PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU USAHA ATAS MAKANANBERFORMALIN YANG DIPERDAGANGKAN DALAM PERSPEKTIF KESEHATAN MASYARAKAT
JURNAL
Oleh : Beorhan Moezaffar NPM : 110160058
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2012
1 PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU USAHA ATAS MAKANANBERFORMALIN YANG DIPERDAGANGKAN DALAM PERSPEKTIF KESEHATAN MASYARAKAT Oleh : Beorhan Moezaffar ABSTRACK Products containing food additives food is allowed but used in excess can cause poisoning. Food additives are banned in food but still frequently used such as formaldehyde that can cause vomiting, diarrhea, convulsions, dermatitis, shortness of breath. from the description above, the writer took the title "Legal liabilityfor foodbusinessesformalintraded ina public health perspective". the framework is expected to be made in the early foundation that gives direction to discuss the legal aspects of health issues and consumer protection against harmful foods containing formalin. Irregularities in the use of formalin can be dangerous, this action must be prevented and strictly follow the government has an obligation to protect its people from the use of food additives containing formaldehyde that is not in accordance with the regulations. POM had socialized allow the use of formalin in the process of production of food and beverages in accordance with Law no. 36 Year 2009 on Health Article 111 and Article 112. According to Article 41 point (1) of Law No. 7 of 1996 On Foods confirms that food producers or entrepreneurs either business entities or individuals are assigned responsibility for the business that is responsible for the safety of food produced. The research method of the above problems is to use the normative juridical using juridical analysis of the problems in the study through the principles of law approach and referring to the norms contained in legislation such as the legislation on consumer protection laws legislation on health, laws and legislation onfood. This study is a descriptive nature by describing the levels of formaldehyde in some wet noodles contained. Highformaldehyde contentin the bodyalsocause stomach irritation, allergiesare carcinogenic(cancer causing) andmutagenic (cause changes inthe function ofcells/tissue) as well asthosewhoconsume itwill bevomiting, diarrheamixed with blood, urinemixed with blood, anddeathdue tofailurebloodcirculation. Keywords: Responsibility businesses, food formalin, public health A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Makanan adalah kebutuhan dasar manusia yang hakiki, oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhannya merupakan hak asasi setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan makanan adalah : segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan bagi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku makanan, bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman.1 Akibat proses industrialisasi dalam memproses produk makanan timbul permasalahan hukum sehubungan dengan adanya bahan makanan yang berbahaya yang merugikan konsumen, baik dalam arti finansial maupun non finansial bahkan kerugian jiwa. Untuk mewujudkan sistem, pembinaan, dan pengawasan yang efektif dibidang makanan serta melindungi masyarakat dari makanan yang dapat membahayakan kesehatan, diperlukan antara lain peraturan yang dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi peraturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran dan atau perdagangan makanan.2 1 2
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen, Medan: Paulinus Josua,1999, hal 1 Muhammad Eggi H Suzetta, Perlindungan Hukum untuk Konsumen, pikiran rakyatcom/cetak/1204/20/teropong/konsul-hukum. htm, 2003-2004, hal 1
2 Khusus pembahasan tentang tanggungjawab produsen terhadap konsumen atas produk makanan yang berbahaya dapat ditinjau dari Pasal 41 angka (1) Undangundang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan sebagai berikut : “Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perorangan dalam badan usaha diberi tanggungjawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggungjawab atas keamanan pangan yang di produksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi makanan tersebut”. Produk makanan yang mengandung bahan makanan tambahan pangan yang diperbolehkan tetapi digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan keracunan. Keracunan yang bersifat akut biasanya ditandai dengan mual-mual, pusing, sakit lambung, dan muntah-muntah. Sedangkan keracunan yang bersifat kronik biasanya mempunyai efek jangka panjang yang merupakan dampakkomulatif yang biasanya mempengaruhi fungsi organ tubuh seperti otak, ginjal dan hati3. Bahan tambahan pangan yang dilarang dalam makanan tetapi masih sering disalahgunakan adalah borak dan formalin, yang dapat mengakibatkan muntah, diare, kejang-kejang, dermatitis, sesak pernafasan. Sedangkan borak pada makanan dapat mengakibatkan demam, depresi, anuria, sianosis, tekanan darah turun, apatis, kerusakan ginjal. Aspek Medis, Formalin adalah : nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 %. Dipasaran formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehidnya 40,30,20,dan 10 % serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram. Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Didalam formalin terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air, biasanya ditambahkan metanol hingga 15% sebagai pengawet.4 Formalin biasanya diperdagangkan di pasaran dengan nama berbeda-beda antara lain : Formol, Morbicid, Methanal, Formic aldehyde, Methyl oxide, Oxymethylene, Methylene aldehyde, Oxomethane, Formoform, Formalith, Karsan, Methylene glycol, Paraforin, Polyoxymethylene glycols, Superlysoform, Tetraoxymethylene, Trioxane.Melalui sejumlah survei dan pemeriksaan laboratorium, ditemukan sejumlah produk pangan yang menggunakan formalin sebagai pengawet. Praktek yang salah ini dilakukan produsen atau pengelola pangan yang tidak bertanggungjawab. Beberapa contoh produk yang sering mengadung formalin misalnya ikan segar, ayam potong, mie basah, dan tahu yang beredar dipasaran. Yang perlu diingat, tidak semua produk pangan mengandung formalin”.5 Sedangkan dari aspek yuridis Penyimpangan dalam pemakaian formalin dapat membahayakan, perbuatan ini harus di cegah dan ditindak secara tegas oleh pemerintah yang memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari penggunaan bahan tambahan yang mengandung formalin yang tidak sesuai peraturan. Kebijakan keamanan pangan dan pembangunan gizi nasional merupakan bagian kebijakan pangan nasional termasuk penggunaan formalin. Badan Pengawasan Obat dan Makanan telah melakukan sosialisasi penggunaan formalin yang diizinkan dalam proses produksi makanan dan minuman sesuai Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. a) Aspek yuridis Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan antara lain: 1. Pasal 111 ayat (1): “ Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan”. Ayat (2): “Makanan dan minuman hanya diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ayat (3): “Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tandaatau label yang berisi: a. Nama produk 3
Nurheti Yurliati, Awas! Bahaya diBalik Lezatnya Makanan, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007. Hal 15 4 Cahyo Saparinto, Bahan Tambahan Pangan, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 54 5 F.G. Winarno, Kimia Pangan dan Gizi, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 228
3 b. Daftar bahan yang digunakan c. Berat bersih atau isi bersih d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia, dan Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa. Ayat (4); “Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara benar dan akurat”. Ayat (5): “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (6): “makanan dan minuman yang tidak memenuhi standar, persyaratan kesehatan, dan /atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan paraturan perundang-undangan”. 2. Pasal 112; “ Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan dan minuman sebagaimana di maksud dalam Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111”. b) Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam laporan akhir simposium aspek hukum masalah perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh BPHN pada tanggal 16 -18 Oktober 1980 di Jakarta meneyebutkan sebagai berikut : Usaha melindungi konsumen pertama-tama harus dilakukan melalui hukum. Harus diciptakan peraturan hukum yang melindungi konsumen serta tanggungjawab produsen, perlu diperhatikan adanya jaminan hukum terhadap hakhak konsumen yang sudah diakui secara universal sebagai berikut6 : a. Hak atas keamanan dan keselamatan b. Hak atas informasi c. Hak untuk memilih d. Hak untuk didengar Dalam pembangunan hukum masyarakat Indonesia yang berkenaan dengan perlindungan konsumen dewasa ini perlu diperjuangkan dan dijaminnya hak-hak sebagai berikut : a. Hak untuk memperoleh hidup yang layak b. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen c. Hak untuk mendapatkan ganti rugi Hak-hak konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 menyatakan bahwa : a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keseluruhan dalam mengkonsumsi barang/atau jasa. b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaiaan sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 6
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal 39.
