PERSEPSI PIMPINAN DAN PELAKSANA LEMBAGA AMIL ZAKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh: Bunga Ariyanti 109046100130
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H /2014 M
ABSTRAK
Bunga
Ariyanti,
109046100130,
PERSEPSI
PIMPINAN
DAN
PELAKSANA LEMBAGA AMIL ZAKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Isi xii + 82 halaman + halaman lampiran. Masalah pokok pada penelitian ini adalah terbitntya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang menuai kontroversi dibeberapa pihak dikarenakan adanya beberapa pasal yang dinilai menkerdilkan peran LAZ. Bahkan beberapa LAZ mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas bebebrapa pasal yang dianggap krusial. Dalam penelitian ini akan membahas persepsi LAZ terhadap UU sebelum dan sesudah Judicial Review. Jenis penelitian ini adalah penelitan kualitatif. Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber, yaitu data primer yaitu Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan wawancara dengan pihak yang terkait dalam skripsi ini. Data sekunder yang diperoleh dari Artikel, Jurnal, dan Laporan Penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan teknik kepustakaan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa beberapa pihak merasakan adanya kekurangan dan ketidakadilan di beberapa pasal dalam UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Para pihak tersebut berharap bahwa pemerintah tidak membatasi pengumpulan dan pengelolaan zakat yang sudah dilakukan oleh LAZ dan masyarakat selama ini. Kerena yang terpenting dalam pengumpulan dan pengelolaan zakat adalah pengentasan kemiskinan dengan dana zakat yang terkumpul. Kata Kunci : Persepsi, Lembaga Amil Zakat, UU No. 23 Tahun 2011 Pembimbing : Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D NIP. 196912161996031001 v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “PERSEPSI PIMPINAN DAN PELAKSANA LEMBAGA AMIL ZAKAT
TERHADAP
UNDANG-UNDANG
NO.
23
TAHUN
2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya dan semoga dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dapat terselesaikan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada: 1.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. H. JM Muslimin, MA.
2.
Ketua Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag dan Sekretaris Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Mu’min Rauf, M.A.
3.
Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberikan saran dan arahan yang terbaik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah untuk Bapak sekeluarga.
vi
4.
Bapak Muh. Fudhail Rahman, Lc, MA dan Bapak M. Bukhori Muslim, Lc, MA yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi penulis.
5.
Kedua orang tuaku tersayang, Alm. Zainal Arifin dan Almh. S. Sulastri. Semoga Allah memberikan tempat terbaikNya untuk Ayah dan Ibu.
6.
Kakak-kakak dan saudara-saudaraku yang telah mendoakan dan memberi semangat serta kasih sayang.
7.
Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah, semoga amal kebaikannya mendapat balasan di sisi Allah SWT.
8.
Teristimewa untuk Ahmad Surya Kartadinata yang telah membantu dalam banyak hal, memotivasi, dan memberikan solusi terbaik kepada penulis.
9.
Untuk para narasumber pada penulisan skripsi ini, Bapak Kismo dari PKPU, Bapak Fiman dari BAMUIS BNI, dan Bapak Romi dari Dompet Dhuafa, Bapak M. Khoirul Muttaqin dari LAZISMU serta Bapak Hamid, Bapak Bobi, Mas Adi dan Mbak Putri.
10. Sahabat yang selalu menemani dan memberi semangat kak Dwi Warastuti, Tri Yuni dan Milah Kamilah. 11. Rekan-rekan Perbankan Syariah angkatan 2009 kelas D khususnya Evi Yundari, Siti Masuko, Juliana dan Arendira serta Fitri Yunindya, dan Alifiana. 12. Guru Sehat Om Bagus, Kak Ibnu dan para asistennya serta teman-teman di Kahfi Motivator School khususnya Angkatan 14 C yang selalu memberikan semangat dan doa. vii
13. Ibu Amellya Hidayat S.Pd dan segenap staff Akademik yang telah banyak membantu penulis. 14. Teman-teman sidang skripsi tanggal 16 April 2014 khususnya Suci Warnasari, Naylis dan Devid yang telah memberikan semangat serta doa kepada penulis. 15. Kepada siapapun yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah mendoakan dan memberi semangat kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kemampuan penulis. Namun, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai amalan baik penulis di sisi-Nya.
Ciputat, 24 Maret 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………................…… i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………….......
ii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN…………………………
iii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………..... iv ABSTRAK .........................…………………………………………………… v KATA PENGANTAR………………………………...…………………....... vi DAFTAR ISI……………………………….....………………………..........
ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………………........…… 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ......................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................… 8 D. Review Studi Terdahulu ........................................................................... 9 E. Metode Penelitian …................................................................................. 11 F. Sistematika Penulisan ………………………………………………....... 14 BAB II SISTEM ADMINISTRASI ZAKAT DALAM NEGARA A. Sejarah Zakat di Kelola Oleh Negara …………………………................ 16 B. Tujuan dan Manfaat Zakat Dikelola oleh Pemerintah ....…....................... 18 C. Managemen Zakat ……………………………………………................... 19 1. Pengertian Managemen ………………………………………...……. . 19 2. Managemen Klasik Dalam Pengelolaan Zakat ………………….……. 20 3. Managemen Modern Dalam Pengelolaan Zakat ………….……...…... 24 ix
D. Pola Distribusi Zakat ………………………………………...
30
E. Konsep Keamilan………………………………...............………..
33
F. Hambatan Pengelolaan Zakat Nasional ………………………......
35
G. Strategi Pengembangan Zakat di Indonesia ……………………...
36
BAB III SISTEM PENGELOLAAN ZAKAT DI LEMBAGA AMIL ZAKAT A. Konsep Lembaga Amil Zakat ………………………………………....
39
1. Pengertian dan Tujuan Lembaga Amil Zakat ………………………… 39 2. Fungsi Lembaga Amil Zakat ……………………………………...
40
3. Persyaratan Lembaga Amil Zakat ……………………........………
41
4. Struktur Organisasi Lembaga Amil Zakat ………………….…......
42
B. Lembaga Amil Zakat Sebagai Organisasi Nirlaba ……….......…………. 45 C. Pertumbuhan dan Persaingan LAZ di Indonesia ..............…………….… 47 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Lembaga Amil Zakat terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ...…………...................…………......….....
53
1. Pengaruh Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 …… 53 2. Dampak Terhadap Lembaga Amil Zakat
setelah di sahkannya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 ..................................................... 56 B. Persepsi Lembaga Amil Zakat Mengenai Pasal-pasal Krusial dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat ................... 59 C. Persepsi Lembaga Amil Zakat Atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Perihal Judicial Review ………..........................………......…………...…… 67
x
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………..……………….. 74 B. Saran …………………………………………………..………….........… 76 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………...…………….. 78 LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia ........................................ 48 Tabel 3.2
Potensi Zakat Nasional ................................................................... 49
Tabel 3.3 Penghimpunan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) Nasional 2007-2011 ...................................................................... 50
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang telah tertulis dalam AlQuran dan dalam hadist nabi. Bahkan didalam Al-Quran Allah SWT telah menyebutkan secara jelas berbagai ayat tentang zakat dan shalat sebanyak 82 ayat. Dari sini disimpulkan bahwa zakat merupakan rukun Islam terpenting setelah shalat.1 Secara sosial, zakat berfungsi sebagai lembaga jaminan sosial. Dengan adanya zakat, maka kelompok lemah dan kekurangan tidak akan merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup yang mereka jalani. Hal ini terjadi karena dengan adanya substansi zakat merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka ditengah masyarakat, sehingga mereka merasa hidup ditengah masyarakat manusia yang beradab, mememiliki nurani, kepedulian dan juga tradisi saling menolong. Selain itu secara ekonomi, zakat juga berfungsi sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat mempengaruhi
kemampuan
sebuah
komunitas
politik
(negara)
dalam
menjalankan kelangsungan hidupnya. Dengan adanya berbagai implikasi sosial dan ekonomi di atas, maka zakat dapat membentuk intergrasi sosial yang kukuh
1
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis (Jakarta: Kencana, 2010.) h. 293
1
2
serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Dua kondisi terakhir ini sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup suatu negara. 2 Potensi zakat di Indonesia berdasarkan riset Baznas dan Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) IPB tahun 2011 menunjukkan bahwa potensi zakat nasional mencapai angka 3,4 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan persentase ini, maka potensi zakat di negara kita setiap tahunnya tidak kurang dari Rp 217 triliun. Hal yang sungguh besar sehingga perlunya perhatian agar pengumpulan zakat di Indonesia dapat optimal. Sejarah perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan zakat dimulai pada tahun 1951 Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor: A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Kementerian Agama melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagian hasil pungutan zakat berlangsung menurut hukum agama. 3 Pada tahun 1964 Kementerian Agama mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
(RPPPUU)
tentang
Pelaksanaan
Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Mal. Sayangnya, kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden. Perhatian Pemerintah terhadap lembaga zakat ini mulai meningkat sekitar tahun 1968. Saat itu diterbitkanlah peraturan Menteri Agama Nomor 4 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Nomor 5/1968 tentang pembentukan Baitul Mal (Balai Harta 2
Ibid., h. Depag RI, Pedoman Zakat, (Jakarta: Badan Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, 2002), h. 284. 3
3
Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya. Namun pada tahun tersebut, Menteri Keuangan menjawab putusan Menteri Agama dengan menyatakan bahwa peraturan mengenai Zakat tidak perlu dituangkan dalam Undang-undang, cukup dengan Peraturan Menteri Agama saja. Karena ada respons demikian dari Menteri Keuangan, maka Menteri Agama mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 1968, yang berisi penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 1968 di atas.4 Kepemimpinan Presiden Soeharto memberikan sedikit angin segar bagi umat Islam dalam konteks penerapan zakat ini. Sesuai anjuran Presiden dalam pidatonya saat memperingati Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968 maka dibentuklahn Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah DKI Jaya. Sejak itulah, secara beruntun badan amil zakat terbentuk di berbagai wilayah dan daerah seperti di Kalimantan Timur (1972), Sumatra Barat (1973), Jawa Barat (1974), Aceh (1975), Sumatra Selatan dan Lampung (1975), Kalimantan Selatan (1977), dan Sulawesi Selatan dan Nusa tenggara Barat (1985).5 Perkembangan zakat pada masa Orde Baru ini tidak sama di setiap daerahnya. Sebagian masih pada tahapan konsep atau baru ada di tingkat kabupaten seperti Jawa Timur. Atau ada pula yang hanya dilakukan oleh Kanwil Agama setempat. Karena itulah, mekanisme penarikan dana oleh lembaga zakat ini bervariasi. Di Jawa Barat hanya terjadi pengumpulan zakat fitrah saja. Di DKI Jaya terjadi pengumpulan zakat, ditambah dengan infaq dan shadaqah. Dan di 4
Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, (Bandung: Mizan, 1987), h. 36-37. 5 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, h. 36.
4
tempat-tempat lain masih meniru pola pada masa awal penyebaran Islam, yakni menarik semua jenis harta yang wajib dizakati. 6 Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia Pada tahun 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama 16/1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah agar menggunakan dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lainnya. Pada tahun 1991 dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah. Kemudian, terbentuknya Kabinet Reformasi memberikan peluang baru kepada umat Islam, yakni kesempatan emas untuk kembali menggulirkan wacana RUU Pengelolaan Zakat yang sudah 50 tahun lebih diperjuangkan. Hingga pada tahun 1999 Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa
6
Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, h. 188-190.
5
lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia dapat berupa Badan Amil Zakat yang dikelola oleh pemerintah serta dapat berupa Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh swasta. 7 Kini pengelolaan zakat memasuki era baru dimana telah disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pada tanggal 27 Oktober 2011. UU tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi, akademisi, masyarakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pihak yang terkait (stake holder) lainnya. Mulai dari kekhawatiran akan dibekukannya LAZ hingga kesan UU tersebut mengerdilkan peran mandiri masyarakat dalam memberdayakan dana zakat. UU Zakat digugat karena tiga hal. Pertama, terkait masalah sentralisasi dalam pengelolaan zakat di mana Pasal 6 dan Pasal 17 UU Zakat menyatakan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) lah yang berhak mengelola zakat di tanah air, sementara posisi Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk membantu Baznas. Kedua, terkait pembatasan pembentukan LAZ di mana Pasal 18 ayat 2 UU Zakat menyatakan LAZ hanya bisa berdiri di atas badan hukum organisasi kemasyarakatan (ormas). Padahal banyak LAZ yang telah lama berdiri melalui badan hukum di luar ormas. Ketiga, terkait masalah kriminalisasi amil (pengelola) zakat di mana Pasal 38 UU Zakat menyatakan hanya pihak yang mendapat izin dari pejabat berwenang yang dapat mengelola zakat. Padahal kenyataannya ada banyak pengelolaan zakat di hampir seluruh institusi Islam seperti musala dan masjid. 7
M. Nur Rianto Al Arif. Lembaga keuangan syariah : Suatu Kajian Teoritis dan Praktis, (Bandung: Pustaka Setia, 2012)
6
Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat membuat beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) merasa tidak tenang. Pasalnya, UU tersebut, seakan-akan akan mengkerdilkan lembaga Amil Zakat. Salah satu LAZ di Malang, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Malang, menggelar aksi untuk mengkritisi masalah tersebut melalui aksi yang dilakukan di bunderan Kayutangan Kota Malang, Kamis (19/7/2012). Dalam aksinya, mereka melakukan aksi teterikal yang menggambarkan kebingungan para donatur untuk berzakat, karena UU melarang mereka untuk membayar pada lembaga yang dipercayai. Arif Wicaksono, Direktur Pelaksana YDSF Malang mengatakan, ketika UU tersebut dibelakukan maka nantinya ada sentralisasi pembayaran zakat di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Menurutnya, adanya UU itu membuat nasih LAZ terkatung-katung termasuk yang belum mendapat pengesahan pemerintah. "Bagaimana nasib LAZ yang lebih dulu hadir dan bagaiman nasib banyak lembaga yang belum disahkan," ujar Awik. 8 Dengan adanya UU tersebut, tidak ayal jika peran aktif lembaga-lembaga zakat tersebut semakin berkurang dalam mengambil andil praktik zakat di Indonesia, dan secara tidak langsung kinerja lembaga-lembaga tersebut pun menjadi terhambat. Karena, disamping faktor pembatasan dan persyaratan yang harus dipenuhi, telah terjadi krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang belum bisa menjamin kualitas dan hasil yang memuaskan baik dalam aspek perzakatan maupun aspek pemerintahan lainnya. Maka dari itu, perlu 8
Tribun News, “Lembaga Amil Zakat Malang Protes”, artikel diakses pada 14 Juni 2013 dari http://www.tribunnews.com/2012/07/19/lembaga-amil-zakat-malang-protes
7
adanya undang-undang tambahan atau peraturan pemerintah yang menjelaskan secara gamblang mengenai mekanisme dan tata cara pendistribusian zakat yang sesuai dengan syari’at Islam.9 Berangkat dari permasalahan diatas, penulis merasa perlu untuk mencoba memberikan pemaparan lebih lanjut tentang hal tersebut. Untuk itu, penulis mencoba menuangkannya dalam skripsi yang berjudul: PERSEPSI PIMPINAN DAN PELAKSANA LEMBAGA AMIL ZAKAT TERHADAP UNDANGUNDANG NO. 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Rumusan Masalah a. Bagaimana persepsi pada LAZ terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat? b. Bagaimana persepsi terhadap pasal-pasal krusial yang terdapat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011? c. Bagaimana persepsi terhadap kepuusan Mahkamah Konstitusi perihal judicial review Undang-Undang No. 23 Tahun 2011?
9
Amalina Fauziah & Bazari Azhar Azizi, Madina Pres, “UU Zakat; Menghambat Kinerja
dan Membatasi Peran Lembaga Zakat Non-Ormas (?)”, artikel diakses pada 10 Februari 2013 dari http://madinapers.blogspot.com/2012/01/uu-zakat-menghambat-kinerja-dan.html
8
2. Pembatasan Masalah Untuk menghindari pembahasan tidak meluas dan fokus pada permasalahan yang akan di bahas demi mencapai hasil yang tepat sasaran dan sesuai dengan yang diharapkan, maka penulis perlu membatasi permasalahan yang akan diteliti. Adapun batas penelitian ini adalah respon dari 4 Lembaga Amil Zakat mengenai Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui persepsi pimpinan dan pelaksana LAZ terhadap UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. b. Untuk mengetahui pemasalahan dan isu terkait dengan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
2. Manfaat Peneltian Adapun manfaat penelitian ini antara lain: 1. Bagi Penulis Melatih penulis untuk lebih kritis dan analis dalam menyikapi permasalahan yang
timbul
seputar
pengelolaan
zakat.
berkontribusi dalam memajukan zakat nasional.
