i
CEMARAN KIMIA DAN MIKROBA DALAM PAKAN DAN EKSKRETA AYAM BROILER YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TEPUNG ULAT HONGKONG
RISKY NAULY PANJAITAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Cemaran Kimia dan Mikroba dalam Pakan dan Ekskreta Ayam Broiler yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Ulat Hongkong” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017 Risky Nauly Panjaitan NIM D151140171
ii
RINGKASAN RISKY NAULY PANJAITAN. Cemaran Kimia dan Mikroba dalam Pakan dan Ekskreta Ayam Broiler yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Ulat Hongkong. Dibimbing oleh NIKEN ULUPI dan NAHROWI. Meat and bone meal (MBM) merupakan sumber protein hewani pada pakan unggas, tetapi sebagian besar masih diimport dan diproduksi dari berbagai jaringan atau organ babi, bangkai atau ternak sakit. Salah satu upaya mengurangi penggunaan MBM adalah menggunakan bahan baku alternatif lain seperti pemanfaatan ulat hongkong (Tenebrio molitor L). Ulat hongong dianalisis keamanan pangannya sebagai pakan ternak sebelum dimanfaatkan menjadi bahan baku alternatif MBM. Ulat hongkong yang terkontaminasi cemaran dapat menimbulkan ancaman bagi ayam broiler dan kesehatan manusia yang mengkonsumsi daging terkontaminasi. Tujuan penelitian ini adalah penelusuran cemaran kadmium, pestisida organoklorin, E. coli dan Salmonella sp. dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong, ransum dan ekskreta ayam broiler yang diberi pakan mengandung tepung ulat hongkong sebagai alternatif pengganti MBM. Penelitian ini menggunakan ulat hongkong dari Malang, Sukabumi, Bekasi dan Bogor yang berumur 2-4 bulan. Ulat hongkong dibersihkan dan diolah menjadi tepung yang telah dikeluarkan lemaknya. Sebanyak 200 ekor ayam broiler jantan strain Lohman, dipelihara dalam kandang koloni sebanyak 10 petak (1 x 1 m2 setiap petakan). Tiap petakan berisi 10 ekor ayam. Tiap kandang diberi tempat pakan dan tempat minum. Ayam diberi makan secara ad libitum. Setelah ayam broiler berumur 35 hari, satu ekor ayam diambil secara acak dari tiap petak dan dipindahkan ke kandang individu (50 x 60 x 30 cm3). Setiap minggu bobot badan ayam dan sisa pakan ditimbang. Sampel ekskreta ditimbang, dikomposit dan diuji cemaran. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL), dengan perlakuan R0 pemberian 0% tepung ulat hongkong dan 5% MBM (kontrol) dan R1 pemberian 5% tepung ulat hongkong dan 0% MBM. Hasil penelitian tidak ditemukan cemaran kadmium, pestisida organoklorin dan Salmonella sp. dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong, pakan yang mengandung tepung ulat hongkong dan ekskreta ayam broiler yang diberi tepung ulat hongkong. Namun, bakteri E. coli ditemukan pada bahan-bahan tersebut dengan konsentrasi jauh di bawah ambang batas aman. Hasil penelusuran cemaran kadmium, pestisida organoklorin, E.coli, dan Salmonella sp. tersebut maka tepung ulat hongkong dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif pengganti MBM. Kata kunci: ulat hongkong, kadmium, pestisida organoklorin, E. coli, Salmonella sp.
iii
SUMMARY RISKY NAULY PANJAITAN. Chemical and Microbial Contamination in Feed and Excreta of Broilers Fed Diets Containing Mealworm Meal. Supervised by NIKEN ULUPI and NAHROWI. Meat and bone meal (MBM) is a source of animal protein in the feed of poultry, but mostly still imported and produced from various of pig tissues, organs and carcases or sick animals. Reducing utilization of MBM can be done by using alternative feedstock, such as the use of mealworm (Tenebrio molitor L). Mealworm was analyzed its food safety as feed before used as alternative feedstock for MBM. Contaminated mealworm can affect to broilers and human health. This study aimed to carry out investigation of cadmium, organochlorine pesticide, E. coli and Salmonella sp. contamination on mealworm, mealworm meal (defatted), feed and excreta of broiler fed diets containing mealworm meal as alternative feedstock for MBM. This study used mealworm from Malang, Sukabumi, Bekasi and Bogor, with age 2-4 months old. Mealworm was cleaned and processed into mealworm meal (defatted). As much as 200 males of broiler Lohman strain were maintained in colony cage of ten plots (1 x 1 m2 each plot). A plot was contained ten chickens. Each cage was given the feeding and drinking places. Chicken was fed ad libitum. After 35 day old broilers, a chick was taken from each plot randomly and moved into individual cage (50 x 60 x 30 cm3). Every week, broiler weight and feed residue were weighed. Excreta samples were weighed, composited and analysed that contamination. The experimental design used for this study was a completely randomized design (CRD). Treatment R0 was feeding 0% mealworm meal and 5% MBM (control). Treatment R1 was feeding 5% mealworm meal and 0% MBM. The results of this study showed that there were no contamination of cadmium, organochlorine pesticide and Salmonella sp. on mealworm, mealworm meal (defatted), feed contain mealworm meal and excreta of broilers fed diets containing mealworm meal. E. coli was found in these materials with concentration below safety levels. From this research results, it can be concluded that the mealworm meal can be used as an alternative feed of MBM. Key words: mealworm, cadmium, organochlorine pesticide, E. coli, Salmonella sp.
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
CEMARAN KIMIA DAN MIKROBA DALAM PAKAN DAN EKSKRETA AYAM BROILER YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TEPUNG ULAT HONGKONG
RISKY NAULY PANJAITAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
ii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Salundik, MSi
iii
Judul Tesis : Cemaran Kimia dan Mikroba dalam Pakan dan Ekskreta Ayam Broiler yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Ulat Hongkong Nama : Risky Nauly Panjaitan NIM : D151140171
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Niken Ulupi, MS Ketua
Prof Dr Ir Nahrowi, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Salundik, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 10 Februari 2017
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan bulan Juni sampai September 2016 dengan judul adalah Cemaran Kimia dan Mikroba dalam Pakan dan Ekskreta Ayam Broiler yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Ulat Hongkong. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Niken Ulupi, MS dan Bapak Prof Dr Ir Nahrowi, MSc selaku pembimbing, memberikan bantuan serta saran untuk pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Salundik, MSi selaku dosen penguji luar komisi, memberikan saran untuk melengkapi dan memperbaiki penulisan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada staf Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana sebagai sponsor dana pendidikan selama menjalani pendidikan pascasarjana. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan, Republik Indonesia sebagai sponsor dana penelitian yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan materi pada penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini, staf laboratorium lapang kandang blok C, Fakultas Peternakan IPB. Penulis juga mengungkapkan terimakasih kepada teman-teman team ulat hongkong atas segala saran, gagasan, dan pemikiran yang diberikan selama penelitian maupun penulisan tesis ini, dan teman-teman Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan 2014. Terimakasih kepada Suami tercinta, Ronaldo B, orang tua, M. Panjaitan dan Ningsih, mertua Suar J Binti dan Patyani, kedua anak-anak terkasih saya (Naysa dan Naomi), saudara kandung Efrinawati Panjaitan dan Putri Achirawati Panjaitan atas doa, semangat, dan materi yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat baik kepada masyarakat secara umum.
Bogor, Februari 2017 Risky Nauly Panjaitan
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 2 3
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Materi Prosedur Penelitian Rancangan Percobaan dan Analisis Data
3 3 3 4 9
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Cemaran Kadmium Cemaran Pestisida Organoklorin Cemaran E. coli Cemaran Salmonella sp.
10 10 12 14 16
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
18 18 19
5 DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
24
RIWAYAT HIDUP
28
vi
DAFTAR TABEL 1 2 3
Komosisi dan nutrien pakan perlakuan (starter dan finisher) Indeks most probable number (MPN) Hasil uji kandungan kadmium, pestisida, Salmonella sp., dan E. coli
5 8 10
DAFTAR GAMBAR 1 2
Proses pembuatan tepung ulat hongkong Prosedur penelitian
4 6
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Hasil analisis uji cemaran pada ulat hongkong oleh PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor Batas maksimum cemaran pestisida organoklorin Gambar materi penelitian
25 26 27
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pakan merupakan faktor penting dalam pemeliharaan ayam broiler dengan komposisi kandungan zat lengkap, seperti protein. Pakan dengan kandungan protein berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh ayam broiler. Protein yang terkandung dalam bahan pakan terdiri atas protein nabati dan hewani. Salah satu bahan pakan yang mengandung protein hewani adalah meat and bone meal (MBM) yang banyak digunakan dalam campuran pakan unggas di beberapa bagian dunia, termasuk Australia, Cina dan Asia Tenggara (Liu et al. 2016). Selain sebagai sumber protein hewani, MBM juga merupakan sumber asam amino, kalsium dan fosfor (Mutucumarana dan Ravindran 2016). MBM mengandung zat gizi cukup lengkap tetapi memiliki kekurangan di antaranya terbuat dari jaringan organ binatang dieutanasia (binatang yang dibunuh dengan sengaja karena penyakit tertentu seperti sapi gila), bangkai binatang berasal dari kebun binatang dan jaringan organ sapi, babi, serta unggas (Gracia et al. 2006). MBM di Indonesia masih 100% impor dari negara Australia, New Zealand dan Amerika (Ditjennak 2016). Hal ini mengkhawatirkan karena bahan baku MBM tersebut tidak diketahui secara pasti dan diduga dapat menyebabkan penyebaran penyakit tertentu. Upaya untuk mengurangi dan menurunkan penggunaan MBM adalah menggunakan bahan baku berbasis lokal, salah satunya ulat hongkong. Ulat hongkong atau Tenebrio molitor L. merupakan larva dari kumbang beras (Ramos et al. 2002). Keunggulan ulat hongkong antara lain memiliki nutrien tinggi, mudah dipelihara, produksi tinggi, dan ramah lingkungan. Namun, pemanfaatan ulat hongkong sebagai bahan pakan broiler belum diteliti lebih lanjut dari segi keamanan pangan produk unggas ini. Berdasarkan UU RI No. 18 Tahun 2012 tentang pangan, pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi atau mikrobiologi, bahaya fisik, bahaya kimia. Bahaya kimia termasuk diantaranya cemaran logam berat kadmium, dan pestisida, sedangkan bahaya biologi diantaranya mikroba Escherichia coli dan Salmonella sp. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa serangga sangat mudah terkontaminasi oleh cemaran kimia seperti logam berat (Lindqvist 1992; Merrington et al. 1997; Green et al. 2001; Vijver et al. 2003; Handley et al. 2007; Zhuang et al. 2009). Jenis logam berat yang terakumulasi dalam serangga adalah kadmium (Charlton et al. 2015). Menurut Vijver et al. (2003) bahwa jenis serangga yang mudah terakumulasi kadmium adalah ulat hongkong. Hasil penelitiannya ulat hongkong tercemar kadmium yang dipelihara di beberapa karakteristik tanah yang berbeda. Cemaran kimia lainnya adalah pestisida. Tanaman yang tercemar pestisida dapat masuk ke dalam tubuh ternak dan cemarannya akan ditemukan dalam produk akhir ternak (Gustiani 2009). Cemaran biologi yang ditemukan pada serangga adalah bakteri Salmonella sp. dan E. coli, bakteri ini ada karena bergantung pada kondisi pakan dan pemeliharaannya. Cemaran bakteri patogen ini berbahaya bagi hewan dan manusia (EFSA 2015). Ulat hongkong sebelum diperkenalkan sebagai bahan baku alternatif MBM, perlu dilakukan penelitian mengenai keamanan pangan yang dihasilkan dengan
2
penggunaan ulat hongkong sebagai pakan ternak. Ulat hongkong yang terkontaminasi cemaran dapat menimbulkan ancaman bagi ayam broiler dan kesehatan manusia dengan mengkonsumsi daging terkontaminasi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelusuran cemaran kimia dan biologi dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan dan ekskreta ayam broiler yang diberi pakan yang mengandung tepung ulat hongkong.Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi mengenai keamanan pemakaian ulat hongkong dalam pakan unggas sebagai pengganti MBM. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah penggunaan tepung ulat hongkong sebagai pengganti MBM yang dikhawatirkan mengandung cemaran kadmium, pestisida organoklorin, E. coli, dan Salmonella sp. Selain itu, pakan tambahan lainnya juga mengandung cemaran tersebut. Hal ini perlu dilakukan penelusuran cemaran residu dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan dan ekskreta ayam broiler yang diberi tepung ulat hongkong. Tepung ulat hongkong yang dimaksud adalah proses penepungan ulat hongkong yang telah dikeluarkan lemaknya. Tujuan Penelitian 1.
