PERSFEKTIF AKUNTANSI PEMERINTAHAN DALAM MENUNJANG AKUNTABILITAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH
Deddy Suhardi Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Keuangan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Subang
ABSTRAK Prihatin ... ! Itulah yang penulis rasakan , ketika mendengar bahwa Laporan Keuangan Daerah tahun 2007 di Kabupaten X dimana penulis bekerja, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK mendapatkan opini “disclaimer”. Demikian pula untuk LK tahun 2008 meskipun BPK memberikan pendapat “Wajar Dengan Pengecualian”, namun menurut penulis kondisinya tidak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia; dan hal ini mengundang keprihatinan Menteri Keuangan Sri Mulyani . Betapa tidak, dalam rentang waktu 5 tahun yaitu tahun 2004 hingga 2007/2008 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tidak ada kemajuan, bahkan terjadi kemunduran !! Dari 460 pemerintah daerah 324 LKPD tahun 2007/2008 yang diperiksa BPK hanya 8 LKPD atau 1,7% yang mendapat opini terbaik yaitu “Wajar Tanpa Pengecualian” (WTP), padahal pada tahun 2004 21 LKPD yang mendapat opini WTP, jadi sisanya 98,3% pemerintah daerah memiliki LKPD yang kurang baik atau mungkin pula buruk.. Demikian pula halnya di Pemerintah pusat, 4 (empat) kali berturut-turut laporan keuangan pemerintah secara keseluruhan mendapat opini “disclaimer”, dan bila dilihat dari masing-masing lembaga/instansi/kementerian maka hanya 13 % laporan keuangan tahun 2007 yang mendapat opini terbaik atau WTP, jadi sisanya 87 % kurang baik atau mungkin buruk. Kompetensi, merupakan penyebab utama dari buruknya pengelolaan keuangan. Kompetensi yang dimaksud adalah profesionalisme, kepedulian, moral berupa kejujuran atau itikad baik dari pelaksana atau yang terlibat dalam pengelolaan keuangan. Kata kunci : Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Wajar Tanpa Pengecualian,, Wajar Dengan Pengecualian, Pengelolaan keuangan, Kompetensi. PENDAHULUAN Pergeseran dari pemerintahan yang tersentralisasi menuju pemerintahan yang terdesentralisasi saat itu merupakan issue yang berkembang dan merupakan tuntutan dari daerahdaerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Maka tuntutan tersebut dipenuhi melalui diluncurkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah. Sejalan dengan UU tersebut, juga dalam memenuhi tuntutan desentralisasi bidang keuangan telah diluncurkannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Guna menunjang kedua undangundang tersebut menyusul kemudian peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah
berupa Peraturan Pemerintah, keputusan Presiden dan keputusan menteri. Baru berumur kurang lebih 3 tahun sejak diberlakukannya kedua UU di atas , diluncurkan kembali UU yang baru sebagai pengganti kedua UU tersebut yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU baru ini merupakan revisi terhadap UU sebelumnya, misalnya yang menonjol dari UU No.32 ini adalah masalah pemilihan langsung kepala daerah dan perubahan dominasi kewenangan DPRD yang terlalu besar, sedangkan UU No. 33 2004 adalah perubahan kenaikan perimbangan keuangan. Sebelumnya telah diluncurkan pula UU No.17
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
77
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menyusul kemudian UU No, 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No, 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU N0. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Seiring dengan peraturan perundangundangan yang merubah pemerintahan yang sentralisis ke pemerintahan yang desentralisasi, maka bidang pengelolaan keuangan daerah mengalami perubahan yang mendasar, antara lain : (1) dari aspek peraturan perundang-undangan baru kali ini bidang pengelolaan keuangan baik Negara maupun daerah diatur dengan peraturan berbentuk UU, selama ini diatur dengan peraturan perundangundangan yang disusun pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945 yaitu Indische Comptabiliteits Wet (ICW), kemudian dalam pelaksanaannya di daerah dikeluarkan Peraturan Pemerintah, seperti PP N0 5 Tahun 1975 dan PP No. 6 Tahun 1975 selebihnya diatur dengan peraturan atau keputusan Menteri Dalam negeri/keuangan; (2) UU No 17 dan UU No, 1 merupakan pensinkronisasian keuangan Negara dan Daerah, yang selama ini hanya diatur oleh Keputusan Mendagri No. 94 Tahun 1984 tentang Langkah Pertama Pensinkronisasian APBD dengan APBN, (3) dari sistem pengelolaan keuangan mengalami perubahan yang mendasar, yang selama 30 tahun tidak mengalami perubahan yang mendasar. Perubahan sistem pengelolaan keuangan daerah terebut antara lain : 1. Terjadi perubahan dalam system perencanaan, yaitu diberlakukannya system anggaran kenerja, anggran deficit/surplus, system anggaran terpadu dan anggran dikaitkan dengan kerangka pengeluaran jangka menengah. 2. Perubahan dalam prosedur atau mekanisme pelaksanaan anggaran, yaitu adanya pelimpahan wewenang dalam pengelolaan keuangan kepada pengguna anggaran (desentralisasi keuangan), dan diterapkannya sistem UYHD di daerah.
3. Perubahan
dalam pertanggungjawaban, terutama diterapkannya sistem akuntansi pemerintahan atau pencatatan dari sistem pencatatan single entry ke double entry. Perubahan ketiga, yang menjadi bahasan dalam penulisan ini, terutama perubahan atas sistem pencatatan pengelolaan keuangan daerah yaitu beralihnya dari system pembukuan tunggal (single entry system) ke system pembukuan berpasangan (double entry system). Selama ini mekanisme pelaporan keuangan sangat sederhana, dimulai dari laporan pertanggungjawaban keuangan yang yang disampaikan oleh bendaharawan lembaga//dinas/ unit kerja ke badan/biro/bagian keuangan, berupa tindasan Buku Kas Umum (BKU), penerimaan dan pengeluaran per pasal (bend 24), dan daftar /rekepitulasi penerimaan dan pengeluaran pasal (bend 25) serta bukti-bukti pendukungnya. Laporan atau pertanggung jawaban keuangan dari bendaharawan tersebut disampaikan ke bagian/biro/badan keuangan untuk disahkan, yang kemudian dibukukan pada Buku Besar Pengeluaran (BV), yang akhirnya direkapitulasi menjadi laporan realisasi anggaran per triwulan atau untuk satu tahun berupa Perhitungan Anggaran/APBD. Selanjutnya dengan sistem pembukuan double entry, maka sistem pencatatan ditambah melalui mekanisme jurnal yang mencatat aktivitas keuangan dengan memperhatikan keseimbangan antara debet dan kredit., sehingga mencerminkan persamaan akuntansi yang berdampak terhadap laporan keuangan dengan adanya Laporan Neraca dan Laporan Arus Kas, disamping yang sudah ada selama ini Laporan Realisasi Anggaran (APBD) dan Laporan Kinerja Pemerintah. Daerah. Proses tersebut merupakan system akuntansi,.yang secara umum sudah dikenal dan digunakan dikalangan sektor bisnis.. Dalam pikiran penulis timbul pertanyaan, apakah akuntansi pemerintah hanya sebatas itu yang disebut akuntansi ?, dimana hanya sebatas laporan keuangan yang memenuhi bentuk dan proses akuntansi yang menghasilkan neraca, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Arus kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) ?
