ilang tidak mengenal ayah kami. Dan, meskipun satu atau dua kali dalam setahun kami mengunjungi ayah kami, yang tinggal di Pennsylvania, adikku selalu mendambakan hubungan ayah dan anak yang stabil. Aku berusaha memberikan hal itu kepadanya namun tidak berhasil. Dia tinggal bersama ayah kami pada awal tahun keduanya di SMA. Dia merasa bahagia di sana, namun pada suatu malam, enam bulan setelah dia pindah, dengan berbekal SIM baru di tangan, dia menabrak tiang listrik dan meninggal di tempat kejadian. Ibuku tidak pernah pulih; sejak awal dia tidak ingin adikku tinggal bersama ayahku, dan selama beberapa tahun kemudian, ibuku yang manis, penuh kasih sayang, dan rapuh terpuruk dalam alkoholisme. Sepasukan perawat pun tak mampu menyelamatkannya. Namun, tentu saja aku tidak menceritakan semua itu kepada Karen. Aku telah terbiasa menangkal pertanyaan-pertanyaan serupa yang muncul selama terapi. Penting untuk memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan Karen menunjukkan bahwa dia mengalihkan perhatiannya kepadaku dan menanamkan kepercayaannya pada perawatan. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan semacam itu juga mengindikasikan si pasien berusaha mengarahkan hubungannya dengan ahli terapinya menuju sebuah ikatan yang memberikan kesenangan, seperti dalam pertemanan. Secara langsung menyenangkan seorang pasien, seperti dalam sebuah hubungan yang sesungguhnya, hampir selalu menyabotase keefektifan hubungan terapeutik. Jika aku menyenangkannya, dia akan berhenti bercerita dan menggali perasaannya, dan justru akan memusatkan usahanya untuk menarik perhatianku. Triknya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan cara yang memenuhi alasan si pasien memberikan pertanyaan tanpa memberikan terlalu banyak informasi pribadi. “Saya senang karena kamu memberikan pertanyaan-pertanyaan ini, Karen,” aku memulai. “Tapi, sebelum saya menjawab sebagian pertanyaanmu, saya ingin sedikit membicarakan alasanmu memberi saya pertanyaan itu. Apakah kamu sudah cukup lama memikirkannya?” “Ya, beberapa di antaranya,” kata Karen. Aku tahu dia malu karena berani memberikan pertanyaan secara langsung kepadaku. Dia memandangku, namun aku balas memandangnya dan menunggu. “Saya selalu bertanya-tanya tentang hal-hal itu,” lanjut Karen. “Saya ingin tahu tentang kehidupan Anda di luar kantor ini. Seperti apakah keluarga Anda, mengapa Anda memilih pekerjaan ini Suaranya menghilang. “Jika pertanyaan-pertanyaan ini sudah mengganggumu sejak lama, mengapa kamu menganggap penting untuk menanyakannya sekarang?” Waktunya untuk diam dan menunggu lagi. Sekali lagi, untuk pertanyaan semacam ini, apa pun yang keluar dari mulut Karen, meskipun sepertinya tidak berhubungan, adalah jawabannya. Hal penting yang harus kulakukan adalah menutup mulut. Jika pasien yang bersangkutan tetap diam, hal terburuk yang mungkin kulakukan adalah menyelamatkannya dengan memberikan saran atau pertanyaan lain. Alasan mengapa pertanyaan ini sangat penting adalah karena kupikir jawaban yang sesungguhnya adalah: Karena saya mulai merasa sangat serius dan terlibat dalam perawatan ini, dan saya ingin memastikan bahwa Anda adalah orang yang tepat untuk menemani saya dalam perjalanan yang menakutkan ini. Aku penasaran ingin melihat bagaimana Karen akan mencari jawabannya. “Saya hanya memikirkan,” katanya, dengan bimbang, “bagaimana jika perawatan ini berlangsung sangat lama?” Dia menatapku untuk mencari penjelasan. “Maksudmu, apakah aku akan tetap menemanimu?” tanyaku. “Ya, apakah Anda akan tetap ada … bahkan jika Suaranya kembali menghilang. “Jika …?” “Yah, saya tidak tahu, jika …” Dia berjuang mencari katakata yang tepat, namun
aku tidak bisa menyela untuk menolongnya. “Jika Anda tidak menyukai apa yang saya katakan,” katanya pada akhirnya. “Apakah kamu takut akan mengatakan sesuatu yang menyakiti saya atau membuat saya meninggalkanmu?” “Ya,” katanya lirih. Di dalam kata “ya” itu tersembunyi kemungkinan bahwa dia memiliki rahasia kelam yang hendak diungkapkannya. Mendengar pengakuan itu, aku merasa bahwa aku dapat memberikan pertolongan untuknya. “Kamu bisa menceritakan apa pun yang kamu mau di sini. Kita berada di sini untuk berbicara. Di sini, kita tidak bertindak tetapi berbicara. Berbicara adalah perbuatan yang aman. Tidak ada perkataanmu kepada saya yang akan menyebabkan bahaya. Tindakan dapat menyebabkan bahaya. Kamu bisa membicarakan kepada saya tentang keinginanmu untuk mati; itu tidak apa-apa. Tapi, melakukan tindakan untuk memenuhi keinginananmu itu sama sekali tidak benar.” Karen memahami ucapanku dan mengangguk perlahan-lahan. “Daftar pertanyaanmu sangat menarik,” ujarku, mencermati daftar tersebut. “Ada beberapa pertanyaan biasa, seperti tentang ulang tahun saya, saudara saya, tapi yang satu ini, apakah saya pernah dianiaya? Saya bertanya-tanya, mungkinkah kamu penasaran ingin mengetahui apakah saya memiliki pengalaman yang akan membantu saya dalam mendengar dan memahami apa yang mulai kamu ceritakan kepada saya.” Pertanyaan ini berhubungan dengan, pikirku, ketakutan Karen akan mengatakan sesuatu yang bisa membuatku meninggalkannya. “Saya sungguh tertarik,” lanjutku, “untuk mendengar semua yang perlu kamu ceritakan kepada saya tentang bagaimana kamu disakiti.” Karen memandangku, sekali lagi mengangguk perlahan. Aku mencermati daftar pertanyaannya. “Apakah saya pernah diterapi? Ya, saya menjalani psikoanalisis selama sekitar sembilan tahun dengan seorang pria luar biasa yang mengajarkan banyak hal kepada saya. Beliau adalah dosen di jurusan psikoanalisis tempat saya mengajar.” Karen membelalakkan mata. Aku memberikan informasi ini kepadanya untuk dua alasan. Pertama, supaya dia tahu bahwa kuliahku mengharuskanku mengikuti terapi, dan kedua, supaya dia tahu bahwa aku merasa nyaman dengan perawatan intensif jangka panjang, yang mungkin dirasa olehnya akan diperlukannya. “Mari kita lihat,” ujarku, “apakah saya punya masalah kesehatan? Tidak. Setahu saya tidak.” Itu adalah pertanyaan lain yang berkaitan dengan “apakah aku akan tetap menemaninya,” dengan kata lain, apakah aku masih akan hidup cukup lama. Aku kembali mencermati daftar darinya. “Mengapa saya memilih menjadi psikiater? Karena ini ilmu paling menarik yang saya pelajari saat saya menjadi dokter. Tidak ada yang lebih menarik daripada memahami emosi orang lain dan menolong mereka.” Itu benar, sesungguhnya, dan aku mengatakannya kepada Karen untuk memberitahunya mengapa aku bisa terlibat sepenuhnya dalam perawatannya. “Benarkah bahwa saya belajar untuk tidak memiliki perasaan terhadap pasien saya,” ujarku. Aku menatap Karen; aku tahu bahwa pertanyaan ini sangat penting baginya. Mengetahui bahwa aku tertarik untuk memahami dirinya tidak cukup baginya; dia ingin tahu apakah aku bisa peduli padanya. Bagaimanakah aku harus menjawabnya? “Tidak, tidak benar bahwa saya belajar untuk tidak memiliki perasaan terhadap pasien saya,” ujarku. “Tentunya mustahil kita tidak memiliki perasaan.” Karen tampak sedikit lega. “Tapi, saya belajar untuk mencoba memahami perasaan itu supaya tidak terlalu mengganggu usaha saya dalam melakukan yang terbaik untuk pasien saya.” Aku melihat sisa daftar itu dan mengatakan, “Pertanyaanpertanyaan yang lain ini juga penting, tapi saya rasa hal terpenting yang harus kita pahami adalah daftar
ini menunjukkan bahwa kamu semakin mencurahkan diri dan terlibat dalam pekerjaan kita ini, dan semakin kamu membuka dirimu di sini, semakin besar kebutuhanmu untuk mengetahui apakah saya akan ada untukmu, bersedia menolongmu.” Karen memalingkan wajah dan menggigit bibir bawahnya. “Saya punya satu pertanyaan lagi,” katanya. “Ya?” Dia terdiam dengan gaya dramatis. “Apa yang salah dengan diri saya?” Dia memandangku sejenak, lalu bersandar di kursinya. Dia telah memikirkan hal ini secara cukup mendalam, kurasa. Sekarang, dia akan duduk dan menunggu. Aku menimbangnimbang cara yang tepat untuk menjawabnya. Aku tidak mau membuatnya ketakutan. “Jelas bagi saya bahwa masalahmu disebabkan oleh depresi,” aku memulai, “dan bahwa depresi ini dipicu oleh rasa sakit yang muncul setelah kamu melahirkan Sara, namun penyebab utamanya adalah hubungan-hubungan menyakitkan yang kamu jalani, dan terus kamu jalani sepanjang hidupmu.” Ini adalah bagian yang mudah. Diagnosis depresi adalah topik yang telah kami bicarakan secara terbuka selama ini. “Kamu juga menderita penyakit yang disebut gangguan kepribadian,” lanjutku, “yaitu kerusakan di seluruh struktur kepribadianmu, seperti kehilangan waktu selama periode stres yang diakibatkan oleh rasa sakit dalam hubungan usia dinimu dengan ibu dan ayahmu, dan, yang juga berperan, kakekmu.” Penjelasanku masih kabur, aku tahu, tapi aku mengatakannya seolaholah aku tahu betul apa yang sedang kubicarakan. Aku tidak mengatakan jenis kerusakannya. Aku sendiri tidak tahu secara pasti jenis kerusakannya. Tetapi, sepertinya dia menerima penjelasanku. Mengapa aku tidak langsung mengatakan kepadanya bahwa dia menderita sindrom kekacauan identitas? Karena aku pengecut. Aku tidak tahu bagaimana dia akan bereaksi, dan aku takut dia akan bereaksi dengan cara yang buruk: bahwa hal ini akan menjadi pukulan telak yang akhirnya memicunya untuk melakukan bunuh diri. Aku yakin dia akan bisa melihatnya secara lebih jelas saat dia telah siap. Sesi berikutnya luar biasa karena fakta bahwa untuk pertama kalinya dalam waktu lebih dari tiga tahun, Karen menata rambutnya karena akan bertemu denganku. Ini sepertinya hal sepele, namun peristiwa ini sungguh mengesankan. Dia sedikit lebih ceria, dan mengatakan kepadaku bahwa dia mengambil pekerjaan malam sebagai kasir di sebuah toko obat di dekat rumahnya. Katanya, dia berharap bisa melepaskan diri dari ketergantungan fnansial terhadap suaminya. Dia juga melaporkan mimpi pada malam sebelumnya. “Saya bermimpi berada di sebuah rumah sakit,” katanya, “dan saya sedang koma. Kaki saya baru saja diamputasi, dan saya sekarat. Saya tergantung pada mesin penunjang kehidupan. Dokter mengatakan bahwa saya tidak akan sadar lagi; saya akan mati. Lalu, Anda datang menjenguk dan meminta kepada semua orang untuk keluar dari kamar. Anda mulai berbicara kepada saya, membeberkan alasan-alasan saya untuk tetap hidup. Saya mendengar Anda, tapi saya tak bisa bicara, tak bisa bergerak. Saya tahu bahwa saya tidak benar-benar koma; saya hanya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tidak ingin hidup. Kemudian, Anda menggenggam tangan saya dan menyuruh saya mencoba meremas tangan Anda jika saya mendengar Anda. Saya pun melakukannya.” “Kamu meremas tangan saya?” tanyaku. “Ya, saya melakukannya,” jawabnya.
