PERSEPSI IBU TENTANG LABEL MAKANAN KEMASAN ANAK SEKOLAH DASAR
Efrina Ginting
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ii
ABSTRACT EFRINA GINTING. Mother Perception about Label food of Elementary Students. Guided by LILIK KUSTIYAH and LILIK NOOR YULIATI. The objectives of this research are to evaluate packaged food purchase of elementary students and to analyze the relationship of independent variables and the dependent variable. This research is done in North Jakarta and executed at March 2005. The location of this research is chosen by purposive sampling. The samples of this research are mother of elementary students at Nurul Iman North Jakarta from class 4, 5, and 6 (40 samples). The data about packaged food purchase of elementary students has acquired by questionnaire which has carried out by themselves and the data about independent variables and dependent variable has acquired by questionnaire with interview procedure. The data which has been collected is tabulated and analyzed descriptively and the other statistically by using Microsoft Excel and SPSS version 10.0 program for window. The relationship between independent variables and dependent variable are analyzed by using Spearman test. There are significant relationship (α=0,05) between education attainment and perception of label (r=0,375, p=0,017), food expenditure and perception of label (r=-0,366, p=0,020) also knowledge and perception of label (r=0,321, p=0,043).
ii
i
ABSTRAK EFRINA GINTING. Persepsi Ibu tentang Label Makanan Kemasan Anak Sekolah Dasar. Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH dan LILIK NOOR YULIATI. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji persepsi tentang label makanan kemasan anak sekolah dasar. Adapun tujuan khususnya adalah untuk mengkaji karakteristik sosial-ekonomi, pengetahuan tentang label makanan kemasan, sumber informasi tentang produk makanan kemasan, persepsi tentang label makanan kemasan, menganalisis hubungan antara karakteristik sosialekonomi dan pengetahuan tentang label makanan kemasan dengan persepsi tentang label makanan kemasan dan menganalisis hubungan antara sumber informasi tentang produk makanan kemasan dengan persepsi tentang label makanan kemasan. Penelitian ini dilakukan di Jakarta Utara dan dilaksanakan pada bulan Maret 2005. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu pendahuluan dan lanjutan. Jumlah populasi pada penelitian ini diperhitungkan berdasarkan jumlah murid kelas 4, 5 dan 6 Sekolah Dasar Nurul Iman yang ditentukan secara purposive sampling. Jumlah murid tersebut adalah sebanyak 124 orang dengan perincian jumlah murid pada kelas 4, 5 dan 6 berturut-turut yaitu sebanyak 40, 40 dan 44 orang (total=31-37 orang). Untuk mengantisipasi adanya drop-out, maka jumlah contoh (ibu dari murid) adalah sebanyak 40 orang. Untuk memperoleh data mengenai kebiasaan makan, jumlah murid yang diwawancara adalah sebanyak 40 orang yang ditentukan secara acak. Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan statistik lainnya menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS versi 10.0 for window. Pada penelitian pendahuluan, analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menghitung sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan (jenis dan frekuensi) di rumah dan di sekolah. Pada penelitian lanjutan, analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menghitung sebaran contoh berdasarkan kelompok usia, lama pendidikan, jenis pekerjaan, besar keluarga, pendapatan per kapita per bulan, pengeluaran per kapita per bulan untuk pangan, pengetahuan tentang label makanan kemasan, sumber informasi tentang produk makanan kemasan dan persepsi tentang label makanan kemasan. Analisis data tersebut dilakukan untuk mengetahui gambaran umum faktor internal, faktor eksternal dan persepsi tentang label makanan kemasan. Hubungan antara faktor internal, faktor eksternal dan persepsi tentang label makanan kemasan dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman pada taraf 0,05. Anak lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan yang dijual tanpa kemasan dibandingkan dengan makanan kemasan. Sebanyak 39 macam makanan jajanan non kemasan dan sebanyak 18 macam makanan kemasan yang dikonsumsi oleh anak di rumah. Begitu pula di sekolah, sebanyak 21 macam makanan non kemasan dan 12 macam makanan kemasan yang dikonsumsi anak. Makanan kemasan yang dikonsumsi anak di rumah pada frekuensi ≥5X/minggu yaitu mie instant (makanan utama), biskuit dan chiki (snack) dan susu (minuman), sedangkan di sekolah yaitu mie instant (makanan utama), permen (snack) dan minuman instant (minuman). Makanan non kemasan yang dikonsumsi anak di rumah pada frekuensi ≥5X/minggu yaitu nasi lauk (makanan utama), bakwan dan chicken (gorengan), roti (kue basah), buah (makanan sepinggan) dan aneka es i
ii (minuman), sedangkan di sekolah yaitu nasi uduk (makanan utama), tempe goreng (gorengan), cimol (kue basah), somay (makanan sepinggan) dan aneka es (minuman). Contoh berada pada kisaran usia 35-39 tahun dengan lama pendidikan formal yang pernah ditempuh yaitu 9-11 tahun atau setingkat SMP dan contoh merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Pendapatan per kapita per bulan contoh yaitu sebesar Rp 69.198,2-Rp 476.110,7. Contoh memiliki pengeluaran per kapita per bulan yang digunakan untuk makan yaitu sebesar Rp 28.796,3 - Rp 228.639. Mayoritas contoh (55,0%) memiliki pengetahuan yang kurang mengenai label makanan kemasan. Sumber informasi terbanyak yang mempengaruhi contoh mengenai produk makanan kemasan adalah iklan. Contoh paling banyak (47,5%) memiliki persepsi dengan kategori sedang. Hasil uji statistik korelasi Spearman pada taraf 0,05 menunjukkan adanya hubungan yang positif nyata (r=0,375, p=0,017) antara lama pendidikan dan persepsi tentang label makanan kemasan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi lama pendidikan yang dimiliki contoh, maka semakin baik persepsi tentang label makanan kemasan. Sebaliknya, semakin rendah lama pendidikan yang dimiliki contoh, maka semakin buruk persepsi tentang label makanan kemasan. Hubungan yang negatif nyata (r=-0,366, p=0,020) terjadi antara pengeluaran per kapita per bulan yang digunakan untuk pangan dan persepsi tentang label makanan kemasan. Hal ini berarti bahwa semakin rendah pengeluaran per kapita per bulan yang digunakan contoh untuk pangan, maka semakin baik persepsi tentang label makanan kemasan. Sebaliknya, semakin tinggi pengeluaran per kapita per bulan yang digunakan untuk pangan, maka semakin rendah persepsi tentang label makanan kemasan. Hubungan antara pengetahuan dengan persepsi tentang label makanan kemasan juga menunjukkan hubungan yang positif nyata (r=0,321, p=0,043), dengan kata lain, semakin baik pengetahuan yang dimiliki contoh tentang label makanan kemasan, maka semakin baik persepsi tentang label makanan kemasan. Sebaliknya, semakin kurang pengetahuan tentang label makanan kemasan, maka semakin buruk persepsi tentang label makanan kemasan.
ii
iii
PERSEPSI IBU TENTANG LABEL MAKANAN KEMASAN ANAK SEKOLAH DASAR
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Efrina Ginting A05400075
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 iii
iv JUDUL
:
NAMA NRP
: :
PERSEPSI IBU TENTANG LABEL MAKANAN KEMASAN ANAK SEKOLAH DASAR Efrina Ginting A05400075
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si NIP. 131669945
Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA NIP. 131861465
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130422698
Tanggal Lulus: 06 Februari 2006
iv
v
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini tercapai atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si dan Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA selaku dosen pembimbing skripsi atas masukan dan bimbingannya selama penulisan skripsi ini. 2. Ibu Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA yang juga selaku dosen pemandu seminar. 3. Saudari Tria Anggita dan Shinta Monica Permana yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar. 4. Bapak Dwi Suwarno, S.Pd selaku Kepala Sekolah Dasar Nurul Iman dan seluruh siswa kelas 4, 5 dan 6 atas kerjasamanya. 5. Bapak Ugan dan Mas Rena atas kelancaran administrasi serta dukungannya. 6. Ayah, Ibu, Tata, Tina, Ayu Zur, Om Izal, Bang Alex juga keponakanku tersayang serta seluruh keluarga atas segala kasih sayang dan doanya untuk keberhasilan penulis. 7. Fakhmi Amrosi, S.Si yang selalu memberikan semangat, dukungan dan keceriaan bagi penulis. 8. Teman-teman seangkatan (Madha, Dewi, Farisa, Nani, Wulan, Wuri, Icha, Rani, Agri, Wiwi, Christian, Rahma dan Darti) atas bantuan dan dukungan yang tiada henti-hentinya, serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat menjadi tambahan
pustaka yang bermanfaat. Bogor, Februari 2006 Penulis
v
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 September 1982. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Sahat Ginting dan Ibu Yenny Ermayanty. Pendidikan formal penulis diawali pada tahun 1988 di SD Islam Teladan Nurul Falah Jakarta Utara dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 266 Jakarta Utara dan lulus pada tahun 1997 dan pada tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 52 Jakarta Utara. Penulis diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000 melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
vi
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
x
PENDAHULUAN Latar Belakang ...............................................................................
1
Tujuan ............................................................................................
3
Kegunaan .......................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA Pangan ............................................................................................
4
Makanan Jajanan ............................................................................
5
Makanan Kemasan .........................................................................
7
Label Makanan ...............................................................................
