i
PERNYATAAN
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
disertasi
yang
berjudul
“MODEL
PENANGANAN KONFLIK LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG: Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung” adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada Perfguruan Tinggi ataupun Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Bogor, Januari 2012
ii
ABSTRACT GAMAL PASYA. Model of Environmental Conflict Management in Protection Forest Area (A case study in Register 45B Bukit Rigis Protection Forest Area, Lampung Province). Under supervision of: KOOSWARDHONO MUDIKDJO, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, CECEP KUSMANA and, SITI NURBAYA. Environment conflict of forest management is the relationship between two or more parties that having and/or who feel having disagreement of goals in forest management because of differences in social relationships/ communication, interests, data and information, values, and structural, which occurs within a space, so that the environmental functions of forests to be disturbed. Environmental conflicts in protection forest mostly caused by issues of scarcity, negative externalities, structural unbalance, and different viewpoint of people on value of forests. In many cases, forest governance creates overlapping policies regarding with these issues that may generate conflict escalation; this occurs in Register 45B of Protection Forest Zone in Lampung Province. This research aimed to study: (1) policies of forestry, environmental management, agrarian, spatial, and regional autonomy for the handling of environmental conflicts in forest management of the region, especially in the area of Protection Forest Bukit Rigis - Register 45b, (2) factors those affecting (escalation of) conflict, (3)conflict management styles manifested by parties/disputants, and polarization of parties refer to the conflict roots they face and,to (4) develop a model of environmental conflict management cognitively refer to lesson that learned by the parties. Research implementation and analysis carried out by using Descriptive Policy Analysis, Pathway Analysis, Pairwise Comparison Analysis – Scheffe Test, the technique of CAP (Collaborative Analytical, Problem-solving Process or Approach) and, SSA (Social System Analysis). The research found that: (1) based on policy analysis, Environmental Management and Controlling Act developed consistently a mechanism for dispute settlement and the Basic Act of Agrarian Law is merely developing mediation procedures, while the Ombudsman Act, Arbitration Act have not been consistently equipped with the regulations below it, (2) conflict escalation was mainly caused by decision to convert forest land use, (3) conflict management styles are collaborative and compromise, polarizations of parties refer to similarities on interests, (4) ccognitively the parties in resolving environmental conflicts forest areas, particularly the conflict status of the land, agreed to take efforts to release forest area under forestry regulations, and (5) by integrating the entire analysis can be constructed a model of institutional grievance mechanisms of conflict resolution following with tools of assessment. Key Words: Environment, Forest, Conflict, Resolution.
iii
RINGKASAN GAMAL PASYA. Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung). Di bawah bimbimbingan: KOOSWARDHONO MUDIKDJO, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, CECEP KUSMANA dan, SITI NURBAYA. Satu di antara berbagai sumberdaya alam potensial yang masih menjadi sektor tumpuan masyarakat dan Pemerintah Indonesia saat ini adalah hutan. Dalam ekosistem hutan terdapat fungsi lingkungan yang mencakup fungsi ekologis, fungsi sosial, dan fungsi ekonomis. Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sesuai dengan U.U. tersebut, Pemerintah Indonesia mengelola kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi lingkungan yang bersumber dari hutan. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi lingkungan kawasan hutan lindung lebih ditekankan atas pertimbangan ekologis. Konflik lingkungan pengelolaan hutan adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki dan/atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan
dalam
pengelolaan
hutan
karena
adanya
perbedaan-perbedaan
hubungan/komunikasi sosial, kepentingan, data dan informasi, nilai, dan struktural, yang terjadi di dalam suatu ruang, sehingga fungsi lingkungan dari hutan menjadi terganggu. Konflik lingkungan di hutan lindung sebagian besar disebabkan oleh masalah kelangkaan, eksternalitas negatif, ketidak-seimbangan struktural, dan sudut pandang orang yang berbeda pada nilai hutan. Dalam banyak kasus, tata kelola hutan menciptakan kebijakan yang tumpang tindih mengenai masalah-masalah yang mungkin menghasilkan eskalasi konflik; dan hal ini terjadi di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung. Atas kondisi tersebut dilakukan penelitian terhadap kebijakan yang terkait dengan penyelesaian konflik, faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab konflik, gaya para pihak dalam berkonflik; upaya para pihak menyelesaikan konfliknya secara kognitif; dan konseptualisai model kelembagaan penyelesaian konflik.
iv
Dari hasil analisis kebijakan, memang banyak hal yang menyebabkan konflik di lokasi tidak terselesaikan. Undang-undang (UU) No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), bahkan UU No.32 tahun 2007 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak dipergunakan menjadi alas hukum penyelesaian konflik. Demikian juga UU No.47/1999 tentang Kehutanan yang tidak memiliki derivasi peraturan di bawahnya yang terkait dengan penyelesaian konflik sector kehutanan. UU Pokok Agraria mandul menyelesaikan konflik did alam kawasan hutan, terjadi dikotomi kewenangan kelembagaan antara UU tersebut dengan UU Kehutanan. UU Penataan Ruang lebih memperhatikan urusan penyelesaian sengketa di luar kawasan hutan. UU Ombudsman hanya fokus pada konflik akibat maladministrasi dan hanya beraku surut 2 tahun ke belakang. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya memiliki ruang menyelesaikan sengketa/konflik kewenangan antar tataran pemerintah dan/atau antar satuan kerja. Pada tahun 2009, diterbitkan UU No.25 tentang Pelayanan Publik yang memandatkan bahwa seluruh lembaga pemerintah, bahkan termasuk badan usaha milik pemerintah wajib memiliki mekanisme mengelola pengaduan dan penyelesaian konflik. UU Pelayanan Publik ini masih baru dan belum tersosialisasi dengan untuh sehingga belum semua lembaga pemerintah menindaklanjutinya. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konflik di lokasi penelitian menunjukkan bahwa submodel eskalasi konflik (diwakili oleh peubah X26) yang terjadi dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis amat kuat dipengaruhi oleh Sub-model eksternalitas yang diwakili oleh peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) dengan nilai koefisien jalut X6 Æ X26 sebesar 0,37. Artinya untuk meredam eskalasi konflik yang terjadi tanpa bermaksud mengabaikan nilai penting peubah-peubah eksogen yang terdapat di dalam sub model lainnya, pengendalian terhadap konversi lahan kawasan dapat diprioritaskan terlebih dahulu. Di dalam sub-model eksternalitas, terdapat 5 peubah eksogen yang berpengaruh terhadap peubah endogen keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6). Dari kelimanya, peubah eksogen pengaruh pasar (X4) adalah akar konflik yang perlu mendapat intervensi.
Pasar komoditas kopi yang relatif baik
mempengaruhi responden memutuskan mengkonversi lahan. Hasil analisis dengan menggunakan Perbandingan Nilai Tengah (Pairwise Mean Comparisson) menunjukan pahwa pada kasus konflik status lahan kawasan
v
hutan, para pihak memanifestasikan gaya konflik kolaborasi dan komrpomi. Demikian juga pada kasus konflik ekses terhadap sumberdaya hutan, dan konflik tata batas kawasan. Kedua jenis manifestasi gaya konflik tersebut menjadi modal sosial awal untuk dilakukannya penyelesaian konflik konstruktif melalui perundingan yang kemudian dilakukan secara kognitif. Bentuk penyelesaian yang diinginkan adalah negosiasi, salah satu bentuk penyelesaian konflik di luar peradilan (Alternative Disute Settlement). Penyelesaian konflik status lahan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis secara kognitif dilaksanakan dengan tahap análisis dasar masalah (dengan merekonstruksi konflik yang terjadi), análisis profil para pihak, dan análisis upaya penanganan konflik. Pelaksanaannya menyertakan ahli antropologi dari WWF Lampung, ahli hukum tata tegara dari Fakultas Sosial Politik Universitas Lampung, dan ahli tata guna hutan dari Badan Planologi Departemen Kehutanan. Analisis upaya penanganan konflik dilakukan dengan mengurai skenarioskenario
penyelesaian.
Para
pihak
yang
berkonflik
status
lahan
berhasil
membangun 4 buah skenario penyelesaian yaitu: Peringkat 1: Pelepasan kawasan hutan seluas 302,5 dengan nilai sekor 9; Peringkat 2 Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 6,4; Peringkat 3: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 6; dan Peringkat 4 Relokasi penduduk dengan nilai sekor 1,2. Peringkat tersebut kemudian dihitung ulang dengan mengimbuhkan faktor biaya, waktu, ketersediaan sumberdaya manusia, dan keberlanjutan dukungan. Hasilnya adalah: Peringkat ke 1 pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur dengan nilai sekor 23; Peringkat ke 2 pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 18; Peringkat ke 3 Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 16; Peringkat ke 4: Relokasi dengan nilai sekor 11, dan Peringkat ke 5: Pelepasan dengan tukar menukar lahan dengan nilai sekor 7. Berdasarkan seluruh rangkaian analisis selama semiloka yang dilakukan oleh para pihak khususnya oleh kelompok diskusi konflik status lahan, memutuskan bahwa upaya penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya yang berada di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan ditempuh melalui usulan pelepasan areal kawasan sesuai dengan prosedur peraturan dan perundangan yang berlaku.
vi
Untuk langkah ke depan, dari seluruh rangkaian analisis dikembangkan sebuah model konseptual kelembagaan penanganan konflik mencakup tahap-tahap: Registrasi dan Penerimaan Pengaduan; Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian; Keputusan
untuk
Merespon
mengimplementasikannya;
Pengaduan;
Melakukan
Menentukan
Pendokumentasian
Pendekatan dan
dan
Penelusuran;
Evaluasi, Monitoring, dan Pembelajaran. Model konseptual ini dapat terselenggara apabila kebijakan pemerintah yang menjamin terselenggaranya demokrasi dan hak untuk bersuara; hak untuk memperoleh informasi; dan penyelesain konflik adalah bagian dari pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah.
vii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya teks ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
viii
MODEL PENANGANAN KONFLIK LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung
Oleh: GAMAL PASYA P.10600010
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
x
A ūna 'Ikhwatun Fa'aşliĥ ĥū Bayna 'A Akhawayku um Wa Attaq qū 'Innamā Al-Mu'umin Allāha La`alllakum Turĥ ĥamūna.٤٩:١٠ The be elievers are brethren. Therefore T m make peace e between your y brethre ren an nd observe your duty to t Allah tha at ye may ob btain mercyy. (QS.49:10) Sesunggu uhnya orang g-orang berriman itu be ersaudara. Karena itu damaikanla ah (perbaiki hubungan) h antara kedua saudara amu dan be ertaqwalah kepada Alla ah supaya ka amu menda apat rahma at (QS. Al-Ĥ Ĥujurāt 49:10)
xi
PRAKATA Puji dan syukur kami khaturkan kepada Allah S.W.T. karena atas berkat dan rahmat-NYA jualah disertasi yang berjudul “Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung; Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor (IPB). Ketertarikan kami mempelajari konflik sumberdaya alam dan lingkungan diinspirasi ketika terjadi reformasi tahun 1998, yang diikuti munculnya konflik pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di daerah. Desentralisasi tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan yang dilakukan sebagai bagian penguatan masyarakat dan pemerintahan di daerah kemudian menjadi faktor lain yang turut memacu terjadinya konflik tersebut. Ketidak-siapan sebagian besar institusi pemerintahan di daerah dalam menyambut demokrasi, membuat konflik tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan terseret ke dalam ranah politik. Atas kenyataan tersebut, kami kemudian mulai mempelajari kenapa konflik terjadi, bagaimana prilaku para pihak dalam menghadapi konflik tersebut, dan bagaimana cara menyelesaikannnya. Proses belajar tidak saja terpaku dalam kajian teoritis, namun juga melangkah ke dalam praktik-praktik penyelesaian konflik pada kasus nyata. Konflik lingkungan yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Register 45B Propinsi Lampung menjadi pusat perhatian kami. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa konflik di wilayah tersebut tidak kunjung terselesaikan.
Sumberjaya,
nama
kecamatan
yang
sebagian
wilayahnya
mengelilingi kawasan hutan tersebut, sempat mendapat julukan ”Sumber Bencana” oleh beberapa aparat kehutanan yang sudah hampir pesimis mencarikan upaya penyelesaian konflik yang terjadi. Disertasi ini dilaksanakan pada sebuah kasus nyata di wilayah tersebut. Kegiatan peneltian tidak hanya sebatas menguji hipotesis, tetapi juga sebagai alat yang membantu bagi para pihak untuk menyelesaikan konfliknya. Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih atas dukungan intelektual, spiritual, moril, dan materil, kepada:
xii
1. Ayah saya, R. Helmi dan, Almarhumah Ibu saya, Siti Utiah, atas limpahan kasih sayang yang tak habis-habisnya selama saya menyelesaikan sekolah S-3 di IPB 2. Istri saya Dewi Komalasari dan buah hati saya ananda Rossadea Atziza dan Agnar Afif tercinta, yang telah menjadi inspirasi dalam menyelesaikan disertasi ini 3. Chip Fay, sahabat, mentor, dan motivator saya dalam menggeluti sain dan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan konflik sumberdaya alam terutama sumberdaya hutan 4. Dr. Satyawan Sunito, PhD (Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB) dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc (Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB) yang telah berkenan menjadi penguji pada ujian tertutup 5. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MS (Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB) dan Dr. Ir. Iman Santoso, MS (Direktur Jenderal BUK Departemen Kehutanan) yang telah berkenan menjadi penguji pada ujian terbuka 6. Pemda Propinsi Lampung, khususnya Bappeda Propinsi Lampung yang telah memberikan saya kesempatan untuk memperdalam ilmu di IPB 7. Sejawat di International Center for Reserach on Agro Forestry (ICRAF) South Eest Asia – Bogor yang telah mendukung dan memfasilitasi saya dalam pencarian ilmu pengetahuan tentang pendekatan sistem pendukung negosiasi yang banyak mengilhami disertasi ini 8. Sejawat di Samdhana Institute – Bogor yang telah memberi ruang kepada saya membandingkan antara teori dan kenyataan melalui berbagai diskusi tentang inisiatif penyelesaian konflik sumberdaya alam di Indonesia sehingga saya belajar untuk lebih realistik 9. Sejawat di LSM Watala – Bandar Lampung, yang kerap menjadi tempat diskusi kasus yang diteliti dalam disertasi ini serta yang telah membantu
selama
penelitian lapang di Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat 10. Sejawat
di
Compliance/Advisory
Ombudsman
–
International
Finance
Coorporation (CAO – IFC) – Washington DC, anggota Kelompok Bank Dunia, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk terjun praktik menguji teori di dalam konflik nyata serta memberikan input tentang konseptualisasi kelembagaan penyelesaian konflik yang menjadi sub-bahasan disertasi ini
xiii
11. Masyarakat petani hutan di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis atas penerimaan dan dukungan yang diberikan terhadap pelaksanaan penelitian disertasi ini 12. Dr. Hari T Fadjari, SPD, KOH, onkologis Rumah Sakit Umum Propinsi - Hasan Sadikin, Propinsi Jawa Barat, yang telah memberikan semua perhatian, semangat, dan kemampuan medikasinya selama dua tahun terakhir agar saya mampu bertahan untuk menyelesaikan disertasi ini, dan 13. Pihak-pihak kontributor lainnya yang terlalu banyak untuk saya sebutkan namanya satu persatu. Semua dukungan yang telah diberikan sudah sejatinya menjadi bagian dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat atas segala budi baiknya. Aamiin.
Bogor, November 2011. Gamal Pasya
xiv
RIWAYAT HIDUP
Gamal Pasya (penulis) lahir pada tanggal 4 Juni tahun 1965 di Yogyakarta, Indonesia. Penulis adalah putra ketiga dari pasangan Hi. R.Helmi dan Hj. Siti Utiah, SH. Beristrikan Drs. Dewi Komalasari, dan diberkahi dua keturunan yaitu Rossadea Atziza dan Agnar Afif. Pada Tahun 1988 penulis memperoleh gelar akademik sebagai Sarjana S-1 Sosial Ekonomi Pertanian Pertanian di Fakultas Pertanian – Universitas Lampung. Pada tahun 1992, penulis memperoleh Postgraduate Diploma Engineering SIG-3 di ITC, Enschede, Belanda. Gelar Sarjana S-2 di bidang Manajemen Lingkungan Perkotaan diperoleh pada tahun 1999 di IHS - Universitas Wageningen, Belanda. Penulis adalah staf Bappeda Propinsi Lampung sejak tahun 1990 hingga sekarang. Dalam perjalanan karir dan keilmuwannya, penulis juga adalah sejawat (fellow) the Samdhana Institute, sebuah organisasi nirlaba Asia Tenggara yang beralamat di Bogor - Indonesia dan di Cagayan de Oro - Philipina. Pernah menjadi anggota Tim Analisis Kebijakan di International Center for Research on Agroforestry (ICRAF) – Asia Tenggara dalam mengembangkan pendekatan Sistem Pendukung Negosiasi (SPN)
Pengelolaan
Sumber
Daya
Alam
(PSDA).
Selain
itu
di
CAO
(Compliance/Advisory Ombudsman) – IFC the World Bank, penulis pernah menjadi anggota
Tim
Fasilitasi
Teknis
penyelesaian
sengketa
investasi
di
sektor
pembangunan perkebunan kelapa sawit dan sektor pertambangan di beberapa provinsi di Indonesia. Sebagai staf Bappeda Provinsi Lampung, penulis saat ini menjabat sebagai Staf Khusus Ketua Bappeda Bidang Ekonomi Pembangunan. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
xv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xv xxiii xxvii xxviii
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Manfaat Penelitian 1.6 Kebaharuan (Novelties)
1 1 4 7 18 18 18
II.
KAJIAN PUSTAKA 2.1. Isu Lingkungan Dalam Pengelolaan Hutan Global Dan Nasional 2.2. Hutan Dunia dan Indonesia 2.3. Fungsi Lingkungan Dari Hutan 2.4. Otonomi Daerah (OTDA) dan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Di Indonesia 2.4.1. Perkembangan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Dalam Konteks Otonomi Daerah (OTDA) 2.4.1.1. Tahap Awal OTDA Percontohan (Periode Tahun 1995—1997) 2.4.1.2. Tahap Transisi Menjelang Akhir Era Orde Baru Menuju Era Reformasi (Periode Tahun 1998— 2000) 2.4.1.3. Tahap Dimulainya Pelaksanaan OTDA Secara Luas, Nyata dan Bertanggungjawab Sejak Januari 2001.
20 21
2.5.
2.6.
2.4.2 Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest Management) Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam 2.5.1. Batasan Tentang Konflik 2.5.2. Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Hutan 2.5.2.1. Konflik Vertikal Pengelolaan Kawasan Hutan 2.5.2.2. Konflik Horizontal Pengelolaan Kawasan Hutan Kajian Tentang Model Penanganan Konflik
23 28 29 31 31 32 33
33 37 37 46 47 50 51
xvi
III.
IV.
METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Hipotesis 3.3. Teknik Pengambilan Responden 3.4. Jenis dan Sumber Data 3.5. Teknik Pengumpulan Data 3.6. Peubah dan Cara Pengukurannya 3.7. Analisis Data 3.7.1 Analisis Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelaksanaan Pengelolaan Kehutanan Yang Berkaitan Dengan Isu Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Daerah Khususnya Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Di Propinsi Lampung. 3.7.2 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan Dari Hutan. 3.7.2.1 Asumsi Yang Mendasari Analisis Jalur 3.7.2.2 Diagram Jalur dan Persamaan Analisis Jalur 3.7.2.3 Langkah Penghitungan Dalam Analisis Jalur 3.7.2.4 Konseptualisasi Diagram Jalur Yang Akan Dianalisis 3.7.3 Analisis Gaya Pengelolaan Konflik (Conflict Style Management) Yang Diragakan Oleh Masing-Masing Pihak Yang Terlibat Di Dalam Konflik Dan Polarisasi Konflik Yang Terjadi. 3.7.4 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Secara Kognitif Didasarkan Kepada Pengalaman Yang Diperoleh Para Pihak Yang Bersengketa.
55 55 57 57 61 62 65 68 68
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN 4.1 Letak Geografis Wilayah Propinsi Lampung 4.2 Tata Guna Lahan dan Tata Guna Hutan Propinsi Lampung 4.2.1 Tata Guna Lahan 4.2.2 Tata Guna Hutan 4.2.3 Tutupan Lahan Hutan (Forest Land Cover) 4.2.4 Lahan Kritis 4.3 Konflik Pertanahan Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung 4.4 Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. 4.4.1 Kondisi Umum Tata Guna Hutan Di Kabupaten Lampung Barat 4.4.2 Kondisi Umum Kependudukan Di Kabupaten Lampung Barat 4.4.3 Kecamatan Sumberjaya dan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis
91 91 92 92 93 95 98 100
71 73 73 74 76 81
87
102 102 103 103
xvii
4.4.3.1 Migrasi Penduduk dan Terbentuknya Permukiman Di Sumberjaya 4.4.3.2 Kependudukan Di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kecamatan Sumberjaya dan Konflik Yang Terjadi. 4.4.3.3 Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sumberjaya dan Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis 4.4.3.4 Konflik Tata Batas dan Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. 4.4.3.5 Konflik Akses Pengelolaan Lahan Kawasan V.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden 5.2 Analisis Kebijakan Kehutanan, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria, Tata Ruang, Dan Otonomi Daerah Terkait Dengan Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kehutanan Di Daerah 5.2.1 Definisi Kawasan Hutan 5.2.2 Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat A. Evolusi Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Setempat di Dalam Desain Kebijakan Kehutanan Nasional 5 Tahun Menjelang Otda (1995-2000) B. Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat dalam Kebijakan Kehutanan Indonesia 2001 – 2010. 5.2.3 Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Konflik Lingkungan Terkait Dengan Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Tempatan. A. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup dalam UUPLH B. Pengertian Penyelesaian Konflik Lingkungan Hidup dalam UUPLH C. Penyelesaian Konflik Lingkungan dalam UU Kehutanan dan UU Pokok Agraria D. Isu Penyelesaian Konflik dalam Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Sektor Kehutanan. E. Penyelesaian Konflik Di Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah F. Penyelesaian Konflik Di Dalam UU Tata Ruang G. Pengaduan Perselisihan di Dalam UU Pelayanan Publik 5.2.4 Pentingnya Kebijakan Afirmatif dan Kebijakan Responsif untuk Penyelesaian Konflik Lingkungan di dalam Kawasan Hutan
103 105 108 113 116 119 119 119
119 120 120
126 128 128 130 131 133 135 136 140 141
xviii
5.3
Hasil dan Pembahasan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. 5.3.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Eksternalitas 5.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural 5.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Kelangkaan 5.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Etik Lingkungan 5.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Eskalasi Konflik 5.3.6 Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan Analisis Kebaikan Model. 5.3.6.1 Analisis Keragaan Model Secara Holistik 5.3.6.2 Analisis Kebaikan Model 5.4. Analisis Gaya Mengelola Konflik Dan Polarisasi Konflik. 5.4.1 Gaya Mengelola Konflik Para Pihak 5.4.1.1 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Status Lahan 5.4.1.2 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Tata Batas Kawasan Hutan 5.4.1.3 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Akses 5.4.1.4 Pemanfaatan Hasil Analisis Gaya Konflik Untuk Penanganan Konflik Selanjutnya 5.4.2 Polarisasi Konflik 5.4.3 Kebersediaan Responden dan Preferensi Bentuk Perundingan 5.5 Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik 5.5.1 Tahapan Sistem Analisis Sosial 5.5.2 Model Pengelolaan Konflik Status Lahan; Kasus Status Wilayah Pekon (Desa) Sukapura Yang Berada di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. 5.5.2.1 Analisis Dasar Masalah Konflik Status Lahan 5.5.2.2 Faktor Pemacu dan Peredam Konflik 5.5.2.3 Sejarah Konflik Status Lahan Pekon Sukapura (Analisis Rentang Waktu) 5.5.2.4 Profil Para Pihak Dalam Konflik Status Lahan Pekon Sukapura 5.5.2.5 Analisis Hubungan Antara Yang Kuat dan Lemah 5.5.2.6 Analisis Cara Penanganan Konflik 5.5.2.6.1 Mengurai Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan 5.5.2.6.2 Memilih Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan 5.5.2.6.3 Analisis Mengukur Dukungan Terhadap Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan
143 144 153 171 175 177 187 187 191 192 193 195 198 202 205 206 213 219 221 225
226 227 232 235 239 242 242 245 247
xix
5.5.2.6.4 5.6
VI.
Pengambilan Keputusan Skenario Terpilih dan Penyusunan Upaya Ke Depan Untuk Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Berdasarkan Integrasi Hasil Analisis
250 256
5.6.1
Konstruksi Model Penelitian Penanganan Konflik
254
5.6.2
Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan, Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan, dan Umpan Balik.
262
5.6.2.1 Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan 5.6.2.2 Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan. 5.6.2.3 Umpan Balik Terhadap Kebijakan-kebijakan Penyelesaian Sengketa Lingkungan
266
KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
271 273 274 274 283
284 293
xx
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 2.1 2.2 2.3. 2.4 2.5. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 3.15 3.16 3.17 4.2 4.3
halaman Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran 12 Pengaruh Model Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan Luas Kawasan Hutan Indonesia 26 Fungsi Lingkungan Dari Hutan (Sumber: Pearce Dan Moran, 29 1994). Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan 35 Beberapa Definisi Tentang Konflik 38 Pendekatan Penanganan Konflik dan Hasil Yang Diharapkan 42 (Sumber: Isenhart Dan Spangle, 2000). Tahapan dan Jadwal Penelitian 57 Pengambilan Responden Contoh Untuk Tujuan Penelitian 58 Yang Kedua Keunggulan dan Kelemahan Metode Delphi 60 Pengambilan Responden Contoh Untuk Tujuan Penelitian 61 Yang Ketiga dan Keempat Data Sekunder Yang Akan Diteliti dan Sumber Data. 62 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik 65 Pengumpulan Pada Sub-Model A (Eksternalitas) Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik 66 Pengumpulan Pada Sub Model B (Persepsi Dan Ketimpangan Struktural) Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik 67 Pengumpulan Pada Sub Model C (Kelangkaan) Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik 67 Pengumpulan Pada Sub Model D (Etika Lingkungan) Tiga Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan 69 Gaya Pengelolaan Konflik dan Representasi Pernyataan 82 Responden. Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden 83 Pada Topik Konflik Penetapan Tata Batas Kawasan Hutan Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden 84 Pada Topik Konflik Status Kawasan Hutan 84 Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden Pada Topik Konflik Hak Masyarakat Atas Akses Pengelolaan Lahan Kawasan Hutan Analisis Ragam Bagi Klasifikasi Satu-arah 85 87 Matriks Kombinasi Uji Nilai Tengah ( x ) Antar Kelompok Topik Analisis, Tujuan dan Teknik Yang Akan Dipergunakan Dalam Pengembangan Model Penanganan Konflik Secara Kognitif Ibukota, Luas dan Jarak Ibu kota Kab. /Kota ke Ibukota Propinsi se- Propinsi Lampung Tata Guna Tanah di Propinsi Lampung menurut Badan
89 92 93
xxi
4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 5.2.1 5.3.1 5.3.2 5.3.3 5.3.4 5.3.5 5.3.6 5.3.7 5.4.1 5.4.2 5.4.3 5.4.4 5.4.5 5.4.6 5.4.7 5.4.8
Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Lampung, 2004. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya Tahun 1997 – 2001 Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Per Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung Menurut SK.Menhutbun No.256/KPtsII/2000. Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi di Propinsi Lampung Tahun 2000 Keadaan Lahan Kritis di Propinsi Lampung Tahun 1998 – 2000 Penyelesaian Kasus Tanah di Propinsi Lampung Tahun 1999 - 2002 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000 Presentasi perubahan penggunaan lahan di Sumberjaya tahun 1978 – 1990 . Perubahan Sebaran Tutupan Lahan Hutan (forest land cover) di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Nama Kelompok yang telah mendapatkan hak akses melalui Ijin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Perbandingan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya hutan dalam evolusi kebijakan HKm nasional. Analisa deskriptif peubah bencana alam antropogenik (X1) Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam memutuskan mengkonversi lahan hutan kawasan (X6) Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar (X4) Analisis deskriptif peubah tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) Daftar insentif material dan upah kerja dalam pelaksanaan Proyek GNRHL di Sumberjaya, 2004. Penelusuran indikator manifestasi etik lingkungan di SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm Peubah yang paling berpengaruh pada masing-masing submodel Komposisi Para Pihak Yang Dipilih Dalam Analsis Gaya Mengelola Konflik. Hasil Analisis Statistik Perbedaan Nilai Tengah Para Pihak Terhadap Konflik. Daftar Ijin HKm (Juni 2006) yang Lokasinya Berpotensi Menimbulkan Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Antar Kabupaten. Pengelompokkan Perbedaan Para Pihak Berdasarkan Pernyataan Mereka Terhadap Masing-masing Isu Konflik Pernyataan Responden Tentang Kesesuaian Tupoksi Lembaganya Terhadap Penyelesaian Konflik Kebersediaan Responden Untuk Hadir dalam Perundingan Preferensi Responden Terhadap bentuk Perundingan Upaya Responden Dalam Menyatakan Perbedaan Kepentingan dalam konflik Status Lahan, Tata Batas, dan Hak Akses.
94 95 97 99 101 108 112 113 118 126 145 146 147 154 158 185 191 194 195 202 206 214 215 216 218
xxii
5.4.9 5.5.1 5.5.2 5.5.3 5.5.4
5.5.5 5.5.6 5.5.7 5.5.8 5.5.9 5.5.10 5.5.11 5.6.1 5.6.2
Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan Indeks Kekhasan (saliency) Pemangku Kepentingan. Daftar Nama Transmigran BRN Tahun 1951-1952 Yang Masih Hidup Sebagai Saksi Sejarah Pekon Sukapura. Penggunaan lahan Pekon Sukapura, 2004. Analisis Rentang Waktu Beberapa Peristiwa Penting Yang berkaitan dengan Konflik Status Lahan Pekon Sukapura di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya Analisa Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimasi Para Pihak Yang Berkonflik Dalam Kasus Status Lahan Pekon Sukapura Pemeringkatan Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Penetapan Kriteria, Sekala, dan Sekor Masing-masing Skenario Penyeselaian Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, dan Ketersediaan Sumberdaya Manusia. Sekor Dukungan Masing-masing Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Sekor Dukungan Kolektif Semua Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan. Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, Ketersediaan Sumberdaya Manusia, dan Dukungan Para Pihak. Perbandingan antara UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Penyelesaian Sengketa. Perbedaan antara Hak Positif dan Hak Normatif (Stone, 2001)
219 225 232 232 234
236 244 245 246 247 250 250 263 269
xxiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. 1.2. 1.3. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8 3.1. 3.2. 3.3. 3.4 3.5 3.6 4.1 4.2 4.3
4.4
halaman Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model 13 Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan Bagan Alir Kerangka Pemikiran Model Identifikasi Peta Konflik 16 Kerangka Pemikiran Model Kognitif Penanganan Konflik 17 Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Penggunaan Lahan Dunia, 1990 (Sumber: WRI Dalam 23 Cunningham Dan Saigo, 1995). Luas Kawasan Hutan Di Indonesia Pada Tahun 1999 (Sumber: 26 Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2001; Grafis Diolah) Perbedaan-Perbedaan Yang Sering Menjadi Sumber Konflik. 39 (Sumber: Wijardjo, 2001; Moore, 1996) Hubungan Antara Tingkat Perbedaan Sasaran dan Prilaku Yang 41 Ditimbulkan (Sumber: Fisher Et Al, 2001). Model Dua Dimensi Penentu Gaya Konflik (Sumber: Avruch Et 44 Al, 1991) Interaksi Multi Track Diplomacy Dalam Penciptaan Perdamaian 46 (Diamond Dan Mcdonald, 1996) Model Konflik Glasl (Sumber: Glasl Dalam Yasmi, 2002) 52 Model Sistem Pendukung Negosiasi Pengelolaan Sumberdaya 52 Alam (Sumber: Noordwijk, 2000) Peta Lokasi Studi, Propinsi Lampung 56 Teknik Mendengarkan Dalam Mewawancara Konflik (Sumber: 63 Hendricks, 1992) Teknik CAPS Dalam Penanganan Konflik (Sumber: Mitchell 64 Dan Banks, 1996) 70 Kerangka Hubungan Antara Tahapan Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Kemungkinan Keluaran/Rekomendasi (Diadopsi Dari Dunn (2000) Dan Hempel (1996)) Hubungan Dependensi Di Dalam Persamaan Struktural 72 Diagram Jalur Antara Sub-Model Eksternaliti, Persepsi dan 79 Ketimpangan Struktural, Kelangkaan, dan Etik Lingkungan; Terhadap Eskalasi Konflik Peta Administrasi Propinsi Lampung 91 Peta Penutupan Lahan Propinsi Lampung, 2000 (Sumber: 98 Badan Planologi Kehutanan, 2002) Pendudukan lahan Taman Nasional Way Kambas oleh 101 masyarakat adat Marga Subing (Sumber photo 4.3a: Peneliti); dan Demonstrasi rakyat yang menggugat status pertanahan di Kantor Gubernur Propinsi Lampung (Sumber photo 4.3b: Lampung Post) Kondisi HPT yang masih terjaga di Desa Pahmongan 103 Kecamatan Pesisir Tengah (Gambar 4.4a) dan kondisi HPT yang sudah rusak di Hutan Titi Liut Desa Kota Jawa Kecamatan Bengkunat (Gambar 4.4b), Kabupaten Lampung Barat. (Sumber
xxiv
4.5
4.6
4.7 4.8 4.9 4.10
4.11 5.1 5.2
5.3 5.4
5.5
5.6 5.7
photo: Peneliti) Bukti dokumen sejarah diresmikannya nama Sumberjaya oleh Presiden Sukarno. Gambar 4.5b adalah Presiden Sukarno pada saat peresmian Sumberjaya, 14 November 1952 (Sumber photo dan dokumen: Kepala Desa Sukapura, Kecamatan Sumberjaya). Peta Situasi Perkampungan Tua Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1950 (Sumber: Benoit (1989) dalam Verbist dan Pasya (2004)). Pertumbuhan Penduduk di Sumberjaya (Sumber: Verbist (2001); Biro Pusat Statistik Lampung Barat (2003); Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung (2005). Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya (Sumber: ICRAF). Kondisi deforestasi kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis awal Tahun 2000 (Sumber photo: ICRAF). Peta wilayah Desa Sukapura yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis; Poligon berwarna merah muda adalah areal seluas 302,5 hektar yang diklaim oleh warga untuk dialih-fungsikan (Sumber: Watala, 2003). Perbedaan batas TGHK di Sumberjaya (Sumber: Verbist, 2001) Diagram Jalur Sub-model Eksternalitas. Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan hutan (Sumber photo: Kusworo). Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan (Sumber photo: Peneliti). Diagram Jalur Sub-model Tingkat Ordinasi Responden. Kelompok petani hutan memperoleh insentif material berupa pupuk dari Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Petani kemudian menebarkan pupuk tersebut ke tanaman raboisasi di lahan garapan dalam kawasan dan untuk itu mereka memperoleh upah kerja. Lokasi: Dusun Rigis Jaya, Desa Gunung Terang, Sumberjaya, 3 Desember 2004. (Sumber photo: Peneliti) Insentif GNRHL berupa bantuan bibit yang diterima oleh kelompok HKm – MWLS sedang ditranspor menuju hamparan lahan di dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis. Lokasi: Desa Tugusari Sumberjaya, 20 Januari 2005. (Sumber photo: Peneliti) Diagram Jalar Sub-model Persepsi Areal penghijauan yang dahulunya dikenal dengan “Hutan Pinus” (Gambar 5.7.a, Juli 2006) kini telah terkonversi ke dalam bentuk penggunaan lain (Sumber photo: Nurka C. Ningsih, asisten peneliti). Gambar 5.7.b (Januari 2005) adalah rona fisik pemukiman penduduk Desa Sukapura yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, mereka
104
105
106 110 111 115
116 144 151
153 156
157
160 163
xxv
5.8
5.9 5.10 5.11
5.12 5.13
5.14 5.15
5.16 5.17 5.18
5.19 5.20
adalah bagian dari Transmigrasi BRN tahun 1951-1953 (Sumber photo: Peneliti). Contoh “Weapon of the Weak” di Tahura Wan Abdul Rahman, Desember 2002. Pohon Sonokeling hasil reboisasi dikerat pangkal batangya oleh orang tidak dikenal hingga akhirnya pohon tersebut mati secara perlahan. Semakin subur pohon tersebut, maka tanaman bertajuk rendah dibawahnya perlahanlahan menjadi tidak produktif. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab. (Sumber Photo: Peneliti) Diagram jalur Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural Diagram Jalur Sub-model Kelangkaan Salah satu profil responden transmigran BRN yang saat ini tinggal dan bertani di dalam kawasan hutan lindung lokasi penelitian. Asisten peneliti diterima di “ruang tamunya” yang juga merangkap sebagai tempat tidur dan dapur, Maret 2005 (Sumber photo: Peneliti). Diagram jalur Sub-model Etik Lingkungan Pada Gambar 5.13.a (Desember 2004) terlihat bagaimana petani menggunakan teknik natural vegetatif strip dalam usaha mencegah erosi permukaan pada kebun kopi monokultur tua di dalam kawasan (Sumber photo: Agus Fahrmudin). Sementara itu Gambar 5.13.b (Mei 2005) menunjukkan bagaimana teknik polikultur diterapkan oleh petani dengan kombinasi kopi, kayu gelam (Glirisidae spi), dan pohon kemiri di lahan garapan mereka dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis; lima tahun yan lalu tutupan lahan di hamparan tersebut masih berupa alang-alang dan tanah terbuka (Sumber photo: Peneliti) Digram Jalur Sub-model Eskalasi Konflik Adopsi Alur Konflik Konstruktif Kiersbeg (1998) Pada Sejarah Singkat Konflik Konstruktif Hak Akses (Hutan Masyarakat) di Kawasan Hutan Lindung Resgister 45B Sumberjaya, Tahun 2000-2005 Struktur Diagram Jalur yang Disederhanakan Berdasarkan Hubungan Antar Sub-Model Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan dari Hutan Konflik tata batas kawasan hutan hutan Register 33 Kota Agung Utara sudah terjadi sejak lama dan tak kunjung selesai. Pada bulan Maret 2003, peneliti memfasilitasi dialog lapangan antara Kepala Kantor TN Bukit Barisan Selatan, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus, Kepala Bagian RRL Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, aparat Pekon Trimulyo, dan kelompok HKm Tri Buana (Sumber Photo: Peneliti). Peta Perbedaan Kepentingan Antar Pihak Dalam Konflik Status, Tata Batas, dan Akses Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Utara. Semiloka Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis
164
165 171 173
176 177
178 183
189 190 201
208 221
xxvi
5.21 5.22 5.23
5.24 5.25 5.26 5.27
5.28 5.29
5.30
5.31 5.32
5.33 5.34 5.35
yang diselenggarakan selama 4 hari (pada tanggal 24 – 27 Mei 2005) di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat (Sumber photo: Rozi, asisten peneliti). Tahap-tahap Sistim Analisis Sosial Dalam Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik Lingkungan (Chevalier, 2003). Indikator Kekhasan Power, Interest, dan Legitimacy (Chevalier, 2003). FGD Kelompok Status Lahan tentang Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih) Bagan Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. Faktor Pemacu dan Peredam Konflik Status Lahan Diagram Venn Kekhasan (saliency) ke-12 Pihak dalam proses penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura dalam kawasan hutan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Diagram Analisis Hubungan Antara yang Kuat dan yang Lemah dalam Kasus Konflik Status Lahan Pekon Sukapura (Sumber: Diskusi selama semiloka, mengadopsi mengadopsi Matriks Analisis Hubungan Kuat-Lemah - Chevalier (2003). Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Bedasarkan Ramifikasi Terhadap Hubungan Sebab-Akibat Akar Konflik. Peneliti sedang memandu penghitungan hasil Analisis Gradient Pooling secara secret ballot terhadap skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih) Grafik Gradient Pooling Hasil Perhitungan Secara Rahasia Tentang Dukungan Para Pihak Terhadap Beberapa Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier (2003); Skema Tahap-tahap Penting Dalam Skenario Pelepasan Lahan Kawasan Sesuai Prosedur (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka). Nara sumber dari Fakultas Sosial Politik - Universitas Lampung memberikan analisis hukum dalam pengembangan tahap penting skenario pelepasan lahan kawasan hutan secara prosedural (Sumber photo: Peneliti) Grafik Gradient Polling dukungan para pihak terhadap skenario pelepasan lahan sesuai prosedur Pekon Sukapura Model Penelitian Penanganan Konflik Lingkungan yang Dihasilkan. Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan
223 224 227
228 229 237 241
243 248
249
252 254
255 258 267
xxvii
DAFTAR KOTAK Kotak 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian di Dalam UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik.
