PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 1 2009
Penampilan Genotipe Kedelai dengan Dua Perlakuan Kapur di Lahan Pasang Surut Bergambut Koesrini dan Eddy William Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl. Kebun Karet, Kotak Pos 31, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
ABSTRACT. Performance of Soybean Genotypes with Two Liming Application on Peaty Soil. High soil acidity is one among problems that cause low soybean productivity on peaty soil. Using tolerance variety and liming is expected to increase soybean productivity on those soils. The objective of this research was to evaluate yield performance of 12 soybean genotypes with two lime applications on peaty soil. Research was conducted on peaty soil at Sidomulyo, Barito Kuala District of South Kalimantan, during dry season of 2002. The experiment was arranged in a split plot design with four replications. The main plots were liming application (K1= liming 1 t/ha and K2= liming 2 t/ha), and the sub plots were 12 soybean genotypes. Results showed that there were variations of responses to liming among genotypes tested. Genotype Msc 9112D-4 was categorized as the most responsive to liming with yield increase of 28.0%. Genotype B4F4HW-192-01-333 yielded the highest, i.e. 2,61 kg/ha dry grain. Liming 2 t/ha (0.54 x Aldd) increased soybean yield by 16.0% (from 1.8 t/ha to 2.1 t/ha), pH from 4.46 to 5.0 and decreased Aldd from 3.05 me to 0.75 me/100 g on peaty soil. Keywords: Soybean, lime, peaty soil, responses to liming ABSTRAK. Kemasaman tanah merupakan salah satu penyebab rendahnya hasil kedelai di lahan pasang surut. Penggunaan varietas toleran dan pengapuran merupakan upaya untuk meningkatkan hasil kedelai di lahan tersebut. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi daya hasil 12 genotipe kedelai pada dua tingkat perlakuan kapur di lahan pasang surut bergambut. Percobaan dilaksanakan di lahan pasang surut bergambut Sidomulyo, Barito Kuala, Kalimantan Selatan pada MK 2002. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah dengan empat ulangan. Sebagai petak utama adalah perlakuan kapur (K1 = kapur 1 t/ha dan K2 = kapur 2 t/ha), dan sebagai anak petak adalah 12 genotipe kedelai. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi respon genotipe terhadap pengapuran. Genotipe Msc 9112-D-4 paling responsif terhadap pengapuran dengan nilai peningkatan hasil 28,0%. Genotipe B4F4HW-192-01333 berdaya hasil paling tinggi (2,61 t/ha. Pengapuran 2 t/ha (setara 0,54 x Aldd) meningkatkan hasil kedelai 16,0% (dari 1,8 t/ha menjadi 2,10 t/ha), meningkatkan pH tanah dari 4,46 menjadi 5,0 dan menurunkan kandungan Aldd dari 3,05 me menjadi 0,75 me/100 g di lahan pasang surut bergambut. Kata kunci: Kedelai, kapur, lahan pasang surut bergambut
ekitar 9,5 juta ha lahan pasang surut di Indonesia berpotensi dikembangkan sebagai lahan pertanian dan 4,2 juta ha di antaranya sudah direklamasi (Widjaja Adhi et al. 1992). Masalah utama di lahan pasang surut adalah kemasaman tanah yang sangat tinggi (pH 3-4), kahat hara makro (Ca, P, K dan Mg), hara mikro (Cu dan Zn) dan adanya unsur beracun Al3+, Fe2+, dan SO42+ (Widjaja Adhi et al. 1992; Saragih et al. 2001). Kondisi ini menyebabkan tanaman kedelai
S
