PERSEPSI PETANI TERHADAP KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DI KECAMATAN PONTANG, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN
IDHA FARIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tesis saya
Bogor, Januari 2012
Idha Farida NIM I351080041
iii
ABSTRACT Serang District has approximately 60 % of the population as small-holder farmers. This condition has a great potential for agricultural development. Up to now, farmers in some areas find limited access to extension services. This is due to lack number of extension workers and quality of agricultural extension workers that are needed by the farmers. The Act No. 16/2006 about System of Extension in Agriculture, Fishery, and Forestry states that the competency of extension workers is important. The objectives of the research were: (i) to describe the farmer’s perception on the extension worker competence, and (ii) to describe the relationship between the personal and farming characteristics and quality of extension activities with their perception about the competence of extension worker. This research was conducted with the survey methods and observations in the two Pontang subdistrict, including Pulokencana dan Sukanegara. The 60 farmer samples were randomly selected as respondents. The data were analyzed through Spearman rank correlation test. The result showed a correlation between participation in training were significantly correlated with the perception of the competence of extension worker. There was also a significant correlation between the perception of extension activity quality (intensity, materials, and methods) with the farmer’s perceptions of the competence of extension worker
Keywords: small-holders farmers, perception of the farmers, the role of extension workers, extension services
iv
RINGKASAN
IDHA FARIDA. 2011. “Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten”. Di bawah bimbingan SITI AMANAH DAN PRABOWO TJITROPRANOTO. Salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang usaha sektor pertaniannya berpeluang dan potensial untuk dikembangkan adalah Kabupaten Serang. Kabupaten Serang dengan sekitar 60 persen penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian. Sayangnya, jumlah penyuluh pertanian (PPL) masih jauh dari ideal. Jumlah desa di Kabupaten ini ada 314 desa, jumlah PPL PNS ada 68 orang dan penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) sebanyak 103 orang, sehingga totalnya berjumlah 171 orang. Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K), setiap desa harus mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang penyuluh. Peningkatan kompetensi penyuluh saat ini juga dirasakan belum efektif berjalan. Kegiatan penyuluhan lebih banyak pada proses pelayanan, bukan mendidik petani agar mampu mengambil keputusan sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan karakteristik pribadi dan karakteristik usahatani petani, (2) menganalisis persepsi petani tentang kualitas penyuluhan pertanian, (3) menganalisis persepsi petani tentang kompetensi PPL, dan (4) menganalisis hubungan antara karakteristik pribadi dan usahatani petani serta kualitas penyuluhan dengan persepsi petani tentang kompetensi PPL. Penelitian dilaksanakan dengan metode survei di Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Kegiatan lapang dilaksanakan mulai Maret 2011 sampai dengan Juni 2011. Populasi penelitian adalah seluruh petani anggota kelompok tani di Wilayah Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang (729 orang). Sebesar 80 persen dari populasi tersebut merupakan petani-peternak kecil (583 orang). Dari sejumlah petani-peternak kecil tersebut diambil sekitar 10 persen sebagai responden sampel (60 orang, terdiri atas 30 petani di Desa Pulo Kencana dan 30 petani-peternak di Desa Sukanegara). Data dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk melihat hubungan beberapa faktor yakni karakteristik pribadi petani, karakteristik usahatani, dan kualitas penyuluhan dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pribadi responden yakni umur tergolong dewasa (umur 35-47) sebesar 50 persen, memiliki tingkat pendidikan formal yang tidak tamat dan tamat SD sebesar 68,3 persen, dan tidak mengikuti kegiatan pelatihan usahatani dalam dua tahun terakhir sebesar 65 persen. Karakteristik usahatani responden yakni pengalaman usahatani termasuk kategori sedang yakni sebesar 50 persen, sebesar 68,3 persen memiliki luas lahan yang tergolong sempit (2.000-18.000 m2) dan status kepemilikan lahannya sebesar v
60 persen merupakan sewa/gadai/bagi hasil. Responden juga memiliki aksesibilitas yang rendah terhadap lembaga keuangan sebesar 58,3 persen, aksesibilitas yang rendah terhadap sarana produksi pertanian sebesar 81,7 persen, dan aksesibilitas yang rendah terhadap pasar sebesar 100 persen. Persepsi responden terhadap kualitas penyuluhan yang diberikan oleh PPL sebagian besar masih rendah yakni sebesar 51,7 persen untuk intensitas penyuluhan, sebesar 50 persen untuk materi penyuluhan, dan sebesar 60 persen untuk metode penyuluhan. Persepsi responden terhadap kompetensi PPL termasuk ke dalam kategori sedang, yakni masing-masing kompetensi kepribadian PPL sebesar 50 persen, kompetensi andragogik PPL sebesar 61,7 persen, kompetensi profesional PPL sebesar 58,3 persen, dan kompetensi sosial PPL sebesar 56,7 persen, sehingga keempat kompetensi ini perlu dioptimalkan oleh PPL lebih baik lagi. Karakteristik pribadi responden yakni kesertaan dalam pelatihan usahatani menentukan persepsinya terhadap kompetensi PPL. Semakin tinggi kesertaannya dalam pelatihan usahatani, semakin baik persepsinya terhadap kompetensi PPL. Secara umum pada kedua desa, karakteristik usahatani responden tidak menentukan persepsinya terhadap kompetensi PPL. Namun, petani dengan status lahan pemilik-penyewa memiliki persepsi yang baik terhadap kompetensi profesional dan sosial PPL. Begitu pula dengan petani yang memiliki akses yang tinggi terhadap lembaga keuangan memiliki persepsi yang baik terhadap kompetensi PPL. Persepsi responden terhadap kualitas penyuluhan baik intensitas, materi, maupun metode penyuluhan menentukan persepsinya terhadap kompetensi PPL. Semakin baik persepsi responden terhadap intensitas, materi, maupun metode penyuluhan, semakin baik persepsinya terhadap kompetensi PPL. Kata kunci: persepsi petani, kompetensi penyuluh, penyuluh pertanian lapangan
vi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang (1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber (a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah (b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB (2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
vii
PERSEPSI PETANI TERHADAP KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DI KECAMATAN PONTANG, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN
IDHA FARIDA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
viii
Judul Tesis
Nama NIM
: Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten : Idha Farida : I351080041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Ketua
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr
Tanggal Ujian: 4 November 2011
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten” yang dilaksanakan sejak Maret sampai dengan Juni 2011 ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. dan Bapak Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. selaku komisi pembimbing atas arahan dan wawasan yang diberikan, serta Prof. Dr. Pang S. Asngari, M.Ed. atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Lukman Hakim dari Balai Penyuluhan Pertanian Pontang, Kabupaten Serang beserta stafnya, dan seluruh anggota kelompok tani di Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara yang bersedia untuk diwawancarai dan memberikan informasi yang diperlukan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf, yang telah memberikan kesempatan studi, serta telah memberikan beasiswa, seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Penyuluhan Pembangunan angkatan 2008 dan 2009 serta rekan-rekan FMIPA Universitas Terbuka atas bantuan dan motivasinya. Terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Bapak H.Umardani dan Ibu Hj.Nasroh, kepada suami tercinta, Achmad, S.Si.T. dan anak-anakku tersayang, Fawwaz Ghifari A., Haura Syaima A., dan Nabil Qeis A. atas pengertian, dukungan dan doanya yang begitu besar diberikan selama penulis menjalankan studi hingga menyelesaikan tugas belajar pada Program Pascasarjana IPB. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amiin.
Bogor, Januari 2012
Idha Farida I351080041
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 7 Oktober 1981 dari Bapak H. Umardani dan Ibu Hj. Nasroh. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN Kejaksaan Agung Ciputat, pendidikan SLTP di SMPN Cirendeu, dan pendidikan SLTA di SMU Dharma Karya UT, lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis masuk ke Perguruan Tinggi di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi, Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh tahun 2008. Beasiswa pendidikan diperoleh dari BPPS melalui IPB. Pada saat ini penulis bekerja sebagai tenaga edukatif pada Program Studi Agribisnis Bidang Minat Penyuluhan Pertanian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xvii
DARTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xviii
PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang ...................................................................................... Masalah Penelitian.................................................................................. Tujuan Penelitian ................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................
1 1 4 6 6
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. Pengertian Penyuluhan Pertanian ............................................................ Peran Penyuluh Pertanian ....................................................................... Konsep Persepsi ..................................................................................... Kompetensi Penyuluh Pertanian ............................................................
7 7 8 14 17
KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS................................................... Kerangka Berfikir ................................................................................... Hipotesis Penelitian ...............................................................................
23 23 25
METODE PENELITIAN ................................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. Populasi dan Sampel .............................................................................. Rancangan Penelitian ............................................................................. Data dan Instrumentasi .......................................................................... Validitas dan Realibilitas Instrumen ....................................................... Pengumpulan Data ................................................................................. Analisis Data ......................................................................................... Definisi Operasional ..............................................................................
26 26 26 26 27 28 29 30 31
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Gambaran Umum Wilayah Penelitian .................................................... Kondisi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang ............... Kegiatan Penyuluhan Pertanian di Kecamatan Pontang ........................... Pemberdayaan Petani melalui Kegiatan Pertanian di Kecamatan Pontang .................................................................................................. Karakteristik Kelompok Tani di Kecamatan Pontang ............................. Karakteristik Pribadi Responden ............................................................ Karakteristik Usahatani Responden ........................................................ Persepsi Responden terhadap Kualitas Penyuluhan ................................ Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL ......................................
36 36 43 45
xii
46 50 54 59 68 75
Perbandingan Profil Petani, Usahatani, dan Kualitas Penyuluhan di Dua Desa Penelitian PPL .............................................................................. Hubungan Karakteristik Pribadi Responden dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL....................................................................... Hubungan Karakteristik Usahatani Responden dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL..................................................... Hubungan Kualitas Penyuluhan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL .....................................................................................
83 86 89 94
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... Kesimpulan .......................................................................................... Saran ....................................................................................................
100 100 101
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
102
LAMPIRAN ....................................................................................................
107
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Hasil uji coba kesahihan dan keterandalan instrumen (n=20) ..................
29
2
Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran karakteristik pribadi petani .........................................................................................
31
Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran karakteristik usahatani petani .....................................................................................
32
Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran kualitas penyuluhan .............................................................................................
33
Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran persepsi petani terhadap kompetensi PPL .......................................................................
34
Nama desa, jumlah RT/RW, jumlah kelompok tani, dan nama gapoktan di Kecamatan Pontang ............................................................................
37
7
Pola penggunaan lahan di Kecamatan Pontang........................................
38
8
Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian ...................................
39
9
Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikan .................................
39
10
Sebaran jumlah alat dan mesin pertanian.................................................
40
11
Kelembagaan penunjang kelembagaan pertanian ...................................
41
12
Segmen pasar di Kecamatan Pontang ......................................................
42
13
Nama, tingkat pendidikan/tahun lulus, mulai bekerja, status dan jabatan PLL di Kecamatan Pontang ....................................................................
43
Program kegiatan penyuluhan pertanian di UPT BPP Kecamatan Pontang tahun 2011 ..............................................................................................
46
15
Nama kelompok tani, ketua dan jumlah anggota di Desa Pulokencana ....
51
16
Nama kelompok tani, kontak tani dan jumlah anggota di Desa Sukanegara .............................................................................................
54
17
Sebaran responden berdasarkan umur .....................................................
55
18
Sebaran responden berdasarkan pendidikan formal .................................
56
3
4
5
6
14
xiv
19
Sebaran responden berdasarkan kesertaan dalam pelatihan usahatani .....
58
20
Sebaran responden berdasarkan pengalaman usahatani ..........................
60
21
Sebaran responden berdasarkan luas lahan ..............................................
61
22
Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan .......................
62
23
Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas lembaga keuangan .............
63
24
Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas saprodi ..............................
66
25
Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas pasar .................................
67
26
Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap intensitas penyuluhan .............................................................................................
69
Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap materi penyuluhan .............................................................................................
71
Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap metode penyuluhan .............................................................................................
73
Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi kepribadian PPL .....................................................................................
76
Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi andragogik PPL ......................................................................................
78
Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi profesional PPL ......................................................................................
80
Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi sosial PPL ........................................................................................................
82
33
Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap karakteristik pribadi petani ......
83
34
Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap karakteristik usahatani .............
84
35
Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap kualitas penyuluhan.................
85
36
Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap kompetensi PPL ......................
85
37
Hubungan karakteristik pribadi responden (X 1 ) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) per desa....................................................
86
Hubungan karakteristik pribadi responden (X 1 ) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) dari dua desa ............................................
87
27
28
29
30
31
32
38
xv
39
40
41
42
Hubungan karakteristik usahatani responden (X 2 ) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) per desa ...................................
89
Hubungan karakteristik usahatani responden (X 2 ) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) dari dua desa ...........................
90
Hubungan kualitas penyuluhan (X 3 ) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) per desa ..................................................................
94
Hubungan kualitas penyuluhan (X 3 ) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) dari dua desa ..........................................................
95
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
2
Kerangka Berpikir Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan ...............................................................................
25
Hubungan Tingkat Adopsi dengan Pendekatan dan Penggunaan Metoda Penyuluhan Pertanian .............................................................................
98
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang .........................................
107
2
Kuesioner Penelitian ..............................................................................
108
3
Dokumentasi Penelitian .........................................................................
115
xviii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Agenda revitalisasi pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan pertanian yang dicanangkan pada tahun 2005 merupakan salah satu langkah mewujudkan tujuan pembangunan yaitu mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan, yang difokuskan pada penataan kelembagaan penyuluhan pertanian, peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh pertanian, peningkatan kelembagaan dan kepemimpinan petani, peningkatan sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dan pengembangan kerjasama antara sistem penyuluhan pertanian dan agribisnis. Program ini berupaya memperbaiki sistem dan kinerja penyuluhan pertanian yang semenjak akhir 1990-an sangat menurun kondisinya. Salah satu tonggak untuk pelaksanaan revitalisasi ini adalah telah keluarnya Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) No. 16 Tahun 2006 tanggal 18 Oktober 2006. Dalam Undangundang (UU) ini disebutkan bahwa untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu ikut berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. UU ini merupakan satu titik awal dalam pemberdayaan para petani melalui peningkatan sumberdaya manusia dan kelembagaan para penyuluh pertanian PNS, swasta, dan penyuluh pertanian swadaya. Berdasarkan Hubeis et al. (1998) dikatakan secara empiris penyuluhan pertanian melalui aktivitas penyuluh pertanian, merupakan ujung tombak keberhasilan pembangunan pertanian. Penyuluhan pertanian selama ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Latihan dan Kunjungan (LAKU). Sejak diberlakukannya
SKB
Mendagri-Mentan
Nomor
65
Tahun
1991-
539/Kpts/KP.430/9/91 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dan Petunjuk Pelaksanaannya, pola LAKU cenderung termodifikasi yang
2
menyebabkan penyuluhan pertanian menjadi mandeg atau bahkan mundur. Ruang lingkup tugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) mengalami pergeseran dari konsep penyuluh polivalen menjadi penyuluh yang secara spesifik hanya menangani satu aspek (subsektor). Demikian pula dengan penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), terspesialisasi berdasarkan sektoral, yaitu: tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Menurut Mardikanto (2010b), di dalam perjalanan sejarah, sistem kerja LAKU tersebut tidak berlangsung seperti awal-awal kegiatan, terlebih setelah terjadi perubahan administrasi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat sejak awal 1990-an, yang diikuti dengan “lepasnya” administrasi pemberdayaan masyarakat di tingkat bawah (kabupaten, kecamatan, dan desa) dari keterkaitannya dengan tugas-tugas dinas-dinas lingkup Pertanian. Lemahnya pemberdayaan masyarakat seperti itu, diperparah lagi dengan semakin lebarnya kesenjangan pemberdayaan masyarakat dengan sumber informasi/inovasi yang lain, terutama yang dilakukan melalui media massa dan kegiatan perguruan tinggi, sehingga yang terjadi, tidak sekedar ketertinggalan penyuluh/fasilitator di bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga
semakin
menurunnya
penghargaan
masyarakat
terhadap
kinerja
penyuluh/fasilitator dan program-program pemberdayaan masayarakat. Dijelaskan Taryoto et al. (2001) dengan dikeluarkannya SKB MendagriMentan Nomor 65 Tahun 1991 tersebut terjadi perubahan yang sangat mendasar dari segi kedudukan, tugas pokok dan fungsinya dalam penyuluhan pertanian. Perubahan ini tidak diantisipasi dalam hal kesiapan daerah (terutama Pemda Tk.II) terutama dalam penyediaan dana untuk operasional dan juga kurang jelasnya petunjuk pelaksanaan bagi pihak-pihak terkait. Hubeis et al. (1998) menjelaskan
kelemahan-kelemahan
pengaturan
penyelenggaraan penyuluhan pertanian telah dicoba diperbaiki melalui SKB Mendagri-Mentan Nomor 54 Tahun 1996-30/Kpts/LP.120/4/96 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dan Petunjuk Pelaksanaannya. Pola baru ini juga mencoba mengangkat kembali peran BPP di dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Namun sampai saat ini, upaya-upaya tersebut masih belum menunjukkan hasilnya. Di tingkat masyarakat petani, kelembagaan petani pada penyuluhan pertanian yang dikelompokkan tidak selalu sesuai untuk menunjang
3
pengembangan program penyuluhan pertanian. Di samping itu, proses pembentukan kelompok tani yang umumnya dibentuk dari atas banyak terbukti menyebabkan kelompok menjadi kurang berfungsi. Namun, sehubungan dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah yang kemudian direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004 maka terdapat peluang yang baik bagi sistem penyuluhan pertanian untuk berkembang. Era otonomi daerah saat ini merupakan era yang kondusif dalam perkembangan penyuluhan pertanian di masa depan, sehingga penyuluhan pertanian dapat lebih efisien dan dapat lebih demokratis. Terkait dengan pembangunan pertanian di Indonesia, otonomi daerah menurut Sumardjo (2000) akan membawa dampak desentralisasi dalam banyak hal, termasuk dalam penyuluhan pertanian. Adanya potensi-potensi di daerah yang bisa menjalankan fungsi penyuluhan pertanian harus diperhitungkan dan dimanfaatkan perguruan tinggi, LSM, organisasi bisnis, industri, media masa, dan lain-lain. Menurut Slamet (2003a), program penyuluhan pembangunan yang efektif dan efisien dapat dikembangkan oleh tenaga-tenaga profesional di bidang penyuluhan pembangunan. Hal ini hanya memungkinkan apabila program penyuluhan diwadahi oleh sistem kelembagaan penyuluhan yang jelas dan pelaksanaannya didukung oleh tenaga-tenaga yang kompeten di bidang penyuluhan. Peningkatan kompetensi penyuluhan dalam pembangunan pertanian, bisa dikondisikan melalui berbagai upaya seperti: (1) meningkatkan efektivitas pelatihan bagi penyuluh, (2) meningkatkan pengembangan diri penyuluh melalui peningkatan kemandirian belajar dan pengembangan karir penyuluh, (3) meningkatkan dukungan terhadap penyelenggaraan penyuluhan seperti dukungan kebijakan pemerintah daerah terhadap pendanaan penyuluh, dukungan peran kelembagaan, dukungan teknologi dan sarana penyuluhan, pola kepemimpinan yang berpihak petani dan (4) memotivasi pribadi penyuluh untuk selalu meningkatkan prestasi kerja (kinerja penyuluh) dan mengikuti perubahan lingkungan strategis yang ada. Program peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program pemerintah saat ini yang dicanangkan dalam rangka untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara swasembada pangan. Peningkatan beras nasional merupakan
4
wujud dari upaya pencapaian program revitalisasi penyuluhan pertanian, dengan mentargetkan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sebesar 2 juta ton beras. Revitalisasi penyuluhan pertanian ini didukung oleh UU Republik Indonesia No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi baru di Indonesia memiliki potensi pertanian yang sangat besar untuk dikembangkan. Menurut data BPS Banten (2011),
produksi padi Banten tahun 2010 mengalami kenaikan yang
sangat signifikan yaitu naik 10,76 persen dibandingkan tahun 2009. Peningkatan produksi padi ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan luas panen padi yang signifikan baik untuk padi sawah maupun padi ladang. Luas panen padi sawah tahun 2010 meningkat 35,23 ribu hektar (dari 332.776 hektar pada tahun 2009 dan 368.009 hektar pada tahun 2010) atau naik 10,59 persen, sedangkan luas panen padi ladang meningkat 5,04 ribu hektar (dari 33.362 hektar pada tahun 2009 dan 38.402 hektar pada tahun 2010) atau naik 15,11 persen dibandingkan luas panen tahun 2009. Pemerintah juga terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia petani. Para petani di Banten secara kontinyu dan bergantian terus dilatih cara bertanam yang baik melalui Sekolah Lapang Pengelola Tanaman Terpadu (SL-PTT) pada tahun 2010 sudah dilatih sekitar 2.500 kelompok tani. Tahun 2011, direncanakan dilatih petani lain dengan mengandalkan 1.025 petugas penyuluh lapangan (PPL), pengamatan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (PPOPT), pengamat benih tanaman (PBT) dan peneliti (Kompasiana, 2011).
Masalah Penelitian Salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang usaha sektor pertaniannya berpeluang dan potensial untuk dikembangkan adalah Kabupaten Serang. Kabupaten ini merupakan salah satu dari empat kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki posisi yang sangat strategis karena berada di jalur utama penghubung lintas Jawa-Sumatera. Menurut data BPS Serang (2009), wilayah Kabupaten Serang didominasi oleh lahan pertanian yang luasnya mencakup sekitar 74,51 persen dari luas total lahan.
5
Berdasarkan data Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP) Serang (2008) yang saat ini menjadi Balai Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Serang, pembangunan pertanian di Kabupaten Serang merupakan salah satu sektor andalan di samping industri, perdagangan dan jasa. Sektor pertanian menyerap 36 persen tenaga kerja dari jumlah tenaga kerja di Kabupaten Serang. Dari luas wilayah 170.166 ha, lahan sawah memiliki luas 53.148 ha (sawah irigasi 34. 728 ha dan tadah hujan 18.420 ha) dan lahan kering 73.524 ha (pangan 25.605 ha, perkebunan 38.070 ha, hutan 5.035 ha dan lainnya 4.814 ha). Berdasarkan hasil analisis, komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Serang adalah padi, dengan produktivitas 4,98 ton/ha. Kabupaten Serang dengan sekitar 60 persen penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian. Potensi lahannya pun ada. Sayangnya, jumlah penyuluh pertanian masih jauh dari ideal. Jumlah desa di Kabupaten ini ada 314 desa, jumlah PPL PNS ada 68 orang dan Penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) sebanyak 103 orang, sehingga totalnya ada 171 orang. Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 setiap desa harus mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang penyuluh. Oleh karena itu, jumlah penyuluh di Kabupaten Serang memang masih sangat kurang. Peningkatan kompetensi penyuluh saat ini juga dirasakan belum efektif berjalan. Menurut Putra (2005), permasalahan penyuluhan saat ini adalah kegiatan penyuluhan lebih banyak pada proses pelayanan bukan mendidik petani agar mampu mengambil keputusan sendiri. Oleh karena itu, tantangan penyuluhan saat ini semakin besar. Penyelenggara program penyuluhan di Kabupaten Serang adalah BPKP Serang melalui instansi BPP di setiap kecamatan serta bekerja sama dengan penyuluh teknis dari BPTP Banten. Dengan tingginya potensi pertanian yang dimiliki oleh Kabupaten Serang dan terkenal sebagai lumbung padi di Provinsi Banten tersebut, maka akan sangat menarik melihat tingkat persepsi petani terhadap kompetensi PPL khususnya di tingkat kecamatan atau BPP. Perumusan masalah yang ditelaah pada penelitian ini adalah: (1) Bagaimana karakteristik pribadi dan karakteristik usahatani petani? (2) Bagaimana kualitas penyuluhan pertanian?
6
(3) Bagaimana persepsi petani tentang kompetensi PPL? (4) Sejauhmana hubungan antara karakteristik pribadi dan usahatani petani serta kualitas penyuluhan pertanian dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL?
Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan karakteristik pribadi dan karakteristik usahatani petani. (2) Menganalisis persepsi petani tentang kualitas penyuluhan pertanian. (3) Menganalisis persepsi petani tentang kompetensi PPL. (4) Menganalisis hubungan antara karakteristik pribadi dan usahatani petani serta kualitas penyuluhan dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan, dan para praktisi yang berhubungan dengan pengembangan kelompok tani sebagai media pemberdayaan petani. Adapun manfaat khusus yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagi Perguruan Tinggi diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengembangan kelompok tani dan juga dapat mendorong peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut. (2) Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan kepada pemerintah dan pihak terkait seperti Kementrian Pertanian, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya dalam merumuskan perencanaan pembuatan program-program pemberdayaan pertanian selanjutnya.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Penyuluhan Pertanian Istilah penyuluhan telah dikenal secara luas dan diterima oleh mereka yang bekerja di dalam organisasi pemberi jasa penyuluhan, tetapi tidak demikian halnya bagi masyarakat luas. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) istilah penyuluhan dalam bahasa Belanda digunakan kata voorlichting yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya. Istilah ini digunakan pada masa kolonial bagi negara-negara jajahan Belanda, walaupun sebenarnya penyuluhan diperlukan oleh kedua belah pihak. Namun, Jahi (Mardikanto, 1993) menyebutkan istilah penyuluhan pada dasarnya diturunkan dari kata “Extension” yang dipakai secara meluas di banyak kalangan. Extension itu sendiri, dalam bahasa aslinya dapat diartikan sebagai perluasan atau penyebarluasan.