4 Mengingat keberadaan hak sangat erat hubungannnya dengan kewajiban maka Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 5 juga telah dinyatakan kewajiban konsumen sebagai berikut : a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang lebih disepakati d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. c) Menurut Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Aspek keamanan mutu dan gizi pangan, juga mendorong perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab serta terwujudnya tingkat kecukupan pangan yang terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri dari dampak negatif yang ditimbulkan barang dan jasa. 1. Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “ Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain digunakan dalam proses penyiapan, pengelolaan dan atau pembuatan makanan atau minuman”. Ayat (4): “Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran, biologis, kimia, dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.” 2. Pasal 20 ayat (1): “setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi”. 3. Pasal 10 ayat (1); “Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa yang pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan”. Ayat (2): “Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat di gunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. 4. Pasal 11: “ Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah”. 5. Pasal 21 huruf (a) : “setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia”. 6. Pasal 26 huruf (b): “setiap orang yang dilarang memperdagangkan pangan yang mtunya berbeda atau tidak sama dengan mutu yang dijanjikan”. 7. Pasal 55 yaitu: “Barang siapa yang dengan sengaja bertentangan dengan Pasal 8, Pasal 21 huruf (a), Pasal 26 huruf (b) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)”. d) Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/MENKES/PER/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Yang Digunakan Departemen Kesehatan mengeluarkan permenkes No. 722/1998 tentang bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan. Permenkes ini sesuai dengan Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar bahan tambahan makanan, melarang penggunaan bahan tersebut pada makanan. Aturan ini diteruskan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang diserahi tanggung jawab untuk pengawasan seluruh produk makanan yang beredar di masyarakat. Pilar yang berperan dalam keberhasilan untuk mendapatkan pangan yang aman dikonsumsi adalah pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen. Pemerintah merupakan pilar utama untuk penyediaan pangan yang aman.
5 Kewenangan pengawasan dimiliki oleh pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Dalam pasal 53 Undang-undangNo. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, dinyatakan bahwa untuk mengawasi pemenuhan ketentuan Undangundang, pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan. Pemerintah daerah juga bertanggungjawab terhadap ketersediaan pangan yang aman bagi masyarakat, sesuai pasal 60 Undang-undang Pangan.Pelanggaran para produsen terhadap berbagai peraturan perundangan tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, juga dapat disebabkan oleh faktor kurangnya pengetahuan mengenai peraturan dan penegakan hukum oleh aparat yang kurang konsisten. Pelaksanaan dan penegakan hukum dalam hal keamanan pangan kurang berjalan dengan baik. Hal ini tampak dari tidak adanya penindakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap para pelaku pelanggaran keamanan pangan. Pemerintah nampaknya kurang serius untuk menegakkan hukum pada para produsen golongan kecil yang termasuk kelompok masyarakat ekonomi bawah dengan tingkat pendidikan yang rendah7. Padahal, sanksi yang diterapkan pada mereka yang menggunakan bahan berbahaya berdasarkan pasal 55 UU Pangan cukup berat, yaitu hukuman penjara maksimal 5 (lima) tahun atau didenda maksimal enam ratus juta (600.000.000) rupiah. e) Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1168/MENKES/PER/X/1999 Tentang Bahan Tambahan Yang Dilarang Menurut Permenkes No. 1168/Menkes/Per/1999 bahwa bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam makanan sebagai berikut : 1. Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya 2. Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt) 3. Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC) 4. Dulsin (Dulcin) 5. Kalium Klorat (Potassium Chlorate) 6. Kloramfenikol (Chloramphenicol) 7. Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 8. Nitrofurazon (Nitrofurazone) 9. Formalin (Formaldehyde) 10. Kalium Bromat (Potassium Bromate) 2. Identifikasi Masalah a) Bagaimanakah pertanggungjawaban hukum pelaku usaha terhadap makanan berformalin yang diperdagangkan dalam perspektifkesehatan masyarakat? b) Dimanakah hambatandalam upaya penyelesaian terhadap bahan makanan yang mengandung formalin? B. Metodologi Penelitian a) Obyek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalahdengan cara pengambilan sampel mie basah yang mengandung formalin di Pasar Kanoman Kota Cirebon dan akan diuji di Laboratorium Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon. Menurut Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Men.Kes/Per/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan yang aman digunakan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Men.Kes/Per/1999 Tentang Bahan Tambahan Makanan yang dilarang dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian hal tersebut dibahas atau dianalisis menurut ilmu, teori-teori dan kaedah-kaedah hukum atau norma-norma yang mendukung, dan terakhir menyimpulkannya. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam paraturan perundang-undangan seperti peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen, peraturan perundang-undangan tentang kesehatan, peraturan 7
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakrta. Grafica.1996
6 perundang-undangan tentang pangan dan bahan hukum lainnya .Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis, yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan, dan menganalisis teori-teori dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normative yaitu pendekatan terhadap fakta-fakta atau kejadian yang relevan dengan norma-norma hukum/perundang-undangan. Dimaksudkan untuk memperoleh penjelasan atas permasalahan yang di teliti dan hasilnya dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-undangan. a) Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskritif analitis yang merupakan kajian hukum yang melakukan inventarisasi hukum normatif berbagai kategori hukum. b) Jenis Data Jenis data yang dipakai adalah data sekunder dan data primer berupa data sudah jadi dari dokumen, yurisprudensi, jurnal, dan peraturan perundang-undangan. c) Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian kepustakaan yaitu yuridis normatif, sumber data seluruhnya menggunakan data sekunder, jenis data sekunder yang digunakan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah : - Bahan Hukum Primer Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur bahan bacaan berupa buku, artikel dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan. - Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan ( library research ) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undangundang Nomor. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, dan Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. - Bahan Hukum Tertier Bahan-bahan yang bersifat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia. d) Metode Analisis Data Data yang telah terkumpul diolah dengan mengimplentasikan data menurut jenisnya berdasarkan masalah pokok, karena datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritis mengenai konsepsi, doktrin-doktrin dan norma-norma atau kaidah hukum, maka analisis data dilakukan dengan cara normatif kualitatif, artinya penulis berusaha menggambarkan keadaan yang ada dengan berdasarkan kepada data-data yang diperoleh melalui studi pustaka ( bahan sekunder ). Kemudian data dianalisis dengan di hubungkan kepada pendapat para ahli dan teori-teori yang mendukung dalam pembahasan sehingga dapat ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu melakukan