Sehingga
penulis
dapat
9
2. Lembaga Amil Zakat Sebagai jawaban atas pertanyaan seputar pengelolaan zakat yang kini di atur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 3. Akademisi Untuk menambah khazanah keilmuan ekonomi Islam terutama yang menyangkut permasalah seputar pengelolaan zakat.
D. Review Studi Terdahulu No.
Nama Penulis / Judul
Isi
Perbedaan
skripsi / Tahun 1
Maulana
Ibrahim
tentang Dalam
/ Membahas
Distribusi Zakat dalam distibusi
zakat
Perspektif UU No. 38 Lembaga Tahun
1999
Amil
skripsi
di ini peneliti akan Zakat membahas
tentang (LAZ) Masjid At- Tin tentang persepsi
Pengelolaan Zakat / 2009
Jakarta Timur. Meneliti LAZ
terhadap
apakah LAZ tersebut telah UU Pengelolaan mendistribusikan
dana Zakat terbaru.
zakat
yang
diperoleh
untuk
usaha
produktif
sesuai dengan UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 16 Ayat 2.
10
Metode
Penelitian:
Deskriptif kualitatif 2
Asep
Ali
Hasan/
tentang Perbedaan dengan
Membahas
Pengembangan LAZ Dalam perbedaan UU No. 38 skripsi ini adalah Pemberdayaan
Ekonomi
Umat/ 2012
Tahun 1999 dengan UU skripsi ini akan No. 23 tahun 2011 serta respon
LAZ
Dompet
mengangakat persepsi
dari
5
LAZ.
Dhuafa terhadap UU No. 23 Tahun 2011. Metode Penelitian: Deskriptif Kualitatif 3
responden Dalam
%
skripsi
M. Sularno /
99
PENGELOLAAN
menjawab
ZAKAT OLEH BADAN
Undang-Undang No 38 membahas
AMIL ZAKAT
tahun
bahwa ini peneliti akan
1999
DAERAH KABUPATEN Pengelolaan
tentang tentang pesepsi
Zakat
dan LAZ
terhadap
Menteri UU Pengelolaan
/ KOTA SEDAERAH
Keputusan
ISTIMEWA
Agama
YOGYAKARTA (Studi
Petunjuk Pelaksanaan atas
terhadap Implementasi
UU adalah dasar hukum
RI
tentang Zakat terbaru.
11
Undang-Undang No.38
mereka
dalam
Tahun 1999 Tentang
pembentukan
Bazda.
Pengelolaan Zakat) /
Artinya
sosialisasi
2010
Zakat
dan
petunjuk
pelaksaannya
kepada
(Jurnal)
UU
pemerintah dan pengurus Bazda cukup berhasil. Metode
Penelitian:
deskriptif,artinya
kualitatif penelitian
berusaha
ini
memberikan
gambaran
tentang
implementasi pengelolaan zakat
oleh
Bazda
Kabupaten / Kota di DIY serta
kendala
dihadapinya,
yang yang
dipaparkan
berdasarkan
hasil
data
olah
diperoleh.
yang
12
E. Metodelogi Penelitian Penelitian ini termasuk kedalam penelitian lapangan (field research) dengan teknik wawancara, yakni komunikasi langsung antara penulis dengan pimpinan dan Pelaksana pada LAZ yang oleh penulis dijadikan sampel subjek/objek dalam penelitian. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah: 1. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan jenis data yang diperlukan maka penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yang Deskriptif Kualitatif yang bertujuan untuk membuat deskripsi, yaitu gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta yang berkenaan dengan hubungan antar fenomena yg diteliti.10 Penulis akan mencari gambaran tentang undang-undang pengelolaan zakat dengan melakukan penelitian terhadap literatur pustaka dan juga dilengkapi dengan beberapa wawancara langsung kepada Lembaga Amil Zakat.
2. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah: a. Data Primer Data pimer adalah yang didapat dari sumber pertama, dari individu seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuisioner yang bisa dilakukan
10
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 54.
13
peneliti.11 Dalam penelitian ini data primer yang dikumpulkan diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait dengan skripsi ini. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data primer yang diperoleh oleh pihak lain atau data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pengumpulkan data primer atau oleh pihak lain. 12 Data sekunder diambil dari buku-buku, jurnal, internet, data penelitian terdahulu dan sumber sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data yang relevan maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Interview (wawancara) Peneliti memberikan pertanyaan kepada Pimpinan dan Pelaksana Lembaga Amil Zakat untuk mengetahui persepsi lebih dalam dari permasalahan yang terjadi di seputar UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. b. Studi Pustaka Peneliti mencari data dari buku-buku teks, artikel-artikel dan sumber media cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini. 11
Dergibson Siagian dan Sugiarto, Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000) h.16. 12 Ibid., hal.16
14
4. Teknik Analisis Data Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan secara bersamaan dengan mengumpulkan data, sejak sebelum memasuki lapangan, selama dilapangan dan setelah di lapangan. Proses analisis bersifat induktif, yaitu mengumpulkan informasi-informasi khusus menjadi satu kesatuan dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasikannya dan menganalisa bisa dimulai dari data-data konkrit, kemudian dihubungkan dengan dalil-dalil umum yang sudah dianggap selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis.13
5. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “Pedoman Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”
F. Sistematika Penulisan Adapun penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yaitu: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kajian studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan statistika penelitian. 13
Moh Kasiram, Metodologi Penelitin Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian, (UIN Malang Press. 2008)
15
BAB II
: SISTEM ADMINISTRASI ZAKAT DALAM NEGARA Bab ini membahas tentang sejarah zakat dikelola oleh negara, fungsi dan manfaat zakat dikelola negara, serta managemen zakat di Indonesia.
BAB III
: SISTEM PENGELOLAAN ZAKAT DI LAZ Bab ini berisi konsep lembaga amil zakat, lembaga amil zakat sebagai organisasi nirlaba dan pertumbuhan serta persaingan lembaga amil zakat di Indonesia.
BAB IV
: HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan menguraikan pembahasan mengenai permasalahan yang terjadi seperti: Bagaimana persepsi Pimpinan dan Pelaksana dalam Lembaga Amil Zakat terhadap UU Zakat No. 23 Tahun 2011, Dampak yang dirasakan oleh LAZ setelah disahkannya UU No. 23 Tahun 2011, dan Persepsi LAZ atas Judicial Review UU No. 23 Tahun 2011.
BAB V
: PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan juga saran dari penulis. Kesimpulan ini merupakan ikhtisar dari uraian pada bab-bab sebelumnya.
BAB II SISTEM ADMINISTRASI ZAKAT DALAM NEGARA
A. Sejarah Zakat Dikelola Oleh Negara Di Indonesia, sejak datangnya Islam ke tanah air, zakat telah menjadi salah satu sumber untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda pun, zakat, terutama bagian sabilillah-nya merupakan sumber dana perjuanagan. Oleh karena itu, ketika satu persatu wilayah tanah air kita dapat dikuasai oleh Belanda, Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893, yang berisi kebijakan Pemerintah Kolonial mengenai zakat. Alasan klasik rezim kolonial itu adalah mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh penghulu atau naib yang bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan Pemerintah Belanda. Untuk melemahkan dana kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi untuk membantu pelaksanaan zakat. Larangan tersebut dituangkan dalam Bijblad No. 6200 tertanggal 28 Februari 1905. Setelah Indonesia merdeka, perhatian pemerintah secara kualitatif mulai meningkat pada tahun 1968. Pada tahun itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5/1968, masing-masing tentang
16
17
pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) ditingkat pusat dan provinsi dan ditingkat kabupaten dan kotamadya.1 Beberapa hari setelah peraturan Menteri Agama itu keluar, Presiden Soeharto, dalam pidatonya pada malam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara pada tanggal 20 Oktober 1968 mengeluarkan anjuran untuk menghimpun zakat secara teratur dan terorganisasi. Anjuran presiden inilah yang menjadi pendorong terbentuknya Badan Amil Zakat di berbagai provinsi di Indonesia, yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Atas prakarsa Gubernur Pemda DKI Jaya, Ali Sadikin, berdirilah di Ibukota Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah pada tahun 1968. Diberbagai daerah tingkat provinsi saat itu, berdiri pula badan serupa yang dipelopori oleh pejabat atau pemerintah setempat yang didukung oleh para ulama dan pemimpin Islam. Adanya perubahan (amandemen) Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 yang telah disahkan pada tanggal 27 Oktober 2011 diharapkan membawa perubahan sistem pengelolaan zakat di Indonesia menjadi lebih baik dan terintegrasi. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 menempatkan BAZNAS sebagai badan tunggal yang bertugas sebagai perencanaan, pengendalian, pelaporan, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat di Indonesia. Sementara itu, LAZ hanya diposisikan sebagai “pembantu” BAZNAS dalam pengelolaan zakat. 1
Rahmat Raharjo, “Sejarah Perkembangan Zakat di Indonesia”, artikel diakses pada 25 Maret 2014 dari http://konsultasi-hukum-online.com/2013/07/sejarah-perkembangan-zakat-diindonesia/
18
Pengelolaan zakat secara tunggal oleh negara sejatinya merupakan hal yang menggembirakan karena merujuk kepada banyak nash dan hadist yang menjelaskan zakat merupakan kewenangan pemerintah.
B. Tujuan dan Manfaat Zakat Dikelola oleh Pemerintah Pengelolaan zakat oleh Pemerintah Republik Indonesia memiliki banyak tujuan, diantaranya adalah: 2 1. Menghindari pungutan double pajak dan zakat 2. Agar pengumpulan zakat dapat tertib dan optimal 3. Agar penyaluran zakat menjadi tepat sasaran dan produktif 4. Mendidik umat Islam agar membayar zakat harta sesuai dengan ketentuan syariat Islam (adalah kewajiban pemimpin) 5. Pemerataan pendapatan dan mengurangi kecemburuan sosial serta mengurangi tingkat kriminalitas Adapun manfaat zakat dikelola oleh Pemerintah Indonesia ialah: 1. Dapat meningkatkan penerimaan negara dalam APBN, sehingga anggaran pembangunan dapat ditingkatkan. 2. Dapat meningkatkan jumlah wajib pajak dan jumlah wajib zakat (muzzaki) 3. Wajib zakat dapat di administrasikan secara akurat dan modern 2
Drs. H. M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh negara (Jakarta: Nuansa Madani, 201) h. 39
19
4. Tax ratio yang sekarang baru mencapai 12,1 % x PDB (produk domestik bruto) dapat ditingkatkan menjadi 20 % x PDB (akumulasi penerimaan pajak dan zakat harta dibandingkan PDB) 5. Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi :”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” yang selama ini belum pernah tercapai secara optimal dapat terealisir karena fakir-miskin adalah salah satu golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat harta. 6. Anggaran untuk pendidikan dapat ditingkatkan karena “pendidikan” adalah termasuk salah satu golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat harta sehingga pendidikan dapat dilaksanakan secara cuma-cuma dan gaji guru dapat dinaikkan 7. Pengusaha kecil golongan ekonomi lemah dapat dibantu permodalannya karena orang miskin (golongan ekonomi lemah) adalah salah satu golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat harta. C. Manajemen Zakat 1. Pengetian Manajemen Manajemen merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, “management” yang berakar kata “manage”, yang berarti “control” kontrol dan “succed” sukses.3 Nampaknya dari kata ini dapat disimpulkan bahwa inti dari manajemen adalah pengendalian hingga mencapai sukses yang diinginkan. 4
3
Lihat A. S Hornby, Oxford Advanced Dictinary of Current English. (Oxford: Oxford University Press, 1987) h. 517 4 Eri Sudewo, Manajemen Zakat. (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004) h. 63
20
Adapun manajemen secara terminologi diartikan oleh James Stoner, seperti dikutip Eri Sudewo, sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha para anggota organisasi dengan menggunakan sumber daya yang ada agar mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dalam Islam, manajemen secara letter lijk mungkin tidak dikenal, namun secara substansial, manajemen merupakan salah satu inti ajaran Islam.5 Seperti ibadah shalat di awal waktu merupakan perbuatan yang dianjurkan. Dimana kita diharuskan mengelola waktu bukan hanya untuk bekerja namun juga tidak melalaikan kewajiban shalat. 2. Manajemen Klasik dalam Pengelolaan Zakat Terkait dengan zakat, manajemen nampaknya belum banyak diperhatikan orang. Zakat masih dianggap persoalan yang ringan yang tidak perlu dikelola secara profesional. Apalagi ketika disebut zakat, orang segera mempersepsikan zakat fitrah dalam benaknya dan zakat fitrah cukup dilaksanakan di akhir bulan ramadhan. Dengan demikian, manajemen tidak diperlukan dalam pengelolaan zakat. Ada 8 tradisi yang telah membuat pengelolaan zakat di Indonesia menjadi tidak maksimal, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Sikap Penyepelean
5
h. 72
Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. (Malang: UIN-Malang Press, 2007)
21
Pengelolaan zakat dianggap sepele karena zakat sifatnya hanya bantuan dan pengelolaan bantuan itu merupakan pekerjaan sosial semata. Keseriusan dalam pengelolaan zakat bukan merupakan kenisyacaan. Pekerjaan sosial bisa dilakukan dengan santai dan tanpa beban. Pandangan semacam ini semakin memperkeruh situasi, sebab kebanyakan pengelola zakat menganggap bahwa mereka tidak terlalu membutuhkan zakat.. Penyepelean terhadap zakat akan berakibat kepada tidak terpenuhinya kebutuhan orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung. 2. Pekerjaan Sampingan Pekerjaan sosial adalah pekerjaan kedermawanan hati seseorang. Dengan demikian, rasa sosial ini akan sangat tergantung dengan suasana hati. Pekerjaan sosial dianggap pekerjaan sampingan yang tidak istimewa. Tidak ada penghargaan tinggi terhadap jenis pekerjaan ini karena dianggap cukup dikerjakan seadanya dan sederhana. Pekerjaan sosial semacam pengelolaan zakat merupakan pekerjaan kelas dua. Cara pandang yang meremehkan pengelolaan zakat semacam ini tentu membuat orang akan segan menekuni bidang pengelolaan zakat. sentimen masyarakat terhadap pekerja zakat akan membuat masyarakat semakin malas mengelola zakat secara profesional. 3. Tanpa Manajemen Pengelolaan zakat seringkali tanpa bentuk manajemen yang jelas. Semua berjalan sesuai dengan intuisi masing-masing. Manajemen dalam
22
arti sesungguhnya tidak dikenal. Pembagian tugas dan struktur organisasi hanya formalitas tanpa adanya alasan yang jelas. Struktur hanya disesuaikan dengan keinginan sang pengelola atau si pendiri bukan berdasarkan kebutuhan riil organisasi. Efeknya organisasi bisa berjalan namun lambat, biasanya hanya di awal saja organisasi tersebut berjalan namun lambat laun akan timbul kejenuhan, kecemburuan kerja dan akhirnya yang bekerja hanya beberapa gelintir orang saja karena yang lain mengundurkan diri atau sengaja tidak aktif. Akhirnya, organisasi tanpa manajemen yang jelas akan mandeg atau akan berjalan ditempat. 4. Tanpa Seleksi Sumber Daya Manusia Salah satu kebiasaan lembaga nirlaba di Indonesia termasuk lembaga pengelola ZIS adalah tidak serius dalam seleksi SDM pengelola. Jarang sekali ada sistem rekrutmen yang paten, apalagi fit and proper test yang dirasa terlampau berlebihan. Pandangan bahwa pekerjaan sosial merupakan pekerjaan mudah yang tidak butuh orang-orang profesional menyebabkan tidak adanya seleksi yang ketat. 5. Ikhlas Tanpa Imbalan Pola bekerja di yayasan sosial, panti maupun lembaga pengelolaan ZIS masih berupa pengabdian yang tak perlu mendapat hak, lebih-lebih menuntut upah yang layak. Jika ada tuntutan semacam itu, orang dianggap tidak ikhlas, tidak punya rasa pengabdian dan bisa jadi dianggap tidak islami. Meminta imbalan berarti merusak niat untuk beribadah. Dengan
23
demikian, imbalan bukan menjadi agenda yang utama, yang penting kerja. Namun, siapa yang mau bekerja tanpa imbalan? Wajar kalau kemudian orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan zakat adalah orang-orang yang memberikan sisa-sisa waktu dan bekerja apa adanya. Semangat yang diberikanpun juga tinggal sisa. Sehingga pengelolaan zakat tidak berjalan secara maksimal. 6. Kreativitas Rendah Pengelolaan tradisional biasanya cenderung pasif, kurang kreatif, dan tidak inovatif. Para pelaksananya lebih sering menikmati keadaan dan segan untuk melakukan terobosan-terobosan baru. Padahal, lambaga semacam ini perlu orang-orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi dan mau
bereksplorasi
meningkatkan
untuk
kemakmuran
menemukan umat.