8
Pengetahuan ...................................................................................
10
Pendidikan ......................................................................................
11
Pekerjaan ........................................................................................
13
Besar keluarga ................................................................................
13
Pendapatan dan Pengeluaran ...........................................................
13
Sumber Informasi ...........................................................................
15
Persepsi ..........................................................................................
16
Konsumsi Pangan ...........................................................................
17
KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................................
18
METODE Desain, Tempat dan Waktu .............................................................
20
Cara Pengambilan Contoh ..............................................................
20
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ..................................................
21
Pengolahan dan Analisis Data .........................................................
21
Definisi Operasional .......................................................................
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi ..................................................................
25
Kebiasaan makan anak ...................................................................
26
vii
viii Faktor Internal Karakteristik Sosial-ekonomi .................................................
29
Pengetahuan tentang label makanan kemasan .........................
32
Faktor Eksternal Sumber Informasi ..................................................................
35
Persepsi tentang Label Makanan Kemasan ......................................
36
Hubungan antara faktor internal, faktor eksternal dan persepsi tentang label makanan kemasan ........................................
39
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ........................................................................................
42
Saran ..............................................................................................
44
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
45
viii
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1
Variabel, pengelompokan data, jenis data dan referensi .....................
23
2
Distribusi contoh dan suami berdasarkan usia ....................................
29
3
Distribusi contoh dan suami berdasarkan lama pendidikan ................
30
4
Distribusi contoh dan suami berdasarkan pekerjaan utama .................
30
5
Distribusi contoh berdasarkan besar keluarga ....................................
31
6
Distribusi contoh berdasarkan pendapatan per kapita per bulan ..........
31
7
Distribusi contoh berdasarkan garis kemiskinan ................................
31
8
Distribusi contoh berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan untuk pangan .....................................................................................
32
9
Distribusi contoh berdasarkan pengetahuan tentang label makanan kemasan .....................................................................
33
10 Distribusi contoh berdasarkan jawaban atas masing-masing pertanyaan mengenai pengetahuan tentang label makanan kemasan .......................
34
11 Distribusi contoh berdasarkan sumber informasi tentang produk makanan kemasan ..................................................................
35
12 Distribusi contoh berdasarkan persepsi terhadap label makanan kemasan .....................................................................
36
13 Distribusi contoh berdasarkan kategori penilaian atas masing-masing pernyataan mengenai persepsi tentang label makanan kemasan .........
37
ix
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Distribusi anak contoh berdasarkan jenis dan frekuensi konsumsi makanan kemasan di rumah dan di sekolah .......................
49
2
Distribusi anak contoh berdasarkan jenis dan frekuensi konsumsi makanan non kemasan di rumah dan di sekolah .................
50
3
Hasil uji korelasi Spearman antar variabel dengan persepsi contoh tentang label makanan kemasan ...............................
51
x
PENDAHULUAN Latar Belakang Peran label pada produk pangan sangat penting. Label yang baik dan benar akan memudahkan konsumen dalam pemilihan produk yang diperlukannya. Selain itu, label juga berperan sebagai sarana pendidikan pada masyarakat dan dapat memberikan nilai tambah pada produk. Semakin bertambahnya kompetitor produk, label dapat menjadi strategi menarik dalam pemasaran, namun label dapat juga menjadi pesan yang menyesatkan (Karmini & Briawan 2004). Konsumen dapat menggunakan label makanan kemasan sebagai sumber informasi utama mengenai makanan kemasan, sehingga konsumen mempunyai sarana untuk memberi penilaian sekaligus menjatuhkan sanksi bagi produk-produk yang tidak memenuhi syarat. Oleh karena itu, pelabelan diharapkan dapat menjadi perangkat efektif pengendali mutu dan keamanan pangan. Pola makan anak pada dasarnya dapat dipengaruhi oleh keluarganya. Orang tua dapat mengontrol dan menasehati makanan yang seharusnya dikonsumsi dan sebaiknya dihindari anak bila orang tua dapat memperhatikan pola makan anak (Khomsan 2002). Kebiasaan jajan pada anak sekolah dasar memang sulit dihindari karena berbagai alasan, diantaranya anak tidak sempat atau tidak mau makan di rumah terutama sarapan, padahal sarapan sangat berperan dalam penyediaan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula darah ini penting untuk menjaga konsentrasi otak, sehingga bila kadar gula darah mengalami penurunan maka gairah dan konsentrasi belajar juga akan menurun. Selain itu, pada umumnya anak sekolah dasar mendapat uang saku dari orang tua, sehingga anak menganggap bahwa orang tua memberikan uang saku tersebut kepada anak dengan tujuan untuk dipakai jajan. Aktivitas fisik anak juga ikut mempengaruhi jajan anak. Aktivitas fisik anak yang tinggi di sekolah mengakibatkan anak perlu jajan walaupun sudah makan di rumah. Jajan bukan saja dilakukan anak di sekolah melainkan sering juga dilakukan di rumah. Makanan jajanan bisa disiapkan sendiri oleh anak ataupun orang tua khususnya
ibu,
karena
pada
umumnya
ibu
merupakan
individu
yang
bertanggungjawab atas pengelolaan pangan bagi keluarga dalam rumah tangga. Orang tua yang memilih menyajikan makanan jajanan bagi keluarganya disebabkan
2 karena orang tua bekerja dan tidak punya cukup waktu untuk menyiapkan makanan buatan sendiri. Selain itu, ibu seringkali tidak mau repot menyiapkan makanan buatan sendiri karena membutuhkan waktu yang cukup lama. Makanan jajanan dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap kelompok konsumen tertentu yang pada umumnya tidak mempunyai cukup waktu untuk makan di rumah seperti pelajar, mahasiswa, buruh dan karyawan. Selain itu, anak dapat mengenal beragam makanan yang dijual di sekolah, sehingga jajan dapat membantu anak untuk membentuk selera makan yang beragam dan pada saat dewasa, anak dapat menikmati beragam makanan. Dilain pihak, makanan jajanan yang dijual para pedagang umumnya masih rendah dalam hal mutu mikrobiologi dan kimiawi. Makanan jajanan sering tidak disiapkan secara higienis begitu pula di tempat berjualan yang biasanya dibiarkan terbuka dan dapat terkontaminasi serangga, polusi debu dan asap knalpot kendaraan. Di samping itu, pedagang sering menambahkan bahan berbahaya pada makanan jajanan, sehingga cepat atau lambat akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Makanan kemasan merupakan makanan jajanan yang banyak digemari segala usia khususnya anak sekolah dasar. Ketersediaan makanan kemasan yang cukup banyak di lingkungan rumah dan sekolah mengakibatkan makanan kemasan semakin mudah diperoleh anak.
Makanan kemasan menawarkan
beragam jenis, rasa dan bentuk yang disukai anak, sehingga anak tergiur untuk mencobanya.
Makanan kemasan juga mudah disiapkan dan digunakan serta
tersedia dengan berbagai ukuran yang dapat disesuaikan menurut kebutuhan, sehingga membuat ibu juga senang mengkonsumsi dan menyajikan makanan kemasan bagi keluarga. Pada umumnya anak belum memiliki perhatian yang lebih terhadap kemanan makanan jajanan yang dikonsumsi, sehingga anak mengkonsumsi makanan kemasan tanpa memperhatikan label makanan kemasan. Oleh sebab itu, peran ibu sangat penting dalam mengontrol dan menasehati makanan yang seharusnya dikonsumsi dan sebaiknya dihindari anak.
Ibu sebagai pengelola
makanan keluarga sebaiknya lebih selektif dalam memilih makanan jajanan yang akan disajikan bagi keluarga. Sebagai konsumen, ibu juga harus lebih kritis terhadap makanan jajanan yang dibeli walaupun keamanan makanan jajanan
2
3 sepenuhnya adalah tanggungjawab produsen dan distributor.
Sikap kritis ibu
dapat ditunjukkan dari perhatiannya terhadap label makanan kemasan, sehingga ibu yang memiliki perhatian yang baik terhadap label akan tercermin dari makanan kemasan yang dikonsumsi anak.
Adanya harapan akan keamanan
makanan kemasan yang dikonsumsi anak juga merupakan salah satu permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan informasi yang terdapat pada label makanan kemasan. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana persepsi ibu tentang label makanan anak sekolah dasar. Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji persepsi ibu tentang label makanan kemasan anak sekolah dasar. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengkaji karakteristik sosial-ekonomi contoh. 2. Mengkaji pengetahuan contoh tentang label makanan kemasan. 3. Mengkaji sumber informasi tentang produk makanan kemasan. 4. Mengkaji persepsi contoh tentang label makanan kemasan. 5. Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial-ekonomi, pengetahuan, sumber informasi dan persepsi contoh tentang label makanan kemasan. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persepsi ibu tentang label makanan kemasan anak sekolah dasar kepada masyarakat. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam program penyuluhan gizi tentang label makanan kemasan di Sekolah Dasar Nurul Iman serta sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya.
