TINJAUAN ATAS PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM PENEGAKKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA Aji Sekarmaji1 Abstrak This paper explained about some problems and weakness of law enforcement of competition law in Indonesia. KPPU as supervisor of implementing Law Number 5 Year 1999 Concerning Antimonopoli has a central and significant role to enforced the law. But in practice there are problem in competition procedural law start from investigating of KPPU until phase after KPPU decision. The problem try to explain in this short paper and hopefully will give new perspective and information around enforcement of competition law. Kata kunci: KPPU, hukum acara, putusan, pengadilan I.
Latar Belakang
Demokrasi di bidang ekonomi memerlukan hak dan kesempatan yang sama bagi setiap individu atau korporasi untuk berpartisipasi di dalam memproduksi dan memasarkan barang-barang dan jasa di dalam kondisi usaha yang fair, efisien dan efektif.2 Berdasarkan atas pemahaman tersebut di atas, pada awal Tahun 1999, Pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwa setiap individu atau korporasi yang melakukan usaha, satu sama lain harus bersaing secara sehat atau fair.Oleh karena itu, pada tanggal 18 Februari 1999, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Bapak Rahadi Ramlan, menyampaikan pidato di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, mengenai Rancangan Undang-Undang tentang “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”.Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia tampaknya terkesan dengan presentasi atau pemaparan rancangan undang-undang tersebut dan oleh karena itu, setelah pertimbangan yang cukup, tanpa menunda-nunda, Dewan 1
Penulis merupakan
[email protected]
pengamat
hukum.
Alamat
korespondensi:
2 Mardiharto Tjokrowarsito, Peraturan Perundang-undangan yang Mendukung Pembangunan Ekonomi yang Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Knowledge Based Economi), <www.bappenas.go.id>, diakses tanggal 12 Juni 2009.
402
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
Perwakilan Rakyat memberikan persetujuannya terhadap rancangan undangundang tersebut.3 Setelah melampaui pembahasan yang alot selama empat bulan lebih akhirnya DPR menyetujui Undang-undang tersebut yang kemudian pada tanggal 5 Maret 1999, Presiden Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”.4 Sebenarnya sebelum diberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha, Indonesia telah memilik peraturan perundang-undangan yang yang mengatur mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walupun masih tercecer, bersifat parsial dan kurang komprehensif,5 seperti terdapat beberapa pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.6 Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, perangkat hukum yang mengatur mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat jauh lebih baik dari yang diatur oleh peraturan perundangundangan sebelumnya. Menurut Sutan Remy Sjahdeini terdapat beberapa alasan yang menyebabkan Undang-undang Persaingan Usaha tidak dapat hadir dalam masa pemerintahan orde baru, yaitu antara lain: Pertama, adalah karena pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi menjadi lokomotif pembangunan apabila perusahaan-perusahaan tersebut diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu ada dalam bentuk proteksi yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain memberikan posisi monopoli. Kedua, adalah pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh
3
Bersaing Oke, Monopoli Juga Oke, Tempo, 10/XXVII 08 Desember 1998.
4
Pasal-Pasal Yang Memagari Monopoli, Tempo, 21/XXVII 23 Februari 1999.
5 Normis S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS: Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 4, 1998, hal.23. 6
Faisal Basri, “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia”, (Jakarta: Erlangga,2002), hal.355-364.