Karen bersandar di kursinya, larut dalam pikirannya sendiri. “Menurutmu, peristiwa apa yang berhubungan dengan mimpi itu?” tanyaku. “Saat berumur sebelas tahun,” dia mulai bercerita, “saya menderita radang paruparu, dan dokter mengatakan bahwa saya tidak akan mampu bertahan, tapi saya selalu berpikir akan bisa bertahan. Saya mengalami koma selama dua atau tiga minggu.” Suaranya melirih. Aku tidak yakin apakah Karen memang mengalami koma selama dua atau tiga minggu saat dia berumur sebelas tahun; mungkin itu adalah suatu episode disosiatif, namun itu tidak menjadi masalah sekarang. Inilah yang ada di dalam ingatannya. “Apa lagi?” tanyaku. Karen berpikir sejenak, lalu melanjutkan, “Kaki saya sakit baru-baru ini, di tempat kaki saya diamputasi dalam mimpi itu. Saya tidak tahu penyebabnya; saya rasa tidak ada yang salah dengan kaki saya.” “Kamu koma, tapi kamu masih tetap menyadari bahwa ada orangorang lain di kamarmu?” tanyaku. “Ya,” katanya, “saya tidak sadar, tapi saya bisa mendengar apa yang sedang terjadi.” “Kedengarannya komamu sedikit mirip dengan kehilangan waktu,” ujarku. “Yah,” katanya, “saya bisa mendengar, tapi saya tidak betul-betul ada di sana.” “Jadi, setelah saya menyuruh pergi semua orang yang menganggapmu sekarat dan tidak berdaya, saya membujukmu untuk tetap hidup, dan meskipun sedang berada dalam keadaan ‘koma1, kamu mendengar saya dan meremas tangan saya.” “Betul.” “ Aku ingin mengakhiri sesi ini pada gagasan dia meremas tanganku, yang merupakan gambaran paling kuat untuk menunjukkan bahwa dia terhubung denganku dalam hal menginginkan dirinya tetap hidup. Bahan penyusun terapi bersama Karen sangat rapuh pada titik ini. Oleh karena itu, aku ingin terus berusaha melipatgandakan benang-benang emosi positif di antara kami dan menenunnya menjadi sesuatu yang lebih kuat untuk menghindarkannya dari kerusakan yang ditimbulkan oleh orangorang dalam kehidupan Karen, atau dari kekuatan merusak yang berasal dari dalam diri Karen sendiri.[] 8 Kengerian-kengerian Masa Kecil 11 SAYA RASA saya tidak bisa melakukan ini, Dr. Baer,” kata Karen sambil bersandar di kursinya, terkulai lesu dan diam membeku. “Ceritakanlah kepada saya,” ujarku. Karen selalu putus asa. Ini adalah respons standar dariku. Karen merana. Aku menanti. “… saya memang payah,” katanya pada akhirnya. Aku diam saja untuk melihat apakah dia akan melanjutkan ucapannya. “Apa yang membuatmu mengatakan itu?” kemudian aku bertanya. Sepanjang sesi kami, aku terus berusaha mengulik setiap pernyataan, keyakinan, atau ingatan yang berkontribusi pada mantra “aku ingin mati” ini, supaya kami dapat melampaui penghalang ini dan memulai pekerjaan lainnya. Karen menggeleng, namun melanjutkan. “Ada begitu banyak alasannya.” Dia terdiam. “Saya sangat malu.” “Karena apa?” desakku.
“Saya seharusnya dihukum.” “Karena apa?” aku mendesak lagi. Karen, tampak jauh lebih risau, mengatakan, “karena mencuri.” Aku terkejut; Karen sangat takut terhadap tindakan tercela sehingga dia selalu bersikap jujur. “Mencuri?” tanyaku. Karen mengangguk. Anggukannya cukup untuk menjawab pertanyaanku, sehingga aku diam dan menanti. “Ayah saya menyuruh kami mencuri.” Aku memberinya anggukan kecil, untuk menunjukkan bahwa aku siap mendengarkan apa pun yang hendak dikatakannya, tapi aku tidak akan berpartisipasi secara aktif. Panggung ini sepenuhnya miliknya. “Ayah saya selalu mencuri bermacammacam benda, pernak-pernik, yang bisa dimasukkan ke saku.” Dia terdiam. “Dia selalu mengatakan bahwa dia mendapat ‘diskon lima jari’.” Dia kembali terdiam. Aku dapat melihat kejijikan yang mengumpul di tenggorokannya, dan dia menelannya kembali. “Beberapa di antaranya mencakup permen, penyegar napas, atau makanan,” lanjutnya. “Katanya, ‘polisi tak bisa menahan kita jika kita tertangkap dengan benda yang harganya di bawah sepuluh dolar.’” Alisnya terangkat dan membentuk seruas garis di atas matanya. “Dia juga mencuri celana dalam wanita dan bra.” Dia menatapku, tapi aku tidak memberikan respons; aku membiarkannya berjuang melawan perasaannya. Dia melanjutkan, “Beberapa tahun yang lalu, saya ingat keluar bersama keluarga saya untuk makan pizza. Anak lakilaki saya berumur sekitar sepuluh bulan. Ayah saya menawarkan diri untuk menggendongnya dan menyerahkan tas popok yang sebelumnya dia pegang kepada saya. Saat kami masuk ke mobil, saya mengatakan bahwa saya ingin mengeluarkan beberapa barang dari dalam tas, dan ayah saya tertawa. Di dalam tas popok itu ayah saya menyimpan barang-barang curiannya: sebuah tempat anggur, dua buah gelas anggur, dan empat buah perangkat makan perak. Katanya, dia membayar bendabenda itu dengan uang tip. Ayah saya selalu mencuri sesuatu saat kami makan di luar. Wadah garam dan merica, gelas, perangkat makan perakkami punya selaci penuh barang-barang semacam itu di rumah. Seolaholah dia tidak bisa pergi ke restoran tanpa mengutil sesuatu. Dia memanfaatkan kamisaya dan adikadik sayadengan menyelipkan sesuatu ke saku kami atau menyuruh kami mengambil sesuatu. Saya tidak mau melakukannya, tapi saya takut dia akan menyakiti saya jika saya menolak, jadi saya pun mau.” Karen terdiam, merasa malu setelah mengungkapkan bahwa pengutilan adalah hal biasa dalam kehidupan keluarganya. “Apakah kamu merasa seperti penjahat, sama seperti ayahmu?” aku menggunakan kata yang berkesan kuat karena itulah yang sepertinya dirasakan oleh Karen. Dia mengangguk. Bibirnya mengerut, dan air mata meluncur dari sudut matanya. “Dengan dipaksa berpartisipasi dalam pencurian yang dilakukan oleh ayahmu, kamu sepertinya merasa bahwa kamu juga seorang pencuri.” Karen kembali mengangguk. “Tapi, jika kamu tidak mematuhinya, dia akan menyakitimu,” aku melontarkan sebuah pertanyaan retoris. Karen mengangguk sekali lagi, sedikit lebih bertenaga, dan lebih banyak lagi air mata membasahi pipinya. “Apa yang bisa kamu lakukan?” Karen harus memproses situasi ini dari sudut pandang seorang dewasa. Dia mengangkat bahu, menangis lebih keras. Aku membiarkannya larut dalam keadaan ini selama beberapa menit. Aku dapat melihat dia berusaha membebaskan diri dari beban kenangan-kenangannya. “Kamu kesulitan melihat dirimu sebagai sosok yang berbeda dari ayahmu, dan itulah alasan mengapa kamu ingin mati.” Karen tidak mengangguk, tapi dia menangis lebih keras.