3
4
TINJAUAN PUSTAKA Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan pemenuhan akan kebutuhan pangan merupakan hak asasi setiap orang, dengan demikian, pangan bagi penduduk harus tersedia setiap saat di mana saja penduduk membutuhkannya (Fardiaz & Fardiaz 2003). Hal serupa dinyatakan pula oleh Wirakartakusumah (2001) bahwa pangan adalah kebutuhan dasar bagi manusia dan pemenuhannya merupakan hak azasi setiap warga masyarakat, sehingga pangan harus tersedia dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, bergizi, beragam, dengan harga yang terjangkau oleh kemampuan daya beli masyarakat. Pangan yang tersedia bagi konsumen harus bermutu dan aman berdasarkan suatu standar, sehingga tidak membahayakan dan merugikan kesehatan konsumen. Penyelenggaraan
pangan
juga
harus
dilakukan
dengan
jujur
dan
bertanggungjawab untuk mencapai tujuan pembangunan yaitu mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pangan memiliki pengertian yang luas, mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia yang sehat dan produktif (keseimbangan kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, dan zat esensial lain) serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya seperti untuk kesenangan, kebugaran, kecantikan dan sebagainya. Jadi pangan tidak hanya berarti pangan pokok dan jelas tidak hanya berarti beras, melainkan pangan yang terkait dengan berbagai hal lain (Krisnamurthi 2003).
Harper, Deaton dan Driskel (1986)
mengemukakan bahwa pangan adalah bahan-bahan yang dimakan sehari-hari yang berguna untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan penggantian jaringan tubuh yang rusak. Pangan menyediakan unsur-unsur kimia tubuh yang dikenal sebagai zat gizi.
Zat gizi tersebut berfungsi
menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh.
4
5 Menurut den Hertog dan van Staveren (1983), diacu dalam Susanto (1989), pangan memiliki enam unsur fungsi sosial, yaitu: 1. Fungsi gastronomik. Makanan dikonsumsi dengan tujuan untuk memenuhi permintaan perut yang lapar selain itu makanan yang dicari umumnya yang memenuhi selera dan kesenangan orang yang mengkonsumsi. Pada umumnya kesenangan seseorang akan makanan berlandaskan pada dasar-dasar psikologis, budaya dan golongan etnik. 2. Bagian dari sistem budaya. Makanan dapat memberikan identitas pada individu, kelompok individu atau masyarakat yang mengkonsumsi makanan tersebut. 3. Fungsi religi dan magis. Pada masyarakat tertentu terdapat banyak sekali simbol religi dan magis yang dicerminkan melalui makanan tertentu dalam bebagai bentuk, rasa dan warna, misalnya nasi kuning, nasi tumpeng, bubur merah dan putih, ketan kuning yang biasa disediakan pada acara selametan. 4. Fungsi komunikasi. Komunikasi nonverbal dapat dicerminkan dalam bentuk makanan sebagai simbol keramahan-tamahan. 5. Fungsi status sosial-ekonomi. Hampir semua budaya masyarakat memiliki jenis makanan tertentu yang mencirikan simbol status sosial-ekonomi. Roti putih dipandang memberi status sosial-ekonomi lebih tinggi kepada konsumennya dibandingkan roti berwarna kecokelatan di Eropa, sedangkan di Indonesia, beras berwarna lebih putih mencirikan konsumennya termasuk golongan berstatus sosial-ekonomi lebih tinggi. 6. Simbol kekuasaan/kekuatan. Negara besar yang biasanya memberikan bantuan kepada negara miskin yang kekurangan pangan, sewaktu-waktu dapat menghentikan subsidi pangannya, hal ini terjadi karena negara yang dibantu tidak mendukung politik luar negeri negara besar tersebut. Makanan Jajanan Makanan memiliki arti yang luas dan pengertian tersebut berbeda-beda antar masyarakat.
Makanan bukan hanya memiliki arti sebagai pemenuh
5
6 kebutuhan terhadap rasa lapar atau mempertahankan kelangsungan hidup, tetapi juga memiliki arti lain yaitu sebagai simbol keramah-tamahan (Wardiatmo 1989). Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang menurut Maslow menduduki peringkat pertama dari sederet kebutuhan lain.
Setiap individu
membutuhkan sejumlah makanan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Oleh ekonom, makanan dijadikan indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Makanan merupakan bagian budaya yang sangat penting (Khomsan 2002). Makanan jajanan adalah makanan atau minuman yang dijual di tempat umum, terlebih dahulu telah dipersiapkan atau dimasak di tempat produksi, di rumah atau di tempat berjualan sehingga siap dimakan. Aspek positif dari makanan jajanan yaitu dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap kelompok konsumen tertentu yang pada umumnya tidak mempunyai cukup waktu untuk makan dirumah seperti pelajar, mahasiswa, buruh dan karyawan. Konsumsi makanan jajanan juga memiliki aspek negatif jika dilihat dari segi keamanannya. Makanan jajanan yang dijual para pedagang umumnya masih rendah dalam hal mutu mikrobiologi dan kimiawi (Fardiaz & Fardiaz 1992). Makanan jajanan sering tidak disiapkan secara higienis begitu pula di tempat berjualan, biasanya dibiarkan terbuka dan dapat terkontaminasi serangga, polusi debu dan asap knalpot kendaraan. Di samping itu, pedagang sering menambahkan bahan berbahaya pada makanan jajanan, sehingga cepat atau lambat akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Menurut Winarno (1997), makanan jajanan yang dikenal juga sebagai street foods, adalah makanan yang dijual di kaki lima, pinggir jalan, di stasiun, di pasar, maupun tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Makanan jajanan sangat bervariasi dalam jenis, bentuk, keperluan dan harga. Pada umumnya makanan jajanan dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu makanan utama (main dish), panganan atau snacks, minuman dan buah-buahan segar. Madanijah (1994) menyatakan bahwa bila makanan jajanan ditinjau dari segi mutu, pada umumnya belum memenuhi persyaratan kebersihan, rendah kandungan gizi dan banyak menggunakan bahan tambahan makanan untuk menambah cita rasa. Anak dapat menjadi kekurangan zat-zat gizi apabila kebiasaan jajan anak sekolah yang berlangsung lama, tanpa mengetahui makanan jajanan yang baik.
Makanan jajanan memberikan kontribusi yang nyata terhadap konsumsi
6
7 energi dan zat-zat gizi. Walaupun begitu, perlu diperhatikan pemilihannya terhadap konsumsi makanan yang bergizi, terjamin kesehatan dan kebersihannya. Makanan Kemasan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, “makanan dan minuman kemasan adalah makanan dan minuman hasil produksi perusahaan yang tergolong industri berskala besar dan tidak termasuk industri berskala kecil dan industri rumah tangga.” Tujuan pemberian tanda/label yaitu agar masyarakat mendapat informasi yang benar tentang isi dan asal bahan yang dipakai. Kemasan adalah alat penjual yang paling vital dalam pemasaran. Melalui kemasan suatu produk, terdapat gambaran yang jelas mengenai produk dalam pemikiran konsumen.
Kemasan dapat menarik perhatian konsumen
dengan memberikan penampakan visual yang menarik.
Perbedaan antara
produk yang sukses dengan produk yang gagal di pasaran dapat dilihat dari pengemasan yang dilakukan pada produk yang dihasilkan (Rosenberg 1977, diacu dalam Yuliana 2000). Kemasan berfungsi sebagai wadah dan melindungi produk yang dikemas. Namun, dalam perekonomian modern, fungsi kemasan telah sangat berkembang. Bagi produk pangan, pengemasan juga merupakan tayangan citra dan lambang kemajuan. Bagi konsumen, kemasan merupakan penampilan indah dari suatu produk pangan sekaligus harapan terpercaya akan isinya dan kejujuran dari produsennya. Pengemasan pangan juga perlu diwaspadai karena dapat dijadikan media mencari keuntungan oleh produsen, sehingga dapat merugikan konsumen dan dapat menghasilkan limbah sampah yang merugikan lingkungan (Soekarto 1990). Pengemasan
melibatkan
promosi
dan
pengamanan
produk.
Pengemasan dapat menjadi penting bagi produsen maupun konsumen. Pengemasan dapat membuat sebuah produk menjadi lebih tepat untuk digunakan atau dijual.
Pengemasan dapat mencegah produk dari adanya
gangguan atau kerusakan. Pengemasan yang baik dapat membuat produk lebih mudah dikenali atau menaikkan merk dalam penjualan dan bahkan dalam penggunaannya (Mc Carthy & Perreault 1990, diacu dalam Yuliana 2000).
