan menghasilkan polong yang lebih banyak (Sagala 2010). Irwan (2006) menyatakan bahwa tangkai bunga kedelai umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang disebut rasim, semakin banyak cabang maka semakin banyak pula rasim yang muncul bunga. Berdasarkan korelasi tersebut pada lebar bedengan 6 m dan kedalaman muka air 20 cm direkomendasikan untuk penerapan olah tanah awal di lahan mineral bergambut, dikarenakan kemudahan dalam pemberian air serta menghemat biaya tenaga untuk olah tanah awal. Perbandingan antara Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Kedua Lahan Pasang Surut Berdasarkan uji t, selama fase generatif tanaman di lahan mineral lebih tinggi daripada lahan mineral bergambut (Tabel 13). Tabel 13 Perbandingan pertumbuhan dan hasil kedelai di kedua lahan pasang surut Peubah Pengamatan Tinggi tanaman MST (cm) 4 6 8 10 Jumlah daun MST 4 6 8 10 Jumlah cabang MST 4 6 8 10 Vegetatif maksimum (9 MST) Panjang akar (cm) Bobot kering (g) : tajuk akar Bintil Jumlah bintil Panen Jumlah polong per tanaman : Total Hampa Isi Bobot biji per tanaman (g) Produktivitas (t ha-1)
Mineral bergambut
Mineral
28.4 b 67.8 95.3 92
31.1 a 66.7 88.9 89.5
5.7 b 12.6 b 20.5 a 22.0 a
7.9 a 14.4 a 17.8 b 16.1 b
1.2 a 2.9 a 3.1 3.3
0.7 b 2.3 b 2.9 3.1
21.8 b 40.4 a 2.4 0.5 86.3
29.5 a 32.1 b 2.5 0.6 66.2
57.3 b 1.4 b 56 b 15.25 b 2.6 b
116.2 a 4.4 a 111.8 a 23.49 a 3.9 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji t student.
24 Jumlah cabang 4 MST berkorelasi pada jumlah daun 8 MST (p-value 0.01) dan jumlah cabang 6 MST berkorelasi pada jumlah daun 10 MST (p-value 0.04). oleh karena itu jumlah cabang meningkatkan pembentukan jumlah daun. Jumlah daun yang lebih banyak kemudian meningkatkan bobot tajuk pada tanaman kedelai di lahan mineral bergambut (Gambar 10).
Gambar 10 Tanaman kedelai umur 9 MST lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan) Lahan mineral bergambut, tingginya pertumbuhan selama fase vegetatif tidak diimbangi dengan fase generatifnya. Saleem et al. (2008) dan Sarawa (2014) menyimpulkan pertumbuhan tanaman yang terlalu vigor pada tanaman pangan selama fase vegetatif tanpa diimbangi pada fase generatifnya akan menyebabkan produktivitas yang rendah. Sarawa (2014) juga menambahkan, hal ini disebabkan karena tingginya translokasi fotosintat menuju pembentukan daun-daun muda dan penambahan ukuran daun selama fase vegetatif maksimum. Mustamu (2009) juga menambahkan besarnya berat daun disebabkan oleh kegiatan fotosintesis yang tetap dipertahankan tinggi oleh tanaman. Hasil fotosintesis kemudian akan ditranslokasikan selama fase vegetatif tanaman pada pembentukan akar, batang dan daun. Sedangkan pada fase generatif, hasil fotosintesis dan remobilisasi unsur hara didistribusikan pada pembentukan polong, pengisian polong dan pemasakan biji. Besarnya translokasi fotosintat pada pembentukan daun muda yang terus berlangsung pada tanah mineral bergambut berakibat pada kecilnya fotosintat dan remobilisasi unsur hara selama pembentukkan polong. Polong yang terbentuk dalam jumlah yang sedikit kemudian berakibat pada rendahnya bobot biji per tanaman dan produktivitas kedelai. Li et al. (2007) menyimpulkan bahwa lemahnya kekuatan sink menyebabkan penurunan distribusi fotosintat dan remobilisasi unsur hara dari source ke sink. Rendahnya jumlah polong (sink) menurunkan produksi kedelai di lahan mineral bergambut dibandingkan pada lahan mineral (Gambar 10). Pertumbuhan pada fase vegetatif dan generatif tanaman kedelai di lahan mineral lebih baik dibandingkan di lahan mineral bergambut. Hal ini diduga karena adanya perimbangan translokasi fotosintat pada fase vegetatif menuju fase generatif pada tanah mineral. Shiraiwa et al. (2004) menyatakan bahwa suplai asimilat selama periode pembungaan hingga awal perkembangan biji hanya dibatasi oleh pembentukan polong.