tidak dapat tumbuh atau bila tumbuh hasilnya sangat rendah. Hasil kedelai bergantung pada tingkat cekaman lingkungan. Semakin berat cekaman lingkungan, semakin rendah hasil kedelai seperti dilaporkan oleh Koesrini dan William (2004). Tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik apabila tanah memiliki pH 6-7 (netral), C-organik > 0,8% (rendah), N total > sedang, P2O5 tinggi, K2O sedang (Djaenuddin et al. 1994), dan kejenuhan Al < 20% (Dierolf et al. 2001). Berdasarkan kriteria tersebut, tanaman kedelai memiliki prospek yang cukup baik dikembangkan di lahan pasang surut dengan perlakuan ameliorasi tanah. Dengan pengelolaan lahan, hara, dan tanaman yang tepat, hasil kedelai di lahan pasang surut dapat mencapai 2,0 t/ha (Sabran et al. 1996). Pemberian amelioran merupakan salah satu cara yang cukup efektif untuk memperbaiki tingkat kesuburan lahan, terutama pada lahan-lahan yang baru dibuka. Kapur merupakan sumber bahan amelioran yang banyak digunakan untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah, mengefektifkan penambahan hara dari luar, sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman (Gregan et al. 1989; Saragih et al. 2001). Pemberian kapur lebih efektif jika kejenuhan Al+H > 10% dan pH tanah < 5 (Wade et al. 1986). Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan takaran kapur memperbaiki sifat kimia tanah dan meningkatkan hasil tanaman, seperti dilaporkan oleh William et al. (2003) di lahan lebak Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Koesrini dan William (2007) di lahan pasang surut Batola, Kalimantan Selatan dan Sunihardi (2008) di lahan pasang surut Tanjung Jabung Timur, Jambi. Takaran kapur yang diperlukan bervariasi, bergantung pada sifat kimia tanah awal, terutama kandungan Aldd tanah, seperti dilaporkan oleh Suhartatik et al. (1987) di lahan kering masam Cikarawang, Supriati dan Heryani (2000) di lahan kering masam Rangkasbitung, dan Taufik et al. (2007) di lahan kering masam Lampung Tengah. Selain kapur, penggunaan genotipe toleran juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan hasil kedelai di lahan pasang surut. Varietas yang toleran tanah masam terutama berkaitan dengan ketahanan terhadap
29
KOESRINI DAN WILLIAM: GENOTIPE KEDELAI PADA LAHAN PASANG SURUT BERGAMBUT
Al yang tinggi. Dua varietas kedelai yang telah dilepas untuk di lahan rawa pasang surut adalah Lawit dan Menyapa. Hasil kedua varietas tersebut pada tanah sulfat masam (pH 4-5) dan kejenuhan Al 4,7-20,4% dapat mencapai 2,0 t/ha biji kering (Sabran et al. 1996). Varietas Slamet juga cukup adaptif di lahan pasang surut, yang diidentifikasi toleran terhadap Al dengan mekanisme yang dikembangkan terbentuknya suatu ikatan protein baru dengan berat molekul 79,8 KD. Protein tersebut dianggap memiliki peranan dalam tanaman yang toleran Al, melalui penurunan penyerapan atau peningkatan efflux (pengusiran) Al. Protein ini dikarakterisasi dari jaringan meristem akar pada 0,5-0,8 cm dan tidak dijumpai pada jarak 2 cm dari ujung akar (Soepandie et al. 2003). Dalam rangka evaluasi hasil kedelai di lahan pasang surut, delapan galur yang terpilih dari pengujian pendahuluan bersama dengan empat varietas, dievaluasi responnya terhadap pengapuran di lahan pasang surut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penampilan hasil genotipe kedelai tersebut dengan dua tingkat perlakuan kapur di lahan pasang surut bergambut.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut bergambut di Sidomulyo, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, MK 2002, pada lahan petani yang tergolong lahan pasang surut bergambut dengan tipe luapan C. Lahan tidak terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah dengan empat ulangan. Sebagai petak utama adalah tingkat pemberian kapur (K1=kapur 1 t/ha setara 0,27 x Aldd dan K2= kapur 2 t/ha setara 0,54 x Aldd). Anak petak adalah 12 genotipe kedelai (delapan galur harapan dan empat varietas). Pengolahan tanah dengan cangkul, kemudian dilakukan perlakuan