PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD
SKRIPSI RISNA HAIRANI SITOMPUL
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN RISNA HAIRANI SITOMPUL. D14101008. 2006. Pertumbuhan dan Konversi Pakan Ulat Tepung (Tenebrio molitor L.) pada Kombinasi Pakan Komersial dengan Dedak padi, Onggok dan Pollard. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi. Pembimbing Anggota : Dr. Ir Pollung H. Siagian, MS. Ulat tepung yang merupakan larva dari kumbang Tenebrio molitor L. dibudidayakan karena dipandang memiliki nilai ekonomis. Penyediaan berbagai jenis pakan yang sekaligus merupakan media hidupnya. Penggunaan bahan makanan yang murah, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan selalu tersedia merupakan salah satu target utama dalam suatu usaha peternakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan cara memanfaatkan limbah industri pertanian berbentuk tepung seperti dedak padi, onggok atau pollard (dedak gandum). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan dan konversi pakan ulat tepung (T. molitor L.) yang diberi kombinasi pakan 25% pakan komersial dan 75% dedak padi, onggok atau pollard. Mortalitas juga dilihat untuk mengetahui adaptasi ulat tepung terhadap pakan atau media hidup. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 September sampai dengan 29 Nopember 2004 di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi yang digunakan sebanyak 1.125 ulat berumur 46-48 hari dan dibagi kedalam 15 insektarium. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tiap insektarium terdapat 75 larva yang diberi perlakuan yang sama, sehingga terdapat lima ulangan pada ketiga perlakuan yaitu KD (25% pakan komersial + 75% dedak padi), KO (25% pakan komersial + 75% onggok) dan KP (25% pakan komersial + 75% pollard). Peubah yang diamati meliputi konsumsi pakan, pertambahan panjang badan, pertambahan bobot badan, konversi pakan dan mortalitas. Pengamatan semua peubah dilakukan setiap 10 hari selama 40 hari masa pemeliharaan ulat tepung. Data dari peubah-peubah yang diamati dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan. Pertambahan panjang badan dan pertambahan bobot badan pada konversi ulat yang mendapat pakan KO dan KP lebih baik daripada KD. Ulat yang mendapat pakan KO lebih banyak berubah menjadi pupa (25 dibanding 20 dan 12 pupa). Mortalitas ulat yang mendapat pakan KD lebih tinggi daripada KO dan KP. Perlu diteliti tingkat energi dan protein yang dibutuhkan pada awal dan akhir tahap larva. Kata-kata kunci: pertumbuhan, ulat tepung (Tenebrio molitor L.), dedak padi, pollard.
onggok,
ABSTRACT Growth and Feed Convertion of Mealworm (Tenebrio molitor L.) to Combination Commercial Feed with Rice bran, Onggok and Pollard Sitompul, R. H., H. C. H. Siregar and P. H. Siagian Yellow mealworm is the larva stage of Tenebrio molitor L. beetle. Now a days, yellow mealworm are reared because of its living media, but larva growth and feed convertion of each living media are known yet. The research which was do from 1st September up to 29th Nopember 2004 at Ruminants and Prospective Animal Division, Departemen of Animal Production and Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agriculture University aimed to compare the performance of yellow mealworm (T. molitor L.) on 25% commercial feed and 75% rice bran, tapioca by product (onggok) and pollard. This experiment use 1.125 larva, aged 46-48 days old and were devided into 15 insectariums as experiment units. Every five insectariums were given different feed as well as living media : KD (25% commercial feed + 75% rice bran), KO (25% commercial feed + 25% onggok) and KP (25% commercial feed + 75% pollard). Completely Randomized Design was used as the experimental design with three treatments and five replications for each treatment. The observed variables were feed consumption, body length gain, body weight gain, feed convertion, and mortality. The obtained data were analized by Analysis of Variance (ANOVA) and tested with Duncan Multiple Range Test. The result showed that KO induced more amount pupa stage than KD and KP (25 in KO compare to 12 and 20 in KD and KP). Mortality got feed KD higher than KO and KP. Further investigation on energy and protein level at early and late larva stage are needed. Keywords : growth, mealworm (Tenebrio molitor L.), rice bran, onggok, pollard
PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Oleh : RISNA HAIRANI SITOMPUL D14101008
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
Nama NRP
: PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD : Risna Hairani Sitompul : D14101008
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi) NIP 131 881 141
(Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS) NIP 130 674 521
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
(Dr. Ir. Ronny R. Noor, M. Rur. Sc) NIP 131 624 188
Tanggal Lulus : 27 Januari 2006
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1983 di Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Ayah H. Ahmad Zufri Sitompul dan Ibu Hj. Deliana Siregar. Pendidikan Dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SD Negeri 21 Padangsidimpuan, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SLTP NEGERI 2 Padangsidimpuan dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMU NEGERI 3 Padangsidimpuan. Pada tahun 2001 Penulis masuk IPB melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Penelitian tentang ulat tepung (Tenebrio molitor L.) masih dirasakan sedikit, sedangkan ulat tepung memiliki nilai ekonomis sebagai pakan maupun pangan dan mudah dibudidayakan, sehingga perlu dilakukan penelitian alternative bahan pakan terutama yang berasal dari limbah pertanian karena harganya lebih murah, tersedia terus menerus, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan pakan tersebut sekaligus sebagai media hidupnya. Skripsi ini memberi informasi tentang pertumbuhan dan konversi pakan ulat tepung (T. molitor L.) yang diberi kombinasi pakan 25% pakan komersial dan 75% dedak padi, onggok dan pollard. Mortalitas juga dilihat untuk mengetahui adaptasi ulat tepung terhadap pakan atau media hidup. Meskipun skripsi ini masih jauh dari sempurna, diharapkan dapat membantu bagi para pembaca dan peminat yang akan memperdalam penelitian budidaya ulat tepung yang ekonomis. Penulis berupaya untuk membandingkan pengaruh perbedaan jenis pakan terhadap pertumbuhan yang optimal pada ulat tepung yang diberi pakan kombinasi KD (25% pakan komersial + 75% dedak padi), KO (25% pakan komersial + 75% onggok) dan KP (25% pakan komersial + 75% pollard). Pertumbuhan ulat yang mendapat pakan KO dan KP lebih baik daripada KD. Ulat yang mendapat pakan KO lebih banyak berubah menjadi pupa dan harga pakan lebih murah daripada KP dan KD
Bogor, Februari 2006
Penulis .
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN...................................................................................................
i
ABSTRACT .....................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
viii
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................. Tujuan ..................................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
3
Taksonomi, Morfologi dan Habitat...................................................... Pertumbuhan ........................................................................................ Siklus Hidup......................................................................................... Pakan .................................................................................................... Konsumsi dan Konversi Pakan ............................................................ Mortalitas .............................................................................................
3 5 6 7 12 13
METODE .........................................................................................................
15
Lokasi dan Waktu ................................................................................ Materi ................................................................................................... Rancangan Percobaan .......................................................................... Prosedur ...............................................................................................
15 15 16 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
20
Konsumsi Pakan................................................................................... Pertambahan Panjang Badan................................................................ Pertambahan Bobot Badan................................................................... Konversi Pakan .................................................................................... Mortalitas .............................................................................................
20 21 24 26 28
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
29
UCAPAN TERIMAH KASIH .........................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
31
LAMPIRAN .....................................................................................................
35
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kandungan Nutrisi Bahan Makanan Dedak Padi, Onggok, Pollard dan CP 511 ............................................................................................
9
2. Komposisi Zat Makanan dari Bahan Pakan ..........................................
15
3. Panjang Badan Ulat Tepung Menurut Perlakuan dengan Umur yang Berbeda.........................................................................................
21
4. Bobot Badan Ulat Tepung Menurut Perlakuan dengan Umur yang Berbeda..........................................................................................
24
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Larva, Kulit Larva setelah Moulting, Pupa dan Kumbang Dewasa .......
3
2. Karakteristik Sayap Coleroptera ............................................................
4
3. Larva Berumur Satu Minggu, Larva Berumur Enam Minggu, Larva Berumur 12 Minggu, Pupa dan Kumbang Dewasa ...................
5
4. Siklus Hidup Tenebrio molitor L ...........................................................
6
5. Wadah Pemeliharaan ............................................................................. 16 6. Bagan Penelitian..................................................................................... 19 7. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Konsumsi Pakan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda ....................................... 20 8. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Pertambahan Panjang Badan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda.........................
23
9. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda............................ 25 10. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Panjang Badan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda ............................................................................... 26 11. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda .............................................................................. 27
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Analisis Ragam terhadap Konsumsi Pakan Ulat Tepung pada Umur 47-76 Hari ...........................................................................
35
2. Uji Lanjut Duncan terhadap Konsumsi Pakan Ulat Tepung pada Umur 47-76 Hari ...........................................................................
36
3. Analisis Ragam terhadap Pertambahan Panjang Badan Ulat Tepung pada Umur 67-76 Hari............................................................................
37
4. Uji Lanjut Duncan terhadap Pertambahan Panjang Badan Ulat Tepung pada Umur 67-76 Hari...........................................................................
38
5. Analisis Ragam terhadap Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur 47-76 Hari ...........................................................................
39
6. Uji Lanjut Duncan terhadap Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur 47-76 Hari............................................................................
40
7. Analisis Ragam terhadap Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan Ulat tepung pada umur 47-56 Hari ..................................
41
8. Uji Lanjut Duncan terhadap Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan Ulat tepung pada umur 47-56 Hari................................... 42 9. Jumlah Ulat, Pupa, dan Kumbang pada Umur 76-87 Hari......................
