PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA PENGGENANGAN SESAAT DENGAN BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT
SITI RIA CHAERUNISA A24110114
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Penggenangan Sesaat dengan Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Siti Ria Chaerunisa A24110114
ABSTRAK SITI RIA CHAERUNISA. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Penggenangan Sesaat dengan Budidaya Januh Air di Lahan Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI. Kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di Indonesia. Produksi kedelai nasional yang belum dapat memenuhi kebutuhan kedelai nasional menyebabkan tingginya volume impor kedelai. Lahan pasang surut merupakan lahan marjinal yang potensial untuk ekstensifikasi budidaya kedelai. Budidaya jenuh air di lahan pasang surut telah terbukti dapat meningkatkan produksi kedelai pada penelitian-penelitian sebelumnya. Kendala praktik budidaya kedelai di lahan pasang surut tipe-B adalah penggenangan sesaat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi beberapa varietas kedelai pada cekaman genangan sesaat dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Penelitian ini dilaksanakan di lahan pasang surut tipe-B, Desa Mulyasari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan pada bulan April hingga Agustus 2015. Penelitian ini menggunakan rancangan split-plot dua faktor, yaitu tata air dan varietas. Faktor tata air terdiri dari BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat. Faktor varietas terdiri dari Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Detam 2, dan Malika. Penggenangan diberikan pada 14 – 16 HST dan 30 – 32 HST selama 2 jam per hari. Cekaman penggenngan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan penurunan produksi pada seluruh varietas. Varietas dengan potensi hasil tinggi dan menurut nilai indeks sensitivitas jumlah cabang termasuk dalam kategori toleran adalah Malika, sehingga cocok untuk dibudidayakan di lahan pasang surut tipe B. Kata kunci : pertumbuhan, produksi, penggenangan, varietas
ABSTRACT SITI RIA CHAERUNISA. The Growth and Production of Soybean Varieties under Temporal Flooding with Saturated Soil Culture in Tidal Swamp Area. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI. Soybean is one of the important agricultural commodities in Indonesia. The national soybean production that is still not meet national soybean demand causes high volume of imported soybean. Tidal area is a marginal land which is potential for extending the soybean cultivation. Prior studies have proved that the yield production of soybean can be increased by saturated soil culture. The major issue of soybean cultivation practice in tidal area type-B is temporal flooding. The objectives of this study are to understand the growth and yield production of some varieties of soybean in temporal flooding stress as well as saturated-soil culture in tidal swamp area. This study was conducted in tidal swap area type-B of Mulyasari village, Tanjung Lago Subdistrict, Banyuasin District, South Sumatera Province on April to August 2015. This study used split-plot design with two factors, such as
water system and variety. The factor of water system consists of Continual SSC and SSC with temporal flooding. While, the factor of variety consists of Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Detam 2, and Malika. Flooding was given on 14 – 16 DAP and 30 – 32 DAP for two hours per day. The flooding stress disrupted the growth and decreased the yield production of all varieties. The variety which has high potential yield production and according to sensitivity index of number of branch included in tolerant category is Malika, so that it becomes the most suitable variety to be cultivated in tidal swamp area Type-B. Keyword : growth, production, flooding, variety
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA PENGGENANGAN SESAAT DENGAN BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT
SITI RIA CHAERUNISA A24110114
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kekuatan dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan pada April – Agustus 2015 di Desa Mulyasari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian ini berjudul Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Penggenangan Sesaat dengan Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada: 1. Drs. Endang Lily, M.Si. dan Dra. Suhaenih selaku orang tua, juga Adik-adik yang selalu memberi dukungan moril dan materil selama perkuliahan dan penelitian. 2. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberi bimbingan selama penelitian dan penulisan skripsi. 3. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi arahan selama penulis mengikuti perkuliahan. 4. Keluarga Bapak Wakidi, warga Desa Mulyasari, dan warga Desa Banyu Urip yang telah membantu penulis selama melangsungkan penelitian. 5. Teman seperjuangan selama penelitian di Desa Mulyasari, Bapak Danner Sagala, Bagus, dan Robin yang telah membantu selama penelitian. 6. Teman-teman di Agronomi dan Hortikultura, terkhusus Dandelion angkatan 48 yang selalu memberikan semangat selama perkuliahan dan penelitian. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi yang memerlukan. Bogor, Februari 2017
Siti Ria Chaerunisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Lahan Pasang Surut Oksidasi Pirit Penggenangan dan Reduksi Pirit Budidaya Jenuh Air Varietas Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Rancangan Percobaan Pelaksanaan Penelitian Persiapan Lahan Irigasi Penanaman, Pemeliharaan dan Pemanenan Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun Indeks Luas Daun Bobot Kering Komponen Produksi dan Hasil Produksi Indeks Sensitivitas Koefisien Korelasi Komponen Produksi dan Hasil Produksi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xv xv xv 1 1 2 2 2 2 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7 7 8 9 9 11 12 13 14 17 18 19 19 19 19 23 34
DAFTAR TABEL 1. Uji beda nyata perlakuan tata air dan varietas terhadap berbagai peubah yang diamati 10 2. Tinggi dan jumlah daun trifoliat tanaman kedelai pada perlakuan BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat 11 3. Tinggi tanaman beberapa varietas kedelai 11 4. Jumlah daun beberapa varietas kedelai 12 5. Indeks luas daun daun kedelai pada perlakuan BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat 12 6. Indeks luas daun beberapa varietas 13 7. Bobot kering bintil akar, akar, batang, dan daun kedelai pada perlakuan BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat 13 8. Bobot kering bintil akar, akar, batang, dan daun beberapa varietas kedelai 14 9. Interaksi antara faktor tata air dan varietas pada peubah pengamatan jumlah cabang panen 15 10. Interaksi antara faktor tata air dan varietas pada peubah pengamatan waktu berbunga 15 11. Komponen produksi tanaman kedelai pada perlakuan BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat 16 12. Komponen hasil pada varietas Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Detam 2, dan Malika 16 13. Nilai indeks sensitivitas jumlah cabang 17 14. Matriks korelasi antar peubah pengamatan komponen produksi dan hasil produksi 18
DAFTAR GAMBAR 1. Ilustrasi perlakuan tata air BJA terus-menerus (a.) dan BJA dengan penggenangan sesaat (b.)
7
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5.
Data BMKG bulan April sampai Oktober 2015 Data hasil analisis tanah Denah Percobaan Teknik pengambilan ubinan Deskripsi varietas
23 24 25 26 27
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas agronomi yang sangat penting di Indonesia. Kedelai banyak digunakan sebagai bahan pangan seperti tempe, tahu, kecap, susu kedelai, kecambah, dan minyak. Polong muda dapat dimanfaatkan sebagai sayur. Ampas tahu digunakan sebagai campuran pakan. Minyak dan protein kedelai juga banyak dimanfaatkan untuk tujuan industri (Purwono dan Purnamawati, 2008). Rata – rata kebutuhan kedelai setiap tahun mencapai 2,2 juta ton biji kering (Prasastyawati, 2015). Produksi kedelai nasional pada tahun 2014 menurut BPS (2016) adalah 954.997 ton. Meskipun jumlah tersebut meningkat dari tahun 2013 yaitu 779.992 ton, kebutuhan kedelai nasional masih belum terpenuhi. Defisit produksi kedelai menyebabkan Indonesia masih bergantung pada kedelai impor. Menurut data Pusdatin (2015) Amerika adalah negara pemasok kedelai impor terbesar untuk Indonesia pada tahun 2014, dengan volume mencapai 1,9 juta ton. Upaya peningkatan produksi kedelai nasional dapat dilakukan dengan perluasan lahan tanam. Lahan pasang surut merupakan lahan potensial untuk pengembangan kedelai sebagai daerah baru walaupun jenis ini dikategorikan sebagai lahan marjinal. Rawa dapat dijadikan lahan produktif melalui pemilihan komoditas dan varietas yang cocok, pengendalian tata air, perbaikan kesuburan, dan kultur teknis lainnya (Barchia, 2006). Luas lahan rawa yang cocok untuk kegiatan pertanian adalah 9,53 juta ha, yang dimanfaatkan masih sekitar 4,186 juta ha (Balittra, 2013). Kendala utama yang dihadapi pada lahan pasang surut masam ini pada umumnya adalah miskin kadar hara, pH rendah, adanya senyawa pirit, tata distribusi air yang kurang memadai, serta serangan hama dan penyakit (Adisarwanto dan Wudianto, 2002). Lahan pasang surut terbagi atas 4 tipologi berdasarkan pengaruh jangkauan aliran pasang surut air laut. Tipe A selalu mendapat luapan pasang pada pasang purnama dan pasang perbani, serta mengalami pengatusan harian. Tipe B mendapat luapan hanya saat pasang purnama, tetapi mengalami pengatusan harian. Tipe C tidak mendapat luapan pasang dan mengalami pengatusan permanen. Pengaruh ayunan pasang diperoleh hanya melalui resapan dan mempunyai muka air tanah pada jeluk < 50 cm dari permukaan tanah. Tipe D tidak mendapat pengaruh ayunan pasang sama sekali dan mengalami pengatusan secara terbatas. Muka air tanah mencapai jeluk > 50 cm dari permukaan tanah (Noor, 2004). Kedelai pada umumnya tidak toleran tanah tergenang. Genangan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu dan dalam jangka panjang dapat mematikan tanaman (Sabran et al., 2000). Budidaya jenuh air (BJA) adalah teknologi budidaya dengan memberikan air terus-menerus pada saluran air. Teknologi BJA menyebabkan lapisan tanah bagian bawah bersifat anaerob dan lapisan bagian atas ± 5 cm masih cukup oksigen. Budidaya jenuh air menyebabkan kondisi tanah reduktif sehingga keadaan lengas tanah berada dalam kapasitas lapang dan oksidasi pirit dapat ditekan. Hasil penelitian Welly (2013) menyatakan bahwa kondisi jenuh air di bawah perakaran