2.
3.
4.
Tujuan penelitian ini antara lain: Penelusuran cemaran kadmium dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan dan ekskreta ayam broiler yang diberi pakan mengandung tepung ulat hongkong sebagai alternatif pengganti MBM. Penelusuran cemaran pestisida organoklorin dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan dan ekskreta ayam broiler yang diberi pakan mengandung tepung ulat hongkong sebagai alternatif pengganti MBM. Penelusuran cemaran E. coli dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan dan ekskreta ayam broiler yang diberi pakan mengandung tepung ulat hongkong sebagai alternatif pengganti MBM. Penelusuran Salmonella sp. dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan dan ekskreta ayam broiler yang diberi pakan mengandung tepung ulat hongkong sebagai alternatif pengganti MBM. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberi informasi kandungan cemaran kadmium, pestisida organoklorin, E. coli, dan Salmonella sp. dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan dan ekskreta. 2. Memberi informasi keberadaan cemaran kadmium, pestisida organoklorin, E. coli, dan Salmonella sp. pada ayam broiler yang diberi pakan mengandung tepung ulat hongkong sebagai pengganti MBM.
3
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terdiri atas empat tahap yaitu pengumpulan ulat hongkong, proses pembuatan tepung ulat hongkong, proses penyusunan pakan, dan ekskreta. Semua tahap ini dilakukan uji cemaran kadmium, pestisida organoklorin, E. coli, dan Salmonella sp. Apabila hasil pengujian tersebut ditemukan cemaran dalam tepung ulat hongkong dan pakan, maka dapat diimpretasikan bahwa kandungan cemaran dalam tepung ulat hongkong dan kandungan cemaran dalam pakan sama dengan cemaran dalam ekskreta, yang artinya cemaran tidak resistensi dalam tubuh ayam broiler. Apabila cemaran dalam tepung ulat hongkong dan kandungan cemaran dalam pakan lebih besar dari cemaran dalam ekskreta, artinya cemaran ada dalam tubuh ayam broiler, sehingga dilakukan pengujian cemaran pada organ hati dan ginjal ayam broiler.
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2016. Pengumpulan bahan baku ulat hongkong dari Malang, Sukabumi, Bekasi dan Bogor. Proses pembuatan pakan dilakukan di laboratorium industri pakan IPB, pemeliharaan ayam di laboratorium lapang kandang blok C, Fakultas Peternakan IPB. Uji cemaran kadmium, pestisida organoklorin, E. coli dan, Salmonella sp. dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan, dan ekskreta dilakukan di laboratorium PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor. Materi Ternak dan Pakan Penelitian menggunakan 200 ekor day old chick (DOC) jantan strain Lohman (MB 202 Platinum). Pakan disusun dari campuran bungkil kedelai, dedak padi, MBM, ulat hongkong, crude palm oil (CPO), kapur, garam, DL-methionin, dicalcium phosphate (DCP). Kandang Jenis kandang yang digunakan adalah open house, terdiri dari kandang koloni berukuran 1 x 1 m2 per petak dan kandang individu berukuran 50 x 60 x 30 cm3. Kandang koloni menggunakan sistem litter beralaskan sekam.Setiapkandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum. Sekali seminggu ayam dan pakan ditimbang. Setelah ayam berumur 35 hari, satu ekor dari setiap petak dipindahkan pada kandang individu. Pada bagian bawah kandang individu disiapkan plastik penampung ekskreta seluas alas kandang.
4
Prosedur Penelitian Persiapan Ulat Hongkong Ulat hongkong diperoleh dari empat lokasi yang berbeda, yaitu Malang, Sukabumi, Bekasi dan Bogor. Ulat hongkong yang digunakan pada penelitian ini berumur 2-4 bulan. Pakan ulat hongkong dari ketiga lokasi pada umumnya polard dan dedak padi. Proses Pembuatan Tepung Ulat Hongkong Proses pembuatan tepung ulat hongkong berdasarkan metode Meeker dan Hamilton (2006). Ulat hongkong diayak dan dibersihkan dari kotoran dan kitin, dimasak menggunakan steam dengan suhu 88 ºC selama kurang lebih 45 menit, kemudian ulat diangkat dan ditiriskan. Ulat hongkong dipress untuk mengeluarkan lemak dari ulat. Ulat hongkong yang telah dikeluarkan lemaknya kemudian dilakukan proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari selama kurang lebih 8-12 jam atau di oven selama 12-24 jam dengan suhu 60 ºC. Ulat hongkong selanjutnya digiling hingga menjadi tepung ulat hongkong (defatted). Prosedur proses pembuatan tepung ulat hongkong ditunjukkan pada Gambar 1. Ulat hongkong
Seleksi ulat hongkong
Proses steam
Proses pengepresan
Protein ulat hongkong
Lemak ulat hongkong
Proses pengeringan
Penggilingan
Tepung ulat hongkong (defatted) Gambar 1 Proses pembuatan tepung ulat hongkong
5
Tepung ulat hongkong yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung dari proses penepungan ulat hongkong yang telah dikeluarkan lemaknya. Persiapan Pembuatan Pakan Bahan pakan lainnya (jagung, bungkil kedelai, dedak padi, crude palm oil (CPO), kapur, garam, DL-methionin, DCP, L-Lysin, premik) dicampur dalam setiap perlakuan. Pada perlakuan R0 menggunakan pakan dengan penambahan MBM, sedangkan perlakuan R1 menggunakan pakan dengan penambahan tepung ulat hongkong. Pakan yang telah dihomogenkan dibentuk menjadi mash, crumble untuk starter dan bentuk pellet untuk finisher. Komposisi pakan yang digunakan dalam penelitian pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi dan nutrien pakan perlakuan (starter dan finisher) Komposisi dan Nutrien Kommposisi bahan: Jagung Dedak padi Bungkil kedelai Meat & bone meal (MBM) Tepung ulat hongkong CPO CaCO3 DCP Garam L-Lysin DL-Methionine Premix Total Kandungan nutrien*:
Bahan kering (%) Energi metabolis (kkal/kg) Protein kasar (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Lisin (%) Metionin (%) Methionin + sistin (%)
Finisher Starter R1 R0 R1 R0 .................................(%).......................................... 54.18 54.09 63.77 64.70 3.50 4.00 3.50 3.50 30.81 29.78 20.78 19.69 5.00 0.00 5.00 0.00 0.00 5.00 0.00 5.00 4.04 3.00 4.59 3.20 0.85 1.50 0.66 1.35 0.30 1.35 0.45 1.33 0.45 0.44 0.45 0.41 0.08 0.18 0.09 0.19 0.28 0.22 0.21 0.13 0.50 0.50 0.50 0.50 100.00 100.00 100.00 100.00 89.63 3050.00 22.00 6.94 2.82 0.95 0.68 1.30 0.65 0.95
89.87 3050.00 22.00 6.43 3.32 0.97 0.66 1.30 0.57 0.96
89.69 3150.00 18.00 7.79 2.76 0.89 0.67 1.00 0.52 0.76
89.88 3150.00 18.00 6.96 3.22 0.89 0.61 1.00 0.43 0.75
*Hasil perhitungan dari program formulasi pakan winfeed Formulasi pakan berdasarkan rekomendasi Lesson Summer (2005)
Persiapan Kandang Koloni Jenis kandang yang digunakan adalah kandang open house. Kandang dibersihkan dari sisa kotoran, sampah, dan debudan diberi desinfektan. Dilakukan pemasangan lampu pijar 60 watt diatas kandang sebagai sumber cahaya dan
6
pemanas selama 2 minggu. Penelitian ini menggunakan day old chick (DOC) ayam broiler jantan strain Lohman (MB 202 Platinum) dari PT JAPFA Comfeed Indonesia Tbk sebanyak 200 ekor yang dibagi kedalam 2 perlakuan dan 10 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 10 ekor. Penentuan penempatan ke dalam kandang koloni dengan sistem acak dan penomoran. Kandang menggunakan sistem litter (sekam padi). Ukuran setiap petakan 1 x 1 m2 sebanyak 10 petak. Pada masing-masing petak terdiri atas 10 ekor dan dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Pakan dan air diberikan secara ad libitum. Seminggu sekali, ayam dan sisa pakan ditimbang. Persiapan Kandang Individu Ayam broiler setelah umur 35 hari, diambil secara acak satu ekor dari tiaptiap petak dan dipindahkan ke kandang individu. Kandang induvidu berukuran 50 x 60 x 30 cm3. Penempatan nomor kandang induvidu sesuai dengan urutan posisi kandang semula. Pemberian pakan dan minum diberi secara ad libitum. Pengambilan sampel ekskreta dilakukan setelah 24 jam pemberian pakan. Sampel diambil dan ditimbang setiap hari selama 3 hari. Sisa pakan, sampel ekskreta ditimbang, dikomposit dan diuji kadmium, pestisida, E. coli, dan Salmonella sp. Prosedur penelitian ditunjukkan melalui Gambar 2. Ulat hongkong (Uh)
Tepung ulat + hongkong (defatted)
Bahan pakan lainnya
+
Pakan R1
Pakan R0
