Persetujuan Istri dalam Rujuk, analisis perbandingan antara Kompilasi Hukum Islam dengan Fikih Empat Mazhab Sunni ” Oleh : H. Marwin Amirullah, S.Ag.MA ABSTRAK Dalam KHI pada bab XVIII pasal 164 dinyatakan bahwa “ Seorang wanita dalam iddah talaj raj‟I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan oleh dua orang saksi” selanjutnya pada pasal 165 dinyatakan juga bahwa “ Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama”. Dari dua pasal yang terdapat dalam KHI tersebut dipastikan bahwa kedudukan persetujuan istri adalah syarat untuk dapat diterimanya kehendak rujuk seorang laki-laki kepada bekas istrinya. Sementara yang termaktub di dalam kitab – kitab fikih (klasik) pendapat empat mazhab mazhab sunni menyatakan bahwa seorang lelaki berhak merujuk istrinya tersebut selagi masih dalam masa Iddah meskipun istrinya tersebut tidak setuju, bahkan meskipun rujuknya tersebut dinyatakan tidak di hadapan bekas istrinya. Dari dua redaksi di atas jelas nampak suatu perbedaan antara ketetapan yang terdapat dalam KHI dengan pendapat para Imam mazhab Sunni, bahkan bila dilihat lebih dalam terkesan kontradiktif. Dimana KHI menjadikan persertujuan istri sebagai syarat untuk dapat diterimanya kehendak rujuk bekas suaminya, sementara ulama mazhab Sunni menyatakan sah rujuk suami kepada istrinya tanpa perlu adanya persetujuan istri bahkan meskipun sang istri merasa enggan rujuk tetap dinyatakan sah.. Dari hasil penelitian dan analisis yang berhasil penulis lakukan adalah bahwa apa yang ditetapkan dalam KHI bukanlah bertujuan untuk menyalahi apa yang telah ditetapkan oleh para imam mazhab, akan tetapi apa yang dilakukan oleh perumus KHI adalah suatu tuntutan hukum yang harus dilakukan dalam rangka mengaktualisasikan dan mengkondisikan hukum agar tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Khususnya masyarakat muslimIndonesia. Hal ini juga tentunya didasari oleh semangat pembaharuan hukum yang terus harus berkembang seiring dengan perubahan waktu dan tempat yang terjadi. Jadi ketetapan yang dilakukan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang syarat harus adanya persetujuan istri atas kehendak rujuk yang diajukan oleh suaminya tersebut merupakan tuntutan keadaan (waktu dan tempat), dimana ketetapan tersebut bertujuan untuk lebih menjaga dan memelihara hak-hak yang terdapat pada istri khusus untuk perkara tersebut dan khususnya dikalangan muslim Indonesia sudah mulai terancam kemaslahatannya.
Kata Kunci : Rujuk, Kompilasi Hukum Islam, Fiqih Empat Mazhab Sunni.
A. Latar Belakang Masalah Allah Swt menciptakan manusia dalam bentuk kesempurnaan yang kolektif.Saling ketergantungan merupakan sifat mutlak yang mendominasi bagi keberlangsungan prikehidupannya. Dari jenis laki-laki dan perempuan, demikian Allah menciptakan manusia, jenis yang berlainan ini bukanlah suatu bentuk perbedaan yang kontradiktif yang menginginkan satu sama lainnya saling melebihkan atau menjatuhkan. Akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yang terpisah yang diciptakan Allah Swt dengan identitas keutamaan masing-masing, yang bilamana telah menyatu kedua jenis keutamaan tersebut maka akan terciptalah yang namanya keseimbangan. Upaya penyatuan kedua jenis yang berlainan tersebut dalam Islam diatur dengan tuntunan yang jelas, yang pengaturannya disesuaikan dengan martabat dan kemuliaan manusia yang membedakannya dari jenis makhluk Allah lainnya, yaitu dengan jalan pernikahan. Idealnya harapan dari sebuah ikatan perkawinan adalah menghendaki kelanggengan, keharmonisan dan kerukunan sampai akhirnya hanya terpisahkanoleh kematian.Namun dalam perjalanannya ternyata hubungan lahir bathin tersebut penuh dengan ujian dan cobaan yang selalu menggoyah kekokohannya, yang sering dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Hak dan kewajiban antara suami dan istri, saling menghormati dan menghargai serta saling menjaga kepercayaan satu sama lain adalah merupakan amanah yang harus dipertahankan hingga akhir hayat, hal ini harus dilakukan bila benar-benar menginginkan perceraian hanya terjadi karena kematian. Namun demikian bilamana pernikahan hanya akan menjadi sebab kehancuran dalam hidup dan kedurhakaan kepada Tuhan, maka perceraian mungkin dapat berubah menjadi suatu kebaikan, baik untuk salah satu ataupun kedua belah pihak. Tapi Islam tidak menginginkan hubungan terputus bagaikan patahnya arang atau hancur bagaikan pecahnya kaca, kehidupan harus tetap dilanjutkan dan Islam tetap memberikan kesempatan bagi insan yang ingin memperbaiki hubungan. Islam mengatur proses peceraian tersebut dengan system yang baik, istilah yang dipakai dalam Islam yaitu Thalak. Thalak (perceraian) di dalam Islam terdiri dari tiga kali kesempatan (Raj‟i), dimana masih diharapkan dengan adanya kesempatan tersebut akan terjalin kembali hubungan yang baik antara seorang suami dengan istrinya setelah mereka terpisah untuk tempo waktu yang ditentukan dan kemudian mereka rujuk (melakukan hubungan balik) kembali.
2
Banyak faktor yang melatar belakangi terjadinya perceraian,
diantaranya yaitu
hilangnya sifat amanah dari salah satu ataupun kedua belah pihak , sifat ini sangat besar berpengaruh dalam kerukunan sebuah mahligai rumah tangga. Bila sifat ini telah memudar atau bahkan menghilang maka dipastikan akan hancurlah hubungan pernikahan tersebut. Factor lain yang juga sangat berpengaruh seperti factor ekonomi, pihak ke tiga dan hal-hal duniawi lainnya. Di Indonesia tindak kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan perceraian mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ketahunnya, yang menyebabkan hancurnya mahligai rumah tangga. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan: sepanjang tahun 2005 saja tercatat 20.391 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang sebanyak 82 persennya atau sekitar 16.615 kasus adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, dan 29,41 persennya lagi adalah khusus kekerasan terhadap istri 1. Catatan yang disampaikan oleh Kamala Chandrakirana (Ketua Komnas Perempuan) secara keseluruhan bahwa kekerasan terhadap perempuan terhitung sejak tahun 2001 terjadi sebanyak 3.169 kasus, kemudian meningkat sebanyak 61 persen pada tahun 2002 menjadi 5.163 kasus dan pada tahun 2003 kasus kekerasan semakin melonjak hingga 66 persen menjadi 7.787 kasus. Dari sekilas data di atas dapat dilihat, bahwa di Indonesia kaum perempuan memang sering menjadi objek penderita dari suatu ikatan atau hubungan dengan kaum pria, diskrimanisasi dan pengingkaran-pengingkaran terhadap hak-hak perempuan dan tentunya banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Menurut Meutia Hatta Swasono diantara faktor penyebabnya yaitu karena adanya ketimpangan hubungan kekuasaan antara laki-laki dengan perempuan, ketidak mandirian perempuan dalam bidang ekonomi, juga adat istiadat yang sering melemahkan posisi perempuan kemudian ditambah lagi dengan banyaknya tingkat pendidikan perempuan yang masih sangat rendah.2 Menurut Masdar F. Mas‟udi, pangkal mulanya adalah disebabkan adanya pelebelan sifat-sifat tertentu pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan, misalnya, bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang nalar, cengeng tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah dan sebagainya..berdasarkan pelebelan sifat-sifat manusia kelas dua inilah ketidak adilan beruntun terjadi atas mereka. Setidaknya ada empat persoalan yang menimpa perempuan akibat adanya pelebelan ini.Pertama, melalui subordinasi (meletakkan perempuan di bawah supremasi lelaki), perempuan harus tunduk kepada sesama manusia, yakni kaum lelaki, pemimpin hanya pantas dipegang oleh laki-laki, perempuan 1
Koran Harian Nasional, Republika, terbit sabtu 15 April 2006. h. 1 Ibid,
2
3