2
menyumbang ketersediaan air dan kelarutan hara bagi tanaman yang sekaligus dapat menekan pengaruh racun dan kemasaman tanah. Sistem budidaya jenuh air mampu meningkatkan aktivitas nitrogenase, serapan N, P, K daun, bobot kering bintil, akar, batang, daun, polong, serta biji dibandingkan budidaya kering. Selain itu pemberian kapur dan pupuk masingmasing dapat meningkatkan pH tanah yang masam dan mencukupi kebutuhan hara tanaman (Ghulamahdi et al., 2009). Tanaman kedelai yang ditanam dengan teknologi BJA menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman kedelai yang ditanam tanpa pengairan (Sagala et al., 2011). Varietas unggul merupakan teknologi yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi. Varietas unggul yang telah dilepas oleh Badan Litbang Pertanian umumnya berdaya hasil tinggi, umur genjah, toleran terhadap cekaman biotik (hama dan penyakit), dan abiotik (lingkungan fisik) (Deptan, 2005). Varietas-varietas yang diuji dengan BJA menunjukkan respons pertumbuhan tanaman yang berbeda-beda. Pola serapan hara juga berbeda antar varietas, hal ini diduga merupakan adaptasi genotipe kedelai terhadap lingkungan rawa pasang surut (Sagala et al., 2011). Tujuan Tujuan penelitian ini diadakan adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi beberapa varietas kedelai pada cekaman penggenangan sesaat dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Terdapat perbedaan pertumbuhan dan produksi kedelai antar tata air 2. Terdapat perbedaan pertumbuhan dan produksi kedelai antar varietas 3. Terdapat perbedaan respons antar varietas terhadap penggenangan sesaat
TINJAUAN PUSTAKA Lahan Pasang Surut Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut). Sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang dalam setahun lahan ini tergenang dangkal (Subagyo, 2006). Rawa pasang surut adalah rawa yang mendapat pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surutnya air laut/sungai di sekitarnya. Ayunan pasang dan surut tersebut disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara benda-benda langit seperti matahari dan bulan. Pasang tunggal (spring tide) merupakan pasang paling tinggi yang terjadi dua kali dalam 1 bulan, yaitu saat bulan mati dan bulan purnama. Pasang tunggal ini terjadi selama 3 – 4 jam dalam sehari selama 3 – 4 hari. Selain pasang tunggal, ada pula yang disebut dengan pasang ganda atau perbani (neap
3
tide). Pasang ganda merupakan pasang kecil yang terjadi 2 kali sehari dengan ketinggian yang fluktuatif. Ketinggian air pasang dipengaruhi oleh jarak dari muara laut dan musim. Ketinggian permukaan pasang pada musim hujan nisbi lebih besar dibandingkan musim kemarau (Noor, 2004). Lahan pasang surut terbagi atas 4 tipologi berdasarkan pengaruh jangkauan aliran pasang surut air laut. Tipe A selalu mendapat luapan pasang pada pasang purnama dan pasang perbani, serta mengalami pengatusan harian. Tipe B mendapat luapan hanya saat pasang purnama, tetapi mengalami pengatusan harian. Tipe C tidak mendapat luapan pasang dan mengalami pengatusan permanen. Pengaruh ayunan pasang diperoleh hanya melalui resapan dan muka mempunyai muka air tanah pada jeluk < 50 cm dari permukaan tanah. Tipe D tidak mendapat pengaruh ayunan pasang sama sekali dan mengalami pengatusan secara terbatas. Muka air tanah mencapai jeluk > 50 cm dari permukaan tanah. Alasan pemilihan lahan rawa untuk menjadi lahan pertanian adalah ketersediaan air yang melimpah, topografi yang nisbi datar, mudah diakses dengan melewati sungai sebagai alur lalu lintas sehingga meringankan biaya infrastruktur, dan pemilikan lahan dapat ideal dengan luas 2 – 3 ha per rumah tangga petani (Noor, 2004). Selain itu luas lahan rawa di Indonesia yang cocok untuk dijadikan lahan pertanian adalah 9,53 juta ha, dan telah dimanfaatkan adalah seluas 4,186 juta ha. (Balittra, 2013). Budidaya di lahan pasang surut juga memiliki beberapa kendala. Barchia (2006) menyebutkan bahwa lahan pasang surut dikategorikan sebagai lahan marjinal dengan pengertian potensi produksinya dibatasi oleh kendala fisik dengan variabilitas tinggi dan kondisi sosial-ekonomi yang besar. Kendala fisik tersebut termasuk kemasaman tanah, kandungan Al dan Fe terlarut tinggi, intrusi garam, dan adanya bahan-bahan beracun. Variabilitas tinggi menyangkut pasang surut air harian, perubahan pola dalam jumlah dan mutu air selama musim hujan dan musim kemarau, terjadinya kekeringan yang hebat, serta banjir secara periodik yang tak terduga. Oksidasi Pirit Pirit merupakan bahan sulfidik yang terbentuk melalui serangkaian proses kimia, geokimia, dan biokimia secara bertahap. Oksidasi pirit dapat terjadi karena retakan tanah, bekas akar tanaman, atau drainase yang berlebihan (Soepandie, 2014). Kandungan pirit di lahan rawa umumnya hanya sekitar 0 – 5%, meskipun tergolong rendah senyawa tersebut dapat menjadi permasalahan berat jika direklamasi. Reklamasi tersebut menyebabkan pirit teroksidasi oleh oksigen di udara. Reaksi kimia dari proses oksidasi pirit adalah sebagai berikut: FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O → Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+ FeS2 + 14Fe3+ 8H2O → 15Fe2+ 2SO42- + 16H+ Proses oksidasi pirit tersebut dipercepat oleh bakteri Thiobacillus ferroxidans. Reaksi ini menghasilkan Fe3+ koloidal dan asam sulfat terlarut yang menjadi ion sulfat dan ion H+ sehingga pH tanah rendah (pH 1,3 sampai <3,5). Ion H+ yang melimpah dalam larutan tanah akan merusak struktur mineral liat, dan membebaskan banyak ion alumunium (Al3+) yang bersifat toksik bagi tanaman (Subagyo, 2006). Kemasaman yang tinggi di lahan sulfat masam setelah reklamasi mengimbas terhadap peningkatan kelarutan Al3+, Fe2+, asam-asam organik, dan diiringi oleh kahat hara makro P, hara mikro Cu dan Zn (Noor, 2004).
4
Al yang tinggi berpengaruh langsung terhadap metabolisme tanaman dan tidak langsung terhadap ketersediaan unsur hara, sehingga pertumbuhan tanaman tertekan (Soepandie, 2014). Keracunan alumunium yang sering kali dianggap sebagai akibat yang paling serius dari pH rendah di tanah-tanah tropik, memperlihatkan gejala-gejala akar-akar yang tebal dan terhambat, serta disertai pelunturan warna dan kecenderungan terkelupasnya korteks (Fisher dan Dunham, 1992). Adanya ion Al yang berlebihan akan mengganti basa-basa dapat ditukar pada kompleks pertukaran kation, dan membebaskan ion Ca, Mg, dan K ke dalam larutan tanah, yanag selanjutnya dapat tercuci keluar karena dibawa hanyut oleh air yang mengalir (Subagyo, 2006). Penggenangan dan Reduksi Pirit Subagyo (2006) menyatakan bahwa lahan pasang surut yang tergenang akan menyebabkan redoks potensial tanah menjadi lebih tinggi dan pH meningkat, sehingga konsentrasi ion H+ dan Al3+ dalam tanah menurun. Proses hidrolisis Al dan desorpsi sulfat oleh kompleks pertukaran liat tanah banyak membebaskan H+ dan senyawa sulfat. Reaksi kimia selanjutnya adalah reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ dan reduksi sulfat menjadi sulfida dan senyawa karbonat. Senyawa karbonat yang terbentuk dapat meningkatkan nilai pH tanah. Reaksi kimia yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut:
Hidrolisis Al : AlOHSO4 + 2H2O7 → Al(OH)3 + 2H+ + SO42Desorpsi sulfat : Tanah-SO4 + 2H2O → Tanah-(OH)2 + 2H+ + SO42Reduksi Fe-III : Fe(OH)3 + 1⁄4CH2O + 2H+ → Fe2+ + 1⁄4CO2 +1 1⁄4H2O Reduksi sulfat : SO42- + 2CH2O → H2S + 2HCO3Kondisi anaerob yang disebabkan genangan di mana kadar O2 menurun dan CO2 meningkat dapat menyebabkan terhambatnya penyerapan unsur hara. Keracunan etanol dapat terjadi pada akar tanaman yang peka terhadap penggenangan, sehingga serapan ion terganggu (Safrizal et al., 2008). Besarnya hambatan pertumbuhan dan penurunan hasil akibat penggenangan beragam, tergantung pada fase pertumbuhan tanaman saat penggenangan terjadi. Bunga, polong, dan biji dibentuk selama fase pembungaan-pengisian polong, sehingga cekaman selama fase ini akan menyebabkan penurunan hasil yang terbesar (Tampubolon et al., 1989). Budidaya Jenuh Air Budidaya jenuh air adalah teknologi budidaya dengan memberikan air terusmenerus pada saluran air. Budidaya jenuh air menyebabkan kondisi tanah reduktif terhadap pirit dengan menjadikan keadaan lengas tanah berada dalam kapasitas lapang, sehingga tanah terhindar dari kemasaman ekstrim dan senyawa toksik. Selain itu pemberian kapur dan pupuk masing-masing dapat meningkatkan pH tanah yang masam dan mencukupi kebutuhan hara tanaman (Sagala et al., 2011). Kondisi aerob pada drainase yang terlalu dalam atau musim yang kering menyebabkan pirit teroksidasi sehingga kemasaman meningkat. Peningkatan muka air akan menghentikan peningkatan kemasaman tanah, karena kondisi yang anaerob (Barchia, 2006).