Tinjauan atas Permasalahan yang Timbul dalam Penegakan HPU, Sekarmaji
403
karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tampa fasilitas monopoli dan proteksi, sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan kesedian insvestor menanamkan modal disektor tersebut. Ketiga, adalah untuk menjaga berlangsungnya praktek KKN demi kepentingan kroni-kroni mantan presiden Suharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.7 Hal lain yang penting disampaikan untuk menegaskan betapa rusaknya system ekonomi di masa orde baru adalah terdapat di dalam penjelasan umum atas Undang-undang Persaingan Usaha dikatakan bahwa kebijakan pemerintah diberbagai sektor ekonomi yang dibuat selama tiga dasawarsa terakhir ternyata belum membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi, hanya sebagian kecil golongan masyarakat saja yang dapat menikmati kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut, sehingga berdampak kepada semakin meluasnya kesenjangan sosial. Sejak awal disetujui yang kemudian disahkan oleh pemerintah, sudah terdapat beberapa kekhawatiran dari berbagai kalangan mengenai masa depan penegakan undang-undang ini, salah satunya adalah terkait wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang begitu berlimpah. Komisi itu bahkan sekaligus bisa berperan sebagai polisi, jaksa, dan hakim. Segala perkara yang menyangkut dugaan monopoli ataupun persaingan usaha yang tidak sehat, hanya bisa diperiksa oleh komisi. Bila pelaku usaha tak mematuhi putusan komisi barulah perkara itu bisa disidik polisi. Dan bila ada yang keberatan atas vonis komisi mereka bisa naik banding ke peradilan umum.8 Hal ini tentu mengkhawatirkan mengingat due process of law yang selama ini berlaku dan diterapkan di Indonesia membagi tugas penyelidikan sampai dengan putusan kepada tiga lembaga yakni Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Menarik untuk melihat dan menelaah kekurangan yang timbul dalam penegakan hukum persaingan usaha yang diakibatkan oleh pengaturan dalam undang-undang sendiri yang tidak jelas atau bertentangan dengan azas penegakan hukum yang telah berlaku di Indonesia dan tulisan singkat ini akan membahas beberapa kelemahan dalam penegakkan hukum persaingan usaha tersebut.
7
Sutan Remy Sjahdeini, “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10, 2000: 4. 8
Loc. Cit., Pasal-Pasal Yang Memagari Monopoli.
404
II.
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
KPPU, Tugas dan Wewenang
Peraturan perundang-undangan yang pada waktu lalu yang mengatur mengenai persaingan usaha tidak dapat berjalan secara efektif, dikarenakan tidak adanya lembaga yang secara khusus yang bertugas untuk mengawasi penegakan hukum persaingan tersebut. Dengan diberlakukannya Undangundang No.5 / 1999, kemudian dibentuklah sebuah lembaga independen, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah dan pihak lain, yang diberi tugas secara khusus untuk mengawasi pelaksanaan hukum persaingan usaha yaitu KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), yang bertanggung jawab kepada Presiden. Sedangkan dalam hal keanggotaan, anggota KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengangkatan dan pemberhentian anggota KPPU oleh Presiden, dan juga pertanggung jawaban KPPU kepada presiden bukan berarti membuat KPPU menjadi tidak independen, karena pada pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999 telah menegaskan bahwa KPPU adalah suatu lembaga yang independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain. Tugas yang diberikan oleh Undang-undang No.5/1999 kepada KPPU berdasarkan Pasal 35, meliputi: 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tidakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagimana diatur oleh dalam pasal 36 UU No.5/1999; memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang No.5/1999; memberikan laporam secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan DPR.
Tinjauan atas Permasalahan yang Timbul dalam Penegakan HPU, Sekarmaji
405
Sedangkan wewenang yang diberikan oleh Undang-undang No.5/1999 kepada KPPU, meliputi: 1.
menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindkan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditentukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitianya; 4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada tidaknya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang No.5/1999; 6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang No.5/1999; 7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU; 8. meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang No.5/1999; 9. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; 10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; 11. memberitahukan keputusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
406
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang No.5/1999. III.