43
10. Biaya Produksi dari Larva Umur 47-87 Hari Sampai Pupa .................... dan Kumbang
44
PENDAHULUAN Latar Belakang Ulat tepung merupakan larva dari kumbang Tenebrio molitor L. yang dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis sebagai pakan maupun pangan dan mudah dibudidayakan. Masalah utama dalam peningkatan produktivitas ulat tepung yaitu pakan yang juga merupakan media hidupnya. Penyediaan pakan yang mampu mendukung pertumbuhan yang cepat merupakan faktor penting yang harus tetap dijaga baik dari segi nutrisinya maupun bentuk fisik. Ulat tepung adalah biasanya hidup di bahan makanan berbentuk tepung. Penggunaan bahan makanan yang murah, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan selalu tersedia merupakan salah satu target utama dalam suatu usaha peternakan untuk mencapai tingkat produksi dan keuntungan yang optimal. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan cara memanfaatkan limbah berbentuk tepung dari industri pertanian seperti dedak padi, onggok dan pollard (dedak gandum). Dedak padi adalah limbah proses pengolahan gabah dan tidak dikonsumsi oleh manusia. Produksi padi tahun 2004 di Indonesia sangat tinggi mencapai 53,1 juta ton gabah kering giling (GKG) (BPS, 2004) karena masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai petani terutama penghasil padi yang dapat menghasilkan beras sebagai bahan pangan utama dan hasil sampingan berupa padi yaitu dedak padi giling digunakan sebagai pakan. Dedak padi digolongkan sebagai sumber energi dengan kandungan energi metabolis sekitar 1.700 kkal/kg, kandungan lemaknya tinggi sebesar 13% dan kandungan serat kasar dedak sebesar 13% atau enam kali lebih besar dibanding kandungan serat kasar jagung kuning. Dedak padi mengandung serat kasar yang tinggi, minyak yang tinggi (6-10%) serta mengandung zat-zat antinurisi seperti phytat. Onggok merupakan limbah dari pengolahan tepung tapioka yang ketersediaan saat ini cukup melimpah. Sebagai limbah, onggok dapat mencemari lingkungan bila tidak dimanfaatkan. Salah satu upaya pemanfaatan limbah onggok adalah sebagai bahan pakan yang mengandung pati dan serat kasar. Pemanfaatan onggok sebagai bahan baku pakan dibatasi oleh rendahnya kandungan protein. Onggok hanya digunakan sebagai energi.
Pollard merupakan hasil ikutan dari penggilingan gandum yang mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai pakan alternatif pengganti jagung. Kandungan zat nutrisi pollard hampir sama dengan jagung dan ini dapat diketahui dari kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 15,1%. Serat kasar pollard merupakan zat antinutrisi yang akan menghambat penggunaan zat nutrisi lainnya dalam tubuh. Dedak padi tidak dapat dipadukan dengan pollard, sebab kandungan serat kasarnya menjadi berlebihan. Selain harga pollard lebih murah dibanding jagung dan ketersediaan pollard juga selalu ada selama penggilingan gandum berjalan. Perumusan Masalah 1. Pakan ulat tepung yang juga merupakan media hidupnya harus mampu mendukung pertumbuhan yang optimal. 2. Alternatif bahan pakan terutama yang berasal dari limbah pertanian perlu diupayakan karena harganya lebih murah, tersedia terus menerus, tidak bersaing dengan manusia serta mencegah pencemaran lingkungan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan dan konversi pakan ulat tepung (Tenebrio molitor L.) yang diberi kombinasi pakan 25% konsentrat dan 75% dedak padi, onggok dan pollard. Mortalitas juga dilihat untuk mengetahui adaptasi ulat tepung terhadap pakan atau media hidup.
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi, Morfologi dan Habitat Ulat tepung (Tenebrio molitor Linnaeus) mempunyai taksonomi: Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, kelas Insecta, Ordo Coleoptera, Famili Tenebrionidae, Genus Tenebrio, Species Tenebrio molitor (Frost, 1959). Ordo Coleoptera adalah ordo yang terbesar dari serangga-serangga dan mengandung kira-kira 40% dari jenis yang terkenal yaitu Hexapoda dan famili kelima yang terbesar dari kumbang-kumbang, dengan jenis Amerika Utara yang lebih dari 1000, dan banyak dari anggota-anggotanya adalah serangga-serangga yang umum (Borror et al., 1982). Tenebrionida adalah satu kelompok yang besar dan beragam, tetapi tidak dapat dibedakan oleh tarsus 5-5-4, rongga-rongga koksa tertutup dibelakang, mata biasanya berlekuk, sungut hampir selalu 11 ruas baik sebagai bentuk benang atau merjan, dan lima sterna abdomen yang kelihatan (Borror et al., 1982).
Gambar 1. Larva (A), Kulit Larva setelah Moulting (B), Pupa (bagian belakang dan depan) (C) dan Kumbang Dewasa (T. molitor) (D) (Attawer, 2003) Telur T. molitor berbentuk oval dan sangat sulit dilihat dengan ukuran panjangnya 1 mm. Gambar 1 menunjukkan ukuran panjang larva 30-35 mm, tubuhnya keras dan berwarna kuning kecoklatan. Ukuran pupa panjangnya sekitar 20 mm dan kumbang berwarna hitam mengkilat sekitar 15-20 mm ( Salem, 2002). Telur serangga-serangga yang berbeda sangat besar variasi penampilannya, kebanyakan telur adalah bulat, oval, atau memanjang. Kebanyakan telur serangga diletakkan dalam satu situasi dan mereka memberikan sejumlah perlindungan, pada waktu menetas akan mempunyai kondisi yang cocok bagi perkembangannya (Borror et
al., 1982). Kumbang betina meletakkan telur satu-satu atau dibungkus dengan substansi yang dapat mengeras menjadi masa telur atau didalam suatu kantong yang dikenal sebagai ootheca (Noerdjito, 2003). Bentuk larva kumbang sangat bervariasi, namun pada umumnya mempunyai kepala yang mudah dibedakan dari toraks (Noerdjito, 2003). Larva merupakan bentuk siklus hidup kedua dan mempunyai 13-15 segmen berwarna coklat kekuning-kuningan pada bagian tubuh (Salem, 2002). Instar-instar awal seperti cacing, dan yang muda pada tahapan ini disebut larva. Instar-instar larva yang berbeda tetapi sama dalam bentuk dan berbeda dalam ukuran (Borror et al., 1982). Mengikuti instar larva terakhir, serangga berganti bentuk menjadi satu tahapan yang disebut dengan pupa. Serangga tidak makan pada waktu pupa dan tidak aktif (Borror et al., 1982), dan dikenal sebagai stadium istirahat, berwarna pucat, mirip mumi kumbang dewasa (Noerdjito, 2003). Pupa kumbang bertipe exarate, artinya dilengkapi dengan anggota tubuh yang bebas, terlihat dari luar, serta tidak berpegang erat pada substrat tempat berkembangnya pupa. Pada fase ini kumbang tidak makan, dan tidak aktif bergerak, tetapi didalam tubuh pupa terjadi perubahan besar organ-organ larva menjadi organ kumbang dewasa (Noerdjito, 2003). Tahap akhir setelah pupa yaitu dewasa. Dewasa pucat warnanya bila serangga muncul pertama kali dari pupa, dan sayap-sayapnya adalah pendek, lunak dan berkerut (Borror et al., 1982). Tubuh kumbang akan mengalami pengerasan (sklerotisasi) yang kuat dan berwarna lebih gelap, biasanya memerlukan waktu dari beberapa jam sampai waktu yang lama tergantung jenisnya (Noerdjito, 2003).
Karakteristik sayap pada
kumbang T. molitor L. dapat dilihat pada Gambar 2. A
B
Gambar 2. Karakteristik Sayap Coleoptera : Sayap Depan (A) dan Sayap Belakang (B) (Maddison, 1995)
Seperti kebanyakan serangga, kumbang mempunyai dua pasang sayap, pasangan sayap depan tebal seperti kulit keras, disebut elytra, sebagai pelindung. Pada saat istirahat tepi dalam kedua elytra bertemu pada satu garis lurus dipunggung. Pasangan sayap belakang tipis (membraneus), dalam keadaan istirahat terlipat dibawah pasangan sayap depan dipergunakan untuk terbang (Maddison, 1995). Ulat tepung adalah tahapan larva dari kumbang T. molitor dan merupakan hama butiran serta produk butiran (Robinson, 1998). Kumbang dalam genus Tenebrio memakan produk butira-butiran baik pada tahapan larva maupun dewasa (Borror et al., 1982). Sebagian besar hama butiran dapat hidup pada butiran yang disimpan dengan kadar air 11,5-14,5%. Ulat tepung mampu bertahan hidup pada kisaran suhu 25-270C (Robinson, 1998). Ulat tepung (T. molitor) itu berpotensi sebagai hama gudang (Karjono, 1999). Pertumbuhan Serangga pada umumnya memiliki kerangka luar, dan bila serangga tumbuh atau meningkat ukurannya, rangka luar harus secara periodik dikelupas dan diganti dengan yang lebih besar (Borror et al., 1982). Menurut Harwood (1978) menyatakan, bahwa setelah menetas, serangga tumbuh melalui rangkaian moulting (melepas kulit lama) dan berkembang dalam kulit yang baru dan lebih besar. Pada tiap-tiap tahapan moulting akan tampak terjadi perubahan sisi luar. Moulting merupakan mekanisme dasar pertumbuhan utama pada serangga (Wigglesworth, 1972), dan dikontrol oleh hormon ecdyson yang dilepaskan oleh kelenjar protoraks (Harwood, 1978). Panjang badan ulat tepung pada tahap larva, pupa dan kumbang (dewasa) dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Larva Berumur Satu Minggu, Enam Minggu, dan 12 Minggu, Pupa dan Kumbang Dewasa (T. molitor) (Paryadi, 2003).