7
8 Label Makanan Informasi tentang produk pada umumnya tertera pada label. Label dapat didefinisikan sebagai tulisan, tag, gambar atau pengertian lain yang tertulis, dicetak, distensil, diukir, dihias atau dicantumkan dengan cara apa pun, pemberi kesan yang terdapat pada suatu wadah atau pengemas (Wijaya 2001). Secara garis besar tujuan pelabelan adalah sebagai berikut: 1. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi kemasan tanpa harus membuka kemasan. 2. Memberi petunjuk yang tepat bagi konsumen sehingga diperoleh fungsi produk yang optimum. 3. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut, terutama hal-hal yang tak dapat diketahui secara fisik. 4. Sarana periklanan bagi produsen. 5. Memberi “rasa aman” pada konsumen. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 30 ayat 1, “setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.” Pada Pasal 30 ayat 2, “label memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah indonesia; keterangan tentang halal; tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa (Bulog 1999).” Menurut Wijaya (2001) kriteria penulisan label mencakup (a) Tulisan menggunakan huruf Latin atau Arab, (b) Ditulis dengan bahasa Indonesia dengan huruf Latin, (c) Ditulis jelas, lengkap, mudah dibaca (ukuran minimal 0,75 mm, dan warna kontras), (d) Tidak boleh mencantumkan segala hal baik kata, tanda, atau gambar yang menyesatkan, (e) Tidak boleh dicantumkan nasihat, referensi, pernyataan dari siapa pun dengan tujuan menaikkan penjualan. Ada pun isi label mencakup (a) Informasi yang harus dicantumkan pada label yaitu nama makanan/nama produk, komposisi atau daftar ingredient, isi netto, nama dan
8
9 alamat pabrik/importir, nomor pendaftaran, kode produksi, tanggal kadaluarsa, petunjuk atau cara penggunaan, petunjuk atau cara penyimpanan, nilai gizi, tulisan atau pernyataan khusus; (b) Pernyataan (claim) pada label dan periklanan yaitu pernyataan tentang gizi dan pernyataan tentang kondisi (obesitas) dan penyakit tertentu (theurapetic claim); dan (c) Gambar pada label atau iklan. “Label makanan merupakan tanda berupa tulisan, gambar atau bentuk pernyataan lain yang disertakan pada wadah atau pembungkus sebagai keterangan atau penjelasan tentang makanan dan sebagai petunjuk keamanan makanan tersebut.” Label makanan seharusnya mencantumkan nama makanan atau nama produk, komposisi atau daftar ingredient, isi netto, nama dan alamat pabrik atau importir, nomor pendaftaran, kode produksi, tanggal kadaluarsa, petunjuk atau cara penyimpan, petunjuk atau cara penggunaan, nilai gizi, tulisan atau pernyataan khusus. Nama makanan memberikan informasi mengenai sifat atau keadaan makanan yang sebenarnya. Nama makanan untuk produk dalam negeri ditulis menggunakan bahasa Indonesia dan dapat ditambah dengan bahasa Inggris. Begitu pula nama makanan bagi produk impor, menggunakan nama Indonesia atau nama Inggris. Tanggal kadaluarsa memberikan informasi mengenai waktu atau tanggal yang menunjukkan suatu produk makanan masih memenuhi syarat mutu dan keamanan untuk dikonsumsi. Komposisi makanan memberikan informasi daftar lengkap ingredient penyusun makanan termasuk bahan tambahan makanan dengan urutan menurun mulai dari bagian yang terbanyak, kecuali vitamin dan mineral. Bahan tambahan makanan harus mencantumkan nama golongan, misalnya pemanis buatan, antioksidan, anti kempal, pengukur keasaman, dan lain-lain. Khusus untuk pewarna disebutkan nomor indeksnya.
Penyedap rasa alamiah
identik dan sintetik harus ditulis berbeda. Nilai gizi yang harus dicantumkan pada label makanan yaitu nilai gizi makanan yang diperkaya, nilai gizi makanan diet, dan makanan lain yang ditetapkan Menteri Kesehatan, mencakup jumlah energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral atau kadar komponen tertentu. Petunjuk atau cara penyimpanan memberikan informasi mengenai hal yang mungkin mempengaruhi sifat dan mutu dari produk makanan, seperti produk susu, daging dan lain-lain (POM 2004).
9
10 Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1995), konsumen memberikan perhatian pada label kemasan dengan anggapan bahwa informasi yang tertera dalam label kemasan mungkin benar, namun informasi pada kemasan tersebut lebih banyak digunakan oleh konsumen dengan status sosioekonomi tinggi. Status sosioekonomi diantaranya ditunjukkan dari pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang dimiliki konsumen. Konsumen yang memiliki pendidikan lebih tinggi biasanya lebih terbuka menerima informasi yang baru dalam hal ini konsumen akan memiliki perhatian yang lebih terhadap label. Di samping itu, konsumen memiliki kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan penghasilan yang lebih baik. Selain itu, Ford dan Kuehl, diacu dalam Engel et al. (1995) juga mengungkapkan bahwa label tidak digunakan setuntas mungkin oleh konsumen, sehingga tidak jarang informasi pada label dipandang secara keliru, digunakan sebagian atau diabaikan sama sekali. Peranan label pada suatu produk sangat penting untuk memperoleh produk yang sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Label produk yang dijamin kebenarannya akan memudahkan konsumen dalam menentukan beragam produk dan susbtitusi di pasaran. Selain sebagai sarana pendidikan pada masyarakat, label juga dapat memberikan nilai tambah bagi produk. Kompetitor produk di pasaran yang semakin bertambah dapat menjadikan label sebagai strategi yang menarik dalam pemasaran. Meskipun dengan label pula, pihak produsen dapat secara sadar atau tidak sadar mengelabui atau bahkan mengorbankan konsumen (Karmini & Briawan 2004). Pengetahuan Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai ingatan terhadap bahan atau materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ingatan ini mencakup pada semua hal, dari fakta-fakta yang sangat khusus sampai teori yang sangat kompleks, dengan demikian, pengetahuan merupakan hasil belajar yang rendah tingkatannya (Bloom 1956, diacu dalam Pranadji 1988). Selain itu, menurut Engel et al. (1995), pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan konsumen untuk mengerti suatu pesan, membantu mengamati logika yang salah dan dapat menghindari penafsiran yang tidak benar. Menurut Setiadi (2003), pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan unsur dari kepribadian.
Semakin tinggi 10
11 pengetahuan yang dimiliki seseorang maka akan semakin mantap serta lebih berhati-hati dalam menentukan keputusan. Pendidikan Proses belajar merupakan proses perubahan perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman (Setiadi 2003).
Sebagian besar perilaku manusia
merupakan hasil belajar. Ahli teori pembelajaran yakin melalui perpaduan kerja dorongan, rangsangan, petunjuk, tanggapan, dan penguatan dapat menghasilkan pembelajaran, sehingga orang akan mendapatkan keyakinan dan sikap, melalui belajar dan bertindak. Menurut Assael (1992), diacu dalam Setiadi (2003), pembelajaran konsumen adalah suatu perubahan dalam perilaku yang terjadi akibat pengalaman masa lalunya. Konsumen memperoleh berbagai pengalamannya dalam pembelian produk dan merk produk yang disukainya.
Konsumen akan menyesuaikan
perilakunya dengan pengalamannya di masa lalu. Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman (Solomon 1999, diacu dalam Sumarwan 2003). Jika belajar dilihat dari perspektif pemasaran, proses belajar konsumen dapat diartikan sebagai sebuah proses dimana seseorang memperoleh pengalaman, pengetahuan pembelian dan konsumsi yang akan diterapkan dalam perilaku pada masa datang (Schiffman & Kanuk 2000, diacu dalam Sumarwan 2003). Menurut Engel et al. (1995), belajar adalah suatu proses perubahan pengetahuan, sikap dan atau perilaku yang berasal dari pengalaman. Belajar merupakan suatu proses untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman.
Pengetahuan dan
pengalaman ini akan mengakibatkan perubahan sikap dan perilaku yang relatif permanen (Sumarwan 2003). Institusi pendidikan dikaitkan dengan berbagai fungsi. Menurut Horton dan Hunt (1984), diacu dalam Sunarto (1993), fungsi manifest institusi pendidikan antara lain mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, mengembangkan bakat perorang demi kepuasan pribadi maupun bagi kepentingan masyarakat, melestarikan kebudayaan, menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi, dan sebagainya.
Beberapa fungsi laten institusi
pendidikan, seperti pemupukan keremajaan, pengurangan pengendalian orang tua, 11
12 penyediaan sarana untuk pembangkangan, dan dipertahankannya sistem kelas sosial.
Selain itu, pendidikan formal juga berfungsi untuk mempertahankan
sistem stratifikasi yang ada dengan jalan mensosialisasi anak untuk menerima sistem perbedaan prestise, previlese, dan status yang ada. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga. Selain itu, pendidikan ibu juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga maupun dalam pola pengasuhan (Yuliana 2004). Pulungan (1993), diacu dalam Cahyaningsih (1999) mengungkapkan bahwa orang tua yang berpendidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya, serta lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan informasi dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh konsumen.
Pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang
dianut, cara pandang bahkan persepsinya terhadap suatu masalah. Konsumen yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan sangat responsif terhadap informasi. Pendidikan juga mempengaruhi konsumen dalam pemilihan produk dan merk, pendidikan yang berbeda akan menyebabkan selera konsumen juga berbeda (Sumarwan 2003). Menurut G.A Kimble, diacu dalam Gunarsa (1981), belajar yaitu perubahan yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan-perubahan karena kematangan, kelelahan, dan atau kerusakan pada susunan syaraf. Belajar memang berhubungan dengan perubahan, seperti halnya pada perkembangan yang juga berhubungan dengan adanya sesuatu yang berubah. Ada sesuatu yang diubah atau berubah dalam belajar dari rangkaian atau susunan (repertoire) tingkah laku dan perubahan ini bersifat menetap, hal ini berlaku jika suatu saat terjadi perubahan, ada sesuatu yang baru akan diperoleh dari mempelajari sesuatu. Perubahan ini akan bersifat menetap dalam diri seseorang dan sifat menetap ini diganti oleh tingkah laku yang lain atau baru sebagai hasil mempelajari sesuatu dan diperkuat juga melalui latihan.