kapur pada 2 minggu sebelum tanam (MST). Setiap genotipe ditanam pada petak berukuran 2 m x 5 m dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm. Pada saat tanam, tiap lubang tanam diberi Furadan 3G dengan takaran sesuai anjuran. Pupuk dasar diberikan dengan takaran 45 kg N, 75 kg P2O5, dan 50 kg K2O/ha. Pemeliharaan meliputi pengendalian gulma dan pembumbunan pada 2 dan 4 MST dan pengendalian hama/penyakit pada 3, 6, dan 10 MST. Panen dilakukan pada saat 80% kulit polong telah berwarna kecoklatan sampai coklat, kemudian brangkasan tanaman dijemur dan dibijikan. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan, hasil, dan komponen hasil. Nilai skor pertumbuhan adalah 1-5, skor 1 bila tanaman tumbuh normal dan bervigor serta daun
30
berwarna hijau, skor 2 bila tanaman tumbuh normal, daun berwarna hijau, tetapi kurang bervigor, skor 3 bila tanaman kurang bervigor dan daun berwarna kekuningan, skor 4 bila tanaman tumbuh terhambat dan daun berwarna kekuningan, skor 5 bila pertumbuhan tanaman sangat terhambat/kerdil. Nilai peningkatan hasil dihitung berdasarkan selisih hasil pada perlakuan K2 dan K1 dibagi dengan hasil pada perlakuan K1, dinyatakan dalam persen. Data dianalisis dengan program IRRISTAT dan dilanjutkan dengan DMRT.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah di lokasi pengujian bertekstur liat, dengan komposisi pasir lebih rendah dari debu dan liat, pH tanah tergolong sangat masam, kandungan C-organik sangat tinggi, N-total sedang, P-tersedia, KTK sangat tinggi, dan kejenuhan Al sangat rendah (Tabel 1). Berdasarkan kriteria tersebut, hanya tingkat kemasaman tanah yang kurang sesuai untuk pertumbuhan kedelai, sedangkan unsur hara utama tanah memenuhi syarat. Untuk mengatasi cekaman kemasaman tanah di lahan pasang surut, pemberian kapur cukup efektif memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Setelah pemberian kapur terjadi peningkatan pH tanah dari 4,46 menjadi 4,9 (kapur 1 t/ha) dan 5,0 (kapur 2 t/ ha) serta penurunan kandungan Al dari 3,05 me/100 g menjadi 1,70 me/100 g (kapur 1 t/ha) dan 0,75 me/100 g (kapur 2 t/ha). Pemberian kapur pada tanah masam, selain meningkatkan ketersediaan unsur Ca, Mg, dan
Tabel 1. Hasil analisis tanah awal lahan pasang surut bergambut Sidomulyo, Kabupaten Batola, Kalimantan Selatan, MK 2002. Karakteristik tanah Sifat kimia pH H2O C-org (%) N-tot (%) KTK Aldd (me/100 g) P-Bray 1 (ppmP) P (HCl 25%) (mg P2O5/100 g) Kejenuhan Al (%) Tekstur Tanah Pasir (%) Debu (%) Liat (%) 1)
Nilai
4,46 14,35 0,49 146,25 3,05 65,81 108,82 2,08
Kriteria1)
Sangat masam Sangat tinggi Sedang Sangat tinggi rendah Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat rendah
12,35 32,89 54,76
Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Puslittanak 1983)
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 1 2009
pH tanah, juga menurunkan Aldd yang bersifat toksik bagi tanaman. Pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif menunjukkan bahwa hampir semua genotipe memiliki skor pertumbuhan 1-2 (baik-agak baik). Pada fase generatif, tingkat serangan hama pengisap dan penggerek polong rendah, sehingga proses pembentukan polong/pengisian biji berlangsung baik, tingkat kerusakan biji rendah, dan hasil biji cukup tinggi. Analisis ragam terhadap tinggi tanaman menunjukkan adanya beda nyata antarperlakuan kapur, genotipe, dan interaksinya (Tabel 2). Tinggi tanaman pada pengujian ini tergolong normal, berkisar antara 36-68 cm. Tinggi tanaman pada perlakuan kapur 2 t/ha lebih tinggi 18,2% dibandingkan dengan tanaman pada perlakuan kapur 1 t/ha. Varietas Menyapa menampilkan tanaman tertinggi, baik