KETIKA ITU Maret 1993, dan Karen mengatakan kepadaku bahwa ibunya meneleponnya untuk meminta uang. Dia memberikan sedikit uang seminggu sebelumnya, berharap ibunya akan berhenti menelepon, namun dipicu oleh kelemahan Karen, ibunya justru makin sering menelepon. Setelah membuka pesan-pesannya, Karen menyerahkan ponselnya kepadaku supaya aku bisa ikut mendengarkan. Setiap pesan lebih kasar daripada sebelumnya. Karen, teleponlah ibumu. Aku harus bicara denganmu. [Bip] Telepon aku! Aku butuh sesuatu. Setelah semua yang kulakukan untukmu, kau berutang padaku! Telepon aku! Jangan kasar begitu, dasar jalang! [Bip] Ini ibumu! Telepon aku! Memangnya kenapa! Setidaknya kau bisa meneleponku. Kau berutang padaku seluruh uang yang kuhabiskan untukmu sepanjang hidupmu! Telepon aku, atau kau kuanggap mati! [Bip] Dasar pemalas gembrot! Jangan pernah minta sesen pun padaku. Kalau kau tak bisa menolongku, lebih baik cium saja pantatku! [Bip] Aku akan menelepon Dr.Baer-mu yang hebat itu dan mengatakan padanya bahwa kau tahi kucing. Andai saja kau mati saat dilahirkan! Dasar sialan! [Bip] Aku memandang Karen; dia balas memandangku dengan ekspresi malu yang telah sering kulihat. Dasar sialan, kupikir Tuhanku. “Saya sudah memberi uang untuknya sepanjang waktu, berharap dia akan menyukai saya,” kata Karen, “tapi dia justru meminta lebih banyak lagi. Dia selalu mengatakan akan mengembalikannya, tapi dia tak pernah melakukannya. Semua orang meminta uang kepada saya, semua keluarga dan teman saya. Saya tidak punya uang, tapi saya tak bisa menolak.” “Apakah kamu pernah menolak ibumu?” tanyaku. “Ya, dan karena itulah dia marah.” “Seandainya kamu memberikan uang yang dimintanya,” lanjutku, “apakah dia akan berhenti meminta?” Waktunya untuk memproses kenyataan lagi. “Tidak,” Karen langsung menjawab, “dia hanya akan diam selama beberapa hari.” “Seandainya kamu memberikan uang yang dimintanya,” aku menekannya, “apakah dia akan menyukaimu?” Karen terdiam saat mendengar pertanyaan ini. “Mungkin katanya, namun dia tahu bahwa ini tidak benar. Pengakuan memang menyakitkan. “Tidak,” katanya. Aku menanti sejenak. “Jika kamu sudah memberinya uang, dan dia tidak lebih menyukaimu, bagaimanakah perasaanmu?” tanyaku. “Saya ingin menyakiti diri saya sendiri,” jawabnya, lirih. “Jadi, apakah yang seharusnya kamu lakukan?” Dia menatapku dengan bimbang. “Tidak ada yang bisa saya lakukan.” “Itulah yang selalu ada dalam pikiranmu,” ujarku. “Kamu bisa bilang tidak.” “Dia tidak akan menyerah,” Karen pasrah. “Pada akhirnya, dia akan menyerah.”
“Tidak akan.” “Kamu sudah dewasa sekarang,” ujarku. Karen belum teryakinkan; hal ini sudah berlangsung sangat lama. Kami harus membiarkannya untuk saat ini; seorang pasien bisa saja dihadapkan pada kenyataan, namun sulit untuk meyakinkannya. Karen harus mencerna hal ini. KAREIS) TELAH banyak tertinggal dalam pembayaran tagihanku. Aku mengetahui dampak yang akan timbul pada Karen jika aku menyebutnyebut hal ini. Aku dan ibunya, samasama meminta uang kepadanya. Aku berada dalam posisi yang sulit. Jika aku memintanya untuk membayar tagihan, sebelum jumlahnya menumpuk, aku akan terlihat seolaholah meminta uang terus-menerus kepadanya, sama seperti ibunya. Jika aku diam saja, dan tagihannya semakin melambung, pada suatu titik aku harus mengungkapkannya, dan kemudian aku akan meminta lebih banyak daripada yang bisa diberikannya, sama seperti ibunya. Terdapat cava-cara yang baik, teknis, dan psikoterapeutik untuk menangani situasi seperti ini; hanya saja, aku tidak pernah menguasainya. Jadi, di suatu titik di antara menagih dan membiarkannya terlalu lama, beberapa sesi setelah Karen mengeluh tentang ibunya, akhirnya aku mengangkat topik ini. “Saya lihat kamu sudah lama tidak membayar tagihanmu,” ujarku sambil menyerahkan tagihan untuk tiga bulan terakhir kepadanya. Wajah Karen memucat, dan dia mulai menangis. “Saya memberikan uangnya kepada ibu saya. Saya selalu membayari temanteman saya,” katanya. “Ibu saya selalu mengatakan bahwa saya berutang kepadanya; sekarang saya juga berutang kepada Anda.” “Menarik sekali melihat apa yang ada di balik keterlambatanmu membayar,” ujarku, berusaha menahan suaraku supaya tidak menunjukkan kejengkelanku akibat dia memberikan uangku untuk orang lain. “Ini membuatmu merasa bahwa saya tidak berbeda dari ibumu.” Karen berpikir sejenak. Aku melanjutkan, “Ini juga membuat saya merasa seperti dirimuibumu meminta uangmu, dan ibumu meminta uang saya; kita berdua tidak menyukainya, tapi kita berdua merasa tidak berdaya untuk mencegahnya.” Karen memandangku dan nyaris tersenyum. Alihalih menganggapku sama dengan ibunya, dia sepertinya justru merasa lebih baik karena aku dan dia sekarang berada di atas perahu yang sama. Tapi, dia kembali bersedih. “Bagi Anda, ini sekadar pekerjaan,” katanya, “hanya itulah artinya.” Artinya, tentu saja, aku tidak memedulikan dirinya, hanya uangnya. “Ini bukan sekadar pekerjaan,” ujarku. “Ini pekerjaan yang sangat istimewa.” Aku tidak tahu apakah dia memercayaiku. Dia memikirkan ucapanku beberapa saat, tapi sepertinya belum merasa tenang. Kami terus berusaha memecahkan masalah keuangan ini. PENTING BAGI Karen untuk mulai melindungi dirinya sendiri dari orangorang yang pernah mengasahnya, bahkan jika dia tidak akan secara fsik meninggalkan mereka. Meskipun kadangkadang dia merasa bagaikan seorang petarung gagal tanpa adanya wasit yang bertugas menghentikan pertandingan, dia mulai menemukan cara-cara kecil untuk mempertahankan diri. Dengan ibunya, dia mulai menyaring telepon yang masuk, dan saat ibunya meninggalkan pesan yang terdengar kasar, Karen akan menghapusnya sejak awal, sebelum dia mendengar keseluruhannya. Karen mulai membuat alasan, seperti mengatakan bahwa dia harus berada di sekolah anaknya saat ibunya minta diantarkan ke suatu tempat. Dengan suaminya, Karen merencanakan kegiatan bersama anakanaknya di luar rumah di antara waktu suaminya pulang kerja dan mulai minum-minum serta saat dia telah tertidur. Manuver-manuver ini adalah upaya baru yang tidak selalu berhasil. Sering kali, dia masih menggunakan kerangka berpikir anakanak saat berhadapan dengan orangorang yang pernah mengasahnya: menerima atau mati. Jika penganiayaan yang
dialaminya tidak bisa ditoleransi lagi, dan dia tak mampu menerimanya lagi, dia ingin melakukan bunuh diri. Dalam menghadapi orangtua atau suaminya yang gemar menyiksa, dia sangat jarang bersikap dewasayang mencakup meyakinkan diri sendiri, menetapkan batasan, atau mengabaikan. Pilihan tersebut tidak nyata bagi Karen; dia menganggap tindakan-tindakan dewasa itu berada di luar kemampuannya. Tugasku adalah berusaha menjadikannya nyata. Meskipun masih diterpa oleh 112richard Baerberbagai kemalangan, Karen semakin kuat. Seiring dengan kepercayaannya kepadaku yang semakin besar, dia semakin banyak mengungkapkan rahasianya. KETIKA ITU September 1993. Karen memasuki kantorku, jelas terlihat terguncang. Udara awal musim gugur menerpanya. “Saya tidak tahu apa yang menimpa saya semalam,” kata Karen. Aku bisa melihat dia enggan membicarakannya. “Apakah yang bisa kamu ceritakan tentang hal itu kepada saya?” tanyaku. “Saya pergi ke dokter kemarin; setidaknya itulah yang ada dalam pikiran saya. Saya tidak ingat saat saya diperiksa, tapi saya menemukan obatnyaobat vagina. Saya berusaha mengikuti instruksi yang ada pada bungkusnya, dan tangan saya mulai gemetar; saya merasa panik dan mual. Saya memasukkan obat itu ke dalam tubuh saya, dan saya muntah saat selesai melakukannya. Saya tidak tahu mengapa reaksi seperti itu terjadi pada saya.” “Apakah yang ada di dalam pikiranmu ketika itu?” tanyaku. “Saya merasa seperti sedang disakiti dalam pesta orangtua saya …. Saya ingin memberi tahu Anda, tapi saya tak bisa membicarakannya.” Dia terdiam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Apakah menurutmu kamu bisa bicara ke alat perekam?” Aku ingin mencari cara supaya Karen dapat mengatakan apa yang perlu dikatakannya kepadaku; hanya saja, kami tidak punya cukup waktu untuk menantinya melakukan hal itu di kantor. “Saya rasa bisa.” MINGGU SELANJUTNYA, Karen membawakan sebuah mikrokaset untukku. Aku membawanya pulang, dan setelah makan malam, aku naik ke lantai atas rumahku untuk mendengarkannya. Di sana, secara terpatah-patah, terungkaplah cerita berikut. Ayah Karen, Martin, seorang kepala di sebuah toko kecil yang menjual perangkat mesin, menghampiri mesin cetak yang dioperasikan oleh Harry. “Memangnya siapa yang menyuruhmu mengerjakan ini?” Martin berseru meningkahi deru mesin. “Kami tidak butuh pekerjaan itu sampai minggu depan! Bangsat, Harry, kau membuatku menyesal karena telah mempekerjakanmu!” “Maafkan aku, Martin. Stan menyuruhku mengerjakannya. Dia menyuruhku mengoperasikan mesin ini,” kata Harry. Martin mengetahui hal ini; ini telah dibacakan dalam rapat pagi itu. “Bangsat, seharusnya kau lebih tahu. Tapi, karena kau yang memulai, kurasa kau juga yang harus membereskannya.” “Maafkan aku, Martin. Tolonglah, aku butuh pekerjaan ini. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” “Yah, Harry, kau tahu tidak ada orang lain yang mau mempekerjakanmu, dasar keparat bodoh! Jika bukan karena aku, kau akan jadi gelandangan. Sekarang, kau punya pekerjaan bagus. Kau berutang kepadaku. Kau berutang besar kepadaku.”