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
78
Menurut penulis tidak sebatas itu, karena ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian penting dan menjadi masalah dalam pelaksanaan akuntansi pemerintahan, yaitu: Pertama; Persepsi tentang Akuntansi khususnya akuntansi pemerintahan, dalam prakteknya diartikan lebih sempit hanya sebagai proses pencatatan saja, padahal pengertian akuntansi secara lebih luas disamping mengandung akuntansi keuangan juga mengandung akuntansi manajemen sebagai bagian pengendalian manajemen.. Keduaduanya saling terkait erat tidak dapat dipisahkan sebagai suatu sistem akuntansi, sehingga tidak mungkin akuntansi keuangan berjalan dengan baik apabila dalam akuntansi manajemen kurang atau tidak baik. Salah satu produk dari akuntansi manajemen adalah anggaran. Anggaran ini merupakan suatu hal yang penting bagi pemerintah, karena menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pemerintah, sehingga merupakan salah satu karakteristik tersendiri yang membedakan akuntansi pemerintah dengan akuntansi bisnis.(Bakhtiar; 2001 : 7) Kedua, belum sejalannya atau belum sinkronnya antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, misalnya antara Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintah dengan Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah berserta aturan Mendargri lainnya yang menyusul kemudian, yang merupakan pedoman pelaksanaan keuangan bagi Pemerintah Daerah, Sementara itu pelaksanaan keuangan di daerah lebih cenderung mengacu kepada aturan Mendargri tersebut, sehingga di dalam pelaksanaannya akuntansi pemerintah, terdapat banyak ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Ketiga, Terjadi ketidak kosistenan pada peraturan yang lebih rendah yang biasanya merupakan aturan teknis dari aturan di atasnya, .padahal pelaksana akan lebih cenderung menggunakan pendoman melalui aturan yang lebih teknis tersebut. sehingga membingungkan serta menimbulkan persepsi lain bagi penggunanya. Sebagai contoh pada aturan atau pasal tertentu menghendaki adanya pengendalian, namun tidak tergambar bagaimana
pengendalian tersebut harus dilakukan. Hal ini terabaikan karena ada aturan atau pasal lain yang seolah-olah sudah cukup mengatur tentang pengendalian. Keempat, Kompetensi sumber daya manusia dalam pelaksanaan akuntansi. Kompetensi ini bukan saja kepintaran (profesional) atau kemampuan tapi juga disertai moral; Nunuy (2004 : 26) mengemukan pendapat dari Baban Sobandi bahwa empat karakteristik etika (Sidiq, amanah, tabligh dan fathonah) lebih menegaskan, bahwa bukan hanya kompetensi berdimensi keahlian dan ketrampilan yang diperlukan dalam pengembangan aparatur pemerintahan daerah (termasuk DPRD), namun juga etika yang berdasarkan moralitas profetik (sifat yang dimiliki para nabi dan rosul) sehingga ada keseimbangan antara profesionalisme dan moralitas. Kiranya tidak berlebihan penulis kemukan kompetensi ini, karena proses dan laporan keuangan tujuannya adalah menghasilkan laporan yang akuntabel dan dapat dipercaya.; mana mungkin dapat menghasilkan suatu laporan keuangan yang akuntabel, apabila proses keuangan yang menghasilkan laporan keuangan tersebut tidak berjalan dengan baik atau dilaksanakan secara tidak kompeten. Selanjutnya siapa saja yang dimaksud dengan sumber daya manusia yang harus memiliki kompetensi tersebut ? Yaitu : Para Pimpinan instansi pemerintah, anggota DPRD, Pimpinan dan staf unit kerja atau SKPD sebagai pengguna anggaran, Pengawas fungsional atau Inspektorat daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan memperhatikan terssebut di atas, ternyata di dalam pelaksanaannya tidaklah mudah seperti membalikkan tangan, tetapi memerlukan pembelajaran dan adaptasi yang mungkin memerlukan waktu. PEMBAHASAN Pelaksanaan Akuntansi Pemerintah di Daerah. Pelaksanaan akuntansi pemerintah khususnya di Kabupaten X (dimana penulis bekerja) dapat dikatakan mulai dilaksanakan setelah disosialisasikannya KepMenDagri No. 29 Tahun 2002 tentang ”Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
79
Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Perhitungan APBD” pada bulan Juli/Agustus 2002, dan dinyatakan peraturan tersebut diberlakukan pada tahun 2002 itu juga, oleh karena itu pada awal triwulan ke-4 tahun 2002, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi negeri dilakukan sosialisasi KepMenDagri No. 29 Tahun 2002 kepada seluruh pejabat eselon II sampai dengan eselon IV termasuk juga beberapa anggota DPRD yang membawahi Anggaran, disamping itu juga dilakukan pelatihan akuntansi kepada petugas keuangan unit kerja, subbag TU dan beberapa angota DPRD.. Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan akuntansi pemerintah (akuntansi berpasangan) yang mengacu pada Kep Mendagri No. 29 Tahun 2002, dilakukan langkah-langkan sebagai berikut : 1. Pembuatan neraca awal tahun 2002 yang didasarkan pada Buku Kas Umum, Buku besar Penerimaan dan Buku Bsar Pengeluaran, mengumpulkan Daftar inventaris untuk seluruh aset dari berbagai unit kerja termasuk BUMD, sehingga dari langkah ini dapat disusunlah neraca untuk akhir tahun 2002. 2. Memodifikasi akun-akun lama (ayat/pasal) ke akun-akun baru (rekening beserta kode rekening), sebagi upaya metransformasi ke akun model baru, serta memilah akun-akun yang akan membentuk Neraca. 3. Mulai diperkenalkan konsep persamaan akuntansi, pencatatan transaksi melalui diperkenalkannya ayat-ayat jurnal, sepert Buku Jurnal penerimaan dan pengeluaran, buku jurnal umum , buku-buku besar baik penerimaan maupun pengeluaran. Langkah tersebut sebagai upaya penyesuaian dari cara lama (Manual Keuangan Daerah/MAKUDA tahun 1981) ke cara baru, hal ini sebagai dikemukakan olah Bastian (2001 : 342), bahwa sistem akuntansi pemerintah yang berjalan disesuaikan ke dasar waktu, untuk itu salah satu tips dalam melakukan penyesuaian adalah dengan sistem akuntansi berdasarkan MAKUDA. 1981, menurutnya dengan sistem ini akan memunculkan disiplin manajemen.sehinggga melalui MAKUDA ini terdapat kelebihan praktek, berupa :
1.
Dikembangkannya lampiran informasi inventarisasi barang atau aset, sehingga dapat dikembangkannya studi penilaian aset dan ditemukan fokus penilaian aset untuk menghasilkan neraca adalah barang dan konstruksi. 2. Dikembangkannya lampiran informasi hutang piutang 3. Dikembangkannya upaya meminimumkan perubahan, yaitu tetap menggunakan sistem pencatatan akuntansi berbasis kas dan melakukan penyesuaian di akhir tahun ke laporan berbasis akrual, dengan syarat : i. Neraca awal, ii. Sudah ada disiplin pencatatan, iii. Adanya pencatatan utang piutang dan surat berharga secara terpisah, dan iv. Adanya manajemen aset yang teratur dan rapih. Tip-tip dan langkah-langkah tersebut meskipun tidak sempurna ternyata cukup berhasil dalam kurun waktu 3 tahun (2002, 2003 dan 2004) 80 % lebih SKPD telah membuat Laporan Keuangan (LRA, Neraca dan laporan arus kas), sehingga secara keseluruhan Kabupaten X selama 3 tahun tersebut dapat menyampaikan LK, kecuali laporan Kinerja yang dilakukan oleh Bagian lain. Tapi dalam perjalanannya tidak semulus itu, hambatan yang dialami terutama masalah ”kompetensi sumberdaya manusia” sebagaimana penulis kemukakan pada bab pendahuluan; yaitu (Bastian; 2001 :342) : 1. Kedisiplinan dalam penerapan aturan keuangan dan kedisiplinan pencatatan atau pembukuan masih kurang, juga ditambah dengan kurangnya sumberdaya manusia di bidang akuntansi. 2. Kedisiplinan dalam manajemen aktiva belum dikembangkan sebagai budaya, sehingga tidak teraturnya pencatatan aset pemerintah daerah. 3. Tidak terkendalinya biaya pemeliharaan dan biaya penggantian aset. 4. Ketidak pedulian dan pemahaman pimpinan dan para pajabat unit kerja/dinas/badan serta anggota DPRD terhadap arti pentingnya laporan keuangan (Deddy; 2005 : 69) Ketidak pedulian ini tampak, pada setiap rapat masalah keuangan baik dengan para pejabat maupun dengan DPRD tidak seorangpun yang
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
80
menanyakan atau merespon atau membahas LK terutama Neraca, yang dibahas hanya sekitar Laporan Realisasi Anggaran saja. Akibat dari persoalan tersebut, memang diakui laporan keuangan belum dapat memenuhi tujuan LK yang diharapkan. LK hanya sekedar memenuhi aturan baru serta memang hanya sebatas sebagai uji coba saja. Hal ini disinyalir oleh Soepomo (2003 :152), bahwa neraca yang telah disusun oleh beberapa daerah pada dasarnya merupakan ”neraca sementara” dalam rangka akuntabilitas publik, karena laporan keuangan dikatakan baik apabila memenuhi kriteria-tertentu, yang antara lain : (1) Mudah dimengerti, (2). Dihasilkan dari data yang dapat dipercaya, (3). Hanya menyajikan data keuangan yang relevan, dan (4). Manyajikan hal-hal yang konsisten dengan tahun sebelumnya. Kemudian sebagaimana diketahui pada tahun 2004 dan tahun-tahun berikutnya menyusul terbit beberapa undang-undang baru dintaranya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33 tahuan 2004 tentang Perimbangan Keuangan, UU No. 1 tahun2004, tentang Perbendaharaan Negara, UU No, 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU N0. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, disusul kemudian peraturan-peraturan yang lebih rendah yaitu Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah dan Peraturanperaturan Pemerintah lainnya tentang keuangan, dan berikutnya sebagai pedoman keuangan di daerah, adalah Peraturan MenDagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan PerMenDagri No 59 tahun 2007, disertai beberapa PerMenDagri lainnya. Dari beberapa kali terbitnya peraturan disertai dengan perubahan-perubahannya, maka sangatlah menyulitkan bagi pelaksana di daerah, dapat dikatakan aturan sebelumnya pun belum paham sudah muncul aturan yang baru lagi, sehingga menimbulkan permasalahan sebagai berikut :
1.