halaman 142
Beberapa Platform Dialog dan Negosiasi Multipihak Di Kabupaten Lampung Barat Peran Serta Pihak Kecamatan (dan Desa) dalam Proses Kajian Perubahan Status Kawasan Hutan, Kasus Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya. Beberapa LSM yang Melakukan Pendampingan Masyarakat Petani di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. Preferensi Bentuk Perundingan Yang Mencerminkan Oleh Pernyataan Responden Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif (Alternative Dispute Resolution) Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak
167 197 211 215 260
xxviii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 2 3 4 5 6 7 8 8-A 9 10 10A 11 12 13
halaman Konflik-konflik Status, Kepemilikan, Dan Pemanfaatan Lahan Di Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung, Tahun 1999. Kuesioner Penelitian Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan. Kuseioner Penelitian Conflict Management Style Petunjuk Pengisian Tabulasi Data Hasil Overlay Peta Penutupan Lahan Tahun 2000 dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Propinsi Lampung. Raw Data responden (Soft copy) Raw Data Responden (Soft copy) Hasil Uji Statistik Pathway Analysis Tabulasi Analisis Deskriptif Akar Konflik Daftar Kelompok Penerima Ijin HKM di Kabupaten Lampung Barat, Juni 2006. Hasil Uji Statistika Analisis Nilai Tengah Berpasangan Analisis Deskritif Gaya Mengelola Konflik Form Konfrimasi Kesediaan Langsung/Berwakil Matriks Perbedaan Kepentingan Panduan Sistem Analisis Sosial dan Aplikasinya Dalam Upaya Penyelesaian Konflik
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk demikian pesat berimplikasi terhadap deplesi sumberdaya alam.
Semakin jumlah penduduk meningkat, semakin banyak
kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi dan dapat bersumber dari sumberdaya alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, pemerintah melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam yang ditempuh dengan berbagai kebijakan dan mengimplementasikannya ke dalam program pembangunan. Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari masyarakatpun mengelola sumberdaya alam sesuai dengan kebutuhan sosial dan ekonominya. Satu di antara berbagai sumberdaya alam potensial yang masih menjadi sektor tumpuan masyarakat dan Pemerintah Indonesia saat ini adalah hutan. Dalam ekosistem hutan terdapat fungsi lingkungan yang mencakup fungsi ekologis, fungsi sosial, dan fungsi ekonomis. Selain itu, ekosistem hutan amat penting tidak hanya bagi kehidupan manusia namun juga bagi kelangsungan flora dan fauna di dalamnya. Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sesuai dengan U.U. tersebut, Pemerintah mengelola kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi lingkungan yang bersumber dari hutan. Fungsi lingkungan tersebut tercermin dari definisi hutan lindung
yaitu
kawasan
hutan
yang
mempunyai
fungsi
pokok
sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan manusia untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Dari definisi yang terdapat di dalam U.U. RI Nomor 41 Tahun 1999 tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi lingkungan kawasan hutan lindung lebih ditekankan atas pertimbangan ekologis. Selain itu, dalam keterkaitannya dengan perubahan iklim global, hutan memiliki fungsi sebagai rosot karbon (Murdiyarso, dkk., 1998). Dalam mewujudkan fungsi lingkungan tersebut, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan hutan secara lestari. Kenyataannya adalah bahwa saat ini banyak kawasan hutan dengan kemampuan dalam menyediakan fungsi lingkungan yang semakin menurun. Hal
2 tersebut diantaranya disebabkan oleh salah penetapan kebijakan yang diikuti dengan salah pengelolaan. Masalah kebijakan pengelolaan kehutanan tidak terlepas dari masalah agraria dan penting untuk dibenahi dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari. Kebijakan tersebut ternyata terlalu kaku karena: (1) keliru dalam merumuskan masalah, (2) penyusunan kebijakan yang tidak partisipatif, (3) lemahnya sinkronisasi antara kebijakan dan implementasi di lapang, (4) lemahnya koordinasi lintas sektor, dan (5) lemahnya kemampuan aparatur. Selain itu, adanya cara pandang yang sempit para birokrat kehutanan yang memisahkan pembangunan kehutanan dengan pembangunan pertanian dan manusia menjadikan kebijakan pengelolaan hutan amat bersifat sektoral (Robinson. 1998).
Akibatnya, produk kebijakan kehutanan gagal berfungsi
(malfunction). Contoh produk kebijakan yang hingga kini masih belum menjadi dokumen publik dan lemah legitimasinya dalam mengatur pemanfaatan hutan adalah dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang seharusnya diharapkan dapat berfungsi menjadi dasar penetapan status dan perencanaan tataguna kawasan hutan negara. Selain masalah kebijakan, masalah sosial ekonomi seperti pertumbuhan penduduk dan kemiskinan ditengarai menjadi penyebab lainnya sehingga hutan semakin tidak mampu menyangga fungsi lingkungan. Adanya tekanan penduduk ke dalam kawasan hutan diduga telah mengakibatkan tidak terkendalinya konversi hutan ke dalam bentuk penggunaan lainnya seperti lahan pertanian, perladangan dan permukiman.
Ditambah dengan krisis ekonomi yang terjadi
sejak tahun 1997 utamanya hingga saat ini semakin mendorong pergerakan penduduk masuk ke dalam kawasan hutan untuk bertahan hidup. Masalah tersebut menjadi semakin rumit ketika wilayah-wilayah hutan yang mendapat tekanan adalah wilayah yang berstatus kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Terhadap masalah-masalah tersebut, pada dasarnya Pemerintah telah melakukan upaya penanganan yang diindikasikan oleh terjadinya perubahan orientasi kebijakan pembangunan kehutanan yaitu: (1) Pergeseran penekanan dari aspek ekonomi (orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi hutan; (2) Pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan pada pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan penekanan pada
3 pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa, selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu lainnya, rekreasi, dan pengaturan iklim mikro; dan (3) Memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan berbasis masyarakat (Community Based Forestry) untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal (Hutabarat, 2001). Selain itu, pemerintah amat menyadari bahwa pengelolaan hutan secara lestari sulit dicapai dengan baik tanpa partisipasi masyarakat setempat. Kebijakan dan orientasi kebijakan secara konkrit dituangkan ke dalam berbagai produk peraturan dan perundangan yang mengatur desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan. Diberikannya sejumlah kewenangan oleh Pemerintah kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota seperti adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan suatu contoh devolusi dan telah membentuk tatanan pemerintahan baru, termasuk dalam kebijakan dan pengaturan pengelolaan kehutanan. Selain itu, lahirnya kedua UU tersebut merupakan tanggapan terhadap tekanan sosial, ekonomi, dan politik baik dari dalam negeri maupun dari masyarakat internasional (Hutabarat. 2001). Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999, Pemerintah harus memberikan sebagian besar wewenangnya kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota, terutama dalam lingkup kegiatan operasional. Namun hingga tahun 2001, sebanyak 11 buah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)1 yang menindaklanjuti substansi UU Nomor 41 Tahun 1999 belum juga mendapat pengesahan menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Hal tersebut menempatkan Pemerintah dalam posisi yang lemah karena: 1) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku efektif Mei 1999; oleh karena berbagai RPP pengelolaan kehutanan belum disahkan, banyak pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang bersentuhan dengan pengelolaan kehutanan dengan
1
RPP-RPP tersebut yaitu: 1) Perencanaan Kehutanan, 2) Pengelolaan hutan, 3) Hutan Kota, 4) Hutan Adat, 5) Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan, serta Pelatihan dan Perluasan Hutan, 6) Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan, 7) Reklamasi dan Rehabilitasi Hutan, 8) Perlindungan Hutan, 9) Pengawasan Hutan, dan 10) Hutan Kemasyarakatan, 11) Pengelolaan Dana Reboisasi (Sumber: Wawancara dengan Biro Hukum Departemen Kehutanan, 2002). Baru pada tahun 2002 telah dikeluarkan dua buah PP yaitu PP No. 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, Dan PP No.35 Tahun 2002 Tentang Dana Reboisasi.
4 interpretasinya sendiri terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 41 Tahun 1999; 2) Seringkali interpretasi tersebut melahirkan berbagai perbedaan visi, misi, dan konsep strategis antar-tataran pemerintah sehingga menimbulkan berbagai konflik; dan 3) Belum selesainya berbagai PP pengelolaan kehutanan yang mengatur lebih jauh tentang pelimpahan wewenang kepada masyarakat misalnya seperti hutan adat, hutan kemasyarakatan, dan derajat partisipasi masyarakat, turut menjadi sumber konflik akibat adanya gugatan-gugatan masyarakat terhadap pengelolaan kehutanan (baik gugatan tentang status dan tataguna hutan) yang belum dapat atau lambat ditangani oleh Pemerintah. Kondisi Pemerintah bahkan semakin melemah ditambah oleh lunturnya kepercayaan masyarakat akibat memburuknya situasi sosial, ekonomi, dan politik serta kegagalan Pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Penyelesaian konflik yang tertunda dapat menyebabkan terjadinya eskalasi konflik yang semula mungkin masih dalam taraf tidak ada dan/atau konflik laten akhirnya berubah menjadi konflik terbuka. Menurut Agustino (2001), dalam keadaan Pemerintah terkesan lemah dan lambat dalam menyelesaikan konflik, maka konflik tersebut akan berpotensi anarkis dan menjadi pencetus disintegrasi bangsa, apalagi Negara Indonesia dicirikan oleh masyarakatnya yang pluralis. Saat ini, konflik-konflik yang bersumber pada ketimpangan dan ketidak-adilan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, merupakan salah satu arena konflik yang frekuensinya relatif tinggi di samping konflik-konflik yang bersumber pada perbedaan ideologi politik golongan.
1.2. Perumusan Masalah Gelombang reformasi 1998 dilatarbelakangi antara lain masalah konflik sosial dan munculnya gejala disintegrasi bangsa.
Masalah konflik tersebut
diantaranya disebabkan oleh: (1) kekuasaan eksekutif yang terpusat di masa lalu (sebelum diberlakukannya UU No./1999 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur penyelenggaraan otonomi daerah), dan; (2) mekanisme hubungan pusat-daerah yang cenderung menganut sentralisasi kekuasaan sehingga menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan. Seperti telah dinyatakan dalam Sub-bab 1.1, pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan merupakan salah satu arena konflik yang terjadi di
5 Indonesia; Dan hal tersebut kembali ditegaskan di dalam RPJMN 2005-2009 untuk rencana-rencana penyelesaian; Namun demikian di dalam RPJMN 20102014 pemerintah mengakui bahwa hal tersebut masih belum diterjemahkan dalam
bentuk
program
dan
kegiatan
yang
nyata
dan
mempengaruhi
ketidakjelasan hak dan kewenangan untuk mencapai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan lestari. Pasca tahun 2005, data statistik kasus konflik konflik sumberdaya alam sulit diperoleh, namun pada umumnya masih berkisar pada konflik-konflik laten berdasarkan data tahun 1999 yang belum selesai ditangani. Bahkan beberapa aksus baru muncul, seperti kasus Register 45A anata masyarakat dengan PT Inhutani di Kabupaten Tulang Bawang, Kasus penolakan koversi kawasan hutan lindung Rawa Pacing menjadi perkebunan sawit, kasus enclave Pengekahan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Kecamatan Bengkunat (tahun 2009) dan yang terkini (tahun 2011) adalah konflik kebijakan HTR-HKm-KDTI di yang keduanay berada di Kabupaten Lampung Barat. Konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan erat kaitannya dengan bagaimana sumberdaya tersebut bisa dimanfaatkan bagi pembangunan masyarakat dan bagaimana kemudian distribusi manfaat tersebut menyebar secara adil dan merata. Menurut Buckles (1999), terdapat empat penyebab timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu: (1) Adanya perbedaan akses antar aktor sosial dan/atau institusi terhadap pusat kekuasaan, yang memiliki akses biasanya menjadi yang paling mampu mengendalikan dan mempengaruhi keputusan pengelolaan sumberdaya alam menurut kehendaknya. Di dalam sentralisasi kekuasaan, aktor dan institusi di pusat biasanya yang paling berpengaruh karena kekuasaan berada di tangan mereka. (2) Aktifitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah dapat menimbulkan masalah lingkungan di wilayah lainnya (atau sering disebut dengan istilah negative externalities); (3) Adanya peningkatan kelangkaan sumberdaya alam (natural resource scarcity)
yang
pertumbuhan
disebabkan penduduk
dan
oleh
terjadinya
peningkatan
perubahan permintaan,
lingkungan, serta
pola
pendistribusian yang tidak merata; dan (4) Sumberdaya alam dipergunakan oleh manusia bukanlah semata-mata sebagai material yang diperebutkan, namun juga untuk mendefinisikan
6 hidupnya secara simbolis misalnya sebagai bagian dari cara hidup (petani, nelayan, penggembala), identitas etnis, perangkat gender, dan usia. Dimensidimensi simbolik sumberdaya alam tersebut membuat manusia menganut ideologi dan etik yang berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan penanganan konflik. Konflik pengelolaan kawasan hutan banyak terjadi di berbagai daerah termasuk Propinsi Lampung. Pada rentang waktu 1998–1999 jumlah konflik pertanahan di Propinsi Lampung yang muncul ke permukaan adalah 380 kasus termasuk konflik pertanahan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan (Rencana Strategis Propinsi Lampung 2001-2005). Sebanyak 220 kasus muncul sepanjang Januari-September 1999 dan baru sebesar 20% telah diselesaikan baik melalui peradilan maupun di luar sistem peradilan dengan musyawarah dan mufakat (Gubernur Propinsi Lampung, 2000); sisanya belum ada penyelesaian dan bahkan cenderung semakin berlarut-larut. Hingga tahun 1999, terdapat sebanyak 43 kasus konflik pengelolaan kawasan hutan terjadi di Propinsi Lampung (Lampiran 1), sebuah contoh kasus diantaranya terjadi di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat. Konflik di kawasan tersebut dipicu oleh kegiatan masyarakat yang menggarap lahan di dalam kawasan menjadi lahan pertanian dan bahkan ada yang sudah tinggal secara permanen. Konflik di lokasi tersebut diduga telah melibatkan berbagai pihak
dengan
perbedaan
kepentingannya
masing-masing
dan
diduga
berpengaruh terhadap fungsi lingkungan dari hutan. Penyebab konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis memiliki kemiripan dengan pernyataan Buckles (1999) tentang sebab-sebab konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karenanya penting untuk mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab konflik dan apa saja akibat yang ditimbulkan terutama berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan. Pertanyaan penelitian yang ingin diperoleh jawabannya dari konflik yang terjadi di lokasi adalah: 1) Dari perspektif kebijakan kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, agraria, tata ruang, dan otonomi daerah, bagaimanakah pelaksanaan penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kehutanan di Propinsi Lampung khususnya di kawasan hutan lindung lokasi penelitian? a. Apakah
kebijakan-kebijakan
operasional?
tersebut
bisa
berjalan
secara
7 b. Apakah secara struktural kebijakan tersebut diselenggarakan secara konsisten di setiap tataran pemerintah? c. Adakah konflik yang ditimbulkan? d. Apakah pelaksanaan kebijakan tersebut mampu memberi solusi untuk penanganan konflik? Ataukah sebaliknya justru mengeskalasi konflik? 2) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya konflik pengelolaan kawasan hutan di lokasi penelitian? 3) Bagaimanakah gaya konflik yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik? Siapa sajakah pihak-pihak yang berkonflik? Apa tipe konflik yang terjadi dan bagaimana bentuk polarisasinya? 4) Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, bagaimanakah sebaiknya penanganan konflik yang berkaitan dengan pengendalian fungsi lingkungan dari hutan tersebut dilakukan/diputuskan?
1.3. Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah Kondisi krisis yang dihadapi oleh Indonesia saat ini sangat kompleks dan bersifat multi-dimensional sehingga membutuhkan penanganan yang serius dan bersungguh-sungguh. Kegagalan pembangunan di masa lalu sebagai akibat dari sentralisasi sistem pemerintahan dirasakan menjadi satu diantara penyebabpenyebab lainnya termasuk belum terselenggarakan sistem pemerintahan yang baik (good governance). Menghadapi hal tersebut, pemerintah secara bertahap melakukan langkah-langkah desentralisasi kewenangan berbagai sektor pembangunan. Langkah desentralisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan dilakukan melalui kerangka kebijakan otonomi daerah.
Hal tersebut diantaranya didukung oleh
upaya desentralisasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk
sumberdaya
hutan.
Dalam
pengelolaan
sumberdaya
hutan,
desentralisasi juga menyentuh pengelolaan kawasan hutan lindung. Secara umum, hutan memiliki fungsi lingkungan yang meliputi fungsi ekonomis, fungsi sosial, fungsi ekologis, dan bahkan politis. Demikian pula halnya dengan fungsi lingkungan dari kawasan hutan lindung. U.U. Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Seiring dengan
8 perubahan orientasi pembangunan kehutanan yang telah diuraikan sebelumnya dalam Sub-bab 1.1, pemerintah sedang berupaya mengembangkan sistem pengelolaan hutan dengan pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), termasuk dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungannya. Permasalahannya, dari berbagai kasus di lapang, pengelolaan kawasan hutan tersebut sering tidak sesuai dengan fungsi lingkungan (dalam arti luas) yang justru menjadi permintaan, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat lokal2, khususnya masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian dan hidupnya pada kawasan hutan. Tidak jarang ketidak-sesuaian tersebut menimbulkan berbagai konflik baik konflik land tenure (status dan kepemilikan lahan) maupun konflik akses pengelolaan lahan. Konflik status dan kepemilikan lahan serta akses pengelolaan merupakan konflik lingkungan yang sering terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung. Proses penunjukkan dan penetapan status dan tataguna kawasan hutan tersebut yang diikuti dengan konstruksi tata batas dan zonasi kawasan, seringkali dilakukan secara “sepihak” oleh pemerintah tanpa memperhatikan interaksi yang terjadi antara komunitas masyarakat lokal dengan sumberdaya alam yang tersedia di dalam kawasan. Prosesnya cenderung dilakukan tanpa menyertakan partisipasi masyarakat terutama mereka yang telah tinggal menetap antar generasi di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang memiliki kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesamaan sejarah demografi, keterikatan tempat tinggal, serta nilai-nilai kehidupan sosial. Di tingkat lapang, konflik tersebut seringkali ditangani oleh pemerintah melalui pendekatan represif berdasarkan peraturan/perundangan yang “berlaku” dan blueprint tanpa memperhatikan akar masalah yang menyebabkan mengapa masyarakat melakukan gugatan. Tidak jarang, pendekatan represif yang dilakukan tersebut justru malah menimbulkan kerusuhan-kerusuhan sosial yang tidak diharapkan. Gugatan status dan kepemilikan lahan dalam kawasan hutan yang berkaitan dengan hak masyarakat hukum adat atas lahan misalnya, merupakan suatu bentuk perjuangan identitas diri atau simbol sosial dari 2
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, masyarakat setempat (lokal) adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama.
9 komunitas adat berkaitan. Sedangkan gugatan serupa yang datangnya dari masyarakat pendatang yang telah lama menetap, merupakan akibat dari “ketidak-benaran atau pemutarbalikkan” sejarah status dan kepemilikan lahan sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan negara. Lemahnya upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik status kepemilikan dan akses pengelolaan lahan kawasan hutan cenderung berpotensi menyulut konflik-konflik lingkungan lainnya. “Pendudukan kembali” atas lahan gugatan yang dilakukan oleh komunitas tertentu biasanya cenderung diikuti oleh konversi lahan ke dalam bentuk penggunaan lain. Masalah lingkungan berikutnya akan timbul ketika konversi lahan tersebut menjadi suatu proses deforestasi tidak dapat balik (irreversible deforestation) yang menuju kepada degradasi hutan berikut fungsi lingkungannya dan berpengaruh negatif terhadap wilayah lainnya. Seperti telah dinyatakan pada Sub-bab 1.2, menurut Buckles (1999) terdapat empat kelompok masalah yang mempengaruhi terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu (1) eksternalitas negatif, (2) kelangkaan
sumberdaya
alam,
(3)
ketimpangan
distribusi
penguasaan
sumberdaya alam, dan (4) perbedaan etik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penanganan konflik. Eksternalitas
negatif
terjadi
karena
sumberdaya
alam
tercakup
(embedded) di dalam suatu lingkungan yang masing-masing komponennya saling berinteraksi sehingga aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah dapat menimbulkan pengaruh dan dampak lingkungan di wilayah lainnya (Buckles, 1999). Eksternalitas negatif juga mencakup
faktor
eksternal
yang
mengakibatkan
seseorang
mengelola
sumberdaya alam yang menurut pendapat umum dilakukan secara tidak lestari misalnya konversi lahan hutan. Dikaitkan dengan kondisi lapang di lokasi penelitian, beberapa peubah eksternalitas negatif yang diduga menjadi penyebab seseorang memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan adalah: (1) bencana alam antropogenik yang menimpa kegiatan pertanian di luar kawasan, (2) harga komoditas yang nantinya akan dibudidayakan di dalam kawasan, (3) informasi pasar yang berkaitan tentang kepastian harga komoditas, (4) pengaruh pasar
yang
berkaitan
dengan
kepastian
akan
aktor
yang
akan
membeli/menampung komoditas yang dihasilkan, dan (5) ketersediaan sarana pendukung terutama jaringan transportasi ke bidang lahan yang dikonversi (lihat Sub-model A Gambar 1.1).
10 Sumberdaya alam merupakan salah satu sumber kehidupan manusia yang ketersediaannya tidak tak terbatas. Peningkatan pertumbuhan penduduk perlu diimbangi dengan ketersediaan berbagai bahan pokok seperti produk primer sektor pertanian secara memadai. Di daerah perdesaan terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ciri negara agraris, umumnya ketersedian lahan adalah faktor penentu dan merupakan salah satu natural capital yang penting bagi kelangsungan kegiatan pertanian. Oleh karenanya, kelangkaan sumberdaya lahan pertanian yang tersedia di perdesaan dapat memicu terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan yang diikuti oleh konversi lahan non-pertanian yang relatif masih subur (dan umumnya lahan tersebut adalah lahan hutan) (Buckles, 1999). Kelangkaan tersebut termasuk kelangkaan status kepemilikan lahan. Dari berbagai kasus, konflik lingkungan akan semakin mudah mencuat apabila ada desakan ekonomi seperti rendahnya pendapatan rumah tangga sehingga mendorong seseorang masuk ke dalam kawasan hutan diikuti dengan konversi lahan secara tak terkendali dan “ilegal” karena kawasan tersebut berdasarkan statusnya diperuntukkan sebagai kawasan hutan lindung. Di lokasi penelitian, peubah-peubah: (1) luas penguasaan lahan pertanian di luar kawasan, (2) status kepemilikan lahan pertanian di luar kawasan, dan (3) pendapatan rumah tangga diduga mempengaruhi persepsi responden bahwa kebutuhan lahan pertanian perlu ditingkatkan (Sub-model C Gambar 1.1). Konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam terjadi karena sumberdaya alam tercakup di dalam suatu pembagian ruang sosial (shared social space) yang kompleks dan memiliki hubungan yang tidak merata yang terbangun oleh proses interaksi antar-aktor sosial sehingga terjadi ketimpangan distribusi penguasaan dan perbedaan akses (keterlibatan dan hak) individu dan/atau kelompok masyarakat dalam mengelola kawasan hutan (Buckles, 1999) sehingga menimbulkan ketimpangan struktural (Moore, 1996). Di dalam dimensi politik, aktor sosial yang memiliki akses terbesar ke pusat kekuasan biasanya menjadi yang paling mampu mengkontrol dan mempengaruhi keputusan pengelolaan sumberdaya alam3.
Pada kondisi sebaliknya, aktor
sosial yang jauh dari pusat kekuasaan biasanya cenderung menjadi komunitas 3
Contoh kasus di Sudan Utara, para tuan tanah yang umumnya memiliki status sosial seperti pengusaha, pegawai pemerintah, pensiunan jendral, dan politikus menggunakan “koneksinya” dalam memperoleh akses kedekatan dengan pemerintah untuk memperoleh pembukaan lahan di Pegunungan Nuba, Kordofan Selatan, dan bahkan sebaliknya, Pemerintah Sudan membantu mereka (secara diskriminatif) untuk memperoleh lahan yang terbaik (Buckles, 1999).
11 yang tersubordinasi dan lemah (powerless) (Fisher,S. 2001; Wijardjo, dkk. 2001; Fauzi, 2000; Borini dan Feyerabend, 2000; Robinson, 1998). Selain itu, mereka umumnya dicirikan sebagai kelompok masyarakat yang hampir tak pernah dilibatkan untuk berpartisipasi secara utuh dalam rangkaian proses perencanaan, pengambilan
keputusan,
pelaksanaan,
hingga
pengendalian
pengelolaan
sumberdaya alam (Borini dan Feyerabend, 2000; Merchant, 1992). Kelompok masyarakat tersebut umumnya adalah mereka bermukim di dalam dan/atau di sekitar hutan dan bahkan memiliki keterikatan sejarah dengan perubahan status kawasan hutan tersebut (Wijardjo, dkk. 2001). Kelompok tersebut pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang rendah serta lemah dalam pengetahuan terkini terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah spesifik yang belum terpecahkan misalnya konflik. Di lapang, ciri-ciri tersebut diduga terdapat pada kasus konflik yang diteliti. Berdasarkan kondisi yang ada, diduga tingkat ordinasi seseorang dipengaruhi oleh (1) tingkat partisipasi individu yang bersangkutan, (2) tingkat kesejahteraan sosial, dan (3) tingkat keberdayaan pengetahuan dalam penanganan konflik. (Lihat Sub-model B Gambar 1.1). Ketimpangan
struktural
juga
dapat
diindikasikan
oleh
frekuensi
keterlibatan seseorang secara aktif dalam menegosiasikan kepentingannya (Kriesberg, 1998). Seseorang pesengketa cenderung akan terlibat secara aktif apabila yang bersangkutan memiliki pemahaman dan/atau persepsi4 yang baik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan segala peluang baginya sehingga memiliki posisi tawar yang kuat. Pada saat ini, berkaitan dengan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung setidaknya diperlukan pemahaman tentang: (1) status kawasan hutan negara, (2) fungsi lingkungan suatu kawasan hutan, dan (3) desentralisasi pengelolaan kawasan hutan khususnya di Indonesia. Di lokasi penelitian ketiga faktor tersebut diduga mempengaruhi seseorang pesengketa untuk menegosiasikan kepentingannya. (Lihat Sub-model B Gambar 1.1). Di samping itu, ada faktor penting lainnya yaitu: (4) adanya tindakan represif dari pihak luar sehingga seseorang menjadi takut dan tidak mau bernegosiasi. Selain itu, konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya hutan juga disebabkan oleh perbedaan persepsi para pihak dalam memandang fungsi hutan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Buckles (1999) bahwa konflik
12 pengelolaan sumberdaya alam disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi5 antara sumberdaya alam sebagai sumber material versus sebagai simbol sosial. Di lokasi penelitian, yang diduga menjadi penyebab konflik adalah perbedaan persepsi atas hal-hal yang berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan, pemahaman tentang kebijakan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan, dan pemahanan tentang definisi status kawasan hutan. Pada kasus penelitian, peubah-peubah yang diduga menjadi penyebab perbedaan persepsi karena perbedaan karakteristik responden yaitu: (1) tingkat pendidikan, (2) lama tinggal di kawasan baik secara menetap atau tidak menetap, dan (3) kosmopolitansi seseorang dalam menerima pengetahuan dari luar. Tabel 1.1 Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan Sub-model A (Eksternalitas) BAA HK IF PP SP KKLK
= = = = = =
Bencana alam antropogenik (X1) Harga komoditi (X2) Informasi pasar (X3) Pengaruh Pasar (X4) Sarana pendukung (X5) Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
Sub Model B (Persepsi dan ketimpangan struktural) TKPR TKSS TKDR TKOR LTRP PKHN PFLH PDPK LPDN TPDR SKR KR
= = = = = = = = = = = =
Tingkat partisipasi responden (X7) Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) Tingkat keberdayaan responden (X9) Tingkat ordinasi responden (X10) Tindakan represif oleh pemerintah (X11) Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13) Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14) Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) Tingkat pendidikan pesponden (X16) Lama tinggal di kawasan (X17) Kosmopolitansi responden (X18)
Sub Model C (Kelangkaan) KTLP TPDK PRR PKLT
= = = =
Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19) Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20) Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan (X21) Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
Sub Model D (Etik Lingkungan) PAR PER PRTA ESKO 4
= = = =
Etik Antroposentris (X23) Etik Ekosentris (X24) Manifestasi Etika Lingkungan (X25) ESKALASI KONFLIK (X26)
Persepsi adalah proses kognitif yang terjadi pada seseorang dalam memahami dan menafsirkan informasi lingkungannya yang diperoleh melalui sensor indranya (Thoha, 1988). 5 Menurut Sarwono (1999), perbedaan persepsi antar individu dan/atau komunitas sosial disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam hal perhatian, harapan, kebutuhan, sistem nilai, dan kepribadian.