hanya boleh menjadi makmum saja.Akibat berikutnya (kedua), adalah bahwa perempuan cenderung dimarginalkan, diletakkan di pinggir. (ketiga) karena kedudukannya yang lemah (diperlemah), perempuan sering menjadi tindak kekerasan (violence) oleh kaum laki-laki. Keempat, akibat ketidak adilan gender itu perempuan harus menerima beban pekerjaan yang jauh lebih berat dan lebih lama dari pada yang dipikul lelaki.3 Sementara itu menurut menurut Yasir Alimi, terjadinya pengingkaran dan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan, sekurang-kurangnya disebabkan karena dua faktor, pertama, faktor budaya.Dalam masyarakat kita budaya yang cenderung male chauvinistic masih ada, di mana kaum laki-laki masih menganggap diri dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior.Kecenderungn ini bisa terjadi karena adanya pengaruh budaya/kepercayaan local (adat) ataupun pemahaman agama. Kecenderungan male chauvinistic beroperasi bersama dengan idiologi misoginis (sikap benci terhadap perempuan) dan idiologi patriarkhis (pandangan bahwa laki-laki berkuasa atau dominan atas perempuan di dalam keluarga ataupun masyarakat) Kedua faktor hukum, baik isi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law), maupun proses pembuatan dan penegakan hukum (structure of law). Hukum yang dibuat oleh Negara seringkali diskriminatif terhadap perempuan, karena pembuat hukum tidak peka terhadap kebutuhan masing-masing jenis kelamin (gender blind) dan yang demikian itu juga dilakukan oleh penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gender dan didukung oleh budaya yang cenderung male chauvinistic. Itulah lingkaran konspirasi budaya (agama) dan system politik yang mengingkari hak-hak perempuan.4 Dari beberapa pendapat yang berkembang, dapat disimpulkan factor penyebab terjadinya diskriminasi dan ketidak adilan jender adalah disebabkan oleh (1) adanya penafsiran terhadap teks-teks keagamaan Islam yang bias gender, (2) adanya konstruksi social (adat dan budaya) yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sederajat dengan laki-laki, (3) adanya pelebelan yang merugikan kaum wanita, (4) adanya aturan hukum yang diskriminatif gender, dan (5) sikap penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gender. Untuk menjaga hak-hak perempuan, khususnya dalam rumah tangga agar perempuan tidak selalu menjadi objek penderita dari kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, sangat diperlukan adanya aturan-aturan hukum yang berpihak kepada perempuan agar dapat
3
Dr. Iskandar Ritonga, Hak-hak wanita dalam putusan Peradilan Agama,Ditjern Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2005,h.13 4 Moh. Yasir Alimi, dkk., Advokasi Hak-hak Perempuan, Membela Hak mewujudkan Perubahan, Yogyakarta : Penerbit : LKis, cewt,1 1999, h,vi
4
meminimalisir ketimpangan kekuasaan (diskriminatif) antara laki-laki dengan perempuan, khususnya antara suami dan istri. Bagi ummat Islam di Indonesia pengaturan tersebut diantaranya terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, yang merupakan instrument hukum Islam di Indonesia yang meliputi aspek hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
merupakan wujud dari kesadaran umat Islam
Indonesia tentang pentingnya sebuah peraturan hukum Islam yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Meskipun legalitasnya hanya ditopang dalam bentuk Inpres (Instruksi Presiden) No. 1 tahun 1991, KHI tetap memiliki validitas dan otoritas hukum positif dan objektif, karena perangkat hukum yang dirumuskan di dalamnya telah disesuaikan dengan nilai-nilai, kebutuhan dan kesadaran masyarakat pemakainya. Sehingga mampu mengayomi ketertiban hidup bermasyarakat. Kompilasi Hukum Islam menempati posisi penting di lingkungan para hakim Pengadilan Agama, karena ia merupakan pedoman, landasan dan pegangan para hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama. Kompilasi Hukum Islam bukanlah sebuah mazhab baru dalam fikih Islam, akan tetapi ia merupakan wujud dari penetapan berbagai mazhab yang ada dan diharapkan mampu menjawab persoalan yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam Indonesia Sebagai perangkat hukum, KHI telah menampung bagian dari kebutuhan masyarakat dibidang hukum yang digali dari (sumber) nilai-nilai hukum yang diyakini kebenarannya. KHI dapat memberikan perlindungan hukum dan ketentraman bathin masyarakat, karena ia menawarkan simbol-simbol keagamaan yang dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sakral. Ia juga mengakomodasi berbagai pandangan dan aliran pemikiran di bidang fikih yang secara sosioligis memiliki daya pesan dan daya ikat di dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, KHI layak untuk dilaksanakan oleh warga masyarakat yang memerlukannya. Mengingat pentingnya analisis-analisis baru terhadap materi KHI, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap materi KHI pada bab XVIII tentang proses pelaksanaan rujuk yaitu pasal 164 dan 165 yang berbunyi sebagai berikut : a. Seorang wanita dalam iddah talak raj‟i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan oleh dua orang saksi.5 (Ps. 164)
5
Abdul Ghani Abdullah SH, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,( Jakarta : Gema Insani Press, 1994) h. 126
5
b. Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.6 (Ps. 165) Masalah yang menarik bagi penulis untuk dianalisa dalam kedua pasal ini adalah : 1. Bahwa KHI menetapkan adanya hak bagi seorang wanita yang dalam masa iddah talak raj‟I untuk mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya. 2. KHI menetapkan persyaratan adanya persetujuan istri bagi seorang laki-laki yang hendak rujuk kepada bekas istrinya. Ketertarikan penulis untuk menganalisa dua ketetapan KHI di atas adalah karena ketetapan KHI tersebut terlihat sangat kontradiktif dengan pendapat empat mazhab sunni. Dari beberapa literature yang penulis baca yaitu diantaranya : kitab Al-Hidayah syarah Bidayah Al-Mubtady karangan Syaikhul Islam Burhanuddin Abi Hasan Ali bin Abi Bakar bin Abdul Jalil Ar-Rasyidany Al-Marghitany, kitab Raudhah Al-Thalibin karangan Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi Al-Dimisyqi, kitab Al-Kafi Fi Fikih Ahlu al-Madinah Al-Maliky karangan Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Bar AnNamiry al-Qurthuby, kitab Al-Jami‟ li ahkam Al-quran karangan Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, kitab Al-Mabshuth fi fikih Imamiyah karangan Abi Ja‟far Muhammad bin Husain bin Ali Al-Thusi,Al-Syaibani, al-Mu’tamad fi fikih Imam Ahmad karangan Al-Syaibani dan beberapa literatur lainnya. Tidak satupun dari pendapat mazhab tersebut yang menyatakan adanya hak bagi seorang wanita yang dalam masa iddah talak raj‟I untuk menolak kehendak rujuk bekas suaminya, dan tidak pula ada yang menyatakan persetujuan istri adalah syarat untuk dikabulkannya kehendak rujuk seorang lakilaki kepada bekas istrinya. Bahkan di dalam kitab Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, Al-Qurthubi dengan berdalilkan surat Al-Baqarah ayat 228 menyatakan dengan tegas di dalam tafsirannya pada lafazd “ wa bu’u latu hunna ahaqqu biraddihinna” sebagai berikut:
ٍٝاجّع اٌعٍّبء عٚ ْ اٌثالثٚب دّٙٓ وبْ غالل١ٓ ادك ) دىُ خبص فٌٙتٛثعٚ ( ٓ أٗ ادك١مت١ٍ تطٚمخ ا١ٍب تطٙال ثٛوبٔت ِدخٚ جتٗ اٌذسحٚاْ اٌذس اذا غٍك ش 7
Maksudnya yaitu :
اْ وس٘ت اٌّسأحٚ بٙب ِبٌُ تٕمط عدتٙثسجع
Bahwa lafazd “wa bu’u latu hunna ahaqqu biraddihinna” adalah ketentuan hukum yang berlaku bagi selain talak tiga, dalam hal ini ulama sepakat bahwa bila seorang lelaki yang menthalak istrinya baik
6
Ibid Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshiry Al-Qurthuby, Al-Jami‟ li Al-Ahkam AlQuran,Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut Libanon, jilid II. Tt. h. 80 7
6
talak satu maupun dua, maka ia (lelaki tersebut) berhak merujuki bekas istrinya tersebut selagi masih dalam masa iddah meskipun bekas istrinya tersebut tidak setuju.