Menurut Frost (1959) Tenebrio merupakan tipe metamorfosis yang bersifat holometabola karena melewati empat tahap pertumbuhan yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Telur bersifat tidak aktif dan merupakan permulaan, larva bersifat aktif untuk makan dan tumbuh, pupa bersifat tidak aktif mulai beradaptasi dan berubah bentuk menuju ke dewasa, sedangkan kumbang aktif tetapi tidak tumbuh lagi melainkan mempersiapkan diri untuk bereproduksi. Tahapan-tahapan pradewasa dan dewasa serangga yang mengalami metamorfosis sempurna dan sangat berbeda dalam bentuk, hidup dalam habitat-habitat yang berbeda, dan mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang sangat berbeda (Borror et al., 1982). Siklus Hidup Siklus hidup T. molitor L. dari tahap telur, larva, pupa dan kumbang mempunyai jangka waktu yang berbeda tergantung pada lingkungan dan makanan yang diperoleh. Siklus hidup ulat tepung (T. molitor L.) dari telur sampai dewasa (kumbang) dapat dilihat pada Gambar 4.
14 hari
87,7 hari
78 hari 7 hari
Gambar 4. Siklus Hidup T. molitor L. (Rudhy, 2004) Kumbang T. molitor L. dapat hidup selama dua sampai tiga bulan. Menurut Andriani (1999) hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa siklus hidup rata-rata T. molitor adalah 178,7 hari. Serangga biasanya bisexual yaitu terdapat jantan dan betina pada dua individu yang terpisah. Untuk menciptakan keturunan atau individu yang baru biasanya serangga jantan kawin dengan betina. Betina yang tanpa kawin dan dapat menghasilkan keturunan disebut parthogenesis (Partosoedjono, 1985). Semua
arthropoda berkembangbiak dengan bertelur. Sesuai dengan keragaman yang dimiliki, bentuk dan ukuran telur yang beragam (Noerdjito, 2003). Pakan Makanan adalah suatu fakor yang sangat penting dalam menentukan banyaknya hewan dan tempat ia hidup (kemudian penyebarannya). Tingkah laku makan seekor serangga, apa yang dimakannya dan bagaimana ia makan, biasanya menentukan nilai ekonomik serangga. Tipe dan jumlah makanan yang dimakan dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, kelakuan dan berbagai sifat-sifat morfologi lainnya, misalnya ukuran dan warna tubuh (Borror et al., 1982). Serangga makan hampir segala macam, tidak terbatas makanan, dan mereka makan dalam banyak cara yang berbeda-beda (Borror et al., 1982). Dengan komposisi pakan seperti yang diberikan kepada induk, pertumbuhan larva relatif cepat. Kecepatan pertumbuhan dapat di deteksi dengan melihat pertambahan berat dari setiap kotak. Induk ulat tepung dijamin tidak akan terbang selama masih ada pakan (Karjono, 1999). Makanan yang diperlukan serangga meliputi 10 asam amino esensial yang juga esensial bagi manusia (arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan dan valin), sejumlah vitamin B, sterol beberapa turunan asam nukleat dan beberapa mineral (Borror et al., 1982). Makanan yang menyangkut kualitas dan kuantitasnya, pertumbuhan yang sangat cepat tidak akan tampak bila tidak didukung dengan pakan yang mengandung protein dan asam amino yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan ternak (Rasyaf, 1999). Serangga juga membutuhkan makanan yang mengandung air, mineral dan bahan organik untuk petumbuhan dan reproduksinya (Wigglesworth, 1972). Dedak Padi Di Indonesia umumnya dikenal 3 macam kualitas dedak yaitu dedak kasar, dedak halus atau lunteh dan bekatul. Dedak halus adalah dedak yang diperoleh dari pengayakan hasil ikutan dan penumpukan pada gelombang kedua dan ketiga atau hasil pengasahan pertama (huller) atau kedua (Parakkasi, 1999). Dedak padi sangat melimpah di Indonesia seiring dengan panen tadi padi pada musim-musim tertentu. Dedak padi terdiri dari kantung benih (pericarp) atau lapisan kulit padi dan bagian kecambah
(germ). Dedak padi juga mengandung serpihan sekam, serpihan dan pecahan beras yang tercampur dalam proses penggilingan beras konsumsi (Andang, 2003). Dedak padi mudah mengalami ketengikan. Ketengikan pada dedak padi dapat disebabkan oleh lemak dan minyak yang mengalami proses hidrolitik dan oksidatif. Proses hidrolitik tidak menyebabkan gangguan nilai gizi sedangkan ketengikan akibat proses oksidatif menyebabkan penurunan nilai energi dari lemak dan minyak. Pemberian pakan anak ayam dengan dedak yang mengalami ketengikan akibat proses oksidatif dapat dihindarkan karena dapat menyebabkan penyakit encepalomacia (Wahju, 1997). Penggunaan dedak halus 51,66% dengan perbedaan level kalsium dan fosfor dalam ransum, sangat nyata mempengaruhi produksi telur dan tidak nyata mempengaruhi bobot telur, tebal kerabang dan konsumsi ransum (Yezmi, 1999). Penggunaan dedak halus sampai 30% dalam ransum komersial masih dapat dilakukan pada pemeliharaan ayam buras secara intensif dengan memberikan pengaruh baik terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum dan produksi kompos (Andika, 1994). Subsitusi dedak padi pada pakan komersial broiler dengan taraf 0%, 25% dan 50% tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan tetapi sangat nyata berpengaruh (P<0,01) terhadap pertambahan bobot badan dan bobot badan dicapai pada berbagai perlakuan, semakin tinggi persentase dedak yang disubsitusi maka pertambahan bobot badan dan bobot badan semakin rendah (Rusdia, 2003). Pemberian dedak padi pada itik dari 30% sampai 75% di dalam ransum tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan maupun konsumsi ransum dan konversi ransum sedangkan pada ayam penggunaan dedak padi sebesar 60% mengakibatkan penghambatan pertumbuhan dengan meningkatnya jumlah dedak dalam ransum (Tangendjaja et al., 1986). Hasil penelitian Rahma (1996) menunjukkan, bahwan dengan teknologi fermentasi dedak halus dengan menggunakan Aspergillus niger, A. oryzae dan Rhizopus oryzae maka kandungan protein kasar, lemak kasar dapat ditingkatkan sera dapat menurunkan kandungan asam fitat dedak halus dan terjadi penyusutan bahan kering serta
peningkatan
kandungan
serat
kasar
selama
fermentasi
berlangsung.
Prapenyimpanan dedak padi berupa pengeringan dengan sinar matahari selama tiga hari, 3-5 jam sehari. Dedak kering sebelum disimpan dicampur atau tidak dicampur dengan
kapur tohor halus (5%) dan dikemas dalam kantung plastik kedap udara atau kantung anyaman plastik dapat disimpan dalam dua bulan (Iskandar et al., 1992). Tabel 1 dengan kandungan pakan dedak padi menunjukkan kadar abu (11,33%), kadar lemak (9,06%), dan serat kasar (13,09%) yang lebih tinggi tetapi memiliki bahan kering (86,46%) dan BETN (41,39%) yang rendah daripada pakan onggok, pollard dan CP511. Tabel 1. Kandungan Nutrisi Bahan Makanan Dedak Padi, Onggok, Pollard dan CP 511 Zat Makanan Bahan Kering Kadar Abu Kadar Lemak Kadar Protein BETN Serat Kasar Ca P
Onggok2 Pollard3 CP 5111 Dedak Padi1 ------------------------------------(%)----------------------------------86,46 89,56 88,5 91,67 11,33 1,35 5,93 5,45 9,06 0,35 3,86 7,28 11,59 2,95 18,5 19,99 41,39 71,64 61,9 51,63 13,09 7,28 9,78 6,15 0,71 0,06 0,23 0,32 1,63 0,13 1,1 0,17
1)
Sumber:
Mansyur (2002) Haroen (1993) 3) Hartadi et al. (1997)
2)
Dedak pada umumnya mengandung energi yang rendah. Ransum yang sangat rendah energinya umumnya sangat amba (bulky). Pemakaian dedak halus dalam jumlah yang banyak dalam ransum akan terjadi kekurangan asam amino dan threonin tetapi dedak halus merupakan sumber asam linoleat yang baik (Wahju, 1997). Onggok Pembuatan tapioka adalah salah satu pengolahan ubi kayu yang menghasilkan sampingan berupa onggok. Dalam proses pengolahan ubi kayu (Manihot utilissima) menjadi tapioka dihasilkan limbah padat yaitu onggok dan hasil buangan berupa cairan yang disebut sludge. Haroen (1993) merinci lengkap persentase dari produk utama pengolahan tapioka yang berupa tepung tapioka berkisar 20-24%. Sementara limbah yang dihasilkan selama proses pengolahan berturut-turut untuk kulit luar, kulit dalam dan onggok adalah 2%, 15% dan 5-15%. Onggok merupakan hasil sampingan industri tapioka yang berbentuk padat. Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah pati dan serat kasar. Kandungan
ini berbeda untuk setiap daerah asal, jenis, mutu ubi kayu, teknologi yang digunakan dan penanganan ampas itu sendiri. Faktor pembatas dalam penggunaan ubi kayu sebagai pakan ternak adalah adanya kandungan HCN. Kandungan HCN (sianida) dalam ubi kayu yang bergam, perbedaan ini disebabkan dari perbedaan varietas, umur pemanenan, habitat, pengelolaan dan metode analisis. Ditinjau dari komposisi zat makanan, onggok mempunyai sumber energi dengan kandungan karbohidrat sekitar 97,29%, namun kandungan protein kasar onggok sangat rendah yaitu sekitar 1,45% dengan serat kasar yang tinggi sekitar 10,94% (Halid, 1991). Komposisi zat makanan onggok hasil analisa, disajikan dalam Tabel 1. Nurachman (1992) menyatakan, bahwa penggunaan onggok sebanyak 15% dapat menggantikan jagung dan memberikan nilai maksimal terhadap berat hidup akhir dan berat karkas ayam broiler. Haroen (1993) menganjurkan, bahwa penggunaan onggok dalam ransum sampai taraf 15% masih dapat diterima. Bila onggok diberikan dalam bentuk mash dalam ransum ayam pedaging, maka penggunaannya perlu dibatasi sebanyak 5% karena penggunaan semakin banyak dapat menyebabkan bentuk makanan yang semakin halus atau berdebu. Namun, dengan teknologi industri pakan kendala pemanfaatannya dapat diatasi dengan mengubahnya dalam bentuk pellet atau crumble. Sebagai hasil sampingan industri tapioka yang berbentuk pada, onggok banyak dimanfaatkan sebagai bahan industri asam sitrat, makanan kecil dan oncom, disamping sebagai sumber energi karena mengandung 57,29% karbohidrat dengan serat kasar yang tinggi sekitar 10,94% (Halid, 1991). Onggok miskin akan protein sehingga perlu penambahan bahan lain misalnya urea dan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Estiningdriati (1997) menyatakan, bahwa pemanfaatn onggok yang difermentasi sebagai bahan ransum ayam broiler cenderung menurunkan pertambahan bobot badan. Onggok setelah difermentasi dengan kapang A. niger, kandungan serat kasar turun dari 14,24% menjadi 13,72% dan terjadi peningkatan kandungan mineral Ca dan P masingmasing dari 0,22% dan 0,05% menjadi 0,25% dan 0,06% (Anwar, 1989). Sappaile (1989) juga menyatakan, bahwa ransum yang mengandung onggok fermentasi dan kemudian dibentuk menjadi pellet memiliki bau, rasa dan tekstur yang baik, sehingga dapat dikonsumsi dengan normal bahkan memperlihatkan palatabilitas yang sama dengan ransum sapi komersial.
