PERTANGUNGJAWABAN PIDANA NAKHODA TERHADAP KECELAKAAN KAPAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Penulisan Skripsi Pada Fakultas Hukum Universitas IBA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS IBA
OLEH : SUMARDIMAN NPM : 08100022
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS IBA PALEMBANG 2012
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS IBA PERSETUJUAN SKRIPSI
NAMA NPM PROGRAM STUDI PROGRAM KEKHUSUSAN JUDUL
: : : : :
SUMARDIMAN 08100022 ILMU HUKUM HUKUM PIDANA Pertanggungjawaban Pidana Nakhoda Terhadap Kecelakaan Kapal Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
MENYETUJUI PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
SAKINAH AGUSTINA,S.H,.M.Hum.
SURYANI YUSI,S.H,.M.Hum.
MENGETAHUI DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS IBA PALEMBANG
SURYANI YUSI, S.H,M.Hum
MOTTO “Fakta bahwa orang sukses menerapkan kemampuan nya : 80% kemampuan EQ 16% kemampuan IQ 4% virtue/other factors! Dan hasilnya adalah ”THE WINNER”
Bismillahirohmannirrohim Aku persembahkan untuk: Ayahanda dan Ibunda tercinta; Istriku tercinta Irma Yuliana. S.Kom. MM; Saudara-saudaraku tersayang; Bapak dan Ibu Dosen Universitas IBA; Sahabat-sahabat yang setia; Kesatuan Penjaga Laut Dan Pantai Seluruh Indonesia
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Nakhoda Kapal Terhadap Kecelakaan Kapal Menurut Undang-undang No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran”, dengan permasalahan (1) Apa saja bentuk-bentuk kecelakaan kapal, dan (2) Bagaimana tanggungjawab nakhoda terhadap kecelakaan kapal menurut Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Penulisan ini mempergunakan pendekatan secara normatif yang bersifat deskriptif, karena penelitian ini suatu penelitian ilmiah, dan penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus, jenis bahan yang digunakan adalah bahan hukum primer, dan bahan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa bentuk-bentuk kecelakaan kapal adalah : kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, dan kapal kandas. Dan tanggung jawab Nakhoda terhadap kecelakaan kapal adalah Nakhoda bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan manusia/penumpang, barang muatan, keamanan dan ketertiban kapal. Dari penulisan ini disarankan : Nakhoda kapal harus lebih hati-hati dalam menjalankan tugas di atas kapal, dan harus memiliki kompetensi ijazah pelaut yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah memberikan segala kemampuan, limpahan, karunia, hidayah dan berkah-Nya, sehinggga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul ”PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
NAKHODA
TERHADAP
KECELAKAAN KAPAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN“. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai persyaratan untuk meraih gelar kesarjanaan Bidang Ilmu Hukum di Universitas IBA Palembang. Dalam menyelesaikan skripsi ini, berbagai hambatan dan rintangan yang penulis temui, walaupun skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, akan tetapi karna keinginan dan hasrat yang sangat besar dari penulis, serta adanya dorongan dan bimbingan dari bapak dan ibu dosen serta dorongan dari rekan-rekan maupun pihak lain, sehingga dapat tersusunlah skripsi ini. Dalam kesempatan ini tidak lupa menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Bapak Yudi Fahrian, S.H, MH. selaku Rektor, dan para pembantu Rektor Universitas IBA Palembang. 2. Ibu Suryani Yusi, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas IBA dan selaku pembimbing II, yang telah berkenan membantu dalam hal penulisan skripsi ini hingga selesai.
3. Ibu Sakina Agustina, S.H, M.Hum. selaku pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas IBA dan selaku pembimbing I, yang telah berkenan membimbing dan senantiasa memberi dorongan kepada penulis hingga selesai kripsi ini. 4. Ibu Erniwati, S.H, M.Hum. selaku Ketua Program Studi. 5. Para Dosen beserta staf Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang. 6. Bapak Capt. Iman Satria Utama, MM. selaku kepala Kantor Administrator Pelabuhan Palembang. 7. Bapak Umar Juni, S.T. selaku Kasie KPLP Kantor Pelabuhan Palembang. 8. Serta semua pihak yang telah memberikan saran dan bantuan yang sangat berguna. Akhirnya besar harapan penulis apabila skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis. Semoga allah SWT melimpahkan pahala dan rahmatnya atas segala budi baik yang telah Bapak/Ibu berikan kepada penulis. Palembang, Penulis
SUMARDIMAN
2012
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul ................................................................................................ Halaman Tanda Persetujuan ........................................................................... Halaman Motto dan Persembahan ................................................................. Abstrak ........................................................................................................... Kata Pengantar ............................................................................................... Daftar Isi ......................................................................................................... BAB I
i ii iii iv v vii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................... B. Permasalahan ............................................................................ C. Ruang Lingkup ......................................................................... D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ E. Metode Penelitian ..................................................................... F. Sistematika Penulisan ..............................................................
1 4 4 5 6 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana .................................................... B. Fungsi, Tugas dan Kewenangan Syahbandar ........................... C. Pengertian Tindak Pidana ........................................................
10 21 29
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Bentuk-bentuk Kecelakaan Kapal ............................................ B. Kecelakaan-kecelakaan Kapal yang Sering Terjadi di Alur Perairan Sungai Musi ............................................................... C. Pertanggungjawaban Pidana Nakhoda Kapal ..........................
37 38
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. B. Saran-saran ...............................................................................
49 50
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Karena perairan Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah Nusantara adalah perairan yang meliputi laut wilayah, perairan kepulauan, maka mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008, bahwa pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan system transportasi yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis.1 Salah satunya adalah transportasi kapal. Kapal adalah alat transportasi yang dijalankan di laut. Bentuk dan ukuran kapal tentu bervariasi sesuai dengan fungsinya misalnya kapal perang,kapal penumpang,kapal barang,kapal tanker atau kapal minyak,kapal pesiar dan lain-lain.Kapal-kapal ini di desain dengan teknologi canggih yang nantinya meminimalisasi kemungkinan kerusakan dan kecelakaan ditengah
1
Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm. 13
1
laut. Disamping itu, setiap kapal yang berlayar mempunyai nakhoda yang memiliki peran yang penting dalam perjalanan. Tugas nahkoda kapal adalah bertanggung jawab dalam membawa kapal berlayar dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain atau dari tempat satu ke tempat lain dengan selamat, aman sampai tujuan terhadap penumpang dan segala muatannya. Tugas nahkoda kapal yang diatur oleh peraturan dan perundangundangan yaitu : 1. Sebagai Pemegang Kewibawaan Umum di atas kapal. 2. Sebagai Pemimpin Kapal. 3. Sebagai Penegak Hukum dan Pemegang Kekuasaan diatur dalam pasal 55 UU No. 17 Tahun 2008 dan pasal 93, 325 KUHP. Dalam mengoperasikan kapal supaya dapat berjalan, bagi pengusaha atau pemilik kapal, dengan bebas dan aman, maka juga perlu mengibarkan bendera kebangsaan kapalnya sehingga mendapat perlakuan yang baik dari penjaga pantai. Hal ini sesuai dengan pasal 166 UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus menunjukkan identitas kapalnya secara jelas, setiap kapal asing yang memasuki pelabuhan, selama berada di pelabuhan dan akan bertolak dari pelabuhan di Indonesia, wajib mengibarkan bendera Indonesia selain bendera kebangsaannya.
Disamping itu, setiap kapal yang berlayar mempunyai nakhoda yang memiliki peran yang penting dalam perjalanan Tugas nahkoda kapal sebagai Pemimpin Kapal Nahkoda bertanggung jawab dalam membawa kapal berlayar dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain atau dari tempat satu ke tempat lain dengan selamat, aman sampai tujuan terhadap penumpang, anak buah kapal (ABK) dan segala muatannya. Dalam perjalanannya, terkadang tidak bisa dihindari sering terjadi kecelakaan dalam pelayaran, berikut ini merupakan salah satu contoh kejadian kecelakaan kapal yang terjadi di perairan Sei-Lais, Palembang, Jum’at (18/3/2011) : Kecelakaan yang melibatkan kapal tanker Pertamina MT Gloria Sentosa dan kapal jukung Irvansyah di Sungai Musi menyebabkan lima orang tewas. Korban tewas semuanya merupakan penumpang kapal jukung. Kecelakaan ini terjadi di Selat Ajaran Sungsang, Sungai Musi. Saat kecelakaan terjadi, sebagian besar penumpang kapal jukung tengah tertidur pulas. korban tewas kebanyakan akibat tertimpa reruntuhan kapal yang rusak akibat tabrakan. kecelakaan terjadi saat kapal jukung Irvansyah bergerak dari arah Karangagung ke Sungailais, Palembang. Saat melintas di Selat Ajaran, tiba-tiba ada kapal tanker bermuatan minyak. Kecelakaan pun tak terhindarkan dan kapal jukung tertabrak di sisi kanan tengah.2 Setiap kecelakaan yang terjadi tentu harus dilakukan pemeriksaan pendahuluan seperti yang diatur dalam pasal 220 yaitu :
2
Detik News, tangker BBM Pertamina kecelakaan di sungai musi. Jumat, 18/03/2011. 11.33 WIB.