Ayam R1
Ayam R0
Ekskreta R1
Ekskreta R0
MBM
Uji: Kadmium, Pestisida, Salmonella sp., dan E. coli Gambar 2 Prosedur penelitian Uji Cemaran Kadmium Metode yang digunakan adalah metode inductively coupled plasma optical emission spectrometry (ICP-OES) (Novaes et al. 2016). Prinsipnya berdasarkan penentuan unsur-unsur logam berdasarkan pada penyebaran absorbs radiasi oleh atom.Sampel ditimbang 0.5 mL ditambahkan 10 mL HNO3, didestruksi selama 15 menit dengan suhu 150 ºC. Setelah itu dimasukan kedalam labu ukur 50 mL dan diencerkan dengan aquabides dan disaring. Kadar cemaran kadmium diukur
7
dengan inductively coupled plasma optical emission spectrometry (ICP OES) (Agilent type 720 detector CCD, US) dengan panjang gelombang kadmium 214.439 nm. Uji Cemaran Pestisida Uji cemaran pestisida ini adalah jenis pestisida organoklorin (AOAC 2007). Sampel ditimbang sebanyak 15 g kedalam tabung teflon 50 mL (berisi 6.0±0.3 g MgSO4 anhidrat dan 1.5±0.1 g Na-Acetate anhidrat) kemudian ditambah 15 mL CH3COOH 1% dalam acetonitrile dan 75 μL larutan internal standar (kons. Istd 200 ng g-1) dilakukan pengocokan dengan kuat selama 1 menit dan centrifuge > 1500 relative centrifugal force (rcf) selama 1 menit. Hasil sentrifuge di pindahkan larutan (1-2 mL) kedalam tube (berisi 150 mg MgSO4 dan 50 mg PSA per mL ekstrak). Tube ditutup kemudian dikocok selama 30 detik dan dicentrifuge pada kecepatan > 1500 rcf selama 1 menit. Larutan dipindahkan ke vial GC dan ditambahkan triphenil phosphate (TPP). Larutan diinjeksi ke alat GC (GC Clarus 580, perkin elmer, US). Uji Cemaran E. coli Uji cemaran E. coli dilakukan melalui tiga tahap uji (FDA BAM Chapter 4 Tahun 2002). Tahap pertama adalah uji penduga. Pada uji ini sampel ditimbang sebanyak 25 gm L-1 ke dalam 225 mL larutan bufer PO kemudian dihomogenkan selama 2 menit. Sampel sebanyak 1 mL homogen (pengenceran 1 х 10-1) diambil dari preparasi sampel lalu masukkan ke 9 mL diluent (pengenceran 1 х 10-2). Sampel 1 mL diambil dari tabung pengenceran 1 х 10-2 untuk dimasukkan ke-9 mL diluent (pengenceran 1 х 10-3). Pada setiap transfer sampel yang dilakukan, tabung dikocok berayun 25 kali dengan ketinggian ayunan pengocokan 30 cm atau vorteks selama 7 detik. Disiapkan 3 seri tabung MPN berisi masing-masing 5 mL Lauryl Sulphate Tryptose (LST) broth dengan tabung durham didalamnya (total 9 tabung yang dibagi menjadi 3 seri). Suspensi dimasukan ke dalam 1 mL dari pengenceran 1 х 10-1 ke tiga tabung pertama, dimasukan 1 mL dari pengenceran 1 х 10-2 ke tabung kedua, dan masukkan 1 mL dari pengenceran 1 х 10-3 ke tiga tabung ketiga. Inkubasi semua tabung pada suhu 35±0.5 ºC selama 24±2 jam. Tabung durham diamati terbentuknya gas kemudian hasilnya dicatat. Tabung yang tidak terbentuk gas diinkubasi lagi menjadi 48±3 jam. Bila media keruh dan terbentuk gas diinterpretasi hasil positif pada inkubasi 24±2 jam atau 48±3 jam. Namun, bila media tidak terdapat pertumbuhan dan tidak terbentuk gas diinterpretasi hasil negatif. Gas diproduksi dapat terjebak dalam tabung durham ataupun berbentuk buih (effervescence) yang timbul saat dikocok. Perkiraan konsentrasi (Tabel 3) yang didapat merupakan nilai dugaan adanya E. coli. Tahap kedua adalah uji penegasan untuk cemaran E. coli. Tabung durham diisi masing-masing 10 mL EC broth. Satu ulasan inokulum dari tiap tabung LST broth yang menghasilkan uji positif dimasukan ke dalam tiap tabung EC broth. Seluruh tabung diinkubasi pada suhu 45.5 oC selama 24±2 jam. Tabung durham diamati terbentuknya gas dan dicatat hasilnya. Tabung yang tidak terbentuk gas dilakukan inkubasi kembalil selama 48±2 jam. Interpretasi hasil positif jika media keruh dan terbentuk gas. Interpretasi hasil negatif jika tidak terdapat pertumbuhan dan tidak terbentuk gas. Jumlah E. coli (MPN g-1 atau mL) dengan menghitung tabung positif kemudian dicocokkan dengan tabel MPN (Tabel 2) berdasarkan
8
dari perhitungan uji dugaan. Perkiraan konsentrasi E. coli berdasarkan Tabel 2 adalah nilai penegasan adanya E. coli. Bakteri E. coli dapat diketahui pada tabung EC broth dengan melanjutkan uji pelengkap. Nilai Most Probable Number (MPN) ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2 Indeks Most Probable Number (MPN) Kombinasi Positif 0-0-0 0-0-1 0-1-0 0-1-1 0-2-0 0-3-0 1-0-0 1-0-1 1-0-2 1-1-0 1-1-1 1-2-0 1-2-1 1-3-0
Indeks MPN g-1 < 3.0 3.0 3.0 6.1 6.2 9.4 3.6 7.2 11.0 7.4 11.0 11.0 15.0 16.0
Batas kepercayaan 95%* Rendah Atas --9.5 0.15 9.6 0.15 11.0 1.20 18.0 1.20 18.0 3.60 38.0 0.17 18.0 1.30 18.0 3.60 38.0 1.30 20.0 3.60 38.0 3.60 42.0 4.50 42.0 4.50 42.0
Batas kepercayaan 95%* untuk berbagai kombinasi dari tabung positif dalam serangkaian pengenceran 3 tabung seri yang menggunakan jumlah inokulum 0.1, 0.01, dan 0.001 g. (USDA/FSIS 2008).
Tahap akhir dari Uji E. coli adalah uji pelengkap. Tabung positif mengandung gas dari EC broth dikocok kemudian inokulasikan ke dalam cawan L-EMB agar dan inkubasi pada 35±0.5 oC selama 18-24 jam. Interpretasi dugaan E. coli jika memiliki ciri-ciri koloni datar, berwarna hitam di tengah koloni dengan atau tanpa warna kilat logam (metallic sheen). Inokulasi sampai lima koloni terduga ke PCA dan inkubasi 35±0.5 oC selama 18 sampai 24 jam untuk kultur uji penegasan selanjutnya. Satu dari lima koloni yang teridentifikasi positif E. coli cukup untuk menyatakan bahwa tabung EC broth tersebut terkonfirmasi positif E. coli. Uji kultur dugaan dengan uji pewarnaan gram dan morfologi sel. Semua kultur yang mencirikan gram negatif dan sel berbentuk batang pendek selanjutnya diuji dengan tahap berikutnya. Inokulasi kembali kultur dugaan tersebut ke media LST lalu inkubasi pada 35±0.5 oC selama 48±2 jam untuk mengkonfirmasi ulang terbentuknya gas. Kemudian kultur dugaan yang sama dilakukan uji IMViC. Salah satu uji IMViC adalah uji produksi indole; uji ini akan membedakan bakteri yang mampu atau tidak mampu memproduksi indole dari Tryptone. Inokulasi kultur dugaan ke Tryptone broth dan diinkubasi pada suhu 35±0.5 oC selama 24±2 jam, ditambah 0, 20, 3 mL reagen kovac’s. Jika terbentuk cincin merah pada bagian atas tabung maka bakteri dapat memproduksi indol (indol positif) dan bila terbentuk cincin kuning maka disimpulkan sebagai indol negatif. Jika kultur dugaan adalah E. coli maka seharusnya menunjukkan hasil positif dan sel berbentuk batang pendek.
9
Uji Cemaran Salmonella sp. Sample ditimbang 25 g ke dalam 225 mL media lactose broth. Sampel dihomogen dengan blender atau stomacher selama 1-2 menit. Sampel didiamkan selama 60±5 menit pada suhu ruang, diinkubasi pada suhu 35 ºC selama 25±2 jam. Sampel dipisahkan menjadi dua perlakuan. Perlakuan pertama; sampel 0.1 mL dalam 10 mL rappaport vassiliadis (RV) diinkubasi pada suhu 42±0.2 ºC selama 24±2 jam. Perlakuan kedua; sampel 1 mL dalam 10 mL tetrathionate broth diinkubasi, bila populasi tertinggi dengan suhu 43±0.2 ºC selama 24±2 jam, dan bila populasi rendah dengan suhu 35±2.0 ºC selama 24±2 jam. Kedua perlakuan menghasilkan suspensi gores dari masing-masing media pengayaan yang telah diinkubasi pada media xylose lysine desoxycholate (XLD), hektoen enteric (HE), dan bismuth sulfite agar (BSA). Kemudian diinkubasi dengan suhu 35 ºC selama 24±2 jam. Media XLD positif, artinya koloni merah muda dengan atau tanpa inti hitam. Kultur Salmonella sp. kebanyakan memproduksi koloni besar dengan inti hitam mengkilap atau dapat muncul berwarna hitam seluruhnya. Media HE positif, artinya koloni biru hijau dengan atau tanpa inti hitam. Media BSA positif, artinya koloni coklat, abu, atau hitam, memiliki beberapa kilap metalik. Koloni diambil dari ketiga media tersebut, diinkulasi ke triple sugar iron agar (TSIA) dengan menggores agar miring dan menusuk agar tegak, kemudian ke lysine iron agar (LIA) dengan menusuk agar tegak digores dan agar miring. Media TSIA pada posisi miring berwarna merah (alkalin), posisi tegak berwarna kuning (asam) dengan atau tanpa H2S. Media LIA pada posisi miring berwarana ungu (alkalin), posisi tegak berwarna ungu (alkalin) menghasilkan H2S (FDA BAM Chapter 5 Tahun 2007).