Proses
penyebarluasan
yang
dimaksud
adalah
proses
peyebarluasan informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusahatani demi tercapainya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan perbaikan kesejahteraan keluarga atau masyarakat yang diupayakan melalui kegiatan pembangunan pertanian. Leagens (Lestari et al., 2000) mengkonseptualkan pendidikan penyuluhan sebagai ilmu terapan yang isinya berasal dari penelitian, pengalaman yang dikomulasikan, dan prinsip-prinsip yang sesuai yang diangkat dari ilmu yang berhubungan dengan perilaku dan disintesakan dengan teknologi dalam bentuk filosogi, prinsip, isi, dan metode yang difokuskan pada masalah pendidikan luar sekolah baik bagi dewasa maupun anak-anak. Pengertian penyuluhan yang tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2006 adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan,
dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
8
Tujuan yang sebenarnya dari penyuluhan pertanian adalah terjadinya perubahan perilaku sasarannya. Sejalan dengan hal ini Syahyuti et al. (1999) menyebutkan
tujuan
yang
ingin
dicapai
penyuluhan
pertanian
adalah
mengembangkan kemampuan petani secara bertahap agar memiliki tingkat pengetahuan yang semakin meningkat, perbendaharaan informasi yang memadai dan kemampuan mengaplikasikan teknologi yang dibutuhkan sehingga akhirnya mampu memecahkan masalah serta mengambil keputusan yang terbaik untuk usahataninya. Jadi, penyuluhan pertanian bukan sekedar menyampaikan informasi kepada petani lalu berhenti, tetapi berlanjut sampai pada dampaknya yang ada efek perbaikan langsung yang menguntungkan. Fungsi sistem penyuluhan menurut UU No. 16 Tahun 2006 adalah: (1) Memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; (2) Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; (3) Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (4) Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; (5) Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (6) Menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi dan lingkungan; dan (7) Melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan khutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
Peran Penyuluh Pertanian Menurut Departemen Pertanian (2005), penyuluh pertanian adalah perorangan yang melakukan kegiatan penyuluhan pertanian. Pengertian penyuluh pertanian berdasarkan UU No. 16 Tahun 2006 adalah: (1) Penyuluh pegawai
9
negeri sipil yang disebut penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan; (2) Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan; dan (3) Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Petani mempunyai harapan dari cara penyuluh membantunya, tetapi atasan dari agen penyuluhan itu juga mengharapkan peranannya. Dengan demikian, posisi agen penyuluhan berada di tengah-tengah dan akan mengalami kesulitan jika terjadi pertentangan antara kedua kelompok ini (van den Ban dan Hawkins, 1999). Menurut Rogers (1995), terdapat tujuh peran agen pembaruan dalam proses pengenalan inovasi kepada klien yaitu: (1) Membangkitkan kebutuhan terhadap adanya perubahan. Tugas awal seorang agen pembaruan adalah untuk membantu klien menyadari kebutuhan akan adanya perubahan, terutama untuk mesyarakat yang masih terbelakang. Rendahnya
wawasan
tentang
perencanaan,
aspirasi,
motivasi
untuk
berprestasi, dan juga sikap mereka yang terlalu pasrah pada keadaan merupakan gambaran masyarakat terbelakang. Agen pembaruan dalam menghadapi kondisi seperti ini harus berperan sebagai katalisator (pembuka kran) untuk menyadarkan klien tentang kebutuhannya. Agen pembaruan dapat menjalankan perannya dengan menyampaikan alternatif-alternatif solusi yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, mendramatisasi, dan juga mampu meyakinkan klien bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalannya. Agen pembaruan melakukan upaya-upaya ini dengan cara persuasif dan membuka diri untuk melakukan konsultasi kepada kliennya. Kondisi klien yang kurang mempunyai wawasan seringkali kurang menyadari persoalan yang terjadi sehingga mereka juga tidak mempunyai solusi tepat untuk menyelesaikannya. Untuk itu maka agen
10
pembaruan dituntut untuk membantu kliennya dengan menyediakan informasi yang tepat dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi klien. (2) Menciptakan suatu hubungan yang memungkinkan adanya pertukaran informasi. Dalam melakukan kegiatan penyuluhan, agen pembaruan harus menciptakan hubungan yang akrab dengan klien. Keakraban dapat diciptakan agen pembaruan dengan menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya, jujur, memiliki empati yang tinggi terhadap klien, serta saling bertukar informasi dan pengalaman dengan klien. Untuk dapat melakukan penyuluhan dengan baik maka seorang agen pembaruan harus dapat diterima secara fisik dan sosial oleh klien sebelum dia menyampaikan inovasi. (3) Mendiagnosis permasalahan. Dengan keakraban yang sudah terjalin maka seorang agen pembaruan diharapkan dapat mendiagnosis permasalahan yang ada. Dalam mendiagnosis permasalahan yang ada, agen pembaruan harus melihatnya dari sudut pandang klien sehingga permasalahan yang dapat ditangkap oleh agen pembaruan benar-benar permasalahan yang dihadapi masyarakat. Untuk itu maka diperlukan empati yang tinggi dari seorang agen pembaruan. (4) Menumbuhkan motivasi untuk berubah pada diri klien. Setelah permasalahan dapat digali maka agen pembaruan harus berusaha untuk membangkitkan motivasi klien untuk melakukan perubahan dan mendorong klien untuk menaruh perhatian pada inovasi yang dibawa agen pembaruan. (5) Merencanakan aksi pembaruan. Agen pembaruan selanjutnya berusaha untuk mempengaruhi perilaku klien sesuai dengan rekomendasinya berdasarkan kebutuhan klien. Diharapkan klien tidak hanya menaruh minat tetapi juga merencanakan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Agen pembaruan dapat memanfaatkan berbagai cara untuk membantu klien dalam mencapai tujuannya, yaitu dengan cara: memberikan nasehat secara tepat waktu untuk menyadarkan klien tentang permasalahan yang ada, memberikan alternatif solusi, memberikan informasi mengenai konsekuensi dari setiap alternatif yang diberikan, membantu klien memutuskan tujuan yang paling penting, membantu klien dalam mengambil keputusan secara sistematis baik
11
perorangan maupun kelompok, membantu klien belajar dari pengalaman dan uji coba, dan mendorong klien untuk saling bertukar informasi. (6) Menjaga keberlangsungan proses adopsi dan
menghindakan adanya
penghentian proses adopsi. Selanjutnya agen pembaruan harus mampu mendorong klien untuk menerima inovasi tersebut dan menjaga agar klien semakin yakin dengan penerapan inovasi tersebut dapat membantunya memecahkan persoalan hidupnya. Pada tahap ini agen pembaruan harus terus memberikan informasi yang dapat lebih meyakinkan klien. Informasi yang diberikan juga harus dapat mencegah klien membatalkan keinginannya menerapkan inovasi yang dibawa agen pembaruan. (7) Mencapai hubungan terminal. Tujuan akhir seorang agen pembaruan adalah adanya perilaku ”mempengaruhi diri sendiri” pada diri klien. Agen pembaruan berusaha untuk menjadikan klien mampu menjadikan dirinya sebagai agen pembaruan paling tidak untuk dirinya sendiri sehingga klien dapat mengenali kebutuhannya dan mampu memilih inovasi-inovasi yang paling tepat dengan kebutuhannya tersebut.
Pada tahap ini agen pembaruan memutuskan
hubungannya dengan klien, maksudnya adalah agen pembaruan menyudahi tugasnya untuk menyampaikan suatu inovasi kepada klien hingga klien mampu mandiri. Agen pembaruan dapat melanjutkan tugasnya di tempat lain dengan inovasi yang sama atau tetap di tempat yang sama dengan membawa inovasi lainnya. Hubeis et al. (1998) mengungkapkan bahwa peran penyuluhan di dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan pertanian dapat optimal apabila didukung oleh kelembagaan penyuluhan yang holistik, independen, dan otonom. Kelembagaan penyuluhan harus memberi kebebasan kepada penyuluh pertanian untuk tidak hanya melaksanakan tugas karena status kepegawaiannya sebagai penyuluh.
Penyuluh
pertanian
memerlukan
kelembagaan
yang
tidak
mengharuskan mereka untuk mengembangkan penyuluhan dan membina petani pada arah tujuan tertentu. Lebih lanjut Hubeis (Hubeis et al., 1992) menjelaskan figur-figur penyuluhan dalam tiap subsistem sosial dapat memilih satu dari empat kemungkinan peran penyuluh pembangunan yakni:
12
(1) Katalis, penyuluh pembangunan (agen perubahan) sangat diperlukan untuk mengatasi
kebekuan
dengan
cara
mendorong
timbulnya
perasaan
ketidakpuasan di masyarakat mengenai hasil pembangunan yang sudah ada. Ketidakpuasan
ini
akan
membantu
mereka
untuk
melihat
sesuatu
permasalahan dalam pembangunan dengan lebih serius; (2) Penemu solusi, peranan penyuluh pembangunan dalam menyebarluaskan gagasan pembangunan merupakan hal yang mendominasi kelancaran operasional pembangunan sebelum diterapkan di masyarakat; (3) Pendamping, seorang penyuluh pembangunan dapat memainkan fungsinya sebagai seorang pendamping khalayak sasaran pembangunan dalam mensolusi masalah dengan cara sebagai berikut: (a) Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara mengenali dan mendefinisikan keperluan mereka, (b) Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara mendiagnosa masalah dan menetapkan tujuan perubahan yang ingin dicapainya, (c) Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara memperoleh sumber-sumber informasi, sarana, dan prasarana pembangunan yang diperlukan, (d) Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara memilih dan mengkreasi suatu solusi permasalahan yang disesuaikan dengan kondisi khalayak yang bersangkutan, dan (e) Membantu khalayak sasaran pembangunan dalam memodifikasi dan menempatkan solusi-solusi, serta (f) Membantu
khalayak
sasaran
pembangunan
dalam
mengevaluasi
kemanfaatan suatu solusi dalam memenuhi kebutuhan mereka dan mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul di masa yang akan datang. (4)Perantara, peran khusus dari penyuluh pembangunan sebagai perantara antara pembuat kebijakan dan khalayak sasaran pembangunan adalah mempersatukan dua kepentingan tersebut dengan membuat keputusan terbaik dalam menggunakan sumber daya yang tersedia di dalam dan di luar sistem kehidupan khalayak sasaran pembangunan.
13
Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep: 29/MEN/III/2010 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Sektor Pertanian Bidang Penyuluhan Pertanian, dirumuskan fungsi dan peran penyuluh pertanian dalam sistem penyuluhan pertanian, yaitu: (1) memfasilitasi proses pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha; (2) mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; (3) meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (4) membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik dan berkelanjutan; (5) membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (6) menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan (7) melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama dan pelaku usaha secara berkelanjutan. Untuk melaksanakan fungsi dan peran tersebut, menuntut adanya peningkatan kompetensi penyuluh pertanian untuk mewujudkan penyuluh pertanian yang profesional. Menurut UU No. 16 Tahun 2006, penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan/atau penyuluh swadaya. Pengangkatan dan penempatan penyuluh PNS disesuaikan dengan kebutuhan dan formasi yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan. Keberadaan penyuluh swasta dan penyuluh swadaya bersifat mandiri untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Jika melihat beberapa peran di atas, maka penyuluh dituntut untuk mempunyai kemampuan membantu petani yaitu tidak hanya menyebarluaskan materi penyuluhan tetapi juga dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi petani.
14
Konsep Persepsi Menurut Leavit (1978), persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu cara seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi terkait erat dengan masalah sikap, karena persepsi merupakan komponen kognitif sikap. Dalam psikologi sosial, sikap diartikan sebagai derajat atau tingkat kesesuaian atau ketidaksesuaian seseorang terhadap objek tertentu. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini dinyatakan dalam skala yang menunjukkan sangat setuju atau sangat tidak setuju terhadap objek sikap (Mar’at, 1981). Menurut Asngari (1984), persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta, atau tindakan. Terdapat tiga mekanisme pembentukan persepsi, yaitu: selectivity, closure, interpretation. Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi. Menurut De Vito (1997), persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indra kita. van den Ban (1999) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses menerima informasi atas rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Menurut Thoha (1999), persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Menurut Rakhmat (2000), persepsi juga dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada rangsangan inderawi. Menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi (perhatian), ekspektasi (harapan), motivasi,
15
dan memori. Persepsi, seperti juga sensasi, ditentukan oleh faktor personal dan situasional. Tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dari mengubah persepsinya. Dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama berikut (Sobur, 2003): (1) Seleksi adalah proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. (2) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. (3) Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi. Jadi, proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang sampai. Proses persepsi seseorang dikemukakan oleh Pareek (Sobur, 2003) adalah: (1) Proses menerima rangsangan. Proses pertama dalam persepsi ialah menerima rangsangan atau data dari berbagai sumber. Kebanyakan data diterima melalui pancaindra yakni melihat sesuatu, mendengar, mencium, merasakan, atau menyentuhnya, sehingga dapat mempelajari segi-segi lain dari hal itu. (2) Proses menyeleksi rangsangan. Setelah diterima, rangsangan atau data diseleksi. Tidaklah mungkin untuk memperhatikan semua rangsangan yang telah diterima. Terdapat dua faktor yang menentukan seleksi rangsangan, yakni: (1) Faktor-faktor intern yang mempengaruhi seleksi persepsi. Dalam menyeleksi berbagai gejala untuk persepsi, faktor-faktor intern berkaitan dengan diri sendiri, faktor-faktor tersebut adalah: (a) kebutuhan psikologis. Kebutuhan psikologis seseorang mempengaruhi persepsinya. Kadang-kadang ada hal yang kelihatan (yang sebenarnya tidak ada)
16
karena kebutuhan psikologis; (b) latar belakang. Orang-orang dengan latar belakang tertentu mencari orang-orang dengan latar belakang yang sama.
Mereka
mengikuti
dunia
yang
serupa
dengan
mereka;
(c) pengalaman. Pengalaman mempersiapkan seseorang untuk mencari orang-orang, hal-hal, dan gejala-gejala yang mungkin serupa dengan pengalaman pribadinya. Seseorang yang mempunyai pengalaman buruk dalam bekerja dengan jenis orang tertentu, mungkin akan menyeleksi orang-orang ini untuk jenis persepsi tertentu; (d) kepribadian. Seseorang yang introvert mungkin akan tertarik kepada orang-orang yang serupa atau
sama
sekali
berbeda.
Berbagai
faktor
dalam
kepribadian
mempengaruhi seleksi dan persepsi; (e) sikap dan kepercayaan umum. Orang-orang yang mempunyai sikap tertentu terhadap kelompok tertentu, besar kemungkinan akan melihat berbagai hal kecil yang tidak diperhatikan oleh orang lain; (f) penerimaan diri.
Orang-orang yang
ikhlas menerima kenyataan diri akan lebih tepat menyerap sesuatu daripada mereka yang kurang ikhlas menerima realitas dirinya. (2) Faktor-faktor ekstern yang mempengaruhi seleksi persepsi. Beberapa faktor yang dianggap penting pengaruhnya terhadap seleksi rangsangan ialah: (a) intensitas. Pada umumnya, rangsangan yang lebih intensif, mendapatkan lebih banyak tanggapan daripada rangsangan yang kurang intens; (b) ukuran. Pada umumnya, benda-benda yang lebih besar lebih menarik perhatian. Barang yang lebih besar lebih cepat dilihat; (c) kontras. Hal-hal lain dari yang biasa kita lihat akan cepat menarik perhatian; (d) gerakan. Hal-hal yang bergerak lebih menarik perhatian daripada hal-hal yang diam; (e) ulangan. Biasanya hal-hal yang berulang dapat menarik perhatian. Akan tetapi, ulangan yang terlalu sering dapat menghasilkan kejenuhan semantik dan dapat kehilangan arti perspektif. Oleh karena itu, ulangan mempunyai nilai yang menarik perhatian selama digunakan dengan hati-hati; (f) keakraban. Hal-hal yang akrab atau dikenal lebih menarik perhatian; dan (g) sesuatu yang baru. Hal-hal baru juga dapat menarik perhatian. Jika orang sudah terbiasa dengan sesuatu yang sudah dikenal, maka sesuatu yang baru dapat menarik perhatian.
17
Tingkah laku manusia merupakan fungsi dari cara mereka memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dari mengubah persepsinya, dalam proses ini ada tiga komponen utama, yaitu: (1) seleksi, merupakan proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar; (2) interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi mereka; dan (3) interpretasi dan persepsi diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi (van den Ban dan Hawkins, 1999). Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), karakteristik seseorang akan ikut mempengaruhi persepsi dan selanjutnya akan mempengaruhi tindakan atau perilaku.
De
Vito
(1997)
mengemukakan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ketepatan persepsi adalah umur, kecerdasan, kompleksitas, kognitif, popularitas, ciri-ciri pribadi, dan kesan latihan atau hasil belajar. Dengan melihat pendapat para pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian persepsi dalam penelitian ini adalah pandangan seseorang terhadap informasi tentang lingkungannya baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.
Kompetensi Penyuluh Pertanian Menurut Lucia dan Lepsinger (Prihadi,
2004), kata kompetensi
merupakan terjemahan dari kata “competency” yakni: a competency is build on the foundation of inherent talents and incorporating the types of skills and knowledge that can and acquitted through learning, effort, and experience. The all innate and acquired abilities manifests in a specific set of behaviors. Maknanya yakni kompetensi dibangun di atas dasar bakat yang melekat dan menggabungkan jenis keterampilan dan pengetahuan yang dapat dan dibebaskan melalui pembelajaran, usaha, dan pengalaman. Semua bawaan dan kemampuan yang diperoleh terwujud dalam satu set perilaku yang spesifik. Spencer dan Spencer (1993) menyebutkan kompetensi sebagai segala bentuk motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Terdapat lima tipe kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan, konsep diri, sikap, dan motif.
Kompetensi
18
pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah dikembangkan dibandingkan dengan konsep diri, sikap, dan motif yang relatif lebih tersembunyi dan merupakan pusat bagi kepribadian seseorang. Berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memperediksi suatu pekerjaan, Spencer dan Spencer (1993) membedakan kompetensi menjadi dua kategori, yaitu: (1) threshold dan (2) differentiating. Threshold competencies merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan atau keahlian dasar yang terkait dengan bidang kompetensinya. Differentiating competencies adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja tinggi dengan yang berkinerja rendah. Pengertian kompetensi penyuluhan pertanian menurut Gilley dan Eggland (Puspadi, 2003) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya. Menurut Rusmono (2008), kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas penyuluhan pertanian. Sedangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Sertifikasi Profesi Penyuluh Pertanian (2010) dijelaskan pengertian kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional. Berlo (Mardikanto 1993) mengemukakan empat kualifikasi yang harus dimiliki setiap penyuluh mencakup: (1) kemampuan berkomunikasi, hal ini tidak hanya terbatas pada kemampuan: memilih inovasi, memilih dan menggunakan saluran komunikasi yang efektif, memilih dan menerapkan metoda penyuluhan yang efektif dan efisien, memilih dan menggunakan alat bantu dan alat peraga yang efektif dan murah, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan dan ketrampilan penyuluh untuk berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya; (2) sikap penyuluh yang: (a) menghayati dan bangga terhadap profesinya, serta merasakan kehadirannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat sasaran,
(b)
meyakini
bahwa
inovasi
yang
disampaikan
telah
teruji
kemanfaatannya, (c) menyukai dan mencintai masyarakat sasaran; (3) kemampuan pengetahuan penyuluh tentang: (a) isi, fungsi, manfaat, dan nilai-nilai yang
19
terkandung dalam inovasi yang disampaikan, (b) latar belakang dan keadaan masyarakat sasaran, (c) segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat suka atau tidak menghendaki perubahan; (4) karakteristik sosial-budaya penyuluh mencakup latar belakang bahasa, agama, dan kebiasaan-kebiasaan. Rusmono (2008) menjelaskan bahwa terdapat elemen-elemen kompetensi penyuluh pertanian, yakni pemahaman terhadap karakteristik sasaran, yakni: (1) Penguasaan sumber bahan ajar (disciplinary content) atau bidang keahlian; (2) Kemampuan penyelenggaraan penyuluhan (menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,
mengevaluasi
dan
melaporkan
kegiatan
penyuluhan;
(3) Kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan profesionalisme dan kepribadian secara berkelanjutan; dan (4) Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Kompetensi (keahlian) yang harus dimiliki penyuluh dalam melaksanakan tugasnya menurut Dubey dan De (1990, Lestari et al., 2001) adalah: (1) Keahlian teknis, adalah kemampuan penyuluh memberikan, memahami dan menerapkan informasi teknis yang diperlukan audiens. Hal itu termasuk kemampuan
penyuluh
menangani
dengan
tepat
bahan-bahan
dan
perlengkapan-perlengkapan teknis. (2) Keahlian ekonomi, adalah kemampuan penyuluh untuk memahami kekuatan pasar, menyarankan dan membimbing sistem si klien untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Hal itu termasuk kemampuan penyuluh dalam mengatur aktifitas ekonomi dengan sistem yang ada seperti formasi komite penerima waris, masyarakat yang kooperatif, dan membangun bank perkreditan. (3) Keahlian keilmuan, adalah kemampuan penyuluh dalam memahami hubungan sebab akibat dan pendekatan yang logis dalam memecahkan masalah, penyuluh harus meyakini kemampuan ilmu bisa merubah manusia. (4) Keahlian jabatan, berhubungan dengan kehendak dan keahlian penyuluh dalam menampilkan serangkaian kerja fisik dalam pelaksanaan kegiatan khusus termasuk kemampuan penyuluh untuk mencoba dan memperagakan praktek-praktek untuk situasi yang dihadapi klien dan menginterpretasikan hasil-hasilnya.
20
(5) Keahlian berkomunikasi, berhubungan dengan kemampuan penyuluh dalam memilih, memroses dan menyampaikan pesan yang tepat kepada audiens dengan cara yang mudah dipahami dan mampu memotivasi mereka untuk mengubah kebiasaan menjadi lebih baik, termasuk di dalamnya adalah program seperti rapat, kampanye, pameran, pelatihan, dan sebagainya. (6) Keahlian
sosial,
berhubungan
dengan
kemampuan
penyuluh
untuk
memahami sistem sosial audiens sehingga mampu bersosialisasi dengan mereka, termasuk kemampuan mengawali dan menjaga kegiatan kelompok dalam mencapai tujuan. Menurut Rusmono (2008), terdapat beberapa komponen kompetensi penyuluh pertanian, yakni: (1) Kompetensi kepribadian, yakni kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi sasaran penyuluhan dan berakhlak mulia. (2) Kompetensi andragogik, meliputi pemahaman terhadap sasaran penyuluhan, perencanaan,
pelaksanaan,
evaluasi
dan
laporan
penyuluhan,
serta
pengembangan sasaran untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi yang dimiliki. (3) Kompetensi profesional, merupakan penguasaan materi (sumber bahan ajar) penyuluhan secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi yang dibutuhkan sasaran dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan struktur dan metodologi keilmuannya. (4) Kompetensi sosial, merupakan kemampuan penyuluh untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sasaran, sesama penyuluh, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya. Sumardjo (2009) mengemukakan bahwa kompeten diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan (standar). Kebutuhan kompetensi bagi penyuluh setidaknya disusun berdasarkan dua hal, yaitu: (1) kebutuhan pembangunan masyarakat; dan (2) kebutuhan kompetensi berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) penyuluh.
21
Lebih lanjut Sumardjo (2010) menjelaskan bahwa penyuluh setidaknya memiliki kompetensi-kompetensi: (1) personal, (2) sosial, (3) andragogik, dan (4) komunikasi inovatif. Kompetensi personal adalah kesesuaian sifat bawaan dan kepribadian penyuluh yang tercermin dari kemampuan membawakan diri, kepemimpinan, kesantunan, motif berprestasi, kepedulian, disiplin, terpercaya, tanggung jawab, dan ciri kepribadian penyuluh lainnya. Kompetensi sosial menyangkut kemampuan-kemampuan berinteraksi/berhubungan sosial, melayani, bermitra, bekerjasama dan bersinergi, mengembangkan kesetiakawanan, kohesif, dan mampu saling percaya mempercayai. Kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar
untuk
mempengaruhi
dan
mengubah
pengetahuan/wawasan,
keterampilan/tindakan dan sikap (minat) sasaran penyuluhan, membangkitkan kebutuhan belajar/berubah, menyadari tanggung jawab dan kebutuhan sasaran penyuluhan. Kompetensi komunikasi inovatif menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan berempati, kemampuan komunikasi partisipatif/konvergensi, menggali dan mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan (enterpreneurship). Slamet (2003b) menjelaskan bahwa penyuluhan telah menjadi bidang kajian ilmiah dan penyuluh pertanian telah menjadi tenaga fungsional. Wajarlah kiranya bila profesionalisme perlu dikembangkan di kalangan penyuluhan pertanian. Alasan lain akan perlunya profesionalisasi itu adalah bahwa tugas penyuluhan pertanian di masa mendatang akan semakin luas, intensif, dan kompleks, serta di lain pihak para petani semakin pandai dan maju, beragam dan canggih. Para petani pun perlu dibina usahataninya dalam berbagai bentuk pengorganisasian, yang semuanya perlu penanganan secara profesional. Berdasarkan UU SP3K No. 16 Tahun 2006 pada Pasal 21 dijelaskan mengenai kompetensi penyuluh dapat ditingkatkan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Adapun sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.29/MEN/III/2010 tentang Penetapan SKKNI Sektor Pertanian Bidang Penyuluhan Pertanian, kompetensi dan kerangka profesi penyuluh dikelompokkan berdasarkan:
22
(1) Kompetensi umum, mencakup unit-unit kompetensi yang berlaku dan dibutuhkan pada hampir semua subbidang keahlian/pekerjaan. Misalnya mengaktualisasikan nilai-nilai kehidupan dan
melakukan komunikasi
dialogis. (2) Kompetensi inti, mencakup unit-unit kompetensi yang berlaku dan dibutuhkan untuk mengerjakan tugas pokok/utama pada suatu bidang keahlian/pekerjaan tertentu, dan merupakan unit-unit kompetensi yang wajib (compulsory) dari subbidang keahlian/pekerjaan dimaksud dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan spesifik. Misalnya menyusun programa penyuluhan
pertanian,
menerapkan
metode
penyuluhan
pertanian,
mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian, serta mengembangkan metode, sistem kerja, atau arah kebijakan penyuluhan pertanian. (3) Kompetensi khusus, mencakup unit-unit kompetensi yang dapat ditambahkan ke
dalam
subbidang
keahlian/pekerjaan
tertentu
yang
memerlukan
kekhususan/spesialisasi, serta memerlukan kemampuan analisis yang mendalam dan terstruktur. Unit-unit kompetensi ini sebagai pelengkap dan bersifat pilihan untuk mengerjakan tugas-tugas spesifik pada sektor, subsektor, atau bidang keahlian/pekerjaan tertentu. Misalnya mengelola kegiatan produksi benih tanaman, mengelola kegiatan produksi tanaman hortikultura, mengelola kegiatan pengolahan hasil perkebunan, mengelola kegiatan pemasaran produk pertanian ke pasar domestik, dan mengelola kegiatan fasilitasi akses permodalan. Berdasarkan paparan pengertian kompetensi di atas, maka pengertian kompetensi dalam penelitian ini disimpulkan sebagai kemampuan individu yang mencakup apek pengetahuan, keterampilan serta sikap kerja yang sesuai dengan standar yang diterapkan.
23
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Penyuluh pertanian merupakan ujung tombak pemerintah dalam memacu peningkatan kualitas dan kuantitas produk-produk pertanian. Oleh karena itu, saat ini penyuluh pertanian dituntut memiliki kompetensi yang baik dan berkualitas dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi penyuluh merupakan faktor penting dalam upaya mewujudkan pelaksanaan kegiatan penyuluhan sesuai dengan jabaran tupoksi penyuluh. Hasil penelitian Nuryanto (2008) menunjukkan bahwa tingkat kompetensi Penyuluh Sarjana dalam pembangunan pertanian di empat kabupaten Provinsi Jawa Barat adalah rendah. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Marius (2007) di Nusa Tenggara Timur juga menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh dinilai masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat kompetensi penyuluh masih tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian Marliati et al. (2008) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, ditemukan bahwa kompetensi penyuluh yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani yakni (1) kompetensi penyuluh berkomunikasi, (2) kompetensi penyuluh membelajarkan petani, dan (3) kompetensi interaksi sosial. Hasil penelitian Sarker dan Itohara (2009) di Bangladesh, sebuah organisasi penyuluhan harus mempertimbangkan meningkatkan kredibilitas penyuluhnya serta mereka perlu memastikan lebih sering melakukan kunjungan dengan petani sehingga efektifitas layanan penyuluhan akan meningkat dan akhirnya membantu dalam perluasan pertanian. Oleh karena itu, kemampuan penyuluh, intensitas penyuluhan dan metode penyuluhan sangat berperan dalam mengefektifkan kegiatan penyuluhan. Penelitian ini memfokuskan kompetensi dilihat dari sisi persepsi petani yakni melihat tingkat persepsi petani terhadap kompetensi PPL. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), karakteristik seseorang akan ikut mempengaruhi persepsi dan selanjutnya akan mempengaruhi tindakan atau perilaku. De Vito (1997) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi ketepatan persepsi diantaranya adalah umur dan kesan latihan atau hasil belajar. Faktor-faktor yang
24
mempengaruhi seleksi persepsi menurut Pareek (Sobur, 2003) diantaranya adalah pengalaman dan intensitas. Variabel dalam penelitian ini meliputi karakteristik pribadi petani responden (X1), yang terdiri atas: umur (X1.1), tingkat pendidikan formal (X1.2), dan kesertaan dalam pelatihan usahatani (X1.3). Variabel kedua adalah karakteristik usahatani petani responden (X2), yang terdiri atas: pengalaman berusahatani (X2.1), luas lahan (X2.2), status kepemilikan lahan (X2.3), aksesibilitas lembaga keuangan (X2.4), aksesibilitas saprodi (X2.5) dan aksesibilitas pasar (X2.6). Variabel lain yang dianggap terkait dengan tingkat persepsi petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian adalah kualitas penyuluhan pertanian (X3) yakni mengenai: intensitas penyuluhan (X3.1), materi penyuluhan (X3.2) dan metode penyuluhan (X3.3). Kompetensi PPL dapat diukur sudut pandang stakeholders, baik dari persepsi penyuluh itu sendiri, persepsi petani sebagai pihak yang mendapat layanan penyuluh dalam kegiatan penyuluhan, maupun persepsi penyuluh lain yang menjadi rekan sejawat. Dalam penelitian ini, kompetensi PPL dilihat dari sisi petani sebagai sasaran utama kegiatan penyuluhan. Apabila penyelenggaraan penyuluhan telah dilaksanakan secara benar, kontinyu, dan konsisten oleh PPL maka persepsi petani terhadap kompetensi PPL akan tinggi. Menurut Rusmono (2008), terdapat beberapa komponen kompetensi penyuluh pertanian, yakni (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi andragogik, (3) kompetensi profesional, dan (3) kompetensi sosial. Sumardjo (2010) menjelaskan penyuluh setidaknya memiliki kompetensi-kompetensi: (1) personal, (2) sosial, (3) andragogik, dan (4) komunikasi inovatif. Penetapan SKKNI Sektor Pertanian Bidang Penyuluhan Pertanian, menetapkan kompetensi tiga kompetensi yang dimasukkan ke dalam kompetensi penelitian yang diukur, yakni: (1) kompetensi umum, tercakup ke dalam kompetensi sosial, (2) kompetensi inti, tercakup ke dalam kompetensi andragogik dan profesional, dan (3) kompetensi khusus, tercakup ke dalam kompetensi andragogik dan profesional. Mengacu pendapat tersebut maka persepsi petani yang diteliti adalah mengenai kompetensi PPL (Y) mencakup: kompetensi kepribadian PPL (Y1.),
25
kompetensi andragogik PPL (Y2), kompetensi profesional PPL (Y3), dan kompetensi sosial PPL (Y4). Berdasarkan paparan tersebut, maka kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah tersajikan pada Gambar 1.