penyimpulan berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan yang telah dilakukan analisis. Penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus menuju kepada hal bersifat umum. Untuk pengambilan sampel dan wawancara dengan pedagang sebanyak 3 orang dilakukan di pasar Kanoman kota Cirebon, dan analisis kandungan formalin dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon sedangkan sumber data informasi penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Cirebon. e) Klasifikasi Data Dalam tahap ini peneliti mengarahkan hasil reduksi untuk mengetahui peta esensial yang menyangkut kandungan makna yang ada didalam data. f) Display Data Pada tahap ini peneliti mengorganisasikan data-data dalam suatu peta yang sesuai dengan objek formal dan tujuan penelitian. g) Penafsiran, Interpretasi dan Mengambil Kesimpulan Dalam tahap ini peneliti malakukan penafsiran terhadap data yang telah 8
8
Burhan Ashofa. Metodologi Penelitian Hukum. 2007. Jakarta. Rineka Cipta
7 9
terkumpul. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Terhadap Makanan Berformalin Yang Diperdagangkan Dalam Perspektif Kesehatan Masyarakat Dasar pembebanan tanggungjawab pelaku usaha terhadap konsumen adalah a) Negligence Adalah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan kelakuan (standard of conduct)yang ditetapkan oleh Undang-undang demi perlindungan anggota masyarakat terhadap resiko yang tidak rasional. Yang di maksudkan dalam hal ini adalah adanya perbuatan kurang cermat yang merugikan orang lain, yang semestinya seorang penjual atau konsumen mempunyai duty of care. Untuk dapat menggunakan negligence sebagai dasar gugatan sebagai dasar gugatan harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut10: a. Adanya suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal. b. Yang dibuktikan adalah tergugat (pelaku usaha) lalai dalam duty of care terhadap penggugat (konsumen). c. Kelakuan itu sebenarnya penyebab nyata (proximate cause) dari kerugian yang timbul. Adanya duty of care pada produsen mengalahkan asas caveat emptor (waspadalah pembeli) yang berlaku sebelumnya, dimana pembelilah yang menanggung resiko yang dideritanya karena mengkonsumsi produk yang dibelinya secara tidak hati-hati. Pembuktian adanya negligence mencakup pembuktian atas : a. Kerugian yang dideritanya ditimbulkannya oleh cacat yang ada pada produk. b. Bahwa cacat tersebut telah ada pada pernyataan c. Bahwa cacat pada produksi disebabkan oleh kurang cermatnya pelaku usaha b) Warranty (Breach of warranty) Gugatan konsumen terhadap produsen berdasarkan breach of warranty (pelanggaran janji, jaminan) ini didasarkan pada suatu hubungan kontrak. Produsen secara tegas atau diam-diam memberi jaminan bahwa produknya dapat memenuhi kebutuhan.Pada umumnya warranty (janji, jaminan) itu dapat dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu : a. Expres warranty, janji, jaminan yang dinyatakan secara tegas (eksplisit) b. Implied warranty, janji, jaminan yang dinyatakan secara diam-diam (implisit). c). Strict liability (tanggungjawab mutlak). Berkaitan dengan negligence dan warranty, konsumen akan mengalami kesulitan yang besar dalam mengajukan gugatannya, yang ternyata sulit dilakukan dalil-dalil gugatannya, yang ternyata sulit dilakukan dengan cara yang memuaskan karena konsumen yang tidak dapat memperoleh bukti-bukti dan tidak memahami proses produksi.Gugatan berdasarkan negligence, meskipun tampak sederhana tetapi bagi konsumen sulit menunjukkan dengan tepat dimana dan kapan produsen telah melakukan kelalaian yang menimbukan kerugian baginya. Sebaliknya pelaku usaha akan lebih mudah mengajukan bukti lawan yang dengan segera mematahkan tuntutan konsumen. Karena kesulitan-kesulitan itu maka praktik peradilan (case law), dalam perkembangannnya menemukan jalan lain yang dengan membebankan tanggungjawab mutlak pada pelaku usaha yang disebut dengan strict liability. Menurut ketentuan ini pelaku usaha langsung bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produknya yang cacat tanpa penggugat terlebih dahulu membuktikan kesalahan pelaku usahatergugat. Artinya konsumen beban penggugat untuk membuktikan kesalahan tergugat dihapuskan, sehingga gugatan cukup hanya membuktikan bahwa ia telah menderita kerugian karena mengkonsumsi barang dari tergugat. Pelaku usaha dibebani pembuktian, artinya pelaku usaha sebagai tergugatlah 9