Terjadi ketidak-sinkronan dari peraturan yang satu dengan yang lainnya, sebagai contoh PP No 24 Tahun 2005, tentang SAP yang diberlakukan pada tahun itu, diatur tentang struktur susunan atau klasifikasi akun-akun LK baik dalam LRA maupun Neraca, ternyata tidak sejalan atau tidak sama dengan Permendagri No. 13 tahun 2006, padahal Permendagri No. 13 tahun 2006 ini lebih kemudian diberlakukan. Sehingga diperlukan penyesuaian dari aturan Mendagri tersebut ke Standar akuntansi pemerintah. 2. Contoh lain adalah terjadi ketidak konsistenan antara PerMendari No. 13 tahun 2006 dengan PP No 24 tahun 2005 tentang SAP, yaitu dalam pengakuan transaksi pengaluaran UYHD UP. Menurut Permendagri pengeluaran di akui dan dicatat pada saat SPMU (Surat Perintah Membayar Uang) unit pengguna anggaran dengan lampiran Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang telah disyahkan oleh unit pengguna anggaran. Sedangkan menurut SAP pengeluaran UYHD UP tersebut baru diakui dan dicatat setelah terbit SP2D GU (Surat Perintah Pencairan Dana Ganti Uang), artinya ada kewenangan Bendaharwan Umum Daerah (BUD) untuk memverifikasi dahulu pengeluaran UYHD tersebut sebelum diterbitkan SP2D GU. Memang terjadi salah penafsiran atau persepsi dikalangan pelaksana keuangan dan hal ini juga menimbulkan ketidak konsistenan antara pasal tertentu dengan pasal lainnya, bahwa dengan berlakunya Permendagri No. 13 tahun 2006, Bagian/badan/Dinas Keuangan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) atau Bendaharawan Umum Daerah (BUD) tidak lagi melakukan verifikasi atas pertanggungjawaban keuangan (SPJ) Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) sebagai pengguna anggaran, karena SPJ tersebut telah diverifikasi oleh pelaksana verifikasi yang berada di bawah Pejabat Pengguna anggaran SKPD. Dapat dikatakan di BUD ini sama sekali tidak ada tugas untuk memverifikasi, artinya tidak ada pengendalian pengeluaran yang dipertanggungjawabkan oleh pengguna anggaran
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
81
SKPD, padahal dalam Pasal 7 Ayat (2) point c Permendagri No 13 Tahun 2006 itu sendiri menyatakan bahwa salah satu fungsi BUD adalah ”melakukan pengendalian pelaksanaan APBD”, dan dalam Pasal 220 Ayat (10) nya menyatakan bahwa ”Bendahara pengeluaran pada SKPD wajib mempertangungjawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertangungjawaban pengeluaran kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya”. Namun dalam aturan atau prakteknya bagaimana pengendalian tersebut dilakukan tidaklah tercermin, misalnya apakah dibawah BUD ada petugas atau bagian verifikasi, yang ada adalah petugas atau bagian yang meneliti atau memeriksa sebatas Surat Permintaan Pembayaran (SPP) beserta lampirannya, tidak meneliti atau memeriksa lebih dalam atas pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tapi dianggap cukup dengan adanya lampiran pengesahan hasil verifikasi pengguna anggaran atau SKPD. Prosedur tersebut sangat ”rawan” dimana pimpinan SKPD sebagai pengguna anggaran, menandatangani DPA, menyetujui SPP dan persetujuan pengeluaran dan akhirnya mengesahkan pertanggungjawaban.. Pertanyaannya adalah apakah pertanggujawaban pelaksanaan APBD yang berbentuk LK yang disampaikan SKPD tersebut dijamin atau dipercaya telah benar ? telah dapat dipertanggungjawabkan atau telah akuntabel ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka pertama-tama harus diketahui terlebih dulu ukuran atau dimensi akuntabelnya pertanggungjawaban tersebut dan selanjutnya disertai dengan pembuktian melalui hasil pemeriksaan di lapangan. Akuntabilitas Laporan Keuangan Mardiasmo (2002 : 20) mengemukakan definisi Akuntabilitas publik sebagai berikut: ”Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan
kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut”. Dalam konteks organisasi pemerintah, akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Dari pengertian akuntabilitas tersebut, tanpak laporan keuangan hanya bagian dari akuntabilitas atau sebagai alat akuntabilitas, tapi lebih penting disini bagaimana laporan keuangan tersebut dapat menghasilkan akuntabilitas yang baik, oleh karena itu harus dilihat dari dimensi untuk mencapai akuntabilitas yang baik, Mardiasmo (2002 : 22) mengutip Ellwood, bahwa terdapat beberapa dimensi akuntabilitas, dimensi terkait dengan persoalan di atas diantaranya : ”akuntabilitas kejujuran , yaitu terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan”; ”akunatbilitas hukum, yaitu terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik”; ”akuntabilitas proses, yaitu terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi”; ”akuntabilitas program, yaitu terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang tetapkan dapat tercapai atau tidak dan apakah telah mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang menimal; dan ”akuntabilitas kebijakan, yaitu terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap legislatif dan masyarakat luas. Dengan dimensi tersebut tanpak jelas, bahwa agar laporan keuangan dapat memenuhi akuntabilitas, maka disamping proses akuntansi yang membentuk laporan keuangan tersebut harus sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, juga harus diperhatikan bagaimana dimensi-dimensi ”sebelum” proses akuntansi tersebut dilaksanakan.
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
82
Proses itulah yang seharusnya ada dalam sistem akuntansi pemerintahan. Selanjutnya apabila diteliti lebih jauh, tanpak sebenarnya akuntabilitas ini merupakan suatu sistem pengendalian yang diciptakan oleh organisasi atau manajemen dan merupakan bagian dari sistem pengendalian manajemen atau pengendalian intern, hal ini dapat dilihat dari defenisi pengendalian intern atau Pengendalian Manajemen yang disampaikan General Accounting Office/GAO (BPKP, 2005 : 8), bahwa ” Pengendalian Manajemen yang mencakup rencana organisasi, metode dan prosedur yang ditetapkan manajemen untuk ”menjamin” bahwa : (1). penggunaan sumberdaya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan-kebijakan; (2) Sumberdaya dipelihara agar terhindar dari pemborosan, kehilangan dan penyalahgunaan; dan (3). Data yang andal dapat diperoleh, dipelihara, dan diungkapkan secara layak dalam laporan”. Dengan demikian untuk memproleh suatu laporan keuangan yang dapat dipercaya, maka dapat dilihat bagaimana diterapkannya dimensi akuntabilitas yang tercermin dari berjalannya sistem pengendalian manajemen (pengendalian intern). Pembuktian melalui hasil pemeriksaan Untuk pembuktian hasil pemeriksaan dilapangan, kiranya kebetulan sejak awal tahun 2005 penulis dimutasikan ke Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) yang kemudian terakhir ini menjadi Inspektorat Daerah (Irda), jadi kebetulan sekali penulis dapat melakukan pemeriksaan ke beberapa SKPD di lingkungan Kabupaten X selama kurang lebih 5 tahun bertugas di Inpekstorat. Dan hampir 75 % dari 32 SKPD serta 73 % dari 30 Kecamatan telah dan pernah diperiksa penulis, sehingga minimalnya mengetahui kondisi pelaksanaan akuntansi pemerintah di daerah tersebut.. Beberapa temuan dominan sering terjadi antara lain : 1. Dari Aspek pengendalian internal, beberapa unsur pengendalian lemah, antara lain a. Personalia, yaitu petugas Verifikasi dan petugas Akuntansi yang tidak berjalan JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
sebagaimana mestinya. Petugas Verifikasi sebagai pengawas internal SKPD hanya ”sekedar mencatat” bukti pertanggungjawaban atau catatan dari bendahara ke formulir penngesyahan SPJ, sama sekali tidak melakukan pemeriksaan atau meneliti terhadap bukti pertanggungjawabab yang disampaikan bendahara. Demikian pula petugas akuntansi, bertugas hanya memcatat atau memindahkan dari catatan bendahara atau catatan verifikasi kebuku jurnal dan buku besar..Disamping itu tugas dan fungsi bendahara barang tidak berjalan sebagaimana mestinya, malakukan pencatatan yang tidak lengkap dengan bukti dan tidak memeriksa atau melihat barang dicatatnya, terutama untuk barang habis pakai. b. Pencatatan dan pelaporan. Sering terjadi kelambatan atau penunndaan pencatatan sampai mununggu dokumen atau bukti yang banyak untuk dicatat sekaligus, sehingga pada waktu pemeriksaan sering terjadi catatan akuntansi belum selesai atau belum ada, barulah terjadi kesibukan pencatatan kalau sudah menjelang periode laporan atau pada saat adanya pemeriksaan. Dampak dari cara pencatatan tersebut mengakibatkan selalu terjadi kelambatan dalam pelaporan keuangan. c. Prosedur. Terdapat beberapa prosedur yang tidak atau terlewat dilaksanakan, contohnya : Dalam prosedur pengadaan barang/jasa yang terlewatkan pembuatan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau kalau pun ada prosedur terbentukanya HPS tidak lengkap, misalnya dalam hal survey harga, biasanya tidak ada atau tidak lengkapnya HPS ini pada barang/jasa yang tidak dilelangkan. Dalam prosedur pada saat pengeluaran uang tunai, sering terlewatkan otoritas atau pemfiatan/persetujuan dari pimpinan. 83
Dalam prosedur pertanggung-jawaban, petugas verifikasi tidak melaksanakan pemeriksaan atau penelitian atas buktibukti sebagaimana mestinya. Pada prosedur pencatatan barang terutama barang habis pakai, sering tidak lengkap atau tidak ada catatan dan bukti pengeluaran barang. Untuk barang yang bersifat modal biasanya tercatat kontruksinya saja, biaya tidak langsungnya tidak tercatat. Pada prosedur pencatatan akuntansi tidak berdasarkan bukti, tapi hanya sebatas pemindahan catatan verifikasi atau bendahara; disamping itu dalam pengakuan transaksi untuk pengeluaran UYHD UP didasarkan bukti Surat Perintah Membayar (SPM) hal ini tidak sesuai dengan SAP berdasarkan SP2D GU(Surat Perintah Pencairan Dana Ganti Uang). d. Organisasi, Perencanaan dan Kebijakan Organisasi; tidak terdapat uraian tugas yang jelas dan jumlahnya tidak proporsional kegiatan SKPD, pada umumnya tidak seluruh tugas pokok/fungsi dapat dilaksanakan, pada sisi lain banyak pegawai yang menganggur dsn tidak jelas tupoksinya, Baru terjadi kesibukan apabila adanya kegiatan. Banyak organisasi pemerintah yang terlalu besar, yang sebenarnya urusannya dapat dilaksanakan oleh organisasi yang lebih kecil. Perencanaan dan Kebijakan; terutama perencanaan strategis dibuat hanya sekedar formalitas, yang dibuat oleh petugas tertentu saja, sehingga sebagian besar tidak mengetahuinya. Sering terjadi adanya kegiatan yang tidak sinkron dengan perencanaan strategis tersebut.Terkait dengan perencanaan tersebut adalah tidak jelasnya kebijakan apa dan yang bagaimana untuk mencapai tujuan
2.
