TINJAUAN PUSTAKA
Mineral Liat
Mineral dapat didefenisikan sebagai bahan alam homogen dari senyawa anorganik asli, mempunyai susunan kimia tetap dan susunan molekul tertentu alam bentuk geometrik (Darmawijaya, 1990). Berdasarkan perkembangannya, para ahli ilmu pengetahuan tanah membedakan dua urutan mineral (pelikan) yaitu mineral primer dan mineral sekunder. Yang dimaksud mineral primer adalah mineral asli yang terdapat dalam batuan. Pada umumnya mineral primer terdiri dari mineral silikat yaitu persenyawaan silikon dan oksigen (SiO2), kemudian variasinya terdiri dari mineral feldsfar yang mengandung pesenyawaan alumunium, kalsium, natrium, besi, dan magnesium. Perubahan susunan kimia selama pelapukan batuan dekat permukaan bumi mengubah mineral primer yang terurai dan kemudian bersenyawa lagi membentuk mineral sekunder. Mineral sekunder adalah mineral penting (esensial) untuk perkembangan dan kesuburan tanah (Rafi’i 1990). Mineral skeletal (mineral primer) terdiri dari; a) pasir dan debu yang masing-masing butir merupakan satu macam mineral primer; b) agregat mikro kristalin: abu volkan (campuran berbagai mineral primer), dan chart (silika mikrokristalin; c) fragmen: pecahan batuan, dalam ukuran pasir atau debu, terdiri dari berbagai macam mineral primer (Hardjowigeno, 1993). Mineral sekunder terdiri dari; a) mineral liat aluminosilikat yang mempunyai arti lebih penting dalam tanah, menduduki hampir seluruh fraksi liat
Universitas Sumatera Utara
tanah
mineral;
b)
mineral
liat
Fe
dan
Al
oksidahidrat
(Mulyani dan Kartasapoetra, 2002). Mineral liat adalah bahan anorganik filosilikat berbentuk kristal yang terjadi secara alami ditemukan dalam tanah-tanah dan deposit-deposit dipermukaan bumi lainnya. Tidak dibatasi oleh ukuran partikel (Lubis, 1988). Mineral liat adalah mineral yang terdapat dalam tanah yang tersusun atas aluminasilikat bertekstur kristalin atau tanpa struktur (amorphous) dengan unsur silikon sebagai unsur utama. Mineral liat secara umum terbentuk melalui dua cara yaitu : rekristalin ion-ion hasil pelapukan dari mineral primer dan perubahan struktur
(transformasi)
mineral
primer
secara
langsung
(Greenland and Hayes, 1978). Mineral liat dibedakan atas bentuk kristalin dan amorf (non kristalin). Untuk mengidentifikasi mineral liat dapat dilakukan dengan cara analisis difraksi sinar–X, analisis difraksi termal (DTA), analisis gravimetris termal (TGA) dan scanning elektron mikroskop (SEM) (Munir, 1996). Mineral liat kristalin dibedakan berdasarkan jumlah lapis kristal tetrahedron dan oktahedron, yaitu; a) tipe dua lapis (1:1) yang tersusun atas satu lapis silikat tetrahedron dan satu lapis aluminium oktahedron; b) tiga lapis (2:1) yang tersusun masing-masing dua lapis silikat dan aluminium tetrahedron dan satu lapis dioktahedron atau trioktahedron; c) tipe empat lapis (2:1:1) yang tersusun masing-masing dua lapis silikat dan aluminium tetrahedron dan oktahedron (Marpaung, 2005). Kaolinit umumnya sebagai mineral liat 1:1 dan terbentuk dari daerah beriklim basah dan berdrainase baik dengan lingkungan asam (Arsyad dkk, 1975).