(1)
Syahbandar melakukan pemeriksaan terhadap setiap kecelakaan kapal untuk mencari keterangan dan/atau bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal.
(2)
Pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemeriksaan pendahuluan.
Dari latar belakang yang diuraikan di atas, dan untuk mengetahui dasar masalah ini maka penulis memilih judul : “PERTANGUNGJAWABAN
PIDANA
NAKHODA
TERHADAP
KECELAKAAN KAPAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN”.
B. Permasalahan Sehubungan dengan yang telah diuraikan di atas, maka timbul permasalahan-permasalahan bagi penulis yang akan dituangkan dalam pertanyaan sebagai berikut : 1. Apa saja bentuk-bentuk kecelakaan kapal ? 2. Bagaimana tanggung jawab Nakhoda terhadap kecelakaan kapal menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dalam praktek ?
C. Ruang Lingkup Memahami latar belakang yang dikaitkan dengan pokok permasalahan di atas, maka dalam penulisan proposal ini penulis berusaha membatasi/ menentukan ruang lingkup pembahasan hanya disekitar judul saja, yaitu mengenai Apa saja bentuk-bentuk kecelakaan kapal dan Bagaimana tanggung
jawab Nakhoda terhadap kecelakaan kapal menurut Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dalam praktek. tidak lain untuk mendukung dan melengkapi, sehingga alur dari permasalahan dapat dihasilkan dengan sempurna Penulis hanya membatasi prosedur dan syarat-syarat yang dilakukan pemeriksaan kecelakaan kapal. Khususnya pada Kantor Administrator Pelabuhan Palembang.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian •
Untuk mengetahui secara jelas, terperinci dan sistematis mengenai bentuk dan atau jenis tindak pidana pelayaran.
•
Untuk mengetahui secara jelas mengenai mekanisme pemeriksaan pelaku tindak pidana kecelakaan kapal.
2. Manfaat Penelitian •
Kemanfaatan secara teoritis, maksudnya adalah bahwa hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para teoritisi di dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil dibidang pelayaran.
•
Kemanfaatan secara praktis, maksudnya adalah bahwa hasil penelitian ini diharapkan berguna khususnya bagi para praktisi hukum di dalam menangani perkara pidana pelayaran.
E. Metode Penelitian Untuk mencari jawaban permasalahan-permasalahan diatas dengan judul skripsi ini, maka penulis mencari jawaban atau solusi dengan cara mengumpulkan data antara lain sebagai berikut : 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara Yuridis (normatif) dilengkapi dengan empiris (sosiologis) guna memperoleh suatu hasil penelitian yang benar dan objektif. Pendekatan secara Yuridis (normatif) terutama ditujukan untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat teoritis : asas, konsepsi, doktrin hukum, serta isi kaedah hukum yang melandasi kegiatan pelaksanaan tugas Kesatuan
Penjaga
Laut
dan
Pantai
(KPLP)
dalam
menangani
pertanggungjawaban Nakhoda terhadap kecelakaan kapal. Sedangkan pendekatan secara empiris (sosiologis) dilakukan karena penelitian ini ditujukan pada penerapan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dalam praktek. 2. Lokasi Penelitian Undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,berlaku untuk seluruh syahbandar di seluruh Indonesia. Wilayah yang sedemikian luas, tidak mungkin dapat dijangkau, untuk itu maka penulis membatasi lokasi penelitian ini pada beberapa pelabuhan yang menjadi wilayah hukum Syahbandar, khususnya Pelabuhan Boom Baru Palembang. Lokasi ini penulis pilih didasarkan atas pertimbangan efektifitas dan efisiensi,
karena pada saat ini penulis bekerja sebagai karyawan di lingkungan tersebut. 3. Sumber Data Jenis data penelitian ini adalah meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yaitu yaitu data yang penulis peroleh langsung diambil dari objek penelitian (diambil dari lapangan) dari sejumlah responden yang telah penulis tentukan. Sedangkan data sekunder adalah data yang penulis peroleh dari studi pustaka yang meliputi : a. Data sekunder berupa bahan hukum primer, yaitu terdiri dari ketentuan perundang-undangan seperti KUHAP, UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran. b. Data sekunder berupa bahan hukum sekunder yang terdiri dari peraturan-peraturan pelaksanaan dari ketentuan diatas, serta peraturan pelaksanaan lainnya yang lebih rendah seperti KM. 55 Tahun 2006 tentang tata cara pemeriksaan kapal. c. Bahan sekunder berupa bahan hukum tersier antara lain hasil karya ilmiah, hasil-hasil penelitian arsip instansi yang terkait. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang diberlakukan adalah secara Stratified Purpose Sampling, yaitu dengan wawancara/interview, melalui proses Tanya jawab yang dilakukan secara lisan dengan responden, yang dalam hal ini berhubungan langsung dengan pejabat-pejabat yang berwenang dan instansi yang terkait, seperti :
1) Administrator Pelabuhan Palembang 2) Pejabat pegawai negeri sipil yang memiliki sertifikasi sebagai penyidik 3) Kepala Seksi Syahbandar. 5. Pengolahan Data Keseluruhan
data
yang
diperoleh
dalam
penelitian
ini
dikumpulkan, di seleksi, dievaluasi dan dipilih-pilih sesuai dengan relevansinya yang kemudian dideskripsikan. 6. Analisa Data Setelah data terkumpul, maka selanjutnya diadakan penganalisaan dengan : a. Teknik Deskriptif Analisis, yaitu: cara menganalisa data yang dilakukan dengan cara menjabarkan peraturan yang pernah ada dan masih berlaku yang di kaitkan dengan peraturan-peraturan yang baru, sehingga dapat diperoleh suatu kesimpulan masalah yang dapat diharapkan memberikan : 1) Pemahaman terhadap masalah yang diteliti 2) Pemerosesan dari data primer dan sekunder Apabila data yang dikumpulkan itu hanya sedikit, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus, sehingga tidak dapat disusun kedalam suatu struktur klasifikatoris, maka analisanya pastilah kualitatif. b. Teknik Induktif Analisis yaitu : pemikiran yang bertolak dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat khusus/tertentu atau fakta yang bersifat umum.