3.
4.
5.
yang diinginkan, sehingga sulit mengukur apakah kgiatan tersebut sebagai prioritas atau bukan; pada umumnya dinyatakan semua kegiatan adalah prioritas di dalam mencapai tujuan organisasi, sehingga ketika dievaluasi banyak sekali terdapat kegiatan yang tidak prioritas.. Tingkat ketaatan kepada peraturan perundangundangan dan belum adanya pedoman atau kebijakan dalam pelaksanaan akuntansi pemerintah. Biasanya beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar atau tidak sesuai dalam pelaksanaannya antara lain bidang administrasi keuangan, administrasi barang, ketentuan pengadaan barang/jasa, pelaksanaan tugas/fungsi , dan bidang kepegawaian. Selama penulis melakukan pemeriksaan khususnya di bidang akuntansi sering menimbulkan keraguan, karena belum adanya kebijakan daerah yang mendasari pelaksanaan akuntansi di Pemerintah Kabupaten X tersebut. Temuan yang bersifat administratif, biasanya tidak syah atau tidak lengkapnya bukti-bukti pertanggungjawaban. Temuan yang bersifat materiil, biasanya adanya kemahalan harga dalam pengadaan barang/jasa, selisih volume konstruksi antara hasil uji pisik dengan rencana biaya terlaksana, dan kekurangan atau belum setor/bayar pajak. Buruknya Administrasi Aset, baik aset yang lama maupun aset yang baru. Aset yang lama belum jelas baik jumlah keberadaannya maupun nilainya, meskipun telah dilakukan inventarisasi melalui kerjasama dengan Konsultan Appraisal. Untuk aset yang baru belum benar cara pengukuran nilainya.
Hasil Pemeriksaan dan Opini BPK serta hasil Reviu Inspektorat Daerah atas LK Berdasarkan dimensi akuntabilitas dan hasil pemeriksaan tersebut, laporan keuangan yang disajikan Kabupaten X belumlah dikatakan baik, dan ini berlangsung selama periode
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
84
pengalaman penulis bertugas di Inspektorat, akhirnya ”terbukti” pula Laporan Keuangan tahun anggaran 2007 dinyatakan pendapat ”disclaimer” oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penulis tidak tahu persis secara langsung dari BPK, apa yang menjadi latar belakang disclaimer LK tersebut. Namun berdasarkan sambutan wakil Bupati pada acara ”bimbingan teknis penyusunan dan reviu Laporan Keuangan SKPD” yang diselenggarakan oleh Inspektorat Kabupaten X, bahwa ada beberapa kelemahan penyebab disclaimer opinion pada LK Kabupaten X pada tahun 2007, antara lain : 1. APBD dan APBD Perubahan selalu terlambat disyahkan. 2. Sistem Akuntansi (Standar Akuntansi Pemerintah) belum diterapkan. 3. Sistem Komputerisasi yang tidak kompatibel. 4. Kelemahan Administrasi Aset. 5. Pelanggaran dalam penggunaan anggaran. 6. Kualitas SDM kurang memadai. 7. Belum berfungsinya satuan pengawas intern dalam meriviu Laporan Keuangan. Kiranya penyebab pendapat disclaimer tanpak sesuai dengan apa yang menjadi catatan temuan penulis selama dalam pemeriksaan. Selanjutnya sesuai dengan hasil rekomendasi BPK tersebut yang menyatakan belum berfungsinya pengawas intern dalam mereviu LK, serta sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) PP.RI No, 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, menyatakan ”aparat pengawas intern pemerintah pada pemerintah daerah melakukan reviu atas laporan keuangan dan kinerja dalam rangka meyakinkan keandalan informasi yang disajikan sebelum disampaikan oleh gubernur/bupati walikota kepada BPK”, kemudian Permendagri No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas LK Pemerintah Daerah, yang ditindaklajuti dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 700/1013/B.IV/ IJ tanggal 19 Nopember 2008 , tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Reviu Atas LK Pemerintah Daerah; maka inspektorat daerah pada awal tahun 2009 melakukan reviu atas LK Kabupaten X tahun 2008.
Reviu yang dilakukan Inspektorat Daerah pada seluruh LK SKPD, adapun pada LK gabungan atau konsolidasi yang dibuat SKPKD atau PPKD selaku BUD tidak dapat dilaksanakan, karena saat itu belum selesai. Jadi reviu tersebut dilakukan sangat detail sekali dan tidak berdasarkan sampel, jadi sangat mewakili atas gambaran LK secara keseluruhan... Hasil reviu inspektorat Daerah atas LK tahun 2008 Kabupaten X dinyatakan pendapat ”disclaimer”, yang menjadi pertimbangan atau latar belakang memberikan pendapat disclaimer adalah : 1. Kondisi pelaksanaan keuangan tahun 2008 masih ”sama belum baik”, hal ini sesuai dengan catatan hasil temuan tahun sebelumnya sebagai penulis uraikan di atas, bahkan untuk tahun 2008 masih terdapat temuan-temuan yang belum ditindaklanjuti, sehingga masih terjadi pelanggaran dalam penggunaan anggaran 2. Penetapan dan pengesyahan APBD tahun 2008 masih terlambat. 3. Belum adanya kebijakan akuntansi yang mendasari pelaksanaan akuntansi 4. Prosedur akuntansi belum sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah, baik dalam pengakuan, pengukuran dan klasifikasi akunakun dalam laporan keuangan baik neraca maupun LRA 5. Administrasi Aset masih terjadi kelemahan, terutama dalam inventarisasi aset meskipun dengan menggunakan konsultan appraisal serta kesalahan dalam pengukuran nilai aset. 6. Masih belum berjalannya fungsi bendahara barang dalam administrasi barang, terutama barang habis pakai.. 7. Kurang mamadainya kualitas SDM dan kurang pedulinya aparat, terutama dalam bidang akuntansi. Jadi kondisi hasil pemeriksaan dan reviu laporan keuangan tahun 2008 tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil pemeriksaan tahun sebelumnya (tahun 2007), belum ada perbaikkan yang signifikan. Namun sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tanggal 23 Juli 2009, Laporan Keuangan Kabupaten X tahun 2008
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
85
dinyatakan Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Pengecualian tersebut pada ”Aset dan beberapa temuan ketidak patuhan yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah”. Memperoleh opini WDP dari BPK tersebut sangat mengejutkan penulis, bergembira, tapi sekaligus juga sedih dan prihatin. ”Mengejutkan”, karena hanya dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan yang semula dinyatakan ”disclaimer” oleh Infektorat Daerah menjadi ”Wajar Dengan Pengecualian” oleh BPK. Hal ini juga sangat ”mengembirakan”, karena mungkin hasil reviu Inspektorat Daerah terhadap LK diperhatikan dan ditindaklanjuti serta diperbaiki oleh seluruh SKPD, atau mungkin dengan dilakukannya reviu oleh inspektorat daerah dianggap oleh BPK pengawasan internal telah berfungsi. Juga mungkin ”bersedih dan prihatin”, karena dengan ”pendapat disclaimer” oleh Inspektorat Daerah, namun kemudian 3 bulan setelah diperiksa menghasilkan ”pendapat WDP” oleh BPK, maka akan menimbulkan ”preseden yang yang kurang baik ” bagi inspektorat Daerah , karena apa yang telah dilakukan Inspektorat baik dalam pemeriksaan maupun reviu atas LK menjadi tidak ada artinya, temuan Inspektorat akan dianggap angin lalu, karena toh nanti juga BPK lah yang menentukan. Berdasarkan kemungkinan terakhir ini, maka pemberian pendapat ”WDP” dari BPK,menimbulkan pertanyaan dan pernyataan berikut ini : 1. Apakah saat itu BPK telah memamfaatkan hasil pemeriksaan dan terutama hasil reviu Inspektorat Daerah ?, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004, tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara, bahwa dalam dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, BPK dapat memamfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. 2. Laporan Keuangan Kabupaten X tahun 2008 kondisinya tidak berbeda jauh dengan kondisi Laporan Keuangan tahun 2007 yang diberi pendapat ”disclaimer” oleh BPK, bahkan ditunjang dengan hasil reviu Inspektorat
Daerah yang menyatakan pendapat ”disclaimer” atas LK SKPD-SKPD (reviu dilakukan lebih detail, karena seluruh LK SKPD direviu semuanya, tidak berdasarkan sampel). 3. Apakah benar atau bagaimana caranya, hanya dalam kurun waktu 2 – 3 bulan LK yang semula dinyatakan ”disclaimer” oleh Inspektorat Daerah, bahkan isunya pada akhirakhir pemeriksaan BPK pun akan memberikan pendapat disclaimer, namun akhirnya menjadi pernyataan pendapat ”Wajar Dengan Pengecualian” ? 4. Apa yang menjadi kritical point BPK untuk memberikan pendapat terhadap suatu LK ? Apakah konsisten BPK dalam memberikan pendapatnya, Pertanyaan terakhir inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini. Pertama; masalah LK Pemerintahan sebagai produk Akuntansi Pemerintahan. Kedua; masalah bagaimana pemberian pendapat terhadap LK.sebagai akuntabilitas pemerintah. Laporan Keuangan Pemerintah sebagai produk Akuntansi pemerintahan. Karena LK sebagai produk dari akuntansi, maka baiknya LK tergantung kepada proses akuntansi itu sendiri, yang nantinya akan menjawab tuntutan masyarakat akan transparansi dan akuntabilitas pemerintah; sehingga dapat dipercayanya LK tersebut, oleh karena itu perlu menyamakan persepsi tentang akuntansi pemerintahan. Secara umum pengertian Akuntansi dari beberapa ahli kurang lebih berpendapat sama, diantaranya, menurut American Accounting Association dan PP No 24 Tahun 2005 tantang Standard Akuntansi Pemerintah mendefinisikan ”Akunntansi sebagai proses identifikasi, pengukuran, pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran transaksi dan kejadian keuangan, penginterprestasian atas hasilnya, serta penyajian laporan dari suatu organisasi atau entitas, yang dijadikan sebagai informasi dalam rangka pengambilan keputusan”