25 Berdasarkan analisis tanah awal kadar Al dan Fe lahan mineral dan mineral bergambut tergolong sangat tinggi. Tingginya kadar Al dan Fe pada kedua lahan ternyata tidak sampai mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai dengan teknologi BJA. Kondisi aerob-anaerob yang diberikan dengan BJA mampu menekan Al dan Fe di dalam tanah dalam kondisi tereduksi sehingga ikatan Al-P dan Fe-P tidak terbentuk. Jumlah polong pada lahan mineral mampu mencapai dua kali polong di lahan mineral bergambut dikarenakan pemupukan P dapat dimanfaatkan oleh tanaman lebih optimal karena tidak terikat oleh asam-asam organik maupun Fe seperti halnya pada lahan mineral bergambut.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Perlakuan kedalaman muka air 20 cm memberikan produktivitas kedelai tertinggi, sedangkan lebar 8 m memberikan jumlah daun 10 MST dan produktivitas kedelai yang tinggi. Kombinasi kedua perlakuan lebar 8 m dan kedalaman muka air 20 cm memberikan jumlah daun 10 MST yang banyak di lahan mineral. 2. Perlakuan kedalaman muka air 20 cm memberikan jumlah cabang 8 MST yang banyak, tetapi tidak berpengaruh pada produktivitas kedelai. Sedangkan lebar 6 m memberikan jumlah daun, cabang umur 8 MST dan produktivas yang tinggi. Kombinasi kedua perlakuan lebar 6 m dan kedalaman 20 cm memberikan jumlah daun 8 MST dan jumlah cabang 10 MST yang tinggi di tanah mineral bergambut.. 3. Pertumbuhan dan hasil kedelai di lahan mineral lebih baik dibandingkan pada lahan mineral bergambut. Produktivitas kedelai pada lahan mineral mencapai 3.9 t ha-1 sedangkan pada lahan mineral bergambut mencapai 2.6 t ha-1. Saran Perlu dilakukan penelitian pada tipe luapan yang sama dengan jenis tanah yang berbeda dengan budidaya jenuh air.
DAFTAR PUSTAKA [BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Deskripsi Kedelai Varietas Tanggamus [16 Januari 2016] Agarwal, G., D. Choudhary, V. P. Singh and A. Arora. 2012. Role of ethylene receptors during senescene and ripening in horticutural crops. Plant Signaling & Behavior 7(7): 827-846. Agus F dan Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor (ID). Badan Pusat Statistik. 2015. bps.go.id/view/1157 diakses 26 agustus 2015. Bailey-Serres, J and L. A. C. J. Voesenek. 2008. Flooding stress: acclimations and
26 genetic diversity. Annu. Rev. Plant Biol. 59: 313-339. Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis kimi tanah, tanaman, air dan pupuk. Edisi 2. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah. Banyuasin. 2012. Realitas Biofisik, Sosial-Budaya, Ekonomi dan Kelembagaan. bappeda.banyuasinkab.go.id. diakses tanggal 2 desember 2015. Bronswijk JJB, Groenenberg JE, Ritsema CJ, van Wijk ALM and Nugroho K. 1995. Evaluation of Water Management Strategies for Acid Sulphate Soils using A Simulation Model: A Case Study in Indonesia. Elsevier Agricultural Water Management 27. 125-142 pp. Cannavo, P., H. Hafdhi., J.C. Michel. 2011. Impact of Root Growth on the Physical Properties of Peat Substrate under a Constant Water Regim. Hortscience 46(10): 1394-1399. Dent D. 1986. Acid Sulphate Soils: A Baseline for Research and Development. In Bronswijk JJB, Groenenberg JE, Ritsema CJ, van Wijk ALM and Nugroho K. 1995. Evaluation of Water Management Strategies for Acid Sulphate Soils using A Simulation Model: A Case Study in Indonesia. Elsevier Agricultural Water Management 27. 125-142 pp. Djayusman M, Suastika IW, Soelaeman Y. 2001. Refleksi Pengalaman dalam Pengembangan Sistem Usaha Pertanian di Lahan Pasang Surut, Pulau Rimau. Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor, Juni 2001. Euroconsult. 1996. Buku Panduan untuk Pengamat Proyek Telang-Saleh. Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Pengairan, Direktorat Pembinaan Pelaksanaan Wilayah Barat. Dalam Ngudiantoro. 2009. Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan [disertasi]. IPB. Bogor Ghulamahdi M, M Melati, D Sagala. 2009. Production of soybean varieties under soil culture on tidak swamps. J. Agron. Indonesian 37(3):226-232. Ghulamahdi M, SA Aziz, M Melati, N Dewi, SA Rais. 2006. Aktivitas nitrogenase, serapan hara dan pertumbuhan dua varietas kedelai pada kondisi jenuh air dan kering. Bul. Agron. 34(1):32-38. Ghulamahdi M. 1999. Perubahan fisiologi tanaman kedelai (Glycine max (l.) Merill) pada budidaya tadah hujan dan jenuh air [disertasi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94. Herudjito D, Haridjaja O. 1978. Kematangan fisik tanah mineral dan tingkat dekomposisi tanah gambut dalam hubungannya dengan beberapa sifat fisik tanah daerah pasang surut karang agung sumatera selatan. Di dalam Prosiding Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia. 428-437. Hunter MN, De Februn PLM, Byth DE. 1980. Response of Nine Soybean Line to Soil Moisture Conditions Close to Saturation Austral. J. Exp. Agric. Anim. Husb. 20:339-345. Indradewa D, S Sastrowinoto, S Notohadiswarno, H Prabowo. 2004. Metabolisme nitrogen pada tanaman kedelai yang mendapat genangan dalam parit. Ilmu
27 Pertanian. 2: 68-75. Bailey-Serres, J and L. A. C. J. Voesenek. 2008. Flooding stress: acclimations and genetic diversity. Annu. Rev. Plant Biol. 59: 313-339. Irwan AW. 2006. Budidaya tanaman kedelai (Glycine max (l.) Merill). Jatinangor: Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Unpad. 40 hlm. Jumrawati. 2010. Efektivitas inokulasi Rhizobium sp. Terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai pada tanah jenuh air. Widyariset. Vol 13 No 2. Kirkham MB. 2005. Principles of soil and plant water relations. [tempat tidak diketahui] (UK): Elsevier academic press. Koesrini, Nurita and K Anwar. 2011. Peningkatan kualitas lahan untuk meningkatkan produktivitas kedelai pada tanah sulfat masam potensial. J Soil Climate, Swampland Special Edition: 55-62. Li, W. D., W. Duan, P. G. Fan, S. T. Yan and S. H. Li. 2007. Photosynthesis in response to sink-source activity and in relation to end products and activities of metabolic enzymes in peach trees. Tree Physiology 27: 1307-1318. Marschner, H. 2012. Mineral Nutrition of Higher Plants. 3rd ed. London: Academic Press Harcourt Brace and Company Publishers. Pp. 23 and Pp. 67. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. Bogor. IPB Press. Mustamu YA. 2009. Seleksi kedelai generasi F4 terhadap intensitas cahaya rendah di dua lingkungan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habit Canada. Bogor. ID. Nathanson K, Lawn RL, De Fabrun PLM, Byth DE. 1984. Growth, nodulation and nitrogen accumulation by soybean in saturated soil culture. Field Crops Res. 8:73-92. Ngudiantoro, Pawitan H, Ardiansyah M, Purwanto MYJ, dan Susanto RH. 2010. Pemodelan Fluktuasi Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut Tipe B/C: Kasus di Sumatera Selatan. Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 2 April 2010: 109-110 Ngudiantoro. 2009. Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan [disertasi]. IPB. Bogor. Noor M, Dedy Nursyamsi dan Arifin Fahmi. 2014. Inovasi Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung Kedaulatan Pangan dan Pertanian Industrial Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”. Nugroho K, G Gianinazzi and IPG Widjaja-Adhi. 1997. Soil hidraulic properties of Indonesian peat. In: Rieley and Page (Eds). Pp. 147-156 In Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Cardigan (UK): Samara Publishing Ltd. Prakasa AY. 2015. Studi Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang Surut [tesis]. IPB. Bogor. Purwantoro, Kuswantoro H, Arsyad DM. 2009. Identifikasi galur-galur harapan kedelai adaptif lahan kering masam. Malang: Balitkabi.