Pollard Menurut Amrullah (2003), selama proses pengolahan gandum, dihasilkan sisasisa hasil ikutan gandum. Hasil ikutan gandum adalah hasil sisa yang tidak dapat dimakan oleh manusia dari industri terigu. Setelah gandum digiling dengan saringan, selain dihasilkan tepung terigu, juga dihasilkan dedak gandum (wheat pollard, wheat short dan wheat screening). Berdasarkan laporan studi kasus yang dilakukan oleh Wijaya (2003), bahwa PT. Indofood Sukses Makmur Bogasari Flour Mills memproduksi bran dan pollard sebagai hasil samping penggilingan gandum sebanyak 25% dari total gandum yang digiling dengan proporsi untuk bran dan pollard masingmasing 12,5%. Pollard memiliki ciri yang kaya akan serat, amba dan rendah kandungan energi metabolisnya tetapi pollard sangat kaya akan protein dan profil asam aminonya mirip dengan gandum. Pengukusan pollard akan meningkat kandungan energinya sebanyak 10% dan P meningkat ketersediaan sebanyak 20% (Amrullah, 2003). Kandungan serat kasar pada pollard agak rendah, yaitu sekitar 10%, kandungan lemaknya hanya 4% dan kandungan energi metabolismenya sekitar 1.300 kkal/kg (Rasyaf, 1999). Kandungan nutrisi pollard dapat dilihat pada Tabel 1 yaitu kadar protein yang tinggi sebesar 18,5%. Menurut Gunawan (1974) diperoleh hasil, bahwa ransum yang mengandung 3%, 6% dan 12% pollard pada ransum ayam broiler mempunyai kecendrungan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan ransum yang mengandung 9% pollard. Bintang (1989) juga melaporkan, bahwa penggunaan pollard yang dicampur dengan konsentrat sebagai ransum ayam petelur sebanyak 20% memberikan hasil yang lebih baik terhadap produksi telur. Pemberian pollard sebagai subsitusi jagung dalam ransum ternak babi lepas sapih hingga 100% dalam ransum (80% pollard menggantikan jagung) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistik pada konsumsi ransum harian, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan makanan, konsumsi protein dan konsumsi energi. Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa pollard dapat menggantikan jagung hingga 100% dan ransum (80% pollard menggantikan jagung) atau pollard dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak babi lepas sapih (Sarumaha, 2002). Pakpahan (2002) juga menyatakan, bahwa subsitusi pollard
seluruhnya dengan jagung (80% dalam ransum) dapat diberikan pada ternak babi baik pada periode grower dan finisher. Menurut Paryadi (2003) menyatakan, bahwa pemberian pakan yang baik bagi ulat tepung adalah pakan campuran dari 25% pakan komersial dan 75% pollard. Pemberian pakan ini pada ulat tepung menunjukkan, bahwa campuran pollard dan pakan komersial mampu memenuhi kebutuhan nutrisi akan berpengaruh pada penurunan tingkat konsumsi. Pakan pollard diperkirakan mengandung senyawa yang merupakan feeding stimulant bagi larva ulat tepung, senyawa tersebut berperan dalam mengikuti konsumsi ulat tepung yang mendapat perlakuan pakan campuran pakan komersial dan pollard. Konsumsi dan Konversi Pakan Tingkat konsumsi adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan apabila bahan pakan tersebut diberikan secara ad libitum. Tingkat konsumsi (Voluntary Feed Intake atau VFI) dapat menggambarkan palatabilitas (Parakkasi, 1999). Ransum broiler starter mengandung obat-obatan seperti coccidiostat, antibiotika dan antioksidan yang diperkirakan mempengaruhi konsumsi (Rasyaf, 1999). Menurut Wahju (1997) menyatakan, bahwa konsumsi ransum yang rendah berakibat penurunan konsumsi protein yang diperlukan untuk pertumbuhan optimum dan produksi. Menururt Parakkasi (1999), konsumsi pakan merupakan faktor esensial yang menjadi dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah hewannya sendiri, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan itu dipelihara. Menurut Hutauruk (2005) hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemberian pakan ke ulat tepung dapat dilakukan berdasarkan umur dan juga dengan memperhatikan atau mempertimbangkan faktor lain. Konversi pakan adalah total pakan yang dikonsumsi untuk menaikkan bobot badan sebesar satu satuan (Kasim, 2002). Semakin rendah nilai konversi pakan berarti semakin efisien penggunaan pakannya atau semakin sedikit pakan yang dibutuhkan untuk menaikkan bobot badan sebesar satu satuan. Konversi pakan sangat baik digunakan sebagai pegangan efisiensi produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi. Keefesienan pakan dapat dilihat dari nilai konversi rendah, semakin rendah nilai konversi pakan maka efesiensi penggunaan pakan semakin tinggi (Rasyaf, 1999).
Hasil penelitian Ai’zzatuddiyanah (2005) menunjukkan, bahwa rataan konversi pakan terendah didapat pada ulat tepung dengan pakan campuran konsentrat dan onggok (1,09) dengan biaya pakan Rp. 3.612,- dibandingkan dengan rataan konversi pakan pada campuran konsentrat dan pollard (1,19) dengan biaya pakan Rp. 5.270,-, sehingga pakan campuran konsentrat dan onggok lebih efisien daripada pakan campuran konsentrat dan pollard. Untuk memperoleh persentase konversi pakan yang rendah, peternak harus memperhatikan tingkat umur ulat tepung dan juga lingkungan pemeliharaan (Hutauruk, 2005). Mortalitas Mortalitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengukur keberhasilan pemeliharaan ternak. Mortalitas adalah perbandingan antara jumlah seluruh ternak mati dengan jumlah total ternak yang dipelihara. Mortalitas dalam usaha peternakan dapat disebabkan karena manajemen pemeliharaan yang kurang baik (Haryadi, 2003). Hasil penelitian Paryadi (2003) menunjukkan, bahwa respon tingkat mortalitas yang tidak berbeda nyata mengindikasikan, bahwa spesies ulat tepung cukup toleran terhadap kandungan protein pakan dengan kisaran yang relatif luas (15,6021,38%). Koefesienan keragaman tingkat mortalitas dalam penelitian ini semakin besar sejalan dengan penggunaan pollard. Hal tersebut menunjukkan, bahwa ulat tepung semakin sensitif terhadap penggunaan pollard yang terlalu tinggi sehingga mortalitas dari tiap kelompok sangat beragam. Koefesienan keragaman mortalitas yang tinggi pada semua perlakuan menunjukkan, bahwa mortalitas pada ulat tepung dipengaruhi oleh faktor lain di luar faktor perlakuan. Mortalitas terjadi selama moulting, juga dalam tahap larva atau antara larva dan pupa, atau pupa dan dewasa (Schaffler dan Isely, 2001). Semakin rendah suhu lingkungan akan memperlambat perkembangan (memerlukan lebih dari enam bulan) dan temperatur yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan mortalitas (Culin, 2005). Faktor suhu dan kelembaban lingkungan harus diperhatikan dalam masa penelitian ulat tepung. Artinya, suhu dan kelembaban lingkungan membeikan pengaruh langsung dan tidak langsung pada ulat tepung. Bila suhu dan kelembaban pada tempat pemeliharaan ulat tepung tinggi mengakibatkan ulat tepung menjadi stress sehingga berpengaruh pada
tingkat konsumsi pakan yang menurun maka diperoleh pertumbuhan ulat tepung yang tidak optimal dan bahkan terjadi tingkat mortalitas yang tinggi (Hutauruk, 2005).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Non ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 1 September sampai dengan 29 Nopember 2004. Materi Ulat Tepung (larva kumbang Tenebrio molitor L.) yang digunakan sebanyak 1.125 ulat yang berumur 46-48 hari. Ulat diperoleh dengan cara mengawinkan 214 ekor induk kumbang T. molitor L. Larva calon induk tersebut diperoleh dari Pasar Gunung Batu, Bogor. Pakan Bahan pakan yang digunakan sebagai wadah atau insektarium dalam penelitian ini terdiri dari 50 g pakan komersial CP 511 dan 150 g dedak padi, onggok atau pollard, Total pakan yang digunakan adalah 200 g, seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan dari Bahan Pakan Jenis Pakan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Abu
Kadar Lemak
Serat Kasar
Kadar Protein
BETN
----------------------------------------(%)-----------------------------------------KD
10,53
89,47
11,56
10,89
12,14
13,28
41,6
KO
13,15
86,85
2,46
2,33
8,18
8,77
65,11
KP
11,36
88,64
4,57
5,23
5,64
18,73
54,47
Keterangan : KD (25% pakan komersial + 75% dedak padi), KO (25% pakan komersial + 75% onggok) dan KP (25% pakan komersial + 75% pollard) Hasil analisa proksimat di Laboratorium Lembaga Penelitian Pusat Studi Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor, 2004.