12
13 Pekerjaan Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya juga mempengaruhi pola konsumsi.
Pekerjaan yang dilakukan konsumen sangat
mempengaruhi gaya hidup mereka dan merupakan satu-satunya basis terpenting untuk menyampaikan prestise, kehormatan dan perhatian (Setiadi 2003). Pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seorang konsumen (Sumarwan 2003). Status pekerjaan akan menentukan kelas sosial dan pendapatan seseorang, namun pendapatan bukanlah satu-satunya variabel yang menentukan kelas sosial seseorang (Sumarwan 2003). Besar Keluarga Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh dalam keputusan pembelian (Setiadi 2003). Jumlah keluarga di masa mendatang relatif sedikit, hal ini tercermin dalam tingkat kelahiran yang rendah. Rumah tangga dengan pendapatan ganda mengejar peluang lebih besar untuk menggunakan waktu dan uangnya untuk kepentingan mereka. Keluarga kecil mudah berpindah-pindah dan bepergian, sehingga akan mempengaruhi perjalanan rekreasi, pendidikan, dan peluang untuk bersantai (Irawan & Wijaya 1996). Keluarga merupakan unit pengambilan keputusan utama dengan pola peranan dan fungsi yang kompleks dan bervariasi (Engel et al. 1995). Pada umumnya keputusan pembelian rumah tangga ditentukan oleh para ibu, namun anggota keluarga dapat mempengaruhi keputusan pembelian. Pendapatan dan Pengeluaran Keputusan konsumen dalam membeli suatu produk dan merk sangat dipengaruhi oleh sumberdaya ekonomi yang dimiliki sekarang atau pada masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal tersebut, keadaan sosial ekonomi yang dicirikan dengan pendapatan atau kekayaan merupakan variabel pertama yang dianalisis di dalam study perilaku konsumen (Engel et al. 1994). Perubahan pendapatan yang mengakibatkan peningkatan kekayaan membawa perubahan pada pola makan seseorang dan semakin banyak orang yang mengkonsumsi pangan dengan orentasi kesenangan (Galler 1984, diacu dalam Milangkay 2002). 13
14 Pada umumnya jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga (Harper et al. 1986). Seiring dengan meningkatnya pendapatan seseorang, terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan, namun pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Perubahan utama yang kadang-kadang terjadi dalam kebiasaan makan ialah pangan yang dimakan lebih mahal. Penduduk cenderung menaikkan tabungan dan investasi jika pendapatan penduduk makin meningkat. Keluarga
dan
masyarakat
yang
memiliki
pendapatan
rendah
mempergunakan sebagian besar dari pendapatannya untuk membeli pangan. Jika semakin tinggi pendapatan, bagian pendapatan yang dipakai untuk membeli pangan semakin menurun. Apabila pembelian pangan dinyatakan dalam jumlah uang, maka pada keluarga dan masyarakat yang berpendapatan rendah, tentu rendah juga jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan dan sebaliknya hingga suatu tingkat tertentu dimana uang seseorang tidak bertambah secara berarti, tidak banyak berubah atau dianggap tetap (Suhardjo 1989). Menurut BPS (2003), semakin tinggi golongan pengeluaran maka semakin berkurang persentase pengeluaran untuk pangan dan semakin tinggi persentase pengeluaran bukan pangan.
Pernyataan menurut BPS tersebut sesuai dengan
hukum ekonomi yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan penduduk maka semakin tinggi pula persentase atau porsi pengeluaran yang dibelanjakan untuk barang bukan pangan (semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan). Porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran bukan pangan jika pendapatan semakin tinggi.
Pergeseran pola
pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap pangan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan pangan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan pangan atau ditabung. Oleh sebab itu, pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat
14
15 untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk dan perubahan komposisinya sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan (BPS 2002). Pengeluaran keluarga meliputi pengeluaran untuk pangan dan bukan pangan. Informasi tentang pengeluaran keluarga diperlukan agar dapat menilai pentingnya suatu kebutuhan bagi keluarga. Pengeluaran untuk pangan diperlukan untuk menilai hubungannya dengan konsumsi pangan. Pengeluaran bukan pangan umumnya terdiri dari pengeluaran untuk perumahan, pakaian, bahan bakar, penerangan, kesehatan, pendidikan, transportasi, rekreasi, pajak dan iuran-iuran, dengan demikian, pengeluaran harus dicatat baik yang berbentuk tunai maupun non tunai (Suhardjo, Hardinsyah dan Riyadi 1988). Sumber Informasi Sumber-sumber
informasi
yang
mempengaruhi
konsumen
dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu sumber pribadi, komersil, umum, dan pengalaman. Sumber informasi pribadi meliputi keluarga, teman, tetangga, dan kenalan.
Sumber informasi komersil diperoleh melalui iklan, tenaga
penjualan, penyalur, kemasan, dan pameran.
Media massa dan organisasi
konsumen termasuk dalam sumber informasi umum. Sumber informasi yang terakhir adalah pengalaman meliputi pernah menangani, menguji, dan menggunakan produk. Informasi terbanyak tentang suatu produk yang diterima konsumen secara umum berasal dari sumber-sumber yang didominasi oleh pemasar, sedangkan informasi yang efektif justru berasal dari sumber-sumber pribadi.
Informasi
komersial secara umum melaksanakan fungsi memberitahu, sedangkan sumber pribadi melaksanakan fungsi legitimasi dan atau evaluasi (Setiadi 2003). “Label dapat dikategorikan juga sebagai iklan karena dapat dilihat langsung oleh konsumen pada saat berinteraksi.
Pada saat media massa
berkembang seperti saat ini, iklan melalui media massa merupakan sumber informasi utama masyarakat dalam berbelanja (Karmini & Briawan 2004).” Menurut Depari dan MacAdrew (1982), diacu dalam Yuliana (2000), saluran media massa merupakan alat penyampai pesan yang melibatkan mekanisme untuk mencapai audience yang luas dan tidak terbatas. Surat kabar,
15
16 radio, film dan televisi merupakan alat yang memungkinkan sumber informasi menjangkau audience dalam jumlah yang besar dan tersebar luas. Persepsi Persepsi dapat dinyatakan sebagai proses menafsirkan sensasi-sensasi dan memberikan arti kepada stimuli.
Persepsi merupakan penafsiran realitas dan
masing-masing orang memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang realitas (Winardi 1991). Persepsi menurut Ely (1972), diacu dalam Pranadji (1988) adalah proses yang berhubungan dengan penggunaan indera untuk memperoleh petunjuk yang membimbing kegiatan motorik. Petunjuk ini dimulai dari kesadaran terhadap adanya stimulus sampai memilih tugas yang relevan untuk menerjemahkan persepsi tersebut ke dalam kegiatan dalam suatu kegiatan. Menurut Stanton, diacu dalam Setiadi (2003) “persepsi dapat didefinisikan sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan pengalaman masa lalu dan stimuli (rangsangan-rangsangan) yang kita terima melalui panca indera.” Pengenalan terhadap suatu objek, jelas, gerakan, intensitas, dan aroma adalah petunjuk yang mempengaruhi persepsi. Persepsi merupakan proses yang terjadi karena adanya sensasi. Sensasi merupakan aktivitas merasakan atau penyebab keadaan yang menggembirakan. Sensasi dapat juga diartikan sebagai tanggapan yang cepat dari indera penerima manusia terhadap stimuli dasar seperti warna, cahaya, dan suara, sehingga persepsi dapat diartikan sebagai proses bagaimana stimuli-stimuli itu diseleksi, diorganisasikan, dan diinterpretasikan. Persepsi manusia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: 1. Karakteristik dari stimuli. 2. Hubungan stimuli dengan sekelilingnya. 3. Kondisi-kondisi di dalam diri manusia itu sendiri. Stimuli atau stimulus adalah setiap bentuk fisik, visual atau komunikasi verbal yang dapat mempengaruhi tanggapan individu. Persepsi memiliki sifat subjektif karena setiap orang akan memandang suatu objek atau situasi dengan cara yang berbeda-beda, dikarenakan adanya tiga proses persepsi yaitu perhatian yang selektif, gangguan yang selektif dan mengingat kembali yang selektif. Persepsi yang dibentuk seseorang dipengaruhi pikiran dan lingkungan sekitarnya dan secara substansi bisa sangat berbeda dengan realitas, dengan kata lain, 16
17 persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar juga keadaan individu yang bersangkutan (Setiadi 2003). Menurut William McGuire, diacu dalam Engel et al. (1995), tahap pengolahan informasi dapat dibagi menjadi lima tahap, yaitu: 1.
Pemaparan (exposure): pemaparan stimulus, yang menyebabkan konsumen menyadari adanya stimulus yang diterima melalui pancainderanya.
2.
Perhatian (attention): kapasitas pengolahan yang dialokasikan konsumen terhadap stimulus yang diterima.
3.
Pemahaman (comprehension): interpretasi dari makna stimulus atau tahap memberikan makna kepada stimulus.
4.
Penerimaan (acceptance): dampak persuasif dari stimulus kepada konsumen.
5.