28 Ralph W. 1983. Soybean Response to Controlled Waterlodging Rural Res., 120: 48. Sabiham S, Prasetyo TB and Dohong S. 1997. Phenolic acid in Indonesian peat. In: Rieley and Page (Eds.). pp. 289-292. Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK. Sagala D, Ghulamahdi M, Melati M. 2011. Pola Serapan Hara dan Pertumbuhan Beberapa Varietas Kedelai dengan Budidaya Jenuh Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Jurnal Agroqua. Vol. 9: 1-8. ISSN : 0216-6585. Sagala D. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Pasang Surut [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sahuri, Ghulamahdi M. 2014. Pola Serapan Hara dan Produksi Kedelai dengan Budidaya Jenuh Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, 2014 Sep 26-27; Palembang, Indonesia. Palembang (ID). hlm 728-734. Sahuri. 2011. Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) di Lahan Pasang Surut [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Saleem, B.A., A.U. Malik, M.A. Pervez., A.S. Khan. 2008. Growth regulators applications affects vegetative and reproductive behaviour of ‘blood red’ sweet orange. Pak.1 J. Bot. 40(5): 2115-2125. Saragih ES. 1996. Pengendalian Asam-Asam Organik Meracun dengan Penambahan Fe (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sarawa, Aysyah A dan Asrida. 2014. Pola distribusi fotosintat pada fase vegetatif beberapa varietas kedelai pada tanah masam di Sulawesi Tenggara. Jurnal Agroteknos. Vol. 4(1):26-31. Sen LN. 1988. Influence of Various Water Management and Agronomic Packages on The Chemical Change and on the Growth of Rice in Acid Sulphate Soils. In Bronswijk JJB, Groenenberg JE, Ritsema CJ, van Wijk ALM and Nugroho K. 1995. Evaluation of Water Management Strategies for Acid Sulphate Soils using A Simulation Model: A Case Study in Indonesia. Elsevier Agricultural Water Management 27. 125-142 pp. Shiraiwa, T., N. Ueno, S. Shimada, T. Horie. 2004. Correlation between yielding ability and dry matter productivity during initial seed filling stage in various soybean genotypes. Plant Production Science. 7(2): 138-142. Sitorus SRP, Haridjaja O, Brata KR. 1980. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Subagyo H. 2006. Lahan Rawa Pasang Surut. Di dalam: Suriadikarta DA, Kurnia U, Mamat HS, Hartatik W, Setyorini D, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm 23-98.
29 Sudaryono, Taufiq A, Wijanarko A. 2007. Peluang peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto dan Kasim H, Editor. Kedelai – Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanmana Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm 130-167. Sumarno. 1986. Response of soybean (Glycine max Merr.) genotype to continous saturated culture. Indon. J. Crop Sci. 2(2): 71-78. Supriyadi S. 2009. Status Unsur-Unsur Basa (Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+) di lahan kering Madura. Agrivigor. Vol. 2 No. 1. Hal 35-41. Susanto RH. 2000. Manajemen Air Daerah Reklamasi Rawa dalam Kompleksitas sistem Usaha Tani. Di dalam: Ngudiantoro, Pawitan H, Ardiansyah M, Purwanto MYJ, dan Susanto RH. 2010. Pemodelan Fluktuasi Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut Tipe B/C: Kasus di Sumatera Selatan. Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 2 April 2010: 109-110 Treodson RJ, Lawn RJ, Byth DE and Wilson GL. 1983. Saturated Soil Culture in Innovated Water Management Option for Soybean in the Tropics and Subtropics. P: 171-180. In Shanmugasundaran S and Sulzberger EW (ed). Soybean in Tropical and Subtropical System. Proc. Symp. Tsukuba. Japan. Treodson RJ, Lawn RJ, Byth DE, Wilson GL. 1984. Saturated soil culture-an innovative water management option for soybean in the tropics and subtropics. Di dalam Shanmugasundaram S and Sulzberger EW; Editor. Soybean in Tropical and Subtropical Cropping Systems. Proc. Of a Symp. Tsukuba. Japan hlm 171-180. Wall, A., J. Heiskanen, J. 2009. Soil-water content and air-filled porosity affect height growth of Scots pine in afforested arable land in Finland. For. Ecol. Manage. 257: 1751-1756. Welly HD. 2013. Pengaruh kedalaman muka air tanah pada berbagai varietas kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr) dengan system budidaya jenuh air di lahan pasang surut [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Widjaja-Adhi IPG. 1988. Physical and chemical characteristic of peat soil of Indonesia. Ind. Agric. Res. Dev. J. 10:59-64. Yong-Yong, Z., Z. Xi-Ning., W. Pu-Te. 2015. Soil wetting pattern and water distribution as affected by irrigation for uncropped ridges and furrows. Pedosphere 25(3): 468-477.
