PERPADUAN MEANINGFUL-MATHEMATICS DENGAN PSEUDO-MATHEMATICS PADA PEMBELAJARAN PECAHAN TINGKAT SD
Rustanto Rahardi, Edy Bambang Irawan, Mahmudin Yunus
[email protected] Jurusan Matematika FMIPA UM Abstrak: Survey 33 calon guru SD menunjukkan tidak memahami pecahan. Survey dua orang guru SD, menunjukkan mereka bisa memaknai pecahan menggunakan bahan manipulatif (meaningful-mathematics), mengoperasikan dua pecahan menggunakan prosedural saja (pseudo-mathematics) tetapi belum dapat memadukan meaningful-mathematics dengan pseudo-mathematics. Masalah pemaduan inilah yang menjadi kajian penelitian. Hasil kajian memberikan teori perpaduan meliputi: (1) Memahamkan Kekekalan Luas, (2) Menerapkan tiga model representasi Jerome Bruner (enactive, iconic, dan symbolic); (3) Memberikan contoh-contoh sederhana terurut, dan (4) Menyimpulkan secara Induktif. Uji coba dilakukan di SDN Bumiaji 02 Kota Batu dengan menerapkan Lesson Study. Kata Kunci: meaningful-mathematics, pseudo-mathematics
Sepintas mengajar matematika pada siswa Sekolah Dasar (SD) mudah dan siapapun sepertinya bisa sehingga banyak orang yang bukan berlatarbelakang pendidikan matematika mau mengajarkannya. Pernyataan ini bisa benar jika sang pengajar mengajar matematika secara dogmatis, artinya mereka hanya mengajar secara prosedur saja. Bentuk pembelajaran semacam ini disebut dengan pseudo-mathematics (Iwan Pranoto, 2013). Sebagai contoh bahwa negatif satu kali negatif satu secara prosedural hasilnya positif satu, tidak pernah diajarkan mengapa demikian. Maklum mereka itu tidak mengenal pedagogik sehingga mengajar matematika terasa kering tanpa makna belum melibatkan proses sejatinya seorang pendidik matematika. Keadaan ini bisa memicu siswa menjadi bosan bahkan prustasi karena menganggap matematika sebagai pelajaran yang menyebalkan. Bagi guru yang memahami pedagogik tentunya akan mengajar matematika di tingkat SD dengan kebermaknaan (meaningful-mathematics). Salah
satu langkah model ini adalah dengan menggunakan bahan manipulatif atau bantuan belajar untuk memaknai materi matematikanya. Profesi guru seperti inilah yang sejatinya tidak dapat digantikan oleh orang lain. Materi matematika tingkat Sekolah Dasar (SD) yang sulit diantaranya adalah materi pecahan, oleh karena itu wajar jika siswa kurang dapat memahami makna pecahan. Kekhawatiran ini di negara Brasil telah diteliti oleh Spinillo dan Federal (2004:217) dengan menyatakan bahwa the difficulty that children display regarding the concept of fractions has long been recognised, especially in the arithmetical learning of fractions. Temuan ini menunjukkan, di negara tersebut sudah lama diakui bahwa siswa sulit menampilkan tentang konsep pecahan, khususnya dalam pembelajaran aritmatika dari pecahan. Pinilla (2007) dalam proyek penelitian jangka panjang menyatakan bahwa, pecahan merupakan salah satu pertanyaan yang paling banyak dipelajari di Pendidikan
129
130, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
Matematika dan pembelajaran pecahan adalah salah satu daerah utama kegagalan. Secara umum dinyatakan bahwa pecahan adalah topik yang sulit bagi siswa SD (Leung, 2009) dan puncak aritmatika dasar (Yim, 2009). Sulitnya bahwa anakanak menampilkan tentang konsep pecahan telah lama diakui, khususnya dalam pembelajaran aritmatika dari pecahan (Spinillo & Federal, 2004). Pirie dan Kieren (1994), yang mengkonfirmasikan asumsi guru bahwa siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa pecahan, tapi tidak memahami penjumlahan kuantitas pecahan. Sedangkan penelitian tentang pecahan belum banyak dilakukan di Indonesia, oleh karena itu penelitian ini mencoba mengurai data awal di lapangan secara langsung. Mengingat materi pecahan sudah diajarkan di SD dan pelajaran matematika di SD merupakan salah satu pelajaran yang patut dijadikan objek penelitian maka data-data difokuskan pada materi pecahan. Telah dilakukan survey terhadap sekelompok 33 orang calon guru SD yang sedang menempuh kuliah tingkat sarjana semester VIII di suatu perguruan tinggi program studi pendidikan guru SD. Syarat
untuk dapat mengikuti kuliah tersebut mereka harus sudah menjadi guru SD. Kenyataannya ke 33 mahasiswa tersebut sebagian besar sudah mengajar SD di daerah pinggiran suatu Kabupaten Malang dengan status guru sukarelawan dan sebagian lainnya sudah guru SD yang belum memperoleh gelar sarjana. Demi mudahnya dalam penelitian ini mereka disebut sebagai calon guru SD. Salah satu matakuliah pada semester tersebut adalah “Pembelajaran Matematika SD”. Saat mereka menempuh matakuliah tersebut, data kemampuan mereka tentang pecahan diambil sebagai hasil pengamatan. Tentu saja pengambilan data tidak langsung memberikan soal tentang pecahan, akan tetapi memberikan soal sesuai dengan matakuliah yang mereka tempuh dan pengerjaannya menggunakan pecahan. Permasalahan diberikan dalam bentuk tugas yang hasil pekerjaannya dikumpulkan seminggu kemudian. Pengamatan terhadap hasil pekerjaan tugas difokuskan pada prosedur terhadap penyelesaian yang berkaitan dengan pecahan saja, tidak memperhatikan penyelesaian secara keseluruhan. Berikut ini adalah hasil scan pekerjaan salah satu dari mereka.