X1 Karakteristik Pribadi Responden X1.1 Umur X1.2 Tingkat pendidikan formal X1.3 Kesertaan dalam pelatihan usahatani
X2 Karakteristik Usahatani Responden X2.1 Pengalaman berusahatani X2.2 Luas lahan X2.3 Status kepemilikan lahan X2.4 Aksesibilitas lembaga keuangan X2.5 Aksesibilitas saprodi X2.6 Aksesibilitas pasar
Y Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Y1 Kepribadian Y2 Andragogik Y3 Profesional Y4 Sosial
X3 Kualitas Penyuluhan X3.1 Intensitas penyuluhan X3.2 Materi penyuluhan X3.3 Metode penyuluhan
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka dapat diturunkan beberapa hipotesis berikut ini: (1) Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik pribadi petani dengan persepsinya terhadap kompetensi PPL. (2) Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik usahatani petani dengan persepsinya terhadap kompetensi PPL. (3) Terdapat hubungan yang nyata antara kualitas penyuluhan dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL.
26
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut rancangan penelitian ini berbentuk explanatory research, yang menurut Singarimbun dan Efendi (2008) bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah survei dan menggunakan paradigma kuantitatif. Di samping itu, penjelasan secara deskriptif dan kualitatif dilakukan dalam penelitian ini guna memperoleh informasi sebanyak mungkin sehingga dapat mendukung dan memberi makna data kuantitatif yakni melalui cara pengamatan dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan pada sejumlah informan kunci, untuk melengkapi data dan informasi yang tidak dapat diperoleh melalui metode survei.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah di Wilayah Desa Pulokencana dan Sukanegara, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Lokasi ini dipilih karena daerah Serang merupakan daerah yang memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan memiliki potensi pertanian yang tinggi. Kedua daerah tersebut juga memiliki potensi pertanian dan peternakan yang juga cukup baik. Jangka waktu yang diperlukan dari uji coba sampai dengan pengumpulan data di lapangan adalah sekitar empat bulan, yaitu sejak Maret 2011 sampai dengan Juni 2011.
Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh petani yang menjadi anggota kelompok tani di Wilayah Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang yang berjumlah 729 orang. Sebesar 80 persen dari populasi tersebut merupakan petani-peternak kecil (583 orang). Dari sejumlah petani-peternak kecil tersebut diambil 10 persen yakni sebesar 59 orang. Untuk menjamin kesahihan data yang diperoleh, diambil
27
68 orang petani-peternak sebagai responden sampel. Setelah data diolah ternyata terdapat data pencilan dari 8 orang responden. Dengan demikian, yang dapat digunakan sebagai responden sampel berjumlah 60 orang terdiri atas masingmasing 30 orang petani-peternak di Desa Pulokencana dan di Desa Sukanegara. Sampel dipilih secara acak sederhana dari seluruh anggota kelompok tani yang ada di dua desa tersebut.
Data dan Instrumentasi Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Cara pengumpulan data primer menggunakan seperangkat daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan oleh peneliti yang diajukan kepada responden sampel dan wawancara dengan responden dan informan khususnya kepada penyuluh yang bertugas di wilayah tersebut diantaranya mengenai profil wilayah penelitian, kegiatan penyuluhan yang berjalan selama ini, dan permasalahan usahatni yang terjadi di wilayah penelitian. Data primer yang dikumpulkan adalah: (1) karakteristik pribadi petani responden yaitu umur, tingkat pendidikan formal dan tingkat pendidikan nonformal; (2) karakteristik usahatani petani responden yaitu pengalaman berusahatani, luas lahan, status kepemilikan lahan, aksesibilitas lembaga keuangan, aksesibilitas pasar dan aksesibilitas saprodi; (3) kualitas penyuluhan yaitu intensitas penyuluhan, metode penyuluhan dan materi penyuluhan; dan (5) persepsi petani responden terhadap kompetensi PPL yaitu kompetensi kepribadian, profesional, andragogik, dan sosial PPL. Data sekunder yang dikumpulkan berupa keadaan umum wilayah penelitian dan data mengenai kependudukan dari lembaga terkait, yaitu: BPP Kecamatan Pontang, BPKP, BPTP, dan BPS Kabupaten Serang.
Instrumentasi Instrumentasi merupakan keragaman alat
yang digunakan dalam
pengumpulan data penelitian. Mekanisme pengumpulan data penelitian dilakukan secara langsung dengan cara antara lain melakukan teknik wawancara melalui
28
kuesioner dan observasi ke lahan usahatani responden. Kuesioner yang digunakan telah disusun secara terstruktur sehingga dapat diketahui informasi dari variabelvariabel penelitian.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas Instrumen Menurut Singarimbun dan Efendi (2008) validitas menunjukkan tingkatan suatu alat pengukur itu mengukur sesuatu yang ingin diukur. Kerlinger (1990) mengungkapkan bahwa suatu alat ukur dikatakan sahih apabila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya ingin diukur. Keterandalan suatu instrumen menyangkut tingkat konsistensi hasil yang dicapai oleh sebuah alat ukur, meskipun digunakan berulang-ulang pada subjek yang sama atau berbeda. Validitas
penelitian
ini
adalah:
(1)
Validitas
isi.
Validitas
isi
menggambarkan tingkatan alat ukur mewakili semua dimensi atau aspek dari kerangka konsep. Dalam penelitian ini, validitas isi didasari pada pendapat ahli yang berasal dari kajian pustaka sesuai dengan tujuan penelitian; dan (2) Validitas konstruk. Validitas konstruk adalah suatu evaluasi sejauhmana instrumen penelitian mengukur konstruk yang secara teoritis diharapkan peneliti untuk diukur. Validitas konstruk dapat menerangkan hubungan antar konstruk yang ada.
Reliabilitas Instrumen Reliabilitas instrumen adalah indeks yang menunjukkan ketepatan alat tersebut untuk mengukur sesuatu yang diukurnya. Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Singarimbun & Effendi, 2006). Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Alfa Cronbach. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan teknik Alfa Cronbach dengan rumus koefisien sebagai berikut (Sugiyono, 2009):
k ri = 1 (k − 1)
∑s st2
i
29
Keterangan: ri
= Koefisien reliabilitas instrumen (cronbach alfa)
k
= banyaknya butir pertanyaan
∑si = total varians butir St2 = total varians Kesahihan dan keterandalan instrumen dilakukan melalui ujicoba terhadap instrumen yang digunakan terhadap sejumlah responden di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda, yang memiliki karakteristik sama dengan responden sesungguhnya. Dalam penelitian ini ujicoba dilakukan kepada 20 orang yang memiliki karakteristik relatif sama dengan responden di Wilayah Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang dan Kecamatan Ciater, Tangerang Selatan. Hasil uji coba terhadap kesahihan dan keterandalan instrumen disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji coba kesahihan dan keterandalan instrumen (n=20)
1.
Kompetensi Kepribadian PPL
Kesahihan (rentang nilai) 0,770-0,911
2.
Kompetensi Andragogik PPL
0,549-0,850
0,887
3.
Kompetensi Profesional PPL
0,859-0,908
0,969
4.
Kompetensi Sosial PPL
0,780-0,845
0,918
No.
Variabel
Keterandalan 0,922
Keterangan : nilai rtabel adalah 0,44
Berdasarkan hasil uji coba tersebut diketahui bahwa instrumen yang dikembangkan umumnya mempunyai nilai validitas dan reliabilitas yang dapat diterima karena r total tersebut lebih besar dari rtabel (α = 0,05 ; db = 18) sebesar 0,44. Pengumpulan Data Penelitian dilakukan di dua desa yakni Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, mulai dari pembuatan rencana penelitian melalui penelusuran data sekunder, kunjungan lapangan, uji coba instrumen, dan pengumpulan data. Pengumpulan data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui pengisian kuesioner yang disertai dengan wawancara mendalam terhadap sejumlah petani-
30
peternak yang menjadi anggota kelompok tani. Data yang dikumpulkan tersebut meliputi: (1) umur, (2) pendidikan formal, (3) kesertaan dalam pelatihan usahatani (4) pengalaman berusahatani, (5) luas lahan, (6), status kepemilikan lahan, (7) aksesibilitas lembaga keuangan, (8) aksesibilitas pasar, (9) aksesibilitas saprodi, (10) persepsi petani responden terhadap intensitas penyuluhan, (11) persepsi petani responden terhadap metode penyuluhan, (12) persepsi petani responden terhadap materi penyuluhan, (13) persepsi petani responden terhadap kompetensi kepribadian PPL, (14) persepsi petani responden terhadap kompetensi andragogik PPL, (15) persepsi petani responden terhadap kompetensi profesional PPL, dan (16) persepsi petani responden terhadap kompetensi sosial PPL.
Analisis Data Analisis data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan inferensial. Analisis secara deskriptif dengan membentuk tabel frekuensi dan persentase dari hasil data primer yang diperoleh berdasarkan wawancara. Analisis secara inferensial dilakukan dengan menggunakan uji statistik non parametrik dengan menggunakan bantuan program SPSS 17,0 for Windows, yakni: (1) Untuk membandingkan dua sampel yaitu Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara maka digunakan
uji Mann-Whitney U-Test dalam rangka
menguji sama atau tidaknya dua mean sampel. Dalam menghitung nilai statistik uji Mann-Whitney U-Test, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Sugiyono, 2009):
n2 (n2 + 1) n2 U = n1 n2 + − ∑ Ri 2 i = n1 +1 Keterangan: U = Nilai uji Mann-Whitney n1= sampel 1 n2= sampel 2 Ri = Ranking ukuran sampel
31
(2) Untuk melihat tingkat keeratan hubungan antara variabel bebas maka digunakan uji korelasi Rank Spearman pada taraf kepercayaan 0,05% dengan rumus (Siegel, 1992):
6∑i −1 d i N
rs = 1 −
2
N3 − N
Keterangan: rs = koefisien korelasi peringkat Rank Spearman di = selisih antara peringkat bagi xi dan yi N = banyaknya pasangan data
Definisi Operasional Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan hubungan antar variabel. Definisi operasional variabel-variabel karakteristik pribadi petani, karakteristik usahatani petani, kualitas penyuluhan dan persepsi petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian dapat dilihat dalam Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5. Berikut ini adalah variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran karakteristik pribadi petani. Tabel 2. Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran karakteristik pribadi petani No.
Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Pengukuran
1.
Umur
Jumlah tahun sejak lahir hingga penelitian dilakukan.
Tahun
1. Muda (umur 21-34) 2. Dewasa (umur 35-47) 3. Tua (umur 48-60)
2.
Tingkat pendidikan formal
Jumlah tahun sukses pendidikan formal pada saat dilakukan penelitian.
Tahun
1. Rendah (Tidak Tamat dan Tamat SD) 2. Sedang (SMP-SMA) 3. Tinggi (>SMA)
3.
Kesertaan dalam pelatihan usahatani
Jumlah pelatihan yang pernah diikuti yang terkait dengan kegiatan usahatani.
Jumlah kegiatan pelatihan pertanian yang diikuti selama dua tahun terakhir.
1. Rendah ( tidak pernah) 2. Sedang (1-2 kegiatan) 3. Tinggi (>2 kegiatan)
Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran karakteristik usahatani petani dapat dilihat pada Tabel 3.
32
Tabel 3. Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran karakteristik usahatani petani No. Variabel 1. Pengalaman berusahatani
Definisi Operasional Lama bekerja sebagai petani sampai dilakukan penelitian dan kemampuan mengenali dan menyelesaikan kendala dalam usahatani. Jumlah hamparan yang diusahakan oleh petani.
Indikator a. Lama bekerja dalam tahun b. Kemampuan mengenali kendala teknis c. Kemampuan menyelesaikan masalah
Pengukuran 1. Rendah (skor 3-5) 2. Sedang (skor 6-7) 3. Tinggi (skor 8-9)
Jumlah hamparan yang diusahakan oleh petani dalam m2 pada satu tahun terakhir.
1. Sempit (2.00018.000) 2. Sedang (18.00134.000) 3. Luas (34.00150.000)
2.
Luas lahan
3.
Status Kepemilikan lahan
Kepemilikan lahan yang diusahakan/digarap oleh petani.
a. Milik sendiri b. Sewa/gadai/bagi hasil
1. Rendah (Sewa/ gadai/bagi hasil) 2. Sedang (Milik sendiri) 3. Tinggi (Milik sendiri dan sewa/ gadai/bagi hasil)
4.
Aksesibilitas lembaga keuangan
Keterjangkauan petani dalam memperoleh permodalan usaha tani.
a. Sumber modal usahatani: - Sendiri - Pinjam, dari … - Bantuan, dari … b. Penyediaan fasilitas permodalan oleh lembaga keuangan (bank)
1. Rendah (skor 3-5) 2. Sedang (skor 6-7) 3. Tinggi (skor 8-9)
5.
Aksesibilitas saprodi
Keterjangkauan sarana produksi pertanian petani.
Sumber sarana produksi (bibit/benih, pupuk, obat/pestisida/fungisida/ herbisida), dan pakan ternak) melalui: − Tengkulak − Pasar tradisional/toko − Kelompok tani
1. Rendah (skor 8-14) 2. Sedang (skor 1521) 3. Tinggi (skor 2228)
6.
Aksesibilitas pasar
Keterjangkauan petani dalam menjual hasil usaha tani.
Penjualan hasil usahatani (padi, itik/entog, dan telor): - Kelompok tani - Pasar tradisional - Tengkulak/pedagang pengumpul
1. Rendah (skor 611) 2. Sedang (skor 1216) 3. Tinggi (skor 1721)
33
Penjelasan mengenai variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran kualitas penyuluhan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran kualitas penyuluhan No.
Variabel Definisi Operasional
Indikator
Pengukuran
1.
Intensitas penyuluhan
Frekuensi pemberian informasi dari PPL ke petani dalam enam bulan terakhir.
Jumlah kehadiran responden pada kegiatan penyuluhan dalam enam bulan terakhir
1. Rendah (< 2 kali) 2. Sedang (2-3 kali) 3. Tinggi (>3 kali)
2.
Materi Penyuluhan
Persepsi petani mengenai materi penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan petani.
a. Jumlah materi penyuluhan yang diberikan oleh PPL. b. Minat petani dengan materi penyuluhan c. Kemudahan diterapkan di lapang oleh responden d. Kemanfaatan materi penyuluhan bagi responden
1. Rendah (skor 4-7) 2. Sedang (skor 8-11) 3. Tinggi (skor 12-15)
3.
Metode Penyuluhan
Persepsi petani mengenai cara yang dilakukan PPL dalam menyampaikan materi dan cara yang mudah dimengerti oleh petani.
a. Metode penyuluhan yang diterapkan dan tingkat kepuasan petani b. Alat bantu pembelajaran yang digunakan c. Variasi penggunaan metode penyuluhan
1. Rendah (skor 10-18) 2. Sedang (skor 19-25) 3. Tinggi (skor 26-32)
Lebih lanjut mengenai variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran persepsi petani terhadap kompetensi PPL dijelaskan dalam Tabel 5.
34
Tabel 5. Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran persepsi petani terhadap kompetensi PPL No.
Variabel
1. Kompetensi Kepribadian
2. Kompetensi Andragogik
3. Kompetensi Profesional
Definisi Operasional Persepsi petani terhadap kemampuan PPL dalam membawakan diri terhadap lingkungannya.
Persepsi petani terhadap kemampuan PPL dalam memahami petani dan mengembangkan kebutuhan belajar untuk berubah.
Persepsi petani terhadap kemampuan PPL dalam menguasai materi dan metode penyuluhan dan kebutuhan di wilayah kerjanya (penguatan organisasi
Indikator
Pengukuran
Kemampuan PPL dalam hal: a. Ketersediaan waktu b. Memberikan contoh yang baik c. Sikap kepemimpinan d. Perilaku santun e. Mendengarkan keluhan f. Disiplin g. Dapat dipercaya h. Bertanggung jawab i. Dekat dengan sasaran j. Memberikan kesempatan berpendapat Kemampuan PPL dalam hal: a. Mengidentifikasi kebutuhan petani b. Menjelaskan pengetahuan dan informasi baru usahatani c. Memperbaiki/membuat terobosan usahatani menjadi lebih baik d. Menganggap petani sebagai rekan kerja e. Melibatkan petani dalam menyusun program penyuluhan f. Mencantumkan kebutuhan petani dalam program penyuluhan g. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan program penyuluhan h. Menilai rencana program penyuluhan. i. Menilai keberhasilan program penyuluhan j. Memberi masukan tentang kiat-kiat/strategi mengelola waktu dan dana Kemampuan PPL dalam hal: a. Menyadarkan kebutuhan belajar b. Merencanakan kegiatan pembelajaran yang menarik dan mudah dimengerti c. Menggunakan cara-cara belajar yang menarik dan mudah dimengerti d. Mengembangkan minat belajar e. Menguasai materi penyuluhan
Skor 1= Sangat tidak setuju Skor 2= Tidak setuju Skor 3= Setuju Skor 4= Sangat setuju Kategori: 1. Rendah (skor 10-20) 2. Sedang (skor 21-30) 3. Tinggi (skor 31-40)
Skor 1= Sangat tidak setuju Skor 2= Tidak setuju Skor 3= Setuju Skor 4= Sangat setuju Kategori: 1. Rendah (skor 10-20) 2. Sedang (skor 21-30 ) 3. Tinggi (skor 31-40)
Skor 1= Sangat tidak setuju Skor 2= Tidak setuju Skor 3= Setuju Skor 4= Sangat setuju Kategori: 1. Rendah (skor 10-18) 2. Sedang (skor 19-27 ) 3. Tinggi (skor 28-36)
35
Tabel 5. (Lanjutan) Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran persepsi petani terhadap kompetensi PPL No.
Variabel
4. Kompetensi Sosial
Definisi Operasional pengembangan usaha).
Persepsi petani terhadap kemampuan PPL dalam berinteraksi/berhubungan sosial dengan sasaran.
Indikator f. Mengenali wilayah kerjanya g. Menganalisis masalah di wilayah kerjanya h. Mengembangkan organisasi SDM (kelompok tani) i. Mengembangkan kemampuan kewirausahaan Kemampuan PPL dalam hal: a. Berbicara mudah dimengerti dan menyenangkan b. Bahasanya mudah dimengerti c. Melayani kebutuhan pertanian d. Mitra/rekan kerja e. Bekerjasama dengan sasaran f. Membaur dengan masyarakat g. Menyelesaikan konflik kelompok tani h. Mengembangkan rasa kesetiakawanan i. Mengembangkan rasa rasa saling mempercayai
Pengukuran
Skor 1= Sangat tidak setuju Skor 2= Tidak setuju Skor 3= Setuju Skor 4= Sangat setuju Kategori: 1. Rendah (skor 10-18) 2. Sedang (skor 19-27 ) 3. Tinggi (skor 28-36)
36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Lokasi Penelitian Provinsi Banten sebagai provinsi yang ke-30 di Indonesia, dibentuk dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2000 Tanggal 17 Oktober 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten dengan salah satu wilayahnya adalah Kabupaten Serang. Berdasarkan UU RI Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 8.651,20 km2 . Kabupaten Serang merupakan Ibu Kota Provinsi Banten yang terdiri atas 28 kecamatan yaitu Anyar, Bandung, Baros, Binuang, Bojonegara, Carenang, Cikande, Cikeusal, Cinangka, Ciomas, Ciruas, Gunungsari, Jawilan, Kibin, Kopo, Kragilan, Kramatwatu, Mancak, Pabuaran, Padarincang, Pamarayan, Petir, Pontang, Pulo Ampel, Tanara, Tirtayasa, Tunjung Teja, dan Warungin Kurung. Secara geografis wilayah Kabupaten Serang terletak diantara 5°50' - 6°21' Lintang Selatan dan 105°7' 106°22' Bujur Timur. Sebagian besar wilayah Kabupaten Serang berupa dataran rendah. Batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Serang adalah: Sebelah Utara: Laut Jawa, Sebelah Timur: Kabupaten Tangerang, Sebelah Selatan: Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, dan Sebelah Barat: Kotamadya Serang dan Selat Sunda. Penelitian ini meliputi Wilayah Kecamatan Pontang yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Kecamatan Pontang yang berada di Kabupaten Serang, Provinsi Banten memiliki batas administrasi wilayah yakni: Sebelah Utara berbatasan Laut Jawa, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ciruas, Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kasemen, dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tirtayasa. Lokasi program penyuluhan pertanian Kecamatan Pontang terdiri dari 15 desa dan 111 kelompok tani dan 14 kelompok tani perikanan. Rincian nama desa, jumlah RT/RW, jumlah kelompok tani, dan nama gapoktan di Kecamatan Pontang dapat dilihat pada Tabel 6.
37
Tabel 6. Nama desa, jumlah RT/RW, jumlah kelompok tani (poktan), dan nama gabungan kelompok tani (gapoktan) di Kecamatan Pontang No.
Nama Desa
Jumlah
Nama Gapoktan
1.
Kencana Harapan
RT 10
RW 3
Poktan 9
2.
Singarajan
10
4
5
Harapan Makmur
3.
Lebak Wangi
10
2
8
Karya Tani
4.
Pulokencana
12
3
9
Banyu Mukti
5.
Sukanegara
16
3
11
Kencana Tani
6.
Linduk
16
3
11
Tani Makmur
7.
Sukajaya
8
3
11
Jaya Sentosa
8.
Kelapian
18
4
4
Tani Sejahtera
9.
Pegandikan
12
3
8
Sri Maju
10.
Keserangan
10
5
5
Suka Maju
11.
Lebak Kepuh
8
3
7
Sri Mulya
12.
Kubang Puji
20
5
13
Agustina
13.
Pontang
13
4
6
Sumber Tani
14.
Wanayasa
6
2
4
Tani Lestari
15.
Domas
12
2
-
Mina Sejahtera
Subur Makmur
Sumber: BPP Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, 2011
Topografi Wilayah Lahan di Kecamatan Pontang memiliki tingkat keasaman tanah (pH) agak asam antara 5,5 – 5,9 dengan kemiringan tanahnya sebesar 8 persen. Struktur tanahnya adalah kasar, sedang dan halus dan keadaan drainase dalam kondisi sedang. Tipe iklim dikategorikan E.3 dengan curah hujan bulan basah dan bulan kering antara 3-6 bulan. Luas lahan menurut pola penggunaannya disajikan dalam Tabel 7.
38
Tabel 7. Pola penggunaan lahan di Kecamatan Pontang Penggunaan Lahan Lahan sawah Lahan pekarangan dan pemukiman Lahan tegal/kebun Kolam Lahan lain-lain Total
Luas (Ha)
Persentase (%)
4.868
91,4
368
6,9
63
1,2
6
0,1
19
0,4
5.324
100
Sumber: BPP Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, 2011
Wilayah Kecamatan Pontang didominasi oleh lahan sawah sebesar 91,4 persen. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasa ditanami padi sawah tanpa memandang darimana diperolehnya status tanah tersebut. Lahan sawah merupakan penghasil utama beras. Petani di Kecamatan Pontang memanfaatkan lahannya untuk ditanami padi tiap tahunnya tanpa dilakukan pergantian tanaman. Pengairan sawah yang dilakukan petani umumnya masih menggunakan sistem pengairan tergenang, yang hanya sesekali disusutkan airnya, yaitu apabila akan melakukan pemupukan atau penyemprotan. Upaya penanggulangan hama dan penyakit tanaman hampir seluruhnya dilakukan secara kimia yaitu dengan melakukan penyemprotan.
Penduduk Jumlah penduduk Kecamatan Pontang berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur berdasarkan data statistik hasil sensus penduduk tahun 2010 berjumlah 56.456 orang yang terdiri dari 27.569 laki-laki dan 28.887 perempuan. Sebagian besar (61 persen) mata pencaharian penduduk di Kecamatan Pontang adalah petani. Mayoritas masyarakat menggantungkan hidupnya dari kegiatan pertanian. sebagian besar diantara mereka membudidayakan padi sawah. Selain itu, terdapat mereka yang membudidayakan tanaman palawija seperti kacang tanah dan umbi-umbian, serta tanaman hortikultura seperti mentimun dan kacang panjang. Sebaran jumlah penduduk menurut mata pencahariannya disajikan pada Tabel 8.
39
Tabel 8. Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian Mata Pencaharian Petani
Jumlah (orang)
Persentase (%)
9.673
61,0
446
3,0
Pedagang
2.537
16,0
Buruh
1.589
10,0
Petukang
719
4,5
Pegawai Negeri Sipil
397
2,5
TNI/POLRI
61
0,5
Karyawan
147
1,0
Jasa
246
1,5
15.815
100,0
Nelayan
Total
Sumber: BPP Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, 2011
Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Tidak tamat SD
16.734
42,3
Tingkat pendidikan SD
13.127
33,2
Tingkat pendidikan SLTP
7.149
18,0
Tingkat pendidikan SLTA
2.170
5,5
Tingkat pendidikan D1
36
0,1
Tingkat pendidikan D2
71
0,2
Tingkat pendidikan D3
90
0,2
Tingkat pendidikan S1
193
0,5
39.570
100,0
Total
Sumber: BPP Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, 2011
Data sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Pontang tidak tamat SD yakni 42,3 persen dan berpendidikan SD 33,2 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat Serang untuk meningkatkan taraf pendidikannya. Dengan
40
demikian, pelaksanaan program pemerintah yakni Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dalam rangka mewujudkan pemerataan pendidikan dasar di Wilayah Kabupaten Serang saat ini dirasakan cukup berat.
Sarana dan Prasarana Pertanian Keadaan jalan di Kecamatan Pontang terdiri dari jalan provinsi sepanjang 26 km, jalan kabupaten sepanjang 1 km, jalan desa (aspal) sepanjang 17 km, dan jalan batu sepanjang 1 km. Sarana dan prasarana yang mendukung usahatani dijelaskan dalam sebaran jumlah alat dan mesin pertanian yang disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Sebaran jumlah alat dan mesin pertanian Jenis Alat Pompa air
Jumlah (buah) 73
Hand traktor
117
Lantai jemur
92
Hand sprayer
382
Emposan tikus
45
Cangkul
7.235
Bajak
156
Garu
182
Caplak
700
Landak
851
Sabit
10.412
Sumber: BPP Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, 2011
Sarana dan prasarana yang ada di Kecamatan Pontang diharapkan dapat membantu kegiatan usahatani petani. Jika melihat data pada Tabel 10 maka dapat terlihat bahwa alat dan mesin pertanian yang digunakan di Kecamatan Pontang masih sederhana. Petani masih menggunakan alat dan mesin yang masih tradisional. Jumlahnya pun belum memadai jika dilihat dari perbandingan jumlah petani di kecamatan Pontang yang berjumlah 9.673 orang. Mekanisasi pertanian sesungguhnya dapat meningkatkan produktivitas pertanian melalui pengolahan lahan yang lebih baik, mengurangi kehilangan hasil serta meningkatkan ketepatan
41
waktu dalam aktivitas pertanian. Selama musim tanam dan musim panen, permintaan tenaga kerja adalah sangat besar. Dengan menggunakan alat dan mesin pertanian yang lebih baik maka pekerjaan ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Tenaga kerja manusia pun dapat dialokasikan untuk pekerjaan lain. Oleh karena itu, diharapkan ke depannya terdapat perbaikan alat dan mesin pertanian sehingga membantu mensejahterakan petani.
Kelembagaan Penunjang Kelembagaan yang menunjang pembangunan pertanian di Kecamatan Pontang terlihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kelembagaan penunjang kelembagaan pertanian Jenis Lembaga
Jumlah (buah)
Koperasi Unit Desa (KUD)
1
Kios sarana produksi pertanian
14
Balai Penyuluhan Pertanian
1
BRI Unit Desa
1
BPR kecamatan
1
Posyandu
60
Pos Keluarga Berencana
15
Kelompok Capir
1
Pasar
2
Sumber: BPP Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, 2011
Kelembagaan penunjang pertanian yang terkait secara langsung dengan kegiatan usahatani petani adalah kios sarana produksi pertanian. Sarana produksi pertanian (saprotan) merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mendukung perkembangan atau kemajuan pertanian terutama untuk mencapai tujuan terciptanya ketahanan pangan. Toko/kios saprotan merupakan lembaga yang sangat penting yang berhubungan langsung dengan petani dalam hal penyediaan sarana produksi pertanian (saprotan). Keberadaan kios saprotan di Kecamatan Pontang secara umum mudah diakses oleh petani.
42
Prospek Pasar Prospek pasar di Kecamatan Pontang dapat dikatakan cukup baik. Tabel 12 berikut adalah segmen pasar di Kecamatan Pontang.