Prosedur Pemeriksaan Dalam Perkara Persaingan Usaha
Dalam undang-undang No.5/1999 memberikan kesempatan kepada setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang jelas mengenai terjadinya pelanggaran tersebut, jadi tidak hanya pihak yang dirugikan atau menjadi korban secara langsung atas tindakan anti persaingan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha lain yang bisa melaporkan kepada KPPU mengenai adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No.5/1999, setiap orang yang mengetahui mengenai adanya terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dapat melaporkan peristiwa tersebut kepada KPPU. Setiap orang yang mengetahui telah terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dan pihak yang dirugikan atas pelanggaran tersebut dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor. Namun berdasarkan pasal 40 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, KPPU diberikan hak inisiatif untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, walaupun tanpa adanya laporan dari masyarakat dan pelaku usaha. Pasal 38 ayat (3) Undang-undang No.5/1999, Identitas setiap orang yang melaporkan mengenai telah terjadinya pelanggaran terhadap Undangundang No.5/1999, selain pihak yang dirugikan, wajib dirahasiakan oleh KPPU. Kemudian tata cara penyampaian laporan diatur lebih lanjut oleh KPPU. Setelah menerima laporan mengenai adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No.5/1999, KPPU diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan selama 30 hari, dan kemudian KPPU juga wajib menentukan apakah laporan tersebut perlu atau tidak untuk ditindak lanjuti dengan pemeriksaan lanjutan. Dimana di dalam proses pemeriksaan lanjutan KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. Dalam tahap pemeriksaan lanjutan tersebut juga, KPPU wajib menjaga kerahasian informasi yang diperoleh dari pelaku usaha KPPU wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 hari sejak dimulainya pemeriksaan lanjutan, dan bilamana diperlukan
Tinjauan atas Permasalahan yang Timbul dalam Penegakan HPU, Sekarmaji
407
KPPU masih diberikan kewenangan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk memperpanjang paling lama 30 hari jangka waktu pemeriksaan lanjutan. Kemudian dalam jangka waktu 30 hari sejak selesainya pemeriksaan lanjutan, KPPU wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, yang putusannya tersebut dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif, kepada pelaku usaha yang melanggar Undang-undang No.5/1999. Dimana tindakan administratif tersebut dapat berupa: a. Penetapan pembatalan perjanjian; b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal; c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat; d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham; f. Penetapan pembayaran ganti rugi; g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00. Dalam pemeriksaan di KPPU, pelaku usaha dilarang menolak untuk diperiksa atau memberikan informasi yang dibutuhkan atau menyerahan alat bukti yang diperlukan, ataupun menghambat dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan, karena dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999 yang kemudian pelanggaran tersebut oleh KPPU akan diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian proses pemeriksaan akan dilanjutkan menjadi perkara pidana dan hukum acaranyapun menggunakan hukum acara pidana. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dapat memaksa pihak-pihak yang tidak mau berkerja sama dengan komisi dalam rangka proses pemeriksaan perkara persaingan usaha menjadi lebih kooperatif. Bila proses perkara persaingan usaha diserahkan kepada penyidik, maka proses hukum acaranyapun menggunakan hukum acara pidana, dan kemungkinan pelaku usaha yang melanggar Undang-undang No.5/1999
408
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
dapat dijatuhkan sanksi pidana, dimana sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut pasal 48 Undang-undang No.5/1999 berupa: 1.
2.
3.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undangundang No.5/1999 diancam pidana denda serendahrendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau piada kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggitingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undangundang No.5/1999 diancam pidana denda serendahrendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut Pasal 49 Undang-undang No.5/1999 berupa: 1. 2.
3.
Pencabutan izin usaha; atau Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999 untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbullnya kerugian pada pihak lain.
Alat-alat bukti yang dipergunakan oleh KPPU dalam melakukan pemeriksaan perkara di KPPU berupa:
Tinjauan atas Permasalahan yang Timbul dalam Penegakan HPU, Sekarmaji
1. 2. 3. 4. 5.
409
keterangan saksi; keterangan ahli; surat dan atau dokumen; petunjuk; keterangan pelaku usaha.
Setelah KPPU memutuskan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dan menerima pemberitahuan putusannya, Pelaku usaha dalam jangka waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan putusan wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Namun Undang-Undang menyediakan upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU untuk mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusannya. Jika pelaku usaha dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU tidak mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri dianggap menerima putusan KPPU, menurut Pasal 46 Undang-undang No.5/1999 putusan KPPU tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap serta dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Tetapi jika pelaku usaha setelah menerima putusan KPPU, tidak melaksanakan apa yang telah diputuskan dan tidak pula mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, maka KPPU akan menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Dan putusan yang telah dijatuhkan oleh KPPU tersebut nantinya menjadi bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Apabila pelaku usaha mengajukan keberatan terhadap keputusan KPPU kepada Pengadilan Negeri, dalam jangka waktu 14 hari sejak diterimanya keberatan tersebut, Pengadilan Negeri harus sudah memeriksa keberatan tersebut. Kemudian dalam kurun waktu 30 hari sejak dimulainya proses pemeriksaan keberatan tersebut, Pengadilan Negeri harus sudah dapat memberikan putusannya. Dan jika masih ada pihak yang merasa berkeberatan atas putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, Undang-undang No.5/1999 memberikan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak yang masih merasa berkeberatan tersebut, untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam kurun waktu 14 hari sejak dikeluarkannya putusan dari Pengadilan Negeri. Kemudian Mahkamah Agung Republik Indonesia harus memberikan putusan terhadap kasasi dari pihak yang merasa masih berkeberatan atas putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Negeri, dalam kurun waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.