Rahardi, Irawan, dan Yunus, Perpaduan Meaningful-Mathematics, 131
Fokus pengamatan hanya pada penyelesaian yang dilingkari dan masingmasing merupakan penyelesaian yang saling terpisah (dari soal yang berbedabeda). Berawal dari pembahasan penyelesaian pecahan calon guru bernama samaran Isma dengan mencermati Gambar 1.1. Nampak bahwa penyelesaian dalam lingkaran paling atas menunjukkan bahwa
pikiran yang Isma gunakan tidak jelas. Sedangkan penyelesaian dalam lingkaran
dan dalam lingkaran di
mencermati pola-pola pekerjaan di atas, dapat disimpulkan bahwa Isma masih belum dapat mengoperasikan bilanganbilangan pecahan demikian juga tentang bilangan dibagi dengan nol. Pengamatan terhadap fokus penyelesaian pecahan dari 33 calon guru tersebut ternyata hanya ada empat calon guru yang penyelesaian pecahannya benar, sedangkan penyelesaian dari 29 calon guru sisanya memiliki kemiripan dengan calon guru Isma. Pengambilan data di lapangan berikutnya adalah deskripsi tentang kemampuan guru memahami makna dan sekaligus ketrampilan menjelaskan suatu materi pecahan pada siswanya.
bawahnya
menunjukkan
.
Mungkin Isma berpikir seperti operasi pada perkalian bahwa berapapun bilangan jika dikalikan satu hasilnya adalah bilangan itu sendiri ( ). Pedoman ini yang mungkin ia gunakan, sehingga ia menerapkan pada pecahan di atas. Akan tetapi prediksi pemikiran tersebut kurang tepat, terbukti terhadap penyelesaian yang dilingkari berikutnya jika
mengikuti
seharusnya dua
penyelesaian
sebelumnya hasilnya adalah
½,
pola
terakhir tentang
. Jika dicer-
mati sepertinya Isma bermaksud menyelesaikan seperti langkah-langkah berikut ini, . Secara umum dengan
132, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
Subjek diambil dari seorang guru SD Negeri di pinggiran Kabupaten Kediri dengan nama samaran Rendra. Rangkaian pertanyaan yang diberikan adalah (1) Jelaskan bagaimana Anda mengajarkan
tan ini hasil kajian teori diterapkan, kemudian efektivitasnya dianalisis melalui video rekaman pembelajaran serta refleksi dalam kegiatan see.
makna ¾; (2) Jelaskan bagaimana Anda menerangkan konsep pada anak SD untuk menyamakan penyebut dari dua bilangan ½ dan 3/5. Berdasarkan Gambar 1.2 dalam jawaban pertanyaan pertama, ia sudah menggunakan suatu persegi sebagai satuan luas, kemudian membagi persegi tersebut menjadi empat bagian yang luasnya sama. Pekerjaan ini menunjukkan bahwa ia sudah menggunakan konsep yang mencerminkan
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahannya sebagai berikut. Bagaimana menyusun teori yang memadukan pembelajaran meaningful-mathematics dan pseudo-mathematics materi pecahan SD?