Tabel 12. Segmen pasar di Kecamatan Pontang No.
1.
2.
3.
Komoditas
Komoditas Tanaman Pangan 1. Padi sawah 2. Jagung 3. Kacang hijau 4. Kacang panjang 5. Ubi kayu 6. Lombok 7. Terong 8. Ketimun 9. Sawi Komoditas Peternakan 1. Daging kambing 2. Daging ayam pedaging 3. Daging ayam buras 4. Daging bebek 5. Daging itik/telur 6. Daging entog Komoditas Perkebunan
Jumlah Produksi (Ton)
Persentase Pasar Di Lokasi
Luar lokasi
17.703,5 40,15 6,61 430,16 31,2 87,36 38,85 314,88 31,08
45 80 100 75 100 60 80 80 90
55 20 25 40 20 20 10
35,64 15,6 24,45 3,3 27,6 1,9
90 80 40 60 20 90
10 20 60 40 80 10
17.800
10
10
Sumber: BPP Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, 2011
Komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan Kecamatan Pontang adalah padi sawah dengan penjualannya lebih banyak dipasarkan di luar lokasi Kecamatan Pontang. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Serang adalah padi, sedangkan untuk komoditas peternakan, daging kambing memiliki jumlah produksi cukup besar dibandingkan ternak lainnya. Namun, saat ini sedang dikembangkan produksi daging itik sesuai dengan program pemberdayaan di tiga desa di Kecamatan Pontang yakni Desa Pulokencana, Desa Singarajan, dan Desa Lebak Kepuh yang berusaha mengembangkan jumlah 100.000 ekor itik pada tahun 2015.
43
Kondisi Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Pontang Jumlah PPL yang bertugas di Kecamatan Pontang
sebanyak 8 orang
dengan rincian seperti terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Nama, tingkat pendidikan/tahun lulus, mulai bekerja, status dan jabatan PLL di Kecamatan Pontang No.
1.
Nama
2.
Lukman Hakim Yonan
3.
Sudirman
Tingkat Pendidikan/Tahun Lulus SPMA/ 1983
Mulai Bekerja
Status
Jabatan
Penata/III C
Kepala BPP
SPMA/1986
Nopember 1986 April 2006
PPL
SPMA/1995
Januari 2007
Pengatur Muda/II B Pengatur Muda/II A THL-TBPP THL-TBPP THL-TBPP
4. 5. 6.
POPT
Hanip S1/2006 Maret 2007 PPL Herawati S1/2006 Maret 2008 PPL Heri M. S1/2000 Maret 2009 PPL Lubis 7. Ahmad S1/2005 Maret 2008 THL-TBPP PPL Kusyanto 8. Ruhiyat SPMA/2007 Maret 2009 THL-TBPP PPL Faturohim Keterangan: THL-TBPP: Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian POPT : Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan
Salah satu fokus Program RPP adalah peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh. Jumlah desa/kelurahan di seluruh Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 69.929 desa/kelurahan, sementara jumlah penyuluh pertanian yang tersedia hanya 30.502 orang (PNS: 28.879 dan tenaga honorer: 1.623), sehingga masih dibutuhkan kurang lebih 40.000 orang tenaga penyuluh pertanian. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan tersebut, Kementerian Pertanian mulai tahun 2007 membuat kebijakan merekrut THL-TBPP sebanyak 6.000 yang ditempatkan di desa/kelurahan dalam wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia sesuai dengan daerah asal yang bersangkutan. Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 setiap desa harus mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang penyuluh. Jika mengamati proporsi penyuluh di Kecamatan Pontang maka dapat disimpulkan sangat jauh dari ideal. Jumlah desa di Kecamatan Pontang adalah 15 buah, sedangkan jumlah PPL yang ada di BPP
44
Kecamatan Pontang sebanyak delapan orang sehingga satu PPL menangani dua desa binaan. PPL di Kecamatan Pontang yang berstatus PNS sebanyak tiga orang sedangkan yang berstatus THL-TBPP sebanyak lima orang. Dengan demikian, penyuluh THL-TBPP memiliki peran yang penting dan sangat strategis untuk mendukung program-program pertanian yang ada di Kecamatan Pontang. Berdasarkan informasi kepala BPP Kecamatan Pontang, keberadaan THLTBPP di wilayah tersebut memang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi petani maupun kelompok tani dan dipandang sangat membantu penyuluh PNS selaku mitra kerjanya. Jumlah mereka yang melebihi PPL PNS di Kecamatan Pontang membuktikan bahwa kehadiran mereka sangat dibutuhkan dalam membantu kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini sesuai dengan tugas pokok THL-TBPP yakni membantu PPL PNS sesuai dengan programa penyuluhan kecamatan. THL-TBPP merupakan pelaksanaan langsung dari kebijakan RPPK, UU SP3K dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian dari Kementrian pertanian. THLTBPP pertama kali direkrut pada tahun 2007 sebanyak 5.606 orang yang terutama dimaksudkan untuk memperkuat dukungan bagi kesuksesan program peningkatan produksi beras nasional (P2BN). Program ini dianggap sukses dan pada tahun berikutnya (2008) Pemerintah kembali merekrut THL-TBPP baru sebanyak 9.559 orang. Pada tahun kedua perekrutan ini THL-TBPP mulai dilibatkan/terlibat baik langsung maupun tak langsung dalam program-program Kementan seperti Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Usaha Ekonomi Produktif (UEP), Desa Mandiri Pangan, Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) serta programprogram lainnya. Mulai tahun kedua ini banyak daerah mulai berani memberikan mandat kewenangan yang sama antara Penyuluh Pertanian PNS dan THL TBPP dalam dalam wilayah binaan. Hasil evaluasi BPSDMP Kementan terhadap performa dan kinerja THL-TBPP hingga tahun kedua memberikan catatan memuaskan, sehingga pada tahun 2009 kembali direkrut THL-TBPP baru sebanyak 9.990 orang. Hingga saat ini keberadaan dan kiprah THL-TBPP tidak lagi sebatas hanya menjadi tenaga bantu Penyuluh Pertanian, tetapi lebih dari itu mereka telah mampu membangun dinamika baru secara nyata untuk bersama-
45
sama Penyuluh Pertanian PNS menjadi ujung tombak kesuksesan programprogram pertanian di wilayah kerja masing-masing. Selain dibantu oleh THL-TBPP, dalam praktek kegiatan penyuluhan idealnya penyuluh pertanian PNS dibantu juga oleh penyuluh pertanian swadaya dan/atau penyuluh pertanian swasta. Berdasarkan peraturan menteri pertanian No. 61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang pedoman pembinaan penyuluh pertanian swadaya dan penyuluh pertanian swasta, syarat-sayarat penyuluh pertanian swadaya adalah: (1) Memiliki dan atau mengelola usaha di bidang pertanian yang berhasil dan dapat dicontoh oleh masyarakat di sekitarnya, (2) Mempunyai sifat kepemimpinan dan menjadi teladan bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Menurut Mardikanto (2007), meskipun dalam pasal 20 UU No. 16 Tahun 2006 dinyatakan bahwa tenaga penyuluh pertanian terdiri dari: penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, tetapi tidak ada satu pasal/ayat yang menyebutkan upaya pemerintah untuk mengembangkan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya. Pada pasal 21 (2) pemerintah hanya sekedar memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan swadaya. Demikian juga, pada pasal 33 (5), pembiayaan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya hanya dapat dibantu oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, walaupun keberadaan penyuluh swadaya ini sangat dibutuhkan oleh petani dan PPL namun tidak semua desa di Kecamatan Pontang dapat merasakan manfaatnya. Keberadaannya yang terbatas hanya di desa binaan FEATI seperti di Desa Pulokencana tidak dapat dinikmati petani di Desa Sukanegara. Program FEATI yang hanya diterapkan di beberapa desa saja memang cukup membantu petani namun terjadi ketimpangan yang cukup besar dengan desa lainnya.
Kegiatan Penyuluhan Pertanian di Kecamatan Pontang Lokasi program penyuluhan pertanian di Kecamatan Pontang terdiri dari 15 desa 111 kelompok tani dan 14 kelompok tani perikanan. Sumber biaya dalam melaksanakan program penyuluhan pertanian di tingkat Kecamatan Pontang terdiri dari: APBD, APBD 1, APBD 2, swadaya pertanian/nelayan dan dari pihak swasta yang mendukung berjalannya program ini.
46
Permasalahan yang ada di Kecamatan Pontang dalam komoditi tanaman pangan adalah: (1) belum semua petani melaksanakan tanam padi dengan sistem jajar legowo; (2) belum semua petani menggunakan pupuk organik sebagai alternatif peningkatan produksi dan atas kelangkaan pupuk anorganik/kimia; dan (3) belum dilakukannya pola pergantian tanam padi ke selain padi dalam 1 tahun. Masalah sosial kelompok tani yang ada di Kecamatan Pontang adalah: (1) belum semua kelompok melaksanakan penyusunan rencana definitif kelompok tani (RDK dan RDKK) dengan baik; (2) belum semua kelompok dapat menghadirkan para anggotanya pada saat pertemuan di kelompoknya dengan baik, dan (3) belum semua kelompok melaksanakan kesepakatan dan aturan yang ditaati oleh anggotanya dengan baik. Program kegiatan penyuluhan pertanian di UPT BPP Kecamatan Pontang pada tahun 2011 terlihat pada Tabel 14.
Tabel 14. No.
Program kegiatan penyuluhan pertanian di UPT BPP Kecamatan Pontang tahun 2011 Kegiatan
Ouput
Metode
Sasaran (orang)
1.
Percontohan langsung (SL-PTT)
Dem farm
750
2.
Pemberdayaan Petani (FEATI/P3TIP) Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Pemasyarakatan pupuk organik Pemasyarakatan pesitisida nabati Peningkatan penggunaan benih unggul Peningkatan mutu pasca panen Pemulihan kesuburan lahan berkelanjutan
Penerapan teknologi PTT jajar legowo Perubahan P, S, K
Ceramah, diskusi, praktek LAKU
120
72 kali/tahun
560
1 musim tanam
Perubahan P, S, K
Praktek
560
Perubahan P, S, K
Praktek
560
Perubahan P, S, K
Dem farm
198
1 musim tanam 1 musim tanam 18 kali/tahun
Dem cara
115
Praktek
2.450
3.
4. 5. 6.
7. 8.
Pengembangan modal kelompok
Mengurangi kehilangan hasil Perbaikan tanah
Sumber: BPP Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, 2011
Volume Frekuensi Unit 540 kali/tahun
180 kali/tahun 98 kali/tahun
47
Pemberdayaan Petani melalui Kegiatan Pertanian di Kecamatan Pontang Dengan terbitnya UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K, maka mulai tahun 2007 program revitalisasi penyuluhan pertanian difokuskan untuk mengimplementasikan beberapa sub program, yaitu: (1) penataan kelembagaan penyuluhan; (2) peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh; (3) peningkatan sistem penyelenggaraan penyuluhan; (4) peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani; dan (5) pengembangan jejaring kerjasama penyuluhan dan agribisnis. Dalam rangka memperkuat pelaksanaan implementasi UU No. 16 Tahun 2006 tersebut Kementerian Pertanian melalui Badan Pengembangan SDM Pertanian melaksanakan Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) atau Farmer Empowerment through Agricultural Technology and Information (FEATI) di 18 provinsi dan 71 kabupaten mulai tahun 2007. Salah satu Kabupaten yang melaksanakan program ini adalah Kabupaten Serang, khususnya Desa Pulokencana di Kecamatan Pontang. Program FEATI atau P3TIP ini menitikberatkan pada pengembangan kapasitas manajerial, kepemimpinan dan kewirausahaan pelaku utama dalam pengelolaaan kegiatan penyuluhan pertanian. Program ini merupakan kegiatan yang pendanaannya bersumber
dari
pinjaman
Bank
Dunia,
yang
bertujuan
meningkatkan
produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Salah satu metode pengembangan kapasitas pelaku utama dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang dikelola oleh pelaku utama itu sendiri (Farmers Managed Extension Activites/FMA). Metode ini menitikberatkan pada pengembangan kapasitas manajerial, kepemimpinan dan kewirausahaan pelaku utama dalam pengelolaaan kegiatan penyuluhan pertanian. Dalam metode FMA ini pelaku utama dan pelaku usaha mengidentifkasi permasalahan dan potensi yang ada pada diri, usaha dan wilayahnya, merencanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan kebutuhan mereka secara partisipatif dalam rangka meningkatkan produktivitas usahanya guna peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya.
48
Metode pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan diseminasi kegiatan FEATI yang dilaksanakan oleh BPTP Banten adalah: (1) partisipatif yang berorientasi pada pengguna (peneliti dan penyuluh berdiskusi untuk pelaksanaan temu tugas, lokakarya/workshop, demonstrasi; (2) demonstrasi teknologi adalah metode penyuluhan pertanian untuk menunjukkan suatu kerja, atau atau memperlihatkan suatu jenis teknologi kepada petani atau pengguna melalui kegiatan peragaan teknologi pertanian; (3) kegiatan demonstrasi teknologi berbasis FSA (Farming System Analysis), petani dan pelaku usaha pertanian secara bersama-sama dengan peneliti dan penyuluh melakukan survey FSA untuk mengetahui eksisting, potensi dan masalah usahatani di desa lokasi FMA telah dilakukan survey PRA/FSA. Informasi diperlukan untuk melihat komoditas unggulan dan potensi desa sehingga dapat dipilih teknologi pertanian yang sesuai, mengidentifikasi berbagai potensi desa yang dimiliki, eksisting teknologi, permasalahan yang dihadapi serta merencanakan kegiatan demonstrasi sesuai dengan kebutuhannya serta partisipatif dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatannya; dan (4) demonstrasi mendukung FMA secara partisifatif antara BPTP Banten dengan Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten,
Kecamatan Pontang,
Desa
Pulokencana dan UP-FMA Agri Kencana. Pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan Temu Tugas adalah pembelajaran langsung atau learning by doing, partisipatif dimana peneliti-penyuluh-petani terlibat aktif. Prinsip-prinsip dasar pelaksanaan FMA adalah: (1) Partisipatif: kegiatan penyuluhan pertanian harus melibatkan pelaku utama dan pelaku usaha untuk berperan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian; (2) Demokratis: setiap keputusan dibuat melalui musyawarah atau kesepakatan sebagian besar pelaku utama dan pelaku usaha untuk menjamin dukungan yang berkelanjutan dan rasa memiliki dari masyarakat; (3) Desentralisasi: kegiatan penyuluhan pertanian direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha (laki-laki dan perempuan, untuk memperbaiki dan mengembangkan usaha taninya dan meningkatkan rasa memiliki terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil dari kegiatan penyuluhan; (4) Keterbukaan: manajemen dan administrasi penggunaan dana FMA harus
49
diketahui dan diumumkan ke masyarakat baik di tingkat desa, kabupaten dan provinsi; (5) Akuntabilitas: pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana untuk penyuluhan pertanian harus dilaporkan dan dipertanggung jawabkan kepada seluruh anggota organisasi petani yang terlibat; (6) Sensitif gender: kegiatan penyuluhan pertanian ditetapkan dalam rembug tani yang dihadiri oleh pelaku utama dan pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan termasuk mereka berasal dari kelompok yang terpinggirkan; dan (7) Kemandirian: pelaku utama dan pelaku usaha, keluarga dan masyarakat tani, serta seluruh anggota organisasi petani (laki-laki dan perempuan) memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengembangkan usahatani yang menguntungkan dan berkelanjutan tanpa harus bergantung kepada pemerintah. Nama-nama FMA di Kecamatan Pontang adalah sebagai berikut: (1) FMA Harapan Mekar di Desa Singarajan, (2) FMA Sri Mulya di Desa Lebak Kepuh, dan (3) FMA Agri Kencana di Desa Pulokencana, sedangkan di Desa Sukanegara tidak terdapat FMA karena tidak terdapat program FEATI. Program berikutnya yang diterapkan di Kecamatan Pontang adalah Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Mulai tahun 2007, BPTP Banten melakukan perbanyakan benih padi sawah yang dilakukan di Kebun Percobaan dan lahan petani terutama pada petani penangkar benih padi dan petani yang ingin menjadi penangkar benih padi. Varietas benih padi yang diperbanyak adalah Ciherang, Cigeulis, Mekongga, Aek Sibundong, Cibogo, Conde, Gilirang, Situ Bagendit dan Tukad Unda. Dalam upaya peningkatan produksi padi tersebut, pemerintah juga memberikan bantuan benih padi melalui program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Pada tahun 2010 Provinsi Banten mendapatkan alokasi program SL-PTT berupa padi hibrida, non hibrida dan padi gogo serta jagung dan kedelai sebanyak 3.476 unit yang tersebar di lima kabupaten/kota salah satunya adalah Kabupaten Serang. PTT adalah pendekatan dalam budi daya tanaman dan berperan penting dalam meningkatkan produksi padi dalam beberapa tahun terakhir. Keberhasilan program P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional) yang diimplementasikan sejak 2007 tentu tidak dapat dipisahkan dari pengembangan PTT padi sawah.
50
Dalam rangka memperbaiki kesuburan tanah sawah, Pemerintah Daerah Provinsi Banten telah melaksanakan Program Pemulihan Kesuburan Lahan Sawah Berkelanjutan Musim Tanam 2010/2011 yang lokasinya difokuskan di dem-area lahan sawah SL-PTT binaan BPTP Banten, Dinas Pertanian Kabupaten Serang, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten serta PT. Vita Farm pada areal sawah 200 hektar di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Program pertanian lainnya yang dikembangkan di Kecamatan Pontang adalah Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang merupakan bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri melalui bantuan modal usaha dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai dengan potensi pertanian desa sasaran. Program PUAP di Provinsi Banten dilaksanakan sejak tahun 2008 yang tersebar di tujuh kabupaten/kota salah satunya adalah Kabupaten Serang. Program PUAP membantu memfasilitasi modal usaha kepada gapoktan yang anggotanya terdiri dari petani, buruh tani, dan rumah tangga tani. Komponen utama dari pola dasar pengembangan PUAP adalah: (1) keberadaan gapoktan; (2) keberadaan penyuluh pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT); (3) Pelatihan bagi petani dan pengurus Gapoktan; dan (4) penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani. Program pertanian di Kabupaten Serang disosialisasikan sampai ke tingkat petani melalui pemerintahan desa, BPP tingkat kecamatan, penyuluh atau PMT, serta instansi pertanian seperti Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten, BPTP, dan BPKP. Brosur dan poster yang menyangkut berbagai program dan kegiatan bidang pertanian termasuk petunjuk teknis, pengenalan teknologi produksi pertanian juga digunakan sebagai wahana penyebaran informasi kepada petani dan masyarakat umum.
Karakteristik Kelompok Tani di Kecamatan Pontang Pemberdayaan petani di Kabupaten Serang melalui pengembangan usaha peternakan itik telah dilakukan pada beberapa kelompok tani di seluruh pelosok kabupaten, salah satunya adalah Kecamatan Pontang. Mulai tahun 2008 upaya pemberdayaan dilakukan dengan peningkatan kapasitas pengetahuan petani.
51
Upaya pemberdayaan dilanjutkan dengan pemberian bantuan pemberian bibit itik (DOD, Day old duck, bibit itik umur sehari) atau mesin penetas. Kegiatan pemberdayaan petani yang dilakukan di Desa Pulokencana dilakukan secara terpadu lintas instansi pertanian. Instansi yang terlibat antara lain BPTP (Balai Penelitian Teknologi Pertanian) Provinsi Banten, BPKP (Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan) Kabupaten Serang, Dinas Pertanian Provinsi Banten dan Kabupaten Serang, Kantor Kecamatan Pontang, dan Kantor Desa Pulokencana. Temuan di lapang menunjukkan bahwa di Desa Sukanegara kegiatan pemberdayaan ini belum dapat dijalankan sebab yang menjadi fokus pemberdayaan baru tiga desa saja. Keadaan kelompok tani di Kecamatan Pontang pada tahun 2010 yaitu memiliki jumlah kelompok sebanyak 111 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 3.461 orang dengan perincian sebagai berikut: a.
Kelompok Pemula
: 29 poktan jumlah anggota 1013 orang
b.
Kelompok Lanjut
: 24 poktan jumlah anggota 777 orang
c.
Kelas Madya
: 46 poktan jumlah anggota 1291 orang
d.
Kelas Utama
: 12 poktan jumlah anggota 430 orang
Nama kelompok tani, ketua dan jumlah anggota di Desa Pulokencana dapat terlihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Nama kelompok tani, ketua dan jumlah anggota di Desa Pulokencana No.
Nama Kelompok
Nama Ketua
Jumlah Anggota
1.
Jaya Mukti
Ruslan
48
2.
Jaya Abadi
Asmini
27
3.
Banyu Mukti
Saderi
47
4.
Banjar Tani
Alwi
26
5.
Hipetra
Misna
34
6.
Cipta Tani
Madsuri
26
7.
Tani makmur
Ali Ahmad
32
8.
Kencana Jaya
H. Sarjaya
47
9.
Agri Kencana
Sugandi
24
Total Sumber: RDKK Desa Pulokencana, Kecamatan Pontang, 2011
311
52
Kegiatan penyuluhan di Desa Pulokencana dapat dikatakan cukup aktif dibandingkan dengan Desa Sukanegara. Program pemerintah yang dilaksanakan di Desa Pulokencana adalah SL-PTT, PUAP, dan FEATI. Pada program FEATI telah dibentuk kelompok Farmers Managed Extension Activities/FMA yang merupakan binaan BPTP Banten. FMA di Desa Pulokencana dinamai FMA Agri Kencana. Kelompok ini dibentuk tahun 2008 dengan jumlah anggota 25 orang. Pengurus terdiri dari masing-masing seorang ketua, sekretaris, bendahara, penyuluh swadaya I (laki-laki), dan penyuluh swadaya II (perempuan). Ketua FMA Agri Kencana menjabat juga sebagai sekretaris Gapoktan Banyu Mukti di Desa Pulokencana. Peranan ketua FMA adalah menggerakan kelompok dalam melakukan aktivitas rutin kelompok maupun usaha anggota. FMA Agri Kencana ini melakukan pembelajaran yang melibatkan lima kelompok tani, yaitu Jaya Mukti, Banyu Mukti, Banjar Tani, Jaya Abadi, serta Hipetra. Komoditas Utama FMA Agri Kencana adalah itik dengan jumlah sampai bulan Juli 2010 sebanyak 538 ekor itik petelur dan 400 ekor itik pedaging. FMA Agri Kencana ini juga diharapkan dapat menjadi contoh bagi petani lainnya untuk mengikuti jejak kesuksesannya sehingga kesejahteraan petani dapat meningkat. Kegiatan pertemuan kelompok berupa kegiatan pembelajaran anggota yang dilaksanakan satu kali dalam setiap minggunya. Pertemuan dihadiri oleh pengurus dan beberapa anggota yang memiliki ketertarikan ke usaha peternakan itik.
Jumlah yang hadir dapat mencapai lebih dari 30 orang pada saat ada
pertemuan dan diisi oleh petugas BPTP, BPKP, Dinas Pertanian. Pertemuan ini dilakukan di saung yang memang didirikan untuk mengakomodasi kegiatan kelompok. Bangunan saung berada di tepi irigasi Cisaid yang kiri kanannya berbaris kandang-kandang itik dan lebih sering disebut sebagai kawasan. Pemberdayaan
petani
melalui
pengembangan
peternakan
itik
di
Kecamatan Pontang dimulai sejak tahun 2008 melalui program FEATI. Kelompok FMA Agri Kencana mendapatkan berbagai pelatihan, yaitu antara lain pelatihan beternak itik, beternak belut, beternak lele, budidaya kol, pembuatan MOL dan Bokashi, pembuatan dendeng belut, telur asin beraroma (aroma pandan, bawang putih, kencur), dan keterampilan anyaman bambu. Kegiatan pelatihan dilanjutkan tahun 2009 berupa sekolah lapang peternakan itik (delapan kali pertemuan) dan
53
pengolahan telur asin (empat kali pertemuan). Peserta sekolah pelatihan tidak hanya terbatas bagi anggota saja tetapi juga melibatkan ibu-ibu istri anggota FMA. Sekolah lapang peternakan itik diberikan kepada 25 orang anggota FMA laki-laki, sedangkan peserta pelatihan pembuatan telur asin kepada 20 orang istri anggota FMA yang dipersiapkan untuk menjadi Kelompok Wanita Tani. Dalam program FEATI ini pemeliharaan itik diperkenalkan sebagai sebuah usaha berorientasi pasar yang dapat menunjang ekonomi rumahtangga petani. Pada Desember 2009 kelompok petani FMA mendapat bantuan dari program FEATI berupa hibah itik petelur sebanyak 264 ekor, dan pada bulan Juli 2010 sebanyak 538 ekor ditambah 400 itik pedaging. Kegiatan pengembangan peternakan ini adalah program pemberdayaan lintas instansi di Kabupaten Serang dengan target pada tahun 2015 mencapai jumlah 100.000 ekor itik. Target sebanyak itu diharapkan dicapai dari hasil hasil pengembangan di lokasi, hasil pembinaan plasma peternak, kerjasama dengan investor swasta atau bantuan pemerintah. Potensi pengembangan itik di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang ini didukung oleh sawah irigasi yang luas sebagai sumber pakan itik berupa keong mas yang cukup tersedia sepanjang musim. Keberadaan aliran irigasi Cisaid yang sebagian permukaannya ditumbuhi tanaman eceng gondok menjadi habitat yang sangat mendukung bagi pertumbuhan itik. BPTP Provinsi Banten berperan dalam pendampingan dan pembelajaran peternakan itik, model kandang, formulasi pakan, dan sekaligus memberikan bibit itik sejumlah 500 ekor. BPKP melalui BPP berperan dalam pembinaan kelembagaan FMA dan pendampingan pembelajaran oleh penyuluh pertanian. Dinas Pertanian Provinsi Banten mendirikan RPPO (Rumah Pengolahan Pupuk Organik) di Desa Pulokencana pengelolaannya diserahkan kepada Kelompok Tani dan FMA. Dinas Pertanian Kabupaten Serang memberikan bantuan mesin tetas itik kapasitas 10000 telur. Kantor Kecamatan memberikan bantuan 10 drum untuk rakit penyeberangan menuju lokasi saung dan kandang itik dari pinggir jalan seberang sungai. Kantor Desa Pulokencana memberikan bantuan fasilitas aliran listrik untuk penerangan di saung dan tempat peternakan itik sekitarnya. Selain instansi pemerintah, ada pula pihak swasta pedagang perorangan yang bermitra
54
dengan peternak dengan memberikan modal kerjasama berupa dod itik pedaging dan itik petelur. Nama kelompok tani, ketua dan jumlah anggota di Desa Sukanegara dapat terlihat pada Tabel 16.
Tabel 16.
Nama kelompok tani, kontak tani dan jumlah anggota di Desa Sukanegara
No.
Nama Kelompok
Nama Ketua
Jumlah Anggota
1.
Mekar Jaya
H. Hariri
27
2.
Tunas Mekar
Dai
31
3.
Kencana Tani
Halwani
52
4.
Tani Makmur
Dedi
27
5.
Sri Rahayu
Fauji
28
6.
Pemalang
Halimi
43
7.
Padasuka
Tubli
26
8.
Sumber Tani
Jabidi
47
9.
Tunas Karya
Muktar
34
10.
Tambak baya
M. Sidik
56
11.
Mulya Tani
Mukhsin
47
Total
418
Sumber: RDKK Desa Sukanegara, Kecamatan Pontang, 2011
Program pemerintah yang dilaksanakan di Desa Sukanegara adalah SLPTT dan PUAP. Program FEATI belum dilaksanakan di desa ini. Gapoktan yang ada di desa ini bernama Kencana Tani. Kegiatan penyuluhan di Desa Sukanegara tidak berbeda dengan kegiatan penyuluhan di desa-desa lainnya yang tidak mendapatkan program FEATI.
Karakteristik Pribadi Responden
Umur Responden Menurut Soekartawi (1988), umur petani mempengaruhi kemampuan kerja fisik dan kematangan psikologisnya. Petani yang berumur muda mempunyai daya kerja fisik yang kuat namun jika tidak dibarengi dengan kematangan psikologis
55
sering membuat keputusan gegabah yang kadang merugikan dirinya sendiri. Seperti mudahnya terpancing untuk menerapkan input pertanian jenis baru yang belum teruji kualitasnya pada skala luas. Jika petani sudah tua juga cenderung kurang inovatif. Petani setengah baya cenderung yang paling tinggi adopsi inovasinya, karena kekuatan fisik dan kematangan psikologisnya saling mendukung. Berikut ini adalah sebaran responden berdasarkan umurnya.