5
Tanaman kedelai yang ditanam dengan teknologi budidaya jenuh air menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman kedelai yang ditanam tanpa pengairan (kontrol) (Ghulamahdi et al., 2009). Ghulamahdi et al. (2006) juga menyatakan bahwa sistem budidaya jenuh air mampu meningkatkan aktivitas nitrogenase, serapan N, P, K daun, bobot kering bintil, akar, batang, daun, polong, serta biji dibandingkan budidaya kering. Hasil penelitian Welly (2013) menyatakan bahwa kondisi jenuh air di bawah perakaran menyumbang ketersediaan air dan kelarutan hara bagi tanaman yang sekaligus dapat menekan pengaruh racun dan kemasaman tanah. Varietas Varietas unggul merupakan teknologi yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi. Varietas unggul yang telah dilepas oleh Badan Litbang Pertanian umumnya berdaya hasil tinggi, umur genjah dan tahan/toleran terhadap cekaman biotik (hama dan penyakit) dan abiotik (lingkungan fisik) (Deptan, 2005). Seleksi kultivar merupakan langkah pertama untuk mencapai kesuksesan dalam manajemen tanaman kedelai. Hasil produksi dari kedelai adalah sifat yang paling ditekankan dalam pemuliaannya. Selain hasil produksi, proses pemuliaan juga dilakukan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki resistensi terhadap organisme pengganggu tanaman, cekaman lingkungan, perbaikan protein pada biji, kandungan minyak, atau karakter agronomi lainnya (Liu et al., 2007). Karakter morfologi dan fisiologi yang dapat secara cepat mendeteksi indikator toleransi kedelai terhadap genangan antara lain adalah perkecambahan, tinggi tanaman, perubahan warna daun menjadi kuning, kehadiran akar adventif, bobot kering akar, penutupan stomata, dan kadar N total (Hapsari dan Adie, 2010). Tanaman mengalami perkembangan berupa serangkaian respons anatomi, morfologi, dan fisiologi terhadap pengenangan. Respons umum yang terjadi pada anatomi tanaman adalah terbentuknya jaringan aerenkim, sedangkan secara morfologi adalah pembentukan akar adventif, dan pertambahan tinggi tanaman. Secara fisiologi penggenangan mengubah hubungan air dan fiksasi karbon pada tanaman. Penutupan stomata dengan atau tanpa dehidrasi, pengurangan transpirasi, dan penghambatan fotosintesis adalah respons yang dapat terjadi dalam hitungan jam atau hari tergantung pada tingkat toleransi spesises tanaman (Striker, 2012).
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Mulyasari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan pada bulan April hingga Agustus 2015. Lahan penelitian yang digunakan adalah lahan rawa pasang surut tipe luapan B. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan. Pengeringan biomassa tanaman dilakukan di Laboratorium Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura.
6
Bahan dan Alat Alat yang digunakan adalah alat pertanian umum, alat pengukur, pompa air, sprayer, alat tulis kantor, label percobaan, ember, timbangan digital, dan oven. Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Grobogan, Cikuray, Ceneng, Detam 2, Malika, GmWMC 119, dan Enrei. Bahan lainnya adalah inokulan Rhizobium, Dolomit, KCl, SP-36, Urea, CuSO4.5H2O (Cu 23%), ZnSO4.H2O (Zn 21%), dan MgSO4.7H2O (Mg 10% dan MgO 17%). Insektisida, rodentisida, dan fungisida digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman. Kertas HVS 70 GSM digunakan untuk mengukur indeks luas daun secara gravimetri. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan split-plot dengan faktor tata air sebagai petak utama dan faktor varietas sebagai anak petak. Faktor tata air terdiri dari dua taraf, yaitu budidaya jenuh air terus-menerus dan budidaya jenuh air dengan penggenangan sesaat yang dilaksanakan pada 14 – 16 hari setelah tanam (HST) dan 30 – 32 HST. Penggenangan menyebabkan banyak tanaman dari varietas Grobogan, Cikuray, Ceneng, GmWMC 119, dan Enrei mati. Sedikitnya tanaman yang tersisa pada varietas tersebut tidak memungkinkan data untuk diolah lebih lanjut, karena dapat menghasilkan data yang bias. Faktor varietas menjadi 5 taraf, yaitu Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Detam 2, dan Malika. Setiap perlakuan memiliki tiga ulangan, sehingga diperoleh 30 unit percobaan. Data diolah menggunakan program Microsoft Excell, Minitab, dan SAS 9.0. Model rancangan yang digunakan adalah: Yijk = μ + αi + βj + δik + (αβ)ij + ρk + εijk i = faktor tata air 1 dan 2; j = faktor varietas ke 1, 2, 3, 4, dan 5; k = faktor ulangan ke 1, 2, dan 3; Yijk = nilai pengamatan perlakuan tata air ke - i, varietas ke - j, dan ulangan ke - k; μ = nilai rata-rata umum; αi = pengaruh perlakuan tata air ke – i; βj = pengaruh varietas ke – j; δik = pengaruh galat perlakuan tata air ke – i dan ulangan ke – k; (αβ)ij = pengaruh interaksi antara tata air ke – i dengan varietas ke – j; ρk = pengaruh aditif ulangan ke – k; εijk = pengaruh galat dari tata air ke - i, varietas ke - j, dan ulangan ke – k; Jika pada analisis ragam (uji-F hitung) dengan taraf kepercayaan 5% tata air berpengaruh nyata terhadap varietas, maka akan dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT).
7
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Lahan Lahan dipersiapkan dengan terlebih dahulu melakukan pengukuran petakan sesuai denah percobaan (lampiran 3), kemudian dilanjutkan dengan pengendalian gulma awal dan pengambilan sampel tanah untuk dianalisis. Petakan dibuat pada 2 minggu sebelum penanaman. Petak utama berjumlah 6 petak yang terdiri dari 3 ulangan untuk BJA terus menerus dan 3 ulangan untuk BJA dengan penggenangan sesaat. Setiap petak utama berisi 10 anak petak dengan ukuran 4 m x 3 m dan diberi jarak 30 cm antar anak petak. Khusus pada petak utama perlakuan BJA dengan penggenangan sesaat dibentuk benteng setinggi ± 5 cm mengelilingi petak yang berfungsi sebagai penahan air saat perlakuan penggenangan diberikan. Saluran air dibuat dengan kedalaman 25 cm dan lebar 30 cm. Pemupukan dasar dilakukan pada 1 minggu sebelum penanaman dengan Dolomit, SP-36, dan KCl dengan dosis masing-masing 1 ton ha-1, 200 kg ha-1, dan 100 kg ha-1 yang ditebar secara merata. Irigasi Irigasi diberikan terus menerus sejak awal tanam hingga mendekati panen dengan tinggi muka air ± 20 cm di bawah permukaan petakan. Secara teknis dan ekonomis tinggi muka air 20 cm di bawah permukaan tanah adalah yang terbaik untuk memproduksi kedelai di lahan rawa pasang surut (Ghulamahdi et al., 2009). Petak perlakuan BJA dengan penggenangan sesaat digenangi setinggi ± 5 cm dari permukaan petakan pada 14 – 16 HST dan 30 – 32 HST selama 2 jam per hari, sebagaimana ditunjukan pada Gambar 1.
a.
b. 30 – 32 HST 14 – 16 HST Gambar 1. Ilustrasi perlakuan tata air BJA terus-menerus (a.) dan BJA dengan penggenangan sesaat (b.) Penanaman, Pemeliharaan dan Pemanenan Penanaman dilakukan 2 minggu setelah pengolahan lahan. Petakan ditugal dengan jarak tanam 25 cm x 20 cm. Benih terlebih dahulu diberi inokulan Rhizobium sp dengan dosis 5 g kg-1 benih, kemudian ditanam sebanyak 2 butir per lubang. Penyulaman dilakukan pada 6 dan 7 HST. Pemeliharaan meliputi pengendalian organisme pengganggu tanaman, dan pemupukan susulan. Pemupukan susulan dilakukan dengan menyemprotkan pupuk daun berupa Urea, Cu, Zn, dan Mg dengan konsentrasi masing-masing 10 g l-1, 0,5 g l-1, 0,5 g l-1, dan 0,5 g l-1 pada 19, 26, 35, dan 42 HST. Pemanenan dilakukan setelah sebagian besar daun kedelai rontok dan polong berwarna kecoklatan.
8
Pengamatan Pengamatan dilakukan saat fase vegetatif dan generatif tanaman, uraiannya adalah sebagai berikut: 1. Tinggi tanaman dari 5 tanaman contoh dihitung dari pangkal batang hingga titik tumbuh pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MST. 2. Jumlah daun trifoliat dari 5 tanaman contoh dihitung dari daun yang telah membuka sempurna pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MST. 3. Jumlah cabang dari 5 tanaman contoh pada saat panen. 4. Waktu pembungaan 50% dari populasi yang diamati tiap unit perlakuan. 5. Jumlah polong isi dari 5 tanaman contoh pada saat panen. 6. Jumlah polong hampa dari 5 tanaman contoh pada saat panen. 7. Bobot biji per tanaman dari 5 tanaman contoh pada saat panen. 8. Bobot per 100 biji ditimbang dari 100 biji tanaman per unit perlakuan. 9. Bobot biji per ubinan (kg) ditimbang dari ubinan berukuran 2 m x 1,4 m (lampiran 4). 10. Produktivitas ton ha-1 dihitung dari bobot ubinan dengan rumus: 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑜𝑛 ℎ𝑎 −1 = ((𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑢𝑏𝑖𝑛𝑎𝑛/2,8) × 10) × 92,5% Nilai 92,5% didapat dari pengurangan oleh luas saluran air sebesar 7,5% 11. Indeks luas daun (ILD) pada 4 dan 8 MST dari 1 tanaman selain tanaman contoh, di luar ubinan, dan bukan tanaman pinggir dihitung dengan metode gravimetri. Daun tanaman dijiplak pada kertas HVS 70 GSM, setelah digunting hasil jiplakan ditimbang dengan neraca analitik. Nilai ILD didapat dengan terlebih dahulu mencari nilai luas daun: 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑔𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑑𝑎𝑢𝑛 (𝑔) 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐷𝑎𝑢𝑛 (𝑐𝑚2 ) = × 100 𝑐𝑚2 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 (𝑔) (𝑐𝑚2 ) × 𝑃𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖/ 𝑙𝑢𝑏𝑎𝑛𝑔 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑢𝑛 𝐼𝐿𝐷 (𝑐𝑚2 ) = × 100% 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚 (𝑐𝑚2 ) 12. Bobot kering bintil akar, akar, batang, dan daun pada 4 dan 8 MST dari 1 tanaman selain tanaman contoh, di luar ubinan, dan bukan tanaman pinggir. Brangkasan yang sudah bersih dari tanah dioven dengan suhu 70°C selama 48 jam sebelum ditimbang menggunakan neraca analitik. 13. Koefisien korelasi linier sederhana (r) dihitung untuk mengukur besarnya derajat hubungan antar peubah pengamatan komponen produksi dan hasil produksi menggunakan program Minitab. 14. Indeks sensitivitas (IS) dihitung dengan menggunakan rumus Fischer dan Maurer (1978): 1 − 𝑌𝑝⁄𝑌 𝐼𝑆 = 1 − 𝑋𝑝⁄𝑋 Keterangan: IS :Indeks sensitivitas Yp :Rata-rata peubah pengamatan suatu varietas yang terkena cekaman Y :Rata-rata peubah pengamatan suatu varietas yang tidak terkena cekaman Xp :Rata-rata peubah pengamatan seluruh varietas yang terkena cekaman X :Rata-rata peubah pengamatan seluruh varietas yang tidak terkena cekaman