Universitas Sumatera Utara
Penyelidikan terbaru membuktikan bahwa mineral kaolinit terdiri atas tiga mineral yang diberi nama kaolinit, nacrit, dan dickit, yang susunan kimianya identik ialah Al2O3, 2SiO2, 2H2O, tetapi berbeda asal, reaksi terhadap panas dan sifat fisik lainnya. Kaolinit merupakan anggota terpenting sebagai hasil pelapukan sulfat
atau
mengandung
karbonat
pada
temperatur
yang
sedang
(Darmawijaya, 1990). Mineral liat montmorillonit tercatat memiliki sifat liat dan kohesi tinggi, jelas berkerut
jika dikeringkan, butirnya berkeping halus dan mudah
didispersikan. Hablur montmorillonit memang begitu mudah didispersikan sehingga
tanah
terolah
baik
mengandung
bahan
lempung
(Buckman dan Brady, 1982). Illit berasal dari mika dengan menghilangkan K. Proses pelapukan ini lambat sehingga sulit unuk memberi rumus umum. Ketebalan interlayer spacenya bervariasi sekitar 14Å (Amerijcrx, 1985). Gibsit merupakan mineral utama pada tanah-tanah Ultisol dan Oksisol dengan pelapukan lanjut dikawasan tropik dan subtropik, pelapukan awal mika menghasilkan vermikulit kemudian menghasilkan smektit dan melalui proses pedogenik menghasilkan klorit lalu membentuk kaolinit. Pembentukan kaolinit kemungkinan menghasilkan gibsit. Pembentukan gibsit dapat terjadi dengan cepat pada saat proses pemisahan Si dan Al (Tan, 1991). Mineral liat non Kristal alofan merupakan tanah umum pada bahan vulkanik. Alofan secara kolektif menyusun aluminium silikat berair dan imogolit suatu aluminosilikat pada kristal unik (khas). Mineral ini terbentuk dari penyusun tanah liat yang paling umum meliputi selang iklim yang luas. Alofan dan imogolit
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi sifat fisik dan kimia suatu tanah dengan kuat, sering bertanggung jawab untuk produktifitas yang rendah dan mempengaruhi kesesuaian dan kualitas tanah sebagai bahan bangunan (Amerijcrx, 1985). Alofan dan imogolit sebagaimana dengan mineral liat non kristalin lainnya mempunyai luas permukaan spesifik yang lebih besar dan reaksi kimia yang tinggi. Bahan-bahan ini lebih banyak berpengaruh terhadap reaksi kimia (Sudo and Shimoda, 1978). Imogolit mempunyai rasio Si dan Al 0.5 dan mempunyai sebuah struktur berbentuk tuba dengan diameter dalam 1 nm dan diameter liatnya 2 nm. Tuba imogolit lebih tampak jelas dibawah mikroskop elektron transmisi daripada unit partikel dari alofan. Imogolit mempunyai sebuah struktur nesosilikat. Imogolit terbentuk dari tanah abu vulkanik yang bercampur dengan alofan. Imogolit kurang reaktif dengan posfat daripada alofan (Henmi et al, 1982). Mineral liat merupakan komponen penting dalam tanah, sehingga keberadaanya dapat menentukan sifat dan ciri tanah. Beberapa aspek penting yang berkaitan dengan sifat mineral liat adalah a) muatan (kapasitas tukar kation), b) difusi double layer, c) mengembang dan mengkerutnya tanah, dan d) konsistensi tanah (Munir, 1996). Pada umumnya mineral liat bermuatan negatif sehingga mineral liat mempunyai
kemampuan
menjerap
dan
mempertukarkan
kation
(Uehara and Gilman, 1981;in Sudo and Shimoda, 1978 ). Kapasitas mineral liat menjerap dan mempertukarkan kation disebut Kapasitas Tukar Kation (KTK). KTK beberapa mineral liat yang diekstraksi dengan NH4OAc pH 7 (Grim, 1953).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Kapasitas Tukar Kation dari Beberapa Mineral liat Utama No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mineral Liat Liat Amorphus Vermikulit Montmorillonit Halloysit 4H2O Illit Klorit Kaolinit Halloysit 2H2O Sesquioksida
Kapasitas Tukar Kation (me/100g) 160 (pada pH 6.2) 100-150 60-100 40-50 20-40 10-40 2-16 5-10 0
Sumber : Mukhlis (2004) Tanah muda biasanya mempunyai KTK rendah sesuai dengan tekstur bahan induk. KTK mula-mula akan meningkat dengan meningkatnya pelapukan, tetapi KTK akan menjadi rendah pada tanah dengan tingkat pelapukan lanjut. Hal ini akibat melapuknya mineral liat mudah lapuk (mineral liat 2:1, alofan) dan terbentuk mineral liat yang rendah KTK nya (kaolinit, oksida-oksida). Batas antara KTK rendah dan tinggi adalah 16 me/100g liat (Hardjowigeno, 1993). Nilai KTK dapat menunjukkan beberapa hal dalam tanah yaitu sebagai petunjuk jenis-jenis mineral liat yang ditemukan dalam tanah, dan petunjuk tingkat pelapukan tanah (Hardjowigeno, 1993). Dari berbagai pengamatan ciri tekstur tanah, ternyata KTK berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu jenis tanah yang sama, maka KTK juga betambah besar. Makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat dan koloid organiknya, sehingga KTK juga semakin besar. Sebaliknya tekstur kasar seperti pasir atau debu, jumlah koloid liat relatif kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga relatif lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (Hakim dkk, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Differential Thermal Analysis (DTA)
Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan teknik yang digunakan secara luas dan sangat bermanfaat terutama dalam mengidentifikasikan bahan amorf. DTA digunakan untuk mengukur perbedaan suhu (0C) antara bahan sampel dan bahan pembanding atau standar yang panasnya stabil, dengan menggunakan laju pemanasan yang dikendalikan dari suhu kamar sampai dengan 10000C. Bahan pembanding (standar) yang digunakan kaolinit
yang telah dikalsinkan,
(dipanaskan pada suhu 10000C), Al2O3 yang telah dikalsinkan, serta dapat juga digunakan α-Alumina. Untuk sampel tanah terlebih dahulu digunakan H2O2 30% untuk menghilangkan bahan organik yang merekat pada tanah. Perlakuan terhadap sampel tanah yaitu berupa: 1) penjenuhan HCl 5 N, 2) penjenuhan NaOH 5 N, 3) penjenuhan 0,1 N NaCl2, 4) penjenuhan CaCl2, serta penjenuhan AlCl3. Perlakuan tersebut dapat mempengaruhi kurva yang dihasilkan oleh DTA, dimana kurva tersebut dapat menjadi penciri dalam identifikasi mineral. Pemanasan harus terkendalikan
dan
seragam
yaitu
berkisar
0,10C
hingga
10000C/menit
(Goenadi dan Rajagukguk, 1992 dalam Warman, 1994). Differential Thermal Analysis prinsip kerjanya berdasarkan kenyataan bahwa koordinasi air hablur lempung dan air hidrasi ion dapat tukar merupakan suatu reaksi endotermik (menyerap panas). Hal ini menyebabkan temperatur contoh lempung turun sampai dibawah atas temperatur suatu bahan lembam kendali yang diperlakukan serupa, seperti alumunium kalsin. Bahan ini mempunyai panas jenis dan konduktivitas panas setara lempung. Contoh lempung yang disidik dan bahan lembam itu dipanasi bersamaan dengan takaran energi panas yang sama. Adanya perbedaan panas antara lempung dan bahan lembam itu
Universitas Sumatera Utara
dicatat dan diplot melawan temperatur. Ini akan menghasilkan kurva khas untuk setiap tipe lempung. Metode ini sangat teliti untuk mengenali mineral sekunder (Poerwowidodo, 1991). Identifikasi kuantitatif mineral dapat dilakukan dengan menggunakan kurva DTA sebagai sidik jari dan membandingkannya atau mencocokkannya dengan kurva DTA dari mineral standar, atau dengan kurva dari mineral yang telah diketahui. Tiap mineral liat menampakkan ciri-ciri reaksi termal yang spesifik. Kurva DTA kaolinit dicirikan puncak kurva endotermik kuat pada 4506000C dan boleh suatu kurva eksotermik kuat pada 900-10000C. Kurva Haloisit hampir sama dengan kaolinit, tetapi sebagai tambahan terdapat puncak kurva endotermik pada temperatur tendah (100-2000C) dengan intensitas sedang hingga kuat. Montmorillonit menampakkan suatu kurva DTA yang dicirikan oleh suatu puncak endotermik antara 600-7000C, dan suatu cekungan kecil antara 800-9000C yang diikuti oleh puncak kurva endotermik lemah antara 9000-10000C. Gibsit dan geotit biasanya dicirikan oleh suatu puncak kurva endotermik kuat hanya antara 2900C dan 3500C. Sering kali geotit dan beberapa mineral besi mempunyai reaksi endotermik pada temperatur yang lebih tinggi dari pada gibsit. Alofan menampakkan ciri-ciri DTA dengan puncak endotermik kuat pada temperatur rendah (500-1500C) dan suatu puncak kurva eksotermik kuat pada 9000-10000C. Reaksi endotermal temperatur rendah dianggap diakibatkan oleh hilangnnya air yang terjerap, sedangkan reaksi eksotermik utama disebabkan oleh pembentukan alumina γ. Puncak kurva endotermik dan eksotermik yang khas dari beberapa mineral-mineral lempung disajikan pada gambar 1 (Tan, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Kurva-Kurva Penciri Diferensial Termal Analisis (DTA) Beberapa Mineral Liat
Pola Distribusi Mineral liat
Tiap sifat tanah mempunyai pola agihan (mineral) acak sendiri-sendiri, terbawa dari sejarah pemunculan yang berbeda-beda, sekalipun dalam satu individu tubuh tanah yang sama. Maka tidak mudah menamakan morfologi tanah. Penamaan biasanya menggunakan gabungan pola agihan acak beberapa sifat tanah
Universitas Sumatera Utara
terpilih yang dinilai terpenting sebagai ciri diagnostik. Dengan penggabungan tersebut dapat digarisbatasi horizon-horizon induk. Dari ribuan pola acak dapat disimpulkan menjadi enam pola pokok, yaitu :
a
b
c
d
e
f
Gambar 2. Bentuk Pola Distribusi Mineral Liat a. berkurang b. meningkat c. dengan makimum d. dengan minimum e. tidak tentu f. tetap (Notohadiprawiro, 1998).