Retensi (retention): pengalihan makna stimulus dan persuasi ke ingatan jangka panjang (long-term memory) atau proses memindahkan informasi ke dalam memori jangka panjang. Informasi yang disimpan berupa interpretasi konsumen terhadap stimulus yang diterimanya. Konsumsi Pangan Menurut Harper et al. (1986), konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak
faktor. Pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari negara ke negara. Akan tetapi, fakta-fakta yang tampaknya sangat mempengaruhi konsumsi pangan dimana saja di dunia antara lain: 1. Jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia. 2. Tingkat pendidikan. 3. Pengetahuan gizi. Faktor pribadi dan kesukaan juga merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi penduduk, beberapa diantaranya adalah: 1. Banyaknya informasi yang dimiliki tentang kebutuhan gizi. 2. Kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan pangan dan pengembangan cara pemanfaatan pangan yang sesuai. 3. Hubungan keadaan kesehatan seseorang dengan kebutuhan akan pangan untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit. 17
18
KERANGKA PEMIKIRAN Persepsi yang dibentuk seseorang dipengaruhi pikiran dan lingkungan sekitarnya dan secara substansi bisa sangat berbeda dengan realitas, dengan kata lain persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar juga keadaan individu yang bersangkutan. Persepsi memiliki sifat subjektif karena setiap orang akan memandang suatu objek atau situasi dengan cara yang berbeda-beda (Setiadi 2003). Ibu merupakan orang yang berperan dalam pengelolaan makanan dalam keluarga, oleh karena itu perlu dikaji persepsi ibu tentang label makanan kemasan anak sekolah dasar. Persepsi yang dibentuk contoh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal melainkan juga faktor lingkungan. Faktor internal dalam hal ini adalah kondisi sosial-ekonomi dan pengetahuan contoh tentang label makanan kemasan, sedangkan faktor lingkungan adalah sumber informasi tentang produk makanan kemasan.
Kondisi sosial contoh dapat dilihat dari usia, lama pendidikan,
pekerjaan dan besar keluarga.
Pendapatan dan pengeluaran keluarga dapat
menggambarkan kondisi ekonomi contoh, dalam hal ini, pengeluaran keluarga yang diukur adalah pengeluaran keluarga yang digunakan untuk pangan. Kondisi sosial ekonomi, pengetahuan tentang label makanan dan sumber informasi tentang produk makanan kemasan diduga berhubungan dengan persepsi contoh tentang label makanan kemasan anak sekolah dasar. Alur kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
18
19 Faktor Internal ♣Karakteristik sosial-ekonomi: − Usia − Lama pendidikan − Pekerjaan − Besar keluarga − Pendapatan keluarga − Pengeluaran keluarga untuk pangan ♣Pengetahuan tentang label makanan kemasan ♣Status ♣Gaya hidup ♣Kepribadian ♣Motivasi ♣Kepercayaan ♣Sikap ♣Pengalaman mengkonsumsi makanan kemasan Persepsi Ibu tentang Label Makanan Kemasan
Faktor Eksternal ♣Sumber informasi tentang produk makanan kemasan: − Keluarga − Iklan − Tetangga/teman − penjual
♣Budaya ♣Kelas sosial ♣Kelompok referensi ♣Ketersediaan makanan kemasan ♣Harga makanan kemasan
Gambar 1 Alur kerangka pemikiran persepsi ibu tentang label makanan kemasan anak sekolah dasar. Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
19
20
METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional survey dan bertempat di Sekolah Dasar Nurul Iman, Jakarta Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2005. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive sampling). Cara Pengambilan Contoh Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kebiasaan makan anak di rumah dan di sekolah. Selain itu, penelitian pendahuluan juga bertujuan untuk menjaring contoh pada penelitian lanjutan. Pemilihan ibu sebagai contoh didasarkan pada pertimbangan bahwa ibu merupakan penyedia makanan dan mempunyai perhatian terhadap label makanan serta bersedia diwawancara. Pemilihan SD Nurul Iman sebagai lokasi penelitian yaitu didasarkan pada kemudahan dan keterbatasan waktu dan biaya. Pemilihan murid kelas 4, 5, dan 6 didasarkan pada pertimbangan bahwa murid kelas 4, 5 dan 6 yang usianya berkisar antara 9-12 tahun sudah dapat membaca dan menulis dengan lancar, sehingga diharapkan dapat mengisi kuesioner sendiri dibawah bimbingan dan pengawasan peneliti. Penentuan jumlah contoh didasarkan pada Arikunto (1990), yaitu bila jumlah populasi berkisar antara 100 sampai 500 orang dan peneliti menggunakan kuesioner dalam pengumpulan data, maka jumlah contoh yang dapat diambil adalah sebanyak 25-30 persen dari jumlah populasi tersebut. Jumlah populasi pada penelitian ini diperhitungkan berdasarkan jumlah murid kelas 4, 5 dan 6 yang ditentukan secara purposive sampling.
Jumlah murid tersebut adalah
sebanyak 124 orang dengan perincian jumlah murid pada kelas 4, 5 dan 6 berturut-turut yaitu sebanyak 40, 40 dan 44 orang (total=31-37 orang). Untuk mengantisipasi adanya drop-out, maka jumlah contoh (ibu dari murid) adalah sebanyak 40 orang. Untuk memperoleh data mengenai kebiasaan makan, jumlah murid yang diwawancara adalah sebanyak 40 orang yang ditentukan secara acak.
20
21 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi (1) Faktor internal yaitu karakteristik sosial ekonomi (usia, lama pendidikan, jenis pekerjaan, besar keluarga, pendapatan keluarga dan pengeluaran keluarga untuk pangan) dan pengetahuan tentang label makanan kemasan; (2) Faktor eksternal (sumber informasi); (3) Persepsi tentang label makanan kemasan dan (4) Kebiasaan makan anak di rumah dan di sekolah. Data primer mengenai kebiasaan makan anak di rumah dan di sekolah diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh anak dan dibawah bimbingan dan pengawasan peneliti sendiri.
Selain itu, data mengenai faktor
internal, faktor eksternal, dan persepsi tentang label makanan kemasan diperoleh dari contoh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Data sekunder meliputi keadaan umum lokasi penelitian diperoleh dari Kepala Sekolah Dasar Nurul Iman dan pengamatan langsung oleh peneliti. Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan statistik lainnya menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS versi 10.0 for window. Pada penelitian pendahuluan, analisis data secara deskriptif yaitu dengan menghitung sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan (jenis dan frekuensi) di rumah dan di sekolah. Analisis data secara deskriptif pada penelitian lanjutan yaitu dengan menghitung sebaran contoh berdasarkan usia, lama pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan per kapita per bulan, pengeluaran per kapita per bulan untuk pangan, pengetahuan tentang label makanan kemasan, sumber informasi tentang produk makanan kemasan dan persepsi tentang label makanan kemasan. Analisis data tersebut dilakukan untuk mengetahui gambaran umum faktor internal, faktor eksternal dan persepsi tentang label makanan kemasan. Pengetahuan diukur dari banyaknya jawaban benar yang diberikan oleh contoh terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan label makanan kemasan. Kriteria skor pengetahuan dibagi tiga yaitu baik (skor jawaban yang benar >80%), sedang (skor jawaban yang benar 60%-80%) dan kurang (skor jawaban yang benar <60%) (Khomsan 2000). Persepsi diukur dari kecenderungan contoh dalam menerima atau menolak pernyataan yang berkaitan dengan label 21
22 makanan kemasan. Respon terhadap pernyataan diukur dengan skala (3 skor), masing-masing dengan skor sebagai berikut: Pernyataan positif : setuju (3), ragu-ragu (2), tidak setuju (1) Pernyataan negatif : setuju (1), ragu-ragu (2), tidak setuju (3) Selanjutnya skor yang didapat dikategorikan menjadi tiga yaitu baik (skor jawaban >80%), sedang (skor jawaban 60%-80%) dan buruk (skor jawaban <60%). Persepsi tentang label makanan kemasan yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan yang berkaitan dengan label makanan mencerminkan kesetujuan atau ketidaksetujuan contoh terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Persepsi yang netral atau ragu-ragu terhadap pernyataan yang diajukan dapat diakibatkan oleh adanya keraguan contoh dalam memberikan pendapatnya. Keraguan yang timbul dalam diri contoh dapat ditimbulkan karena contoh belum pernah mengetahui tentang hal yang ditanyakan atau banyaknya alternatif pendapat yang diajukan oleh contoh, sehingga membingungkan contoh sendiri dalam memberikan kepastian jawaban yang benar. Hubungan antara faktor internal (usia, lama pendidikan, jenis pekerjaan, besar keluarga, pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga untuk pangan dan pengetahuan tentang label makanan kemasan) dan faktor eksternal (sumber informasi) dengan persepsi tentang label makanan kemasan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman.