30
31
LAMPIRAN
32
33 Lampiran 1 Data curah hujan (mm/hari) daerah penelitian Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah
April 0 3 0 4 9 49 6 0 16 0 4 0 0 96 57 1 30 0 20 8 2 43 0 3.0 351.2
Mei 0 2 7 0 25 0 0 1 0 0 0 1 2 0 1 0 0 0 0 6 4 40 1 90
Juni 1 2 19 7 0 4 1 21 0 0 2 24 2 0 0 10 17 110
Juli 0 38 34 0 0 21 19 0 0 112
Agustus 7 2 23 1 0 27 3 0 0 0 0 0 63
September 0 16 16
34 Lampiran 2 Data suhu udara rata-rata (oC) daerah penelitian Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Rata-rata
April 27.0 27.4 28.2 27.2 26.6 27.3 27.4 27.5 28.1 25.9 25.9 27.4 27.8 28.1 27.2 26.6 28.2 27.4 28.4 28.7 27.9 28.8 25.9 29.1 28.9 28.3 28.0 27.8 28.0 28.3 27.6
Mei 26 28 28 29 28 29 28 27 29 28 29 29 28 27 27 28 27 26 27 28 29 28 29 29 28 29 27 27 27 28 28 28
Juni 27 27 29 26 27 28 29 29 29 30 28 29 28 28 27 29 29 28 27 29 29 29 29 28 28 28 27 27 28 28 28
Juli 28 28 28 28 29 28 28 28 28 28 27 26 26 28 29 28 29 29 29 27 28 28 28 28 28 28 29 28 27 28 28 28
Agustus 28 29 28 28 26 27 27 27 27 25 26 27 27 27 27 27 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28 27.5
September 28 28 28 29 29 27 28 29 28 28 28 28 28 28 28 28 27 28.1 28.9 27 27.9 27.5 27.0 28.3 27.9 28.1 27.9 28.0 28 29 28
35 Lampiran 3 Deskripsi varietas Tanggamus Dilepas tahun SK Mentan Nomor induk Asal Hasilrata-rata Warna hipokotil Warna epikotil Warna kotiledon Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna polong masak Warna hilum Bentuk biji Bentuk daun Tipe tumbuh Umur berbunga Umur saat panen Tinggi tanaman Percabangan Bobot 100 biji Ukuran biji Kandungan protein Kandungan lemak Kandungan air Kerebahan Ketahanan thd penyakit Sifat-sifat lain Wilayah adaptasi Pemulia
: 22 Oktober 2001 : 536/Kpts/TP.240/10/2001 : K3911-66 : Hibrida (persilangan tunggal): Kerinci x No. 3911 : 1.22 ton ha-1 : Ungu : Hijau : Kuning : Coklat : Ungu : Kuning : Coklat : Coklat tua : Oval : Lanceolate : Determinit : 35 hari : 88 hari : 67 cm : 3-4 cabang : 11.0 g : Sedang : 44.5% : 12.9% : 6.1% : Tahan rebah : Moderat karat daun : Polong tidak mudah pecah : Lahan kering masam : Darman MA., M. Muchlish Adie, Heru Kuswantoro, dan Purwantoro Sumber : (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007)
36 Lampiran 4 Kriteria penilaian hasil analisis tanah Nilai Parameter tanah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
C (%)
<1
1-2
2-3
3-5
>5
N (%)
<0.1
0.1-0.2
0.21-0.5
0.51-0.75
>0.75
P2O5 Bray (ppm P)
<4
5-7
8-10
11-15
>15
Ca (me 100g-1)
<2
2-5
6-10
11-20
>20
Mg (me 100g-1)
<0.3
0.4-1
1.1-2
2.1-8
>8
K (me 100g-1)
<0.1
0.1-0.3
0.4-0.5
0.6-1
>1
Na (me 100g-1)
<0.1
0.1-0.3
0.4-0.7
0.8-1
>1
KTK (me 100g-1)
<5
5-16
17-24
25-40
>40
Al (ppm)
1
3
8
21
40
Mn (ppm)
1
1
3
9
23
Fe (ppm)
1
3
5
19
53
KB (%)
<20
20-40
41-60
61-80
>80
Sumber : Balai penelitian tanah 2009
37 Lampiran 5 Rekapitulasi analisis sidik ragam data lahan mineral peubah
