PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PENGEMUDI PADA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN MATINYA SESEORANG
JURNAL ILMIAH Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta Oleh : Nama
: WIAN WIMBO
NIM
: 15101191
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2016
1
ABSTRAKSI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan pertanggungjawaban pidana dalam kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia dan mengkaji hambatan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia. Meningkatnya jumlah korban dalam suatu kecelakaan merupakan suatu hal yang tidak diinginkan oleh berbagai pihak, mengingat betapa sangat berharganya nyawa seseorang yang sulit diukur dengan sejumlah uang. Orang yang mengakibatkan kecelakaan tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan harapan pelaku dapat jera dan lebih berhati- hati. Hal tersebut karena penyelesaian kasus lakalantas yang ada seringkali tidak konsisten. Ada beberapa kasus yang diselesaikan melalui proses pengadilan tetapi banyak juga yang diselesaikan tanpa melalui proses hukum karena telah terjadi perdamaian di antara kedua belah pihak Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta. Jenis penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian menggunakan deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi lapangan dan studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggunggjawaban pidana dalam kasus pertama maupun kedua bentuk pertanggungjawaban pidana yang terdiri dari harus melakukan perbuatan pidana yang menyebabkan korban meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas; mampu bertanggung jawab karena telah cukup umur; dengan kesengajaan atau kealpaan yaitu bahwa pengemudi telah lalai, dan tidak adanya alasan pemaaf di mana keduanya juga tetap harus menjalankan putusan hakim walaupun telah berdamai dengan keluarga korban, dimana terdakwa Suratno adalah dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan sedangkan kasus ke 2 yaitu dengan terdakwa Nariyadi Bin Dalimin dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Hambatan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia antara lain adalah kurangnya saksi, keterangan yang diberikan oleh para saksi, antara saksi yang satu dengan saksi yang lain tidak saling bersesuaian dan menentukan siapa yang benar-benar bersalah atau lalai dalam tindak pidana, misalnya menentukan siapa yang paling bersalah dalam hal kecelakaan antar mobil dengan motor, mobil dengan sepeda ontel, biasanya yang menyebabkan korban meninggal ditentukan sebagai pihak yang bersalah. Keywords : pertanggungjawaban pidana, kelalaian pengemudi, kecelakaan lalu lintas
2
A. Latar Belakang Masalah Lalu lintas di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana peraturan tersebut demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat perlu ditentukan mengenai tindakan yang dilarang dan diharuskan. Sedangkan pelanggaran dari ketentuan tersebut diancam dengan pidana. Sering terjadinya pelanggaran lalu lintas ini, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja mungkin disebabkan karena sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku pelanggaran lalu lintas tersebut terlalu ringan, maka tidak heran jika kian hari kian banyak terjadi peristiwa pelanggaran lalu lintas. Akibat hukum dari kecelakaan lalu lintas adalah adanya sanksi pidana bagi si pembuat atau penyebab terjadinya peristiwa itu dan dapat pula disertai tuntutan perdata atas kerugian material yang ditimbulkan Kecelakaan lalu lintas merupakan momok mengerikan yang terjadi di banyak negara. Terlebih untuk negara-negara berkembang, di mana urusan transportasi seperti benang kusut. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan India menempati urutan pertama negara dengan jumlah kematian terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara Indonesia menempati urutan kelima. Namun, Indonesia justru menempati urutan pertama peningkatan kecelakaan menurut data Global Status Report on Road Safety yang dikeluarkan WHO. Indonesia dilaporkan mengalami kenaikan jumlah kecelakaan lalu lintas hingga lebih dari 80 persen. Angka kematian global saat ini tercatat mencapai angka 1,24 juta per tahun. Diperkirakan, angka tersebut akan meningkat hingga tiga kali lipat menjadi 3,6 juta per tahun pada 2030 1. Secara garis besar kecelakaan lalu lintas cenderung disebabkan oleh 4 (empat) faktor yang saling berkaitan, yakni faktor manusia, faktor kendaraan, faktor jalan raya dan faktor lingkungan. Pada hakikatnya pelanggaran atau kecelakaan yang terjadi di jalan raya yang sering terjadi dapat dikatakan bahwa kesalahan terletak pada pemakai jalan raya (faktor manusia) yang mana tidak mentaati dan mematuhi peraturan yang berlaku. Kekurangan-kekurangan yang ada pada manusia sebagai pemakai jalan raya, terutama sekali kurangnya disiplin merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sering kali masyarakat memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian, kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan yang bersangkutan. Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari kronologis kejadian serta saksi mata yang melihat terjadinya kecelakaan 2 Kecerobohan pengemudi tersebut tidak jarang menimbulkan korban, baik korban menderita luka berat atau korban meninggal dunia bahkan tidak jarang merenggut jiwa pengemudinya sendiri. Beberapa kecelakaan lalu lintas yang terjadi, sebenarnya dapat dihindari bila diantara pengguna jalan bisa berprilaku disiplin, sopan dan saling menghormati. Yang mana penggunaan jalan tersebut diatur di dalam Undang-undang Nomer 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat dengan UU lalu lintas dan angkutan jalan). 1 2
http://www.republika.co.id/, diakses tanggal 1 Juni 2016 Agio V Sangki, 2012, Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Lex Crimen Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2012, hal 2
1
Beberapa kecelakaan lalu lintas yang terjadi, sebenarnya dapat dihindari bila diantara pengguna jalan mematuhi peraturan yang diatur didalam bagian ke empat tata cara berlalu lintas dan paragraf kesatu mengulas tentang ketertiban dan keamanan, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya ketentuan Pasal 105 dan Pasal 106, menyebutkan bahwa: UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Ketentuan Pasal 105, Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib: a) Berperilaku tertib; dan/atau b) Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan. Adanya suatu peraturan yang tersebut dan apabila masyarakatnya mau menerapkan aturan tersebut dalam berkendara, kemungkinan besar bisa menekan jumlah kecelakaan yang sering terjadi di jalan raya. Banyak kecerobohan yang mengakibatkan kurang berhati-hatinya seseorang yang kerap menimbulkan kecelakaan dan dengan kecerobohan tersebut memberikan dampak kerugian bagi orang lain. Meningkatnya jumlah korban dalam suatu kecelakaan merupakan suatu hal yang tidak diinginkan oleh berbagai pihak, mengingat betapa sangat berharganya nyawa seseorang yang sulit diukur dengan sejumlah uang. Orang yang mengakibatkan kecelakaan tersebut harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan harapan pelaku dapat jera dan lebih berhati- hati. Hal tersebut karena penyelesaian kasus lakalantas yang ada seringkali tidak konsisten. Ada beberapa kasus yang diselesaikan melalui proses pengadilan tetapi banyak juga yang diselesaikan tanpa melalui proses hukum karena telah terjadi perdamaian di antara kedua belah pihak. Berbagai alasan dijadikan dasar untuk melanjutkan atau menghentikan suatu proses peradilan terhadap kasus lakalantas, baik karena pelaku dan korban adalah keluarga atau karena telah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak 3. Dengan banyaknya kasus kecelakaan di jalan raya yang banyak menimbulkan korban, maka berhati hatipun tidaklah cukup untuk menghindari kecelakaan, faktor kondisi sangatlah diutamakan dalam mengendarai kendaraan dan juga kesadaran hukum berlalu lintas harus dipatuhi sebagaimana mestinya. Berdasarkan hal tersebut maka akan dilakukan penelitian untuk mengetahui penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia. B. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji penerapan pertanggungjawaban pidana dalam kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia. 2. Mengkaji hambatan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia. C. Metode Penelitian Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta. Jenis penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian menggunakan deskriptif. Teknik pengumpulan data 3
Tajudin dan Nella Sumika Putri, 2015, Penyelesaian Tindak Pidana Lalu Lintas Melalui Pendekatan Restorative Justice Sebagai Dasar Penghentian Penyidikan dan Perwujudan Asas Keadilan Dalam Penjatuhan Putusan, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 2 No. 1. Hal 146
2