Berikutya keterangan tentang syarat-syarat rujuk seperti yang terdapat dalam kitab I‟anah Al-Thalibin yang berbunyi :
: ب ستخِٕٙ ذوسٚ غ اٌسجعخٚشس ْ اٌفساق ثطالقٛى٠ ْ اٖجٍغ اوثس٠ اْ الٚ ْ ِجبٔبٛى٠ ْاٚ غءٚ ْ ثعدٛى٠ ْاٚ ْ لجً أمعبء اٌعدحٛى٠ ْاٚ 8
غخ١ع ثصْٛ اٌسجٛى٠ ْاٚ -
Maksudnya : Syarat-syarat rujuk itu ada enam yaitu : 1. Perceraian tersebut dikarenakan thalak 2. Belum mencapai batas thalak terbanyak (talak tiga) 3. Thalak tersebut dilakukan dengan sengaja. 4. Thalak tersebut terjadi setelah watha‟ (adanya hubungan intim) 5. Dilakukan sebelum habis masa iddah 6. Rujuk dilakukan dengan Shighat (lafazd) Selanjutnya secara rinci penulis akan paparkan keterangan masing-masing pendapat mazhab tentang hal dimaksud yaitu : 1. Dari ulama Malikiyah sebagai berikut :
ٝب ِبداِت فٙٗ فــٍٗ ِساجعت١ أذْ هللا ٌٗ فٞاذا غٍك اٌسجً اِسئتٗ اٌطالق اٌر 9
ٌٟٚ الٚ ْ صداقٚاْ وس٘ـت دٚ بٙعدت
Maksudnya : Apabila seorang lelaki menthalak istrinya dengan thalak yang diizinkan oleh Allah baginya, maka baginya (haknya) pula untuk merujuk istrinya selagi masih 8
Sayyid al-Bakry, I’anah al-Thalibin, juz 4, Putera Semarang, h. 29 Abi Umar YUsuf bin Abdullah bin Muhammad Abdul Bar An-Namiry al-Qurthuby, Al-Kafi fi fiqh ahlu al-Madinah al-Maliki, Dar al-Kutub Al-Ilmiyah Beirut, Libanon Tt. H. 291 9
7
dalam masa iddah meskipun si istri enggan tanpa perlu adanya Shadaq (pemberian) dan tidak juga wali. 2. Dari ulama Hanabilah sebagai berikut :
ٌخٛثعٚ : ٌٌٝٗ تعبٛ ٌم, جخٚ وس٘ت اٌصٌٛٚ ) اٌعدحْٟ فِٛٓ شسغ اٌسجعخ (اْ تى 10
. ذاٌهٟ٘ٓ أدك ثسد ٘ـٓ ف
Maksudnya : Salah satu syarat rujuk itu adalah “ masih dalam masa iddah” meskipun si istri merasa enggan, dalil firman Allah SWT :
ذاٌهٌٟخ ٘ٓ أدك ثسد ٘ـٓ فٛثعٚ Artinya : dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu. 3. Dari Ulama Sayfi‟I menyatakan sebagai berikut :
ـبٙج١ص٠ ج دس غٍـك اِسأتـٗ ثعـد ِبّٚـب ش٠) زدّٗ اٌـٍٗ فأٝ(لبي اٌشبفعـ ٍٗـب ثدالٌـخ وتـبة اٌـٙ عدتٝـب ِـبٌُ تٕمعـٙ أدـك ثسجعتٛـٙـٓ ف١ اثٕتٚادـدح أٚ 11
ًجــٚعـص
Maksudnya : Bahwa siapa saja dari para suami merdeka yang telah mentalak istrinya setelah ia berhubungan dengannya, baik talak satu ataupun dua, maka ia suami tersebut berhak untuk merujuk (istri)nya , selagi belum habis masa iddahnya, hal ini didasarkan kepada dalil kitabullah (Al-Qur‟an 4. Dari kalanga ulama Hanafiyah sebagai berikut :
بٙ عدتٟب فٙساجع٠ ْ فٍٗ ا,ٓ١مت١ٍ تطٚخ ا١مخ زجع١ٍاذا غٍك اٌسجً اِسئتٗ تطٚ 12
)فٚ ٘ٓ ثّعسٛ (فبِسىٌٌٝٗ تعبٛ ٌُ تسض ٌمٚت ثرٌه ا١زظ
Maksudnya : Apabila seorang laki-laki menthalak istrinya dengan satu kali talak raj‟I atau dua kali, maka baginya (laki-laki) hak untuk merujukinya selagi masih dalam masa iddah, baik (si istri) ridho ataupun tidak, dalil firman Allah SWT :
ٓ٘ ٛفبِسى
فٚثّعسartinya :maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf.
10 11
Al-Syaibani, Al-Mu‟tamad fi fiqih Imam Ahmad (Damaskus- Dar al-Khair, 1991) h. 276 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris Al-Syafi‟I, Al-Um,juz VDar al-Fikr .h.260
12
Abi Hasan bin Ali bin Abi Bakar bin Abdul Jalil, Al-Rusydany al-Maghritany, Al-HIdayah syarah bidayah al-Mubtadi, Dar Kuti=ub al-Ilmiyah Beirut Libanon, 2000 Jilid I, h. 284
8
Dari keterangan beberapa literatur di atas dapat dilihat dengan jelas perbedaan yang ada antara ketetapan KHI dengan pendapat mazhab sunni tentang proses pelaksanaan rujuk. Bahwa menurut kalangan ulama Sunni tidak perlu adanya persetujuan istri terhadap keinginan rujuk yang dilakukan oleh suaminya.Sedangkan KHI manjadikan persetujuan istri sebagai syarat untuk diterimanya keinginan rujuk yang diajukan oleh suaminya. Yang jelas meski kedua ketetapan hukum di atas terlihat berbeda namun pada hakikatnya keduanya menginginkan adanya suatu aturan yang menjadi pedoman dalam proses pelaksanaan rujuk. Hanya saja kemungkinan-kemungkinan kemaslahatan yang ingin dicapai dari masing-masing ketetapan yang berbeda. Hal terpenting yang perlu diteliti dalam masalah ini adalah rumusan hukum yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, sebab seperti yang diketahui bahwa KHI merupakan sarana aplikasi dari ketetapan hukum yang diproduk oleh para imam mazhab, namun pada kenyataannya KHI malah melakukan penetapan hukum yang berseberangan dengan pendapat para imam mazhab.Tentu dalam hal ini KHI harus memiliki suatu sudut pandang yang khusus yang menyebabkan terbentuknya ketetapan tersebut. Dalam hal ini penulis melihat adanya semacam unsur kemaslahatan lain yang ingin dicapai oleh KHI, mengingat kondisi masyarakat yang menjadi konsumen hukumnya adalah masyarakat Islam Indonesia. Namun kondisi yang bagaimanakah yang menyebabkannya inilah yang harus dibuktikan dan dikompromikan secara lebih tegas dan terperinci. Atau adanya kemungkinan lain, seperti adanya isyarat-isyarat nash bagi KHI yang memberikan peluang untuk dapat mengambil suatu ketetapan yang lain pula .
B. Rumusan dan Batasan Masalah Dari sekilas analisa penulis di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Mengapa perumus KHI mensyaratkan adanya persetujuan istri terhadap kehendak rujuk yang diajukan oleh bekas suaminya. 2. Mengapa Ulama Sunni tidak mensyaratkan persetujuan istri ketika hendak dirujuk oleh bekas suaminya. Sedangkan batasan masalahnya adalah pembahasan KHI tentang Rujuk pasal 164 dan 165 yang dikomparasikan dengan pendapat mazhab Sunni.
9
D. Definisi Operasional Persetujuan Istri dalam rujuk, analisis perbandingan antara Kompilasi Hukum Islam dengan Fiqih Empat Mazhab Sunni. Untuk memudahkan pemahaman terhadap judul ini, penulis akan menguraikan secara teknis istilah-istilah yang dianggap penting sebagaiberikut : Rujuk
: 13
اٌعدحٝض ِبداِت فٛ استداِخ اٌٍّه اٌمبئُ ثال ع.1
Artinya : meneruskan hak milik (perkawinan) yang masih ada tanpa ada ganti rugi selama masih dalam masa iddah. Kompilasi Hukum Islam: Adalah himpunan dan kumpulan fikih dan sebagian mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat dengan melihat titik temunya secara universal dengan konsep-konsep fikqih dan merupakan bagian hukum nasional yang dicita-citakan menuju kodifikasi hukum dalam bentuk undang-undang14. Kompilasi Hukum Islam diberlakukan di Indonesia berdasarkan kepada Instruksi Presiden No. 1 Th.1991. kemudian diantisipasi secara organik dengan Keputusan Mentri Agama No. 154 Th. 1991.15 Fiqih Mazhab Sunni: Merupakan suatu bidang ilmu dalam syari‟at Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum
yang mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun hubungan dengan penciptanya, yang penisbahannya adalah kepada para imam mazhab sunni
E. ANALISIS PERBANDINGAN `A. Proses Pelaksanaan Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam Proses pelaksanaan rujuk yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam, terdapat dalam BUKU I tentang Hukum Perkawinan pada bab XVIII. Di dalam bab tersebut diuraikan prosesnya dalam bentuk pasal-pasal yaitu sebanyak tujuh pasal yang dimulai dari pasal 163 sampai dengan pasal 169 yang terbagi pula kepada dua bagian, dengan urutan isi tiap-tiap pasal sebagai berikut : BAGIAN KESATU (UMUM) Pasal 163 : 13
Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar, (Mesir : Mustafa Al-Babi al-Halabi wa auladuh, 1996) juz III, h. 397 Abdul Ghani Abdullah, Kehadiran KHI dalam HUkum Indonesia,Pendekatnteoritis dalam DITBINBAPERA Islam, Berbagai Pandangan Terhadap KHI, ( Jakarta : Al-Himah, 1993) cet, I.h.72 15 Ibid 14
10
(1) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla al dukhul; b. Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasanalasan selain zina dan khuluk. Pasal 164 : Seorang wanita dalam iddah talak raj‟I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi. Pasal 165 : Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama. Pasal 166 : 72 Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti Rujuk harus dapat dibuktikan dengan tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula. BAGIAN KEDUA (TATA CARA RUJUK) Pasal 167 : (1) Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan. (2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. (3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj‟I, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya. (4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. (5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. 11
Pasal 168 : (1) dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah
yang melayaninya,
disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan. (2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. (3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya. Pasal 169 : (1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama. (2) Suami istri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk. (3) Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.16 Dari pemaparan rinci tentang proses pelaksanaan rujuk yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di atas, dapat dengan jelas kita pelajari bagaimana proses tersebut dilaksanakan. Bahwa dalam pelaksanaannya, rujuk tersebut harus melalui tahapan-tahapan dan ketentuan –ketentuan yang baru yang harus di taati oleh kedua belah pihak. Proses ini termasuk hasil ijtihad para ulama yang menginginkan pembaharuan dan perbaikan serta kemaslahatan ummat, khususnya ummat Islam di Indonesia.
16
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 200) h. 74-77.