Tingkat Perkembangan Tanah
Perkembangan tanah adalah proses pembentukan tanah lanjut setelah terbentuknya horizon C. Banyak cara untuk menentukan perkembangan tanah salah satunya berdasarkan mineral liat yaitu dengan menentukan jenis dan jumlah mineral liat penyusun tanah. Tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan susunan mineral liat yaitu tanah dengan mineral gypsit > kaolonit > montmorillonit > alofan (Marpaung, 2005). Perkembangan tanah dapat dicirikan oleh distribusi dan komposisi mineral di dalam tanah. Tanah yang mengalami perkembangan tanah lebih lanjut jika kandungan mineral primer yang mudah lapuk lebih sedikit dibanding dengan mineral sukar lapuk. Sedangkan kandungan liat dalam tanah cenderung meningkat dengan tingkat pelapukan yang lebih lanjut (Hardjowigeno, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Karena proses pembentukan tanah yang terus menerus berjalan maka, maka bahan induk tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, tanah tua. Ciri dari masing-masing tingkatan perkembangan tanah adalah sebagai berikut : 1. Tanah muda (perkembangan awal). Terjadi proses pembentukan tanah terutama proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral di permukaan tanah dan pembentukan struktur tanah karena pengaruh dari bahan organik tersebut (sebagai perekat). Hasilnya adalah pembentukan horizon A dan C. 2. Tanah dewasa
(perkembangan sedang). Dengan proses lebih lanjut
terbentuk horizon B akibat penimbunan liat (iluviasi) dari lapisan atas ke lapisan bawah atau perubahan warna yang menjadi lebih merah dari pada horizon C dibawahnya. Pada tingkat ini tanah mempunyai kemampuan berproduksi tinggi karena unsur hara dalam tanah cukup tersedia sebagai hasil pelapukan mineral, sedangkan pencucian unsur hara belum lanjut. 3. Tanah tua (perkembangan lanjut). Dengan meningkatnya unsur hara, maka proses pembentukan profil tanah berjalan lebih lanjut sehingga terjadi perubahan yang lebih nyata pada horizon A dan B, tanah menjadi sangat masam, sangat mudah lapuk, dan kandungan bahan organik lebih rendah dari tanah dewasa. Akumulasi liat atau sesquioksida di horizon B lebih nyata sehingga membentuk horizon argilik (Bt). Apabila tidak terjadi penimbunan liat maka horizon E tidak terbentuk, sedangkan di horizon B tidak terbentuk sesquioksida. Tetapi proses pelapukan akan terus berjalan dan terbentuklah banyak oksida-oksida besi dan alumunium (Hardjowigeno, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Penilaian tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan sifat morfologis tanah dan genesa tanah, dimana secara morfologi ditentukan berdasarkan kelengkapan horizon-horizon genetis dan kedalaman solum, sedangkan secara genetis tanah ditetapkan berdasarkan tingkat pelapukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai hasil evaluasi analisa fisika, kimia dan mineralogi tanah (Hakim dkk, 1986). Tingkat perkembangan tanah dapat juga diketahui dengan menentukan bulk densitynya. Makin tinggi tinggi bulk density makin berkembang tingkat perkembangan tanah. Jika bulk density turun dari 2.65 menjadi kurang dari 2 maka pelapukan batuan akan meningkat karena terbentuknya pori-pori tanah (Hardjowigeno, 1993).