P Value Kedalaman lebar Tinggi tanaman
4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
0.0747tn 0.1027tn 0.1152tn 0.1352tn
4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
0.0258* 0.1775tn 0.3164tn 0.079tn
4 MST 6 MST 8 MST 10 MST Panjang akar 9 MST Bobot kering tajuk 9 MST Bobot kering akar 9 MST Bobot kering bintil 9 MST Jumlah bintil 9 MST Jumlah polong panen Jumlah polong isi panen Jumlah polong hampa panen Bobot biji per tanaman Produktivitas
0.0205* 0.4075tn 0.2832tn 0.9439tn 0.5609tn 0.5327tn 0.3651tn 0.107tn 0.023* 0.0327* 0.0353* 0.0689tn 0.0268* 0.0274*
Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5% ** berpengaruh nyata pada taraf 1% tn tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%
0.4209tn 0.6463tn 0.8381tn 0.425tn Jumlah daun 0.5655tn 0.0003** 0.0012** <.0001** Jumlah cabang 0.3522tn 0.7944tn 0.1157tn 0.1951tn 0.5693tn 0.4297tn 0.4233tn 0.0026* 0.1455tn 0.0711tn 0.0714tn 0.5996tn 0.0298* 0.0303*
Interaksi 0.1495tn 0.0169* 0.4099tn 0.4759tn 0.359tn 0.3726tn 0.2448tn 0.0006** 0.919tn 0.0122* 0.6712tn 0.0897tn 0.5909tn 0.1365tn 0.2968tn 0.0022** 0.1755tn 0.7476tn 0.7097tn 0.1267tn 0.7458tn 0.7529tn
38 Lampiran 6 Rekapitulasi analisis sidik ragam data lahan mineral bergambut peubah
4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST Panjang akar 9 MST Bobot kering tajuk 9 MST Bobot kering akar 9 MST Bobot kering bintil 9 MST Jumlah bintil 9 MST Jumlah polong panen Jumlah polong isi panen Jumlah polong hampa panen Bobot biji per tanaman Produktivitas
P Value Kedalaman lebar Tinggi tanaman tn 0.0583 0.0237* tn 0.093 0.0383* 0.0237* 0.3405tn 0.0011** 0.5293tn Jumlah daun tn 0.0706 0.4012tn 0.3069tn 0.3389tn tn 0.2313 <.0001** 0.0173* 0.052** Jumlah cabang tn 0.3001 0.9480tn tn 0.0511 0.0553tn 0.0414* 0.0009** 0.1628tn 0.0036** 0.0217* 0.0067** 0.5284tn 0.2477tn ** 0.0040 0.1980tn 0.9838tn 0.1723tn 0.7861tn 0.0233* tn 0.5643 0.2206tn tn 0.5154 0.1676tn 0.1970tn 0.1516tn 0.7449tn 0.0172* 0.7415tn 0.0172*
Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5% ** berpengaruh nyata pada taraf 1% tn tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%
interaksi 0.0247* 0.0092** 0.2031tn 0.7268tn <.0001** 0.0002** 0.029** 0.1659tn 0.0982tn 0.0637tn 0.0657tn 0.0082** 0.5046tn 0.1890tn 0.0486* 0.0052** 0.0008** 0.0862tn 0.0755tn 0.0961tn 0.0541tn 0.0534tn
0.53** 0.45* 0.65** 0.63** 0.63** 0.42* 0.45* 0.59** 0.31tn 0.19tn 0.10tn 0.18tn 0.35tn 0.35tn -0.09tn 0.62** 0.32tn 0.62** 0.57** 0.57**
Tinggi 6 MST
0.86** 0.37tn 0.23tn 0.09tn 0.29tn 0.53** 0.17tn 0.16tn -0.38tn 0.02tn 0.30tn 0.17tn 0.21tn 0.15tn 0.25tn 0.19tn 0.24tn 0.21tn 0.21tn
Tinggi 8 MST
0.36tn 0.02tn -0.04tn 0.31tn 0.54** -0.02tn -0.02tn -0.28tn 0.25tn 0.32tn 0.08tn -0.02tn 0.14tn 0.25tn 0.15tn 0.24tn 0.22tn 0.22tn
Tinggi 10 MST