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas dua perlakuan dan sepuluh ulangan. Data dianalisis secara deskriptif komparatif. Setiap ulangan terdiri atas 10 ekor ayam. Perlakuan pada penelitian ini adalah: R0 = Pakan mengandung 0% ulat hongkong, 5% MBM (kontrol) R1 = Pakan mengandung 5% ulat hongkong, 0% MBM. Model matematika rancangan percobaan yang digunakan adalah: Yij = μ + Pi + εij Keterangan : Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i (1,2) dan ulangan ke-j (1, 2, 3, …, 10) i = Perlakuan ke-i j = Ulangan ke-j μ = Nilai rata-rata umum dari seluruh perlakuan Pi = Pengaruh pemberian pakan ke-i (1,2) terhadap cemaran kadmium, pestisida, E. coli, Salmonella sp. dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong, pakan, dan ekskreta ayam yang diberi pakan mengandung tepung ulat hongkong. εij = Pengaruh galat cemaran kadmium, pestisida, E. coli, dan Salmonella sp. dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong, pakan, dan ekskreta ayam yang diberi pakan mengandung ulat hongkong ke-i dan ulangan ke-j (1, 2, 3, …, 10) (Mattjik dan Sumertajaya 2013).
10
Peubah Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah cemaran kadmium, pestisida, Salmonella sp. dan E. coli dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong, MBM, pakan R0, pakan R1, ekskreta R0 dan ekskreta R1.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji cemaran kadmium, pestisida, Salmonella sp., dan E. coli pada ulat hongkong, pakan dan ekskreta disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji kandungan kadmium, pestisida, E. coli dan Salmonella sp. Bahan yang diuji Ulat hongkong Tepung ulat hongkong MBM Pakan 1 (R0) Pakan 2 (R1) Ekskreta 1 (E0) Ekskreta 2 (E1)
Kadmium (ppm) td td td td td td td
Pestisida (ppm) Td Td Td Td Td Td Td
E. coli (MPN/g) <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
Salmonella sp. ( /25g) negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif
MBM: meat and bone meal, R0: pakan mengandung 5% MBM, R1: pakan mengandung 5% ulat hongkong, E0: ekskreta ayam yang diberi R0, E1: ekskreta ayam yang diberi R1, td: tidak terdeteksi.
Cemaran Kadmium Kadmium (cadmia) adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Cd dan nomor atom 48, berat atom 112.4 g mol-1, titik leleh 321 oC, titik didih 767 oC dan memiliki masa jenis 8.65 g cm-3 (Widowati et al. 2008). FAO/WHO (2011) menambahkan bahwa kadmium merupakan mineral dari logam berat, ada di air, udara dan tanah. Kadmium banyak dalam bahan baku pakan, pakan, dan tanaman hijauan yang di dekat daerah peleburan dan pertambangan. Kadmium tidak memiliki fungsi biologis. Kadmium menyebabkan ganguan daya keseimbangan kalsium dan fosfat seperti penyakit itai-itai di Tayoma (Jepang), infertilitas, anemia (Li et al. 2006). Hasil uji cemaran kadmium menunjukkan bahwa ulat hongkong tidak terdeteksi sedangkan hasil temuan dari Vijver et al. (2003) bahwa dari hasil penelitiannya ditemukan kadmium dalam ulat hongkong. Perbedaan ini disebabkan oleh lokasi pemeliharaan ulat hongkong tersebut. Ulat hongkong yang diteliti oleh Vijver et al. (2003) dipelihara dibeberapa karakteristik tanah yang berbeda. Charlton et al. (2015) menambahkan bahwa semua sampel larva mengandung logam berat berbahaya, khususnya kadmium dengan metode pemeliharaan yang beragam, dipelihara di empat lokasi geografis berbeda, seperti; Inggris, Cina, Mali dan Ghana. Hal ini memungkinkan lokasi pemeliharaan dekat dengan daerah peleburan tambang dan dipelihara di tanah. Berbeda pada ulat
11
hongkong yang dipelihara ke empat daerah (Malang, Sukabumi, Bekasi, dan Bogor) dipelihara secara intensif dalam kotak papan triplek yang tersusun di dalam ruangan tertutup, tidak menyentuh tanah. Selain lokasi pemeliharaan, cara pemeliharaan ulat hongkong juga mempengaruhi kandungan kadmium yang terdapat pada ulat tersebut. Keberadaan kadmium juga bisa berasal dari pakan ulat. Ulat hongkong ke empat daerah tersebut pada umumnya mengkonsumsi pakan polard dan dedak padi. Kadmium yang tidak terdeteksi pada ulat hongkong bisa juga disebabkan oleh kemampuan ulat hongkong yang mampu mengendalikan cemaran kadmium dalam tubuh ketika terpapar cemaran logam melalui pakan (Lindqvist dan Block 1995). Ulat hongkong juga mampu mengeluarkan akumulasi kadmium selama metamorfosis. Beaumelle et al (2015) menyatakan tidak ada banyak studi tentang mekanisme penyerapan logam dalam invertebrata terestrial, dan sebagian besar dilakukan pada cacing tanah. Penyerapan logam padaulat hongkong melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Cemaran logam tidak bisa masuk ke tubuh ulat melalui kulit. Ulat hongkong memiliki kutikula lapisan lilin bagian luar yang berfungsi untuk menghin dari kehilangan air, sehingga cemaran logam tidak mudah masuk melalui tubuhnya melainkan makanan, berbeda dengan cacing tanah yang memiliki kulit yang dapat di tembus oleh air dan cemaran logam (Vijver et al. 2003). Ulat hongkong yang tidak terdeteksi cemaran kadmium tersebut diolah dengan metode penepungan. Tepung ulat hongkong merupakan hasil proses pengolahan ulat hongkong yang telah dipisahkan dari lemaknya (Gambar 1). Hasil pengujian tepung ulat hongkong menunjukkan tidak terdeteksi kadmium. Hal ini disebabkan dari ulat yang tidak terdeteksi dan juga pada proses pengolahan pembuatan tepung ulat hongkong sudah dilakukan sesuai standar operasional prosedur (SOP) sehingga tidak ada peluang terdeteksinya kadmium. Proses pembuatan tepung ulat hongkong menggunakan acuan metode Meeker dan Hamilton (2006). Proses penepungan dilakukan dalam ruang tertutup. Penerapan sanitasi dan standar prosedur operasi (SSPO) dalam proses produksi terdiri atas sanitasi peralatan dan ruangan. Semua peralatan yang digunakan harus aman, tidak mudah terkontaminasi dengan produk, tidak mudah rusak pada saat digunakan dalam proses produksi dan mudah dibersihkan (Winarno dan Surono 2002). Proses pembuatan tepung ulat hongkong mengikuti aturan SSPO akan menghasilkan tepung tanpa cemaran kadmium. Apabila kadmium terdapat pada tepung ulat hongkong bukan berasal dari ulat hongkong melainkan disebabkan oleh lingkungan, seperti peralatan atau karyawan. Winarno dan Surono (2002) menyebutkan karyawan harus dalam keadaan bersih dan sehat serta kegiatan karyawan tidak boleh menghasilkan kontaminasi pangan sehingga menghasilkan produk tidak terkontaminasi. Karyawan menggunakan tutup kepala, sarung tangan dan tidak diperbolehkan memakai perhiasan. Karyawan harus mencuci tangan dan sarung tangan sebelum pekerjaan dimulai. Karyawan tidak diperbolehkan makan dan minum saat bekerja, karyawan tidak diperbolehkan berbicara. Karyawan tidak merokok saat proses produksi sedang dilakukan. WHO (2014) menambahkan bahwa sumber paparan kadmium memberi kontribusi tinggi berasal dari aktivitas manusia melalui udara dengan merokok. Merokok merupakan faktor resiko terbesar, karena tanaman tembakau secara alami sudah terakumulasi kadmium dengan konsentrasi yang tinggi dalam hidupnya (Figueroa 2008).