solusi
Kehidupan
jitu
dalam
organisasi
usaha menjadi
monoton, seolah-olah tidak perlu repot mengikuti grak langkah zaman. 7. Minus Monitoring dan Evaluasi Salah satu dampak dari lemahnya kretiviatas dan tiadanya manajemen adalah tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi. Jalannya organisasi masih sangat tergantung pada pimpinan yang menjadi kata kunci dalam kebanyakan organisasi nirlaba. Model organisasi yang terlalu banyak menggantung kepada eksistensi pimpinan menyebabkan lemahnya sitem pengawasan dan evaluasi. Dengan tidak adanya kedua elemen
24
tersebut, dapat dibayangkan bahwa lembaga itu akan sulit berbenah apalagi berkembang untuk bersaing dengan lembaga lain. 8. Tidak Biasa Disiplin Kedisiplinan
akan
menyulitkan
sebuah
organisasi
untuk
berkembang, bersaing dengan kompetitor yang telah menerapkan disiplin sebagai salah satu prinsipnya. 3. Manajemen Modern dalam Pengelolaan Zakat Menurut Jones Stoner, model manajemen sederhana adalah sebagai berikut proses perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating), pengawasan (controling). Keempat aktivitas tersebut telah dirangkum oleh Eri Sudewo dalam buku Manajemen Zakat, berikut beberapa poin penting:6 a. Perencanaan Perencanaan merupakan suatu aktifitas untuk membuat rancanganrancangan agenda kegiatan yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi. Perencanaan itu bisa terkait dengan waktu dan strategi. Perencanaan model pertama , sering dibagi dalam tiga pembabakan, yaitu perencanaan jangka pendek, perencanaan jangka menengah dan perencanaan jangka panjang. Yang dimaksud dengan perncanaan jangka pendek adalah perencanaan yang dibatasi waktunya hanya satu tahun, sedangkan perncanaan jangka menengah biasanya akan dilakukan dalam kisaran waktu antara satu
6
Ibid, h. 79
25
hingga tiga tahun. Untuk perencanaan jangka panjang waktu yang dibutuhkan adalah tiga sampai lima tahun. Kisaran waktu tersebut bisa diubah sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Yang penting dalam perencanaan ini adalah adanya kegiatan yang jelas dan berkesinambungan yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi dengan standar pencapaian yang dicanangkan. Perencanaan strategis adalah perencanaan yang digunakan untuk menjaga fleksibilitas rencana jangka panjang akibat berubahnya situasi. Rencana strategis ini bertujuan untuk menjaga eksistensi organisasi sehingga tetap bertahan. Perbedaan dengan perencanaan berdasarkan waktu
adalah perencanaan berdasarkan waktu menekankan pada
harmonisnya organisasi dalam beradaptasi, sedangkan perencanaan strategis justru dibuat untuk meredam gejolak yang dapat mengguncang harmoni tersebut. Perencanaan strategis akan mampu menjaga organisasi dari kehancuran akibat perubahan yang begitu cepat. Dalam pengelolaan zakat, rencana strategis merupakan suatu unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ada beberapa alasan tentang hal tersebut:7 a. Masalah kepercayaan. Di dalam masyarakat kita, kepercayaan menjadi barang asing dan mahal. Kepercayaan akan muncul jika orang lain yang menyampaikan. Oleh sebab itu, kepercayaan butuh waktu lama untuk diraih. Orang-orang yang mengelola zakat
7
Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. (Malang: UIN-Malang Press, 2007)
26
adalah salah satu kuncinya. Lembaga zakat akan dapat dipercaya jika
pengelolaannya
benar-benar
sesuai
dengan
kemauan
masyarakat, yakni lembaga yang jujur, amanah dan profesional. b. Mayarakat. Masyarakat memiliki logika sendiri dalam menilai sebuah organisasi dalam menilai sebuah organisasi. Secara sosial, zakat merupakan bentuk ibadahyang memiliki hubungan nyata dengan masyarakat. Zakat menuntut tumbuhnya lembaga-lembaga zakat yang memiliki integritas tinggi dengan harapan lembaga zakat tidak hanya memberikan santunan, akan tetapi dapat merumuskan metode penanggulangan kemiskinan secara terencana. c. Pemeliharaan. Mayarakat kita tergolong senang mendirikan organisasi
namun
agak
segan
memiliharanya.
Sehingga
diperlukannya pemeliharaan agar lembaga zakat dapat berkembang dan menjalanakan fungsi sebagai mana mestinya. b. Pengorganisasian Yang dimaksud dengan pengorganisasian adalah cara yang ditempuh oleh sebuah lembaga untuk mengatur kinerja lembaga termasuk para anggotanya. Pengorganisasian tidak lepas dari koordinasi, yang sering didefinisikan sebagai upaya penyatuan sikap dan langkah dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan.
27
Koordinasi setidaknya dikaitkan dalam beberapa faktor, yaitu:8
Pimpinan Dalam sebuah organisasi, termasuk lembaga zakat, sedikit banyak akan tergantung dengan pimpinannya. Oleh sebab itu, organisasi harus melibatkan pihak pimpinan agar diketahui kemana arah organisasi yang diinginkan pimpinan. Walalupun begitu pimpinan tidak bisa seenaknya memaksakan kehendaknya kepada anggotanya.
Justru
dengan
koordinasi
inilah
akan
hilang
penyumbat kebuntuan komunikasi antara pimpinan dengan bawahan.
Kualitas Anggota Disamping pemimpin, organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kapasitas anggota akan menjadi unsur penting dalam membangun citra (image) organisasi. Potensi beragam dari para anggota lembaga tersebut akan menghasilkan kekuatan besar bila dikoordinir dengan baik.
Sistem Sistem yang baik akan menjadikan sebuah organisasi lebih lama bertahan hidup. Sistem ini antara lain meliputi struktur organisasi,
8
pembagian
kerja,
mekanisme
birokrasi,
Eri Sudewo, Manajemen Zakat. (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004)
sistem
28
komunikasi, dan transparansi anggaran. Jika semua sistem itu berjalan baik, tentu lembaga itu akan mudah memperoleh kesuksesan. c. Pelaksanaan dan Pengarahan Pelaksanaan
dalam
sebuah
manajemen
adalah
aktualisasi
perencanaan yang dicanangkan oleh organisasi sedangkan pengarahan adalah proses penjagaan agar pelaksanaan program kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Dalam pelaksanaan ada beberapa komponen yang sangat diperlukan,
diantaranya
adalah motivasi,
komunikasi dan
kepemimpinan. Motivasi akan memunculkan semangat bekerja dan pantang menyerah saat menhadapi pelbagai tantangan dan hambatan. Untuk memotivasi anggota organisasi dibangun sikap kebersamaan dan keterbukaan sehingga anggota yang baru masuk sekalipun akan merasa menjadi bagian utuh dalam kiprahnya. Komponen penting lainnya dalam tahap pelaksanaan adalah komunikasi. Komunikasi merupakan kegiatan untuk menyampaikan informasi secara timbal balik sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Terhentinya informasi akan menyebabkan kemacetan interaksi sehingga pada akhirnya memunculkan masalah baru. Oleh karena itu, jalannya arus informasi harus berlangsung secara lancar.
29
Unsur
terakhir
yang
penting
dalam
pelaksanaan
adalah
kepemimpinan. Kepemimpinan adalah unsur esensial dalam sebuah organisasi seiring sinyalemen umum bahwa warna organisasi sangat tergantung siapa yang memimpinnya. Kepemimpinan yang baik tidak lahir dari konflik kepentingan yang akan memenangkan kelompoknya dan menghancurkan lawannya. Sesungguhnya, pemimpin yang diidzmkan adalah sosok pemimpin yang menjadi tumpuan harapan semua orang, bukan kelompok atau golongan tertentu. d. Pengawasan Pengawasan merupakan proses untuk menganjurkan aktivitas positif dan mencegah perbuatan yang menyalahi aturan. Pengawasan berfungsi sebagai pengawal agar tujuan dalam organisasi dapat tercapai. Pengawasan dalam lembaga zakat, setidaknya ada dua substansi, pertama, secara fungsional, pengawasan terhadap amil telah menyatu dalam diri amil. Pengawasan inheren semacam ini akan menjadikan amil merasa bebas bekerja dan berkreasi karena selain bekerja, amil juga melakukan ibadah. Kedua secara formal, lembaga zakat memiliki Dewan Syariah yang secara struktural berada dibawah ketua lembaga zakat. dewan syariah yang terdiri atas para pakar yang ahli dibidangnya bertugas untuk mengesahkan setiap program yang dibuat lembaga zakat. jika nanti ditemukan penyimpangan dan ketidakberesan dalam aplikasi program
30
kegiatan, dewan ini berhak mengontrol dan kalau perlu menghentikan program tersebut. D. Pola Distribusi Zakat Pola Pendistribusian Zakat a) Pengertian Pola Pola adalah gambaran yang di pakai untuk contoh. Pola adalah bentuk yang di pakai sebagai acuan atau dasar membuat/melaksanakan sesuatu yang dapat menguntungkan manusia. Pola pendistribusian zakat adalah bentuk penyaluran dana zakat dari muzzaki kepada mustahik dengan melalui amil. b) Macam-macam Pola Pendistribusian Zakat Melihat pengelolan zakat pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat kemudian di aplikasikan pada kondisi sekarang, didapati bahwa penyaluran zakat dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni bantuan sesaat
(pola
tradisonal/konsumtif)
dan
pemberdayaan
(pola
kontemporer/produktif. • Pola Tradisional/Konsumtif (Bantuan Sesaat) Pola tradisional yaitu penyaluran batuan dana zakat diberikan langsung kepada mustahik. Dana yang disalurkan memang ditujukan unutk mustahik dalam bentuk bantuan yang bersifat
31
konsumtif seperti bantuan pangan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan tempat tinggal. 9 Hal ini akan menimbulkan multiplier effect, seperti yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Skema Efek Pengganda dalam Zakat Daya Beli Meningkat
Zakat
Produksi
Mustahik
Muzzaki
Meningkat
Investasi Meningkat Dana Pembangunan Pajak Pembangunan Meningkat
Produksi
Peningkatan Negara Mengingkat
Meningkat
Secara ekonomi di jelaskan sebagai berikut: diasumsikan bantuan zakat diberikan dalam bentuk konsumtif. Bantuan konsumtif yang diberikan kepada mustahik
meningkatkan
daya
beli
mustahik
tersebut
terhadap
barang
kebutuhannya. Peningkatan daya beli atas suatu barang akan berimbas pada peningkatan produksi suatu perusahaan, imbas dari peningkatan produksi adalah penambahan kapasitas produksi dalam hal ini berarti perusahaan akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Sementara itu, peningkatan produksi akan meningkatkan pajak terhadap negara. Bila penerimaan negara bertambah maka negara akan mampu menyiapkan 9
h. 94
Nana Mintarti, dkk, Indonesia Zakat & Development report 2012 (Ciputat: IMZ 2012)
32
sarana dan prasarana untuk pembangunan dan mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. • Pola Kontemporer/Produktif (Bantuan Pemberdayaan) Pola produktif adalah pola penyaluran dana zakat kepada mustahik yang ada dipinjamkan oleh amil untuk kepentingan aktifitas suatu usaha/bisnis. Dengan penyaluran zakat dengan bantuan pemberdayaan, diharapkan para mustahik nantinya akan menjadi mandiri dan tidak lagi bergantung dengan orang lain serta dapat berubah menjadi muzzaki. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Skema Penyaluran Zakat Produktif
Muzzaki
1
Mustahik
4
Mustahik Mempunyai Penghasilan
2
3
Mempunyai Pekerjaan
Penjelasan: 1. Zakat diberikan kepada mustahik dalam bentuk modal usaha atau kursus keterampilan.
33
2. Mustahik mempunyai pekerjaan. 3. Mustahik mempunyai penghasilan tetap. 4. Pada akhirnya mustahik berubah menjadi muzzaki. E. Konsep Keamilan Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh Zakat, menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:10 1. Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk rukun Islam yang ketiga. Karena itu, sudah saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim. 2. Mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus umat. 3. Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting, karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzzaki akan dengan rela menyerahkan zakatnya, jika lembaga zakat memang patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban
secara
berkala
dan
juga
ketepatan
penyalurannya sejalan dengan ketentuan syari’ah islammiyah.
10
144
Didin Hafidhuddin, Strategi Pengelolaan Zakat di Indonesia, Forum Zakat, 2011. h.
34
4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisai segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat. Dengan pengetahuan tentang zakat yang relatif memadai, para amil zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan kekeliruan yang diakibatkan dari kebodohannya pada masalah zakat tersebut. Pengetahuan yang memadai tentang zakat ini pun akan mengundang kepercayaan dari masyarakat. 5. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas. Perpaduan antara amanah dan kemampuan ini yang akan menghasilkan kinerja yang optimal. 6. Kesungguhan amil zakat dalam menjalankan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan. Banyaknya amil zakat yang sambilan dalam masyrakat kita menyebabkan amil zakat tersebut pasif dan hanya menunggu kedatangan muzzaki untuk membayarkan zakatnya atau infaqnya. Dan sebagian besar adalah bekerja pada bulan Ramadhan saja. Kondisi semacam ini harus segera dihentikan dan diganti dengan amil-amil yang serius, sungguh-sungguh dan menjadikan pekerjaan amil zakat sebagai pilihan hidupnya.
35
F. Hambatan Dalam Pengelolaan Zakat Nasional Dalam perkembangan zaman, pengelolaan zakat menghadapi beberapa kendala atau hambatan sehingga seringkali pengelolaannya masih belum optimal dalam perekonomian.11 1. Minimnya sumber daya manusia yang berkualitas Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang. Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup, karena tidak ada daya tarik disana. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel dan transparan. 2. Pemahaman fikih amil yang belum memadai. Masih minimnya pemahaman fikih zakat dari para amil masih menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan zakat. sehingga menjadikan fikih hanya dimengerti dari segi tekstual semata bukan konteksnya. Kekakuan dalam memahami fikih zakat menyebabkan mereka memandang zakat hanya dapat diberikan dalam bentuk konsumtif semata dan tidak diperkenankan untuk sesuatu hal yang produktif. 3. Rendahnya kesadaran masyarakat. Masih minimnya kesadaran membayar zakat dari masyarakat menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna dalam perekonomian. Karena sudah elekat dalam benak 11
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makro Ekonomi Islam. Bandung: Alfabeta, 2010, h. 280
36
sebagian kaum muslim bahwa perintah zakat hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja, itupun terbatas pada pembayran zakat fitrah. Padahal zakat bukanlah sekedar ibadah yang diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat dibayarkan pada bulan-bulan selain Ramadhan. Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah semakin baik, hal ini akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat. 4. Teknologi yang digunakan Penerapan teknologi yang ada pada suatu lembaga zakat masih sangat jauh apabila dibandingkan dengan yang sudah diterapkan pada institusi keuangan. Hal ini tentu akan menjadi salah satu kendala penghambat pendayagunaan zakat. teknologi yang diterapkan pada lembaga amil masih terbatas pada teknologi yang standar. 5. Sistem informasi zakat Lembaga amil zakat yang ada belum mampu mempunyai atau menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpada antar amil. Sehingga lembaga amil zakat ini saling terintegrasi satu dengan yang lainnya. G. Strategi Pengembangan Zakat di Indonesia Dengan melihat pada kondisi kekinian dan hambatan yang menjadi kendala perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia, maka haruslah disusun suatu strategi pengembangan dalam pengelolaan zakat sebagai berikut:12
12
Ibid, h. 283
37
1. Membudayakan Kebiasaan Membayar Zakat Harus mulai dicanangkan gerakan membayar zakat melalui tokohtokoh agama tau bahkan dengan cara memasang iklan dimedia massa baik cetak maupun elektronik. Sosialisasi kebiasaan membayar zakat harus dilakukan secara serentak dan dengan koordinasi yang matang antar lembaga, agar dapat menjadi budaya yang positif di masyarakat. 2. Penghimpunan yang Cerdas Pada masa kini, strategi penghimpunan zakat secara tradisional sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yang hanya tunggu bola, menuggu datangnya muzzaki datang ketempat amil. Saat ini amil harus mau untuk lebih bekerja keras dalam menghimpun dana masyarakat, strategi yang dipakai adalah strategi jemput bola, yaitu amil harus mendatangi dan mendekati para muzzaki agar mau mengeluarkan zakatnya. 3. Perluasan Bentuk Penyaluran Pola-pola penyaluran tradisional yang selama ini banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat secara tradisional harus diubah agar bentuk penyaluran yang ada mampu menjadikan mustahik menjadi mandiri dan tidak lagi bergantung kepada pihak lain. Mustahik tidak lagi hanya diberi “ikan” tetapi mulai diberi “kail”, dimana nantinya mustahik tersebut diharapkan mampu mendapatkan hasil yang berkesinambungan dari “kail” yang diberikan.