12
B. Proses Pelaksanaan Rujuk Menurut Empat Mazhab Sunni. Rujuk dalam istilah para ulama mazhab, adalah menarik kembali wanita yang ditalak dan mempertahankan (ikatan) perkawinannya.Hukumnya, menurut kesepakatan para ulama mazhab, adalah boleh. Rujuk tidak membutuhkan wali, mas kawin, dan tidak pula kesediaan dari istri yang ditalak. Ini berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228 yaitu :
Artinya :„
dan suami-suaminyaberhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
Dan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 yaitu :
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhiriddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Maksudnya adalah apabila kaum wanita tersebut sudah mendekati masa akhir „iddah mereka, suami-suami mereka boleh merujuki mereka dengan cara yang baik atau melepaskan mereka ( menceraikan mereka) dengan cara yang baik pula.. Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang dirujuki itu masih berada dalam masa iddah dari talak raj‟I.Dengan demikian wanita yang ditalak ba‟in, sekalipun belum dicampuri, tidak boleh dirujuk, sebab wanita tersebut tidak mempunyai iddah.Juga tidak diperbolehkan merujuk wanita yang ditalak tiga karena untuk kembali kepadanya dibutuhkan seorang muhallil.Demikian pula halnya dengan wanita yang ditalak melalui khulu‟, karena sudah terputusnya tali perkawinan antara mereka berdua. Mereka juga sepakat bahwa, rujuk bisa dilakukan dengan perkataan, (ucapan), namun mereka mensyaratkan hendaknya kalimatnya tegas dan tidak digantungkan pada sesuatu.Kalau si suami mengungkapkan rujuknya dengan disertai ta‟liq, misalnya dengan mengatakan, “saya merujukmu jika engkau mau,” maka rujuknya tidak sah. Berdasarkan itu, bila sesudah menyampaikan maksudnya tersebut tidak keluar tindakan atau ucapan yang tegas yang membuktikan rujuknya hingga wanita tersebut menyelesaikan masa iddahnya, maka 13
wanita tersebut menjadi wanita lain ( bukan istri) baginya. Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang terjadinya rujuk melalui perbuatan, semisal mencampuri dan pendahuluan-pendahuluan ke arah pencampuran tanpa diawali dengan ucapan. Syafi‟I mengatakan : rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, rujuk tidak sah bila dilakukan dengan mencampurinya sungguhpun hal itu diniatkan sebagai rujuk.Suami haram mencampurinya dalam iddah. Kalau dia melakukan hal itu, ia harus membayar mahar mitsil, sebab pencampuran tersebut tergolong pada pencampuran yang syubhat.17 Maliki mengatakan : rujuk boleh (sah) dilakukan melalui perbuatan yang disertai niat untuk rujuk. Akan tetapi bila suami mencampuri istrinya tersebut tanpa niat rujuk, maka wanita tersebut tidak bisa kembali (menjadi istrinya) kepadanya.Namun pencampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya hadd (hukuman) maupun keharusan membayar mahar.Anak yang lahir dari pencampuran tersebut dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampuri itu.Wanita tersebut harus mensucikan dirinya dengan haidh manakala dia tidak hamil. Hambali mengatakan : rujuk hanya terjadi menlalui pencampuran. Begitu terjadi pencampuran, maka rujuk pun terjadi, sekalipun laki-laku tersebut tidak berniat rujuk. Sedangkan bila tindakan itu bukan pencampuran, misalnya sentuhan atau ciuman yang disertai birahi dan lain sebagainya, sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya rujuk.18 Hanafi mengatakan : rujuk bisa terjadi melalui pencampuran, sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang dilakukan oleh laki-laki yang menalak dan wanita yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu disertai dengan birahi.19
C. Analisis Perbandingan antara Proses Pelaksanaan Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam dengan Fikih Empat Mazhab Sunni. Dari paparan dua proses pelasanaan rujuk di atas, yang menjadi titik poin pembahasan penulis yaitu pada pasal 164 dan 165 KHI, yang di dalam pasal tersebut mensyaratkan adanya persetujuan istri dalam proses rujuk yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap istri yang telah ditalaknya. Dalam pasal tersebut secara tegas menyebutkan bahwa ; Seorang wanita dalam iddah talak raj‟I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas 17
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (PT. Lentera Basritama, 1999) cet. IV. H. 483 Ibid 19 Ibid 18
14
suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi (pasal 164), kemudian ditegaskan lagi pada pasal berikutnya yaitu;Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama (pasal 165). Sedangkan pasal-pasal lainnya seperti pasal 163, isinya sesuai dengan ketentuan para Imam Mazhab dan pasal 166 sampai dengan pasal 169 isinya hanya sebagai kelengkapan administrasi dan petunjuk teknis pelaksanaan rujuk yang diberlakukan pada tiap-tiap lembaga yang mengurusnya. Jadi hal tersebut tidak terlalu menjadi poin bagi penulis karena penulis menilai hal itu hanyalah untuk maslahah saja. Sementara dari yang penulis lihat dalam ketetapan para Imam Mazhab mereka sepakat menetapkan bahwa tidak disyaratkan persetujuan istri atas kehendak rujuk suaminya.
غبئجخ صذتٟ٘ٚ بٙاْ زاجعٚ جخ ثال خالفٚ زظب اٌصٌٝاٌسجعخ التفتمس ا 20
س ثال خالفِٙ الٚ ضٛ عٌٝفتمس ا٠ الٚ اٌسجعخ
Maksudnya : Rujuk itu tidak membutuhkan persetujuan dari istri, tanpa ada perbedaaan pendapat (dikalangan ulama), meskipun ketika dirujuk si istri sedang ghaib ( tidak berada ditempat), maka rujuk tersebut dinyatakan sah. Dan dalam rujuk itupun tidak dimintakan “iwadh dan tidak pula mahar.Juga hal ini tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan ulama).
Dalam redaksi lainnya dinyatakan :
ٍٝاجّع اٌعٍّبء عٚ ْ اٌثالثٚـب دّٙـٓ وبْ غالل١ٓ ادك ) دىُ خبص فٌٙتٛثعٚ ( ـٓ أٗ ادك١مت١ٍ تطٚمـخ ا١ٍب تطٙال ثٛوبٔت ِدخٚ جتٗ اٌذسٚاْ اٌذس اذا غٍك ش 21
Maksudnya yaitu :
اْ وس٘ت اٌّسأحٚ بٙب ِبٌُ تٕمط عدتٙسجع٠
bahwa lafazd “wa bu’u latu hunna ahaqqu biraddihinna” adalah ketentuan hukum yang berlaku bagi selain talak tiga, dalam hal ini ulama sepakat bahwa bila seorang lelaki yang menthalak istrinya baik talak satu maupun dua, maka ia (lelaki tersebut) berhak merujuki bekas istrinya tersebut selagi masih dalam masa iddah meskipun bekas istrinya tersebut enggan.
20
Abi Ja‟far Muhammad bin Hasan bin Ali al-Thusi, Al-Mabshuth, juz V Maktabah Murthadhoiwiyah,
tt, h 111. 21
ِAl-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshiry Al-Qurthuby, Al-Jami‟ li Al-Ahkam Al-Quran,Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut Libanon, jilid II. Tt. h. 120
15
Dari dua ketetapan ini jelas nampak adanya suatu perbedaan. Dalam KHI ; ada menetapkan persetujuan istri sebagai syarat atas kehendak rujuk bekas suaminya. Bahkan menetapkan bahwa pengadilan berhak menolak kehendak rujuk seorang suami yang tidak disetujui oleh istrinya. Sementara dari kalangan para Imam Mazhab menetapkan bahwa suami berhak merujuk istrinya yang ditalak raj‟I tersebut tanpa harus ada persetujuan dari istri, bahkan meskipun sang istri merasa enggan sekalipun. Dua ketetapan yang berbeda antara KHI dengan Imam Mazhab ini tentulah masingmasing memiliki dalil yang mendukung ketetapan tersebut, untuk itu penulispun akan memaparkan apa yang menjadi dalil atas masing-masing ketetapan tersebut. Dari hasil diskusi penulis dengan Prof. DR. Amir Syarifuddin, penulis mendapat keterangan bahwa yang mendasari ketetapan adanya persetujuan istri tersebut dikaitkan dengan bahwa harus adanya persetujuan yang dimintakan kepada seorang wanita al-ayyim (janda) dan izin bagi wanita Bikr (perawan) ketika ia hendak dinikahkan. Dasar hukumnya yaitu hadist Nabi Saw yang berbunyi :
سٍـُ التٕـىـخٚ ٗـ١ٍ هللا عٍٝي هللا صٛ هللا عٕٗ لبي لبي زسٟسح زظ٠ ٘سٝعٓ اثٚ بٙٔف اذ١وٚ ي هللاٛبزس٠ اٌٛ تستـبذْ لبٝالتٕـىـخ اٌجىـس دتٚ تسـتبِـسُٝ دت٠األ 22
Artinya :
)ٗ١ٍلبي اْ تسىت (ِتفك ع
Dari Abi Hurairah r.a dia berkata : telah bersabda Rasulullah Saw. : janganlah kamu menikahkan janda sebelum kamu memintakan persetujuannya, dan janganlah kamu menikahkan gadis perawan sebelum meminta izinnya, mereka (para sahabat) bertanya : Ya Rasulullah : bagaimana bentuk izinnya ? Rasul menjawab : yaitu diamnya .
