PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG KERAGAMAN MANUSIA
Samsul Bahri Lembaga Penelitian IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT A discussion of an issue that is interpreted from the Koran very likely spawned dissent. This is due to the internal conditions that are interpretable scripture that could be affected by a critic of certain factors that are led to the subjectivity of each. Factors educational background, culture, and social condition of the people, believed to be very effective in giving a specific color to a discussion of the results. On that basis, any critic who made the Qur'an as much as possible to reinforce the foundation footing methodology used in describing the contents of the book, so the findings are not only minimize controversy, but it can also be tested methodologically. One issue that can look for reference from the Koran regarding human diversity in playing himself in the face of the earth. Kata Kunci: Perspektif, Keragaman,Tafsir Mawdhu’i Pendahuluan Persoalan keragaman manusia pada dasarnya sudah merupakan sesuatu yang ditelaah berulang-ulang. Sejauh ini cukup banyak teori sosiologi dikemukakan para ahli yang berkenaan dengan masalah dimaksud. Soerjono Soekanto misalnya, meninjau keragaman dari berbagai perspektif; mulai dari kelompokkelompok sosial, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, serta kekuasaan dan wewenang.1 Keragaman manusia juga tereksplisitkan di dalam alQur’an. Hanya saja oleh karena sifat keglobalannya, kitab suci dimaksud tidak merincikan persoalan ini secara tematis dan kronologis. Untuk menemukan rincian tematisasi dan kronologisasi pesan-pesan al-Qur’an, perlu dibekali seperangkat metodologi yang memadai. Tulisan ini diupayakan untuk menelaah pesan-pesan al-Qur’an dengan sedapat mungkin mengikuti alur metodologi sebagaimana akan dijelaskan. Permasalahan yang mendesak untuk dijawab adalah; bagaimana bentuk keragaman manusia, mengapa keragaman itu terjadi, dan bagaimana menyikapi keragaman menurut al-Qur’an? Jawaban terhadap persoalan ini sama sekali tidak ditujukan untuk menguji dan mengkritisi sejumlah temuan para ahli dalam bidang serupa. Tulisan ini lebih diharapkan sebagai pelengkap dan penyanding literatur yang ada. _____________ 1
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat (Jakarta: Rajawali, 1993), 45 Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
115
Landasan Metodologis Al-Qur’an adalah bacaan mulia yang secara eksistensial berasal dari Allah melalui media pewahyuan. Pewahyuan al-Qur’an merupakan salah satu proses transformasi ilmu Allah kepada manusia. Secuil dari ilmu Allah yang maha luas dengan demikian dapat diperoleh manusia melalui pembacaan al-Qur’an. Setiap informasi, ketentuan dan ajaran al-Qur’an dalam berbagai hal, seyogyanya dipahami sebagai butiran ilmu Allah yang mempunyai signifikansi yang amat tinggi bagi pengayaan khazanah keilmuan manusia. Ilmu Allah yang telah terejawantah di dalam al-Qur’an itu sedapat mungkin dipahami oleh manusia. Berbagai kesulitan di dalam memahami pesanpesan al-Qur’an sangat mungkin terjadi. Dari satu sisi, al-Qur’an adalah kalam Allah yang tak terbatas; mempunyai nuansa eternalitas yang sama sekali berbeda