Setelah terkumpul data maka disusun dengan sistematis dan dibuat kesimpulan dan diajukan saran-saran.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman terhadap Skripsi ini, maka penulis membuat dalam sistematika sebagai berikut : BAB I. Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang, permasalahan, ruang lingkup, metode penelitian, juga membuat tujuan dan manfaat penelitian. BAB II. Tinjauan Pustaka Bab ini penulis menjelaskan serta menguraikan tentang Pertanggung jawaban Pidana, fungsi, tugas, dan kewenangan Syahbandar, sebagai penyelidik dan penyidik, pengertian tindak pidana. BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan uraian dari hasil penelitian, merupakan penjelasan terhadap masalah yang ada, yaitu : bentuk-bentuk kecelakaan kapal, kecelakaankecelakaan kapal yang sering terjadi di alur perairan Sungai Musi, dan pertanggung jawaban pidana nakhoda kapal. BAB IV. PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dari penulisan skripsi ini yang kemudian ditarik saran-saran dari permasalahan yang diangkat oleh penulis agar dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanggungjawab Pidana Dalam teori hukum pidana, pada umumnya terdapat tiga teori mengenai tanggungjawab pidana (kesalahan), sebagaimana diterangkan oleh Hasan Basri Sanin Dt. Tan Pariaman sebagai berikut : 1. Teori psikologis yang menganggap kesalahan sebagai setiap sesuatu yang terdapat dalam alam pikiran setiap orang yang bersalah (si pelaku) tadi yang seakan-akan dapat ditangkap (dimengerti) oleh hakim, mungkin dengan bantuan seorang psikiater/dokter penyakit jiwa atau psikologis. 2. Teori normatif yang menganggap kesalahan tidak sebagai sesuatu yang terdapat dalam alam pikiran tetapi sebagai sifat yang sedemikian rupa yang di tentukan oleh pertimbangan hukum (misalnya : penilaian tentang apa yang salah, sehubungan dengan niat orang yang bersalah/ si pelaku tadi). 3. Teori yang dimaksudkan di sini, dimana kesalahan di lihat dari segi keputusan pengadilan, yaitu tindakan menghukum yang diambil. Tindakan serupa itu harus bersifat tegas seperti mengenakan denda memasukan orang ke dalam penjara khusus untuk waktu tertentu atau lembaga sakit jiwa yang dikhususkan di mana ia akan menerima perlakuan khusus, dalam rangka pengobatan jiwa dan pembinaan sifat sosialnya.3 Biasanya tanggungjawab pidana (kesalahan) diartikan untuk membenarkan tindakan menghukum atau menjatuhkan sanksi yang diambil oleh pengadilan. Tindakan-tindakan ini, betapapun hanya dapat dibenarkan dari segi apa yang ingin dicapai, dan kepatuhannya untuk maksud ini. Maksudnya adalah kesalahan pidana sebagai dasar dari pada hukuman, tidak begitu memperhatikan pikiran yang bersalah tadi, dibandingkan dengan tujuan pengadilan. Sehubungan dengan hal ini, menurut Soedjorio, mengemukakan bahwa ; 3
Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman, Psikiator dan Pengadilan, Jakarta, Bina Cipta, 1976, hal. 165.
Teori mutakhir dalam hukum pidana beranggapan bahwa hukum, harus “dikenakan“ sesuai dengan kesalahan dari orang yang bersalah, namun pada hakekatnya, ada kaitan antara hukuman yang dijatuhkan pada orang yang bersalah dan kesalahan dari pada orang yang bersalah tadi.4 Uraian tersebut di atas, merupakan asas dalam hukum pidana yaitu : Tidak di pidana jika tidak ada kesalahan (Geen starf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea).5 Asas ini tidak disebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tidak tertulis juga di Indonesia berlaku. Sedangkan istilah tindak pidana itu sendiri secara teori masih dijumpai beberapa sebutan seperti, perbuatan pidana, peristiwa pidana, delik, perbuatan yang melawan hukum dan lain sebagainya sebagai terjemahan dalam bahasa Belanda yang dikenal dengan sebutan “Strafbaar Feit“. Memuat Simons, strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.6 Sementara itu, Van Hammel mengemukakan bahwa Strafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undangundang, yang bersifat melawan hukum yang patut di pidana dan dilakukan dengan kesalahan.7 Oleh sebab itu tidaklah keliru menyatakan bahwa ajaran tentang kesalahan, merupakan persoalan yang cukup rumit dipelajari dalam hukum pidana. Beberapa bukti di bawah ini akan menunjukkan bahwa, tidak sedikit para ahli melakukan pembahasan terhadap ajaran tentang kesalahan, yaitu : 4
Soedjono, Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1985, hal.
153. 5
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hal. 153. Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1981, hal 26. 7 Ibid, hal. 27. 6
1. “Menurut Noyon, untuk masalah kesalahan sebaiknya dibahas mengenai hal yang berhubungan dengan penerapan hukum positif. Untuk itu ciri umum dari pada suatu kesalahan ialah : a. Bahwa pelaku mengetahui atau harus mengetahui hakekat dari kelakuannya dan keadaan yang bersamaan dengan kelakuan itu; b. Bahwa pelaku mengetahui patut harus menduga bahwa kelakuannya itu bertentangan dengan hukum; c. Bahwa kelakuannya itu dilakukan, bukan karena keadaan jiwa yang tidak normal; d. Bahwa kelakuannya itu dilakukan bukan karena pengaruh sesuatu darurat/memaksa; 2. Menurut D. Simon, untuk menyatakan adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu hal-hal : a. Kemampuan bertanggung jawab; b. Hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakukan serta akibat yang ditimbulkan; c. Dolus atau cupla; 3. Roeslan Saleh, untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa haruslah : a. Melakukan perbuatan pidana (dalam hal ini termasuk pula perbuatan yang melawan hukum); b. Mampu bertanggung jawab; c. Tidak ada alasan pemaaf.”8 Memperhatikan pengertian di atas tampak bahwasanya, unsur pokok dalam masalah pertanggung jawaban tidak lain adalah : jika seseorang mempunyai kesalahan dan mampu bertanggung jawab, maka kepadanya jelas akan mendapatkan pemidanaan. Sebaliknya dapat saja terjadi bahwa unsur kesalahan terbukti, akan tetapi pertanggung jawaban menjadi lenyap dikarenakan : a. “Sebab-sebab yang berada dalam kepribadian orang yang bersangkutan itu sendiri, seperti misalnya penyakit gila, belum cukup umur; atau b. Sebab-sebab yang datang dari luar seperti di dalam keadaan force majeur, perlawanan yang dipaksakan, peraturan hukum dan perintah jabatan (Pasal 48, 49, 50, dan 51 KUHP)”9 Sedangkan dalam rancangan KUHPidana dalam pasal 14 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak 8
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Jakarta, Sentral, 1986, hal. 68. 9 R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta, Tiara, 1959, hal. 64-65.
melakukan sesuatu yang oleh ketentuan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana/hukuman. Kemudian juga ditambahkan dalam pasal 15 bahwa tindakan tersebut harus bertentangan dengan hukum. Dalam asas tiada pidana tanpa kesalahan (green straf zonder schuld) dalam hukum pidana lazim dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif atau kesalahan tanpa dapat dicela. Akan tetapi dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut yang objektif yang dapat dicela kepada pelakunya. Asas kesalahan adalah merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana. Tetapi harus disadari bahwa ini tidak mengenai keharusan menurut undang-undang yang empiris, tetapi tentang asas normatif. Dari semua syarat-syarat dapat di pidananya, inilah yang paling langsung berhubungan dengan pidana. Sementara itu, asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak boleh dibalik menjadi tiada kesalahan tanpa pidana. Arti yang tepat dari kesalahan dalam adigium”tiada pidana tanpa kesalahan”, pertama-tama harus diperhatikan bahwa kesalahan selalu hanya mengenai perbuatan yang tidak patut melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Ditinjau secara seksama kesalahan memandang hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dalam arti kata yang sesungguhnya merupakan perbuatan. Perbuatan orang ini tidak hanya patut
secara objektif, tetapi dapat dicelakan kepadanya. Dapatlah lalu dikatakan bahwa celaan atau dapat dicelakan itu merupakan inti dari pengertian kesalahan tersebut. Seseorang mempunyai kesalahan, menurut Roeslan Saleh, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi kemasyarakatan, dia dapat di cela oleh karenanya sebab dianggap berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian. Selanjutnya Saleh menyatakan dilihat dari masyarakat ini menunjukan pandangan normative mengenai kesalahan. Terhadap kesalahan ini, dulu orang berpandangan psychologisch, tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang lalu orang berpandangan normative. Pandangan ini mensyaratkan ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa tetapi tergantung pada bagaimanakah penilaiaan hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada ataukah tidak ada kesalahan.11 Menurut Bambang Poernomo, istilah kesalahan berasal dari kata ”schuld”yang sampai sekarang belum resmi diakui sebagai istilah ilmiah yang mempunyai pengertian pasti, namun sudah sering dipergunakan di dalam penulisan-penulisan. Selanjutnya Bambang Poernomo menyatakan kesalahan yuridis juga masih dibedakan antara pemakaian dalam arti menerangkan keadaan psyche seseorang
yang
melakukan
perbuatan
yang sedemikian
rupa sehingga
perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan kepadanya dan pemakaian dalam arti bentuk kesalahan di dalam undang-undang yang merupakan kesengajaan dan kealpaan. Di dalam penulisan para ahli sering di sebut”schuld social ethische zin dan schuld is strafrechtelijke zin”, istilah schuld di dalam bahasa Belanda dapat
berupa arti; dalam arti sempit menunjukan kealpaan/culpa dan dalam arti luas menunjukan kesalahan.10 Apabila dikaji lebih lanjut pengertian kesalahan menurut beberapa ahli hukum pidana ternyata terdapat beberapa pandangan. Menurut Jonker di dalam keterangan tergantung schuldbegrip membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan yaitu: a. selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld); b. meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid); c. kemampuan bertanggungjawab (de toerenkenbaarheid).11 Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela yang pada hakikatnya tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum. Kemudian dijelaskan pula tentang hakikat tidak mencegah kelakuan yang sifatnya melawan hukum di dalam perumusan hukum positif, di situ berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan yang mengarah kepada sifat melawan hukum dan kemampuan bertanggungjawab.12 Pengertian yang dikemukakan oleh Joker dan Pompe tersebut di atas, nampak sekali terselip unsur melawan hukum yang terdapat dalam unsur kesalahan. Apabila
dikaitkan dengan pandangan tentang pengertian tindak
pidana (stafbaar fiet), maka pandangan tersebut masuk pada pandangan yang monistis. Menurut aliran monism unsur-unsur strafbaar feir itu meliputi baik unsurunsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur-unsur pembuat 10
Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983, hal. 6. 11 Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994, hal. 136-137. 12 Ibid, hal. 135.
yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar fiet sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi tindak pidana (strafbaar fiet) maka pasti pelakunya dapat di pidana.13 Dalam hukum pidana terdapat suatu pandangan yang dikenal dengan ajaran fiet materiel. Penentuan adanya kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dilakukan cukup dengan meninjau apakah pembuat memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Dengan demikian, seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang didakwakan. Pandangan ini cukup lama diikuti, sehingga akhirnya dirasakan tidak lagi memuaskan. Ketika kepuasan terhadap ajaran ini dimanifestasikan dalam praktik peradilan melalui Arrest Hoge Raad 1916, yang dikenal dengan Water en Melk Arrest. Pada satu sisi, arrest tersebut dapat dipandang memperkenalkan alasan penghapus kesalahan di luar undang-undang yang disebut dengan ‘tidak ada kesalahan sama sekali’ atau afwezigheid van alle schuld (avas). Terdakwa yang dalam kasus tersebut didakwakan melakukan tindak pidana yang rumusannya tidak memuat unsur kesengajaan atau kealpaan, dinyatakan tidak bersalah karena tidak ada kesalahan sama sekali. Padahal apabila merujuk pada ajaran fiet materiel, terdakwa dalam kasus tersebut sudah dapat
13
Muladi dan Dwidja Prijatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung, STIH, 1991, hal. 50.
dipertanggungjawabkan atau dapat di pidana, karena seluruh isi rumusan tindak pidana telah dipenuhi. Pada sisi lain, arrest tersebut juga mengkukuhkan suatu asas hukum, yang dikenal asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’ (greenstraf zonder schuld). Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai factor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. Konsepsi
yang
menempatkan
kesalahan
sebagai
factor
penentu
pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sytem. Dalam hukum pidana Negara-negara common law system berlaku maksim Latin ”actus non est reus,nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat criminal jika tidak terdapat kehendak jahat di dalamnya. Pada satu sisi, doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. Dengan demikian, mean rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan”guilty of mind” merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan doktrin mens rea dalam common law sytem, pada hakekatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law sytem. Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, pada tahun1955 Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia
dikenal dengan ajaran dualistis.14 Ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut persoalan perbuatan, sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi perbuatannya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Supaya dapat mempertanggung jawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggugjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.15 Penentuan adanya kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, tidak hanya ditentukan dari terpenuhinya seluruh isi rumusan tindak pidana. Dipindahkannya
tindak
pidana
dan
pertanggungjawaban
pidana
menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai factor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam paraktik hukum perlu pengkajian lebih lanjut. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus suatu parkara. Oleh karena itu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana,
pertama-tama
dilakukan
dengan
menelusuri
penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan, pertama-tama
14
Moelyatno, Perbuatan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1983, hal. 155. 15 Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983, hal. 6.
dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangan dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, wujud sesungguhnya dari penerapan toeri tersebut terdapat dalam putusan pengadilan. Orang pertama yang menganut pandangan dualistis adalah Herman Kontorowicz pada tahun 1933. Ajarannya di perkenalkan dan di anut oleh Moeljatno, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada dalam pidato Dies Natalis VI Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 Desember 1955, dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa, yang oleh beliau di namakan objective schuld, oleh karena kesalahan disisni di pandang sebagai sifat dari kelakuan yaitu suatu keadaan yang nampak dengan objek dalam alam lahir. Untuk gantinya di sarankan pendirian yang subjektif (subjective schuld), dalam kesalahan di pandang sebagai sifat dari orang yang melakukan handlung. Sehubungan dengan hal tersebut, beliau menentang pandangan yang monistis mengenai syarat-syarat untuk adanya pidana yaitu bahwa semua syarat-syarat merupakan kualitas atau sifat dari handlung. Beliau juga menyatakan bahwa: “pandangan mengenai makna atrafbare handlung, yaitu istilah yang di pakai untuk strafbaar fiet, harus di ubah pula dan tidak mungkin di biarkan dalam makna yang meliputi, baik “tatbestandmaszigkeit” (hal yang mencocoki rumusan undang-undang) maupun rechtwidringkeit (sifat melawan hukum ) dan schuld. Selanjutnya Herman Kontorowicz bahwa stafbar handlung harus di berikan makna: handlung yang mencocoki rumusan wet dan yang tidak di benarkan oleh alasan pembenar. Pidana di tujukan baik terhadap handlung
maupun handelnde. Kedua segi itu adalah sama-sama pentingnya untuk penjatuhan pidana, dan bukan hanya handlung saja. Moeljano, dalam pidato dies tersebut, menyatakan lebih lanjut ajaran Herman Kontorowicz bahwa ada hubungan erat antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana, separti halnya dengan perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan. Perbuatan pidana baru mempunyai arti kalau di sampingnya ada pertanggugjawaban, sebaliknya tidak mungkin ada pertanggungjawaban, jika tidak ada perbuatan pidana. Kesalahan adalah unsur, bahkan syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana. Bahkan membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana berarti mengenai jantungnya, demikian di katakana oleh Idema.16 Dengan demikian, pertanggugnjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertangggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadikan tindakan pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya. Dengan demikian, tidak mungkin seorang di pertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana, seseorang dapat dimintai pertanggugnjawaban.
16
Soedarto, Hukum dan Tindak Pidana, Bandung, Alumni, 1986, hal. 86.
B. Fungsi ,Tugas dan Kewenangan Syahbandar Ketentuan umum Pasal 1 angka 56 UU No. 17 Tahun 2008 menyebutkan bahwa : “Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan
terhadap
dipenuhinya
ketentuan
perundang-undangan
untuk
menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran”. Menurut Pasal 207 UU No. 17 Tahun 2008, Syahbandar memiliki fungsi utama, yaitu : (1) Melaksanakan keselamatan dan keamanan pelayaran yang mencakup lingkungan maritim di pelabuhan. (2) Membantu pelaksanaan pencarian dan penyelamatan di pelabuhan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Tugas Syahbandar menurut Pasal 208 UU No. 17 Tahun 2008 adalah sebagai berikut : (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di dalam Pasal 207 di atas, Syahbandar mempunyai tugas : a. Mengawasi kelaiklautan kapal, keselamatan dan keamanan serta ketertiban di pelabuhan. b. Mengawasi tertib lalu lintas kapal di perairan pelabuhan dan alur pelayaran. c. Mengawasi kegiatan alih muat di perairan pelabuhan. d. Mengawasi kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air. e. Mengawasi kegiatan penundaan kapal.
f. Mengawasi pemanduan. g. dan lain-lain. (2) Dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang keselamatan dan keamanan Syahbandar bertugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. a. Menurut pasal 6 ayat ( 1 ) KUHAP disebut” Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang di beri wewenang oleh undang-undang ini untuk melaksanakan penyelidikan“. Penyelidikan baik dalam melakukan tindakan yang merupakan wewenang maupun atas perintah penyidik harus memuat laporan hasil pelaksanaan tindakan tersebut kemudian menyampaikan laporan tersebut kepada penyidik (Pasal 5 ayat (2) KUHAP). b. Pasal 1 sub 5 berbunyi : “ Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai tindakan pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Institusi yang memiliki kewenangan melakukan penyidik menurut Pasal 6 KUHAP, adalah : 1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia 2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, seperti misalnya : pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan.