makna dari ¾ yang berarti juga sudah menggunakan meaningful-mathematics. Terhadap pertanyaan kedua ia menggunakan prosedural untuk menjelaskan tentang penyamaan penyebut ½ dan 3/5. Ia belum dapat menanamkan konsep pecahan melalui kebermaknaan. Fakta pendukung lainnya, Rustanto Rahardi (2012) melalui rekaman kamera menemukan dalam suatu pembelajaran matematika di SD Swasta Surabaya, adanya guru yang semula mengajar dengan media manipulatif untuk memaknai 1/3 dan 2/5, tetapi pada langkah menyamakan penyebutnya guru langsung menggunakan prosedur kelipatan persekutuan terkecil (KPK). Jika dicermati terhadap fakta-fakta di atas, nampak para guru belum dapat memadukan antara meaningful-mathematics dengan pseudo-mathematics. LS (Lesson Study) merupakan model pembinaan (pelatihan) profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Kegiatan ini dilaksanakan dalam tiga tahap: Plan, Do, dan See (Rustanto Rahardi: 2010). Melalui kegia-
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah memperoleh teori yang memadukan pembelajaran meaningful-mathematics dan pseudo-mathematics materi pecahan SD. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari hasil dan temuan penelitian ini diantaranya: a. Temuan dapat dikategorikan sebagai dasar teori baru dalam pembelajaran meaningful-mathematics dan pseudo-mathematics. b. Temuan dapat digunakan untuk mengembangkan kurikulum Prodi Pendidikan Matematika khususnya Matakuliah Strategi Pembelajaran Matematika. c. Rekomendasi tersebut dapat merangsang penelitian lebih lanjut pada desain kegiatan belajar profesional untuk pendidik guru matematika. METODE PENELITIAN Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini merupakan model penelitian dan pengembangan berupa model teoritis.
Rahardi, Irawan, dan Yunus, Perpaduan Meaningful-Mathematics, 133
Adapun tahapannya digambarkan dalam diagram berikut ini.
Gambar 1.3 Alur Model Penelitian
1. Analisis standar kompetensi Materi pecahan perlu dianalisis standar kompetensinya dengan memperhatikan kurikulum untuk memudahkan identifikasi. Standar kompetensi (SK) pecahan di SD tentu berbeda dengan yang di SMP atau SMA. Kedalaman materinya sangat diperlukan untuk proses berikutnya dan ini dapat dilakukan dengan mendalami standar kompetensinya. Adapun SK pada siswa kelas 3 berdasarkan kurikulum 2013 adalah: Memahami konsep pecahan sederhana menggunakan benda-benda yang konkrit/ gambar. 2. Mengurutkan materi Secara teori di dalam kurikulum urutan materi sudah tersusun, akan tetapi dalam penelitian ini perlu diteliti lagi guna identifikasi. Sebagai contoh untuk siswa kelas 3, ketika ia sudah mengenal pecahan maka materi berikutnya adalah pecahan senilai, membandingkan pecahan, mengurutkan pecahan. 3. Analisis meaningful-mathematics Berdasarkan kedua identifikasi di atas, maka perlu diteliti bagian materi mana yang harus menggunakan bahan
manipulatif/media agar pembelajaran menjadi bermakna. Tidak semua pembelajaran pecahan menggunakan media manipulatif, akan tetapi sebatas pada materi-materi sederhana saja untuk menanamkan konsepnya. Guna mengetahui sejauh mana konsep yang dimiliki oleh siswa, maka perlu diberikan alat untuk mengujinya. Jika konsep sudah tertanam pada siswa maka perlu ada tahapan menuju ke prosedur secara umum. 4. Analisis pseudo-mathematics Berdasarkan kedua identifikasi di atas, maka perlu diteliti bagian materi mana yang pembelajarannya menggunakan prosedural. Misalkan prosedural menentukan pecahan yang senilai, menyamakan penyebut dua pecahan yang berpenyebut beda dan seterusnya. 5. Penyusunan teori perpaduan Berdasarkan kedua analisis di atas maka disusunlah tahapan-tahapan sebagai teori dasar sehingga pembelajaran meaningful-mathematics akan terpadukan dengan pseudo-mathematics. Beberapa gambaran teori yang dapat dijadikan rujukan adalah, menerapkan teori Jerome Bruner
134, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