Tabel 17. Sebaran responden berdasarkan umur Kategori Umur
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
7
23,3
1
3,3
8
13,3
Dewasa (umur 35-47)
13
43,3
17
56,7
30
50,0
Tua (umur 48-60)
10
33,3
12
40,0
22
36,7
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Responden Muda (umur 21-34)
Total
Jumlah 2 Desa
Karakteristik umur responden di Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara tidak jauh berbeda yakni masing-masing mayoritas pada kategori dewasa yakni sebesar 43,3 persen dan 56,7 persen. Data pada kedua desa terlihat bahwa mayoritas responden termasuk ke dalam kategori dewasa yakni sebesar 50 persen pada rentang usia 35 sampai dengan 47 tahun. Sejalan dengan pendapat Soekartawi (1988) tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa umur responden cenderung kepada petani sebaya/dewasa yang siap menerima inovasi dari pihak luar untuk diadopsi. Dengan demikian, dapat disimpulkan petani di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang memang memiliki usia yang cukup baik dalam menerima inovasi. Secara umum dapat dilihat bahwa sebagian besar petani yang menjadi responden tergolong dalam usia produktif sebesar 63,3 persen, yaitu mempunyai kisaran umur antara 15-64 tahun. Lebih lanjut dapat dicermati pada data Tabel 17 di atas, rendahnya persentase usia muda sebesar 13,3 persen menunjukkan bahwa regenerasi petani berjalan lambat. Masyarakat usia muda lebih senang bekerja di luar bidang pertanian. Anak-anak para petani biasanya diarahkan untuk bekerja di luar bidang pertanian, dan kegiatan pertanian hanyalah untuk para orangtua. Mereka akan terjun ke pertanian secara penuh jika sudah mendapat warisan lahan atau sawah
56
dari orangtuanya. Jika dicermati lebih lanjut, persentase umur responden muda di Desa Pulokencana ternyata lebih banyak dibandingkan di Desa Sukanegara yakni sebesar 23,3 persen. Hal ini akan berdampak positif pada perkembangan penyuluhan pertanian selanjutnya di Desa Pulokencana. Regenerasi dapat berjalan lebih baik di desa ini dan selanjutnya diharapkan inovasi pertanian akan dapat diadopsi dengan baik pula.
Tingkat Pendidikan Formal Responden Tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang berpendidikan tinggi akan lebih baik cara berfikirnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih rasional dalam mengelola usahataninya. Hal ini didukung oleh Soekartawi (1988), bahwa mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi teknologi. Begitu pula sebaliknya, mereka yang berpendidikan rendah agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Sejalan
dengan
hal
tersebut,
Rogers
dan
Shoemaker
(1971)
mengemukakan bahwa dari hasil penelitian yang ada, umumnya orang yang cepat berhenti dari penggunaan inovasi itu salah satunya karena pendidikannya kurang. Pada Tabel 18 adalah sebaran responden berdasarkan pendidikan formalnya.
Tabel 18. Sebaran responden berdasarkan pendidikan formal Kategori Pendidikan
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Formal
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (Tidak Tamat dan Tamat SD) Sedang (SMP-SMA)
18
60,0
23
76,7
41
68,3
11
36,7
7
23,3
18
30,0
1
3,3
0
0,0
1
1,7
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Tinggi (>SMA) Total
Jumlah 2 Desa
Pada Tabel 18 diperoleh hasil sebaran tingkat pendidikan responden dari Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara sama-sama berada dalam kategori rendah
57
yakni sebesar 60 persen dan 76,7 persen. Begitu pula data gabungan tingkat pendidikan formal responden dari dua desa yakni mayoritas berada pada kategori rendah yaitu 68,3 persen tamat dan tidak tamat SD. Jika dicermati lebih lanjut ternyata pendidikan setingkat SMP dan SMA di Desa Pulokencana lebih baik dibandingkan Desa Sukanegara. Hal ini akan berdampak pada partisipasi responden pada kegiatan penyuluhan selanjutnya yang diharapkan dapat berkesinambungan. Secara umum, temuan penelitian ini adalah para responden yang berasal dari keluarga petani mayoritas tidak sekolah atau pernah bersekolah namun tidak sampai pada jenjang yang lebih tinggi dari SD. Alasan utama mereka tidak menempuh pendidikan adalah mayoritas karena faktor ekonomi, mereka menganggap sekolah membutuhkan biaya yang mahal dan tidak terjangkau oleh mereka. Tenaga mereka pun sangat diperlukan untuk membantu orang tua dan keluarga, baik sebagai petani maupun dalam jenis pekerjaan lainnya dalam rangka menopang ekonomi keluarga sehingga mereka tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk bersekolah. Temuan tersebut ternyata tidak sesuai dengan program pemerintah yakni Program Wajib Belajar Enam Tahun yang secara resmi dicanangkan pada tahun 1984 dan dilanjutkan dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang dimulai pada tahun 1994. Program ini menargetkan pada tahun 2008, semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Dengan bekal itu, diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Alasan lain selain ekonomi keluarga adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendidikan. Sebab, salah satu penyebab ketidakberhasilan dari wajib belajar adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam ikut serta secara aktif dalam pendidikan. Kesadaran masyarakat ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan para orang tua dan budaya yang ada di lingkungannya. Dengan demikian, sangat diperlukan penyuluhan pada
58
masyarakat tentang arti pentingnya pendidikan bagi pembangunan manusia yang akan berpengaruh pada pembangunan bangsa. Mengacu pada pendapat Soekartawi (1988) dan Rogers dan Shoemaker (1971) di atas maka suatu tantangan bagi PPL dalam mengembangkan pembelajaran yang menarik bagi petani dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah sehingga dapat menerapkan adopsi dengan lebih cepat. Sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan dan membangun sumber daya manusia di Kabupaten Serang, saat ini sudah terdapat sejumlah perguruan tinggi, antara lain Universitas Tirtayasa, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Maulana Hasanuddin, dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIR) Maulana Yusuf. Akan tetapi, disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat sehingga penduduk lokal belum dapat mengenyam pendidikan tinggi secara optimal.
Kesertaan dalam Pelatihan Usahatani Kegiatan pelatihan sangat menunjang kegiatan usahatani karena petani akan mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak lagi di luar kegiatan penyuluhan rutin. Dengan mengikuti kegiatan pelatihan diharapkan dapat untuk menjembatani gap/kesenjangan sehingga petani menjadi lebih maju lagi. Adapun sebaran responden berdasarkan kesertaannya dalam kegiatan pelatihan usahatani selama 2 tahun terakhir tergambarkan dalam Tabel 19.
Tabel 19. Sebaran responden berdasarkan kesertaan dalam pelatihan usahatani Kategori Kesertaan dalam Pelatihan Usahatani Rendah (tidak pernah)
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Jumlah 2 Desa
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
14
46,7
25
83,3
39
65,0
Sedang ( 1-2 kegiatan)
15
50,0
5
16,7
20
33,3
Tinggi (>2 kegiatan)
1
3,3
0
0,0
1
1,7
Total
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Pada kategori kesertaan dalam pelatihan usahatani terlihat perbedaan antara Desa Pulokencana dengan Desa Sukanegara. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa kesertaan dalam pelatihan usahatani di Desa Pulokencana mayoritas berada
59
pada kategori sedang 50 persen, walau tidak jauh berbeda dengan kategori rendah 46,7 persen. Sebaran petani di Desa Sukanegara yakni sebesar 83,3 persen tidak pernah mengikuti kegiatan pelatihan. Perbedaan hasil ini menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan kegiatan pelatihan di kedua desa. Pada Desa Pulokencana yang merupakan desa percontohan untuk program FEATI mendapatkan kesempatan yang lebih baik dalam mengikuti kegiatan usahatani. Saung FMA Agri Kencana yang berada di Desa Pulokencana merupakan tempat pertemuan rutin untuk membahas materi dan permasalahan yang terkait dengan kegiatan usahatani. Saung ini terletak di pinggir sungai Cisaid yang di sekitarnya terdapat kandang itik. Berdasarkan hasil penjumlahan dua desa diperoleh angka sebesar 65 persen responden tidak pernah mengikuti pelatihan usahatani dalam waktu dua tahun terakhir. Pelatihan usahatani yang dilakukan di Kecamatan Pontang memang tidak dikhususkan untuk seluruh petani. Petani yang biasa mengikuti pelatihan adalah mereka yang menjabat sebagai pengurus kelompok tani atau gabungan kelompok tani. Oleh karena itu, tidak semua petani dapat memperoleh pengetahuan baru. Dalam berkembangnya teknologi pertanian saat ini dimana perubahan sering terjadi dengan cepat maka tingkatan kualitas petani perlu disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Penyesuaian dan peningkatan kemampuan atau produktivitas seperti itu biasanya lebih efektif jika dilakukan melalui pelatihan. Dengan hanya dipilihnya pengurus yang mengikuti pelatihan diharapkan mereka dapat bertindak sebagai opinion leader yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku lebih baik atau maju dari anggota kelompok lainnya, dan memiliki dedikasi yang tinggi untuk kepentingan kelompoknya. Para pengurus kelompok tani di Kecamatan Pontang yang telah memperoleh kegiatan pelatihan selama ini berusaha meneruskan ke anggota lainnya baik melalui pertemuan kelompok ataupun melalui penerapan terhadap usaha tani mereka sendiri di lapang. Dengan demikian, petani lainnya akan melihat secara langsung proses dan produksi yang dihasilkan dari inovasi tersebut dan menerapkannya di lahan masing-masing.
60
Karakteristik Usahatani Responden Pengalaman Berusahatani Pengalaman berusahatani cenderung mempengaruhi keputusan yang akan diambil petani pada kegiatan usahatani berikutnya. Petani yang umumnya berhasil adalah mereka yang dapat belajar dari pengalaman masa lalunya. Pada penelitian ini, pengalaman berusahatani responden diukur berdasarkan tiga indikator yakni: lama (jumlah tahun) usahatani yang dilakukan, kemampuan mengenali kendala atau hambatan teknis, serta kemampuan menyelesaikan masalah dalam usahatani. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Pontang sebagian besar bersifat turun temurun. Cara bercocok tanam yang mereka lakukan juga mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh keluarganya. Pada Tabel 20 dijelaskan mengenai sebaran responden berdasarkan pengalaman berusahataninya.
Tabel 20. Sebaran responden berdasarkan pengalaman berusahatani Kategori Desa Pulokencana Pengalaman Jumlah % Berusahatani 8 26,7 Rendah (skor 3-5)
Desa Sukanegara Jumlah %
Jumlah 2 Desa Jumlah %
14
46,7
22
36,7
Sedang (skor 6-7)
17
56,7
13
43,3
30
50,0
Tinggi (skor 8-9)
5
16,7
3
10,0
8
13,3
Total
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Sebaran pengalaman berusahatani di Desa Pulokencana mayoritas pada kategori sedang yakni sebesar 56,7 persen, sedangkan di Desa Sukanegara sebesar 46,7 persen berada pada kategori rendah. Penggabungan pengalaman berusahatani responden dari dua desa berada pada kategori sedang yakni sebesar 50,0 persen. Indikator pertama yang diukur adalah lama responden yang menggeluti usahatani pada kedua desa yakni sekitar 1-15 tahun (38,4 persen), 16-18 tahun (28,3 persen), 29-41 tahun (33,3 persen). Hal ini menunjukan sebaran responden memulai usahatani cukup merata. Indikator yang kedua yakni dalam hal kemampuan mengenali kendala atau hambatan teknis sebesar 60,0 persen kadang-kadang mampu. Maknanya adalah
61
petani belum memiliki kemampuan yang tinggi ketika mengidentifikasi permasalahan usahatani yang dihadapi. Pada indikator ketiga yakni kemampuan menyelesaikan masalah dalam usahatani yakni sebesar 61,7 persen mencari bantuan sendiri. Keberadaan kelompok tani ternyata kurang diberdayakan dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi. Temuan ini mengindikasikan bahwa pengalaman berusahatani responden selama ini belum terlalu baik sehingga kegiatan usahatani yang dijalankan selama ini masih bersifat monoton dan mengikuti kebiasaan yang dilakukan keluarga. Dengan demikian, pengalaman yang telah dimiliki oleh responden masih perlu dioptimalkan untuk mengambil keputusan di dalam usahatani saat ini atau yang akan datang.
Luas Lahan Luas lahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah hamparan yang diusahakan oleh petani dalam m2 pada satu tahun terakhir untuk kegiatan usahataninya. Adapun gambaran mengenai sebaran responden berdasarkan luas lahan pertaniannya dapat terlihat pada Tabel 21. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui sebaran responden berdasarkan luas lahan mayoritas berada dalam kategori sempit baik di Desa Pulokencana maupun Desa Sukanegara yakni sebesar 66,7 persen dan 70,0 persen. Dengan demikian, luas lahan dari dua desa juga berada dalam kategori sempit yakni diperoleh angka sebesar 68,3 persen. Luas lahan petani secara umum ditanami padi. Kegiatan penanaman padi secara umum di Kabupaten Serang dilakukan sepanjang tahun. Penanaman padi dilakukan dalam dua kali tanam dalam setahun. Tabel 21. Sebaran responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki Kategori Luas Lahan (m2) Sempit (2.000-18.000 ) Sedang (18.001-34.000) Luas (34.001-50.000) Total
Desa Pulokencana Jumlah % 20 66,7
Desa Sukanegara Jumlah % 21 70,0
Jumlah 2 Desa Jumlah % 41 68,3
8
26,7
8
26,7
16
26,7
2
6,7
1
3,3
3
5,0
30
100,0
30
100,0
60
100,0
62
Menurut Mardikanto (1993), petani yang menguasai lahan sawah yang luas akan memperoleh hasil produksi yang besar dan begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini, luas sempitnya lahan sawah yang dikuasai oleh petani akan sangat menentukan besar kecilnya pendapatan ekonomi yang diperoleh. Luas lahan yang diusahakan relatif sempit seringkali menjadi kendala untuk dapat mengusahakan secara lebih efisien. Oleh karena itu, untuk petani di Kecamatan Pontang diperlukan adanya
penyuluhan partisipatif
yang
dapat
mengembangkan
diversifikasi usaha petani agar pendapatan ekonomi mereka dapat lebih meningkat.
Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan petani sangat berkaitan erat dengan pendapatan mereka. Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan dijelaskan pada Tabel 22. Tabel 22. Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan Kategori Kepemilikan Desa Pulokencana Lahan Jumlah % 14 46,7 Rendah (Sewa/gadai/ bagi hasil) 8 26,7 Sedang (Milik sendiri) 8 26.7 Tinggi (Milik sendiri dan sewa/gadai/bagi hasil) Total 30 100,0
Desa Sukanegara Jumlah % 22 73,3
Jumlah 2 Desa Jumlah % 36 60,0
6 2
20,0 6,7
14 10
23,33 16,67
30
100,0
60
100,0
Temuan mengenai sebaran kepemilikan lahan baik di Desa Pulokencana, di Desa Sukanegara maupun gabungan kedua desa tersebut mayoritas pada kategori rendah. Petani di Kecamatan Pontang merupakan petani yang mayoritas menggarap lahan orang lain. Adapun untuk lahan garapan saat ini petani lebih dominan memilih sistem bagi hasil (maro) dimana petani penggarap memberikan sejumlah uang kepada petani pemilik dengan kesepakatan pembagian dari keuntungan masing-masing 50 persen. Biaya produksi sepenuhnya ditanggung penggarap. Menurut Rogers dan Shoemaker (1995), kepemilikan lahan berkaitan dengan keinovatifan seseorang. Petani yang memiliki lahan luas cenderung lebih
63
tanggap terhadap inovasi. Dalam kegiatan penyuluhan, inovasi tentang teknikteknik diversifikasi untuk lahan sempit atau teknik ekstensifikasi untuk lahan luas merupakan salah satu program yang dapat diinformasikan dan ditumbuhkan minatnya pada masyarakat petani. Dengan demikian, dengan tidak memiliki lahan sendiri maka keuntungan yang diperoleh petani di Kecamatan Pontang akan menjadi lebih sedikit dan sulit untuk mengembangkan pertanian lebih intensif. Lahan ini juga suatu saat dapat diambil oleh pemilikinya kapan saja.
Aksesibilitas lembaga keuangan Akses terhadap lembaga keuangan (modal) seringkali menjadi kendala bagi petani untuk melangsungkan proses produksinya. Akses modal akan menjamin selesainya proses produksinya dengan baik, sedangkan akses pasar akan menjamin harga yang layak bagi petani. Aksesibiltas lembaga keuangan terkait dengan keterjangkauan petani dalam memperoleh permodalan usahatani. Aksesibilitas lembaga keuangan yang diukur dalam penelitian ini adalah sumber permodalan yang digunakan petani selama ini, ketersediaan lembaga keuangan formal (perbankan), dan tingkat kemudahan responden memperoleh modal. Adapun sebaran responden berdasarkan aksesibilitas lembaga keuangan dapat terlihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas lembaga keuangan Kategori Aksesibilitas Lembaga Keuangan Rendah (skor 3-5)
Desa Pulokencana Jumlah % 15 50,0
Desa Sukanegara Jumlah % 20 66,7
Jumlah 2 Desa Jumlah % 35 58,3
Sedang (skor 6-7)
14
46,7
9
30,0
23
38,3
Tinggi (skor 8-9)
1
3,3
1
3,3
2
3,4
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Total
Secara umum, petani merasakan kesulitan dalam hal memperoleh sumber permodalan dan mengakses lembaga keuangan formal (perbankan) di wilayah setempat dengan mudah. Ketersediaan lembaga perbankan yang hanya berjumlah satu dan beratnya persyaratan untuk meminjam di bank tersebut adalah salah satu alasan petani sulit untuk berkembang. Hal ini tergambarkan dengan rendahnya
64
sebaran aksesibilitas lembaga keuangan responden baik di Desa Pulokencana, Desa Sukanegara, maupun gabungan antara keduanya (Tabel 23). Mengenai indikator yang pertama yakni sumber modal yang digunakan selama ini oleh responden di Desa Pulokencana adalah sebesar 50 persen kombinasi yakni dari bermodal sendiri dan memperoleh pinjaman/bantuan. Pinjaman ini dilakukan ketika di tengah penanaman mereka membutuhkan modal yang sangat mendesak. Petani biasanya meminjam modal ke pihak lain, seperti ke kerabat, toko saprodi atau lebih seringnya meminjam ke tengkulak. Peminjaman kerabat dilakukan biasanya dalam bentuk uang dengan ketentuan hasil pertanian akan dibagi dua (maro). Peminjaman ke petani lain umumnya bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk sarana produksi atau alat-alat pertanian. Pembayaran dilakukan pada saat panen, umumnya dengan membayarkan sejumlah hasil panen sesuai kesepakatan. Sedangkan bantuan yang diterima responden berasal dari program-program pemerintah melalui kelompok tani seperti subsidi pupuk dan uang dari PUAP, bibit padi dari SL-PTT, dan pemberian itik dari FEATI. Kondisi di Desa Sukanegara adalah mayoritas responden yakni sebesar 56,7 persen bermodalkan sendiri dalam berusahatani. Jika dibandingkan dengan Desa Pulokencana, di Desa Sukanegara ini memang tidak mendapatkan banyak bantuan dari pemerintah. Pinjaman atau bantuan yang diperoleh tidak sebesar yang diberikan di Desa Pulokencana yang saat ini menjadi desa percontohan FEATI. Selanjutnya adalah mengenai ketersediaan lembaga keuangan formal yakni perbankan sebesar 53,3 persen responden di Desa Pulokencana dan 76,7 persen di Desa Sukanegara tidak mengetahui keberadaannya. Padahal di Wilayah Kecamatan Pontang terdapat satu bank yakni bank BRI yang menyediakan kredit untuk petani. Para petani yang mengetahui keberadaan bank ini menyatakan bahwa
sulit
untuk
meminjam di bank
tersebut
dikarenakan
beratnya
persyaratan/agunan seperti adanya sertifikat tanah. Dapat disimpulkan bahwa petani belum memiliki kemampuan yang baik untuk mengakses sumber permodalan/lembaga keuangan formal, diantaranya diakibatkan oleh tidak mudahnya prosedur pengajuan kredit dan ketiadaan agunan yang dipersyaratkan, sehingga mereka lebih memilih tengkulak/rentenir yang menyediakan pinjaman
65
modal dengan cepat walau dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibanding lembaga keuangan formal. Kondisi ini, pada akhirnya semakin memperburuk kondisi dan kesejahteraan petani sendiri. Indikator yang ketiga yakni tingkat kemudahan memperoleh akses lembaga keuangan di kedua desa ternyata 60 persen responden di Desa Pulokencana dan 80 persen di Desa Sukanegara juga menyatakan sulit. Kelemahan petani dalam mengadopsi inovasi teknologi pertanian yang relatif rendah salah satunya merupakan dampak penguasaan modal usahatani yang lemah. Dalam mengatasi kekurangan modal usahatani, petani biasanya mengusahakan tambahan modal dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun kelembagaan jasa keuangan non formal. Akan tetapi, umumnya karena petani sering tidak memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal seperti tengkulak, rentenir atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber lain yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang tinggi dan mengikat. Hal ini tentu saja dapat berdampak buruk tidak saja bagi pendapatan petani akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pedesaan. Secara umum, petani di Kecamatan Pontang belum memiliki kemandirian dalam melakukan permodalan dalam bentuk uang. Beberapa petani yang menggunakan uang sendiri untuk biaya operasional penanaman. Menurut Mardikanto (2010a), di dalam usahatani konvensional yang bersifat subsisten, dalam
usahataninya
petani
hanya
menggunakan
modal
sendiri
untuk
memproduksi barang-barang yang akan dikonsumsinya sendiri pula. Melalui penyuluhan pertanian, petani dididik untuk menjadi petani yang berusaha secara lebih efisien dengan memproduksi barang-barang yang selain dikonsumsi sendiri juga dijual untuk memperoleh tambahan pendapatan baik dengan menggunakan modal sendiri maupun dengan menggunakan modal dari luar yang diperolehnya secara kredit.
66
Aksesibilitas Saprodi Aksesibilitas sarana dan produksi pertanian diukur dengan banyaknya sumber perolehan sarana produksi pertanian seperti bibit/benih, pupuk, obat (pestisida/fungisida/herbisida), dan pakan ternak. Pada Tabel 24 disajikan data mengenai sebaran responden berdasarkan aksesibiltas saprodi. Tabel 24. Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas saprodi Kategori Aksesibilitas Saprodi Rendah (skor 4-6)
Desa Pulokencana Jumlah % 29 96,7
Desa Sukanegara Jumlah % 20 66,7
Jumlah 2 Desa Jumlah % 49 81,7
Sedang (skor 7-9)
1
3,3
10
33,3
11
18,3
Tinggi (skor 10-12)
0
0,0
0
0,0
0
0
Total
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Berdasarkan Tabel 24, aksesibilitas responden terhadap saprodi baik di Desa Pulokencana maupun Desa Sukanegara adalah masih tergolong rendah. Dengan demikian, data penjumlahan dua desa juga berada pada kategori rendah yakni sebesar 81,7 persen. Sarana produksi seperti bibit/benih, pupuk, obat (pestisida/fungisida/herbisida), dan pakan ternak secara umum mudah diperoleh petani namun akses petani lebih banyak memperolehnya hanya melalui toko/kios saprodi. Ada bantuan bibit/benih dan pupuk ke kelompok tani, akan tetapi tidak menjangkau semua anggota kelompok. Sehingga petani lebih sering membelinya sendiri atau berhutang di toko/kios yang menyediakan saprodi. Begitu pula untuk obat (pestisida/fungisida/herbisida) lebih banyak diperoleh melalui toko/pasar. Keterlibatan kelembagaan kelompok tani dalam penyediaan sarana ini juga dirasakan sangat kurang. Kedekatan toko dari jarak mereka tinggal menyebabkan tingginya aktivitas mereka membeli di pasar. Kelompok tani sendiri belum menyediakan sarana ini disebabkan permodalan yang kurang dimiliki. Ketersediaan sarana produksi (saprodi) secara lokal menurut petani sangat diperlukan dalam mengembangkan usahatani mereka. Namun, yang terjadi adalah mereka merasa kesulitan untuk mencari saprodi di kelompok tani sehingga mereka lebih mudah mencarinya di luar kelompok. Saprodi lainnya adalah pakan itik yang ternyata petani memiliki akses yang cukup baik. Ternak itik yang memang hampir setiap hari bertelur sangat
67
memerlukan pakan yang dengan cepat dan mudah didapatkan. Ketersediannya mengandalkan pakan lokal yang tersedia secara alamiah yakni dengan melepaskan itik (diangon) di tengah sawah atau di aliran irigasi dengan memanfaatkan tanaman dan hewan yang terdapat di sana seperti eceng gondok, keong, kerang, dan kijing. Petani juga menambahnya dengan nasi aking, dedak atau menir yang merupakan limbah rumahtangga dan penggilingan padi yang dapat dihasilkan sendiri atau dibeli dari tengkulak atau di pasar. Namun secara umum, data pada Tabel 24 menunjukkan bahwa keterjangkauan sarana produksi pertanian petani di Kecamatan Pontang relatif masih rendah. Menurut Mosher (1991), tersedianya sarana produksi secara lokal merupakan salah satu syarat pokok untuk berlangsungnya pembangunan pertanian, inovasi teknologi memerlukan sarana produksi seperti benih berkualitas, pupuk, pestisida, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan petani. Tersedianya sarana produksi secara lokal yang terjangkau oleh petani baik secara fisik (kemudahan) maupun harganya akan merangsang petani untuk mengadopsi inovasi teknologi. Ketersediaanya sarana produksi secara lokal dan terjangkau oleh petani akan berpengaruh positif terhadap adopsi inovasi pertanian.
Aksesibilitas Pasar Aksesibilitas pasar pada penelitian ini diukur dengan tempat tujuan penjualan hasil produksi dan bagaimana tingkat kemudahannya. Seperti halnya akses terhadap lembaga keuangan (modal), akses terhadap pasar juga seringkali menjadi kendala bagi petani untuk melangsungkan proses produksinya. Kemudahan akses pasar akan menjamin harga yang layak bagi petani. Pada Tabel 25 tergambarkan bahwa sebaran responden berdasarkan aksesibilitas pasar termasuk ke dalam kategori rendah baik di Desa Pulokencana maupun di Desa Sukanegara. Penjualan hasil pertanian yang dominan di Kecamatan Pontang yakni padi memang masih bergantung kepada tengkulak, namun dalam hal peternakan seperti itik/entog dan telor petani sudah lebih memiliki akses yang cukup tinggi terhadap pasar.
68
Tabel 25. Sebaran responden berdasarkan aksesibilitas pasar Kategori Aksesibilitas Pasar Rendah (skor 3-5)
Desa Pulokencana Jumlah % 30 100,0
Desa Sukanegara Jumlah % 30 100,0
Jumlah 2 Desa Jumlah % 60 100,0
Sedang (skor 6-7)
0
0,0
0
0,0
0
0,0
Tinggi (skor 8-9)
0
0,0
0
0,0
0
0,0
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Total
Penjualan telor dan itik biasanya melalui tengkulak yang datang ke lokasi. Harga telor itik bervariasi yakni berkisar antara Rp 1.000,00 hingga Rp 1.300,00 per butirnya, tergantung dari harga pasaran. Begitu pula dengan harga itik yang bervariasi dari Rp 35.000,00 hingga Rp 50.000,00 per ekornya. Sifat petani secara umum cenderung bersikap menghindari resiko, sedangkan tengkulak atau pengumpul biasanya berani menghadapi resiko dengan melakukan investasi keuangan. Berdasarkan pengamatan pada petani di Kecamatan Pontang, sikap mereka dominan cenderung memilih memasarkan hasil padinya langsung pada tengkulak. Hal ini disebabkan lebih memudahkan mereka dalam memasarkan hasil dan tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar dibandingkan harus membawanya ke pasar sendiri. Investasi yang berkaitan dengan kegiatan menghubungkan petani dengan pasar ini perlu kepercayaan petani agar mau berinvestasi baik dalam bentuk fisik/aset maupun kredit. Peranan tengkulak yang cukup besar dalam pemasaran hasil produksi padi ke depannya diharapkan dapat berkurang sedikit demi sedikit dengan adanya peranan penyuluh pertanian. Ketersediaan pasar secara lokal sebagai tempat pemasaran hasil produksi usahatani yang mudah dijangkau oleh petani merupakan salah satu syarat utama dalam modernisasi dan komersialisasi pertanian (Mosher, 1991). Dengan demikian diharapkan dengan diperkuatnya peran kelompok tani maka aksesibiltas pasar di Kecamatan Pontang dapat berjalan lebih optimal dan petani dapat memperoleh dampak yang positif pula.