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP). Pasal 11 KUHAP berbunyi : “Penyidik pembantu karena kewajibannya mempunyai wewenang sama seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”. Pasal 7 KUHAP berbunyi : Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Sedangkan orangnya disebut Penyidik. Bahwa sesungguhnya pemeriksaan pendahuluan baik penyelidikan maupun penyidikan menurut KUHAP, sudah dapat dimulai atas dasar adanya empat kemungkinan yaitu : 1. Tertangkap Tangan Pengertian tertangkap tangan menurut Pasal 1 angka 19 adalah : a. Tertangkap tangan pada waktu perbuatan pidana itu sedang dilakukan. b. Tertangkap segera sesudah beberapa saat perbuatan pidana itu dilakukan. c. Tertangkap sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana. d. Tertangkap sesaat kemudian dan padanya ditemukan barang bukti yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana itu,
yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan. 2. Laporan Pengertian laporan menurut Pasal 1 sub 24 KUHAP adalah : “Pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya perbuatan pidana”. Melihat rumusan Pasal 1 sub 24 di atas menunjukkan adanya dua pihak yang dapat mengajukan laporan. Pihak yang dimaksud menurut Ratna Nurul Afiah, SH, adalah : a. Pihak yang berhak, setiap orangyang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 108 ayat (1) KUHAP). b. Pihak yang wajib, setiap orang yang mengalami pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum terhadap jiwa atau terhadap hak milik (Pasal 108 ayat (1) KUHAP) dan setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 108 ayat (3) KUHAP)17
3.
Pengaduan Pengertian pengaduan menurut Pasal 1 sub 25 KUHAP adalah : “Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya”.
17
Ratna Nurul Afiah, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta : 2005, hal. 24.
Tindak pidana aduan lebih dikenal dengan istilah delik aduan, dan Ratna Nurul Afiah, membedakannya menjadi dua macam : a. Delik aduan yang absolut, yaitu tindak pidana (delik) yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak korban tindak pidana tersebut kepada yang berwajib. b. Delik aduan yang relatif, yaitu tindak pidana (delik) yang sebetulnya tindak pidana biasa, keluarga yang erat dengan korban tindak pidana tersebut, maka tindak pidana dimaksud menjadi tindak pidana (delik) aduan, artinya si pelaku baru dapat dituntut apabila ada pengaduan dari si korban”.18 4. Mengetahui lewat informasi-informasi lain Bahwa petugas mengetahui sendiri atau dengan cara lain, melalui informasi-informasi, dari surat kabar, radio, maupun tentang cerita orang tentang adanya suatu peristiwa yang merupakan perbuatan pidana yang terjadi di daerah hukumnya. Berdasarkan atas salah satu dari empat kemungkinan tersebut di atas, maka penyelidik atau penyidik dapat langsung datang ke tempat terjadinya perkara, dan menurut Pasal 5 ayat (1) KUHAP, bahwa : 1) Karena kewajibannya penyelidik mempunyai wewenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. mencari keterangan dan barang bukti; c. menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; d. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2) Atas perintah penyidik maka penyelidik dapat melakukan tindakan berupa : a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; b. penyitaan dan pemeriksaan surat; c. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; d. membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. 18
Ibid, hal. 23.
Penyelidik baik dalam melakukan tindakan yang merupakan wewenang maupun atas perintah penyidik harus memuat laporan hasil pelaksanaan tindakan tersebut, kemudian menyampaikan laporan tersebut kepada penyidik sebagaimana tersebut di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) KUHAP. Untuk beberapa perkara pidana tertentu, seringkali tidak lagi dilakukan penyelidikan, melainkan langsung dilakukan tindakan penyidikan, jika hal ini terjadi maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. penyidik pegawai negeri sipil tertentu berwenang menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 11 KUHAP berbunyi : “Penyidik pembantu karena kewajibannya mempunyai wewenang sama seperti dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Apabila penyidik telah menyelesaikan berita acara pemeriksaannya atas perkara yang ditanganinya, penyidik segera melimpahkan berkas perkara tersebut pada Kejaksaan Negeri, beserta tersangka dan barang buktinya. Pasal 138 KUHAP mengatakan bahwa, “Setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik, penuntut umum itu segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum”. Apabila hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara pada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan kembali pada penuntut umum. Menurut Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Menurut Pasal 141 KUHAP, penuntut umum setelah menerima perbaikan dari penyidik, kemudian dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam hal : a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama. b. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang
tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141 di atas, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah (Pasal 142 KUHAP). Menurut Pasal 143 KUHAP, penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri disertai dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut dilampiri dengan surat dakwaan, yang ditandatangani serta berisi : a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka (Syarat Formil). b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (Syarat Materiil). Jika demikian dapat dikatakan penyelidikan sebagai tindakan awal petugas untuk mempelajari duduk persoalan dari suatu tindak pidana yang diketahui karna adanya laporan, pengaduan atau informasi lainnya. Kewenangan syahbandar menurut Pasal 209 UU No. 17 Tahun 2008, adalah : “Dalam melaksanakan fungsi tugas sebagaimana tersebut di dalam Pasal 207 dan Pasal 208 di atas, Syahbandar mempunyai wewenang : a. Mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemerintahan di lingkungan pelabuhan. b. Memeriksa dan menyimpan surat-surat, dokumen-dokumen dan warta kapal. c. Menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di pelabuhan. d. Melakukan pemeriksaan kapal. e. Menerbitkan surat persetujuan berlayar.
f. Melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal. g. Menahan kapal atas perintah pengadilan.
C. Pengertian Tindak Pidana Berdasarkan pengkajian terhadap beberapa literatur dapat diketahui bahwa istilah tindak pidana pada hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata Strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata Strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Penerapan kata yang digunakan untuk kata Strafbaarfeit oleh para sarjana hukum Indonesia antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tindak Pidana Perbuatan Pidana Perbuatan yang dapat dihukum Perbuatan melawan hukum Perbuatan yang diancam pidana Delik19
Penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya, bahkan dalam konteks yang lain juga digunakan istilah kejahatan untuk mewujudkan maksud yang sama. Sekedar untuk diketahui, bahwa istilah tersebut sering juga diperdebatkan diantara para sarjana hukum, seperti halnya di bawah ini. Simon mengatakan : “Strafbaarfeit diartikan sebagai kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesahalan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.20
19
Kanter dan S.R. Sianturi, E.Y, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta: 2001, hal. 28. 20 Ibid, hal. 29.
Sedangkan Van Hammel berpendapat bahwa : “Strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana
dan
dilakukan
dengan
kesalahan”.
Sementara
itu
Moeljatno,
menterjemahkan strafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Strafbaarfeit pada dasarnya mengandung pengertian sebagai berikut : a. Bahwa kata feit dalam istilah strafbaarfeit mengandung arti kelakuan atau tingkah laku. b. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tersebut. Berkaitan dengan kedua pengertian di atas, Moeljatno memberikan komentarnya, bahwa : Butir a pengertiannya berbeda dengan perbuatan dalam istilah perbuatan pidana, sebab menurut beliau perbuatan mengandung makna kelakuan dan akibat, bukan hanya berarti kelakuan saja. Sementara butir b maknanya juga berbeda dengan perbuatan pidana, sebab dalam istilah perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana”.21 Perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana apabila dilanggar, persoalan apakah orang yang melanggar itu kemudian benar-benar di pidana atau tidak, hal ini tergantung pada keadaan
batinnya
dan
hubungan
batin
antara
pembuat/pelaku
dengan
perbuatannya. Selanjutnya Moeljatno mengatakan bahwa : Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggung jawaban pidana, dalam perbuatan pidana tidak memuat unsur pertanggung jawaban pidana, hal ini 21
Ibid, hal. 27.
menurut Moeljatno, berbeda dengan istilah “Strafbaarfeit yang selain memuat atau mencakup pengertian perbuatan pidana, tetapi sekaligus juga memuat pengertian dari kesalahan.22 Pandangan Moeljatno tersebut merupakan pandangan dualistis tentang perbuatan
pidana.
