HAK-HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN PERBANDINGAN IMAM SYAFI’I DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
NOOR BAAYAH BINTI ABU BAKAR NIM: 107044103904
K O N S E N T RA S I
PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2011M/1432H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 September 2011 Noor Baayah Binti Abu Bakar
KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمه الرحيم Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik dalam terang benderang maupun gelap gulita, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Alhamdulillah dengan berkah rahmat-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Namun keberhasilan penyusunan skripsi bukanlah hasil dari diri penulis sendiri bahkan semangat dan dukungan serta doa dari insan tersayang dan tercinta. Untuk itu, penulis mempersembahkan ungkapan syukur dan terima kasih yang tidak terhingga kepada insan yang tercinta dan tersayang yaitu Ayahandaku Abu Bakar bin Yahaya dan Ibundaku Siti Hajar binti H. Taib dengan segala curahan kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran mengasuh, mendidik, mendoakan serta memberi dukungan baik berbentuk moril maupun materil, kepada penulis dari bermulanya kehidupan sehingga berakhirnya nyawa semoga mendapat balasan dan tergolong dikalangan mereka yang beruntung. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya penyusunan skripsi ini bukanlah semata-mata atas usaha penulis sendiri, melainkan tidak luput dari bantuan semua ada secara langsung maupun tidak langsung dan karena itu penulis sampaikan ucapan terima kasih tidak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan selaku dosen pebimbing yang selalu memberikan perhatian, bimbingan, buah pikiran, kritik dan saran sepanjang proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah dan Ibu Rosdiana MA. , Sekretaris Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah yang banyak memberikan kemudahan berbentuk administratif bimbingan akademik. 3.
Seluruh dosen Akademi Pengajian Islam dan Dakwah yang dihormati terutama Bapak Rektor Al-Fadhil Ustaz Edeey Ameen yang banyak memberikan dukungan sehingga penulis dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia.
4. Segenap bapak dan ibu dosen yang telah memberi petunjuk dan mencurahkan ilmu yang bermanfaat kepada penulis dan rekan-rekan seperjuangan selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 5. Para pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang telah menyediakan fasilitas dan perkhidmatan bagi kemudahan penulis memanfaat arkib referensi. 6. Kakanda-kakanda tecinta yang bersama-sama hidup dalam suka duka dan banyak memberi dukungan serta pengorbanan yang tidak terhitung baik berupa moril atau materil, yaitu Sharima dan Mohd Sulaiman, Latifah dan Zanor, Robiah dan Zainal Abidin, Salmah dan Rosli, Salmiah dan Zainol, Mohammad Hamadi, dan serta keponakan-keponakanku, semoga kalian menjadi insan yang mulia.
7. Seluruh tenaga pengajar Pesantren Markaz At-taalim Wat Tarbiyah, Desa Bandar Baru Sik, Kedah, yaitu alm. Mudir KH. H. Abu Bakar bin Ibrahim dan Nyai Zabedah binti Saman yang sering mendoakan kejayaanku. 8. Teman-teman seperjuangan yang dikasihi, kenangan bersama tak terlupakan, senantiasa menemani dan semangat menunut ilmu di rantau orang, kakak senior, Huda, Baizura, Adilah, Halimah, Shazwani, Aziz, Zul, Mizi, Rais, rekan-rekan sekuliah yaitu, Akram Erni, Pijul, Muiz, Alfiyah, Siti Hajar, Rabiatul, Adawiyyah, Rozilawati, NurFaizah, dan ramai lagi yang tidak mungkinku sebutkan satu
persatu. Tak lupa juga senior dan junior KUDQI dan KIDU
teman-teman seangkatan 2007/2008, dan 2009/2010, dan 2011/2012 terima kasih atas dukungan kalian. 9. Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atas pengawasan dan kebajikan yang mengambil alih peran menjaga seluruh mahasiswa Malaysia di bumi Indonesia. 10. Badan Dewan Pembina Asrama UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang telah menyediakan penempatan dengan segala fasilitas menjalani perkuliahan di Indonesia. 11. Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI), Malaysian Club UIN Jakarta (MCUJ), dan Kelab UMNO Jakarta, Indonesia. 12. Semua pihak yang telah menghulur bantuan secara langsung maupun tidak langsung sepanjang penyusunan skripsi ini, semoga segala bantuan dan niat baik kalian diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT.
Akhirnya penulis menginsafi bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kritikan dan saran yang konstruktif sangat diperlukan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat sebagai karya ilmiah khususnya bagi penulis dan sekalian pembaca umumnya.
Jakarta, 7 JANUARI 2011 M 16 Safar 1432 H Penulis NOOR BAAYAH BINTI ABU BAKAR
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.........................................5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................5 D. Studi Review Terdahulu.............................................................6 E. Metode Penelitian.......................................................................7 F. Sistematika Penulisan.................................................................9
BAB II
TINJAUAN TEORETIS TENTANG HAK ISTRI DALAM PERNIKAHAN A. Hak Mahar ................................................................................. 13 B Hak Nafkah ................................................................................ 16 C Hak Disayangi. .......................................................................... 20 D. Hak Pendidikan ......................................................................... 22
BAB III
HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN MENURUT IMAM SYAFI’I DAN KHI DI INDONESIA A. Latar Belakang Imam Syafi’i....................................................25 B. Hak Istri Akibat Perceraian Menurut Imam Syafi’i ................. 26
C. Hak Istri akibat Perceraian Akibat Perceraian Menurut KHI di Indonesia .................................................................................. 40 D. Persamaan dan Perbedaan Hak istri Akibat Perceraian Menurut Pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia .............................................................................. 48
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 51 B. Saran-Saran................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan agama fitrah, yang artinya seluruh ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkenaan dengan fitrah manusia, maka Islam terlebih dahulu mengaturnya dalam bentuk ajaran-ajaran Islam atau lebih dikenali sebagai syariat Islam. Islam sebagai sebuah cara hidup yang universal, syumul dan menjadi rahmat kepada seluruh alam hadir dengan aturanaturan yang menjadi perlindungan hak bagi kehidupan manusia sejagat dan sesuai diaplikasikan di setiap kondisi, masa dan tempat untuk menunjangi ketertiban dan kemaslahatan seluruh alam. Termasuk dalam hukum yang telah diatur oleh Islam adalah berkenaan hukum kekeluargaan (munakahat). Dengan demikian, perkawinan merupakan sebuah aturan yang disyariatkan untuk menjaga dan memelihara salah satu maqasid syarieyyah yaitu kehormatan.1 Pernikahan merupakan perjanjian atau akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalidzhan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama secara sah dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Setelah dilangsungkan pernikahan, sepasang pengantin telah resmi menjadi suami istri. Dengan status ini, secara signifikan keduanya telah berubah, baik pada
1
Imam Ghazali menggariskan bahwa ada lima maqasid syrieyyah yang harus dijaga dan dipelihara oleh umat manusia seluruhnya, yaitu agama, akal, harta, kehormatan dan jiwa.
hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing individu maupun pada relasi sosial dengan sesama. Keluarga bermula dengan terbentuknya rumahtangga, yaitu apabila seseorang itu mendirikan rumahtangga, yaitu apabila seseorang itu mendirikan rumahtangga maka kedua belah pihak akan terikat dengan peraturan perkawinan atau undangundang. Undang-undang ialah untuk menjamin hak individu dalam rumahtangga sepanjang tempoh selama dalam ikatan pernikahan atau ketika berlakunya perceraian.2 Apabila terjadi perceraian maka timbullah akibat perceraian. Maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah hubungan antara keduanya adalah asing adalah arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku yang berlaku antara dua orang yang saling asing.islam memberikan hak kepada wanita sesuai dengan tugas, peran dan tanggungjawab mereka, sesuai dengan sifat dan bentuk kejadian mereka. Lebih jauh dari itu hak mereka dilindungi dan dipertahan. Mengambil hak berarti melakukan kezaliman, menentang peraturan dan hukum Allah Swt. serta mengkhianati amanah yang telah diberikan-Nya.3 Islam datang membawa misi pengembalian hak-hak perempuan yang telah dirampas dan dijajah oleh kaum laki-laki di zaman jahiliah. Islam mengangkat
2
A. Sytarmadi, Mesraini, AdministrasiPernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 134. 3 Mat Saad Abd Rahman, Undang-undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and Publication, 2007)h. 209.
