PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum
Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan juga memerlukan payung dalam berbagai produk per-‐Undang-‐undangan yang dapat mengantisipasinya.
§ Sebelum Reformasi dalam pembaharuan perundang-‐
undangan perburuhan dan ketenaga kerjaan masalah penyelesaian sengketa buruh masih memakai undang-‐undang lama antara lain : § a. Undang-‐undang No.22 Tahun 1957 lembaran Negara No.42 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan. § b. Undang-‐undang No.12 Tahun 1964 Lembaga Negara No.93 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta.
Didalam kedua produk Perundang-‐ undangan tersebut diatas : § Memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh
lebih di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P.
kompleksnya permasalahan perburuhan § Akan tetapi pada zaman sekarang ini dimana
s e m a k i n k o m p l e k s n y a p e r m a s a l a h a n perburuhan Undang-‐undang lama tersebut tidak dapat lagi memberikan jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa perburuhan, sehingga di undangkanlah Undang-‐undang lain seperti Undang-‐undang Hak Azasi Manusia No.39 Tahun 1999, Undang-‐undang Serikat Pekerja No.21 Tahun 2000, dan Undang-‐undang penyelesaian perselisihan Industrial No.2 Tahun 2004.
Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia
§ Undang-‐undang Hak Azasi Manusia No.39 Tahun
bagi Buruh dan Tenaga 1999 memberi peluang Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh.
§ Walaupun banyak kaum awam belum paham
tentang tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-‐undang No.39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan.
melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-‐undang No.39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia
§ Penjelasan Undang-‐undang tersebut
mengatakan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-‐undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup.
Sengketa ketenaga kerjaan tergolong sengketa publik § Sengketa ketenaga kerjaan tergolong sengketa publik
dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran Hak-‐ hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-‐undang No.39 Tahun 1999 yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-‐undang No.39 Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat menampung seluruh laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial
§ Penyelesaian perselisihan
Hubungan Industrial dalam Undang-‐undang No.2 Tahun 2004 memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/ Tenaga Kerja diluar pengadilan.
§
1. Penyelesaian Melalui Bipartie Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-‐undang No.2 Tahun 2004
memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan.
§ Bila terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau
antara serikat pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama.
§ Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus
ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan perjanjian perdamaian.
§
2. Penyelesaian Melalui Mediasi Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas
melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-‐syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-‐ undang No.2 Tahun 2004 dan minimal berpendidikan S-‐1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut.
§ Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri
Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi § Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-‐Undang No.2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-‐lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut.
Pejabat Konsiliator § Pejabat Konsiliator dapat memanggil para
pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai. § Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat tesebut.
4. Penyelesaian Melalui Arbitrase § U n d a n g -‐ u n d a n g d a p a t m e n y e l e s a i k a n
perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan.
Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) berbunyi : a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b. cakap melakukan tindakan hukum c. warga negara Indonesia d. berumur sekurang-‐kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun e. pendidikan sekurang-‐kurangnya Starata Satu (S-‐1) f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter g. menguasai peraturan perundang-‐undangan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase dan § h. memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang-‐kurangnya 5 (lima) tahun. § § § § § § §
Pengangkatan arbiter § Pengangkatan arbiter berdasarkan keputusan
Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-‐ alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri § Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38
Undang-‐undang No.2 Tahun 2004, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. § Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-‐undang No.2 Tahun 2004, s e o r a n g a r b i t e r h a r u s m e m b u a t A k t e Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian § Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan
dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-‐masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.
5. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan
§ Sebelum keluarnya Undang-‐undang Hubungan
Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam Undang-‐undang No.22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. § Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-‐undang No.2 Tahun 2004 sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.
Dalam Pasal 56 Undang-‐undang No.2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
§ a. di tingkat pertama m engenai perselisihan hak § b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan § c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja § d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri § a. Hakim § b. Hakim ad Hoc
dari :
§ c. Panitera Muda, dan § d. Panitera Pengganti. § Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung
terdiri dari : § a. Hakim Agung § b. Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan § c. Panitera
Syarat-‐syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-‐syarat sebagai berikut : § a. warga negara Indonesia § b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa § c. setia kepada Pancasila dan Undang-‐undang Dasar
§ § § § §
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela g. berpendidikan serendah-‐rendahnya Starata Satu (S-‐1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum, dan h. berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc § Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc
tersebut pad pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan SK. Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau memberikan janji menurut agama dan kepercayaannya masing-‐masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-‐Undang No.2 Tahun 2004.
PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA
§ § § § §
Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim Hakim Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali secara khusus diatur dalam undang-‐undang ini Pengajuan gugatan § -‐ Gugatan perselisihan Hubungan Industrial
diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadila Negeri yang daerah Hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja § -‐ Pengajuan gugatan wajib dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi § -‐ Kalau tidak lampiri dengan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi berkas dikembalikan dikembalikan para pihak
Gugatan dapat dicabut Penggugat § -‐ Gugatan dapat dicabut Penggugat sebelum
Tergugat memberi jawaban § -‐ Dalam hal perselisihan Hak dan atau perselisihan Kepentingan diikuti dengan perselisihan hubungan kerja, Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan § -‐ Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya
Ketua Pengadilan Negeri : § Ketua Pengadilan Negeri : 7 (tujuh) hari kerja
menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim sebgai ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim adhoc sebagai anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan
Pemeriksaan dengan acara biasa: -‐ Majelis Hakim : 7 (tujuh) hari kerja menetapkan sidang -‐ Pemanggilan saksi atau saksi ahli -‐ Saksi atau saksi ahli wajib memberikan kesaksian dibawah disumpah § -‐ Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta § -‐ Sidang terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain § § § §
Dalam hal salah satu pihak tidak menghadiri § Dalam hal salah satu pihak tidak mengahdiri
sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jwabkan Majelis Hakim dapat menetapkan hari sidang berikutnya. § -‐ Hari sidang berikutnya selambat-‐lambatnya 7 hari terhitung sejak tanggal penundaan § -‐ Penundaan sidang karena ketidak hadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-‐banyak 2 kali penundaan
Dalam hal penggugat § -‐ Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah
dipanggil secara patut tidak datang menghadap pengadilan pada sidang penundaan terakhir gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi
§ -‐ Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah
dipanggil secara patut tidak datang mengahadap pengadilan pada sidang Penundaan terakhir maka majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
§ -‐ Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib
menghormati persidangan
§ -‐ Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan
setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim dapat dikeluarkan dari ruang sidang
§
Putusan Sela -‐ Apabila dalam persidangan pertama secara nyata-‐ nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan
kewajibannya membayar upah dan hak hak yang biasa diterima pekerja, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada Pengusaha untuk melaksanakan keajibannya kepada pekerja/buruh
§ -‐ Putusan Sela dapat dijatuhkan pada hari
persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua
§ -‐ Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih
berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan 5 oleh pengusaha hakim ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan pengadilan Hubungan Industrial.
Putusan sela dan Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial tidak dapat diajukan perlawanan dan atau tidak dapat digunakan upaya hukum
Pemeriksaan dengan Acara Cepat
§ -‐ Apabila terdapat kepentingan para pihak dan atau salah
satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-‐alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak atau salah satu pihak dapat memohon kepada pengadilan hubungan Industrial supaya pemerikasaan sengketa dipercepat -‐ 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabul;kan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. § -‐ Terhadap Penetapan pemerikasaan dengan acara pemeriksaan cepat tidak dapat digunakan upaya hukum § -‐ Dalam hal permohonan dengan acara pemeriksaan cepat dikabulkan Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah dikeluarkannya Penetapan menentukan Majelis Hakim, Hari, Tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemerikasaan § -‐ Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak masing-‐masing ditentukan tidak melebihi 14 hari kerja
Putusan mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan § Majelis Hakim wajib menyelesaikan selambat-‐lambatnya
50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap § Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja Putusan Hubungan Industrial ditandatangani oleh Hakim, Hakim adhoc dan penitera pengganti Panitiera pengganti Pengadilan Hubungan Industrial selambatlambatnya 7 hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang
Selambat-‐lambatnya 14 hari setelah putusan ditandatangani § panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-‐lambatnya 7 hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan kepada para pihak § Ketua Majelis Hakim Pengadilan hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselihan hak dan perselisihan hubungan industrial mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam
waktu selambat-‐lambatnya 14 hari :
§ -‐ Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan
dalam sidang majelis hakim;
§ -‐ Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal
menerima pemberitahuan putusan Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. § -‐Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu selambat-‐ lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung
B. Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim Kasasi terdiri atas 1 orang § Majelis Hakim Kasasi Hakim agung dan 2 orang Hakim adhoc pada Mahkamah Agung Majelis Hakim Kasasi m e m e r i k s a d a n m e n g a d i l i p e r k a r a perselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung § Pe n y e l e s a i a n p e r s e l i s i h a n h a k a t a u perselisihan pemutusan hubungan kerja selambat-‐lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerjasejak tanggal permohonan kasasi.
Permasalahan No. 22 Tahun 1957 dan § Dengan dicabutnya UU
UU No. 12 Tahun 1964 maka proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan berubah. Perubahan ini sangat mendasar. Selama ini pekerja/serikat pekerja dan pengusaha tidak perlu membuat surat gugatan, cukup melaporkan masalahnya kepada instansi yang menangani ketenagakerjaan yaitu ke pegawai perantara. § Pegawai perantara mengeluarkan anjuran, apabila anjuran tidak diterima pekerja/serikat pekerja maka pegawai perantara dengan pengantar surat dari atasannya meneruskan ke P4D untuk diselesaikan.
Dengan keluarnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI § Dengan keluarnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang
PPHI apabila pekerja/serikat pekerja atau pengusaha tidak menerima anjuran, maka para pihak mengajukan gugatan ke pengadilan hubunganindustrial tempat pekerja bekerja. Dengan sistem UU No. 2 Tahun 2004 jelas dinyatakan pada Pasal 57 “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-‐undang ini.” Dengan ketentuan Pasal 57 tersebut maka pekerja/serikat pekerja dan pengusaha harus berhadapan dengan pengadilan hubungan industrial.
Berdasarkan hal-‐hal tersebut diatas yang menjadi
permasalahan adalah antara lain : § 1. Sejauh mana kesiapan pekerja/serikat pekerja dan pengusaha menghadapi pengadilan hubungan industrial. § 2. Apakah pekerja/serikat dan pengusaha sudah memahami teknis
§ beracara di pengadilan hubungan industrial mulai dari : § a. pembuatan surat gugatan yang memuat identitas para § § § § §
pihak,posita atau fundamental petendi dan petitum atau tuntutan. b. jawaban tergugat (gugatan rekonpensi) c. replik penggugat d. duplik tergugat e. pembuktian, terdiri dari bukti surat, bukti saksi, persangkaan,pengakuan dan sumpah. f. kesimpulan
Dalam hal ketidakmampuan teknis § 3. Dalam hal ketidakmampuan teknis
beracara di pengadilan hubungan industrial maka pekerja/serikat pekerja dan pengusaha harus menggunakan jasa pengacara sesuai dengan UU advocate, sejauh mana kemampuan finansial khususnya pekerja untuk membayar pengacara