12
Bahan pakan sumber protein biasanya menggunakan meat and bone meal (MBM). MBM yang digunakan pada penelitian ini juga dilakukan pengujian cemaran kadmium. Hasil pengujian pada MBM menunjukkan tidak ditemukan cemaran kadmium. Hasil pengujian ini sama dilakukan dengan penelitian Garcia dan Rosentrater (2008) bahwa kadmium tidak terdeteksi dalam sampel MBM komersil. Kandungan kadmium yang tidak ditemukan pada MBM sehingga digunakan sebagian besar pada pakan komersial pakan unggas. Hasil uji cemaran kadmium pada pakan R0 dan R1 tidak terdeteksi. Hal ini menunjukkan tepung ulat hongkong, MBM dan bahan baku penyusun pakan lainnya juga bebas dari cemaran kadmium. Menurut EFSA (2015), batas standar Uni Eropa cemaran kadmium dalam pakan sebesar 0.5 ppm. Penyerapan kadmium umumnya melalui makanan, air minum dan udara. Bila kadmium ada dalam pakan, maka kadmium masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Kadmium ini diserap, diangkut dalam darah, dan disebar ke berbagai bagian tubuh dan sebagian besar ditimbun dalam ginjal dan hati (Voogt et al. 1980). Pada hewan percobaan laju penyerapan kadmium dapat mencapai 10% apabila makanan yang diberikan kekurangan seng, protein dan kalsium. Metabolisme logam berat di dalam tubuh organisme merupakan faktor utama yang menentukan toksisitas zat tersebut (Voogt et al. 1980). Hasil uji cemaran kadmium pada ekskreta R0 dan R1 sama-sama tidak terdeteksi kadmium. Ekskreta adalah gabungan dari urin dan feses pada unggas (Rotter et al. 1989). Hasil penelitian dengan menggunakan ekskreta dapat menunjukkan identifikasi sumber-sumber pencemaran ekskreta individu (Tyagi et al. 2007). Selain pakan yang bebas dari kadmium dan dikonsumsi oleh ayam, air juga bebas dari cemaran kadmium sehingga ekskreta yang dihasilkan ayam broiler yang mengkonsumsi pakan R0 dan R1 tidak terdeteksi kadmium. Batas aman cemaran kadmium dalam air menurut WHO (2008) adalah 3 x 10-3 ppm. Pada penelitian ini, air yang digunakan selama pemeliharaan ayam broiler adalah air yang baik, bebas kadmium. Bila air mengandung konsentrasi kadmium tinggi, maka pada ekskreta pasti terdeteksi kadmium. Sumber cemaran kadmium selain dari pakan atau air, bisa berasal dari cemaran udara seperti asap rokok. Selama penelitian, tidak ada cemaran udara di dalam kandang, para petugas atau peneliti sangat menjaga kandang, sehingga udara kandang bebas dari asap rokok. Apabila pada ekskreta ayam yang mengkonsumsi air atau ada cemaran udara yangmengandung kadmium tinggi dan tidak terdeteksi pada ekskreta, maka kadmium sudah terakumulasi didalam hati dan ginjal. Berikutnya dilakukan uji kadmium dalam hati dan ginjal. Darmono (1995) menyatakan bahwa penyerapan kadmium melalui saluran pencernaan relatif sedikit, sebesar 3-8% sedangkan penyerapan kadmium melalui saluran pernapasan, sebesar 25-50%. Selanjutnya kadmium diabsorpsi dalam tubuh kemudian didistribusikan ke dalam jaringan tubuh. Kadmium kemudian dieksresikan melalui ekskreta. Cemaran Pestisida Organoklorin Pestisida adalah zat, senyawa kimia organisme renik, virus dan lain-lain yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman atau bagian tanaman untuk meningkatkan produksi pangan dan bersifat beracun, dirancang untuk
13
membunuh, mengurangi atau mengusir serangga, gulma, hewan pengerat, jamur atau organisme lain (SNI 2008). Pestisida yang terjaring dalam analisa laboratorium ini adalah pestisida golongan organoklorin (Lampiran 1). Menurut Miglioranza et al. (2002) bahwa golongan pestisida ini merupakan pestisida dengan harga murah dan ampuh membunuh hama. Pestisida organoklorin ini banyak digunakan di negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Kebanyakan negara berkembang terletak di daerah yang beriklim tropis dimana pada umumnya memiliki temperatur dan curah hujan yang tinggi. Iklim yang seperti itu dapat membuat perpindahan residu melalui udara dan air secara cepat dan akhirnya berkonstribusi terhadap kontaminasi global. Proporsi organoklorinakan mencapai target, seperti hama, ditemukan tidak lebih dari 0,3-1% dari yang diaplikasikan, sedangkan 99% lainnya akan berada di lingkungan. Latimer Clan Siegel (1977) mengatakan bahwa konsentrasi tertinggi dari residu yang terdeteksi pada organ ayam broiler terdapat pada organ kelenjar adrenal, hati dan otak. Hasil pengujian cemaran pestisida organoklorin pada ulat hongkong tidak terdeteksi. Hal ini berarti ulat hongkong tidak terdapat pestisida organoklorin atau konsentrasi pestisida organoklorin dalam jumlah yang sangat kecil atau ulat hongkong mampu mengekresikan kadar pestisida dari tubuhnya. Keberadaan pestisida organoklorin yang tidak terdeteksi disebabkan pakan yang dikosumsi ulat hongkong tidak tercemar pestisida organoklorin. Paparan pestisida organoklorin pada ulat hongkong biasanya berasal dari pakan yang diberikan pada ulat hongkong seperti polard dan dedak padi. Pollard adalah ampas penggilingan dari gandum yang dapat digunakan sebagai pakan ternak (Maynard dan Loosli 1973). Menurut Damayanthi et al. (2006), dedak merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi. Tanaman gandum dan padi tidak lepas dari cemaran pestisida, namun penggunaan pestisida oleh petani sesuai dengan dosis tanaman, hal ini terbukti pada ulat hongkong yang mengkonsumsi polard dan dedak tidak terdeteksi cemaran pestisida organoklorin. Bila ada cemaran pestisida organoklorin, namun dalam jumlah sangat sedikit. Houbraken et al. (2016) menyatakan bahwa pakan serangga yang terkontaminasi pestisida dengan konsentarasi tinggi lebih sulit diekresikan dan sudah terakumulasi dalam tubuh ulat hongkong. Mackay et al. (2013) menambahkan bahwa ulat hongkong dapat mengekskresikan lebih mudah dari tubuhnya bila paparan pestisida dengan konsentrasi rendah. Hasil pengujian cemaran pestisida organoklorin pada tepung ulat hongkong menunjukkan tidak terdeteksi. Hal ini disebabkan ulat hongkong yang digunakan pada pembuatan tepung tidak terkontaminasi pestisida organoklorin maka pada tepung ulat hongkong juga terbukti tidak terdeteksi pestisida organoklorin. Apabila pada tepung ulat hongkong terdeteksi cemaran pestisida organoklorin, berarti pada proses pengolahan tepung ulat hongkong tidak sesuai dengan SOP yang berlaku. Winarno dan Surono (2002) menyatakan bahwa salah satu prinsip sanitasi yang diterapkan SOP yaitu tidak menggunakan pestisida ketika proses pengolahan berlangsung untuk membunuh hama yang mengganggu. Selain tepung ulat hongkong, MBM yang digunakan pada pakan juga dilakukan pengujian pestisida organoklorin. MBM komersial yang digunakan dalam penelitian tidak terdeteksi pestisida organoklorin. Apabila bahan baku tidak mengandung pestisida organoklorin tetapi memungkinkan MBM terkontaminasi
14
pestisida organoklorin, jika proses pengolahan MBM tidak mengikuti SOP yang berlaku. Salah satu proses pengolahan MBM yang mengakibatkan kontaminasi pestisida organoklorin adalah adanya hama yang mengganggu seperti lalat, sehingga petugas menyemprotkan pestisida untuk mengusir hama tersebut saat proses pengolahan sedang berlangsung. Pakan disusun atas bahan baku MBM, ulat hongkong, jagung dan bungkil kedelai serta bahan pakan lainnya. Pakan ini juga diuji kandungan pestisida organoklorin. Hasil uji pada pakan R0 dan R1 adalah tidak terdeteksi cemaran pestisida organoklorin. Hal ini disebabkan sumber pestisida organoklorin dalam pakan R0 dan R1 adalah bahan baku lainya jagung, kedelai dan dedak padi. Bahan baku tersebut kemungkinan besar tercemar pestisida tetapi para petani menggunakan pestisida sesuai dengan anjuran penggunaannya dalam ambang batas yang ditetapkan sehingga kadar pestisida dalam pakan jumlahnya sangat sedikit atau tidak ada pestisida sehingga tidak terdeteksi. Aulakh et al. (2006) menunjukkan bahwa pakan unggas yang tercemar pestisida bisa menjadi salah satu sumber utama terakumulasi residu dalam tubuh ayam dan telur. Ayam yang telah diberi pakan R0 dan R1 kemudian dikumpulkan ekskretanya untuk mengetahui cemaran pestisida organoklorin dalam ekskreta tersebut. Hasil pengujian cemaran pestisida organoklorin pada ekskreta ayam yang diberi pakan R0 dan R1 tidak tedeteksi. Hal ini menunjukkan selain pakan yang dikonsumsi oleh ayam adalah air juga tidak terdeteksi pestisida. Selama pemeliharaan ayam broiler, tidak menggunakan obat semprot serangga sehingga lingkungan pemeliharaan bebas dari pestisida organoklorin. Ekskreta ayam hasil penelitian ini aman digunakan sebagai pupuk. Menurut Zhao et al. (2013) bahwa kotoran ayam yang terkontaminasi pestisida baik digunakan sebagai pupuk di bidang pertanian untuk mencegah cemaran pestisida di lahan pertanian. Cemaran E. coli E. coli salah satu spesies dari genus Escherichia, berbentuk batang, gram negatif, tidak menghasilkan spora, dan membentuk koloni berwarna merah dapat tumbuh secara anaerob maupun aerob (Gyles et al. 2010). E. coli merupakan bakteri yang paling umum penyebab infeksi melalui makanan. E. coli merupakan bakteri yang normal hidup pada saluran pencernaan ayam dan dari jumlah tersebut 10-15% merupakan E. coli yang berpotensi menjadi patogen (Barnes et al. 2003). Infeksi E. coli pada ayam dikenal dengan istilah colibacillosis yang hidup pada 22-28 hari (Gyles et al. 2010). Gejala klinis colibacillosis adalah lesu, bulu kusam, sesak napas, dan diare yang menyebabkan bulu di sekitar anus lengket (Tamalludin 2012). Hasil penelitian cemaran bakteri E. coli dalam ulat hongkong bernilai MPN < 3 g-1, artinya dalam sampel ulat hongkong diperkirakan setidaknya mengandung kurang dari tiga unit tumbuhbakteri E. coli pada setiap gramnya. Semakin kecil nilai Most Protable Number (MPN), maka sampel makin baik, dan layak dikonsumsi sebagai sumber pakan ternak. Metode MPN memiliki limit kepercayaan 95% (FDA 2002). Pada ulat hongkong, E. coli berasal dari pakan dan feses ulat hongkong karena dalam pemeliharaan ulat hongkong, pakan dan kotoran tercampur menjadi satu tempat pemeliharaannya. Peternak ulat rajin membersihkan dan memindahkan ulat hongkong ke kotak pemeliharaan lainnya.