Berdasarkan
pandangan
tersebut
di
atas,
Moeljatno
menyimpulkan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana tidak cukup hanya dengan dilakukannya perbuatan pidana semata, tetapi harus juga adanya unsur kesalahan. Kelemahan mendasar dari penjelasan Moeljatno tentang istilah perbuatan pidana adalah beliau memberikan makna terhadap istilah “Perbuatan sebagai kelakuan dan akibat, sementara apa yang dimaksud akibat dalam konteks itu tidak pernah dijelaskan. Padahal perbuatan pidana tidak hanya bisa pernah dijelaskan. Padahal perbuatan pidana tidak hanya bisa menunjuk pada perbuatan/tindak pidana materiil saja yang memang mempersyaratkan timbulnya akibat untuk terjadinya, tetapi juga dapat menunjuk pada tindak pidana formiil”.23 Jenis perbuatan pidana ini dianggap telah terjadi dengan telah dilakukannya tindak pidana yang dilarang. Dengan demikian istilah perbuatan dalam perbuatan pidana yang diberikan makna kelakuan dan ditambah akibatnya. Menurut Moelyanto bahwa : “Tidak selamanya relevan, sebab ada perbuatan pidana
yang
hanya
mempersyaratkan
kelakuan
(yang
dilarang)
tanpa
mempersyaratkan akibat untuk terjadinya, yaitu pelaku tindak pidana biasanya dikenal dengan istilah Tersangka”.24
22
Ibid. Ibid, hal. 37. 24 Ibid, hal. 38. 23
Istilah tersangka secara autentik dapat dijumpai di dalam KUHAP, ketentuan tersebut membedakan antara istilah tersangka, terdakwa dan terpidana. Perbedaan ini pada hakekatnya hanya terletak pada kedudukan pada tahap pemeriksaan perkara oleh alat negara penegak hukum. Pasal 1 butir 14 berbunyi : “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Di dalam pasal 1 butir 14, ada kata “bukti permulaan”, dari kata ini menunjukkan bahwa dengan bukti yang sedikit saja cukuplah bagi polisi untuk menyangka terjadinya perbuatan pidana. Misalnya seseorang yang pada dirinya kedapatan barang atau benda curian, maka kepadanya dapat dianggap sebagai pelaku tindak pidana pencurian atau penggelapan. Jika diperhatikan definisi di atas, ada rangkaian kata “perbuatan pidana”, sedangkan dalam rumusan resmi di dalam KUHAP adalah “Tindakan pidana” sehingga terdapat perbedaan kata “tindakan” dan kata “perbuatan”.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Bentuk-bentuk Kecelakaan Kapal Kapal laut sebagai bangunan terapung yang bergerak dengan daya dorong pada kecepatan bervariasi melintasi berbagai daerah pelayaran dalam kurun waktu tertentu, akan mengalami berbagai problematika yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti cuaca, keadaan alur pelayaran, manusia, kapal dan lain-lain yang belum dapat diduga oleh kemampuan manusia dan pada akhirnya menimbulkan gangguan pelayaran dari kapal dan mengalami kecelakaan. Gangguan pelayaran pada dasarnya dapat berupa gangguan yang dapat langsung diatasi, bahkan mendapat bantuan langsung dari pihak tertentu, atau gangguan yang mengakibatkan Nakhoda dan seluruh anak buah kapal harus terlibat baik untuk mengatasi gangguan tersebut atau untuk harus meninggalkan kapal. Dalam hal terjadinya kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan atau jiwa manusia berupa : a. Kapal tenggelam Yang dimaksud dengan kapal tenggelam yaitu dimana kebocoran pada kapal dapat terjadi karena kapal kandas, tetapi dapat juga terjadi karna tubrukan maupun kebakaran serta kerusakan kulit plat kapal karena korosi,
sehingga kalau tidak segera diatasi kapal akan segera tenggelam. Air yang masuk dengan cepat sementara kemampuan mengatasi kebocoran tersebut terbatas, bahkan
kapal menjadi miring membuat situasi sulit diatasi.
Keadaan ini akan menjadi rumit apabila pengambilan keputusan dan pelaksanaannya tidak didukung sepenuhnya oleh seluruh anak buah kapal, karna upaya untuk mengatasi keadaan tidak didasarkan azas keselamatan dan kebersamaan. b. Kapal terbakar Kapal terbakar yaitu kebakaran di kapal dapat terjadi di berbagai lokasi yang rawan terhadap kebakaran, misalnya di kamar mesin, ruang muatan, gudang penyimpanan perlengkapal kapal/store, instalasi listrik dan tempat akomodasi Nakhoda dan anak buah kapal. Keadaan darurat pada situasi kebakaran tentu sangat berbeda dengan keadaan darurat karna tubrukan, sebab pada situasi yang demikian terdapat kondisi yang sangat panas dan ruang gerak terbatas dan kadang-kadang kepanikan atu ketidaksiapan petugas yang bertindak mengatasi keadaan maupun peralatan yang digunakan sudah tidak layak atau tempat penyimpanan telah berubah. c. Kapal tubrukan Kapal tubrukan yaitu keadaan darurat karena tubrukan kapal dengan kapal atau kapal dengan dermaga maupun dengan benda tertentu akna mungkin terdapat situasi kerusakan pada kapal, korban manusia, tumpahan minyak ke laut (kapal tangki), pencemaran dan kebakaran. Situasi lainnya adalah
kepanikan atau ketakutan petugas kapal yang justru memperlambat dan penanggulangan keadaan darurat tersebut. d. Kapal kandas Kapal kandas yaitu suatu kondisi yang didahului dengan tanda-tanda putaran baling-baling terasa berat, asap di cerobong mendadak menghitam, badan kapal bergetar dan kecepatan kapal berubah kemudian berhenti mendadak. Pada saat kapal kandas tidak bergerak, posisi kapal akan sangat tergantung pada permukaan dasar laut atau sungai dan situasi di dalam kapal tentu akan tergantung juga pada keadaan kapal tersebut. Pada kapal kandas terdapat kemungkinan kapal bocor dan menimbulkan pencemaran atau bahaya tenggelam kalau air yang masuk ke dalam kapal tidak dapat diatasi, sedangkan bahaya kebakaran tentu akan dapat saja terjadi apabila bahan bakar atau minyak terkondisi dengan jaringan listrik yang merusak menimbulkan nyala api dan tidak terdeteksi sehingga menimbulkan kebakaran. Kemungkinan kecelakaan manusia akibat kapal kandas dapat saja terjadi dikarenakan situasi yang tidak terduga atau terjatuh saat terjadi perubahan posisi kapal. Kapal kandas sifatnya dapat permanen dan dapat pula dersifat sementara tergantung pada posisi permukaan dasar laut atau sungai, ataupun cara mengatasinya sehingga keadaan darurat seperti ini akan menimbulkan situasi di lingkungan kapal akan menjadi rumit.25
25
http://www.maritimeworld.web.id.id/2011/08 prosedur-keadaan-darurat-materi-darurat. html. Diakses tanggal 20 Juni 2012.
Penyebab dari kecelakaan kapal tersebut memiliki faktor yang sangat mempengaruhi antara lain : 1. Faktor manusia Faktor manusia merupakan faktor yang paling besar yang antara lain meliputi: -
Kecerobohan di dalam menjalankan kapal ,
-
Kekurangmampuan
awak
kapal
dalam
menguasai
berbagai
permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal, -
Secara sadar memuat kapal secara berlebihan.
2. Faktor Teknis Faktor ini dikarenakan oleh kelalaian dari pemeliharaan kapal itu sendiri : -
Kurang cermat dalam mendisain kapal
-
Penelantaran
dalam
perawatan
kapal
sehingga
mengakibatkan
kerusakan -
kapal atau bagian-bagian kapal yang mengakibatkan kapal mengalami kecelakaan.
3.
Faktor Alam Faktor cuaca buruk :badai, gelombang yang tinggi yang dipengaruhi oleh musim/badai, arus yang kuat, kabut yang mengakibatkan jarak pandang terbatas.