38
4. Sumber Daya Manusia yang Berkualitas Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu prasyarat agar suatu lembaga amil zakat dapat semakin berkembang dan mampu mendayagunakan dana zakat yang mereka miliki untuk kemaslahatan umat. 5. Fokus dan Program Seringkali kelemahan para lembaga pengelola zakat saat ini adalah memiliki ambisi untuk menjangkau semua aspek kehidupan, hal ini berakibat tidak fokusnya program-program yang mereka lakukan, sehingga dapat mengakibatkan tujuan utama pendayagunaan zakat untuk mengentaskan mustahik dari jurang kemiskinan justru tidak optimal.
BAB III SISTEM PENGELOLAAN ZAKAT DI LEMBAGA AMIL ZAKAT
A. Konsep Lembaga Amil Zakat 1. Pengertian dan Tujuan Lembaga Amil Zakat Lembaga amil zakat merupakan sebuah institusi yang bergerak di bidang pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah. Definisi menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayaagunaan zakat. 1 Pengelolaan zakat bertujuan : a) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan b) Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
2. Fungsi Lembaga Amil Zakat Menurut Ridwan (2005) Organisasi pengelola zakat apapun bentuk dan posisinya secara umum mempunyai dua fungsi yakni :
1
Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Terhadap Legalitas Pengelolaan
Zakat Oleh Lembaga Amil Zakat
39
40
1. Sebagai perantara keuangan Amil berperan menghubungkan antara pihak Muzakki dengan Mustahiq. Sebagai perantara keuangan, amil dituntut menerapkan azas trust (kepercayaan). Sebagai layaknya lembaga keuangan yang lain, azas kepercayaan menjadi syarat mutlak yang harus dibangun. Setiap amil dituntut mampu menunjukkan keunggulan masing–masing sampai terlihat jelas positioning organisasi, sehingga masyarakat dapat memilihnya. Tanpa adanya positioning, maka kedudukan akan sulit berkembang. 2. Pemberdayaan Fungsi ini, sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan amil, yakni sebagaimana muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman kehidupannya menjadi terjamin di satu sisi masyarakat Mustahiq tidak selamanya tergantung dengan pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan dapat berubah menjadi muzakki baru.
3. Keuntungan Pengelolaan Zakat oleh Lembaga Amil Zakat Pengelolan zakat oleh lembaga amil zakat, memiliki beberapa keuntungan, antara lain: 1. Untuk menjamin kepastian dan displin pembayar zakat. 2. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
41
3. Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala perioritas yang ada pada suatu tempat. 4. Untuk memperlihatkan syi'ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami.
4. Persyaratan Lembaga Amil Zakat Izin lembaga amil zakat hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:2 a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b. Berbentuk lembaga berbadan hukum; c. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d. Memiliki pengawas syariat; e. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f. Bersifat nirlaba; g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
2
Pasal 18 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
42
h. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
5. Struktur Organisasi Lembaga Amil Zakat Struktur organisasi lembaga pengelola zakat, terutama yang berbentuk lembaga amil zakat yang milik swasta atau masyarakat biasanya mengacu pada UU Yayasan. Hal ini terjadi karena struktur organisasi dari lembaga pengelola zakat mengacu pada UU Yayasan dan juga harus berbadan hukum yayasan. Untuk menghindari terjadinya dualisme dalam pandangan atas kedua UU tersebut, maka lembaga pengelola zakat harus memiliki unsur-unsur yang ada di bawah ini:3 1. Dewan Pembina Dewan Pembina bertugas untuk: a. Memberikan
nasihat
dan
arahan
kepada dewan
pengurus atau manajemen lembaga pengelola zakat b. Memilih, menetapkan, dan juga memberhentikan dewan pengawas syariah c. Mengangkat dan memberhentikan dewan pengurus d. Menetapkan arah dan kebijakan organisasi
3
2009)
Mahmudi, Sistem Akuntansi Organisasi Pengelolaan Zakat, (Yogyakarta: P3EI Press,
43
e. Menetapkan berbagai program organisasi f. Menetapkan
RKAT
(Rencana
Kerja
Anggaran
Tahunan) yang diajukan pengurus. 2. Dewan Pengawas Syariah a. Melaksanakan fungsi pengawasan atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak manajemen yang terkait dengan kepatuhan terhadap ketentuan syariah b. Memberikan koreksi dan juga saran perbaikan kepada pihak manajemen bila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan syariah c. Memberikan laporan atas pelaksanaan pengawasan kepada dewan pembina. 3. Dewan Pengurus/Manajemen Lembaga Pengelola Zakat Secara umum, tugas yang dilaksanakan oleh pihak manajemen adalah untuk melaksanakan arah dan juga kebijakan umum dari lembaga pengelola zakat dan juga merealisir berbagai rencana yang sudah ditetapkan oleh pihak pengurus. Adapun berbagai bagian yang ada didalam dewan pengurus terdiri dari:
44
a. Ketua atau direktur. Tugas utama yang dilaksanakan memastikan pencapaian dar berbagai tujuan yang dilaksanakan oleh lembaga pengelola zakat. b. Bagian penyaluran ZIS. Membuat program kerja distribusi ZIS dan juga melaksanakan pendistribusian ZIS tersebut. c. Bagian keuangan. Bertugas membuat laporan keuangan dari lembaga pengelola zakat dan juga melakukan pengelolaan aset-aset yang dimiliki oleh lembaga pengelola zakat. dalam bagian keuangan juga terdapat bagian akuntansi, bendahara, dan juga internal audit. d. Koordinator
program.
Menyusun
dan
juga
melaksanakan berbagai program yang dilakukan oleh lembaga pengelola zakat, serta menyusun laporan kinerja lembaga pengelola zakat. e. Bagian pembinaan mustahik. Melakuakan pendataan mustahik yang ada dan lalu mencatat dalam data mustahik yang dimiliki oleh lembaga pengelola zakat. Selain itu, juga melakukan pembinaan terhadap mustahik, dan melakukan pemantauan atas berbagai program distribusi ZIS kepada para mustahik.
45
f. Bagian pengumpulan dana ZIS. Bertugas untuk melakukan pengumpulan dana ZIS di wilayah yang menjadi tanggung jawab serta menyetorkan berbagai dana ZIS tersebut kepada pihak bendahara ZIS. B. Lembaga Amil Zakat sebagai Organisasi Nirlaba Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap halhal yang bersifat mencari laba (moneter). organisasi nirlaba meliputi keagamaan, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundang-undangan, organisasi sukarelawan, serikat buruh.4 Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi nirlaba adalah salah satu lembaga yang tidak mengutamakan laba dalam menjalankan usaha atau kegiatannya. Dalam organisasi nirlaba pada umumnya sumber daya atau dana yang digunakan dalam menjalankan segala kegiatan yang dilakukan berasal dari donatur atau sumbangan dari orang-orang yang ingin membantu sesamanya. Tujuan organisasi nirlaba yaitu untuk membantu masyarakat luas yang tidak mampu khususnya dalam hal ekonomi. Organisasi nirlaba pada prinsipnya adalah alat untuk mencapai tujuan (aktualisasi filosofi) dari sekelompok orang yang memilikinya. Karena itu bukan 4
Wikipedia, “Organisasi Nirlaba”, artikel di akses pada 1 November 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_nirlaba
46
tidak mungkin diantara lembaga yang satu dengan yang lain memiliki filosofi (pandangan hidup) yang berbeda, maka operasionalisasi dari filosofi tersebut kemungkinan juga akan berbeda. Karena filosofi yang dimiliki organisasi nirlaba sangat tergantung dari sejarah yang pernah dilaluinya dan lingkungan poleksosbud (politik, ekonomi, sosial dan budaya) tempat organisasi nirlaba itu ada. Melihat tugas dan fungsi dari Lembaga Amil Zakat, dapat disimpulkan bahwa LAZ merupakan salah satu lembaga nirlaba yang ada di Indonesia. Oleh karena itu LAZ memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Sumber daya, baik berupa dana maupun barang semuanya merupakan pemberian dari donatur dimana donatur berharap pemberian dari mereka tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. 2. Menghasilkan program kerja berupa jasa layanan kepada masyarakat dan tidak mencari laba dalam pelayanan tersebut, kalaupun menghasilkan laba, laba tersebut akan digunakan kembali untuk program selanjutnya. 3. LAZ bukanlah milik perorangan atau kelompok, melainkan milik ummat karena dananya berasal dari masyarakat. Sehingga kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas atau pembubaran entitas.
47
C. Pertumbuhan dan Persaingan antar Lembaga Amil Zakat di Indonesia Munculnya Badan Amil Zakat di Indonesia merupakan langkah awal dari dimulainya pengelolaan zakat melalui sebuah lembaga. Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian disetor kepada BAZ. Namun, atas seruan dan dorongan Presiden berturut-turut pada peringatan Isra’ Mi’raj dan Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi Menteri Agama No.1 tahun 1969 tentang Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun 1968.5 Namun setelah itu, pengaturan dan pengelolaan zakat di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan, kecuali beberapa instruksi dan himbauan tentang infaq dan sedekah. Hal ini menjadikan zakat relatif tidak memberikan kontribusi positif dan konstruktif dalam menghadapi realitas problem sosial ekonomi masyarakat dan negara. Sebelum tahun 1990, dunia perzakatan di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, antara lain zakat umumnya diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahik, jika pun melalui petugas zakat hanya terbatas pada zakat fitrah yang bertugas temporer, kemudian zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif dan harta objek zakat terbatas pada harta yang secara eksplisit dikemukan dalam Al-Qur’an dan Hadist.
5
Sejarah Pengelolaan ZIS di Indonesia, artikel diakses pada 10 November 2013 dari http://pujohari.wordpress.com/2009/09/
48
Di awal tahun 90-an, muncul Lembaga Amil Zakat (LAZ) pertama yang didirikan oleh Harian Umum Republika yang bernama Dompet Dhuafa. Hingga pada tahun 1999 dengan UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat, semakin banyak LAZ lain yang bermunculan yang dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3.1 Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia6 No.
6
Organisasi
Jumlah
1.
BAZNAS
1
2.
BAZDA Provinsi
33
3.
BAZDA Kabupaten/ Kota
434
4.
BAZ Kecamatan
4800
5.
BAZ Kelurahan
24000
6.
LAZNAS
18
7.
LAZ Provinsi
16
8.
LAZ Kabupaten/ Kota
31
9.
UPZ
8680
Total
38013
Nana Mintarti, dkk, Indonesia Zakat & Development Report 2012 (Ciputat: IMZ, 2012)
49
Hingga saat ini hanya ada 19 Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang dikukuhkan secara resmi ditingkat pusat yang terdiri dari 1 BAZNAS dan 18 LAZ. Banyaknya LAZ yang bermunculan menunjukkan besarnya potensi dana ummat di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3.2 Potensi Zakat Nasional7 No.
1
Jenis Zakat
Zakat Rumah Tangga
Jumlah
Prosentase
(Rp Triliun)
terhadap PDB
82,70
1,30
(Individu) 2
Zakat Industri:
3
Zakat perusahaan swasta
114,89
Zakat BUMN
2,40
Sub total
117, 29
1,84
Zakat Tabungan
17,01
0,27
217,0
3,40
TOTAL
7
Ibid., h. 26
50
Sumber: BAZNAS dan FEM IPB (2011) Dari sinilah fenomena fundraising zakat yang menyebar, yang mulai dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Fenomena munculnya banyak lembaga zakat membawa dampak positif dan negatif dalam masyarakat. Dampak positifnya adalah semakin besarnya dana Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) yang terkumpul. Pertumbuhan dana ZIS Nasional dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3.3 Penghimpunan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) Nasional 2007-20118 Tahun
Jumlah
Pertumbuhan Tahunan
(Miliar Rupiah)
(Persen)
2007
740
-
2008
920
24,32
2009
1200
30,43
2010
1500
25,00
2011
1800
20,00
*Data hingga November 2011 Besarnya pertumbuhan dana ZIS tentunya menggembirakan bagi semua pihak. Dengan tumbuhnya dana ZIS diharapkan permasalahan utama yaitu 8
Ibid., h. 2
51
kemiskinan dapat ditanggulangi. Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, ketidakberdayaan, keterbelakangan, kematian. Maka kemiskinan adalah musuh sesungguhnya yang perlu mendapatkan perhatian dari LAZ. Namun, banyaknya LAZ juga memunculkan permasalahan baru bagi pengelolaan zakat, karena LAZ cenderung independen dan membuat banyak program yang tidak signifikan dan lemah koordinasi antar lembaga zakat. Dari sinilah LAZ terkesan bersaing satu sama lain, bahkan hampir tiap LAZ memiliki program yang serupa namun dikemas dengan kemasan yang berbeda. Mereka cenderung latah terhadap program lembaga zakat yang telah ada. Dalam pengembangan program pemberdayaan zakat, kecenderungan LAZ menerapkan program lebih kepada sisi percobaan, kemudian dilihat bagaimana tingkat keberhasilannya, sementara desain yang bersifat terstruktur, menyeluruh dan berkelanjutan masih dihindari, untuk tidakmengatakan dibaikan. Ada tiga asumsi yang bisa menjelaskan kasus ini. Pertama, dana yang tersedia terbatas (karena dilakukan oleh satu lembaga), sehingga pengalokasian dana bersifat trial dan eror. Kedua, bentuk program diharapkan menjadi daya tarik masyarakat untuk berpartisipasi, baik bersifat dana maupun tenaga. Ketiga, LAZ masih menekann=kan misi LSM yang bersifat konformisme dan reformasi.9 Karena sibuk dengan urusan persaingan, LAZ terkadang lupa untuk merancang program secara sungguh-sungguh bagi mustahik. Imbasnya, LAZ
9
Asep Saepudin Jahar, Masa depan Filantropi Islam Indonesia (Banjarmasin, 2010)
52
lebih memilih merancanng program untuk mustahik yang populis. Padahal program itu seringkali juga berasa tidak adil, tidak merata dan tidak esensial. Bahkan dalam beberapa kasus program yang dilakukan hanya berorientasi pada perbaikan masalah di level tengah, bukan di akarnya, sehingga pelaksanaan program hanya menyelesaikan permasalahan jangka pendek, sementara masalah utamanya yaitu kemiskinan tetap tidak teratasi.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persepsi Lembaga Amil Zakat terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat 1. Pengaruh Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi di undangkan dan masuk dalam Lembaran Negera Republik Indonesia bernomor 115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 menggantikan UU No 38 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 11 Bab dengan 47 Pasal. Tak lupa di dalamnya juga mencantumkan ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. 1 Dalam undang-undang sebelumnya antara Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam relasi sejajar, bahkan dalam situasi tertentu cenderung pada posisi saling berhadap-hadapan (vis a vis). Sehingga memuncul dikhotomi antara dua lembaga tersebut. BAZ seolah-olah milik pemerintah, sedang LAZ punya masyarakat. Keadaan tersebut dinilai kurang kondusif sehingga potensi zakat yang begitu besar terabaikan sehingga pengelolaan maupun pendistribusian tidak memiliki arah, dimana saja wilayah mustahik yang 1
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
52
54
lebih krusial, bahkan dikhawatirkan adanya penerima manfaat ganda, yang diakibatkan tidak adanya sistem untuk mengetahui penerima manfaat dari masingmasing BAZ maupun LAZ.2 Lahirnya UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menimbulkan banyak tanggapan yang bersifat mendukung maupun mengkritisi UU tersebut. UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat hadir dengan membawa titik terang bagi pengelolaan zakat di Indonesia. Namun, undang-undang tersebut belum menutup segala permasalahan yang ada mengenai zakat. Harapan zakat dapat dikelola secara maksimal dan lebih terkoordinir belum sepenuhnya dijawab dalam undang-undang tersebut. Sebelum Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat lahir, pengelolaan zakat telah dilakukan oleh masyarakat, baik oleh organisasi (antara lain organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang dakwah atau pendidikan), organisasi berbadan hukum (yayasan), perkumpulan orang (seperti pengurus atau takmir musholla), atau bahkan oleh satu atau beberapa orang yang dianggap sebagai tokoh agama (alim ulama) dengan mengumpulkan dan membagi zakat dalam komunitas tertentu dalam komunitas tertentu yang anggotanya dan wilayahnya relatif kecil. Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung UU No 38 tahun 1999 dirasakan
kurang
optimal
dan
memiliki
kelemahan
dalam
menjawab
permasalahan zakat di tanah air.3 Selain itu pasal-pasal yang termaktub di
2 3
Puji Kurniawan, Legislasi Undang-Undang Zakat, (2013) HM.Busro anggota Komisi VIII DRR-RI dari Fraksi Golongan Karya (Golkar)
55
dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaruan. Karena itu di dalam UU Nomor 23 tahun 2011 pengelolaan lebih terintegrasi dan terarah dengan mengedepankan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan. Problem mendasar
yang
dihadapi
pada
rezim
zakat
terdahulu
adalah
adanya
kesimpangsiuran siapa yang harus menjadi leading sector.4 Dalam menyikapi terbitnya UU No. 23 Tahun 2011, LAZ terbagi menjadi 2 kelompok: yaitu kelompok pro dan kelompok kontra. Beragam komentar bernada kontra dengan adanya UU ini seperti yang di katakan oleh Sukismo dari PKPU bahwa UU No.23 Tahun 2011 tampaknya muncul dari keresahan pemerintah dalam hal ini BAZNAS, karena tidak adanya fungsi pengawasan. Tapi pengawasan dari pemerintah sifatnya pembatasan bukan pengawasan yang sesungguhnya. Pemerintah seperti ingin membatasi pengumpulan zakat yang dilakukan oleh swasta5 Pedapat berbeda di ungkapkan oleh M. Khoirul Muttaqin yang mengatakan bahwa UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dapat membuka ruang bagi pribadi, alim ulama dan perkumpulan orang yang selama ini tidak diwadahi dengan perizinan dan UU ini akan memperbanyak pelaku lembaga zakat”.6 Yang dapat dilihat dari pendapat Bapak M. Khoirul adalah UU Zakat ini membawa kepastian hukum bagi LAZ yang belum mempunyai legalitas hukum 4
Iskan Qolba Lubis, Anggota Komisi VIII DPR RI dari fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera. INFOZ+ Edisi 16 Th VII Januari- Februari 2012. h.4 5 Wawancara penulis dengan Sukismo, External Relation Manager PKPU pada 6 November 2013, di Kantor PKPU, Jakarta 6 Wawancara penulis dengan M. Khoirul Muttaqin, President Director LAZISMU pada 29 Januari 2014, di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta
56
menjadi lembaga dapat menjadi lembaga yang legal, karena didalam UU No. 38 Tahun 1999, tidak mudah untuk mendirikan lembaga zakat. 2. Dampak Terhadap LAZ setelah di sahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat Pembaharuan hukum Islam dalam bentuk pengkodifikasian menjadi perundang-undangan negara adalah bertujuan agar hukum Islam menjadi lebih fungsional dalam kehidupan umat Islam. Begitu juga dengan diberlakukannya Undang-Undang No.23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Semua pegiat zakat berharap, dengan adanya UU ini akan ada perbaikan dari semua sektor. Bukan hanya perbaikan segi kelembagaan, tapi dari segi kesadaran masyarakat dalam menyalurkan zakat melalui lembaga juga meningkat. Dengan demikian penghimpunan zakat oleh pengelola zakat juga bertambah sehingga bermanfaat bagi masyarakat miskin. Fundraising merupakan bagian penting dari sebuah NGO (Non Goverment Organization) yang termasuk didalamnya adalah Lembaga Amil Zakat. Fundraising dapat diartikan sebagai kegiatan dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat dan sumber daya lainnya dari masyarakat (baik individu, kelompok, organisasi, perusahaan ataupun pemerintah) yang akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional organisasi/ lembaga sehingga mencapai tujuannya. Fundraising dalam pengertian ini memiliki ruang lingkup lebih luas dari pengertian sebelumnya, Fundraising tidak hanya mengumpulkan dana semata. Tetapi, juga segala bentuk partisipasi dan kepedulian yang diberikan masyarakat kepada organisasi/ lembaga yang berbentuk dana dan segala macam
57
benda dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan dan kesesuaian dengan lembaga.7 LAZ tentunya bergantung kepada kegiatan fundraising. Untuk dapat memaksimalkan penghimpunan dana, tentunya LAZ memiliki strategi fundraising yang dilakukan. Beberapa strategi fundraising yang dilakukan oleh LAZ antara lain:8 1. Kampanye Media Kampanye media adalah strategi yang dilakukan oleh suatu lembaga dalam rangka membangkitkan kepedulian masyarakat melalui berbagai bentuk publisitas pada media massa. Beberapa teknik yang dilakukan antara lain adalah dengan membuat berita dan pemasangan iklan di media massa..
2. Direct Fundraising Direct fundraising adalah strategi yang dilakukan oleh lembaga dengan cara berinteraksi langsung dengan masyarakat, khususnya yang berpotensi menyumbangkan dananya.. Teknik yang dapat dilakukan antara lain: a. Direct Mail, yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan dengan cara mengirimkan surat kepada masyarakat calon donatur.
7 Pusat Informasi dan Studi Zakat, “Dasar Strategi Fundraising”, artikel diakses pada 4 April 2014 dari http://pistaza.wordpress.com/2011/10/08/dasar-strategi-fundraising/ 8 Dompet Dhuafa, “Startegi Fubdraising Zakat”, artikel diakses pada 4 April 2014 dari https://www.dompetdhuafa.org/strategi-fundraising-zakat/
58
b. Telefundraising, yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan dengan cara melakukan kontak telepon kepada masyarakat calon donatur. c. Pertemuan Langsung, yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan dengan cara melakukan kontak secara langsung dengan masyarakat calon donatur. d. Kerjasama Program, yaitu strategi yang dilakukan oleh lembaga dengan cara bekerjasama dengan organisasi atau perusahaan pemilik dana. e. Fundraising Event, yaitu strategi yang dilakukan oleh lembaga dengan cara menyelenggarakan sebuah event untuk pengumpulan dana. Terlepas dari kontroversi akan adanya pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap UU tersebut. Tentunya UU tesebut membawa beberapa dampak yang dirasakan LAZ, seperti dampak terhadap strategi fundraising LAZ yang telah biasa dilakukan, hal tesebut dirasakan oleh PKPU yang merasakan semakin meningkatnya fundraising semenjak pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sedangkan untuk BAMUIS BNI dan Dompet Dhuafa tidak adanya perubahan strategi fundraising pasca pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Menurut M. Khorul Muttaqin bahwa LAZISMU memang melakukan perubahan strategi fundraising tetapi perubahan tersebut bukan dikarenakan adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
59
Dampak lain yang dirasakan pasca pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah dampak langsung terhadap LAZ. Berikut merupakan dampak positif dan negatif dari pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dirasakan oleh BAMUIS BNI seperti yang di ungkapkan Fiman Fathur Mafachir9: Positifnya: 1. Akan adanya kepastian dari eksistensi LAZ dengan adanya BAZNAS yang setara dengan kementrian (Badan Negara). 2. Dengan adanya UU Zakat ada ketetapan akan tata kelola zakat secara nasional. 3. LAZ di akui dan menjadi jelas posisi dan perananya (sebagai pembantu BAZNAS). 4. Zakat penghasilan/profesi menjadi hukum positif dalam penerapannya. Negatifnya: 1. Sentralistik yang memicu berbagai penafsiran. 2. Kurang jelas posisi regulator dan koordinator (semoga dapat diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah nantinya).
B. Persepsi Lembaga Amil Zakat Mengenai Pasal-pasal Krusial dalam UndangUndang No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Hadirnya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat memang membawa angin segar bagi pengelolaan zakat di Indonesia. Namun, banyaknya 99
Wawancara pribadi bersama Fiman Fathur Mafachir, Divisi Akuntansi BAMUIS BNI pada 22 November 2013 di Kantor BAMUIS BNI , Jakarta
60
kekurangan karena ada sejumlah pasal yang dianggap diskriminatif dan tidak sesuai dengan realitas di lapangan yang di rasakan para pegiat zakat di Indonesia, memunculkan beberapa pihak yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada september 2012. Persepsi terhadap beberapa pasal krusial dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat antara lain:
Sentralisasi pengelolaan zakat oleh BAZNAS, dan LAZ sebagai pembantu dari BAZNAS. Persoalan tata kelola organisasi zakat, pertama relasi antara BAZNAS, BAZ dan LAZ. Persoalannya kemudian BAZNAS dan BAZDA adalah sebagai regulator tapi juga sebagai operator, itu yang masih menjadi persoalan.10 Banyak pihak yang berharap sebenarnya BAZ memainkan peran menjadi regulator dan supervisor, tidak sebagai operator. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan pasal 17 sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
Pasal 6 BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
10
Wawancara penulis dengan Romi Ardiansyah, GM Corporate Secretary Dompet Dhuafa pada 2 Januari 2014 di Kantor Dompet Dhuafa
61
Dalam Pasal 5 dan Pasal 6 diatas, menandakan bahwa pemerintah akan melakukan sentralisasi zakat dengan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) sebagai lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Pasal 7 ayat (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan
pendayagunaan
zakat;
c.
pengendalian
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa pemerintah membentuk BAZNAS sebagai pengelolaan zakat nasional, sedangkan seperti yang telah kita ketahui semenjak tahun 90-an telah lahir berbagai lembaga amil zakat dan mengelola zakat di Indonesia. Jika kemampuan BAZNAS pada Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat memiliki kewenangan yang terbatas sehingga dari sisi pengumpulan maupun pendistribusian kalah jauh dengan LAZ. Akan tetapi dengan kewenangan yang diberikan sekarang BAZNAS akan sangat leluasa dengan memiliki hirarki dan jaringan hingga tingkat struktur yang paling bawah bawah.
62
Pasal 17 Untuk
membantu
BAZNAS
dalam
pelaksanaan
pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. Pada pasal ini frasa “membantu” BAZNAS secara jelas bermakna subordinat BAZNAS, sehingga LAZ diposisikan berada dibawah BAZNAS. Sedangkan banyak LAZ sudah terbentuk sebelum adanya UU No. 38 tahun 1999. Menurut M. Khoirul Muttaqin11 mengenai posisi LAZ saat ini bahwa dari sisi regulasi saat ini menempatkan LAZ ini sebagai pihak kedua sebagai pembantu BAZNAS, sementara kapasitas LAZ dan BAZNAS itu sama, hanya yang satu milik swasta, yang satu milik pemerintah. Sehingga UU ini tidak menempatkan kesetaraan dan keadilan, artinya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Penglolaan Zakat ini semestinya dihadirkan dengan memperhatikan aspek-aspek kesetaraan dan keadilan, tapi disisi lain malah muncul kesenjangan. Seharusnya BAZNAS ditempatkan pada kapasitas sebagai regulator, atau koordinatif saja, tapi saat ini BAZNAS juga sebagai operator, tentunya hal tersebut tidak adil. Namun pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Fiman Fatur Mafachir yang mengatakan bahwa untuk BAMUIS BNI eksistensinya menjadi lebih jelas dan BAMUIS dapat menjadi lembaga alternatif atau
11
Wawancara penulis dengan M. Khoirul Muttaqin tanggal 29 Januari 2014 di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta
63
lembaga pilihan para muzzaki untuk menyalurkan zakat, infak dan shadaqahnya. 12
Persyaratan pendirian lembaga amil zakat terlalu memberatkan, karena harus ormas dan badan hukum seperti yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu: (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a.terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,dakwah, dan sosial; b.berbentuk lembaga berbadan hukum; c.mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d.memiliki pengawas syariat; e.memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f.bersifat nirlaba; g.memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h.bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.
Pasal ini mengatur mekanisme pembentukan Badan atau Lembaga Zakat melalui surat keputusan menteri dan persyaratan pemberian izin bagi 12
Wawancara penulis dengan Fiman Fathur Mafachir tanggal 22 November 2013 di Kantor BAMUIS BNI, Jakarta
64
Lembaga Amil Zakat (LAZ) sehingga memudahkan BAZNAS mengontrol dan mengawasi LAZ yang tumbuh dan berkembang secara liar ditengahtengah masyarakat. Namun, Pasal 18 ayat 2 poin (a) yang mensyaratkan lembaga amil zakat harus berbadan hukum Ormas. Pada kenyataannya, hampir seluruh LAZ berbadan hukum yayasan, yang berarti secara hukum tidak dapat didaftarkan sebagai ormas. Karena Undang-Undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan secara implisit menyatakan bahwa yayasan tidak memiliki anggota, sedangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan secara eksplisit menyatakan ormas sebagai entitas yang berbasis keanggotaan. Namun pendapat berbeda diungkapkan M. Khoirul Muttaqin dari LAZISMU yang mengatakan bahwa ada keinginan baik dari UndangUndang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat untuk mendorong kapasitas LAZ yang tadinya hanya NGO, LSM dan hanya basisnya media, kemudian untuk menaikan status mereka menjadi ormas.13
UU ini mengharuskan LAZ melaporkan laporan keuangan yang telah di audit kepada BAZNAS, selama ini LAZ telah melakukan pelaporan laporan keuangan kepada publik, khususnya para muzzaki di lembaga masing-masing. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 19 yaitu:
13
Wawancara penulis dengan M. Khoirul Muttaqin pada 29 Januari 2014 di Gedung Dewan Dakwah Muhammaiyah, Jakarta
65
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan,pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
UU dianggap kurang mengakomodasi institusi pengelola zakat terutama yang diinisiasi oleh masyarakat, seperti di pengelola zakat di masjid, musola, atau pesantren seperti yang tercantum dalam Pasal 38: Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
Dengan adanya pasal tersebut dikhawatirkan akan berkurangnya partisipasi masyarakat dalam melakukan pengumpulan dan pengelolaan zakat yang telah biasa dilakukan di panti asuhan, mesjid-mesjid maupun yayasan. Padahal seperti yang telah diketahui, sejak dulu pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Sukismo berpendapat bahwa UU No. 23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat membatasi pengelolaan zakat di Indonesia, contohnya seperti pengelolaan zakat secara publik yang ada di masjid atau pesantren yang mempunyai kebiasaan mengumpulkan zakat dari para jamaah di sekitarnya. Masjid dan pesantren mengumpulkan dana ZIS karena dana ZIS merupakan dana untuk kegiatan operasional masjid/ pesantren tersebut,
seperti membayar
listrik,
membayar
khatib,
membayar
kebersihan, membayar merbot dan imam serta lain-lain. Namun di dalam
66
UU No.23 Tahun 2011 tampaknya muncul dari keresahan pemerintah dalam hal ini adalah BAZNAS, karena tidak adanya fungsi pengawasan, karena memang masjid-masjid dengan sendirinya mengumpulkan, pelaporannya biasanya 1 minggu sekali ketika sholat jumat. Pelaporan biasanya hanya melalui khotbah ketika akan sholat jumat ataupun sholat idul fitri.14
Adanya sanksi yang memberatkan dan berpeluang terjadinya kriminalisasi seperti yang tercantum dalam Pasal 41 sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Dengan
adanya
sanksi dan
denda
yang
diberikan pada
pengumpulan zakat secara mandiri oleh masyarakat maka akan berdampak dengan kontribusi masyarakat yang menurun dalam mengelola zakat. Sebaiknya bagi masyarakat yang ingin berkontribusi dalam pengumpulan zakat diberikan penyuluhan tentang cara pengumpulan zakat yang harus sesuai undang-undang yang berlaku. Adanya pasal kriminalisasi dalam UU No. 23 Tahun 2011 ini juga memicu pendapat dari Bapak Sukismo yang mengatakan bahwa zakat 14
Jakarta
Wawancara penulis dengan Sukismo tanggal 6 November 2013, di kantor PKPU,
67
merupakan syariat islam, maka UU No. 23 Tahun 2011 itu harusnya berpedoman kepada agama dan berdasar Alquran dan Hadist, lebih lanjut ia menyayangkan mengapa hal tersebut di campur adukkan ke pidana yang tercantum dalam Pasal 41 yang mengatakan ketika kita mengumpulkan zakat di masyarakat setelah UU itu berlaku, lalu kena hukum pidana, hal tersebut adalah hal yang rancu. Karena menumpulkan zakat dimasyarakat dalam hal agama itu merupakan hak keagamaan dan berserikat serta berkumpul itu juga dilindungi oleh UU.15
C. Persepsi LAZ Atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Perihal Judicial Review Dalam menyikapi UU zakat yang baru ini masyarakat pada dasarnya terbagi ke dalam empat kelompok besar. Menurut Ahmad Juwaini, empat kelompok besar tersebut terdiri atas: 1. Kelompok pertama setuju semuanya terhadap isi UU ini sehingga melaksanakan seutuhnya apa yang terkandung dalam UU ini. 2. Kelompok kedua setuju terhadap sebagian pasal saja, sedangkan kekurangannya diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama, baru kemudian dilaksanakan. 3. Kelompok ketiga yang menolak sebagian, yang akhirnya melakukan judicial review tersebut, baru dilaksanakan.
15
Wawancara penulis dengan Sukismo, External Relation Mananger PKPU tanggal 6 November 2013 di kantor PKPU, Jakarta
68
4. Kelompak keempat yang menolak sepenuhnya UU ini, kemudian diajukan judicial review untuk dibatalkan dan tidak jadi dilaksanakan. 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 diajukan uji materiil pada Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah lembaga amil zakat, yaitu, (1) Yayasan Dompet Dhuafa; (2) Yayasan Dana Sosial Al-Falah Malang; (3) Yayasan Yatim Mandiri; (4) Yayasan Rumah Zakat Indonesia; dan lain-lain sebanyak 20 pemohon,
meliputi
Lembaga
Amil
Zakat
(LAZ),
amil
zakat
perorangan/tradisional, pembayar zakat (muzaki) dan penerima dana zakat (mustahik). Permohonan
uji materiil menggunakan alasan,
Pertama,
Terjadi
kriminalisasi lembaga amil zakat dan amil zakat tradisional; Kedua, Terjadi marjinalisasi dan penyempitan akses bagi para mustahik dan penerima manfaat dana zakat; Ketiga, Terjadi pembatasan terhadap preferensi dan pilihan para muzaki dalam menyalurkan dana zakatnya; Keempat, Terjadi sentralisasi pengelolaan zakat sepenuhnya di tangan pemerintah yaitu BAZNAS dan mensubordinasikan dan memarjinalisasikan LAZ di bawah BAZNAS yang statusnya adalah sama-sama sebagai operator zakat nasional; dan Kelima, Terjadi diskriminasi antar-sesama operator zakat nasional karena Undang-Undang memberi keistimewaan kepada BAZNAS.
16
Nana Mintarti, dkk, Indonesia Zakat & Development Report 2012 (Ciputat: IMZ, 2012)
h. 211
69
Setelah satu tahun menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi, akhirnya pada 31 Oktober 2013 diucapkan amar putusan atas uji materi UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 23 Tahun 2011. Para pemohon menguji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat yang mengatur keberadaan lembaga pengelolaan zakat dinilai bertentangan dengan UUD 1945.17 Namun Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan Pasal 18 UU Pengelolaan Zakat tersebut, dalam arti mengubah redaksinya. Sementara pasal lainnya hanya mendapat keterangan penjelas yang dimuat dalam amar putusan. Berikut adalah Kesimpulan Hasil Uji Materi UU Zakat18 1. Dikuatkannya peran BAZNAS sebagai pemain utama pengelolaan zakat di Indonesia. 2. Masyarakat diperkenankan mengelola zakat selama mendapat izin atau pengukuhan dari pemerintah (dalam bentuk LAZ), atau kalau didaerah yang belum terjamah operasi BAZNAS dan LAZ, maka pengelola zakat lainnya (seperti masjid, pesantren dan kyai) diharuskan memberitahu kepada pejabat terkait. 3. Pengukuhan LAZ tidak mensyaratkan badan hukumnya harus ormas atau perkumpulan, tapi dapat juga berbentuk yayasan.
17
INFOZ, Desember 2013, h.. 46 Ibid.,, h. 45
18
70
4. Masyarakat lainnya dianjurkan untuk menjadi Unit Pengelola Zakat (UPZ), baik UPZ Baznas maupun UPZ LAZ. 5. Menegakkan BAZNAS sebagai “koordinator administratif” pengelolaan zakat di Indonesia 6. Pelaksanaan sanksi pidana terhadap pengelola zakat masih ada, tetapi dilakukan secara bertahap dan persuasif 7. Semua pengelola zakat yang telah berizin/dikukuhkan sebagaimana poin (2) dan menjadi UPZ sebagaimana poin (4) tidaka akan mendapatkan sanksi pidana. Respon LAZ beragam terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang di ungkapkan oleh Romi Ardiansyah19 yang mengatakan bahwa dari pasal yang di kabulkan uji materinya (Pasal 18) oleh MK tersebut sudah mendukung Lembaga Zakat yang telah ada, serta pasal kriminalisasi yang dibatalkan juga menunjukkan bahwa kultur masyarakat yang selama ini terbentuk di masyarakat masih dihargai, dan menurutnya keputusan Mahkamah Konstitusi adalah sebuah hal yang positif, tapi dari sisi pengorganisasian BAZNAS itu masih rancu dan menimbulkan banyak tafsir. Lain halnya pendapat yang diberikan oleh Fiman Fathur Mafachir 20 yang mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi karena dengan adanya penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi atas beberapa pasal yang krusial dalam UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat akan memberikan kejelasan 19 Wawancara penulis dengan Romi Ardiansyah pada 2 Januari 2014, di Kantor Dompet Dhuafa, Jakarta 20 Wawancara penulis dengan Fiman Fathur Mafachir pada 22 November 2013, di Kantor BAMUIS BNI, Jakarta
71
dan pastinya UU ini dapat memberikan warna-warna baru dalam perkembangan zakat di Indonesia. Meski hadir dengan banyak opini yang menyertainya, tentunya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat perlu mendapatkan apresiasi dari para pihak yang terlibat. Kekurangan yang masih dirasakan tentunya dapat menjadi perhatian dan saran bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan membenahi kekurangan tersebut agar dapat diperbaiki kedepannya. Perkembangan zakat yang makin meningkat di Indonesia tentunya menggembirakan bagi semua pihak. Zakat diharapkan mampu digunakan untuk mengurai kemiskinan di Indonesia. Pentingnya zakat seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Untuk lebih meningkatkan perkembangan zakat di Indonesia tentunya ada banyak faktor yang harus di perhatikan oleh pemerintah dan masyarakat. Faktor-faktor tersebut seperti yang diungkapkan oleh M. Khoirul Umam 21 adalah sebagai berikut: a. Kepercayaan Mayarakat terhadap Pemerintah Persepsi mayarakat kepada pemerintah bahwa dana Zakat, Infaq, Shadaqah yang dikelola pemerintah rentan terhadap korupsi dan sebagainya.
Maka
pemerintah
harus
lebih
banyak
mempertimbangkan persepsi masyarakat kepada pemerintah terkait terkait posisi pemerintah ini. b. Edukasi Masyarakat tentang Penyalurkan Zakat
21
Wawancara penulis dengan M. Khoirul Umam pada tanggal 29 Januari 2014, di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta
72
Baik pemerintah maupun masyarakat termasuk LAZ mempunyai tanggung jawab besar dalam mengedukasi masyarakat bagaimana menyalurkan dana zakatnya secara postif dan lebih bermanfaat melalui lembaga yang sudah dikukuhkan / dilegalkan oleh pemerintah, karena lembaga-lembaga ini punya fokus dan bergerak secara profesional. c. Edukasi Masyarakat tentang Wajib Zakat Pemerintah
tidak
hanya
mengedukasi
masyarakat
untuk
mengeluarkan zakat yang sifatnya wajib bagi setiap muslim tapi juga kemana zakat itu disampaikan. Edukasi wajib zakat tidak mudah, karena pemerintah kita bukan pemerintah Islam, sehingga perlu ada edukasi yang lebih menarik sehingga masyarakay sadar akan wajibnya zakat bagi setiap muslim. d. Zakat sebagai Strategi Pembangunan Pemerintah juga perlu mempertimbangkan strategi pembangunan, termasuk juga bagaimana melibatkan zakat menjadi elemen penting walau bukan yang utama tetapi zakat menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan nasional. Selama ini zakat tidak pernah dijadikan faktor atau variabel dalam membangun dan mengembangkan Indonesia. e. Standar Asnaf Fakir Miskin Pemerintah juga harus membuat standar siapa yang disebut miskin dan siapa yang disebut mampu. Sehingga hal tersebut bisa diamini
73
secara syar’i agar semua LAZ punya pengkategorian yang sama terhadap asnaf fakir miskin itu dilevel berapa dan berpenghasilan berapa. f. Standar Ukur Amil Zakat Perlu ada standar ukur terkait amil, siapa amil dan bagaimana amil. Setiap lembaga zakat bisa mengambil siapapun orang untuk di jadikan amil karena tidak ada spesisalisasi tentang amil. Tugas pemerintah harus mendorong pendirian lembaga pendidikan yang memiliki kapasitas untuk mepelajari perzakatan karena selama ini tidak ada amil yang backroundnya tentang zakat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil analisis dan pembahasan tentang Persepsi Pimpinan dan Pelaksana LAZ Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Pada dasarnya LAZ menyambut positif niat baik pemerintah akan adanya amandemen atas Undang-Undang Zakat No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Namun ternyata kehadiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menuai kontroversi dikalangan pegiat zakat. Masing-masing komentar yang pro maupun kontra memiliki pendapat
yang
menguatkan
komentar
tersebut.
Sebagian
besar
menyayangkan beberapa pasal yang dianggap tidak memperhatikan LAZ dan kultur masyarakat yang berkembang di Indonesia. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 memberikan dampak yang dirasakan oleh LAZ yaitu dipersempitnya pengumpulan zakat oleh LAZ karena sentralisasi pengelolaan zakat oleh BAZNAS yang dikukuhkan pemerintah serta dampak yang dirasakan oleh masyarakat karena pengelolaan zakat oleh masyarakat kini dibatasi geraknya.
74
75
2. Persepsi LAZ terhadap berbagai pasal krusial beragam. Beberapa pasal yang menimbulkan banyak komentar adalah Pasal 6, Pasal 17 dan Pasal 41. a.
Adanya isu sentralisasi pengelolaan zakat yang berpusat ke BAZNAS seperti yang tercantum dalam Pasal 6 membuat beberapa LAZ yang selama ini telah melakukan pengelolaan zakat merasa dibatasi geraknya.
b.
Posisi LAZ pada UU No. 23 Tahun 2011 Tentang pengelolaan Zakat pada Pasal 17, kata membantu yang dimaknai bahwa LAZ sebagai subordinasi dari BAZNAS mengundang kontroversi karena dianggap menurunkan status kesetaraan BAZ dan LAZ yang selama ini di anut dalam UU No. 38 Tahun 1999. LAZ melihat hal tersebut menjadi sesuatu yang masih rancu dan perlu di tinjau kembali.
c.
Adanya pasal kriminalisasi pengelolaan zakat, yaitu pasal 41 dalam UU tersebut membatasi gerak pegiat zakat dalam melakukan pengumpulan dan pengelolaan zakat dan dianggap tidak menghormati kultur masyarakat di Indonesia.
3. Adanya beberapa pasal yang dianggap krusial memicu beberapa LAZ melakukan judicial review ke Mahkamah Kontitusi. Hingga terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi perihal judicial review UU No. 23 Tahun 2011 yang hanya mengabulkan pengujian Pasal 18 dalam UU tersebut, dalam arti mengubah redaksinya. Sementara pasal lainnya hanya mendapat keterangan penjelas yang dibuat dalam amar putusan. Persepsi LAZ
76
menyambut positif dan diharapkan Peraturan Pemerintah segera disahkan agar dapat menjawab beberapa hal yang masih rancu dalam UU No. 23 Tahun 2011. B. Saran 1. Walaupun menuai pro dan kontra di banyak pihak, namun UU No. 23 Tahun 2011 merupakan niat baik pemerintah untuk memperbaiki tata kelola zakat selama ini. Meskipun tetap saja seharusnya pemerintah lebih merangkul Lembaga Amil Zakat bukannya membatasi keberadaannya, karena seperti yang telah kita ketahui, selama ini LAZ telah turut berkontribusi dalam mengumpulkan dan mengelola zakat. 2. Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada siapa yang paling berhak mengumpulkan dan mengelola zakat, tetapi fokus pada pengentasan kemiskinan dengan potensi dana zakat yang sangat besar. 3. Pemerintah dan LAZ secara bersinergi melakukan sosialisasi zakat secara terus menerus kepada seluruh lapisan masyarakat. Sosialisasi ini diharapkan dapar memperkecil gap antara potensi dan realisasi penghimpunan zakat. 4. Pemerintah dan LAZ bersama-sama memberikan edukasi kepada masyarakat tentang wajibnya zakat bagi kaum muslim di Indonesia, karena selama ini banyak masyarakat yang kurang mengetahui tentang kewajiban zakat pada peorangan maupun kelompok seperti perusahaan dan hal tersbut belum di atur dalam UU No. 23 Tahun 2011.
77
5. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama diharapkan dapat aspiratif dan efektif dalam menjelaskan beberapa pasal yang di anggap kurang jelas maknanya seperti mekanisme pemilihan anggota (komisioner) BAZNAS, penyusunan tata keorganisasian dan kesekretariatan BAZNAS, dan mekanisme hubungan BAZNAS Pusat dengan daerah serta dengan LAZ.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat. Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999 Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011
Buku A. S Hornby, Oxford Advanced Dictinary of Current English. Oxford: Oxford University Press, 1987. Al Arif, M. Nur Rianto. Lembaga keuangan syariah : Suatu Kajian Teoritis dan Praktis, Bandung: Pustaka Setia, 2012. Al Arif, M. Nur Rianto. Teori Makro Ekonomi Islam. Bandung: Alfabeta, 2010. Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UIPress, 1988. Doa, Djamal, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara, Jakarta: Nuansa. 2011 Hafidhuddin, Didin, The Power of Zakat: Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia Tenggara, Malang: UIN-Malang Press, 2008. Hafidhuddin, Didin. Panduan Praktis tentang Zakat, Infak dan Sedekah. Jakarta:Gema Insani Press, 2002.
78
79
Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Hafiduddin, Didin. Problematika Zakat Kotemporer Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa. Jakarta: Forum Zakat (FOZ), Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Huda, Nurul dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis, Jakarta, Kencana, 2010. Kasiram, Moh, Metodologi Penelitin Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian, UIN Malang Press, 2008. Mahmudi, Sistem Akuntansi Organisasi Pengelolaan Zakat, Yogyakarta: P3EI Press, 2009. Nazir, Moh, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002 Qardhawi, Yusuf. Fiqh Zakat. Beirut: Muassasah risalah, 1991. Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani Press. 1975. Qardhawi, Yusuf, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta: Rabbani Press, 2001 Rahardjo, Dawam,
Perspektif
Deklarasi
Islam, Bandung: Mizan, 1987,
Makkah
Menuju
Ekonomi
80
Siagian, Dergibson dan Sugiarto, Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000. Sudewo, Eri, Manajemen Zakat. Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004 Sudirman. Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas, Malang: UIN-Malang, Press, 2007.
Sumber Lainnya Jahar, Asep Saepudin, Masa Depan Filantropi Islam Indonesia Kajian Lembagalembaga Zakat dan Wakaf, Makalh disampaikan dalam acara Annual Confrence on Islamic Studies (ACIS) ke 10 di Banjarmasin, 1-4 November 2010, Kalimantan Selatan. Mintarti, Nana, dkk, Indonesia Zakat & Development Report 2012: Soal Kebijkan dan Hal Lain yang Belum Paripurna, Ciputat: IMZ, 2012. INFOZ, Usai Masa Iddah Penggantungan Tata Kelola Zakat, Desember 2013, h. 45 Iskan Qolba Lubis, Anggota Komisi VIII DPR RI dari fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera. INFOZ+ Edisi 16 Th VII Januari- Februari 2012. h.4 Wawancara penulis dengan Sukismo pada 6 November 2013 di kantor PKPU Jakarta
81
Wawancara penulis dengan Fiman Fathur Mafachir pada 22 November 2013 di Kantor BAMUIS BNI Jakarta Wawancara penulis dengan Romi Ardiansyah pada 2 Januari 2014 di Kantor Dompet Dhuafa Jakarta Wawancara penulis dengan M. Khoirul Muttaqin pada 29 Januari 2014 di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta
Rujukan dari Internet Amalina Fauziah & Bazari Azhar Azizi, Madina Pres, “UU Zakat; Menghambat Kinerja dan Membatasi Peran Lembaga Zakat Non-Ormas (?)”, artikel diakses
pada
10
Februari
2013
dari
http://madinapers.blogspot.com/2012/01/uu-zakat-menghambatkinerja-dan.html Dompet Dhuafa, “Strategi Fundraising Zakat”, artikel diakses pada 4 April 2014 dari https://www.dompetdhuafa.org/strategi-fundraising-zakat/ Pusat Informasi dan Studi Zakat, “Strategi Fundraising Zakat”, artikel diakses pada
4
April
2014
dari
http://pistaza.wordpress.com/2011/10/08/fundraising-zakat/ Sejarah Pengelolaan ZIS di Indonesia, artikel diakses pada 10 November 2013 dari http://pujohari.wordpress.com/2009/09/
82
Tribun News, “Lembaga Amil Zakat Malang Protes”, artikel diakses pada 14 Juni 2013 dari
http://www.tribunnews.com/2012/07/19/lembaga-amil-zakat-
malang-protes Wikipedia, “Organisasi Nirlaba”, artikel di akses pada 1 November 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_nirlaba
HASIL WAWANCARA Narasumber
: Sukismo
Jabatan
: External Relation Manager
Hari, tanggal : Rabu, 6 November 2013 Tempat
: Kantor PKPU, Jakarta
1. Bagaimana pendapat anda tentang UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat? UU No. 23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat membatasi pengelolaan zakat di Indonesia, contohnya seperti pengelolaan zakat secara publik seperti di masjid atau pesantren yang mempunyai kebiasaan mengumpulkan zakat dari para jamaah di sekitar masjid. Mengapa masjid mengelola zakat? Karena dana ZIS merupakan dana untuk kegiatan operasional masjid tersebut, seperti membayar listrik, membayar khatib, membayar kebersihan, membayar merbot dan imam serta lain-lain. Namun di dalam UU No.23 Tahun 2011 tampaknya muncul dari keresahan pemerintah dalam hal ini BAZNAS, karena tidak adanya fungsi pengawasan, karena memang masjid-masjid dengan sendirinya mengumpulkan, pelaporannya biasanya 1 minggu sekali ketika sholat jumat. Pelaporan biasanya hanya melalui khotbah ketika akan sholat jumat ataupun sholat idul fitri.
Berbeda dengan laz, laz lembaga yang diberi amanah / diberi kewenangan untuk mengumpulkan zakat tentunya dengan kepastian hukum yang menyangkut untuk menjalankan amanah tersebut. Misalkan mereka sebagai laz harus ada surat rekomendasi dari kementrian agama. Perizinan laz diperolah melalui menteri agama langsung dari kementrian agama, saat ini baru 19 laz yang memiliki izin.
2. Apa dampak positif dan negatif terhadap LAZ dengan disahkan UU ini? Setiap uu yg lahir itu kalau kita mau memberikan pendapat yang objektif pasti ada positifnya. Positifnya adalah pengawasan dari baznas / pemerintah. Tapi pengawasan dari pemerintah tapi sifatnya pembatasan bukan pengawasan yang
sesungguhnya,
lagi-lagi
pemerintah
seperti
ingin
membatasi
pengumpulan zakat yang dilakukan oleh swasta, sedangkan masyarakat kurang mempercayai terhadap lembaga-lembaga zakat nasional seperti baznas, dan bazda.
3. Apakah terdapat perubahan sistem dan strategi fundraising di LAZ dengan disahkan UU ini? Jelas ada, UU zakat itu kan salah satu demi kemajuan untuk membangun lembaga –lembaga zakat di Indonesia, salah satunya PKPU, salah satunya memberikan dampak positif untuk lembaga-lembaga yang ada.
4. Apa pendapat anda tentang fungsi dan tugas pengembangan LAZ setelah diberlakukannya uu zakat no 23? Sebagai laz nasional mensosialisasikan hasil UU ini secara objektif dengan memperhatikan posisi BAZ dan LAZ.
5. Menurut anda bagaimana posisi LAZ dengan adanya UU ini? Posisi LAZ menjadi pembantu BAZNAS, padahal sebelumnya LAZ posisinya sejajar dengan BAZNAS,
6. Bagaimana perkembangan kinerja LAZ sebelum dan sesudah disahkan UU ini? Perkembangan PKPU meningkat. Karena PKPU keluar dari zona perebutan pengumpulan zakat yang selama ini berpusat di Jakarta.
7. Menurut anda bagaimana tentang uu zakat sebelumnya (UU No 38 tahun 1999)? Dalam uu tersebut tidak jelas siapa regulator dan siapa eksekutor, karena baznas berperan aktif, BAZNAS sebagai regulator dan sebagai pengumpul juga. Seharusnya baznas hanya sebagai regulator saja.
8. Menurut anda, apakah UU No 23 tahun 2011 dapat mendukung perkembangan zakat di Indonesia ataukah sebaliknya?
Sebetulnya niat awal dari UU ini pastinya untuk mendukung perkembangan zakat, hanya saja ada beberapa bagian yang belum sesuai dengan keadaan yang ada.
9. Menurut anda bagian mana sajakah yang tidak sesuai dari UU No 23/2011 untuk perkembangan zakat di Indonesia? UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat itu kan syariat Islam, UU yang harus berpedoman kepada agama, berdasar alquran dan hadis, kenapa di campur adukkan ke pidana, dalam pasal yang seandainya kita mengumpulkan zakat di masyarakat setelah UU itu berlaku, lalu kena hukum pidana, nah itu hal yang rancu. Kita menumpulkan zakat dimasyarakat dalam hal agama, sedangkan keagamaan dan berserikat dan berkumpul itu dilindungi UU.
10. Apakah UU Pengelolaan Zakat dan peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah cukup memadai dalam mengatur zakat yang bersifat nasional? Sudah ada yang sebelumnya yang UU No. 38 Tahun 2011, tapi kalau yang UU No. 23 Tahun 2011 belum memadai karena belum jelas aturan mainnya. Sebab payung hukum sudah ada namun aturan mainnya belum jelas seperti apa antara BAZNAS dan LAZ.
11. Menurut anda, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengembangkan dunia perzakatan di Indonesia?
Pemerintah harus lebih berkoordinasi dan berkomunikasi terhadap LAZ dalam rangka untuk mencari solusi yang sama-sama menguntungkan dan bermanfaat bagi LAZ dan BAZNAS.
BAZNAS dan LAZ dapat melakukan kerjasama misalnya penanggulangan bencana sehingga LAZ dan BAZNAS dapat bersinergi dalam penyaluran zakat.
12. Bagaimana respon anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU ini? Dengan adanya keputusan MK memberi peluang, memberi banyak harapan dan akan makin banyak muncul pegiat zakat atau LAZ yang berpotensi yang bisa mengembangkan zakat untuk bersinergi menggali dana zakat di Indonesia.
13. Apa saran dan masukan untuk UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat? Peraturan pemerintah supaya segera di sahkan agar bisa menjelaskan beberapa pasal yang dianggap krusial.
HASIL WAWANCARA Narasumber
: Fiman Fathur Mafachir
Jabatan
: Departemen Akuntansi
Hari, tanggal : Jumat, 22 November 2013 Tempat
: Kantor BAMUIS BNI, Jakarta
1. Bagaimana pendapat anda tentang UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat? BAMUIS BNI telah dikukuhkan dengan SK Menteri No. 330 Tanggal 20 Juni 2002 sebagai LAZ Nasional dengan tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan UU yang berlaku. Pasal 43 Ayat 3 UU No. 23/2011, LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum UU ini berlaku dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan UU ini. Pasal 43 Ayat 4 LAZ wajib menyesuaikan paling lambat 5 tahun. Kewajiban LAZ menurut UU No. 23/2011 pada Pasal 19 Ayat 1 wajib melaporkan pengumpulan, pendistribusian dan pendayaguanaan zakat yang telah di audit kepada BAZNAS.
Pada pasal 19 ayat 2 secara eknis di atur oleh PP sambil menunggu PP di UU No. 23/2011 BAMUIS tetap melaksanakan laporan triwulan (unaudit) dan laporan tahunan yang telah di audit kepada BAZNAS.
BAMUIS BNI sejak tahun 2009 secara berkala (triwulan) selalu menyampaikan laporan kepada BAZNAS.
2. Apa dampak positif dan negatif terhadap LAZ dengan disahkan UU ini? Positif:
Akan adanya kepastian dari eksistensi LAZ dengan adanya BAZNAS yang setara dengan kementrian (Badan Negara)
Dengan adanya UU Zakat ada ketetapan akan tata kelola zakat secara nasional
LAZ di akui dan menjadi jelas posisi dan perananya (sebagai pembantu baznas)
Zakat
penghasilan/profesi
menjadi
hukum
positif
dalam
penerapannya Negatifnya:
Sentralistik yang memicu berbagai penafsiran
Kurang jelas posisi regulator dan koordinator (semoga dapat diterjemahkan dalam PP nantinya)
3. Apakah terdapat perubahan sistem dan strategi fundraising di LAZ dengan disahkan UU ini? Tidak ada perubahan karena secara materiil BAMUIS BNI sudah melaksanakan seperti dalam UU tersebut.
4. Apa pendapat anda tentang fungsi dan tugas pengembangan LAZ setelah diberlakukannya uu zakat no 23? LAZ menjadi pembantu BAZNAS sehingga secara nasional kebijakan dan arahan serta pengembangan dapat merujuk pada apa yang telah ditetapkan di BAZNAS. Tugas LAZ menjadi dapat lebih terarah dan tanggung jawab sosialisasi perzakatan dapat bersinergi dengan BAZNAS yang memiliki dukungan APBN.
5. Menurut anda bagaimana posisi LAZ dengan adanya UU ini? Untuk BAMUIS eksistensi menjadi lebih jelas dan dapat menjadi lembaga alternatif/pilihan para muzzaki untuk menyalurkan zakatnya.
6. Bagaimana perkembangan kinerja LAZ sebelum dan sesudah disahkan UU ini? Sebelum:
Tidak memiliki posisi yang pasti untuk melaporkan dan meminta pembinaan.
Seringkali tumpang tindih antara BAZDA/ BAZ Provinsi terhadap para muzzaki di daerah.
Sesudah:
Pada
prinsipnya
mengalami
peningkatan
seiring
dengan
peningkatan pendapatan masyarakat.
7. Menurut anda bagaimana tentang uu zakat sebelumnya (UU No 38 tahun 1999)? Sebelum UU No. 23 Tahun 2011 diberlakukan, masyarakat dalam kegalauan untuk menunaikan zakat. LAZ tidak memilki kepastian kelembagaan yang pada akhirnya sering terjadi polemik murni secara syar’i akan kewajiban zakat profesi/zakat penghasilan. Kekuatan sematamata pada ulil amri dan tingkat keimanan komunitas karena belum ada hukum positif yang mengaturnya.
8. Menurut anda, apakah UU No 23 tahun 2011 dapat mendukung perkembangan zakat di Indonesia ataukah sebaliknya? Dengan adanya UU No. 23 Tahun 2011, sistem kerja yang menempatkan BAZNAS dan LAZ dalam satu koordinasi maka arah yang dituju oleh lembaga zakat akan lebih pasti dan tanggung jawab pengembangan perzakatan menjadi jelas dimana pemerintah diwakili oleh BAZNAS sebagai
lokomotif
yang
sekaligus
bertanggungjawab
untuk
memasyarakatkan zakat di kaum muslim. Semoga BAZNAS dan
Kemenaag mampu mengarahkan zakat seperti lembaga zakat guna kemaslahatan umat.
9. Menurut anda bagian mana sajakah yang tidak sesuai dari UU No. 23/2011 untuk perkembangan zakat di Indonesia? Pemilihan ketua/ pengurus BAZNAS yang cukup panjang berpotensi vacumnya BAZNAS.
10. Apakah UU Pengelolaan Zakat dan peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah cukup memadai dalam mengatur zakat yang bersifat nasional? Belum adanya PP UU No. 23 Tahun 2011 Dengan adanya UU No. 23 tahun 2011 sudah cukup memadai dalam pengaturan zakat, tetapi dikarenakan belum adanya Peraturan Pemerintah yang mendukung UU tsb sehingga masih ada beberapa pasal yang masih multi tafsir. Seperti pelaporan kepada BAZNAS yang tidak dijelaskan seperti apa dan bagaimana konsepnya.
11. Menurut anda, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengembangkan dunia perzakatan di Indonesia? Tanggung jawab sosialisasi dan penciptaan gerakan zakat guna peningkatan jaring pengawas kemiskinan masyarakat.
12. Bagaimana respon anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU ini? Saya mengapresiasi dengan penafsiran yang pasti dan adanya warna-warna baru dalam UU ini memungkinkan perkembangan zakat. (khusunya dalam soal perizinan).
13. Apa saran dan masukan untuk UU
No 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat? PP UU No.23 Tahun 2011 untuk segera diberlakukan agar ada prosedur baku untuk pengawasan, pelaporan dan pembinaan dalam proses pengelolaan zakat.
HASIL WAWANCARA Narasumber
: Romi Ardiansyah
Jabatan
: GM Corporate Secretary
Hari, tanggal : Kamis, 2 Januari 2014 Tempat
: Kantor Dompet Dhuafa Ciputat
1. Bagaimana pendapat anda tentang Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat? UU no. 23 Tahun 2011 adalah upaya penyempurnaan terhadap uu no 38 tahun 1999, Ada beberapa hal yang diharapkan dari perubahan UU ini yaitu ingin memperbaiki sistem, ada beberapa poin yang itu menjadi concern dalam lembaga zakat yang akhirnya menjadi dasar poin dalam judicial review yaitu : 1. Persoalan pengorganisasian organisasi zakat di Indonesia. Bagaimana fungsi, tugas dan kedudukan BAZ dan LAZ. Hal inilah yang memicu pengajuan judicial review pasal 5, 6 dan 7 di UU no 23 tahun 2011. 2. Uu zakat yang terbaru tidak melihat kultur masyarakat yang selama ini berkembang, membuka ruang kultur masyarakat Indonesia yang kemudian selama ini mengelola zakat
2. Apa dampak positif dan negatif terhadap LAZ dengan disahkan UU ini? Positifnya UU Zakat yang baru ini kan awalnya lebih kepada upaya untuk memperbaiki tata kelola organisasi zakat, artinya pemerintah sudah mulai memperhatikan geliat zakat di Indonesia, tapi negaifnya seperti yang saya sampaikan tadi, yang memicu adanya judicial review.
3. Apakah terdapat perubahan sistem dan strategi fundraising di LAZ dengan disahkan UU ini? Tidak terlalu berdampak terhadap DD.
4. Apa pendapat anda tentang fungsi dan tugas pengembangan LAZ setelah diberlakukannya uu zakat no 23? UU zakat yang terbaru tetap membuka ruang kultur masyarakat Indonesia yang kemudian selama ini mengelola zakat Peran LAZ terutama DD, mencoba untuk mengadvokasi agar LAZ-LAZ di daerah tetep bertahan dan tetap bisa berkontribusi dan membangun dalam pembangunan gerakan zakat di Indonesia.
5. Menurut anda bagaimana posisi LAZ dengan adanya UU ini?
Sebagai laz nasional, DD mensosialisasikan hasil UU ini secara objektif dengan memperhatikan peran BAZ, bazda dan LAZ, termasuk juga memastikan bahwa sebenarnya kultur masyarakat yang selama berkembang dan berjalan di Indonesia yang berperan
penting dalam
menggerakakan kehidupan zakat tetap kita
pertahankan, jadi tidak usah khawatir misalnya dgn pengelolaan zakat akan dikriminalisasi dan lain sebagainya.
Mengawal peraturan pemerintah, agar nantinya PP ini tetap menjadikan susasana ini terbentuk dengan baik.
Fungsi advokasi dan pendampingan agar laz-laz yang ada di daerah tetap bisa berkembang dengan baik.
6. Bagaimana perkembangan kinerja LAZ sebelum dan sesudah disahkan UU ini? Berjalan dengan design strategis yang telah kita buat, jadi ya ada peran tapi menurut saya tidak satu-satunya.
7. Menurut anda bagaimana tentang UU zakat sebelumnya (UU No 38 tahun 1999)? Sebenarnya semangat UU Zakat yang baru ini kan awalnya lebih kepada upaya untuk memperbaiki tata kelola organisasi zakat, artinya kita ingin bagaimana kemudian
membagi peran antara badan amil zakat dan
lembaga amil zakat, harapan awal sebenarnya dengan adanya uu zakat yg baru adalah perbaikan dari UU Zakat sebelumnya jadi agar kemudian ada tata kelola yang baik, tadinya kami berharap sebenarnya baz memainkan peran menjadi regulator dan supervisor, tidak sebagai operator, supaya tidak tercampur semuanya, tapi hari ini ternyata tidak dari sisi itu.
Semangat yang kita bangun, adalah uu zakat ini harusnya memperbesar ruang bermain lembaga-lembaga amil zakat agar kemudian gerakan zakat ini menyebar tidak malah kemudian semakin dibatasi. Sebenarnya kita sepakat dengan fungsi transparasi dan akuntabilitas. Bahwa uu zakat dibuat juga agara lmbaga zakat menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas, karena semnagat utk memberi perbaikan kpd masyarakat itu harus ada.
8. Menurut anda, apakah UU No 23 tahun 2011 dapat mendukung perkembangan zakat di Indonesia ataukah sebaliknya? Dari sisi apa yang dikabulkan mungkin iya, tapi dari sisi pengorganisasian itu masih agak rancu karena peran badan amil zakat, tapi dari sisi kemudian pasal kriminalisasi yang dibatalkan itu menunjukkan bahwa kita menghargai kultur yg selama ini terbentuk di masyarakat kita, ini menurut saya adalah sebuah hal yang positif. Pimpinan kami bapak Ahmad Juwani mengatakan, uu zakat hasil judicial review ini kira-kira fivety-fivety ya sebagian akhirnya tetap memberikan hal yg positif bagi baznas, tapi bagi laz juga ada.
9. Menurut anda bagian mana sajakah yang tidak sesuai dari UU No 23 Tahun 2011untuk perkembangan zakat di Indonesia?
Persoalan tata kelola organisasi zakat, pertama relasi antara baznas, bazda dan laz. Persoalannya kemudian bazns dan bazda adalah sebagai regulator tapi juga sebagai operator, itu yang masih menjadi persoalan.
10. Apakah UU Pengelolaan Zakat dan peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah cukup memadai dalam mengatur zakat yang bersifat nasional? Sementara ini kita sedang menunggu Peraturan Pemerintah. Mudah2an pp akan bisa menggambarkan lebih detail, lebih teknis peran dari masingmasing lembaga yang ada. Misalnya membahas secara detail kalau kita bicara ttg perizinan itu seperti apa, kalau mau mebuka izin berapa hari. Kita juga berharap bisa memperkuat peran asosiasi dalam hal ini forum zakat.
11. Menurut anda, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengembangkan dunia perzakatan di Indonesia? Kita harus memahami bahwa zakat memmpunyai sejarah masyarakat yg sangat kuat, artinya prinsip yang kita bangun adalah postif, bagaimana kemudian agar gerakan zakat ini terus berkembang, masif, terutama kita harus
berorientasi
kepada
sumber-sumber
atau
titik-titik
yang
sesungguhnya selama ini belum tersentuh dengan gerakain zakat ini, jadi bukan malah membatasi. Yang kedua adalah membangun kira-kira sebuah tata kelola sinergi organisasi yang baik antara badan amil zakat dan lmbaga amail zakat, saya
pikir penting untuk menentukkan peran utama yg harus dimainkan oleh masing-masing pihak, artinya kalau misalnya BAZ hanya fokus pada regulasi. Yang ketiga prinsip transparansi dan akuntabilitas satu hal yang kita kedepankan, dan kita tinggal membuat mekanisame ini. Nah itu seharusnya yg bisa dijalankan.
12. Bagaimana respon anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU ini? Secara keseluruhan belum ideal, karena kita mengajukan judicial review termasuk juga pasal 5, 6 dan 7 tentang fungsi dan peran BAZNAS dan BAZDA itu.
13. Apa saran dan masukan untuk UU
No 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat? Kita mengawal peraturan pemerintah untuk UU No. 23 Tahun 2011.
HASIL WAWANCARA Narasumber
: M. Khoirul Muttaqin
Jabatan
: President Director
Hari, tanggal : Rabu, 29 Januari 2014 Tempat
: Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta
1. Bagaimana pendapat anda tentang UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat? Membuka ruang bagi pribadi, alim ulama, perkumpulan orang yang selama ini tidak diwadahi dengan perizinan bagi ormas, UU ini akan memperbanyak pelaku lembaga zakat. Yang kedua terkait dengan peran serta warga dalam melibatkan diri dalam perzakatan, ini juga masih belum dijelaskan secara detail, karena belum adanya dewan syariah di lingkungan eksternal yang bisa mengawasi lembaga zakat secara syari’i, artinya UU ini masih jauh dari yang kita diharapkan. Sebenarnya tantangan dari lembaga zakat adalah ingin menggalang potensi zakat yang luar biasa besar, 200 Triliun. Setidaknya sekarang dibawah 10 Triliun, itupun dihitung dengan lembaga yang belum mendapatkan izin dari pemerintah, sedangkan bila hanya dihitung dari yang bersatus legal dan memiliki badan hukum yang disahkan kementrian RI itu tidak lebih dari 2 Triliun. Artinya UU ini pun sebenarnya membuka tapi belum sampai pada wilayah mengkonsolidasi kekuatan berapa dana yang menyebar di lembagalembaga yang memungkinkan.
Kemudian, terkait tumpang tindih antara peran BAZNAS sebagai pengelola dan disisi lain sebagai koordinator, itu menjadi problem tersendiri, sedangkan LAZ menafsirkan BAZNAS seperti posisi BI, ini yang masih menjadi masalah di lingkungan regulasi, kalau dalam persoalan substansi kelembagaan, tidak ada perubahan yang signifikan, hanya menempatkan BAZNAS sebagai koordinator dan malah LAZ dijadikan tangan kedua, menjadi lembaga pembantu, ini yang menjadi masalah bagi kita, tidak malah menaikkan dan melakukan penguatan kepada LAZ
2. Apa dampak positif dan negatif terhadap LAZ dengan disahkan UU ini? LAZISMU tidak merasakan dampak positif dan negatif, bahwa UU ini kita perlukan secara positif adalah untuk melindungi aktifitas kita, kalo negatifnya kami tidak merasakan sama sekali, tidak ada kerugian bagi kita dengan munculnya UU ini sekarang.
3. Apakah terdapat perubahan sistem dan strategi fundraising di LAZ dengan disahkan UU ini? Tidak, kami melakukan perubahan fundraising tetapi bukan karena Undang-undang, kami berjalan beriringan dengan perubahan undangundang, kelembagaan kami berubah sejak dari 2012 ke 2013 menjadi lembaga pengelola, dari kami mencari hingga mendistribusikan sendiri kemudian kami menggeser kelembagaan kami menjadi lembaga
intermediate/intermediasi, jadi kami memposisikan LAZISMU masih satusatunya lembaga intermediate untuk pengelolaan zakat. Ada signifikansi yang kami lakukan karena kami ingin mendorong partisipasi publik untuk terlibat dalam pengelolaan zakat, misalnya untuk menggerakkan pemberdayaan ekonomi mikro kami melibatkan kelompok usaha bersama seperti BMT, BPR, dan koperasi syariah.
4. Apa pendapat anda tentang fungsi dan tugas pengembangan LAZ setelah diberlakukannya uu zakat no 23? Karena pekerjaan rumah yang besar dari LAZ sebetulnya untuk menjangkau potensi itu tadi, maka satu tugas besar kita adalah mengedukasi warga, membangun kesadaran warga, kami meragukan bahwa tidak ada pihak yang dibebani secara penuh untuk melakukan edukasi kepada warga, apakah itu lembaga pendidikan, apakah itu kementrian agama. Berbeda dengan pajak, kalau pajak begitu diwajibkan, orang kalau tidak membayar pajak bisa dipidanakan, ada keterlibatan dari pemerintah. Ini masih menjadi pr bagi kita bagaimana mengedukasi warga, karena zakat meskipun ini diwajibkan pada agama kita, zakat masih banyak sebagai himbauan atau ajakan, ada kesenjangan antara wajib dalam agama dan undang-undang, dan ketika lembaga ini menjangkau masyarakat, kita tidak bisa datang ke calon muzzaki dan calon muzzaki tidak membayar, lalu kita tidak bisa menghukum yang bersangkutan, berbeda dengan pajak. Jadi tugas utama kita adalah melakukan proses
edukasi kepada warga, untuk melakukan tugas itu kita kemudian menggeser, memposisikan fungsi dari lembaga pengelola dari fundraising, pengelolaan keuangan sampai pendistribusian ke masyarakat LAZISMU ingin berbagi peran. Ada memang fungsi-fungsi yang akan kita perankan yang kita bagi ke publik, komunitas, organisasi warga sehingga bagi kami, kami akan konsentrasi sepenuhnya kepada fundraising dan menjadi lembaga intermediasi. Kebetulan memang di internal kita, sudah ada mitra kerja dengan komunitas-komunitas, dengan organisasi lain dalam rangka untuk mendistribusikan dan mendayagunakan zakat.
5. Menurut anda bagaimana posisi LAZ dengan adanya UU ini? Sebetulnya tidak ada perubahan, hanya memang ada opini yang memang dari sisi regulasi kita menempatkan laz ini sebagai pihak kedua sebagai pembantu baznas, sementara kapasitas laz dan baznas itu sama, hanya yang satu milik swasta, yang satu milik pemerintah. Sebetulnya uu ini tidak menempatkan kesetaraan, tidak menempatkan keadilan, artinya uu ini semestinya dihadirkan karena memperhatikan aspek-aspek kesetaraan dan keadilan, tapi disisi lain malah muncul kesenjangan, kecuali bila baznas ditempatkan pada kapasitas sebagai regulator, atau kalau koordinatif ya koordinatif saja, saat ini baznas juga sebagai operator, tentunya tidak fair.
6. Bagaimana perkembangan kinerja LAZ sebelum dan sesudah disahkan UU ini? Ini sebetulnya alami bukan karena uu, setiap lembaga kemungkinan besar juga akan terus menerus melakukan proses perbaikan diri, jadi bahwa memang ada sisi sisi UU yang mengharuskan lembaga-lembaga yang tidak sesuai dengan uu untuk melakukan perubahan, tapi bagi kami tidak melihat ada dampak siginifikan apalagi uu ini fungsinya ramai dibicarakan hanya pada saat Ramadhan, selebihnya tidak ada, artinya pemerintah kita sadar pentingnya zakat pada saat Ramadhan, tapi selebihnya tidak. Secara kelembagaan kami memang mengalami proses perbaikan, diukur dari pencapaian, memang terjadi peningkatan yang siginifikan. Tapi, kami belum mengukur apakah ada siginifikansi dari uu ini. Karena yang kita lihat sebenarnya lebih banyak kepada cara-cara dari laz yang melakukan edukasi warga tidak ada misalnya dari uu ini yang menyentuh publik. Apa dampak bagi mereka yang tidak menunaikan zakat, sehingga tidak ada signifikansinya.
7. Menurut anda bagaimana tentang uu zakat sebelumnya (UU No 38 tahun 1999)? Kalau dulu, memang terjadi beberapa perbedaan, terutama terkait kelembagaan, dulu mungkin tidak mudah untuk mendirikan lembaga zakat (dalam Uu no. 38 tahun 1999), jadi mengatur tentang pendirian apalagi dalam keputusan menteri peraturan tentang pengelolaan zakat tentang
pengelolaan
zakat,
yang
disebut
sebagai
laznas
harus
mampu
mengumpulkan sekian, kemudian laz ditingkat daerah/ opz di daerah harus mampu menggalang sampai sekian miliar. Tapi disaat sekarang sudah bukan menjadi syarat utama lagi, karena itu tadi munculnya inkonstitusi bersyarat, misalnya ada perlindungan bagi mereka, pengelola pribadipribadi atau perkumpulan untuk membuat lembaga zakat baru, ini menjadi lebih dimudahkan sebetulnya dengan adanya uu baru bagi siapapun yang ingin mendirikan lembaga zakat. kemudian dalam uu no 38 memang ada peran lembaga lain yang diatur dan terlibat dalam penentuan apakah lembaga ini layak berdiri atau tidak, itu dimasukan menjadi bagian dari regulasi, sedangkan lembaga ini bukan lembaga pemerintah atau lembaga yang didirikan oleh pemerintah, ini hanyalah perkumpulan, ini juga menjadi unik, siapa lembaga ini kok tiba-tiba muncul, ini juga menjadi pertanyaa atau problem dari regualasi di uu no. 38. UU ini juga tidak mengatur tentang sangsi bagi mereka yang mangkir zakat, sangsi bagi para mustahik yang menerima tapi menyalahgunakan dana zakat yang diterima.
8. Menurut anda, apakah UU No 23 tahun 2011 dapat mendukung perkembangan zakat di Indonesia ataukah sebaliknya? Ada keinginan baik dari uu ini untuk mendorong kapasitas mereka yang tadinya hanya NGO, LSM, hanya basisnya media, kemudian untuk
menaikan status mereka menjadi ormas. Kita lebih ke aspek positifnya, meskipun bagi kita uu ini tidak terlalu berdampak.
9. Menurut anda bagian mana sajakah yang tidak sesuai dari UU No. 23/2011 untuk perkembangan zakat di Indonesia? Posisi laz dan baznas, memposisikan laz diberikan kapasitas hanya untuk membantu baznas dalam pasal 1 poin 8, seharusnya LAZ setara dengan BAZ.
10. Apakah UU Pengelolaan Zakat dan peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah cukup memadai dalam mengatur zakat yang bersifat nasional? Masih jauh dari sempurna, pengelolaan zakat ini masih banyak dilakukan berdasarkan kreatifitas LAZ dari peraturan uu yang dikeluarkan pemerintah.
11. Menurut anda, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengembangkan dunia perzakatan di Indonesia?
Memang yang perlu dipertimbangkan pemerintah kita , sistem pemerintah kita bukan sistem pemerintahan islam, jadi itupun juga akan memberikan persepsi warga yang tidak mudah dalam mengedukasi warga, karena ini pemerintah sekuler.
Persepsi warga kepada pemerintah, kalau dana itu dikelola pemerintah rentan terhadap korupsi dan sebagainya. Persepsi
warga kepada pemerintah ini yang lebih banyak dipertimbangkan oleh pemerintah, terkait posisi pemerintah hari ini, meskipun ini juga menjadi tugas dan tanggung jawab kita, bahwa tidak selama nya persepsi yang dibangun oleh warga ini betul.
Baik pemerintah maupun warga termasuk kita pengelola zakat ini memang punya tanggung jawab besar dalam mengedukasi warga sebagaimana menyalurkan dana zakatnya secara postif dan lebih punya kemanfaatan melalui lembaga yang sudah dikukuhkan / dilegalkan oleh pemerintah, karena lembaga-lembaga ini punya fokus dan bergerak secara profesional.
Pemerintah tidak hanya mengedukasi warga untuk mengeluarkan zakat tapi juga kemana zakat itu disampaikan. edukasi wajib itu kan tidak mudah, karena pemerintah kita bukan pemerintah islam, sehingga perlu ada edukasi yang lebih menarik.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan strategi pembangunan, termasuk juga bagaimana melibatkan zakat menjadi elemen penting walau meskipun bukan utama menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan nasional. Selama ini zakat tidak pernah dijadikan faktor atau variabel dalam membangun dan mengembangkan Indonesia.
Pemerintah juga harus membuat standar siapa yang disebut miskin dan siapa yang disebut mampu. Sehingga itu bisa diamini secara
syar’i agar kita punya pengkategorian yang sama asnaf fakir miskin itu dilevel berapa, apakah yang 1 dollar atau yang 2 dollar.
Perlu ada standar ukur terkait amil, siapa amil dan bagaimana amil? Setap lembaga zakat bisa mengambil siapapun orangnya, tidak ada spesisalisasi tentang amil. Tugas pemerintah harus mendorong pendirian lembaga pendidikan yang memiliki kapasitas untuk mepelajari perzakatan, selama ini tidak ada amil yang backroundnya tentang zakat.
12. Bagaimana respon anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU ini? Kami juga turut bersyukur, karena mereka yang selama ini ilegal menjadi legal, ada kemudahan dalam mendirikan LAZ, diharapkan bisa diprakarsai pengelola-pengelola zakat yang selama ini belum terdaftar untuk mendaftarkan diri.
13. Apa saran dan masukan untuk UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat? Tentu sebagai lembaga zakat kami mendukung kehadiran uu no 23, apapun yang ada ini kita ingin mengefektifkan, memaksimalkan dan mendukung pememrintah seluruhnya, tentu bukan ini kita menegasikan kekurangan, kekurangan-kekurangan ini tentu perlu peraturan dan keputusan menteri untuk mendukung UU ini.