RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 “Perselisihan Hubungan Industrial” I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H., ………………………………………………….. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E, …………………………………………………………. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H., …………………………………………………. Pemohon III 4. Suherman, ………………………………………………...………….. Pemohon IV 5. Edi Utomo, ……………………………………………………………. Pemohon V 6. Basuki Widodo, ………………………………………………………. Pemohon VI Kuasa Pemohon: Andika Hendrawanto, S.H., dkk, advokat pada Handoyo And Partners, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 25 Januari 2016. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil: 1. Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 2. Pasal 1 Angka 1, Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11, Pasal 1 Angka 12, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86, Pasal 110, Pasal 114, Pasal 115 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 1
3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang pada saat ini berstatus sebagai merupakan aktivis dan pimpinan/pengurus Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang merasa dirugikan oleh ketentuan Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 1 Angka 1, Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11, Pasal 1 Angka 12, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86, Pasal 110, Pasal 114, Pasal 115 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN 1) Pengujian Materiil UU 13/2003: Pasal 1 angka 22: “ Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.” 2) Pengujian Materiil UU 2/2004: -
Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 11, angka 12 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan 2
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusa-haan, atau perjanjian kerja bersama. 11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. 12. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. -
Pasal 2 huruf a “Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi : a. perselisihan hak;”
-
Pasal 56 huruf a Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
-
Pasal 86 “Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.”
-
Pasal 110 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan 3
kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja : a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim; b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan. -
Pasal 114 “Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
-
Pasal 115 “Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.”
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 2. Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 3. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2): (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Adanya mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang menggunakan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, hal tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pada 4
akhirnya relasi hubungan kerja yang dibangun adalah berdasarkan hukum privat dan artinya telah kembali lagi ke jaman penjajahan/kolonial; 2. Adanya proses penyelesaian Perselisihan Hak yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sekaligus sebagai hukum “formil“ undang-undang ketenagakerjaan, yang mana cara penyelesaiannya dengan mengajukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan industrial dengan menggunakan Hukum Acara Perdata, maka hal tersebut sama halnya atau identik dengan apa yang dinamakan “gugatan perbuatan melawan hukum “ sesuai Pasal 1365 KUHPer atau “ gugatan ganti kerugian“ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 98 s.d. Pasal 101 KUHAP (Hukum Acara Pidana) dan dalam kerangka hubungan hukum “perdata atau privat“, dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan mekanisme utama dalam penyelesaian hukum “publik“ dengan asumsi Perselisihan Hak dipersepsikan sebagai pelanggaran peraturan perundang–undangan ketenagakerjaan; 3. Keberadaan Perselisihan Hak telah merugikan pekerja/buruh dan menguntungkan pengusaha, bahkan patut diduga sengaja dibuat berdasarkan kebutuhan pengusaha; 4. Adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang terjadi, tetapi jika mekanisme penyelesaiannya melalui Perselisihan Hak yang dalam proses persidangannya menggunakan hukum acara perdata maka hal tersebut menjadi rancu dan membingungkan; 5. Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta Pasal 1 Angka 1, Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11, Pasal 1 Angka 12, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86, Pasal 110, Pasal 114, dan Pasal 115 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 telah mengaburkan kewajiban pengusaha kepada pekerja/buruh dan mengaburkan kewajiban pemerintah/pegawai pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum peraturan perundang – undangan ketenagakerjaan; 6. Seharusnya Pemerintah harus mengambil tanggung-jawab dan tampil terdepan untuk menafsirkan maksud, tujuan dan pelaksanaan UndangUndang yang telah dibuatnya, dan sekaligus melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundangundangan ketenagakerjaan; 7. Pekerja/buruh yang sebelumnya dalam posisi sudah sangat lemah dalam sebuah relasi hubungan kerja, ditambah harus berhadapan dengan pengusaha dalam berperkara di pengadilan untuk mengajukan gugatan 5
dengan menggunakan hukum acara perdata jika hak – hak normatifnya tidak diberikan; 8. Dengan diperluasnya permasalahan yang bisa diperselisihkan dan terlebih dengan adanya Perselisihan Hak, hal tersebut merupakan celah yang mendorong para pengusaha mulai melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan dan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi di antaranya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dengan dalih perusahaan tutup, kemudian setelahnya menerima pekerja/buruh baru dengan sistem hubungan kerja alih daya (outsourcing);
VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 22, dan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Pasal 1 Angka 1, Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11, Pasal 1 Angka 12, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86, Pasal 110, Pasal 114, Pasal 115 tersebut terhadap UUD 1945; 2. Menyatakan Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 22 mengenai frasa “Perselisihan mengenai Hak“, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Pasal 1 Angka 1 mengenai frasea “Perselisihan mengenai Hak “, Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11 mengenai frase “ Perselisihan Hak “, Pasal 1 Angka 12 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 110 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 114 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 115 mengenai frase “Perselisihan Hak“ tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945; 3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 22 mengenai frasa “Perselisihan mengenai Hak“, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Pasal 1 Angka 1 mengenai frasa “Perselisihan mengenai Hak“, Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11 mengenai frase “Perselisihan Hak“, Pasal 1 Angka 12 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 110 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 114 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 115 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; 6
4. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 22 mengenai frase “Perselisihan mengenai Hak“, dan Undang-Undang Nomer 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Pasal 1 Angka 1 mengenai frase “ Perselisihan mengenai Hak “ , Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 1 Angka 12 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 110 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 114 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 115 mengenai frasa “Perselisihan Hak“ tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 22 mengenai frasa “Perselisihan mengenai Hak“, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Pasal 1 Angka 1 mengenai frasa “Perselisihan mengenai Hak“ , Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 1 Angka 12 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 110 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 114 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, Pasal 115 mengenai frasa “Perselisihan Hak“, dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) diartikan bahwa Perselisihan Hak dengan segala mekanismenya dinyatakan sama halnya dengan gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPer, dan oleh karenanya pelaksanaannya harus dikesampingkan atau setidak-tidaknya dapat dilaksanakan setelah perbuatan melawan hukumnya diselesaikan atau ditetapkan oleh Pemerintah atau Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan; 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
7