pada perlakuan kapur 1 t/ha maupun 2 t/ha. Varietas tersebut memiliki tipe pertumbuhan semi determinet. Pada tanah-tanah yang ber pH > 4,5, tinggi tanaman dapat mencapai > 50 cm. Analisis ragam terhadap hasil biji menunjukkan terdapat beda nyata antargenotipe dan antarperlakuan kapur, sedangkan interaksinya tidak berbeda nyata (Tabel 3). Rata-rata hasil biji dari 12 genotipe kedelai cukup tinggi, yaitu 1,95 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa tanah setelah perlakuan kapur tergolong masih masam (pH 5), kandungan C-organik sangat tinggi, N-total sedang, dan P tersedia sangat tinggi, dan tingkat kejenuhan Al sangat rendah, namun kedelai dapat berproduksi cukup baik. Kedelai tergolong tanaman
yang kurang toleran terhadap keracunan Al. Batas toleransi kejenuhan Al untuk tanaman kedelai adalah 20%. Pada pengujian ini, nilai kejenuhan Al kurang dari nilai batas toleransi, hanya 2,08%, sehingga tanaman dapat tumbuh normal. Pada tanah yang tingkat kejenuhan Al-nya rendah, akar tanaman akan berkembang normal, absorbsi dan translokasi hara serta proses metabolisme tidak terganggu, sehingga pertumbuhan tanaman normal dan hasilnya optimal. Sebaliknya, pada tanah dengan kejenuhan Al tinggi terbentuk lapisan yang menutupi epidermis di ujung akar tanaman, sehingga terjadi kerusakan sel, terutama di sekeliling sel-sel ujung akar, penebalan dinding sel, kerusakan dan penurunan viabilitas akar, bahkan pada tingkat keracunan yang tinggi menyebabkan kematian titik tumbuh. Hal ini mengakibatkan sistem perakaran terbatas pada lapisan tanah bagian atas yang dangkal, sehingga akar tidak dapat memanfaatkan air dan unsur hara yang tersimpan pada subsoil. Akibatnya tanaman mudah mengalami cekaman air, pertumbuhan terhambat, biomassa, dan hasil rendah. Adanya keragaman hasil menunjukkan bahwa genotipe memiliki toleransi yang berbeda terhadap cekaman kemasaman tanah. Keragaan delapan galur yang diuji rata-rata cukup baik, galur B5F3-W80-279-174109 memberikan hasil kurang dari 1,5 t/ha, sedangkan galur lainnya lebih dari 1,5 t/ha. Galur B44F4HW-192-01333 memberikan hasil tertinggi, yaitu 2,61 t/ha, baik pada perlakuan kapur 1 t/ha (2,50 t/ha) maupun perlakuan
Tabel 2. Tinggi tanaman dari 12 genotipe kedelai di lahan pasang surut bergambut Sidomulyo, Kabupaten Batola, Kalimantan Selatan, MK 2002.
Tabel 3. Hasil biji 12 genotipe kedelai di lahan pasang surut bergambut Sidomulyo, Kabupaten Batola, Kalimantan Selatan, MK 2002.
Genotipe
Tinggi tanaman (cm)
Tingkat kenaikan (%)
Kapur 1 t/ha
Kapur 2 t/ha
Ratarata
Msc 9112-D-4 Msc 9234-D-3 B4F4HW-169-160 B4F4HW-192-01-321 B4F4HW-192-01-333 B5F1-SW-73-165-X B5F3-W80-279-174-109 SB4-W80-211-170-338 Lawit Menyapa Wilis Slamet
41 ghi 50 cde 40 hi 46 d-g 43 fgh 42 gh 36 i 41 ghi 42 gh 52 bc 42 gh 48 c-f
51 b-e 52 bc 49 c-f 53 bc 56 b 51 bcd 41 hi 46 efg 56 b 68 a 55 b 51 b-e
46 51 45 50 50 47 39 44 49 60 49 50
24 4 23 15 30 21 14 12 33 31 31 6
Rata-rata
44
52
48
18
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
Hasil biji (t/ha) Genotipe Kapur 1 t/ha
Kapur 2 t/ha
Msc 9112-D-4 Msc 9234-D-3 B4F4HW-169-160 B4F4HW-192-01-321 B4F4HW-192-01-333 B5F1-SW-73-165-X B5F3-W80-279-174-109 SB4-W80-211-170-338 Lawit Menyapa Wilis Slamet
1,32 2,25 1,70 1,81 2,50 1,69 1,09 1,51 1,79 2,26 1,78 1,97
1,69 2,63 1,97 2,11 2,71 1,88 1,22 1,65 2,13 2,79 2,29 2,09
Rata-rata KK (%)
1,81
2,10
Ratarata 1,51 2,44 1,84 1,96 2,61 1,78 1,16 1,58 1,96 2,53 2,04 2,03
Tingkat kenaikan (%)
d a bc b a bcd e cd b a b b
1,95 14,9
28,0 16,9 15,9 16,6 8,4 11,2 11,9 9,3 19,0 23,5 28,7 6,1 16,0
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,01 DMRT.