Keterangan : angka yang tertera dalam tabel dalah nilai korelasi Perason * ada korelasi nyata pada taraf 5% ** ada korelasi nyata pada taraf 1% tn tidak ada korelasi nyata pada taraf 5%
Tinggi 6 MST Tinggi 8 MST Tinggi 10 MST Daun 4 MST Daun 6 MST Daun 8 MST Daun 10 MST Cabang 4 MST Cabang 6 MST Cabang 8 MST Cabang 10 MST Panjang akar 9 MST Jumlah bintil 9 MST BK tajuk BK akar BK bintil J Polong J Polong hampa J Polong isi BB Biji Produktivitas
Tinggi 4 MST 0.68** 0.52** 0.44* 0.66** 0.45* 0.34tn 0.48* 0.41* 0.53** 0.59** 0.25tn 0.19tn 0.40tn 0.28tn 0.26tn 0.09tn 0.51* 0.22tn 0.51* 0.49* 0.49* 0.57** 0.50* 0.69** 0.63** 0.48* 0.60** 0.29tn 0.36tn 0.60** 0.33tn 0.41* 0.35tn 0.59** 0.69** 0.57** 0.51** 0.51**
Daun 4 MST
Lampiran 7 Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral
0.90** 0.02tn 0.26tn 0.43* 0.49* 0.54** -0.26tn 0.11tn 0.09tn 0.15tn -0.00tn 0.46* 0.46* 0.43* 0.36tn 0.36tn
Daun 6 MST
0.06tn 0.13tn 0.40tn 0.45* 0.59** -0.22tn -0.05tn 0.09tn 0.16tn -0.17tn 0.54** 0.35tn 0.53** 0.45* 0.45*
Daun 8 MST
0.56** 0.54** 0.54** -0.05tn 0.28tn 0.49* 0.48* 0.48* 0.41* 0.46* 0.47* 0.44* 0.42* 0.42*
Daun 10 MST
0.04tn 0.35tn -0.20tn 0.24tn 0.41* 0.20tn 0.26tn 0.34tn 0.38tn 0.49* 0.37tn 0.35tn 0.35tn
Cabang 4 MST
0.47* 0.29tn -0.09tn 0.11tn 0.36tn 0.44* 0.00tn 0.31tn 0.22tn 0.30tn 0.25tn 0.25tn
Cabang 6 MST
0.46* -0.05tn 0.36tn -0.00tn 0.31tn 0.39tn 0.35tn 0.47* 0.33tn 0.29tn 0.29tn
Cabang 8 MST
0.03tn -0.06tn -0.18tn -0.09tn -.04tn 0.16tn 0.26tn 0.15tn 0.09tn 0.09tn
Cabang 10 MST
0.67** 0.17tn 0.48* 0.16tn 0.48* 0.47* 0.47*
0.27tn 0.28tn 0.75** 0.36tn 0.51** 0.33tn 0.35tn 0.35tn 0.15tn 0.32tn 0.37tn 0.31tn 0.28tn 0.28tn
BK tajuk BK akar
J bintil
Keterangan : angka yang tertera dalam tabel dalah nilai korelasi Perason * ada korelasi nyata pada taraf 5% ** ada korelasi nyata pada taraf 1% tn tidak ada korelasi nyata pada taraf 5%
Panjang akar 9 MST Jumlah bintil 9 MST 0.19tn BK tajuk 0.11tn BK akar 0.27tn BK bintil -0.06tn J Polong 0.04tn J Polong hampa 0.2tn J Polong isi 0.03tn BB Biji 0.01tn Produktivitas 0.01tn 0.22tn 0.55** 0.19tn 0.19tn 0.19tn 0.42* 0.99** 0.98** 0.98** 0.37tn 0.31tn 0.31tn
J Polong BK bintil J Polong hampa
Lampiran 8 Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral (lanjutan)
0.98** 0.98**
J Polong Isi
1**
BB Biji
0.97** 0.91** 0.81** 0.76** 0.69** 0.55** 0.61** -0.16tn 0.57** 0.31tn -0.15tn -0.30tn 0.58** 0.51* -0.19tn 0.45* 0.64** 0.44* 0.03tn 0.03tn
Tinggi 6 MST
0.95** 0.85** 0.76** 0.65** 0.51* 0.51* -0.08tn 0.53** 0.29tn -0.04tn -0.31tn 0.59** 0.49* -0.21tn 0.4tn 0.63** 0.40tn -0.01tn -0.01tn
Tinggi 8 MST
0.84** 0.76** 0.67** 0.51* 0.45* -0.09tn 0.51** 0.23tn -0.05tn -0.36tn 0.56** 0.49* -0.15tn 0.39tn 0.53** 0.39tn 0.02tn 0.02tn
Tinggi 10 MST
Keterangan : angka yang tertera dalam tabel dalah nilai korelasi Perason * ada korelasi nyata pada taraf 5% ** ada korelasi nyata pada taraf 1% tn tidak ada korelasi nyata pada taraf 5%