9
Jika IS<0,5 maka suatu varietas termasuk dalam kategori toleran, jika 0,5
1,0 maka suatu varietas termasuk dalam kategori agak toleran. Sedangkan varietas dengan nilai IS>1,0 termasuk dalam kategori peka.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan pada lahan rawa tipe B di mana pasang besar dapat menyebabkan lahan menjadi tergenang. Berdasarkan data BMKG Ciputat (2015) curah hujan tinggi pada bulan April sampai Juni, sedangkan curah hujan rendah pada bulan Juli sampai Agustus. Suhu rata-rata bulanan dari April sampai Agustus berkisar antara 27,6 – 28,0°C. Lama penyinaran matahari cukup fluktuatif, dari 61% pada April sampai 75% pada Agustus (Lampiran 1). Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan C organik adalah 5,4%, sehingga masuk dalam kategori tanah mineral. Nilai pH H2O lahan penelitian adalah 4,30 sehingga tergolong dalam kategori sangat masam (Lampiran 2). Kadar Al dalam tanah tergolong tinggi dengan nilai 8,09 ppm dan kadar Fe tergolong sangat tinggi, yaitu 69,85 ppm. Gejala keracunan Al di antaranya adalah terhambatnya pertumbuhan akar, dedaunan mengecil dan lambat matang; batang, daun, dan urat daun berwarna ungu, ujung daun menguning dan mati (Hanafiah, 2005). Fe bersifat toksik dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan klorosis pada daun muda (Hopkins dan Huner, 2004). Pemberian kapur sebagai zat amelioran diberikan sebelum penanaman dengan tujuan meningkatkan nilai pH, sehingga sifat toksik tanah dapat berkurang. Pemberian amelioran meningkatkan pH tanah sebesar 0,5 – 1 satuan (Priatmadi dan Haris, 2008). Kondisi tanah yang terlalu lembab oleh intensitas hujan yang cukup tinggi diduga telah menyebabkan beberapa benih tidak tumbuh dan membusuk, terutama pada varietas Grobogan, Cikuray, Ceneng, GmWMC 119, dan Enrei. Penyulaman dilakukan pada 6 dan 7 HST untuk varietas Grobogan, Cikuray dan Ceneng, sedangkan pada varietas GmWMC 119 dan Enrei penyulaman tidak bisa dilakukan karena terbatasnya jumlah benih. Daun pada seluruh unit percobaan mengalami klorosis pada minggu ke-3, 4, dan 5. Gejala masa aklimatisasi dan toksisitas Fe cukup mirip, tetapi tanaman pada perlakuan BJA dengan penggenangan sesaat mengalami klorosis yang lebih parah. Tanaman pada perlakuan BJA dengan penggenangan sesaat juga mudah terkena serangan layu sclerotium (Sclerotium rolfsii). Gejala yang ditemukan berupa busuknya akar dan batang, layunya tanaman, sampai kematian tanaman. Kematian tanaman pasca penggenangan pertama banyak ditemukan pada varietas Grobogan, Cikuray, Ceneng, GmWMC 119, dan Enrei sehingga data tidak memungkinkan untuk diolah lebih lanjut. Gejala serangan ulat grayak (Spodoptera litura) dan belalang (Oxya sp.) berupa rusaknya daun ditemukan selama penelitian. Minggu ke-8 setelah tanam kedelai telah memasuki fase pengisian polong terdapat gejala serangan hama tikus (Rattus argentiventer), yaitu rontoknya polong-polong muda. Gulma dominan pada lahan percobaan adalah Ludwigia octovalvis, Paspalum conjugatum dan Cyperus iria.
10
Hasil sidik ragam pada Tabel 1 menunjukan bahwa interaksi yang nyata antara faktor tata air dan varietas dengan taraf kepercayaan 95% hanya terjadi pada peubah pengamatan jumlah cabang dan waktu berbunga. Faktor tunggal tata air berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah pengamatan kecuali pada tinggi tanaman 8 dan 10 MST, jumlah daun 2 MST, bobot kering bintil 8 MST, waktu berbunga, dan jumlah polong hampa. Faktor tunggal varietas berpengaruh nyata pada tinggi tanaman 2 sampai 10 MST, bobot kering batang 4 MST, waktu berbunga, dan bobot 100 biji. Tabel 1.
Uji beda nyata perlakuan tata air dan varietas terhadap berbagai peubah yang diamati P Value Parameter Pengamatan KK Tata Air Varietas Interaksi
Tinggi tanaman 2 MST Tinggi tanaman 4 MST Tinggi tanaman 6 MST Tinggi tanaman 8 MST Tinggi tanaman 10 MST Jumlah daun 2 MST Jumlah daun 4 MST Jumlah daun 6 MST Jumlah daun 8 MST Jumlah daun 10 MST Indeks luas daun 4 MST Indeks luas daun 8 MST Bobot kering bintil 4 MST Bobot kering bintil 8 MST Bobot kering akar 4 MST Bobot kering akar 8 MST Bobot kering batang 4 MST Bobot kering batang 8 MST Bobot kering daun 4 MST Bobot kering daun 8 MST Jumlah cabang panen Waktu berbunga Jumlah polong isi Jumlah polong hampa Bobot biji/tanaman Bobot 100 biji Bobot ubinan Produktivitas
0,0445* 0,0061* 0,0261* 0,0878tn 0,0621tn 0,1091tn 0,0302* 0,0158* 0,0053* 0,0030* 0,0300* 0,0169* 0,0214* 0,0692tn 0,0184* 0,0168* 0,0195* 0,0145* 0,0241* 0,0104* 0,0125* 1,0000tn 0,0034* 0,3734tn 0,0032* 0,0206* 0,0005* 0,0005*
0,0009* 0,0123* 0,0310* 0,0256* 0,0052* 0,0540tn 0,7376tn 0,5065tn 0,1219tn 0,1621tn 0,3212tn 0,6003tn 0,2813tn 0,3867tn 0,0699tn 0,3591tn 0,0496* 0,4634tn 0,0684tn 0,4974tn 0,0941tn 0,0001* 0,0883tn 0,0586tn 0,4563tn 0,0001* 0,3870tn 0,3870tn
0,9101tn 0,2114tn 0,9866tn 0,7978tn 0,8411tn 0,4185tn 0,6794tn 0,4908tn 0,3055tn 0,3073tn 0,3281tn 0,4884tn 0,2440tn 0,7585tn 0,1082tn 0,8125tn 0,3347tn 0,4215tn 0,5022tn 0,2491tn 0,0331* 0,0447* 0,3508tn 0,9858tn 0,4088tn 0,7263tn 0,8388tn 0,8388tn
8,3304 5,0276 15,8175 14,5634 13,4072 23,8847 15,9268 21,7394 9,5093 18,8289 5,1499 19,0278 26,9822 29,1206 9,7904 9,2888 5,2267 17,4673 11,4345 18,0803 18,9334 8,7138 15,6948 79,1365 29,7320 9,5134 20,8539 20,8539
Keterangan: MST = minggu setelah tanam, KK = koefisien keragaman, * = berbeda nyata (α=5%), tn = tidak berbeda nyata
11
Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun Interaksi yang nyata antara tata air dan varietas tidak ditemukan pada peubah pengamatan tinggi tanaman dan jumlah daun. Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor tunggal tata air berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 2, 4, dan 6 MST. Tata air juga berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada 4, 6, 8, dan 10 MST. Tinggi tanaman dan jumlah daun pada tata air BJA terus-menerus memberikan nilai yang lebih tinggi dari pada perlakuan BJA dengan penggenangan sesaat. Hal ini sejalan dengan Ghulamahdi (1999) bahwa sistem BJA nyata menambah tinggi tanaman. Cho et al. (2006) menemukan bahwa tinggi tanaman dan jumlah daun lebih rendah pada perlakuan penggenangan, semakin lama durasi penggenangan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun semakin rendah. Tabel 2.
Tinggi dan jumlah daun trifoliat tanaman kedelai pada perlakuan BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat
Peubah pengamatan Tinggi tanaman (cm) Jumlah Daun (helai)
Perlakuan BJA terusmenerus BJA dengan penggenangan BJA terusmenerus BJA dengan penggenangan
2 10,64a
Umur (MST) 4 6 8 19,26Δa 40,85a 50,92
10 50,65
10,57b
15,98Δb
28,36b
38,85
38,6
1,25
5,16a
21,45a
29,84Δa
26,65a
1,12
3,38b
9,96b
19,03Δb
18,11b
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
Menurut Tabel 3 varietas nyata mempengaruhi tinggi tanaman pada 2 hingga 10 MST. Malika adalah varietas dengan tinggi tanaman tertinggi pada 10 MST sedangkan Wilis merupakan varietas dengan tinggi tanaman terendah. Tabel 4 menunjukkan bahwa varietas tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada 2 hingga 10 MST. Varietas Tanggamus memiliki jumlah daun tertinggi pada 10 MST sedangkan yang terendah adalah Wilis (Pr>F=0,3073). Tanaman yang toleran genangan memiliki daya tahan tumbuh yang lebih baik, tumbuh lebih tinggi, memproduksi polong per tanaman lebih banyak dan memiliki bobot biji yang lebih tinggi dari pada varietas yang rentan (VanToai, 2010). Tabel 3.
Tinggi tanaman beberapa varietas kedelai
Varietas Tanggamus Anjasmoro Wilis Detam 2 Malika
Umur (MST) 2 9,17c 12,00a 10,27b 10,78b 10,83b
4 15,27Δb 19,07Δa 17,22Δab 18,87Δa 17,68Δa
6 29,07b 37,73a 31,17ab 37,03a 38,03a
8 45,20ab 43,87ab 37,20b 46,83a 51,33a
10 45,2ab 43,03bc 35,97c 47,37ab 51,57a
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
12
Tabel 4.
Jumlah daun beberapa varietas kedelai
Varietas Tanggamus Anjasmoro Wilis Detam 2 Malika
Umur (MST) 2 0,97 1,13 1,07 1,47 1,30
4 4,27 4,10 4,23 4,60 4,15
6 14,87 14,87 15,30 15,53 17,97
8 27,93 20,47 22,40 26,37 25,00
10 24,97 19,90 19,83 23,70 23,50
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
Indeks Luas Daun Nilai ILD pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tata air BJA terus-menerus nyata lebih tinggi dari pada perlakuan BJA dengan penggenangan pada 4 dan 8 MST. Henshaw (2005) menemukan bahwa nilai ILD menurun sekitar 54 – 57% sebagai dampak dari penggenangan. Respons umum pertumbuhan daun terhadap penggenangan mencakup layunya daun, menurunnya luas daun, dan klorosis pada daun. Berkurangnya nilai ILD otomatis juga mengurangi bidang fotosintesis tanaman. Cho et al. (2006) mengatakan bahwa terhambatnya fotosintesis karena penggenangan yang lebih lama dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan, laju asimilasi bersih, dan perluasan daun. Menurut Striker (2012) penggenangan menyebabkan senesens dini dan penurunan luas daun sehingga fiksasi karbon juga mengalami penurunan. Penurunan fiksasi karbon juga disebabkan oleh menutupnya stomata sebagai dampak penurunan turgiditas sel dan aktivitas hormon absisic acid (ABA) pada daun. Tabel 5.
