Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 | Rabu, 20 Mei 2015
Persistensi Media Cetak dalam Gempuran Arus Digital //FOKUS:
Tantangan Media Cetak Kini: Putar Otak Agar Tetap Tegak
//PEOPLE INSIDE:
Suwarjono (Ketua Umum AJI): Semua Berawal dari Pers Kampus
//BABUBA:
Arus Bawah: Hilangnya Sang Kiai
Menjaga Kandang Persis Jumat 8 Mei kemarin, komunitas pers mahasiswa kami tercinta dengan wajahnya yang merah menyala, merayakan hari jadi salah satu karyanya yang ke 24. Tertanggal 8 Mei tahun 2000, Bulaksumur Pos terbit untuk pertama kalinya di UGM. Tidak ada lilin yang ditiup ataupun kembang api yang dinyalakan. Hanya beberapa saat usai dentum kebebasan pers negeri ini digaungkan melalui UU Pers No. 40 tahun 1999. Bertambahnya usia menjadi kans bagi kami untuk menengok ke belakang; memajang refleksi dan berbenah diri. Proses demi proses yang kami lewati, adalah kewajiban kami untuk memastikan proses tersebut tidak sekedar dilewati. Landai ataupun terjal, semua jalan mengacu ke sebuah tujuan; sebuah bentuk ideal yang berusaha kami capai. Di balik tujuan kami memikul ribuan alasan. Harapan kami: semoga alasan tidak berkelambu pembenaran. Barangkali terlalu banyak semiotika bisa membuat khalayak muak. Meskipun romantisme begitu nikmat untuk sekejap, kami mencoba hadir dengan senyum hangat. Kehangatan ini kami harap tetap bisa dibedakan dengan suhu ruangan. Lebih baik lagi apabila mampu sedikit membakar. Gunungan tumpeng telah dibelah, syukur setinggi-tingginya kami panjatkan. Api telah dipadamkan guna memejam mata sejenak, untuk kembali menyulut api yang lebih terang. Identitas kami selaku Media Komunitas terkadang masih bias di mata. Aktualitas masih berkembang. Dua puluh empat tahun silam kami dibentuk dengan sebuah kepercayaan. Sebuah semangat perubahan. Perkembangan demi perkembangan. Menggaet khalayak untuk menuturkan kembali apa yang kami tuliskan. Menuntun mahasiswa untuk sadar sekitar. Dengan daya pegas penuh tenaga, kami meluncurkan sebuah pendirian. Sebuah pijakan untuk mempertahankan perubahan. Ucapan selamat bertebar di atas kepala. Banyak harapan untuk disimpan dan di saat yang tepat ditengok kembali untuk diletakkan di depan. Di antara keharusan dan keinginan, tujuan akan kami capai. Tanpa terdistorsi oleh nyamannya ruang persaingan, tujuan memang tetap harus kami capai. Prioritas menjadi kata kunci. Media terkadang bisa menjadi entitas yang indah nan abstrak. Menjadi penjaga kandang bukanlah sebuah mandat untuk sekedar buka-tutup kandang, namun untuk memastikan isi kandang terjaga dan berkembang. Penjaga Kandang
Foto: Ikhsan/ Bul
Berubah Menjadi Lebih Baik
P
eradaban semakin maju, begitu pula dengan teknologi yang terus berkembang. Berbagai inovasi terus diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia seiring dengan kemajuan teknolgi. Kini, era digital menghadang. Mendominasi kehidupan sehari-hari dan mengubah gaya hidup masyarakat yang haus akan informasi serba cepat dan instan. Berbagai media mulai beralih dan mengusung terbitan digital. Mereka memanfaatkan jaringan internet sebagai jalur distribusi utama dengan terbitan dalam format portable document format (pdf) ataupun rilis pada laman website. Berawal dari semakin berkurangnya minat pembaca terhadap tulisan yang panjang membuat media digital mencari solusi untuk menyesuaikan pasar. Hasilnya, Media digital memang mampu menawarkan suatu tren dalam packaging dan visualisasi berita yang menarik bagi khalayak pembaca, namun kurang dalam mengasah isi berita. Di sisi lain, masih ada pihak yang mempertahankan media cetak sebagai ciri khas mereka. Berita yang berbobot dan dekat dengan khalayak adalah nilai jual media cetak. Namun sekali lagi, permasalahan klasik tentang distribusi yang tidak merata serta desain yang kurang menarik