martabat kaum perempuan dan memberikan kembali hak-hak mereka yang telah hancur berantakan, diinjak-injak oleh dominasi kaum laki-laki dan telah diluluhlantakkan oleh tradisi-tradisi keagamaan, fanatisme, golongan dan kebangsaan yang sempit.di antara hak-hak yang dikembalikan oleh Islam, setelah lam dirampas kaum laki-laki, tanpa ada orang yang berusaha memperjuangkan untuk merebutnya kecuali Islam.4 Mengetahui hukum yang disepakati (ijma’) dan perbedaan pendapat para ulama termasuk perkara penting. Hal ini merupakan keharusan bagi setiap mujtahid dan hakim terutama para imam mazhab yang pendapat-pendapat mereka dijadikan rujukan di timur dan barat. Ijma’ salah satu tonggak Islam sehingga menurut para ulama kufurlah orang yang mengingkarinya jika telah ada hujah bahwa hal itu merupakan ijma’ yang sempurna. Diperkenankan mengingkari orang yang melakukan sesuatu yang menyimpang darinya. Perbedaan pendapat di antara para imam mazhab merupakan rahmat bagi umat ini, yang tidak dijadikan Allah sebagai kesempitan di dalam agama ini. Melainkan, hal itu merupakan luthf dan kemurahan.5 Mantan istri masih memiliki hak untuk dituntut apabila terjadinya perceraian. Antaranya hak-hak mendapatkan nafkah iddah, hak untuk menuntut harta sepencarian, hak untuk mendapatkan mut’ah dan penjagaan anak. Ini bagi memastikan bahwa kaum wanita perlu mengetahui hak mereka supaya tidak dianiayai
4
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h.115. 5 Muhammad bin Abdurrahman ad- Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2010), h. 10.
oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab. Begitu suami mempunyai hak dan tanggungjawab setelah perceraian. Walaupun istri diceraikan, namun hubungan anak dengan ayahnya tetap kekal hingga ke akhir hayat. Bapa mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada anak-anak. Namun begitu, terdapat beberapa pendapat imam mazhab tentang hak-hak istri akibat perceraian dan dijadikan landasan hukum atau sebagai pedoman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis para ulama fiqih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama yang diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi.6 Mayoritas penduduk di Asia tenggara adalah muslim dan menganut mazhab Syafi’i, terdapat juga sebagian penduduk yang menganut mazhab lain seperti, Hanafi, Maliki dan Hambali. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan tentang hak-hak istri akibat perceraian secara mendalam. Penulis mencoba melakukan penelitian lebih lanjut dan terdorong untuk menganalisis lebih mendalam melalui penelitian skripsi yang berjudul “HAK-HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN: Perbandingan Antara Pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum di Indonesia (KHI)”.
6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),h. 14.
B . Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan skripsi ini menjadi lebih praktis dan terfokus sehingga para pembaca mendapat manfaat dari penelitian ini, penulis membuat batasan
hanya
tentang persamaan dan perbedaan hak-hak istri akibat perceraian menurut pendapat Imam Syafi’i di dalam kitab Fiqih Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.7 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan pembatasan masalah di atas dan supaya tidak menjadi kajian yang melebar, penulis merumuskan pemasalahan dengan rincian dalam bentuk persoalan yang berikut: a) Adakah istri yang telah diceraikan masih mempunyai hak-hak? b) Hak-hak apa saja yang dimiliki oleh mantan istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia? c) Di mana letak perbedaan dan persamaan pendapat Imam Syafi’i dan KHI di Indonesia tentang hak-hak istri akibat perceraian? C . Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian di atas, penelitian memiliki beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui hak isti setelah diceraikan.
7
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007), h. 23.
2. Untuk mengetahui hak-hak yang dimiliki oleh mantan istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i dan KHI di Indonesia. 3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan pendapat imam Syafi’i. Seterusnya, manfaat yang dapat dikutip dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Secara akademis untuk mendapat jawaban terhadap perbedaan dan persamaan tentang hak istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i dan KHI di Indonesia 2. Sebagai pedoman kepada para peneliti lain yang ingin memahami hak-hak istri menurut pandangan Imam Syafi’i dan KHi di Indonesia. 3. Sebagai motivasi kepada wanita terutamanya wanita Indonesia tentang hak mereka yang diatur di dalam KHI di Indonesia. 4. Penelitian ini juga dapat memberi sumbangan karya ilmiah dan juga sumbangan pemikiran bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan dan literasi pada Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Studi Review Terdahulu Penulis berusaha membaca beberapa penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian yang penulis lakukan baik Fakultas Syariah dan Hukum, berupa skripsi maupun dalam bentuk buku. Penulis menemukan tidak banyak penelitian terkait masalah ini. Namun penulis menemukan satu penelitian yang dilakukan oleh Nurul Huda Abdul Razak dengan judul skripsi “Nafkah masa Iddah Menurut Perspektif dam Implementasinya DalamEnakmen Keluarga Islam (Studi Pada Mahkamah Rendah
Syariah Rendah Malaysia)”,mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Peradilan Agama Tahun 2009. Di dalam skripsi tersebut, ia membahaskan antara lain yaitu menginterpretasikan urgensi nafkah dalam iddah dari perspektif hak-hak perempuan dalam perkawinan, khususnya hak yang harus diterima oleh istri setelah perceraian, dan dan studi komparatif antara fiqih dan Enakmen keluarga Islam tahun 1984 (pindaan 2004) di Negeri Perak sebagai hokum positif di Malaysia dan Hukum positif yang ada di Indonesia. Dengan melihat review studi terdahuku di atas, yang membedakan antara skripsi di atas dengan skripsi penulis, adalah bahwa penulis membahas tentang hak-hak istri akibat perceraian, dan perbandingan pendapat Imam Syafi’i dan KHI, karena itulah dari aspek pembahasannya berbeda dengan pembahasan dari skripsi Nurul Huda. E. Metode Penelitian Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka metode yang digunakan adalah metode pengumpulan data yang diperlukan untuk penulisan tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang bersangkutan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Penentuan Jenis Data Dalam kajian ini data yang diteliti adalah data yang berhubungan dengan topik yang dikaji, yaitu Hak-hak Istri Akibat Perceraian: Perbandingan Antara Pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). 2. Pendekatan Penulis mendiskripsikan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan bersifat normatif.8 3. Obyek Penelitian Penulis melakukan penelitian kepustakaan atau studi dokumentasi dengan merujuk kitab-kitab fiqih Imam Syafi’i yaitu, kitab Fiqih Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 4. Sumber data Penelitian berorientasikan data kualitatif yang bersumber pada: a) Data Primer: Yang termasuk ke dalam sumber data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber yang asli dari obyek penelitian, yaitu kitab fikih Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.9 b) Data Sekunder: Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperolehi dari sumber kedua atau sumber pendukung dari data yang kita butuhkan. Data ini didapati dari buku-buku lain yang berkaitan dengan obyek penelitian.
8
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum , Buku Pedoman Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007), h. 25. 9 Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada, 2004) h.119.
c) Data Tertier: Data Tertier merupakan data pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal dan sebagainya. 5. Tenik Analisis Data Dalam melakukan analisis data, penulis menggunakan teknik analisis data yang telah terhimpun (kualitatif), dengan mengumpulkan data-data dan mencoba untuk menganalisis tentang perbedaan dan persamaan hak-hak istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 6. Teknik Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syriah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan penulisan skripsi ini, maka penulis telah menyusun sistematika penulisan yang dibagi atas empat bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian berikut: Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang didahului dengan persoalan melatarbelakangi penelitian dan pengangkatan tema ini, kemudian dilanjutkan dengan pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian,dan sisteematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tinjauan teoretis tantang hak-hak istri dalam perkawinan yaitu, hak mahar, hak nafkah, hak disayangi, dan hak pendidikan. Bab ketiga yaitu membahaskan tentang latar belakang Imam Syafi’i, hak istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i, hak istri akbat perceraian menurut KHI di Indonesia, dan persamaan dan perbedaan hak istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i dan KHI di Indonesia. Bab keempat
adalah penutup yang mengandung tentang kesimpulan dari
seluruh perbahasan beserta saran-saran dan harapan penulis agar penulisan ini menjadi satu komitmen yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
BAB II TINJAUAN TEORETIS TENTANG HAK ISTRI DALAM PERKAWINAN Sebagai upaya untuk mewujudkan misi pernikahan membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, masing-masing suami dan istri harus menjaga hak dan kewajibanny. 10 Keluarga bermula dengan terbentuknya rumahtangga, yaitu apabila seseorang itu mendirikan rumahtangga maka kedua belah pihak akan terikat dengan peraturan perkawinan atau undang-undang. Undang-undang ini diadakan mengikut adat dan agama. Perjanjian perkawinan memberi dampak kepada suami istri yang bukan hanya sekedar merubah status atau daripada seorang jejaka kepada seorang suami. Sebenarnya dampak adalah melewati penentuan hak dan tanggungjawab seorang suami dan juga seorang istri. Antara dampak-dampak tersebut yang terlibat dengan kebendaan spiritual seperti menggauli istri dengan penuh kasih sayang (mawaddah) dan belas kasihan (rahmah) serta juga bersifat menghormati persemendaan. Antara dampak-dampak tersebut ada dengan kebendaan seperti hak mahar, hak nafkah, hak disayangi, dan hak pendidikan.
10
A. Sutarmadi, Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen keluarga, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 134.