Indeks luas daun daun kedelai pada perlakuan BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat
Peubah pengamatan Indeks luas daun
Perlakuan BJA terus-menerus BJA dengan penggenangan
Umur (MST) 4
8
1,77Δa 0,35Δb
7,99Δa 2,26Δb
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
Tabel 6 menunjukkan bahwa varietas tidak berpengaruh nyata terhadap ILD pada 4 dan 8 MST. Varietas yang memiliki nilai ILD 4 MST terendah adalah Tanggamus dan yang tertinggi adalah Malika pada Pr>F=0,3281. Malika memiliki nilai ILD 8 MST terendah yaitu 4,102 dan yang tertinggi adalah Detam 2 yaitu 5,848 pada taraf nyata 0,4884. Genotipe tahan genangan diduga dapat meningkatkan kemampuan untuk terus mengangkut air dan hara dari akar ke daun, sehingga tetap berfotosintesis dan memperluas ukuran daun (Henshaw, 2005).
13
Tabel 6.
Indeks luas daun beberapa varietas
Peubah pengamatan Indeks luas daun
Umur (MST)
Varietas Tanggamus Anjasmoro Wilis Detam 2 Malika
4
8 Δ
5,806Δ 5,221Δ 4,628Δ 5,848Δ 4,102Δ
0,685 1,010Δ 1,011Δ 1,142Δ 1,444Δ
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
Bobot Kering Tabel 7 menunjukkan bahwa faktor tata air berpengaruh nyata terhadap bobot kering bintil, akar, batang, dan daun pada 4 dan 8 MST. Perlakuan BJA terusmenerus nyata memberikan nilai yang lebih tinggi terhadap semua peubah pengamatan. Menurut Ghulamahdi (1999) tanaman yang ditanam dengan BJA menghasilkan kandungan ACC akar dan etilen akar yang lebih tinggi dibandingkan budidaya tadah hujan (BTH). Hormon etilen ini meningkatkan pembentukan perakaran baru yang ditunjukkan oleh meningkatnya bobot kering akar. Serapan hara daun yang tinggi pada BJA meningkatkan pertumbuhan tanaman yang dapat dilihat dari bobot kering bintil, akar, batang, dan daun. Henshaw (2005) menemukan bahwa bobot kering total biomasa tanaman yang diberi perlakuan penggenangan lebih rendah 44 – 53% dari pada perlakuan kontrol (tanpa penggenangan). Menurut Riche (2004) rendahnya ketersediaan oksigen pada sistem perakaran tanaman mengakibatkan perubahan respirasi aerobik menjadi anaerobik yang menghasilkan ATP rendah. Penyerapan dan translokasi air dan hara menurun karena kurangnya energi yang diperlukan. Tabel 7.
Bobot kering bintil akar, akar, batang, dan daun kedelai pada perlakuan BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat
Peubah pengamatan Bobot kering bintil (g) Bobot kering akar (g) Bobot kering batang (g) Bobot kering daun (g)
Perlakuan BJA terus-menerus BJA dengan penggenangan BJA terus-menerus BJA dengan penggenangan BJA terus-menerus BJA dengan penggenangan BJA terus-menerus BJA dengan penggenangan
Umur (MST) 4 0,18Δa 0,03Δb 0,39Δa 0,19Δb 0,77Δa 0,19Δb 1,03Δa 0,22Δb
8 0,85Δa 0,29Δb 1,33Δa 0,47Δb 5,88Δa 1,25Δb 5,64Δa 1,57Δb
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
14
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa varietas hanya berpengaruh nyata terhadap bobot kering batang pada 4 MST. Varietas dengan bobot kering batang 4 MST tertinggi adalah Malika, meskipun tidak berbeda nyata dengan Detam 2, Wilis, dan Anjasmoro. Malika juga merupakan varietas dengan bobot kering bintil akar, akar, dan daun tertinggi pada 4 MST dengan α>5%. Varietas dengan bobot kering bintil akar, akar, batang, dan daun tertinggi pada 8 MST adalah Detam 2 dengan α>5%. Henshaw (2005) mengungkapkan bahwa bobot kering, panjang, luas akar permukaan akar primer dan bobot kering akar adventif berkorelasi positif dengan tingkat toleransi. Henshaw et al. (2007) juga menemukan korelasi positif yang nyata antara tingkat toleransi kedelai dengan bobot kering batang dan daun. Tabel 8.
Bobot kering bintil akar, akar, batang, dan daun beberapa varietas kedelai
Peubah pengamatan
Varietas
Bobot kering bintil akar Tanggamus (g) Anjasmoro Wilis Detam 2 Malika Bobot kering akar (g) Tanggamus Anjasmoro Wilis Detam 2 Malika Bobot kering batang (g) Tanggamus Anjasmoro Wilis Detam 2 Malika Bobot kering daun (g) Tanggamus Anjasmoro Wilis Detam 2 Malika
Umur (MST) 4 0,057Δ 0,097Δ 0,118Δ 0,118Δ 0,125Δ 0,163Δ 0,280Δ 0,303Δ 0,318Δ 0,375Δ 0,258Δb 0,413Δab 0,427Δab 0,582Δa 0,713Δa 0,338Δ 0,565Δ 0,588Δ 0,708Δ 0,903Δ
8 0,563Δ 0,452Δ 0,453Δ 0,822Δ 0,577Δ 0,788Δ 0,822Δ 1,063Δ 1,105Δ 0,720Δ 3,940Δ 3,553Δ 3,373Δ 4,160Δ 2,805Δ 3,645Δ 3,878Δ 2,908Δ 4,323Δ 3,287Δ
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
Komponen Produksi dan Hasil Produksi Komponen produksi dan hasil produksi yang diamati meliputi jumlah cabang, waktu berbunga, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, bobot ubinan, dan produktivitas. Interaksi yang nyata antara varietas dan tata air terdapat pada peubah pengamatan jumlah cabang panen dan waktu berbunga. Tata air secara nyata berpengaruh pada jumlah polong isi, bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, bobot ubinan, dan produktivitas, sedangkan varietas nyata berpengaruh pada bobot 100 biji.
15
Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah cabang panen tertinggi terdapat pada interaksi varietas Tanggamus terhadap BJA terus-menerus yaitu 6,87 cabang, namun tidak berbeda nyata dengan interaksi varietas Detam 2 terhadap BJA terusmenerus. Jumlah cabang terendah terdapat pada interaksi varietas Anjasmoro terhadap BJA dengan penggenangan dan yaitu 3,13 cabang. Interaksi antar varietas terhadap BJA dengan penggenangan menyebabkan rendahnya jumlah cabang, kecuali pada varietas Malika. Jumlah cabang pada interaksi varietas Malika baik terhadap tata air BJA terus-menerus maupun BJA dengan penggenangan sesaat tidak berbeda nyata. Tabel 9.
Interaksi antara faktor tata air dan varietas pada peubah pengamatan jumlah cabang panen
Perlakuan BJA terus-menerus BJA dengan penggenangan
Jumlah Cabang Panen Tanggamus Anjasmoro 6,87a 4,73c 3,53d 3,13d
Wilis 5,13bc 3,20d
Detam 2 6,27ab 3,47d
Malika 4,20d 4,20d
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%)
Tabel 10 menunjukkan interaksi antara tata air dan varietas. Interaksi masing-masing varietas Tanggamus, Detam 2, dan Malika terhadap BJA terusmenerus menghasilkan waktu berbunga yang lebih cepat dibandingkan dengan interaksinya terhadap BJA dengan penggenangan, meskipun tidak berbeda nyata. Sebaliknya, varietas Anjasmoro dan Wilis memiliki waktu berbunga yang lebih lama pada interaksinya terhadap BJA terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa setiap varietas memiliki respons waktu berbunga yang berbeda terhadap tata air BJA terus-menerus dan BJA dengan penggenangan sesaat. Tabel 10. Interaksi antara faktor tata air dan varietas pada peubah pengamatan waktu berbunga Waktu Berbunga (HST) Perlakuan Tanggamus Anjasmoro Wilis BJA terus-menerus 48,33ab 38,00c 39,33c BJA dengan penggenangan 49,67a 36,33cd 31,33d
Detam 2 38,00c 42,67bc
Malika 39,00c 42,67c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%)
Data pada tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan tata air tidak berpengaruh nyata pada peubah pengamatan jumlah polong hampa. Jumlah polong hampa lebih tinggi pada BJA terus-menerus dengan Pr>F=37,34% yaitu 1,40. Bobot 100 biji kedelai pada BJA dengan penggenangan nyata lebih tinggi dibandingkan kedelai pada BJA terus-menerus, yaitu 12,66 g. Jumlah polong isi, bobot biji/tanaman, bobot ubinan, dan produktivitas kedelai pada tata air BJA terusmenerus nyata lebih tinggi dibandingkan kedelai pada BJA dengan penggenangan. Produktivitas kedelai pada perlakuan BJA terus-menerus mencapai 3,74 ton ha-1, sedangkan pada perlakuan BJA dengan penggenangan sesaat adalah 2,68 ton ha-1.