Wadah Pemeliharaan (Insektarium) Gambar 5 menyajikan insektarium kecil yang berukuran 25x25x10 cm untuk tempat bertelur, menetas sampai pembesaran sebelum perlakuan, serta 15 insektarium besar berukuran 35x28x12 cm untuk tempat pembesaran selama penelitian. Insektarium besar dan kecil diberi penutup yang berlobang masing-masing 18x13 dan 15x6 cm. Peralatan lain yang digunakan yaitu termohigrometer, mistar bening, saringan, kuas,
kertas, timbangan merek Jadever JKH-500 dengan ketelitian 0,1 g dan rak sebagai tempat baki dan kotak
Gambar 5. Wadah pemeliharaan (insektarium) : insektarium besar (A) dan insektarium kecil (B) Rancangan Percobaan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap, dengan perlakuan jenis pakan yang berbeda yaitu KD ( 25% pakan komersial + 75% dedak padi), KO (25% pakan komersial + 75% onggok) dan KP (25% pakan komersial + 75% pollard). Tiap perlakuan mendapat lima ulangan sehingga terdapat 15 unit percobaan. Model Model matematik yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) : Yij = µ + τi + εij Keterangan : Yij = nilai peubah yang diamati (pertambahan panjang badan, pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan, dan mortalitas) pada ulangan ke j dari jenis pakan ke i µ = rataan umum τI = efek jenis pakan ke-i εij = galat percobaan pada ulangan ke j dari jenis pakan ke-i i
= jenis pakan (KD, KO, KP)
j
= ulangan (1, 2, 3, 4, 5)
Data yang diperoleh dianalisa dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada taraf kepercayaan 0,05 dan 0,01 dengan menggunakan program statistik SAS versi 6.12. Analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan apabila peubah yang dipengaruhi oleh perlakuan secara nyata. Peubah yang diamati : 1. Konsumsi Pakan Konsumsi pakan setiap larva per hari dihitung berdasarkan selisih antara bobot pakan pada saat penimbangan dengan bobot pakan pada 10 hari sebelumnya, dengan rumus : Konsumsi (mg/ulat/hari) =
[
Pn−1 − Pn
] : ∑ ulat
10 hari Keterangan : Pn
= Bobot pakan pada saat penimbangan,
Pn-10
= Bobot pakan pada penimbangan 10 hari sebelumnya.
2. Pertambahan panjang badan (PPB) Pertambahan panjang badan adalah perubahan panjang badan per hari, dihitung dengan cara: PPB (mm/ulat/hari) =
( PB
− PB 10 hari n
n − 10
)
Keterangan : PPB
= Pertambahan panjang badan ulat tepung per hari (mm/ulat/hari),
PPBn = Rataan panjang tubuh ulat tepung pada saat penimbangan, PPBn-10= Rataan panjang tubuh ulat tepung pada 10 hari sebelum. 3. Pertambahan bobot badan (PBB) Pertambahan bobot badan dari tiap larva dengan cara mengurangi bobot badan 10 saat penimbangan dengan bobot badan 10 hari sebelumnya, dengan rumus: PBB (mg/ulat/hari) = [
BBn − BBn−10 10hari
] : ∑ ulat
Keterangan : PBB
=
Pertambahan bobot badan per hari (mg/ekor/hari),
BBn
=
Bobot badan ulat tepung pada penimbangan saat ini,
BBn-10 =
Bobot badan ulat tepung pada penimbangan 10 hari sebelumnya.
4. Konversi Pakan Konversi pakan dihitung berdasarkan hasil bagi antara konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan, dengan rumus : Konversi Pakan = KonsumsiPakan(mg / ulat / hari ) PBB (mg / ulat / hari ) 5. Mortalitas Mortalitas ulat tepung dihitung dengan cara mengurangi populasi ulat tepung tiap selang 10 hari, Mortalitas = [ PA − PB ] x 100% Keterangan :
PA
PA
= Jumlah ulat pada awal penelitian,
PB
= Jumlah ulat pada akhir penelitian.. Prosedur
Tahap Persiapan Larva ulat tepung dengan rataan panjang sekitar dua centimeter dibeli di Pasar Gunung Batu Bogor, sebanyak dua kilogram, kemudian dipelihara didalam baki yang berisi media hidup bagi ulat tepung yaitu pakan 75% pollard yang dicampur dengan 25% pakan komersial dengan ketebalan 1,5 cm sesuai dengan hasil penelitian Paryadi (2003). Media hidup ini sekaligus merupakan pakan ulat dan selama pemeliharaan tidak dilakukan pergantian pakan tetapi penambahan pakan secukupnya. Larva yang berukuran telah berubah menjadi 214 ekor kumbang dipindahkan kedalam dua insektarium kecil yang berukuran 25x25x10 cm untuk bertelur. Telur dibiarkan menetas sampai larva berumur 46-48 hari dengan panjang tubuh sekitar 1-2 cm. Tahap Penelitian Larva ulat tepung yang telah berumur 46-48 hari diambil sebagai sampel sebanyak 1.125 ulat dan dibagi ke dalam 15 insektarium besar berukuran 35x28x12 cm, sehingga tiap insektarium besar berisi 75 larva (kepadatan 0,006 ekor/cm3). Gambar 6 menunjukkan, tiap insektarium besar mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga terdapat lima ulangan pada ketiga perlakuan yaitu KD ( 25% pakan komersial + 75% dedak padi), KO (25% pakan komersial + 75% onggok) dan KP (25% pakan komersial + 75% pollard). Tiap insektarium besar di isi 200 g pakan dengan ketebalan 0,5 cm dan
diletakkan pada rak dalam ruangan penelitian berukuran sekitar 11,4x13,2 m. Penggantian pakan dilakukan tiap 10 hari. Larva pada setiap insektarium besar ditimbang untuk mendapatkan bobot awal, cara penimbangan yaitu ulat tepung ditempatkan dalam gelas plastik, lalu ditimbang. Panjang badan awal juga diukur dengan menggunakan mistar bening. Pengukuran konsumsi pakan, pertambahan panjang badan, pertambahan bobot badan,
konversi
pakan dan mortalitas dilakukan setiap 10 hari bersamaan dengan pergantian pakan. Penimbangan biomassa ulat tepung dan sisa pakan dilakukan dengan cara memisahkan antara pakan dengan ulat. Pengukuran panjang badan dilakukan dengan mengambil sampel 10 ulat secara acak dan dilakukan pengukuran dengan mistar bening. Bagan penelitian diperlihatkan pada Gambar 6.