A. Hak Mahar 1. Pengertian dan Pensyariatan Mahar Definisi maskawin adalah sesuatu yang wajib diberikan karena pernikahan, hubungan intim, dan pengabaian hubungan intim karena terpaksa. Maskawin adalah sesuatu yang disyariatkan, dianjurkan, sekaligus disunnahkan dalam Islam. Mahar dalam bahasa Arab shadaq. Asalnya isim mashdar dari kata ashdaqa, mashdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq memberikan arti benarbenar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.11 Maskawin adalah sesuatu yang disyariatkan, dianjurkan, sekaligus disunahkan dalam Islam. Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mempersyaratkan akad nikah tanpa mahar. 12 Dalil kewajiban mahar dari al-Quran adalah firman Allah Swt.:
)۶:۶/ (سُرة الىساء Artinya: “Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskahwinmaskahwin mereka sebagai pemberian yang wajib. kemudian jika mereka dengan suka hatinya memberikan kepada kamu sebagian dari maskawinnya maka makanlah
11
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet 1, h. 176. 12 Ibid., h. 176.
(gunakanlah) pemberian (yang halal) itu sebagai nikmat yang lazat, lagi baik kesudahannya. Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw. kepada orang yang hendak menikah:
Artinya: “Carilah walaupun cincin dari besi.” Hadis ini menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi saw bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andai kata mahar tidak wajib tentu Nabi Saw. pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi, beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini menunjukkan kewajibannya. 2. Macam-macam Mahar Mahar terbagi kepada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil. Pertama: Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad. 13 Selanjutnya kewajiban suami untuk memenuhi selama hidupnya atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad perkawinan itu. Kedua: Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.14 Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan: 13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 89. Ibid., h. 89.
14
a.
Dalam kondisi suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.
b. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras. c. Suami ada menyebutkan mahar musamma,namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan. Mahar adalah hak istri, bukanlah hak walinya. Dan masih banyak ayat-ayat menunjukkan bahwa mahar adalah hak perempuan sepenuhnya. Orang lain, ayahnya sendiri, tidak boleh mengambil apa pun dari mahar tersebut tanpa seizinnya. 3. Hikmah disyariatkan Mahar Mahar disyariatkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita dan memberikan penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah Swt. mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suaminya juga. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari
mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak. 15 B. Hak Nafkah 1. Definisi dan Bagian Nafkah Secara bahasa, an-nafaqat adalah bentuk jamak dari kata nafaqah, kata kerja yang dibendakan (mashdar) al-infaq,yaitu memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridha Tuhan. Nafkah juga bermaksud mengeluarkan biaya atau tanggungan hidup kepada mereka yang wajib atas seseorang untuk membiayainya.16 Nafkah terbagi kepada dua yaitu, Pertama: Memprioritas nafkah untuk diri sendiri. Kedua: Bernafkah kepada orang lain. Poin ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu, hubungan pernikahan, hubungan kekerabatan, dan hubungan kepemilikan, di antaranya kewajiban memberi makan kepada hewan ternak. 2. Hukum Pemberian Nafkah Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah dan karena keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami, selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya. Ia tertahan melaksanakan haknya, “setiap orang yang tertahan untuk hak orang lain dan manfaatnya, maka nafkahnya atas orang yang menahan karenanya.” Dalil al-Quran, yaitu firman Allah Swt.: 15
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Munakahat,(Jakarta: Amzah, 2009), cet 1, h.178. 16 Mohd Razuan Ibrahim, Undang-Undang dan Prosedur, (Selangor: DRI Publishing House,2006), h. 56.
Fiqh
)۲۳۳:۲/(سُرة البقرة Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun genap yaitu bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuan itu; dan kewajipan bapa pula ialah memberi makan dan pakaian kepada ibu itu menurut cara yang sepatutnya”.
)۷(: (سُرة الطالق Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan sesiapa yang di sempitkan rezekinya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (sekadar Yang mampu); Allah tidak memberati seseorang melainkan (sekadar kemampuan) yang diberikan Allah kepadaNya. (orang-orang yang dalam kesempitan hendaklah ingat bahawa) Allah akan memberikan kesenangan sesudah berlakunya kesusahan”. Ayat di atas mewajibkan nafkah secara sempurna bagi wanita atau pun seorang istri. Sebab wajib nafkah atas suami kepada istri, karena dengan selesainya akad yang sah, perempuan menjadi terikat dengan hak suaminya, yaitu untuk menyenangkannya, wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangganya, mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka sebagai imbalan dari yang demikian ini, Islam mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya.17 3. Besarnya Nafkah Jika istri hidup serumah dengan suaminya, ia wajib menangung nafkahnya dan mengurus segala keperluan, seperti makan, pakaian, dan sebagainya. Istri tidak 17
h. 121.
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Petempuan Kontemporer, (Bogor: Ghali Indonesia, 2010),
berhak menerima nafkahnya dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan kewajibannya itu. Jika suami bakhil, tidak memberikan nafkah yang secukupnya kepada istrinya atau itdak memberikan nafkah tanpa alas an-alasan dibenarkan syara, istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan tempat tinggal. Imam Mazhab berpendapat tentang besarnya nafkah yang harus diberi oleh suami kepada istrinya yaitu seperti berikut: a. Golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah. Kalangan Hanafi menetapkan jumlah nafkah istri sesuai dengan kemampuan suami, baik kaya atau miskin, tanpa melihat keadaan istrinya.18 b. Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah. c. Menurut kalangan Imam Syafi’i, menetapkan jumlah nafkah tidak diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi diukur hanya berdasarkan hukum syarak. Walaupun kalangan
Syafi’i
sependapat
dengan
kalangan
Hanafi,
yaitu
tentang
memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan si suami, suami yang kaya tetap diwajibkan memberi nafkah setiap hari sebanyak dua mud.19
18 19
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi, 2008), h. 62 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi, 2008), h.62.
d. Silang pendapat ini disebabkan ketidak jelasan nafkah dalam hal ini, antara disamakan dengan pemberian makan dalam kafarat atau dengan pemberian pakaian. Dengan demikian makanan itu ada batasnya. 4. Syarat-syarat Menerima Nafkah Syarat-syarat perempuan yang berhak menerima nafkah suami: a) Ikatan perkawinan yang sah b) Menyerahakan dirinya kepada suaminya c) Suami dapat menikmati dirinya, d) Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya.20 e) Kedua-duanya dapat saling menikmati. Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, ia tidak wajib diberi nafkah. Jika ikatan perkawinannya tidak sah, bahkan batal, suami istri tersebut wajib bercerai untuk mencegah timbulnya bencana yang tidak dikehendaki. Begitu juga istri yang tidak mau menyerahkan dirinya kepada suaminya atau suami tidak dapat menikmati dirinya atau istri enggan pindah ke tempat yang dikehendaki suami, dalam keadaan seperti ini tidak ada kewajiban. Orang yang berhak menerima nafkah fuqaha berpendapat bahwa nafkah tersebut untuk istri yang merdeka dan tidak membangkang (nusyuz).
20
Kecuali kalau suami bermaksud merugikan istri dengan membawanya pindah atau membahayakan keselamatan dirinya atau hartanya.
5. Pendapat tentang nafkah istri yang durhaka Tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa apabila istri mendurhakai suaminya, kemudian gugur nafkahnya.21 Allah Swt. telah menyuruh wanita mentaati suaminya. Firman Allah Swt. dalam surat al-Nisa’: 34:
)۳۶/)سُرة الىساء Artinya: “Maka jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar”. Apabila istri mendurhakai kepada suaminya, diperbolehkan menghukum istri dengan menghentikan nafkah hingga istri kembali taat kepada suaminya. Karena istri meninggalkan kewajibannya untuk taat kepada suaminya, maka suami boleh menghentikan kewajiban berupa pemberian nafkah. C. Hak Disayangi Di dalam perkawinan ada juga hak dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan, bukan sekedar berbentuk kebendaan bahkan berbentuk kasih sayang seperti hak perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang baik. Di antara hak istri dalam perkawinan ialah untuk mendapat perlakuan yang baik dari suami dalam pergaulan hidup berumah tangga. Perlakuan yang baik adalah meliputi tingkah laku,
21
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadat-Muamalat, (Jakarta:Pustaka Amani, 1999), Cet 3, h. 350.
tindakan dan sopan santun yang harus dilakukan suami terhadap istri. 22 Hal ini disebutkan dalam al-Quran surah An-Nisa’ ayat19:
)۱۹: (سُرة الىساء Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan jalan paksaan, dan janganlah kamu menyakiti mereka (dengan menahan dan menyusahkan mereka) kerana kamu hendak mengambil balik sebahagian dari apa yang kamu telah berikan kepada-Nya, kecuali (apabila) mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. dan bergaulah kamu dengan mereka (istri-istri kamu itu) dengan cara yang baik. kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka (disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya), karena boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu)”. Bergaul dengan baik antara suami istri untuk membina rumah tangga adalah merupakan syarat dari suatu perkawinan yang akan mencapai tujuan dan hikmah berumah tangga.23 Laki-laki
sebagai pemimpin kaum perempuan di dalam rumah
tangga wajib melaksanakan tanggungjawab kepimpinannya untuk mengajari kaum perempuan agar bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik, serta menanamkan rasa hormat dalam diri mereka sendiri dengan memberikan hak-hak perempuan tanpa dipersulit karena manusia berdasarkan naluri alamiahnya selalu menghormati orang dalam pandangan matanya adalah terdidik dan tahu akan hak kewajibannya, serta 22
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2010), h. 121. 23 Ibid., h.121.
tidak pernah memandang enteng kepadanya, maka apabila hak-hak perempuan tidak diberikan, berarti kaum laki-laki sendirilah yang menutup pintu kebaikan yang akan diberikan oleh kaum perempuan. Suami wajib menjaga dan memelihara istri segala hal yang menghilangkan kehormatannya, atau mengotori kehormatannya, atau merendahkan derajatnya, dan atau yang menghilangkan pendengarannya
karena
dicela. D. Hak Pendidikan Di antara yang menjadi hak seorang istri suaminya ialah membimbingnya ke arah penghayatan hukum-hukum agama, membaiki akhlaknya serta memberi tujuk ajar kearah kebaikan dan kabahagiaan tanpa membiarkannya dalam keadaan serba tidak betul serta menyimpang ke arah keburukan.24 Jika si suami diwajibkan menjaga keselamatan diri istrinya, kesehatan tubuh badannya dan memberi layanan yang baik, maka dia juga diwajibkan menjaga kesempurnaan agamanya, akhlaknya serta kebaikan sikapnya. Dengan demikian, si suami sudah benar-benar menjadi pemimpin yang berkualitas serta beramanah. Justru, itu seorang suami tidak dianggap sebagai beramanah terhadap amanah Allah jika dia tidak mempedulikan tentang kejahilan serta penyimpangan istrinya dari kehendak agama, pengabaiannya menunaikan fardufardu agama dan tidak membetulkan akhlaknya yang salah, sedangkan dia wajib
24
Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and Publication, 2007), h. 78.
menjaga serta mengawal ahli keluarganya daripada kesiksaan dunia dan akhirat. 25 Firman Allah Swt.:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka yang bahan-bahan bakarannya: manusia dan batu (berhala); neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya); mereka tidak mendurhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkanNya kepada mereka, dan mereka pula tetap melakukan segala yang diperintahkan”. Secara kesimpulannya dapat kita katakan bahwa seseorang suami tidak mungkin dapat mengawal keluarganya (yang juga termasuk istrinya) kecuali dengan bimbingannya yang baik dan sempurna.26
25
Ibid, h. 78. Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and Publication, 2007), h.79. 26
BAB III HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN MENURUT IMAM SYAFI’I DAN KHI DI INDONESIA Secara umumnya ikatan perkawinan merupakan anugerah dan karunia Allah kepada umatnya. Lafaz yang diakadkan oleh suami di majelis perkawinan dan penerimaan suami adalah merupakan kontrak yang tidak bertempoh dan berjalan buat selama-lamanya. Meskipun, dalam menjalani kehidupan sebagai manusia biasa kita tidak terlepas dari menerima apa-apa ujian dan cobaan termasuklah keretakan rumahtangga.27 Rumahtangga yang kehilangan elemen-elemen tersebut menjurus kepada kerengangan di mana hubungan suami istri menjadi tidak harmonis dan akhirnya menjurus kepada perceraian. Bagaimanapun, kita harus menerima hakikat bahwa jodoh dan pertemuan itu adalah ketentuan Tuhan. Islam telah menetapkan hak bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan dan berlakunya perceraian itu. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). Di dalam perjalanan sejarah, tema hak relatif lebih 27
Mohd Razuan Ibrahim, Undang-Undang dan Prosedur, (Selangor: DRI Publishing House, 2006), h. 85.
muda usianya dibandingkan dengan tema kewajiban, walaupun sebelumnya telah lahir. Tema hak baru “lahir” secara formal pada tahun 1948 melalui Deklarasi HAM PBB, sedangkan tema kewajiban (bersifat umum) telah lebih dahulu lahir melalui ajaran agama di mana manusia berkewajiban menyembah Tuhan, dan berbuat baik terhadap sesama terlibat dalam perkawinan dan berlakunya perceraian itu.28 A. Latar Belakang Imam Syafi’i Muhammad al-Syafi’i ibn Idris (150-205 / 767-820). Seorang tokoh arsitek sistematika hukum Islam, lahir di Palestina dan tumbuh dewasa di Makkah. Ia adalah keturunan Quraisy yang hidup bergaul suku-suku badwi, sehingga pengetahuannya tentang bahasa Arab dan tentang syair-syair Arab sangatlah mendalam. Ia belajar hukum Islam di Madinah kepada Malik ibn Anas, dan kemudian ia belajar di Baghdad, dan kembali ke Madinah beberapa lama, karenanya ia mengenal fiqh Hambali secara dekat.
29
Sebagai perlawanan terhadap sunnah (kebiasaan)
masyarakat Madinah yang menjadi metode penarikan hukum mazhab Maliki, dan sebagai serangan terhadap deduktif spekulatif mazhab Hanafi, maka al-Syafi’i berjuang mempromosikan hadis dan al-sunnah Nabi sebagai sumber otoritas utama dalam menafsirkan perintah-perintah al-Quran. Menurutnya, otoritas hadis dan sunnah al-Nabi lebih utama daripada qiyas (analogi), dan hal ini mendukung keberadaan ijma’ sebagai legitimasi hukum al-Quran, hadis, sunnah, qiyas,dan ijma’
28
Wikipedia, “Pengertian Hak”, artikel diakses pada 17 Mei 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Hak. 29 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), Cet 2, h. 379.
secara bersama-sama merupakan prinsip utama hukum Islam (ushul al-fiqh), dan merupakan dasar sistematika fiqh. Al-Syafi’i sendiri tidak bermaksud mendirikan sebuah mazhab fiqh, melainkan hal ini merupakan supaya yang dilakukan oleh murid-muridnya. Metodologi al-Syafi’i secara universal diterima mazhab-mazhab lainnya.30 B. Hak Istri Akibat Perceraian menurut Imam Syafi’i Menurut pendapat Imam Syafi’i tentang hak-hak istri akibat perceraian yaitu, hadhanah, nafkah iddah, mut’ah,dan hutang mahar; 1.
Hadhanah
a. Definisi Hadhanah dan Syarat-syaratnya Hadhanah dalam pengertian syariat adalah mengasuh
anak yang belum
tamyiz dan belum mampu mengerjakan urusannya secara mandiri, seperti merawat dirinya, mandi, mencuci baju serta menjaga diri dari bahaya. Hadhanah termasuk dari bagian perwalian dan penguasaan. Namun, dalam hal ini lebih diutamakan kaum perempuan karena mereka lebih lembut, sayang, pendidikan, lebih ulet, merawat, dan lebih akrab terhadap anak yang diasuh. 31 Tidak semua orang berhak memberi hadhanah kepada seseorang anak kecil, hanya mereka yang mampu memenuhi syaratsyarat kelayakan seperti berikut saja yang diharuskan32:
30
Ibid., h. 379. Ibid., h. 65. 32 Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and Publication, 2007), h.124 31
1. Beragama Islam. Dengan itu adalah tidak sah seorang perempuan kafir ataupun murtad menjadi petugas hadhanah; 2.
Baligh dan sempurna akalnya;
3.
Mampu dan boleh dipercayai dalam menjalankan tugas penjagaan dan pendidikan dengan sempurna;
4.
Beramanah dan bermoral tinggi. Dengan arti perempuan perempuan yang terkenal dengan kefasikannya, seperti penzina, pencuri, peminum arak, pembunuh dan seumpamanya tidak harus melaksanakan hadhanah si kecil;
5.
Sekiranya yang melaksanakan hadhanah itu adalah ibunya sendiri, maka disyaratkan dia belum lagi berkawin dengan laki-laki lain selain dari bapak anak kecil itu, sama ada dia masih di dalam iddahnya ataupun selepasnya. Andainya dia kembali kepangkuan bapanya maka hak hadhanah terhadap anaknya dan tidak akan putus, dan
6.
Mempunyai tempat. Ini mengartikan bahwa si kecil tidak harus diserahkan kepada ibunya atau siapa saja selepas ibunya yang dapat memenuhi kesemua yang di atas jika dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, sama ada miliknya sendiri ataupun sewaan. Manakala terjadi perselisihan antara suami istri perihal pengasuhan anak maka
istrilah yang berhak mengasuh anak, dengan syarat putusan hakim. Hak asuh istri gugur bila dia telah kawin dengan laki-laki lain sebagaiman hadits yang terdahulu, dasar logisnya cukup kuat karena istri akan disibukkan untuk melayani suami barunya. Inilah yang dikhawatirkan akan membahayakan anak yang diasuh karena perhatian istri
terbagi kepada suami barunya, walaupun suami barunya mengizinkanya untuk mengasuh anak tersebut. b. Daftar Urut Pengasuhan Kaum ibu lebih berhak untuk mengasuh si kecil dan lebih layak daripada bapak. Yang berhak menjadi pengasuh ada tiga bagian, yaitu laki-laki dan perempuan saja, atau laki-laki saja. Adapun pengasuh dari kalangan kaum ibu secara berurutan, yaitu sebagai berikut: 1. Ibu, karena kasih sayang kepada anak,33 2. Nenek dari ibu, mengingat nenek termasuk orang yang besar perhatiannya kepada cucu, 3. Nenek dari ayah, karena perhatian yang diberikan oleh nenek dari ayah sama besarnya dengan perhatian yang diberikan oleh nenek dari ibu, 4. Ibu dari ayahnya ayah (umi abil jaddi) dan ke atas dari kalangan kaum ibu yang berhak menerima waris dan begitu seterusnya karena mereka orang yang mempunyai keturunan dan warisan sebagaimana ibu dan nenek, 5. Saudari kandung, karena mereka setara dalam hal nasab dan kasih sayang yang diberikan kepada anak tersebut, 6. Saudari kandung, kemudian saudara seayah, lalu saudara seibu. 7. Bibi dari ibu, 8. Keponakan perempuan dari saudara kandung, putra-putra mereka, kemudian putriputri dari saudara seayah, lalu yang seibu, 33
Ibid., h. 71.
9. Bibi sekandung, seayah, atau seibu, 10. Paman sekandung atau seayah, 11. Putri-putri bibi dari kandung, seayah, atau seibu, 12. Putri-putri paman dari ayah, 13. Putra-putra paman dari ayah.34 Dapat disimpulkan bahwa yang didahulukan dalam urutan pengasuh tersebut adalah dari kalangan ibu, nenek, saudara, dan dan dari kalangan paman. Hak asuh diberikan kepada laki-laki yang mempunyai ikatan mahram dan waris dengan si kecil dengan mengacu pada tuntutan warisan. Kemudian hak asuh juga diberikan kepada pihak laki-laki yang tidak mempunyai ikatan mahram seperti anak dari paman (sepupu si kecil). Namun, tidak boleh menyerahkan pengasuhan anak wanita yang sudah besar kepada laki-laki untuk menghindari berduaan yang diharamkan. Akan tetapi, si kecil boleh diasuh dan diserahkan kepada laki-laki yang bisa dipercayai dan direkomendasikan oleh orang yang berhak mengasuhnya karena pengasuhan merupakan haknya. c. Hal Yang Membatalkan Hadhanah Hadhanah dilarang bagi ibu yang tidak memenuhi syarat yang telah dijelaskan seperti gila, budak, kafir fasik, tidak dipercayai, dan menikah dengan laki-laki lain, terkecuali menikah dengan laki-laki yang berhak untuk mengasuh anak tersebut, seperti paman anak itu atau seperti ayah menikahkan anaknya dengan anak istri yang dihasilkan dari suami lain, dan kemudian melahirkan anak, hasil dari pernikahan itu. 34
Ibid., h. 71.
Lalu ayah dan ibu si anak meninggal maka istri dari bapaknya itu berhak untuk mengasuh anak tersebut. Orang yang tidak mempunyai hak waris (dzawil arham) tidak berhak untuk mengasuh anak, seperti cucu laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki dari saudari, anak laki-laki saudara seibu, bapaknya ibu, paman dari ayah, karena pengasuhan itu merupakan hak perempuan yang memahami cara mengasuh dengan baik atau merupakan kewajiban orang yang mempunyai ikatan kekerabatan yang bisa dibuktikan dengan berhak menerima waris dari kalangan laki-laki dan ini tidak terdapat dalam kalangan anak famili (dzawil arham).35 Orang yang garis keturunannya melalui dzawil arham tersebut, baik laki-laki maupun perempuan tidak mempunyai hak asuh karena orang yang garis keturunan di atasnya saja tidak mempunyai hak waris apalagi yang bergaris keturunan ke bawahnya. 36 Apabila suami istri bercerai dan mempunyai anak yang telah tumbuh dewasa maka dia boleh hidup sendiri, tidak bersama dengan orang tuanya. Dia tidak membutuhkan pengasuhan dan tanggungan, namun dianjurkan agar dia hidup bersama salah satu dari kedua orang tuanya dan wajib berbakti kepada mereka. Jika dia seorang perempuan maka dimakruhkan hidup sendirian tanpa orang tua demi keselamatannya.
35 36
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta: almahira, 2010 ), h. 70. Ibid., h. 70
d. Mut’ah Mut’ah diambil dari kata mata‟, artinya sesuatu yang digunakan untuk senang-senang. Mut’ah yaitu suatu pembayaran sagi hati yang diberikan oleh seorang mantan suami kepada mantan istrinya yang dicerai. 37 Yang dimaksud di sini ialah, harta yang wajib diberikan suami istri yang ditinggalkannya semasa hidup akibat perceraian maupun putusan hukum dengan syarat-syarat tertentu. Pemberian mut’ah ini berlaku untuk pria muslim, dzimmi, muslimah, dan dzimmiah, dan lain sebagainya. Hukum mut’ah berbeda-beda sesuai jenis perpisahan suami istri (furqah). Sebab furqah ada dua macam: (1) furqah akibat kematian, yang dalam hal ini, menurut kesepakatan ulama, tidak ada mut’ah, sebagaimana dikemukakan anNawawi r.a; dan (2) furqah yang terjadi saat masih hidup, seperti perceraian.38 Apabila furqah terjadi sebelum hubungan intim, baik pihak wanita ditalak atau disumpah lian, maka akan muncul ketentuan hukum sebagai berikut: Menurut qaul jadid, wanita itu berhak menerima mut’ah, jika dia tidak wajib menerima separuh mas kawinnya, misalnya dia wanita mufawadhah (wanita yang diserahkan oleh walinya kepada seorang pria untuk dinikahi), dan suami tidak menentukan maskawin apa pun baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.:
37
Mat Saad, UU Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and Publicition, 2007), h. 165. 38 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta: almahira, 2010 ), h. 571.
Artinya: “ Tidak ada dosa bagi kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian yang belum kalian sentuh (campuri) atau belum kalian tentukan maharnya. Dan hendaklah kalian beri mereka mut‟ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” Selain itu, wanita mufawadhah tidak memperoleh apa pun. Jadi, dia wajib mendapatkan mut’ah, karena adanya perasaan gundah dalam dirinya. Dia berbeda dengan wanita yang berhak menerima separuh maskawin telah cukup baginya cukup baginya sebagai pengobatan kesedihannya. Demikian pula, menurut pendapat Imam Syafi’i, mut’ah wajib diberikan kepada istri setelah hubungan intim, juga kepada setiap wanita yang diceraikan suaminya tanpa ada aib dalam dirinya, atau diceraikan oleh hakim, misalnya dalam kasus suami melakukan lian, atau ayah atau anak suami menyetubuhinya akibat syubhat dan lain sebagainya. Status ini seperti ditalak.39 Menurut pendapat yang shahih, khuluk itu kedudukannya seperti talak, sedangkan talak yang ditaklik kedudukannya seperti talak yang dilakukan secara langsung. Talak itu, baik terjadi karena suami atau atas permintaan istri, statusnya sama saja. Seandainya suami menaklik talak dengan suatu perbuatan tertentu, lalu si istrinya melakukan perbuatan tersebut, atau dia menyetubuhi istrinya kemudian
39
Ibid., h. 572.
menalaknya setelah beberapa lama atas permintaan istri, menurut pendapat yang shahih, hal itu statusnya seperti talak. Begitu pula setiap perceraian yang bukan disebabkan istri, artinya bersumber dari suami, misalnya suami murtad, melakukan lian, baru masuk Islam; atau perceraian itu dilakukan melalui orang lain, misalnya ibu mertua istri ternyata ibu susuannya, atau anak laki-laki suaminya akibat syubhat. 40 Untuk semua kasus ini, dalam hal kewajiban memberikan mut’ah, hukumnya seperti talak. Jika sumber furqah (perpisahan) itu berasal dari pihak wanita, misalnya dia murtad atau masuk Islam karena mengikuti salah satu orang tuanya, atau suami melakukan fasakh akibat aib yang dimiliki istri, atau justru istri yang mengajukan fasakh lantaran suami melarat atau menghilang maka wanita tersebut tidak bisa mendapatkan mut’ah, baik perpisahan itu terjadi sebelum maupun sesudah hubungan intim, mengingat maskawin menjadi gugur akibat adanya fasakh tersebut. Apabila suami istri bersengketa perihal besarnya mut’ah, hakim menetapkan ukuran mut’ah menurut pertimbangannya. Artinya, ukuran mut’ah yang harus diberikan adalah menurut ijtihad hakim sendiri, dengan mempertimbangkan situasi dan keadaan keduanya, seperti kaya, miskin, keturunan, termasuk juga karakter wanita tersebut. 41 Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.:
40
Kata, Imam Nawawi rahimahullah adalah sesuatu yang tidak jelas halalnya ataupun haramnya, karena itu kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Adapun ulama mereka mengetahui hukumnya dengan nash atau qiyas atau istishaab atau dengan selainnya atau arti lain raguragu. 41 Ibid., h. 573.
)۲ :۲۳۴ / (سُرة البقرة Artinya: “ Dan hendaklah kalian beri mereka mut‟ah, bagi mereka yang mampu menurut kemampuannya. Dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang yang berbuat kebaikan.” e. Nafkah Iddah Macam-macam iddah istri. Pertama, iddah karena talak raj’i (cerai tetapi suami masih diperkenankan untuk kembali ke pangkuan istri). Kedua, iddah karena talak ba’in (cerai yang dilakukan tiga kali oleh suami atau dengan melalui talak khulu’(yaitu gugatan cerai yang dilakukan oleh istri dengan mengembalikan maskawin atau sejenisnya). Ketiga, iddah dalam masa hamil. Keempat, iddah sebab ditinggal mati oleh suaminya. Selama iddah karena talak raj’i, istri berhak menerima nafkah serta seluruh haknya, kecuali biaya merias diri karena dia bukan lagi milik sang suami, terkecuali tidak bisa tidur karena kotor. Selain itu, suami wajib memberikan nafkah istrinya jika dicerai jika istri masih tamkin.42 Di samping tanggungjawab suami memberikan nafkah dalam masa perkawinan, suami juga dikehendaki membayar nafkah istri dalam masa iddah karena perkawinan mereka masih lagi berterusan sehinggalah habis tempoh iddah. Wanita yang ditalak dan berada dalam tempoh iddah berhak mendapat nafkah daripada suaminya dalam beberapa keadaan. Istri yang diceraikan dengan talak raj’i 42
Tamkin yaitu sempurna.
adalah berhak untuk menerima nafkah dalam tempoh beriddah. Bagi istri yang berada dalam talak bain, mereka hanya mendapat nafkah apabila hamil. Jika mereka tidak hamil dalam tempoh beriddah, mengikut Imam Syafi’i mereka hanya berhak mendapat tempat tinggal sahaja. 43 Istri haruslah menetap di tempat kediaman suami. Maksud menetap ialah tidak keluar ke mana-mana dari tempat kediamannya. Maksud tempat kediaman suami ialah kediaman yang disediakan oleh si suami sebagai memenuhi tanggungjawab nafkah yang diwajibkan ke atasnya selepas saja akad perkawinan dilangsungkan di antara mereka berdua. Inilah di antara tanggungjawab seorang istri yang berada di dalam iddah cerainya yang sering tidak dipedulikan oleh si istri atau suami atau keluarga masing-masing terutamanya keluarga si istri. Apa yang kita tahu, selepas saja lafaz talak diucapkan oleh si suami, sama ada talak raj’iatau talak bain, maka si istri yang diceraikan itu akan terus pulang ke rumah ibu bapanya, atau dia terus larikan pulang ke rumah keluarganya hampir kalaupun tidak ke rumah ibu bapanya, atau dia diusir keluar dari rumah kediamannya oleh si suami. Sebenarnya tindakan begini boleh menjejaskan hak dan tanggungjawab istri yang diceraikan di samping menjejaskan juga hikmah talak itu disyariatkan. Sebagian mantan istri berhak mendapat nafkah semasa menjalani masa iddahnya. Ia menjadi tanggungjawab si suami untuk melaksanakannya karena sama ada hubungan perkawinan itu masih lagi wujud seperti bekas istri yang berada di 43
Mohd Razuan, Undang-undang & Prosedur, (Selangor:Dri Publishing), h. 170.
dalam iddah raj‟i atau karena dia sedang hamil sekalipun dia sedang menjalani iddah bain. Menurut asalnya, tidak ada nafkah yang diwajibkan untuk bekas istri yang menjalani iddah bain walaupun dia berhak mendapatkan tempat tinggal. Tetapi apabila, pada ketika itu, dia sedang hamil maka nafkah dan tempat tinggal diberi peruntukan untuknya sama seperti seorang bekas istri yang menjalani iddah raj’i. 44 Hal ini disebabkan anak yang dikandungnya itu memerlukan kepada kesehatan yang sempurna. Sedangkan kesehatan adalah tergantung pada kondisi kesehatan si ibu dan kesehatan si ibu pula memerlukan bahan-bahan makanan dan minuman yang sempurna begitu juga dengan tempat tinggal yang selesa. Justru itu kedua-duanya (yaitu nafkah dan tempat tinggal) menjadi haknya yang wajib dipenuhi oleh bekas suaminya selama sebelum dia melahirkan anaknya. Firman Allah Swt.:
(سُرة ) ۴۵:۴/الطالق Artinya: “Dan jika mereka sedang hamil maka berikanlah kepada mereka akan nafkah mereka sehinggalah mereka melahirkan anak yang dikandungnya”. Kewajiban memberikan nafkah lain sebagainya tidak bisa gugur sampai lewat waktu. Begitulah menurut Imam Syafi’i. Namun, nafkah tidak wajib diberikan kepada perempuan yang hamil karena wathi syubhat dan tidak dinikahi atau perempuan yang hamil hasil nikah fasid. Tidak wajib memberikan nafkah kepada
44
Mat Saad, UU Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and Publicition 2007), h. 164.
istri yang ragu hamil, kecuali betul-betul hamil. Apabila dia telah nyata hamil, maka suami wajib memberikan nafkah harian.45 Jumlah nafkah bagi perempuan yang telah dicerai yaitu setara dengan kebutuhannya saat masih bersama sang suami. Apabila nikah fasakh disebabkan sesusuan atau aib, maka istri berhak mendapat tempat tinggal pada masa iddah. Hal ini tidak termasuk perempuan yang cerai dari nikah fasid atau wathi syubhat karena perempuan tersebut tidak melalui nikah yang sah.46 Dan dalil pemberian tempat tinggal bagi wanita yang ditalak ini adalah firman Allah Swt.:
(سُرة ) ۴۵:۱/الطالق Artinya: “Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumahnya, dan jangan (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas….” Suami atau orang lain tidak bisa mengusir istri yang sedang menjalani iddah. Dia juga tidak boleh keluar dari rumah karena dalam iddah terdapat hak Allah. Hak tersebut tidak gugur dengan adanya saling ridha antara suami istri, kecuali dalam kondisi darurat atau ada uzur, misalnya karena mengkhawatirkan keselamatan jiwa, harta dan kehormatan, atau karena takut rumahnya runtuh dan terbakar, takut sendirian, para tetangganya jahat, atau dia sangat jahat pada mereka.47
45
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta: almahira, 2010), Cet 1, h. 54. Ibid., h.55. 47 Ibid., h. 21. 46
Imam Syafi’i berkata ada kemungkinan perintah Allah Swt.
untuk
menempatkan mereka, dan tidak keluar baik siang atau malam, bukan karena suatu makna selain makna uzur.48 Semua wanita yang dicerai dan masih memungkinkan dirujuk kembali oleh suaminya, maka ia berhak mendapatkan nafkah selama masih dalam iddah dari suami yang menceraikannya itu. Lalu semua wanita yang dicerai dan suaminya tidak mungkin lagi untuk rujuk dengannya, maka ia tidak mendapatkan nafkah (dari suaminya) selama dalam masa iddah, kecuali bila ia dalam keadaan hamil. Fuqaha sependapat bahwa yang beriddah dari talak raj’i memperoleh nafkah dan tempat tinggal. Begitu halnya wanita yang sedang hamil, berdasarkan firman Allah berkenaan dengan istri-istri yang ditalak raj’i dan istri-istri yang ditalak dalam keadaan hamil:
Artinya: “Tempatkanlah istri-istri (yang menjalani iddahnya) itu di tempat kediaman kamu sesuai dengan kemampuan kamu; dan janganlah kamu adakan sesuatu yang menyakiti mereka (di tempat tinggal itu) dengan tujuan hendak menyusahkan kedudukan mereka (supaya mereka keluar meninggalkan tempat itu). Dan jika mereka berkeadaan sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sehingga mereka melahirkan anak yang dikandungnya….” Kemudian fuqaha berselisih pendapat mengenai tempat tinggal dan nafkah bagi istri yang ditalak bain tidak di dalam keadaan hamil dalam tiga pendapat:
48
Imam Syafi’i, Kitab Al-Umm, ( Jakarta: Pustaka Azzam 2009 ), h. 599.
Pendapat pertama yaitu menetapkan istri berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh fuqaha Kufah, pendapat kedua, mengatakan bahwa istri tersebut tidak memperoleh tempat tinggal maupun nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad, Dawud, Abu Tsaur, Ishaq, dan segolongan fuqaha dan pendapat ketiga, hanya menetapkan tempat tinggal saja untuk istri tanpa nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan lain.49 f. Hutang Mahar Mahar yang perlu dibayar biasanya dilakukan semasa akad nikah dilakukan. Ada juga sekelompok lelaki yang tidak membayarnya. Apabila mas kawin atau pemberian tidak dibayar dan tidak dihalalkan oleh istri, istri berhak mendapat mas kawin apabila diceraikan.50 Imam Syafi’i berpendapat, tidak wajib membayar uang mahar seluruhnya kecuali bila diawali dengan persetubuhan yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, jika suami istri hanya tinggal serumah, ia hanya wajib membayar separuh maharnya, Firman Allah Swt.:
Artinya: “Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu sentuh (bercampur) Dengan mereka, padahal kamu sudah menetapkan kadar maskawin untuk mereka, maka mereka berhak mendapat separuh dari maskawin yang telah kamu tetapkan itu, 49 50
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cet 3, h. 615. Mohd Razuan, Undang-Undang & Prosedur, (Selangor: Dri Publishing, 2006), h. 170.
kecuali jika mereka memaafkannya tidak menuntutnya); atau (pihak) yang memegang ikatan nikah itu memaafkannya (memberikan maskawin itu dengan sepenuhnya). Dan perbuatan kamu bermaaf-maafan (halal menghalalkan) itu lebih hampir kepada taqwa. dan janganlah pula kamu lupa berbuat baik dan berbudi sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa melihat akan apa jua yang kamu kerjakan”. Maksudnya, bila terjadi talak, padahal belum pernah bersetubuh dalam arti yang sebenarnya, ia wajib membayar mahar separuh dari yang telah dijanjikan. Adapun dalam keadaan tinggal serumah dan belum melakukan persetubuhan, ia tidak wajib membayar mahar seluruhnya.51 Mahar disyariatkan dibayar oleh suami kepada istrinya karena dinilai dari kemampuan suami karena suami akan menafkahi keluarganya dan ia telah mendapat nikmat dari istri. C. Hak Istri Akibat Perceraian Menurut KHI di Indonesia Kompilasi hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis para ulama fiqih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama yang diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi. Materi atau bahan-bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan peraturan perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu). Bahan ini kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah keputusan Presiden yang untuk selanjutnya
51
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2008), Jil 3, h.45.
dapat digunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sesuatu perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman.52 Hak istri akibat perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terdapat dalam beberapa pasal yaitu: 1.
Pasal 156 yang berbunyi: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.53 a) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; b) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; 52 53
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),h. 14. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 151.
c) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun); d) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d); e) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. 2. Pasal 157 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96, 97.54 3. Pasal 158 Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul. b. Perceraian itu di atas kehendak suami. 4. Pasal 159 Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158. 5. Pasal 160 Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. 54
Ibid., h. 152.
Menurut Pasal 156 yang dinyatakan di atas, hadhanah menjadi hak si kecil karena dia masih memerlukan seseorang yang menjaga dan menguruskan halnya serta mendidiknya. Hanya ibunya saja yang mampu melayani keperluan anaknya dengan wataknya sebagai seorang ibu. Lantaran itu ia menjadi hak dan tanggungjawab ibunya sendiri karena bapaknya tidak mampu melakukan tugas itu dengan sempurna sekalipun dia telah berkawin dengan perempuan lain. Lagipun seorang ibu tiri tidak mungkin akan melakukan untuk si kecil sama seperti yang dilakukan oleh ibunya sendiri.55 Tetapi jika ibunya telah meninggal dunia, tugas mengasuh anak tersebut digantikan kepada wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibunya. Kerabat dari keluarga ibunya diutamakan dibandingkan dengan bapaknya. Biaya penjagaan dan segala keperluan anak tersebut dibiaya oleh bapaknya. Menurut Pasal 157 yang dinyatakan di atas, harus diberi oleh mantan suami kepada istrinya menurut ketentuan Pasal 96 dan 97. Harta bersama yaitu harta yang diperolehi sepanjang masa perkawinan suami istri sama ada daripada sumber atau daripada usaha mereka bersama. Harta bersama tidak semestinya hasil daripada satu jenis pekerjaan yang dilakukan oleh suami istri yang menghasilkan satu bentuk harta. 56 Harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Syirkah menurut bahasa adalah percampuran dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yangt lain. Menurut istilah Hukum 55
Mat Saad Abd Rahman, UU Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and Publication, 2007), h. 122. 56 Mohd Razuan, Undang-Undang&Prosedur, (Selangor: Dri Publishing, 2006), h.183.
Islam ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu. Adapun dasar hukum syirkah adalah diriwayatkan oleh Abu Daud Hakim:
ه مَا ِ ّْث الِّشَرِيْكَي ُ ِ اَوَا ثَال:ل اهلل َ قَا:م. قَال رَسُُْل ص:َ قَال,ًْه اَبِي ٌُرَيْرَ َة رَضِى أهلل عَى ْ َع )ه بَيْىٍِِمَا (رَاي ابُ داؤد َ صححً الحاكم ْ ٍت م ُ ْن خَرَج َ ه اَحَذٌُُمَا فَأْرَا خَا ْ ُلَ ْم َيخ Artinya: “Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda, Allah ta‟ala berfirman: Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantara mereka tidak dikhianati pada temannya, apabila ada yang berkhianat. Maka aku keluar dari mereka.” (Riwayat Abu daud, dan dishahihkan oleh Al-Hakim).57 Dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perkongsian (syirkah) pada umunya menurut hokum Islam bukan hanya sekedar boleh melainkan lebih dari itu tidak ada tipu muslihat. Di kalangan empat mazhab terdapat lima macam yang disebutkan harta syarikat (disebut juga syarikat, syarkat, dan syirkat). Syarikat „inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka. Syarikat abdan, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya(upahnya) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang merreka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan dilaut, berburu, dan kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya. Syarikat mufawadlah, yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing di antara mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya, 57
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Penerjemah: Achmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, 2000), Cet 2, h. 422.
masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain. Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.58 Syarikat mudharabah, yaitu perkongsian orang yang memilki modal dan tidak. Artinya perkongsian yang diadakan antara orang yang tidak mempunyai modal, dengan cara orang yang mempunyai modal untuk berusaha menyerahkan modalnya kepada yang tidak mempunyai modal untuk berusaha dan berdagang. Disepakati tentang bolehnya syirkah ini oleh mazhab Malikiyah dan Hambali, karena terdapat syirkah dalam laba (keuntungan), sedangkan mazhab Syafi’i dan Hanafiyah tidak menggolongkan ke dalam syirkah karena pekerjaan ini tidak dinamakan syirkah.59 Di dalam al-Quran dan hadis tidak diatur tentang harta bersama dalam perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai penuh olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya. Sedangkan dalam kesadaran kehidupan sehar-hari masyarakat Islam di Indonesia sejak dari dulu hukum adat tidak mengenalnya dan diterapkan terus menerus sebagai hukum hidup. Apakah kenyataan ini dibuang kehidupan masyarakat? Tentu tidak mungkin, dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar mudaratnya. Atas dasar metodologi maslahah mursalah.60 “Uruf” dan kaidah “al-„adatu al-muhakmat”, para
58
Abdul Manan, Aneka Masalah H ukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group), Cet 1, h.110. 59 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT al-maarif 1987), h. 196-198. 60 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Dakwah al- Islamiyah, 1990), h. 84.
ulama melakukan pendekatan kompromistis, Prof. Ismail Muhammad Syah dalam disertasinya.61 Telah mengembangkan pendapat pencaharian bersama suami istri mestinyya masuk dalam rubu‟ muamalah tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan, mungkin hal ini disebabkan karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya adat harta bersama, tetapi di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syirkah atau syarikah karena itu masalah pencaharian bersama suami istri ini adalah termasuk perkongsian atau syarikah. Menurut Pasal 158 yang dinyatakan tersebut, mut‟ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar qabla al dukhul penceraian itu atas kehendak suami. Apabila seorang suami menceraikan istrinya sebelum menyetubuhinya dan sebelum membayar sebagian maskawinnya maka bekas istrinya berhak menuntut mut‟ah daripadanya. Si suami, pada ketika itu, wajib membayarnya. Akan tetapi jika dia sudah mengambil sebagian maskawinnya maka dia tidak lagi berhak menuntut mut‟ahnya.62 Firman Allah Swt.:
)۲۳۴:۲/(سُرة البقرة 61
Ismail Muhamad Syah, Pencahariann Bersama Suami Istri, Ditinjau dari Sudut UndangUndang Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Adat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 282. 62 Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkahwinan, (Selangor: Intel Multimedia and Publication), Cet 2, h. 166.
Artinya: “Tidaklah kamu bersalah dan tidaklah kamu menanggung bayaran maskahwin) jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu sentuh (bercampur) dengan mereka atau (sebelum) kamu menetapkan maskawin untuk mereka. Walaupun demikian, hendaklah kamu memberi "Mut'ah" (pemberian saguhati) kepada mereka (yang diceraikan itu). yaitu: suami yang senang (hendaklah memberi saguhati itu) menurut ukuran kemampuannya dan suami yang susah pula menurut ukuran kemampuannya, sebagai pemberian saguhati menurut yang patut, lagi menjadi satu kewajiban atas orang-orang (yang mahu) berbuat kebaikan”. Menurut Pasal 159 yang dinyatakan tersebut, mut’ah disunatkan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158 pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik.63 Jumhur fuqaha berpendapat bahwa peemberian untuk menyenangkan hati istri (mut‟ah) tidak diwajibkan untuk setiap istri yang diceraikan. Menurut Pasal 160 yang dinyatakan tersebut, besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Batasan mut’ah sebaiknya tidak kurang dari 30 dirham atau barang lain yang senilai. Mut’ah tertinggi adalah memberikan pembantu, dan yang tengah-tengah adalah memberikan pakaian, dan sunahnya mut’ah itu itu tidak melebihi separuh nilai mahar mitsil. Apabila suami istri bersengkata perihal besarnya mut’ah , hakim menetapkan ukuran mut’ah menurut pertimbangannya. Artinya, ukuran mut’ah yang harus diberikan adalah menurut ijtihad hakim sendiri, dengan mempertimbangan situasi dan keadaan keduanya, seperti kaya, miskin, keturunan, termasuk juga karakter wanita tersebut.64 Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. :
)۲۶۱:۲/ (سُرة البقرة
63 64
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani), Jil 2, h. 622. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta:Almahira), Cet 1, h. 573.
Artinya: “Dan istri-istri ang diceraikan berhak mendapat mut'ah (pemberian saguhati) dengan cara yang patut, sebagai satu tanggungan yang wajib atas orangorang yang taqwa”. Kekhususan mut’ah kepada orang-orang yang berbuat baik dan takwa didasarkan kepada kebaikan (ihsan) dan anugerah, kebaikan tidak wajib.65 D. Persamaan dan Perbedaan Hak Istri Akibat Perceraian Menurut Pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Hak istri akibat perceraian menurut pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, semestinya mempunyai kesamaan dan perbedaannya. Meskipun beberapa perbedaannya, penulis akan coba untuk mencari dan dapat dilihat seperti berikut: 1. Persamaan Persamaan hak istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yaitu: a. Pasal 156: Hadhanah menjadi hak ibu , jika ibunya meninggal dunia hak tersebut, akan diganti kepada wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibu, wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, saudara perempuan dari dari anak yang bersangkutan, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah seperti yang di atur di dalam KHI di Indonesia Pasal 156 (a). Jika anak tersebut sudah mumayyiz 65
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Munakahat,(Jakarta: Amzah, 2009), Cet 1, h. 210.
Fiqh
berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahnya atau ibunya. 66 Ketentuan yang diatur di dalam di dalam KHI di Indonesia Pasal 156 sama dengan pendapat Imam Syafi’i. b. Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami tanpa dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul dan perceraian itu atas kehendak suami diatur dalam KHI di Indonesia Pasal 158 (a) dan (b) sama pendapat dengan Imam Syafi’i. c.
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami ini menurut pendapat Imam Syafi’I dan KHI di Indonesia diatur pada Pasal 160.
2. Perbedaan Perbedaan hak istri akibat perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan pendapat Imam Syafi’i dan yaitu: a. Harta bersama Karena di dalam fiqih tidak diatur tentang harta bersama. Ia hanya diatur di dalam KHI di Indonesia Pasal 157. b. Seperti yang diatur di dalam 159 yaitu mut’ah sunnat diberikan oleh mantan suami tanpa syarat tersebut Pasal 158, ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i. c. Hutang mahar menjadi hak mantan istri, tidak wajib membayar mahar seluruhnya kecuali diawali dengan persetubuhan yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, jika suami istri hanya tinggal serumah maka wajib membayar separuh ini menurut
66
151.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:Akademi Pressindo, 2007), h.
pendapat Imam Syafi’I dan tidak dinyatakan dalam KHI di Indonesia Bagian Ketiga (Akibat Perceraian) dan Bagian Keempat (mut’ah).67 d. Nafkah iddah menjadi hak mantan istri yang masih di dalam iddah, ini tidak dinyatakan di dalam KHI di Indonesia pada bagian akibat perceraian.
67
Ibid., h. 151.
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah penulis menguraikan beberapa pembahasan mengenai hak istri dari mantan suami merujuk pendapat Imam Syafi’i dan KHI di Indonesia penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Semua peruntukan dengan hak-hak istri akibat perceraian yang terdapat ketentuan hukum mencakupi perkara-perkara yang diperlukan bagi memastikan tuntutan hak istri dapat dijalankan dengan lancar dan sewajarnya sebagaimana dikehendaki atau ditetapkan oleh hukum syarak. Hak istri akibat perceraian haruslah diberi mengikut pada kemampuan pihak suami untuk mengadakan jumlah tersebut dengan meletakkan taraf sosial dan kedudukan istri tahap maksimal dalam jumlah bayaran. 2. Mantan istri mempunyai hak selepas perceraian seperti, nafkah dalam iddah, hak pengasuhan anak (hadhanah), mut’ah, dan hutang mahar. 3. Hak istri akibat perceraian menurut
pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu pada Pasal 156, 158, 159 dan 160. 4. Perbedaannya yaitu di dalam Pasal 157 yang menyatakan tentang harta bersama. Harta bersama tidak diatur di dalam fiqih. Ia merupakan hukum adat saja yang
dikenali pada zaman sekarang. Nafkah iddah tidak diatur dalam akibat perceraian dalam Pasal 156 sampai dengan 160. 5. Anak-anak yang mempunyai hak terhadap ibu bapak yang telah bercerai seperti hak perlindungan, keselamatan dan kehormatan, hak pemilikan harta, hak nafkah, pendidikan, tempat tinggal dan juga nasab. Dalam hal ini, hubungan anak dengan ibu bapaknya akan terus ada selama-lamanya walaupun terjadi penceraian antara ibu bapaknya. 6. Dampak dari teputusnya perkawinan akibat perceraian disebabkan cerai, khuluk dan sebagainya. Di dalam Kompilasi Hulum Islam di Indonesia istilah akibat perceraian dan istilah cerai menurut Imam Syafi’i sebenarnya sama tetapi di dalam KHI di Indonesia istilah akibat putusnya perkawinan adalah karena perceraian. B. Saran-Saran 1. Bagi pasangan suami istri tidak harus bercerai sebaik-baiknya pasangan trersebut harus berdamai, karena jika terjadi perceraian ada dampak negatif terhadap anak dan keluarga yang lain. 2. Bagi pasangan suami istri, hendaklah mengetahui tanggungjawab masingmasing dalam membina rumah tangga dan wajib mengikut hukum yang sesuci dengan tuntutan agama dan undang-undang yang berlaku.
3. Sebagai seorang perempuan atau seorang istri mestilah mengetahui akan hakhaknya baik dalam perkawinan atau setelah perceraian dan ketika tidak mendapatkan nafkah dari suaminya haruslah membuat tuntutan di pengadilan supaya suami melaksanakan tanggungjawabnya. 4.
Mengenai hak-hak istri akibaat perceraian kelihatannya belum ada kesadaran bagi pihak suami yang mengabaikan tanggungjawabnya kepada istri dan bekas istri, seharusnya masyarakat harus tahu bagaimana pelaksanaan, pendapat, ketentuan hukum yang berlaku pada suatu tempat tersebut dan mazhab yang diikuti.
5. Anak-anak juga mempunyai hak terhadap ibu bapa yang telah bercerai seperti hak perlindungan, keselamatan dan kehormatan, hak pemilikan harta, hak nafkah, pendidikan, tempat tinggal dan juga nasab. Dalam hal ini, hubungan anak dengan ibu bapaknya akan terus ada selama-lamanya walaupun terjadi perceraianantara ibu dan bapaknya. 6. Masyarakat harus mengetahui ketentuan dan perkembangan masa kini hukum yang berlaku di Indonesia , walaupun berbagai pendapat dan mazhab yang diikuti, haruslah mengikut ketentuan yang berlaku. 7. Bagi wanita ataupun istri masih memiliki hak untuk dimiliki atau dituntut apabila terjadinya perceraian. Oleh itu, setiap kaum wanita perlu mengetahui hak mereka bagi memastikan mereka tidak teraniaya oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab. Sebagai penutupnya, adalah diharapkan agar penulisan ini sedikit banyaknya menjelaskan hak yang dimilki pihak-pihak dalam perkawinan dan memberi ruang kepada mereka untuk menambah pengetahuan dan menyadari hak dan tanggungjawab masing-masing yang ada dalam undang-undang dan hukum Islam.