69
Persepsi Responden terhadap Kualitas Penyuluhan Persepsi responden terhadap kualitas penyuluhan yang diukur dalam penelitian ini meliputi persepsi responden terhadap intensitas penyuluhan, materi penyuluhan, dan metode penyuluhan.
Persepsi Responden terhadap Intensitas penyuluhan Intensitas penyuluhan yang diukur dalam penelitian ini adalah frekuensi kegiatan penyuluhan yang dilakukan selama kurun waktu 6 bulan terakhir. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap intensitas penyuluhan dapat terlihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap intensitas penyuluhan Kategori
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (< 2 kali)
6
20,0
25
83,3
31
51,7
Sedang (2-3 kali )
5
16,7
2
6,7
7
11,6
19
63,3
3
10,0
22
36,7
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Tinggi (>3 kali) Total
Jumlah 2 Desa
Berdasarkan data BPP Kecamatan Pontang (2010), pertemuan kelompok tani dilakukan dengan frekuensi satu bulan dua kali untuk masing-masing kelompok. Jika melihat data penjumlahan dua desa pada Tabel 26 responden mayoritas berada pada kategori rendah yakni sebesar 51,7 persen mendapatkan penyuluhan kurang dari dua kali selama kurun waktu enam bulan terakhir. Lalu jika melihat perbedaan antara kedua desa, ternyata Desa Pulokencana mendapatkan intensitas penyuluhan cukup tinggi yakni 63,3 persen dan Desa Sukanegara termasuk kategori rendah yakni 83,3 persen. Hal ini menunjukkan ketimpangan kegiatan penyuluhan diantara kedua desa disebabkan keberadaan program yang lebih intensif di Desa Pulokencana. Intensitas penyuluhan secara ideal dilakukan oleh PPL ke petani setiap minggunya. PPL biasanya hanya memantau keadaan kelompok dengan datang ke kontak tani atau ketua kelompok dan sewaktu-waktu melihat hamparan jika memang sangat diperlukan. Dengan
70
demikian, petani pun sangat jarang mendapatkan kunjungan PPL. Hal ini dikarenakan minimnya tenaga penyuluh yang ada di Kecamatan Pontang dimana jumlah ideal PPL berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006 dan PP Nomor 41 Tahun 2007 hanya menangani satu desa ternyata tidak dapat memantau secara optimal keadaan di lapang karena menangani sekaligus dua atau tiga desa. Berdasarkan informasi PPL, sebelum kehadiran THL-TBPP pada tahun 2007 kegiatan penyuluhan kurang bergairah karena tiga orang PPL menangani satu kecamatan. Semenjak kehadiran THL-TBPP kegiatan penyuluhan berjalan cukup baik. Namun saat ini, walau sudah ada kehadiran lima orang THL-TBPP yang membantu kinerja PPL PNS ternyata proporsinya dirasakan masih belum seimbang karena satu PPL masih menangani dua desa atau satu WKPP (Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian). Bahkan ada satu orang PPL yang menangani tiga desa sekaligus yakni untuk pertanian dan satu desa perikanan yakni Desa Domas. Penyuluh perikanan sebenarnya sudah ditugaskan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan tetapi jumlahnya sangat sedikit dimana satu penyuluh perikanan harus memegang tiga kecamatan. Menurut PPL Kecamatan Pontang, jumlah yang ideal dalam membina petani adalah satu WKPP membina maksimal 16 kelompok, jika lebih dari itu maka harus dibentuk WKPP baru. Namun fakta di lapang, satu WKPP nyatanya terdiri lebih dari 16 kelompok bahkan ada yang sampai 25 kelompok dan ditambah dengan membina dua gabungan kelompok tani (gapoktan). Hal ini membuat mereka tidak optimal dalam bekerja apalagi mendatangi petani secara rutin. Oleh karena itu, keberadaan penyuluh swadaya saat ini cukup membantu PPL dalam melaksanakan tugasnya bertemu dengan petani di lapang. Namun yang saat ini hanya ada di tiga desa yang memiliki penyuluh swadaya karena ketiganya mendapatkan program FEATI. Faktor lainnya yang juga turut menghambat kegiatan bimbingan ke petani menurut PPL adalah luasnya wilayah hamparan. PPL tidak bisa rutin mengunjungi petani di lapangan karena luasnya wilayah binaan yang harus mereka tangani. Adapun mengenai materi penyuluhan yang cukup penting menurut responden dan perlu ditingkatkan kembali adalah mengenai pengendalian hama terpadu dan cara beternak itik atau entog.
71
Persepsi Responden terhadap Materi penyuluhan Penyuluh sebagai pendidik pertanian dituntut untuk mampu menguasai informasi inovasi, apabila seorang penyuluh tidak menguasai materi yang akan disampaikan
maka
proses
transfer
inovasi
tersebut
dapat
terhambat
penyebarannya. Menurut Tjitropranoto (2003) materi penyuluhan selama tiga dekade lebih didominasi oleh aspek alih teknologi, berorientasi pada kepentingan program/proyek untuk mencapai target suatu produksi. Untuk itu, cakupan materi penyuluhan perlu diperluas, tidak lagi terbatas pada teknologi produksi. Namun juga memperhatikan teknologi panen, pengolahan, pengemasan, transportasi, informasi harga dan informasi pasar, sehingga usahatani yang dikelola petani menguntungkan dan berkelanjutan. Pada Tabel 27 tergambarkan persepsi responden terhadap pemberian materi yang selama ini diberikan oleh PPL.
Tabel 27. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap materi penyuluhan Kategori
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Jumlah 2 Desa
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (skor 4-7)
2
6,7
19
63,3
21
35,0
Sedang (skor 8-11 )
20
66,7
10
33,3
30
50,0
Tinggi (skor 12-15)
8
26,7
1
3,3
9
15,0
Total
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Berdasarkan Slamet (2003b), penyuluhan pertanian harus mampu menyiapkan, menyediakan dan menyajikan segala informasi yang diperlukan oleh para petani. Informasi-informasi tentang berbagai komoditas pertanian dan informasi lain yang berhubungan dengan pengolahan dan pemasaran perlu dipersiapkan dan dikemas dalam bentuk dan bahasa yang mudah dimengerti oleh petani. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap materi penyuluhan berada dalam kategori sedang yakni 66,7 persen untuk Desa Pulokencana dan rendah yakni 63,3 persen untuk Desa Sukanegara. Penjumlahan kedua desa tersebut ternyata berada dalam kategori sedang yakni 50 persen. Minat petani terhadap materi yang selama ini diberikan oleh penyuluh cukup baik. Materi
72
penyuluhan juga relatif mudah untuk diterapkan di lapang. Secara umum petani menilai materi penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh cukup bermanfaat. Akan tetapi, materi penyuluhan yang disediakan oleh penyuluh pertanian cenderung kepada materi yang disediakan oleh dan untuk kepentingan proyek, seperti PUAP dan FEATI/P3TIP yang sedang berjalan di Kecamatan Pontang. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan Tjitropranoto (2003) di atas yang dapat menjadi awal dari kurang diperhatikannya penyuluh pertanian oleh petani. Lebih lanjut menurut Slamet (2003b), kepuasan petani dari penyuluhan tidak hanya kalau materi penyuluhan itu sesuai dengan apa yang dibutuhkan, tetapi cara penyajian juga akan berpengaruh pada kepuasannya itu. Oleh karena itu, materi penyuluhan yang tepat haruslah disajikan dengan sikap kepelayanan sepenuh hati. Penyuluh pertanian harus selalu lebih baik dan lebih mampu dari sebelumnya. Menurut Lionberger (Mardikanto, 1993), sumber-sumber informasi yang dapat dimanfaatkan oleh petani yang inovatif dapat berasal dari lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media massa, tokoh-tokoh masyarakat (petani) setempat maupun dari luar, maupun lembaga-lembaga komersil (pedagang, dan lain-lain). Namun, golongan masyarakat yang kurang inovatif hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh (petani) setempat, dan relatif sedikit memanfaatkan dari media massa. Menurut Mardikanto (2010b), materi penyuluhan umumnya masih didominasi oleh materi teknis, dan belum banyak memperhatikan kebutuhan penerima manfaatnya, utamanya tentang
manajemen, permintaan pasar,
kewirausahaan dan pentingnya pendidikan politik. Oleh karena itu, tantangan bagi PPL di Kecamatan Pontang adalah bagaimana memberikan dan mengemas materi yang bersifat praktis khususnya mengenai pemasaran dan kewirausahaan agar petani lebih berdaya lagi.
Persepsi Responden terhadap Metode penyuluhan Metode penyuluhan pertanian erat kaitannya dengan metode belajar orang dewasa (andragogi). Penyuluh, yang menjalankan tugasnya sebagai pendidik, pengajar dan pendorong, selalu berhubungan dengan sasaran penyuluhan yang
73
biasanya adalah para petani, peternak, dan nelayan dewasa. Menurut Mardikanto (1993), sebagai suatu proses pendidikan, maka keberhasilan penyuluhan sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dialami dan dilakukan oleh sasaran penyuluhan. Dalam pelaksanaan penyuluhan, pemahaman proses belajar pada orang dewasa serta prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh seorang penyuluh dalam menjalankan tugasnya menjadi sangat penting peranannya karena dapat membantu
penyuluh
dalam
mencapai
tujuan
penyuluhan
yang
telah
ditentukannya. Gambaran sebaran persepsi responden terhadap metode penyuluhan tersebut dapat terlihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap metode penyuluhan Kategori
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (skor 10-18)
12
40,0
24
80,0
36
60,0
Sedang (skor 19-25 )
17
56,7
6
20,0
23
38,3
Tinggi (skor 26-32)
1
3,3
0
0,0
1
1,7
Total
30
100,0
30
60
100,0
100,0
Jumlah 2 Desa
Pengukuran metode penyuluhan dalam penelitian ini dilihat dari jenis metode penyuluhan yang digunakan, alat bantu pembelajaran yang digunakan, dan kepuasan responden terhadap penggunaan variasi metode penyuluhan yang digunakan penyuluh. Berdasarkan data pada Tabel 28 terlihat bahwa penggunaan metode penyuluhan pada kedua desa mayoritas berada pada kategori rendah yakni sebesar 60 persen. Sedangkan dari data perbandingan dua desa, Desa Pulokencana berada pada kategori sedang (56,7 persen) dan Desa Sukanegara berada pada kategori rendah (80 persen). Hal ini membuktikan bahwa banyaknya kegiatan program pemberdayaan di Desa Pulokencana ternyata akan berdampak kepada penggunaan metode penyuluhan yang digunakan. Akan tetapi, secara umum jenis metode yang dilakukan oleh PPL di Kecamatan Pontang dapat dikatakan relatif sedikit sekali. Jenis metode penyuluhan yang dominan digunakan adalah metode perorangan khususnya kunjungan usahatani. PPL lebih banyak mengunjungi
74
pengurus kelompok tani khususnya ketua kelompok tani. Metode perorangan sendiri menurut Kartasaputra (Setiana, 2005) memang sangat efektif digunakan dalam penyuluhan karena sasaran dapat secara langsung memecahkan masalahnya dengan bimbingan khusus dari penyuluh. Namun jika dilihat dari segi jumlah sasaran yang ingin dicapai, metode ini kurang efektif karena terbatasnya jangkauan penyuluh untuk mengunjungi dan membimbing sasaran secara individu. Hal ini terlihat di Desa Sukanegara dimana anggota kelompok taninya jarang sekali bertemu dengan PPL. Pertemuan kelompok yang tidak rutin dilakukan dan ketiadaan penyuluh swadaya juga turut membuat petani di desa ini lebih individualistik dalam berusahatani. Keunggulan kegiatan penyuluhan yang dilakukan dengan metode pendekatan perorangan tersebut adalah akan menyampaikan petani ke tahap penerapan,
ia
mulai
menerapkan teknologi baru
yang
diajarkan atau
dikembangkan penyuluh. Hal ini terjadi di Desa Pulokencana, dimana penyuluh swadaya yang berasal dari penduduk setempat dan beberapa petani yang dijadikan sebagai contoh uji coba dalam proyek SL-PTT dan FEATI menerapkan teknologi baru yang diperkenalkan oleh PPL. Dengan demikian, jika sudah real terjadi di lapang maka petani yang lainnya akan lebih mudah menerapkannya juga. Lebih lanjut menurut Kartasaputra (Setiana, 2005), penyuluhan yang dilakukan dengan metode pendekatan kelompok mulai menarik para petani ke tahapan minat, tahapan menilai atau mempertimbangkan, bahkan mencobanya pula. Penyuluhan yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan massal akan menyampaikan para petani yang mengikuti atau menyimaknya ke tahap kesadaran, namun belum sampai memahaminya secara mendalam. Hal ini juga dilakukan ketika terjadi pertemuan di dalam gapoktan. Pertemuan penyuluhan di Desa Sukanegara sangat minim sekali dibandingkan di Desa Pulokencana dikarenakan bukan merupakan desa percontohan dalam program pemberdayaan FEATI yang memang rutin dipantau oleh PPL. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), pilihan seorang agen penyuluhan terhadap satu metode atau teknik penyuluhan sangat tergantung kepada tujuan khusus yang ingin dicapainya dan situasi kerjanya. Karena beragamnya metode penyuluhan yang dapat digunakan dalam kegiatan
75
penyuluhan, maka perlu diketahui penggolongan metode penyuluhan menurut jumlah sasaran yang hendak dicapai. Sejalan dengan itu, Kartasaputra (Setiana, 2005) menjelaskan bahwa suatu metode penyuluhan disebut efektif apabila dengan metode yang digunakan dalam suatu kegiatan penyuluhan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, PPL di Kecamatan Pontang sebaiknya melakukan kombinasi berbagai metode penyuluhan di kedua desa lebih intensif lagi dan bukan hanya mendasarkan pada keberadaan program pemerintah di suatu tempat. Alat bantu pembelajaran yang digunakan selama ini baik di Desa Pulokencana dan Sukanegara lebih dominan menggunakan papan tulis/papan tempel, sedangkan brosur dan leaflet dibagikan juga ke beberapa petani tetapi tidak semua petani yang memperolehnya membaca informasi tersebut disebabkan mereka lebih suka melihat langsung di lapangan. Hal ini sejalan dengan pendapat van den Ban dan Hawkins (1999) yang menjelaskan bahwa dalam penggunaan metode berdasarkan pendekatan massal, pesan yang disampaikan dapat mengalami distorsi disebabkan karena pemberi dan penerima pesan cenderung mengalami proses selektif saat menggunakan media massa tersebut.
Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL
Persepsi responden terhadap kompetensi PPL terdiri dari persepsi responden terhadap kompetensi kepribadian, andragogik, profesional, dan sosial PPL.
Persepsi Responden terhadap Kompetensi Kepribadian PPL Kepribadian seorang penyuluh senantiasa harus mendapatkan perhatian yang serius dalam menciptakan kinerja yang optimal. Tenaga penyuluh yang profesional diharapkan memiliki kemampuan diri (personal skill) dalam membawakan diri terhadap lingkungannya dengan baik. Kompetensi kepribadian PPL yang dinilai responden adalah kemampuan dalam meluangkan waktu untuk membantu petani dalam berusahatani, memberikan contoh yang baik bagi petani, memiliki
sikap
kepemimpinan
yang
tinggi,
berperilaku
santun,
sabar
76
mendengarkan keluhan petani, disiplin dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, dapat dipercaya, bertanggung jawab terhadap tugasnya, dekat dengan petani, dan memberikan kesempatan kepada petani untuk mengemukakan pendapatnya. Sebaran responden berdasarkan kategori persepsinya terhadap kompetensi kepribadian PPL terlihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi kepribadian PPL Kategori
Desa Pulokencana Jumlah
%
Desa Sukanegara
Jumlah 2 Desa
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (skor 10-20)
2
6,7
19
63,3
21
35,0
Sedang (skor 21-30 )
19
63,3
11
36,7
30
50,0
Tinggi (skor 31-40)
9
30,0
0
0,0
9
15,0
Total
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Sebaran responden berdasarkan kategori persepsinya terhadap kompetensi kepribadian PPL di Desa Pulokencana mayoritas pada kategori sedang yakni sebesar 63,3 persen dan di Desa Sukanegara mayoritas pada kategori rendah yakni sebesar 63,3 persen. Hasil sebaran dari dua desa berada pada kategori sedang sebesar 50 persen. Berdasarkan fakta di lapang, persepsi responden terhadap kompetensi kepribadian PPL di Desa Pulokencana yang lebih baik dibandingkan di Desa Sukanegara disebabkan karena lebih intensifnya program pemerintah yang dilakukan di Desa Pulokencana khususnya program FEATI. Pada Desa Pulokencana, petani lebih sering melakukan koordinasi dengan PPL karena adanya perantara kehadiran penyuluh swadaya yang dibentuk karena adanya program FEATI tersebut. Salah satu kegiatan untuk menyukseskan kegiatan pemberdayaan FEATI ini di tahun 2010 adalah dengan mengadakan Temu Tugas. Kegiatan ini merupakan salah satu wadah peyamaan persepsi mengenai tugas pokok dan fungsi, masing-masing petugas yang terkait dalam aktivitas FMA. Pelaksanaan Temu Tugas dilaksanakan di Saung FMA Agri Kencana, Desa Pulokencana dihadiri sebanyak 10 FMA dari enam kecamatan di Kabupaten Serang yang melaksanakan pembelajaran itik, masing-masing FMA terdiri dari:
77
Ketua FMA, Penyuluh Pendamping, dan Penyuluh Swadaya. Anggota FMA Agri Kencana yang pada kesempatan ini tepat sedang melakukan pembelajaran mengenai formulasi pakan itik juga turut bergabung. Secara sinergi terlibat dalam kegiatan ini yakni Kabid PSDK Provinsi Banten, Kepala BPKP Kabupaten Serang, BPTP Banten, Konsultan FEATI Kabupaten Serang, Camat Kecamatan Pontang dan Kepala Desa Pulokencana. Mereka memberikan penjelasan dan pengarahan. Juga ada dialog dengan petani tentang aspek pembelajaran FMA. Temu Tugas ini diharapkan dapat mengubah kondisi petani umumnya di Kabupaten Serang, khususnya di Kecamatan Pontang yang masih berada dalam kesulitan ekonomi dengan harapan dapat menciptakan kawasan 100.000 itik. Keberadaan penyuluh swadaya dirasakan oleh petani di Desa Pulokencana sangat membantu khususnya dalam berkomunikasi dengan PPL. Keluhan-keluhan yang dirasakan saat itu juga dapat langsung disampaikan ke penyuluh swadaya dan jika tidak dapat mereka pecahkan bersama maka keluhan itu akan disampaikan ke PPL. PPL kemudian berusaha mencari jalan keluarnya dan jika memang diperlukan dapat hadir langsung ke petani. Temuan kondisi di Desa Sukanegara tidaklah demikian. Banyak dari petani yang tidak mengenal secara dekat dengan penyuluh karena memang kegiatan penyuluhannya yang kurang intensif. Mereka cenderung berusahatani sendiri-sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan, PPL di Kecamatan Pontang, baik di Desa Pulokencana dan khususnya di Desa Sukanegara diharapkan perlu meningkatkan kompetensinya lebih baik lagi. Kompetensi kepribadian PPL yang cukup baik dan perlu dioptimalkan lebih baik lagi sehingga kegiatan penyuluhan dapat berjalan lebih maksimal adalah dalam hal memberikan contoh yang baik, berperilaku santun, sabar mendengarkan keluhan, dapat dipercaya, bertanggung jawab terhadap tugasnya dan memberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Kompetensi kepribadian PPL yang dipandang oleh reponden masih rendah dan perlu ditingkatkan adalah kemampuan dalam meluangkan waktu untuk membantu petani dalam berusahatani, memiliki sikap kepemimpinan yang tinggi, disiplin dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, bertanggung jawab terhadap tugasnya, dan dekat dengan petani.
78
Persepsi Responden terhadap Kompetensi Andragogik PPL Persepsi petani terhadap kompetensi andragogik PPL adalah mengenai kemampuan PPL dalam memahami petani dan mengembangkan kebutuhan belajar untuk berubah. Kompetensi andragogik yang dinilai responden adalah kemampaun PPL mengidentifikasi kebutuhan petani, menjelaskan pengetahuan dan informasi baru usahatani dengan tidak menggurui, memperbaiki/membuat terobosan usahatani menjadi lebih baik (misal pola tanam, pemeliharaan, dan lainlain), menganggap petani sebagai rekan kerja, melibatkan petani dalam menyusun program penyuluhan pertanian, mencantumkan kebutuhan petani di dalam program penyuluhan, melaksanakan kegiatan sesuai dengan program penyuluhan pertanian, rutin melakukan penilaian terhadap program penyuluhan, menilai keberhasilan program penyuluhan pertanian, dan memberi masukan tentang kiatkiat/strategi mengelola waktu dan dana secara efektif dan efisien. Sebaran responden berdasarkan kategori persepsinya terhadap kompetensi andragogik PPL terlihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi andragogik PPL Kategori
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Jumlah 2 Desa
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (skor 10-20)
2
6,7
19
63,3
21
35,0
Sedang (skor 21-30 )
26
86,7
11
36,7
37
61,7
Tinggi (skor 31-40)
2
6,7
0
0,0
2
3,3
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Total
Pada Tabel 30 tergambarkan mengenai sebaran responden berdasarkan kategori persepsinya terhadap kompetensi andragogik PPL di Desa Pulokencana yakni mayoritas pada kategori sedang, sebesar 86,7 persen kemudian pada kategori rendah untuk Desa Sukanegara sebesar 36,7 persen. Hal ini menandakan bahwa persepsi responden terhadap kompetensi PPL di Desa Pulokencana lebih baik dibandingkan di Desa Sukanegara. Jika melihat jumlah sebaran pada dua desa diperoleh hasil dengan kategori sedang sebesar 61,7 persen. Angka ini menunjukkan secara umum kompetensi andragogik PPL dinilai cukup baik oleh
79
responden namun perlu dioptimalkan lagi mengingat di Desa Sukanegara termasuk ke dalam kategori rendah. Kompetensi andragogik yang dinilai cukup baik
namun
perlu
dioptimalkan
lagi
adalah
kemampaun
PPL
dalam
mengidentifikasi kebutuhan petani, menjelaskan pengetahuan dan informasi baru usahatani dengan tidak menggurui, memperbaiki/membuat terobosan usahatani menjadi lebih baik (misal pola tanam, pemeliharaan, dan lain-lain), dan menganggap petani sebagai rekan kerja. Kompetensi andragogik yang masih rendah dan perlu ditingkatkan adalah kemampaun PPL dalam melibatkan petani dalam menyusun program penyuluhan pertanian, mencantumkan kebutuhan petani di dalam program penyuluhan, melaksanakan kegiatan sesuai dengan program penyuluhan pertanian, rutin melakukan penilaian terhadap program penyuluhan, menilai keberhasilan program penyuluhan pertanian, dan memberi masukan tentang kiat-kiat/strategi mengelola waktu dan dana secara efektif dan efisien. Penelitian Murfiani dan Amri (2006) menunjukkan tiga bidang keterampilan yang dianggap paling penting oleh penyuluh ialah: (1) melaksanakan program penyuluhan pertanian, (2) merencanakan program penyuluhan pertanian, dan (3) mengevaluasi program penyuluhan. Menurut peraturan MENPAN No. 02/2008 Bab I Pasal 4, tugas pokok penyuluh pertanian adalah melakukan kegiatan persiapan penyuluhan pertanian, pelaksanaan penyuluhan pertanian evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan pertanian. Jika melihat tugas pokok ini maka pengembangan kompetensi andragogik PPL di Kecamatan Pontang perlu dikembangkan lebih baik lagi agar petani merasakan manfaat keberadaan penyuluh di kecamatan tersebut. Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa aspek terpenting dalam pelaksanaan pendidikan orang dewasa khususnya dalam menciptakan konsep pendekatan belajar orang dewasa perlu dikembangkan oleh PPL. Pelibatan petani dalam melakukan kegiatan penyuluhan pertanian diharapkan lebih intensif lagi khususnya di Desa Sukanegara yang minim akan program pemerintah, sehingga proses perubahan perilaku petani dapat berjalan menjadi lebih baik lagi.
80
Persepsi Responden terhadap Kompetensi Profesional PPL Menurut Slamet (2003b), penyuluhan pertanian di masa depan harus dapat dilaksanakan secara profesional dalam arti penyuluhan itu tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan pertanian yang baik pula. Penyuluhan yang profesional itu juga didukung oleh faktor-faktor pendukung yang tepat dan memadai, seperti peralatan dan fasilitas lainnya, informasi, data, dan tenaga ahli yang relevan. Penelitian ini melihat kompetensi profesional yakni kemampuan PPL dalam hal menyadarkan kebutuhan belajar petani, merencanakan kegiatan pembelajaran yang menarik dan mudah dimengerti, menggunakan cara-cara belajar yang menarik dan mudah dimengerti, mengembangkan minat belajar petani, menguasai materi penyuluhan dengan baik, mengenali wilayah kerjanya dengan baik, menganalisis masalah di wilayah kerjanya, mengembangkan organisasi SDM (kelompok tani) petani, dan mengembangkan kemampuan kewirausahaan petani. Hasil sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi profesional PPL dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi profesional PPL Kategori
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Jumlah 2 Desa
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (skor 10-18)
2
6,7
20
66,7
22
36,7
Sedang (skor 19-27)
26
86,7
9
30,0
35
58,3
Tinggi (skor 28-36)
2
6,7
1
3,3
3
5,0
Total
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Pada Tabel 31 tergambarkan mengenai sebaran responden berdasarkan kategori persepsinya terhadap kompetensi profesional PPL di Desa Pulokencana yakni mayoritas pada kategori sedang sebesar 86,7 persen dan rendah di Desa Sukanegara yakni sebesar 36,7 persen. Data dabungan dari dua desa pada Tabel 31 tersebut berada pada kategori sedang yakni sebesar 58,3 persen. Kompetensi
81
profesional PPL yang dinilai cukup baik namun perlu dioptimalkan lagi adalah kemampuan dalam menyadarkan kebutuhan belajar petani, merencanakan kegiatan pembelajaran yang menarik dan mudah dimengerti, menggunakan caracara belajar yang menarik dan mudah dimengerti, mengembangkan minat belajar petani, menguasai materi penyuluhan dengan baik, mengenali wilayah kerjanya dengan baik, dan mengembangkan organisasi SDM (kelompok tani) petani. Kompetensi profesional PPL yang dinilai masih rendah dan perlu ditingkatkan lebih baik lagi adalah kemampuan dalam menganalisis masalah di wilayah kerjanya,dan mengembangkan kemampuan kewirausahaan petani. Sejalan dengan pendapat Slamet (2003b), maka peran penyuluh tidak hanya sebatas pada fungsi menyampaikan inovasi dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran penyuluhannya, akan tetapi harus mampu menjadi jembatan penghubung antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat sasaran, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan pembangunan maupun untuk menyampaikan
umpan
balik
atau
tanggapan
petani-peternak
kepada
pemerintah/lembaga penyuluhan yang bersangkutan.
Persepsi Responden terhadap Kompetensi Sosial PPL Penyuluh pertanian adalah seseorang yang berhubungan dengan banyak orang, baik petani, nelayan, tokoh masyarakat, anggota organisasi penyuluhan, lembaga peneliti, maupun lembaga pemerintahan. Oleh sebab itu, dibutuhkan kemampuan berinteraksi/berhubungan sosial dengan relasi dalam berbagai strata tanpa membeda-bedakan suku, budaya, agama, etnik, pendidikan maupun status sosial. Marliati et al. (2008) menjelaskan bahwa kinerja penyuluh pertanian dipengaruhi oleh faktor internal penyuluh yakni kompetensi penyuluh pertanian, kompetensi penyuluh dalam berkomunikasi,
membelajarkan petani, dan
berinteraksi sosial. Kompetensi sosial dalam penelitian ini menitikberatkan pada kemampuan penyuluh dalam berinteraksi/berhubungan sosial dengan sasaran. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur kemampuan sosial adalah kemampuan PPL dalam berbicara mudah dimengerti dan menyenangkan,
82
berkomunikasi menggunakan bahasa yang mudah dimengerti petani, melayani kebutuhan usahatani petani, menganggap petani sebagai mitra/rekan kerja, bekerjasama dengan petani, membaur dengan masyarakat setempat, membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di kelompok tani, mengembangkan rasa kesetiakawanan dalam kelompok tani, dan mengembangkan rasa saling mempercayai dalam kelompok. Sebaran responden berdasarkan kategori persepsinya terhadap kompetensi sosial PPL dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Sebaran responden berdasarkan persepsinya terhadap kompetensi sosial PPL Kategori
Desa Pulokencana
Desa Sukanegara
Jumlah 2 Desa
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah (skor 10-18)
2
6,7
20
66,7
22
36,7
Sedang (skor 19-27 )
25
83,3
9
30,0
34
56,7
Tinggi (skor 28-36)
3
10,0
1
3,3
4
6,6
Total
30
100,0
30
100,0
60
100,0
Pada Tabel 32 tergambarkan mengenai sebaran responden berdasarkan kategori persepsinya terhadap kompetensi sosial PPL di Desa Pulokencana memiliki persepsi yang lebih baik dibandingkan dengan Desa Sukanegara, yakni termasuk kategori sedang sebesar 83,3 persen dan Desa Sukanegara berada pada kategori rendah sebesar 66,7 persen. Persepsi yang lebih baik di Desa Pulokencana disebabkan banyaknya bantuan usahatani yang diberikan kepada petani. Mereka lebih merasakan kehadiran PPL yang membantu mereka dalam kegiatan usahatani. Jika data kedua desa digabungkan maka sebagian besar sebarannya pada kategori sedang sebesar 56,7 persen. Hal ini bermakna bahwa persepsi responden terhadap kemampuan sosial PPL menjadi lebih baik jika PPL melakukan pendekatan intensif kepada petani. Kompetensi sosial yang dipandang petani cukup baik namun perlu dioptimalkan lagi oleh PPL adalah kemampuan dalam berbicara mudah dimengerti dan menyenangkan, berkomunikasi menggunakan bahasa yang mudah dimengerti petani, melayani kebutuhan usahatani petani, bekerjasama dengan petani, membaur dengan masyarakat setempat, membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di kelompok tani, mengembangkan rasa kesetiakawanan dalam
83
kelompok tani, dan mengembangkan rasa saling mempercayai dalam kelompok. Kompetensi profesional PPL yang dinilai masih rendah dan perlu ditingkatkan lebih baik lagi adalah kemampuan dalam menganggap petani sebagai mitra/rekan kerja.