22
23 Tabel 1 Variabel, pengelompokan data, jenis data dan referensi No. 1 2
3 4
5
6
7 8 9 10 11
12
Variabel Pengelompokan data Jenis makanan ♣ Makanan utama kemasan ♣ Snack ♣ Minuman Jenis makanan ♣ Makanan utama non kemasan ♣ Gorengan ♣ Kue basah ♣ Makanan sepinggan ♣ Minuman Frekuensi ♣ Tidak pernah konsumsi ♣ 1–4X/minggu (kadang-kadang) makanan ♣ ≥5X/minggu (sering) Usia contoh dan ♣ 25–29 tahun suami ♣ 30–34 tahun ♣ 35–39 tahun ♣ 40–44 tahun ♣ 45–49 tahun ♣ •50 tahun Pendidikan contoh ♣ <6 tahun (Tidak/belum tamat SD) dan suami ♣ 6–8 tahun (SD) ♣ 9–11 tahun (SLTP) ♣ •12 tahun (SLTA) Jenis pekerjaan ♣ Pegawai negeri ♣ Pegawai swasta ♣ Wiraswasta ♣ Buruh ♣ Ibu rumah tangga Besar keluarga ♣ •4 ♣ 5-6 ♣ •7 Pendapatan per ♣ • Rp 69.198,1 kapita per bulan ♣ Rp 69.198,2–Rp 476.110,7 ♣ • Rp 476.110,8 Pengeluaran per ♣ • Rp 28.796,2 kapita per bulan ♣ Rp 28.796,3–Rp 228.638,9 untuk pangan ♣ • Rp 228.639 Pengetahuan ♣ Kurang, skor <60% ♣ Sedang, skor 60%–80% ♣ Baik, skor >80% Sumber ♣ Keluarga (Ibu/Ayah/Saudara) informasi ♣ Iklan (media cetak/elektronik) ♣ Teman/tetangga ♣ Penjual makanan kemasan Persepsi ♣ Buruk, skor <60% ♣ Sedang, skor 60%–80% ♣ Baik, skor >80%
Jenis data Kategorikal
Referensi Winarno (1997)
Kategorikal
Rasio Rasio
BPS (2000)
Rasio
BPS (2000)
Kategorikal
Rasio
BKKBN (1998)
Rasio
Rata-rata ± 1sd
Rasio
Rata-rata ± 1sd
Kategorikal
Khomsan (2000)
Kategorikal
Kategorikal
Khomsan (2000)
23
24 Definisi Operasional Contoh adalah ibu dari murid kelas 4, 5 dan 6 SD Nurul Iman Jakarta Utara. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti contoh yang diukur dalam tahun bersekolah. Pendapatan keluarga adalah jumlah seluruh hasil yang didapatkan semua anggota keluarga sebagai hasil dari pekerjaan yang dilakukan, diukur/dinilai dalam bentuk uang (Rupiah) selama sebulan terakhir. Pengeluaran keluarga untuk pangan adalah seluruh pengeluaran yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan dan makanan, diukur/dinilai dalam bentuk uang (Rupiah) selama sebulan terakhir. Pengetahuan adalah pengertian ibu terhadap beberapa hal yang terkait dengan label dan produk makanan yang diukur dengan sepuluh pertanyaan. Persepsi adalah cara pandang contoh mengenai beberapa hal yang terkait dengan label dan produk makanan yang diukur dengan tiga belas pertanyaan dan tiga alternatif jawaban yaitu tidak setuju, ragu-ragu, dan setuju. Sumber informasi adalah segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perilaku contoh mengenai produk makanan kemasan. Kebiasaan makan adalah jenis dan frekuensi mengkonsumsi makanan baik kemasan ataupun non kemasan yang dikonsumsi anak contoh di rumah dan di sekolah. Jenis makanan adalah aneka makanan baik kemasan maupun non kemasan. Makanan kemasan dikelompokkan menjadi tiga yaitu makanan utama, snack dan minuman, sedangkan makanan non kemasan dikelompokkan menjadi lima yaitu makanan utama, gorengan, kue basah, makanan sepinggan dan minuman. Frekuensi makan adalah ukuran keseringan anak contoh mengkonsumsi makanan kemasan dan non kemasan yang diukur dalam seminggu dan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu tidak pernah, 1-4X/minggu (kadang-kadang) dan ≥5X/minggu (sering). Makanan kemasan adalah makanan dan minuman hasil produksi perusahaan yang tergolong industri berskala besar dan tidak termasuk industri berskala kecil dan industri rumah tangga. Makanan non kemasan adalah makanan yang tidak berkemasan dan termasuk makanan jajanan yang dijual di kaki lima, pinggir jalan, di pasar, maupun tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis.
24
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaaan Umum Lokasi Sekolah Dasar Nurul Iman merupakan salah satu sekolah yang terdapat di dalam Komplek Perumahan Angkatan Darat Yon Arhanudse yang berada di wilayah Kelurahan Kebon Bawang, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sebelah Utara Komplek Perumahan Yon Arhaenudse berbatasan dengan Asrama Angkatan Darat Koterem, Sebelah Selatan dengan Jalan Bugis, Sebelah Barat dengan Jalan Enim, dan Sebelah Timur dengan pemukiman penduduk. Sekolah Dasar Nurul Iman memiliki 11 orang tenaga pengajar dan jumlah murid pada tahun ajaran 2004/2005 sebanyak 258 orang. Gedung Sekolah Dasar Nurul Iman memiliki 7 ruang kelas dengan rincian Kelas 1 berjumlah 2 kelas sedangkan Kelas 2 sampai 6 masing-masing 1 kelas. Ruang Kepala Sekolah menyatu dengan ruang guru dan berjumlah 1 ruangan. Fasilitas lainnya yaitu lapangan olah raga, toilet, dan tempat parkir sepeda dan motor. Sarana kebersihan yang dimiliki Sekolah Dasar Nurul Iman berupa kotak sampah yang berada di setiap ruang kelas dan tempat penampungan sampah besar di samping gedung sekolah. Sekolah dimulai dari pukul 07.00 dan berakhir pada pukul 12.00 kecuali pada hari Jumat sekolah berakhir pada pukul 11.30. Waktu istirahat dimulai pukul 09.00 hingga pukul 09.45. Sekolah Dasar Nurul Iman tidak menyediakan kantin di dalam sekolah, sehingga para murid mendapatkan jajanan dari penjual yang ada di sekitar sekolah. Para penjual makanan yang ada di sekitar SD Nurul Iman kebanyakan penjual makanan yang menggunakan gerobak namun ada pula beberapa penjual makanan yang memiliki kios sendiri. Penjual makanan gerobak yang selalu berjualan di sekitar SD Nurul Iman adalah aneka mie, aneka nugget, sosis, cilok, otak-otak, bakso tusuk, somay dan aneka es, sedangkan penjual makanan yang menggunakan gerobak yang tidak tetap antara lain adalah roti bakar, es doger dan bakso. Penjual makanan yang memiliki kios adalah nasi uduk, mie, gorengan, permen dan aneka snack.
25
26 Kebiasaan Makan Anak Kebiasaan makan anak dilihat dari jenis dan frekuensi mengkonsumsi makanan setiap minggunya yang dilakukan anak contoh baik di rumah maupun di sekolah. Frekuensi mengkonsumsi makanan dibagi menjadi tiga kategori yaitu tidak pernah, jarang (1-4X/minggu) dan sering (≥5X/minggu).
Begitu pula
dengan jenis makanan kemasan, dibagi menjadi tiga kategori yaitu makanan utama, snack dan minuman, sedangkan makanan non kemasan dibagi menjadi lima jenis yaitu makanan utama, gorengan, kue basah, makanan sepinggan dan minuman. Informasi mengenai jenis dan frekuensi konsumsi makanan kemasan di rumah dan di sekolah dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan informasi mengenai jenis dan frekuensi konsumsi makanan non kemasan di rumah dan di sekolah dapat dilihat pada Lampiran 2. Makanan yang banyak jenisnya atau lebih beragam (39 macam) dikonsumsi oleh anak di rumah yaitu makanan non kemasan dibandingkan dengan makanan kemasan (18 macam). Begitu pula di sekolah, sekitar 21 macam makanan non kemasan dan hanya sebanyak 12 macam makanan kemasan yang banyak dikonsumsi anak. Makanan kemasan yang banyak dikonsumsi anak di rumah pada frekuensi ≥5X/minggu yaitu makanan utama (mie instant=7,5%), snack (biskuit dan chiki=7,5%) dan minuman (susu=20,0%), sedangkan di sekolah yaitu makanan utama (mie instant=10,0%), snack (permen=12,5%) dan minuman (minuman instant=10,0%). Makanan non kemasan yang banyak dikonsumsi anak di rumah pada frekuensi ≥5X/minggu yaitu makanan utama (nasi lauk=40,0%), gorengan (bakwan dan chicken=2,5%), kue basah (roti=5,0%), makanan sepinggan (buah=5,0%) dan minuman (aneka es=17,5%), sedangkan di sekolah yaitu makanan utama (nasi uduk=42,5%), gorengan (tempe goreng=2,5%), kue basah (cimol=5,0%), makanan sepinggan (somay=7,5%) dan minuman (aneka es=37,5%). Makanan jajanan adalah makanan atau minuman yang terlebih dahulu telah dipersiapkan atau dimasak di tempat produksi atau di rumah atau di tempat berjualan sehingga siap dimakan dan dijual di tempat umum. Aspek positif dari makanan jajanan yaitu dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap kelompok konsumen 26
27 tertentu yang pada umumnya tidak mempunyai cukup waktu untuk makan dirumah seperti pelajar, mahasiswa, buruh dan karyawan. Konsumsi makanan jajanan juga memiliki aspek negatif jika dilihat dari segi keamanannya. Makanan jajanan yang dijual para pedagang umumnya masih rendah dalam hal mutu mikrobiologi dan kimiawi (Fardiaz & Fardiaz 1992).
