PERSPEKTIF HUKUM PIDANA TENTANG JERAT MAKAR TERHADAP AKSI DEMONSTRASI UMMAT ISLAM INDONESIA Oleh: M. ABDUL KHOLIQ,SH.,MHum. Dosen Hukum Pidana FH UII
Dipresentasikan
Regional
dalam Seminar bertema “JERAT HUKUM
MAKAR TERHADAP AKSI DEMONSTRASI UMMAT ISLAM INDONESIA DALAM PERSPEKTIF POLITIK, HUKUM TATA NEGARA DAN HUKUM PIDANA“. Seminar diselenggarakan oleh Depatemen Hukum Pidana Fakultas Hukum UII Yogyakarta Tanggal 1 Desember 2016
PENGANTAR Pilihan tema seminar di atas, secara
implisit seolah memang memperlihatkan adanya hubungan antara kegiatan ilmiah ini dengan sikap antisipatif negara yang berlebihan terutama yang ditunjukkan aparat kepolisian terhadap rencana aksi demonstrasi damai ummat Islam tanggal 2 Desember 2016 mendatang.
Sikap antisipatif berlebihan sebagaimana dimaksud antara lain tercermin dari dikeluarkannya Maklumat Kapolda Metro Jaya bernomor Mak/04/XI/2016 tanggal 21 Nopember 2016 yang dikeluarkan di Jakarta dengan mengatas namakan Instruksi Kapolri. Ada 4 hal yang merupakan isi dari maklumat tersebut sebagai berikut:
PERTAMA Para
peserta agar mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU RI No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum , khususnya tentang kewajiban, larangan, dan sanksi bagi pelaku atau peserta.
KEDUA Penyampaian
pendapat di muka umum dilarang membawa senjata tajam, senjata pemukul, atau benda - benda membahayakan.
KETIGA Dilarang
mengganggu ketertiban umum, merusak fasilitas umum, dan melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan fungsi jalan arus lalu lintas, melakukan provokasi yang bersifat anarkis maupun yang mengarah kepada SARA, dan pelaksanaanya hanya dibatasi mulai pukul 06.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB.
KEEMPAT Dilarang
melakukan kejahatan terhadap keamanan negara berupa makar terhadap Presiden dan atau wakil presiden, dan makar hendak memisahkan dari NKRI, serta makar dengan menggulingkan pemerintah Indonesia.
Dalam beberapa hari terakhir
menjelang tanggal 2 Desember ini selain mengeluarkan maklumat, pihak kepolisian khususnya Polda Metro Jaya juga melakukan sejumlah langkah antisipatif lain yang cenderung mengarah pada pembatasan bahkan pelarangan
hak kebebasan berbicara khususnya berupa penyampaian pendapat di muka yang prinsipnya sangat dijamin dan dilindungi oleh undang-undang (c.q UU No. 39/1999 jo. UU No. 9/PrP/1998). Misalnya:
1.Dengan menyerukan agar pemilik kendaraan bermotor di daerah sekitar DKI Jakarta tidak masuk wilayah Jakarta pada tanggal tersebut, atau tidak menyewakan kendaraannya jika keperluan penyewaannya untuk mengangkut demonstran yang akan datang ke Jakarta tanggal 2 Desember,
2.Akan melarang dan membubarkan ummat Islam yang hendak melaksanakan ibadah sholat Jum’at tanggal 2 Desember di sejumlah jalan protokol. Belakangan langkah ini cenderung akan diurungkan pasca pertemuan Kapolri-MUI-GNPFMUI 3.Bahkan Presiden Jokowi sendiri pun terlihat harus aktif turun tangan sendiri melakukan pendekatan ke berbabagai elemen bangsa mulai dari politisi, militer, ulama dan sebagainya demi meredam aksi demo 2 Desember tersebut
ANALISIS ISI MAKLUMAT KAPOLDA METRO JAYA Secara substantif isi maklumat
kesatu, kedua dan ketiga sangat wajar dan memang urgen demi untuk menjamin dan menjaga terpeliharanya ketertiban umum dan keamanan masyarakat yang menjadi salah satu tugas dan fungsi pokok kepolisian.
Namun
terhadap isi maklumat keempat, tampaknya perlu mendapat sorotan tajam. Karena berdasar hal tersebut seolah menunjukkan ada sinyal bahwa negara akan menerapkan kebijakan represif dalam menangani aksi demo massal melalui penggunaan perangkat hukum paling keras yakni hukum pidana dengan tuduhan makar.