Dari pemahaman hadist tersebut, maka timbullah ketetapan bahwa harus adanya persetujuan istri dalam proses rujuk, sebagaimana harus adanya izin bagi wanita Bikr (perawan) dan persetujuan secara langsung bagi wanita al-ayyim (janda) ketika ia hendak dinikahkan. Bila penulis amati, keterangan di atas menunjukkan adanya upaya peng-qiyasan yang dilakukan oleh perumus KHI dalam menetapkan adanya persetujuan istri yang hendak dirujuk oleh suaminya dengan proses pelaksanan sebuah pernikahan.
22
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, op.cit. h. 118.
16
Kemudian ditambahkan pula bahwa yang mendasari ketetapan tersebut adalah maslahah. Dengan alasan untuk memelihara keselamatan sang istri, yang dikhawatirkan akan menjadi objek kesewenangan dari suaminya. Dasar hukum kemaslahatan ini adalah kaedah ushul yang berbunyi :
ِٓ جٍـت اٌّصــبٌخٌٝٚدزء اٌّفــبسد أ Artinya : Menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada mengambil kemaslahatan. 23 Sedangkan menurut pendapat para Imam Mazhab, yang menjadi dasar penetapan hukum bahwa tidak memerlukan persetujuan istri dalam proses rujuk adalah firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 228 yaitu :
Artinya :„
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
Maka menurut para ulama mazhab ayat di atas bermakna jelas bahwa rujuk itu adalah hak suami kepada istri yang ditalaknya, selagi rujuk itu dilakukan terhadap talak yang bersifat raj‟I dan masih dalam masa iddah. Seperti beberapa ungkapan para ulama sebagai berikut :
اجّع اٌعٍّبءٚ ْ اٌثالثٚب دّٙٓ وبْ غالل١ٓ ادك ) دىُ خبص فٌٙتٛثعٚ (
-١
ٗٔٓ ا١متـ١ٍ تطٚمـخ ا١ٍب تطٙال ثٛوبٔت ِدخٚ جتـٗ اٌذسٚ اْ اٌذس اذا غٍك شٍٝع 24
Maksudnya yaitu :
اْ وس٘ت اٌّسأحٚ بٙب ِبٌُ تٕمط عدتٙسجع٠ ادك
bahwa lafazd “wa bu’u latu hunna ahaqqu biraddihinna” adalah ketentuan hukum yang berlaku bagi selain talak tiga, dalam hal ini ulama sepakat bahwa bila seorang lelaki yang menthalak istrinya baik talak satu maupun dua, maka ia (lelaki tersebut) berhak merujuki bekas istrinya tersebut selagi masih dalam masa iddah meskipun bekas istrinya tersebut tidak setuju.
23
24
Ibn. Nujaim,al-Asybah wa naza‟ir (Kairo: Musa‟adah al-Halabi, 1968)h. 90. Al-Qurthuby, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Al-Quran, h. 120
17
غبئجـخ صذتٟ٘ٚ بٙاْ زاجعٚ جخ ثال خالفٚ زظب اٌصٌٝ اٌسجعخ التفتمـس ا-٢ 25
ـس ثال خالفِٙ الٚ ضٛ عٌٝفتمـس ا٠ الٚ اٌسجعخ
Maksudnya : Rujuk itu tidak membutuhkan persetujuan dari istri, tanpa ada perbedaaan pendapat (dikalangan ulama), meskipun ketika dirujuk si istri sedang ghaib ( tidak berada ditempat), maka rujuk tersebut dinyatakan sah. Dan dalam rujuk itupun tidak dimintakan “iwadh dan tidak pula mahar.Juga hal ini tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan ulama).
ـبٍٙ جعٌٝتعـبٚ ٌـٗ ألْ اٌـٍٗ تجـبزنٟٙ فّـٓ أزاد اٌسجعـخ ف---)ٝ (لبي اٌشبفعـ-٣ ـبٙج١ص٠ ج دس غٍـك اِسأتـٗ ثعـد ِبّٚـب ش٠) زدّٗ اٌـٍٗ فأٌٝـٗ (لبي اٌشبفعـ ٍٗـب ثدالٌـخ وتـبة اٌـٙ عدتٝـب ِـبٌُ تٕمعـٙ أدـك ثسجعتٛـٙـٓ ف١ اثٕتٚادـدح أٚ 26
Maksudnya :
ًجــٚعـص
“Imam Syafi‟I berkata” : ….siapapun yang ingin melakukan rujuk, maka hal itu adalah haknya (suami), hal ini dikerenakan Allah telah menjadikan rujuk itu sebagai haknya (suami). Syafi‟I menambahkan : bahwa siapa saja dari para suami merdeka yang telah mentalak istrinya setelah ia berhubungan dengannya, baik talak satu ataupun dua, maka ia suami tersebut berhak untuk merujuk (istri)nya , selagi belum habis masa iddahnya, hal ini didasarkan kepada dalil kitabullah (Al-Qur‟an).
غٍمـخ, أِـخٚب دسح وبٔت إِٔٙ ضٛـس ع١اذا غٍـك ) اٌذـس (اِسأتـٗ) ثغٚ( -٤ ٛ٘ٚ جت اٌـعدحٛ٠ ٗٔ أٍٝ ثٕـبء ع, اٌدثـسٟ فٌٛٚ ـبٙغئٚ ـٓ)ثعـد١اثٕتٚادـدح أٚ( اٌّعتّـدٍٝ استـدخٍـت ِبءٖ اٌّذتـسَ فبءْ اٌسجـعخ تثجـت ثٗ عٛورا ٌـٚ ,األصـخ ٌٌٝـٗ تعبٛـب) ٌمٙد٘ـب (ِـبٌُ تٕمط عدت١اذْ سٚ ـبٙٔـس اذ١ب) ثغٙ(فٍٗ ِساجعـت
25
Abi Ja‟far Muhammad bin Hasan bin Ali al-Thusi, Al-Mabshuth, juz V Maktabah Murthadhoiwiyah,
tt, h 111. 26
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris Al-Syafi‟I, Al-Um,juz VDar al-Fikr .h.260
18
وبٔذـمبٌسجٌٛٚ>< 27
.ـٕبٌٕىبحٍٙجـبد١ٔــــبٌّبوب١عخثبل
Maksudnya : Apabila seorang suami merdeka telah mentalak istrinya tanpa ada permintaan iwadh dari istrinya tersebut baik ia seorang wanita merdeka atupun seorang budak, talak yang dijatuhkan baik talak satu ataupun dua dan setelah digaulinya meskipun pada duburnya, maka hal itu menunjukkan bahwa sudah adanya kewajiban iddah (pada istrinya) ini adalah pendapat yang tershahih.Demikian juga apabila telah dimasukkan air kedalam rahim (istri) maka status rujuk mutlak padanya (suami) ini adalah pendapat yang mu‟tamad. Maka ia (suami) berhak merujuk istrinya tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu kepadanya (istri) ataupun kepada tuannya, selagi belum habis masa iddahnya. Hal ini didasari oleh firman Allah :
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya. Dalil ini menunjukkan bahwa hak rujuk suami tetap ada selagi belum sampai masa yang membolehkan baginya (istri) tersebut menikah lagi. Menurut analisa penulis yaitu bahwa Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi : pertama, sebagai control sosial dan kedua, sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial. Fungsi yang pertama ditempatkan dalam hukum Islam sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua hukum Islam merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan ummat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi dalam memenuhi kebutuhan ummat.