(inactive, iconic, dan symbolic) memberikan minimal tiga contoh-contoh sederhana yang identik, menerapkan teori induktif. 6. Validasi Hasil tahapan-tahapan teori kemudian divalidasikan ke pakar pendidikan matematika, dengan angket yang sudah disiapkan. Angket sejumlah pertanyaan untuk guru model dan siswa juga turut divalidasi. 7. Penentuan subjek penelitian Subjek adalah guru SD, selain itu enam siswa dipilih masing-masing dua siswa dengan kategori berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. Siswa-siswa tersebut dipilih dengan acak selanjutnya mereka setelah selesai pembelajaran diwawancarai untuk memudahkan proses analisis Valsiner sebagai keefektifan teori yang telah disusun. 8. Uji coba berbasis LS Uji coba dilakukan di dalam kelas pembelajaran dengan LS, oleh karena itu ada tiga guru SD yang terlibat sejak plan, do, dan refleksi. Semua kegiatan direkam dengan kamera kemudian diputar ulang pada saat refleksi. 9. Refleksi/uji teori dengan zona Valsiner Teori perpaduan yang dihasilkan kemudian diuji efektifitasnya dengan analisis zona Valsiner. Contoh:
Maka
Instrumen Pengumpulan Data Data-data pendukungnya adalah rekaman kegiatan, isian angket guru model, isian angket observer, pekerjaan tertulis siswa yang terpilih dengan soal tes. PEMBAHASAN Berdasarkan SK kurikulum 2013 maka kajian kami memberikan rekomendasi bahwa SK dan sekaligus urutan materinya untuk siswa kelas 3 SD adalah: Mengenal pecahan sederhana, pecahan senilai, membandingkan pecahan, mengurutkan pecahan, memecahkan masalah yang berkaitan dengan pecahan sederhana. Penelitian ini mencoba memulai dari materi mengenal pecahan sederhana dan pecahan senilai. Sebagai meaningfulmathematics dari materi ini, maka proses pembelajarannya menggunakan media luasan suatu bangun datar. Bangun datar tersebut dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang sama sesuai dengan konsep pecahanya. Sebelum menjelaskan ini siswa terlebih dahulu harus memahami bahwa semua luas potongan-potongan dari suatu bangun datar jika dikumpulkan kembali akan memberikan luas yang sama dengan luas semula
Rahardi, Irawan, dan Yunus, Perpaduan Meaningful-Mathematics, 135
Tahapan ini selanjutnya disebut sebagai memahamkan Kekekalan Luas. Langkah selanjutnya untuk mengenalkan pecahan dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya apel yang dipotong-potong menjadi dua atau empat bagian yang sama). Jika satu apel tersebut akan dibagikan kepada dua anak secara adil, maka masing-masing anak akan mendapatkan setengahnya. Demikian juga apabila sebuah apel akan dibagikan kepada tiga anak atau empat anak secara adil, maka masing-
masing anak akan memperoleh sepertiganya atau seperempatnya. Tahapan ini merupakan tahap enactive. Kegiatan belajar berikutnya menggunakan gambar visual sebagai tahap iconic. Gambar yang mewakili sebuah apel secara utuh dan apel yang telah dipotongpotong menjadi dua, tiga, atau empat bagian yang sama. Anak memahami bagian-bagian yang telah dipotong-potong, misalnya setengah, sepertiga, seperempat dan seterusnya.
Tahap berikutnya yaitu tahap symbolic, siswa mulai diperkenalkan dengan
,
lambang-lambang pecahan seperti
1 1 , 2 3
Setengah dilambangkan dengan bilangan
1 (dibaca satu perdua atau seperdua atau 2 setengah). Bilangan “1” menunjukkan banyaknya bagian yang menjadi perhatian
1 dan seterusnya. Ketiga tahap enactive, 4
iconic, dan symbolic dikenal dengan tiga model representasi Jerome Bruner (McLeod, 2008).
atau diambil dari keseluruhan selanjutnya disebut “pembilang”. Bilangan “2” menunjukkan jumlah bagian-bagian yang sama dari suatu keutuhan selanjutnya disebut “penyebut”.
a dinamakan pecahan, artinya b a bagian dari b bagian secara keseluruhan yang sama dan a dinamakan pembilang
Jadi Bilangan yang dibaca a per b ditulis dalam bentuk
(bagian atas) serta b dinamakan penyebut (bagian bawah). Melalui alat peraga yang ditelitinya, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diper-
hatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Keteraturan itu secara simbolis akan mudah
136, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
dipahami untuk disimpulkan apabila lambang-lambang bilangan yang diberikan
sederhana dan urut.
Setelah pengenalan pecahan dipahami siswa, maka materi berikutnya adalah pecahan senilai. Sebagaimana pengenalan pecahan, dalam materi ini secara berurutan menggunakan: blok pecahan (enactive), gambar lingkaran dari blok
pecahan (iconic), menyimbulkan dari blokblok pecahan yang senilai (symbolic), memberikan contoh-contoh sederhana terurut, kemudian menyimpulkan secara induktif.
Penerapan proses simbolic hingga mengambil kesimpulan tanpa mengawali dengan pengenalan benda kongkrit merupakan pembelajaran matematika semu (Pseudo-Mathematics).