1125 ulat
25% Konsentrat + 75% Dedak Padi
25% Konsentrat+ 75% Onggok
25% Konsentrat + 75% Pollard
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
75 ulat
Gambar 6. Bagan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan dari ulat tepung dengan perlakuan KD (25% pakan komersial + 75% dedak padi), KO (25% pakan komersial + 75% onggok) dan KP (25% pakan komersial + 75% pollard) dapat dilihat pada Gambar 7. Konsumsi pakan ulat tepung pada umur 47-76 hari berkisar antara 0,67-12,87 mg/ulat/hari. 14 12,45 A
12,87 A
12 9,63 B
10 8,43 A 8 6
4,75 B
4,40 B 4
2,43 A
2
2,21A
0,67 B
0 47-56
57-66 Um ur (ha ri)
67-76
Keterangan = A, B : Huruf superskrip yang berbeda pada umur yang sama menunjukkan konsumsi pakan yang berbeda nyata (P<0,05) KD : 25% pakan komersial + 75% dedak padi, KO : 25% pakan komersial + 75% onggok dan KP : 25% konsentrat + 75% pollard
Gambar 7. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Konsumsi Pakan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda Konsumsi pakan pada umur 47-76 hari ternyata dipengaruhi (P<0,05) oleh perbedaan jenis pakan yang diberikan. Pada umur 47-56 hari, konsumsi pakan ulat yang mendapat KO (8,43 mg/ulat/hari) nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada KP dan KD masing-masing 4,75 dan 4,40 mg/ulat/hari. Konsumsi pakan pada umur 57-76 hari menurun secara drastis dibanding dengan umur sebelumnya (47-56 hari), kemudian meningkat secara tajam pada umur 67-76 hari. Pada umur 57-66 hari, konsumsi pakan ulat yang mendapat pakan KO tidak berbeda dengan KP tetapi nyata lebih tinggi daripada yang mendapat KD, yaitu berturut-turut 2,43; 2,21; 0,67 mg/ulat/hari serta 12,45; 12,87 dan 9,63 mg/ulat/hari pada umur 67-76 hari. Hal ini didukung oleh penelitian Paryadi (2003) yaitu semakin tinggi kandungan pollard semakin tinggi pula konsumsinya. Konsumsi yang rendah pada ulat yang mendapat KD disebabkan oleh kandungan serat kasar yang tinggi daripada KO dan KP (12,14% dibandingkan dengan 8,18% dan 5,64%). Menurut Wahju (1997), bahwa dedak padi mengandung serat kasar
yang tinggi sebagai faktor pembatas dalam penggunaannya karena bersifat amba (bulky). Selain itu, konsumsi yang rendah tersebut juga dikarenakan dedak mudah mengalami ketengikan. Gambar 7 juga memperlihatkan, bahwa pada umur 57-66 hari, konsumsi pakan ulat tepung lebih sedikit daripada umur 47-56 dan 67-76 hari karena pada umur 57-66 hari ulat tepung mengalami moulting. Ulat tepung yang akan, sedang dan sesaat setelah moulting biasanya tidak makan (Sihombing, 1999). Hutauruk (2005) juga menyatakan
69,1% dari konsumsi pakan dipengaruhi oleh umur sedangkan 30,9% dipengaruhi oleh faktor lain, sepeti suhu dan kelembaban. Pertambahan Panjang Badan Panjang Badan Panjang badan pada awal penelitian (umur 47 hari) rata-rata 12,58 mm/ulat dengan koefesienan keragaman 20,95%. Panjang badan setelah diberikan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Panjang badan ulat tepung umur 77 dan 87 hari yang diberikan perlakuan KD, KO dan KP adalah 23,15 dan 26,85 mm/ulat dengan koefesienan keragaman 47,41 dan 66,12%. Keragaman yang tinggi pada umur 77 dan 87 hari karena sebagian ulat mulai memasuki masa memupa. Menjelang memupa tubuh ulat memendek ternyata umur 77 ke 87 hari tidak memendek bahkan masih memanjang. Tabel 3. Panjang Badan Ulat Tepung Menurut Perlakuan dengan Umur yang Berbeda Perlakuan KD
Umur (hari)
KO
KP
Rataan (mm/ulat)
KK (%)
Rataan (mm/ulat)
KK (%)
Rataan (mm/ulat)
KK (%)
Rataan (mm/ulat)
KK (%)
47
12,76
13,86
12,74
23,33
12,23
25,67
12,58
20,95
57
17,42
25,49
17,26
17,96
17,78
21,77
17,49
21,74
67
19,26
35,89
20,76
24,00
21,26
26,51
20,43
28,8
77
23,26
34,18
22,92
64,32
23,26
43,72
23,15
47,41
87 27,54 119,63 25,56 43,96 27,44 34,76 26,85 66,12 Keterangan = KD : 25% pakan komersial + 75% dedak padi, KO : 25% pakan komersial + 75% onggok dan KP : 25% pakan komersial + 75% pollard
Ulat tepung yang mendapat KO (25,56 mm/ulat) pada umur 87 hari, lebih pendek daripada KD dan KP (27,54 dan 27,44 mm/ulat) karena ulat yang mendapat KO sebagian besar telah memasuki masa memupa sehingga pertambahan panjang badan lebih lambat. Hal ini diperlihatkan oleh jumlah pupa yang lebih banyak pada perlakuan KO daripada perlakuan lainnya (25 pupa dibanding 12 dan 20). Pemberian KO ternyata menghasilkan ulat tepung yang cepat dewasa dibandingkan KD dan KP. Pertumbuhan yang cepat pada ulat yang mendapat KO disebabkan konsumsinya yang tinggi dibandingkan KD dan KP, dengan demikian karena kandungan BETN KO (65,11%) lebih tinggi daripada KD dan KP (41,6 dan 54,47 %) menyebabkan ulat tepung mendapat energi yang lebih baik. Pertambahan Panjang Badan Pertambahan panjang badan merupakan salah satu parameter pertumbuhan pada ulat tepung. Pertambahan panjang badan ulat tepung dalam penelitian ini antara 0,180,55 mm/ulat/hari dapat dilihat pada Gambar 8. Perbedaan jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan panjang badan pada umur 67-76 hari, tetapi tidak berpengaruh nyata pada ulat berumur dibawah 67 hari. Pertambahan panjang badan yang terbesar terdapat pada ulat yang diberi KD (0,40 mm/ulat/hari) sedangkan ulat yang mendapat KO dan KP lebih rendah (0,22 dan 0,18 mm/ulat/hari) dan tidak berbeda nyata. Pertambahan panjang badan yang tinggi dari ulat yang mendapat KD tidak tampak sejalan dengan konsumsinya yang rendah seperti yang tampak pada Gambar 7. Hal ini karena pada umur di bawah 67 hari, pertumbuhan ulat yang mendapat KD sangat lambat akibat konsumsi yang rendah. Akibatnya pada umur 67-76 hari ulat yang mendapat KD masih menggunakan pakan untuk menambah panjang badan. Sementara ulat yang mendapat pakan KO dan KP sudah mempersiapkan diri untuk memupa sehingga pakan yang dikonsumsi tidak digunakan untuk pertambahan panjang badan. Hasil penelitian Rosadi (2001), menunjukkan kombinasi dedak padi dan konsentrat memiliki stadium larva yang lebih panjang daripada larva yang mendapat pakan perlakuan lain (tepung jagung + dedak padi, tepung jagung + pur, tepung jagung + bekatul dan tepung jagung + terigu). Menurut Rosadi (2001) stadium larva merupakan stadium makan sehingga perkembangan pada stadium tersebut dipengaruhi oleh faktor
komposisi dan kandungan pakan. Pakan yang kurang sesuai akan menyebabkan siklus hidup menjadi lebih panjang. 0,6 0 ,5 5 0,5
0 ,4 7
0,4 5 0 ,4 0 A
0,4
0 ,3 5
0 ,3 5
0,3 0,22 B 0,18 B
0 ,18
0,2
0,1
0 4 7- 56
5 7- 66
67 - 76
Um u r ( ha r i)
Keterangan = A, B : Huruf superskrip yang berbeda pada umur yang sama menunjukkan pertambahan panjang badan yang berbeda nyata (P<0,05) KD : 25% pakan komersial + 75% dedak padi, KO : 25% pakan komersial + 75% onggok dan KP : 25% konsentrat + 75% pollard
Gambar 8. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Pertambahan Panjang Badan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda Pertambahan panjang badan ulat tepung pada umur 47-76 hari disajikan pada Gambar 8. Ulat tepung yang mulai memasuki masa memupa hanya sedikit mengalami pertambahan panjang badan. Pertambahan panjang badan ulat yang mendapat pakan KO dan KP umur 67-76 hari tampak rendah meskipun konsumsi pakannya tinggi seperti yang tampak pada Gambar 7. Hal ini disebabkan pertambahan panjang badan ulat terjadi pada umur 47-56 hari. Hasil ini didukung dengan penelitian Hutauruk (2005) yang menunjukkan, bahwa pertambahan panjang badan maksimum dicapai pada umur 45 hari. Gambar 8 juga memperlihatkan, bahwa pada umur 47-56 hari, pertambahan panjang badan ulat yang mendapat KD mula-mula tinggi kemudian menurun pada umur 57-66 hari dan meningkat kembali pada umur 67-76 hari. Sebaliknya, pertambahan panjang badan yang mendapat KO dan KP semakin menurun dengan bertambahnya umur. Perbedaan respon pola pertambahan panjang badan ulat dapat terjadi karena pada umur 67-76 hari, ulat yang mendapat KD belum memasuki masa memupa sehingga ulat masih terus bertambah panjang. Sebaliknya, ulat yang mendapat pakan KO dan KP sudah mempersiapkan diri untuk memasuki masa memupa. Paryadi (2003)
menunjukkan, bahwa ulat memasuki masa memupa pada umur 77-84 hari. Ulat tepung pada saat menjelang menjadi pupa, konsumsi pakan berkurang bahkan tidak makan sehingga tubuhnya memendek (Sihombing, 1999). Pada saat mulai menjelang menjadi pupa konsumsi pakan ulat tepung mulai menurun sehingga pertambahan panjang badan ulat tepung menjadi lambat dan ukuran tubuh memendek sehingga pertambahan bobot badan meningkat (Hutauruk, 2005). Pertambahan Bobot Badan Bobot Badan Bobot badan pada awal penelitian (sebelum diberikan perlakuan) sekitar 13,69 mg/ulat dengan koefesienan keragaman 11,80%. Bobot badan, semakin meningkat sesuai dengan petambahan umur. Bobot badan pada umur 57, 67, 77 dan 87 hari masing-masing 13,69; 37,69; 57,67; 110,43 dan 153,51 mm/ulat, seperti diperlihatkan pada Tabel 4. Ulat yang mendapat pakan KO memiliki bobot badan yang lebih tinggi karena konsumsinya juga tinggi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Tabel 4. Bobot Badan Ulat Tepung Menurut Perlakuan dengan Umur yang Berbeda Umur (hari)