Hasil observasi di lokasi penelitian
menunjukkan bahwa makanan jajanan sering tidak disiapkan secara higienis begitu pula di tempat berjualan, biasanya dibiarkan terbuka dan dapat terkontaminasi serangga, polusi debu dan asap knalpot kendaraan. Di samping itu, pedagang diduga menambahkan bahan berbahaya pada makanan jajanan baik bahan pewarna ataupun pengawet yang tidak diizinkan, sehingga cepat atau lambat akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Kebiasaan jajan pada anak sekolah memang sulit dihindari karena berbagai alasan, diantaranya karena anak tidak sempat atau tidak mau makan di rumah terutama sarapan, padahal sarapan sangat berperan dalam penyediaan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula darah ini penting untuk menjaga konsentrasi otak, sehingga bila kadar gula darah mengalami penurunan maka gairah dan konsentrasi belajar juga akan menurun. Selain itu, pada umumnya anak sekolah dasar mendapat uang saku dari orang tua, sehingga anak menganggap bahwa orang tua memberikan uang saku tersebut kepada anak dengan tujuan untuk dipakai jajan. Aktivitas fisik anak juga ikut mempengaruhi jajan anak, aktivitas fisik anak yang tinggi di sekolah mengakibatkan anak perlu jajan walaupun sudah makan di rumah. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Susanto (1989), ada beberapa alasan mengapa anak-anak sekolah pada umumnya menyukai jajan, yaitu anak tidak sempat sarapan, karena alasan psikologis anak, tidak diberi bekal makanan untuk di sekolah, biasa mendapat uang saku, dan kebutuhan biologik anak yang perlu dipenuhi yang disebabkan karena tingginya aktifitas fisik di sekolah, sehingga walaupun di rumah sudah sarapan namun tetap saja perlu jajan di sekolah. Anak ternyata lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan non kemasan daripada makanan kemasan, hal ini dapat disebabkan karena ketersediaan makanan non kemasan yang cukup tinggi di lingkungan rumah maupun sekolah. Selain itu, makanan non kemasan lebih beragam dalam bentuk atau penampilan
27
28 maupun jenis juga dalam hal rasa yang tidak kalah dari makanan kemasan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Harper et al. (1986) bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia. Selain itu, harga makanan non kemasan yang dikonsumsi anak contoh baik di rumah maupun di sekolah jauh lebih terjangkau dibandingkan harga makanan kemasan. Simpulan ini memperkuat pendapat Setiadi (2003), pemilihan produk akan dipengaruhi oleh situasi ekonomi seseorang, dalam hal ini adalah uang saku yang diterima anak contoh. Mie instan merupakan makanan jajanan yang digemari anak baik di rumah maupun di sekolah. Tingginya konsumsi mie instant tersebut dapat disebabkan oleh kemudahan untuk mempersiapkannya, sehingga di rumah contoh lebih memilih menyajikan mie instant sebagai sarapan untuk anak atau dalam waktu makan yang lain. Selain itu, pilihan rasa mie instant yang disukai oleh anak juga mendukung tingginya konsumsi mie instant. Anak lebih banyak mengkonsumsi biskuit dan jenis chiki di rumah, sedangkan di sekolah, anak lebih menyukai mengkonsumsi jenis permen. Hal ini dapat terjadi karena contoh lebih permissive terhadap konsumsi biskuit dan chiki, sehingga menganggap kedua makanan tersebut lebih mengenyangkan daripada permen.
Selain itu, contoh menganggap konsumsi biskuit dan chiki tidak
menyebabkan kerusakan gigi anak. Adanya anggapan bahwa permen tidak baik bagi kesehatan gigi anak, maka contoh sangat membatasi konsumsi permen di rumah, untuk itu anak merasa lebih bebas untuk mengkonsumsi permen di sekolah. Anak lebih menyukai mengkonsumsi susu di rumah dan minuman instant di sekolah. Menurut Sanjur (1982), diacu dalam Madanijah (1994), pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan sekolah dan lingkungan rumah dapat mempengaruhi konsumsi pangan anak.
Sikap dan
penilaian anak terhadap makanan, dipelajari dari lingkungan keluarga, sekolah dan informasi di tempat lain (Suhardjo 1989, diacu dalam Sulaeman 1994). Jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi anak bukan saja dipengaruhi oleh preferensi (kesukaan) terhadap makanan tersebut tapi juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan sosial budaya setempat (Sulaeman 1994).
28
29 Contoh menganggap bahwa susu merupakan minuman yang bergizi dan baik bagi kesehatan anak, untuk itu contoh lebih memilih untuk menyediakan susu daripada minuman yang lainnya. Anak mengkonsumsi minuman lain selain susu untuk mengatasi kejenuhannya pada susu yang biasa dikonsumsi di rumah, sehingga anak memilih mengkonsumsi minuman instant di sekolah. Faktor Internal Karakteristik sosial-ekonomi Usia Contoh dan Suami Pada umumnya contoh berada pada kisaran usia 28-45 tahun dengan rata-rata 35,9 tahun, sedangkan suami contoh berada pada kisaran usia 31-50 tahun dengan rata-rata 40,3 tahun. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa contoh lebih banyak tersebar pada kisaran usia 35-39 tahun dengan persentase sebesar 47,5 persen, sedangkan sebanyak 40,0 persen suami berada pada kisaran usia 40 - 44 tahun. Tabel 2 Distribusi contoh dan suami berdasarkan usia Kelompok usia (tahun) 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 • 50 Total
Contoh (n)
1 12 19 7 1 0 40
Suami (%)
2,5 30,0 47,5 17,5 2,5 0 100,0
(n)
0 4 13 16 6 1 40
(%)
0 10,0 32,5 40,0 15,0 2,5 100,0
Pendidikan Formal Contoh dan Suami Pada umumnya pendidikan formal contoh maupun suaminya berkisar antara Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Lama (tahun) bersekolah contoh adalah dari 1 sampai 12 tahun dengan rata-rata 8,15 tahun, sedangkan lama pendidikan formal suami adalah dari 1 sampai 12 tahun dengan rata-rata 9,3 tahun. Pada Tabel 3 diperlihatkan bahwa sebanyak 42,5 persen contoh memiliki lama pendidikan 9-11 tahun atau setingkat SMP, sedangkan suaminya (42,5%) memiliki lama pendidikan ≥12 tahun atau setingkat SMA.
29
30 Tabel 3 Distribusi contoh dan suami berdasarkan lama pendidikan Pendidikan
(n)
Tidak/belum tamat SD SD SMP SMA Total
Contoh 5 10 17 8 40
(%)
(n)
12,5 25,0 42,5 20,0 100,0
Suami 2 10 11 17 40
(%)
5,0 25,0 27,5 42,5 100,0
Pekerjaan Utama Contoh dan Suami Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebanyak 57,5 persen contoh merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja, sedangkan sebanyak 37,5 persen suami memiliki pekerjaan utama sebagai buruh.
Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa
persentase pendidikan terbesar contoh (42,5%) lebih rendah tingkatannya (SMP) daripada suaminya (42,5%=SMA) dan pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa persentase pekerjaan terbesar contoh (57,5%) adalah tidak bekerja, sedangkan suaminya memiliki pekerjaan sebagai buruh (37,5%). Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Sumarwan (2003) yaitu pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dan pekerjaan akan mencerminkan pendidikan yang dimiliki seseorang. Tabel 4 Distribusi contoh dan suami berdasarkan pekerjaan utama Jenis Pekerjaan Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Buruh Tidak Bekerja Total
(n)
Contoh 0 4 9 4 23 40
(%)
0,0 10,0 22,5 10,0 57,5 100,0
(n)
Suami 3 11 9 15 2 40
(%)
7,5 27,5 22,5 37,5 5,0 100,0
Besar Keluarga Pada umumnya besar keluarga berkisar antara 3 hingga 10 orang dengan rata-rata 5,5 jiwa. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa contoh paling banyak memiliki besar keluarga sebanyak 5-6 orang dengan persentase sebesar 75,0 persen. Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh dalam 30
31 keputusan pembelian (Setiadi 2003).
Selain itu, keluarga merupakan sumber
informasi pribadi yang mempengaruhi contoh tentang produk makanan kemasan. Tabel 5 Distribusi contoh berdasarkan besar keluarga Besar keluarga (Orang) • 4 5 –6 • 7 Total
(n)
Contoh 6 30 4 40
(%)
15,0 75,0 10,0 100,0
Pendapatan per Kapita per Bulan Pada umumnya pendapatan per kapita per bulan berkisar dari Rp 40.000,0 sampai Rp 1.040.000,0 dengan rata-rata Rp 272.654,4 ± Rp203.456,3. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa persentase pendapatan per kapita per bulan terbesar yang dimiliki contoh terdapat pada Rp 69.198,2-Rp 476.110,7 yaitu sebesar 67,5 persen. Tabel 6 Distribusi contoh berdasarkan pendapatan per kapita per bulan Pendapatan/kapita/bulan (Rupiah) ≤69.198,1 69.198,2–476.110,7 • 476.110,8 Total
(n)
Contoh
(%)
12 27 1 40
30,0 67,5 2,5 100,0
Menurut BPS (2005), Garis kemiskinan provinsi DKI Jakarta tahun 2004 adalah sebesar Rp 197.306,0 per kapita per bulan. Bila pendapatan per kapita per bulan dibandingkan dengan garis kemiskinan, persentase terbesar pendapatan per kapita per bulan yang dimiliki contoh (52,5%) berada di atas garis kemiskinan (>Rp 197.306,0) (Tabel 7). Di samping itu, contoh yang memiliki pendapatan per kapita per bulan yang berada di bawah garis kemiskinan (