13
Sub Model A: Eksternalitas TPDR HK
SKR
IF
PKHN
BAA
PDPK SP
KR PFLH
PP KKLK LTRP LPDN
Sub Model B: Persepsi dan Ketimpangan Struktural
ESKO TKPR TKOR
Sub Model C: Kelangkaan PRR
TKDR
PKLT TKSS
TPDK KTLP
PRTA
PAR
PER
Sub Model D: Etik Lingkungan
Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan
14 Adanya perbedaan etik lingkungan merupakan salah satu penyebab konflik pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Merchant (1992), etik lingkungan adalah
suatu
keyakinan
tentang
keterkaitan
antara
tata
sosial
seseorang/kelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya yang kemudian dimanifestasikan dalam praktik kehidupannya sehari-hari. Ada tiga etik lingkungan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan yaitu: (1) etik egosentris/antroposentris, (2) etik homosentris/sosiosentris, dan (3) etik ekosentris. Pandangan lain ada yang menyatukan etik egosentris dan homosentris ke dalam satu kelompok yang disebut etik antroposentris, sementara etik ekosentris tetap di dalam kelompok tersendiri. Di dalam penelitian ini, diduga praktik etik lingkungan yang terjadi pada suatu konflik dipengaruhi oleh etik antroposentris dan etik ekosentris seseorang/kelompok. (Lihat Submodel D Gambar 1.1). Penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan hutan bukan produksi memerlukan kajian awal terhadap data, informasi, dan fakta yang berkaitan dengan: (1) masalah-masalah penyebab konflik atau sering disebut dengan akar konflik,
(2)
pengetahuan
tentang
gaya
konflik
(conflict
styles)
yang
dimanifestasikan oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik, (3) tipe konflik, dan (4) polarisasi sifat konflik. Hubungan saling pengaruh antara keempat komponen tersebut kemudian menggambarkan suatu peta konflik. Akar
konflik
merupakan
perbedaan-perbedaan
fundamental
yang
menyebabkan mengapa suatu konflik terjadi. Dari perbedaan tersebut, masingmasing pihak yang terlibat konflik umumnya memanifestasikan responnya terhadap konflik yang dihadapi melalui gaya konflik yang berkaitan dengan kepeduliannya terhadap kepentingan individu/kelompoknya sendiri dan/atau kepentingan individu/kelompok lainnya. Gaya konflik seseorang atau sekelompok masyarakat terhadap orang/kelompok pihak lain dapat berbentuk saling menghindar,
menekan,
kompromi,
akomodasi,
dan
kerjasama.
Tingkat
perbedaan sasaran akan mempengaruhi perilaku para pihak yang berkonflik dan membentuk tipe-tipe konflik yang terjadi seperti apakah tipe konflik tersebut terbuka dan mudah diidentifikasi langsung atau konflik tersebut tertutup/laten sehingga memerlukan identifikasi khusus. Mengingat banyak pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung, pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama biasanya cenderung akan berkelompok, sedangkan
yang
memiliki
kepentingan
yang
berbeda
cenderung
akan
15 berseberangan berpolarisasi pada sisi yang berbeda dan/atau berlawanan. Dari polarisasi konflik kemudian diperoleh peta konflik yang terjadi baik secara spasial maupun secara sosial; secara spasial konflik dipetakan dalam batas ruang tertentu berikut “konflik apa” yang terjadi, sedangkan secara sosial konflik dipetakan untuk memperolah gambaran “siapa melawan siapa” yang terlibat di dalam suatu konflik. Model hubungan sebab akibat antar-keempat komponen tersebut amat penting dalam melakukan analisis pemetaan konflik. Secara grafis model tersebut ditayangkan pada Gambar 1.2. Penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung secara umum memerlukan pilihan-pilihan pendekatan penanganan dan metode penanganan. Berdasarkan hasil yang dapat diperoleh dari analisis kedua model yang dikembangkan sebelumnya, pendekatan penanganan konflik dipilih secara kognitif kualitatif didasarkan kepada pengetahuan faktual yang empiris melalui proses pengenalan masalah dan keterlibatan diri (peneliti dan responden) secara langsung pada kasus konflik. Penanganan konflik dimaksud mencakup pilihan-pilihan apakah akan dilakukan pengendalian akar konflik, penyelesaian konflik berikut upaya rekonstruksi sosial dan lingkungannya, atau untuk mencegah transformasi konflik baik secara geografis maupun secara lintastataran sosial.
Sedangkan metode penanganan konflik menyangkut pilihan-
pilihan apakah konflik akan diselesaikan melalui jalur hukum formal atau dengan penanganan konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution). Pilihan-pilihan pendekatan dan metode penanganan konflik lingkungan juga ditentukan oleh instrumen kebijakan yang ada seperti apakah pilihan-pilihan tersebut terakomodasi dalam peraturan dan perundangan yang berlaku baik tentang kehutanan, lingkungan hidup, tata ruang, agraria, maupun otonomi daerah. Kewenangan formal penanganan konflik juga amat menentukan apakah suatu konflik cukup ditangani di tingkat lokal dan/atau perlu dalam sekala regional. Perbedaan kebutuhan di tingkat mana penanganan konflik dilakukan akan berimplikasi terhadap perbedaan institusi apa dan/atau siapa saja yang relevan dan berwenang untuk turut serta menangani konflik lingkungan yang terjadi. Seluruh keterkaitan antara fungsi lingkungan yang diharapkan dari pengelolaan kawasan hutan bukan produksi, kebijakan yang mengaturnya, konflik yang ditimbulkan, upaya penanganan konflik, dan dampak konflik terhadap kelestarian fungsi lingkungan dari kawasan hutan tersebut, secara grafis ditayangkan pada Gambar 1.3.
16
Pihak A
Pihak B
Akar Konflik Perbedaan Kepentinga
Perbedaan Struktural
Perbedaan Data
Perbedaan Nilai
Perbedaan Hubungan Sosial
Akar Konflik Perbedaan Kepentinga
Gaya Konflik Pihak A Terhadap Aktor Lainnya Menghindar
Menekan
Kompromi
Akomodasi
Perbedaan Struktural
Perbedaan Data
Perbedaan Nilai
Perbedaan Hubungan Sosial
Gaya Konflik Pihak B Terhadap Aktor Lainnya
Kerjasama
Menghindar
Menekan
Kompromi
Akomodasi
Kerjasama
PENANGANAN KONFLIK
Tipe Konflik
Polarisasi Sifat Konflik
Tipe Konflik
Tipe Konflik
Gaya Konflik Pihak C Terhadap Aktor Lainnya Menghindar
Menekan
Perbedaan Kepentinga
Perbedaan Struktural
Kompromi
Gaya Konflik Pihak D Terhadap Aktor Lainnya
Akomodasi
Kerjasama
Menghindar
Menekan
Perbedaan Nilai
Masalah Hubungan Sosial
Perbedaan Kepentinga
Perbedaan Struktural
Akar Konflik Perbedaan Data
Pendekatan Penanganan • Pencegahan Konflik • Penyelesaian Konflik • Pengelolaan Konflik • Resolusi Konflik • Transformasi Konflik
Tipe Konflik
Kompromi
Akomodasi
Kerjasama
Perbedaan Nilai
Perbedaan Hubungan Sosial
Akar Konflik
Pihak C
Gambar 1.2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Model Identifikasi Peta Konflik
Perbedaan Data
Pihak D
Metode Penanganan • Negosiasi • Mediasi • Fasilitasi • Arbitrasi • Proses HUkum
17
ISU LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN
KEBIJAKAN NASIONAL Kebijakan Pengelolaan Kehutanan
FUNGSI LINGKUNGAN DARI HUTAN Fungsi Ekonomi
• Hasil Hutan (Kayu dan Bukan Kayu) • Bukan Hasil Hutan (pertambangan, infrastuktur pelayanan publik )
Fungsi Sosial
• Pertumbuhan Penduduk • Kebutuhan Lahan Pertanian Dalam Arti Luas • Ketahanan pangan
• •
• •
• Hak-hak Masyarakat Lokal/adat atas lahan • Pengetahuan subsisten • Kesehatan • Estetika • Budaya
Tekanan (pendudukan/okupasi) lahan kawasan hutan oleh masyarakat Pembalakkan liar Konversi lahan tak terkendali Degradasi hutan Kerusuhan Sosial
• Keanekaragaman hayati • Plasma nuftah • Habitat satwa • Iklim mikro • Rosot karbon • Pengatur Tata air • Pencegah erosi
Konflik Pengelolaan Kawasan Hutan Register 45B dan Register 9 Di Propinsi Lampung
PETA KONFLIK • • •
PENANGANAN KONFLIK • •
Upaya Pengendalian dan/atau Pengurangan Dampak Konflik
Kebijakan Otonomi Daerah
Fungsi Ekologis
DAMPAK KONFLIK •
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
Pendekatan Penanganan Metode Penanganan
•
Akar konflik Gaya Konflik Polarisasi sifat konflik Tipe konflik
Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung; Studi Kasus Di Lokasi Penelitian
Umpan balik Perbaikan Kebijakan Pengelolaan
Strategi Penanganan Konflik
Kewenangan Penanganan Konflik
Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran Model Kognitif Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
18 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mempelajari konflik lingkungan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung dalam konteks pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1) Mengkaji kebijakan-kebijakan kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, agraria, tata ruang, dan otonomi daerah bagi penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan di daerah khususnya di kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. 2) Meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konflik dalam pengelolaan kawasan lindung berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan. 3) Meneliti gaya pengelolaan konflik (conflict style management) yang diragakan oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalam konflik dan polarisasi konflik yang terjadi. 4) Mengembangkan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif didasarkan
kepada
pengalaman
yang
diperoleh
para
pihak
yang
bersengketa.
1.5. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian dapat memberi manfaat berupa: (1) Terbangunnya pemahaman bersama bahwa konflik lingkungan adalah sesuatu yang harus dikelola sebelum ia menjadi masalah yang disfungsional. (2) Sumbangsih bagi kalangan pemerintah (perencana, pengambil keputusan kebijakan, dan pelaksana kebijakan), akademisi, pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, terutama mereka yang terlibat langsung dengan konflik yang diteliti, tentang bagaimana menangani konflik lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan khususnya kawasan hutan lindung. (3) Bahan pembanding bagi penelitian-penelitian lainnya yang berkaitan dengan penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung.
1.6. Kebaharuan (Novelties) Kebaharuan (novelties) yang disajikan oleh penelitian disertasi ini adalah: 1) Secara spasial, merupakan penelitian holistik model penangan konflik lingkungan yang pertama kali dilaksanakan di kawasan hutan lindung.
19 2) Secara metodologis, penelitian disertasi ini merupakan penelitian multidisiplin ilmu memadukan hard system analysis dan soft system analysis untuk saling memperkuat satu sama lainnya. Penelitian menyajikan sebuah rangkaian analisis penanganan konflik lingkungan secara holistik, dimulai dari analisis akar konflik, polarisasi, gaya konflik, pemilihan pendekatan penyelesaian, hingga penyelesaian konflik secara kognitif yang kemudian menjadi aksi lanjut (follow up action) para pihak dalam menyelesaikan konfliknya pasca penelitian ini. 3) Penelitian ini menyuguhkan bagaimana beberapa alat assesment (penilaian) dipergunakan di dalam sebuah mekanisme penyelesaian konflik yang dikembangkan. Ketiadaan alat peniliaian tersebut saat ini merupakan tantangan dari berbagai prosedur yang ada dari penerapan berbagai peraturan dan perundangan penyelesaian konflik secara alternatif (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia.
II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Isu Lingkungan dalam Pengelolaan Hutan Global dan Nasional Lingkungan didefinisikan sebagai seluruh aspek yang mengelilingi dan memiliki pengaruh terhadap manusia baik secara individual maupun kelompok sosial (Gilpin, 1996).
Demikian pula halnya dengan Cunningham dan Saigo
(1995) yang mendefinisikan lingkungan sebagai suatu kondisi yang mengitari organisme atau sekelompok organisme termasuk kondisi sosial budaya yang mempengaruhi organisme baik secara individual maupun kelompok. Dalam definisi lingkungan termuat aspek ruang dan adanya interaksi antar-komponen di dalamnya. Oleh karenanya, Suratmo (1999) mendefinisikan lingkungan sebagai suatu ruang yang mengandung mahluk hidup (biotik), benda mati (abiotik) dan aktivitas sosial ekonomi yang di dalamnya terdapat suatu tatanan (sistem) yang saling berinteraksi secara menyeluruh. Berdasarkan proses pembentukannya, lingkungan terdiri atas lingkungan buatan dan lingkungan alam (European Union dalam Gilpin,1996).
Lingkungan buatan adalah suatu kondisi di alam yang
diciptakan oleh manusia untuk tujuan tertentu dengan memodifikasi kondisi lingkungan alam; sedangkan lingkungan alam adalah suatu kondisi di alam yang terjadi melalui proses alami seperti dekomposisi dan suksesi dalam suatu rentang waktu.
Salah satu contoh lingkungan alam adalah hutan alam. Dari
berbagai terminologi tersebut maka dapat dikatakan bahwa wacana tentang kehutanan tidak akan pernah terlepas dari wacana tentang lingkungan, demikian pula sebaliknya. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang mampu mempengaruhi iklim mikro sehingga mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan di luar hutan (Suryanegara dan Indrawan, 1998). Sedangkan berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Isu kehutanan dalam konteks lingkungan global sudah muncul sejak Deklarasi Stockholm yang ditandatangani pata tanggal 16 Juni 1972. Secara implisit, pentingnya sumberdaya hutan termaktub di dalam Azas ke 2 hingga ke 4 deklarasi tersebut yaitu: Sumberdaya alam di bumi, termasuk udara, air, tanah,
21 flora dan fauna serta berbagai hal yang berada dalam ekosistem alam, harus diselamatkan, baik sekarang maupun pada generasi yang akan datang melalui perencanaan
dan
pengelolaan
yang
hati-hati;
Kapasitas
bumi
untuk
menghasilkan sumberdaya vital yang bisa diperbaharui harus diperlihara dan dijaga; dan, Manusia mempunyai tanggungjawab khusus untuk menyelamatkan dan mengelola secara bijaksana kehidupan margasatwa dan habitatnya, yang sekarang sedang terancam oleh berbagai faktor. Konservasi alam, termasuk margasatwa, harus dilakukan menyertai pembangunan ekonomi. Sejak konferensi lingkungan dunia di Stockholm tersebut, keadaan lingkungan dunia terus merosot dan bahkan muncul berbagai masalah lingkungan baru (Suratmo, 1999).
Para ahli lingkungan dunia menggangap
bahwa para penguasa pemerintah (eksekutif) tidak dapat menjalankan kesepakatan dunia dalam menghentikan kerusakan lingkungan secara efektif, oleh karenanya diselenggarakanlah konferensi lingkungan hidup internasional di Washington D.C., Amerika Serikat tahun 1990 yang secara khusus pesertanya adalah angota parlemen/Dewan Perwakilan Rakyat dari semua negara, dengan anggapan bahwa parlemen dari setiap negara dapat menekan lembaga eksekutif untuk menjalankan kesepakatan internasional.
Pada konferensi tersebut
disepakati sebanyak tujuh buah isu lingkungan global yang memerlukan tindakan kolektif untuk menghadapinya yaitu (1) perubahan iklim global, (2) deplesi lapisan ozon, (3) pembangunan yang berkelanjutan, (4) kependudukan, (5) deforestasi dan desertifikasi, (6) konservasi biodiversiti, dan (7) perlindungan sumberdaya air dan lautan.
Dari ketujuh isu lingkungan global tersebut, esensi sumberdaya
hutan secara ekplisit disebutkan dalam bagian penjelasan perubahan iklim global,
pembangunan
berkelanjutan,
deforestasi
dan
desertifikasi,
dan
konservasi keaneka-ragaman hayati. Setelah 20 tahun Konferensi Stockholm, upaya-upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup global masih dirasakan belum ada peningkatan. Oleh karenanya,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
memprakarsi
pertemuan
Lingkungan dan Pembangunan internasional yang di selenggarakan di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 atau sering dikenal dengan KTT Bumi. KTT tersebut menghasilkan kesepakatan internasioal yang penting yang disebut dengan nama Agenda 21 Rio yang terdiri atas 40 bab. Bab pertama berisikan 27 Prinsip Deklarasi Rio yang isinya menegaskan kembali butir-butir Deklarasi Stockholm. Dalam Deklarasi Rio tersebut terdapat dua komponen prinsip baru
22 yang membedakannya dengan deklarasi sebelumnya yaitu pentingnya peranan wanita dan peranan penduduk asli dan anggota masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, yang masing-masing tertuang pada Prinsip Ke 20 dan Prinsip Ke 22. Sementara itu, 39 bab yang berikutnya berisi tentang Kerja Aksi PBB dalam lingkungan dan pembangunan; bab-bab yang utamanya menegaskan keterkaitan langsung antara isu lingkungan dan sumberdaya hutan adalah: •
Bab 10 Pendekatan terpadu bagi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya lahan,
•
Bab 11 Memerangi deforestasi,
•
Bab 12 Pengelolaan ekosistem yang mudah rusak; memerangi desertifikasi dan kekeringan,
•
Bab 14 Mempromosikan pembangunan perdesaan dan pertanian yang berkelanjutan,
•
Bab 15 Konservasi keanekaragaman hayati, dan
•
Bab 26 Rekognisi dan penguatan peran masyarakat hukum adat dan komunitas mereka. Sebagai salah satu peserta Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan, Indonesia telah mengetahui adanya sejumlah persetujuan tidak mengikat
(non-binding
agreements)
yaitu:
(1)
Deklarasi
Rio
tentang
pembangunan dan lingkungan yang berisikan 27 prinsip dasar yang mengarah pada pencapaian pembangunan berkelanjutan; (2) dokumen Agenda 21 Global yang merupakan kerja aksi PBB dari Rio; (3) perjanjian tentang prinsip-prinsip kehutanan; (4) konvensi tentang perubahan iklim; dan (5) konvensi tentang keanekaragaman hayati. Dalam upaya menindaklanjuti dan menerapkan hasilhasil dari KTT Bumi yang merupakan komitmen Indonesia dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka disiapkanlah suatu dokumen yang dapat dijadikan acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dari hasil KTT tersebut. Dokumen tersebut adalah Agenda 21 Indonesia. Dokumen Agenda 21 Indonesia terdiri atas 18 bab yang dikelompokkan ke dalam empat bagian yaitu Bagian I Pelayanan Masyarakat, Bagian II Pengelolaan Limbah, Bagian III Pengelolaan Sumberdaya Lahan, dan Bagian 4 Pengelolaan Sumberdaya Alam. Agenda 21 Indonesia tentang pengelolaan hutan secara khusus dibahas dalam Bagian III Bab 13. Bab-bab lainnya yang memiliki keterkaitan langsung dengan pengelolaan hutan yaitu Bab 12
23 Perencanaan Sumberdaya Lahan dan Bab 16 Konservasi Keanekaragaman Hayati.
2.2. Hutan Dunia dan Indonesia Total luas daratan di bumi adalah 144,8 juta km2 atau sekitar 29% dari luas permukaan bumi. Menurut World Research Institute (WRI) dalam Cunningham dan Saigo (1995), dari luas daratan tersebut, persentase bentuk penggunaan lahan hutan dan perkebunan kayu pada tahun 1990 adalah 40,54 juta km2 (atau sebesar 28%), sisanya terbagi untuk penggunaan lahan irigasi, pastur dan padang penggembalaan, dan penggunaan lainnya (Gambar 2.1). Dari total luas lahan hutan dunia, 10% diantaranya adalah ekosistem hutan tropis. Menurut FAO dalam Cunningham dan Saigo (1995), pada awal abad 20 luas hutan tropis dunia adalah 20 juta km2. Dari luas tersebut, sebesar 16,9 juta hektar per tahunnya telah rusak dan/atau dikonversi ke dalam penggunaan lain. Selama kurun waktu abad 20, laju deforestasi hutan tropis dunia per tahunnya adalah 1%, yang tertinggi terjadi di Amerika Selatan kemudian disusul oleh Asia Tenggara dan Asia Timur kontinental. Diduga, komposisi luas tersebut saat ini telah banyak berubah seiring dengan konversi lahan oleh aktivitas manusia. Lahan irigasi 10% Penggunaan lain (tundra, gurun, lahan basah, perkotaan) 40%
Pastur dan padang penggembalaan 22%
Hutan dan perkebunan kayu 28%
Gambar 2.1. Penggunaan Lahan Dunia, 1990 (Sumber: WRI dalam Cunningham dan Saigo, 1995).
Indonesia dikenal sebagai sebuah negara yang memiliki hutan tropik terluas ketiga di dunia dengan ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropik dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove). Studi yang dilakukan RePPProT (1989) mengidentifikasikan 19 tipe hutan di Indonesia. FAO dan Pemerintah RI (1990)
24 mengelompokkannya menjadi enam tipe berdasarkan potensi pengelolaannya sebagai berikut: 1) Hutan Pegunungan Campuran (Mixed hill Forests). Jenis hutan tersebut sangat penting berkenaan dengan hasil kayunya. Tipe tersebut meliputi sekitar 65% dari seluruh hutan alam Indonesia. Di Sulawesi, Kalimantan,
dan
Sumatera
hutan
tersebut
didominasi
oleh
suku
Dipterocarpaceae, jenis kayu terpenting di Indonesia. Di Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya yang bersifat lebih kering, jenis-jenis penting adalah Pometia spp., Palaquium spp., Instia palembanica dan Octomeles. 2) Hutan Sub-montana, Montana, dan Pegunungan. Hutan tersebut terdapat di daerah-daerah Indonesia dengan ketinggian antara 1.300 sampai dengan 2.500 meter di atas permukaan laut. Suku yang dominan adalah Lauraceae dan Fagaceae. 3) Savana/Hutan Bambu/Hutan Luruh/Hutan Musim Pegunungan. Jenis hutan tersebut tidak luas wilayahnya. Padang rumput savana alami terdapat di Irian Jaya, berasosiasi dengan Eucalyptus spp., di Maluku berasosiasi dengan Melauleca dan di Nusa Tenggara berasosiasi dengan Eucalyptus alba. Hutan luruh terdapat di ketinggian sekitar 100 meter, memiliki genera yang tidak ada di hutan hujan seperti Acacia, Albizzia, dan Eucalyptus. Pembakaran berabad-abad telah menghasilkan spesies dominan tunggal seperti jati (Tectona grandis) di Jawa, Melauleca leucadendron di Maluku dan Irian Jaya, serta Timonius sericeus, Borassus flabellifer dan Corypha di Nusa Tenggara. Hutan jati di Jawa dibangun hampir 110 tahun yang lalu. Hutan musim pegunungan terdapat pada ketinggian di atas 100 m. 4) Hutan Rawa Gambut. Terdapat hanya di daerah-daerah yang iklimnya selalu basah khususnya Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya yang mencakup 13 juta hektar atau 10% dari luas dari seluruh hutan. Spesies yang terpenting adalah Gonystylus bancanus di Kalimantan dan Camnosperma macrophylum di Sumatera. 5) Hutan Rawa Air Tawar. Luasnya sekitar 5,6 juta hektar, terdapat di Pesisir Timur Sumatera, Pesisir Barat Kalimantan, dan Irian Jaya.
Generanya sama dengan hutan hujan
bukan rawa. Di Irian Jaya rumpun pada hutan jenis tersebut didominasi oleh sagu.
25 6) Hutan Pasang Surut. Hutan bakau (mangrove) adalah bagian yang penting dari hutan pasang surut, luasnya sekitar 4,25 juta hektar. Hutan bakau terutama terdapat di Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, dan Kepulauan Aru, dan sedikit di Sulawesi bagian Selatan serta Jawa bagian Utara. Rhizopora, Avicennia, Sonneratia dan Ceriops adalah genera utamanya. Walaupun ada kesepakatan umum mengenai kekayaan kanekaragaman hayati hutan Indonesia, luas wilayah hutan yang sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ini disebabkan oleh berbagai alasan. Pertama, kawasan hutan berarti lahan yang berada di bawah wewenang Departemen Kehutanan dan Perkebunan, bukan hanya daerah berhutan. Berdasarkan pengertian tersebut dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1980, luas hutan di Indonesia diperkirakan 143,8 juta hektar. Kedua, pelaksanaan inventarisasi hutan relatif terlambat dan hal tersebut masih berlanjut. Keadaan tersebut turut menyulitkan penentuan berapa luas hutan yang sebenarnya. Sebagai contoh, hasil penelitian RePPProT selama tahun 1985-1989 atas dasar foto udara tahun 1982, memperkirakan bahwa wilayah hutan mencakup 63% dari seluruh luas lahan Indonesia (Djajadiningrat (1992) dalam Agenda 21 Indonesia). Banyak sumber data tentang statistik luas dan kondisi kawasan hutan di Indonesia baik dari lembaga penelitian maupun dari lembaga teknis departemen namun satu sama lain seringkali menunjukkan perbedaan informasi yang dapat menyulut konflik interpretasi dan persepsi antar pihak yang peduli dengan kondisi hutan di Indonesia. Berdasarkan data yang bersumber dari Badan Planologi Departemen Kehutanan (2001), luas kawasan hutan di Indonesia menurut dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1983 adalah 140,4 juta hektar, berarti ada perbedaan lebih kecil sebesar 3,4 juta hektar dibandingkan dengan data yang disajikan dalam dokumen Agenda 21 Indonesia yang dikeluarkan oleh Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1995).
26 Tabel 2.1. Luas Kawasan Hutan Indonesia TGHK 1983 Status Kawasan (Juta ha)
%
TGHK 1999 (Padu Serasi Dengan RTRWP) Luas Kawasan Hutan Rusak (Juta ha) % (Juta ha) %
Hutan Konservasi 18,8 13,39 20,5 17,03 3,65 17,80 Hutan Lindung 30,7 21,87 33,52 27,85 2,16 6,44 Hutan Produksi 64,3 45,80 58,26 48,40 14,25 24,46 Hutan Konversi 26,6 18,95 8,08 6,71 Jumlah 140,4 100,00 120,36 100,00 Sumber: Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan - Departemen Kehutanan, 2001.
Setelah dilakukan pemaduserasian dengan seluruh Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) secara nasional, luas kawasan hutan yang tersisa pada TGHK tahun 1999 adalah 120,36 juta hektar. Secara statistik, hal tersebut dikarenakan adanya penurunan luas kawasan Hutan Produksi sebanyak 6,04 juta hektar dan penurunan luas kawasan Hutan Konversi 18,52 juta hektar seperti ditayangkan pada Gambar 2.2 yang disebabkan oleh konversi hutan untuk transmigrasi, pembangunan infrastruktur strategis seperti irigasi, jalan, dam, dan bentuk-bentuk penggunaan lainnya. 100
70 64,3 TGHK 83 (Juta ha)
60
90
58,26
TGHK 99 (Juta ha)
80
TGHK 83 (%) 50
70
TGHK 99 (%)
60
40 Luas (Juta ha) 30
20
33,52 30,7
18,8
48,4 45,8
26,6
40
20,5 30
27,85 21,87
10
50 (Persen)
17,03 13,39
18,95 8,08 6,71
0
20 10 0
Hutan Konservasi
Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Konversi
Status Kawasan Hutan Gambar 2.2 Luas Kawasan Hutan Di Indonesia Pada Tahun 1999 (Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2001; Grafis diolah)
Masih berdasarkan data pada Tabel 2.1, dari total kawasan hutan Indonesia berdasarkan TGHK tahun 1999, seluas 3,56 juta hektar (17,80%)
27 hutan konservasi, 2,16 juta hektar (6,44%) hutan lindung, dan 14,25 juta hektar (24,46%) hutan produksi telah mengalami degradasi. Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi nasional, tekanan sumberdaya hutan semakin meningkat. Hal ini terlihat dengan tingginya tingkat deforestasi. Menurut Bappenas dalam Agenda 21 Indonesia, faktor-faktor yang menekan hutan Indonesia yaitu: 1) Pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata, 2) Konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan, 3) Pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumberdaya, 4) Program transmigrasi, 5) Pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah, 6) Degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak 7) Pemungutan spesies hutan secara berlebihan, dan 8) Introduksi spesies eksotik. Laju deforestasi hutan Indonesia pada tahun 1970-an diperkirakan sebesar 300.000 hektar per tahun dan pada tahun 1980-an sebesar 600.000 hektar pertahun (FAO dalam LATIN, 2000). Pada tahun 1990-an, laju deforestasi di Indonesia sebesar 1 juta hektar per tahun (Retnowati dalam LATIN, 2000). Data laju deforestasi yang sering digunakan oleh berbagai pihak adalah laju deforestasi antara tahun 1984-1998 yaitu 1,6 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2001a; Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2001b; WALHI, 2001; Muhshi, 2001). Bahkan pada periode 1999-2001, laju deforestasi diperkirakan mencapai 2–2,4 juta hektar per tahun (Hamimah, 2001). Angka laju deforestasi yang sering dipergunakan pada awal tahun 2002 adalah 2 juta hektar per tahun baik oleh Departemen Kehutanan, Forest Watch Indonesia (FWI), dan World Research Institute (WRI). Pada dekade terakhir, Kementrian Kehutanan mencatat laju kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun, angka tersebut diakui Menteri Kehutanan bahwa kondisi hutan Indonesia sudah demikian kritis (BBC, 2010). Walapun laju deforestasi kemudian menurun menjadi 0,7 juta per hektar per tahun di tahun 2011, dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan masih terus menghawatirkan karena
28 kemampuan pemulihan (baik program pemerintah, swadaya masyarakat, maupun alami) hanya sebesar 0,5 juta hektar per tahun (KOMPAS, 2011).
2.3.
Fungsi Lingkungan dari Hutan Beranjak dari definisi lingkungan yang diformulasikan oleh Suratmo
(1999), maka hutan yang merupakan suatu contoh dari lingkungan di alam, mempunyai fungsi lingkungan yang terdiri atas fungsi ekologis, fungsi sosial, fungsi ekonomis, dan bahkan fungsi politis. Pemisahan keempat fungsi tersebut sebenarnya amat sulit dilakukan mengingat fungsi yang satu dengan lainnya saling berinteraksi.
Pemisahan masing-masing fungsi secara ekslusif justru
seringkali menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan dengan peruntukkan dan pemanfaatan hutan beserta fungsinya. Secara umum, kepentingan sumberdaya hutan bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan adalah sebagai sumber bahan baku (kayu dan non kayu), plasma nuftah (flora dan fauna), pengatur udara dan cuaca, pelindung tanah dan air dan alam (hidroorologi), sumber ilmu pengetahuan, untuk kegiatan rekreasi, sebagai cadangan lahan, dan penghasil devisa (Indrawan, 2000). Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999), hutan memiliki manfaat untuk peningkatan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kebudayaan bangsa, dan pemulihan dan pengawetan lingkungan hidup. Secara ekologis, hutan berfungsi sebagai: (1) tempat konservasi sumberdaya alam yaitu tanah, mineral dan keanekaragaman hayati; (2) konservasi enerji dan daur ulang, baik dalam “diri” hutan tersebut seperti plant succession secara mandiri atau proses regenerasi secara mandiri maupun dari luar hutan; dan (3) memperkecil resiko eksistensial seperti terjadinya tanah longsor, erosi, terkikisnya humus, dan lainlain. Hutan juga memiliki fungsi rosot karbon (Mudiyarso, et al. 1998). Fungsi ekonomis hutan secara umum adalah sebagai sumber kayu, bahan bakar kayu dan hasil hutan non kayu (buah-buahan, getah, tanaman obat, dan masih banyak lainnya) termasuk hasil-hasil pertanian berbasis hutan (agroforest products). Fungsi sosial dari hutan adalah sebagai bagian dari simbol sosial,
budaya,
dan
spiritual
terutama
masyarakat
penganut
keyakinan/kepercayaan animisme dan/atau ajaran-ajaran reliji non samawi lainnya. Lingkungan udara yang sehat karena adanya pangaruh iklim mikro hutan juga menjadi manfaat sosial bagi manusia terutama dari sisi kesehatan.
29 Sebenarnya
sulit
untuk
menarik
batas
fungsi
lingkungan
hutan
berdasarkan ekologi, sosial, ekonomi dan politik. Mengambil contoh manfaat hutan untuk penelitian dan pengembangan ilmu; manfaat tersebut dapat masuk ke dalam fungsi ekonomi karena hasil penelitiannya bisa dipergunakan untuk menghasilkan uang, dapat masuk fungsi sosial karena ada unsur pendidikan dan budaya di dalamnya, dan dapat masuk ke dalam ekologis karena manfaat penelitian diantaranya ditujukan untuk kelestarian hutan. Sulitnya memisahkan fungsi lingkungan dari hutan berdasarkan fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial, tercermin dari pemilahan yang dilakukan oleh Pearce dan Moran (1994). Mereka lebih melihat pembagian fungsi hutan berdasarkan: (1) fungsi hutan sebagai sumber jasa dan material, (2) hutan sebagai rosot limbah (waste sink) baik limbah alam maupun limbah karena aktivitas manusia, dan (3) hutan sebagai sistem pendukung kehidupan, seperti ditayangkan pada Tabel 2.2.
Saat ini
fungsi sosial dari hutan yang terdapat di dalam instrumen kebijakan pemerintah banyak mendapat kritik karena dalam pengelolaannya telah menyingkirkan hakhak masyarakat lokal (termasuk masyarakat hukum adat) atas kawasan hutan sebagai wilayah hidup, status sosial, dan kepemilikan lahan.
Tabel 2.2 Fungsi Lingkungan dari Hutan Sumber jasa dan Rosot Limbah material Kayu Kayu bakar Produk komersial lainnya Produk non kayu
Penyerap limbah Daur ulang nutrien Perlindungan DAS Perlindungan kualitas tanah dan penahan erosi
Produk pertanian Rekreasi dan pariwisata
Pendukung kehidupan dan lainnya Genetic pool Pengatur iklim Rosot karbon Habitat bagi manusia, tumbuhan, dan hewan Estetika, budaya, dan sumber spiritual Data saintifik
Sumber: Pearce dan Moran (1994).
2.4.
Otonomi Daerah (Otda) dan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan di Indonesia Desentralisasi merupakan satu diantara berbagai alternatif sistem
penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan merupakan reaksi politik terhadap kegagalan sistem manajemen dan administrasi yang terpusat (sentralistis). Pemerintahan yang terpusat mungkin lebih mampu untuk menginternalisasi eksternalitas, menerapkan sekala ekonomi dalam penyediaan barang publik, dan mengkoordinasikan kebijakan fiskal. Tetapi, kekuasaan yang
30 terpusat memiliki keterbatasan dalam mengumpulkan informasi dan mengawasi agen-agennya. Pemerintah daerah lebih memiliki informasi, contohnya informasi mengenai kondisi sesungguhnya hutan dan lingkungan di wilayah mereka, atau mengenai kebutuhan masyarakat daerah dalam konteks lokal. Desentralisasi dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi pasar atau ekonomi dan desentralisasi administratif
(Hutabarat,
2001).