Perbandingan Profil Petani, Usahatani, dan Kualitas Penyuluhan di Dua Desa Penelitian Analisis berikut ini adalah melihat perbedaan antara Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara di Kecamatan Pontang. Interpretasi Mean Rank dari uji Mann-Whitney U-Test adalah jika nilai Mean Rank > nilai n (n=30), maka hal tersebut menunjukkan respon yang positif atas suatu pernyataan. Jika nilai Mean Rank < nilai n, maka hal itu akan menunjukkan sikap yang negatif atas suatu pernyataan. Namun analisis respon ini harus berdasarkan pada hasil Significance Level (sig). Uji Mann-Whitney U-Test ini menggunakan Confidence Level 95 persen sehingga Significance Level-nya adalah 0,05. Berikut ini adalah hasil uji Mann-Whitney U test terhadap karakteristik pribadi petani (Tabel 33).
Tabel 33. Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap karakteristik pribadi petani Variabel
Umur Tingkat Pendidikan Kesertaan dalam Pelatihan Usahatani
Mean Rank
Mann Whitney U-Test
Pulokencana
Sukanegara
27,73 33,12 36,08
33,27 27,88 24,92
p=0,176 p=0,151 p=0,003
Berdasarkan nilai mean rank pada hasil uji Mann-Whitney U-Test di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan dan kesertaan pelatihan usahatani di Desa Pulokencana memiliki nilai yang positif dibandingkan dengan di Desa Sukanegara (mean rank > n=30). Jika dilihat dari nilai p=0,176 dan p=0,151 (p > 0,05) dapat dikatakan bahwa hasil uji tidak signifikan secara statistik atau tidak terdapat perbedaan nyata antara Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara dalam hal umur dan tingkat pendidikannya, sedangkan dalam hal kesertaan dalam pelatihan usahatani dengan nilai p=0,003 (p<0,05), maka dapat
84
dikatakan bahwa hasil uji signifikan secara statistik atau disimpulkan terdapat perbedaan sangat nyata antara Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara. Berikut ini adalah hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap karakteristik usahatani (Tabel 34).
Tabel 34. Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap karakteristik usahatani Variabel
Mean Rank
Mann-Whitney U-Test
Pulokencana
Sukanegara
Pengalaman berusahatani
33,73
27,27
p=0,114
Luas lahan
31,13
29,87
p=0,730
Status kepemilikan lahan
35,03
25,97
p=0,022
Aksesibilitas lembaga keuangan
32,92
28,08
p=0,214
Aksesibilitas saprodi
26,00
35,00
p=0,003
Aksesibilitas pasar
28,50
32,50
p=0,040
Nilai mean rank karakteristik usahatani menunjukkan bahwa pengalaman berusahatani, luas lahan, status kepemilikan lahan, dan aksesibilitas lembaga keuangan memiliki hasil uji tidak signifikan secara statistik atau tidak terdapat perbedaan nyata antara Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara. Sedangkan dalam hal status kepemilikan lahan, aksesibilitas saprodi, dan aksesibilitas pasar (dengan nilai p<0,05), dapat dikatakan bahwa hasil uji signifikan secara statistik atau disimpulkan terdapat perbedaan nyata antara Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara. Status kepemilikan lahan di Desa Pulokencana lebih besar dibandingkan dengan yang di Sukanegara, sebaliknya aksesibilitas saprodi dan aksesibilitas pasar di Desa Sukanegara lebih baik daripada di Desa Pulokencana. Berdasarkan fakta di lapang, ternyata lokasi Desa Sukanegara terletak di dekat jalan utama sehingga memudahkan akses ke pasar, sedangkan lokasi Desa Pulokencana masuk ke dalam jalan setapak yang jaraknya lebih menyulitkan untuk akses ke pasar karena tidak adanya kendaraan umum (angkot) yang masuk ke dalam. Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap karakteristik kualitas penyuluhan dapat terlihat pada Tabel 35. .
85
Tabel 35. Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap kualitas penyuluhan Variabel
Mean Rank Pulokencana Sukanegara
Mann-Whitney U-Test
Intensitas penyuluhan
40,38
20,62
p=0,000
Materi penyuluhan
40,00
21,00
p=0,000
Metode penyuluhan
36,60
24,40
p=0,002
Pada Tabel 35 diperoleh nilai mean rank di Desa Pulokencana lebih besar daripada n (=30), maka dapat disimpulkan bahwa intensitas penyuluhan, materi penyuluhan, dan metode penyuluhan di Desa Pulokencana berbeda secara nyata dibandingkan dengan di Desa Sukanegara, nilai masing-masing adalah p=0,000 dan p=0,002 (p<0,05). Hal ini terjadi karena kegiatan penyuluhan melalui program FEATI lebih intensif di Pulokencana di bandingkan dengan di Sukanegara. Pada Tabel 36 berikut ini adalah hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap kompetensi PPL.
Tabel 36. Hasil uji Mann-Whitney U-Test terhadap kompetensi PPL Variabel
Mean Rank Pulokencana
Sukanegara
Kompetensi kepribadian PPL
40,65
20,35
Kompetensi andragogik PPL
39,37
21,63
Kompetensi profesional PPL
39,37
21,63
Kompetensi sosial PPL
39,53
21,47
Mann-Whitney U-Test p=0,000 p=0,000 p=0,000 p=0,000
Berdasarkan Tabel 36 diperoleh nilai mean rank di Desa Pulokencana ternyata lebih besar dibandingkan di Desa Sukanegara baik dalam kompetensi kepribadian, andragogik, profesional, maupun sosial PPL. Adapun jika dilihat dari nilai p=0,000 (p<0,05), maka dapat dikatakan bahwa hasil uji signifikan secara statistik atau disimpulkan bahwa ada perbedaan sangat nyata diantara keempat kompetensi PPL antara Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara. Dengan demikian, dengan kehadiran program pemerintah di Desa Pulokencana maka PPL dapat lebih intensif dalam melakukan kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini
86
dirasakan oleh petani yakni dengan mereka diperhatikan lebih baik oleh PPL dan dipenuhi kebutuhannya, seperti pengembangan ternak lokal. Dengan adanya keterkaitan antara PPL dengan petani maka diharapkan dalam menghadapi masalah-masalah penyuluhan tidak tergantung kepada program dari pemerintah semata-mata tetapi merupakan kemandirian petani itu sendiri.
Hubungan Karakteristik Pribadi Responden dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Hubungan antara karakteristik pribadi responden dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL diduga memiliki kaitan yang erat atau memiliki hubungan yang nyata. Karakteristik pribadi responden yang diamati pada penelitian ini meliputi: (1) umur, (2) tingkat pendidikan formal, dan (3) kesertaan dalam pelatihan usahatani. Persepsi responden terhadap kompetensi PPL yang diteliti adalah persepsi mereka terhadap komptensi: (1) kepribadian PPL, (2) andragogik PPL, (3) profesional PPL, dan (4) sosial PPL. Hasil analisis hubungan karakteristik pribadi responden dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL per desa disajikan dalam Tabel 37. Tabel 37. Hubungan karakteristik pribadi responden (X1) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) per desa Karakteristik Pribadi Responden (X1) Umur (X1.1) Tingkat pendidikan formal ( X1.2) Kesertaan dalam pelatihan usahatani (X1.3)
Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL (Y) Y1 Y2 Y3 Y4 DP DS DP DS DP DS DP DS -0,121 -0,239 -0,113 -0,239 -0,113 -0,202 -0,218 -0,202 -0,013 0,398* 0,178 0,398* 0,178 0,470** 0,090 0,470** 0,346
0,588**
0,348
0,588**
0,348
0,659** 0,223 0,659**
Keterangan: Y1: Kepribadian; Y2: Andragogik; Y3: Profesional; Y4: Sosial; DP: Desa Pulokencana; DS: Desa Sukanegara; * korelasi nyata pada α=0,05; ** korelasi nyata pada α=0,01
Hasil analisis hubungan karakteristik pribadi responden dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL dari dua desa disajikan dalam Tabel 38.
87
Tabel 38. Hubungan karakteristik pribadi responden (X1) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) dari dua desa Karakteristik Pribadi Responden (X1) Umur (X1.1) Tingkat pendidikan formal (X1.2) Kesertaan dalam pelatihan usahatani (X1.3)
Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL (Y) Y Y1 Y2 Y3 Y4 -0,139 0,073
-0,249 0,275*
-0,246 0,346**
-0,232 0,385**
-0,260* 0,360**
0,408**
0,574**
0,562**
0,592**
0,562**
Keterangan: Y1: Kepribadian; Y2: Andragogik; Y3: Profesional; Y4: Sosial; DP: Desa Pulokencana; DS: Desa Sukanegara; * korelasi nyata pada α=0,05; ** korelasi nyata pada α=0,01
Hubungan Umur dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Hasil analisis Tabel 37 memperlihatkan tidak adanya hubungan yang nyata antara umur responden baik di Desa Pulokencana maupun Sukanegara, sedangkan jika melihat Tabel 38 maka dapat dilihat hubungan yang negatif yang nyata antara umur responden dengan persepsinya terhadap kompetensi kompetensi sosial PPL. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tua umur petani, maka semakin rendah persepsinya terhadap kompetensi sosial PPL. Petani khususnya di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang dapat dikatakan relatif lebih muda jika dibandingkan dengan petani di Kabupaten lainnya. Sebagian besar responden yakni 50 persen berada pada rentang umur 35 sampai dengan 47, yakni rentang usia yang cukup baik dalam mengadopsi inovasi. Kompetensi sosial penyuluh sendiri merupakan kemampuan penyuluh berinteraksi/berhubungan sosial dengan sasarannya. Oleh karena itu, penyuluh memang lebih mudah untuk berinteraksi dengan petani yang berusia lebih muda dibandingkan dengan yang lebih tua. Maka hubungan sosial yang terjalin pun akan menjadi lebih baik lagi. Menurut Iso (Deptan, 2010), salah satu kode etik penyuluh pertanian adalah sasaran penyuluhan tidak hanya terbatas pada petani dewasa; pengalaman menunjukkan bahwa penyuluhan terhadap
anak-anak
petani merupakan
pengkaderan untuk selanjutnya merupakan kader-kader petani maju. Hal inilah yang kurang dikembangkan oleh PPL baik secara umum maupun di Kecamatan Pontang. Dengan demikian, diharapkan keterlibatan keluarga petani dapat dioptimalkan menjadi lebih baik lagi ke depannya.
88
Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Hasil uji statistik Tabel 38 ternyata menunjukkan bahwa sebaran tingkat pendidikan formal responden mayoritas berada pada kategori rendah baik di Desa Pulokencana maupun Desa Sukanegara. Jika dikaitkan dengan hasil analisis Tabel 37 mengenai hubungan antara tingkat pendidikan formal responden di Desa Sukanegara dengan persepsinya terhadap kompetensi andragogik, profesional, dan sosial PPL maka dapat dikatakan terdapat hubungan yang nyata diantara keduanya. Maknanya adalah semakin rendah tingkat pendidikan formal responden di Desa Sukanegara maka semakin rendah pula persepsinya terhadap kompetensi penyuluh pertanian baik dalam kompetensi kepribadian, andragogik, profesional maupun sosial. Dengan rendahnya tingkat pendidikan formal responden maka persepsi mereka terhadap kompetensi PPL menjadi rendah pula. Dengan demikian, hendaknya dalam memberikan penyuluhan, PPL di Kecamatan Pontang lebih memfokuskan pada petani yang sudah memperoleh pendidikan formal yang cukup tinggi. Bukan hanya itu saja, PPL juga diharapkan dapat memberikan kesadaran kepada petani agar mereka dapat memberikan pendidikan yang tinggi untuk keluarganya.
Hubungan Kesertaan dalam Pelatihan Usahatani dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Terdapat hubungan yang nyata antara kesertaan dalam pelatihan usahatani dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Tabel 38). Namun ternyata jika melihat hasil Tabel 37, ternyata yang memiliki hubungan yang nyata diantara kedua variabel adalah pada Desa Sukanegara. Kesertaan responden yang mayoritas tidak pernah mengikuti pelatihan usahatani khususnya di Desa Sukanegara ternyata berhubungan nyata dengan persepsi mereka dalam menilai kompetensi penyuluh. Hal ini berarti semakin tinggi kesertaan mereka dalam mengikuti pelatihan maka akan semakin tinggi pula persepsinya terhadap kompetensi kepribadian, andragogik, profesional, dan sosial penyuluh. Temuan pada Tabel 37 menunjukkan bahwa petani di Desa Sukanegara sangat memerlukan kegiatan pelatihan usahatani. Dengan demikian, perlu ditingkatkan kembali kegiatan pelatihan usahatani di Desa Sukanegara agar petani
89
lebih mengenal penyuluhnya lebih baik dan merasakan positif kehadiran PPL di tengah-tengah mereka. Berdasarkan Tabel 38 hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik pribadi dengan persepsinya terhadap kompetensi PPL ditolak. Hubungan nyata yang terjadi hanya antara variabel kesertaan responden dalam pelatihan usahatani dengan persepsinya terhadap kompetensi PPL, sedangkan untuk variabel umur dan tingkat pendidikan formal tidak memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL
Hubungan Karakteristik Usahatani Responden dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Hubungan antara karakteristik usahatani responden dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL diduga memiliki kaitan yang erat atau memiliki hubungan yang nyata. Karakteristik usahatani responden yang diamati meliputi (1) pengalaman berusahatani, (2) luas lahan, (3) status kepemilikan lahan, (4) aksesibilitas lembaga keuangan, (5) aksesibilitas saprodi, dan (6) aksesibilitas pasar. Persepsi responden terhadap kompetensi PPL yang diteliti adalah persepsi mereka terhadap komptensi: (1) kepribadian PPL, (2) andragogik PPL, (3) profesional PPL, dan (4) sosial PPL. Hasil analisis hubungan karakteristik usahatani responden dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL per desa dijelaskan pada Tabel 39.
Tabel 39. Hubungan karakteristik usahatani responden (X2) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) per desa Karakteristik Usahatani Responden (X2) Pengalaman berusahatani (X2.1) Luas lahan (X2.2) Status kepemilikan lahan (X2.3) Aksesibilitas lembaga keuangan (X2.4) Aksesibilitas saprodi (X2.5)
Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL (Y) Y1 Y2 Y3 Y4 DP DS DP DS DP DS DP DS -0,047 0,318 -0,148 0,318 -0,148 0,281 -0,252 0,281 -0,102 -0,129
-0,015 -0,178 0,165 0,000
-0,015 0,165
-0,178 0,000
0,078 0,252
-0,213 0,029
0,078 0,252
0,015
0,500**
0,174
0,500**
0,174
0,448*
0,229
0,448*
-0,089
0,489**
0,000
0,489**
0,000
0,417*
-0,017
0,417*
Keterangan: Y1: Kepribadian; Y2: Andragogik; Y3: Profesional; Y4: Sosial; DP: Desa Pulokencana; DS: Desa Sukanegara; * korelasi nyata pada α=0,05; ** korelasi nyata pada α=0,01
90
Hasil analisis hubungan karakteristik usahatani responden dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL dari dua desa disajikan dalam Tabel 40.
Tabel 40. Hubungan karakteristik usahatani responden (X2) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) dari dua desa Karakteristik Usahatani Responden (X2) Pengalaman berusahatani (X2.1) Luas lahan (X2.2) Status kepemilikan lahan (X2.3) Aksesibilitas lembaga keuangan (X2.4) Aksesibilitas saprodi (X2.5)
Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL (Y) Y Y1 Y2 Y3 Y4 0,065
0,227
0,234
0,221
0,189
0,121 0,086
-0,041 0,210
-0,052 0,250
0,014 0,301*
0,001 0,311*
0,097
0,321*
0,391*
0,383*
0,396*
-0,096
-0,029
0,051
0,027
0,017
Keterangan: Y1: Kepribadian; Y2: Andragogik; Y3: Profesional; Y4: Sosial; DP: Desa Pulokencana; DS: Desa Sukanegara; * korelasi nyata pada α=0,05; ** korelasi nyata pada α=0,01
Hubungan Pengalaman Berusahatani dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Berdasarkan hasil analisis korelasi Rank Spearman pada Tabel 39 dan Tabel 40 diketahui tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengalaman berusahatani dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL. Jika melihat kembali Tabel 20 yang menunjukkan bahwa pengalaman berusahatani di Desa Pulokencana mayoritas pada kategori sedang, di Desa Sukanegara pada kategori rendah, dan penggabungan dua desa berada pada kategori sedang, maka dalam menentukan program penyuluhan sebaiknya disusun berdasarkan kebutuhan petani bukan hanya karena keberadaan program pemerintah. Petani di Desa Sukanegara sebaiknya difasilitasi juga seperti di Desa Pulokencana. Dengan demikian, kegiatan penyuluhan dapat menjangkau wilayah yang lebih luas lagi tidak hanya desa percontohan seperti Desa Pulokencana.
91
Hubungan Luas Lahan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Hasil analisis Tabel 39 dan Tabel 40 menunjukkan bahwa variabel luas lahan ternyata tidak memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL. Dalam kegiatan penyuluhan, karakteristik petani berdasarkan luas lahan ini merupakan salah satu unsur yang tetap perlu diperhatikan. Luasnya wilayah kerja penyuluhan pertanian dan banyaknya individu atau kelompok petani yang harus dilayani juga membutuhkan rasio petani dan PPL yang ideal serta dapat terpenuhinya sarana tranportasi, komunikasi, alat peraga dan biaya operasional pembinaan yang memadai. Tingkat penguasaan teknologi petani yang relatif terbatas di tengah persaingan pasar yang semakin ketat membutuhkan pendampingan pembinaan teknis dan manajemen secara intensif dan berkesinambungan. Hal ini menuntut adanya kapasitas aparat pembina teknis yang mampu melayani bimbingan teknologi secara spesifik (komoditas) sesuai dengan kebutuhan petani serta mampu berperan sebagai mediator terhadap sumber pembiayaan dan pasar. Dengan demikian, kehadiran BPP sebagai institusi penyuluh di tingkat terbawah juga perlu mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah daerah maupun pusat, sehingga kegaiatan penyuluhan juga dapat terselenggara lebih baik lagi.
Hubungan Status Kepemilikan Lahan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Pada Tabel 39 diketahui tidak terdapat hubungan yang nyata hanya antara status kepemilikan dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL baik di Desa Pulokencana maupun di Desa Sukanegara. Jika melihat data Tabel 40, dapat diketahui bahwa status kepemilikan lahan responden memiliki hubungan yang nyata dengan persepsinya terhadap kompetensi profesional dan sosial PPL. Hal ini disebabkan karena PPL lebih banyak berhubungan dengan ketua/pengurus kelompok yang kebetulan lahan garapannya relatif lebih luas dari anggota kelompok. Namun, jika melihat hubungan antara status kepemilikan dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL di dua desa maka tidak terdapat hubungan yang nyata diantara keduanya.
92
Status kepemilikan lahan responden di Desa Sukanegara yang mayoritas menggunakan sistem bagi hasil ternyata turut mempengaruhi persepsi mereka terhadap kompetensi profesional dan sosial PPL. Temuan pada Tabel 22 menunjukkan bahwa dengan tidak memiliki lahan sendiri (bagi hasil) maka penerapan petani terhadap inovasi tidak dapat berjalan dengan baik. Temuan lainnya pada Tabel 31 dan Tabel 32 menunjukkan mayoritas petani di Desa Sukanegara mempersepsikan kompetensi profesional dan sosial PPL masih rendah. Jika melihat kembali Tabel 39, maka PPL sebaiknya melakukan diversifikasi usahatani lebih intensif lagi yakni salah satunya dengan lebih dominan memanfaatkan bidang peternakan khususnya itik yang kedepannya diharapkan menjadi produk peternakan unggulan di Kabupaten Serang.
Hubungan Aksesibilitas Lembaga Keuangan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Pada Tabel 40 dapat tergambarkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara aksesibilitas lembaga keuangan dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL di Desa Sukanegara. Jika melihat kembali pada Tabel 23 yakni mengenai sebaran responden berdasarkan aksesibilitas lembaga keuangan dapat diketahui baik di Desa Pulokencana maupun di Desa Sukanegara termasuk ke dalam kategori rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin rendah aksesibilitas lembaga keuangan di desa Sukanegara maka akan semakin rendah persepsinya terhadap kompetensi PPL. Akan tetapi, jika melihat data penggabungan dari dua desa tersebut maka tidak terdapat hubungan yang nyata antara aksesibilitas lembaga keuangan dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL. Dalam penelitian ini, aksesibiltas lembaga keuangan petani termasuk dalam kategori rendah sehingga perlu peningkatan akses ini agar persepsi petani terhadap kompetensi PPL menjadi lebih baik. Sumber permodalan yang digunakan di Desa Pulokencana mayoritas menggunakan kombinasi yakni dari bermodal sendiri dan memperoleh pinjaman/bantuan baik dari kelompok maupun pihak lainnya, sedangkan di Desa Sukanegara mayoritas menggunakan modal sendiri. Akses modal yang sulit khususnya di Desa Sukanegara sangat dirasakan oleh petani. Pinjaman berbentuk uang, pupuk ataupun ternak ke kelompok tani tidak seperti di Desa Pulokencana.
93
Hal ini tentu saja menjadi salah satu kendala bagi petani di Desa Sukanegara dalam melangsungkan kegiatan usahataninya. Berdasarkan fakta di lapangan, BPP sebagai basis kegiatan penyuluhan di tingkat kecamatan ternyata lebih merupakan perpanjangan tangan BPKP. BPP tidak diberi dana otonom untuk penyelenggaraan kegiatan penyuluhan di wilayah kerjanya. Dengan demikian, BPP kesulitan untuk mengembangkan kegiatan penyuluhan di wilayahnya khususnya dalam hal pengembangan akses lembaga keuangan ini. Hal ini merupakan tantangan bagi kegiatan penyuluhan di Kabupaten Serang untuk masa mendatang. Diperlukan adanya upaya yang lebih serius lagi agar kegiatan penyuluhan dapat berjalan secara maksimal. Begitu pula dengan PPL di Kecamatan Pontang, tantangan yang perlu dikembangkan adalah menjembatani kesenjangan manajemen antara lembaga perbankan formal yang kebanyakan berada di daerah perkotaan dengan masyarakat petani yang tersebar di perdesaan. Pemberdayaan kelembagaan usaha kelompok untuk menjadi cikal bakal lembaga keuangan mikro di pedesaan perlu dilakukan melalui kegiatan penyuluhan. Pada akhirnya lembaga ini diharapkan dapat berkembang menjadi lembaga mandiri milik masyarakat petani perdesaan. Walaupun saat ini keberadaan bantuan pemerintah pusat yang diberikan kepada Gapoktan yakni PUAP bertujuan membantu keuangan petani, namun perlu bimbingan dan pengawasan yang lebih intensif lagi. Sebab, penerima dana PUAP adalah para petani yang tidak terbiasa mendapat bantuan modal dengan jumlah besar
Hubungan Aksesibilitas Saprodi dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Berdasarkan data Tabel 39 dapat terlihat bahwa variabel aksesibilitas saprodi responden tidak berhubungan nyata dengan persepsinya terhadap kompetensi PPL. Jika melihat hubungan di dalam dua desa, ternyata aksesibilitas saprodi responden di Desa Sukanegara memiliki hubungan nyata dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL. Dapat disimpulkan bahwa semakin rendah aksesibilitas di Desa Sukanegara maka akan semakin rendah persepsinya terhadap kompetensi PPL. Bantuan saprodi seperti bibit/benih, pupuk, obat (pestisida/ fungisida/herbisida) ke kelompok tani tidak dapat menjangkau semua anggota kelompok tani. Petani merasa kesulitan mencari saprodi di kelompok tani
94
sehingga mereka lebih mudah mencarinya di toko/kios. Adapun persepsi petani di Desa Sukanegara terhadap kompetensi PPL termasuk ke dalam kategori rendah. Dengan demikian, jika PPL lebih berperan dalam meningkatkan aksesibilitas saprodi petani di Desa Sukanegara maka pandangan petani terhadap kompetensi PPL akan menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian berdasarkan uji statistik pada Tabel 40 dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik usahatani dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL ditolak.
Hubungan Kualitas Penyuluhan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Hubungan antara kualitas penyuluhan dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL diduga memiliki kaitan yang erat atau memiliki hubungan yang nyata. Kualitas penyuluhan yang diamati adalah (1) intensitas penyuluhan, (2) materi penyuluhan, dan (3) metode penyuluhan. Hasil analisis hubungan antara kualitas penyuluhan dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL per desa disajikan dalam Tabel 41.
Tabel 41. Hubungan kualitas penyuluhan (X3) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) per desa Kualitas Penyuluhan (X3) Intensitas penyuluhan (X3.1) Materi Penyuluhan (X3.2) Metode Penyuluhan (X3.3)
Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL (Y) Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 DP DS DP DS DP DS DP DS 0,476** 0,585** 0,431* 0,585** 0,431* 0,650** 0,444* 0,650** 0,692**
0,991**
0,459*
0,991**
0,459* 0,935**
0,534** 0,935**
0,533**
0,657**
0,352
0,657**
0,352 0,725**
0,374* 0,725**
Keterangan: Y1: Kepribadian; Y2: Andragogik; Y3: Profesional; Y4: Sosial; DP: Desa Pulokencana; DS: Desa Sukanegara; * korelasi nyata pada α=0,05; ** korelasi nyata pada α=0,01
Hasil analisis hubungan kualitas penyuluhan dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL dari dua desa disajikan dalam Tabel 42.
95
Tabel 42. Hubungan kualitas penyuluhan (X3) dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL (Y) dari dua desa Kualitas Penyuluhan (X3) Intensitas penyuluhan (X3.1) Materi Penyuluhan (X3.2) Metode Penyuluhan (X3.3)
Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL (Y) Y Y1 Y2 Y3 Y4 0,462**
0,733**
0,695**
0,704**
0,711**
0,557**
0,924**
0,897**
0,885**
0,896**
0,530**
0,678**
0,612**
0,640**
0,648**
Keterangan: Y1: Kepribadian; Y2: Andragogik; Y3: Profesional; Y4: Sosial; DP: Desa Pulokencana; DS: Desa Sukanegara; * korelasi nyata pada α=0,05; ** korelasi nyata pada α=0,01
Hubungan Intensitas Penyuluhan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Temuan penelitian menunjukkan bahwa semua karakteristik kualitas penyuluhan baik intensitas, materi, maupun metode penyuluhan di Desa Pulokencana, Desa Sukanegara, ataupun gabungan keduanya berhubungan nyata dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL. Intensitas penyuluhan pertanian (pada Tabel 26) yang terjadi pada kedua desa adalah relatif rendah, sedangkan jika melihat data per desa di Desa Pulokencana relatif tinggi dan di Desa Sukanegara relatif rendah. Persepsi responden terhadap kompetensi PPL secara umum termasuk ke dalam kategori sedang. Hal ini membuktikan bahwa semakin intensif pertemuan antara petani dan penyuluh akan menimbulkan persepsi yang positif petani kepada penyuluhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rogers (1995) yang berpendapat bahwa keberhasilan seorang penyuluh ditentukan oleh kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjalin hubungan secara langsung maupun tak langsung dengan masyarakat sasarannya. Intensitas penyuluhan di Kecamatan Pontang secara umum memang masih kurang optimal. Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa jika intensitas penyuluhan ini ditingkatkan maka akan sangat membantu petani dalam mengenal penyuluh baik dari sisi kepribadiannya, andragogiknya, keprofesionalannya, dan dari sisi sosialnya. Intensitas penyuluhan pertanian di Desa Pulokencana maupun Desa Sukanegara setidaknya dapat dilakukan sebulan satu sampai dua kali. Perencanaan
96
pertemuan yang telah disusun oleh PPL dan tercantum di dalam programa penyuluhan pertanian ternyata selama ini belum dapat diterapkan secara optimal. Penyebabnya diantaranya adalah kurangnya komitmen PPL sendiri dalam melaksanakan tugasnya. Kebutuhan petani seharusnya dirumuskan lebih baik lagi khususnya di Desa Sukanegara, sehingga petani turut merasakan fungsi keberadaan tenaga penyuluh di tengah-tengah mereka dan memiliki partisipasi yang tinggi dalam setiap kegiatan penyuluhan. Oleh karena itu, komunikasi yang berkelanjutan antara petani sebagai pelaku utama pertanian dan PPL yang bermitra dengan penyuluh swadaya perlu dijalin lebih optimal. Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka persepsi petani terhadap kompetensi PPL akan lebih meningkat dan berdampak positif terhadap keberlangsungan penyelenggaran penyuluhan pertanian di Kecamatan Pontang.