Sutomo Harwan, 2008, Metode Penelitian Kualitatif, Cirebon : Swagati Press. Hal 56 M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Permaslahan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1997), hal 22
10
8 yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah dalam hal memproduksi barang dengan menunjukkan langkah – langkah pengamanan yang telah dilakukannya sudah memenuhi ketentuan yang berlaku. 2. Hambatan Dalam Penyelesaian Terhadap Bahan Makanan Yang Mengandung Formalin Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Balai Besar POM melakukan sistem pengawasan makanan dengan sistem tiga lapis yaitu sistem pengawasan produsen,sistem pengawasan konsumen dan sistem pengawasan Pemerintah(Balai Besar POM). Sistem pengawasan makanan oleh Balai Besar POM dilaksanakan melalui kegiatan pengaturan dan standarisasi,penilaian keamanan khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar,pemberian ijin edar makanan,pemeriksaan setempat di sarana produksi dan distribusi,inspeksi pengambilan sampel dan pengujian laboraturium,komunikasi informasi dan edukasi kepada masyarakat,peringatan publik,pengawasan iklan makanan dan penyidikan.Balai Besar POM melakukan pengawasan makanan bersifat preventif dan kuratif,serta mendasarkan pada kepastian hukum.Penegakan hukum oleh Balai Besar POM terhadap pelanggaran dibidang makanan telah disesuiakan dengan ketentuan yang berlaku menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009Tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan. Konsumen serta peraturan pelaksana yang mengaturnya.11 Penegakan hukum terhadap tindak pidana dibidang makanan belum dilaksanakan dengan optimal sesuai dengan peraturan yang ada karena sampai saat ini belum pernah dilakukan tindakan pro justisia terhadap tindak pidana yang telah dilakukan penyelidikan dan penyidikan, karena tidak diperoleh alat bukti yang cukup karena keterbatasan dana dan sarana laboratorium serta tidak ada saksi korban. Balai Besar POM didukung dengan kelengkapan peraturan dan kualitas pegawai, memiliki ULPK dan kerjasama dengan pihak lain. Hambatan berasal dari kuantitas pegawai, keterbatasan sarana alat uji laboratorium dan baku pembanding, pengetahuan konsumen, produsen dan distributor tentang mutu makanan lemah. Upaya mengatasi hambatan dengan pemberdayaan pegawai, menambah baku pembanding dan mengikuti pelatihan baku pembanding, penyebaran informasi kepada masyarakat, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran dan tindak pidana di bidang makanan. D. Pembahasan Pembinaan dan pengawasan pemerintah secara berkelanjutan adalah hal mutlak yang diinginkan pelaku usaha. Mereka menilai bahwa sampai saat ini pemerintah tidak turun kelapangan untuk memberikan arahan. Komitmen pemerintah untuk memajukan industri mie sangat diperlukan dengan segala bentuknya. Bimbingan, penyuluhan, cara pengolahan yang higienis dan efisien harus segera dilaksanakan untuk memotong mata rantai penggunaan formalin pada mie. Hal ini yang begitu penting adalah bahwa pemerintah harus sesegera mungkin melakukan penelitian untuk menemukan bahan kimia untuk mengganti formalin yang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pedagang mie. Secara ringkas, ada empat hal pokok yang dapat dilakukan pemerintah yaitu : (1) penyuluhan kepada masyarakat, kepada pelaku usaha (IKM), dan juga produsen dalam skala besar pemakai formalin, (2) pengawasan peredaran, produksi yang menyalahi ketentuan, (3) tindakan hukum bagi para pelanggar, (4) perlindungan terhadap industri kecil menengah, bukan hanya formalin saja tapi juga terhadap zat berbahaya lainnya (media industri, 2006). Hal terakhir yang patut diperhatikan adalah sikap konsumen. Sikap konsumen menurut pedagang, mendorong mereka untuk selalu menggunakan formalin dalam produksi mie. Pengertian umum konsumen (masyarakat) tentang mie mengacu kepada mie berformalin. Apabila mie tidak menggunakan formalin, penolakan akan terjadi karena tidak sesuai dengan pengetahuan konsumen karena mie akan dianggap sebagai mie yang tidak memenuhi syarat untuk di konsumsi. Pemberian informasi yang tepat oleh 11