Desentralisasi
politik
berorientasi
pada
pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada warga negara dan wakil rakyat terpilih dalam hal pembuatan keputusan publik. Desentralisasi fiskal berorientasi pada pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan organisasi swasta dalam tanggungjawab keuangan. Desentralisasi pasar atau ekonomi berorientasi pada privatisasi dan deregulasi, yakni pergeseran tanggungjawab beberapa fungsi dari sektor publik ke sektor swasta. Privatisasi berarti memberikan kekuasaan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk menjalankan fungsinya, yang sebelumnya dimonopoli oleh, atau berada dibawah tanggungjawab pemerintah. Deregulasi berarti mengurangi batasan-batasan hukum sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan jasa atau mengijinkan persaingan para penyedia jasa-jasa swasta yang sebelumnya disediakan oleh pemerintah. Desentralisasi
administratif
lebih
berorientasi
pada
redistribusi
kekuasaan, tanggungjawab dan sumberdaya keuangan untuk menyediakan pelayanan umum antar tingkat pemerintahan yang berbeda. Terdapat tiga tipe desentralisasi administratif (Hutabarat, 2001), yaitu: 1) Dekonsentrasi, merupakan redistribusi wewenang dalam hal pembuatan keputusan serta tanggungjawab keuangan dan manajemen antar tingkat pemerintah pusat yang berbeda. Dekonsentrasi dapat dikatakan sebagai bentuk terlemah dari desentralisasi. Contoh dari tipe desentralisasi ini adalah: Kantor Wilayah Departemen Kehutanan. 2) Delegasi, merupakan bentuk desentralisasi yang lebih luas. Dengan delegasi, pemerintah pusat melimpahkan tanggung-jawab dalam hal pembuatan keputusan dan administrasi fungsi-fungsi publik kepada organisasi-organisasi semi otonom yang tidak sepenuhnya diawasi, tetapi pada akhirnya tetap bertanggung-jawab kepada pemerintah pusat. 3) Devolusi, merupakan pelimpahan wewenang dan tanggungjawab dalam hal pembuatan keputusan, keuangan dan manajemen kepada unit-unit otonom
31 atau unit semi-otonom pemerintah daerah. Tipe desentralisasi ini sebenarnya berkaitan dengan UU Nomor 22 tahun 1999. Dalam konteks otonomi daerah, hutan sebagai salah satu sektor pembangunan tidak terlepas dari kerangka desentralisasi kebijakan pengelolaan kehutanan yang dilakukan oleh pemerintah. Bagaimana proses desentralisasi tersebut diuraikan pada bagian berikut.
2.4.1. Perkembangan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Dalam Konteks Otonomi Daerah (OTDA) 2.4.1.1.
Tahap Awal OTDA Percontohan (Periode Tahun 1995—1997)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 08 tahun 1995 tanggal 21 April 1995 maka Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan diserahkan kepada 26 Daerah Tingkat (Dati) II Percontohan dalam penyelenggaraan OTDA. Urusan yang diserahkan kepada kabupaten tersebut antara lain: a. Urusan Penghijauan dan Konservasi Tanah b. Urusan Persuteraan Alam c. Urusan Perlebahan d. Urusan Hutan Rakyat/Hutan Milik e. Urusan Penyuluhan Kehutanan Urusan yang diserahkan tersebut pada umumnya urusan-urusan yang tidak bersifat strategis, tidak dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan dan pendapatan Dati II, kurang menguntungkan bagi pemasukan keuangan daerah, bersifat pembinaan lingkungan hidup dan tidak disertai dukungan pendanaan dan sarana yang nyata. Agar PP Nomor 08 tahun 1995 dapat terselenggara dengan baik maka dengan mengacu kepada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 tahun 1995 tanggal 01 Juni 1995 tentang Pedoman Organisasi Dinas Kehutanan Dati II, masing masing Dati II yang terlibat dalam percontohan, membentuk Instansi Dinas Kehutanan dengan struktur organisasi pola minimal dengan tugas pokoknya meliputi penjualan dan perendaman hasil hutan, perlindungan hutan penghijauan dan konservasi tanah dan air, persuteraan alam, perlebahan, hutan rakyat/hutan milik, penyuluhan kehutanan dan tugas perbantuan yang diberikan oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah Tingkat I.
32 2.4.1.2.
Tahap Transisi Menjelang Akhir Era Orde Baru Menuju Era Reformasi (Periode Tahun 1998—2000)
Pada tahap transisi ini perubahan terjadi pada sistem pengelolaan hutan yang selama ini bersifat sentralistik, monopoli, konglomerasi, dan nepotisme yang telah menimbulkan kesenjangan dan degradasi potensi dan ekologi yang bersifat ekstraktif, mengabaikan aspek keadilan dan ekonomi kerakyatan dan mengabaikan asas bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Keadaan nasional dan daerah serta desakan internasional menuntut ke arah perluasan perlimpahan wewenang kepada daerah (desentralisasi) terutama tuntutan demokrasi dan keadilan agar masyarakat setempat dapat ikut mengelola sumberdaya hutan. Hal ini menyebabkan pemerintah perlu segera mengubah paradigma baru di dalam pengelolaan sumberdaya hutan (SDH). Klimaks terhadap realisasi tuntutan tersebut yaitu terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Kewenangan Pemerintah Bidang Kehutanan kepada Pemerintah Kabupaten (dari semula lima urusan meningkat menjadi 10 urusan yang diserahkan yaitu urusan penghijauan dan konservasi tanah, persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan hutan rakyat, pengelolaan hasil hutan non kayu, penyuluhan, perlindungan hutan, pengaturan perburuan satwa liar yang tidak dilindungi, pengelolaan kawasan lindung, pelatihan masyarakat dibidang kehutanan). Kemudian disusul terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) di mana Bupati diberi wewenang 100 hektar untuk menerbitkan ijin HPHH bagi masyarakat, koperasi, BUMN, BUMD, dan Swasta, diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 310/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Pemberian HPHH yang kemudian kewenganan tersebut dicabut dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 084/Kpts-II/2000 tanggal 13 April 2000 dan kemudian diganti lagi dengan Surat keputusan Menteri Kehutanan No. 05-1/KptsII/2001 tentang Standarisasi dan Kriteria Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK dan IPHHK) pada hutan produksi. Selanjutnya terbit pula Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang no 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
33 Pusat dan Daerah. Disusul terbitnya pula Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi Sebagai Daerah Otonom yang kemudian dengan analisis teori sisa sebagai kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, maka dijadikan dasar dalam pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2.4.1.3.
Tahap Dimulainya Pelaksanaan OTDA Secara Luas, Nyata dan Bertanggung Jawab Sejak Januari 2001.
Pada periode awal pelaksanaan OTDA secara luas, nyata dan bertanggung-jawab pelaksanaan desentralisasi di bidang kehutanan menemui hambatan-hambatan di bidang penentuan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kewenangan dan tugas-tugas pokok yang harus diselenggarakan. Hal tersebut karena rencana peraturan-peraturan daerah yang telah diolah terpaksa harus disesuaikan dengan norma standarisasi dan kriteria tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Hambatan
penyelenggaraan
desentralisasi
di
bidang
kehutanan
disebabkan oleh terlambatnya pengeluaran pedoman standarisasi dan kriteria pelaksanaan sistem pengelolaan, pengurusan pemanfaat hutan/hasil hutan dan jasa lingkungan hutan, yang baru terbit akhir tahun 2000, sedangkan beberapa daerah kabupaten telah mempersiapkan jauh sebelumnya, sehingga terpaksa dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan standar dan norma yang harus dipenuhi. Selain itu, hambatan lainnya adalah tidak adanya upaya Departemen Kehutanan atau melalui Kantor Wilayah Propinsi untuk lebih cepat memberi informasi dan mensosialisasikan produk-produk peraturan atau perudangan dan/atau
kebijakan-kebijakan
baru
dari
pemerintah
kepada
pemerintah
kabupaten sehingga seolah-olah ada kecenderungan Departemen Kehutanan belum siap menuju ke arah paradigma baru untuk melaksanakan desentralisasi di bidang kehutanan.
2.4.2. Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest Management) Seperti telah diuraikan pada Bab Pendahuluan, salah satu perubahan paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia adalah lebih memberikan penekanan pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (community based
34 forest management), atau disingkat PHBM, untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal. Seiring dengan proses desentralisasi kebijakan pengelolaan kehutanan dalam konteks OTDA yang momentumnya dimulai pada tahun 1995, PHBM dilakukan secara bersamaan dalam kerangka kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Sejak tahun 1995, konsep dan kebijakan HKm telah mengalami evolusi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan (1995), kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi (1998), lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat (1999) dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya (2000). Dasar kebijakan masing-masing model HKm seperti ditayangkan pada Tabel 2.3. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan, HKm didefinisikan sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik-beratkan kepentingan menyejahterakan masyarakat. Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau di sekitar hutan dengan ciri komunitas. Kebijakan HKm pada tahun 2000 dilakukan dalam merespon UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan penyelenggaraan program HKM dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.31/Kpts-II/2000
tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan otonomi daerah dan peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola hutan negara diantaranya adalah: •
HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum.
35
Tabel 2.3. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan Dasar Kebijakan (SK Mentri Kehutanan, PP, dll)
Deskripsi Hutan Kemasyarakatan
1995
SK No.622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan
Model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan
1998
SK No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi
1999
SK No.865/Kpts-II/1999 tentang Penyempurnaan SK No.677/KptsII/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat
2000
SK No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan
Model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya
2007
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui : a. hutan desa; b. hutan kemasyarakatan; atau c. kemitraan.
2007
Permenhut Nomor: P.37/MenhutII/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHKm) pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu (IUPHHK HKm) pada hutan produksi.
2008
Permenhut No: P.49/MenhutII/2008 tentang Hutan Desa
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa.
Tahun
•
Desentralisasi
pengelolaan
HKm,
yang
semula
perijinan
menjadi
kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan Bupati/Walikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri. •
Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan nonkayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.
36 Terlepas dari berbagai kemajuan, legitimasi SK No.31/Kpts-II/2000 digugat oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Karena hal tersebut, saat ini Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) sedang memproses legal draft HKm dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Selain itu
tidak semua pihak menerima program HKm, terutama pihak-pihak yang masih menyimpan konflik terhadap pemerintah akibat selesainya penanganan masalah gugatan status dan kepemilikan lahan dalam kawasan hutan. Pada awal tahun 2004,
belum
saja
polemik
kebijakan
HKm
selesai,
Pemerintah
telah
mengeluarkan kebijakan baru tentang Social Forestry. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, secara terus-menerus melakukan perbaikan kebijakan pengelolaan hutan bagi masyarakat. Kebijakan yang cukup monumental adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. PP ini memandatkan bahwa, pengelolaan hutan oleh masyarakat setempat dilaksanakan dalam konteks pemberdayaan masyarakat (Pasal 84) melalui skim kebijakan: hutan desa, hutan kemasyarakatan; atau kemitraan. Secara kontinum, PP ini kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya
Permenhut
Nomor:
P.37/Menhut-II/2007
tentang
Hutan
Kemasyarakatan yang memungkinkan pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHKm) pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu (IUPHHK HKm) pada hutan produksi. Dimungkinkannya akses masyarakat terhadap hasil hutan kayu dalam skim kebijakan HKm merupakan sebuah kebijakan yang dinantikan sejak tahun 1995 ketika HKm saat itu pertama kali didesain sebatas dalam bentuk model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan. Kebijakan HKm yang dinantikan selanjutnya adalah bagaimana skim ini diterjemahkan pelaksanaannya di dalam kawasan hutan konservasi sebagaimana dimungkinakn oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pembaharuan kebijakan tidak berhenti di HKm saja. Pada tahuan 2008, kemudian diterbitkan Permenhut No: P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa
37 dimana dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa. Hadirnya skim kebijakan
Hutan
Desa
bagi
sebagian
kalangan
menjadi
jalan
tengah
pengembangan akses secara komunal dalam bentuk komunitas desa atas belum terjawabnya bagaimana hutan adat diatur kemudian. Kalangan tersebut melihat, ketika bingkai kebijakan tentang hutan adat belum dicapai, maka kebijakan hutan desa bisa menjadi alternative masyarakat adat memiliki akses komunal melalui pemerintahan desa.
2.5.
Konflik Lingkungan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Konflik selalu ada. Manusia hidup selalu berkonflik. Menurut Wijardjo dkk
(2001), konflik dapat menciptakan perubahan, konflik memiliki dua sisi yang membawa potensi resiko dan potensi manfaat, dan konflik menciptakan energi yang bersifat merusak atau dapat bersifat kreatif.
Menurut Borrini dan
Feyerabend (2000), konflik dapat mengarah ke kondisi konstruktif dan sebaliknya dapat destruktif. Kondisi konstruktif terjadi ketika konflik ditangani secara persuasif dengan mengedepankan azas manfaat yang akan diperoleh para pihak jika konflik tidak terjadi, sedangkan kondisi destruktif terjadi pada bila konflik tidak ditangani dengan arif sehingga menimbulkan perilaku yang menjurus saling tidak percaya, perseteruan, bahkan kekerasan (violence) fisik/non-fisik. Konflik ada di alam dan hadir dalam kehidupan manusia, dengan demikian konflik akan selalu terjadi di lingkungan tempat berlangsungnya interaksi manusia dengan sekelilingnya. Menurut Borrini dan Feyerabend (2000), pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, merupakan suatu arena yang syarat dengan muatan politik, baik itu politik sosial-ekonomi maupun politik lingkungan, hampir semua konflik yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam selalu berawal dari perbedaan beragam kepentingan. Perbedaan kepentingan tersebut menjadikan sumberdaya alam sebagai arena konflik. Di dalam Propenas 2000-2004, pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia terdiri atas sumber-sumber daya air, laut, udara, mineral, dan hutan.
2.5.1. Batasan Tentang Konflik Kata konflik berasal dari bahasa latin yaitu confligere yang artinya menyerang bersama. Aslinya, kata tersebut lebih memiliki konotasi fisik daripada
38 moral; namun di dalam bahasa inggris kedua konotasi tersebut terkandung di dalam kata konflik (Burton dan Dukes, 1990). Kata konflik dalam bahasa Indonesia memiliki arti percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Pendefinisian konflik secara spesifik merupakan suatu yang rumit karena banyaknya overlapping (tumpang-tindih) komponen proses dan dinamika yang terlibat; oleh karenanya pendifinisian akan cenderung mengkombinasikan berbagai komponen tersebut (Isenhart dan Spangle, 2000).
Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan berbagai pengertian tentang konflik yang didefinisikan oleh beberapa ahli seperti ditayangkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Beberapa Definisi Tentang Konflik Sumber
Definisi Konflik
Tekanan Perbedaan
Fisher et al (2001)
Hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Sasaran
Wijarko dkk (2001)
Suatu situasi yang terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih) menunjukkan praktekpraktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan.
Hak atas benda dan/atau kedudukan.
LATIN (2000)
Benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya.
Nilai, status, kekuasaan, kelangkaan sumberdaya.
Kriesberg (1998)
Suatu kondisi sosial ketika dua orang/pihak atau lebih memanifestasikan keyakinan mereka akan suatu tujuan yang saling berbeda.
Keyakinan, tujuan.
Coser (1967) *)
Perjuangan terhadap suatu gugatan dan nilai yang disebabkan oleh kelangkaan status, kekuasaan, dan sumberdaya.
Nilai, status, kekuasaan, sumberdaya.
Bush dan Folger (1994) *)
Suatu perbedaan kebutuhan dan kepentingan antar para-pihak yang nampak dan nyata.
Kebutuhan, kepentingan.
Rubin et al (1994) *)
Perbedaan kepentingan yang dirasakan atau diyakini yang mebuat aspirasi para pihak tidak dapat dicapai secara simultan.
Kepentingan
Hocker dan Wilmot (1991) *)
Eskpresi perjuangan antara minimal dua pihak yang saling berketergantungan yang saling merasa berketidak-sesuaian dalam tujuan, kelangkaan sumberdaya, dan adanya campur-tangan oleh pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.
Tujuan, kelangkaan sumberdaya,
Keterangan: *) Sumber: Isenhart dan Spangle (2000)
39 Pada tabel tersebut, definisi konflik yang paling sederhana adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001).
Sementara itu,
Kriesberg (1998) lebih mendefinisikan pengertian konflik dengan penekanan pada kondisi sosial. Dari berbagai pengertian tentang konflik yang disajikan, terdapat suatu kondisi yang selalu menyertai dalam pendefinisian konflik yaitu adanya perbedaan. Letak perbedaan tersebut di antaranya adalah perbedaanperbedaan dalam keyakinan, nilai, status, kekuasaan, sasaran, tujuan, kebutuhan, kepentingan, hak atas benda dan/atau kedudukan, dan kelangkaan sumberdaya, yang kesemuanya melekat pada masing-masing pihak yang berkonflik. Berdasarkan berbagai perbedaan tersebut, Isenhart dan Spangle (2000) mengelompokkan sumber perbedaan yang paling sering muncul dan menjadi penyebab/akar konflik yaitu berangkat dari perbedaan-perbedaan dalam hal: (1) data, (2) kepentingan, (3) komunikasi, (4) prosedur, (5) nilai-nilai, (6) hubungan sosial dan (7) struktur peran.
Pemilahan yang hampir serupa namun lebih
terincik tentang sumber-sumber konflik juga dilakukan oleh Wijardjo dkk (2001) dan Moore (1996). Menurut mereka, konflik terjadi karena adanya perbedaanperbedaan: (1) hubungan sosial, (2) kepentingan, (3) data, (4) nilai, dan (5) struktural, seperti ditayangkan dalam Gambar 2.3.
MASALAH HUBUNGAN SOSIAL: • Hubungan emosi yang kuat • Salah persepsi atau stereotip • Kurang atau salah komunikasi • Repetisi perilaku negatif
PERBEDAAN DATA: • Kurang informasi, salah informasi, • Perbedaan pandangan dalam relevansi data • Perbedaan interpretasi, • Perbedaan prosedur penilaian
PERBEDAAN KEPENTINGAN: Kebutuhan dan cara untuk memenuhinya atau tata cara maupun mental psikolog (sikap, emosi) •
PERBEDAAN STRUKTRUAL: Tidak meratanya distribusi kekuasaan/kewenangan, dan Sumberdaya, Pengambilan Keputusan, Faktor fisik, geografis, dan lingkungan
PERBEDAAN NILAI: Nilai pandangan hidup, norma, ideologi, agama • Nilai universal seperti HAM Nilai yang diperjuangkan seperti kasta, jender, ras, dll •
•
Gambar 2.3. Perbedaan-Perbedaan Yang Sering Menjadi Sumber Konflik. (Sumber: Wijardjo, 2001; Moore, 1996)
40 Suatu konflik yang terjadi dapat bersifat produktif atau non-produktif. Menurut Wijardjo dkk (2001) konflik yang produktif lebih mengacu pada permasalahannya, kepentingan/minat, prosedur, dan nilai-nilai pemahaman. Sedangkan konflik yang non-produktif cenderung mengacu pada pembentukan prasangka terhadap lawan, komunikasi memburuk, sarat emosi, kurang informasi, dan salah informasi. Konflik selalu memiliki dua sisi yaitu bahaya dan peluang. Beberapa aspek mendasar mengenai konflik seperti ditayangkan pada Gambar 2.4. Menurut Fisher at al (2001), konflik dibedakan diantara dua sumbu: sasaran dan perilaku. Hal tersebut sesuai dengan definisi konflik yang merupakan hubungan antar orang/pihak yang memiliki sasaran yang tidak sejalan. Keempat kotak dalam gambar tersebut menunjukkan hubungan antar berbagai tingkat perbedaan sasaran dan perilaku yang diakibatkan serta implikasinya dalam konteks konflik. Tujuannya adalah untuk menggambarkan tipe-tipe konflik yang dapat menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi atau penanganan konflik. Dalam skenario tersebut tidak ada situasi yang ideal, keempat tipe konflik tersebut masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri: •
Tanpa konflik; dalam kesan umum adalah lebih baik. Namun setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin keadaan tersebut terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan perilaku konflik dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.
•
Konflik laten; sifatnya tersembunyi dan, seperti telah disebutkan di atas perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
•
Konflik terbuka; adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
•
Konflik di permukaan; memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalah-fahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.
41
TINGKAT PERBEDAAN SASARAN
PERILAKU YANG
PERILAKU
SELARAS
Tanpa Konflik
Konflik Laten
Konflik Di Permukaan
Konflik Terbuka
PERILAKU YANG BERTENTANGAN
Sumber: Fisher et al (2001). Gambar 2.4. Hubungan Antara Tingkat Perbedaan Sasaran dan Perilaku Yang Ditimbulkan
Seperti diuraikan sebelumnya, secara sederhana konflik didefinisikan sebagai suatu hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dengan demikian dari segi pelaku konflik, situasi saling berhadapan antar dua pihak atau lebih yang terlibat konflik menggambarkan situasi “siapa melawan siapa”. Dalam berbagi kajian tentang konflik, situasi tersebut sering diistilahkan dengan sifat konflik yang berpolarisasi1 sebagai berikut: (1) polarisasi konflik yang bersifat vertikal yaitu konflik antara masyarakat dengan pemegang atau pengendali kekuasaan atau diistilahkan sebagai konflik antara powerfull vs powerless dan (2) polarisasi konflik yang bersifat horizontal yaitu konflik yang terjadi antara etnis satu dengan lainnya, masyarakat pendatang dan masyarakat asli, konflik antara satu daerah otonom dengan daerah otonom lainnya, ataupun konflik antara masyarakat pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lainnya (Santosa. 2001); Pada kenyataannya, (3) polarisasi konflik dapat bersifat diagonal terjadi antara yang relatif kuat dan lemah namun tidak di dalam suatu hirarki struktural dan masing-masing pihak berada dalam spektrum yang berbeda contohnya konflik antara Kabupaten Bekasi dengan DKI Jakarta dalam kasus TPA Bantar Gebang, dan (4) polarisasi konflik yang bersifat multi-dimensi yang dicirikan oleh
42 kompleksitas konflik tersebut (memuat vertikal, horizontal, dan diagonal bahkan siklik) sehingga penangannya amat sulit dilakukan. Menurut Isenhart dan Spangle (2000), dalam penanganan konflik dikenal beberapa bentuk pendekatan yaitu negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi, dan proses hukum. Setiap pendekatan memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing seperti ditayangkan dalam Tabel 2.5. Tabel 2.5. Pendekatan Penanganan Konflik dan Hasil Yang Diharapkan Pendekatan
Kekuatan MasingMasing Pihak Mempengaruhi Outcome Negosiasi Tinggi Mediasi Tinggi Fasilitasi Tinggi Arbitrasi Sedang Proses hukum Rendah Sumber: Isenhart dan Spangle (2000).
Biaya
Kemampuan Melestarikan Hubungan
Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi
Tinggi Sedang Tinggi Rendah Rendah
Pemilihan cara pendekatan penanganan konflik amat ditentukan oleh gaya konflik (conflict styles) para pihak yang terlibat konflik. Menurut Isenhart dan Spangle (2000), gaya konflik dapat berupa: (1) saling menghindar, (2) akomodatif, (3) kompromistis, (4) kompetitif, dan (5) kolaborasi. Situasi yang mendukung terjadinya gaya tersebut sebagai berikut: 1) Gaya saling menghindar terjadi ketika salah satu pihak menolak adanya konflik, mengubah topik penyebab konflik ke topik lainnya yang bukan penyebab konflik, menghindari diskusi, dan berperilaku non-committal atau tak ingin membangun komitmen. Gaya seperti ini amat efektif pada situasi terdapat bahaya kekerasan fisik, tidak ada kesempatan untuk mencapai tujuan, atau situasi yang amat rumit yang tidak memungkinkan upaya penyelesaian dilakukan. 2) Gaya akomodatif terjadi ketika salah satu pihak mengorbankan kepentingan diri/kelompoknya dan mendahulukan kepentingan pihak lain. Gaya ini efektif pada situasi ketika suatu pihak menyadari tidak memiliki banyak peluang untuk mencapai kepentingannya, atau ketika terdapat keyakinan bahwa memuaskan
kepentingan
diri/kelompoknya
akan
berakibat
merusak
hubungannya dengan kelompok lain.
1
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), polarisasi adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan, dan sebagainya) yang berlawanan. Polaritas adalah hal pertentangan langsung
43 3) Gaya kompromistis terjadi ketika masing-masing pihak bertindak bersamasama mengambil jalan tengah, misalnya melalui konsesi, dan dalam tindakan tersebut tidak jelas siapa yang menang siapa yang kalah. Gaya ini efektif pada situasi ketika para pihak menolak untuk bekerjasama sementara pada saat yang bersamaan diperlukan jalan keluar, dan ketika tujuan akhir bukan merupakan bagian yang penting. Dalam gaya ini lazimnya tidak dicapai kepuasan yang sejati. 4) Gaya kompetitif yaitu suatu gaya konflik yang dicirikan oleh tindakan-tindakan agresif, mementingkan pihak sendiri, menekan pihak lain, dan berperilaku tidak kooperatif. Gaya ini efektif ketika keputusan harus dibuat secepatnya, jumlah pilihan keputusan amat terbatas atau bahkan hanya satu, suatu pihak tidak merasa rugi walau dengan menekan pihak lain, dan yang terpenting tidak adanya kepedulian tentang potensi kerusakan hubungan dan tatanan sosial. 5) Gaya kolaborasi yaitu suatu gaya yang dicirikan oleh saling menyimak secara aktif kepentingan antar pihak dan kepedulian yang terfokus, komunikasi yang empati2 dan berupaya untuk saling memuaskan kepentingan dan kepedulian seluruh pihak yang bersengketa. Gaya ini efektif pada situasi terdapat keseimbangan kekuatan (power balance) dan tersedianya waktu dan enerji yang cukup untuk menciptakan penanganan konflik secara terpadu. Menurut Marshall dalam Tadjudin (2000), gaya konflik tersebut terbentuk dari kombinasi dua peubah yaitu derajat upaya suatu pihak untuk memuaskan kepentingan pihak lain (cooperativeness) dan derajat upaya suatu pihak untuk lebih memuaskan kepentingannya sendiri (assertiveness). Avruch et al (1991) mengkombinasikan kedua peubah tersebut dalam bentuk Model Dua Dimensi Penentu Gaya Konflik seperti ditayangkan pada Gambar 2.5.
2
Suatu keadaan mental seseorang atau sekelompok orang yang turut merasakan atau mengidentifikasikan dirinya terhadap apa yang sedang dirasakan oleh pihak lain.
44 Tinggi
•Kompetitif
Assertiveness
Kolaborasi•
• Kompromistis
•Menghindar
•Akomodatif
Rendah
Cooperativeness
Tinggi
Gambar 2.5 Model Dua Dimensi Penentu Gaya Konflik (Sumber: Avruch et al , 1991)
Gaya konflik yang dimanifestasikan oleh masing-masing pihak yang amat menentukan pendekatan yang mana yang paling memungkinkan untuk dilakukan dalam penanganan konflik. Keberhasilan pendekatan negosiasi, mediasi, dan fasilitasi amat ditentukan oleh perilaku kerjasama dan kompromistis. Ketiga pendekatan tersebut amat mewarnai metode penanganan konflik secara alternatif yang sering dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Collaborative Management. Pihak ketiga dan netral amat diperlukan untuk menciptakan
kondisi
yang
mempromosikan
kerjasama
dan
kompromi.
Pendekatan arbitrasi dan proses hukum lebih sering dipergunakan pada perilaku kompetitif/persaingan. Perbedaannya, arbitrasi lebih ditekankan pada sintesa tentang posisi dan kekuatan hukum suatu pihak berikut dokumen-dokumen hukum yang dimiliki oleh masing-masing, sedangkan proses hukum merupakan cara penyelesaian yang ditempuh dengan menggunakan instrumen hukum formal. Arbitrasi dapat dilakukan oleh pihak independen di luar jalur peradilan formal, sedangkan proses hukum ditempuh melalui jalur peradilan formal dimulai dari tahap pengaduan, penyidikan, pemberkasan, persidangan, dan penetapan keputusan hukum. Pada saat ini terminologi penanganan konflik masih menjadi perdebatan umum.
Namun, secara konsisten Fisher at al (2001) membeda-bedakan
terminologi penanganan konflik sebagai berikut: (1) Pencegahan konflik; yaitu penanganan yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras,
45 (2) Penyelesaian konflik; yaitu penanganan yang bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan perdamaian, (3) Pengelolaan konflik; yaitu penanganan yang bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang bersengketa, (4) Resolusi konflik; yaitu menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bersengketa, (5) Transformasi konflik; yaitu mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari pertikaian/peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. Penanganan konflik merupakan serangkaian upaya untuk menciptakan perdamaian. Diamond dan McDonald (1996) mengembangkan suatu sistem multi-upaya yang disebut dengan Multi Track Diplomacy (MTD), yaitu seperangkat multi-upaya untuk menciptakan perdamaian yang kerangka kerja konseptual yang dirancang untuk menciptakan perdamaian internasional. Menurut mereka, penciptaan perdamaian multi-upaya tersebut terdiri atas kombinasi 9 upaya diplomasi seperti ditayangkan pada Gambar 2.6, yaitu: 1) Diplomasi kepemerintahan (peacemaking through government diplomacy), 2) Diplomasi
yang
dilakukan
oleh
para
professional
non-pemerintah
(peacemaking through professional conflict resolustion). 3) Diplomasi melalui peluang kerjasama ekonomi dan perdagangan (Business,, or peacemaking through commerce) 4) Diplomasi individual oleh penduduk sipil (Private citizen, or peacemaking through personal involvement) 5) Diplomasi melalui penelitian, pelatihan, dan pendidikan (Peacemaking trhough learning) 6) Diplomasi oleh para aktifis (Activism, or peacemaking through advocacy) 7) Diplomasi reliji (Religion, or peacemaking through faith in action) 8) Diplomasi melalui penyediaan sumberdaya (Funding, or peacemaking through providing resources), dan 9) Diplomasi melalui media komunikasi (Communications and the media, or peacemaking through information)
46
1. Pemerintah 2. Non-pemerintah/ profesional
8. Sumberdaya
9. Komunikasi/ media 3. Kerjsama ekonomi
7. Reliji
4. Penduduk sipil
6. Aktifis 5. Penelitian, Pelatihan, dan Pendidikan Gambar 2.6
Interaksi Multi Track Diplomacy dalam penciptaan perdamaian (Diamond dan McDonald, 1996)
Merujuk kepada Gambar 2.6 tersebut, kegiatan penelitian dapat dikategorikan sebagai salah satu upaya penciptaan perdamaian melalui diplomasi track ke-5 yaitu diplomasi yang mempergunakan penelitian, pelatihan, dan pendidikan (Peacemaking trhough learning) sebagai upaya menciptakan perdamaian.
2.5.2. Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Hutan Konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk lahan, air, dan hutan ada dimana-mana. Manusia cenderung akan selalu berkompetisi untuk memiliki sumberdaya alam yang mereka butuhkan untuk meningkatkan dan menjamin kepastian hidupnya. Berdasarkan definisi lingkungan (Suratmo, 1999), konflik (Coser alam Fisher et al, 2001), akar penyebab konflik (Moore, 1996), kajian pustaka tentang fungsi lingkungan dari hutan, dan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya konflik sumberdaya alam (Buckles, 1999), maka dapat dirumuskan suatu definisi bahwa: “ Konflik lingkungan pengelolaan hutan adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki dan/atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dalam pengelolaan hutan karena adanya perbedaan-perbedaan hubungan/komunikasi sosial, kepentingan, data dan informasi, nilai, dan struktural, yang terjadi di dalam suatu ruang, sehingga fungsi lingkungan dari hutan menjadi terganggu ”
47 Menurut Wijardjo dkk (2001), kebanyakan konflik lingkungan atas sumberdaya alam termasuk hutan mempunyai sebab ganda, biasanya kombinasi dalam hubungan antara pihak yang bertikai mengarah kepada konflik terbuka. Karena seringkali menjadi rumit, sangat penting untuk mendefinisikan pusat situasi kritisnya atau permasalahan pokoknya atau penyebab pertikaiannya dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Akar konflik lingkungan pengelolaan hutan berbeda dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Dari kenyataan empiris di berbagai daerah di Indonesia, sumber pokok atas konflik lingkungan dalam pengelolaan hutan adalah terjadinya masalah yang bersifat struktural. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya sumber-sumber perbedaan lainnya yang menyebabkan konflik pengelolaan hutan terjadi seperti perbedaan data, perbedaan kepentingan, dan lain-lain. Dengan tumpang tindihnya kepentingan semua pihak pada suatu wilayah hutan yang sama pada akhirnya konflik seolah-olah menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai peraturan yang dibuat untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan
hutan
seringkali
ternyata
tidak
membantu
karena
saling
bertentangan dan tumpang tindih, yang berakibat semakin meningkatkan intensitas konflik atasnya. Berdasarkan polarisasi sifat konflik yang diuraikan oleh Santosa (2001) dan kondisi serta permasalahan kehutanan yang dihadapi Indonesia, maka konflik lingkungan dalam pengelolaan hutan termasuk kawasan hutan konservasi dan hutan lindung adalah sebagai berikut:
2.5.2.1.
Konflik Vertikal Pengelolaan Kawasan Hutan
Polarisasi sifat konflik vertikal dicirikan oleh adanya perbedaan sasaran yang diikuti pertentangan antara pihak yang kuat (powerfull) dan pihak yang lemah (powerless). Dalam pengelolaan hutan, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik vertikal tersebut umumnya terjadi antara pihak pemerintah sebagai pemilik kewenangan dan yang secara “formal” berkuasa dalam pengelolaan hutan negara dengan pihak masyarakat.
Di Indonesia, contoh konflik yang masuk
dalam kategori ini diantaranya yaitu: 1) Konflik status dan kepemilikan lahan (land tenure conflict). Kata tenure/tenurial berasal dari kata bahasa latin tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki (Wiradi, 1984). Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah penguasaan suatu sumberdaya
48 yaitu mengenai status hukumnya. Dengan kata lain, bila membicarakan persoalan tenurial sumberdaya hutan, tidak lain membicarakan soal status hukum dari suatu penguasaan atas tanah dan segala tanam-tumbuh yang ada di atasnya. Karena itu, tidaklah berlebihan jika dimaknai bahwa “tenure system is bundle of rights” (Ridell, 1987). Sistem tenurial adalah serangkaian hak-hak. Setiap hak atas suatu sumberdaya alam selalu saling kait mengkait satu sama lainnya di dalam satu kesatuan ekosistem. Serangkaian hak-hak tersebut juga berisikan tentang komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan yaitu sosial, ekonomi, dan ekologis. Berdasarkan pengertian sebundel atau seikat, maka masing-masing hak dapat dipisahkan dari ikatannya lalu diletakkan tidak lagi dalam ikatan asalnya atau diletakkan dalam konteks yang berbeda. Ikatan itu sendiri menunjukkan adanya suatu sistem (Ridell, 1987). Padanya bisa ditambahkan pengertian bahwa adanya suatu sistem dalam serangkaian hak-hak ini juga berdasarkan kenyataan bahwa manakala suatu hak muncul-apalagi sudah terikat dalam suatu rangkaian-maka pada saat yang sama juga ada sejumlah batasan-batasan atau kewajiban yang menyeimbangkan hak-hak tadi, dan suatu masyarakat membuat suatu tata sosial berdasarkan hubungan saling pengaruh dari hak dan kewajiban dan/atau batasan-batasan tersebut. Pada setiap tenure system, masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen (Pasya dan Suratmo, 2002), yakni: (1) Subjek Hak; berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subyek hak tersebut bervariasi bisa dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat negara; (2) Obyek Hak; dapat berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh diatas tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau mahluk hidup dalam suatu kawasan perairan, maupun suatu kawasan atau wilayah udara tertentu. Pada obyek hak berupa suatu persil tanah atau kawasan perairan, batas-batasnya diberi suatu simbol, yang dapat saja berupa suatu benda fisik tertentu. Obyek hak bisa bersifat total bisa juga parsial. Misalnya, seorang yang mempunyai hak atas pohon damar (Sorea javanica) tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah dimana pohon damar itu berdiri; (3)
Jenis
Hak;
setiap
hak
selalu
dapat
dijelaskan
batasannya,
yang
membedakannya dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang
49 dari hak milik, hak sewa, hak pakai, hak penyakapan, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana masyarakat/negara yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu lain hingga pemerintah) dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu. Dalam konsep sistem tenure (tenure system) tersebutlah hak pemilikan berada di dalamnya. Pada umumnya, perhatian pada kepemilikan diletakkan sebagai bagian dari sistem tenure, baik yang tumbuh dari proses-proses sosialbudaya-historis (“berdasarkan adat”) dan/atau yang ditransplantasikan melalui hukum negara (“berdasarkan undang-undang”). Dalam pengelolaan kawasan hutan, bentuk-bentuk konflik tenure yang terjadi adalah klaim status tanah atas kawasan, klaim wilayah masyarakat hukum adat, klaim tata batas kawasan, dan bahkan klaim akses pengusahaan serta penyakapan. 2) Konflik distribusi penguasaan sumberdaya hutan. Masalah penguasaan sumberdaya alam, termasuk hutan di Indonesia cukup
memprihatinkan.