Dalam
sejarah pemerintahan Indonesia, diskursus publik dengan melontarkan issue bernuansa tuduhan makar oleh pemegang kekuasaan terhadap pemikiran dan atau gerakan sekelompok orang yang berbeda paham dengan penguasa atau yang mengkritik tajam penguasa sebenarnya bukan hal yang baru sama sekali.
Selama
era reformasi saja berdasarkan pemberitaan berbagai media massa setidaknya tercatat fakta bahwa selain masa pemerintahan Presiden JOKOWI sekarang ini, diskursus publik dengan melontarkan issue bernuansa tuduhan makar tersebut juga pernah terjadi pada masa-masa pemerintahan sebelumnya.
Masa Pemerintahan HABIBIE Tuduhan ditujukan terhadap Kelompok Pembuat “Komunike Politik Bersama” (KPB) yang menyerukan pembentukan MPR Reformasi dan pembentukan pemerintahan presidium pengganti Kabinet Reformasi Habibie
Masa Pemerintahan GUS DUR Tuduhan ditujukan terhadap Kelompok Kebayoran Baru (KKB) yang melakukan aksi-aksi “kudeta konstitusional” (impeachment) untuk mencopot GUS DUR dari jabatan Presiden yang dilatar belakangi oleh berbagai kebijakan dan statementnya yang kontroversial. Kelompok ini bahkan pernah dituding pula sebagai “Bughot” .
Masa Pemerintahan MEGAWATI Tuduhan ditujukan terhadap Abu Bakar Ba’asyir (ABB) karena melakukan perencanaan dan koordinasi serangkaian pengeboman sebagai upaya penggulingan pemerintah yang sah
Masa Pemerintahan SBY Tuduhan ditujukan terhadap kelompok yang menggerakkan aksi demontrasi “Gerakan Cabut Mandat / GCM” pimpinan Hariman Siregar pada awal 2007. Tuduhan serupa juga pernah ditujukan terhadap Rizal Ramli dalam aksi demo anti Kenaikan harga BBM medio 2008
Pada masa ini tuduhan penggulingan
terhadap pemerintahan yang sah juga pernah diarahkan terhadap Kelompok Ormas Front Pembela Islam (FPI) awal Februari 2011. Karena gerakan dan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan Ormas ini dalam memberantas kemaksiatan / kemunkaran sering tidak melalui jalur hukum dan seolah mengabaikan eksistensi aparat negara
Pada masa pemerintahan ini pula,
tudingan makar juga pernah ditujukan terhadap Ratna Sarumpaet karena melakukan seruan dan penggalangan Rencana Demo Besar lewat jejaring sosial pada tanggal 25 Maret 2013 dengan issue sentral demo tentang gagalnya Pemerintahan SBY .
Meskipun
semua kasus / issue tuduhan makar dalam sejumlah periode pemerintahan era reformasi tersebut tidak ada yang ditindak lanjuti dalam proses peradilan pidana oleh aparat, namun realitas ini tetap mengancam ketenangan publik (masyarakat “terterror” oleh negara) dan juga mengancam kelangsungan demokrasi khususnya jaminan hak atas kebebasan berpendapat.
Bahkan
patut sinyal
pula dibaca sebagai atau indikasi tentang kemungkinan kembalinya suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang represif sebagaimana pernah terjadi pada era rezim Orde Baru dahulu.
PERTANYAAN DISKUSI Berdasar hal-hal tersebut di atas,
setidaknya ada 2 pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan dalam forum seminar ini. Yaitu: 1.Apakah negara dan aparatnya memiliki kewenangan justifikatif untuk melindungi kepentingannya dengan antara lain melalui kebijakan kriminalisasi delik makar terhadap perbuatan siapapun yang mengancam keberadaannya ?
2. Apa sesungguhnya delik makar itu dan mengapa penguasa pemerintahan seolah terkesan mudah dan “gemar” melontarkan issue publik bernuansa tuduhan makar terhadap pemikiran dan atau gerakan sekelompok orang yang berbeda paham dengan penguasa atau yang mengkritik tajam penguasa ???