410
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
IV.
Penegakan Hukum Persaingan Usaha dan Kekurangan Dalam Pengaturannya
Praktek monopoli merupakan suatu konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan kondisi atau situasi yang membuat produksi dan pemasaran barang-barang dan jasa dikontrol hanya oleh satu atau lebih pelaku usaha.9 Praktek monopoli tersebut dapat dilakukan oleh individu (Naturelijk Persoon) atau Korporasi (Rechtlijke Persoon),10 pada dasarnya struktur pasar yang monopoli tidak lah serta-merta dilarang karena struktur pasar yang monopoli tidak selalu merugikan konsumen atau menghambat pelaku usaha lain untuk masuk dalam pasar yang sama. Yang dilarang adalah penyalahgunaan kedudukan monopolis atau praktek monopoli karena hal ini akan menciptakan kondisi pasar yang tidak bersaing sehingga pelaku usaha rentan dengan tindakan seenaknya dan menyebabkan konsumen tidak dapat memilih. Penegakkan hukum dapat terhambat setidaknya karena dua hal, pertama, ketentuan perundang-undangan yang tidak komprehensif dan memiliki banyak celah dalam pelaksanaannya, kedua, sumber daya manusia dari aparatur penegak hukum, beberapa kajian menunjukan bahwa masyarakat mempersepsikan bahwa institusi terkorup di Indonesia adalah institusi-institusi penegak hukum. Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa kekurangan dalam penegakkan hukum persaingan usaha yang didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang menurut pengamatan penulis menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukum persaingan usaha yang tentunya hal-hal tersebut dapat kita ketemukan dengan kasat mata di dalam beberapa ketentuan undang-undang tersebut. Pertama-tama, kaitannya dengan institusi yang bertanggungjawab atas pengawasan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),11 dimana KPPU merupakan badan pemerintah yang mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden.12 Undang9
Lihat, Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
10
Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 berbunyi:
“Pelaku usaha adalah setiap individu atau korporasi yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia atau melakukan usaha di Indonesia, termasuk individu atau korporasi yang melakukan usaha di Indonesia yang dijalankan berdasarkan suatu perjanjian”. 11
Lihat, Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
12
Lihat, Pasal 30 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Tinjauan atas Permasalahan yang Timbul dalam Penegakan HPU, Sekarmaji
411
Undang No. 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan yang sangat luas kepada KPPU dalam menegakkan hukum persaingan usaha, kewenangan KPPU dimulai dengan menerima laporan atas dugaan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, melakukan penelitian, penyelidikan, memutuskan sampai menjatuhkan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar undang-undang ini.13 Kewenangan ini sangat luas dan besar karena dalam praktek penegakkan hukum di Indonesia kewenangan-kewenangan tersebut dibagi dalam kewenangan dua lembaga pemerintahan (Kepolisian dan Kejaksaan) dan satu lembaga tinggi Negara (Mahkamah Agung selaku Pemegang Kekuasaan Yudikatif). Kewenangan KPPU ini pada prakteknya menimbulkan kegelisahan bagi pelaku usaha di Indonesia karena tidak ada balancing, psikologis yang timbul adalah apabila KPPU sudah menuduhkan kepada pelaku usaha bahwa ia melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka presumption of guilty akan selalu menyertai setiap tahapan proses penegakkan hukum persaingan usaha di KPPU, tidak mungkin ada penghentian perkara atau perbedaan persepsi dalam penegakan hukum seperti dalam praktek penegakkan hukum pidana contohnya, dimana perkara yang sudah dilimpahkan Penyidik (kepolisian) kepada Penuntut (kejaksaan) dapat dihentikan penuntutannya oleh Kejaksaan apabila dinilai tidak cukup bukti padahal logikanya adalah apabila penyidik sudah melimpahkan perkara ke penuntut maka sebenarnya penyidik sudah yakin bahwa bukti yang dikumpulkannya sudah lengkap. Intinya adalah bahwa due process of law dalam system hukum kita pada dasarnya adalah berimbang dan terbagi kewenangan dalam penegakkannya, karena penegakkan hukum satu arah dengan