Persoalan
distribusi
penguasaan
lahan
telah
menimbulkan pemiskinan struktural masyarakat dan mengurangi kemampuan pengembangan ekonomi rakyat yang berbasis pemanfaatan lahan. Ketidakseimbangan kepemilikan tanah, memang menjadi masalah di banyak negara berkembang. Penguasaan lahan yang tidak seimbang menyebabkan adanya tekanan yang meningkat terhadap hutan, terutama jika masyarakat petani di perdesaan masih banyak jumlahnya dan sistem penguasaan tanah mereka belum mantap. Terbukti dari sejumlah pemilik tanah di Indonesia, 80% diantaranya tidak memiliki sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan yang “sah” (LATIN, 2000). Pengertian sahnya kepemilikan tanah yang dibatasi secara kaku oleh istilah domein verklaring telah menimbulkan berbagai gugatan yang datang dari komunitas masyarakat hukum adat yang tidak memiliki bukti dokumen kepemilikan tanah namun secara fisik dan turun-temurun memang mereka yang menguasai tanah tersebut. 3) Konflik pengusahaan lahan kawasan hutan. Konflik pengusahaan/pengelolaan secara teoritis masih termasuk dalam konflik land tenure dalam arti luas. Berdasarkan pengalaman empiris, jenis konflik tersebut merupakan salah satu bentuk konflik vertikal karena terjadi antara masyarakat dengan pemerintah. Seperti telah diuraikan di dalam Bab Pendahuluan, hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi ekologis
50 yang bersumber dari hutan. Fungsi ekologis tersebut tercermin dari definisi hutan lindung. Untuk mempertahankan fungsinya, pemerintah menetapkan hutan tersebut sebagai kawasan hutan. Di dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pada kenyataannya, tidak semua kawasan hutan tersebut benar-benar bebas dari interaksinya dengan manusia. Sejak dahulu sebelum jaman modern, manusia pada dasarnya sudah saling berinterkasi dengan lingkungan di sekitarnya termasuk hutan.
Sehingga menjadi suatu hal yang mustahil
penunjukkan dan penetapan suatu hutan menjadi kawasan akan tidak bersinggungan dengan kepentingan subsisten dari masyarakat yang telah lama hidup dan berusaha ekonomis di dalam atau di sekitar hutan. Penetapan kawasan hutan di India pada jaman kolonial Inggris hingga pasca kemerdekaan pada dasarnya ditujukan untuk melindungi kepentingan penguasa, dalam hal tersebut adalah pemerintah (Robinson, 1998). Pola serupa juga terjadi pada penetapan-penetapan kawasan hutan di Indonesia.
Contohnya adalah hak
erfpacht yang bersumber dari Undang-undang Kolonialis Belanda yaitu Agrarisch Wet ditujukan untuk memfasilitasi investasi luar negeri masuk ke Indonesia dan memperoleh tanah untuk mengembangkan tanaman komoditi ekspor (Fauzi, 2000).
Di dalam prakteknya Hak tersebut merupakan bentuk klaim dan
“pendudukan” sepihak oleh pemerintah “atas nama” negara untuk mendominasi hutan.
2.5.2.2.
Konflik Horizontal Pengelolaan Kawasan Hutan
Konflik horizontal pengelolaan kawasan hutan dapat terjadi baik antarorang/kelompok masyarakat atau etnis maupun antar-pemerintah atau unit teknis pemerintah yang kepentingannya bersinggungan dengan ekosistem hutan. Konflik biasanya dipicu oleh persaingan dalam memperoleh akses pengelolaan sumberdaya hutan dan umumnya untuk alasan ekonomis seperti sebagai sumber pendapatan. Menurut Lake dan Rothchild dalam Agustino (2001), sebab utama pertikaian antar kelompok masyarakat dan/atau etnis adalah adalah rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Menurutnya, ada dua argumentasi penyebab rasa takut yang menjadi debat antropologi sebagai sumber konflik horizontal
51 pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan. Argumentasi pertama, konflik antar kelompok masyarakat bersumber pada dendam yang sangat mengakar, kecemburuan sosial, hingga frustasi yang bersumber dari kejadian-kejadian di masa lalu sehingga dua pihak kelompok masyarakat atau etnis saling bertentangan. Argumentasi kedua, konflik muncul apabila suatu kelompok masyarakat/etnis merasa cemas akan nasibnya di hari depan, apalagi ketika ketersediaan sumberdaya alam semakin hari semakin langka. Pada kasus konflik yang demikian rumit, kedua argumentasi tersebut bisa saja terjadi bersamaan contohnya pada kasus konflik etnis Dayak dan Madura di Sanggau Ledo (tahun 1997), Sambas (tahun 1999), dan Kalimantan Tengah (tahun 2001) di Pulau Pulau Kalimantan yang terkenal dengan kekayaan sumberdaya hutannya (Marzali, 2001).
2.6.
Kajian Tentang Model Penanganan Konflik Dari uraian sebelumnya tentang metode penanganan konflik, secara
umum metode penanganan konflik terdiri atas: (1) metode penanganan yang ditempuh melalui jalur peradilan formal, dan (2) metode penanganan yang ditempuh di luar jalur peradilan formal. Hakekat penanganan konflik adalah “proses”. Artinya, penanganan konflik terdiri atas tahapan-tahapan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: (1) tahap analisis konflik yang menghasilkan peta konflik beserta komponen-komponennya seperti akar konflik, gaya konflik, tipe konflik, dan polarisasi sifat konflik; dan (2) tahap penanganan konflik yang sesungguhnya menyangkut pilihan-pilihan pendekatan negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi atau proses hukum. Suatu fakta bahwa konflik disebabkan oleh berbagai perbedaan. Glasl dalam Yasmi (2002) menyatakan bahwa yang harus menjadi catatan dalam penelitian konflik yaitu tidak semua perbedaan identik dengan konflik, terkecuali perbedaan-perbedaan yang menimbulkan gangguan/kerusakan (impairment) terhadap pihak lain. Glasl mengembangkan sebuah model konflik berdasarkan empat buah perbedaan yang dianggap dapat menggangu suatu pihak seperti ditayangkan dalam Gambar 2.7. Jika menilik Model Konflik Glasl tersebut, Glasl lebih menekankan pada analisis peta konflik terbatas pada pengaruh perbedaan terhadap perilaku suatu pihak kepada pihak lainnya.
52
Perbedaan dalam berfikir, pandangan, dan persepsi
Perbedaan dalam emosi
Perilaku Pihak A
Gangguan yang dialami oleh pihak B
Perbedaan dalam kepentingan
Gambar 2.7. Model Konflik Glasl (Sumber: Glasl dalam Yasmi, 2002)
Dari beberapa teori konflik yang telah diuraikan sebelumnya, model tersebut lebih menekankan pada analisis akar konflik yang dirasakan oleh suatu pihak, kemudian melihat bagaimana perilaku pihak tersebut
dan apa pengaruhnya
terhadap pihak lain. Glasl tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana kemudian konflik antar-pihak tersebut ditangani. Model lain adalah model dikembangkan oleh ICRAF (International Center For Research in Agroforestry) yang disebut dengan model Negosiation Support System – Natural Resources Management (Sistem Pendukung Negosiasi – Pengelolaan Sumberdaya Alam) atau sering disingkat dengan NSS-NRM atau SPN-PSA seperti ditayangkan dalam Gambar 2.8.
SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI;
2
4 Inovasi Guna lahan
Sain dan Pengetahuan terperbaiki • Biofisik • Kebijakan
Interaksi sumberdaya
1
stake-holders dialog
dalam mosaik lansekap
Filter Jalan,kanal
Proses Negosiasi 3 perubahan
perubahan berkesepakatan
spontan
Gambar 2.8. Model Sistem Pendukung Negosiasi Pengelolaan Sumberdaya Alam
(Sumber: Noordwijk, 2000)
53 SPN - PSA adalah suatu proses yang menganjurkan penanganan konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di dalam suatu landsekap atau ekosistem tertentu, misalnya ekosistem DAS; melalui pendekatan negosiasi secara terpadu yang didukung oleh sain dan ilmu pengetahuan (baik modern maupun subsisten) yang didapat dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan partisifatif dalam bidang bio-fisik, sosial, ekonomi, dan kebijakan; dalam rangka memitigasi konflik kepentingan antar para pesengketa (multi-disputants) sekaligus mempromosikan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari (Fay dan Pasya, 2001). Dalam SPN, pendekatan negosiasi secara sistematis diarahkan pada pengembangan sistem insentif/disinsentif sosial-ekonomi-lingkungan termasuk membangun komitmen (commitment sharing) untuk melaksanakan setiap perubahan (baik spontan maupun dengan kesepakatan) dalam rangka mencapai tujuan bersama (common goals). Empat langkah dalam mengembangkan Sistem Pendukung Negosiasi (SPN) menurut Noordwijk (2001) yaitu: (1) identifikasi aktor/stakeholder serta memahami tujuan dan indikator yang digunakan untuk memprediksi keadaan lansekap saat ini dan dimasa depan, (2) mengembangkan “alat” yang dapat menghubungkan tata guna lahan dengan indikator fungsi ekologis, fungsi ekonomi, fungsi sosial, dll yang dapat diterima semua stakeholder, (3) mendukung proses negosiasi dalam konteks butir satu (1), dan (4) memberikan pilihan-pilihan inovasi teknologi dan kelembagaan yang diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan bersama. Model
SPN-PSA
lebih
menekankan
bahwa
penanganan
konflik
merupakan suatu proses, sementara pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan negosiasi. Model tersebut dapat dikategorikan sebagai penanganan konflik di luar jalur peradilan masuk dalam kelompok Alternative Dispute Resolution. Kelemahan model ini adalah tidak secara eksplisit menguraikan langkah-langkah analisis peta konflik seperti yang dikembangkan oleh Glasl, sebaliknya, Glasl tidak secara eksplisit menjelaskan bagaimana konflik ditangani dan dengan menggunakan pendekatan apa. Dari kedua model, bisa dikembangkan sebuah model baru yang relatif lebih konprehensif yang dapat dipergunakan untuk peneliatian ini. Kelemahan SPN-PSA adalah tidak menguraikan secara lengkap bagaimana tahap (1) dari model tersebut seharusnya dilakukan.
Sebenarnya Model Glasl dapat
dipergunakan untuk melengkapi Tahap Kesatu Model SPN-PSA, namun analisis
54 konflik dalam model Glasl pun masing kurang lengkap. Dengan menyertakan seluruh komponen analisis pemetaan konflik seperti seperti akar konflik, gaya konflik, tipe konflik, dan polarisasi sifat konflik, maka dapat dikembangkan sebuah model baru yang relatif lengkap seperti ditayangkan dalam Gambar 1.2 yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.
Model tersebut kemudian dapat
mengisi dan melengkapi Tahap Kesatu Model SPN-PSA sehingga penanganan konflik dapat dilakukan secara holistik mulai dari tahap analisis konflik yang menghasilkan peta konflik beserta komponen-komponennya hingga tahap penanganan konflik yang sesungguhnya dengan pendekatan
negosiasi.
Sedangkan bagaimana kinerja (peformance) kedua model tersebut (Gambar 1.2 dan Gambar 2.8) dalam konteks Otda, memerlukan studi proses di lapang melalui proses kognitif yang modelnya ditayangkan dalam Gambar 1.3.
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Propinsi Lampung. Penetapan rencana lokasi
penelitian dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut: (1) Lokasi studi kasus adalah kawasan hutan lindung dan daerah sekitar yang berbatasan dengannya. Kriteria tersebut dipergunakan secara purposive disesuaikan dengan tujuan penelitian konflik. (2) Penetapan kawasan hutan yang diteliti dilakukan atas pertimbangan bahwa berdasarkan beberapa informasi, laporan, dan dokumen baik formal maupun non-formal mengindikasikan di kawasan tersebut pernah dan/atau sedang terjadi konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan. Berdasarkan dua kriteria tersebut, penentuan lokasi studi kasus dilakukan secara tertuju (purposive) di Kawasan Hutan Lindung Register 45 Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya
dan Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung
Barat. Lokasi studi merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian berkisar antara 750 –1500 meter d.p.l, berjarak sekitar 160km dari Bandar Lampung (ibukota Propinsi Lampung). Lokasi merupakan Sub-DAS Way Besay dan merupakan wilayah hulu DAS Tulangbawang. Lokasi studi juga meliput beberapa desa yang wilayah administratifnya berbatasan dengan kawasan hutan tersebut. Secara geografis, letak lokasi studi seperti ditayangkan pada Gambar 3.1. Penelitian konflik dilakukan dengan kombinasi metode historis dan dokumentasi proses, partisipatoris, dan eksplorasi, maka penelitian konflik berorientasi proses. Hal tersebut berimplikasi pada lamanya waktu penelitian yang diperlukan dan kebutuhan akan sebuah tim peneliti. Oleh karenanya, penelitian dilaksanakan selama 12 bulan mulai bulan September 2004 sampai dengan Agustus 2005. Kegiatan penelitian terbagi dalam beberapa tahap seperti ditayangkan dalam Tabel 3.1.
56
Lokasi Studi: Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat
Gambar 3.1 Peta Lokasi Studi, Propinsi Lampung
57
Tabel 3.1. Tahapan dan Jadwal Penelitian Jadwal Penelitian No
1.
Tahap
Persiapan
2.
Pelaksanaan
3.
Penyelesaian
Kegiatan • • • • • • • • • • • • • • •
SepNov
20042005 DesFeb
xxx
x
2004
Penyusunan proposal penelitian. Rapat Komisi, Prelim, dan Kolokium. Observasi pendahuluan Menjalin hubungan sosial dengan responden. Membangun tim peneliti lapang Membangun jaringan multipihak Perijinan penelitian Kajian data sekunder Wawancara penelitian lapang Workshop Tabulasi dan entri data Analisis dan sintesa data dan kejadian/proses Pengumpulan data ulang sesuai keperluan Menyusun struktur penulisan Penulisan draft laporan
x
xxx
2005
2005
MarMei
JunDes
xxx
xxx
xxxxxx
Keterangan: x = 1 (satu) bulan.
3.2 Hipotesis Untuk memandu dan mepertajam kajian, hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah: 1) Kebijakan
yang
baik
memerlukan
konsistensi
penafsiran
dan
pelaksanaan/penerapan secara operasioal di lapang. 2) Pemahaman konprehensif tentang faktor-faktor penyebab konflik dapat membantu pengambilan keputusan faktor yang mana yang harus ditangani terlebih dahulu bagi upaya penyelesaian konflik. 3) Gaya mengelola konflik diperlukan untuk memutuskan bentuk-bentuk penyelesaian konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution) di luar peradilan. 4) Model kognitif penanganan konflik dapat membantu para pihak yang berkonflik dalam memutuskan dan mendukung kesepakatan penyelesaian konflik.
3.3 Teknik Pengambilan Responden Pengambilan responden dilakukan secara bertahap dengan rangkaian sebagai berikut:
58
1) Tahap kesatu: Dalam tahap ini responden diambil secara tertuju (purposive sampling) yaitu mereka/masyarakat yang melakukan klaim atas status dan kepemilikan lahan serta akses pengelolaan lahan di dalam kawasan. Pada kasus konflik akses pengelolaan lahan di kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, pada tahun 2000 terdapat 2000 kepala keluarga yang berada di dalam kawasan (Dinas Kehutanan Lampung Barat, 2000). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh ICRAF selama tahun 2001, dari jumlah tersebut yang hanya bertani tapi tidak menetap di dalam kawasan sebanyak 75 kepala keluarga berasal dari Desa Gunung Terang Kecamatan Way Tenong, 402 kepala keluarga berasal dari Desa Simpang
Sari,
Kecamatan
Sumberjaya,
Kabupaten
Lampung
Barat.
Sedangkan berdasarkan studi Watala tahun 2003, terdapat 150 kepala keluarga berasal dari Desa Sukapura yang bertani dan tinggal menetap secara permanen di dalam kawasan. Total populasi calon responden dari ketiga desa adalah 627 kepala keluarga. Berdasarkan sebaran populasi responden tersebut, maka penarikan responden contoh dilakukan dengan teknik proportional random sampling (PSRS). Total calon responden contoh yang diteliti adalah sebanyak 100 kepala keluarga. Jumlah dan sebaran contoh yang diambil seperti ditayangkan dalam Tabel 3.2. Responden yang dipilih di dalam tabel tersebut adalah responden yang menjadi subjek tujuan penelitian yang kedua. Tabel 3.2. Pengambilan Responden Contoh untuk Tujuan Penelitian yang Kedua Kawan hutan dan desa Yang Berbatasan
Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Lampung Barat TOTAL Keterangan: n = jumlah responden
Desa Asal Responden
N
n=100
Gunung Terang
75
12
Simpang Sari
402
64
Sukapura
150
24
627
100
2) Tahap Kedua: Selain responden yang terdapat di dalam Tabel 3.2, juga diambil responden yang berasal dari pihak/kelompok/institusi lain yang bersengketa dengan responden Tabel 3.2. Pengambilan responden diambil dengan memakai teknik snowball sampling. Menurut Bernard (1998), teknik tersebut amat membantu peneliti terutama; (1) ketika belum memperoleh
59
gambaran yang pasti mengenai pihak-pihak mana saja terlibat dalam konflik, (2) belum mengetahui pihak mana yang paling tepat untuk diwawancarai mengingat meminta informasi tentang konflik merupakan sesuatu yang sensitif dan memerlukan kehati-hatian. Responden Table 3.2 diwawancarai untuk dimintai keterangannya tentang siapakah pihak lawan (orang dan/atau lembaga) yang menurut mereka memiliki perbedaan-perbedaan yang menimbulkan konflik kepentingan dengan mereka dalam pengelolaan kawasan hutan. Hasil kunjungan pendahuluan, untuk sementara terdapat tiga komunitas yang saling berbeda kepentingan di lokasi yaitu: (1) kelompok masyarakat yang mengelola lahan kawasan (2) aparat pemerintah Kabupaten Lampung Barat, dan (3) aparat desa/kecamatan dan pihak swasta yang berdomisili di DAS Way Besay. 3) Tahap Ketiga: Dengan menggunakan teknik serupa (snowball sampling), kepada masing-masing pihak yang bersengketa diwawancarai siapakah (jika ada) menurut mereka pihak-pihak indipenden yang pernah dan/atau sedang berinisiasi membantu penanganan konflik yang mereka hadapi. Dengan menggunakan teknik tersebut pada Tahap Kedua dan Ketiga, kemudian ditentukan sebanyak 30 responden dari lokasi konflik secara proporsional tertuju (purposive proporsional sampling). Penentuan sebanyak 30 responden didasarkan kepentingan studi dalam menjawab tujuan ketiga penelitian ini. Selanjutnya dengan responden yang sama, tujuan keempat penelitian ini dijawab dengan mempergunakan Metode. Metode tersebut merupakan metode analisis sistem lunak yang dapat dipergunakan dalam pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja dan merupakan modifikasi dari teknik brainwriting dan survey (Marimin, 2004). Dalam metode ini panel dipergunakan dalam pergerakan komunikasi melalui beberapa kuesioner yang tertuang dalam tulisan. Objek metode ini adalah untuk memperoleh konsensus yang paling reliable (dapat dipercaya) dari sebuah kelompok ahli atau sekumpulan orang yang dianggap mengetahui tentang sesuatu. Adapun prosedur metode Delphi adalah sebagai berikut (Marimin, 2004): 1) Mengembangkan pertanyaan Delphi 2) Memilih dan kontak dengan responden 3) Memilih ukuran contoh
60
4) Mengembangan kuesioner dan menguji 5) Analisis kuesioner (1) 6) Pengembangan kuesioner dan tes (2) 7) Analisis kuesioner (2) 8) Mengembangkan kuesioner dan tes (3) 9) Analisis kuesioner (3) 10) Menyiapkan laporan akhir. Tentunya
metode
Delphi
memiliki
keunggulan
dan
kelemahan.
Keunggulan dan kelemahan tersebut seperti ditayangkan dalam Tabel 3.3 berikut. Kelemahan Metode Delphi akan mendapat perhatian selama penelitian dilaksanakan. Tabel 3.3. Keunggulan dan Kelemahan Metode Delphi Keunggulan
Kelemahan
1)
1) 2)
2)
3) 4)
5) 6) 7) 8)
Delphi mengabaikan nama dan mencegah pengaruh yang besar satu anggota terhadap anggota lainnya. Kemungkinan untuk menutupi sebuah area geografi yang lebih sempit dan grup besar yang heterogen sehinhgga dapat berpartisipasi pada basis yang sama Adanya langkah diskrit Masing-masing responden memiliki waktu yang cukup untuk mempertimbangkan masing-masing bagian dan jika perlu melihat informasi yang diperlukan untuk mengisi kuesioner Menghindari tekanan social psikologi Perhatian langsung pada masalah Memenuhi kerangka kerja Menghasilkan catatan dokumen yang tepat
3)
4)
5) 6) 7)
Lambat dan menghabiskan waktu Tidak mengijinkan untuk kemungkinan komunikasi verbal melalui pertemuan langsung perseorangan Responden dapat salah mengerti terhadap kuesioner atau tidak memenuhi keterampilan komunikasi dalam bentuk tulisan Konsep Delphi adalah ahli. Para ahli akan mempresentasikan opini yang tidak dapat dipertahankan secara ilmiah dan melebih-lebihkan. Sistematikan Delphi menghalanghalangi proses lawan dan mendiami eksplorasi pemikiran Tidak mengijinkan untuk kontribusi prospektif yang berhubungan dengan masalah Mengasumsikan bahwa Delphi dapat menjadi pengganti untuk semua komunikasi manusia di berbagai situasi
Sumber: Marimin, 2004.
Sebanyak 30 responden yang dijadikan sebagai subjek penelitian diasumsikan sudah memenuhi jumlah minimal. Hal tersebut seperti yang dinyatakan
oleh
Marimin
(2004),
bahwa
suatu
penelitian
yang
mempergunakan Metode Delphi memerlukan ukuran panel responden yang bervariasi dengan kelompok homogen dengan 10-15 partisipan mungkin sudah cukup, akan tetapi dalam sebuah kasus dimana rujukan (reference) yang bervariasi diperlukan, maka dibutuhkan jumlah partisipan yang lebih besar. Sebaran responden tersebut ditayangkan dalam Tabel 3.4.
61
Tabel 3.4. Pengambilan Responden Contoh Untuk Tujuan Penelitian yang Ketiga dan Keempat. Kawan Hutan dan Desa Yang Berbatasan
Kelompok Responden
Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Lampung Barat
n=30
Masyarakat
8
Aparat desa/kecamatan dan PLTA
8
Aparat Kabupaten
7
Aktivis independen TOTAL
7 30
Keterangan: n = jumlah responden
3.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian adalah: a) data primer, adalah data yang langsung bersumber dari responden dan pengamatan kondisi fisik lokasi konflik, dan b) data sekunder, yaitu data yang telah tersedia yang merupakan
hasil
penelitian
terdahulu,
laporan-laporan,
hasil
penelitian,
peraturan-perundangan, dan dokumen-dokumen dari instansi pemerintah dan non pemerintah. Data primer yang diteliti terdiri atas dua kelompok yaitu (1) data dan informasi sosial ekonomi responden dan (2) data dan informasi wilayah konflik. Indikator yang diteliti dari masing masing kelompok data yaitu: 1) Kelompok data sosial ekonomi responden, mencakup: a) Data latar belakang kondisi sosial ekonomi responden mencakup indikator-indikator: riwayat demografi, pendidikan, etnis, pendapatan, mata pencaharian, kepemilikan lahan di dalam dan di luar kawasan, dan luas yang dikelola di dalam kawasan. b) Data persepsi responden terhadap akar konflik, gaya konflik, tipe konflik, polarisasi sifat konflik, upaya-upaya penanganan konflik yang telah dilakukan. 2) Data dan informasi tentang wilayah konflik mencakup luas wilayah, sejarah status dan kepemilikan lahan di wilayah konflik, sejarah perubahan pola penggunaan lahan di wilayah konflik, dan sejarah pendudukan dan pengusiran (jika terjadi) manusia keluar dari kawasan. Data sekunder yang diteliti mencakup dokumen peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan yang diteliti, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penanganan konflik secara administratif dan penanganan secara
62
operasional, dokumen-dokumen gugatan dan/atau kesepakatan yang pernah terjadi, termasuk notulensi-notulensi pertemuan dan pembuktian-pembuktian di lapang yang pernah dilakukan oleh pihak yang berkonflik atau pihak independen yang berinisiasi menengahi konflik. Selain itu, data statistik sosio-demografi dan ekonomi wilayah juga diteliti, seperti kepadatan penduduk, rasio agraris, komoditi unggulan lokal, lembaga pasar, dan lembaga sosial di perdesaan. Jenis data sekunder dan sumber data yang diharapkan seperti ditayangkan dalam Tabel 3.5. Tabel 3.5. Data Sekunder dan Sumber Data. No
Jenis Data
Sumber Data
1 2 3
Tata Ruang Propinsi Tata Ruang Kabupaten Peta Tata Guna Hutan
4
Peta Zonasi Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis Berita Acara Tata Batas (BATB) Kawasan hutan
• • • • •
5
6 7
Data statistik propinsi, kecamatan, dan desa Data statistik kehutanan
kabupaten,
8
Peta wilayah konflik
9
Statistik konflik
10
Dokumen-dokumen/surat menyurat yang berkaitan dengan penyelesaian konflik
11
Dokumen-dokumen pertanahan
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Bappeda Propinsi Bappeda Kabupaten Dinas Kehutanan Propinsi Dinas Kehutanan Kabupaten Dinas Kehutan Kabupaten Lampung Barat Badan Planologi Departemen Kehutanan Sub Dinas Bina Pemetaan Hutan Pripinsi Lampung UPT Intag Propinsi Lampung Kantor Statistik Propinsi dan Kabupaten. Kantor Kecamatan dan Kantor Desa Dinas Kehutanan Propinsi RLKT Unit teknis pengelola kawasan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Penelitian Masyarakat Kantor Sosial Politik Propinsi Kantor Sosial Politik Kabupaten Forum-forum, LSM Dirjen PHPA Kantor TNWK Dinas Kehutanan Propinsi Lembaga Swadaya Masyarakat Masyarakat BPN Dinas Kehutanan Masyarakat
3.5 Teknik Pengumpulan Data Penelitian konflik ditujukan untuk memperoleh peta konflik secara utuh meliputi akar masalah terjadinya konflik, gaya konflik, tipe konflik, dan polarisasi konflik.
Pengumpulan
data
pada
penelitian
ini
mempergunakan
teknik
Triangulasi, yaitu mencakup suatu prosedur pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi, wawancara (terbuka dan berstruktur), dan kajian
63
data sekunder untuk informasi independen dan memperoleh kesimpulan yang relatif lebih akurat tentang objek yang diteliti. Menurut Hendricks (1992), mendengar adalah teknik yang terpenting dalam
mewawancarai
responden
tentang
konflik.
Pewawancara
harus
memberikan dukungan non-verbal, sebagai usaha untuk menjamin kelompok dapat mengurangi kecemasan dan menjadikan pewawancara diterima untuk mengetahui peristiwa itu. Kejujuran, empati, keterbukaan dan perasaan yang tulus, objektif harus menjadi ciri wawancara. “Mendengar perselisihan” merupakan keahlian yang spesifik. Keahlian ini memberikan dukungan yang memadai kepada pembicaraan sementara lewat keahlian tersebut pewawancara dapat mengklasifikasikan perasaan dan isi hati orang
yang
diwawancarai.
Gambar
3.2
mengilustrasikan
bagaimana
mendengarkan perselisihan melalui proses dua langkah yaitu memisahkan dan memberi kerangka (Hendricks, 1992). Responden
Pewawancara Berbagi rasa
Aktif mendengarkan
Memisahkan
(Umpan balik)
Persepsi Pernyataan ulang Pembingkaian ulang
(Umpan balik)
Gambar 3.2. Teknik Mendengarkan dalam Mewawancara Konflik (Sumber: Hendricks, 1992)
Penelitian penanganan konflik ditujukan untuk memperoleh pendekatan dan metode penanganan yang relatif dapat dipergunakan dalam kasus konflik yang diteliti dan diasumsikan dapat diterima oleh para pihak yang terlibat konflik. Dalam penelitian ini dipergunakan teknik CAPs (Collaborative Analytical, Problem-solving Process or Approach). Menurut Mittchell dan Banks (1996), teknik tersebut melibatkan seperangkat asumsi teori sosial secara umum (dalam hal ini yang berkaitan dengan penelitian konflik) bersamaan dengan seperangkat prosedur untuk berintervensi ke dalam situasi konflik. Teknik CAPs berbeda dengan arbitrasi dan proses hukum, mediasi, konsiliasi, dan penyelesaian sengketa (dispute settlement). Teknik CAPs lebih menekankan pada fasilitasi
64
dialog, konsultasi pihak ketiga yang independen, penanganan konflik interaktif, dan proses diskusi berupa lokakarya (workshop). Tahapan CAPs secara umum seperti ditayangkan pada Gambar 3.3.
Akses
Efek
Lokakarya 1
Persiapan
Masuk kembali (re-entry) ke situasi konflik
Lokakarya 2
Persiapan
Gambar 3.3. Teknik CAPs dalam Penanganan Konflik (Sumber: Mitchell dan Banks, 1996)
Teknik CAPs seperti ditayangkan pada Gambar 3.3 tersebut terdiri atas tahap-tahap berikut: 1) Membangun Akses: Mengingat konflik adalah suatu yang sensitif secara sosial, membangun keberterimaan (acceptability) dan hubungan saling percaya dengan pihak-pihak yang berkonflik merupakan syarat untuk memperoleh akses masuk ke dalam situasi konflik. Kedua syarat terebut menjadi bagian penting dalam penanganan konflik. Menurut Robinson (1998), membangun keberterimaan harus didahului dengan terbangunnya hubungan individual melalui tatap muka dalam kegiatan sehari-hari. Berawal dari hubungan individual tersebut kemudian dapat meningkat menjadi hubungan sosial yang memungkinkan seseorang diterima dalam suatu kelompok masyarakat. Penerimaan suatu kelompok masyarakat terhadap individu baru (dalam hal ini peneliti) merupakan suatu indikasi adanya hubungan saling percaya. Menurut Pretty dan Ward (2001), hubungan saling percaya (relations of trust) adalah modal sosial yang paling vital untuk membangun kegiatan kolaboratif dalam pengelolaan lingkungan. 2) Persiapan: Setelah memperoleh akses ke dalam situasi krisis, langkah berikutnya adalah melakukan persiapan untuk melaksanakan lokakarya meliputi waktu, tempat, agenda, dan keterwakilan. Satu hal mendasar yang harus diperoleh pada tahap ini adalah keyakinan bahwa para pihak yang berkonflik berkeinginan untuk bertemu di dalam lokakarya yang akan membahas perbedaan-perbedaan di antara mereka. 3) Lokakarya (workshop): Pada tahap ini dilakukan fasilitasi dialog yang mengedepankan upaya-upaya penyelesaian konflik.
Dalam lokakarya
terkadang perlu menghadirkan nara-sumber yang ahli tentang perbedaan-
65
perbedaan yang disengketakan. Pada tahap ini jika memungkinkan dapat dihasilkan upaya-upaya penanganan konflik dan kesepakatan-kesepakatan (baik spontan maupun tertulis) yang dapat mengurangi perbedaan. Masingmasing satu buah lokakarya tingkat lokasi dilakukan di dua lokasi penelitian, tanpa menutup kemungkinan untuk dilanjuti dengan lokakarya di tingkat Kabupaten. 4) Re-entry (masuk kembali ke situasi konflik): Tahap ini adalah tahap yang menentukan setelah lokakarya yaitu bagaimana masing-masing pihak menindak-lanjuti hasil-hasil lokakarya. Berbagai efek yang timbul diamati untuk menjadi bahan lokakarya Tahap 2 jika masih diperlukan.
3.6 Peubah dan Cara Pengukurannya Berdasarkan
kerangka
pemikiran
penelitian,
peubah
dan
cara
pengukuran yang dipergunakan adalah sebagai berikut: Tabel 3.6 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, Pengumpulan pada Sub-model A (Eksternalitas) Kode
dan
Teknik
Peubah
Inidaktor dan spesifikasinya
Jenis data
Teknik pengumpul an data
Peristiwa bencana alam yang pernah terjadi sebagai akibat dari kelalaian manusia dalam melakukan budidaya hutan/pertanian dan pengelolaan lahan. (Khususnya kebakaran hutan, longsor, banjir dan penggenangan, serangan penyakit dan hama tanaman) Adalah harga komoditi pertanian utama yang dibudidayakan oleh responden di lahan pertaniannya. Harga tersebut kemudian dihitung setara dengan harga beras berdasarkan harga berlaku. Sumber responden dalam memperoleh informasi harga komoditi utama yang dibudidayakan (Skor: perusahaan, pedagang pengumpul, pasar desa, kerabat/tetangga) Adanya pelaku pasar yang mau menampung/membeli komiditi yang dihasilkan responden (Skor: Perusahaan, Pasar Desa, Pedagang Pengumpul) Ketersediaan prasarana transportasi jalan akses ke lokasi lahan bukaan responden (Skor: jalan segala cuaca, jalan kering, jalan setapak) Motif keputusan responden mengkonversi lahan untuk komoditi yang dibudidayakan (Skor: Untuk dijual (berorientasi pasar), desakan pemenuhan kebutuhan sendiri/keluarga, atas nasehat kerabat/tetangga )
Primer, Sekunder
Kuesioner, wawancara
Primer, sekunder
Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen
Primer, sekunder
Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen
Primer
Kuesioner, wawancara
Primer, sekunder
Kuesioner, wawancara
Primer
Kuesioner, wawancara
BAA
=
Bencana alam antropogenik (X1)
HK
=
Harga komoditi (X2)
IF
=
Informasi pasar (X3)
PP
=
Pengaruh Pasar (X4)
SP
=
Sarana pendukung (X5)
KKLK
=
Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
66
Tabel 3.7 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik Pengumpulan pada Sub Model B (Persepsi dan ketimpangan struktural) Kode
Peubah
Deskripsi dan pengukuran
Jenis data
Teknik pengumpula n data
Partisipasi yaitu suatu proses yang menjadi wahana berbagai pihak untuk berbagi peran dan kendali terhadap berbagai prakarsa dan pengambilan keputusan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam (World Bank, 1995). Tingkat partisipasi (dari rendah ke tinggi) diukur berdasarkan tipe partisipasi (Hart dalam Fahmuddin et al, 2002), yaitu: 1) Manipulatif dan dekoratif 2) Pasif 3) Memberi informasi dan konsultasi 4) Insentif material 5) Fungsional 6) Interaktif 7) Self-mobilization(Mandiri) Tingkat kesejahteraan responden adalah tingkat kesejahteraan keluarga dengan menggunakan Indikator Keluarga Sejahtera yang ditetapkan oleh BKKBN. Kebedayaan responden adalah kegiatan pemberdayaan yang pernah diikuti responden dalam kaitan dengan penanganan konflik. (Skor: Pendampingan hukum, Penguatan kelembagaan kelompok, Penguatan lembaga ekonomi rumah tangga) Pernyataan verbal responden bahwa selama ini mereka diabaikan dalam penetapan status dan fungsi kawasan hutan. Pristiwa/tindakan refresif yang pernah dilakukan oleh pemerintah terhadap responden
Primer
Kuesioner, wawancara
Primer, Sekunder
Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen
Pernyataan verbal responden mengenai status kawasan hutan negara di lokasi penelitian. Pernyataan verbal responden mengenai fungsi ekonomi, sosial, dan ekoligis dari kawasan hutan bukan produksi. Persepsi merupakan proses kognitif yang terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, yang didapat melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman (Thoha, 1983). Yang dimaksud dalam peubah ini adalah persepsi responden yang dinyatakan secara verbal terhadap desentralisasi pengelolaan kawasan hutan bukan produksi. Jumlah dialog dan negosiasi yang pernah dilakukan oleh responden (Unit per tahun; bertemu di lapang (tidak ada kesepakatan, ada kesepakatan, ada kesepakatan dan tindak lanjut); bertemu di forum rapat (tidak ada kesepakatan, ada kesepakatan, ada kesepakatan dan tindak lanjut)).