16
Teknologi BJA menyebabkan lapisan tanah bagian bawah bersifat anaerob dan lapisan bagian atas ± 5 cm masih cukup oksigen (Sagala et al., 2011). Lengas tanah pada BJA berada dalam kapasitas lapang, sehingga ketersediaan air untuk tanaman relatif terjamin. Mekanisme adaptasi tanaman kedelai pada budidaya jenuh air dimulai dengan meningkatnya kandungan ACC akar yang diikuti oleh meningkatnya kandungan etilen akar. Etilen akar meningkatkan terbentuknya jaringan aerenkhima dan perakaran baru. Pertumbuhan akar baru meningkatkan pembentukan bintil akar yang selanjutnya meningkatkan aktivitas nitrogenase. Serapan hara daun yang tinggi pada BJA meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akhirnya meningkatkan bobot biji setiap petak (Ghulamahdi, 1999). Tabel 11. Komponen produksi tanaman kedelai pada perlakuan BJA terusmenerus dan BJA dengan penggenangan sesaat Peubah pengamatan
BJA terus-menerus
BJA dengan penggenangan
80,15a 1,40 19,45a 12,17b 1,13a 3,74a
29,84b 0,68 7,50b 12,66a 0,81b 2,68b
Polong isi Polong hampa Bobot biji/ tanaman (g) Bobot 100 biji (g) Bobot ubinan (kg 2,8 m-2) Produktivitas (ton ha-1)
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
Menurut Tabel 12, faktor tunggal varietas nyata berpengaruh terhadap bobot 100 biji. Varietas yang memiliki bobot 100 biji tertinggi adalah Anjasmoro yaitu 15,94 g, sedangkan yang terendah adalah Tanggamus yaitu 9,88 g meskipun tidak berbeda nyata dengan Malika. Varietas yang memiliki produktivitas terendah adalah Tanggamus, yaitu 2,84 ton ha-1 dan yang tertinggi adalah Detam 2, yaitu 3,53 ton ha-1 dengan dengan taraf nyata > 5%. VanToai et al. (2010) mengatakan bahwa varietas yang toleran genangan dapat beradaptasi lebih baik, tumbuh lebih tinggi, memproduksi polong per tanaman lebih banyak, dan memiliki bobot biji lebih berat dari pada varietas yang rentan terhadap genangan. Tabel 12. Komponen hasil pada varietas Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Detam 2, dan Malika Peubah pengamatan Polong isi Polong hampa Bobot biji /tanaman (g) Bobot 100 biji (g) Bobot ubinan (kg 2,8 m-2) Produktivitas (ton ha-1)
Tanggamus 62,37Δ 1,64 12,59 9,88d 0,86 2,84
Varietas Anjasmoro Wilis Δ 43,57 45,47Δ 0,33 0,90 13,57 11,32 15,94a 12.11bc 0,93 0,95 3,07 3,14
Detam 2 54,73Δ 0,73 14,42 13,4b 1,07 3,53
Malika 68,83Δ 1,60 15,45 10,73cd 1,05 3,47
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (α=5%), Δ= transformasi √x
17
Detam 2 dan Malika merupakan varietas dengan produktivitas tertinggi di antara varietas yang lain. Kedua varietas merupakan kedelai hitam yang diduga mengandung antosianin. Cho et al. (2013) menguji kadar antosianin dari varietas kedelai berwarna kuning, coklat, hijau, dan hitam. Antosianin ternyata hanya ditemukan pada kedelai hitam. Kim et al. (2014) menyatakan bahwa kadar antosianin pada kedelai hitam juga beragam, tergantung pada waktu penanaman, lokasi penanaman, genotipe, dan berbagai faktor lingkungan. Antosianin adalah senyawa flavonoid yang memberi warna pada buah, sayur, dan tanaman. Antosianin dapat membantu pernyerbukan dan penyebaran benih dengan menambah daya tarik tanaman terhadap hewan. Selain itu antosianin juga berperan sebagai antioxidan, fitoaleksin, dan agen anti bakteri (Kong et al., 2003). Antosianin diduga memiliki fungsi sebagai tabir surya dan antioxidan, mediator ROS (reactive oxygen spesies), agen pengkelat metal dan metaloid, dan menunda penuaan daun terutama pada tanaman yang kekurangan nutrisi (Landi et al., 2015). Indeks Sensitivitas Penghitungan nilai IS diperlukan untuk mengetahui tingkat toleransi suatu varietas terhadap cekaman. Nilai IS dihitung pada peubah pengamatan jumlah cabang. Tabel 13 menunjukkan bahwa varietas yang termasuk dalam kategori toleran adalah Malika dengan nilai IS=0 dan varietas yang termasuk dalam kategori agak toleran adalah Anjasmoro dengan nilai IS=0,95. Varietas Tanggamus, Wilis, dan Detam 2 termasuk dalam kategori peka, karena nilai IS>1,0. Tabel 13. Nilai indeks sensitivitas jumlah cabang Varietas Tanggamus Anjasmoro Wilis Detam 2 Malika Rata-rata
BJA terusmenerus 6,87 4,73 5,13 6,27 4,20 5,44
Jumlah Cabang Panen BJA dengan penggenangan sesaat 3,53 3,13 3,20 3,47 4,20 3,51
IS 1,37 0,95 1,06 1,26 0,00
Tingkat toleransi Peka Agak toleran Peka Peka Toleran
Keterangan: IS<0.5 = Toleran, 0.51.0 = Agak toleran, IS>1.0 = Peka
Tanaman yang toleran terhadap kondisi tergenang dapat bertahan untuk sementara, tetapi tidak lebih dari beberapa hari. Oksigen pada air tanah digunakan oleh akar, hewan tanah, dan mikroorganisme tanah pada suhu tinggi (n>20°C) sekurang-kurangnya dalam waktu 24 jam. Kondisi anoxia atau hypoxia tersebut menyebabkan akar kekurangan energi untuk menyokong proses fisiologi tajuk (Taiz dan Zeiger, 2008). Kondisi anoxia menghasilkan akumulasi CO2, etilen, dan gas lainya seperti hidrogen sulfida, ammonia, dan metan. Peningkatan konsentrasi dari gas-gas tersebut menyebabkan berbagai gejala stress. Kelembaban yang terlalu tinggi pada membran sel pada jaringan akar akibat penggenangan juga mempengaruhi efektivitas akar dalam penyerapan air dan hara. Membran yang rusak dapat mengganggu gradien osmotik korteks akar, sehingga penyerapan air dan hara menjadi buruk. Dampak yang dapat dilihat dari penggenangan pada
18
tanaman meliputi layu, terhambatnya pertumbuhan tanaman, klorosis, senesens, rontoknya daun tua, hipertrofi, epinasti, pembentukan lentisel, daun menggulung, dan pada akhirnya mengurangi hasil produksi tanaman. Mekanisme toleransi tanaman secara morfologi dan anatomi terhadap genangan adalah dengan cara meningkatkan porositas akar, membentuk akar adventif, membentuk jaringan aerenkim, dan merubah arah geotropisme akar (Roy dan Basu, 2009). Koefisien Korelasi Komponen Produksi dan Hasil Produksi Koefisien korelasi sederhana (r) merupakan ukuran derajat hubungan linier antara dua peubah x dan y. Nilai r berada di antara – 1 dan + 1, dengan nilai yang ekstrem menunjukkan hubungan linier yang sempurna dan nilai tengah nol menunjukkan tidak ada hubungan antara kedua peubah. Tanda negatif atau positif pada nilai r menunjukkan arah perubahan pada suatu peubah secara nisbi terhadap perubahan yang lainnya. Nilai r negatif apabila perubahan positif ada suatu peubah berhubungan dengan perubahan negatif pada peubah lainnya, dan positif apabila kedua peubah berubah kea rah yang sama (Gomez dan Gomez, 2007). Data pada tabel 14 menunjukan jumlah polong isi dan bobot biji per tanaman berkorelasi positif dengan nilai koefisien korelasi 0,936 pada taraf nyata 1% dan 5%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kedua peubah pengamatan tersebut, peningkatan jumlah polong isi akan diikuti dengan peningkatan bobot biji per tanaman. Korelasi positif di atas 70% juga ditemukan pada hubungan antara peubah pengamatan jumlah cabang dan jumlah polong isi, jumlah cabang dan bobot biji per tanaman, jumlah polong isi dan bobot ubinan, jumlah polong isi dan produktivitas, bobot biji per tanaman dan bobot ubinan, serta bobot biji pertanaman dan produktivitas. Bobot ubinan dan produktivitas memiliki korelasi positif yang sempurna, karena nilai produktivitas didapat dengan mengkonversi bobot ubinan. Korelasi negatif dengan taraf nyata 1% dan 5% ditemukan pada hubungan peubah pengamatan waktu berbunga dan bobot 100 biji dan jumlah polong isi dan bobot 100. Tabel 14. Matriks korelasi antar peubah pengamatan komponen produksi dan hasil produksi Peubah
JC
WB
JPI tn
0,838
JPH **
0,492
**
BB 0,753
B100 **
-0,299
tn
BU 0,526
P **
0,526**
JC
1
0,262
WB
0,262tn
1
0,159tn
0,271tn
0,031tn
-0,463**
-0,181tn
-0,181tn
JPI
0,838**
0,159tn
1
0,506**
0,936**
-0,298tn
0,728**
0,728**
JPH
0,492**
0,271tn
0,506**
1
0,289
-0,635**
0,338tn
0,338tn
BB
0,753**
0,031tn
0,936**
0,289
1
-0,035tn
0,799**
0,799**
B100
-0,299tn
-0,463**
-0,298tn
-0,635**
-0,035tn
1
-0,047tn
-0,047tn
BU
0,526**
-0,181tn
0,728**
0,338tn
0,799**
-0,047tn
1
1**
P
0,526**
-0,181tn
0,728**
0,338tn
0,799**
-0,047tn
1**
1
Keterangan: JC=Jumlah cabang; WB=Waktu berbunga; JPI=Jumlah polong isi; JPH=Jumlah polong hampa; BB=Bobot biji per tanaman; B100=Bobot 100 biji; BU=Bobot ubinan; P=Produktivitas; **=korelasi sangat nyata (α=1%); *=korelasi nyata(α=5%); tn=korelasi tidak nyata
19
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan BJA terus-menerus menghasilkan performa tanaman yang lebih baik dari BJA dengan penggenangan sesaat pada sebagian besar peubah pengamatan. Hal ini menunjukan bahwa penggenangan dapat menyebabkan pertumbuhan dan produksi kedelai menjadi tertekan. Tingkat penurunan tersebut berbeda-beda antar varietas. Menurut nilai indeks sensitivitas jumlah cabang, varietas yang termasuk dalam kategori toleran adalah Malika dan yang termasuk dalam kategori agak toleran adalah Anjasmoro. Jumlah cabang memiliki korelasi positif yang erat terhadap jumlah polong isi pada α=1% dan α=5%, jumlah polong isi juga memiliki korelasi positif yang erat terhadap bobot biji per tanaman, bobot ubinan, dan produktivitas. Maka jumlah cabang dapat dijadikan salah satu prediktor potensi produksi kedelai yang terkena cekaman penggenangan sesaat. Saran Salah satu kendala bercocok tanam kedelai di lahan pasang surut tipe B adalah melimpahnya ketersediaan air pada saat pasang besar dan musim hujan, sehingga tanaman dapat tergenang. Penggenangan dapat menyebabkan rendahnya produksi kedelai, maka dibutuhkan varietas yang toleran genangan untuk dibudidayakan di lahan pasang surut tipe B. Varietas yang termasuk dalam kategori toleran menurut jumlah cabang adalah Malika, sehingga varietas yang paling cocok untuk dibudidayakan di lahan pasang surut tipe B adalah Malika.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto T. dan Wudianto R. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah-Kering-Pasang Surut. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk Edisi 2. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. https://bpksejangkung.files.wordpress.com. [10 Desember 2015]. [Balittra] Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. 2013. Empat Kunci Sukses Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut untuk Usaha Pertanian Berkelanjutan. http://balittra.litbang.pertanian.go.id. [3 April 2015]. Barchia M.F. 2006. Gambut: Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Data Iklim Stasiun Kenten. BMKG, Palembang. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Tabel Luas Panen – Produktivitas - Produksi Tanaman Kedelai Provinsi Indonesia. http://www.bps.go.id [19 Februari 2016].