menjadi tantangan terbesar yang masih melanda media cetak. Media cetak dituntut untuk memenuhi keinginan pasar namun tetap mampu menampilkan idealisme dan keunikan yang dimiliki. Media digital yang berjalan dalam konsep daring (dalam jaringan/ online) unggul dalam distribusi informasi dan tampilan yang menarik, namun media cetak tetap punya strategi dengan mengutamakan nilai berita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Berbagai siasat harus dilakukan untuk menutupi kekurangan media cetak sehingga mampu berubah menjadi lebih baik dan tetap mempertahankan eksistensinya. Berkaca pada hal tersebut, SKM UGM Bulaksumur sebagai salah satu komunitas yang masih mempertahankan produk utama berupa media cetak pun mendapat tantangan yang sama. Kami berkomitmen untuk tetap melangkah mempertahankan ciri khas yang sudah terpatri lama, secara perlahan melakukan perubahan strategi dalam distribusi dan packaging dan tetap mempertahankan idealisme Bulaksumur sebagai Surat Kabar Mahasiswa. Kami dalam posisi ini mencoba berusaha memperbaiki apa yang telah dilakukan selama ini, sambil terus memposisikan diri di tengah tantangan dunia digital. Berubah menjadi lebih baik tanpa menghilangkan ciri khas, mengapa tidak? Tim Redaksi
Penerbit : SKM Bulaksumur. Pelindung: Prof Ir Dwikorita Karnawati Msc, PhD, Dr Drs Senawi MP. Pembina: Dr Phil Ana Nadhya Abrar MES. Pemimpin Umum: Vikra Alizanovic. Sekretaris Umum: Anindya Firda K. Pemimpin Redaksi: Shulhan S. Rijal. Sekretaris Redaksi: Nur M.U. Editor: Grattiana Timur, Vindiasari YSP. Redaktur Pelaksana: Adinda Noor M, Al Fidhiashtry, Arie Kristanto P, A Srinindita, Chandra P, Diyah Tri U, Dwi Lestari, Erma Setyo W, Ghufron Z, Umi Hani, Husnul K, Jelita Sari W, Kurnia IP, M Ari Saputra, M Tatag AA, Nafisah, Noor Rohman K, Nun Afra F, Nurul Aulia, S Lathif, A Kartika, Edwina P, R Kartika A, Winnalia Lim, Ziyadatur R, Abdul H, Bernadeta DSR, Melati Mewangi, M Abdillah Alif, Yessica LMD, Nungki AR, Nurlaili WR, Yovita IFK, Alifah Fajariah, Agnerisa RS, Fitria Chusna F, Akhmad Z, Adinda TD, Anisah ZA, Na’imatul M, Nadhifa IZR, Yunita RAP, Rahadian AW, Ibnu SSH, Firas Khoirunnisa, Annisa PN, Mahda ‘Alamia, Luthfiyya H, Agung PBB, Fitri Yulia R. Reporter: Hesti W, Adila SK, Floriberta NDS, Nadia FA, Gadis IP, Laili TA, Roosana TP, Rovadita A, Putri Kinasih EAA, Revina PU, Anissa N, F Yeni ES, Boston B, Dzikri SA, Willy A, Alifaturrohmah, Rizki AL, Nurul MTW, Elvan ABS, Amela RS, Fiahsani T, Riski Amelia, Feda VA, Rosyita Alifiya, Mitsalina FA, Laras AP, Indah FR, Ayu A, Hafidz WM, Merara AM, Nala M. Kepala Litbang: Setyo Kinanthi. Sekretaris Litbang: Densy Septiana P. Staf Litbang: Novianna S, Junaidi S, Cahyo Eko P, Ignatia Andra X, Nitia AKA, Amanah W, Fatimah N, Hesty F, Mega APG, Palupi P, Diantika RF, Dyah P, M Ardafillah, Riza Adrian S, Richardus A., Kartika NDH, Utami A, Wahyu W, Andi S, Dandy IM, Raka P, Nabiila N, Mutia F, Devina PK, M Ghani Y, Nurcahyo YH, Rohmah A, Shifa AA, M Budi U. Manager Iklan dan Promosi: Nurendra Adi Wardana. Sekretaris Iklan dan Promosi: Farizan Adli N. Staf Ikrom: Hatma Styagraha PH, Popy Farida AW, Shintya R, Ferica Veni D, Gunna H, Nizza NZ, Rosa L, Addina H, Annisa Nur I, Desra I, Doni S, Herning M, Ahmad MT, Rahardian GP, Elvani A. Kepala Produksi: Herwinda Rosyid. Sekretaris Produksi: Delfi Rismayeti. Korsubdiv Fotografer: M Ikhsan Kurniawan. Anggota: Aldi Maulana, Kartika IM, Sekar AT, Ari Perwita S, Grahyta D, M Ilham Adhi P, M Syahrul R, Fadhilaturrohmi, Hasti Dwi O, Desy Dwi R, Edo R, Ridho Yan P, Anggia R, Yahya F, Devi A. Korsubdiv Layouter: Candra Kirana M. Anggota: M Razan Bahri, Adhistia VY, Rifki M Audy, Intan R, M Yusuf Ismail, Tongki Ari W, M Fachri A, Rifqi A, Faisal A, M Anshori, Shandy. Korsubdiv Ilustrator: Nariswari An-Nisa H. Anggota: Armita S, Fatimah Dwi C, Miski Nabila F, Fatma Rizky A, Prita Andrea F, Mia Ainun N, Arnita P, Dhimas LG, Rizka KH, Radityo M, Meli S. Korsubdiv Web Design: Rifki Fauzi. Anggota: M Rodinal KK, M Afif F, Ricky Afdita AP. Magang: Gawang WK, Dwi Puji S. Alamat Redaksi, Iklan dan Promosi: Bulaksumur B-21 Yogyakarta 55281. Telp: 089622060707. Email:
[email protected]. Homepage: http://www.==bulaksumurugm.com. Twitter: @skmugmbul. Rekening Bank: Bank Danamon Cabang Diponegoro Yogyakarta 003555389794 a.n. Hanum Sofia Nur Merjanti
Pos | Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 2 | Bulaksumur bulaksumurugm.com
Foto: Rama/ Bul Edit: Zizi/ Bul
Oleh: Dzikri SA / Fitria Chusna F
Tak dapat dielakkan, eksistensi media cetak saat ini mulai tergeser oleh konsep baru media daring (media dalam jaringan/media online). Namun demikian, setidaknya media cetak masih tetap memiliki ruang untuk bergerak pasti. Dengan menjunjung tinggi dua pedoman: aktualitas dan faktualitas. Foto: Devi/ Bul
M
edia cetak yang digodog melalui serangkaian proses redaksional yang panjang menawarkan sejumlah kelebihan yang tak dimiliki media daring. Aktualitas dan faktualitas, dua aspek ini pun kemudian tetap menjadi andalan media cetak dalam memenangkan hati pembaca. Dua aspek yang tak lepas dari perhatian utama badan-badan pers mahasiswa. Kontrol kualitas pers mahasiswa Sebagai badan pers mahasiswa, SKM UGM Bulaksumur berusaha memprioritaskan aktualitas dan faktualitas. Bulaksumur Pos, buletin mingguan SKM Bulaksumur, lahir dari sebuah proses panjang keredaksian; mulai dari rapat tema, menurunkan ide besar menjadi topik yang spesifik, hingga terjun ke lapangan memburu informasi dan narasumber yang mumpuni. Proses pengolahan informasi menjadi berita pun melalui proses editing dari sejumlah gate keeper; redaktur pelaksana, koordinator Bulaksumur Pos, editor, Pemimpin Redaksi, hingga Pemimpin Umum. Senada dengan SKM UGM Bulaksumur, BPPM Equilibrium FEB UGM mempunyai strategi tersendiri untuk menjaga aktualitas dan faktualitas. Proses pengerjaan produk andalan BPPM Equilibrium yang terbit satu bulan sekali; EQNews, diawali dengan rapat tema. Sebelumnya, digelar rapat internal redaksi mengemukakan ide untuk dibawa ke rapat tema. “Tujuan dari rapat ini agar tema dapat lebih fokus dan redaksi bisa lebih memahaminya,” kata Nela Navida, Pemimpin Redaksi Cetak BPPM Equilibrium.
Detail tema kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan pemimpin redaksi (pemred) dan wakil pemred. Pemred dan wakilnya akan terus memandu dan mengevaluasi hasil tulisan sebelum akhirnya diserahkan kepada editor senior. Proses penyuntingan dapat dilakukan dua hingga empat kali. “Kontrol kualitas penting agar isi tulisan benar-benar terjamin kebenarannya,” tambah Nela. Mengkaji ulang aktualitas media cetak Dibandingkan dengan media daring, aktualitas dan faktualitas media cetak tidak dapat disamakan. “Kehadiran media baru bersifat melengkapi media yang sudah ada. Ia tidak akan pernah bisa menggantikan karena media cetak punya karakteristik yang khas,” terang Rahayu SIP MSi, Dosen Ilmu Komunikasi UGM. Menurut Rahayu, media daring memiliki kewajiban utama untuk melaporkan peristiwa dalam bentuk straight news atau hard news, berbeda dengan media yang terbit mingguan atau bulanan. “Aktualitas harus diinterpretasikan berbeda. Peristiwa yang terjadi dapat dikaitkan dengan isu yang lain serta dapat dieksplor dengan indepth interview, investigasi, dan data dari beragam perspektif,” tambah Rahayu. Aktualitas hadir dalam konteks dan analisis yang jauh lebih luas. Faktualitas diperdalam sehingga tedapat unsur kepantasan. Perpaduan tersebut menjadi keunggulan media cetak—khususnya yang terbit secara mingguan atau bulanan—demi menjaga loyalitas pembaca.
Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 | Bulaksumur Pos |3 bulaksumurugm.com
Oleh: Hafidz W Muhammad, Hesti Widianingtyas/ Anisah Zuhriyati
Seperti kehidupan yang penuh rintangan, perjalanan media cetak tidak melaju mulus tanpa hambatan. Pergantian era membuat media cetak menghadapi tantangan yang berbeda sesuai masanya.
E
ra sebelum reformasi, media cetak menghadapi tantangan berupa intervensi yang tinggi dari pemegang kekuasaan. Tantangan tersebut kemudian melebur, menghilang dan berganti. Dulu tentu berbeda dengan saat ini dimana kebebasan berpendapat telah dijamin. Lantas, tantangan apa yang dihadapi oleh media cetak saat ini? Bagaimana media cetak harus menghadapi dan mempertahankan eksistensinya?
atau tidak. Kalau berdampak langsung ya mereka excited,” terang mahasiswi Gizi Kesehatan angkatan 2013.
Meniti strategi Demi bertahan di tengah derasnya arus perubahan, strategi jitu perlu digariskan. Strategi Menyikapi tantangan pertama dapat dilakukan dengan Salah satu tantangan yang dihadapi media cetak saat mempertahankan keunggulan yang ini adalah bagaimana bisa memenuhi permintaan pasar atau dimiliki media cetak itu sendiri. Di pembacanya. Menurut Santika Wibowo, Pemimpin Umum era digitalisasi, Equilibrium (Badan Pers Mahasiswa media cetak Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM) tetap memiliki mengelola media bukan hanya sekedar keunggulan memenuhi tuntutan pasar. Idealisme tersendiri yang dan ciri khas sifatnya penting bagi jarang dimiliki sebuah media cetak. “Setiap tahun media yang orang baru datang, orang lama keluar. berkonsep digital. Jadi harus pintar-pintar pakai strategi “Media cetak selalu bagaimana dengan idealisme masinglebih berbobot serta beritanya masing media dapat menarik pembaca lebih dalam dan kritis,” ucap Nunuk, yang baru,” tutur mahasiswa angkatan ketua Media Info DEMA FISIPOL. 2013 ini. Meskipun harus berbobot dan Seiring perkembangan zaman, kritis, namun cara penyajian informasi karakteristik pembaca media cetak pun pun penting agar media cetak tetap berubah dan membuat media cetak diminati pembaca. Menurut Santika, harus menyesuaikan diri. “Sekarang para pembaca ingin sesuatu yang kebanyakan orang terbiasa baca tulisan dekat dengan kehidupan sehari-hari yang pendek. Tulisan singkat bahkan - Nunuk, yang menyangkut dirinya, dan truthful status atau kultwit bisa jadi berita,” tutur Lintang, Pemimpin Redaksi BPPM Ketua Media Info DEMA FISIPOL bukan sekedar isu. Jadi mengetahui apa yang diminati dan bagaimana gaya Balairung periode 2014-2015. Lintang hidup dari pembaca juga perlu. Hal juga menambahkan bahwa ia merasa ini dapat menjadi cara untuk menarik minat baca remaja yang minat baca remaja masih kurang dan remaja cenderung berada tergolong rendah. dalam kebiasaan membaca tulisan-tulisan pendek. Strategi lainnya adalah memiliki data pendukung yang Meningkatkan nilai jual suatu informasi juga menjadi dikemas semenarik mungkin agar pembaca tidak bosan. “Salah tantangan media cetak di era digital saat ini. Konsistensi satu indikator majalah bagus kan dari segi tampilan, dari segi penyajian informasi yang menarik dan dekat dengan pembaca tampilan gak hanya desainnya yang bagus tapi dari segi kualitas menjadi hal utama yang harus dipikirkan matang-matang cetakan juga harus bagus, kadang kita pakai cetak yang normal dari dapur sebuah media. Namun hal ini dirasa agak sulit, tapi gambarnya blur ya bisa dibilang media itu gagal,” ucap setidaknya itulah yang dirasakan Ashima, Pemimpin Umum Agusta Ramawan, Pemimpin Umum Clapeyron, Badan Pers Medisina (Badan Pers Fakultas Kedokteran UGM). “Minat Teknik Sipil dan Lingkungan. pembaca juga tergantung kontennya, dekat sama mereka
Media cetak selalu lebih berbobot serta beritanya lebih dalam dan kritis.”
Pos | Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 4 | Bulaksumur bulaksumurugm.com
Oleh: Alifaturrohmah, Adila Salma K/ Fitri Yulia
Literatur yang mulanya dicetak dalam format kertas kini perlahan mulai tergerus, berkurang, berganti peran, dan beralih menjadi format digital. Tentu saja, hal itu didorong oleh potensi masa depan. Namun, ternyata menerbitkan literatur digital tak semudah sangkaan orang karena perlu mempertimbangkan beberapa hal.