Jenis-Jenis Tanah Berdasarkan Tingkat Perkembangan Tanah Entisol Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses pembetukan tanah (Hardjowigeno, 1993). Entisol adalah tanah yang cenderung untuk berasal baru. Tanah ini ditandai dengan kemudaannya dan tidak ada horizon genesis alami atau hanya mempunyai permulaan horizon. Konsep pusat Entisol adalah tanah di dalam regolit yang dalam atau bumi tanpa horizon kecuali barangkali suatu lapis bajak. Akan tetapi beberapa Entisol mempunyai horizon plagen, Agrik, A2, dan beberapa batu keras yang dekat dengan permukaan (Foth, 1994). Seperti aluvial dari daerah-daerah aluvium masih memperlihatkan penampang asli (belum berubah). Keadaan tekstur tanah tergantung pada proses
Universitas Sumatera Utara
transportasi dan akumulasinya. Dekat-jauhnya bahan itu diangkut dari sumber dan faktor waktu. Pada umumnya besar tekstur tanah yang demikian memperlihatkan tekstur kasar jika berdekatan dengan sungai, dan bertekstur halus jika berjauhan dari sungai atau di luar jalur dataran banjir. Sedangkan penyebaran golongan Entisol tergantung pada keadaan fisiografik yang sangat berbeda-beda (iklim, morfologi, dan geologi) (Rafi’i, 1990). Nilai reaksi tanah sangat beragam mulai dari pH 2.5 sampai 8.5, kadar bahan organik tergolong rendah dan biasanya kurang dari 1%, kejenuhan basa sedang hingga tinggi dengan KTK sangat beragam, karena sangat bergantung pada jenis mineral liat yang mendominasinya, kadar hara tergantung bahan induk, permeabilitas lambat, dan peka erosi (Munir, 1996). Tingkat perkembangan yang sangat lemah pada Entisol disebabkan adanya beberapa faktor berikut : 1. Iklim yang sangat ekstrim basah atau kering, sehingga perombakan bahan induk terhambat 2. Bahan induk yang sangat resisten terhadap pelapukan, misalnya kwarsa 3. Adanya faktor erosi yang selalu mengerus epipedon, sehingga tidak pernah tebentuk horizon iluviasi (Munir, 1996). Inceptisol Inceptisol adalah tanah yang belum matang (Immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Beberapa Inceptisol terdapat dalam
Universitas Sumatera Utara
keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak berubah (Hardjowigeno, 1993). Inceptisol dapat berkembang dari bahan induk batuan beku, sedimen dan metamorf. Biasanya memiliki tekstur yang beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung tingkat pelapukan bahan induknya. Bentuk wilayahnya beragam dari berombak hingga bergunung, kesuburan tanahnya rendah, kedalaman efektifnya beragam dari dangkal hingga dalam. Di dataran rendah pada umumnya dijumpai solum yang tebal, sedangkan pada daerah lereng curam solumnya tipis (Munir, 1996). Inceptisol mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari tiga bulan berturut-turut dalam musim kemarau. Kisaran C-Organik dan KTK dalan Inceptisol sangat lebar, demikian juga kejenuhan basa. Inceptisol dapat terbentuk disemua tempat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika (Darmawijaya, 1990). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan Inceptisol adalah : 1. Bahan induk yang resisten 2. Posisi dalam landskap yang ekstrim yaitu daerah curam atau lembah 3. Pembentukan geomorfologi yang muda, sehingga pembentukan tanah belum lanjut Tidak ada proses pedogenik yang dominan kecuali leaching, meskipun proses pedogenik adalah aktif. Ditempat dengan bahan induk yang resisten, proses pembentukan liat terhambat (Hardjowigeno, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Ultisol Fenomena sifat fisik Ultisol menurut Mohr and Van Baren (1959) dapat dicirikan sebagai berikut yaitu, 1) kedalaman solum sedang (moderat 1-2 m), 2) berwarna merah-kuning yaitu chroma meningkat dengan bertambahnya kedalaman, 3) teksturnya halus pada horizon Bt, karena mengandung liat yang maksimal pada horizon ini, 4) strukturnya pada horizon Bt terbentuk gumpal, 5) konsistensinya teguh, cutan liat terjadi pathite banyak ditemukan konkresi besi, 6) permeabilitasnya lambat sampai baik, 7) erodibilitasnya tinggi. Sedangkan sifat kimia Ultisol adalah, 1) kemasaman kurang dari 5,5; 2) bahan organik rendah sampai sedang, 3) kejenuhan basa kurang dari 35 %, 4) KTK kurang dari 24 ml/100 g liat. Pencucian ekstensif terhadap basa-basa merupakan prasyarat untuk terbentuknya Ultisol. Pencucian sangat lanjut sehingga tanah bereaksi masam (Hardjowigeno, 1993)
Universitas Sumatera Utara