Tinggi 6 MST Tinggi 8 MST Tinggi 10 MST Daun 4 MST Daun 6 MST Daun 8 MST Daun 10 MST Cabang 4 MST Cabang 6 MST Cabang 8 MST Cabang 10 MST Panjang akar 9 MST Jumlah bintil 9 MST BK tajuk BK akar BK bintil J Polong J Polong hampa J Polong isi BB Biji Produktivitas
Tinggi 4 MST 0.99** 0.96** 0.93** 0.86** 0.80** 0.73** 0.53** 0.64** -0.15tn 0.59** 0.26tn -0.13tn -0.39tn 0.57** 0.50* -0.25tn 0.44* 0.61** 0.44* 0.06tn 0.06tn 0.96** 0.62** 0.43* 0.62** -0.12tn 0.53** 0.19tn -0.12tn -0.45* 0.49* 0.36** -0.30tn 0.44* 0.39tn 0.44* 0.19tn 0.19tn
Daun 4 MST
0.59** 0.38tn 0.59** -0.21tn 0.51* 0.2tn -0.22tn -0.37tn 0.48* 0.36tn -0.16tn 0.52** 0.34tn 0.52** 0.33tn 0.33tn
Daun 6 MST
Lampiran 9 Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral bergambut
0.63** 0.49* 0.26tn 0.92** 0.44* -0.43* -0.12tn 0.54** 0.67** -0.04tn 0.59** 0.32tn 0.60** 0.43* 0.43*
Daun 8 MST
0.29tn 0.41* 0.68** 0.75** 0.09tn 0.09tn 0.50* 0.67** 0.16tn 0.26tn 0.59** 0.25tn 0.23tn 0.23tn
Daun 10 MST
-0.27tn 0.37tn 0.09tn -0.17tn -0.69** 0.19tn 0.1tn -0.52** 0.47* 0.39tn 0.45* 0.23tn 0.23tn
Cabang 4 MST
0.34tn 0.39tn 0.25tn 0.37tn 0.24tn 0.41* 0.23tn 0.09tn -0.10tn 0.09tn 0.19tn 0.19tn
Cabang 6 MST
0.61** -0.41* 0.08tn 0.57** 0.70** -0.07tn 0.47* 0.4tn 0.48* 0.42* 0.42*
Cabang 8 MST
0.06tn 0.40tn 0.65** 0.83** 0.16tn 0.45* 0.4tn 0.44* 0.44* 0.44*
Cabang 10 MST
-0.07tn -0.17tn -0.074tn -0.072tn -0.26tn 0.25tn -0.273tn -0.28tn -0.28tn 0.08tn 0.25tn 0.67** 0.00tn -0.14tn 0.02tn 0.31tn 0.31tn 0.85** -0.11tn 0.39tn 0.3tn 0.39tn 0.18tn 0.18tn
BK tajuk
0.08tn 0.53** 0.28tn 0.53** 0.39tn 0.39tn
BK akar
Keterangan : angka yang tertera dalam tabel dalah nilai korelasi Perason * ada korelasi nyata pada taraf 5% ** ada korelasi nyata pada taraf 1% tn tidak ada korelasi nyata pada taraf 5%
Jumlah bintil 9 MST BK tajuk BK akar BK bintil J Polong J Polong hampa J Polong isi BB Biji Produktivitas
Panjang akar 9 MST J bintil
0.18tn -0.18tn 0.19tn 0.26tn 0.26tn 0.00tn 0.99** 0.71** 0.71**
BK bintil J Polong
Lampiran 10 Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral bergambut (lanjutan)
0.00tn -0.11tn -0.11tn
J Polong hampa
0.71** 0.71**
J Polong Isi
1**
BB Biji
43
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 18 September 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Syaeful Aziez dan Christina Tri Purnami Lempo. Pendidikan Sekolah Menengah Atas pada SMAN 1 Tegal tahun 2003 dan melanjutkan pendidikan sarjana pada Universitas Jenderal Soedirman pada tahun 2006 di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2011. Selama pendidikan sarjana penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Dasar, Dasar-Dasar Agronomi dan Fisiologi Tumbuhan. Penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister pada program studi Agronomi dan Hortikultura IPB pada tahun 2013.