31
KOESRINI DAN WILLIAM: GENOTIPE KEDELAI PADA LAHAN PASANG SURUT BERGAMBUT
kapur 2 t/ha-(2,71 t/ha). Empat varietas kedelai yang diuji menunjukkan potensi hasil yang sesuai dengan deskripsi varietas. Varietas Menyapa menampilkan hasil tertinggi, 2,52 t/ha. Varietas ini dihasilkan dari persilangan antara galur B 3034 dengan varietas Lokal Lampung. Salah satu pedigreenya adalah galur 3034/lamp 3-II-2 yang berwarna kuning kehijauan, ukuran biji kecil dengan bobot 8 g/100 biji, memiliki adaptasi yang baik di lahan pasang surut dengan potensi hasil 2,03 t/ha. Peningkatan takaran kapur meningkatkan hasil semua genotipe yang diuji. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian sebelumnya, baik di lahan lebak maupun lahan pasang surut. Peningkatan hasil kedelai di lahan lebak mencapai 8% dan di lahan pasang surut 8,8-30,2%. Tanah di lahan rawa lebak maupun pasang surut, umumnya sangat masam sampai masam (pH < 5), kandungan hara terutama Ca dan Mg rendah, dan tingkat keracunan Al cukup tinggi pada lahan yang baru dibuka. Pemberian kapur pada tanah-tanah tersebut selain meningkatkan pH tanah, juga berfungsi untuk meningkatkan ketersediaan hara Ca dan Mg yang diperlukan oleh tanaman kedelai, terutama pada fase pembentukan polong dan pengisian biji. Dalam penelitian ini, perlakuan kapur 2 t/ha (setara 0,54 x Aldd) dapat meningkatkan hasil kedelai di lahan pasang surut. Artinya, untuk dapat tumbuh dengan baik di lahan pasang surut dengan pH tanah 4,46 dan kandungan Al dd 3,05 me/100 g, tanaman kedelai memerlukan perlakuan kapur 2 t/ha. Takaran kapur bervariasi antarlokasi, bergantung pada sifat kimia tanah
awal, terutama kandungan Aldd tanah, seperti yang juga ditunjukkan pada penelitian sebelumnya. Di lahan kering masam Lampung Tengah, takaran kapur 0,25 x Aldd sudah cukup untuk meningkatkan hasil kedelai menjadi 2 t/ha. Lahan kering masam Rangkasbitung memerlukan takaran kapur 0,5 x Aldd, sedangkan lahan kering masam Cikarawang memerlukan kapur yang lebih tinggi lagi, yaitu 1,5 x Aldd. Peningkatan hasil tertinggi ditunjukkan oleh galur Msc 9112-D-4 (28,0%) dan varietas Wilis (28,7%). Peningkatan hasil terendah ditunjukkan oleh varietas Slamet (6,1%). Varietas ini dilepas untuk lahan kering masam, tetapi juga dapat ditanam pada lahan pasang surut dengan hasil mencapai 2,03 t/ha. Analisis ragam pada jumlah polong isi menunjukkan perbedaan sangat nyata antarperlakuan kapur, antargenotipe, maupun interaksinya (Tabel 4). Jumlah polong isi terbanyak diberikan oleh galur B4F4HW-192-01-333, baik pada perlakuan kapur 1 t/ha maupun 2 t/ha. Di antara varietas yang diuji, dicapai oleh varietas Menyapa pada perlakuan kapur 1 t/ha maupun perlakuan kapur 2 t/ha. Peningkatan jumlah polong isi tertinggi akibat peningkatan takaran pupuk ditunjukkan oleh galur B5F3W80-279-174-109 (106%) dan terendah pada galur Msc 9234-D-3 (15%). Analisis ragam terhadap bobot 100 biji menunjukkan perbedaan nyata antargenotipe, sedangkan antarperlakuan kapur dan interaksinya tidak berbeda nyata (Tabel 5). Bobot 100 biji tertinggi diberikan oleh galur Msc 9234-D-3, yaitu 11,68 g, tergolong sedang (10-
Tabel 4. Keragaan banyaknya polong isi/batang 12 genotipe kedelai di lahan pasang surut bergambut Sidomulyo, Kabupaten Batola, Kalimantan Selatan, MK 2002.