20
Butar D.V.B. 2014. Respon Genotipe tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill). Dari Berbagai Negara terhadap Kondisi Lingkungan Tumbuh Agroekosistem Tropika Basah. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Cho J.W., Ji H.C., and Yamakawa T. 2006. Comparison of Photosynthetic Response of Two Soybean Cultivars to Soil Flooding. Journal of the Faculty of Agriculture Kyushu University 51(2):227 – 232. Cho K.M., Ha T.J., Lee Y.B., Seo W.D., Kim J.Y., Ryu H.W., Jeong S.H., Kang Y.M., and Lee J.H. 2013. Soluble Phenolics and Antioxidant Properties of Soybean (Glycine Max L.) Cultivar with Varying Seed coat Colors. Journal of Functional Foods 5(3):1065 – 1076. [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. http://203.176.181.70/bppi/lengkap/0107-KEDELAI.pdf [14 Desember 2014]. Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jabar. 2015. Deskripsi Varietas Kedelai. http://diperta.jabarprov.go.id. [10 Desember 2015]. Fischer R.A. and Maurer R. 1978. Drought Resistance in Spring Wheat Cultivars L. Grain Yield Response. Aust J Agric Res. 29(5):897 – 907. Fisher N.M. dan Dunham R.J. 1992. Morfologi Akar dan Pengambilan Zat Hara. Goldsworthy P.R. dan Fisher N.M., editor. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ghulamahdi M., Melati M., and Sagala D. 2009. Production of Soybean Varieties under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps. J. Agron. Indonesia 37 (3): 226 – 232. Ghulamahdi M., Aziz S.A., Melati M., Dewi N., dan Rais S.A. 2006. Aktivitas Nitrogenase, Serapan Hara dan Pertumbuhan Dua Varietas Kedelai pada Kondisi Jenuh Air dan Kering. Bul. Agron. 34(1):32 – 38. Ghulamahdi M. 1999. Perubahan Fisiologi Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) pada Budidaya Tadah Hujan dan Jenuh Air. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gomez K.A. dan Gomez A.A. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta. Hanafiah K.A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo, Jakarta. Henshaw T.L. 2005. Morphological Adaptations of Soybean in Rensponse to Early Season Flood Stress. Tesis. University of Florida. Florida. Henshaw T.L., Gilbert R.A., Scholberg J.M.S., and Sinclair T.R. 2007. Soya Bean (Glycine max L. Merr.) Genotype Response to Early Season Flooding: II. Above Ground and Biomass. J. Agronomy and Crop Scince. 193(3):189 – 197. Hopkins W.G. and Huner N.P.A. 2004. Introduction to Plant Physiology. John Wiley and Sons, Inc, Ontario. Kim E.H., Lee O.K., Kim J.K., Kim S.L., Lee J., Kim S.H., and Chung I.M. 2014. Isovlavones and Anthocyanins Analysis in Soybean (Glycine Max L Merill) from Three Different Planting Locations in Korea. Field Crops Research. 156 76 – 83. Komara A. 2011. Uji Daya Hasil Galur-galur Harapan Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr). Pada Lahan Sawah di Kabupaten Majalengka. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
21
Kong J.M., Chia L.S., Goh N.K., Chia T.F, and Brouillard R. 2003. Analysis and Biological Activities of Anthocyanins. Phytochemistry 64(5):923 – 933. Hapsari R.T. dan Adie M.M. 2010. Peluang Perakitan dan Pengembangan Kedelai Toleran Genangan. Jurnal Litbang Pertanian 29(2):50 – 58. Landi M., Tattini M., and Gould K.S. 2015. Multiple Functional Role of Anthocyanins in Plant – Environtment Interaction. Environtmental and Experimental Botany. 119 4 – 17. Liu X., Jin J., Wang G., and Herbert S.J. 2007. Soybean Yield Physiology and Development of High-yielding Practices in Northeast China. Field Crops Research. 105 (3):157 – 171. Noor M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Prasastyawati D. 2015. Swasembada Kedelai Melalui Gerakan Penerapan PTT Kedelai. Tabloid Sinar Tani. http://tabloidsinartani.com/content/read/ swasembada-kedelai-melalui-gerakan-penerapan-ptt-kedelai/. [29 Juli 2016]. Priatmadi B.J. dan Haris A. 2008. Reaksi Pemasaman Senyawa Pirit pada Tanah Rawa Pasang Surut. J. Tanah. 14(1):19 – 24. Purwono dan Purnamawati H. 2008. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta. [Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Buletin Triwulan Ekspor Impor Pertanian. http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id [18 Februari 2016]. Riche C.J. 2004. Identification of Soybean Cultivars Tolerance to Waterlogging Through Analyses of Leaf Nitrogen Concentration. Tesis. B. S. Lousiana State University. Lousiana. Roy B. and Basu A.K. 2009. Abiotic Stress Tolerance in Crop Plants, Breeding and Biotechnology. New India Publishing Agency, New Delhi. Sabran M., William E., dan Saleh M. 2000. Pengujian Galur Kedelai di Lahan Pasang Surut. Bul. Agron. 28(2):41 – 48. Safrizal, Santosa E., and Bakhtiar. 2008. The Effect of Water Logging on Vegetative Growth of Chilli. J. Floratek. 3(1):61 – 67. Sagala D., Ghulamahdi M., dan Melati M. 2011. Pola Serapan Hara dan Pertumbuhan Beberapa Varietas Kedelai dengan Budidaya Jenuh Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Jurnal Agroqua. 9(1):1 – 10. Soepandie D. 2014. Fisiologi Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Abiotik pada Agroekosistem Tropika. IPB Press, Bogor. Striker G.G. 2012. Flooding Stress on Plants: Anatomical, Morphological, and Physiological Responses, Botany. Mworia J., editor. Intech, Shanghai. Subagyo H. 2006. Lahan Rawa Pasang Surut. Ardi D.S. et al., editor. Karakteristik Pengolahan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Taiz L. and Zeiger E. 2008. Plant Physiology. Sinauer Associates,Inc, Massachusetts. Tampubolon B., Wiroatmodjo J., Baharsjah J.S. dan Soedarsono. 1989. Pengaruh Penggenangan pada Berbagai Fase Pertumbuhan Kedelai (Glycine max. (L.) Merr) terhadap Pertumbuhan dan Produksi. Forum Pascasarjana. 12: 17 – 25.
22
VanToai T.T., Hoa T.T.C., Hue N.T.N., Nguyen H.T., Shannon J.G., and Rahman M.A. 2010. Flooding Tolerance of Soybean (Glycine max. L) Germplasm of Southeast Asia under Field and Screen-House Environtments. The Open Agriculture Journal 4: 38 – 46. Welly H.D. 2013. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah pada Berbagai Varietas Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) dengan Sistem Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
23
LAMPIRAN Lampiran 1. Data BMKG bulan April sampai Oktober 2015 Lokasi : Stasiun Klimatologi Kenten, Sumatera Selatan Lintang : 02° 55' 41" LS Bujur : 104° 46' 19" BT Elevasi :4m Jumlah Suhu rata- Suhu rataSuhu rata-rata Bulan Curah rata rata Max Min Bulanan 2015 Hujan Bulanan Bulanan ( ° C) (mm) (oC) ( ° C) 293,3 27,6 33,2 24,2 APR 177,9 28,3 33,6 25,1 MAY 170,2 27,8 33,1 24,7 JUN 21,4 28,0 33,5 24,6 JUL 21,2 28,0 33,9 24,3 AUG 5,3 28,2 34,6 24,0 SEP 0,2 28,6 34,4 24,2 OCT
Lama Penyinaran matahari (%) 61 66 36 77 75 47 13
24
Lampiran 2. Data hasil analisis tanah No Komponen Analisis Tanah 1 Tekstur - Pasir - Debu - Liat 2 pH - H2O - KCl 3 C-Organik 4 N 5 C/N rasio 6 P 7 Ca 8 Mg 9 K 10 Na 11 KTK 12 KB 15 Fe 16 Al 18 Mn
Nilai
Keterangan
3,55 % 48,60 % 47,85 %
Debu berliat
4,30 3,50 5,4 % 0,34 % 15,88 27,5 ppm 4,29 mol/100g 2,3 mol/100g 0,67 mol/100g 0,41 mol/100g 27,89 mol/100g 27,5 % 69,85 ppm 8,09 ppm 2,87 ppm
Sangat Masam Sangat Masam Sedang Sedang Sangat Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang
Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah, Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan 2015 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2012
25
Lampiran 3.
Denah Percobaan
U
Keterangan: P1 : BJA Terus-menerus P2 : BJA dengan Penggenangan Sesaat V1 : Varietas Tanggamus V2 : Varietas Anjasmoro V3 : Varietas Wilis V4 : Varietas Grobogan V5 : Varietas Cikuray V6 : Varietas Ceneng V7 : Varietas Detam 2 V8 : Varietas Malika V9 : Varietas Enrei V10 : Varietas GmWMC 119 U1 : Ulangan 1 U2 : Ulangan 2 U3 : Ulangan 3
26
Lampiran 4. Teknik pengambilan ubinan Teknik pengambilan ubinan pada petak percobaan berukuran 4 m x 3 m. 4m
3m
Ukuran ubinan adalah 2 m x 1,4 m dan jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 20 cm, sehingga terdapat 56 lubang tanam. 2m
25 cm
20 cm
1,4 m
27
Lampiran 5.