TEORI EPHR
(Equality Protection of Human Right )
VICTIM
OFFENDER
STATE (Social Defence)
TEORI KONTRAK SOSIAL Individu (WN) Individu (WN)
Individu (WN)
Individu (WN)
NEGARA & APARATNYA
Individu (WN)
Individu (WN)
Individu (WN)
Individu (WN)
PENJELASAN 2 SKEMA TEORI Berbasis Teori EPHR terlihat bahwa
NEGARA dan APARAT-nya (termasuk simbol-simbol negara seperti PRESIDEN) adalah suatu pihak yang harus diakui pula eksistensinya dalam kehidupan bersama suatu bangsa. Karena ia dibentuk dan memang dibutuhkan oleh warga untuk mengatur kehidupan mereka . => NEGARA sebagai “EO” warga (Lihat Teori KONTRAK SOSIAL)
Sebagai
pihak yang diakui eksistensinya maka NEGARA pun memiliki hak dan atau kepentingan (selain kewajiban) yang berhak dilindungi atau setidaknya melindungi diri sama seperti pihakpihak lain (WARGA) yang ada dalam kehidupan bersama sebagai suatu bangsa. Baik warga tersebut sebagai
VICTIM bahkan sebagai OFFENDER sekalipun (Cermati Teori EPHR)
Dalam
rangka upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingankepentingan NEGARA sebagai suatu pihak (entitas) tersebut, dalam perspektif Hukum Pidana NEGARA dibenarkan membuatu suatu Rule of Game untuk menjaga keberadaannya dari berbagai perbuatan siapapun yang mengancam keberadaannya.
Berdasar konfigurasi pemikiran di
atas, maka dapat kita pahami lahirnya sejumlah regulasi Hukum Pidana terkait seperti: 1. Larangan melakukan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (berupa Delik Pemberontakan, Delik Makar, Membocorkan Rahasia Negara dll) 2. Larangan melakukan Kejahatan terhadap Ideologi Negara dsb.
PENGERTIAN DAN KETENTUAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG MAKAR
Secara yuridis, pengertian makar berdasarkan ketentuan pasal 87 KUHP adalah sebagai berikut: “Dikatakan ada makar
untuk melakukan suatu perbuatan, yaitu apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53”
ADA 2 (DUA) UNSUR DELIK MAKAR 1.Ada niat untuk melakukan suatu perbuatan yang disebut makar 2.Niat itu telah nyata diwujudkan oleh pelaku dengan adanya
perbuatan permulaan pelaksanaan makar
ADA 3 (TIGA) MACAM / JENIS PERBUATAN YANG MERUPAKAN DELIK MAKAR
1. Makar dengan maksud untuk: (a) membunuh Presiden atau Wakil Presiden, (b) merampas kemerdekaannya atau (c) menjadikan mereka tidak mampu memerintah (diatur dalam Pasal 104 KUHP)
KETENTUAN SANKSI PIDANA PASAL 104 KUHP Maksimum Ancaman Pidana untuk makar
kepada Presiden atau Wakil Presiden ialah berupa : 1. 104 – a Pidana Mati 2. 104 – b Penjara Seumur Hidup 3. 104 – c Penjara maximum 20 tahun Pelaku delik 104 harus tahu betul bahwa yang diserang (jika makar, bukan sekedar permufakatan makar) ialah memang Presideng/Wakil Presiden. Bukan “KW”.