27
Muhammad Syarbaini al-Khatib, Al-Iqna’, Dar al-Fikr. H. 449
19
Apabila hukum Islam kehilangan aktualitasnya dalam memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan terhadap permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat, maka akan dikhawatirkan suatu ketika ummat Islam meragukan eksistensi Islam itu sendiri bahkan bisa jadi pada akhirnyamenghilangkan kepercayaan ummat Islam terhadap Kitab Sucinya. Kecenderungan seperti itu bukan tidak mungkin terjadi, sebab bila kita perhatikan secara seksama terhadap apa yang dilakukan oleh kalangan muslim sekularis yang mengadopsi system hukum Barat mentah-mentah untuk diterapkan bagi ummat Islam adalah suatu indikasi dari analisis di atas. Dan tentunya hal ini akan sangat merugikan ummat Islam itu sendiri, karena hukum tersebut akan terasa asing karena bukan berasal dari tradisi mereka sendiri. Di lain pihak kita juga menyadari bahwa formulasi hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih peninggalan para fuqaha pun. dalam beberapa aspek ada yang telah kehilangan kemampuan transformasinya. Bila formulasi hukum Islam out of date itu tetap dipaksakan penerapannya dikhawatirkan akan menimbulkan pertentangan – pertentangan di kalangan masyarakat. Sehingga pada akhirnya akan menimbulkan konflik-konflik internal dan bahkan mungkin konflik eksternal yang merugikan dan hal itu tidak perlu terjadi. Hukum Islam bukanlah sistem yang kaku dan hanya memiliki satu standar kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Hukum Islam tumbuh dan berkembang melalui proses evolusi yang sangat panjang mulai dari tahun pertama kenabian sampai sekarang, atau dengan kata lain apa yang kita pahami tentang hukum Islam pada saat ini – disadari atau tidak – sebenarnya merupakan pembakuan dan pemberlakuan yang sebelumnya telah mengalami proses kritik dan dinamika sosio-kultural. Kita mengetahui, secara geografis syariat Islam mencakup seluruh dunia Islam yang terdiri dari batas-batas wilayah, aneka bangsa, berbagai budaya dan beragam masalah kontemporer. Syariat Islam itu, dengan segala teks rujukan dan kaidahnya sesaatpun tidak pernah mandek menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang terus berubah.Kemampuan syariat Islam memenuhi kebutuhan setiap masyarakat yang dinaunginya dan memberika jalan keluar yang paling adil serta maslahat bagi setiap masalah, ditunjang kuat oleh dua hal.Pertama, kesempatan. Kedua, faktor-faktor pokoknya, yakni asas utama kokoh dan berlandaskan pemahaman rasional, bersifat realistis dan sesuai dengan fitrah, menjaga keseimbangan hak dan kewajiban, rohani dan jasmani, dunia dan akhirat, menegakkan keadilan di tengah-tengah kehidupan, mengupayakan kemaslahatan dan kebaikan, serta menolak kerusakan dan 20
kejahatan secara maksimal. Oleh Allah syariat ini diberi sifat luwes, sehingga dapat menyelesaikan setiap masalah baru yang timbul dalam kehidupan manusia. Hukum Islam sebenarnya bukanlah Islam itu sendiri, akan tetapi semata-mata merupakan hasil interprestasi para yuris terhadap sumber-sumber utama ajaran Islam yaitu AlQuran dan Al-Sunnah.Hukum Islam merupakan produk pemahaman manusia tentang sumber – sumber Islam dalam konteks sejarah sejak abad ketujuh sampai abad kesembilan, selama priode tersebut para ahli hukum Islam telah menafsirkan Al-Quran dan sumber-sumber lain dalam rangka mengembangkan suatu sistem syari’ah yang komprehensif dan koheren sebagai petujuk bagi kaum muslim. Jadi bila kita ikuti cara pandang di atas, maka setidaknya kita bisa menduga bahwa apa yang sebenarnya terjadi itu adalah sebuah produk pemikiran hukum Islam yang disusun berdasarkan kondisi objektif saat itu, yaitu meliputi kesamaan atau perbedaan sebab atau illat atau perbedaan budaya masyarakat. Yang keduanya itu sedikit banyak akan mempengaruhi dalam memformulasikan hukum Islam yang diharapkan. Sebagai contoh : apa yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab tentang pembagian rampasan perang (ghanimah). Dalam Al-Quran Surat al-Anfal ayat 41 yang berbunyi :
Artinya : Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dari pemahaman ayat di atas diketahui bahwa ghanimah atau rampasan perang itu setelah dikurangi seperlima untuk kegiatan keagamaan, sosial seperti penyantunan anak-anak yatim, fakir miskin dan sebagainya maka sisanya atau yang empat perlimanya dibagikan 21
kepada mereka yang ikut berperang.Sebelum kekhalifahan Umar yang dibagikan tersebut bukan hanya benda-benda bergerak, tetapi juga benda yang tidak bergerak seperti ladang, perkebunan di wilayah yang telah ditaklukkan tersebut. Setelah kekhalifahan di tangan Umar, sewaktu tentara Islam berhasil menaklukkan Suriah, Iraq, dan Khurasan, Umar menolak membagi-bagikan tanah dan wilayah-wilayah yang baru dikuasai itu kepada para pejuang yang ikut berperang. Dia membiarkan tanah-tanah itu dikuasai oleh para pemilik aslinya, hanya dibebankan kepada mereka pembayaran pajak tanah dan jizyah sebagai imbalan dari kebebasan yang diberikan kepada mereka untuk tetap memeluk agama asli mereka. Pajak tanah dan jizyah itu dikumpulkan dan dikelola oleh bayt al-mall atau perbendaharaan Negara, yang kemudian dipergunakan untuk pembiayaan kegiatan kenegaraan dan pemerintahan. Kebijakan Umar tersebut ditentang oleh banyak peserta perang, termasuk sejumlah sahabat senior seperti Bilal, abd rahman ibn Auf dan Zubair ibn Awwam.Maka terjadilah perdebatan antara mereka selama tiga malam. Bila kita mengikuti perdebatan mereka, sekilas memang Umar telah melakukan kesalahan fatal dengan mengabaikan pesan tekstual AlQuran, akan tetapi apabila kita tilik lebih jauh dengan menggunakan konsep mashlahah mursalah dan maqashid syari’ah, maka apa yang dilakukan ‘Umar itu berkesesuaian dengan semangat (ruh) Al-Quran secara keseluruhan yaitu agar “harta tidak berputar pada orang-orang tertentu saja.” Sehingga dalam kasus ini „Umar sebenarnya bukan mengingkari nash, tetapi beralih dari suatu mashlahah yang terdapat pada nash tetentu kepada mashlahat yang terkandung pada nash yang lain. Dengan demikian kategori mashlahah yang dipakai dalam kasus benda rampasan itu masih berkutat pada nash. Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar mengatakan : “sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan zaman, tempat dan situasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada saaat dibutuhkannya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu yang lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum tersebut dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan itu.28 Beranjak dari kilasan paparan di atas maka, pada dasarnya penulis sepakat dengan apa yang telah menjadi ketetapan para ulama mazhab, bahwa bagi seorang suami memiliki hak atas kehendak rujuk yang diajukanya kepada istri yang telah ditalak raj’I olehnya selagi
28
Muhammad Rasyid Ridha , Tafsir Al-Manar. Juz I (Beirut:Dar al-Maarif, t.th) h. 414.
22
masih dalam masa iddah. Karena dalil yang menjadi pedoman para ulama dalam menetapkan hukum tersebut adalah Qath’I, yaitu firman Allah Swt. Q.S.Albaqarah 228 yang berbunyi :
„„„„„dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
Dalil yang dipakai oleh para ulama mazhab ini adalah dalil yang tidak bisa dibantah berdasarkan analisa-analisa keilmuan , seperti misalnya asas-asas keadilan, HAM dan lain sebagainya, karena dalil ini berasal dari Zat Yang Maha Adil, jadi sangat tidak benar bila ada penilaian yang menyatakan bahwa kandungan hukum yang terdapat di dalam ayat tersebut tidak mengandung atau melanggar asas keadilan . Apalagi bila dikaitkan dengan pelanggaran akan Hak Asasi Manusia, hal ini sangat mustahil sekali karena ketentuan tersebut berasal dari Zat yang telah menciptakan manusia, dan sekaligus yang berkuasa untuk memberikan ataupun tidak akan hak-hak atas kemanusiaan itu sendiri. Jadi ketentuan hukum yang ditetapkan oleh para ulama mazhab tersebut adalah mutlak yang harus diberlakukan dalam kondisi ideal sesuai dengan kehendak dan tujuan dari penetapan hukum tersebut. Lalu bagaimana ketetapan yang ada pada Kompilasi Hukum Islam, yang menerapkan bahwa kehendak rujuk suami sangat ditentukan oleh persetujuan istri. Seperti yang tersurat dalam pasal 164 : Seorang wanita dalam iddah talak raj‟I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi. Pasal 165 : Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama. Dalam perkembangannya, hukum Islam sangat ditentukan oleh peralihan zaman dan keadaan. 29
األِىـٕــخٚساألشِٕــخ١ــساألدىـبِجتغ١تغ
Maksudnya : Perobahan suatu hukum seiring dengan perubahan waktu dan tempat. 29
Mustafa Ahmad al-Zarqa‟, al-Madkhal al-fiqh al-Am, Beirut Dar al-Fikri, cet 10 jilid II, 1968, h. 964
23
30
ايٛاألدٚ س األشِٕخ١ ثتغٜٛس اٌفت١تغ
Maksudnya : Perubahan suatu fatwa seiring dengan perubahan waktu dan keadaan. 31
ْس األشِب١س األدىبَ ثتغ١ٕىس تغ٠ال