Deskripsi varietas
a. Tanggamus Dilepas tahun SK Mentan Nomor induk Asal Hasil rata-rata Warna hipokotil Warna epikotil Warna kotiledon Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna polong masak Warna hilum Bentuk biji Bentuk daun Tipe tumbuh Umur berbunga Umur saat panen Tinggi tanaman Percabangan Bobot 100 biji Ukuran biji Kandungan protein Kandungan lemak Kandungan air Kerebahan Ketahanan thd penyakit Sifat-sifat lain Wilayah adaptasi Pemulia
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
b. Anjasmoro Dilepas tahun SK Mentan Nomor galur Asal Daya hasil Warna hipokotil Warna epikotil Warna daun Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji
: : : : : : : : : : :
22 Oktober 2001 536/Kpts/TP.240/10/2001 K3911-66 Hibrida (persilangan tunggal): Kerinci x No. 3911 1,22 ton ha-1 Ungu Hijau Kuning Coklat Ungu Kuning Coklat Coklat tua Oval Lanceolate Determinit 35 hari 88 hari 67 cm 3–4 cabang 11,0 g Sedang 44,5% 12,9% 6,1% Tahan rebah Moderat karat daun Polong tidak mudah pecah Lahan kering masam Darman M.A., M. Muchlish Adie, Heru Kuswantoro, dan Purwantoro (Sumber: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2005)
22 Oktober 2001 537/Kpts/TP.240/10/2001 Mansuria 395-49-4 Seleksi massa dari populasi galur murni Mansuria 2,03–2,25 ton ha-1 Ungu Ungu Hijau Putih Ungu Kuning
28
Warna polong masak Warna hilum Bentuk daun Ukuran daun Tipe tumbuh Umur berbunga Umur polong masak Tinggi tanaman Percabangan Jml. buku batang utama Bobot 100 biji Kandungan protein Kandungan lemak Kerebahan Ketahanan thd penyakit Sifat-sifat lain Pemulia
: : : : : : : : : : : : : : : : :
Coklat muda Kuning kecoklatan Oval Lebar Determinit 35,7–39,4 hari 82,5–92,5 hari 64–68 cm 2,9–5,6 cabang 12,9–14,8 14,8–15,3 g 41,8–42,1% 17,2–18,6% Tahan rebah Moderat terhadap karat daun Polong tidak mudah pecah Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaluddin M., Susanto, Darman M.A., dan M. Muchlish Adie. (Sumber: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2005) c. Wilis Dilepas tahun SK Mentan Nomor induk Asal Hasil rata-rata Warna hipokotil Warna batang Warna daun Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna polong tua Warna hylum Tipe tumbuh Umur berbunga Umur matang Tinggi tanaman Bentuk biji Bobot 100 biji Kandungan protein Kandungan minyak Kerebahan Ketahanan thd penyakit Benih penjenis Pemulia
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
21 Juli 1983 TP240/519/Kpts/7/1983 B 3034 Hasil seleksi keturunan persilangan Orba x No. 1682 1,6 ton ha-1 Ungu Hijau Hijau - hijau tua Coklat tua Ungu Kuning Coklat tua Coklat tua Determinit ± 39 hari 85–90 hari ± 50 cm Oval, agak pipih ± 10 g 37,0% 18,0% Tahan rebah Agak tahan karat daun dan virus Dipertahankan di Balittan Bogor dan Balittan Malang Sumarno, Darman M Arsyad., Rodiah, dan Ono Sutrisno (Sumber: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2005)
29
d. Detam 2 Dilepas tahun Nomor galur Asal
: 2008 : 9837/W-D-5-211 : Seleksi persilangan galur introduksi 9837 dengan Wilis Tipe tumbuh : Determinit Warna hipokotil : Ungu Warna epikotil : Hijau Warna bunga : Ungu Warna daun : Hijau Warna bulu : Coklat tua Warna kulit polong : Coklat muda Warna kulit biji : Hitam Warna hilum : Coklat Warna kotiledon : Kuning Bentuk daun : Lonjong Bentuk biji : Lonjong Kecerahan kulit biji : Kusam Umur bunga (hari) : 34 Umur masak (hari) : 82 Tinggi tanaman (cm) : 57 Berat 100 biji (g) : 13,54 -1 Potensi hasil (ton ha ) : 2,96 Hasil biji (ton ha-1) : 2,46 Kandungan protein (% bk) : 45,58 Kandungan lemak (% bk) : 14,83 Ketahanan thd ulat grayak : Peka Pengisap polong : Agak tahan Kekeringan : Agak tahan Pemulia : M. Muchlish Adie, Gatut Wahyu AS, Suyamto, Arifin (Sumber: Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2015) e. Malika Dilepas tahun Asal Tipe pertumbuhan Warna hipokotil Warna epikotil Warna daun Warna bulu batang Warna bunga Warna kulit biji Warna polong tua Warna hilum biji Bentuk daun Percabangan
: : : : : : : : : : : : :
2007 Seleksi varietas lokal asal Bantul Indeterminet Ungu Ungu Hijau tua Coklat Ungu Hitam Coklat tua Coklat muda Oval melebar Bercabang
30
Tipe tumbuh : Indeterminit Umur berbunga : 36 hari Umur polong masak : 85–90 hari Tinggi tanaman : 60–80 cm Bobot 100 biji : 9–10 g Rata-rata hasil : 2,34 ton ha-1 Potensi hasil : 2,94 ton ha-1 Kandungan protein : 37% Kandungan lemak : 20% Ketahanan terhadap hama dan penyakit - Hama : Toleran terhadap ulat jengkal maupun ulat grayak - Penyakit : Daerah sebaran/adaptasi : Beradaptasi baik pada daerah dataran rendah sampai tinggi pada musim hujan dan kemarau Sifat-sifat lain : Polong lebat, muncul dari nodia pertama Polong masak tidak mudah pecah Peneliti : Setyastuti Purwati, Tri Harjaka, Mary Astuti, M. Muchlis Adie Pengusul : Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada Yogyakarta (Sumber: Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2015) f. Grobogan Asal Warna hipokotil Warna bunga Warna biji Warna daun Warna bulu Tipe tumbuh Tinggi tanaman Umur berbunga Umur masak Bobot 100 biji Kadar protein Kadar lemak Ukuran biji Potensi hasil Sifat lain
: : : : : : : : : : : : : : : :
Pemurnian populasi Lokal Malabar Grobogan Ungu Ungu Kuning muda Hijau agak tua Coklat Determinate 50-60 cm 30-32 hari 76 hari 18 g 43,9% 18,4% Besar 3,40 t/ha - polong masak tidak mudah pecah - pada saat panen daun luruh 95–100% saat panen >95% daunnya telah luruh Pemulia : Suhartina, M. Muclish Adie Tahun dilepas : 2008 (SK Mentan No. 238/Kpts/SR.120/ 3/2008) (Sumber: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2005)
31
g. Cikuray Nama varietas Dilepas tahun SK Mentan Nomor galur Asal Tinggi tanaman Umur Bentuk biji Warna biji Warna hipokotil Warna epikotil Warna daun Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna polong tua Tipe tumbuh Umur polong masak Tinggi tanaman Bobot 100 biji Potensi hasil Kadar protein Kadar lemak Kerebahan Ketahanan penyakit Adaptasi
Cikuray 3 November 1992 616/Kpts/TP.240/11/92 630/1343-4-1 Hasil seleksi keturunan persilangan kedelai No. 630 60-65 cm 82-85 hari Oval Hitam Ungu Ungu Hijau muda Coklat Ungu Hitam mengkilat Coklat tua Determinit, bentuk daun lebar 82–85 hari 60–65 cm 11-12 g 1,7 ton ha-1 biji kering 35 % 17 % Tahan rebah Toleran karat daun Berataptasi baik di dataran rendah dan dataran tinggi, cukup baik ditanam dimusim hujan dan kemarau. Polong masak tidak mudah pecah Pemulia : Darman MA dan Ono Sutrisno (Sumber: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2005) h. Ceneng Waktu berbunga Waktu panen Tinggi tanaman panen Jumlah cabang produktif Jumlah buku produktif Jumlah polong bernas Jumlah polong hampa Bobot biji per tanaman Bobot 100 biji Potensi hasil (Komara, 2011)
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
: : : : : : : : : :
41,3 ± 1,2 hari 92,3 ± 1,2 hari 51,36 ± 8,5 cm 4,3 ± 1,8 24,6 ± 7,4 70,3 ± 20,4 4,0 ± 3,4 13,40 ± 4,4 g 10,05 ± 0,7 g 2,40 ± 0,5 ton ha-1
32
i. Enrei Waktu berbunga Waktu pembentukan polong Asal negara Iklim negara asal (Butar, 2014)
: : : :
28 hari 35 hari Jepang Subtorpik
j. GmWMC119 Waktu berbunga Waktu pembentukan polong Tinggi saat fase R1 Tinggi saat fase R7 Jumlah buku saat fase R1 Jumlah buku saat fase R8 Jumlah cabang Bobot kering tajuk Jumlah polong Ukuran biji Warna biji Nama kultivar Iklim negara Status Asal negara (Butar, 2014)
: : : : : : : : : : : : : : :
28 hst 35 hst 53,90 cm 68,90 cm 20 43 7 10,66 g 131 Besar (berat 100 biji >14 g) Kuning Hakubi Tropika/Subtropika Landrace RRC
33
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian
a. Persiapan lahan
b. Perlakuan tata air BJA terusmenerus (kiri) dan BJA dengan penggenangan (kanan) pada 2 MST
c. Perlakuan penggenangan pada 2 MST
d. Perlakuan penggenangan pada 4 MST
e. Kedelai varietas Malika dengan BJA terus-menerus pada 8 MST
f. Kedelai varietas Malika dengan BJA dengan penggenangan sesaat pada 8 MST
34
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Pekanbaru, Provinsi Riau pada 13 Juni 1994. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Endang Lily, Msi. dan Dra. Suhaenih. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pekanbaru pada tahun 2011, kemudian melanjutkan pendidikan S1 di IPB dengan Mayor Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama perkuliahan penulis aktif dalam Komunitas Senibudaya Masyarakat Roempoet Fahutan pada divisi musik. Penulis menerima dana hibah pada ajang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2014. Selama penelitian di Sumatera Selatan penulis mengikuti program Upaya Khusus (UPSUS) bersama Dinas Pertanian Sumatera Selatan sebagai pendamping petani untuk menanam kedelai dengan teknologi Budidaya Jenuh Air seluas 1500 Ha.