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
86
Kesamaan yang paling umum, akuntansi sebagai alat komunikasi yang menghasilkan informasi,. Untuk memjadi Informasi tersebut, dengan melalui proses pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran dan peninterprestasian atas kejadian transaksi keuangan. Oleh karena itu Niswonger dkk (1992 : 2) mengemukan karakteristik dari informasi akuntansi ini, anatara lain : Adanya data keuangan mengenai transaksi usaha yang dinyatakan dalam ukuran uang, adanya bentuk pencatatan data transaksi yang mungkin dapat bermacam-macam, Data yang telah dicatat tersebut, masih harus disortir dan diikhtisarkan terlebih dahulu untuk dapat menyiapkan laporan dan analisis yang tepat, Laporan yang dihasilkan dapat dibuat secara rutin atau menyalin laporan-laporan lain yang dibuat dalam selang waktu yang lebih panjang, Mamfaat laporan, umumnya akan lebih baik dengan mamasukan berbagai prosentase dan analisis kecenderungan (trend) organisasi. Dari karateristik tersebut, maka materi dasar yang masih mentah dari akuntansi adalah terdiri dari ”data transaksi”, dan produk akhir terdiri dari ”ikhtisar, analisis dan laporan ”. Jadi proses akuntansi ini dimulai dari transaksi arus uang / barang atau non uang / barang, sedangkan kejadian atau proses sebelum transaksi itu terjadi diabaikan atau kurang mendapat perhatian, padahal proses sebelum transaksi sangat terkait dan mempengaruhi transaksi itu sendiri. Proses sebelum transaksi dimaksud adalah bisa berupa peraturan-peraturan dan kebijakankebijakan atau prosedur yang mendasari terjadinya transaksi, dengan kata lain sebelum transaksi terjadi diperlukan adanya pengendalian, hal ini sesuai dengan salah satu fungsi akuntansi sebagai alat pengendalian keuangan. Mardiasmo (2002 : 35) mengemukakan, bahwa dalam memahamii akuntansi sebagai alat pengendalian , perlu dibedakan penggunaan informasi sebagai alat ”pengendalian keuangan” (financial control) yang terkait dengan peraturan atau sistem aliran uang dalam organisasi, dengan ”pengendalian
organisasi” (organizational control) yang terkait dengan pengintegrasian aktivitas fungsional kedalam sistem organisasi secara keseluruhan,.hal ini diperlukan untuk menjamin bahwa organisasi ”tidak menyimpang” dari tujuan dan strategi organisasi yang telah ditetapkan, atau dengan kata lain adanya pengendalian manajemen, yang terukur melalui dimensi akuntabilitas. Dan bagian dari sistem pengendalian manajemen tersebut berada dalam lingkup Akuntansi manajemen, yang digunakan oleh manajemen untuk perencanaan, evaluasi, dan pengendalian organisasi serta untuk menjamin bahwa sumberdaya digunakan secara tepat dan akuntabel. Dengan perkataan lain bahwa didalam memahami akuntansi, tidak hanya sebatas akuntansi keuangan saja, tapi juga perlu memahami akuntansi manajemen dan termasuk akuntansi lainnya (seperti Akuntansi anggaran, akuntansi biaya, akuntansi komitmen dan akuntansi dana), sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan pendapat. Kenapa demikian ? Pertama, pengertian dari Akuntansi Pemerintah dari beberapa ahli tidak memberikan pengertian yang jelas, tapi kurang lebih pengertiannya ”sama” dengan pengertian akuntansi umumnya yaitu seperti yang diuraikan diatas, hanya saja ditambah kalimat dengan akuntansi yang dilakukan oleh pemerintah (sektor publik); seperti dikemukakan olah Nunuy (2008 :5) bahwa : ”Akuntansi pemerintah didefinisikan sebagai sistem informasi yang mengidentifikasi, mengatur dan mengkomunikasikan informasi ekonomi dan entitas sektor publik”. Maka di dalam pelaksanaan pun akan sama seperti halnya diuraikan di atas, yaitu dimulai dari transaksi, tidak dari sebelum transaksi, sehingga perlakuan di dalam pemeriksaan pun sama dengan pemeriksaan akuntansi bisnis secara umum. Memang produk akuntansi di dalam bentuk laporan keuangan pemerintahan pada dasarnya dapat diadaptasikan dari laporan keuangan sektor swasta yang disesuaikan dengan sifat dan karakteristik pemerintahan serta mengakomodasi kebutuhan pemakai laporan keuangan pemerintahan. Namun demikian, laporan pemerintah tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan laporan keuangan swasta baik format maupun
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
87
elemennya, hal ini disebabkan organisasi pemerintah memiliki batasan-batasan berupa pertimbangan non moneter, seperti pertimbangan sosial dan politik. Akuntansi pemerintah memiliki perbedaan sifat dan karakteristik akuntansi yang disebabkan lingkungan yang mempengaruhi seperti ekonomi, politik kultur dan demografi, sehingga organisasi pemerintahan bergerak dalam lingkungan yang sangat luas dan kompleks serta ruwet /turbulence (Mardiasmo, 2002 : 3). Sehingga menurut Mardiasmo (2002 : 162) , akuntansi pemerintah dapat menghasilkan laporan keuangan untuk mendukung pembuatan keputusan ekonomi, sosial dan politik tersebut meliputi informasi yang digunakan untuk (a) membandingkan kinerja keuangan actual dengan yang dianggarkan, (b) menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi, (c) membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, dan (d) membantu dalam mengevaluasi efesiensi dan efektivitas. Oleh karena iu penanganan akuntansi pun perlu penanganan khusus dan berbeda, tidak seperti akuntansi pada umumnya. Perlakuan khusus yang dimaksud guna mencapai pengelolaan keuangan yang baik dalam rangka akuntabilitas dan transparansi, yang merupakan tuntutan masayarakat pada era reformasi ini. Kedua: untuk kepentingan akuntabilitas. Akuntansi pemerintahan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh kecenderungan menguatnya tuntutan akuntabilitas pemerintah tersebut. Karena pemerintah (sektor publik) sering dinilai sebagai sarang inefesiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana, dan institusi yang selalu merugi. Dengan kondisi tersebut, menurut Mardiasmo (2002 : 4) tuntutan baru mucul agar pemerintah memperhatikan Value for money dalam menjalankan aktivitasnya. Value for money merupakan konsep pengelolaan organisasi pemerintah (sektor publik) yang mendasarkan pada tiga elemen utama yaitu ekonomi, efesiensi dan efektivitas, ditambah dengan keadilan (equity) dan pemerataan atau kesetaraan (equality).
Akuntansi pemerintahan dituntut dapat menjadi alat perencanaan dan pengendalian organisasi pemerintah secara efektif, dan efesien, serta memfasilitasi terciptanya akuntabilitas pemerintah. Dan hal ini tidak mungkin terwujud apabila akuntansi hanya dipandang sebagai proses pencatatan yang menghasilkan informasi berupa laporan keuangan. Hubungan pemberian pendapat terhadap LK .dengan akuntabilitas pemerintah. Pada umumnya pendapat (opinion) yang diberikan terhadap LK oleh Auditor ada empat jenis, yaitu : Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualification opinion), Wajar Dengan Pengecualian (Qualification Opinion) , pendapat tidak wajar (adverse opinion), dan Penolakan untuk memberikan pendapat (disclaimer of opinion). Opini tersebut kuncinya adalah ”wajar atau tidak wajar”, dan bila kita telaah kedalam tiap paragraf laporan auditor maka terkait pula dengan masalah ” materialitas” Dikatakan wajar tanpa kualifikasi, yang merupakan tingkatan tertinggi bagi suatu LK yang baik, bila kondisi berikut terpenuhi : 1. Semua laporan (neraca, perhitungan R/L, perhitungan laba yang ditahan dan laporan arus kas) sudah tercakup di dalam laporan keuangan. 2. Ketiga standar umum telah diikuti sepenuhnya dalam penugasan 3. Bukti yang cukup telah dikumpulkan dan auditor yang bersangkutan telah melaksanakan penugasan dengan cara yang memungkinkan baginya untuk menyimpulkan bahwa ketiga standar pelaksanaan kerja lapangan telah dipenuhi. 4. Laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Ini berarti bahwa pengungkapan yang memadai telah disertakan dalam catatan kaki dan bagian-bagian lain laporan keuangan. 5. Tidak terdapat situasi yang memerlukan penambahan paragraf penjelasan atau modifikasi kata-kata dalam laporan.