menumpuknya kewenangan rentan dengan tindakan abuse of power dari suatu lembaga penegakkan hukum dan hal ini lah yang terjadi dalam pelaksanaan kewenangan KPPU. Kekurangan kedua adalah, pada umumnya, pelaku-pelaku usaha yang diduga atau disangka telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah perusahaan-perusahaan yang relatif besar dan memiliki bonafiditas yang tinggi. Sekali mereka dilaporkan ke KPPU, mereka, yakni para pelaku usaha tersebut, akan diinstruksikan untuk memberikan atau menyerahkan kepada KPPU, dokumen-dokumen yang jumlahnya sangat banyak.14 Setelah mempelajari dokumen-dokumen tersebut, KPPU akan melakukan investigasi atau penyidikan terhadap para pelaku usaha tersebut. Sidang-sidang diadakan atau diselenggarakan oleh KPPU dan semua pihak
13
Lihat, Pasal 36 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
14
Lihat, Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
412
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 15
yang terlibat, termasuk para saksi ahli, akan dipanggil oleh KPPU. Yang pada akhirnya KPPU akan memberikan pertimbangan yang mendalam dan akhirnya KPPU akan menjatuhkan putusan mengenai apakah para pelaku usaha yang dilaporkan tersebut telah melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 atau tidak.16 Para pelaku usaha tersebut berkewajiban untuk melaksanakan atau mengimplementasikan putusan KPPU tersebut. Apabila mereka tidak berkehendak untuk mematuhi putusan KPPU, mereka berhak untuk menyatakan banding terhadap putusan KPPU tersebut ke Pengadilan Negeri dengan cara mengajukan “Keberatan” yang didaftarkan di Pengadilan Negeri.17 Di dalam prakteknya, sejumlah laporan tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, didasarkan atas masalah-masalah hukum (legal issues) yang berkaitan dengan tender-tender yang tidak sehat atau masalah-masalah hukum tentang penentuan harga produk. Dalam penegakkan hukum persaingan usaha apabila pelaku usaha yang dilaporkan tidak melaksanakan atau mengimplementasikan putusan KPPU atau apabila mereka tidak menyatakan banding terhadap putusan KPPU ke Pengadilan Negeri, KPPU akan menyerahkan putusan KPPU tersebut ke pihak Kepolisian dengan tujuan agar pihak Kepolisian memulai investigasi (penyidikan) terhadap pelaku usaha yang dilaporkan tersebut, sesuai dengan hukum yang berlaku.18 Yang mana putusan KPPU dianggap sebagai “alat bukti permulaan/awal“ bagi pihak Kepolisian untuk melakukan penyidikan (investigasi).19 Pertanyaan muncul dalam hal berdasarkan “alat bukti permulaan/awal” tersebut, pihak Kepolisian memulai penyidikan. Pada umumnya, suatu korporasi atau pelaku usaha diduga atau disangka telah melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan dasar atau alasan bahwa korporasi atau pelaku usaha tersebut telah melakukan “praktek tender yang tidak fair” atau “penentuan harga produk yang tidak fair”. Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa tugas atau pekerjaan polisi
15
Lihat, Pasal 39 Ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
16 Putusan diberikan selambat-lambatnya 30 hari setelah pemeriksaan lanjutan selesai. Lihat, Pasal 43 Ayat (3). 17
Lihat, Pasal 44 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
18
Lihat, Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
19
Lihat, Pasal 44 Ayat (5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Tinjauan atas Permasalahan yang Timbul dalam Penegakan HPU, Sekarmaji
413
tidak dimaksudkan untuk mengurai atau membongkar masalah-masalah ekonomi dan keuangan seperti tersebut di atas. Oleh karena itu, sebagai akibat ketidaktahuannya dan karena kurangnya pengetahuan dibidang ekonomi dan keuangan di pihak polisi, hasil dari penyidikan (investigasi) pihak kepolisian tersebut kemungkinan besar akan merugikan korporasi atau pelaku usaha yang dikemudian hari ternyata dinyatakan tidak bersalah. Dimata polisi, setiap dugaan atau sangkaan tentang adanya tindakan tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha, tentu saja akan diklasifikasikan sebagai tindak pidana, meskipun tindakan yang demikian itu secara yuridis merupakan keputusan yang dibuat oleh Direksi perusahaan. Permasalahan lainnya adalah pemeriksaan tingkat lanjutan setelah putusan dikeluarkan oleh