Primer
TKPR
=
Tingkat partisipasi responden (X7)
TKSS
=
Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8)
TKDR
=
Tingkat keberdayaan responden (X9)
TKOR
=
Tingkat ordinasi responden (X10)
LTRP
=
Tindakan represif oleh pemerintah (X11)
PKHN
=
PFLH
=
PDPK
=
Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13) Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14)
LPDN
=
Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15)
Primer, Sekudner
Primer
Kuesioner, wawancara
Primer
Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen Kuesioner, wawancara
Primer
Kuesioner, wawancara
Primer
Kuesioner, wawancara
Primer, sekunder
Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen
67
(Lanjutan Tabel 3.7) Kode TPDR
=
SKR
=
KR
=
Peubah
Deskripsi dan pengukuran
Jenis data
Tingkat pendidikan pesponden (X16) Lama tinggal di kawasan (X17)
Adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden. Adalah lamanya responden mendiami lahan yang berstatus kawasan baik secara permanen atau tidak permanen.
Primer
Kosmopolitansi responden (X18)
Tingkat keterbukaan responden terhadap dunia luas dan pembaharuan yang ditentukan berdasarkan jumlah macam informasi yang digunakan. (Informasi yang diperoleh responden dalam upaya menghadapi konflik didapatkan dari: (1) teman dekat/tetangga/tokoh masyarakat setempat, (2) pendamping/media masa, (3) lembaga penelitian/perguruan tinggi/dinas pemerintah
Primer
Tabel 3.8 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Pengumpulan pada Sub Model C (Kelangkaan) Kode
Primer
Data,
dan
Teknik
Peubah
Deskripsi dan pengukuran
Jenis data
Teknik pengumpula n data Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen Kuesioner, wawancara,
KTLP
=
Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19)
Adalah luas lahan pertanian yang dikelola oleh petani saat penelitian ini dilaksanakan (hektar)
Primer, sekunder
TPDK
=
Status kepemilikan responden terhadap lahan pertanian yang dikuasai diantaranya: Sewa, sakap, dan milik
Primer, Sekunder
PRR
=
Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20) Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan (X21)
Primer
PKLT
=
Tingkat pendapatan rumah tangga responden yang diperoleh dari usaha pertanian dan non pertanian di luar dari usaha yang diperoleh di lahan dalam kawasan hutan. Persepsi responden terhadap tingkat kebutuhan lahan pertanian yang masih diperlukan
Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
Primer
Tabel 3.9 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, Pengumpulan pada Sub Model D (Etika Lingkungan) Kode
Teknik pengumpulan data Kuesioner, wawancara Kuesioner, wawancara, pemeriksaan dokumen Kuesioner, wawancara
Kuesioner, wawancara
dan
Teknik
Peubah
Deskripsi dan pengukuran
Jenis data
Teknik pengumpula n data
Paham dan keyakinan responden bahwa manusia adalah dominan terhadap alam dan oleh karenanya alam dapat dimanfaatkan semata-mata kehidupan dirinya. (Skor) Paham dan keyakinan responden bahwa manusia adalah bagian dari dan oleh karenanya pemanfaat sumberdaya alam harus memperhatikan kepentingan mahluk lain. (Skor) Manifestasi paham dan keyakinan responden tentang keterkaitan antara tata sosial seseorang/kelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya yang dilihat dari kegiatan mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam. Peningkatan perbedaan yang menyebabkan bergesernya tipe konflik dari laten menjadi terbuka
Primer
Kuesioner, wawancara
Primer
Kuesioner, wawancara
Primer
Kuesioner, wawancara
Primer
Kuesioner, wawancara
PAR
=
Etik Antroposentris (X23)
PER
=
Etik Ekosentris (X24)
PRTA
=
Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik (X25)
ESKO
=
ESKALASI KONFLIK (X26)
68
3.7 Analisis Data Data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh kemudian dihimpun secara terstruktur untuk selanjutnya dianalisa. Analisa data yang dilakukan adalah untuk menjawab tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan
tujuan penelitian tersebut, sebanyak empat buah analisis data dilakukan yaitu sebagai berikut:
3.7.1
Analisis Kebijakan-Kebijakan Kehutanan, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria, Tata Ruang, Dan Otonomi Daerah Terkait Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Di Daerah Khususnya Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan
dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Quade dalam Dunn, 2000). Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai dengan mengevaluasi suatu program secara lengkap. Konsep tentang analisis kebijakan menekankan sifat praksis dari suatu analisis seperti tanggapan-tanggapan terhadap masalah-masalah yang muncul dan krisis yang dihadapi pemerintah dan masyarakat.
Untuk alasan-alasan
tersebut, maka analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teori deskriptif seperti teori-teori politik, sosial, dan ekonomi. Analisis kebijakan melampaui apa yang dicapai oleh disiplin ilmu tradisional. Jika disiplin tradisional lebih menjelaskan keteraturan-keteraturan empiris, analisis kebijakan mengkombinasikan dan mentransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin untuk lebih jauh lagi menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik tertentu. Analisis kebijakan diharapkan dapat menghasilkan informasi dan argumen-argumen rasional akan tiga pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat masalah teratasi oleh suatu kebijakan, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai tersebut, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai tersebut. Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen rasional mengenai tiga pertanyaan tersebut, analis kebijakan
69
dapat menggunakan tiga pendekatan analisis yaitu: (1) analisis empiris, (2) analisis valuatif, dan (3) analisis normatif (Dunn, 2000). Seperti ditayangkan dalam Tabel 3.10, pada pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan serbagai sebab-akibat, pertanyaan bersifat faktual, dan informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Pendekatan valuatif terutama ditekankan pada penentuan bobot nilai suatu kebijakan, pertanyaan bersifat nilai, dan informasi yang dihasilkan bersifat valuatif. Sedangkan pendekatan normatif ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik, pertanyaan berkenaan dengan tindakan (apa yang harus dilakukan?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskriptif (rekomendasi) Tabel 3.10. Tiga Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Pendekatan Empiris
Pertanyaan Utama Adakah dan akankah ada (fakta) Apa manfaatnya (nilai) Apakah yang harus diperbuat (aksi)
Valuatif Normatif
Tipe Informasi Deskriptif dan prediktif Valuatif Preskriptif (rekomendasi)
Sumber: Dunn (2000)
Menurut Dunn (2000), pentahapan proses penyusunan dan pelaksanaan suatu kebijakan terdiri atas: (1) penyusunan agenda, (2) perumusan kebijakan, (3) Pelaksanaan kebijakan, dan (4) penilaian kebijakan. Menurut Hempel (1996), hasil dari suatu penilaian/analisis kebijakan bisa berupa: (1) pelaksanaan kebijakan dengan justifikasi, (2) penyesuaian ulang dan reforma kabijakan, dan (3) penghentian kebijakan dan memulainya dari tahap awal kembali yaitu inisiasi dan agenda setting. Mempertimbangkan keterbatasan waktu dan biaya dalam penelitian ini, analisis kebijakan hanya dilakukan terhadap pelaksanaan kebijakan. Terhadap situasi konflik yang diteliti, analisis kebijakan dilakukan dengan dua cara yaitu analisis empiris dan analisis normatif
terhadap
perundangan, peraturan, dan prosedur pelaksanaan yang berkaitan dengan sumber konflik dan penyelesaian konflik. Apabila konsep Dunn (2000) dan Hempel (1996) diadopsi ke dalam penelitian ini, maka kerangka analisis kebijakan yang dilakukan adalah seperti ditayangkan pada Gambar 3.4. Analisis empiris dan normatif dilakukan dengan metode process documentation
research
(penelitian
proses
dokumentasi)
yakni
cara
menggumpulkan data melalui peninggalan tertulis (Nazir, 1999). Peninggalan itu
70
dapat berupa arsip-arsip peraturan dan perundangan, notulensi rapat, laporan studi, dan buku-buku, sehingga sering disamakan dengan studi literatur (book survey) atau studi keperpustakaan (library survey). Dari bahan-bahan itu dapat dikemukakan berbagai fakta tentang sesuatu yang pernah terjadi, berbagai teori, dalil dan hukum-hukum, aksioma, pendapat dan lain-lain. Analisis empiris dan normatif terhadap peraturan, perundangan dan prosedur termasuk yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam secara khusus sering dikenal dengan istilah critical legal review. Tahapan Kebijakan (Dunn, 2000) AGENDA PENYUSUNAN
FORMULASI KEBIJAKAN
Analisis Kebijakan IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Analisis Empiris Analisi Normatif
PENILAIAN KEBIJAKAN
Umpan balik
Pelaksanaan kebijakan dengan justifikasi
Penyesuaian ulang dan reformulasi kebijakan
Penghentian kebijakan dan memulainya dari tahap awal kembali yaitu inisiasi dan agenda setting (reformasi)
Kemungkinan Keluaran/rekomendasi (Hempel, 1996)
Gambar 3.4. Kerangka Hubungan Antara Tahapan Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Kemungkinan Keluaran/rekomendasi (Diadopsi dari Dunn (2000) dan Hempel (1996))
Dalam menghimpun data dan informasi dari literatur itu perlu ditempuh cara-cara yang mudah dan sistematis. Untuk itu dalam penelitian penting dimulai dari judul dokumen, daftar isi, dengan mencari bab atau sub bab atau pasal yang berhubungan dengan penelitian. Dalam teknik ini diperlukan penggunaan alat
71
(instrumen) pencatatan data dan informasi yang relevan, agar tidak ada yang terlupakan dan mudah mencari setiap kali diperlukan.
Alat (instrumen) yang
dipergunakan dalam penelitian proses dokumentasi yaitu (Nawawi dan Hadari, 1995): (1) Kartu ikhtisar. Dokumentasi yang berhubungan dengan suatu masalah penelitian, diantaranya berupa uraian yang panjang, beberapa bab diantaranya merupakan data atau informasi yang penting yang dipergunakan dalam membahas dan memecahkan masalah penelitian.
Untuk ini dapat
digunakan selembar atau lebih kartu untuk membuat ikhtisar dari data atau informasi berupa uraian panjang itu, sebagai instrumen penggumpul data dari bahan dokumentasi. (2) Kartu kutipan (citation). Dalam proses dokumentasi ada beberapa data dan informasi yang harus dicatat secara lengkap, diantaranya berupa defenisi, dalil, rumusan undang-undang, rumusan surat keputusan. Penggunaan data atau informasi ini di dalam laporan hasil penelitian dapat berbentuk kutipan langsung, yang dituangkan secara lengkap sesuai aslinya, untuk itu maka dibutuhkan pembuataan kartu kutipan. Data atau informasi yang dikutip dalam kartu kutipan harus relevan dengan masalah penelitian. Dalam menyusun laporan penelitian harus dipilih kutipan-kutipan yang benar-benar bermutu untuk dijadikan data atau informasi pendukung dalam merumuskan generalisasi sebagai kesimpulan. (3) Kartu ulasan. Merupakan kartu yang berisikan kutipan atau ulasan yang merupakan hasil pemikiran-pemikiran baru dari penulis yang tiba-tiba muncul saat melakukan penelitian. Pemikiran itu merupakan reaksi mental dari si peneliti yang dapat berbentuk kritik, penafsiran atau penjabaran dari teori, dalil, hukum yang ditemukan dalam proses dokumentasi. Beberapa produk peraturan dan perundangan Kehutanan, lingkungan hidup, agrarian, tata ruang, dan otonomi daerah yang berkaitan dengan konflik lingkungan dikaji dalam penelitian ini. 3.7.2
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan Dari Hutan. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konflik dalam pengelolaan
kawasan hutan hutan lindung dilakukan dengan metode analisis statistika induktif yaitu Analisis Jalur (Path Analysis). Metode in digunakan untuk mempelajari dan
72
menguji hubungan antar peubah yang disusun dalam model. Menurut Supranto (2004), analisis jalur merupakan metoda analisis yang dipergunakan untuk menguji model persamaan struktural dari sederet hubungan dependensi secara simultan (dependence relationships simultaneously) menjadi suatu peubah bebas (an independent variable) di dalam hubungan dependensi selanjutnya (in subsequent dependence relationship).
Secara diagram, penjelasan yang
dimaksud oleh Supranto (2004) dapat diilustrasikan pada Gambar 3.5. Pada gambar tersebut,
contoh bentuk hubungan dependensi secara simultan
(dependence relationships simultaneously) adalah contoh persamaan model Y1 = α + X1 + X2 dan Y2 = α + X3 + X4; Sedangkan contoh persamaan model hubungan dependensi selanjutnya (in subsequent dependence relationship) adalah Y3 = α + Y13 + Y23, dimana Y1 dan Y2 adalah independent variable terhadap Y3.
X1 Y1 X2 Y3 X3 Y2 X4 Gambar 3.5. Hubungan Dependensi di Dalam Persamaan Struktural. Dapat
dijelaskan
di
sini
bahwa,
banyak
peubah
yang
sama
mempengaruhi setiap peubah tidak bebas, akan tetapi dengan tingkatan pengaruh yang berbeda. Model struktural mengekspresikan hubungan-hubungan tersebut antara peubah bebas dan tak bebas, bahkan peubah tak bebas menjadi suatu peubah bebas di dalam hubungan yang lainnya. Di dalam analisis jalur, peubah bebas sering disebut sebagai peubah eksogen yang nilainya ditentukan di luar model, sedangkan peubah terikat disebut sebagai peubah endogen yang nilainya ditentukan di dalam model.
73
3.7.2.1 Asumsi yang Mendasari Analisis Jalur Dengan menggunakan Gambar 3.5, ada 2 bentuk hubungan antar peubah dalam analisis jalur yang menjadi asumsi yaitu: (1) Pengaruh Langsung biasanya digambarkan dengan panah satu arah dari satu peubah ke peubah lainnya, misal dari X1 ke Y1. (2) Pengaruh Tidak Langsung digambarkan dengan panah satu arah pada satu peubah pada peubah lain (misal Y1 ke Y2), kemudian dari peubah lain panah satu arah ke peubah berikutnya (Y2 ke Y3). Selain itu, menurut Supranto (2004) juga terdapat beberapa asumsi lainnya yang perlu diperhatikan dalam analisis jalur yaitu: (1) Peubah endogen harus normal, paling tidak berupa skala interval atau yang paling baik skala rasio. Pada umumnya, seluruh program analisis jalur menghendaki agar peubah endogen terdiri dari paling sedikit 4 nilai. (2) Seperti model linear lainnya, analisis jalur juga mendasarkan pada hubungan peubah yang linear dan aditif. (3) Jumlah responden contoh cukup besar. Agar model stabil, beberapa kerangka contoh suatu penelitian menggunakan minimal 100 responden. 3.7.2.2 Diagram Jalur dan Persamaan Analisis Jalur Sebelum melakukan Analisis Jalur perlu digambarkan terlebih dahulu pola hubungan antar peubah penyebab dan peubah akibat yang didasarkan kerangka pikir penelitian. Adapun bentuk persamaan jalurnya adalah sebagai berikut :
Y = ρ YX1 X 1 + ρ YX 2 X 2 + ... + ρ YX K X K + ε …………………………..
(1)
Dimana : Y adalah peubah akibat (endogenus) X1 ,X2,… Xk adalah peubah penyebab (eksogenus) p adalah koefisien jalur antara peubah akibat dan peubah penyebab
ε adalah peubah residu Pada saat menggambarkan diagram jalur ada beberapa perjanjian : (a) Hubungan antar peubah digambarkan oleh anak panah biasa berkepala tunggal (
)
atau berkepala dua (
),
(b) Panah berkepala satu menunjukkan pengaruh. Peubah yang digambarkan pada ujung anak panah merupakan peubah akibat sedangkan peubah yang
74
pertama digambarkan sebagai peubah penyebab. Sebagai contoh bila X1 mempengaruhi X2 maka gambar panahnya adalah : X1
X2,
(c) Hubungan sebab akibat merupakan hubungan yang mengikuti hubungan asimetrik,
tetapi
ada
kemungkinan
bahwa
hubungan
kausal
itu
menggambarkan hubungan timbal balik. Jadi X1 bisa mempengaruhi X2 , X2 pun bisa mempengaruhi X1, X2 ,
(d) Gambarnya : X1
(e) Bisa terjadi hubungan X1 dan X2 merupakan korelatif, keadaan seperti ini anak panahnya berkepala dua dan gambarnya : X1
X2 (f) Dalam dunia nyata tidak pernah seseorang bisa mengisolasi hubungan pengaruh secara murni artinya bahwa sesuatu kejadian banyak sekali yang mempengaruhinya,
tetapi
pada
conceptual
framework
hanya
dapat
digambarkan beberapa pengaruh yang dapat diamati. Peubah lain yang tidak bisa digambarkan diperlihatkan oleh suatu peubah tertentu disebut residu dan diberi simbol
.
3.7.2.3 Langkah Penghitungan Dalam Analisis Jalur Langkah-langkah pengerjaan Analisis Jalur adalah sebagai berikut : (1) Menggambarkan terlebih dahulu diagram jalurnya sesuai dengan hipotesis yang akan diuji. (2) Menghitung matrik korelasi antar peubah eksogen
RXX
⎡1 rx1x2 ⎢ 1 =⎢ ⎢ ⎢ ⎣⎢
... rx1xk ⎤ ... rx2 xk ⎥⎥ M ⎥ ⎥ ⎥ 1 ⎦
…………………………………………..…
Rumus untuk menentukan korelasinya adalah sebagai berikut :
(2)
75
n
ryx j =
n
n
n∑ X jhYh − ∑ X jh ∑ Yh h =1
n
h =1
n
; j = 1, 2...., k ….……..
h =1
n
n
(3)
[n∑ X − (∑ X jh ) ][n∑ Yh − (∑ Yh ) ] h =1
2 jh
2
h =1
2
h =1
2
h =1
(3) Menghitung matriks korelasi antar peubah eksogen yang menyusun sub struktur:
RXX
⎡1 rx1x2 ⎢ 1 =⎢ ⎢ ⎢ ⎣
... rx1xk ⎤ ... rx2 xk ⎥⎥ ………………………………………………. O M ⎥ ⎥ 1 ⎦
(4)
(4) Menghitung Matriks invers
R −1
⎡C11 C12 ... C1k ⎤ ⎢ C22 ... C2k ⎥⎥ ⎢ = ⎢ . ⎥ ……………………………….…………. ⎢ ⎥ . ⎥ ⎢ ⎢⎣ Ckk ⎥⎦
(5)
(5) Menghitung semua koefisien jalur pxu x1 , i = 1,2,...,k dengan rumus:
⎡ pxu x1 ⎤ ⎡C11 C12 ... C1k ⎤ ⎡ rxu x1 ⎤ ⎢p ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ C22 ... C2 k ⎥⎥ ⎢ rxu x2 ⎥ ⎢ xu x2 ⎥ ⎢ . ⎥ ⎢ . ⎥ ….………………….………… ⎢ . ⎥ = ⎢ . ⎥ ⎢ . ⎥ ⎢ .. ⎥ ⎢ . . ⎢ ⎥ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ p r Ckk ⎦⎥ ⎢⎣ xu xk ⎥⎦ ⎢⎣ ⎣⎢ xu xk ⎦⎥
(6)
(6) Menghitung R 2 y ( x1 x 2 ... xk ) yang merupakan koefisien determinasi total X1,X2,…,Xk terhadap Y yang rumusnya :
R 2 y ( x1x2 ... xk ) = ⎡⎣ p x u x1
pxu x2
...
⎡ rx u x1 ⎤ ⎢r ⎥ ⎢ xu x 2 ⎥ pxu xk ⎤⎦ ⎢ . ⎥ …………………..……… ⎢ .. ⎥ ⎢ ⎥ ⎣⎢ rxu xk ⎦⎥
(7)
(7) Menghitung ρ yε berdasarkan rumus ;
p y ε = 1 − R 2 y ( x1x2 ... xk ) ……………………………………………..……….
(8)
76
(8) Lalu melakukan uji signifikan modelnya secara keseluruhan dengan menggunakan uji F. Hipotesis pada pengujian ini adalah sbb : Ho : pYX1 = ρYX2 = …… = pYxk= 0 H1 : Sekurang-kurangnya ada sebuah pYXj ≠ 0 Statistik ujinya :
F=
2 (n − k − 1) RYX 1 X 2.... Xk 2 k (1 − RYX 1 X 2.... Xk )
…………………………………………………
(9)
Statistik uji diatas mengikuti distribusi F-Snedecor dengan derajat bebas v1 = k dan v2 = n – k - 1 Kriteria Penolakan : Tolak Ho bila Fhitung > Ft (9) Jika uji F signifikan maka selanjutnya lakukan uji masing-masing koefisien jalur untuk menguji keberartiannya yang dikenal dengan Teori Trimming, dengan langkah-langkah sebagai berikut : •
Tentukan hipotesis uji misalkan H0 : pyx1 = 0
•
H1 : pyx1 ≠ 0
versus
Gunakan statistik uji
t=
(1 − R (
Pyxi
2 y x1 x2 ... xk )
) CR
( n − k − 1)
………………………………………….
(10)
xi xi
Dimana i = 1,2,…,k k = banyaknya peubah penyebab dalam sub struktur t berdistribusi t-Student dengan derajat bebas (n - k - 1) •
Tolak H0 jika t > t tabel.
•
Jika H0 diterima berarti peubah tersebut dapat dikeluarkan dari persamaan analisis jalur. Dan hitung ulang persamaan jalur yang baru tanpa peubah yang non-signifikan. Selanjutnya setelah mendapat persamaan jalur yang baru diuji lagi signifikansinya sampai semua peubah penyebab yang dimiliki signifikan terhadap peubah akibat. Inilah yang akan menjadi model persamaan analisis jalur.
3.7.2.4 Konseptualisasi Diagram Jalur Yang Akan Dianalisis Seperti dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, langkah pertama dari pengerjaan Analisis Jalur adalah menggambarkan terlebih dahulu diagram jalurnya sesuai dengan hipotesis yang akan diuji. Berdasarkan Gambar 1.1
77
berikut keterangannya pada Tabel 1.1 di dalam Bab-1, maka dapat dikonseptualisasikan sebuah model diagram jalur yang menayangkan hubungan pengaruh antara peubah eksogen terhadap peubah endogen dan antara suatu peubah endogen terhadap peubah endogen berikutnya sebagaimana pada Gambar 3.6. Gambar tersebut adalah model diagram jalur konseptual yang menayangkan
kesatuan
hubungan
kausal
model
eskalasi
konflik
yang
dipengaruhi oleh sub-model eksternalitas, sub-model persepsi dan ketimpangan struktural, sub-model kelangkaan, dan sub-model etik lingkungan. Berdasarkan bentuk umum persamaan jalur seperti pada persamaan (1), maka persamaan jalur yang dapat dibangun sebagai representasi sub-model eksternalitas adalah sebagai berikut:
X 6 = ρ 61 X 1 + ρ 62 X 2 + ρ 63 X 3 + ρ 64 X 4 + ρ 65 X 5 + ε ….……………
(11)
Dimana: X6 = peubah akibat keputusan konversi lahan kawasan oleh responden X1 = peubah bencana alam antropogenik X2 = peubah harga komoditi X3 = peubah informasi pasar X4 = peubah pengaruh pasar X5 = peubah sarana pendukung p61 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X6) dan peubah penyebab (X1), dan seterusnya hingga p65. adalah peubah residu
ε
Pada sub model persepsi dan ketimpangan struktural, terdapat dua persamaan jalur secara paralel, yang pertama yaitu:
X 10 = ρ107 X 7 + ρ108 X 8 + ρ109 X 9 + ε …………………….………….
(12)
Dimana: X10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden X7 = peubah tingkat partisipasi responden X8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden X9 = peubah tingkat keberdayaan responden P107 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X10) dan peubah penyebab (X7), dan seterusnya hingga p109. adalah peubah residu
ε
Sedangkan persamaan kedua pada sub-model ini, dimulai dari 3 buah persamaan jalur a13, b13, dan c13 sebagai berikut:
78
X 12 = ρ1216 X 16 + ρ1217 X 17 + ρ1218 X 18 + ε
…………………
(a13)
X 13 = ρ1316 X 16 + ρ1317 X 17 + ρ1318 X 18 + ε
……..…………
(b13)
X 14 = ρ1416 X 16 + ρ1417 X 17 + ρ1418 X 18 + ε
………………… (c13)
Dimana: X12 = peubah akibat persepsi tentang status kawasan hutan negara X13 = peubah akibat persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X14 = peubah akibat persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan X16 = peubah tingkat pendidikan pesponden X17 = peubah lama tinggal di kawasan X18 = peubah kosmopolitansi responden p1216 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X12) dan peubah penyebab (X16), dan seterusnya hingga p1218. p1316 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X13) dan peubah penyebab (X16), dan seterusnya hingga p1318. p1416 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X14) dan peubah penyebab (X16), dan seterusnya hingga p1418. adalah peubah residu
ε
Selanjutnya peubah akibat X12, X13, dan X14, menjadi menjadi peubah penyebab terhadap peubah akibat X15 yang juga diduga dipengaruhi oleh peubah X11, sehingga menghasilkan persamaan:
X 15 = ρ1510 X 10 + ρ1511 X 11 + ρ1512 X 12 + ρ1514 X 13 + ρ1514 X 14 + ε ……
(13)
Dimana: X15 = peubah akibat keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi X10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden X11 = peubah tindakan represif oleh pemerintah X12 = peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara X13 = peubah persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X14 = peubah persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan p1511 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X15) dan peubah penyebab (X11), dan seterusnya hingga p1514. adalah peubah residu
ε
79
Bencana alam antropogenik (X1)
Harga komoditi (X2)
Informasi pasar (X3)
p62
p63
Etik Ekosentris (X24)
Sarana pendukung (X5)
p65
p64
p61
Etik Antroposentris (X23)
Pengaruh Pasar (X4)
p1416
Tingkat pendidikan pesponden (X16)
p1217 Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
p1513 Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15)
p266
p2523 Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik (X25)
p2524
Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19)
p1316
p1512
P2220 Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20)
p1514
p1511 P1510
p2622
p2221 Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan (X21)
ESKALASI KONFLIK (X26)
p1317
Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)
p1417
p2615 p2625
p2219
p1216
Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12)
p2610
Tingkat keberdayaan responden (X9)
Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14)
p1418
Tindakan represif oleh pemerintah (X11)
Tingkat ordinasi responden (X10)
p109
p1318
p107 p108
Lama tinggal di kawasan (X17)
p1218 Kosmopolit ansi responden (X18)
Tingkat partisipasi responden (X7)
Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8)
Gambar 3.6. Diagram Jalur antara Sub-model Eksternalitas, Persepsi dan Ketimpangan Struktural, Kelangkaan, dan Etik Lingkungan; terhadap Eskalasi Konflik.
80
Pada sub model kelangkaan, persamaan jalur yang dapat dibangun adalah sebagai berkut:
X 22 = ρ 2219 X 19 + ρ 2220 X 20 + ρ 2221 X 21 + ε
…………………………
(14)
Dimana: X22 = peubah akibat persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan X19 = peubah penguasaan lahan pertanian di luar kawasan X20 = peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan X21 = peubah pendapatan rumahtangga responden di luar kawasan P2219 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X22) dan peubah penyebab (X19), dan seterusnya hingga p2221. adalah peubah residu
ε
Pada sub model etik lingkungan, persamaan jalur yang dapat dibangun adalah sebagai berkut:
X 25 = ρ 2523 X 23 + ρ 2524 X 24 + ε
………………………………….
(15)
Dimana: X25 = peubah akibat manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik X23 = peubah etik entroposentris X24 = peubah etik ekosentrik P2523 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X25) dan peubah penyebab (X23), dan seterusnya hingga p2524. adalah peubah residu
ε
Persamaan jalur eskalasi konflik kemudian dibangun berdasarkan persamaan jalur masing-masing sub model ( yaitu persamaan 11, 12, 13, 14, dan 15). Pada perumusan persamaan jalur eskalasi konflik, peubah endogen X6, X10, X15, X22, dan X25 kemudian menjadi peubah penyebab terhadap peubah endogen X26, sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:
X 26 = ρ 266 X 6 + ρ 2610 X 10 + ρ 2615 X 15 + ρ 2622 X 22 + ρ 2625 X 25 + ε ……
(16)
Dimana: X26 = peubah akibat Eskalasi Konflik X6 = peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden X10 = peubah tingkat ordinasi responden X15 = peubah keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan bernegosiasi X22 = peubah persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan X25 = peubah manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik P266 adalah koefisien jalur antara peubah akibat (X26) dan peubah penyebab (X6), dan seterusnya hingga p2625. adalah peubah residu
ε
81
Penghitungan di dalam Analisis Jalur memiliki tingkat kerumitan tersendiri mencakup tahapan penghitungan, jumlah peubah, dan jumlah koefisien jalur, dan jumlah responden contoh yang relatif besar. Oleh karenanya, Analisis Jalur di dalam penelitian ini akan dibantu dengan piranti lunak statistik LISREL 8.3.
Ukuran Kebaikan model Analisis Jalur merupakan analisis yang bersifat confirmatory, di mana model dibangun sebelum data diperoleh dan analisis dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana kesesuaian model dengan data yang digunakan (Bollen, 1989). Untuk penilaian kesesuaian model dengan data dapat digunakan ukuran-ukuran kebaikan model, salah satunya adalah Goodness of Fit Index (GFI). Formula bagi GFI ini adalah
(
)
ˆ −1S − I 2 ⎤ tr ⎡ Σ ⎢⎣ ⎥⎦ GFI = 1 − ……………………………………… (17) 2 ˆ −1S ⎤ tr ⎡ Σ ⎢⎣ ⎥⎦
(
)
ˆ adalah matriks dengan S adalah matriks korelasi data asal, sedangkan Σ korelasi hasil pengepasan model.
Ukuran GFI ini analog dengan koefisien
2
determinasi R pada analisis regresi. Pada berbagai analisis ilmu sosial, nilai GFI ≥ 0,80 mengindikasikan bahwa model yang dibangun sudah dapat dinyatakan sesuai dengan data yang dipergunakan.
3.7.3
Analisis Gaya Pengelolaan Konflik (Conflict Style Management) Yang Diragakan Oleh Masing-Masing Pihak Yang Terlibat Di Dalam Konflik Dan Polarisasi Konflik Yang Terjadi. Seperti ditayangkan pada Gambar 2.5, terdapat lima jenis gaya
pengelolaan konflik yang diperagakan oleh orang/kelompok yang bersengketa yaitu saling menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, dan kolaborasi (Isenhart dan Spangle (2000); Tajuddin (2000)). Di dalam bukunya, Avruch (1991) merepresentasikan kelima gaya pengelolaan konflik tersebut ke dalam bentuk pernyataan yang sihitung secara skor sebagaimana ditayangkan dalam Tabel 3.11.
82
Tabel 3.11. Gaya Pengelolaan Konflik dan Representasi Pernyataan Responden. SKor
Gaya Pengelolaan Konflik
Pernyataan responden
Skor tingkat ketegasan responden dalam memilih gaya
1
Saling menghindar,
Saya menjauhi ketidaksepakatan dan selalu mengindari diskusi terbuka tentang perbedaan
2
Kompetitif /represif
1,0 = Tidak memberikan komentar 1,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 1,4 = Tergantung 1,6 = Kemungkinan besar dilakukan 1,8 = Pasti dilakukan 2,0 = Tidak memberikan komentar 2,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 2,4 = Tergantung 2,6 = Kemungkinan besar dilakukan 2,8 = Pasti dilakukan
Saya yakin dengan posisi dan pandangan/pendapat saya dan menggunakan kekuatan/kemampuan saya agar pandangan/pendapat saya diterima pihak lain 3 Akomodatif Saya mencoba untuk mengakomodasi (memenuhi) kepentingan orang/pihak lain dan rela mengorbankan kepentingan diri sendiri. 4 Kompromistis Untuk menghindari kebuntuan, saya mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan saya dan harapan pihak lain. 5 Kolaborasi Saya mencoba membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama. Sumber: Avruch at all, 1999.