T
eknologi yang semakin maju mendukung kemudahan dalam mengakses informasi. Imbasnya, gaya hidup masyarakat pun ikut berubah. Tak heran, keduanya saling berkaitan dengan maraknya digitalisasi literatur. Kini trennya media mencampurkan unsur teknologi dalam produk keluarannya. Sesuai perkembangan zaman, banyak media mulai melirik potensi media digital. Media cetak yang mulanya menjadi sumber pemberitaan utama, semakin tergusur oleh media digital.
...buku-buku yang kurang update secara cetak, dapat dicari melalui digital.”
memberikan dampak kami jadi lebih luas”, jelas Farid. Sementara itu, bagi remaja khususnya mahasiswa yang akrab dengan ruang maya dalam internet, digitalisasi literatur tentu memberikan dampak. Seperti yang diungkapkan Lala (Farmasi ’12), “Digitalisasi literatur lebih memudahkan mahasiswa karena buku-buku yang kurang update secara cetak, dapat dicari melalui digital.” Sementara itu, Gusti Ari (Kehutanan ’11) mengatakan, terbitan digital lebih bagus karena hemat kertas. Sayangnya, membutuhkan sumber listrik untuk mengaksesnya.
Tren digitalisasi - Lala, Exposure Magz sebuah majalah Memperhatikan aspek fotografi digital yang dikelola oleh Farmasi’12 Menerbitkan literatur dalam format fotografer.net merupakan salah satu digital tak semudah sangkaan orang. Banyak aspek yang contohnya. Majalah tersebut kini hanya menerbitkan dalam perlu diperhatikan agar eksistensinya tetap terjaga. Menurut format portable document format (pdf) yang diunduh secara Farid, aspek yang utama adalah penggunaan bahasa sehingga gratis di lamannya. Farid Wahdiono selaku chief editor jangkauannya luas. “Selain itu, elaborasi dengan komunitas Exposure Magz memaparkan alasan beralih ke media digital. juga perlu dilakukan, yang nantinya berperan sebagai “Sekarang ini merupakan era digital dan di masa depan era kontributor. Dengan demikian, konten terbitan tidak akan digital akan semakin maju. Kami lebih berpikir ke depan. Kami kehabisan,” tambahnya. yakin kedepan, dunia ini akan lebih banyak digital,” terangnya. Sementara itu, bagi Hamzah, konten yang akan disajikan Senada dengan Farid, Hamzah selaku pemimpin redaksi isigood. sangat penting diperhatikan, agar sesuai dengan target com berkata, “Sekarang posisinya media cetak masih di atas, pembacanya. Dengan kata lain, konten harus fokus dan tetapi pembacanya menurun tiap tahun. Sementara media mendukung kebutuhan informasi pembacanya. Seperti isigood. digital, mungkin sekarang masih di bawah tetapi lama-lama com, target pembacanya adalah anak muda sehingga konten akan naik. Proyeksi mungkin dalam tiga atau empat tahun yang disajikan antara lain, tips-tips, informasi beasiswa, dan mendatang segala sesuatu akan menjadi digital.” lowongan pekerjaan. “Selain konten, memperhatikan aspek Media digital memegang peranan penting dalam hal teknis, seperti hosting, visualisasi, dan template adalah hal menyebarluaskan informasi. Farid mengakui bahwa dengan penting. Terlebih, soal kontinuitas terbitan haruslah dilakukan menerbitkan terbitan digital, majalahnya dapat dibaca oleh agar pembaca tetap loyal,” terang Hamzah. Selaku pimpinan orang di seluruh dunia. Bahkan, orang-orang dari negara lain redaksi, Hamzah pun menarget jumlah tulisan yang harus mengirimkan hasil karya mereka untuk dimuat di Exposure diterbitkan redaktur tiap harinya dengan standarisasi yang Magz. “Saya pernah menerima karya foto dari orang Nepal, ketat. Itali, Amerika, India dan masih banyak lagi. Jangkauan
Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 | Bulaksumur Pos |5 bulaksumurugm.com
MEDIA
CETAK VS ONLINE Dr. Phil. Ana Nadhya Abrar, MES (Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol) “Media online atau media cetak itu tergantung kepuasan apa yang ia peroleh. Entah itu kepuasan intelektual, kepuasan sosial, ataupun untuk hiburan semata. Bagi saya, keduanya sama-sama penting. Kalau untuk sense ya saya buka media online, kalau intelektual ya saya baca koran. Kadang kalau di media online yang dibahas cuma secara garis besarnya saja. Kalau mau tahu detail informasi dan visi tentang berita itu, tinggal baca koran lagi saja. Jadi semuanya tergantung pada kebutuhan informasi. Ada banyak pilihan untuk mendapatkan informasi. Ya kita tinggal memilih. Yang penting tahu dulu kebutuhannya apa.”