Wiryono Projodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Sumur,1990), hal 39
9 pemerintah kepada masyarakat diperlukan untuk memotong lingkaran penggunaan formalin dari sisi permintaan (demand) dari konsumen. Apabila pemerintah hanya fokus pada satu sisi, yaitu hanya kepada produsen mie berformalin (supply), maka hal ini tidak akan efektif. Pemerintah perlu melibatkan dua sisi penawaran dan permintaan, sekaligus dalam waktu cepat menacari pengganti bahan kimia, sehingga penggunaan formalin dengan sendirinya akan menghilang. Keberadaan bahan tambahan makanan bertujuan membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, dengan rasa dan tekstur lebih sempurna. Pada intinya bahan tambahan makanan (BTM) yang telah terbukti aman sebenarnya tidak membahayakan kesehatan. Namun demikian penggunaannya dalam dosis yang terlalu tinggi atau melebihi ambang batas yang di izinkan mungkin akan menimbulkan problem kesehatan yang serius. Hal yang menjadi permasalahan berat di negeri ini adalah banyak sekali kebohongan publik yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak memberikan informasi yang benar dari produk yang mereka hasilkan, misalkan memberikan label komposisi yang berbeda dengan kandungan yang sebenarnya, baik itu jumlah maupun jenis bahan yang ditambahkan. Semakin meningkatnya jumlah kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih cenderung untuk menyukai makanan siap santap yang disediakan oleh catering atau rumah makan, makin meningkatnya jumlah manusia yang rentan terhadap penyakit karena faktor umur, kondisi kesehatan dan pola hidup, system komunikasi yang lebih maju dan kepedulian yang semakin meningkat terhadap keamanan pangan. Dari data yang ada, ternyata kasus keracunan yang muncul pada umumnya terjadi pada makanan siap santap yang diolah secara massal. Makanan ini ternyata lebih berpeluang untuk terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen. Dari berbagai kasus keracunan tersebut, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah rendahnya kebersihan individu maupun sanitasi lingkungan. Keracunan terjadi karena beberapa hal, diantaranya aktifitas mikroorganisme. Keracuanan akibat mikroorganisme ini dapat dibedakan menjadi food intoxication dan food infection. Food intoxication adalah keracunan yang terjadi karena tercemarinya makanan oleh toksin yang ada dalam makanan.Kasus ini bisa disebabkan oleh tercemarnya makanan tersebut oleh eksotoksin yang dihasilkan Clostridium botulinummaupun enterotoksinyang dihasilkan staphylococci. Adapun food infection terjadi karena makanan terkontaminasi oleh parasit, protozoaatau bekteri patogen (penyebab sakit) seperti Salmonella,Proteus, Escherchia, dan Pseodomonas yang ada dalam makanan tersebut. Lebih lanjut, untuk menghindari keracunan makanan akibat pencemaran mikroorganisme, diharapkan mengkonsumsi makanan yang telah dimasak atau diolah secara sempurna. Pemasakan secara sempurna maupun mengatasi terjadinya kontaminasi bakteri ataupun toksin di atas. Kasus keracunan makanan dapat pula disebabkan oleh bahan kimia. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya bahwa bahan kimia adalah beracun. Ketika masuk kedalam tubuh manusia zat kimia ini akan menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlah zat kimia yang masuk ke dalam tubuh. Contoh zat kima beracun ini adalah senyawa mercuri yang dapat menimbulkan kelainan genetik atau keracunan. Racun adalah zat atau senyawa yang masuk kedalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada system biologis dan menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit bahkan kematian. Manifestasi keracunan makanan dapat bersifat akut maupun kronis. Keracunan yang bersifat akut antara lain diare, muntah dan penyakit gastrointestinal lain, sementara yang bersifat kronis dapat mengakibatkan gangguan syaraf sampai kanker.