3,0 = Tidak memberikan komentar 3,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 3,4 = Tergantung 4,6 = Kemungkinan besar dilakukan 5,8 = Pasti dilakukan 4,0 = Tidak memberikan komentar 4,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 4,4 = Tergantung 4,6 = Kemungkinan besar dilakukan 4,8 = Pasti dilakukan 5,0 = Tidak memberikan komentar 5,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 5,4 = Tergantung 5,6 = Kemungkinan besar dilakukan 5,8 = Pasti dilakukan
Pada penelitian ini, pernyataan responden diminta terhadap isu-isu konflik yang teridentifikasi di lokasi, yang untuk sementara isu-isunya adalah yaitu: 1) Penataan batas kawasan hutan. 2) Status kawasan hutan. 3) Hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan. Merujuk kepada Tabel 3.4, sebanyak empat set kuesioner berbeda secara terpisah dipergunakan untuk mewawancara empat kelompok responden yang berbeda yaitu: (1) Kelompok masyarakat (Kelompok A), (2) Kelompok aparat desa/kecamatan dan PLTA (Kelompok B), (3) Kelompok aparat kabupaten (Kelompok C), dan (4) Kelompok aktifis independen (Kelompok D). Pemberian kuesioner kepada setiap kelompok renponsen diulang sebanyak tiga kali sesuai dengan jumlah isu konflik yang dianalisis. Rancangan petak terpisah (split plot design) dipergunakan secara berulang berdasarkan gaya pengelolaan konflik dan isu konflik yang dianalisis. Menurut Mattjik dan Sumbertajaya (2000),
rancangan petak terpisah (RPT)
merupakan bentuk khusus dari rancangan faktorial dimana kombinasi perlakuan
83
tidak diacak secara sempurna terhadap unit-unit percobaan. Matrik rancangan petak terpisah dalam analisis ini seperti ditayangkan pada Tabel 3.12, Tabel 3.13, dan Tabel 3.14. Rancangan petak terpisah seperti pada ketiga tabel tersebut ditujukan untuk melakukan pengujian bagaimanakah gaya pengelolaan konflik akan berbeda dikarenakan pihak yang bersengketa berbeda, dan isu konflik berbeda. Selanjutnya perbedaan itu dianalisis dengan uji
perbandingan berpasangan
(pairwise comparison) antar nilai tengah (mean) dengan menggunakan Uji Tukey (TS:q) dengan tingkat kepercayaan (level of confidence) α = 0,05. Para ahli statistik menyebut Uji Tukey sebagai uji beda nyata sesungguhnya (Honest Significance Difference/HSD). Menurut Jones (1996), Uji Tukey adalah posthoc test yang dilakukan apabila responden contoh (n) yang berada di dalam rancangan petak terpisah adalah sama. Namun demikian, menurut Neter et al (1992) perbedaan jumlah responden (n) dapat diabaikan dan Uji Tukey lebih disukai karena sifat statistikanya lebih bagus (honest significance). Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam rangkaian Uji Scheffe di dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut (Hall, 1998): (1) Membuat rancangan petak terpisah (RPT) terhadap responden contoh untuk kepentingan penghitungan nilai tengah ( x ). RPT diulang sebanyak tiga kali berdasarkan isu konfliknya sebagaimana ditayangkan pada Tabel 3.12, Tabel 3.13, dan Tabel 3.14 berikut. Perbedaan Nilai Tengah ( x ) antar Kelompok Responden Pada Topik Konflik Penataan Batas Kawasan hutan. Kelompok Responden Contoh (n=30) No Contoh (n)
Tabel 3.12
1 2 3 4 5 6 7 8
A Xa1 Xa2 Xa3 Xa4 Xa5 Xa6 Xa7 Xa8
B Xb1 Xb2 Xb3 Xb4 Xb5 Xb6 Xb7 Xb8
C xc1 xc2 xc3 xc4 xc5 xc6 xc7 Tidak ada
D Xd1 Xd2 Xd3 Xd4 Xd5 Xd6 Xd7 Tidak ada
Nilai Tengah ( x ) x a. x b. x c. x d. x .. Keterangan: Kelompok A = Kelompok masyarakat ; Kelompok B = Kelompok aparat desa/kecamatan dan PLTA ; Kelompok C = Kelompok aparat kabupaten ; Kelompok D = Kelompok aktifis independen
84
Tabel 3.13
Perbedaan Nilai Tengah ( x ) antar Kelompok Responden Pada Topik Konflik Status Kawasan Hutan. Kelompok Responden Contoh (n=30) No Contoh (n) 1 2 3 4 5 6 7 8
A Xa1 Xa2 Xa3 Xa4 Xa5 Xa6 Xa7 Xa8
B Xb1 Xb2 Xb3 Xb4 Xb5 Xb6 Xb7 Xb8
C xc1 xc2 xc3 xc4 xc5 xc6 xc7 Tidak ada
D Xd1 Xd2 Xd3 Xd4 Xd5 Xd6 Xd7 Tidak ada
Nilai Tengah ( x ) x a. x b. x c. x d. x .. Keterangan: Kelompok A = Kelompok masyarakat ; Kelompok B = Kelompok aparat desa/kecamatan dan PLTA ; Kelompok C = Kelompok aparat kabupaten ; Kelompok D = Kelompok aktifis independen
Perbedaan Nilai Tengah ( x ) antar Kelompok Responden Pada Topik Konflik Hak Masyarakat Atas Akses Pengelolaan Lahan Kawasan Hutan. Kelompok Responden Contoh (n=30) No Contoh (n)
Tabel 3.14
1 2 3 4 5 6 7 8
A Xa1 Xa2 Xa3 Xa4 Xa5 Xa6 Xa7 Xa8
B Xb1 Xb2 Xb3 Xb4 Xb5 Xb6 Xb7 Xb8
C xc1 xc2 xc3 xc4 xc5 xc6 xc7 Tidak ada
D Xd1 Xd2 Xd3 Xd4 Xd5 Xd6 Xd7 Tidak ada
Nilai Tengah ( x ) x a. x b. x c. x d. x .. Keterangan: Kelompok A = Kelompok masyarakat ; Kelompok B = Kelompok aparat desa/kecamatan dan PLTA ; Kelompok C = Kelompok aparat kabupaten ; Kelompok D = Kelompok aktifis independen
(2) Menyusun hipotesis statistik untuk uji keseluruhan (overall test) yaitu: •
Ho : μa = μb = μc = μd
•
H1 : Paling tidak ada 2 nilai tengah yang tidak sama
Keterangan: μa = Nilai tengah pihak masyarakat μb = Nilai tengah pihak aparat desa/kecamatan dan PLTA μc = Nilai tengah pihak aparat kabupaten μd = Nilai tengah pihak aktifis independen
(3) Hipotesis pada butir 2 tersebut kemudian diuji dengan Analisis Varian (analisis ragam) dengan rumus perhitungan seperti tertera dalam Tabel 3.15 sebagai berikut:
85
Tabel 3.15 Analisis Ragam Bagi Klasifikasi Satu-arah Sumber Jumlah Kuadrat Keragaman
Derajat Bebas
Nilai tengah Kolom
JKK (Jumlah Kuadrat Nilai Tengah Kolom)
k–1
Galat
JKG (Jumlah Kuadrat Galat)
k (n – 1)
Total
JKT (Jumlah Kuadrat Total)
nk – 1
Kuadrat Tengah F hitung
JKK k −1 JKG s 22 = k (n − 1) s12 =
s12 s 22
Keterangan: k = jumlah kolom/kelompok ; n = jumah responden contoh (30 responden);
s12 = ragam nilai tengah kolom; s 22 = ragam galat. Sumber: Walpole (1995).
Kriteria pengambilan keputusan: •
Fhitung > Ftabel Æ tolak Ho
•
Fhitung < Ftabel Æ terima Ho
Melengkapi Tabel 3.16 tersebut diatas, nilai JKK, JKG, dan JKT dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
k
JKK = n∑ ( x a. − x .. ) 2 ...........................................................................
(18)
a =1 k
n
JKG = n∑∑ ( x aj − x a. ) 2 ....................................................................
(19)
a =1 j =1
Keterangan: JKK = Jumlah kuadrat nilai tengah kolom; JKG = Jumlah kuadrat galat. n = jumlah responden contoh
xaj
= skor hasil pengamatan ke j dari kelompok a.
x a.
= nilai tengah kelompok ke-a
x..
= rata-rata dari semua nk (nilai tengah kelompok) dari skor hasil pengamatan
Dengan demikian, identitas jumlah kuadrat tersebut dapat dilambangkan melalui persamaan:
JKT = JKK − JKG
............................................................................
Keterangan: JKT = Jumlah Kuadrat Total
(20)
86
(4) Langkah berikutnya yaitu melakukan posthoc test Uji Tukey (TS:q). Uji ini dilakuan dengan syarat apabila pada analisis ragam sebelumnya diperoleh keputusan menolak Ho. Untuk melakukan Uji Tukey, mula-mula dibangun hipotesis statistik sebagai berikut: Ho: x a = x b H1: x a ≠ x b Kemudian hipotesis tersebut diuji dengan Uji Tukey dengan rumus sebagai berikut:
TS : q =
xa − xb S w2
.........................................................................
(20)
n
Keterangan:
TS : q xa xb n S w2
= T – Tukey hasil perhitungan
= nilai tengah kelompok a = nilai tengah kelompok b = jumlah responden contoh = ragam gabungan antara dua kelompok (kelompok a dan kelompok b)
Kriteria pengambilan keputusannya adalah: •
TS : q Hitung > TS : q Tabel Æ tolak Ho.
•
TS : q Hitung < TS : q Tabel Æ terima Ho.
(5) Uji Tukey merupakan uji beda (Honestly Significance Difference) antara 2 nilai tengah kelompok, misalnya antara nilai tengah kelompok a ( x a) dan nilai tengah kelompok b ( x b). Pada penelitian ini, terdapat 4 kelompok yang diuji beda nilai tengah gaya mengelola konflik antara dua kelompok, sehingga perlu dibuat maktriks kombinasi perbandingan nilai tengah antar kelompok yang diteliti seperti tertulis dalam Tabel 3.16. Penggunaan tabel tersebut berlaku pada tiga isu konflik yang diteliti.
87
Tabel 3.16 Matriks Kombinasi Uji Nilai Tengah ( x ) Antar Kelompok. Nilai tengah ( x ) Kelompok
xa xb xc xd
xa
xb
xc
xb
-
TS:q (ba)
TS:q (ca)
TS:q (da)
TS:q (ab)
-
TS:q (cb)
TS:q (db)
TS:q (ac)
TS:q (bc)
-
TS:q (dc)
TS:q (ad)
TS:q (bd)
TS:q (cd)
-
Selain melakukan analisis gaya mengelola konflik dengan menggunakan Uji Tukey, juga dilakukan analisis kualitatif tentang polarisasi konflik yang terjadi mencakup siapa bekonflik dengan siapa, dengan wawancara terbuka kepada setiap responden contoh. 3.7.4 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Secara Kognitif Didasarkan Kepada Pengalaman Yang Diperoleh Para Pihak Yang Bersengketa. Pengembangan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif dilakukan dengan pendekatan analisa sistem lunak (soft system analysis) secara partisipatoris dengan menggunakan metode Sistem Analisis Sosial (Social Analysis System = SAS) yang dikembangkan oleh Chevalier (2003). Pada awal pengembangannya, metode ini diberi nama Stakeholder/social Information System (SIS) beranjak pada pentingnya pengelolaan stakeholder capitalism selain dari human capital dan social capital dalam berbagai penanganan konflik pengelolaan sumberdaya alam (Chevalier, 2001). Pengertian stakeholder disini adalah para pihak yang bersengketa (disputants) atau berkonflik. Pemanfaatan teknik-teknik analisis di dalam metode SAS tidak ditujukan untuk penyelesaian konflik melainkan untuk memperoleh gambaran konflik secara lebih seksama (clarity) sehingga dapat dipergunakan untuk upaya penyelesaian berikutnya. Metode Sistem Analisis Sosial (SAS) merupakan salah satu metode analisis sistem lunak yang terus berkembang hingga kini. Menurut Chevalier (2003) yang mengembangkan SAS, metode ini merupakan metoda adaptif yang mencakup : 1) Perangkat analisis para pihak/sosial (stakeholder/social analysis tools) yang dapat diterapkan dalam analisis konflik, masalah, proyek atau kebijakan pengelolaan (management policy) yang didalamnya merupakan telaahan
88
terhadap hubungan kekuasaan, kepentingan, posisi, dan pandangan para pihak terhadap situasi tertentu. 2) Metode partisipatif berbasis para pihak yang dapat menciptakan waktu dan ruang untuk bersama-sama melakukan diagnosa serta mencari jalan keluar atas suatu masalah atau perbedaan secara lintas batas/sekat sosial. 3) Teknik yang dipergunakan amat fleksibel/kenyal sehingga rentang skalaskala yang dipergunakan bisa disesuaikan ke atas atau ke bawah. 4) Alat analisis dapat diandalkan untuk membantu membongkar konstruksi pemikiran (mental constructs), memetakan alam pikiran (mind mapping) dari para pihak yang berkepentingan (interest group/stakeholder). 5) Teknik matriks (kisi-kisi) yang serbaguna dan dapat diperluas untuk mencakup kajian masalah-masalah pengelolaan sumberdaya alam dan sistem pengetahuan (knowledge system) yang terkait dengannya. 6) Dapat dipergunakan oleh pengelola proyek (project manager) untuk merancang tujuan-tujuan perencanaan strategis, sistemik, terpadu dan bersifat action (tindakan). 7) Cakupan yang luas dari beragam teknik yang dikenal luas yang dikutik dan diadaptasi dari pelbagai disiplin ilmu, termasuk penelitian tindak partisipatoris (participatory action research), ilmu-ilmu lingkungan, sosiologi, antropologi, ekonomi, pengelolaan konflik (conflict management), psikologi klinis, dan administrasi bisnis. 8) Pengelolaan analisis secara moduler (analisis masalah, analisis stakeholder, analisis profil, analisis posisi, analisis cara (paths)) serta dapat menyediakan beragam hasil penggunaan teknik secara berurutan. 9) Perspektif konseptual beragam mencakup anasir-anasir dari ekonomi politik, ekonomi
formal,
penelitian
aksi,
dan
konstruksivisme
sosial
(social
constructivism Penggunaan SAS di dalam penelitian ini akan merujuk kepada (1) temuan tentang adanya peubah-peubah yang menjadi penyebab eskalasi konflik yang diperoleh dari hasil analisis diagram jalur dan (2) temuan tentang gaya mengelola konflik yang diragakan oleh para pihak yang terlibat. Topik analisis dan teknik yang dipergunakan dalam pengembangan model penanganan konlfik secara kognitif sebagaimana diuraikan di dalam Tabel 3.17.
89
Tabel 3.17. Topik Analisis, Tujuan dan Teknik yang Dipergunakan dalam Pengembangan Model Penanganan Konflik Secara Kognitif. No. Topik
Tujuan
Teknik
1.
•
Problem Masalah)
•
Force Field Pendesak)
•
Timeline analysis (Analisis rentang waktu)
•
Power, Interests, and Legitimacy = PIL (kekuatan, kepentingan, dan legitimasi) Uppers and Lowers Analysis (Analisa yang kuat dan yang lemah) Position, Interest, and Needs (Posisi, Kepentingan, dan Kebutuhan)
Analisis 1.
Analisis masalah
dasar
2.
3.
2.
Analisis profil para pihak
1.
Mengetahui hubungan sebabakibat permasalahan secara bertingkat Memahami pandangan para pihak tentang faktor yang paling menentukan timbulnya masalah Mengidentifikasi peristiwaperistiwa yang telah menciptakan berbagai situasi konflik sepanjang waktu Mengetahui kekhasan (saliency) para pihak
2.
Mengetahui ragam hubungan
•
Mengetahui kemungkinan dapat dilaksanakannya negosiasi dan kerjasama berdasarkan posisi, kepentingan, dan kebutuhan Membantu para pihak membangun visi masa depan bersama dan menyusun sekala prioritas yang akan dikembangkan Menilai/menguji skenarioskenario alternatif menuju masa depan ideal Menentukan tingkat dukungan yang layak/pantas diperlukan untuk mewujudkan rencana
•
3.
Analisis posisi para pihak
1.
4.
Analisis cara penanganan konflik
1.
2. 3.
Tree
(Pohon (Faktor
•
Elaborating Ideal Scenario (Skenario Ideal Diurai)
•
Alternatif Scenario (Skenario Pilihan)
•
Preferred Options and Gradient Polling (Pengutamaan Pilihan secara gradient polling)
Sumber: Chevalier, 2003
Metode SAS dilaksanakan dengan kombinasi teknik CAPs dan Metode Delphi. Oleh karena itu analisis-analisis dalam metode SAS dilakukan dengan cara memfasilitasi berlangsungnya diskusi kelompok terfokus (Focussed Group Discussion = FGD). FGD dilaksanakan secara dua lapis yaitu: (1) Lapis pertama, FGD dilaksanakan secara ekslusif di tingkat komunitas masing-masing pihak yang bersengketa. Pada lapis ini, pengembangan model kognitif dilakukan secara terpisah (parsial) dan teknik ini dikenal dan sering dipakai pada penanganan konflik ketika para pihak enggan atau tidak mau untuk saling bertemu dan/atau bersikap kompetitif dan menekan/represif satu sama lainnya; (2) Lapis kedua,
90
FGD dilaksanakan untuk kedua kalinya dengan menghadirkan semua pihak yang terlibat langsung (aktual) dalam persengketaan dalam suatu pertemuan. Pada lapis ini, pengembangan model kognitif dilakukan secara bersama-sama dan teknik ini memungkinkan untuk dilakukan jika para pihak bersikap akomodatif, kompromis, dan kolaboratif satu sama lainnya. Sebelum mempertemukan para pihak, diperlukan keyakinan bahwa mereka memiliki keinginan untuk duduk bersama membahas perbedaan-perbedaan yang terjadi antar mereka.
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN
4.1 Letak Geografis Wilayah Propinsi Lampung Propinsi Lampung dibentuk berdasarkan UU No 14 Tahun 1964 tanggal 8 Maret 1964. Secara geografis Propinsi Lampung terletak di bagian ujung tenggara Pulau Sumatera pada posisi 103°40′ - 105°50′ Bujur Timur dan 3°45′ - 6°45′ Lintang Selatan. Batas-batas wilayah administrasi Propinsi Lampung adalah: (1) sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Bengkulu dan Propinsi Sumatera Selatan; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda; (3) sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia (Gambar 4.1) .
PETA ADMINISTRASI PROPINSI LAMPUNG TAHUN 2001
N Prop. Sumatera Selatan
Y ##Y
Blambangan Umpu
Y #
Menggala Y #
Prop. Bengkulu Kota Bumi Y #
Gunung Sugih Y # Y #
Sukadana
Liwa
Y # Y Metro #
Ibu Kota Kabupaten/Kota Jalan Arteri Jalan Kereta Api Jalan Kolektor Bandar Lampung Kodya Metro Lamp. Selatan Lamp.Tengah Lamp. Timur Lamp. Utara Lamp. Barat Tanggamus Tl.Bawang Waykanan
a er ud m Sa
B. Lampung Kota Agung
Y #
Y #
ia nd Hi
Kalianda Y #
Selat Sunda
Sumber : Bappeda Propinsi Lampung, 2001.
Gambar 4.1 Peta Administrasi Propinsi Lampung
Prop. Lampung
92
Luas daratan Propinsi Lampung ± 35.376 km², dengan panjang garis pantai 1.105 km (termasuk 69 pulau kecil - terbesar Pulau Tabuan), dan memiliki dua teluk besar, yaitu Teluk Lampung dan Teluk Semangka. Sedangkan luas perairan pesisir ± 16.625 km² (berdasarkan UU 22/99), sehingga luas Propinsi Lampung secara keseluruhan (darat + pesisir) ± 51.991 km² (CRMP, 1999). Propinsi Lampung berada pada posisi yang sangat strategis karena merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera ke Pulau Jawa dan sebaliknya, dengan dukungan sarana prasarana transportasi yang relatif lancar (angkutan darat dan ferry). Propinsi Lampung juga berada pada jalur alternatif pelayaran internasional, sehingga Pelabuhan Panjang dibangun dan difungsikan dalam sekala internasional. Secara administratif Propinsi Lampung terdiri dari 8 Kabupaten dan 2 Kota sebagaimana tertera di dalam Tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2 Ibukota, Luas dan Jarak Ibu kota Kab. /Kota ke Ibukota Propinsi sePropinsi Lampung No.
Kab /Kota
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bandar Lampung Metro Lampung Selatan Lampung Barat Lampung Tengah Lampung Timur Lampung Utara Tanggamus Way Kanan Tulang Bawang Propinsi
Ibu Kota Bandar Lampung Metro Kalianda Liwa Gunung Sugih Sukadana Kotabumi Kota Agung Blambangan Umpu Menggala Bandar Lampung
Luas (Ha)
Jarak Ibu Kota Kab/Kota ke Ibukota Prop. (Km)
19.296 6.179 318.078 495.040 478.982 433.789 272.563 335.661 392.163 777.084 3.528.835
0,00 48,25 65,00 241,1 60,00 72,00 107,00 93,70 210,00 120,00 0,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2005.
4.2 Tata Guna Lahan dan Tata Guna Hutan Propinsi Lampung 4.2.1 Tata Guna Lahan Penggunaan lahan di Propinsi Lampung pada saat ini adalah untuk pertanian seluas 501.119 Ha (14,2%), perkebunan seluas 834.919 Ha ( 23,7%), permukiman seluas 169.506 Ha (4,8%) dan lain-lain termasuk kawasan rawa seluas 1.018.556 Ha (28,8%). Secarai rincik terdapat pada Tabel 4.3.
93
Tabel 4.3 Tata Guna Tanah di Propinsi Lampung menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Lampung, 2004. No 1
Peruntukan
Luas (Ha)
Prosentase
Perkampungan
248.109
7,03
2
Sawah
284.664
8,07
3
Tegalan & Ladang
675.860
19,15
4
Perkebunan
703.945
19,95
5
Kebun Campuran
327.866
9,29
6
Alang-alang
7
Hutan
90.164
2,56
1.004.735
28,47
8
Rawa & Danau
15.591
0,44
9
Tambak
33.844
0,96
10
Lain-lain
Total Sumber : Lampung Dalam Angka, 2005.
49.523
4,08
3.301.545
100,00
4.2.2 Tata Guna Hutan Di dalam 10 tahun terakhir, luas kawasan hutan yang dinyatakan dalam dokumen Tata Guna Hutan Propinsi Lampung telah mengalami perubahan (Tabel 4.4). Perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mengacu kepada dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan Tahun 1991 (Sk Menhut No.67/Kpts-II/1991), hingga tahun 1997 luas kawasan hutan Propinsi Lampung adalah 1.237.268 hektar. Penetapan luasan kawasan hutan merujuk kepada Undang-undang Kehutanan yang berlaku yaitu disyaratkan luas kawasan adalah 30 persen dari total luas wilayah propinsi. Luas tersebut tidak berubah hingga tahun 1998. 2. Pada tahun 1999, setelah dilakukan pengukuran kembali, luas kawasan menurun menjadi 1.164.512 hektar. Menurut hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, penurunan tersebut adalah implikasi dari pengukuran ulang melalui proyek-proyek tata batas kawasan hutan yang dilakukan. 3. Pada tahun 2000, luas kawasan hutan kembali menurun menjadi 1.004.735 hektar. Penurunan tersebut disebabkan adanya kebijakan pemerintah mengalih fungsikan Kawasan Hutan Produksi Dapat dikonversi (HPK) menjadi bentuk penggunaan non-hutan. Pengalih-fungsian kawasan tersebut dilandaskan pada
94
kenyataan di lapang bahwa HPK pada umumnya sudah beralih fungsi karena adanya okupasi oleh masyarakat dan bahkan oleh pemerintah sendiri. Pelabuhan Udara Beranti misalnya, adalah infrastruktur transportasi udara yang berada di dalam kawasan HPK. Selain itu, yang paling utama sebagai dasar pengambilan keputusan adalah adanya kebijakan pertanahan Pemerintah Propinsi yaitu “Tanah Untuk Rakyat”. Kebijakan tersebut setidaknya tertuang didalam (1) Pidato politik Gubernur Propinsi Lampung pada acara pelantikan anggota DPRD periode Tahun 1999-2004, (2) Propeda Propinsi Lampung Tahun 2000-2005, dan (3) Rencana Strategis Pembangunan Propinsi Lampung Tahun 2000-2005.
Tabel 4.4 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya Tahun 1997 – 2001 No 1. 2. 3. 4. 5.
Fungsi Hutan Hutan Lindung Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi yang dapat di Konservasi Jumlah
1997 Luas ( Ha )
1998 Luas ( Ha )
1999 Luas ( Ha )
2000 Luas ( Ha )
2001 Luas ( Ha )
336.100 422.500
336.100 422.500
351.531 422.500
317.615 462.030
317.615 462.030
44.120 281.089 153.459
44.120 281.089 153.459
44.120 192.902 153.459
33.358 191.732 -
33.358 191.732 -
1.237.268
1.237.268
1.164.512
1.004.735
1.004.735
Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, 2002
Perubahan luasan kawasan hutan tersebut kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 256/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± 1.004.735 hektar (Tabel 4.5); sehingga kawasan HPK di Propinsi Lampung yang semula seluas 153.459 hektar, statusnya terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Dipertahankan seluas 8.333 hektar (5%), yang terdiri dari wilayah sempadan pantai, rawa habitat satwa langka, muara sungai, kawasan lintasan gajah dan kawasan penyangga hutan lindung. 2. Dilepaskan seluas 145.125 hektar (95%), yang secara defakto sudah diokupasi masyarakat menjadi kawasan permukiman dan lahan garapan. Redistribusi lahan
kepada
masyarakat
ini
dilakukan
dengan
pendekatan
keadilan,
95
pemerataan, kewajaran, pelestarian lingkungan hidup dan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang diatur melalui Peraturan Daerah Propinsi Lampung No.6 Tahun 2001 tentang Alih Fungsi Lahan Dari Eks Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) Seluas + 145.125 hektar Menjadi Kawasan Bukan HPK Dalam Rangka Pemberian Hak Atas Tanah. 3. Peruntukan penggunaan lahan di kawasan eks HPK kemudian digunakan untuk permukiman seluas 248.109 hektar dan untuk tegalan seluas 92.240,37 hektar dan terdistribusi kepada 127.236 orang di 6 kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah, Tanggamus, Way Kanan dan Lampung Barat. Dengan dikeluarkannya keputusan tersebut, maka luas wilayah hutan di Propinsi Lampung menjadi 1.004.735 hektar yang terdiri dari Hutan Lindung 317.615 hektar (32%), Hutan Suaka Alam & Hutan Wisata 462.030 hektar (46%), Hutan Produksi Terbatas 33.358 hektar (3%) dan Hutan Produksi Tetap 191.732 hektar (19%). Tabel 4.5 Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Per Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung Menurut SK.Menhutbun No.256/KPts-II/2000. No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kabupaten/Kota
Bandar Lampung Lampung Selatan Tanggamus Lampung Tengah Lampung Timur Lampung Utara Lampung Barat Way Kanan Tulang Bawang Metro Total PROPINSI
Luas dan Fungsi Kawsan Hutan (Ha) HSA/TN
HL
HP
HPT
300,00 35.683,00 13.345,00 0,00 125.621,00 0,00 287.081,00 0,00 0,00 0,00 462.030,00
100,00 26.373,16 141.881,35 28.431,72 21.616,30 29.500,00 48.923,37 20.789,10 0,00 0,00 317.615,00
0,00 44.801,05 0,00 12.500,00 13.175,00 10.056,00 0,00 57.180,03 54.570,92 0,00 191.732,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 33.358,00 0,00 0,00 0,00 33.358,00
Jumlah (ha)
400,00 106.357,21 155.226,35 40.931,72 160.412,30 39.555,00 369.362,37 77.919,13 54.570,92 0,00 1.004.735,00
Sumber: Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.256/KPts-II/2000.
4.2.3 Tutupan Lahan Hutan (Forest Land Cover) Menurut Santoso (2002), guna mengetahui kondisi terakhir sebaran luas penutupan lahan hutan (forest land cover) pada kawasan hutan (negara) telah dilakukan analisis data untuk Propinsi Lampung oleh Badan Planologi Departemen
96
Kehutanan melalui suatu proses penampalan (overlaying) secara digital antara 2 (dua) jenis data yaitu: • Hasil deliniasi kawasan hutan yang telah ditunjuk Menteri Kehutanan dari Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi dan Perairan skala 1 : 250.000 yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 256/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± 1.004.735 hektar, dan • Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra satelit (Landsat 7 ETM+) liputan tahun 2000 yang diklasifikasikan ke dalam 21 kelas yang dibagi menjadi 3 (tiga) kategori berhutan, tidak berhutan dan tidak ada data (berawan) yaitu:
-
Areal Berhutan hutan lahan kering primer; hutan lahan kering sekunder; hutan mangrove primer; hutan mangrove sekunder/tebangan; hutan tanaman; hutan rawa primer; hutan rawa sekunder/tebangan; Areal Tidak Berhutan semak belukar; perkebunan; permukiman; tanah terbuka; tubuh air; belukar rawa; pertanian lahan kering; pertanian lahan kering campur semak; sawah; pertambangan; tambak; transmigrasi; rawa; Areal Tidak Ada Data tertutup awan.
Hasil penampalan data penutupan lahan dengan data kawasan hutan secara digital tersebut apabila dijumlahkan luasnya berbeda dengan data resmi luas penunjukan kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan (SK Menteri Kehutanan) propinsi yang menggunakan peta manual, terutama kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas. Data luas kawasan hutan pada peta manual tersebut adalah data hasil pemaduserasian TGHK dan RTRWP (sebagai komitmen antara Departemen Kehutanan dengan Pemerintah Daerah Tingkat I
97
propinsi) ditambah luas kawasan konservasi perairan dan luas pulau-pulau kecil yang belum dipetakan ketika dilakukan pemaduserasian. Hasil penampalan kedua data/peta Propinsi Lampung tersebut disajikan pada Tabel 4.6 yang memperlihatkan kondisi penutupan lahan di kawasan hutan (khususnya Hutan Lindung dan Hutan Produksi) tahun 2000, sedangkan data yang lengkap termasuk kawasan konservasi disajikan pada Lampiran 5. Tabel 4.6 Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi di Propinsi Lampung Tahun 2000 No
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. B. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. C. 21.
Penutupan Lahan
Areal Berhutan Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Hutan Tanaman Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Jumlah-A Areal Tidak Berhutan Semak / Belukar Perkebunan Permukiman Tanah Terbuka Tubuh Air Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Pert. Lhn. Krg. Campur Semak Sawah Pertambangan Tambak Transmigrasi Rawa Jumlah – B Tidak Ada Data Tertutup awan Jumlah – C TOTAL A+B+C
Hutan Lindung (Ha)
Hutan Produksi Terbatas (Ha)
Hutan Produksi Tetap (Ha)
5.951,54 46.081,81 0 47,02 0 2.411,60 0 54.491,97
512,50 10.067,44 0 0 0 0 0 10.579,94
0 13,11 0 0 71.607,08 0 0 71.620,19
35.697,43 1.135,18 18,20 0 0 0 634,87 195.781,87 347,29 0 1.367,25 0 2.707,45 237.689,54
6.867,85 0 41.046,44 0 0 0 1.264,76 15.615,67 628,63 0 13,59 0 0 65.436,94
5.425,43 6.121,52 320,73 0 0 3.224,90 3.994,24 67.684,76 4.823,39 0 509,74 0 4.705,10 96.809,81
25.504,09 25.504,09 317.685,60
0 0 76.016,88
3.503,73 3.503,73 171.933,73
Sumber : Badan Planologi Kehutanan, 2002
Berdasarkan pada Tabel 4.6 tersebut, pada Tahun 2000 di Propinsi Lampung, •
Kawasan Hutan Lindung seluas 317.685,6 hektar yang masih berhutan tinggal seluas 54.491,97 hektar (17,15 %), sedangkan sebagian besar tidak berhutan
98
seluas 237.689,54 hektar (74,82 %), sisanya tidak dapat diidentifikasi karena di areal tersebut citra satelitnya tertutup awan. •
Pada Hutan Produksi Terbatas seluas 65.436,94 hektar (sebesar 86,08 %) tidak berhutan lagi, dan seluas 10.579,94 hektar (13,92 %) berhutan.
•
Untuk Hutan Produksi Tetap seluas 96.809,81 hektar (56,31 %) tidak berhutan dan sisanya seluas 71.620,19 hektar (41,66 %) masih berhutan.
Gambar 4.2 Peta Penutupan Lahan Propinsi Lampung, 2000 (Sumber: Badan Planologi Kehutanan, 2002)
4.2.4 Lahan Kritis Di dalam kebijakan kehutanan Propinsi Lampung, pengertian lahan kritis disini adalah lahan-lahan yang dianggap tidak mampu lagi menyangga fungsi sesuai peruntukannya secara minmal. Menurut Balai Pengelolaan Daerah aliran Sungai (BPDAS) Way Seputih – Way Sekampung (2002), luas lahan kritis di Propinsi
99
Lampung meningkat sepanjang tahunnya. Hal tersebut disebabkan oleh konversi lahan yang eksploitatif, tidak jelasnya status lahan di berbagai bagian wilayah sehingga terjadinya okupasi lahan, dan lemahnya praktik-praktik manajemen konservasi lahan di wilayah tersebut. Selama tenggat waktu Tahun 1998 – 2000, tercatat peningkatan jumlah lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 46.710 hektar, sementara di luar kawasan hutan meningkat seluas 90.895 hektar. Secara rincik terdapat di dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Keadaan Lahan Kritis di Propinsi Lampung Tahun 1998 – 2000 1998 No
KAB./KOTA
1999
2000
Dalam Kawasan
Luar Kawasan
Dalam Kawasan
Luar Kawasan
Dalam Kawasan
Luar Kawasan
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(Ha)
110.613 65.273 61.686 31.030 268.602
29.714 64.596 94.497 30.232 219.039
44.226 80.672 74.520 13.960 17.530 21.500 22.000 22.580 296.988
52.437 19.937 148.086 6.740 7.830 75.000 15.000 22.566 347.596
aktifitas
manusia
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Lampung Selatan 127.758 21.038 Bandar Lampung Tanggamus Lampung Barat 63.900 56.943 Lampung Utara 40.329 108.555 Way Kanan Tulang Bawang Lampung Timur Lampung Tengah 17.391 70.165 Metro JUMLAH 249.378 256.701 Sumber : BPDAS Way Seputih - Way Sekampung, 2002.
Permasalahan
lahan
kritis
yang
timbul
akibat
(antroposentris) baik di dalam dan di luar kawasan hutan selalu menjadi perhatian karena implikasi bencana alam yang dapat ditimbulkan. Demikian pula dengan kawasan Hutan Lindung di Propinsi Lampung yang sebesar 74,82 persen wilayahnya sudah tidak berhutan lagi ditengarai sebagai penyebab bencana alam tersebut terutama longsor dan banjir. Penengaraaan tanpa melihat kondisi di lapangan,
misalnya
sejarah
pendudukan
lahan
oleh
masyarakat,
acapkali
menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah dengan rakyat. Hal ini amat sering terjadi di Propinsi Lampung. Menurut Kurworo (2000),
dalam bidang kehutanan
Lampung acapkali disebut sebagai salah satu ’contoh terbaik’ dari ‘gagalnya’ kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia di samping daerah-daerah lainnya seperti Kalimantan; kerusakan hutan yang telah dan tengah berlangsung dan maraknya konflik kehutanan di Lampung menjadi indikasi pernyataan tersebut.