B. Kecelakaan–kecelakaan Kapal yang Sering Terjadi di Alur Perairan Sungai Musi Sebelum penulis mengemukakan gambaran kecelakaaan-kecelakaan yang sering terjadi di perairan Sungai Musi terlebih dahulu akan disajikan data jumlah kecelakaan kapal yang terjadi melalui tabel berikut ini : Tabel I Data Kejadian Kecelakaan Kapal Tahun 2009 s/d 2011 Di Peraiaran Sungai Musi Tahun
Jumlah Kecelakaan
2009
4 ( empat )
Jenis / Bentuk Kecelakaan - 2 karena tenggelam dan bocor - 1 kandas - 1 tabrakan
2010
10 ( sepuluh )
- 1 kapal menabrak dermaga - 1 kapal membentur tiang jembatan Ampera - 1 tongkang terbakar - 3 kapal terbakar - 2 kapal senggolan - 1 kapal kandas - 1 kapal tenggelam
2011
9 ( sembilan )
- 2 kapal menabrak - 2 speed boat menabrak tongkang - 1 kapal menabrak rumah penduduk - 1 kebakaran pada kamar ABK - 3 kapal menyenggol
Dari data tabel di atas tingkat kecelakaan kapal antara tahun 2009 hingga tahun 2010 cukup tinggi dari 4 kejadian kecelakaan di tahun 2009 menjadi 10 kecelakaan di tahun 2010. Begitu pula pada tahun 2010 hanya selisih 1 (satu) angka kecelakaan. Artinya setiap bulan selisih terjadinya satu kecelakaan di perairan sungai musi. Akibat terjadinya suatu kecelakaan dapat menimbulkan berbagai kerugian tidak hanya harta benda bahkan nyawa manusia .Dari data di atas juga dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk kecelakaan kapal berkisar antara tabrakan, terbakar, kandas dan tenggelam. Hasil dari wawancara penulis
dengan Ramlah, S.SIT, MH, yang
menjadi penyebab kecelakaan yang terjadi di perairan sungai Musi
pada
umumnya karena Faktor Manusia dan Faktor alam adapun penjelasan dari pada kedua faktor tersebut telah diuraikan di atas. Dan dari data di atas yang dominan sering terjadi di setiap tahun adalah tabrakan.26
C. Pertanggungjawaban Pidana Nakhoda Kapal 1. Menurut Undang-undang Pelayaran Struktur organisasi kapal terdiri dari seorang Nakhoda selaku pimimpin umum di atas kapal dan Anak Buah kapal yang terdiri dari para perwira kapal dan non perwira/bawahan (subordinatecrew). Struktur organisasi kapal diatas bukanlah struktur yang baku, karena tiap kapal bisa berbeda struktur organisaninya tergantung jenis, fungsi dan kondisi kapal tersebut. 26
Ramlah, S,SIT, MH, wawancara tanggal 13 Juni 2012.
UU No. 17 Tahun 2008 dalam Pasal 1 ayat 41 dengan tegas menyatakan bahwa Nakhoda adalah salah seorang dari Awak kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi apapun yang terjadi di atas kapal menjadi tanggung jawab Nakhoda, kecuali perbuatan kriminal. Misalkan seorang Mualim sedang bertugas di anjungan sewaktu kapal mengalami kekandasan. Meskipun pada saat itu Nakhoda tidak berada di anjungan, akibat kekandasan itu tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda. Dalam Pasal 137 Undang-undang No. 17 tahun 2008 menerangkan bahwa : 1. Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonanage) atau lebih memeiliki wewenang penegakan hukum serta bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan. 2. Nakhoda untuk kapal motor ukuran kurang dari GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonage) dan untuk kapal tradisional ukuran kurang dari GT 105 (seratus lima Gross Tonnage) dengan kontruksi sederhana yang berlayar di perairan terbatas bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan. 3. Nakhoda tidak bertanggung jawab terhadap keabsahan atau kebenaran materiil dokumen muatan kapal.
4. Nakhoda wajib menolak dan memberitahukan kepada instasi yang berwenang apabila mengetahui muatan yang diangkut tidak sesuai dengan dokumen kapal. 5. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih diberi tugas dan kewenangan khusus yaitu: a. Membuat catatan setiap kelahiran ; b. Membuat catatan setiap kematian;dan c. Menyaksikan dan mencatat surat wasiat. Pada pasal 193 Undang-undang No.17 Tahun 2008 berbunyi : 1. Selama berlayar Nakhoda wajib mematuhi ketentuan –ketentuan yang berkaitan dengan : a. Tata cara berlalu lintas; b. Alur pelayaran; c. Sistem rute; d. Daerah pelayaran lalu lintas kapal; dan e. Sarana bantu navigasi-pelayaran. Pada pasal 199 Undang-undang No.17 Tahun 2008 ayat (3) berbunyi : Pemanduan terhadap kapal tidak mengurangi wewenang dari pada tanggung jawab Nakhoda, artinya setiap kejadian yang dialami selama pandu kapal memandu kapal keseluruhan kejadian adalah tanggung jawab dari pada Nakhoda kapal tersebut.
Undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran dalam ketentuan pidananya menyatakan bahwa dalam pasal : Pasal 286 (1)
Nakhoda angkutan sungai dan danau yang melayarkan kapal nya kelaut tanpa izin dari Syahbandar sebagaimana di maksud dalam pasal (18) ayat (6) di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah)
(2)
Jika perbuatan sebagaimana di maksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda di pidanakan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)
Jika perbuatan sebagaimana di maksud pada ayat (1), mengakibatkan kematian seseorang, Nakhoda di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). Pasal 302
(1) Nakhoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 117 ayat (2) di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda di pidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Jika perbuatan sebagaimana di maksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 309 Nakhoda yang sedang berlayar dan mengetahui adanya cuaca buruk yang membahayakan keselamatan berlayar namun tidak menyebarluaskan kepada pihak lain dan/atau instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (3) di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 315 Nakhoda yang mengibarkan bendera Negara lain sebagai tanda kebangsaan dimaksud dalam pasal 167 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Pasal 317 Nakhoda yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Pasal 323
(1) Nakhoda yang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 330 Nakhoda yang mengetahui adanya bahaya dan kecelakaan di kapalnya, kapal lain, atau setiap orang yang ditemukan dalam keadaan bahaya, yang tidak melakukan tindakan pencegahan dan menyebarluaskan berita mengenai hal tersebut kepada pihak lain, tidak melaporkan kepada Syahbandar atau Pejabat Perwakilan RI terdekat dan pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila bahaya dan kecelakaan terjadi di luar wilayah perairan Indonesia serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 ayat (3) atau ayat (4), Pasal 247 dan Pasal 248 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Nakhoda tidak boleh meninggalkan kapalnya selama pelayaran atau bila ada bahaya mengancam, kecuali bila ketidakhadirannya mutlak perlu atau dipaksa untuk itu oleh ikhtiar penyelamatan diri. Setelah tiba di suatu pelabuhan,
nakhoda
dapat
menyuruh
pegawai
yang
berwenang
untuk membuat keterangan kapal mengenai kejadian dalam perjalanan. Bila sangat diperlukan, demi keselamatan kapal atau muatannya, nakhoda berwenang untuk melemparkan ke laut atau memakai habis perlengkapan kapal dan bagian dari muatan. Nakhoda dalam keadaan darurat selama perjalanan berwenang untuk mengambil dengan membayar ganti rugi, bahan makanan yang ada pada para penumpang atau yang termasuk muatan, untuk digunakan demi kepentingan semua orang yang ada di kapal. Nakhoda mempunyai
kekuasaan
disipliner
atas
anak
buah
kapal.
Untuk
mempertahankan kekuasaan ini ia dapat mengambil tindakan yang selayaknya diperlukan. Nakhoda mempunyai kekuasaan di kapal atas semua penumpang. Mereka wajib menaati perintah yang diberikan oleh nakhoda untuk kepentingan keamanan atau untuk mempertahankan ketertiban dan disiplin.27 Dari uraian di atas nampak jelas bahwa Nakhoda mempunyai tanggung jawab yang tidak mudah oleh karna itu apabila seorang Nakhoda sudah terindikasi lalai atau dengan sengaja melakukan kesalahan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan dalam pelayaran, sudah sepatutnya diproses sesuai 27
Djaja, D. Bambang Setiono Adi Indra Kusna, Hukum Laut dan Perkapalan, Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2008, Bab.XIII.
ketentuan hukum yang berlaku Undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, telah mengatur proses hukum bagi Nakhoda yang di duga telah melakukan kesalahan yang menimbulkan korban baik harta maupun nyawa. Jika ditinjau dari Undang-undang No. 17 Tahun 2008 . (Pasal 286 ayat 2 dan 3) . (Pasal 302 ayat 2 dan 3 ). (Pasal 323 ayat 2 dan 3 ) . Di terangkan bahwa jika perbuatan sebagaimana dimaksud ,mengakibatkan adanya korban baik harta maupun mengakibatkan kematian di atas kapal dapat di pidana penjara dan denda dengan ketentuan undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran. Dan jika ditinjau dari Pasal 459 ayat (1) penumpang kapal Indonesia yang dalam kapal itu melakukan serangan pada Nakhoda atau anak kapal yang dalam kapal nya itu atau dalam menjalankan pekerjaannya melakukan serangan pada seorang yang lebih tinggi pangkatnya atau melawan orang itu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan sengaja merampas kemerdekaannya, di hukum karena durhaka ( insubordinatie ) dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. (2) si tersalah di hukum:1e . penjara selama-lamanya
empat tahun, jika kejahatan atau
perbuatan yang menyertai kejahatan itu memyebabkan sesuatu luka; 2e. penjara selama-lamanya delapan tahun enam bulan jika perbuatan itu menyebabkan ada orang mendpat luka berat; (KUHP.90).3e. penjara selamalamanya dua belas tahun, jika perbuatan itu menyebabkan ada orang mati. (KUHP. 8, 89, 93,s 211, 460, 465, 487).