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
88
Menurut Mulyadi (2002 :20) kata ”wajar” dalam paragraf pendapat mempunyai makna : (1) bebas dari keragu-raguandan ketidak jujuran, (2). Lengkap informasinya. Pengertian wajar ini tidak terbatas pada jumlah rupiah dan pengungkapan yang tercantum dalam laporan keuangan, namun meliputi pada ketepatan penggolongan informasi. Sedangkan menurut Aren & Loebbecke (1995 : 40), istilah ”menyajikan secara wajar” merupakan salah satu bagian dari laporan audit yang mengundang banyak ”kontroversi” ; wajar ini berarti bahwa, :i). prinsip akuntansi yang berlaku telah ditaati, ii). Laporan keuangan yang bersangkutan telah disajikan dengan wajar, atau iii). mungkinkah ada sesuatu yang lain di luar prinsip akuntansi yang harus dipatuhi ? Pada umumnya para auditor merasa yakin bahwa lalaporan keuangan telah ”disajikan dengan wajar”, apabila leporan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum., meskipun sesungguhnya harus memeriksa kemungkinan kekeliruan yang terdapat pada saldo dan catatan transaksi. Sedangkan pengertian ”materialitas” dalam kaitannya dengan akuntansi dan laporan audit, adalah ”suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika kesalahan saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan yang rasional.”, Ada tiga tingkatan materialitas dalam mempertibangkan jenisa laporan yang harus dibuat, yaitu : 1. Jumlahnya tidak material. 2. Jumlahnya material tetapi tidak mengganggu laporan keuangan secara keseluruhan. 3. Jumlah sangat material atau pengaruhnya sangat meluas sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan. Masalah materialitas ini Alvin A. Arens & James K Loebbecke (1995 : 51) mengemukakan bahwa: secara teoritis, mudah sekali untuk merinci pelbagai jenis laporan yang harus dikeluarkan dengan pertimbangan materialitas. Namun, dalam kenyataannya, mempertimbangkan faktor materialitas dalam situasi tertentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak ada petunjuk yang sederhana dan jelas yang dapat membantu auditor untuk memutuskan apakah sesuatu itu tidak
material, material, atau sangat meterial.. Menurut Mulyadi (2002 : 158) pengertian materialitas tersebut mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan baik (1) keadaan yang berkaitan dengan entitas dan (2). Kebutuhan informasi pihak yang akan meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan. Dari uraian tersebut, baik pengertian ”penyajian wajar” maupun ” materialitas”, tanpak bahwa, didalam memberikan pertimbangan pendapat ”wajar dan materialitas” diperlukan ” kompetensi auditor”, yang berarti baik secara profesional maupun secara moralitas (kejujuran), apabila tidak demikian maka pendapat terhadap LK menjadi bias dan sangat subyektif ! yang mungkin akan mengusik rasa keadilan. Selanjutnya bagaimana pendapat atas LK tersebut kaitannya atau hubungannya dengan akuntabilitas yang mengharapkan adanya value for money (ekonomi, efesiensi dan efektivitas). Menurut Mardiasmo (2002 : 179), dalam pemeriksaan yang konvesional, lingkup pemeriksaan hanya sebatas audit terhadap keuangan dan kepatuhan. Untuk menjamin dilakukannya akuntabilitas pemerintah (publik) oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka diperlukan perluasan sistem pemeriksaan tidak sekedar konvensional audit, namun perlu juga dilakukan value for money audit. Pendekatan baru ini selain audit keuangan dan kepatuhan juga dilakukan audit kinerja (performance audit) yang meliputi audit ekonomi, efesiensi dan efektivitas. Audit ekonomi dan efesiensi disebut management audit atau operasional audit, sedangkan efektivitas audit disebut program audit , atau disebut 3E’s Audit (economy, effeciency and effectiveness Audit). Dengan demikian apabila di dalam pemeriksaan maupun pemberian pendapat (opini) atas proses akuntansi pemerintah dan LK-nya tidak memperhatikan dan atau tidak melakukan pemeriksaan atas value for money audit, maka hasilnya mungkin diragukan dan perlu dipertanyakan, karena LK menjadi bias mengandung ketidak wajaran yang mungkin juga cukup material. Berdasarkan pengalaman penulis dalam pemeriksaan di daerah yang pada umumnya
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
89
menggunakan operasional audit, memang banyak temuan tidak ekonomis, inefesiensi, dan tidak efektif., yang menurut penulis cukup material dan berpengaruh terhadap kewajaran LK. Barangkali dengan segala kewenangan dan kompetensinya, BPK kiranya berkepentingan untuk mengetahui dan menilai value for money, serta dilakukan audit bersama-sama dengan audit LK secara simultan dan berkesinambungan, disertai dengan rasa tanggungjawab moral dalam menciptakan pemerintahan yang bersih melalui terus dikembangkannya good public and corporate governance guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kiprah dari BPK ini . sangat kita tunggu, karena BPK lah merupakan andalan rakyat dalam membasmi penyalahgunaan uang rakyat. Hal ini dapat kita buktikan dari kinerja BPK selama 9 tahun di dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD) di bawah ini; yang sekaligus juga menggambarkan kondisi pengelolaan keuangan pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Kondisi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dan Lembaga-lemabaga Negara Memasuki tahun kesembilan pelaksanaan desentralisasi pemerintahan melalui diberlakukannya pelaksanaan Otonomi Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini mendapat apresiasi dari seluruh daerah di Indonesia , hal ini tergambarkan melalui antusiasnya untuk melaksanakan otonomi tersebut, bahkan menyusul kemudian maraknya beberapa daerah yang belum otonomi, ingin pula menjadi pemekaran daerah otonom..Namun sayang antusias terhadap keinginan otonomi daerah tersebut tidak dibarengi dengan keinginan untuk lebih meningkatkan pertanggungjawaban dalam pengelolaan keuangan daerah, tapi sebaliknya terjadi kemunduran yang berdampak buruk kepada pengelolaan keuangan daerah.sebagai hasil audit BPK.pada kurun waktu 5 tahun terakhir ini. Hanya sedikit sekali dari LKPD yang mendapat predikat ”wajar tanpa pengecualian”, kebanyakan mendapat predikat ”wajar dengan
pengecualian, bahkan beberapa daerah LKPDnya berpredikat lebih buruk daripada itu. Dalam Harian Kompas , Rabu 12 Agustus 2009 memberitakan , Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulayani Indrawati dalam Rapat Kerja Nasional Akuntansi tahun 2009 di Jakarta, mengungkapkan bahwa : ” Pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah mengarah pada kondisi yang ”membahayakan” keuangan negara secara keseluruhan . Padahal, sekitar 60 % atau Rp.600 triliun dari anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam APBN disalurkan ke daerah. Pengelolaan yang membahayakan ini karena laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapat opini terburuk dari BPK semakin bertambah; sebaliknya jumlah LKPD dengan opini terbaik dari BPK terus merosot.. Perkembangan yang membahayakan itu terlihat dari hasil audit BPK atas LKPD tahun 2004 dibandingkan dengan LKPD tahun 2007/2008, sebagai berikut : Jumlah LKPD yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang merupakan opini terbaik menurun dari 21 daerah pada tahu 2004 menjadi 8 daerah tahun 2008, Jumlah LKPD yang mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang merupakan peringkat lebih rendah dari WTP juga turun dari 249 daearah tahun 2004 menjadi 137 daerah tahun 2008, Justru sebaliknya, jumlah LKPD yang mendapat opini tak memberikan pendapat (disclaimer), naik dari 7 daerah pada tahun 2004 menjadi 120 daerah tahun 2007, Demikian pula LKPD yang mendapatkan opini tidak wajar (Adverse) juga naik dari 10 daerah pada tahun 2004 menjadi 59 daerah pada tahun 2007. Kecenderungan berbahaya ini, memperlihatkan sikap pemerintah daerah yang tak memberi perhatian pada pengelolaan keuangan yang baik, ungkap Sri Mulyani. Bagaimana dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) ? tanpaknya LKPP secara keseluruhan dengan konsisten 4 (empat) kali berturut-turut, sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 BPK memberi stempel hasil pemeriksaan
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
90