Wulan Tri Astuti, S.S., MA (Dosen Mata Kuliah Jurnalistik FIB) “Pada awalnya saya lebih suka media cetak, namun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, untuk mengakses media cetak jauh lebih sulit, sedangkan media online lebih mudah diakses. Meskipun demikian, saya tetap memilih media cetak karena bagi saya mentransfer berita melalui media cetak itu lebih mudah. Selain itu, di sekitar saya masih banyak orang-orang yang tidak bisa mengakses media online, sehingga saya lebih sering menggunakan media cetak untuk menyampaikan informasi.”
Hera Prilyanti (SV D3 Akuntansi, Menteri Departemen Media Info BEM KM) “Perkembangan media online semakin pesat dibandingkan dengan media cetak. Media online juga sekarang sangat mudah mengaksesnya. Sdah ada Line, Twitter, blog, iklan web, dan media-media online lainnya, Jadinya cepat dan gampang kalo mau membagi dan mencari informasi. Dengan media online kita jadi lebih melek terhadap informasi. Tapi tergantung pada usianya juga, karena ga semua orang bisa membuka berita dari media online. Media cetak juga bagus sih, tapi menurut saya agak repot aja.”
Sekar Fitriadzini (Mahasiswa Psikologi ’12, Kepala Redaksi Psikomedia) “Media cetak sama media online sama-sama punya pasar sendiri sih. Di zaman sekarang ini, fasilitas internet kan bisa diakses sama siapa aja, apalagi mahasiswa. Media sosial pun makin berkembang. Kebanyakan orang pasti berpikir media online jauh lebih berpeluang untuk menyebarkan informasi secara luas. Tapi menurut aku, media cetak juga penting karena membuktikan konsistensi dari media sebagai pemberi informasi. Selain itu, masih ada orangorang yang membeli informasi lewat media cetak karena informasinya terkesan lebih valid karena gak mungkin kan berita hoax dicetak. Beda sama media online yang penulisnya lebih bebas dalam menyampaikan informasi sampai kadang banyak yang simpang siur.”
Pos | Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 6 | Bulaksumur bulaksumurugm.com
Adam W Sukarno, S.Ip, MA (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) “Media digital relatif mengutamakan kecepatan berita tanpa memperhitungkan keakuratan berita. Selain itu masih terdapat masalah-masalah dalam media digital, seperti pembaca harus mengumpulkan tautan-tautan (link) untuk mendapatkan berita yang utuh, lalu seringkali terdapat pengulangan berita yang sama, hingga masih belum adanya standar yang dipegang dalam penyajian berita di media digital. Di samping itu meskipun secara teknologi sudah siap, namun dari segi sosial masyarakat Indonesia dirasa belum siap untuk menerima media digital karena pemberitaan media digital saat ini relatif menimbulkan multi tafsir.”
Ahmad Khinarto (Ketua KMTETI Fakultas Teknik UGM, Teknik Elektro 2013) “Kini media digital sudah terbilang sukses dikarenakan saat ini sudah memasuki era digital, di mana internet sudah mulai mendukung konvergensi media cetak ke media digital. Namun saat ini media cetak masih dibutuhkan karena tidak semua kalangan memiliki akses yang sama terhadap media digital. Keberadaan internet sudah banyak membantu masyarakat untuk menggunakan media digital dalam memenuhi kebutuhan beritanya sehari-hari.”
Satria Taru Winursita (Anggota Redaksi Media Informasi Teknik, Teknik PWK 2013) “Meskipun saat ini era digital sudah mulai menjamur, namun media cetak tidak akan mati. Hal itu dikarenakan masih dibutuhkannya media cetak untuk memenuhi kebutuhan berita harian bagi masyarakat. Namun di samping itu, keberadaan media digital juga lambat laun dibutuhkan karena masyarakat saat ini sudah menuntut kepraktisan akibat tingginya mobilitas masyarakat.”
Haryanto (Pustakawan Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada) “Media cetak saat ini harus tetap ada di era digital karena saat ini orang-orang masih banyak yang menggemari membaca media cetak ketimbang digital. Faktor fisik media cetak yang tidak mudah menimbulkan lelah pada mata juga menjadi salah satu faktor pendukung masyarakat masih memilih media cetak untuk memenuhi kebutuhan informasinya. Namun, baik media cetak atau media digital, pada hakekatnya tidak boleh mendominasi satu sama lain. Keduanya harus saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.”
Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 | Bulaksumur Pos |7 bulaksumurugm.com
Oleh: F Jeni Eka S, Nurul Meika
B
utuh waktu yang tidak singkat untuk benarbenar menyebut diri sebagai ‘kuli tinta’ sejati. Butuh jalan panjang dan pahit manis pengalaman yang segudang untuk membentuk pribadi tangguh tak kenal takut sebagai pewarta informasi. Diberikan tanggung jawab sebagai Ketua Umum AJI pada November 2014 lalu, merupakan pencapaian panjang bagi seorang Suwarjono dalam buku ceritanya sebagai Jurnalis. Persma sebagai pondasi jejaring alumni Bang Jono, demikian panggilan akrab pria kelahiran 15 Juni ini, tidak pernah lupa bahwa perjalanannya sebagai jurnalis berawal dari cerita dibawah naungan atap B-21. Ia mengenang masamasanya kala itu, mulai dari menginap berharihari di markas, makan soto di pangkalan pojok hingga melakukan diskusi asyik dengan rekan pers mahasiswa (Persma) dan senior-senior. Bohong jika berkata menjadi jurnalis kampus tidak berarti apa-apa baginya. Justru, menjadi wartawan kampus mengajarkan dan memberikan kesempatan untuk membangun jaringan dengan alumni. “Menjadi mahasiswa UGM ternyata tidak hanya soal belajar, mendapat nilai bagus dan lulus, tetapi juga membangun jejaring dengan alumni yang sudah berpengalaman luas,” ungkapnya saat menceritakan pengalamannya melakukan wawancara dengan alumni UGM yang bekerja baik di perusahaan besar, maupun menjabat di pemerintahan. Belajar melalui tukar gagasan dan pengalaman tak hanya menjadi satu-satunya manfaat dalam membangun jejaring alumni. Alumni Bulaksumur angkatan 93-96 ini bahkan pernah mengadakan kerjasama dengan Kelompok Kompas Gramedia (KKG), yang pimpinannya saat ini juga merupakan alumni UGM. “Saya bertemu Ibu Rusilah pada saat cari iklan di Jakarta yang kemudian membiayai penerbitan SKM Bulaksumur sebanyak 10 ribu eksemplar,” kenangnya. Era orba, afiliasi politik hingga independensi redaksi Lepas dari pers mahasiswa, Bang Jono lagi-lagi mendapatkan manfaat dari jejaring alumni yang ia
Pos | Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 8 | Bulaksumur bulaksumurugm.com
Foto: Dok.
bangun kala menjadi wartawan kampus. Ia mulai bekerja secara profesional di tabloid Paron, salah satu anak media Gatra Grup dan langsung diminta melakukan liputan peristiwa kerusuhan orde baru pada tahun 1998, khususnya tragedi semanggi Universitas Trisakti. “Dengan mata kepala sendiri, saya menyaksikan pagi hari di depan kampus Trisakti ada sekelompok orang berperawakan tegap membagi-bagikan uang kepada sejumlah orang berpakaian sipil, mengajak mahasiswa turun ke jalan, melempar batu hingga membakar mobil,” kenangnya menceritakan bagaimana mencekamnya Jakarta kala itu. Tak cukup puas dengan menyambangi media cetak, Bang Jono mencari pengalaman baru dengan menekuni media online. Bermula dari portal berita Detik.com, ia banyak belajar mengenai media online yang kala itu belum sepopuler sekarang. Berturut-turut, kemudian ia menjadi pionir kemunculan situs berita online yang cukup popular seperti Okezone.com dan VIVA.co.id, yang mana kala itu mampu meledak, dan meraih untung besar. Hanya saja, intervensi pemilik media VIVA membuatnya memilih mundur dari jabatannya sebagai Redaktur Pelaksana (Redpel) sekaligus pendiri VIVA.co.id. “Saya harus berantem dengan pemilik yang menginginkan pemberitaan hanya sesuai keinginan pemilik dan kemudian memutuskan keluar karena sudah tidak sesuai dengan visi-misi dan prinsip independensi media,” terangnya menceritakan alasannya meninggalkan VIVA.co.id untuk kemudian mendirikan Suara.com. Tepatnya setahun terakhir ini, setelah mengalami berbagai tempaan pengalaman dalam industrI media, ia mendirikan media online baru. Sebuah media yang dimiliki anak-anak muda, yang menaruh dedikasi pada independensi yang berarti tidak ada afiliasi politik dan kepentingan tertentu. Baginya bukan soal nama besar, sebuah media mampu menjadi sumber informasi yang berkualitas bagi masyarakat. Sekali lagi, bukan soal nama besar, tetapi soal independensi ruang redaksi yang terjaga dengan baik.
Pribadi
Septiana P Oleh: Kartika Natasha DH/Densy
Judul : Arus Bawah Penulis : Emha Ainun Nadjib ISBN : 978-602-291-068-8 Penerbit: PT Bentang Pustaka Edisi : Februari 2015, Cetakan ke-2 Tebal : 240 halaman
Foto: Anggi/ Bul
“Memasuki era post industrial, semakin banyak generasi yang mulai meninggalkan budaya lokal dan nilai-nilai filosofisnya. Namun, hal itu tidak bagi Cak Nun, melalui karya-karyanya, dengan latar belakang suku Jawa, ia coba menyematkan penokohan wayang dalam gagasannya tentang perubahan negeri ini.”