Harry menunduk. “Maafkan aku, Martin. Tolonglah, jangan marahi aku.” “Ah, sudahlah, kau tidak seburuk itu. Bagaimana kalau kau datang ke rumahku malam ini? Kita akan berpesta. Kita selalu bersenang-senang.” “Oke … ya ampun, terima kasih, Martin. Jadi, kau tidak marah?” “Tidak, datanglah pukul delapan; jangan lupa membawa bir.” Harry tiba pukul delapan, lalu dia mendengar gelak tawa dan pekikan seorang wanita saat berjalan memasuki ruang tamu. Lampu dipadamkan, lalu terdengar suara desir dan derak proyektor. Di layar, seorang wanita sedang dimasuki dari belakang saat dia memberikan seks oral kepada pria lain yang menghadap ke arahnya. Harry melihat Martin duduk menonton flm ini. Terdapat dua pasangan lain di sana. Seorang wanita duduk dengan payudara terbuka, dan dua orang pria memainkannya. “Harry, sini! Duduklah di sini.” Martin memegang kaleng bir dengan satu tangannya, dan menunjuk kursi di sebelahnya dengan tangannya yang kosong. Mata Harry membelalak memandang adegan flm di depannya. Dia duduk di samping Martin, namun matanya berkeliaran mengamati seluruh ruangan. Dia memandang si wanita yang memamerkan payudaranya. “Kau mau?” Martin bertanya. Harry menatap Martin dengan terkejut dan ragu. “Aku punya sesuatu yang istimewa untukmu, Harry, tapi kau harus membayar.” Martin tahu bahwa karena ketika itu hari Jumat, Harry tentu telah mencairkan gajinya sepulang kerja. Harry membuka sekaleng bir dan menonton flm, tapi tatapannya terus-menerus kembali ke wanita yang sedang dimainkan oleh dua orang pria di sisi lain ruangan. Terdapat seorang wanita lain yang duduk di samping salah seorang pria itu, tampak bosan dan marah. Pria di sampingnya, yang sekarang memasukkan tangannya ke celana dalam wanita yang berpayudara telanjang, meraba kaki wanita yang tampak marah itu. “Jangan sentuh aku!” desis wanita itu. Pria di sampingnya tetap membelai pahanya. Wanita itu cemberut, namun dia membiarkan si pria menyentuhnya. Dia meneguk bir di tangannya. Martin menyaksikan Harry memandang penuh nafsu pada kedua pasangan di sisi lain ruangan itu. “Beri aku lima puluh dolar, Harry, dan aku akan memberikan seorang wanita untukmu,” Martin berbisik di telinga Harry. “Oh, entahlah “Jangan sok banci, Harry. Kau tak suka wanita? Kau banci?” “Oke, Martin.” Sambil memandang wanita yang sedang dimainkan oleh dua pria, Harry merogoh dompetnya. Dia berpikir tak ada salahnya jika dia turut menggarap wanita itu. “Ikuti aku,” Martin berjalan ke koridor. Harry mengikutinya, menoleh ke arah wanita itu, yang sekarang sedang meraba penis salah satu pria yang asyik dengannya dari balik celana. Martin membawa Harry ke kamarnya. “Tunggulah di sini,” kata Martin. Harry duduk di ranjang dan menunggu wanita di ruang tamu dipisahkan dari kedua pria yang sedang menggarapnya. Karen sedang tidur di tempat tidur tingkat bersama kedua adiknya. Ketika itu dia
berumur sebelas tahun. Martin membuka pintu akordeon vinil di kamar sempit tempat ketiga anaknya tidur itu, lalu menyentuh bahu Karen. Karen terbangun kaget. “Bangun!” Martin menarik lengan Karen dan menyeretnya ke kamarnya. Harry mendongak, kaget melihat gadis kecil itu. Dia menatap Martin, dan dari ekspresi wajah pria itu, Harry menyadari bahwa dia baru saja membayar untuk berhubungan seks dengan anak perempuan Martin. “Buka bajumu,” Martin memerintah Karen yang tampak ketakutan. Karen cepatcepat mencopot piyamanya. “Jangan, Martin, sepertinya tidak Harry mulai memprotes. “Kau sudah membayar,” kata Martin. “Aku tidak mau mempekerjakan seorang banci.” Harry, yang takut kepada Martin, memandang Karen. “Sentuh dia; dia menyukainya,” kata Martin. Harry gemetar dan kebingungan, namun akhirnya dia menggapai dan meraba paha Karen …. Aku mendengarkan hingga dua menit kemudian, lalu mematikan tape dan duduk bersandar, merasakan jantungku berdegup kencang. Aku mual. Cerita ini disampaikan dalam bentuk potongan-potongan, kolase berbagai bayangan, buah pikiran, dan sensasi yang teringat. Sungguh sulit membayangkan peristiwa ini sungguhsungguh terjadi dalam kehidupan nyata. Kerusakan apakah yang tentunya terjadi pada diri Karen karena memiliki orangorang semacam itu sebagai orangtua, sebagai suri teladan? Bagaimanakah dia harus menilai dirinya sendiri, yang terpaksa berpartisipasi dalam kehidupan kotor orangtuanya? Tidak heran kalau dia ingin mati. Sungguh luar biasa dia dapat bertahan melalui semua itu. Istriku mengantar anakanak tidur. Aku ingin membantunya, menjalani kehidupanku yang normal, memandang senyuman di wajah anak-anakku saat mereka menjeritjerit dan saling mencipratkan air di bak mandi, serta memisahkan diriku dari ceritacerita mengerikan ini. Aku sebaiknya menyingkirkan tape dan mendengarkan kelanjutan kisah Karen di lain hari. Tetapi, sebagian dari diriku tergerak untuk melanjutkannya. Bagian itu menang. Ketika itu musim panas, dan Karen, dua belas tahun, mengenakan celana pendek dan kaus, berjalan dari ruang tamu menuju dapur untuk kemudian bermain di luar. Ibu dan ayahnya sedang duduk di meja dapur, bertengkar. “Aku tidak dihormati di tempat ini. Aku tidak dihormati layaknya seorang suami di mata istrinya!” Martin memelototi Katrina, lalu menatap Karen yang sedang memasuki dapur. Katrina bersikeras, “Aku hanya bilang, kita sebaiknya mencari apartemen baru-“ “Kau mau ke mana?” Martin membentak Karen, mengulurkan tangan dan menyambar payudara kiri Karen, lalu menariknya ke dekatnya. Katrina membuang muka. Karen mengernyitkan wajah kesakitan, namun tidak bersuara. “Kamu mau ke mana? Apa kamu tuli?” Martin memeganginya. “Ke rumah Donna,” kata Karen, dan ayahnya pun melepaskannya. Karen memegangi dadanya, namun ayahnya menepiskan tangannya. “Lihat dadamu itu!” kata Martin, tatapannya terpaku ke payudara Karen. “Sebesar apa dadamu? Sebesar ini?” Martin mengacungkan kedua tangannya dan membentuk mangkuk kecil dengannya. “Coba kita lihat.” Dia meraupkan kedua tangan besarnya di dada kecil Karen, lalu meremasnya dengan keras. “Apa yang sebesar ini bisa masuk ke mulut? Apa pun yang tidak cukup di mulut tidak ada gunanya.” Dia menertawakan sendiri gurauannya.
Karen berjalan perlahan menyusuri gang di antara rumahnya dan rumah tetangganya, masih memegangi payudara yang baru saja diremas oleh ayahnya. Dia berjalan setengah blok menuju halaman belakang Rumah Duka Pankratz & Sons, tempat tinggal temannya, Donna. Donna berusia sembilan tahun, tiga tahun lebih muda daripada Karen. Garasi rumahnya terbuka, dan Donna sedang bermain boneka di dalam. Garasi itu berukuran luas, cukup untuk menampung tiga buah kendaraan, namun hanya ada sebuah mobil jenazah di sana. Karen menghampiri Donna, yang sedang duduk di tangga menuju ruangan tempat pembalsaman dilakukan. Donna memegang dua boneka, berukuran besar dan kecil. “Hai,” sapa Karen sebelum duduk di samping Donna. “Hai,” balas Donna sambil memainkan bonekanya. Donna menempatkan boneka kecilnya dalam gendongan boneka yang lebih besar. “Betty sedang sedih,” kata Donna, menunjuk boneka yang lebih kecil. Karen duduk memandang Donna yang sedang membelai rambut boneka kecilnya dengan tangan boneka besarnya. “Mari kita berpurapura mereka sedang minum teh dan makan kue,” kata Karen. Donna memandang ke sekelilingnya. “Sepertinya perlengkapan minum tehku ada di dalam.” Tepat ketika itu, sebuah mobil jenazah besar bercat kelabu memasuki garasi. Karen dan Donna menyaksikan tiga orang pria keluar dari mobil: ayah Donna, Pak Pankratz, yang berteman dengan ayah Karen, dan dua orang pria lain yang membantunya menjemput jenazah. Ketiga pria itu menghampiri dan membuka bagian belakang mobil, lalu mengeluarkan brankar tempat mayat. Ayah Donna memandang kedua pria lainnya, menyeringai dan mengedipkan mata, lalu membuka kantong mayat. Kantong itu terbuka dan menampilkan mayat seorang pria tua dengan penis berdiri tegak. Karen terkesiap dan Donna menjerit. Ketiga pria itu tertawa terbahak-bahak, dan ayah Donna menghampiri mereka, berdiri di antara kedua gadis kecil itu dan pintu garasi yang masih terbuka. “Ayo, Anakanak, kalian ingin melihat burung yang kaku, permen loli beku? Ingin melepas baju dan merasakan enaknya menduduki burung yang sedingin es?” Ayah Donna menggiring kedua gadis kecil itu, lalu mendorong mereka ke bagian belakang mobil jenazah. Kedua pria yang lain terkekeh, dan ayah Donna terus mendorong kedua gadis itu ke arah mayat Pak Stankowski. Mau tidak mau, Karen dan Donna tergiring oleh ayah Donna hingga keluar dari garasi. Setelah berada di luar, Donna berhenti, duduk, dan mulai menangis. Karen duduk di sampingnya dan membelai rambutnya. Mereka berdiam di sana selama beberapa menit. Karen mendengar pintu mobil jenazah dibanting, dan salah seorang pria menghampiri mereka sambil membawa sebuah kotak sepatu. Donna tidak mendongak, tetapi Karen memandang dengan waspada ke arah pria itu. Pria itu mendekat dan berjongkok di dekat mereka, lalu menunjukkan isi kotak sepatu kepada kedua gadis itu. Meringkuk di sudut kotak tersebut adalah seekor burung merpati putih yang sedang bernapas dengan berat. Pria itu memungut binatang tersebut dan menyodorkannya ke arah Donna, yang menggapai dan memeluknya. Burung merpati itu tampak sedikit lebih tenang, namun tidak berusaha bergerak. “Kami menemukannya di pinggir lapangan parkir rumah sakit,” kata pria itu. “Ia tidak bergerak, jadi mungkin ia sakit.” Dia kembali mengambil burung itu dari Donna dan mengulurkannya ke arah Karen, yang mengelus-elusnya, merasakan bulunya yang lembut dan napasnya yang cepat tapi ringan. “Mungkin kita bisa merawatnya,” kata Karen, memandang wajah pria yang memegang burung itu. Karen dapat melihat campuran rasa geli dan jahil di wajah pria itu. Kemudian, pria itu berdiri dan memandang ayah Donna dan kedua pria lainnya, yang sekarang duduk di bagian depan mobil jenazah, terkekeh-kekeh, menyaksikan adegan