Maksudnya : Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan suatu hukum seiring dengan perubahan zaman. Ketetapan hukum yang berkaitan dengan kemanusiaan (sosial kemasyarakatan) memiliki sifat dinamis dan fleksibel agar tetap dapat eksis di lingkungan masyarakat, dan hukum Islam tetap dapat menjadi acuan dalam tatanan hukum bermasyarakat. Dinamisasi dan fleksibelitas yang terjadi pada hukum Islam tetap memiliki metode yang harus dipenuhi agar peralihan atau perkembangan hukum yang terjadi tetap berpijak kepada dalil-dalil dan metode-metode hukum Islam yang telah disepakati oleh para ulama. Faktor yang paling dominan, yang mempengaruhi terjadinya peralihan suatu hukum yaitu peralihan waktu dan tempat. Dimana suatu hukum asal tidak dapat ditetapkan disuatu tempat atau waktu tertentu mengingat tempat atau waktu tersebut sangat tidak memungkinkan untuk diterapkan hukum tersebut, bahkan bila dipaksakan maka dapat menimbulkan suatu permasalahan baru yang tingkat kemudhartannya lebih besar dari manfaat yang dapat dicapai, hal ini tentunya sudah keluar dari tujuan ditetapkannya hukum tersebut. Beralihnya suatu hukum asal yang disebabkan oleh peralihan waktu atau tempat, bukan berarti hukum tersebut hilang atau tidak benar.Akan tetapi masyarakat hukum di waktu dan tempat itulah yang sudah bergeser dari keadaan ideal. Jadi bukan hukumnya yang tidak benar atau salah akan tetapi masyarakat hukumnya yang sudah tidak pada posisi atau keadaan yang ideal sehingga hukum tersebut terpaksa tidak dapat diterapkan dan memaksa untuk ditetapkannya suatu ketetapan baru yang dikondisikan dengan peralihan waktu dan tempat tersebut. Dan pemberlakuan hukum baru tersebut hanya pada waktu dan tempat itu saja dan tidak berlaku umum untuk seluruh ummat Islam dimanapun mereka berada. Para ulama mujtahid telah meninggalkan metode-metode istinbath hukum yang berfungsi untuk mengembangkan hukum islam di zaman sesudah mereka. Hal ini mereka lakukan kerena kesadaran tinggi yang mereka miliki tentang pemtingnya pengembangan hukum islam di masa sesudah mereka, dan peningalan inipun membuktikan bahwa mereka
30
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lam al-Muwaqqiin, Dar al-Qutub al-Ilmiyah, jilid III. 1996, h. 36 Al-syekh Ahmad bin Al-Syekh Muhammad Zarqa, Syarah al-Qawa‟id al-Fiqhiyah, Dar al-Qalam Damaskus, cet, IV. 1996, h. 227 31
24
menginginkan adanya pengembangan hukum dalam islam dan tidak hanya kaku terikat pada pengembangan hukum yang telah dilakukan di masa mereka. Upaya yang dilakukan oleh para ulama mujtahid itulah yang menjadikan hukum islam itu akhirnya menjadi dinamis dan fleksibel sehingga senantiasa eksis dan aktual di setiap waktu dan tempat sepanjang zaman. Pengembangan yang terjadi dalam hukum Islam harus mengutamakan kemaslahatan ummat. Karena kemaslahatan dalam Islam merupakan tujuan dari setiap penetapan hukumnya (maqashid al-syari‟ah). Kemaslahatan ummat yang menjadi pertimbangan itu bisa disebut kondisi sosial suatu masyarakat, kondisi masyarakat atau apa yang diyakini baik oleh ummat. Secara sosiologis satu dengan yang lain berbeda dengan satu situasi dan kondisi lingkungan setempat, antara satu masa dengan masa berikutnya. Konsekwensi logis menyebabkan hasil penggalian dan perumusan hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid tidak mesti sama dengan mujtahid lainnya. Setelah meninjau dan menganalisa lebih jauh dari apa yang telah penulis paparkan tentang perkembangan hukum Islam di atas, penulis menilai apa yang berlaku dalam Kompilasi Hukum Islam tentang pasal : 164 dan 165 tentang adanya persetujuan istri dalam menentukan diterima atau tidaknya kehendak seorang suami yang ingin merujuk kembali istrinya yang dalam tala’ raj’I serta masih dalam masa iddah, adalah suatu upaya pengembangan hukum Islam di Indonesia yang dilakukan oleh para ulama (mujtahid) yang berada di Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh para ulama Indonesia ini bukanlah merupakan penolakan terhadap ketetapan hukum Islam yang telah dilakukan oleh para ulama mazhab, akan tetapi merupakan upaya dinamisasi dan fleksibilitas serta pengembangan hukum islam khususnya di Indonesia. Berdasarkan pengamatan dan analisa penulis, apa yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 164 dan 165 ini merupakan pilihan yang tepat , mengingat kondisi masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam sudah mengalami proses peralihan waktu dan tempat yang sudah tidak memungkinkan untuk diberlakukannya ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama mazhab. Dalam banyak media kita dapati prosentase kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat tiap tahunnya.Yang dalam kekerasan itu sebagai objeknya kebanyakan adalah
25
kaum hawa yaitu para istri. Kekerasan yang terjadi tersebut berakibat kepada keselamatan hidup yang tidak terjamin bahkan sampai kepada keselamatan jiwa. Kondisi ini merupakan permasalahan serius, karena bertolak belakang dengan tuntunan
yang telah telah diajarkan oleh Rasulullah SAW yang berkaitan dengan
perlindungan hukum dan hak-hak perempuan. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi derajat seorang perempuan, menempatkannya sampai tiga kali lebih tinggi daripada derajat kaum laki-laki.Banyak kemuliaan telah diberikan oleh Islam kepada kaum perempuan. Perempuan adalah tonggak negara di tangan merekalah keberlangsungan dan kemakmuran suatu bangsa. Islam yang telah mengembalikan hak-hak perempuan yang dirampas dan dijajah oleh kaum laki-laki jahiliyah.Islam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dan memberikan hak-hak yang telah hancur berantakan diinjak-injak oleh kaum laki-laki dan telah dihancur luluhkan oleh tradisi-tradisi keagamaan, fanatisme golongan dan kebangsaan. Adapun hak-hak wanita yang telah dikembalikan oleh Islam menurut Huzaemah Tahido Yanggo adalah : (1) hak dalam pendidikan dan pengajaran, (2) hak perempuan atas harta, (3) hak perempuan atas warisan, (4) hak perempuan dalam perkawinan yang meliputi : (i) hak untuk memilih calon suami, (ii) hak untuk menerima mahar, (iii) hak untuk mendapatkan nafkah, (iv) hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik, (v) hak untuk memutuskan perkawinan, dan (vi) hak-hak perempuan sebagai akibat putusnya perkawinan; serta (5) hak perempuan dalam qishash32. Demikianlah fakta selama di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, kaum perempuan dapat menikmati kebebasan penuh untuk mengembangkan jati diri dan kepribadian mereka serta ikut ambil bagian dalam membentuk dan membangun masyarakat. Lebih dari itu, kaum perempuan dapat memanfaatkan kemerdekaan dan kebebasan yang dimilikinya, mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan public, bergabung dengan rekan-rekan mereka dalam ekspedisi-ekspedisi militer, memberikan suaka dan perlindungan bagi para pelarian, mencurahkan waktu untuk mempelajari Al-Quran dan Hadist, juga teologi, bepergian ke mana-mana serta bergerak secara bebas berbaur bersama laki-laki dengan tetap memiliki harga diri dan martabat. Namunapa yang telah diberikan Islam kepada kaum wanita dalam realita kehidupan sekarang ini masih jauh dari apa yang diharapkan. Kenyataan ini menimpa Negara-negara muslim , termasuk Indonesia, misalnya saja dalam beberapa kasus, hak-hak perempuan telah 32
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta : Penerbit Al-Mawardi Prima, cet, I, 2001, h. 1 dan 175-187
26
dicabut, bahkan hak-hak asasinya yang telah dijamin oleh Islam sekalipun. Kawin paksa, perceraian yang sewenang-wenang.Pembatasan pendidikan anak perempuan dan pembatasan peran perempuan di ruang public, dan perlakuan-perlakuan kejam lainnya.Berbagai indicator yang dicontohkan di atas, menunjukkan perlunya upaya pemberdayaan ekstra intensif. Khusus di Indonesia, data yang penulis kutip dari Kamala Chandrakirana (Ketua Komnas Perempuan) telah cukup memberikan gambaran kepada kita bagaimana kondisi ratarata keselamatan seorang wanita khususnya dalam sebuah ikatan rumah tangga di Indonesia. Kondisi ini semakin tahun semakin melonjak prosentasenya sehingga sangat menghawatirkan sekali bila tidak secepat mungkin dilakukan tidakan prepentif (pencegahan) . Maka dalam hal ini dapat digunakan sadd – azzari’ah sebagai metode istinbath hukumnya , artinya penetapan harus adanya persetujuan istri terhadap kehendak rujuk dari bekas suaminya seperti yang termaktub dalam KHI pasal 164 dan 165 tersebut adalah suatu tindakan sadd – azzari’ah (pencegahan) terhadap kemungkinan akan lebih meluasnya tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan rumah tangga yang berakibat kepada tidak terpeliharanya hak-hak istri dalam menjalani hidupnya sebagai pendamping suami. Artinya kemudharatan akan terus bertambah dalam kasus yang sama, untuk itu tindakan persetujuan istri dijadikan sebagai syarat oleh KHI untuk dapat diterima atau tidaknya kehendak rujuk dari bekas suaminya tersebut paling tidak untuk meminimalisir baik secara kualitas maupun kuantitas tindakan kekerasan tersebut. Tindakan sadd –azzari’ah dalam konteks ini sangat sesuai dengan ruh syari’at Islam, yaitu mencari kemaslahatan yang sebesar-besarnya dan meminimalisir sekecil-kecilnya kemungkinan mudharat yang akan terjadi. Adapun kaedah fiqih yang dapat diterapkan dalam kasus ini yaitu : 33
ٌىّٕجٍـجبٌّصــبٌخٚدزءاٌّفـــــــبســدأ