10 E. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Sanksi dari pemerintah menurut pedagang tidak tegas karena masih bisa dimusyawarahkan. Produsen berharap pemerintah secara konkret membina dan mencari solusi pengganti formalin, karena sejauh ini formalin tak tergantikan. b. Penegakan hukum terhadap tindak pidana dibidang makanan belum dilaksanakan dengan optimal sesuai dengan peraturan yang ada karena sampai saat ini belum pernah dilakukan tindakan pro justisia terhadap tindak pidana yang telah dilakukan penyelidikan dan penyidikan, karena tidak diperoleh alat bukti yang cukup karena keterbatasan dana dan sarana laboratorium serta tidak ada saksi korban. Balai Besar POM didukung dengan kelengkapan peraturan dan kualitas pegawai, memiliki ULPK dan kerjasama dengan pihak lain. Hambatan berasal dari kuantitas pegawai, keterbatasan sarana alat uji laboratorium dan baku pembanding, pengetahuan konsumen, produsen dan distributor tentang mutu makanan lemah. Upaya mengatasi hambatan dengan pemberdayaan pegawai, menambah baku pembanding dan mengikuti pelatihan baku pembanding, penyebaran informasi kepada masyarakat, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran dan tindak pidana di bidang makanan. 2. Saran a. Bagi pemerintah dalam memberlakukan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hendaknya mempertegas prinsip caveat venditor sebagai pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan. b. Bagi seluruh lapisan masyarakat diperlukan sosialisasi melalui penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran hak-hak konsumen sebagai bagian dari hak-hak keperdataannya khususnya mengenai produk yang mengandung formalin.
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada Burhan Ashofa. 2007, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Rineka Cipta Cahyo Saparinto, 2006, Bahan Tambahan Pangan, Kanisius, Yogyakarta F.G. Winarno, 1997, Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Janus Sidabalok, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen, Medan: Paulinus Josua Muhammad Eggi H Suzetta, 2003-2004, Perlindungan Hukum untuk Konsumen, pikiranrakyatcom/cetak/1204/20/teropong/konsul-hukum. M.Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Permaslahan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti Nurheti Yurliati, 2007, Awas! Bahaya diBalik Lezatnya Makanan, Yogyakarta: Penerbit Andi Sudaryatmo, 1996, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakrta. Grafica. Sutomo Harwan, 2008, Metode Penelitian Kualitatif, Cirebon : Swagati Press. Wiryono Projodikoro, 1990, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur: Bandung Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Lembaran Negara RI No144 tahun 2009 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Lembaran Negara RI No. 99 Tahun 1996 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara RI No. 42 Tahun 1999 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/MENKES/PER/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Yang Digunakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1168/MENKES/PER/X/1999 Tentang Bahan Tambahan Yang Dilarang Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Men-Kes/PER/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M/SK/5/1976 Tentang Standarisasi Industri serta Pengendalian Mutu Barang dan Hasil Industri Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
12 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Perdata Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,1996 Internet Billy N.2008. Hukum Kesehatan, Kesehatan Masyarakat obat dan makanan.web.id http://www. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). go.id Muhammad Eggi H Suzetta, Perlindungan Hukum untuk Konsumen, pikiran rakyat com/cetak/1204/20/teropong/konsul-hukum. htm, 2003-2004
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara RI No. 42 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan Sengketa Peraturan Menteri Kesehatan (PerMenKes) No. 1168/MenKes/Per/X/1999 Tentang Bahan Makanan yang Dilarang 87 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Men-Kes/PER/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M/SK/5/1976 Tentang Standarisasi Industri serta Pengendalian Mutu Barang dan Hasil Industri Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Menimbang Huruf c Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 1458/KP/XII/1984 Tentang Surat Izin Usaha (SIUP) tanggal 19 Desember 1984 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan(BPOM) HK.00.05.23.1455 Tentang Pengawasan Pangan Olahan
88
No.