KPPU, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 03/2005 tanggal 18 Juli 2005, “Keberatan” terhadap putusan KPPU hanya dapat didaftarkan di Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi atas tempat kedudukan atau domisili perusahaan atau pelaku usaha tersebut. Dalam hal “Keberatan” didaftarkan oleh lebih dari satu (1) perusahaan atau pelaku usaha, sedangkan masing-masing perusahaan atau pelaku usaha tersebut memiliki domisili yang berbeda, maka KPPU akan mengirim surat kepada Mahkamah Agung dengan tujuan agar Mahkamah Agung menunjuk Pengadilan Negeri yang diberi kewenangan untuk memeriksa “Keberatan” tersebut. Dalam hal ini, Pengadilan-Pengadilan Negeri yang tidak ditunjuk oleh Mahkamah Agung untuk memeriksa “Keberatan” tersebut, harus menyerahkan atau mengirimkan kepada Pengadilan Negeri yang ditunjuk, semua dokumen yang diterima baik dari KPPU maupun dari perusahaan atau pelaku usaha yang mengajukan “Keberatan”. Di dalam praktek, proses penyerahan atau pengiriman dokumendokumen tersebut dari Pengadilan-Pengadilan Negeri yang lain ke Pengadilan Negeri yang ditunjuk, memakan waktu yang lama. Setelah semua dokumen dari Pengadilan-Pengadilan Negeri yang lain diterima oleh Pengadilan Negeri yang ditunjuk, kemudian Pengadilan Negeri yang ditunjuk tersebut harus menentukan hari sidang pertama. Selama sidang-sidang diadakan oleh Pengadilan Negeri, KPPU adalah pihak “Termohon”. Berdasarkan Pasal 45 (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, baik pihak perusahaan (pelaku usaha) maupun KPPU, berhak untuk menyatakan kasasi20 terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut ke Mahkamah Agung.
20
Menurut Prof. Wirjono Projodikoro, kasasi adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain. Wiryono
414
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
Berdasarkan atas uraian tersebut di atas, suatu pertanyaan muncul mengenai apakah sidang-sidang yang demikian panjang dan lama tersebut melanggar prinsip-prinsip atau asas-asas hukum sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang No. 4/2004 tentang “Kekuasaan Kehakiman” atau tidak. Karena asas dasar pemeriksaan perkara dalam penegakkan hukum di Indonesia oleh lembaga peradilan adalah dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya yang murah,21 sebagaimana kita ketahui bahwa sebenarnya, sidangsidang perkara tentang pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dimulai dari KPPU dan hanya akan berakhir setelah adanya putusan Mahkamah Agung. Selain itu, sehubungan dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung mengenai perkara-perkara yang secara langsung berkaitan dengan UndangUndang No. 5 Tahun 1999, tidak terdapat ketentuan di dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan apakah terhadap putusan Mahkamah Agung dapat dilakukan upaya “Peninjauan Kembali” atau tidak. Apabila kita membaca Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 03 / 2003, pertanyaan lain muncul, sehubungan dengan proses persidangan-persidangan yang lama dan melelahkan tersebut. Pasal ini menyatakan bahwa kecuali ditentukan sebaliknya, peraturanperaturan hukum acara perdata yang berlaku, juga diterapkan terhadap Undang-Undang No. 5/1999. Dengan kata lain, Herziene Indische Reglement (HIR), yakni aturan-aturan hukum acara perdata yang berlaku, bersama-sama dengan undang-undang lainnya yang berkaitan dengan hukum acara perdata, dan praktek-praktek beracara yang diterima dan dibenarkan oleh pengadilan, akan diterapkan terhadap perkara-perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Tanpa mengurangi hak-hak dan kewenangan Mahkamah Agung, ketentuan yang dinyatakan di dalam Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No.03/2003 tersebut, kemungkinan besar akan mendorong dan memungkinkan pihak yang kalah akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di dalam praktek, sejumlah pihak yang berperkara (para pencari keadilan) yang tidak puas dengan putusan Mahkamah Agung tentang perkara-perkara pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, masih mencari upaya dengan cara mendaftarkan suatu permohonan
Projodikoro, “Hukum Acara Perdata di Indonesia”, (Bandung: Sumur Bandung, 1970), hal. 118. 21
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung.