dengan seekor burung tersebut. “Tentu saja kita bisa merawatnya,” kata pria itu, tersenyum dan berjalan kembali ke garasi. “Lihat ini, mungkin ia bisa terbang!” Pria itu melemparkan burung itu ke udara, di antara dirinya dan Karen. Karen menggapaikan kedua tangannya. “Jangan!” Karen menjerit dan melompat ke arah burung itu, namun binatang malang tersebut jatuh menghantam lantai semen sebelum Karen dapat menjangkaunya. “Maafkan aku, maafkan aku,” Karen terisak-isak. “Maafkan aku karena tidak menangkapmu.” Saat mendengarkan kejadian ini, aku terpaku oleh nada tersiksa dalam suara Karen ketika dia tidak mampu menyelamatkan burung merpati itu, seolaholah dia seharusnya bisa melakukannya. Sulit juga bagiku untuk memercayai bahwa para pria dewasa tersebut dapat bertindak begitu kekanak-kanakan dan sadis dengan menyiksa seekor burung untuk mengganggu dua orang gadis cilik. Aku tidak tahu mengapa itu membuatku terkejut. Aku tahu ada orangorang yang memang seperti itu, namun seluruh kejadian itu menggambarkan tingkatan tinggi dalam sadisme kekanakkanakan sehingga aku masih terkejut dibuatnya. Aku kembali menyalakan tape. Telepon berdering pada pukul 1.30. Martin masih terjaga, menanti panggilan tersebut. Dia berbicara singkat, menganggukkan persetujuan, dan menutup telepon. Katrina telah tertidur. Martin memasuki kamar Karen, tempatnya tidur bersama kedua adiknya, dan mendudukkannya. “Pakai sepatumu, kita akan keluar,” bisik Martin sambil menolong Karen memakai mantelnya. Karen belum sepenuhnya terjaga, namun dia tidak melawan perintah ayahnya. Dia pernah dibangunkan seperti ini beberapa kali sebelumnya. Dia berjalan, bagaikan robot, melewati dapur, dalam balutan sepatu, piyama, dan mantel musim dingin, tersuruksuruk didorong oleh ayahnya. Dia merasakan tiupan angin dingin di pipinya saat berjalan dengan pikiran kosong menuruni tangga belakang rumahnya. Mereka menyusuri gang dan memasuki pintu garasi rumah duka Pankratz yang terbuka. Karen mendengar pintu luar tertutup saat dia mencapai pintu bagian dalam. Dia tersandung-sandung menuruni dua anak tangga memasuki rumah. Dia berusaha tidak membuka matanya saat tiba di dalam. Mereka berbelok dan mulai menuruni tangga lagi. Semakin mereka turun, aroma formalin semakin kuat tercium, sementara suarasuara semakin nyaring terdengar. Cahaya temaram dari beberapa batang lilin menerangi ruangan, dan lima atau enam orang pria telah berada di sana. Botol-botol bir kosong berserakan di atas meja baja; di antara botol-botol plastik terdapat pisau baja dan selang. Di tengah ruangan, terdapat dua buah meja baja, yang biasa digunakan untuk membersihkan, mengeringkan, membalsem, dan mendandani mayat. Martin menggandeng Karen ke meja yang terdekat dan membuka mantelnya. “Buka celanamu, Karen,” kata Martin, “kami akan membuatmu merasa enak.” Martin melontarkan senyuman dingin dan aneh kepada Karen, lalu melemparkan mantelnya ke sudut ruangan. Karen cepatcepat menurunkan dan melepas celana piamanya. Dia telanjang dari pinggang ke bawah. Beberapa pria di ruangan itu mendekat dan memandang Karen yang berdiri di samping meja. Dia memandang sekilas kepada priapria itu, dan melihat tidak seorang pun dari mereka menunjukkan kebaikan, Karen langsung membuang muka. Pikiran Karen sepertinya berada jauh dari para pria itu yang selalu menghadiri pertemuan semacam ini sebelumnya. “Naiklah ke meja, Karen,” kata ayahnya. Karen memanjat dan duduk di tengah meja pembalsaman. Martin menoleh ke arahnya dan membuka kancing atasan piyamanya, melepasnya melewati bahu, lalu melemparkannya ke sudut ruangan, di dekat mantelnya. “Apakah kau ingin dicintai oleh kami?” tanya Martin seraya meraba dada dan bahu
Karen. Karen duduk bergeming, tanpa berkata-kata, tapi matanya membelalak ketakutan. “Hati dan jiwamu hitam,” ayahnya melanjutkan. “Kau barang rusak. Semua orang tahu kau jahat.” Martin menjauhi meja, dan para pria lain menghampiri Karen lalu mulai meraba tubuhnya. Karen merasa kebingungan antara sentuhan menyenangkan dan penuh kasih sayang dari para pria itu, dan ketakutannya akan sentuhan. Martin kembali dengan membawa enam jarum pentul putih. Karen tidak melihatnya; matanya terpejam, tenggelam dalam ketakutan dan sensasi sentuhan yang tidak tertahankan. Sementara para pria itu merabai tubuh Karen, Martin dengan cepat menusukkan salah satu jarum ke perut Karen, lalu menariknya kembali. Karen memekik, menegang, lalu kembali diam, berusaha menyingkirkan ketakutan dan kesakitannya. Untuk kedua dan ketiga kalinya, Martin menusuk perut Karen. Karen berusaha tetap diam, namun setiap tusukan membuatnya meronta. “Supaya bisa dicintai, kau harus disakiti,” kata Martin. “Kau harus merasa sakit untuk bisa merasakan cinta. Kau tidak bisa mengenal cinta kalau kau tidak tahu tentang rasa sakit.” Karen, yang terbaring tegang, terus memejamkan mata. “Mungkin kita harus membawa kedua adikmu ke sini supaya mereka bisa menolongmu mengetahui tentang cinta dengan melihat kesakitan mereka?” Karen membuka matanya lebarlebar. Dia teringat ketika terakhir kalinya kedia adiknya dihajar oleh ayahnya. Kata ayahnya, mereka dipukul akibat kesalahan Karen, untuk menebus dosa-dosa Karen. Itu sangat buruk. Karen berjanji kepada dirinya sendiri untuk tak akan membiarkan kedua adiknya disakiti karena kesalahannya. Dia akan bersikap sempurna supaya dapat melindungi mereka. Dia akan menjadi tameng mereka. “Kau harus berterima kasih kepada kami yang telah mencintaimu,” kata Martin, kembali menusukkan jarum ke perutnya. Karen membicarakan kejadian ini dalam kaset rekamannya dengan ragu-ragu, letih, dan terputus-putus. Sepertinya, kenang an itu membuatnya jijikaku mendengar keputusasaan dalam suaranyatapi dia tetap melanjutkan ceritanya. Aku terheranheran saat memikirkan bahwa peristiwa ini terjadi di lingkungan bagian barat kotaku. Siapakah orangorang ini? Sepertinya tidak mungkin jika Karen mengkhayalkan hal ini dalam benak kanak-kanaknya. Kejadian-kejadian tersebut terlalu sadis dan manipulatif untuk dikarang olehnya. Rekaman itu belum selesai, masih ada lima belas menit lagi. Anak-anakku tentunya telah tertidur sekarang, dengan bayangan orangtua yang mencintai mereka serta ranjang aman dan hangat yang melingkupi mimpi mereka. Aku sangat bersyukur karena anak-anakku tidak mengetahui kepedihan semacam ini. Benakku penuh dengan bayangan, reaksi, penyangkalan, kengerian, dan kecemasan. Aku risau memikirkan usahaku untuk menolong wanita yang telah sangat menderita ini. Penganiayaan semacam ini dinamakan “pembunuhan jiwa” untuk menggambarkan betapa tindakan tersebut mematikan keinginan untuk hidup. Apakah Karen tidak mungkin tertolong lagi? Aku memakai kembali headphone-ku dan menekan tombol Play. Karen memandang jam dinding. Ibunya telah berangkat kerja sekitar satu jam yang lalu, dan ayahnya akan pulang dalam beberapa menit. Dia memeriksa ruang tamu dan dapur untuk memastikan semuanya rapi dan berada di tempatnya. Dia memasuki kamarnya untuk melakukan pemeriksaan terakhir dan memastikan kedua adiknya tidak mengacak-acak kamar yang telah dirapikannya setengah jam sebelumnya. Kedua adiknya sedang bermain tentara plastik hijau di lantai. Karen memunguti mainanmainan mereka yang berserakan dan duduk di meja dapur untuk mengerjakan PR-nya. Saat duduk, dia mendengar pintu depan terbuka, dan langkah berat ayahnya pun terdengar di koridor. “Rupanya kau di situ!” katanya, menatap tajam ke arah Karen, yang duduk di meja menghadapi buku pelajarannya. “Rumah ini berantakan sekali! Memangnya apa saja