2.Makar dengan maksud untuk: (a) menaklukkan sebagian atau seluruh wilayah NKRI ke bawah kekuasaan atau pemerintah asing / musuh atau (b) untuk memisahkan suatu wilayah dari NKRI (diatur dalam Pasal 106 KUHP) :
KETENTUAN SANKSI PIDANA PASAL 106 KUHP Pasal
106 – a merupakan pengkhianatan terhadap bangsa / negara => diancam pidana Maximum Seumur Hidup. Pasal 106 – b merupakan Gerakan Separatisme => diancam pidana Maximum 20 tahun penjara
3.Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah (diatur dalam Pasal 107 KUHP) . Berdasarkan ketentuan Pasal 88 bis KUHP diketahui bahwa yang dimaksud dengan penggulingan pemerintahan yang sah ialah mencakup penggantian secara tidak sah / inkonstitusional terhadap:
1.Bentuk Pemerintahan (Misal dari Republik ke Federal) 2.Kepala Pemerintahan (dari Presiden yang sah dengan pihak lain) 3.Sistem Pemerintahan (Misal dari Presidensial ke Parlementer)
KETENTUAN SANKSI PIDANA PASAL 107 KUHP
Maximum diancam penjara 15 tahuan
Pidana
Pemimpin / pengatur Makar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah => Maximum diancam Pidana penjara seumur hidup / 20 tahun
Selanjutnya terkait dengan unsur ke-
2 dari delik makar yaitu bahwa niat itu telah nyata diwujudkan oleh pelaku dengan adanya perbuatan
permulaan pelaksanaan
makar,
berdasarkan doktrin yang terkandung dalam Pasal 53 KUHP pengertiannya adalah sebagai berikut:
1.Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan pelaku benar-benar mendekatkan pada kondisi terjadinya delik yang dituju / potensial mewujudkan delik 2.Secara Subyektif, apa yang telah dilakukan pelaku harus benar-benar dapat dinilai
bahwa tidak ada keraguan lagi mengenai niatnya untuk mewujudkan delik itu 3. Perbuatan permulaan itu bersifat melawan hukum
BEBERAPA CATATAN ANALISIS 1. Bertolak dari pengertian Delik Makar sebagaimana termaktub dalam Pasal 87 KUHP jo. Pasal 53 KUHP di atas, maka sebenarnya Delik Makar itu bukan DELIK SELESAI (dalam arti makarnya sendiri tidak harus terjadi). Delik Makar lebih merupakan sebagai DELIK PERCOBAAN (yaitu percobaan untuk melakukan makar).
2. Adanya unsur delik berupa “dengan maksud untuk” menunjukkan bahwa Delik Makar merupakan Delik FORMIL. Artinya: a. Keinginan pelaku delik untuk terbunuhnya Presiden atau Wakil Presiden, terampasnya kemerdekaann mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah tidak harus benar-benar terjadi sebagai akibat delik
b. Keinginan pelaku delik untuk terpisahnya sebagian atau seluruh wilayah dari NKRI tidak harus benar-benar terjadi sebagai akibat
delik
c. Keinginan pelaku delik untuk tergulingnya pemerintahan yang sah tidak harus benar-benar terjadi sebagai akibat delik
Hal di atas karena hakekat Delik
Makar adalah sama dengan Delik Percobaan sehingga cukup dengan terpenuhinya dua unsur pokok dari delik percobaan yaitu ada Niat dan ada Perbuatan Permulaan Pelaksanaan Niat. Jadi Tidak
Harus ada akibat
3. Penggunaan unsur delik dengan Istilah “dengan maksud” yang menunjukkan arti sikap batin DOLUS / sengaja, juga mengandung makna delik ini tidak mesti harus dengan rencana dulu. Maksudnya bisa saja terjadi secara spontanitas. Bahkan ada yang menafsirkan cukup “sengaja” dalam arti mengetahui (Voorstelling Theorie) bukan menghendaki (Wils Theorie)
4. Bertolak dari hakekat pengertian Delik Makar sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka jika dikaitkan dengan issue atau rumor akan adanya rencana negara hendak mengkriminalisasikan aksi demonstrasi damai ummat Islam tanggal 2 Desember mendatang sebagai pelaku delik makar, ada beberapa persoalan hukum terkait:
a. Apakah secara OBYEKTIF
maupun SUBYEKTIF perbuatan melakukan aksi demo memang tidak diragukan lagi bahwa hal itu sudah sangat mendekatkan pada terjadinya makar ? Jika ya, makar yang mana ? b. Apakah perbuatan melakukan aksi demo dapat dipandang sebagai perbuatan yang ber-SIFAT MELAWAN HUKUM ?
Pertanyaan-pertanyaan
hukum di atas harus di-clear-kan oleh aparat khususnya pihak kepolisian sebelum “bernafsu” mengeluarkan ultimatum / ancaman hendak mengkriminalkan aksi demonstrasi damai tanggal 2 Desember sebagai Makar.
Tapi satu hal yang jelas
yang dapat ditarik sebagai suatu kesimpulan untuk menjawab pertanyaan diskusi “mengapa pemerintah seolah mudah dan gemar melontarkan tuduhan makar” ialah karena:
a. Hakekat
delik makar adalah DELIK FORMIL ( sehingga tidak perlu harus membuktikan adanya akibat makar seperti terbunuhnya Presiden atau Wakil Presiden, tergulingnya pemerintahan yang sah dan lain-lain)
b. Delik makar sesungguhnya adalah DELIK PERCOBAAN yang pembuktiannya cukup dengan 2 unsur saja yakni adanya NIAT pelaku dan terwujudnya niat pelaku dalam bentuk PERBUATAN PERMULAAN PELAKSANAAN MAKAR yang kriterianya didasarkan pada 3 hal menurut doktrin Pasal 53 KUHP.