dengan karakter manusia yang terbatas. Sesuatu yang terbatas tentu akan sangat sulit menjangkau hal-hal yang bersifat tak terbatas. Dari sisi lain, al-Qur’an yang hendak dipahami oleh manusia itu adalah berupa ungkapan redaksional yang secara potensial sulit dipahami kecuali oleh pemilik ungkapan dimaksud. Pemilik ungkapan al-Qur’an adalah Allah; sehingga hanya Allah yang paling memahami kalam-Nya sendiri. Proposisi di atas tidak berkonsekuensikan pada penegasan upaya memahami kandungan kitab suci itu. Manusia merupakan sasaran utama bagi eksistensi al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab suci untuk umat manusia sehingga dengan kedudukan ini ia sangat berpeluang untuk dipahami oleh manusia berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Hanya saja, faktor keterbatasan kemampuan nalar manusia sangat mempengaruhi upaya pemahaman isi al-Qur’an. Jika demikian halnya setiap upaya memahami kandungan al-Qur’an sepantasnya lebih banyak bertumpu pada dimensi keilahian, bukan dimensi kemanusiaan. Dimensi keilahian dapat teraktualisasi melalui sekurang-kurangnya dua cara; memahami al-Qur’an dengan mempedomani pernyataan al-Qur’an sendiri pada bagian-bagian yang lain baik sebelum maupun sesudahnya, serta melakukan penghayatan kontemplatif dengan mengharapkan petunjuk-Nya. Pemahaman al-Qur’an dengan mempedomani bagian-bagian lain dari alQur’an sesuai dengan fungsi al-Qur’an sendiri sebagai petunjuk (hudan), sekaligus penjelas (bayyinat) terhadap petunjuk di samping fungsi lainnya sebagai pembeda (al-furqan).2 Fungsi kitab suci ini sebagai petunjuk meniscayakan adanya upaya pemahaman yang memadai dari manusia yang membutuhkan keberadaan petunjuk dalam menjalani hidupnya. Apabila al-Qur’an tidak dipahami dengan tepat, benar dan mendalam, maka manusia mengalami kesulitan untuk memperoleh petunjuk. Dengan kata lain, jika al-Qur’an tidak dipahami dengan baik, maka kehidupan manusia mengalami disorientasi karena tidak ada petunjuknya. Fungsi al-Qur’an ternyata tidak hanya sebatas sebagai petunjuk, tetapi juga sebagai penjelas terhadap petunjuk yang dikandungnya. Apabila manusia mengalami kesulitan di dalam memahami suatu petunjuk yang terdapat di dalam al-Qur’an, maka sudah sepatutnya menjadikan al-Qur’an itu sendiri sebagai penjelas agar petunjuk-petunjuk yang hendak dipahami itu dapat diketahui. Fungsi al-Qur’an sebagai penjelas secara teoritis antara lain dibahas secara mendalam _____________ 2
Hal ini secara redaksional ditegaskan di dalam QS. al-Baqarah: 185.
116
Samsul Bahri: Perspektif al-Qur’an tentang Keragaman Manusia
oleh para ahli dalam bahasan teori munasabah al-Qur’an.3 Munasabah al-Qur’an dapat berupa antar ayat yang berdekatan letaknya di dalam al-Qur’an; antar ayat di dalam surah yang sama; bahkan bisa pula terjadi antar surah yang berbeda. Ini artinya, penjelasan terhadap kandungan suatu ayat boleh jadi terletak berdekatan dengan ayat dimaksud, dan berkemungkinan pula letaknya berjauhan. Teori munasabah al-Qur’an umumnya dapat diaplikasikan di dalam penafsiran al-Qur’an dengan metode mawdhu‘i. Metode tafsir mawdhu‘i mengambil dua bentuk besar; pertama, menyajikan penafsiran al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum di dalam satu surah saja. Penyajiannya dilakukan secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan hubungan antar berbagai masalah yang di-kandungnya; sehingga surah itu tampak dalam bentuk yang betul-betul utuh dan cermat.4 Bentuk kedua dari metode tafsir mawdhu‘i adalah berusaha menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan yang sama dari berbagai surah, menyusunnya secara kronologis selama memungkinkan dengan memperhatikan sebab turunnya, menjelaskannya, mengaitkannya dengan surah tempat ia berada, menyimpulkannya dan menyusun kesimpulan tersebut ke dalam kerangka pembahasan sehingga tampak dari segala aspek, dan menilainya dengan pengetahuan yang shahih.5 Penafsiran al-Qur’an dengan metode mawdhu‘i secara embrional sudah dipraktekkan oleh para ulama masa lalu. Dalam kaitan ini terdapat suatu adagium di kalangan para ulama tersebut bahwa pada prinsipnya, penafsiran al-Qur’an yang paling tinggi nilainya adalah penafsiran yang diperoleh dari al-Qur’an sendiri. Para ulama merumuskan sebuah kaidah; al-Qur’an yufassiru ba‘dhuhu ba‘dhan6 (sebagian al-Qur’an menafsirkan bagian lainnya). Hal ini semakna dengan ungkapan: 'al-Qur’an menafsirkan dirinya sendiri.' Pengaplikasian adagium ini amat penting di dalam upaya memahami suatu ayat yang dipandang pelik. Sebab jika tidak, seorang pembaca al-Qur’an akan terjebak pada pemahaman yang atomistik dan tidak terarah.` Keragaman Manusia Keragaman manusia dapat berupa perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, bentuk dan ukuran tubuh, status sosial, dan ciri-ciri lainnya; baik yang bersifat kodrati maupun hasil rekayasa sosial (social construction). Ayatayat al-Qur’an yang menyatakan keragaman manusia antara lain dapat dilihat sebagai berikut;
ﯾﺎأﯾﮭﺎ اﻟﻨﺎس إﻧﺎ ﺧﻠﻘﻨﺎﻛﻢ ﻣﻦ ذﻛﺮ وأﻧﺜ ﻰ وﺟﻌﻠﻨ ﺎﻛﻢ ﺷ ﻌﻮﺑﺎ وﻗﺒﺎﺋ ﻞ ﻟﺘﻌ ﺎرﻓﻮا إن أﻛ ﺮﻣﻜﻢ ﻋﻨ ﺪ ﷲ أﺗﻘﺎﻛﻢ إن ﷲ ﻋﻠﯿﻢ ﺧﺒﯿﺮ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di _____________ 3
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 94-98 ‘Abd al-Hay al-Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir al-Mawdhu‘i (Mishr: Maktabat alJumhuriyah, 1397/1977), 50-52 5 ‘Abd al-Hay al-Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir…, 52. Bandingkan dengan Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), xiii 6 Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz. III (Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H.), 175 4
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
117
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat: 13) Perbedaan antar manusia sama sekali tidak membenarkan adanya upaya dan sikap dikriminatif terhadap orang-orang yang berbeda itu. Penegasian diskriminatif tidak hanya terungkap secara eksplisit pada akhir ayat di atas dengan pernyataan bahwa orang yang paling mulia di antara manusia adalah orang yang paling bertakwa; juga sudah berulang kali diingatkan di dalam ayat-ayat sebelumnya;
ﯾﺎأﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ ءاﻣﻨﻮا ﻻ ﯾﺴﺨﺮ ﻗﻮم ﻣﻦ ﻗﻮم ﻋﺴﻰ أن ﯾﻜﻮﻧﻮا ﺧﯿﺮا ﻣﻨﮭﻢ وﻻ ﻧﺴﺎء ﻣﻦ ﻧﺴﺎء ﻋ ﺴﻰ أن ﯾﻜﻦ ﺧﯿﺮا ﻣﻨﮭﻦ وﻻ ﺗﻠﻤﺰوا أﻧﻔ ﺴﻜﻢ وﻻ ﺗﻨ ﺎﺑﺰوا ﺑﺎﻷﻟﻘ ﺎب ﺑ ﺌﺲ اﻻﺳ ﻢ اﻟﻔ ﺴﻮق ﺑﻌ ﺪ اﻹﯾﻤ ﺎن وﻣﻦ ﻟﻢ ﯾﺘﺐ ﻓﺄوﻟﺌﻚ ھﻢ اﻟﻈﺎﻟﻤﻮن
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburukburuk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Hujurat: 11)
ﯾﺎأﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ ءاﻣﻨﻮا اﺟﺘﻨﺒﻮا ﻛﺜﯿﺮا ﻣﻦ اﻟﻈﻦ إن ﺑﻌﺾ اﻟﻈﻦ إﺛﻢ وﻻ ﺗﺠﺴﺴﻮا وﻻ ﯾﻐﺘ ﺐ ﺑﻌ ﻀﻜﻢ ﺑﻌﻀﺎ أﯾﺤﺐ أﺣﺪﻛﻢ أن ﯾﺄﻛﻞ ﻟﺤﻢ أﺧﯿﮫ ﻣﯿﺘﺎ ﻓﻜﺮھﺘﻤﻮه واﺗﻘﻮا ﷲ إن ﷲ ﺗﻮاب رﺣﯿﻢ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hujurat: 12) Ayat-ayat di atas mempunyai latar belakang historis yang disebut dengan sabab al-nuzul. Al-Wahidi (w. 468 H.) seorang kompilator sejarah turunnya alQur’an menceritakan sebagaimana ia terima dari Ibnu ‘Abbas bahwa surah alHujurat ayat 13 diturunkan dalam konteks ungkapan salah seorang sahabat yang bernama Tsabit di hadapan Nabi tentang aneka warna kulit kaum muslimin di kala itu; ada yang berwarna putih, kemerah-merahan dan ada pula yang berwarna hitam. Nabi menegaskan saat itu bahwa mereka semua adalah sama, lantas turun ayat tersebut.7 Pada bagian lain dari penjelasannya, al-Wahidi juga mengutip riwayat dari Muqatil bahwa tatkala kota Mekah sudah dikuasai sepenuhnya oleh kaum muslimin, Nabi menyuruh Bilal untuk mengumandangkan azan. Salah seorang yang berhadir saat itu bernama ‘Attab menyindir Bilal sembari berkata: “Alhamdulillah ayah saya telah meninggal dunia sehingga tidak sempat melihat peristiwa ganjil ini.” Al-Harits ibn Hisyam yang hadir di situ ikut mengomentari;
_____________ 7
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab Nuzul al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419/1998), 410-411 118
Samsul Bahri: Perspektif al-Qur’an tentang Keragaman Manusia
“Apakah Muhammad tidak menemukan selain gagak hitam ini sebagai muazzin?” Lantas turun ayat tersebut di atas.8 Penceritaan sabab al-nuzul bagi ayat al-Qur’an di atas kiranya sangat penting untuk lebih memahami substansi kandungan ayat tersebut. Sebagaimana disebutkan di dalam sejarah, Bilal yang ditunjuk sebagai muazzin Nabi adalah seorang mantan budak asal ethiopia yang berwarna kulit hitam. Ini artinya, Bilal secara kondisional berasal dari suku, bangsa, warna kulit, dan status sosial yang sangat berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin waktu itu. Kenyataan ini sekurang-kurangnya menstimulir sebagian kaum muslimin yang belum kuat imannya untuk mempersoalkan kebijakan Nabi dalam memilih seseorang untuk diposisikan pada posisi tertentu. Masyarakat Arab pra-Islam sudah terbiasa dengan sikap ‘ashabiyah yang tinggi; memuliakan orang sebangsa dan sewarna dengan mereka, di samping sangat memuliakan status dan kedudukan.9 Maka, ketika nuansa keragaman diperkenalkan oleh Nabi, ada sebagian di antaranya yang merasa sedikit shock sebagaimana terwujud dalam sikap-sikap mereka. Keragaman merupakan sesuatu yang bersifat alamiah dan keniscayaan sejarah. Oleh karena adanya keragaman, kehidupan manusia akan berjalan secara harmonis dan berimbang. Analisis Talcott Parsons dalam kaitan ini agaknya dapat dipahami, bahwa masing-masing manusia pada prinsipnya menduduki posisi berdasarkan fungsinya.10 Keragaman meniscayakan semua fungsi-fungsi sosial akan terisi secara sempurna. Setiap anggota masyarakat mempunyai potensi untuk menduduki posisi tertentu. Dari posisi tersebut, ia akan mewujudkan segala kemampuan dan kelebihannya. Ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan pengakuan fungsi-fungsi sosial antara lain adalah sebagai berikut;
أھﻢ ﯾﻘﺴﻤﻮن رﺣﻤﺔ رﺑﻚ ﻧﺤﻦ ﻗﺴﻤﻨﺎ ﺑﯿﻨﮭﻢ ﻣﻌﯿﺸﺘﮭﻢ ﻓﻲ اﻟﺤﯿﺎة اﻟﺪﻧﯿﺎ ورﻓﻌﻨﺎ ﺑﻌﻀﮭﻢ ﻓﻮق ﺑﻌﺾ درﺟﺎت ﻟﯿﺘﺨﺬ ﺑﻌﻀﮭﻢ ﺑﻌﻀﺎ ﺳﺨﺮﯾﺎ ورﺣﻤﺔ رﺑﻚ ﺧﯿﺮ ﻣﻤﺎ ﯾﺠﻤﻌﻮن
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. al-Zukhruf: 32) Pemanfaatan manusia lain oleh seseorang tidak dilakukan secara eksploitatif, karena hubungan antar orang-orang tersebut berlangsung atas dasar kerja sama. Hak-hak perorangan dan komunal memang semestinya terjaga sebagai prinsip utama di dalam kerja sama. Seorang majikan umpamanya, di dalam konteks ini tidak berposisi lebih utama dibandingkan pekerja. Perbedaan majikan dan pekerja lebih merupakan keniscayaan fungsi mereka dalam melaksanakan tugas. Seorang majikan tidak bisa menjalankan usahanya tanpa keberadaan pekerja, sebagaimana halnya pekerja membutuhkan keberadaan majikan. Seandainya terjadi eksploitasi di dalam konteks ini, maka kerugian akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Dalam stadium jangka pendek, boleh jadi pekerja yang _____________ 8
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab Nuzul al-Qur’an, 411 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam (Kairo: Maktabat al-Nahdhah al-Mishriyah, 1967), 196 10 Talcott Parsons, Politics and Social Structure (New York: The Free Press, 1969), 46, 199, 211 9
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
119
akan mengalami kerugian; sedangkan untuk masa jangka panjang, justeru majikan tersebut yang mengalami kerugian. Kerjasama antar manusia merupakan potensi dasar yang dibawa sejak lahir. Manusia tidak bisa hidup dan menjalankan seluruh aktivitasnya secara sendirian. Ia selalu membutuhkan keberadaan pihak lain dalam mengaktualisasikan diri. Ayat kedua dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi dipandang Qurasih Shihab mengandung nuansa keniscayaan kerjasama antar manusia.11 Ayat dimaksud adalah sebagai berikut;
ﺧﻠﻖ اﻹﻧﺴﺎن ﻣﻦ ﻋﻠﻖ “Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. (QS. al-‘Alaq: 2)” Dalam terjemah al-Qur’an yang disusun tim Departemen Agama Republik Indonesia, ungkapan ‘alaq diterjemahkan sebagai “segumpal darah”.12 Penerjemahan ini dinilai Quraish Shihab kurang tepat, sehingga ia memberikan dua alternatif terjemahan lainnya.13 Alternatif pertama, ‘alaq adalah sesuatu yang menempel di dinding rahim. Secara struktur bahasa, ‘alaq berarti tergantung atau menempel. Alternatif terjemahan kedua dari ungkapan ‘alaq adalah memiliki potensi ketergantungan.14 Artinya, manusia mempunyai ketergantungan kepada pihak-pihak lain sehingga ia tidak bisa hidup dan berkembang sendiri. Jika demikian halnya, maka dorongan untuk hidup bersama dan bekerja sama antar manusia ada dari dalam diri manusia sendiri. Kerja sama tentu akan berlangsung jika masing-masing dari orang tersebut mempunyai kapasitas yang berbeda antara satu sama lain. Seandainya semua manusia sama kapasitas dan kapabilitasnya, tentu tidak mungkin melakukan kerjasama. Sebagian dari keragaman manusia terjadi akibat akumulasi proses perjalanan hidup yang dilaluinya baik atas dasar pilihannya secara sadar atau berlangsung tanpa ia sadari. Beberapa ayat berikut ini mengisyaratkan perbedaan manusia akibat pilihan-pilihan yang ia buat sendiri.
ﻻ ﯾ ﺴﺘﻮي اﻟﻘﺎﻋ ﺪون ﻣ ﻦ اﻟﻤ ﺆﻣﻨﯿﻦ ﻏﯿ ﺮ أوﻟ ﻲ اﻟ ﻀﺮر واﻟﻤﺠﺎھ ﺪون ﻓ ﻲ ﺳ ﺒﯿﻞ ﷲ ﺑ ﺄﻣﻮاﻟﮭﻢ ... وأﻧﻔﺴﮭﻢ ﻓﻀﻞ ﷲ اﻟﻤﺠﺎھﺪﯾﻦ ﺑﺄﻣﻮاﻟﮭﻢ وأﻧﻔﺴﮭﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﺎﻋﺪﯾﻦ درﺟﺔ
“Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat…” (QS. al-Nisa: 95)
وﻟﻜﻞ درﺟﺎت ﻣﻤﺎ ﻋﻤﻠﻮا وﻟﯿﻮﻓﯿﮭﻢ أﻋﻤﺎﻟﮭﻢ وھﻢ ﻻ ﯾﻈﻠﻤﻮن
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan”. (QS. al-Ahqaf: 19) Jika dua ayat al-Qur’an di atas mengisyaratkan perbedaan manusia lebih disebabkan atas pilihan dalam menjalankan fungsi sosialnya, maka ayat berikut ini mengungkapkan bahwa sebagian di antara manusia itu terjadi secara kodrati dan _____________ 11
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), 319-320 Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Karya Insan, 2004), 904 13 Analisis panjang lebar tentang penerjemahan ungkapan 'alaq dapat dilihat antara lain Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Amanah, juz. I (Jakarta: Pustaka Amanah, 1991), 20-25 14 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. XV (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 397 12
120
Samsul Bahri: Perspektif al-Qur’an tentang Keragaman Manusia
bukan hasil rekayasa mereka. Atas dasar itu, Allah menegaskan agar orang-orang yang berbeda satu sama lainnya itu menerima keadaan tersebut sepenuh hati.
وﻻ ﺗﺘﻤﻨﻮا ﻣﺎ ﻓﻀﻞ ﷲ ﺑﮫ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﻟﻠﺮﺟﺎل ﻧﺼﯿﺐ ﻣﻤﺎ اﻛﺘﺴﺒﻮا وﻟﻠﻨﺴﺎء ﻧﺼﯿﺐ ﻣﻤﺎ اﻛﺘﺴﺒﻦ واﺳﺄﻟﻮا ﷲ ﻣﻦ ﻓﻀﻠﮫ إن ﷲ ﻛﺎن ﺑﻜﻞ ﺷﻲء ﻋﻠﯿﻤﺎ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. al-Nisa: 32) Perbedaan antar manusia adalah bagian dari cobaan ilahi untuk menguji mereka; sejauh mana kenyataan itu mempengaruhi prilaku keberagamaannya
وھﻮ اﻟﺬي ﺟﻌﻠﻜﻢ ﺧﻼﺋﻒ اﻷرض ورﻓﻊ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻓﻮق ﺑﻌﺾ درﺟﺎت ﻟﯿﺒﻠﻮﻛﻢ ﻓﻲ ﻣﺎ ءاﺗﺎﻛﻢ إن رﺑﻚ ﺳﺮﯾﻊ اﻟﻌﻘﺎب وإﻧﮫ ﻟﻐﻔﻮر رﺣﯿﻢ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-An’am: 165) Perbedaan antar manusia mempunyai hikmah yang sangat mendalam bagi pembelajaran spiritualitas manusia. Dengan mengetahui kenyataan keragaman itu, manusia tidak hanya terdorong untuk menjalankan fungsi-fungsi sosial yang bisa diembannya, tetapi ia juga sangat berpeluang dalam berupaya untuk memperbaiki keadaannya baik secara lahiriah maupun bathiniah. Perbaikan keadaan lahiriah terkait dengan pemenuhan keperluan material seperti pangan, sandang, dan tempat tinggal. Akan halnya perbaikan sisi bathiniah antara lain dengan mengupayakan peningkatan kualitas sikap, moral, amal dan iman. Pada prinsipnya, keragaman manusia memang diakui keberadaannya sekalipun tetap diharapkan agar ada keikutsertaan manusia secara bersahaja untuk mengubah keadaannya menjadi lebih baik. Salah satu ayat al-Qur’an berikut mengisyaratkan hal ini;
... إن ﷲ ﻻ ﯾﻐﯿﺮ ﻣﺎ ﺑﻘﻮم ﺣﺘﻰ ﯾﻐﯿﺮوا ﻣﺎ ﺑﺄﻧﻔﺴﮭﻢ...
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. al-Ra’d: 11) “Perubahan manusia dimulai dari sesuatu yang terdalam dari manusia, yaitu benaknya sendiri,” demikian lebih kurang komentar Baqir al-Shadr ketika menganalisis ayat 11 surah al-Ra’d di atas.15 Ayat tersebut bersinggungan dengan perubahan yang terjadi di tengah masyarakat manusia secara komunal. Meskipun demikian, tentu harus diakui bahwa masyarakat komunal itu terbentuk dari sejumlah individu. Perubahan masyarakat dengan demikian juga mesti diawali dari perubahan individu yang terdapat di dalam masyarakat tersebut. Perubahan seseorang harus diawali dari perubahan jiwa –dalam teks ayat disebutkan anfus yang secara potensial mencakup semangat, motivasi, visi dan cita-cita ideal. Dalam terma yang lebih kontemporer, dapat disebut sebagai paradigma. Jadi, perubahan seseorang diawali oleh perubahan paradigma orang _____________ 15
Baqir al-Shadr, Al-Madrasat al-Qur’aniyyah, al-Sunan al-Tarikhiyah fi al-Qur’an alKarim (Beirut: Dar al-Ta‘aruf, 1980), 91 Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
121
tersebut. Apabila paradigmanya sudah berubah, maka segala sesuatu akan berubah. Setiap individu semestinya selalu mengevaluasi paradigmanya agar ia dapat mengubah nasibnya. Realitas sosial memang harus diakui keberadaannya, namun manusia adalah pencipta sejarah - paling kurang untuk dirinya- sehingga berperan penting bagi menentukan fungsi sosial yang diembannya. Kesimpulan Al-Qur’an adalah kitab suci yang mengandung petunjuk bagi manusia. Kandungan al-Qur’an tidak hanya berorientasi pada masalah-masalah yang bersentuhan dengan aspek ukhrawi, tetapi juga terkait dengan keperluan kehidupan duniawi manusia. Hanya saja, aspek yang disebut terakhir ini umumnya disajikan al-Qur’an dalam bentuk global sehingga manusia dapat merincikannya sesuai kebutuhan tanpa mengabaikan prinsip normatif yang dikandungnya. Perincian itu mesti melalui proses penafsiran dan pemahaman secara metodologis agar konsistensi pemahaman dapat dipertanggungjawabkan. Keragaman manusia merupakan salah satu tema yang bisa dicarikan landasan normatifnya di dalam al-Qur’an. Sejumlah ayat al-Qur’an mewacanakan aneka bentuk keragaman manusia meliputi; jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, bentuk dan ukuran tubuh, status sosial, dan ciri-ciri lainnya; baik yang bersifat kodrati maupun hasil rekayasa sosial (social construction). Keragaman yang bersifat kodrati sepantasnya disikapi sebagai kenyataan yang harus diterima dalam rangka mengaktualisasi fungsi sosial masing-masing. Sementara itu, keragaman hasil rekayasa manusia diperlukan upaya untuk mendorong agar masing-masing individu membuat pilihan terbaik; bahkan mengubah keadaannya sejauh memungkinkan.
122
Samsul Bahri: Perspektif al-Qur’an tentang Keragaman Manusia
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Karya Insan, 2004. Al-Farmawi, ‘Abd al-Hay. Al-Bidayah fi Tafsir al-Mawdhu’i. Mishr: Maktabat alJumhuriyah, 1397/1977. Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Kairo: Maktabat al-Nahdhah alMishriyah, 1967. Parsons, Talcott. Politics and Social Structure. New York: The Free Press, 1969. Al-Shadr, Baqir. Al-Madrasat al-Qur’aniyah, al-Sunan al-Tarikhiyah fi al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Ta'aruf, 1980. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al-Mishbah. vol. XV. Jakarta: Lentera Hati, 2003. -------- , Tafsir Amanah, juz. I. Jakarta: Pustaka Amanah, 1991. -------- , Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996. Soekanto, Soerjono. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1993. Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur'an. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Al-Wahidi, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad. Asbab Nuzul al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419/1998. Al-Zarkasyi, Badr al-Din. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz. III. Beirut: Dar alFikr, 1405 H.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
123