yang kaukerjakan? Aku tidak tahu buat apa aku memeliharamu. Kau cuma menghabiskan uang kami saja.” Karen membungkuk serendah-rendahnya di meja. Martin menghampiri kulkas dan membuka pintunya. Dia mengeluarkan sekotak susu. “Susu ini sudah basi!” serunya sambil melemparkan kotak itu ke bak cuci piring. Dia mengeluarkan sekaleng bir dan sepotong pizza sisa. Kemudian, dia mencari piring untuk menempatkan pizzanya. Dia mengeluarkan sebuah piring, lalu sebuah lagi. “Piring ini masih kotor!” serunya sambil berpaling ke arah Karen. “Sini kamu, cuci piring-piring ini. Aku tidak mau melihat setitik pun noda di situ!” Karen cepatcepat menghampiri bak cuci piring, dan Martin membuka kran air panas. Karen mencuci piring pertama sementara ayahnya berdiri di sampingnya, mengamati, dan air yang semakin panas memancar dari kran. Martin menyambar pergelangan tangan Karen. “Kau butuh air panas untuk membersihkan piring-piring ini!” Karen mengernyitkan wajah sambil cepatcepat mencuci piring dan berusaha tidak menjatuhkannya, menahan diri dari air yang semakin panas. “Aku harus mengajarkan semuanya kepadamu.” Karen berusaha menahan air mata dan sikapnya, tahu betul bahwa jika dia mengeluh, nasibnya akan menjadi lebih buruk. Martin menutup kran setelah Karen mencuci piring kedua. Punggung tangan Karen merah padam. Martin menunduk memandang Karen, yang menyembunyikan tangannya di balik punggung. “Kenapa kau memakai sabuk cokelat itu? Bukankah aku sudah bilang bahwa cokelat adalah warna negro? Memangnya kau pencinta negro? Apa kau mau tidur dengan negro?” Martin mendekatkan wajahnya ke wajah Karen, yang berdiri di hadapannya, tidak mampu bergerak maupun berkata-kata. “Kau nakal dan harus dihukum. Masuklah ke kamarmu dan tidur. Aku ingin kau tidur sekarang juga!” Pada pukul 2.00, pada malam yang sama, setelah ibunya pulang kerja dan tertidur, ayah dan kakek Karen memasuki kamar Karen dan mendudukkannya. Ayahnya membawa mantelnya. “Ayo, Karen, kita akan membeli es krim,” kata ayahnya sembari memakaikan mantelnya. Karen duduk, gugup, tidak ingin bangun, namun membiarkan ayahnya memakaikan mantel di atas piyamanya. Kedua pria itu menggandeng Karen menuruni tangga belakang dan memasuki mobil kakeknya. Mereka melakukan perjalanan selama sepuluh menit menuju pabrik bahan kimia tempat kakeknya bekerja sebagai mandor pada siang hari. Tidak seorang pun bekerja di sana pada waktu selarut itu. Karen memejamkan mata nyaris sepanjang perjalanan. Dia telah melewati rute itu beberapa kali sebelumnya. Mereka memarkir mobil di dekat gerbang belakang pabrik, di dekat beberapa mobil lainnya. Kakek Karen menggunakan kuncinya untuk membuka pintu gerbang. Cahaya di tempat itu remang-remang, namun mereka masih dapat melihat jalan menuju lift barang. Mereka berjalan menyusuri lantai kayu tua. Mereka melewati tangki-tangki besar, sebagian di antaranya terbuka dan sebagian yang lain tertutup, dengan cairan ungu berbau tajam yang membasahi lantai. Mereka tiba di depan pintu logam besar menuju lift, yang terbuka secara horizontal dari bagian tengah, disambung oleh kanvas hitam tebal yang menjulur bagaikan lidah. Kakek Karen menekan tombol Call, dan Karen mendengar derak mesin saat lift itu bergerak naik dari lantai bawah tanah. Kakeknya menarik lapisan kanvas dan membuka pintu lift. Pintu itu berderak nyaring saat terbuka. Di balik pintu terdapat pintu kasa baja yang terbuka dari bagian bawah. Martin membungkuk, meraih penutup kanvasnya, lalu menariknya. Mereka bertiga memasuki lift yang luas dan gelap. Martin memegangi lengan Karen, sementara kakeknya menutup pintu lift, memperdengarkan dentang yang bergema di seluruh pabrik. Saat lift bergerak turun, Martin melepas mantel Karen dan menyerahkannya kepada kakeknya. Karen berdiri tegang. Martin membuka kancing atasan piama Karen dan
melepasnya melewati bahunya. Kemudian, Martin menurunkan celana Karen dan melepasnya melewati satu per satu kakinya. Saat mereka mencapai ruang bawah tanah, ayah Karen membuka pintu, dan kakeknya menekan tombol Emergency Stop, mencegah orang lain menarik lift tersebut ke atas. Kedua pria itu berjalan mengapit Karen memasuki ruang bawah tanah yang luas. Ruangan itu diterangi oleh belasan batang lilin. Sepuluh orang telah berada di sana. Tiga atau empat di antaranya wanita, dan dua di antaranya telanjang. Gelak tawa dan suarasuara nyaring terdengar di sana, dan seorang wanita memekik saat seorang pria menyambarnya. Ketika Karen digandeng ke tengah ruangan, semua orang terdiam dan mengalihkan tatapan ke arahnya. Wajah-wajah mereka tampak samarsamar dan bergoyang-goyang dimainkan pendar cahaya lilin, namun Karen mengenali sebagian besar di antaranya. Kakek Karen melempar mantelnya ke lantai. Karen berdiri telanjang di antara kakek dan ayahnya, menghadapi sekelompok orang itu, yang sebagian tersembunyi, sebagian tampak jelas diterangi cahaya lilin. “Inilah dia, si gadis jalang keparat,” seru kakeknya. “Sekaranglah saatnya menghukum dia, membersihkan kenistaan jiwanya! Dia harus diberi pelajaran. Dia harus dihukum. Sekaranglah saatnya!” Si kakek menggandeng Karen ke tengah ruangan dan mundur, meninggalkan Karen sendirian di bawah tatapan semua orang. “Sabda Tuhan menyatukan kita!” Si kakek melanjutkan, “Dunia telah kacau balau. Para manusia kelaparan, bertindak bodoh, dan tunduk oleh wabah penyakit kelamin garagara anakanak jahat seperti ini. Untuk merasakan kepedihan mereka yang kelaparan, kalian harus lapar. Untuk merasakan kepedihan mereka yang tak berdosa, kalian harus menderita. Bawa kemari pisaunya!” Seorang pria maju membawa sebilah pisau dapur kecil. “Ulurkan tanganmu!” si kakek memerintah Karen. Dengan mata setengah terpejam, Karen mengulurkan kedua tangannya. Si pria meletakkan pisau di tangan Karen dan menangkupkan jarijarinya. Dia menggenggam tangan Karen yang memegang bilah pisau yang tajam. Lalu, perlahan-lahan, dia menekankan tangannya di atas tangan Karen. Karen mengernyitkan wajah kesakitan dan mulai menangis, lalu tiba-tiba terdiam saat darahnya menetes ke gagang pisau. “Bunda Maria melakukan kepada bayi Yesus hal yang sama seperti yang kami lakukan kepadamu,” kakeknya melanjutkan. “Beliau harus melakukannya sebelum para pria bijaksana datang dan mengatakan kepadanya bahwa putranya akan dihukum dalam kehidupan selanjutnya. Dia meninggal akibat dosa-dosamu.” Si kakek mengangguk ke arah si pria, yang melonggarkan pegangannya pada Karen dan melepaskan pisau dari tangannya. Karen menurunkan kedua tangannya, darah menetes dari jemarinya. Kakek Karen melanjutkan, “Kami sepakat bahwa kau harus dihukum, dan kau harus selamanya menghukum dirimu sendiri selama kau berada di atas bumi ini. Ini adalah perintah Tuhan. Jika kau memberitahukan perintah Tuhan kepada orang luar, kau harus membunuh dirimu sendiri, setelah membunuh orang yang kauberi tahu. Kau harus melakukan ini, atau kejahatan akan selamanya menyertaimu. Jika berani mengkhianati kami, kau akan dilemparkan ke neraka dunia maupun akhirat.” Si kakek memandang Martin, lalu mengalihkan pandangan ke meja panjang di dekat dinding. Martin menghampiri meja itu, yang berbentuk persegi panjang besar dengan kaki bersilang, dan menyeretnya ke tengah ruangan. Karen dibawa ke meja, dan dua orang pria mengangkat lengannya dan mendudukkannya di atas meja. Dia duduk di sana, telanjang, dengan mata terpejam. Melalui matanya yang terpejam, dia dapat melihat cahaya yang terang dan mendengar desiran kamera flm 8 mm. “Semuanya dilakukan atas nama Tuhan,” kata kakeknya, nada suaranya terdengar monoton. “Kita bisa melakukan apa pun yang kita inginkan karena Tuhan memerintah kita.” Karen dibaringkan di atas meja. Tubuhnya bermandikan cahaya dari lampu kamera. Ayahnya dan beberapa orang lainnya bergerak menghampirinya. Karen
bergeming, tetap memejamkan matanya. “Kejahatan tidak ada di dunia ini, hanya kekhilafan seperti ini …” kakeknya melanjutkan. Karen merasa lumpuh dari leher hingga perutnya, seolaholah tubuhnya hampa. Dadanya menegang; satu sosok … berukuran besar menyeruak mendekatinya. Lalu, dia merasakan kesadarannya melayang. “Selamat pagi, Karen,” ibunya menyapa saat Karen memasuki dapur, telah siap pergi ke sekolah. Karen meraba kepalanya sambil duduk di meja makan. “Apa kau tak bisa bilang selamat pagi?” ibunya bertanya, menajamkan nada bicaranya. Karen duduk, meraba pelipisnya. “Ada apa?” tanya ibunya. “Aku pusing,” kata Karen, tampak murung dan kesakitan. “Lagi?” tanya ibunya. “Apa kau mendapatkan mimpi buruk lagi? Kau selalu bermimpi mengerikan. Jangan pernah bercerita pada siapa pun soal pikiran-pikiran burukmu itu!” Ibunya berpaling dan menghadap ke kompor. Karen memakan serealnya. Ibunya melihat luka di tangannya. “Apa lagi yang kauperbuat pada dirimu sendiri sekarang?” ibunya bertanya dengan galak. Tanpa berkata-kata, Karen bangkit dari kursinya. Dia menyambar bukubukunya dan berangkat ke sekolah. Tangannya sakit, kepalanya sakit, dan bagian dalam tubuhnya terasa perih saat dia berjalan sejauh enam blok menuju sekolah. Dia tidak membicarakan hal ini dengan siapa pun. Bagian rekaman ini membuatku semakin menyadari kedalaman kerusakan yang terjadi pada diri Karen. Karen mendeskripsikan berbagai peristiwa tersebut dalam potongan-potongan kecil, seolaholah dia mengingat kenangannya dari serpihanserpihan acak, dan dia menceritakannya dengan keletihan yang jelas terdengar. Aku mengasumsikan bahwa perasaan yang terbentuk dari peristiwaperistiwa tersebut