Hubungan Materi Penyuluhan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Berdasarkan Tabel 41 dan Tabel 42 dapat diketahui bahwa materi penyuluhan di Desa Pulokencana, Desa Sukanegara, ataupun gabungan keduanya berhubungan nyata dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL. Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumber daya pertanian,
perikanan,
dan
kehutanan.
Materi
penyuluhan
berisi
unsur
pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan (UUSP3K). Kebutuhan materi penyuluhan di Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara sangat perlu ditingkatkan dan dikembangkan. Dengan demikian, pendapat Tjitropranoto (2003) mengenai cakupan materi penyuluhan yang perlu diperluas, tidak lagi terbatas pada teknologi produksi namun juga memperhatikan teknologi panen, pengolahan, pengemasan, transportasi, informasi harga dan informasi pasar sangat penting untuk diaplikasikan oleh PPL di lapangan sehingga usahatani yang dikelola petani dapat menguntungkan dan berkelanjutan. Menurut Slamet (2003b), ketepatan materi penyuluhan terhadap kebutuhan petani akan menjamin tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bersama
97
dengan petani, dan ini menjamin adanya partisipasi para petani. Oleh karena itu, respons dan partisipasi petani terhadap kegiatan penyuluhan di kedua desa dan lebih khusus di Desa Sukanegara dapat menjadi lebih baik lagi. Hal ini akan berdampak pula kepada pandangan petani mengenai kompetensi PPL yang juga akan menjadi lebih baik.
Hubungan Metode Penyuluhan dengan Persepsi Responden terhadap Kompetensi PPL Berdasarkan Tabel 41 dan Tabel 42 dapat diketahui bahwa metode penyuluhan di Desa Pulokencana, Desa Sukanegara, ataupun gabungan keduanya berhubungan nyata dengan persepsi responden terhadap kompetensi PPL. Menurut Mardikanto (2010b), pemilihan metode pendidikan orang dewasa (termasuk
penyuluhan)
harus
selalu
mempertimbangkan:
(1)
waktu
penyelenggaraan yang tidak terlalu mengganggu kegiatan/pekerjaan pokoknya, (2) waktu penyelenggaraan sesingkat-singkatnya, dan (3) lebih banyak menggunakan alat peraga. Jika dikaitkan dengan fakta di lapang, waktu penyelenggaraan kegiatan penyuluhan di Kecamatan Pontang khususnya di Desa Pulokencana yang selama ini dirasakan oleh petani tidak mengganggu kegiatan mereka di sawah. Pertemuan yang dilakukan biasanya sudah dikoordinasikan terlebih dahulu sehingga petani dapat mempersiapkan dirinya untuk hadir dalam pertemuan tersebut. Waktu kegiatan pun tidak berlangsung terlalu lama, sekitar dua jam pertemuan dan untuk selanjutnya PPL datang memantau ke kontak tani yang ada di wilayah masing-masing, sedangkan untuk penggunaan alat peraga dirasakan memang belum belum optimal dimanfaatkan oleh PPL, selama ini hanya papan tulis dan leaflet yang rutin digunakan. Temuan di lapang menunjukkan bahwa keberadaan penyuluh swadaya di Desa Pulokencana sangat membantu kegiatan penyuluhan pertanian sehingga kualitas penyuluhan baik intensitas, materi, maupun metode penyuluhan menjadi lebih baik. Penyuluh pertanian swadaya tersebut sudah memiliki dan mengelola usaha di bidang pertanian yang berhasil dan dicontoh oleh masyarakat di sekitarnya. Sifat kepemimpinan yang dimilikinya dapat membuat petani lebih mudah diarahkan oleh PPL. Jadi diharapkan penyuluh swadaya ini dapat juga berada di Desa Sukanegara ataupun di desa-desa lainnya di Kecamatan Pontang.
98
Dalam kegiatan penyuluhan, agar pesan dapat sampai dengan baik kepada sasaran yakni petani, maka PPL perlu memperhatikan kondisi sasarannya. Karakteristik petani yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metoda penyuluhan pertanian, antara lain: tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan sasaran, yaitu pengalaman bertani, pendidikan, dan tingkat adopsinya. Misalnya, di Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara terdapat mayoritas petani yang tingkat pendidikannya sangat rendah atau sebagian besar buta huruf, tentunya tidak dapat menggunakan penyebaran bahan bacaan tulisan. Selain itu, pengalaman berusahatani yang sudah lama akan berbeda dengan petani yang masih tergolong pemula, demikian pula dengan tingkat adopsinya. Dengan demikian, keadaan sosial budaya petani perlu pula dipertimbangkan dalam memilih metoda penyuluhan pertanian. Berdasarkan Departemen Pertanian (2011), hubungan tingkat adopsi dengan pendekatan dan penggunaan metoda penyuluhan pertanian dijelaskan pada Gambar 2.
Metoda Penyuluhan Pertanian 1. 2. 3. 4. 5.
Rapat/pertemuan umum Siaran pedesaan (radio/TV) Pemutaran film Penyebaran bahan bacaan Pemasangan poster/spanduk
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Diskusi kelompok Temu karya Demonstrasi Karyawisata Temu-temu Kursus tani Ceramah
1. Kunjungan rumah 2. Kunjungan usaha tani 3. Hubungan telepon
Jumlah Sasaran
Tahapan Adopsi
Massal
Sadar
Minat Kelompok
Menilai
Mencoba Menerapkan Perorangan
Gambar 2. Hubungan Tingkat Adopsi dengan Pendekatan dan Penggunaan Metoda Penyuluhan Pertanian
99
Dengan melihat Gambar 2, maka PPL di Kecamatan Pontang sebaiknya melakukan kombinasi berbagai metode penyuluhan baik di Desa Pulokencana dan Desa Sukanegara dan bukan hanya mendasarkan pada keberadaan program pemerintah di suatu tempat. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 42 dapat disimpulkan bahwa hipotesis ketiga yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara kualitas penyuluhan dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL diterima. Artinya, PPL cenderung akan memiliki kompetensi yang baik menurut petani apabila didukung oleh intensitas, materi dan metode penyuluhan yang baik.
100
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Karakteristik pribadi petani yaitu umur sebagian besar termasuk ke dalam kategori dewasa (umur 35-47 tahun) baik di Desa Pulokencana maupun di Desa Sukanegara, tingkat pendidikan mayoritas tidak tamat dan tamat SD, kesertaan pelatihan di Desa Pulokencana lebih baik dibandingkan dengan di Desa Sukanegara yang mayoritas tidak pernah mengikuti pelatihan. (2) Karakteristik usahatani responden yakni pengalaman responden lebih baik di Desa Pulokencana dibandingkan di Desa Sukanegara. Sebagian besar responden di kedua desa memiliki luas lahan yang sempit (2.000-18.000 m2) dengan status kepemilikan lahannya sewa/gadai/bagi hasil. Aksesibilitas lembaga keuangan, saprodi dan pasar di kedua desa masih rendah. (3) Responden menilai kualitas penyuluhan cukup bervariasi di antara kedua desa, yakni intensitas penyuluhan termasuk tinggi di Desa Pulokencana dibandingkan di Desa Sukanegara. Begitu pula untuk materi penyuluhan dan metode penyuluhan termasuk kategori sedang atau lebih baik di Desa Pulokencana dibandingkan di Desa Sukanegara. (4) Persepsi responden terhadap kompetensi PPL yaitu kompetensi kepribadian, andragogik, profesional, maupun sosial di Desa Pulokencana lebih baik dibandingkan di Desa Sukanegara. (5) Kesertaan responden dalam pelatihan usahatani mempengaruhi persepsinya terhadap kompetensi PPL. Semakin tinggi kesertaannya dalam pelatihan usahatani, semakin baik persepsinya terhadap kompetensi PPL. (6) Secara umum pada kedua desa, karakteristik usahatani responden tidak mempengaruhi persepsinya terhadap kompetensi PPL. Namun, petani dengan status lahan pemilik-penyewa memiliki persepsi yang baik terhadap kompetensi profesional dan sosial PPL. Begitu pula dengan petani yang memiliki akses yang tinggi terhadap lembaga keuangan memiliki persepsi yang baik terhadap kompetensi PPL.
101
(7) Persepsi responden terhadap kualitas penyuluhan baik intensitas, materi, maupun metode penyuluhan menentukan persepsinya terhadap kompetensi PPL. Semakin baik persepsi responden terhadap kualitas penyuluhan baik intensitas, materi, maupun metode penyuluhan, semakin baik persepsinya terhadap kompetensi PPL.
Saran
Persepsi petani terhadap kompetensi PPL di Kecamatan Pontang relatif secara umum masih rendah, maka PPL perlu meningkatkan kompetensinya agar dapat memfasilitasi yang lebih baik kepada petani. Secara rinci, saran yang diberikan kepada pemangku jabatan terkait (stakeholder) adalah: (1) Untuk individu dan lembaga penyuluh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kompetensi PPL masih belum maksimal, maka diperlukan pembinaan kepada penyuluh oleh instansi terkait seperti BPKP, BPTP, dan lembaga lainnya untuk meningkatkan kesadaran akan kebutuhan kompetensinya dan juga perlunya membenahi mekanisme perekrutan tenaga penyuluh di masa mendatang. (2) Untuk Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait. Diperlukan kebijakan yang memudahkan pemberian kredit kepada para petani dengan mekanisme pembinaan terstruktur. Akses petani terhadap kredit produktif perlu diperluas dan adanya informasi yang memadai tentang prosedur dan pendampingan penggunaan kredit tersebut (3) Untuk lembaga penelitian dan pengembangan. Mengingat penelitian ini baru tahap awal, maka untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif diperlukan penelitian lebih lanjut diantaranya yaitu: (1) mengkaji tentang pengembangan inovasi kompetensi PPL; dan (2) mengkaji strategi pemenuhan kebutuhan petani terutama untuk daerah-daerah yang masih lemah dalam pendampingan.
102
DAFTAR PUSTAKA Asngari PS. 1984. Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat Karesidenan dan Kepala Penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga Penyuluh Pertanian di Negara bagian Texas Amerika Serikat. Media Peternakan Vol 9 No. 2 Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [BPP Kecamatan Pontang] Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Pontang. Programa Penyuluhan Pertanian Kecamatan Pontang. 2011. Serang. [BPS Serang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang. 2009. Banten dalam Angka. Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang. [BPS Banten] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2011. Produksi Padi, Jagung dan Kedelai (Angka Sementara 2010 dan Angka Ramalan 2011). No. 12/03/36/Th.V, 1 Maret 2011. Banten: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. [BIPP Serang] Balai Informasi Penyuluhan Pertanian Kabupaten Serang. 2008. Programa Penyuluhan Pertanian Kabupaten Serang. Serang: BIPP Serang. Departemen Pertanian. 2005. Naskah Akademik Sistem Penyuluhan Pertanian. www.deptan.go.id/bpsdm/naskah_akademik.pdf. Departemen Pertanian. 2011. Modul Pendidikan dan Pelatihan Penyuluh Pertanian. www.deptan.go.id/bpsdm/stpp-magelang/download/terampil_metode.pdf. Departemen Pertanian. 2010. Tupoksi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Badan Pengembangan SDM Pertanian. De Vito JA. 1997. Komunikasi Antarmanusia; Kuliah Dasar. Alih Bahasa Agus Maulana. Jakarta: Profesional Books. Hubeis AV et al. 1998. Pemodelan Revitalisasi Kelembagaan Penyuluhan Pertanian. Laporan Akhir Pemberdayaan Masyarakat Tani Menuju Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Kerjasama Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Pertanian dan Departemen Koperasi, PKM. Hubeis AV, Wahyudi R, Prabowo T. 1992. Peranan Penyuluhan Menjelang Era Tinggal Landas. Penyuluhan Pembangunan Indonesia: Menyongsong Abad XXI. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.
103
Kerlinger FN. 1990. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kompasiana. 2011. Peran Banten dalam Pencapaian Surplus Padi Nasional. www.ekonomi.kompasiana.com. Leavitt HJ. 1978. Managerial Psychology. Fourth Edition. The University Of Chicago. Lestari SB et al. 2001. Manajemen dan Komunikasi Penyuluhan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Mar’at. 1981. Sikap dan Perubahannya beserta Pengukurannya. Bandung: Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Mardikanto T. 2007. Pengantar Ilmu Pertanian: untuk Mahasiswa dan Peminat Pertanian. Surakarta: Pusat Pengembangan Agrobisnis dan Perhutanan Sosial (PUSPA). Mardikanto T. 2010a. Konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Mardikanto T. 2010b. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Marius JA. 2007. Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marliati, Sumardjo, Pang SA, Prabowo T, Asep S. 2008. Faktor-faktor Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani: Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Penyuluhan 2: 98. Mosher AT. 1991. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta: CV Yasaguna. Murfiani F, Amri J. 2006. Kompetensi Penyuluh dalam Pengembangan Modal Agribisnis Kecil, di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan; 2: 11. Nuryanto BG. 2008. Kompetensi Penyuluh dalam Pembangunan di Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pedoman Pelaksanaan Sertifikasi Profesi Penyuluh Pertanian. 2010. www.deptan.go.id/pengumuman/Sertifikasi_penyuluh/pedumsertifikasi.pdf.
104
Peraturan Menteri Pertanian No. 61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta. 2008. www.deptan.go.id/bppsdmp/images/download/permentan61.pdf. Prihadi SF. 2004. Assessment Centre: Identifikasi, Pengukuran, Pengembangan Kompetensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
dan
Puspadi K. 2003. Kualitas SDM Penyuluh Pertanian dan Pertanian Masa Depan di Indonesia. Di dalam: Ida Y dan Adjat S, editor. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Putra, IGSA. 2005. Masalah-masalah Penyuluhan Pertanian. Jurnal Penyuluhan 1: 57. Rakhmat D. 2000. Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius. [RDKK Desa Pontang] Rencana Definitif Kegiatan Kelompok Tani Desa Pontang, Kecamatan Pontang, 2011. Serang. [RDKK Desa Sukanegara] Rencana Definitif Kegiatan Kelompok Tani Desa Sukanegara, Kecamatan Pontang, 2011. Serang. Rogers EM., F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovation. New York: The Free Press; A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. Rogers EM. 1995. Diffusion of Innovation. Edisi Ke-4. New York, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: The Free Press. Rusmono M. 2008. Urgensi Sertifikasi dalam Pengembangan Kompetensi dan Profesionalisme Penyuluh Pertanian. Di dalam: Siti Amanah et al., editor. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat: Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan dan Urgensi Kelembagaan Sertifikasi. Prosiding Sarasehan Nasional Penyuluhan Pembangunan; Bogor, 01 April 2008. Bogor: Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB. Sarker MA, Y. Itohara. 2009. Persepsi Petani tentang Layanan Penyuluhan dan Penyuluh Lapang: Kasus Program Penyuluhan Pertanian Organik oleh PROSHIKA. American Journal of Agricultural and Biological Sciences 4 (4): 332-337. Setiana L. 2005. Teknik Penyuluhan Pertanian dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia. Siegel S. 1992. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Singarimbun M, Effendi S. 2008. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
105
Slamet M. 2003a. Memantapkan Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Di dalam: Ida Y dan Adjat S, editor. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Slamet M. 2003b. Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. Di dalam: Ida Y dan Adjat S, editor. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Sobur A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Penerbit Pustaka Setia. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Spencer LM, Signe MS. 1993. Competence at Work: Model for Superior Performance. New York: John Wiley dan Sons Inc. Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sumardjo. 2000. Kelembagaan dan Koordinasi Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultur dalam Membangun Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Prosiding. Diskusi Pakar: Arah Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura. Bogor: Kerjasama Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dengan Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura Departemen Pertanian. Sumardjo. 2009. Peningkatan Kapasitas Modal Sosial dan Kualitas Pendamping Pengembangan masyarakat berkelanjutan. Di dalam Hubeis et al., editor. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Pembangunan Mendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Kerangka Pengembangan Masyarakat. Penyunting (Ed.) Bogor: FORKAPI. Sumardjo. 2010. Penyuluhan Menuju Pengembangan Kapital Manusia dan Kapital Sosial dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Orasi Ilmiah Guru Besar dalam Rangka Dies Natalis IPB ke 47. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Syahyuti et al. 1999. Kajian Kelembagaan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Nasional. Di dalam Erizal et al., editor. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Taryoto AH et al. 2001. Penyelenggaraan dan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian: Kondisi Masa Transisi. Bahan Praktikum Dasar-dasar Penyuluhan pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thoha M. 1999. Perilaku organisasi. Bandung: Rosdakarya.
106
Tjitropranoto P. 2003. Penyuluhan Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan. Di dalam: Ida Y dan Adjat S, editor. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. 2006. www.feati.deptan.go.id/dokumen/uu_sp3k.pdf. Van den Ban AW, H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
107
Lampiran 1. Peta Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang
108
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian
Kode Responden :
KUESIONER PENELITIAN PERSEPSI PETANI TERHADAP KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN (Kasus: Petani Kabupaten Serang)
Nama
:
Alamat
:
Kelompok Tani
:
Tanggal wawancara
:
Pewawancara
:
SEKOLAH PASCASARJANA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
109
I.
Karakteristik Pribadi Petani Responden 1.1. Nama 1.2. Usia Tahun 1.3. Tahun tingkat (a) Tidak bersekolah pendidikan formal (b) Lulus SD atau sederajat/tdk lulus SD kelas ..... (c) Lulus SMP atau sederajat/tdk lulus SMP kelas ..... (d) Lulus SMA atau sederajat/tdk lulus SMA kelas..... (e) Lulus Perguruan Tinggi/tdk lulus PT tingkat ..... 1.4. Alamat No. Telp/Hp : 1.5. Nama kelompok tani 1.6. Jumlah anggota kelomp. tani 1.7. Kedudukan dalam kelompok tani 1.8. Menjadi anggota kelompok sejak tahun 1.9. 1. Pekerjaan utama 1. 2. Pekerjaan lainnya 2. 3. 1.10. 1. Komoditas utama yang ditanam 1. 2. 2. Komoditas bukan utama yang ditanam 1. 2. 1.11. Jumah tanggungan ........ orang
II. Kesertaan dalam Pelatihan Usahatani 2.1. Kegiatan Pelatihan/kunjungan lapang/magang dalam 2 tahun terakhir No. Nama Penyelenggara Tempat dan Lama Materi yang Pelatihan/kunjungan Pelaksanaan dibahas lapang/magang (jam/hari/bulan) 1. 2. 3. 4. III. Pengalaman Usahatani No. Variabel/indikator 3.1. Lama usahatani 3.2. Kemampuan mengenali kendala/hambatan teknis 3.3.
Kemampuan menyelesaikan masalah dalam usahatani
Jawaban …………………… tahun (1) Terbatas (2) Kadang-kadang mampu (3) Tinggi (1) Terbatas (2) Mencari bantuan sendiri (3) Sudah memiliki kelompok/jaringan
IV. Karakteristik Usahatani Petani Responden No. Variabel/indikator Pertanyaan 4.1. Luas lahan Luas lahan yang digarap adalah 4.2. Status kepemilikan Lahan yang Bapak/Ibu lahan gunakan:
Jawaban ...................................... m2 (2) sendiri ……....……. m2 (1) sewa/gadai...……….m2
110
No. Variabel/indikator 4.3 Aksesibilitas lembaga keuangan
Pertanyaan a. Darimana modal usahatani yang Bapak/Ibu kelola? b. Apakah lembaga keuangan (bank) setempat menyediakan fasilitas permodalan? c. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana tingkat kemudahan mendapatkan permodalan selama ini?
4.4. Aksesibilitas Saprodi No. Jenis Saprodi
Bibit/benih Pupuk
3.
Obat/pestisida/fungisida/herbisida Pakan ternak
4.
4.5. Aksesibilitas Pasar No. Jenis Hasil Usahatani
Padi Bebek
3.
Telor
Kelompok Toko/ Pasar Tengkulak
Penjualan ke: Kelompok
1. 2.
(4) sangat mudah (3) mudah (2) sulit (1) sangat sulit
Sumber Saprodi Sendiri
1. 2.
Jawaban ( ) sendiri ( ) pinjam, dari .................. ( ) bantuan, dari ................ (2) ya, sumber............................. (1) tidak
Pasar
Tengkulak
V. Persepsi Petani Responden terhadap Kualitas Penyuluhan No. Variabel/ Pertanyaan Jawaban indikator 5.1. Intensitas Berapa kali dalam enam bulan (2) ……….kali penyuluhan kegiatan penyuluhan dilakukan di (1) tidak pernah dalam kelompok? 5.2. Materi a. Materi apa saja yang diberikan • ..................................... Penyuluhan oleh penyuluh? • ………………………. • ……………………..... b. Bagaimana minat Bapak/Ibu dengan materi yang selama ini diberikan oleh penyuluh?
(4) sangat berminat (3) berminat (2) kurang berminat (1) tidak berminat Alasan: ………………
111
No.
Variabel/ indikator
Pertanyaan
Jawaban
c. Bagaimana kemudahan materi penyuluhan untuk diterapkan di lapang?
(4) sangat mudah dimengerti (3) mudah dimengerti (2) kurang mudah dimengerti (1) tidak mudah dimengerti (4) sangat bermanfaat (3) bermanfaat (2) kurang bermanfaat (1) tidak bermanfaat
d. Bagaimana keseluruhan materi penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh selama ini?
5.3. Metode penyuluhan Metode penyuluhan apa yang digunakan selama ini (Checklist (√) jawaban berikut!) No. Jenis Metode Metode Penyuluhan yang digunakan (jawaban bisa lebih dari satu) a. Personal ( ) Kunjungan rumah
b.
c.
Kelompok
Massa
(
) Kunjungan usahatani
( ( ( ( ( ( ( (
) Kunjungan kantor ) Surat menyurat ) ……………. ) Magang ) Kursus tani ) Demonstrasi cara ) Demonstrasi hasil ) Pameran
(
) …………….
( (
) ……………. ) Surat kabar
( ( ( ( (
) Majalah ) Radio ) Televisi ) ……………. ) ......................
d. Alat bantu pembelajaran apa yang digunakan selama ini (Checklist (√) jawaban berikut!) Alat bantu yang digunakan dalam kegiatan Tingkat Kemudahan pembelajaran (jawaban bisa lebih Sangat Sulit Mudah Sangat dari satu) Sulit Mudah ( ) Surat kabar (
) Majalah
(
) Radio
(
) Papan tulis/papan tempel
112
Alat bantu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran (jawaban bisa lebih dari satu) ( ) Kurikulum (
) Brosur
( ( ( ( ( ( (
) Leaflet ) Poster ) OHP ) Slide film ) Internet ) Handphone ) ………………….
Tingkat Kemudahan Sangat Sulit Mudah Sangat Sulit Mudah
e. Bagaimana penggunaan variasi metode penyuluhan yang telah digunakan penyuluh selama ini? (4) sangat baik (3) baik (2) kurang baik (1) tidak baik VI. Persepsi Petani Responden terhadap Kompetensi Penyuluh No. Pernyataan SS 6.1 Kompetensi Kepribadian a. Penyuluh meluangkan waktunya untuk membantu Bapak/Ibu dalam berusahatani. b. Penyuluh memberikan contoh yang baik bagi petani. c. Penyuluh memiliki kepemimpinan yang tinggi. d. Penyuluh berperilaku santun kepada Bapak/Ibu. e. Penyuluh sabar mendengarkan keluhan Bapak/Ibu. f. Penyuluh disiplin dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian. g. Penyuluh dapat dipercaya. h. Penyuluh bertanggung jawab terhadap tugasnya. i. Penyuluh dekat dengan bapak/Ibu. j. Penyuluh memberikan kesempatan kepada Bapak/Ibu untuk mengemukakan pendapat. 6.2. Kompetensi Andragogik a. Penyuluh mampu mengidentifikasi kebutuhan Bapak/Ibu. b. Penyuluh menjelaskan pengetahuan dan informasi baru usahatani dengan tidak menggurui.
S
TS
STS
113
No.
6.3.
6.4.
Pernyataan c. Penyuluh memperbaiki/membuat terobosan usahatani Bapak/Ibu menjadi lebih baik (mis. Pola tanam, pemeliharan, dll). d. Penyuluh menganggap Bapak/Ibu sebagai rekan kerja. e. Penyuluh melibatkan petani dalam menyusun program penyuluhan pertanian. f. Perumusan kebutuhan Bapak/Ibu telah tercantum di dalam program penyuluhan. g. Penyuluh melaksanakan kegiatan sesuai dengan program penyuluhan pertanian. h. Penyuluh secara rutin melakukan penilaian terhadap rencana program penyuluhan. i. Penyuluh mampu menilai keberhasilan program penyuluhan pertanian. j. Penyuluh memberi masukan tentang kiatkiat/strategi mengelola waktu dan dana secara efektif dan efisien. Kompetensi Profesional a. Penyuluh mampu menyadarkan kebutuhan belajar Bapak/Ibu. b. Penyuluh mampu merencanakan kegiatan pembelajaran yang menarik dan mudah dimengerti. c. Penyuluh menggunakan cara-cara belajar yang menarik dan mudah dimengerti. d. Penyuluh mampu mengembangkan minat belajar Bapak/Ibu. e. Penyuluh menguasai materi penyuluhan dengan baik. f. Penyuluh mengenali wilayah kerjanya dengan baik. g. Penyuluh mampu menganalisis masalah di wilayah kerjanya. h. Penyuluh mengembangkan organisasi SDM (kelompok tani) Bapak/Ibu. i. Penyuluh mengembangkan kemampuan kewirausahaan Bapak/Ibu. Kompetensi Sosial a. Berbicara dengan penyuluh mudah dimengerti dan menyenangkan. b. Dalam berkomunikasi penyuluh menggunakan bahasa yang mudah dimengerti petani c. Penyuluh melayani kebutuhan pertanian Bapak/Ibu
SS
S
TS
STS
114
No.
Pernyataan SS S TS d. Penyuluh merupakan mitra/rekan kerja. e. Penyuluh mampu bekerjasama dengan Bapak/Ibu. f. Penyuluh mampu membaur dengan masyarakat setempat g. Penyuluh membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di kelompok tani h. Penyuluh mampu mengembangkan rasa kesetiakawanan dalam kelompok Bapak/Ibu. i. Penyuluh mampu mengembangkan rasa rasa saling mempercayai dalam kelompok. Ket: SS: Sangat Setuju, S: Setuju, TS: Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju
STS
Pertanyaan Terbuka No. 1.
Pertanyaan Bagaimana kesan Bapak/Ibu terhadap kegiatan penyuluhan yang sudah berjalan selama ini? Jawab:
2.
Bagaimana keterlibatan Bapak/Ibu selama ini dalam kegiatan penyuluhan pertanian? Jawab:
3.
Bagaimana tanggung jawab penyuluh dalam melaksanakan tugasnya? Jawab:
4.
Bagaimana kemampuan penyuluh dalam memperbaiki usahatani Bapak/Ibu? Jawab:
5.
Bagaimana kemampuan penyuluh dalam memecahkan masalah yang Bapak/Ibu hadapi? Jawab:
6.
Bagaimana kesan Bapak/Ibu ketika bekerjasama dengan penyuluh? Jawab:
115
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Lahan sawah di Kecamatan Pontang
Gambar 2. Kegiatan penyuluhan FEATI di Desa Pulokencana