Tabel 5. Keragaan bobot 100 biji 12 genotipe kedelai di lahan pasang surut bergambut Sidomulyo-Kabupaten Batola, Kalimantan Selatan, MK 2002.
Jumlah polong isi/batang Genotipe
Tingkat kenaikan (%)
Genotipe
Kapur 1 t/ha
Kapur 2 t/ha
Ratarata
Msc 9112-D-4 Msc 9234-D-3 B4F4HW-169-160 B4F4HW-192-01-321 B4F4HW-192-01-333 B5F1-SW-73-165-X B5F3-W80-279-174-109 SB4-W80-211-170-338 Lawit Menyapa Wilis Slamet
22 lm 40 efg 28 l-m 25 klm 47 cde 30 h-l 18 m 23 klm 31 g-l 50 cd 35 f-j 38 e-h
26 j-m 46 cde 33 f-k 39 e-h 62 b 35 f-j 37 e-i 38 e-h 39 e-h 72 a 41 def 53 bc
24 43 31 32 55 33 28 31 35 61 38 46
18 15 18 56 32 17 106 65 26 44 17 39
Msc 9112-D-4 Msc 9234-D-3 B4F4HW-169-160 B4F4HW-192-01-321 B4F4HW-192-01-333 B5F1-SW-73-165-X B5F3-W80-279-174-109 SB4-W80-211-170-338 Lawit Menyapa Wilis Slamet
Rata-rata KK (%)
32
43
38 14,2
34 -
Rata-rata KK (%)
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,01 DMRT.
32
Bobot 100 biji (g) Kapur 1 t/ha
Kapur 2 t/ha
9,40 11,60 9,52 8,60 9,33 9,30 10,85 10,50 9,57 7,70 11,08 10,35
9,55 11,75 9,75 9,82 9,70 9,63 10,90 10,60 9,93 7,78 11,13 10,73
9,82
10,10
Ratarata 9,48 11,68 9,64 9,21 9,52 9,47 10,88 10,55 9,75 7,74 11,11 10,54
Tingkat kenaikan (%)
d a d d d d b c d e b c
1,60 1,29 2,42 14,19 3,97 3,55 0,46 0,95 3,76 1,04 0,45 3,67
10,00 3,2
2,85
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,01 DMRT.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 1 2009
13 g/100 biji) serta biji berwarna kuning. Petani lebih menyukai kedelai dengan ukuran biji sedang sampai besar dan berwarna kuning. Galur tersebut memiliki daya hasil cukup tinggi, 2,44 t/ha, dan cukup baik dikembangkan di lahan pasang surut. Peningkatan bobot 100 biji tertinggi akibat peningkatan takaran kapur ditunjukkan oleh galur B4F4HW-192-01-321 dan terendah pada galur B5F3-W80-279-174-109.