CATATAN TAMBAHAN SEBELUM PENUTUP Dalam
ketentuan Hukum Pidana Indonesia, selain terdapat pasal tentang DELIK MAKAR sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat pula ketentuan hukum yang disebut sebagai PERMUFAKATAN JAHAT UNTUK MELAKUKAN DELIK MAKAR sebagaimana termaktub dalam Pasal Pasal 110 KUHP
PASAL 110 KUHP Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107 dan 108 diancam
Ayat (1)
berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut Ayat (2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan
maksud berdasarkan Pasal 104, 106 dan 108 mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:
Berdasarkan ketentuan Pasal 88
KUHP diketahui bahwa yang dimaksud dengan PERMUFAKATAN JAHAT ialah
“apabila ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”
Jika
ketentuan Pasal 88 KUHP tersebut dikaitkan dengan ketentuan Pasal 110 KUHP khususnya yang berupa permufakatan jahat untuk melakukan Delik Makar baik Pasal 104, 106 maupun 107 KUHP, maka hakekat delik PERMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN DELIK MAKAR pengertiannya adalah cukup memenuhi unsur delik berupa :
adanya NIAT KOLEKTIF oleh 2 orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan satu jenis pebuatan makar sebagaimana diatur dalam Ps. 104, 106, atau 107 KHUP.
Pertanyaannya
ialah apakah NIAT KOLEKTIF itu wujudnya hanya berupa: a. NIAT semata, atau b. NIAT + PERBUATAN PERSIAPAN ataukah c. NIAT + PERBUATAN PERMULAAN ?
Jika
NIAT KOLEKTIF dimaknai sebagai cukup berwujud NIAT yang ada dalam batin pelaku sematamata, maka hal itu mustahil untuk dapat dibuktikan di Pengadilan
Jika
NIAT KOLEKTIF dimaknai sebagai NIAT + adanya PERBUATAN PERMULAAN PELAKSANAAN , maka hal ini berarti sudah merupakan DELIK MAKAR itu sendiri. Karena berdasar Pasal 87 KUHP dikatakan hakekat makar ialah terpenuhinya 2 (dua) unsur tersebut.
Dengan demikian, makna NIAT KOLEKTIF itu tidak lain adalah cukup berupa adanya KESEPAKATAN NIAT oleh 2 orang atau lebih + ada PERBUATAN bersifat PERSIAPAN bukan PERMULAAN. Hal ini selaras dengan Ketentuan Pasal 110 Ayat (2) KUHP yang mengancam pidana terhadap orang-orang yang MEMPERSIAPKAN perbuatan makar
Secara yuridis membuktikan perbuatan PERSIAPAN tentu lebih mudah daripada membuktikan PERBUATAN PERMULAAN PELAKSANAAN. Misalnya cukup dengan adanya dokumen-dokumen tertentu atau pertemuan-pertemuan intensif tertentu yang dapat dibuktikan melalui saksi-saksi
Perlu
diingat bahwa PERBUATAN PERSIAPAN tersebut tentu tidak termasuk yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 110 Ayat (4) yang menyatakan bahwa: Tidak dipidana
barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum Ini Konstitusional
Faktor
konstruksi hukum seperti di ataslah yang mendorong penguasa mudah sekali melontarkan tuduhan makar atau setidaknya mufakat makar kepada sekelompok warga yang kritis atau berseberangan paham.
Oleh karenanya menganalisis satu
kasus perlu dicermati apakah itu memang sungguh-sungguh Delik Makar (sebagai DELIK PERCOBAAN MAKAR), ataukah Permufakatan Makar (yang sesungguhnya merupakan DELIK PERSIAPAN) atau mungkin bukan kedua-duanya alias BUKAN DELIK / TINDAK PIDANA
AL-HAMDULILLAH Allahu a’lamu bis-showwaab Yogyakarta, 1 Desember6 Al-Faqier ilaa Rohmati Robbih M. ABDUL KHOLIQ,SH.MHum.