Uji coba dilaksanakan di SDN Bumiaji 02 Kota Batu dengan menerapkan LS. Kegiatan LS diikuti oleh satu guru model dan pengamat dengan dua guru dari SDN Bumiaji 02 dan tim peneliti sendiri.
Rahardi, Irawan, dan Yunus, Perpaduan Meaningful-Mathematics, 137
Namun demikian masih ada materi yang belum bisa dipahami oleh
siswa, yaitu ketika siswa sampai pada tahap menyimpulkan secara umum.
138, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
Perhatikan kesimpulan secara umum yang belum diisi oleh siswa. Ruparupanya siswa belum terbiasa dengan variabel, hal ini merupakan temuan baru yang dapat ditindaklanjuti untuk melakukan uji coba ataupun penelitian berikutnya. Buktinya untuk mengisi secara umum dari soal-soal nomor dua hingga lima mereka mengisi dengan bilangan bukan variabel. KESIMPULAN Hasil kajian memberikan bahwa teori perpaduan tersebut meliputi langkahlangkah (1) Memahamkan Kekekalan Luas, (2) Menerapkan Teori Jerome Bruner (enactive, ikonic, dan simbolic); (3) Memberikan contoh-contoh sederhana terurut, dan (4) Menyimpulkan secara induktif. Uji coba teori tersebut dilakukan di SDN Bumiaji 02 Kota Batu dengan materi pengenalan pecahan dilanjutkan dengan pecahan senilai. Pelaksanaan pembelajaran menerapkan Lesson Study yang didukumentasikan dengan rekaman video. Hasil evaluasi menunjukkan siswa sudah memaDAFTAR RUJUKAN Iwan Pranoto. (Februari 2013). Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pengembangan Budaya Ilmiah Melalui Penyadaran Sains Kerjasama Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar – AIPI dengan Universitas Negeri Malang (UM), di FMIPA UM. Leung, C K. 2009. A Preliminary Study on Hongkong Students’ Understanding of Fraction. Paper presented at the 3rd Redesigning Pedagogy International Conference June 2009, Singapore. McLeod, S. 2008. Bruner’s Three Modes Representation. Simply Psycho-
hami makna dari pecahan berdasarkan bendanya (enactive), gambar (ikonic), maupun lambangnya (simbolic). Akan tetapi mereka masih belum mampu menyimpulkan secara umum pecahan senilai. Kegiatan refleksi menyimpulkan bahwa siswa belum diberikan arahanarahan bagaimana menyimpulkan secara umum. Namun demikian MeaningfulMathematics dengan Pseudo-Mathematics sudah dapat dipadukan. Hasil rekaman video sedang ditranskripkan untuk selanjutnya dianalisis efektivitasnya dengan uji Valsiner. SARAN Pelaksanaan pembelajaran di kelas guru perlu memberi penjelasan pada siswa bagaimana cara menyelesaiakan LKS masing-masing, sebab dapat dimungkinkan siswa kurang paham dengan kalimat yang ada di LKS. Ditemukan bahwa secara umum siswa belum terbiasa dengan variabel, hal ini merupakan temuan baru yang dapat ditindaklanjuti untuk melakukan uji coba ataupun penelitian berikutnya.
logy. Diambil pada tanggal 1 November 2013, dari http://www. simplypsychology.org/bruner.html Pinilla, M.I.I. 2007. Fraction: Conceptual and Didactic Aspects. Mathematics, Issue 7 Acta Didactica Universitatis Comenianae. Pirie, S dan Kieren, T. 1994. Growth in Mathematical Understanding: How Can We Characterise it and How Can We Represent it? Educational Studies in Mathematics 26: 165-190. Printed in the Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Rustanto Rahardi. 2010. The Role of Contiguous Lecturer in Lesson Study. Makalah disajikan dalam
Rahardi, Irawan, dan Yunus, Perpaduan Meaningful-Mathematics, 139
Seminar Nasional MIPA dan Pembelajaran, di Universitas Negeri Malang. Rustanto Rahardi. 2012. Valsiner’s Zone Theory as The Teachers’ Zone of Proximal Development. Proceedings of the International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University, 21-23 July 2011. Spinillo, Alina Galvão & Federal, Maria Soraia Silva Cruz. 2004. Adding
Fractions Using Half as an Anchor for Reasoning. University of Pernambuco, Brazil Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol 4 pp 217–224. Yim, Jaehoon. 2009. Children’s strategies for division by fractions in the context of the area of a rectangle. Educational Studies in Mathematics, 73:105–120. DOI 10.1007/s10649009-9206-0