15
Sehingga E. coli yang di uji dalam jumlah dibawah ambang batas bahaya. Menurut Baylis et al. (2011) bahwa bakteri ini dapat sering dijumpai dalam jumlah besar, melalui feses ke lingkungan. Proses pembuatan tepung ulat hongkong yang tidak tepat biasanya akan tercemar bakteri seperti E. coli. Oleh karena itu tepung ulat hongkong dilakukan pengujian uji cemaran E. coli. E. coli dalam sampel tepung ulat hongkong diperkirakan mengandung kurang dari 3 unit tumbuh dalam setiap gramnya. Hal ini dikarenakan pada proses pengolahan tepung ulat hongkong dilakukan pemanasan suhu 88-100 ºC selama 45 menit, pengepresan dan oven dengan suhu 60 ºC selama 24 jam yang dapat meminimalkan berkembang bakteri E. coli. Pada proses ini bakteri E. coli mati karena tidak tahan suhu pemanasan yang tinggi. Blackburn et al. (2003) menyebutkan bahwa batas kehidupan bakteri patogen E. coli pada suhu maksimum 44 sampai 46 ºC. MBM yang digunakan pada pakan penelitian ini, khususnya pada pakan R0 juga dilakukan pengujian cemaran bakteri E. coli. Hasil pengujian juga tidak menunjukkan tidak adanya E. coli yang terdeteksi. Proses pengolahan MBM hampir sama dengan proses pengolahan tepung ulat hongkong, yaitu melalui proses pemasakan. Namun, pada MBM menggunakan suhu 115-146 °C selama 40 menit (Meeker dan Hamilton 2006). E. coli tidak mampu hidup pada suhu yang sangat tinggi. Nilai MPN < 3 g-1 bahwa E. coli dalam sampel MBM diperkirakan mengandung kurang dari 3 unit tumbuh tiap gramnya. Pencampuran bahan baku untuk memperoleh pakan juga kemungkinan dapat tercemar E. coli. Hasil pengujian E. coli dalam pakan R0 dan R1 memiliki nilai MPN sebesar < 3 g-1, artinya nilai MPN E. coli masih di bawah ambang batas normal. Sumber E. coli dari pakan R0 dan R1 bisa berasal dari proses penyimpanan pakan di gudang penyimpanan. Menurut Dwidjoseputro (1978), pencemaran E. coli dapat muncul dalam kondisi lingkungan yang lembab dan terbuka. Faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri, karena setiap bakteri mempunyai kisaran suhu dan suhu optimum tertentu untuk pertumbuhannya. E. coli merupakan bakteri yang dapat tumbuh baik pada suhu antara 46-80 oC, dengan suhu optimum dibawah temperatur 37 oC. Ekskreta ayam yang diberikan pakan R0 dan R1 juga dilakukan pengujian pada cemaran E. coli dan hasilnya memiliki nilai MPN bakteri E. coli < 3 g-1, artinya dalam sampel ekskreta ayam yang diberikan pakan R0 dan R1 diperkirakan setidaknya mengandung kurang dari tiga unit tumbuh E. coli pada setiap gramnya E. coli. Sumber pencemaran E. coli dari ekskreta berasal dari pakan dan air minum yang dikonsumsi ayam (Barnes et al. 2003). Penggunaan air minum selama penelitian sesuai dengan standar baku bersih menurut SNI 01-3553 tahun 2006 tentang standar mutu air minum dan Peraturan Menteri Kesehatan No.907/Menkes/SK/VII/2002, menyatakan bahwa air minum harus memenuhi persyaratan tingkat kontaminasi nol untuk keberadaan bakteri E. coli. Doyle dan Beuchat (2007) menambahkan bahwa penyebaran E. coli melalui air minum lebih dominan karena air minum merupakan media yang mudah membawa E. coli masuk ke dalam tubuh ayam. Pemeliharaan ayam selama penelitian selalu dijaga sanitasinya, sehingga pencemaran E. coli menjadi minim. Manajemen pemeliharaan ayam yang tidak terkontrol, maka bakteri E. coli mudah berkembang. Doyle dan Beuchat (2007) menambahkan, bahwa sumber kontaminasi E. coli dapat berasal dari air, udara, tanah, peralatan dan transportasi.
16
Penularan penyakit E. coli dari kondisi lingkungan yang basah dan kotor. Tabbu (2000), berpendapat bahwa faktor pendukung timbulnya colibacillosis meliputi sanitasi yang kurang optimal, sumber air minum yang tercemar bakteri, sistem perkandangan dan peralatan kandang yang kurang memadai. Kualitas udara yang buruk dan stres akibat infeksi virus, racun, atau kekurangan gizi dapat membahayakan pertahanan kekebalan ayam sehingga memicu perkembangan E. coli . Bakteri E. coli biasanya berkoloni di saluran pencernaan dalam beberapa jam setelah masuk ke dalam tubuh. Namun, strain non patogenik dari E. coli bisa menjadi patogen, ketika adanya gangguan di dalam pencernaan serta menurunnya kekebalan tubuh pada inangnya (Chauvin et al. 2005). Menurut Barnes et al. (2003), ayam yang terinfeksi colibacillosis menunjukkan gejala lemah, merunduk, dan nafas terdengar mengorok. Penyebab penyakit ini karena bakteri E. coli memiliki sifat oportunistis. Artinya adalah secara normal E. coli terdapat pada saluran pencernaan ayam dalam jumlah yang terkendali, tetapi saat kondisi ayam menurun akibat stres bisa berkembang menjadi patogen. Akibatnya, apabila disekresikan bersama ekskreta dapat mencemari lingkungannya, terutama pada kandang sistem litter. Jumlah E. coli berdasarkan nilai MPN g-1 pada ulat hongkong, tepung ulat hongkong, pakan R0 dan R1 serta pada ekskreta R0 dan R1, sama-sama memiliki nilai MPN sebesar < 3 g-1. Menurut Gustiani (2009) mengatakan bahwa memperbaiki sanitasi terutama lingkungan, merupakan salah satu solusi terbaik dalam mengantisipasi cemaran mikroba. Sanitasi yang buruk yang menyebabkan air tercemar ekskreta yang mengandung kuman penyakit menyebabkan terjadinya waterborne disease ataupun foodborne disease. Secara ringkas hasil penelusuran uji cemaran E. coli pada bahan-bahan tersebut ditemukan dalam konsentrasi jauh dibawah ambang batas aman. Cemaran Salmonella sp. Salmonella sp. merupakan salah satu mikroorganisme yang paling umum menyebarkan penyakit melalui makanan di seluruh dunia dan merupakan masalah bagi industri perunggasan (Hungaro et al. 2013). Salmonella sp. merupakan gram negatif yang tidak berspora dan bakteri patogen usus dari keluarga Enterobacteriaceae. Salmonella sp. terdapat dimana-mana sebagai agen zoonotic (EFSA 2015)a. Salmonella sp. berbentuk batang kecil dan tumbuh dengan optimum pada suhu 35 °C sampai 37 °C. Salmonella sp. diklasifikasikan dalam dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Ternak unggas dapat diinfeksi oleh berbagai jenis dari Salmonella enterica, beberapa jenisnya seperti S. pullorum dan S. gallinarum merupakan bakteri spesifik yang dibawa oleh ayam, adapun jenis lainnya seperti S. typhimurium, S. enteritidis, dan S. heidelberg dapat menginfeksi lebih banyak inang seperti unggas, babi, sapi, telur serta produk segar lainnya. Hasil pengujian Salmonella sp. pada ulat hongkong menunjukkan tidak ditemukan bakteri Salmonella sp. Penelitian Vandeweyer et al. (2016) menunjukkan bahwa ulat hongkong dari tujuh perusahaan di Belgia dan Belanda, termasuk lima perusahaan khusus produksi pangan untuk manusia dan dua perusahaan untuk produksi pakan hewan pemeliharaan, semua sampel tidak ditemukan Salmonella sp. Grabowski et al. (2014) juga menyatakan tidak
17
ditemukan bakteri Salmonella sp. dalam sampel ulat hongkong. Temuan ini berbeda dengan penelitian Crippen et al. (2012); EFSA (2015); Rumpold dan Schlüter (2013); Zheng et al. (2012) yang menyatakan bahwa serangga mengandung mikroorganisme patogen seperti Salmonella sp. Vandeweyer et al. (2016), menjelaskan bahwa cemaran mikroba di serangga segar pada umumnya tinggi. Faktor yang mempengaruhi jumlah mikroba dalam serangga adalah pakan dan lingkungan tempat pemeliharaan serangga (Yun et al. 2014). Ulat hongkong yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dalam kondisi bersih dan pakan yang bersih. Hasil survey ke lokasi peternakan ulat hongkong membuktikan bahwa peternak sangat menjaga sanitasi tempat pemeliharaan ulat hongkong sehingga tidak kotor dan bau. Li et al. (2016) menyatakan bahwa faktor kebersihan dapat mempengaruhi jumlah mikroba pada serangga. Tabel 3 menunjukkan bahwa tepung ulat hongkong tidak terkontaminasi Salmonella sp. Hal ini berarti pakan yang dikonsumsi oleh ulat hongkong tidak terkontaminasi Salmonella sp., disamping itu tempat pemeliharaannya juga tidak ada Salmonella sp. Pada proses pengolahan tepung juga sesuai dengan SOP. Penerapan sanitasi yang bersih, peralatan yang bersih, tidak adanya binatang disekitar proses pengolahan, sehingga meminimalkan mikroba yang ada. Begitu pula pada MBM, hasil uji cemaran Salmonella sp. menunjukkan MBM tidak terkontaminasi bakteri tersebut. Proses pengolahan MBM komersil oleh perusahaan industri sudah menggunakan biosekuriti yang baik. Perusahan industri MBM dalam proses pengolahannya menggunakan suhu antara 240-295 °F atau 115-146 °C (Breitmeyer et al. 2006). Torres et al. (2011) menyebutkan kontaminasi Salmonella sp. disebabkan oleh beberapa faktor seperti debu, kehadiran vektor hewan dan kondisi kebersihan yang buruk, dapat berkontribusi untuk kontaminasi selama proses pengolahan. Pakan yang dihasilkan pada penelitian ini dilakukan pengujian cemaran Salmonella sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan R0 dan R1 bebas dari cemaran Salmonella sp. Hal ini menunjukkan bahwa campuran pakan R0 dan R1 tidak tercemar bakteri Salmonella sp. Bakteri Salmonella sp. tidak terdeteksi disebabkan selama proses formulasi pakan dilakukan di ruang tertutup dengan menggunakan peralatan bersih. Selain ulat hongkong dan MBM, Salmonella sp. juga tidak ditemukan dalam campuran pakandalam pakan seperti jagung, kedelai, dan dedak padi sehingga pakan aman dikonsumsi oleh ayam broiler. Namun, data yang diperoleh dariindustri pakan menyatakan bahwa semua bahan pakan, termasuk protein nabati dan biji-bijian, mungkin terkontaminasi Salmonella sp. (EFSA 2015). Salmonella sp. dapat menyebabkan salmonellosis, yang dapat menyerang hewan maupun manusia. Penyakit ini dapat ditularkan melalui makanan yang terkontaminasi oleh Salmonella sp. (foodborne disease). Salmonellosis merupakan penyakit yang bersifat zoonotik. Sumber penyebaran bakteri Salmonella sp. berupa ekskresi hewan dan manusia baik dari hewan ke manusia maupun sebaliknya (Gyleset al. 2010). Berdasarkan hasil uji bahwa ekskreta dari ayam yang diberikan pakan R0 maupun R1 bebas dari Salmonella sp. Hal ini menunjukkan bahwa pakan dan air minum yang dikonsumsi oleh ayam tidak ada indikasi cemaran Salmonella sp. Selama penelitian, sanitasi lingkungan kandang juga dijaga dengan baik, litter selalu diganti, lantai dibersihkan, tempat pakan dan tempat minum setiap hari dicuci,serta membersihkan dan membuang ceceran
18
pakan agar tidak terkontaminasi mikroorganisme. Hal ini didukung dengan pendapat Ferreira et al. (2003), menyebutkan biosekuriti di peternakan harus terlaksana dengan baik agar cemaran mikroba dapat diminimalkan. Habitat Salmonella sp. berada di dalam alat pencernaan manusia, hewan, dan bangsa burung. Pencemaran bakteri ini melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi Salmonella sp. dan dikeluarkan melalui alat pencernaan penderita. Salmonella sp. berkambang biakdi dalam alat pencernaan penderita, sehingga terjadi radang usus (enteritis). Salmonella sp. ini yang menimbulkan diare, karena menghasilkan racun cytotoxin dan enterotoxin (Dharmojono 2001). Infeksi Salmonella sp. pada manusia adalah salmonellosis yang disebabkan oleh dua jenis Salmonella sp. (S. enteritica dan S. bongori). Infeksi S. enteritis pada manusia merupakan infeksi akut dengan gejala gastroenteritis, demam, diare, kram perut, sakit kepala mual dan muntah (Dharmojono 2001). Salmonellosis pada manusia yang terkenal adalah demam tifoid dan demam paratifoid (typus) yang disebabkan oleh masing-masing bakteri S. typhimurium dan S. paratyphi A dan B, yang umumnya ditularkan melalui susu, telur dan air minum dan bahan makanan lainnya yang tercemar oleh kaluaran hewan atau orang penderita (animal and human carries). Keluaran ini berasal dari alat pencernaan berupa feces. Infeksi S. enteritidis pada peternakan ayam petelur (layer) mengakibatkan penurunan produksi telur, sedangkan pada peternakan pembibitan (Grandparent stock/ GP) mengakibatkan penurunan daya tetas telur dan tingginya kematian embrio (Hang’ombe et al. 1999). Penularan mikroba ini terjadi dari induk yang sakit ke anak melalui telur dan penyebaran dari ayam yang sakit ke ayam sehat, melalui makanan, minuman dan peralatan yang terkontaminasi, feses, tikus, serangga, dan lingkunan kotor menjadi sumber pencemaran (Harada et al. 1998). Penyakit pullorum merupakan penyakit unggas yang ditularkan melalui telur, terutama pada ayam dan kalkun yang ditandai dengan berak putih dan kematian tinggi pada unggas muda. Unggas dewasa bertindak sebagai karier. Penyakit pullorum terutama menyerang ayam umur dibawah satu bulan serta unggas lain. Penyakit pullorum tersebar dunia (Purnomo 2004). Penyakit pullorum dapat menyebabkan produksi telur turun, daya tunas (fertilitas) telur rendah, daya tetas rendah, kematian embrio tinggi, kematian anak ayam dibawah empat minggu mencapai 90%, dan menyebabkan kematian pada ayam dewasa.