Jadi aturan yang ada dalam Undang-undang No. 17 dan KUHP memiliki
kesamaan
dalam
menjatuhkan
pidana
jika
perbuatan
itu
menyebabkan/mengakibatkan kematian, hanya bedanya Undang-undang No. 17 Tahun 2008 langsung memberikan sanksi pidana dan denda.
2. Didalam praktek Dalam hal kecelakaan kapal Pasal 249 menerangkan bahwa : kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 merupakan tanggung jawab Nakhoda kecuali dapat di buktikan lain. Dalam praktek di lapangan sering juga di dapatkan kecelakaan yang di sebabkan oleh karena kelalaian dalam pemuatan kapal yang terlalu berlebihan melampaui batas muatan yang telah di tentukan dengan kapasitas kapal tersebut. Sedangkan dalam undang-undang Pelayaran Pasal 147 menjelaskan ayat (1) setiap kapal yang berlayar harus di tetapkan garis muatnya sesuai dengan persyaratan. (2) Penetapan garis muat kapal di nyatakan dalam Sertifikat Garis Muat. (3) Pada setiap kapal sesuai dengan jenis dan ukurannya harus di pasang Merkah Garis Muat secara tetap sesuai dengan daerah-pelayarannya. Setiap kapal sesuai dengan jenis dan ukurannya harus dilengkapi dengan informasi stabilitas untuk memungkinkan Nakhoda menentukan semua keadaan pemuatan yang layak pada setiap kondisi kapal. Dan cara pemuatan, penempatan, dan pemadatan muatan barang serta pengaturan balas harus memenuhi persayaratan keselamatan kapal. Tanggung jawab Nakhoda dalam muatan yaitu Nakhoda wajib menolak dan memberitahukan ke syahbandar atau pada instansi yang
berwenang apabila mengetahui muatan yang diangkut tidak sesuai dengan dokumen muatan. Dalam pasal 251 Mahkamah Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 250, memiliki fungsi untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan kapal dan menegakan kode etik profesi dan kepetensi Nakhoda dan/ atau perwira kapal setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh Syahbandar. Dan mahkamah Pelayaran berwenang memeriksa tubrukan yang terjadi antara kapal niaga dengan kapal niaga, kapal niaga dengan kapal Negara, dan kapal niaga dengan kapal perang. Dari data di lapangan tentang kejadian kecelakaan kapal yang penulis dapat di ambil sebagai contoh MV. GLORIA SENTOSA, Bendera Indonesia dengan GT. 955 menabrak MS. Irpansyah, Bendera Indonesia dengan GT. 20 .yang mengakibatkan MS.Irpansyah rusak pada bagian rumah buritan dan terdapat korban jiwa. Setelah ditindaklanjuti oleh Syahbandar dan diproses sesuai dengan Berkas Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BBAPP). Dan dicari keterangan dari Nakhoda, Masinis II, Pandu, Serang dari MS. Irpansyah. Seluruh berkas kecelakaan kapal tersebut di kirim ke Direktur Jendral Perhubungan Laut (DJPL). Di dalam Undang-undang pelayaran terdapat sanksi pidana dan denda mengapa di dalam prakter dalam kejadian tersebut diatas setelah memenuhi berkas dan hasil yang terjadi, tidak dijatuhi hukuman sanksi denda ataupun pidana. Yang kesemuanya itu dikarenakan dalam perhubungan laut tidak adanya dana untuk pemenjaraan dan pasilitas lainnya berupa DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) .
Dalam praktek dan dalam undang-undang pelayaran memiliki perbedaan yang seharusnya kecelakaan tersebut diambilalih oleh perhubungan laut malah diambil alih oleh Pol Air (Polisi Perairan). Sebab-sebab tersebut dikarnakan kurangnya para pelaut yang mengerti akan Undang-undang pelayaran, kurangnya armada dalam perhubungan laut yang menyebabkan lama dalam mengambil tindakan, kurang didukungnya sarana dan prasarana penyelamatan untuk kecelakaan kapal khususnya di Palembang. Penyebab yang diambil dari hasil analisis terhadap keterangan dan informasi dan data, dapat disimpulkan bahwa terjadi kecelakaan laut antara MT.Gloria Sentosa dengan kapal jukung Irpansyah disebabkan oleh kurangnya kewaspadaan awak kedua kapal tersebut terhadap situasi dan posisi kapal sesaat sebelum tabrakan. Masing-masing awak kapal kurang tepat dalam menentukan posisi dan pergerakan kapal. Faktor lain yang menunjang adalah kopetensi pengawakan kapal jukung yang tidak memiliki pengetahuan banyak tentang peraturan di laut.28
28
Umar Juni, ST, Wawancara Tanggal 14 Juni 2012.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk kecelakaan kapal adalah suatu bentuk kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan jiwa manusia dalam Undang-undang 17 Tahun 2008 menerangkan bahwa bentuk kecelakaan kapal berupa : a. kapal kandas; b. kapal terbakar; c. kapal tubrukan; dan d. kapal kandas. 2. Tanggungjawab Nakhoda terhadap kecelakaan kapal menurut Undang-undang 17 Tahun2008 tentang pelayaran dalam praktek : a. Nakhoda yang mengetahui adanya kecelakaan kapalnya atau kapal lain wajib
mengambil
memberikan
tindakan
pertolongan
penanggulangan,
dan
meminta
menyebarluaskan
berita
dan
atau
mengenai
kecelakaan kapal tersebut kepada pihak lain. b. Jika terjadi kecelakaan diatas kapal Nakhoda harus berada diatas kapal dan mencatat semua kejadian kecelakaan tersebut di buku harian kapal dan dilaporkan ke syahbandar.
B. Saran-saran 1. Agar pemerintah segera merevisi peraturan yang mengatur secara tegas tentang pembagian tugas dan wewenang instansi yang terlalu banyak di bidang penegakan hukum di laut agar tidak saling tumpang tindih dalam melakukan kewenangannya masing-masing, dan untuk menghemat biaya dan waktu. 2. Agar penegakan hukum khususnya di bidang pelayaran ditegakkan oleh perhubungan laut khususnya Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP). 3. Hendaknya pemerintah segera menambah armada dan melengkapi sarana dan prasarana yang lebih canggih mengingat wilayah Negara Indonesia sebagian besar merupakan kepulauan, yang sering terjadinya kecelakaan di laut dan sungai. 4. Agar undang-undang tentang pelayaran pun menjadi lebih baik hkususnya tentang pidana dalam kecelakaan yang sampai merenggut jiwa. 5. Untuk setiap Nakhoda yang berada di atas kapal harus memiliki kompetensi ijazah pelaut yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan ,dan menurut besar kecilnya kapal . 6. Nakhoda harus paham dengan P2TL (Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut). 7. Untuk perhubungan laut khususnya dalam DIPA untuk anggaran kecelakaan kapal dalam Undang-undang haruslah berjalan dengan isi dari undang-undang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku : Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Moelyatno, Perbuatan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. Muladi dan Dwidja Prijatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, SITH, Bandung, 1991. P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990. Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983. Soedarto, Hukum dan Tindak Pidana, Alumni, Bandung, 1986. Usman Simanjutak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1994. Wirjono Prodjo Dikoro, Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2002. Perundang-undangan : Kitab Undang-undang Hukum Pidana. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal. Keputusan Menteri Nomor 55 tahun 2006 tanggal 17 Oktober 2006 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kecelakaan Kapal. Situs Internet : Detik News, Tangker BBM Pertamina Kecelakaan di Sungai Musi. Jumat, 18/03/2011. 11.33 WIB.