memperoleh opini terburuk yaitu ”disclaimer”. Selanjutnya bila dilihat dari tiap lembaga/instansi/organisasi pemerintah pusat, maka tanpak sebagai berikut : Tahun 2006 dari 80 oarganisai/lembaga pemerintah pusat yang diperiksa BPK 9% memperoleh WTP, 1% memperoleh WTP dengan paragraf penjelasan, 46 % WDP, 43% opini tidak wajar dan 1% memperoleh disclaimer. Kemudian tahun 2007 dari 85 oerganisasi/lembaga/instansi pemerintah pusat yang diperiksa BPK, 13 % memperoleh WTP, 2% memperoleh WTP dengan paragraf penjelasan, 41% memperoleh WDP, 41% memperoleh opini tidak wajar, dan 1% memproleh disclaimer.. Tahun 2007, 58 lembaga/instansi pemerintah pusat yang kurang tertib menginventarisasi aset tetapnya senilai Rp.387,68 triliun (87%), sehingga memperoleh opini tak wajar atau disclaimer. 5 besar kementerian/lembaga memperoleh opini disclaimer untuk pengelolaan aset tetap antara lain; Departemen Keuangan, Kepolisian RI, Depertemen PU, Depertemen Perhubungan dan Departemen Kesehatan. Pada tahun 2007, Rp 483,05 triliun atau 68 % dari Rp 707,81 triliun pendapatan dan hibah yang diterima negara kurang dikelola dengan baik, sehingga memperoleh opini tidak wajar atau disclaimer. 5 besar kementerian/lembaga antara lain; depertemen keuangan, APP 62 (Belanja subsisi dan transfer lainnya), Departemen kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, dan departemen kesehatan. Tahun 2007, senilai Rp.194,93 triliun atau 26 % dari Rp. 757, 65 triliun belanja negara yang kurang tertib, bahkan disinyalir ada 10 lembaga negara yang ngawur membuat catatan serta laporan belanja untuk kegiatan akhir tahun, tanpa didukung oleh bukti yang valid. 5 besar lembaga negara yang tak tertib dalam belanja antara lain ; departemen keuangan, APP 70 (dana perimbangan), APP 96 (pembayaran cicilan pokok utang LN),
depertemen kesehatan, dan departemen perhubungan. (Sumber : http//www. Hukumonline.com/ berita/baca/hol 19439/audit-bpk-mutu laporan masih rendah-meski penerima opini wtp bertambah) PENUTUP Sungguh sangat memprihatinkan kondisi buruknya dalam pengelolaan keuangan, terutama di Pemerintahan Daerah..Padahal pada sisi lain sebagaimana dimaklumi dengan berlakunya otonomi daerah betapa besar dana yang dikelola dan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah, yaitu 60% atau Rp 600 triliun dari anggaran belanja negara disalurkan ke daerah. Maka tidak berlebihan apabila Menteri Keuangan mengatakan bahwa pengelolaan keuangan demikian buruk akan terjadi kondisi yang membahayakan bagi keuangan negara..Betapa tidak dari 460 pemerintah daerah atau 324 pemerintah daerah yang diperiksa LKPD nya oleh BPK tahun 2007, hanya 8 LKPD atau 1,7% yang memperoleh opini terbaik yaitu “Wajar Tanpa Pengecualian” (WTP), artinya 98,3% pemerintah daerah yang LKPD kurang baik atau mungkin pula buruk.Demikian pula halnya di Pemerintah pusat, secara keseluruhan 4 (empat) kali berturut-turut laporan keuangan pemerintah mendapat opini “disclaimer”, bila dilihat dari masing-masing lembaga/instansi/ kementerian hanya 13 % laporan keuangan yang mendapat opini terbaik atau WTP, jadi sisanya 87 % kurang baik atau mungkin buruk. Tanpa menyampingkan faktor atau kendala-kendala lainnya, berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut penulis pada akhirnya faktor yang paling utama dan dominan penyebab buruknya pengelolaan keuangan adalah terletak pada “kompetensi” manusianya sebagai pelaksana atau yang terlibat dalam pengelolaan keuangan. Kompetensi yang dimaksud disini, disamping profesional dibarengi dengan moralitas atau itikad baik dan kepedulian dari pelaksana atau mereka yang terlibat dan mempengaruhi pengelolaan keuangan, antara lain : 1. Kompetensi Para Puncuk pimpinan dan DPRD dalam akuntansi pemerintahan dan
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
91
2.
pengelolaan keuangan, memang secara teknis tidak perlu mendalam, tapi secara “moral” cukup dan harus “memahami” serta diperlukan “kepedulian” terhadap aturan pengelolaan keuangan dan akuntansi pemerintahan, karena mereka ini baik langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi pengelolaan keuangan terutama kebijakan pada tahap penyusunan anggaran yang pada akhirnya akan mempengaruhi pula dalam proses akuntansi dan LK. Akan tetapi karena mereka itu adalah pejabat “politik”, segala sesuatunya mengatasnamakan politik. Politik adalah segalanya sehingga dapat mempengaruhi dalam berbagai kebijakan keuangan, bahkan terkadang dengan mengatas namakan politik tidak perduli dan dapat mengabaikan ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan keuangan yang pada akhirnya penyalahgunaan wewenang untuk pribadinya atau kelompoknya, sehingga mengakibatkan ”sangat rendahnya kepedulian dan pemahaman” terhadap akuntansi pemerintah dan pengelolaan keuangan. Sungguh sulit untuk memecahkan masalah ini, satu-satunya adalah dengan komitmen moral atau dengan ketegasan politik melalui fakta integritas, bahwa “seseorang yang telah menjadi pejabat negara harus melepaskan atribut pribadinya sebagai anggota atau pimpinan partai dan dapat melepaskan diri dari golongan apapun.” Fakta integritas tersebut bukan hanya sekedar sumpah, tetapi sebagai kontrak sosial secara tertulis yang mengikat dan dapat berakibat hukum. Ini merupakan dimensi “akuntabilitas kejujuran”. Mau dan sanggupkah mereka ?? Kompetensi Para pimpinan unit kerja / lembaga/SKPD sebagai pengguna anggaran beserta pejabat lainnya eselon 3 dan 4, termasuk didalamnya pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK). Secara teknis tidak perlu mendalam tapi “harus lebih memahami dan perduli” terhadap pengelolaan keuangan dan akuntansi pemerintahan, karena biasanya mereka ini adalah yang langsung terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan berbagai kegiatan.
3.
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
Mereka bukanlah pejabat politik, tapi sangat terkait dan terpengaruhi oleh nuansa politik. Loyalitas negatif merupakan slogan antara atasan dan bawahan sebagai suatu keharusan, kadang-kadang digunakan sebagai senjata dalam menekan bawahan, apalagi dikaitkan dengan balas jasa karena dapat jabatan, dan jabatan itu merupakan lahan penghasilan tambahan dari gaji . Tradisi lama ketika kegiatan masih disebut proyek, ada harapan pasti dari proyek tersebut, ada lebihnya !? Sedangkan soal pengelolaan keuangan dan akuntansi juga dianggap sebagai hal yang sangat teknis. Kondisi-kondisi itulah menjadikan terjadinya mark up atau rekayasa agar nanti ada lebihnya. Profesionalisme sebagai bagian dari kompetensi sudah bukan lagi ukuran, yang penting dapat melaksanakan tugas dan fungsi organisasi, dan ukuran kinerja hanya sebatas terlaksananya kegiatan. Mereka sangat memahami, tapi karena secara moral ada kepentingan menjadikan ”sangat tidak perduli” terhadap pengelolaan keuangan dan akuntansi pemerintahan Baik langsung maupun tidak langsung, kondisi tersebut sangat mempengaruhi di dalam pengelolaan keuangan, terutama pada saat penyusunan anggaran berupa rekayasa kegiatan dan pertanggungjawaban anggaran yang selalu terlambat atau selalu tidak lengkap bukti-buktinya. Pemecahan masalah ini adalah dengan menelusuri perencanaan strategis dan keterkaitannya dengan tersusunnya anggaran sampai pada pertanggungjawabannya. Yang penting disini, perlu adanya pengendalian berupa standar analisa biaya/belanja (SAB) atas berbagai kegiatan dan standar harga yang dibuat oleh pihak idenpenden. Bendahara, petugas verifikasi, petugas akuntansi dan beberapa staf yang terlibat dalam pengelolaan keuangan. Mereka ini secara “teknis harus mampu dan memahami berbagai kebijakan pengelolaan keuangan dan akuntansi pemerintahan”. Akan tetapi karena biasanya mereka diangkat dari pegawai lama atau diangkat atas kepentingan pimpinan unit kerja, maka berdasarkan pengalaman mereka 92
4.
ini biasanya hanya sekedar formalitas, sehingga sangat dipengaruhi dan didominasi oleh pimpinannya. Tugas mereka sangat berat, mereka ditekan untuk menambal yang bolong-bolong dari pertanggungjawaban, bahkan mungkin seluruh pertanggungjawaban diserahkan kepada mereka,.yang penting atasan tahu beres. Ada sebagian bendahara yang mengeluh dalam menghadapi situasi tersebut, tapi ada juga yang “ikut serta” . Masih mending apabila sebelumnya pernah memegang tugas-tugas tersebut, tapi banyak pula yang sama sekali tidak berpengalaman. Dengan sistem akuntansi atau sistem pengelolaan keuangan yang baru dan banyak sekali perbedaannya dengan sistem lama, maka jangankan petugas baru yang belum berpengalaman, yang berpengalaman ataupun yang mempunyai latarbelakang pendidikan akuntansi pun tidak begitu saja memahami sistem akuntansi pemerintahan ini. Pemecahan masalah tersebut, pengangkatan mereka harus benar-benar dipilih dengan memenuhi beberapa persyaratan yang sesuai dengan ketentuan, atau bagi petugas yang berpengalaman dilakukan pembinaan dengan sistem yang baru. Disamping itu pengangkatan bendaharawan, melalui penunjukan atau rekomendasi dari Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) yang juga pelaksana fungsi Bendahara Umum Daerah (BUD), dipilih dengan kriteria tertentu, serta sesering mungkin diadakan rotasi bendahara antar SKPD, sehingga bendahara tidak terlalu lama ditempatkan di satu SKPD. Bagian/Biro/Badan/Dinas Keuangan atau SKPKD selaku PPKD yang juga sebagai pelaksana fungsi BUD, sebagai kuasa chief operational officer dari pimpinan lembaga sehingga memiliki kewenangan yang besar dalam pengelolaan keuangan. Instansi ini merupakan sentral dari pengelolaan keuangan dan akuntansi pemerintahan yaitu sebagai entitas akuntansi juga sebagai entitas pelaporan keuangan secara keseluruhan.
5.
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
Mereka ini harus benar-benar ”mampu secara profesional, memahami kebijakan pengelola keuangan, dan memiliki moral yang tinggi”. Sangat berat dan beresiko tugas mereka, sehingga diperlukan dedikasi kerja yang sangat luar biasa. Awal ketidak efektifan, tidak ekonomis dan inefesien atau pemborosan maupun perkeliriun bisa terjadi pada unit kerja ini, baik dalam penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, maupun pertanggungawaban anggaran. apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak profesional, tidak/kurang cermat atau mungkin ada unsur ketidak jujuran..Oleh karena itu pembentukan SKPKD , harus dibentuk dengan pengorganisasian yang efektif, tenaga-tenaga yang profesional dan bermoral, serta adanya kekompakan dalam unsur /sub bagian SKPKD.secara terintegrasi. Inspektorat Daerah, yang merupakan unit kerja pengawas pemerintahan daerah sebagai perwujudan dari pengendalian manajemen atau pengendalian intern dari pemerintah daerah. Tugas inspektorat ini cukup pula berat apabila difungsikan secara benar bukan hanya sekedar formalitas, oleh karena itu inspektorat ini harus ”menguasai dan mampu baik secara profesional maupun moral” dalam pengetahuan dan praktek pengelolaan keuangan dan akuntansi pemerintahan sebagai bekal dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Sehubungan dengan itu, maka untuk bertugas di inspektorat diperlukan ”pendidikan khusus” sebagai fungsional auditor, pendidikan ini diperlukan sebagai jaminan di dalam melaksanakan tugas secara profesional. Namun kenyataannya dilapangan, kompetensi inspektorat tanpaknya diragukan, karena banyak inspektorat yang tidak memliki tenaga auditor yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas; kemudian masalah independensi inspektorat mungkin juga diragukan, karena banyak pemeriksa yang setengah hati dalam melaksanakan pemeriksaan, atau mungkin adanya hasil temuan yang dibatalkan atau di peti- eskan sehubungan terkait ”rasa risih” 93
dengan kerabat/teman dekat atau menyangkut pimpinan; dan banyak lagi kendala-kendala yang merusak kompetensi inspektorat termasuk kenakalan pemeriksa yang menghapus temuan guna memperoleh sepeser uang. 6. Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI), penulis percaya mereka ini sangat profesional, namun terdapat kekhawatiran terkontaminasinya mereka oleh bujuk dan rayu dari yang diperiksa (auditee) demi menghapus temuan atau demi menghindar pendapat (opini) BPK yang buruk. Mudah-mudahan tidak terjadi ! Penulis kira tidak perlu pesimis tentang persfektif akuntansi pemerintah, meskipun hasilnya sementara ini sangat mengkhawatirkan, secara perlahan tapi pasti akuntansi pemerintahan akan dapat dilaksanakan dengan baik dan akan menghasilkan LK yang wajar dan dapat dipercaya, sehingga menghasilkan LK yang akuntabel. Namun kekhawatiran tersebut masih ada, apabila mengingat ketika digunakan sistem akuntansi berdasarkan Manual Keuangan Daerah (MAKUDA) tahu 1981, sampai akhir penggunaan sistem tersebut dan diganti dengan Kepmendari 29/2002 atau Permendagri No 13/2006, sistem akuntansi MAKUDA ’81 tak pernah ditaati dengan benar atau belum berjalan sebagaimana mestinya. Apakah akan terjadi pula pada sistem Akuntansi Pemerintahan atau Pengelolaan keuangan yang diberlakukan sekarang ini ??! DAFTAR PUSTAKA Arifin Sabeni, Imam Ghozali, 2001. Pokok-pokok Akuntansi Pemerintahan, Yogyakarta, PT. BPFE Arens, Alvin A., and James K. Loebbecke, 1995, Auditing (suatu pendekatan terpadu), Terjemah Drs Ilham Tjakrakasuma dan Herman Wibowo, Jakarta, Penerbit Erlangga. Bahtiar Arief dkk, 2002, Akuntansi Pemerintahan , Jakarta, Penerbit Salemba Empat Drebin R Allen, 1993, Advance Accounting, Terjemahan Freddy Saragih dkk., Jakarta, Penerbit Erlangga.
Hay. Leon E & Wilson Earl R, 1992, Accounting For Governmental and Non Profit Entities, Boston, IRWIN. Indra Bastian, 2001, Manual Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah, Yogyakarta, Pusat Pengembangan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Keiso, Donald E. Jerry J. Weygand, Terry D Warfieldt, 2002, Akuntansi Intermediate, Terjemah Emil Salim, Jakarta, Penerbit Erlangga. Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan,Yagyakarta, Penerbit Andi -------------, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta, Penerbit Andi Mulyadi, 2002, A u d i t i n g, Jakarta, Penerbit Salemba Empat Niswongwer, Fess, Warren, 1992, Prinsip-prinsip Akuntansi, Terjemah Marianus Sinaga, Jakarta, Penerbit Erlangga. Nunuy Nur Afiah, 2004, Desertasi : Pengaruh Kompetensi Anggota DPRD, Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah, Pelaksanaan Sistem Informasi Akuntansi, Penganggaran, serta Kualitas Informasi Keuangan terhadap Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintah Daerah yang baik, Bandung, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. --------------------, 2008, Akuntansi Pemerintahan (Implementasi Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah), Bandung, Penerbit Kencana. Supomo dkk, 2003, Akuntansi Indonesia di tengan kancah perubahan, Jakarta, LP3ES. Republik Indonesia, 2000, Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. ------------------------, 2002, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2000, tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. -------------------------, 2003, Unadang UndangNo. 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara.
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
94
-------------------------, 2004, Undang undang No. 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara. -------------------------, 2004, Undang Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. -------------------------,2004, Undang Undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. -------------------------, Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005, tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. ------------------------, 2005, Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. ------------------------, 2006, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006, tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. -----------------------, 2006/2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013
95
RIWAYAT PENULIS Nama : H. DEDDY SUHARDI Riwayat Pekerjaan : 1. Staf PNS di Bagian Keuangan Sekretaris Daerah Kabupaten Subang 1986/1987 2. Kapala Sub Bagian Kauangan di Bagian Keuangan Setda Subang 1988 - 1998 3. Kepala Sub Bagian Pembukuan di Bagian Keuangan Setda Subang 1988 - 1992 4. Kepala Sub Bagian Anggaran di Bagian Keuangan Setda Subang 1992 - 1997 5. Kepala Bagian Keuangan Setda Subang 1997 - 2005 6. Kepala Bidang / Inspektorat Pembantu di Inspektorat Daerah Kab. Subang 2005 7. Kepala Bidang Pemuda dan Olahraga di DisBudParPora Kab Subang 2009. 8. Dosen Luar Biasa di STIA atau Universitas Subang 1992/1993 s/d Sekarang Riwayat Pendidikan Formal : 1. Sarjana Muda Akuntansi 1981/1982 2. Sarjana Ekonomi Manajemen 1985/1986 3. Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan 2003 4. Pasca Sarjana akuntansi 2005 Riwayat Pendidikan Karier : 1. Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Dasar (SEPADA) Th 1991 2. Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Lanjutan (SEPALA) Th 1994 3. Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Pertama (SEPAMA) Th 2000. Riwayat Pendidikan dan Latihan lainnya : 1. Kursus Administrasi Keuangan Th 1989 2. Pelatihan Administrasi Keuangan Tingkat B Th 1989 3. Kursus Keuanga Daerah (KKD angkatan VI) Th, 1990/1991 4. Kursus Manajemen Proyek Th 1992 5. Pelatihan Sistem Manajemen Operasi dan Pemeliharaan Sarana Prasarana 1994 6. Diklat Manajemen Keuangan Daerah Th 2001 7. Workshop Laporan Keuangan Daerah Th 2001 8. T.O.T. Sosialisasi dan Bimbingan Teknis Perencanaan Program dan anggaran Daerah Th 2002 9. Pelatihan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dengan Pendekatan Performance Budget Th 2004 10. Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor Ahli Th 2007 11. Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor Ketua Tim Th 2008 JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013 96
12. Program Pendidikan Non Gelar (STAN dan UNPAD) bagi Auditor Internal Sektor Publik tingkat Lanjutan th 2009
JIA Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UNSUB – Edisi 11 /2013 97