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Cemaran kadmium, pestisida organoklorin, dan Salmonella sp. tidak ditemukan dalam ulat hongkong, tepung ulat hongkong (defatted), pakan yang mengandung tepung ulat hongkong (defatted) dan ekskreta ayam broiler yang diberi tepung ulat hongkong (defatted). Cemaran E. coli ditemukan dalam bahanbahan tersebut dengan konsentrasi jauh dibawah ambang batas aman.
19
Saran Hasil penelusuran cemaran kadmium, pestisida organoklorin, E. coli, dan Salmonella sp., bahwa tepung ulat hongkong (defatted) dapat dijadikan bahan pakan alternatif pengganti MBM.
5 DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association Official Analitycal Chemistry. 2007. Pesticide and Industrial Chemical Residue. Method of Analysis 18th Ed. Chapter 10:1-8. Maryland (US): AOAC. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Volume Impor MBM [Internet].[diunduh 2016 Oktober 10]. Tersedia pada: http: //pakan. ditjennak. pertanian. go. id. [EFSA] European Food Safety Authority. 2015. Risk profile related to production and consumption of insects as food and feed. J EFSA. 13(10):4257. [EFSA]a. European Food Safety Authority.2015. The European Union summary report on trends and sources of zoonoses, zoonotic agents and food-borne outbreaks in 2014. J EFSA. 13:4329. [FAO/WHO] Food and Agriculture Organization/ World Health Organization. 2011. Joint FAO/WHO Food Standards Programme Codex Committee on Contaminants in Foods. [Internet]. [diunduh 2016 Oktober 11]. Tersedia pada: http: //ftp. fao. org/ codex/ meetings/CCCF/cccf5/cf05_INF. [FDA BAM] Food and Drug Administration Bacteriological Analytical Manual. 2002. Enumeration of Escherichia coli and the Coliform Bacteria Chapter 4. [Internet]. [diunduh 2016 Oktober 11]. Tersedia pada: http://www. fda.gov/Food/ Food ScienceResearch/ LaboratoryMethods/ucm064948.htm. [FDA BAM] Food and Drug Administration Bacteriological Analytical Manual. 2007. Enumeration of Escherichia coli and the Coliform Bacteria Chapter 5 [Internet]. [diunduh 2016 Oktober 11]. Tersedia pada: http: //www. fda.gov/ Food/Food ScienceResearch/LaboratoryMethods/ucm070149.htm. [Menkes] Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum. Jakarta (ID): Menkes [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Standar Nasional Indonesia Nomor 013553 Tahun 2006 tentang Standar Mutu Air. Jakarta (ID): BSN. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Standar Nasional Indonesia Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Jakarta (ID): BSN. [USDA/FSIS] United States Departement of Agriculture/ Food Safety and Inspection Service. 2008. Laboratory Guidebook Notice of Change ;Most probable number procedure and tables. United States Department of Agriculture Food Safety And Inspection Service. Office of Public Health Science. [Internet]. [diunduh 2016 Nov 1]. Tersedia pada: http: //www.fsis.usda.gov/wps/wcm/connect/8872ec11-d6a3-4fcf-86df 4d87e57780f5/ MLG-Appendix 2.pdf?MOD= AJPERES.
20
[WHO] World Health Organization. 2008. Cadmium. In: Guidelines for DrinkingWater Quality, 3rd edition incorporating 1st and 2nd. Vol. 1. Recommendations. Geneva (CH): WHO. Aulakh RS, Gill JPS, Bedi JS, Sharma JK, Joia BS, Ockerman HW. 2006. Organochlorine pesticide residues in poultry feed, chicken muscle and eggs at a poultry farm in Punjab, India. J Sci Food Agri. 86(5):741-744. Barnes HJ, Vaillancourt JP, Gross WB. 2003. Colibacillosis. In: Saif Ed. Diseases of Poultry. Ames (US): Iowa Stat Pr. Baylis C, Uyttendaele M, Joosten H, Davies A. 2011. The Enterobacteriaceae and Their Significance To The Food Industry. International Life Sciences Institute.Brussels (BE): ILSI Europe. Beaumelle L, Gimbert F, Hedde M,Guérin A, Lamy I. 2015. Subcellular partitioning of metals in Aporrectodea caliginosa along a gradient of metal exposure in 31 field contaminated soils. J Sci Totenv. 520:136-145. Blackburn C, Mc Clura P, Betts R, Legan D, Vandeven M, Stewart C, Ross T. 2003. Foodborne Pathogens: Hazards, Risk Analysis, and Control. Cambridge (GB): Woodgead. Breitmeyer RE. 2006. The Rendering Industry’s Biosecurity Contribution to Public and Animal Health. Essential Rendering. Arlington (US): Darling International. Charlton AJ, Dickinson M, Wakefield ME, Fitches E, Kenis M, Han R, Zhu F, Kone N, Grant M, Devic E, Bruggeman G, Prior R, Smith R. 2015. Exploring the chemical safety of fly larvae as a source of protein for animal feed. JIFF. 1(1):7-16. Chauvin C, Leneveu LBS, Hard A, Haguet D, Orand JP, Sanders P, 2005. An original system for the continuous monitoring of antimicrobial use in poultry production in France. J Vet Pharmacol Ther. 28:515-523. Crippen TL, Zheng L, Sheffield CL, Tomberlin JK, Beier RC, Yu Z. 2012. Transient gut retention and persistence of Salmonella through metamorphosis in the lesser mealworm, Alphitobius diaperinus (Coleoptera: Tenebrionidae). J Appl Microbiol. 112:920-926. Dharmojono. 2001. Limabelas Penyakit Menular Dari Binatang Ke Manusia. Jakarta (ID): Milenia popular. Doyle MP, Beuchat LR. 2007. Food Microbiology: Fundamental and Frontiers 3rd edition. Washington (US): ASM Pr. Dwidjoseputro D. 1978. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta (ID): Djambatan. Ferreira IK, Miranda S, Lunney JK. 2009. Highlight of The 8th International Veterinary Immunology Symposium. J Vet Imm. 128(1-3):1-6. Figueroa BE. 2008. Are more restrictive food cadmium standards justifiable health safety measures or opportunistic barriers to trade. An answer from economics and public health. Sci Total Environ. 389:1-9. Garcia RA, Rosentrater KA. 2008. Concentration of key elements in North American meat and bone meal. Biomass Bioenergy. 32:887-891. Grabowski NT, Jansen W, Klein G. 2014. Microbiological Status of Edible Insects Sold as Pet Feed in Germany. 1st International Conference Insects to Feed the World; 2014 May 14-17; Wageningen (Ede), The Netherlands. Wageningen (NL): Wageningen Univ.
21
Gracia RA, Rosentrater KA, Flores RA. 2006. Characteristics of north american meat and bone meal relevant to the development of non feed applications. Appl Eng Agric. 22(5):729-736. Green K, Broome L, Heinze D, Johnston S. 2001. Long distance transport of arsenic by migrating Bogong moths from agricultural lowlands to mountain ecosystems. Victorian Naturalist. 118:112-116. Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. J Litbang Pertanian. 28(3):96-100. Gyles CL, Prescott JF, Songer JG, Thoen CO. 2010. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. Iowa (US): Blackwell. Handley MA, Hall C, Sanford E, Diaz E, Gonzalez ME, Drace K, Wilson R, Villalobos M, Croughan M. 2007. Globalization, binational communities, and imported food risks: results of an outbreak investigation of lead poisoning in Monterey County, California. Am J Public Health. 97:900-906. Hang'ombe BM, Sharma RN, Skjerve E, Tuchili LM. 1999. Occurance of Salmonella enteritidis in pooled table eggs and market-ready chicken carcasses in Zambia. Reseach Note. Avian Dis. 43:597-599. Houbraken M, Spranghers T, Clercq P, Cooreman AM, Couchement T, De Clercq G, Verbeke S, Spanoghe P. 2016. Pesticide contamination of Tenebrio molitor (Coleoptera: Tenebrionidae) for human consumption. J Food Chem. 201:264-269. Hungaro HM, Mendonca RCS,Gouvea DM, Vanetti MCD, Pinto CLO. 2013. Use of bacteriophages to reduce Salmonella in chicken skin in comparison with chemical agents. J Food Res. 52:75-81 Latimer JW, Siegel HS. 1977. DDT and metabolites accumulation in adrenal, liver and brain in broiler chickens. Poult Sci. 56:1622-1626. Leeson S, Summers JD. 2005. Commercial Poultry Nutrion 3th Edition. Canada (CA): Nottingham Univ Pr. Li L, Xie B, Dong C, Wang M, Liu H. 2016. Can closed artificial ecosystem have an impact on insect microbial community? A case study of yellow mealworm (Tenebrio molitor L). Ecol Eng. 86:183-189. Li Y, Wang YB, Gou X, Su YB, Wang YG. 2006. Risk assessment of heavy metals in soils and vegetables around non-ferrous metals mining and smelting sites, Baiyin, China. J Environ Sci. 18(6):1124-1134. Lindqvist L, Block M. 1995. Excretion of cadmium during moulting and metamorphosis in Tenebrio molitor (Coleoptera; Tenebrionidae). Coma Biochum Phvsiol.11:325-328. Lindqvist L. 1992. Accumulation of cadmium, copper, and zinc in five species of phytophagous insects. Environ Entomol. 21:160-163. Liu SY, Cowieson AJ, Selle PH. 2016. The influence of meat and bone meal and exogenous phytase on growth performance, bone mineralisation and digestibility coefficients of protein (N), amino acids and starch in broiler chickens. Anim Nutr. 2:86-92. Mackay D, Arnot J, Gobas AF, Powell DE. 2013. Mathematical relationships between metrics of chemical bioaccumulation in fish. Environ Toxicol Chem. 32:1459-1466.
22
Makkar HP, Tran G, Heuzé V, Ankers P. 2014. State of the art on use of insects as animal feed. J Anim Feed Sci Technol. 197:1-33. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2013. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Pr. Meeker DL, Hamilton CR. 2006. An overview of the rendering industry: Essential rendering. National Renderers Association. Alexandria (US): Darling International. Merrington G, Winder L, Green I. 1997. The uptake of cadmium and zinc by the bird-cherry oat aphid Rhopalosiphum padi (Homoptera: Aphididae) feeding on wheat grown on sewage sludge amended agricultural soil. J Environ Pollut. 96:111-114. Miglioranza, Karina SB, Julia E, Aizpun, Victor J. 2002. Dynamic of organochlorine pesticides in Soils from a Southeastern region of Argentina. Environ Toxicol Chem. 22:712-717. Mullin MP. 2004. A Pocket Guide to Poultry Health and Disease. Sheffield (GB): 5M Enterprises. Mutucumarana RK, Ravindran V. 2016. Measurement of true ileal phosphorus digestibility in meat and bone meal for broiler chickens using the direct method. J Animal Feed Sci. 219:249-256 Novaes CG, Bezerra MAB, Silva EGPD, Santos AMPd , Romão ILDS, Neto JHS. 2016. A review of multivariate designs applied to the optimization of methods based on inductively coupled plasma optical emission spectrometry (ICP OES). J Micro Chem. 128:331-346. Purnomo J. 2004. Variasi tipe antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak. Wartazoa. 14:143-159. Ramos EJ, Gonzalez EA, Hernandez AR, Pino JM. 2002. Use of Tenebrio molitor (Coleoptere: Tenebrionidae) to recycle organic wastes and as feed for broiler chickens. J Econ Entomol. 95:214-220. Rotter BA, Frohlich A, Rotter G, Marquardt R. 1989. Research Note: Estimation of Apparent Protein Digestibility Using Uric Acid-Corrected Nitrogen Values in Poultry Excreta. Poult Sci. 68:327-329. Rumpold BA, Schlüter OK. 2013. Nutritional composition and safety aspects of edible insects. Mol Nutr Food Res. 57:802-823. Shivaprasad HL. 2000. Fowl typhoid and pullorum disease. Rev Sci Tech. 19:405424. Tabbu CR. 2000. Penyakit ayam dan Penanggulangannya Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. Yogyakarta (ID): Kanisius. Tamalludin F. 2012. Ayam Broiler, 22 Hari Panen Lebih Untung. Jakarta (ID): Penebar Swadaya Torres GJ, Piquer FJ, Algarra L, de Frutos C, Sobrino OJ. 2011. The prevalence of Salmonella enterica in Spanish feed mills and potential feed related risk factors for contamination. Prev Vet Med. 98(2-3):81-87. Tyagi P, Edwards, Dwayne, Coyne MS. 2007. Use of selected chemical markers in combination with a multiple regression model to assess the contribution of domesticated animal sources of fecal pollution in the environment. J Chemosphere. 69(10):1617-1624.
23
Vandeweyer D, Crauwels S, Lievens B, Van Campenhout L. 2016. Microbial counts of mealworm larvae (Tenebrio molitor) and crickets (Achetadomesticus and Gryllodes sigillatus) from different rearing companies and different production batches. J Ij Food Micr. 242:13-18. Vijver M, Jager T, Posthuma L, Peijnenburg W. 2003. Metal uptake from soils and soil sediment mixtures by larvae of Tenebrio molitor L (Coleoptera). J Ecotoxic & Environ Safe. 54:277-289. Voogt De, Hattum VB, Fenstra, JF, Peereboom CJW. 1980. Exposure and Health Effects of Cadmium. To Enviro Vhemist Rev. 3:89-100. Widowati W, Sastiono A, Jusuf RR. 2008. Efek Toksik Logam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Yogyakarta (ID): Andi. WinarnoFG, Surono. 2002. GMP Cara Pengolahan Pangan yang Baik. Bogor (ID): M Brio. Yoo J, Hwang JS, Goo TW, Eun YY. 2013. Comparative Analysis of Nutritional and Harmful Components in Korean and Chinese Mealworms (Tenebrio molitor). JKFN. 42(2):249-254. Yun JH, Roh SW, Whon TW, Jung MJ, Kim MS, Park DS, Yoon C, Nam YD, Kim, YJ, Choi JH, Kim JY, Shin, NR, Kim SH, Lee WJ, Bae JW. 2014. Insect gut bacterial diversity determined by environmental habitat, diet, developmental stage, and phylogeny of host. Appl Environ Microbiol. 80:5254-5264. Zhao ZR, Li Y, Liu H. 2013. Feasibility of feeding yellow mealworm (Tenebrio molitor L.) in bioregenerative life support systems as a source of animal protein for humans. Acta Astronaut. 92:103-109. Zheng L, Crippen TL, Sheffield CL, Poole TL, Yu Z, Tomberlin JK. 2012. Evaluation of Salmonella Movement Through the Gut of the Lesser Mealworm, Alphitobius diaperinus (Coleoptera: Tenebrionidae). VBZ. 12:287-292. Zhuang P, Zou H, Shu W. 2009. Biotransfer of heavy metals along a soil-plantinsect-chicken food chain: Field study. J Environ Sci. 21:849-853.
24
LAMPIRAN
25
Lampiran 1 Hasil analisis uji cemaran pada ulat hongkong oleh PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor
26
Lampiran 2 Batas maksimum cemaran pestisida organoklorin (mg/kg) Groups and examples of individual products to which the MRLs apply
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Soyabeans Maize/corn Rice (plants) Wheat (f) poultry Muscle Fat tissue Liver Kidney Edible offals (other than liver and kidney) Others Chicken (eggs) ADI (mg/kg bw) *
0.01 0.01 0.01 0.01 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.02 0.0001
0.01 0.01 0.01 0.01 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.02 0.0001
0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0-0.005
0.05 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02
0.01 0.02 0.02 0.02
0.01 0.01 0.01 0.1 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0-0.02
0.05 0.05 0.05 0.05 1 1 1 1 1 1 1 0.05 0.01
0.05 0.05 0.05 0.05 1 1 1 1 1 1 1 0.05 0.01
0.05 0.05 0.05 0.05 1 1 1 1 1 1 1 0.05 0.01
0.5 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.006
0.01 0.01 0.01 0.01 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.005 0,0002
0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.07
0.02 0.01 0.01 0.01 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.02 0.0001
0.05 0.02 0.02 0.02
0.02 0.01 0.01 0.01 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.02
0.01 0.01 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
0.1 0.1 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0-0.002
17
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.02
18
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.01
19
20
21
0.02
0.02
0.02
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.005 0.0005
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.005 0.0005
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.005 0.0005
Sumber: UE(http://ec.europa.eu/food/plant/pesticides/eu-pesticides-database/public/?event=pesticide.residue.selection&language=EN), WHO/FAO (Codex international Food standart http://www.fao.org/fao-who-codexalimentarius/standards/pestres/pesticides/en/)
Keterangan: 1.Heptachlor 2.Heptachlor epoxide 3.Lindane (Gamma-isomer) 4. Quintozene 5. Tecnazene 6. Dicloran
7. Chlorothalonil 8. DDT 9. 4,4-DDD 10. 4,4-DDE 11. Endosulfan (alpha,beta, sulphate)
12. Endrin 13. Tolclofos-methyl 14. Aldrin and Dieldrin 15. Dicofol 16. Hexachlorobenzene
17. (HCH)alpha-isomer 18. (HCH)beta-isomer 19. Oxychlordane 20. Cis chlordane 21. Trans-chlordane
27 27 Lampiran 3 Gambar materi penelitian
a
b
c
d
e
f
Keterangan: a. Ulat hongkong d. Meat and Bone Meal (MBM)
b. Ulat hongkong kering c. Tepung ulat hongkong (defatted) e. Kandang koloni f. Kandang individu
28
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Padang, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 09 Agustus 1984 dari pasangan Bapak M. Panjaitan dan Ibu Ningsih. Penulis adalah anak ke dua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya melalui Jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK). Selama kuliah hingga lulus tahun 2006, penulis aktif dalam kegiatan organisasi kampus dan luar kampus seperti persekutuan mahasiswa kristen (PMK-Eklesia), Unit Aktivitas Kerohanian Kristen (UAKK-UB), Persekutuan Pemuda GKI Malang, Perkantas serta kegiatan bakti sosial. Tahun 2010 penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah. Tahun 2014 penulis mendapat SK tugas belajar dan diterima sebagai mahasiswa Magister di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis merupakan penerima Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2014. Penulis juga memperoleh beasiswa penelitian dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Kementrian Keuangan, Republik Indonesia untuk Beasiswa Tesis tahun 2016. Karya ilmiah yang berjudul Investigation of Cadmium Contamination in Mealworm, Ration and Broiler’s Feces yang merupakan bagian dari tesis ini telah diseminarkan secara oral pada tanggal 17-19 November 2016 di The 1st International conference Technology on Bioscience and Social Science 2016, Universitas Andalas Padang Sumatra Barat yang bekerjasama dengan Universitas Putra Malaysa dan Prince of Songkia University Thailand.