menggunakan studi lapangan dan studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan model interaktif yaitu data yang terkumpul akan dianalisa melalui tiga tahapan, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan kemudian akantahap tersebut, sehingga data yang terkumpul berhubungan dengan data yang lainnya 4. Di dalam penelitian kualitatif proses analisis biasanya dilakukan secara bersamaan dengan proses pelaksanaan pengumpulan data. Tiga komponen utama yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. D. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 163/Pid.Sus/2013/PN.Ska Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana pada kasus nomor 163/Pid.Sus/2013/PN.Ska adalah sebagai berikut : a. Menyatakan terdakwa Suratno tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain mati “ b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Suratno oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan d. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan e. Menetapkan barang bukti berupa : 1) 1 (satu) Unit KBM sedan mahkota taxi No.pol AD 1342 CA beserta STNK AD 1342 CA, karena terbukti milik Suryanti maka wajar dikembalikan kepadanya melalui terdakwa 2) SIM B1 umum atas nama Suratno, karena terbukti milik terdakwa maka wajar apabila dikembalikan kepadanya 3) 1 (satu) unit SPM Yamaha mio No.Pol. AD 6157 FU beserta STNK AD 6157 FU, dan SIM C atas nama Sudarmadi, karena terbukti milik korban Sudarmadi, maka dinyatakan dikembalikan kepada ahli waris almarhum Sudarmadi. f. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.2000,- (dua ribu rupiah) 2. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 45/Pid.Sus/2015/PN.Skt Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana pada kasus nomor 45/Pid.Sus/2015/PN.Skt adalah sebagai berikut : a. Menyatakan terdakwa NARIYADI Bin DALIMIN tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia’; b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan; c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; d. Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan; e. Menetapkan barang bukti berupa: 4
HB. Sutopo, 2002, Pengantar Metodologi Penelitian, UNS Press. Surakarta, Hal 98
3
1) 1 (satu) unit kendaraan truk tronton Nopol AB 8775 NE; 2) STNK kendaraan truk tronton AB 8775 NE a.n. TOMY WINOTO, S.E.; dikembalikan kepada saksi KRISTYO SUNARNO; 3) SIM B II Umum a.n. NARIYADI No.SIM 751214410836; dikembalikan kepada Terdakwa; 4) 1 (satu) unit sepeda ontel tanpa merk; dikembalikan kepada keluarga korban JOKO SUSILO melalui saksi RULI MAWARDI SAHAR Bin BAMBANG SAKRI; f. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah); 3. Penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia Pertanggungjawaban pidana harus pidana harus melakukan perbuatan pidana; mampu bertanggung jawab; dengan kesengajaan atau kealpaan, dan tidak adanya alasan pemaaf 5 , adapun pembahasan masing-masing unsur pertanggung jawaban pidana dalam kasus kelalaian pengemudi yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas, adalah sebagai berikut : a. Harus melakukan tindak pidana Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya tindak pidana atau kesalahan pada pelaku. Terhadap pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana penipuan, maka di sini Hakim mengacu kepada aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan.dalam KUHP sendiri sebagai hukum positif telah mengatur apa yang dimaksud dengan penipuan serta ancaman pidana yang dapat diberikan. Pertanggung jawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan “orang tidak mungkin dipertanggung jawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana 6 dilakukannya tindak pidana. Pertanggung jawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung apakah ada orangorang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut Berdasarkan putusan hakim tersebut maka bentuk pertanggungjawaban terdakwa terhadap kelalaian pengemudi bahwa pada kasus pertama dengan terdakwa Suratno telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain mati“ dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa Suratno oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan. Sedangkan tuntutan penuntut umum adalah pidana penjara selama 8 (delapan) bulan, dikurangi selama terdakwa ditahan. Sedangkan pada kasus ke 2 yaitu dengan terdakwa Nariyadi Bin Dalimin tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan 5
Roslan Saleh, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Aksara Baru, hal 7576 6 Moelyatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, hal 19.
4
lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Sedangkan tuntutan penuntut umum adalah pidana penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan Menurut Penulis hal ini sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang bunyinya sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalahmelakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatukan pidana. Dari kedua kasus tersebut pertanggungjawaban pidana dari kedua kasus tersebut telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana yaitu harus melakukan tindak pidana, dalam hal ini adalah kecelakaan yang menyebabkan korban meninggal dunia, sehingga unsur ini terpenuhi. Putusan yang ditetapkan hakim masih berada di bawah dari Ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ yang menyatakan bahwa “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).” Dalam putusan pada Nomor 163/Pid.Sus/2013/PN.Ska dan Nomor 45/Pid.Sus/2015/PN Skt. Proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Majelis Hakim menurut hemat penulis sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yaitu berdasarkan pada sekurang-kurangya dua alat bukti yang sah, dimana dalam kasus yang diteliti penulis, alat bukti yang digunakan hakim adalah keterangan saksi, barang bukti, surat visum et repertum dan keterangan terdakwa. Lalu kemudian mempertimbangkan tentang pertanggungjawaban pidana, dalam hal ini Majelis Hakim berdasarkan faktafakta yang timbul di persidangan menilai bahwa terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada saat melakukan perbuatannya terdakwa sadar akan akibat yang ditimbulkan, pelaku dalam melakukan perbuatannya berada pada kondisi yang sehat dan cakap untuk mempertimbangkan perbuatannya. b. Mampu bertanggung jawab Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawab pidanakan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) bilamana pada umumnya tidak terganggu keadaan jiwanya dan jiwanya mampu untuk dapat menginsyafi hakekat dari tindakanya dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut 7”. Kemampuan bertanggung jawab dalam kasus ini adalah bahwa pada Terdakwa telah memiliki SIM yaitu SIM C dan SIM BII, hal ini berarti bahwa Terdakwa telah berusia 17 tahun ke atas, dimana usia tersebut merupakan usia yang secara hukum telah mampu bertanggung jawab atas 7
EY Kanter dan SR Sianturi, 2002 Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta : Storia Grafika, hal 249
5
perbuatannya. Pasal 77 ayat [1] UULLAJ menyatakan bahwa fungsi dari penerbitan SIM adalah sebagai tanda bukti kompetensi bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan kendaraan bermotor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan UULLAJ (Pasal 1 angka 4 Perkapolri No. 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab atas kecelakaan kendaraan bermotor adalah pada pengemudinya. Dalam kedua kasus tersebut maka diketahui bahwa Terdakwa telah mampu bertanggung jawab, karena telah berusia 55 tahun dan 39 tahun, sehingga secara umur Terdakwa telah mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukkannya secara hukum, sehingga unsur pertanggungjawaban pidana yaitu mampu bertanggung jawab dalam hal ini terpenuhi. c. Dengan kesengajaan atau kealpaan Dalam setiap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya, tentunya mempunyai konsekwensi hukum bagi pengemudi kendaraan tersebut. Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus adalah diatur dalam Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Sering kali masyarakat memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan luka-luka dan kematian, mutlak kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan yang bersangkutan. Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi mata yang melihat terjadinya kecelakaan. Dalam putusan pada Nomor 163/Pid.Sus/2013/PN.Ska dan Nomor 45/Pid.Sus/2015/PN Skt tersebut pada dasarnya pengemudi tidak sengaja tetapi dalam hal ini pengemudi dinyatakan sebagai kealpaan, dan karena kealpaan dirinya yang menyebabkan korban meninggal dunia maka pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas dikenakan Pasal 359 KUHP, yang berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Dalam kasus pertama dan kedua maka hakim telah memutuskan bahwa terdakwa lalai sehingga menyebabkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia, berdasarkan hal tersebut maka unsur pertanggungjawaban pidana telah terpenuhi, kemudian dengan berdasar keempat unsur dalam Pasal 310 UU LLAJ tersebut, umumnya unsur ke (3) yang lebih memerlukan waktu agar dapat terbukti. Melalui penyidikan, aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian hendaklah harus membuktikan adanya unsur kelalaian itu. Atas kedua aturan tersebut apabila dalam kasus kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian bagi seseorang, maka menurut hukum yang harus dikenakan bagi pengemudi kendaraan tersebut adalah jeratan pidana yang
6
diatur dalam UU LLAJ, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.” Acuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam mengadili dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun, dan bukan Pasal 359 dalam KUHP. Dalam kedua kasus tersebut maka diketahui bahwa Terdakwa telah lalai sehingga dalam kasus kecelakaan tersebut menyebabkan korban meninggal dunia, hal ini unsur pertanggungjawaban pidana yaitu akibat kesejangajaan atau kealpaan dalam hal ini terpenuhi. d. Tidak adanya alasan pemaaf Dalam ilmu hukum, khususnya hukum pidana, terhadap perbuatan melawan hukum dikenal adanya dua macam alasan yang menjadi dasar peniadaan pidana, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan yang pertama yang disebut dengan alasan pembenar, berhubungan dengan sifat obyektivitas dari suatu tindakan yang melawan hukum. Dengan alasan pembenar ini suatu tindak pidana kehilangan unsur perbuatan melawan hukumnya, sehingga siapa pun juga yang melakukan tindakan tersebut tidak akan dapat dipidana karena tidak memiliki lagi unsur perbuatan melawan hukumnya. Dalam alasan pemaaf ini, seorang subyek pelaku tindak pidana dihadapkan pada suatu keadaan yang demikian rupa sehingga keadaan jiwanya menuntun ia untuk melakukan suatu tindakan yang termasuk dalam tindak pidana. Ini berarti dalam alasan pemaaf ini unsure kesalahan dari pelaku ditiadakan. Termasuk dalam alasan pemaaf tersebut adalah a. Ketidakmampuan bertanggungjawab dari pelaku (Pasal 44 ayat (1) KUHP) b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (pasal 49 ayat (2) KUHP) c. Hal menjalankan dengan itikad baik, suatu perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 auat (2) KUHP) Dari kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa pengemudi tidak melarikan diri untuk menghindari tanggung jawab tetapi pengemudi secara sadar menyatakan bahwa bersalah sehingga pengemudi terlebih dahulu berhenti dan menolong korban kecelakaan tesebut dan antara kedua belah pihak antara terdakwa dan keluarga korban telah terjadi kesepakatan damai. Hal ini sesuai dengan Pasal 235 ayat (1) UU LLAJ yang menyatakan bahwa “Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.” Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa pada Nomor 163/Pid.Sus/2013/PN.Ska dan Nomor 45/Pid.Sus/2015/PN Skt, walaupun pengemudi telah bertanggung jawab atas kematian korban, tuntutan pidana
7
terhadap dirinya tidak menjadi hilang sehingga kedua Terdakwa tetap masih harus mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya. Hal tersebut berpedoman bahwa Terdakwa melakukan kesalahan berupa kelalaian, tidak mempunyai motif dan tujuan menabrak yang menyebabkan korban meninggal dunia, sikap batin yang tidak hati-hati dalam mengemudikan kendaraannya, bukan merupakan tindakan yang direncanakan, riwayat hidup terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, terdakwa masih bersikap kooperatif dalam persidangan dan bersedia membantu korban dan mengupayakan damai dengan keluarga korban. Kesemua hal-hal tersebut menurut pendapat penulis cukup patut menjadi alasan majelis hakim menjatuhkan sanksi pidana terhadap kedua terdakwa. Pada kasus kedua diketahui bahwa putusan Majelis Hakim terhadap terdakwa adalah pidana selama 6 bulan lebih tinggi daripada tuntutan Penuntut Umum yaitu selama 5 bulan. Hal tersebut menurut penulis juga sudah tepat karena pada dasarnya Terdakwa telah membawa truk tersebut masuk ke Jalan Dr. Radjiman dari arah barat yang Terdakwa sudah ketahui tidak bisa jalan tersebut dilalui truk dari arah barat ke arah timur, hal tersebut menunjukkan bahwa Terdakwa juga melanggar peraturan lalu lintas yang telah ditetapkan. Hal itu sesuai dengan Pasal 287 ayat 1 Undang-Undang 22 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Dalam kedua kasus tersebut maka diketahui bahwa Terdakwa telah bertikad baik untuk membantu keluarga korban, akan tetapi hal tersebut tidak serta merta menggugurkan perbuatan pidananya, sehingga adanya alasan pemaaf tersebut tidak membuat Terdakwa lepas dari putusan hakim atas kelalaiannya yang menyebabkan korban meninggal dunia dalam kasus kecelakaan lalu lintas, sehingga unsur pertanggungjawaban pidana yaitu tidak adanya alasan pemaaf dalam hal ini terpenuhi. 4. Hambatan dalam Penerapan Pertanggungjawaban Pidana dalam Kasus Kelalaian Pengemudi yang Menimbulkan Kecelakaan sehingga Korban Meninggal Dunia Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa beberapa hambatan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan sehingga korban meninggal dunia adalah 8: a. Kurangnya saksi. Kendala terbesar dalam pemidanaan dalam kasus kecelakaan lalu lintas ini terdapat pada pencarian saksi. Alat bukti disekitar TKP dan petunjuk-petunjuk lain kurang kuat untuk mengungkapkan suatu peristiwa kecelakaan yang mengakibatkan korbannya meninggal dunia. Dalam hal ini tidak ada saksi yang dapat dimintai keterangan, termasuk saksi korban yang telah meninggal dunia. Saksi merupakan kunci dari terjadinya suatu tindak pidana. Apabila saksi yang ditemukan hanya satu orang, hal ini juga masih merupakan kendala dalam pelaksanaan penyidikan. Hal ini
8
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Sugiyanto tanggal 1 Agustus 2016
8
disebabkan jumlah alat bukti harus lebih dari satu orang sesuai dengan pasal 183 KUHAP. Menurut penulis kurangnya saksi memang bisa menghambat pertanggungjawaban pidana, hal ini karena saksi merupakan salah satu alat bukti, hal ini dikarenakan di jalan raya orang banyak yang lalu lalang sehingga setelah mengetahui ada kecelakaan terkadang masyarakat langsung pergi meninggalkan tempat, tanpa ingin menjadi saksi dalam kecelakaan lalu lintas tersebut. b. Keterangan yang diberikan oleh para saksi, antara saksi yang satu dengan saksi yang lain tidak saling bersesuaian, hal ini membuat hakim harus benarbenar jeli dalam pengambilan keputusan. Menurut penulis keterangan saksi yang berbeda-beda memang dapat menjadi penghambat bagi hakim dalam memutuskan tindak pidana perkara, hal ini karena sudut pandang saksi dalam melihat kecelakaan tersebut terkadang memang mempunyai persepsi yang berbeda-beda sehingga terkadang keterangan saksi tidak sesuai antara satu dengan yang lain. c. Menentukan siapa yang benar-benar bersalah atau lalai dalam tindak pidana, misalnya menentukan siapa yang paling bersalah dalam hal kecelakaan antar mobil dengan motor, mobil dengan sepeda ontel, biasanya yang menyebabkan korban meninggal ditentukan sebagai pihak yang bersalah. Menurut penulis penentuan siapa yang bersalah dalam kecelakaan lalu lintas memang menjadi hambatan tersendiri bagi hakim, hal ini karena hakim tidak melihat secara langsung kejadian tersebut dan hanya berdasarkan keterangan dari saksi ataupun terdakwa. E. DAFTAR PUSTAKA http://www.republika.co.id/, diakses tanggal 1 Juni 2016 Agio V Sangki, 2012, Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Lex Crimen Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2012, hal 2 EY Kanter dan SR Sianturi, 2002 Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta : Storia Grafika, hal 249 HB. Sutopo, 2002, Pengantar Metodologi Penelitian, UNS Press. Surakarta, Hal 98 Moelyatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, hal 19. Roslan Saleh, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Aksara Baru, hal 75-76 Tajudin dan Nella Sumika Putri, 2015, Penyelesaian Tindak Pidana Lalu Lintas Melalui Pendekatan Restorative Justice Sebagai Dasar Penghentian Penyidikan dan Perwujudan Asas Keadilan Dalam Penjatuhan Putusan, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 2 No. 1. Hal 146
9