Artinya : menolak kerusakan lebih utama daripada mengambil manfaat. Maksudnya yaitu bahwa mafsadah (kerusakan) yang mungkin terjadi secara lebih meluas yang ditimbulkan dari akibat kesewenangan suami memperlakukan tindakan menthalak dan merujuk istrinya tersebut harus segera dicegah/dihindari meskipun masih adanya kemungkinan maslahat dalam tindakan tersebut. Maka mengingat kondisi inilah penulis menilai apa yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang pasal 164 dan 165 tersebut adalah salah satu tindakan positif untuk melakukan pencegahan agar kondisi tersebut tidak menjadi sangat meluas khususnya di 33
Ali Ahmad An-Nadwi ,al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Dar – AlQalam. Cet. V. th. 200 M. h. 207
27
lingkungan rumah tangga Muslim Indonesia. Hal ini merupakan tindakan yang memang seharusnya dilakukan bagi para mujtahid yang mengerti dan mawas akan kondisi perkembangan ummatnya, agar hukum Islam tetap aktual di lingkungan mereka. Keadah fikih lainnya yaitu : 34
دخّٛبٌّصٍذخاٌساجذخعٍىّفسدحاٌّسج٠تمد
Artinya : mendahulukan kemaslahatan yang lebih terukur daripadakemudharatan yang belum terukur. Maksunya adalah bahwa bilamana tingkat kemaslahatan yang akan diperoleh tersebut sudah dapat diketahui sedangkan kemungkinan mafsadah yang akan timbul masih diragukan, maka terhadap tingkat kemaslahatan tersebut harus ada kecondongan untuk lebih mendahulukannya ketimbang menghawatirkan sesuatu yang belum dapat dipastikan kemapsadahannya.. Dalam konteks ini sebagai kemaslahatannya yaitu lebih terpeliharanya hak- hak istri dalam rumah tangga, menghindari tindakan sewenang-wenang suami dalam menjatuhkan thalak dan merujuk kembali bekas istrinya, memberikan ruang gerak yang lebih kepada kaum istri untuk menentukan sendiri keinginannya dan kemaslahatan lainnya. Sedangkan kemudharatan yang mungkin timbul belum pernah ada data dan informasinya, masih sebatas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi saja. Dari analisa penulis di atas maka terjawab sudah apa yang menjadi rumusan masalah dalam tesis ini, dimana penulis menawarkan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan perbedaan pendapat yang terjadi antara Ulama Mazhab Sunni dengan Kompilasi Hukum Islam tentang status persetujuan istri dalam proses rujuk dari suami yang telah menjatuhkan thalaknya. Jadi antara ketetapan Ulama Mazhab Sunni dengan ketetapan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam sebetulnya bukanlah sebuah ketetapan yang kontradiktif, meskipun secara zahir ketentuannya berbeda. Hal ini tidak lain adalah disebabkan oleh bahwa perlunya dilakukan dinamisasi dan reaktualisasi terhadap hukum Islam khususnya di Indonesia dalam hal proses pelaksanaan rujuk. Mengingat kondisi masyarakat dan gejala-gejala serta akibatakibat yang ditimbulkan sudah mengarah kepada suatu tindakan yang menyalahi dari tujuan penetapan syari’ah itu sendiri.Bahkan memungkinkan untuk terjadinya tindak kemudharatan yang fatal bagi kehidupan ummat. 34
Abdul Majid Rajma‟ah al-Jaza‟iri, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-mustakhrajah min kitab I’lam almuwaqqi’in,(Dar Ibnu al-Qayyim & Dar Ibnu Affan 1421H),h.343
28
Apa yang telah ditetapkan oleh para ulama mazhab adalah benar, karena kondisi sosial yang ada pada saat itu sangat sesuai untuk diterapkannya ketentuan bahwa suami tidak perlu menunggu persetujuan istri yang telah ditalaknya untuk dirujuk kembali. Karena kondisi sosial ketika itu sangat kental sekali unsur patriliniarnya dan didukung pula oleh penarikan hukum yang sesuai dari nash Al-Qur’an yaitu surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi :
Artinya :„
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
Sementara apa yang dilakukan oleh para perumus Kompilasi Hukum Islam pun bukanlah sesuatu yang salah karena melihat kondisi sosial masyarakat Islam di Indonesia khususnya. Dimana untuk menghidari kemungkinan timbulnya dampak negative yang lebih parah dalam permasalahan pernikahan, maka ditetapkanlah suatu keputusan
bahwa di
Indonesia persetujuan istri adalah syarat untuk dapat diterimanya keinginan rujuk yang dilakukan oleh seorang suami yang telah menjatuhkan thalak padanya. Hal ini di dukung dengan dalil – dalil metode istinbath hukum yang berlaku dalam Islam. Jadi penulis sangat setuju dengan tindakan yang dilakukan oleh para perumus Kompilasi Hukum Islam untuk menetapkan adanya syarat persetujuan istri dari kehendak rujuk yang dilakukan oleh seorang suami yang telah menjatuhkan talak kepadanya tersebut untuk diberlakukan di kalangan Muslim Indonesia mengingat pertimbangan – pertimbangan yang telah penulis paparkan sebelumnya. Namun demikian penulis tidak menyatakan bahwa apa yang ditetapkan oleh para Imam Mazhab Sunni itu adalah salah, sehingga tidak diberlakukan di lingkungan Muslim Indonesia.
Akan tetapi karena
menimbang kondisi sosial masyarakatnyalah sehingga
ketetapan Para Imam Mazhab tersebut tidak dapat diberlakukan Khusus di lingkungan Muslim Indonesia. Wallahu A’lam...
29
DAFTAR PUSTAKA . Abdul Gani Abdullah dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dalam Hukum Indonesia-Sebuah pendekatan Teoritis, (Jakarta : Yayasan Al-HIkmah, 1994) Abdul Gani Abdulllah, Hukum Islam dalam tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Logos, 1998) Abdul Ghani Abdullah SH, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,(Jakarta : Gema Insani Press, 1994) Abdul Ghani Abdullah, Kehadiran KHI dalam Hukum Indonesia,Pendekatanteoritis dalam DITBINBAPERA Islam, Berbagai Pandangan Terhadap KHI, ( Jakarta : Al-Himah, 1993) cet, I. Abdul Majid Rajma‟ah al-Jaza‟iri, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-mustakhrajah min kitab I’lam al-muwaqqi’in,(Dar Ibnu al-Qayyim & Dar Ibnu Affan 1421H) Abdurrahman Ahmad bin Sya‟ib bin Ali al-Khisany al-Annasa‟I, Sunan anAnnasa’I,Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon, 1995, Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fikih Ala al- Mazahib al-Arba’ah, (Dar al – kutub alilmiyah 1999) juz. IV, Abi Abdul Mu‟ty Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi al-Jawy al-Bintity alTawidy, Nihayah al-Zain fi irsyad al-mubtadi’in, Dar al-Fikr 1426 H,2005 M. Abi Ja‟far Muhammad bin Hasan bin Ali al-Thusi, al-Mabsuth fi fiqh al-Imamiyah, al-Maktabah al-Murthdawiyah. Juz. V. Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Bar an-Namiri al-Qurthuby, Al- Kaf ifi fiqih ahlu al-Madinah al-Maliky,Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi alQurthuby al-Andalisy, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtashid,makdatabah Dar ihya‟ al-Maktabah al-„Arabiyah Indonesia, juz II Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazmin al-Andalusy, Tahqiq, Dr. Abdul Ghafar Sulaiman al-Bandary, Al-Muhalla bil Astar, Dar KUtub al-Ilmiyah, juz, X. Al-Syaibani, al-Mu’tamad fi fikih Imam Ahmad, (Damaskus : Dar al-Khair, 1991) Al-Syekh Ahmad bin al-syekh Muhammad Zarqa, Syarah al-Qawa‟id al-Fiqhiyah, Dar al-Qalam Damaskus, cet, IV. 1996
Amrullah Ahmad oleh A. Hamid S. Attamimi, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (mengenang 65 tahun Bustanul Arifin), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),h.152 30
C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1986) Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam) Dr. Iskandar Ritonga, Hak-hak wanita dalam putusan Peradilan Agama,Ditjern Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2005, Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995, H. Abdurrahman, SH. MH KompilasiHukum Islam di Indonesia, (Akademika Pressendo) Jakarta 2004. Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta : Penerbit AlMawardi Prima, cet, I, 2001. Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar, (Mesir : Mustafa Al-Babi al-Halabi wa auladuh, 1996) juz III, Ibn. Nujaim,al-Asybah wa naza‟ir (Kairo: Musa‟adah al-Halabi, 1968) Imam al-Hafidz Abi Daud Sulaiman bin Al-„Asy al-Sajastani, tahqiq Muhammad Abdul Aziz al-Khalili, Sunan Abu Daud,(Beirut Libanon : Dar Maktabah al-Ilmiyah, 1996, juz II) John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, 1992, H. 473, lihat juga Peter Collin, Dictionary of Law, Peter Collin Publishing, Third Edition, 2000 Koran Harian Nasional, Republika, terbit sabtu 15 April 2006. Lois Ma‟luf, Al-Munjid al-Abjady, Beirut.Libanon : Dar al-Masyriq,1986 M. Yahya Harahap, Materi Kompilasi Hukum Islam dalam Dadan Muttaqien et.al, Peradilan Agama dan Kompilasi HUkum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,(Yogyakarta :UII Press, 1999) Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus al-Kaffs, Fiqih Lima Mazhab (PT. Lentera Basritama, 1999) cet. IV. Muhammad Rawas Qol‟ahuji, Hamid Shadiq Qaniby, Mu‟jam Lughah al-Fuqaha‟, Dar al-Nafais , cet II th.1988M-1408H. Muhammad Syarbaini al-Khatib, Al-Iqna’, ( Dar Al-Fikri tt) Munawir Sadzali, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, dalam Dadan Muttaqien, dkk. 31
Sayyid al-Bakry, I’anah al-Thalibin, juz IV, Putera Semarang. Syihabuddin al-Qalyuby , „Amirah, Qalyuby wa’Amirah (Maktabah Toha Putra Semarang.tt) juz. IV UUD 1945 (Hasil Amandemen) GBHN 1999-2000, (Bukittinggi, Lestari, t,th). Wahbah Az-Zyuhaily, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Dar al-fikir 1984 ) juz VII. Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung : Pustaka 1987
32