telah runtuh akibat dia menceritakan kenangannya, namun situasi yang diungkapkannya begitu ekstrem, parah, dan merusak sehingga aku tidak mengetahui apa yang kupercayai. Dia menceritakan sekelompok kecil orang, termasuk beberapa wanita, yang konsisten dan sepertinya terencana dengan baik, yang secara teratur memberikan penganiayaan sadis dan penyiksaan psikis kepada anakanak untuk kesenangan pribadi mereka. Dan, apakah tujuan dari seluruh omong kosong berkedok agama itu? Aku tak henti-hentinya memikirkannya. Pertanyaan mengenai seberapa banyak “kebenaran” yang terkandung dalam cerita itu selalu muncul saat aku mendengarkan kisah mengerikan Karen. Tetapi, dia selalu bercerita dengan cara meyakinkan: dengan kepedihan, keputusasaan, dan kesengsaraan. Alihalih merasa lega setelah bercerita, dia justru selalu merasa menanggung risiko, bahwa setiap cerita akan terlalu berat bagiku dan dapat mengakibatkanku mengakhiri perawatan untuknya. Aku tahu bahwa anakanak mengalami penganiayaan sepanjang waktu, tetapi aku selalu dibuat heran saat menyaksikan seseorang dapat bertahan menjalani masa kecil seperti itu. Mungkinkah dia berusaha membohongi atau memanipulasi diriku untuk mendapatkan sesuatu dariku? Aku tak henti-hentinya memikirkannya. Setelah bekerja bersamanya selama empat tahun, ini terasa tidak masuk akal; setidaknya aku tak bisa membayangkan tujuan apa yang mungkin dicapainya dengan melakukan penipuan seperti ini. Kurasa ini mungkin semacam ujian, untuk melihat apakah aku akan tetap mau menemaninya setelah mendengar apa yang dianggapnya sebagai informasi menjatuhkankerusakan yang diduganya akan kuanggap sebagai sesuatu yang terlalu parah untuk disembuhkan. Tetapi, sekalipun begitu, mengapa sekarang, setelah empat tahun menjalani terapi, dia membutuhkan demonstrasi kepercayaan yang drastis, terutama menggunakan cara penipuan, sebuah sifat yang sungguh bertentangan dengan karakternya dan sebuah taktik yang dapat menghancurkan kepercayaan yang telah kami bentuk? Sekitar waktu itu, pada November 1993, Karen memberikan kepadaku gambar
karikatur yang menunjukkan seorang psikiater sedang menarik tuas yang meluncurkan pasiennya dari sofa hingga melewati pintu. Tulisan di gambar itu berbunyi, Pasien selanjutnya silakan masuk; kamu terlalu gila! “Tentang apakah ini?” tanyaku, memegang gambar itu. Karen bergerak-gerak kikuk, dan aku melihat penyesalan di wajahnya. Dia cukup berani untuk memberikan gambar itu kepadaku, namun siapa pun akan mengira, pada saat ini, bahwa aku akan menanyakan kepadanya tentang hal ini. “Saya takut bahwa pada suatu titik, Anda akan merasa muak dan mengatakan ‘Lupakan saja’,” kata Karen. “Sebagian dari diri saya berpikir bahwa Anda tidak akan melakukannya, tapi sebagian yang lain betul-betul mengkhawatirkannya. Ingataningatan ini membuat saya ketakutan, dan menceritakannya semakin membuat saya ketakutan. Keluarga saya mengatakan bahwa temanteman terdekat saya sekalipun akan mengkhianati dan mempermalukan saya.” Karen terisak-isak dan berusaha menenangkan diri. “Andalah satusatunya orang yang bisa saya percayai. Saya sangat kebingungan; saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan. Jika ada sesuatu yang akan terjadi, dan Anda … tidak bisa merawat saya lagi, saya mengerti. Saya akan sangat mengerti. Tapi, saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan jika Anda tidak ada. Saya takut kehilangan Anda.” Sungguh sebuah ujian, dan juga sebuah kesempatan bagi Karen, kupikir, untuk merasa dapat memercayai seseorang untuk pertama kalinya. Tidak heran jika dia merasa ketakutan. Setelah kejadian itu, terdapat kemungkinan hubungan kami menjadi rapuh. Aku telah menjalani wawancara untuk menduduki suatu jabatan di jurusan psikiatri di tiga rumah sakit pendidikan di kota dan sekitarnya. Dengan mengambil salah satu jabatan tersebut, aku masih bisa menjumpai Karen, tapi aku tidak tahu di bagian kota manakah aku akan ditempatkan, dan aku mengkhawatirkan perubahan besar yang akan mengguncangnya. Aku belum mengetahui hasil wawancaraku, dan aku akan menunggu hingga aku memiliki rencana yang pasti sebelum mengatakan sesuatu kepadanya. Dengan seluruh riwayat waktu yang hilang dan penganiayaan pada masa kecilnya, aku bekerja berdasarkan hipotesis bahwa Karen menderita sindrom kepribadian majemuk (meskipun bagian yang menemuiku tidak mengetahuinya). Aku memikirkan apakah anakanak yang terkadang disebutkannya juga menjalani siksaan sesungguhnya adalah bagian lain dari dirinya yang diingatnya sebagai anak lain, masingmasing dengan pengalaman pribadi mereka sendiri. Atau, mungkinkah kenangankenangan ini merupakan sejenis khayalan sadistis/masokhistis kanak-kanak yang dianggapnya sebagai kejadian nyatakhayalan yang memiliki kekuatan halusinasi? Meskipun aku mengerti kemungkinan dia mengarang ceritacerita ini, (walaupun alasannya berbohong berada di luar jangkauan pemahamanku), aku merasa ragu dengan caranya yang meyakinkan dalam menceritakan kejadian-kejadian tersebut. Dia berusaha menggambarkan sebisa-bisanya, meskipun merasa sangat tidak nyaman, semua kejadian tersebut berdasarkan ingatannya. Aku memberi tahu Karen bahwa aku telah mendengarkan kaset rekamannya dan memahami keseriusan kejadian yang menimpanya. Aku tidak memintanya menjelaskan aspek-aspek tertentu, karena aku tidak ingin dia menganggapku hanya tertarik pada bentuk penganiayaan tertentu dan mengabaikan bentuk yang lain, sehingga dia akan enggan menceritakan detaildetail mengenai beberapa hal tertentu kepadaku. Hal terakhir yang ingin kulakukan dengan materi semacam ini adalah mengarahkannya ke tujuan tertentu. Aku selalu berharap dialah yang akan mengarahkanku. Sayangnya, setelah memberikan rekaman itu kepadaku, Karen terus-menerus dilanda keinginan untuk melakukan bunuh diri. Kami menghabiskan seluruh waktu kami dalam pembicaraan telepon harian serta sesi terapi mingguan untuk menekan dan menahan
kecenderungan bunuh dirinya. Pada suatu titik, sebuah pikiran terlintas di benakku: Jika apa yang diceritakan oleh Karen dalam rekaman itu sungguhsungguh terjadi, maka dia tidak hanya ingin membunuh dirinya sendiri, tetapi juga diriku, sebagai penerima informasi yang seharusnya selamanya disimpannya sendiri. “Apakah kamu pernah berpikir bahwa kamu harus membunuh saya?” aku bertanya kepada Karen dalam salah satu sesi kami. Dia tampak kaget, seolaholah baru saja tertangkap basah. “Saya diperingatkan untuk membunuh siapa pun yang saya beri tahu tentang hal ini. Saya ingat mereka berusaha mengajarkan itu kepada saya,” katanya, gemetar ketakutan. “Karena itulah, saya takut bahkan hanya untuk berusaha membicarakannya.” Dia terdiam, kemudian melanjutkan, “Saya tidak pernah benarbenar bermaksud begitu. Maksud saya, saya tidak pernah benar-benar bermaksud membunuh siapa pun. Saya selalu berpikir bahwa jika saya tiba di titik itu, saya akan langsung membunuh diri saya sendiri, karena pada akhirnya saya akan mati.” “Sekarang kamu sudah dewasa,” aku mengingatkannya, “dan meskipun perasaan ini tampak segar di benakmu, semuanya muncul dari berbagai peristiwa yang telah terjadi bertahuntahun yang lalu. Mereka mengatakan kepadamu bahwa kamu harus membunuh saya dan dirimu sendiri hanya karena mereka tidak ingin ditemukan, sehingga mereka dapat terus menyimpan rahasia kelam mereka. Tetapi, aman bagimu untuk menceritakan tentang mereka kepada saya, dan kita akan menyimpan rahasia itu bersamasama.” Karen mencondongkan tubuh ke arahku, menunduk dan membenamkan wajah ke kedua telapak tangannya, lalu menangis terisak-isak, merasa lega karena telah mengungkapkan rahasia yang tak bisa disebutkannya.[] BA G IAN II KCPRIBADIAN-EPRIBADIAN LAIN 9 Surat dari Claire KETIKA ITU awal Oktober 1993, awan mendung tebal menggelayuti kota, menyamarkan pemandangan lalu lintas Lake Shore Drive dan beberapa kapal yang masih berlayar di Monroe Harbor. Karen tampak lesu ketika memasuki kantorku. Dia menggeser kursi dan tidak memandang secara langsung ke arahku. Aku tahu bahwa sesuatu telah terjadi padanya, namun dia membutuhkan waktu selama beberapa menit sebelum bisa berbicara. Pada saat seperti ini, aku harus menunggu lama untuk mendengarkan ceritanya. Menolongnya pada titik ini hanya akan mengalihkannya dari apa yang sedang diperjuangkannya. Sepertinya dia hendak mengatakan sesuatu kepadaku. Dia mulai berbicara, lalu terdiam dan menatap ke luar jendela. Akhirnya, dia bersuara: “Saya terus-menerus mendapatkan … pergantian ini … saya menyebutnya peralihan.” Dia tenggelam dalam pikirannya, masih memandang ke luar jendela. Sejenak kemudian, dia melanjutkan. “Terdapat saatsaat, jangka waktunya berbeda-beda, dari hitungan menit hingga bulan, yang tidak saya ingat.” Dia kembali terdiam. “Misalnya … saya sama sekali tidak ingat pernah melakukan hubungan seks dengan suami saya.” Dia terdiam, wajahnya merah padam dan keruh. “Saya tahu bahwa saya pasti pernah melakukannya, karena kami punya dua anak, tapi saya tidak tahu bagaimana hal itu terjadi.” Akhirnya, Karen menatapku. “Sesungguhnya, saya sama sekali tidak punya perasaan seksual.” “Apakah yang terjadi saat kamu beralih waktu?” Aku senang karena dia mengangkat
topik ini, tapi aku tidak boleh mencecarnya dan harus membiarkannya mengungkapkan hal ini dengan caranya sendiri. “Yah, saya kehilangan waktu. Saya ingat merasa lemah selama sesaat, lalu saya tidak ingat lagi apa yang terjadi sesudahnya. Saat ingatan saya kembali, saya merasa letih dan penat, lalu perasaan itu lenyap, dan saya pun kembali baik-baik saja. Kira-kira begitu.” Karen “melantur” atau “berada dalam kondisi pikiran menyimpang”, kupikir. Ini adalah istilah lain untuk memasuki kondisi trance, yang sama dengan trance akibat hipnotis, saat dia tidak dapat mengingat apa yang terjadi padanya. Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukannya saat dia tidak bisa mengingat? Aku heran karena dia tidak pernah membicarakan pengalaman ini sebelumnya, karena hal ini tentunya menyusahkan dan membuatnya kebingungan. Tetapi, kupikir dia harus terlebih dahulu mencapai tingkat tertentu dalam memercayaiku. Karen sendiri sepertinya tidak tahu banyak tentang peralihan itu, sama seperti dia tidak tahu bahwa kepribadiannya terbelah. Meskipun begitu, dia mampu menceritakan kepadaku lebih banyak daripada yang diketahuinya dengan cara yang unik. Pada November, Karen secara tidak langsung mulai mengungkapkan rahasia kehidupan di dalam tubuhnya. Dalam sebuah surat yang bertanggal 7 November 1993, dia melaporkan salah satu mimpinya Saya sedang berbicara kepada Anda di telepon, dan kita memutuskan untuk mendatangkan ibu saya dalam salah satu sesi kita. Saat kami memasuki lift, saya mulai mendengar orangorang lain berbicara. Orangorang ini datang ke kantor Anda bersama saya. Anda membuka pintu dan mempersilakan saya dan ibu saya masuk. Saya tidak mengerti mengapa Anda membiarkan semua orang lain itu masuk dan tidak berbicara kepada mereka. Lalu, Anda mulai berbicara dengan ibu saya. Saya tidak ingat sepatah kata pun yang Anda ucapkan karena saya terlalu sibuk memerhatikan orangorang lain yang ada di kantor Anda. Seorang anak lakilaki berdiri di dekat Anda dan menjulurkan lidah ke arah ibu saya. Seorang anak perem puan duduk dan tertidur di pangkuan Anda. Dua orang rema ja bertengkar tentang siapa yang akan Anda ajak berbicara terlebih dahulu. Seorang bayi merangkak di sekeliling meja Anda. Seorang perempuan mengumpat-umpat ibu saya. Seorang perempuan lain duduk di meja Anda, menertawakan semua perkataan ibu saya, dan seorang perempuan lain membersih kan dan menata kantor Anda. Sesi itu tampak kacau balau. Saat mendengarkan semua orang itu berbicara, saya merasa telah mengena/ mereka. Saya heran karena Anda begitu tenang dan tidak merasa terganggu oleh keributan di sekeliling Anda. Saya tidak ingat akhir mimpi ini, tapi saat terbangun, saya merasa damai dan nyaman. “Apa yang terjadi padamu saat kamu memikirkan mimpi itu?” tanyaku. Karen mengangkat bahu dan mengatakan bahwa dia tidak tahu, tapi dia menganggap orangorang itu lucu, dan mereka terasa akrab baginya. “Menurut saya, orangorang di dalam ruangan itu merupakan perwujudan sisi-sisi berbeda dari dirimu, dan berbagai perasaanmu terhadap saya dan ibumu.” Aku menduga bahwa ketika Karen kehilangan waktu, atau beralih, kepribadiannya yang lain mengambil alih tubuhnya. Aku merasa ragu untuk memberi tahu Karen apa yang ada dalam pikiranku, yaitu bahwa orangorang di dalam mimpinya merupakan perwujudan dari kepribadian-kepribadiannya yang lain, dan bahwa aku meyakini diagnosis dirinya menderita gangguan kepribadian majemuk. Tetapi, aku merasa kami telah semakin mendekat, karena Karen telah mengungkapkan berbagai bayangan dan asosiasi ke dalam sesi kami. Dia mendorong kami maju. Keesokan harinya, aku menerima sepucuk surat. Surat itu bercap pos 5 November 1993, dua hari sebelum Karen mendapatkan mimpinya. Aku menerimanya pada tanggal 7 November. Alamat Karen tertulis pada amplopnya, dan surat itu ditulis menggunakan pensil di atas selembar kertas yang dirobek dari buku catatan.
Dokter Bear [soloh tulis] yang boik. Namaku Claire. Aku 7 tahun. Aku hidup di dalam Karen. Aku dengar kamu terus. Aku ingin bicara denganmu, tapi tidak tahu caranya. Aku suka bermain dengan James dan Sara. Aku juga bisa menyanyi. Aku tidak mau mati. Maukah kamu mengikatkan tali sepatuku? Claire Aku tidak langsung menyebutkan dan membahas kejadian ini dengan Karen. Aku menunggu selama beberapa hari sambil memikirkan bagaimana tepatnya aku akan melakukan pendekatan kepada Karen mengenai hal ini. Aku khawatir: Akankah ini dianggap terlalu berlebihan olehnya? Setiap hari, keinginannya untuk melakukan bunuh diri semakin memuncak. Akankah ini membuatnya semakin berada di ujung tandukmenjadi beban yang tak kuasa ditanggungnya? Berapa kepribadiankah yang ada di dalam diri Karen selain Claire? Aku punya banyak pertanyaan, namun aku harus menunggu. Aku harus berkonsentrasi kepada Karen: reaksinya, pertanyaannya, tindakannya, dan keamanannya. Aku telah selama beberapa waktu mengumpulkan berbagai bahan yang berkaitan dengan sindrom kepribadian majemuk: artikel, monograf, diktat, dan abstrak pertemuan. Aku menampung semuanya di salah satu rak bukuku. Salah satu buku yang paling banyak dikutip adalah Diagnosis and Treatment of Multiple Personality Disorder, karya Frank W. Putnam, M. D. (Guilfrod Press: New York, 1989). Di dalam buku itu, dia menjelaskan tentang pelecehan seksual pada masa kanak-kanak sebagai penyebab umum MPD, terutama pelecehan yang disertai oleh sadisme ekstrem, penyalahgunaan bendabenda, pengikatan, pembakaran, penorehan, dan partisipasi dalam “pemujaan kepada setan”. Semua itu sesuai dengan Karen. Risiko bunuh diri dan melukai diri sendiri juga dijelaskan sebagai hal yang wajar bagi penderita MPD, begitu pula sakit kepala, pingsan, dan gejala-gejala histerikal seperti kelumpuhan, tuli, dan, dalam kasus Karen, rasa sakit di tempat kakinya diikat dan dicambuki. Terdapat konsensus umum di kalangan penulis kasus-kasus dan gejala-gejala MPD. Putnam juga melaporkan bahwa para pasien MPD tidak akan siap mengungkapkan gejala-gejala mereka karena mereka takut dianggap “gila”, tapi kemudian salah satu kepribadian akan mengaku, atas kemauannya sendiri, melalui surat untuk ahli terapinya. Dia juga menyebutkan bahwa penting bagi seorang ahli terapi untuk tidak menempatkan diri sebagai pemegang rahasia dari salah satu kepribadian atas permintaan kepribadian lainnya. Surat Claire adalah rahasia semacam itu. Saat sesi berikutnya tiba, aku siap menunjukkan surat itu kepada Karen. Aku memutuskan untuk memperlihatkan surat itu pada awal sesi, supaya kami memiliki banyak waktu untuk membahasnya. “Saya telah memikirkan ceritamu kemarin, tentang suarasuara yang kamu dengar di dalam kepalamu,” aku memulai, “terutama pada malam hari sebelum kamu tidur. Saya juga sudah memikirkan mimpi yang kamu ceritakan kepada saya, tentang orangorang lain yang menemanimu ke kantor saya. Saya memikirkan apakah ada lagi yang terjadi dalam dirimu yang tidak kita sadari.” Aku berusaha melakukan pendekatan dengan hati-hati, tapi Karen mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi. Dia tampak gelisah dan cemas, namun aku terus melanjutkan. “Saya menerima sebuah surat yang akan saya tunjukkan kepadamu.” Karen tampak tegang dan waspada. “Menurut saya, kita harus membicarakan hal ini,” ujarku, dengan lembut menyerahkan amplop berisi surat dari Claire kepadanya. Karen membaca surat itu, lalu melihat alamat pengirimnya. Wajahnya seketika pucat pasi, dan ekspresi mual segera terlihat. Dia tampak seolaholah akan pingsan. “Surat ini mungkin merupakan petunjuk bagi kita untuk mengetahui apa yang menjadi masalah bagimu selama ini.” Aku berusaha menyampaikan gagasan bahwa aku
akan membantunya memahami surat ini. “Sudah cukup lama saya berpikir bahwa kamu mengidap penyakit yang disebut gangguan kepribadian majemuk,” ujarku. Sekarang, setelah aku mengatakannya, dia harus mendengarkan penjelasan yang gamblang dan tegas. “Mengingat kamu sering kehilangan waktu, dan melihat ekspresi wajahmu yang menunjukkan bahwa kamu tidak ingat pernah menulis surat itu, saya rasa ini adalah satusatunya penjelasan.” Oke, sekarang waktunya bagiku untuk diam dan membiarkan Karen bereaksi. Karen gemetar; dia menatap pintu dan sepertinya siap menghambur ke luar. Wajahnya pucat pasi. Aku melihatnya melewati berbagai keadaan emosi, dari kebingungan hingga ketakutan hingga pasrah. Perlahan-lahan, dia menenangkan diri, lalu perasaan panik dan jijiknya digantikan oleh kesedihan dan penerimaan. “Saya tidak siap mendengar hal ini,” akhirnya dia berkata dengan lirih. “Saya tidak tahu cara yang tepat untuk mem-persiapkanmu,” ujarku. “Saya rasa, surat itu adalah pertanda yang nyata bahwa sebagian dari dirimu menginginkan supaya hal ini terbongkar.” “Saya mengerti,” kata Karen. Aku kem