S
ekilas pandang, Emha Ainun Nadjib merupakan seorang pengamat politik, sastrawan, budayawan, musisi, serta pendakwah yang lahir di Jombang, 27 Mei 1953. Seorang yang akrab dikenal dengan sebutan Cak Nun ini, ternyata pernah mengenyam pendidikan selama tiga tahun di pondok pesantren Gontor. Namun, karena sistem yang dirasakan kurang sesuai, Cak Nun mengundurkan diri dari pesantren tersebut. Cak Nun ternyata juga pernah mengenyam pendidikan selama satu tahun, di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Walau begitu, hal ini juga tak mampu membuat Cak Nun merasa puas. Kemudian, pada akhirnya ketidakpuasaan Cak Nun berhenti ketika ia bertemu dengan seorang Ustadz di Malioboro, Yogyakarta yang menginspirasinya. Barulah disana ia merasa betah serta dapat mengembangkan kemampuannya. Buku fiksi karangan Cak Nun yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka ini dirasa cukup mampu menarik perhatian bagi para pembaca. Buku ini berkisah tentang dinamika sosial masyarakat kini yang dianalogikan melalui kisah hilangnya sang Kiai Semar di dusun Karang Kedempel. Sebagai salah satu yang mendapatkan titah dari Sang Hyang Widhi untuk menjaga kesejahteraan dusun Karang Kedempel, sang Kiai Semar malah menghilang. Tepat ditengah-tengah keamburadulan yang diciptakan oleh penguasa Karang Kedempel, seperti Pak Kades beserta pendukungnya. Tentu saja, hal itu membuat anak sulung Kiai Semar yaitu Gareng dibuat pusing tujuh keliling. Baginya, romo adalah tokoh wajib yang seharusnya menemani kehidupan Karang Kedempel di setiap waktunya. Namun, ini malah seenaknya saja menghilang. Berbeda dengan Gareng yang overacting, kedua saudaranya malah lebih tenang dalam menanggapi misteri hilangnya romo mereka. Dengan kemampuan bicaranya, Gareng berusaha untuk meyakinkan kedua saudaranya beserta rakyat Karang Kedempel, bahwa dusun ini akan hancur jikalau Semar tak jua ditemukan. Melalui lembaran kisah demi kisah yang tersemat dalam buku ini, Cak Nun mampu merefleksikan kehidupan
pewayangan dengan kehidupan masyarakat, terlebih politik yang ada di Indonesia. Sebagai seorang pengamat politik, Cak Nun kurang setuju dengan keadaan politik yang terjadi saat orde baru. Dari ketidaksetujuan ini lah, kemudian muncul ide untuk menuliskannya menjadi sebuah kisah yang tersaji dalam buku “Arus Bawah”. Sejatinya buku ini merupakan cetakan ulang dari buku Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah tahun 1994. Kritik yang dilontarkan dalam bukunya terasa sangat mengena. Dengan melihat berbagai batasan-batasan yang ada di masa orde baru, Cak Nun tetap melakukan protes melalui buku secara tersirat. Untuk masalah gaya bahasa, Cak Nun lah ahlinya. Untaian demi untaian kata yang dirangkai Cak Nun sangat mengasyikkan. Pembaca seakan diberi candu untuk tetap dapat membacanya. Terlebih gaya filosofisnya yang mewarnai buku “Arus Bawah”. Hampir setiap paragraf dalam “Arus Bawah” selalu dibumbui dengan kata-kata istimewa hasil pikiran Cak Nun. Namun, kata-kata yang seharusnya menarik, terkadang malah membuat sulit para pembaca untuk memahami maksud dari buku karangan Cak Nun. Bagi pembaca yang belum terbiasa membaca buku filosofis seperti ini, pasti akan merasa bosan saat membaca. Selain bahasanya yang memang agak sulit dipahami, kalimat yang digunakan pun lumayan berbelit – belit. Sementara untuk masalah tampilan, buku Arus Bawah dirasa kurang menarik perhatian. Penyebabnya adalah banyak ruang kosong di dalam cover tersebut. Dimana cover buku hanya berhias gambar Semar dengan background warna hijau. Kisah yang teruntai dalam halaman per halaman “Arus Bawah” ini memang sejatinya cocok untuk seseorang yang menyukai politik dan berminat pada seluk beluk dan intrik yang tersaji dalam panggung perpolitikan. Mampu menjadi bahan bacaan yang cocok bagi orang – orang yang terbiasa berpikir kritis. Disarankan untuk menikmati tulisan Cak Nun ini saat sedang santai karena tata bahasanya yang mampu membuat pembaca mengernyitkan kening.
Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 | Bulaksumur Pos |9 bulaksumurugm.com
BEDA CARA, BEDA RASA
Ilus: Dhimas/ Bul
Pos | Edisi Khusus Ulang Tahun Bulaksumur Ke-24 10 | Bulaksumur bulaksumurugm.com