Tinjauan atas Permasalahan yang Timbul dalam Penegakan HPU, Sekarmaji
415
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung,22 melalui Pengadilan Negeri. Dengan kata lain, Pasal 8 dapat dianggap sebagai suatu “loophole” (lowongnya suatu ketentuan di dalam suatu perjanjian atau di dalam peraturan perundangan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak mana pun) oleh pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan Mahkamah Agung tentang masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang pada mulanya (pada awalnya) diperiksa oleh KPPU. Yang pada pokoknya durasi yang dimungkinkan dalam oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan Peraturan lainnya untuk menegakkan hukum persaingan usaha sangat lama hal ini secara luas akan mempengaruhi perekonomian Indonesia karena kepastian hukum dalam kaitannya dengan waktu adalah unsur yang sangat penting bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa. V.
Kesimpulan
Pemaparan dalam tulisan ini merupakan beberapa hal yang menurut analisa penulis menghambat penegakkan hukum persaingan usaha. Padahal peletakan pengaturan hukum di bidang persaingan usaha jelas merupakan kebutuhan dari pertumbuhan perekonomian di Indonesia ini. Kepastian hukum sangat mempengaruhi iklim berusaha di Indonesia, hal ini perlu menjadi perhatian berbagai pihak untuk mengharmonisasi dan mensinkronisasikan pengaturan di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan berbagai ketentuan dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia. Tanpa dilakukannya hal ini cepat atau lambat akan mempengaruhi investasi dalam maupun luar negeri, yang mana kepastian hukum merupakan hal pertama yang menjadi alasan investor untuk menanamkan modal dan berusaha di Indonesia. Peranan KPPU sangatlah sentral dan dibutuhkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawas pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, tetapi dalam pelaksanaannya hendaknya KPPU tidak menabrak ketentuan-ketentuan yang sebelumnya telah ada dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, pada prinsipnya penyempurnaan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sangatlah penting apabila melihat praktek penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia yang telah berusia 10 tahun ini. Pengaturan yang ketat dan tegas terkait dengan hukum acara persaingan usaha akan
22
Renowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek”, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 197.
416
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
menciptakan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi Negara Indonesia ini yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian Negara.
Tinjauan atas Permasalahan yang Timbul dalam Penegakan HPU, Sekarmaji
417
Daftar Pustaka Basri, Faisal. “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia”, Jakarta: Erlangga, 2002. Pakpahan, Normis S. Rangkuman Seminar ELIPS, “Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 4, 1998. Projodikoro, Wiryono. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung, 1970. Sjahdeini, Sutan Remy. “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10, 2000. Sutantio, Renowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 2002. Tjokrowarsito, Mardiharto. “Peraturan Perundang-undangan yang Mendukung Pembangunan Ekonomi yang Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Knowledge Based Economy)”, <www.bappenas.go.id>, diakses tanggal 12 Juni 2009. “Bersaing Oke, Monopoli Juga Oke”, Tempo, 10/XXVII, 08 Desember 1998. “Pasal-Pasal Yang Memagari Monopoli”, Tempo, 21/XXVII, 23 Februari 1999. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung.