IMPLEMENTASI ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI) Supono1, Yos Johan Utama2 Abstrak Negara Indonesia adalah Negara hukum. Salah satu prinsip Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekusaan ekstra yudisial.. Kekuasaan kehakiman sendiri merupakan kekuasaan yang merdeka, yang salah satunya melalui Asas Objektivitas yang menghendaki bahwa penyelesaian sengketa akan baik dan dapat diterima oleh semua pihak, jika dilakukan secara imparsial (tidak memihak), objektif dan adil. Harapan- harapan di atas, muncul dari adanya Asas Equality Before The Law yang merupakan salah satu dari tiga arti dari Rule of Law (Negara Hukium). Asas Equality Before The Law timbul dari sistem hukum modern yang diilhami oleh paradigma Positivisme yang beranggapan bahwa hukum itu harus objektif dan steril dari pengaruh apapun di luar hukum. Implementasi Asas Equality Before The Law dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial di PHI ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, karena Pihak yang berselisih dalam hubungan industrial adalah pengusaha dan pekerja/buruh yang secara sosial maupun ekonomi jelaslah “tidak sederajat”. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan Sosio-legal (Socio-legal approach), yaitu metode penelitian hukum yang disamping menganalisa implementasi asas Equality Before The Law dalam hukum normative yang diberlakukan yaitu UU.No. 2 tahun 2004. Melalui penelitian ini dapat menemukan konsep peradilan hubungan industrial yang mampu menerapkan asas Equality Before The Law yang ideal. Kata kunci: Hubungan industrial, Pengadlan Hubungan Industrial (PHI), asas Equality Before The Law.
1 2
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum UNDIP Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum UNDIP
Abstract Indonesia is state law. One of the rule of law is the guarantee of the implementation of the power of the judiciary is independent, free from any interference from extrajudicial. Judicial power itself an independent power, whichone of them through the principle of objectivity requires that dispute resolution will be good and acceptable to all parties, if conducted impartially (unbiased), objective and fair. Above expectations, arises from the principle of Equality Before The Law, which is one of the three meanings of the Rule of Law (State Hukium). The principle of equality before the law a rising from the modern legal system inspired by positivism paradigm that assumes that the law should be objective and free from any influence outside the law. Implementation of the principle of Equality Before The Law on settlement of industrial relation dispute in Industrial Relation Court is interesting to study further, because the parties to the industrial relations disputes are the employers and workers/laborers who are socially and economically obviously "not equal". Method of approach used inthis study is the method of Socio-legal approaches (Socio-legal approach), whichin addition to legal research methods to analyze the implementation of the principle of Equality Before The Law on normative law enacted that law. No. 2 of 2004.Through this research can find the concept of industrial relations court is able to apply the principles of Equality Before TheLaw is ideal. Keywords : Industrial Relations, Industrial Relations Court, The Principle of Equality Before The Law
ini
A. Latar Belakang
NRI
menghendaki
bahwa
Pasal 1 ayat (3) UUD
penyelesaian sengketa akan baik
Tahun
mengatur
dan dapat diterima oleh semua
Indonesia
pihak,
1945
bahwa: “Negara
jika
dilakukan
secara
adalah Negara hukum”. Salah
imparsial
satu prinsip negara hukum adalah
objektif dan adil. Oleh sebab itu,
adanya jaminan penyelenggaraan
hakim adalah pejabat negara
kekuasaan
yang
lembaga
peradilan
(tidak
memihak),
tugas
utamanya
yang merdeka, bebas dari segala
memberikan
campur tangan pihak kekuasaan
definitive terhadap konflik atau
ekstrayudisial
untuk
sengketa antar warga masyarakat
peradilan
dan pemerintah yang dihadapkan
menyelenggarakan guna
menegakkan
keadilan,
ketertiban,
kebenaran
kepadanya
penyelesaian
secara
imparsial,
objektif, adil dan manusiawi.4
dan
kepastian hukum yang mampu
Penyelesaian objektif
perkara
memberikan pengayoman kepada
secara
masyarakat.3
Penyelenggaraan
memihak dilandasi oleh Pasal 4
peradilan haruslah berdasarkan
ayat (1) Undang-Undang Nomor
asas-asas kekuasan kehakiman
48 Tahun 2009 yang menegaskan
yang merdeka, salah satunya
bahwa
“Pengadilan
dan
tidak
mengadili
adalah Asas Objektivitas. Asas 4
Rimdan, 2012, Kekuasaan Kehakiman PascaAmandemen Konstitusi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 1 3
Arief Shidarta, 22-24 Juni 2011, Sebuah Catatan tentang Hakim, Makalah pada Lokakarya Peningkatan Kapasitas Hakim, Hotel Apita, Cirebon, hlm. 2
menurut hukum dengan tidak
konflik, seperti hubungan kerja
orang”.
antara pengusaha dengan para
membeda-bedakan
Artinya, hakim dalam memeriksa
pekerja/buruh,
dan
sebagai
memutus
diajukan
perkara
kepadanya
yang
haruslah
yang
disebut
konflik/perselisihan
hubungan industrial.
objektif dan tidak boleh memihak
Penyelesaian perselisihan
kepada pihak tertentu. Hal ini
hubungan industrial dilakukan di
muncul
Pengadilan Hubungan Industrial
sebagai
akibat
dari
adanya Asas Equality Before the
(PHI)
Law yang dikemukakan oleh
institusi/lembaga
Albert Venn Dicey.5 Salah satu
diharapkan
dasar pikir utama asas Equality
menyelesaikan
Before the Law adalah hukum itu
hubungan industrial yang cepat,
harus steril dari kepentingan
tepat,
sehingga harus objektif dan tidak
sebagaimana yang diamanatkan
boleh memihak. Namun, bila
oleh Pasal 56 Undang-Undang
melihat
No.
kenyataan
adanya
sebagai yang
yang mampu
perselisihan
adil
2
sebuah
dan
Tahun
murah
2004
tentang
hubungan-hubungan yang dapat
Penyelesaian
menimbulkan hubungan hukum,
Hubungan Industrial (selanjutnya
maka berpotensi pula timbulnya
disebut dengan UU No. 2 Tahun 2004).
AlbertVenn Divey, 1915, Introduction to the Study of the Law of the Contitution, London Mcmilian, hlm. 110-115
Di
Perselisihan
sini
pengadilan
5
haruslah netral, objektif dan tidak boleh memihak salah satu pihak
yang
berselisih,
sedangkan
Penyelesaian
Perselisihan
kedudukan antara buruh dan
Hubungan
Industrial?
Ketiga,
pengusaha sangat berbeda secara
bagaimana
konsep
proses
ekonomi/tidak
beracara di PHI yang mampu
sederajat.
Berdasarkan uraian di atas, maka
menerapkan
penulis tertarik untuk membahas
Before The Law yang ideal?
mengenai: pertama, bagaimana
Asas
Equality
B. Metode Penelitian
kedudukan Pengadilan Hubungan
Metode Pendekatan yang
Industrial (PHI) sebagai salah
digunakan dalam penelitian ini
satu institusi dalam penyelesaian
adalah
masalah perselisihan hubungan
Sosiolegal (Socio-legal approach),
industrial selain Arbitrase dan
yaitu metode
setelah
yang menganalisis implementasi
Konsiliasi
Mediasi?
Kedua,
ataupun Bagaimana
metode
pendekatan
penelitian
hukum
asas Equality Before The Law
keterkaitan antara Asas Equality
dalam hukum positifnya, yaitu UU
Before
No. 2 Tahun 2004, juga meneliti
The
prosedur/
Law
dengan
beracara
dalam
penyelesaian hubungan
perselisihan industrial
kenyataan
implementasi
asas
Equality Before the Law dalam
di
praktek beracara di Pengadilan
Pengadilan Hubungan Industrial
Hubungan Industrial sesuai UU
(PHI)
tersebut yang dialami para pihak
sebagaimana
diatur
menurut Undang-Undang No. 2
yang
Tahun
advokat/pengacara,
2004
tentang
terkait,
yaitu
hakim,
pengusaha/asosiasi
pengusaha
2004
tentang
Penyelesaian
maupun pekerja/buruh atau serikat
Perselisihan Hubungan Industrial.
pekerja/buruh.
Ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 telah
C. Kerangka Teori Seiring perkembangan
reformasi,
memberikan
beberapa
dengan
alternatif sebagai solusi bagaimana
telah
penyelesaian perkara perselisihan
diterbitkan UU No.13 Tahun 2003
hubungan industrial.
tentang Ketenagakerjaan. Terkait
Ada
3
(tiga)
bentuk
penyelesaian
perkara
dengan penyelesaian perselisihan
polarisasi
hubungan
industrial
ini,
perselisihan hubungan industrial
dicantumkan
dalam
Penjelasan
menurut ketentuan UU No. 2
Umum UU No. 13 Tahun 2003,
Tahun 2004, yaitu dapat dilakukan
kemudian diatur lebih lanjut pada
melalui
Pasal 136 UU No.13 Tahun 2003.
Tripartit dan dapat pula melalui
Konsekuensi logis adanya UU baru
PHI.6
ini, maka UU terdahulu, yaitu UU
secara bipartit melalui perundingan
No.
tentang
bipartit, sedangkan secara tripartit
Perselisihan
dengan melibatkan orang ketiga
22
Tahun
Penyelesaian
1957
perundingan
Penyelesaian
Mediasi,
Bipartit,
perselisihan
Perburuhan dan UU No. 12 Tahun
melalui
Konsiliasi
1964 tentang Pemutusan Hubungan
maupun Arbirtrase. Bipartit dan
Kerja di Perusahaan Swasta, tidak M. Saleh & Lilik, 2012, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial, Bandung, Citra Adlyta Abadi, hlm.55 6
berlaku lagi. Kemudian, sekarang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun
tripartit
ini
penyelesaian hubungan
merupakan
UU No. 2 Tahun 2004, yaitu
perselisihan
memeriksa dan memutus: (a) Di
industrial
di
luar
pengadilan (non-litigasi).
dalam
pertama
mengenai
perselisihan hak; (b) Di tingkat
PHI merupakan lembaga terakhir
tingkat
penyelesaian
pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; (c) Di
perselisihan hubungan industrial
tingkat
setelah Konsiliasi dan Mediasi, dan
hubungan kerja; (d) Di tingkat
Arbitrase,
pertama dan terakhir mengenai
yang
dibentuk
pertama
pemutusan
berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004.
perselisihan
antar
serikat
Eksistensi
lembaga
Pengadilan
pekerja/serikat buruh dalam satu
Hubungan
Industrial
tercantum
perusahaan.
pada Pasal 5, Pasal 14, Pasal 23
Kedudukan
PHI
sebagai
ayat (2) huruf e, dan Pasal 55 serta
bagian dari Pengadilan Negeri,
Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004.
maka
Pada Pasal 55 UU No. 2 Tahun
pengadilan khusus dari Pengadilan
2004
Negeri
disebutkan
bahwa
PHI
(PN).
adalah
bentuk
Kompetensi
PN
“Pengadilan Hubungan Industrial
meliputi
merupakan pengadilan khusus yang
perkara pidana. Terhadap pekara
berada di lingkungan peradilan
perdata, hakim PN hanya akan
umum”.
memutus sesuai yang dituntut oleh
Selanjutnya,
mengenai
perkara
perdata
tidak
dan
tugas dan kewenangan PHI, secara
Penggugat,
boleh
ekspilist ditentukan pada Pasal 56
memberikan putusan lebih dari
yang dituntut. PHI adalah bagian
hukum.8 Selanjutnya, berkenaan
dari perkara ketenagekerjaan yang
dengan hukum acara yang berlaku,
merupakan bagian dari hukum
sesuai dengan isi ketentuan Pasal
perdata. Prinsip dari norma hukum
57
perdata adalah bersifat mengatur,
disebutkan bahwa “Hukum acara
dalam arti pihak- pihak bebas
yang
untuk membuat suatu aturan yang
Hubungan Industrial adalah hukum
tertuang dalam klausula perjanjian
acara perdata yang berlaku pada
asalkan tidak bertentangan dengan
Pengadilan
perundang- undangan, kesusilaan,
Peradilan Umum, kecuali diatur
dan kesopanan yang ada dalam
khusus dalam undang-undang ini”.
masyarakat.7
Namun,
Kaitannya
UU
No.
berlaku
2
Tahun
pada
dalam
terdapat
2004
Pengadilan
lingkungan
beberapa
dengan
perbedaan ketentuan hukum acara
implementasi asas Equality Before
yang berlaku di PHI sebagaimana
the Law di
maka
yang tercantum dalam UU No. 2
meliputi
Tahun 2004 dengan hukum acara
sistem
perdata di Peradilan Umum (PN),
dikembangkan
meliputi hal-hal: Syarat gugatan,
dalam lembaga peradilan tersebut,
Tempat menggugat, Biaya perkara,
yaitu
Jenis acara, Perdamaian, Majelis
PHI,
pembahasannya pula
harus
unsur-unsur
pengadilan
yang
meliputi
dari
unsur-unsur:
struktur, substansi dan budaya 8
7
Ibid, hlm. 196
Yos Johan Utama, Menggugat Fungsi PTUN Sebagai Salah Satu Akses WN untuk mendapatkan Keadilan dalam Perkara Adm.Neg. Jurnal Hukum Vol. 10 No. 1.Maret 2007, hlm. 33
hakim, Batas kewenangan, Kuasa
Ketiga,
bahwa
Hukum, Waktu memutus, Dasar
sepuluh
(36
putusan,
dimenangkan
Penyampaian
putusan,
Biaya eksekusi, Upaya hukum.9
PHI
sebagai
perkara oleh
Pekerja/buruh sedangkan tiga
dimenangkan oleh Pengusaha.
Salah Satu Institusi dalam
Sisanya
Penyelesaian
sepuluh (33%) perkara/gugatan
Perselisihan
Berdasarkan
sekitar
tiga
dari
dikabulkan sebagian. Keempat,
Hubungan Industrial hasil
bahwa hampir delapan dari
penelitian didapatkan bahwa
sepuluh (80%) perkara yang
Pertama, hampir sembilan dari
diputus oleh PHI Jakarta Pusat
sepuluh
diajukan
upaya
hukum
perkara perselisihan hubungan
berikutnya
(Kasasi
maupun
industrial yang diajukan ke PHI
PK).
Penggugat
(90%)
Jakarta Pusat diajukan oleh
Dari data-data di atas,
Pekerja /Buruh. Kedua, bahwa
dapat
delapan dari sepuluh (80%)
pekerja/buruh
yang
perkara
dominan/lebih
banyak
adalah
dilihat
bahwa
perkara/perselisihan Pemutusan
mengajukan perkara/gugatan di
Hubungan
PHI.
Kerja
(PHK).
Juanda Pangaribuan, 2011, Kedudukan Dosen dalam Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta, Bumi Intitama Sejahtera, hlm.119 9
%)
dari
dari sepuluh (31%) perkara
D. Hasil dan Pembahasan 1. Kedudukan
empat
bahwa
Hal
ini
pihak
dikarenakan pekerja/buruh
merasa pihak Pengusaha telah
melakukan wanprestasi/cidera
yang dapat
janji atau perbuatan melawan
Pertama,
hukum. Sedangkan, dari jenis
mayoritas/dominan
Subjek
perbuatan/perselisihan
Penggugat
adalah
dominan diajukan adalah PHK.
Pekerja/buruh.
Kedua,
Artinya,
mengapa
dalam
yang
hubungan
diajukan,
yaitu
mengapa
mayoritas/dominan
industrial pada umumnya dan
jenis perkara yang diajukan
hubungan
kerja
pada
adalah PHK. Berbeda dengan
khususnya,
kasus
PHK
kondisi
pekerja/buruh,
merupakan kasus yang paling
sedangkan
sering dirasakan para pihak,
keluarnya/diPHK-nya seorang
yang tidak dapat diselesaikan
atau bahkan beberapa orang
melalui upaya non-ligitasi, baik
pekerja/buruh,
bipartite,
manajemen
mediasi,
maupun
bagi
Pengusaha,
secara (operasional
konsiliasi. Bredasarkan hasil
maupun
penelitian di atas, maka terlihat
menimbulkan
betapa
PHK
serius di kemudian hari bagi
merupakan kasus serius/penting
kelangsungan hidup perusahaan
yang menimpa pekerja/buruh
tersebut.
dan dominan dilakukan oleh
kondisi/posisi
pengusaha.
pekerja/buruh dan pengusaha
masalah
Dari
hasil
keuangan) masalah
jarang yang
Perbedaan antara
penelitian
yang demikian, ternyata juga
tersebut ada 2 (dua) pertanyaan
merupakan bukti bahwa dalam
praktek Asas Equality
Before
Hubungan Industrial (PHI)
the Law cukup sulit diterapkan
Sebagaimana Diatur Undang-
dalam
Undang No. 2 Tahun 2004
peradilan,
termasuk
dalam proses PHK di PHI.
tentang
Memperkuat fakta ini, maka
Perselisihan
dapat dikemukakan adanya 2
Industrial
(dua)
putusan
Agung,
Mahkamah
yaitu
Putusan
Penyelesaian Hubungan
Keterkaitan Equality
asas
Before
the
Law
Mahkamah Agung RI. No.
dengan prosedur beracara di
700/Pdt. Sus/2011 dan Putusan
PHI (sesuai UU No. 2 Tahun
Mahkamah Agung RI. No.
2004), sebagaimana
299/Pdt. Sus/2012, yang pada
tercantum pada Pasal 57 UU
intinya dalam kedua Putusan
No.
Mahkamah
menyatakan
Agung
tersebut
2
Tahun
yang
2004
bahwa
yang Hukum
mengabulkan PHK dikarenakan
acara yang berlaku pada PHI
hubungan industrial sudah tidak
adalah Hukum Acara Perdata
lagi harmonis.
yang berlaku
2. Keterkaitan
antara
Peradilan
Law
yang
Equality
Before
dengan
Prosedur/Beracara
dalam
Penyelesaian
Perselisihan Industrial
the
Asas
di
dalam
di
lingkungan
Umum,
diatur
kecuali
secara
khusus
undang-undang
Sedangkan,
Hukum pada
ini. Acara
Hubungan
Perdata
umumnya
Pengadilan
diberlakukan dengan asumsi
dan
anggapan
bahwa
para
berkaitan dengan Asas Equality
pihak yang berperkara dalam
Before the Law yaitu
posisi yang sederajat seimbang,
berkenaan
sehingga
perkara,
harus
pula
yang
dengan:
Biaya
Sumpah
hakim,
diperlakukan sama baik dalam
Pengajuan
gugatan,
hak dan kewajiban berperkara.
Penyempurnaan
gugatan,
Pada kenyataannya, tentu sulit
Kuasa Hukum, Majelis hakim,
untuk diterima jika kedua pihak
Proses Acara pemeriksaan dan
dalam perselisihan hubungan
Upaya Hukum.
Industrial
(Pengusaha
Pekerja/buruh)
Adapun
analisis
jelas
terhadap pasal-pasal UU No. 2
“tidak sederajat” diperlakukan
Tahun 2004 yang berkaitan
sama, baik dalam hak maupun
dengan asas Equality Before
kewajiban dalam berperkara di
the Law sebagai berikut:
pengadilan. Berkenaan dengan
a. Biaya Perkara (Pasal 58);
hal tersebut, setelah dilakukan
b. Sumpah Hakim (Pasal 60
analisis
yang
dan
terhadap
materi
UU.No. 2 Tahun 2004, dari total
jumlah
isi
seluruh
materinya, terdiri dari delapan Bab dan 126 pasal, maka diperoleh data dan fakta bahwa beberapa isi pasal di bawah ini
ayat 1); c. Domisili gugatan (Pasal 81) dan
Gugatan
Kolektif
(Pasal 84); d. Penyempurnaan
Gugatan
(Pasal 82 ayat 2); e. Kuasa Hukum (Pasal 87);
f. Majelis Hakim dan Hakim
ekonomi antara Pengusaha
Adhoc (Pasal 88 dan Pasal
dengan
92);
ternyata berpengaruh besar
g. Proses/acara
Pemeriksaan
(Pasal 98 ayat 1); dan
Beracara
Pengadilan
di
(PHI)
berkaitan
dengan
Hubungan
Industrial
dalam proses persidangan, khususnya
h. Upaya Hukum (Pasal 56). 3. Konsep
pekerja/buruh
yang
kegiatan
persidangan,
memilih tempat pengajuan gugatan,
memanfaatkan
Mampu Menerapkan Asas
jasa
Equality Before the Law yang
lama/waktu
Ideal dan Kendalanya.
yang
Setidaknya terdapat 2 (dua)
kondisi
yang
harus
seperti:
kuasa
hukum, persidangan sulit
dipersingkat/disederhanaka n, termasuk di dalamnya
diperhatikan berkaitan dengan
ada
ketidaksembangan
kondisi
Mahkamah Agung (MA)
antara pihak pemgusha dengan
untuk perselisihan hak dan
pekerja/buruh
perselisihan
pada
saat
upaya
berhadapan di PHI, yaitu:
samping
a.
menempel
Perbedaan ekonomi
kemampuan (kaitan
adanya
faktor biaya). Perbedaan
kasasi
PHK.
itu,
Di
kewajiban
materai
Rp.
6000,- pada setiap bukti dokumen/surat
kemampuan
ke
yang
diajukan. Hal ini cukup
memberatkan
aktivitasnya
dalam
pekerja/buruh, tetapi tidak
menjalankan
perusahaan,
demikian bagi pengusaha.
termasuk
Para
pekerja/buruh
pengelolaan sumber daya
biasanya/kebanyakan sudah
manusianya. Oleh karena
tidak
punya
penghasilan
itu, dalam banyak kondisi,
lagi,
tetapi
perkaranya
dalam
maka
dokumen
diajukan dan diproses di
ketenagakerjaan
PHI.
seringkali hanya dimiliki
b. Perbedaan kewajiban atas kepemilikan
dan
penyimpanan
dokumen
dan
pun
disimpan
perusahaan.
oleh Proses
pembuktian kondisi ini jelas
(kaitannya dengan proses
menguntungkan
pembuktian)
Pengusaha. Sebaliknya, jika
Seperti
bahwa
tidak memiliki dokumen
bagi
pendukung, maka kondisi
wajib
ini akan melemahkan posisi
memiliki dan menyimpan
pekerja/buruh. Oleh karena
dokumen
itu,
adanya
diketahui
pihak
ketentuan
perusahaan
yang
perusahaan
sebaiknya
ada
sedemikian rupa, sehingga
pembedaan
sewaktu-waktu
antara pengusaha dengan
dapat
diketahui
kondisi
pekerja/buruh,
perusahaan
beserta
dalam
hal
pembuktian
dimana pembuktian
surat/dokumen, maka beban
karena
pembuktian tersebut wajar
diperlukan saksi-saksi yang
diletakkan
meringankan/membela
lebih
pengusaha
pada daripada
pekerja/buruh.
Karyawan SDM
kerja,
dalam
hal
pihak Pekerja yang sedang berselisih, maka hal ini
c. Pengeloaan/pengaturan Ijin
Selama waktu
itu,
bukanlah hal susah untuk diberikannya ijin kepada
hubungan
terutama
saat
Pengusaha dengan alasan kesibukan
pekerjaan.
melakukan pekerjaan, maka
Namun sebalilknya, pihak
sepenuhnya hal
Pengusaha
tersebut
dengan
merupakan
mudahnya akan berusaha
hak/kewenangan
menghadirkan
Pengusaha,
khususnya
otoritas permohonan
ijin
yang
saksi-saksi
mendukung
pihak
Pengusaha.
bagi karyawannya. Dalam
Berdasarkan uraian
konteks ini, maka yang
di
perlu diperhatikan adalah
diusulkan prosedur beracara
saksi-saksi yang lebih tahu
yang
dan
dalam
menerapkan/implementasik
hubungan
an asas Equality Before The
industrial pasti lah para
Law yang ideal sebagai
pekerja
berikut: Biaya Perkara tidak
terlibat
perselisihan
tersebut.
Oleh
atas,
maka
dapat
mampu
dibatasi,
Kuasa
Hukum
memperjuangkan maksudnya untuk
gratis, Pengajuan
gugatan
melakukan PHK dengan alasan
di tempat Tergugat, Majelis
hubungan industrial sudah tidak
Hakim
harmonis, walaupun masih ada
permanen;
pemeriksaan
Acara
cepat/Acara
keinginan
pihak
pekerja/buruh
permeriksaan
untuk bekerja. Keterkaitan antara
disederhanakan,
asas Equality Before the Law
Pembuktian (Dokumen saksi
Tertulis surat),
lebih
kepada
Saksi-
dibebankan
Pengusaha,
dan
Upaya Hukum dibatasi.
dengan prosedur/beracara dalam penyelesaian hubungan
perselisihan industrial
di
sebagaimana diatur UU No. 2 Tahun
2004
sudah
tercermin
pelaksanaan asas Equality the
E. Simpulan PHI
telah
Law,
seperti
ketentuan-
ketentuan tentang biaya perkara,
Before
sumpah hakim, pengajuan gugatan,
mungkin
penyempurnaan hukum,
dari
pemerkisaan/persidangan
(pengusaha
pencari
dan
keadilan
pekerja/buruh).
Salah satu faktanya adalah posisi pihak
pengusaha
kuat, dalam
hal
terlihat
lebih
pengusaha
majelis
gugatan,
walaupun dirasakan masih jauh harapan
Before
berusaha
menerapkan asas Equality the Law semaksimal
PHI
hakim,
kuasa cara dan
upaya hukum. Namun,
terdapat
pula
beberapa ketentuan yang justru bertentangan
dengan
asas
EqualityBefore the Law, yaitu
pada
pihak
pengusaha,
adanya kecenderungan Pembuat
dokumen perjanjian kerja, upah,
UU lebih membela kepentingan
absensi dan lain-lain; dan (c)
Pekerja/ buruh. Konsep proses
perbedaan
beracara di PHI yang mampu
pengelolaan
menerapkan asas Equality Before
berakibat
the Law yang ideal, hanya bisa
pengusaha
terwujud, dengan suatu prasyarat
dibandingkan pekerja/buruh (perlu
diatasinya/diperhatikannya
ijin pengusaha).
dalam SDM. pada
seperti
kewenangan Hal
ini
kemudahan
menghadirkan
saksi
masalah-masalah, antara lain: (a)
Daftar Pustaka
Perbedaan kemampuan ekonomi
Johan Utama, Yos, Menggugat Fungsi PTUN Sebagai Salah Satu Akses WN untuk mendapatkan Keadilan dalam Perkara Adm.Neg. Jurnal Hukum Vol. 10 No. 1.Maret 2007
(adanya faktor biaya), khususnya berkaitan
dengan
pengajuan
gugatan, kuasa hukum, lama/waktu proses
persidangan
hukum;
dan
(b)
upaya
perbedaan
kewajiban/kepemilikan
dan
penyimpanan dokumen, khususnya berkaitan
dengan
Rimdan, 2012, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
beban
pembuktian (baik surat/dokumen maupun saksi). Dalam pembuktian surat-surat,
Pangaribuan, Juanda, 2011, Kedudukan Dosen dalam Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera.
bahan-bahan
pembuktian lebih banyak berada
Shidarta, Arief, 22-24 Juni 2011, Sebuah Catatan tentang Hakim, Makalah pada Lokakarya Peningkatan Kapasitas Hakim, Hotel Apita, Cirebon
Venn
Divey, Albert, 1915, Introduction to the Study of the Law of the Contitution, London: Mcmilian
Saleh, M. & Lilik, 2012, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial, Bandung: Citra Aditya Abadi Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia tahun 1945, Undang- Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian
Perselisihan
Hubungan Industrial. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase
Penyelesaian Sengketa
dan
Alternatif