KESIMPULAN Tanggap antargenotipe yang diuji terhadap pengapuran beragam. Genotipe Msc 9112-D-4 paling responsif terhadap pengapuran dengan peningkatan hasil 28,0%. Genotipe B4F4HW-192-01-333 berdaya hasil tinggi (2,61 t/ha). Pemberian kapur 2 t/ha meningkatkan hasil kedelai 16,0%, meningkatkan pH tanah dari 4,46 menjadi 5,0 dan menurunkan kejenuhan Aldd dari 3,05 menjadi 0,75 me/ 100 g di lahan pasang surut bergambut.
DAFTAR PUSTAKA Dierolf, T.T. Fairhurst and E. Mutert. 2001. A toolkit for acid, upland soil fertility management in Southeast Asia. Handbook Series. PPIC-Canada. 150 p. Djaenuddin, D. Basuni, S. Hardjowigeno, dan H. Subagyo. 1994. Kesesuaian lahan untuk tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Laporan Teknis No. 7. Euroconsult-PT Andal Agrikarya Prima. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 50 p. Gregan, P.D., J.R. Hirth, and M.K. Convers. 1989. Amelioration of soil acidity by liming and other amendments. p.205-264. In. A.D. Robson (ed). Soil Acidity and Plant Growth. Academic Press, Australia. Koesrini dan E. William. 2004. Keragaan hasil dan daya toleransi genotipe kedelai di lahan sulfat masam. Bull. Agron. 32(2):3338.
Koesrini dan E. William. 2007. Responsitas 12 genotipe kedelai terhadap pengapuran di lahan rawa pasang surut sulfat masam. p.423-432. Dalam: Mukhlis, M. Noor, A. Supriyo, I. Noor dan R.S. Simatupang (eds). Prosiding Seminar Nasional Pertanian lahan Rawa. Kuala Kapuas, 3-4 Agustus 2007. Puslittanak. 1983. Kriteria penilaian sifat kimia tanah. Pusat Penelitian Tanah Bogor. Sabran, M., Koesrini, and E. William. 1996. Genotype-environment interaction in soybean yield trials on acid sulphate soil. Penelitian Pertanian 15(1):16-21. Saragih, I. Ar-Riza, dan N. Fauziah. 2001. Pengelolaan lahan dan hara untuk budi daya palawija di lahan rawa pasang surut. p.65-81. Dalam: Ar-Riza, I., T. Alihamsyah, dan M. Sarwani (eds). Pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut. Monograf Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa Banjarbaru. Soepandie, D., I. Marzuki, and M. Jusuf. 2003. Aluminum tolerance in soybean protein profiles and accumulation of Al in roots. Hayati 10(1):30-33. Suhartatik, E., F. Rumawas, J. Koswara, dan O. Koswara. 1987. Effect of liming and manure application on soybean yield grown on latosol soil. Penelitian Pertanian 7(21):61-68. Sunihardi. 2008. Peningkatan produksi kedelai di lahan pasang surut melalui pendekatan PTT. Http://www.puslittan.bogor.net (Akses 12 Mei 2008). Supriati, Y. N. dan Heryani. 2000. Analisis daya adaptasi varietas kedelai terhadap Al tinggi dan pH rendah. Abstrak Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Jakarta, 6-7 Agustus 1996. BPTP-Jakarta. Hhtp:/ /www.fao.org/agris/search/display.do. Taufik, A., H. Kuntyastuti, C. Prahoro, dan T. Wardani. 2007. Kapur dan pupuk kandang pada kedelai di lahan kering masam. Penelitian Pertanian 26(02):78-85. Wade, M.K. M. Al-Jabri, and M. Sudjadi. 1986. The effect of liming on soybean yield and soil acidity parameters of three RedYellow Podsolic soils of West Sumatra. Pemb.Pen.Tanah dan Pupuk (6):1-8. Widjaja-Adhi, I.PG., K. Nugroho, D. Ardi, dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya lahan pasang surut dan rawa dan pantai: potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. p:19-38. Dalam: S. Partohardjono dan M. Syam (eds). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Cisarua 3-4 Maret. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. William, Koesrini, dan M. Sabran. 2003. Tanggap 12 genotipe kedelai terhadap pengapuran di lahan lebak. Agroscientiae 10(2):78-85.
33