47
Perlakuan KO
KD
KP
Rataan (mm/ulat)
KK (%)
Rataan (mm/ulat)
KK (%)
Rataan (mm/ulat)
KK (%)
Rataan (mm/ulat)
KK (%)
14,67
15,54
13,07
11,7
13,33
8,16
13,69
11,80
A
57
38,40
14,98
40,79
16,84
33,87
28,35
37,69
20,07
67
49,20
13,00
61,13
23,30
62,67
46,94
57,67
27,75
77
98,68
19,31
117,91
22,62
114,70
70,14
110,43
37,36
87
151,58
31,85
151,85
14,47
157,10
31,61
153,51
25,98
Keterangan = KD : 25% konsentrat + 75% dedak padi, KO : 25% konsentrat + 75% onggok dan KP : 25% konsentrat + 75% pollard
Ulat tepung pada umur 77 dan 87 hari mempunyai rataan bobot badan yang tinggi masing-masing 110,43 dan 153,51 mm/ulat dengan koefesien keragaman 37,36 dan 25,98%. Keragaman yang tinggi pada umur 77 hari karena sebagian ulat sudah mulai memasuki masa memupa. Pada umur 87 hari, bobot badan ulat pada semua jenis pakan hampir sama karena bobot badan dewasa telah dicapai. Paryadi (2003)
menyatakan, bahwa bobot badan ulat pada umur 84 hari berkisar antara 128,4-140,8 mg/ulat. Pertambahan Bobot Badan Rataan pertambahan bobot badan berkisar 2,13-8,55 mg/ulat/hari seperti diperlihatkan pada Gambar 9. Perbedaan jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan ulat tepung. Pertambahan bobot badan ulat yang mendapat KD secara umum lebih rendah daripada KO dan KP karena konsumsinya juga selalu lebih rendah seperti pada Gambar 7. Pertambahan bobot badan ulat tepung yang mendapat pakan KO pada umur 4756 dan 67-76 hari paling tinggi (2,77 dan 8,55 mg/ulat/hari) karena konsumsinya juga paling banyak. Pada umur 57-66 hari, pertambahan bobot badan ulat yang mendapat KO lebih rendah daripada KP (3,10 dan 4,21 mg/ulat/hari), sedangkan Gambar 8 menunjukkan pertambahan panjang badannya tidak berbeda dengan KP. Hal ini mengindikasikan, bahwa pada umur tersebut ulat yang mendapat KO banyak mengalami moulting. Sihombing (1999) menyatakan, bahwa setelah proses moulting (ganti kulit), bobot badan ulat meningkat. 9
8,55 A 7,33 B
7,24 B
7 (mg/ulat/hari)
PertambahanBobot Badan
8
6 5 4,21 A 4 3
2,37 AB
3,10 B
2,77 A
2,53 C 2,13 B
2 1 0 47-56
57-66
67-76
Umur (hari)
Keterangan = A, B, C: Huruf superskrip yang berbeda pada umur yang sama menunjukkan pertambahan bobot badan yang berbeda nyata (P<0,05) KD : 25% pakan komersial + 75% dedak padi, KO : 25% pakan komersial + 75% onggok dan KP : 25% konsentrat + 75% pollard
Gambar 9. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda Gambar 9 memperlihatkan pertambahan bobot badan meningkat bersamaan dengan pertambahan umur, sedangkan pertambahan panjang badan semakin menurun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan ulat
pada fase awal adalah pertambahan panjang badan sedangkan pada fase akhir adalah pertambahan bobot badan. Konversi Pakan Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Panjang Badan Konversi pakan berdasarkan pertambahan panjang badan berkisar 0,58-10,36 mg/mm seperti yang tampak pada Gambar 10. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mengukur konversi pakan berdasarkan pertambahan panjang badan sehingga tidak dapat diketahui apakah konversi tersebut pada penelitian ini normal atau tidak. Gambar 10 menunjukkan, konversi pakan berdasarkan pada umur 47-66 hari sangat rendah sedangkan pada umur 67-76 hari sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan pada umur 4766 hari ulat sangat efisien dalam menggunakan pakan untuk pertambahan panjang badan sedangkan pada umur 67-76 hari pakan yang dikonsumsi tidak digunakan untuk pertambahan panjang badan. Hutauruk (2005) menyatakan, pertambahan panjang badan
12 10,36 Panjang Badan (mg/mm)
Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan
maksimum dicapai pada umur 45 hari.
10 8
6,79
6 4 2,45
2,06 A 2
0,91 B
0,94 B
0,58
0,77
0,68
0 47-56
57-66
67-76
Umur (hari) Keterangan = A, B: Huruf superskrip yang berbeda pada umur yang sama menunjukkan konversi pakan berdasarkan pertambahan panjang badan yang berbeda nyata (P<0,05) KD : 25% pakan komersial + 75% dedak padi, KO : 25% pakan komersial + 75% onggok dan KP : 25% konsentrat + 75% pollard
Gambar 10. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Panjang Badan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan Perbedaan jenis pakan mempengaruhi (P<0,05) konversi pakan berdasarkan pertambahan bobot badan pada umur 57-76 hari. Konversi pakan yang tinggi pada umur 57-66 hari adalah KO (0,78) daripada KP dan KD (0,52 dan 0,26) sedangkan pada umur 67-76 hari adalah KP (1,79) daripada KO dan KD (1,46 dan 1,31).
Konversi pakan KD yang rendah ini menunjukkan bahwa ulat sangat efisien dalam menggunakan pakan untuk pertambahan bobot badan. Hal ini karena KD memiliki kadar abu yang tinggi (11,56%). Ai’zzatuddiyanah (2005) menyatakan, bahwa pengaruh pakan terhadap kadar abu tubuh ulat sangat besar pada fase larva daripada fase kumbang atau imago. Kadar abu larva lebih tinggi daripada kumbang yaitu 1,572,01% dibanding 1,51-1,53%. Menurut Wigglesworth (1972), pada serangga dewasa, mineral tetap dibutuhkan untuk aktivitas metabolisme tubuhnya tetapi tidak sebesar pada serangga muda. Konversi KD yang rendah juga disebabkan oleh kadar protein yang cukup tinggi (13,28%). Pada umur 67-76 hari, ulat yang mendapat KD memiliki pertambahan panjang badan yang tinggi berarti masih menambah jumlah sel didalam tubuh. Pertumbuhan perbanyakan dan pembesaran sel membutuhkan protein (Rasyaf, 1999). Sebaliknya, pada umur 67-76 hari, konversi pakan ulat yang mendapat KP menunjukkan ulat tidak efisien mengubah pakan menjadi bobot badan, padahal kadar protein KP paling tinggi (18,73%). Ulat juga tidak efisien mengubah pakan yang dikonsumsi menjadi pertambahan panjang badan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10. Hal ini berarti, pakan yang digunakan ulat tepung bukan untuk panjang badan tetapi
3,5 3,07 3 2,32
2,5 Bobot Badan
Konversi PakanBerdasarkanPertambahan
untuk bobot badan.
2
1,89
1,79 A
1,5
1,31 B
1
1,46 AB
0,78
0,5
0,52
0,26
0 47-56
57-66
67-76
Umur (hari)
Keterangan = A, B: Huruf superskrip yang berbeda pada umur yang sama menunjukkan konversi pakan berdasarkan pertambahan bobot badan badan yang berbeda nyata (P<0,05) KD : 25% pakan komersial + 75% dedak padi, KO : 25% pakan komersial + 75% onggok dan KP : 25% konsentrat + 75% pollard
Gambar 11. Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan terhadap Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur yang Berbeda Konversi pakan dari ulat yang mendapat KO pada umur 57-66 hari lebih rendah daripada umur 47-56 dan 67-76 hari karena pada umur tersebut banyak yang mengalami
moulting. Hal ini terlihat dari pertambahan bobot badan lebih tinggi daripada
pertambahan panjang badan pada umur 67-76 hari (setelah masa moulting) seperti yang terlihat pada Gambar 9 dan 8. Berbeda dengan pola konversi pakan berdasarkan pertambahan panjang badan, konversi pakan berdasarkan pertambahan bobot badan yang tinggi pada umur 47-56 hari karena pakan yang dikonsumsi digunakan untuk memperpanjang badan ulat. Pada umur 57-66 hari, konversi pakan berdasarkan pertambahan bobot badan maupun pertambahan panjang badan paling rendah. Hal ini berarti, pertumbuhan pada fase ini diarahkan pada panjang badan maupun bobot badan. Pada umur 67-76 hari konversi pakan berdasarkan pertambahan panjang badan dan pertambahan bobot badan meningkat kembali, karena pakan yang dikonsumsi digunakan untuk membentuk pupa. Pada Stadium pupa, tungkai tambahan yang terdapat disepanjang perut ulat menghilang. Pada bagian dada muncul tiga pasang tungkai baru berbentuk tungkai dewasa. Bentuk tungkai baru ini lebih panjang dan lebih langsing. Pada saat ini terbentuk sayap, sistem otot baru dan semua bagian tubuh dewasanya (Sihombing, 1999). Mortalitas Mortalitas selama penelitian sangat rendah hanya berkisar 0,266-1,066%. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Paryadi (2003) menunjukkan, bahwa tingkat mortalitas ulat tepung selama penelitian sangat kecil, berkisar antara 0,7-1,8%. Hal tersebut mengindikasikan, bahwa ulat tepung memiliki daya hidup dan daya adaptasi yang cukup tinggi. Mortalitas ulat yang mendapat pakan KD (1,060%) lebih tinggi daripada KO dan KP (0,8 dan 0,266%) karena pakan KD mudah mengalami ketengikan. Menurut Wahju (1999), bahwa ketengikan dedak padi dapat disebabkan oleh lemak dan minyak yang mengalami proses hidrolitik dan oksidatif. Proses hidrolitik tidak menyebabkan gangguan nilai gizi sedangkan ketengikan akibat proses oksidatif menyebabkan penurunan nilai energi dan minyak. Selain itu, kadar air KD (10,53%) lebih rendah daripada KP dan KO (11,36 dan 13,15%). Menurut Robinson (1998), sebagian besar hama butiran dapat hidup pada butiran yang disimpan dengan kadar air 11,5-14,5%. Mortalitas yang mendapat KP lebih rendah daripada KO dan KP karena pada umumnya serangga jarang mati yang didukung dengan kandungan kadar protein yang tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pertambahan bobot badan, pertambahan panjang badan, konversi pakan dari ulat yang mendapat KO dan KP lebih baik daripada KD. Ulat yang mendapat pakan KP lebih cepat berubah menjadi pupa daripada KO dan KD. Pertumbuhan ulat yang mendapat ketiga jenis pakan berbeda lebih diarahkan pada pertambahan panjang badan pada umur 47-56 hari dan pertambahan bobot badan pada umur 57-66 hari sedangkan pada umur 67-76 hari untuk mempersiapkan masa memupa. Mortalitas ulat yang mendapat pakan KD lebih tinggi daripada KO dan KP karena pakan KD mudah mengalami ketengikan dan mengandung kadar air yang rendah. Saran Perlu diteliti tingkat energi dan protein yang optimal pada pakan yang diberikan dan dibutuhkan pada awal (ulat kecil) dan akhir pertumbuhan (ulat besar sebelum pupa) untuk mendukung pertumbuhan yang optimal.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmatNya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ir. Hotnida Carolina Herawati Siregar, MSi sebagai pembimbing skripsi dan sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik dan Dr. Ir. Pollung Hasiholan Siagian, MS., sebagai pembimbing anggota yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri Supraptini Mansyur sebagai dosen penguji seminar, Ir. Salundik, MSi. dan Prof. Dr. Ir. H. Aminuddin Parakkasi, MSc. sebagai dosen penguji sidang yang telah menguji, mengkritik, dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Rekan-rekan TPT 38 (Aila Daspulastri, Lislis Trislawati, Tridarma Yanti, Desi Kisma Dewi, Imas Elia, Ila Irnayani, Fathonah Kuzaimi, Vita Wahyu, Rahmi Apriani, Roni Dasril, Anantio dan Sucahyo), rekan TPT 37 (Husni Brendo, Benny Ramadhona, Amrul Lubis, Suwardi Alamsyah, Nurida), adik Penulis TPT 39, 40 (Suherman Lubis, Syahid Hidayatullah, Rizal Sitompul), Lia Rismalia S.PT, Farida Dwi Kurniawati, Irdam Mahpul, Budi Batubara, Gerlina Wira Masyitoh dan Sahrudin Nasution terimahkasih atas dorongan semangat dan nasehatnya. Penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih tak terhingga kepada Ayah H. Ahmad Jufri Sitompul, Ibu Hj. Deliana Siregar, Abang Abdul Kholid, Kakak Julianti Sitompul, Kakak Elpi Herawati Sitompul, Kakak Latipa Hanum Sitompul (alm), Adik Penulis Muhammad Tamsil Abdillah Sitompul (alm) dan Lukman Hakim Sitompul serta pada Keluarga Besar Sitompul dan Siregar yang selalu memberi dorongan, mendoakan dan memberikan nasehat kepada Penulis serta Bapak Ruslan dan Ibu Irma Wati. Penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi Penulis dan semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Pebruari 2006
Penulis
Lampiran 1. Analisis Ragam terhadap Konsumsi Pakan Ulat Tepung pada Umur 47-76 Hari Analisis Ragam Konsumsi Pakan pada Umur 47-56 Hari Sumber Keragaman Perlakuan Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F hit
P
2 4 8 14
49,78465333 6,89796000 41,73308000 98,41569333
24,89232666 1,72449000 5,21663500
4,77 0,33
0,0432 0,8500
Analisis Ragam Konsumsi Pakan pada Umur 57-66 Hari Sumber Keragaman Perlakuan Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F hit
P
2 4 8 14
9,18736000 0,79086667 6,31997333 16,29820000
4,593680000 0,197716667 0,789996667
5,81 0,25
0,0276 0,9016
Analisis Ragam Konsumsi Pakan pada Umur 67-76 Hari Sumber Keragaman Perlakuan Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F hit
P
2 4 8 14
31,15777333 19,24129333 22,57742667 72,97649333
15,57888667 4,81032333 2,82217833
5,52 1,70
0,0312 0,2413
Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan terhadap Konsumsi Pakan Ulat Tepung pada Umur 47-76 Hari Uji Lanjut Duncan Konsumsi Pakan pada Umur 47-56 Hari Kelompok Duncan A B B
Rata-rata
Ulangan
Perlakuan
8,426 4,746 4,400
5 5 5
2 3 1
Uji Lanjut Duncan Konsumsi Pakan pada Umur 57-66 Hari Kelompok Duncan A A B
Rata-rata
Ulangan
Perlakuan
2,4260 2,2140 0,6700
5 5 5
2 3 1
Uji Lanjut Duncan Konsumsi Pakan pada Umur 67-76 Hari Kelompok Duncan A A B
Rata-rata
Ulangan
Perlakuan
12,826 12,374 9,626
5 5 5
3 2 1
Lampiran 3. Analisis Ragam terhadap Pertambahan Panjang Badan Ulat Tepung pada Umur 67-76 Hari Analisi Ragam Pertambahan Panjang Badan pada Umur 67-76 Hari Sumber Keragaman Perlakuan Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F hit
P
2 4 8 14
12,352000 2,064000 5,788000 20,204000
6,176000 0,516000 0,723500
8,54 0,71
0,0104 0,6057
Lampiran 4. Uji Lanjut Duncan terhadap Pertambahan Panjang Badan Ulat Tepung pada Umur 67-76 Hari Uji Lanjut Duncan Pertambahan Panjang Badan pada Umur 67-76 Hari Kelompok Duncan A B B
Rata-rata
Ulangan
Perlakuan
4,0000 2,1600 2,0000
5 5 5
1 2 3
Lampiran 5. Analisis Ragam terhadap Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur 47-76 Hari Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan pada Umur 47-56 Hari Sumber Keragaman Perlakuan Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F hit
P
2 4 8 14
130,133333 15,622666 53,013333
65,066666 3,905666 6,626666
9,82 0,59
0,0070 0,6799
Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan pada Umur 57-66 Hari Sumber Keragaman Perlakuan Ulangan Galat Total
db
JK
KT
F hit
P
2 4 8 14
810,972000 18,864000 30,728000 860,564000
405,486000 4,716000 3,841000
105,57 1,23
0,0001 0,3717
Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan pada Umur 67-76 Hari Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
P
Perlakuan Ulangan Galat
2 4 8
136,529333 64,342666 75,937333
68,264666 16,085666 9,492166
7,19 1,69
0,0163 0,2434
Total
14
276,809333
Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan terhadap Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur 47-76 Hari Uji Lanjut Duncan Pertambahan Bobot Badan pada Umur 47-56 Hari Kelompok Duncan A B B
Rata-rata
Ulangan
Perlakuan
27,740 23,740 20,540
5 5 5
2 1 3
Uji Lanjut Duncan Pertambahan Bobot Badan pada Umur 57-66 Hari Kelompok Duncan A B C
Rata-rata
Ulangan
Perlakuan
28,800 20,341 10,800
5 5 5
3 2 1
Uji Lanjut Duncan Pertambahan Bobot Badan pada Umur 67-76 Hari Kelompok Duncan A B B
Rata-rata
Ulangan
Perlakuan
56,780 52,040 49,500
5 5 5
2 3 1
Lampiran 7. Analisis Ragam terhadap Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur 67-76 Hari Analisis Ragam Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan pada Umur 67-76 Hari Sumber Keragaman Perlakuan Ulangan Galat Total
db
JK
2 4 8 14
0,657973 1,033573 0,561626 2,253173
KT 0,328986 0,258393 0,070203
F hit
P
4,69 3,68
0,0450 0,0552
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan terhadap Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan Ulat Tepung pada Umur 67-76 Hari Uji Lanjut Duncan Konversi Pakan Berdasarkan Pertambahan Bobot Badan pada Umur 67-76 Hari Kelompok Duncan A AB B
Rata-rata
Ulangan
Perlakuan
2,4700 2,1860 1,9580
5 5 5
3 2 1
Lampiran 9. Jumlah Ulat, Pupa dan Kumbang pada Umur 76-87 hari Perlakuan KD
Ulangan 1 2 3 4 5 rata-rata
Ulat (ekor) 58 63 64 63 65 62,6
Pupa (ekor) 17 12 10 9 10 11,6
Kumbang (ekor) -
KO
1 2 3 4 5 rata-rata
34 42 44 53 54 45,4
33 27 27 18 21 25,2
5 6 4 4 4,75
KP
1 51 22 1 2 53 22 3 59 16 4 54 19 2 5 51 21 3 rata-rata 52,8 20 1,2 Keterangan : KD (25% pakan komersial + 75% dedak padi), KO (25% pakan komersial + 75% onggok) dan KP (25% pakan komersial + 75% pollard).
Lampiran 10. Biaya Produksi dari Larva Umur 47-87 Hari Sampai Pupa dan Kumbang
Jenis Pakan
Jumlah
Perlakuan
Harga KD
KO
KP
Bibit Ulat
1125 ulat/g
Rp. 28.125,-
Rp. 9.375,-
Rp. 9.375,-
Rp. 9.375,-
Konsentrat
11,250 g
Rp. 39.375,-
Rp. 13.125,-
Rp. 13.125,-
Rp. 13.125,-
Dedak Padi 18,750 g
Rp. 16.875,-
Rp. 16.875,- -
-
Onggok
18,750 g
Rp. 9.375,-
-
Rp. 9.375,-
-
Pollard
18,750 g
Rp. 24.375,-
-
-
Rp. 24.375,-
Total Keterangan : Harga ulat : Rp. 25.000,-/kg Penggantian pakan tiap 10 hari Bobot akhir : 9 g/75 ulat
Rp. 39.375,- Rp. 28.875,- Rp. 43.875,-