100
4.3 Konflik Pertanahan Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung Beragamnya penduduk, baik antara penduduk asli dan pendatang, antar etnis/suku, maupun penguasaan lahan oleh perusahaan (perkebunan) dalam jumlah besar serta kurangnya perhatian pengusaha pada kehidupan perekonomian masyarakat sekitar, merupakan salah satu penyebab timbulnya konflik kepemilikan lahan. Konflik ini semakin sulit diatasi, karena masing-masing pihak yang bersengketa bertahan dengan argumentasi yang didasarkan pada bukti-bukti formal yang dimiliki. Di satu sisi pihak pengusaha mengacu pada hukum positif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bukti produk hukum sertifikat HGU, HPH, HGB, dll, yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang berwenang, sementara disisi lain masyarakat berpegang pada paradigma hukum adat seperti hak ulayat, hak marga, dan hak kekerabatan. Sengketa pertanahan pada awal reformasi (awal tahun 1998) mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kebijakan pertanahan pada masa 1998 - 2000 berdasarkan pada Pokok-Pokok Reformasi Daerah Lampung mengamanatkan “Penyelesaian secara bertahap kasus-kasus pertanahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan mempersiapkan proses penyelesaian kasus pertanahan yang berpihak pada kebenaran hukum dan berpihak kepada rakyat yang benar secara hukum dan tidak mengabaikan azas kelestarian lingkungan“ Kinerja Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan kasus pertanahan dari tahun 1998 - 2002 cenderung meningkat. Pada tahun 1998 hingga pertengahan tahun 1999 terjadi 220 kasus yang muncul dan terselesaikan sebanyak 44 kasus atau sebesar 20%. Pada akhir tahun 1999 dari 260 kasus yang terjadi, yang terselesaikan sebanyak 71 kasus (27%) dan sisanya 169 kasus menjadi kasus di tahun 2000 ditambah kasus baru yang sehingga total kasus di Tahun 2000 sebanyak 260 kasus, dan yang dapat diselesaikan sebanyak 101 kasus (39%). Pada tahun 2001 dari 327 kasus persengketaan tanah yang terselesaikan sebanyak 240 kasus (73%), selanjutnya pada tahun 2002 dari 327 kasus yang dapat diselesaikan s/d Juli 2002 sebanyak 249 kasus (76%), dan sisanya 78 kasus akan diselesaikan pada masa selanjutnya secara bertahap.
Rincian penyelesaian sengketa tanah
yang ada di Propinsi Lampung sampai dengan bulan Juli 2002 tercantum dalam Tabel 4.8.
101
Tabel 4.8. Penyelesaian Kasus Tanah di Propinsi Lampung Tahun 1999 - 2002 TAHUN
Kasus yang terjadi
Jumlah Kasus Selesai
Persentase Kasus Selesai
1988 1999 2000 2001 2002
220 260 260 327 327
44 71 101 240 249
20 % 27 % 39 % 73 % 76 %
Sumber : Bappeda Lampung dan ICRAF, 2003.
Gambar 4.3a, Tahun 2003
Gambar 4.3b, Tahun 2000
Gambar 4.3 Pendudukan lahan Taman Nasional Way Kambas oleh masyarakat adat Marga Subing (Sumber photo 4.3a: Peneliti); dan Demonstrasi rakyat yang menggugat status pertanahan di Kantor Gubernur Propinsi Lampung (Sumber photo 4.3b: Lampung Post)
Untuk memberikan kepastian hukum atas hak tanah di luar kawasan hutan kepada masyarakat maka pemerintah memberikan pelayanan penerbitan sertipikat. Agar sertifikasi tanah dapat diterbitkan dalam jumlah yang banyak dan secara serempak ditempuh upaya pensertipikatan tanah secara massal. Kegiatan sertipikasi secara massal mempermudah masyarakat untuk memperoleh sertipikat karena segala layanan administrasi dilakukan di lokasi. Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal pada awalnya didanai dari pemerintah. Mengingat kemampuan pemerintah mendanai kegiatan pensertipikatan tanah secara massal terbatas sedangkan sasaran kegiatan masih sangat besar maka diupayakan sumber dana melalui pola swadaya masyarakat. Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal yang dilaksanakan dapat melalui proses (1) PRONA APBN, (2) Pensertipikatan tanah transmigrasi, (3) PRONA swadaya, (4) Ajudikasi swadaya, dan (5) Redistribusi tanah swadaya. Secara keseluruhan jumlah
102
sertipikat tanah yang diterbitkan dari tahun 1998 -1999 s/d 2002 sebanyak 170.489 bidang, yang diterbitkan melalui sbb : (1) Prona APBN sebanyak 23.165 bidang (14%), (2) Prona Swadaya sebanyak 71.361 bidang (42%), (3) Ajudikasi swadaya sebanyak 22.745 Bidang (13%), (4) Redistribusi tanah swadaya sebanyak 12.249 bidang (7%), (5) Tanah transmigrasi sebanyak 40.969 bidang (24%). Dari semua kasus tanah yang diselesaikan, kasus-kasus yang terjadi di dalam kawasan hutan hingga kini penyelesaiannya masih menghadapi kebuntuan. Seperti dinyatakan dalam Bab 1.2 penelitian ini, pada tahun 1999 sebanyak 45 kasus konflik pertanahan terjadi di dalam kawasan hutan yang diantaranya adalah di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat.
4.4
Kawasan Hutan Lindung Register 45B Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat.
Bukit
Rigis,
Kecamatan
4.4.1 Kondisi Umum Tata Guna Hutan Di Kabupaten Lampung Barat Kabupaten yang dibentuk berdasarkan UU No. 6 tahun 1991 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1991 beribukota di LiwaTotal luas wilayah kabupaten adalah 474.989 hektar. Berdasarkan Tabel 4.5, total luas kawasan hutan di Lampung Barat yaitu 369.362,37 hektar atau sebesar 77,76% luas wilayah kabupaten adalah kawasan hutan yang terdiri dari: (1) Hutan Suaka Alam dan Taman Nasional seluas 287.081 hektar, (2) Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 33.358 hektar, dan (3) Hutan Lindung (HL) seluas 48.823,37 hektar. Dengan demikian berarti hanya sebesar 22,24% dari luas wilayah kabupaten yang dapat diusahakan
menjadi
kawasan
budidaya
pertanian,
perkebunan,
perikanan,
permukiman penduduk, sarana umum dan sebagainya. Seperti pada umumnya kondisi kerusakan hutan di Propinsi Lampung, potret kerusakan hutan di Kabupaten Lampung Barat secara kuantitatif menunjukkan gambaran yang mengkhawatiran. Menurut Warsito (2006), sebesar 70% dari total luas kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas kondisinya telah rusak.
103
Gambar 4.4a, Tahun 2000
Gambar 4.4b, Tahun 2001.
Gambar 4.4 Kondisi HPT yang masih terjaga di Desa Pahmongan Kecamatan Pesisir Tengah (Gambar 4.4a) dan kondisi HPT yang sudah rusak di Hutan Titi Liut Desa Kota Jawa Kecamatan Bengkunat (Gambar 4.4b), Kabupaten Lampung Barat. (Sumber photo: Peneliti)
4.4.2 Kondisi Umum Kependudukan Di Kabupaten Lampung Barat Pada tahun 2004 penduduk Kabupaten Lampung Barat berjumlah 388.113 jiwa (Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2005). Penduduknya yang heterogen terdiri dari beberapa suku. Komunitas suku yang terbesar adalah Lampung Pesisir, Semendo, dan Sunda. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,26% per tahun. Angka tersebut merupakan indikasi tingginya pertumbuhan penduduk wilayah setempat yang dapat mengakibatkan terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan untuk dibudidayakan. Permasalahan ini membawa implikasi terhadap semakin terbatasnya daya dukung wilayah terhadap pertambahan penduduk untuk memberikan peluang berusaha berbasis lahan, sehingga tekanan penduduk yang demikian tinggi meluap ke dalam wilayah kawasan hutan. Di kawasan Hutan Lindung 45B Bukit Rigis misalnya, menurut Dinas Kehutanan Lampung Barat pada tahun 2001 diperkirakan lebih dari 2000KK bermukim di dalam kawasan.
4.4.3
Kecamatan Sumberjaya dan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis
4.4.3.1 Migrasi Penduduk dan Terbentuknya Permukiman Di Sumberjaya Pada 100 tahun yang lalu, hampir seluruh wilayah Sumberjaya merupakan hutan belantara. Yang pertama kali menempati wilayah tersebut adalah Suku Semendo dari Utara. Menurut hukum tak tertulis (customary law/hukum adat), suku
104
pertama yang menempati wilayah tersebut ditetapkan sebagai pemilik tanah (Verbist dan Pasya, 2004). Sukaraja adalah desa pertama yang berdiri pada tahun 1891 tempat dimana ditemukannya komunitas marga Way Tenong. Sejak tahun 1951, Biro Rekonstruksi Nasional (BRN), suatu program transmigrasi dibawah koordinasi Angkatan Darat, menstimulasi perkampungan bekas tentara (terutama Sunda) dari perang kemerdekaan (Kusworo, 2000). Kemudian pada tahun 1952, mantan Presiden Indonesia, Soekarno, datang untuk meresmikan wilayah tersebut sebagai wilayah perkampungan baru yang hingga saat ini dikenal dengan nama Kecamatan Sumberjaya (Gambar 4.5). Mereka para transmigran pioner tersebut menetap di cekungan sungai Way Petay yang kemudian menjadi desa pioner di Sumberjaya.
Gambar 4.5a
Gambar 4.5b.
Gambar 4.5a adalah bukti dokumen sejarah diresmikannya nama Sumberjaya oleh Presiden Sukarno. Gambar 4.5b adalah Presiden Sukarno pada saat peresmian Sumberjaya, 14 November 1952 (Sumber photo dan dokumen: Kepala Desa Sukapura, Kecamatan Sumberjaya).
Sebagian besar penduduk, tinggal di bagian Timur Sumberjaya terutama di desa-desa Sukapura, Way Petay, Simpang Sari, Tribudi Syukur, Puradjaya, dan Pura Wiwitan. (Gambar 4.6). Pada tahun 1977 bahkan ditemukan kerangka manusia purba (megalithicum) dan keramik Cina di dekat Desa Purawiwitan, yang menunjukkan bahwa manusia pernah tinggal di wilayah tersebut pada masa purba (McKinnon, 1993). Perkembangan terakhir, program transmigrasi pemerintah tidak terlalu berorientasi pada wilayah Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat namun mulai ke
105
Kabupaten Lampung Utara. Akan tetapi tetap saja migrasi spontan berdatangan dari Pulau Jawa dan Bali dan merupakan transmigran generasi kedua dan ketiga ke Sumberjaya. Pendatang spontan yang umumnya bersifat kewirausahaan lebih baik daripada para transmigran tahun 1950-an, tertarik pada kesuburan tanahnya. Hingga saat itu, masih banyak dasar lembah yang cukup luas yang tertinggal. Pendatang-pendatang suku Jawa dan Sunda memanfaatkan kondisi lansekap pelembahan yang tidak diminati oleh Suku Semendo untuk budidaya kopi, dan mengubahnya menjadi pertanian sawah beririgasi.
Legenda: Pedesaan 1920-1930 Desa BRN 1950-1959 Perkebunan rakyat
Gambar 4.6. Peta Situasi Perkampungan Tua Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1950 (Sumber: Benoit (1989) dalam Verbist dan Pasya (2004)).
4.4.3.2 Kependudukan Di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kecamatan Sumberjaya dan Konflik Yang Terjadi. Jumlah penduduk Sumberjaya tumbuh dengan pesat mulai tahun 1976 yaitu sebanyak 37.557 jiwa meningkat dua kali lipat hingga tahun 1986 sebanyak 75.598 jiwa. Pada kurun waktu yang sama terjadi deforestasi secara masif dan memicu
106
kekhawatiran
di
Departemen
Kehutanan.
Mereka
mentengarai
pesatnya
pertumbuhan penduduk sebagai penyebab deforestasi yang terjadi. Jika menggunakan data jumlah penduduk Tahun 2003 yaitu sebesar 85.408 jiwa (Gambar 4.7), maka diperoleh laju pertumbuhan penduduk sejak tahun 1978 hingga tahun 2003 sebesar 3.34 persen per tahun. Di wilayah Kabupaten Lampung Barat, kecamatan tersebut merupakan salah satu kecamatan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tertinggi setelah Kecamatan Bengkunat. 90000 8 40 85
85000
5 23 81 6 98 79 1 65 79 7 90 78 0 49 776 67 78 36 68 8 7 13 81 9 90 80 9 86 80 6 51 80 9 75 78 7 56 78 9 51 76 9 58 75
80000
9 77 70
70000
5 05 67 1 13 66 7 90 64 5 25 65
65000 60000
5 00 60
Jumlah Penduduk
75000
55000 50000 2 72 44
45000 40000
2003
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
7 55 37
35000
Tahun
Gambar 4.7. Pertumbuhan Penduduk di Sumberjaya (Sumber: Verbist (2001); Biro Pusat Statistik Lampung Barat (2003); Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung (2005).
Pertumbuhan penduduk Sumberjaya kemudian relatif konstan terutama pada 1986 hingga tahun 1990. Yang menarik justru terjadi pada tahun 1990 hinggga tahun 1996, jumlah penduduk menurun dari 80.516 jiwa menjadi 764.90 jiwa dengan laju penurunan penduduk sebesar 0,85 persen. Tidak ada dokumen statistik dari BPS yang bisa menjelaskan apakah penurunan jumlah penduduk tersebut terjadi secara alami (yaitu angka kematian lebih besar dari angka kelahiran) atau secara tidak alami (migrasi keluar lebih besar dari migrasi masuk).
Namun demikian,
107
tercatat beberapa peristiwa penting yang diduga sebagai penyebab turunnya jumlah penduduk tersebut yaitu: •
Pada bulan Juli 1994, Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH) yang terdiri atas aparat kepolisian, kehutanan, dan pemerintah daerah melakukan operasi pengusiran penduduk di kawasan hutan di sekitar desa-desa Purajaya, Purawiwitan, dan Muarajaya Kecamatan Sumberjaya. Rumah-rumah di 86 lokasi pemukiman dirobohkan, lebih dari 700 hektar tanaman kopi dibabati dan penduduk diusir dari kawasan hutan. Sebagian dari 1.271 KK ditranslokkan ke Mesuji Lampung Utara, sementara yang lain diusir begitu saja. Konflik meledak di lapang.
•
Pada Pebruari 1995, terjadi pengusiran secara bersamaan di dua kecamatan berdampingan yaitu Kecamatan Bukit Kemuning (tepatnya Desa Dwi Kora) sebanyak 55KK dan Kecamatan Sumberjaya (tepatnya di Desa-desa Sukapura, Tribudisyukur) sebanyak 149 KK. Pengusiran juga disertai pembabatan tanaman kopi produktif lebih dari 1000 hektar di dalam kawasan hutan lindung Register 45 Bukit Rigis dan Register 34 Tangkit Tebak. Pengusiran yang dikenal dengan Operasi
Jagawana
I
tersebut
dilaksanakan
atas
SK
Gubernur
No.5225/0287/04/1995 tanggal 26 Januari 1995 berbiaya Rp.173 juta dan melibatkan 167 personil polsus kehutanan, 2 pleton Brimob, 6 ekor kuda, 20 gergaji mesin, 200 pekerja, dan 17 ekor gajah terlatih dati Taman Nasional Way Kambas. Konflik semakin meningkat. Sebanyak 3 ekor gajah mati (mungkin kelelahan?) dan ironisnya tidak ada sedikitpun suara yang menggugat tentang eksploitasi satwa lindung, apalagi terhadap pengusiran penduduk tersebut. Hingga kini, masyarakat setempat mengenang dan menyebut peristiwa kelabu tersebut dengan istilah “Operasi Gajah”. •
Jumlah penduduk yang dikeluarkan dari kawasan tersebut diduga lebih banyak karena belum termasuk masyarakat yang eksodus ketakutan mendengar adanya operasi tersebut.
108
Kini Kecamatan Sumberjaya terdiri atas 28 desa dengan luas wilayah 54.194 hektar1 atau 10,95% dari total luas Kabupaten Lampung Barat. Desa-desa tersebut tersebar mengelilingi kawasan Hutan Lindung Registaer 45B Bukit Rigis. 4.4.3.3 Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sumberjaya Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.
dan
Di samping tanahnya yang subur bagi kegiatan pertanian, letak geografis wilayah yang amat strategis diduga menjadi faktor penarik pesatnya laju pertumbuhan di Kecamatan Sumberjaya yang memiliki wilayah seluas 54.194 hektar (Tabel 4.9).
Tabel 4.9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000 Penggunaan lahan Sawah Sawah berpengairan Teknis Setengah teknis Sederhana Non PU Tadah hujan Pasang surut Lebak, polder Pekarangan Tegalan/kebun Ladang/huma Padang rumput Bera Hutan rakyat Hutan negara Perkebunan Rawa-rawa Tambak Kolam Lain-lain TOTAL
Luas (ha)
Persen
2447
4.52
2051 2150 1835 0 753 0 31571 12449 0 0 216 722 54194
3.78 3.97 3.39 0.00 1.39 0.00 58.26 22.97 0.00 0.00 0.40 1.33 100.00
2060 0 0 445 1615 387 0 0
Sumber: Monografi Kabupaten Lampung Barat, 2001
Dari total luas wilayah kecamatan tersebut, penggunaan lahan yang terbesar adalah kawasan hutan seluas 31.572 hektar (atau sebesar 58,26%), perkebunan
1
Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dimekarkan menjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya di wilayah timur dan Kecamatan Way Tenong di wilayah barat. Masing-masing terdiri atas 14 desa. Hingga saat ini, data statistik yang tersedia masih belum dipisahkan sesuai dengan pemekaran tersebut.
109
seluas 12.449 hektar (atau sebesar 22,97%), dan persawahan seluas 2.447 hektar (atau sebesar 4,52%). Luas wilayah Kecamatan Sumberjaya identik dengan luas Sub-DAS Way Besay yang didalamnya terdapat beberapa kawasan Hutan Lindung yang fungsi ekosistemnya memiliki pengaruh peran terhadap fungsi perlindungan DAS (Gambar 4.8). Kawasan-kawasan hutan lindung tersebut yaitu: (1) Register 39 Kota Agung Utara (Total luas 49.994 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke selatan ke Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus), (2) Register 44B Way Tenong Kenali (Total luas 14.000 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya dan Kenali Kabupaten Lampung Barat hingga ke utara ke Kabupaten Way Kanan), (3) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis (Total 8.295 hektar dan seluruhnya berada di dalam Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat), dan (4) Register 46B Palakiah (Total luas 1800 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke Barat ke Taman Nasional Bukist Barisan Selatan Kabupaten Lampung Barat). Dari keempat kawasan tersebut, Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis merupakan kawasan hutan yang ekosistemnya paling berpengaruh terhadap subDAS Way Besay karena letaknya berada di tengah-tengah tempat berasalnya anakanak sungai yang mengalir ke Way Besay. Register tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan pada masa kolonialisasi Belanda melalui Besluit Residen No.117 tanggal 19 Maret 1935.
Sebelum tahun tersebut, status lahan kawasan adalah
tanah marga. Pada akhir tahun 2000, deforestasi di kawasan tersebut sudah mencapai tingkat amat kritis, diperkirakan seluas 6.000 hektar sudah tidak behutan lagi dan tercatat sebanyak 2000 KK petani yang bermukim di dalamnya (Dirpa, 2002). Sebagai ilustrasi visual, rona deforestasi kawasan tersebut seperti terlihat pada Gambar 4.9.
110
Gambar 4.8 Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya (Sumber: ICRAF).
Sebenarnya deforestasi di Sumberjaya sudah mulai terjadi sebelum Besluit Residen dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Pada tahun 1933, pelayanan perluasan pertanian Kolonial menyatakan: “Sebagaimana Lampung tidak ada lagi memiliki hutan yang berlimpah, sangatlah penting menciptakan manfaat ekonomi dari lahan yang tersedia tanpa menghambat pengembangan budidaya kopi lokal”. Hal tersebut tidak hanya merekomedasikan upaya peremajaan kebun kopi yang sudah ada dengan coppicing, tetapi juga pembukaan lahan-lahan baru kawasan hutan yang sebelumnya adalah berupa tanah marga (Verbist dan Pasya, 2004).
111
Gambar 4.9 Kondisi deforestasi kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis awal Tahun 2000 (Sumber photo: ICRAF).
Deforestasi menjadi kebun kopi terjadi secara masif pada tahun 1976 – 1986, satu masa dengan datangnya migrasi spontan ke wilayah Sumberjaya (Kusworo, 2000). Deforestasi tersebut memicu keributan di Departemen Kehutanan. Persepsi umum para aparat kehutanan adalah penduduk setempat tidak dapat mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak negatif pada fungsi perlindungan DAS Way Besay. Pada tahun 1978 (Tabel 4.10), semula wilayah yang masih tertutup oleh hutan sebesar 67%, pada tahun 1984 menurun menjadi sebesar 49%, dan sebesar 32% di tahun 1990 (Syam et all, 1997; dalam Verbist, 2001). Dilengkapi dengan hasil klasifikasi citra satelit Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM) tahun
2000, Multi Spectral
Scanner (MSS) 1986 dan MSS 1973, data Tabel 4.10 tersebut kemudian dikaji ulang dan diperoleh kenyataan bahwa tutupan hutan secara nyata menurun menjadi 12% di tahun 2000, sementara itu, kebun kopi (monokultur dan multistrata) menurun dari sebesar 40% pada tahun 1990 menjadi 52% (monokultur, multistrata, dan kopi tua bercampur semak-belukar) pada tahun 2000 (Verbist et al, 2004; Dinata, 2002).
112
Table 4.10. Presentasi perubahan penggunaan lahan di Sumberjaya tahun 1978 – 1990 . Penggunaan lahan Perubahan (%) 1978 1984 1990 1. 2. 3. 4. 5.
Pemukiman Sawah Pertanian (hortikultura) Perladangan berpindah Kebun campuran ( tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan) 6. Kebun kopi monokultur 7. Kebun kopi multistrata 8. Hutan primer 9. Hutan sekunder 10. Semak belukar 11. Kolam
1 3 2 5 0
2 5 1 .5 0
2 5 0.1 0 0
21 1 33 16 18 0.03
42 1 21 11 17 0.01
41 19 13 18 1 0.07
Sumber: Syam et all (1997) dalam Verbist (2001).
Pola serupa juga terjadi pada perubahan penggunaan lahan di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang direfleksikan oleh perubahan tutupan lahan antara tahun 1973 – 2002 di dalam kawasan yang dieroleh dari analisis citra satelit Land Sat (Tabel 4.11). Pada tahun 2002, hutan primer yang tersisa tinggal 1.782 hektar, kebun kopi (multistrata dan monokultur) meningkat menjadi 4276 hektar, sawah menurun menjadi 915 hektar, belukar menurun menjadi 374 hektar, dan tidak ada lagi tanah yang terbuka (bera). Hasil analisis poto satelit tersebut juga semakin mempertegas adanya areal permukiman seluas 187 hektar di dalam kawasan pada tahun 2002. Luas tersebut lebih kecil dibandingkan hasil pemetaan partisipatif yang pernah dilakukan oleh warga dan LSM Watala pada tahun 2003 yaitu seluas 302,5 hektar (Gambar 4.10), namun perbedaan tersebut diduga disebabkan adanya areal di dalam poto yang tertutup awan. Berdasarkan peta BPN (Badan Pertanahan Nasional), sistem ladang berpindah sudah tidak ada lagi sejak awal tahun delapan puluhan. Pada tahun 1990 tidak ditemukan lagi padang alang-alang di wilayah ini, akan tetapi pada tahun 2000 padang alang-alang muncul kembali di beberapa tempat. Evolusi deforestasi sejak tahun 1976 tersebut direspon oleh Pemerintah dengan suatu tindakan cepat untuk menghentikannya. Pemerintah kemudian membuat peta wilayah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1990 diikuti oleh pelaksanaan tata-batasnya yang ternyata kemudian memicu banyak
113
konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat pemerintah seperti pengusiran penduduk, intimidasi, dan lain-lain. Tabel 4.11 Perubahan Sebaran Tutupan Lahan Hutan (forest land cover) di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Tahun No Penggunaan lahan 1973 (Ha) 1986 (Ha) 2000 (Ha) 2002 (Ha) 1
Hutan
2
Kebun Kopi
3
Pemukiman
4
Pertanian
2043
1982
1720
1782
885
3390
4890
4276
0
296
185
187
657
0
0
187
5
Sawah
1978
699
13
915
6
Belukar
897
1146
1024
374
7
Rumput
157
422
119
0
8
Tanah Terbuka Tidak terdeteksi (poto satelit tertutup awan)
466
149
55
0
1211
210
289
574
9
Total 8294 8294 8294 8294 Sumber: (1) Peta TGHK Kabupaten Lampung Barat, 1994; (2) Peta Topografi Bakosurtanal, 1999; (3) Poto satelit Land Sat MSS-ETM Tahun 1973, 1986, 2000, dan 2002; Data dan dijitasi diolah di laboratium GIS ICRAF – Bogor.
4.4.3.4 Konflik Tata Batas dan Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Di samping tekanan penduduk, masalah kehutanan di Kabupaten Lampung Barat pada umumnya dan di Kecamatan Sumberjaya pada khususnya juga disebabkan oleh tidak legitimate-nya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) kabupaten yang merupakan bagian dari TGHK Propinsi oleh karena penetapannya dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat setempat secara utuh. Hampir bersamaan dengan pelaksanaan Operasi Jagawana I pada bulan Pebruari tahun 1995, pihak kehutanan juga melakukan tata batas kawasan hutan ditandai dengan pemasangan patok batas kawasan hutan. Berdasarkan tata batas tersebut, sebagian wilayah dari beberapa desa seperti Sukapura, Purajaya, purawiwitan, Muara Jaya, Simpang Sari, dan Tribudisyukur dinyatakan masuk di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Tentu saja hal tersebut menyulut konflik status lahan terutama penolakan keras datang dari warga Sumberjaya yang mengklaim tanah di dalam kawasan yang oleh pemerintahan Presiden Soekarno
114
telah diberikan kepada mereka sebagai peserta transmigrasi BRN. Klaim tersebut tercermin dari pristiwa-pristiwa sebagai berikut (Kusworo, 2000): •
Pada tanggal 7 April 1995, sebanyak 10 warga mewakili Desa Simpang sari mengirim surat keberatan kepada Bupati Lampung Barat dengan tembusan ke berbagai instansi terkait dan DPRD Lampung Barat. Sebagai bukti pendukung, mereka melampirkan sebanyak 11 bidang tanah bersertifikat yang ternyata letaknya berada di dalam kawasan. Pernyataan ganjil justru datang dari Komisi A DPRD Lampung Barat yang menyatakan bahwa sertifikat itu tidak sah padahal secara resmi sertifikat tersebut diterbitkan oleh Kantor BPN Lampung Utara. (Sebagai catatan peneilti dalam kasus ini, Kabupaten Lampung Barat yang resmi berdiri tahun 1991 semula wilayahnya adalah bagian dari Kabupaten Lampung Utara. Penerbitan sertifikat dilakukan sebelum Kabupaten Lampung Barat berdiri dan bahkan jauh sebelum TGHK Lampung Barat disyahkan pada tahun 1994).
•
Pada tanggal 16 Oktober 1995, sebanyak 4 warga Sumberjaya yang mewakili 377KK yang memiliki lahan seluas 224 hektar di Desa Sukapura dan 127 hektar di Desa Tribudisyukur mendatangi DPRD Tingkat I Lampung. Mereka secara lisan dan tertulis mempertanyakan kejelasan staus lahan mereka yang secara serta-merta dikalim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Terhadap kedua kasus tersebut, secara terpisah Komisi A DPRD Kabupaten
Lampung Barat dan Komisi A DPRD Tingkat I Propinsi Lampung membentuk Tim Khusus, namun sejak pembentukannya di Tahun 1995 hingga kini tidak ada penyelesaian yang dihasilkan dari kedua lembaga legislatif tersebut. Upaya klarifikasi fakta di lapang justru dilakukan oleh beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang memberi kepedulian mereka terhadap kasus tersebut. Pada tahun 2003 misalnya, LSM Watala bersama-sama dengan warga dan pamong Desa Sukapura
melakukan
pemetaan
secara
partisipatif
terhadap
wilayah
dan
permukiman desa yang lokasinya berada di dalam kawasan hutan lindung. Berdasarkan hasil pemutahiran data melalu pemetaan partisipatif tersebut (Gambar 4.10), didapat seluas 302,5 hektar wilayah desa berada di dalam kawasan yang oleh masyarakat diminta untuk dialih fungsikan dari kawasan hutan lindung menjadi areal penggunaan lainnya sesuai dengan penggunaan lahan yang ada (existing land
115
uses) yaitu pemukiman dan kebun campuran milik warga yang sudah dikelola hampir tiga generasi sejak tahun 1952.
Gambar 4.10 Peta wilayah Desa Sukapura yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis; Poligon berwarna merah muda adalah areal seluas 302,5 hektar yang diklaim oleh warga untuk dialih-fungsikan (Sumber: Watala, 2003).
Klarifikasi fakta di lapang juga dilakukan untuk memperoleh jawaban mengapa warga Sumberjaya mengajukan keberatan terhadap konstruksi tata batas yang dibangun oleh aparat Departemen Kehutanan pada Operasi Jagawana I tahun 1995. Hasil wawancara lapangan menunjukkan: •
Konstruksi tata batas dilaksanakan tanpa partisipasi warga dan dalam kondisi psikologis yang berada dibawah tekanan.
•
Ada desakan pemerintah pusat pada waktu itu sehubungan dengan akan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) DAS Way Besay sehingga warga harus diusir tanpa mempertimbangkan sejarah permukiman mereka. Analisis GIS yang dilakukan oleh Lembaga ICRAF di Sumberjaya
memperoleh fakta bahwa dari hasil pembandingan batas kawasan hutan di atas peta TGHK
Kabupaten Lampung Barat sekala 1:50.000 dan skala 1:250.000
116
menunjukkan hasil berbeda (Gambar 4.11). Perbedaan tersebut berupa pergeseran batas di atas peta beragam antara 1 – 1,3 km. Kondisi tersebut diduga menjadi penyebab kesalahan ekstrapolasi oleh petugas di lapang sehingga konstruksi tatabatas menjadi tidak syahih dan menimbulkan klaim dari warga yang kemudian bermuara menjadi konflik vertikal antara warga dan pemerintah. 104 18 BT, 4 56 LS
104 34 BT, 4 56 LS
Reg 44B
Bergeser 1 km Reg 45B
Bergeser 1,3km Reg 46B Reg 39
104 18 BT, 5 8 LS
104 34 BT, 5 8 LS
: Batas pada Peta TGHK 1:250.000 : Batas pada Peta TGHK 1:50.000
Sumber: Peta Topograpi 1999 Skala 1:50.000 Peta TGHK 1994 Skala 1:50.000 Peta TGHK 1994 Skala 1:250.000
Gambar 4.11 Perbedaan batas TGHK di Sumberjaya (Sumber: Verbist, 2001)
4.4.3.5 Konflik Akses Pengelolaan Lahan Kawasan Akses adalah kemampuan (ability) untuk memperoleh manfaat dari sesuatu yang di dalamnya dapat berupa benda, manusia, lembaga, atau simbol-simbol sosial lainnya (Ribot dan Peluso, 2003).
Akses berbeda dengan property yang
didefinisikan sebagai hak (right) untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Melengkapi difinisi tersebut, akses mengandung seperangkat kekuasaan (a bundle of powers) atas sesuatu, sedangkan property mengandung seperangkat hak (a bundle of right). Secara empiris, fokus tentang akses mencakup hal-hal yang berkaitan dengan (1) siapa yang berkemampuan dan siapa yang tidak dalam
117
memperoleh sesuatu, (2) menggunakan apa, (3) dengan cara apa, dan (4) kapan terjadinya dan dalam kondisi bagaimana. Menggunakan dapat berarti menikmati manfaat utama atau manfaat ikutannya. Berdasarkan mekanismenya, akses terdiri atas tiga jenis (Ribot dan Peluso, 2003) yaitu: (1) Rights based access, yaitu akses yang diatur oleh hukum, hukum adat (costumary law), dan konsesi. Pengaturan tersebut disertai sanksinya juga. (2) Illegal acces, yaitu ketika akses dimiliki secara ilegal dan atau ekstra legal. (3) Structural and relational access, yaitu kemampuan untuk memanfaatkan sesuatu diperantarai oleh tingkat keterbatasan/keterlebihan kamampuan ekonomi, sosial, dan politik. Misalnya akses terhadap teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan kesempatan kerja, ilmu pengetahuan, kekuasaan, identitas, dan hubungan sosial. Perubahan tutupan lahan hutan di dalam kawasan Hutan Lindung Bukit rigis tidak terlepas dari akses oleh warga yang terjadi di kawasan tersebut. Tabel 4.11 pada halaman sebelumnya merupakan hasil penampalan antara Peta TGHK Kabupaten Lampung Barat tahun 1994, Peta Topografi Bakosurtanal tahun 1999, dan sebanyak 4 buah poto citra satelit Land Sat MSS-ETM Tahun 1973, 1986, 2000, dan 2002. Berdasarkan tabel 4.11 tersebut diperoleh data tutupan lahan hutan bahwa, dari total kawasan seluas 8.294 hektar 2/, luas kawasan yang masih tertutup hutan pada tahun 2002 adalah 1782 hektar. Luas tersebut menurun dari kondisi tahun 1973 yaitu 2045 hektar. Sementara dalam tenggat waktu yang sama, luas kebun kopi meningkat dari 885 hektar menjadi 4276 hektar, luas pertanian menurun dari 657 hektar menjadi 187 hektar, luas persawahan menurut dari 1978 hektar menjadi 915 hektar. Perubahan komposisi tutupan lahan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis tersebut mencerminkan fluktuasi perubahan power dan right atas akses yang terjadi di dalam kawasan serta konflik-konflik yang menyertainya.
Hingga
tahun 2006, masyarakat yang memperoleh hak akses melalui kebijakan Hutan Kemasyarakatan baru sebanyak 5 kelompok yang beranggotakan 1082 KK dengan akses lahan seluas 1968,7 hektar (Tabel 4.12). Akses yang dimiliki oleh kelima 2
Data luas kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis versi Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat adalah 8.295 hektar.
118
kelompok tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam right base access mechanism karena hak dan sanksi bagi masyarakat diatur oleh pemerintah terutama oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/II-Kpts/2001 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan. Tabel 4.12.
No.
Nama Kelompok yang telah mendapatkan hak akses melalui Ijin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.
Kelompok dan Desa Asal
Jmlh anggota (KK)
Luas lahan (Ha)
1
Klp. Bina Wana , 493 645 Desa Tribudi Sukur 2 Klp. MWLS, 73 260,8 Desa Simpang Sari 3 Klp. Rigis Jaya, 74 203,9 Desa Gunung Terang 4 Klp. Rimba Jaya, 297 600 Desa Tambak Jaya 5 KPPSDA Setia Wana Bhakti, 145 259 Desa Simpang Sari Total 1082 1968,7 Sumber: Kelompok HKM dan Dinas Kehutanan dan Sumberdaya data diolah.
Nomor Izin
439/Kwl-4/Kpts/2000; 23 Desember 2000 503.522.1639.HKm.Dishut-L B.2002; 15 April 2002 503.522.1638.HKm.DishutLB.2002; 15 April 2002 503.522.2116.HKm.DishutLB.2002; 16 Mei 2002 503.522.2151.HKm.DishutLB.2002; 14 Agustus 2002 Alam Kabupaten Lampung Barat,
Dengan menyandingkan data sebaran penutupan lahan (Tabel 4.11) dan data kelompok masyarakat yang telah memiliki hak akses (Tabel 4.12), maka secara yuridis formal, hanya seluas 1.968,7 hektar dari total Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang ijin akses-nya diakui oleh pemerintah. Hasil pengamatan lapang, hampir semua lahan yang telah berijin HKm tersebut berbentuk kebun kopi campuran dengan tanaman buah dan kayu, kecuali lahan milik kelompok Bina
Wana
Desa
Tribudisyukur
penggunaan
lahannya
ada
yang
berupa
persawahan. Secara fisik persawahan tersebut berada di lembah areal kawasan, secara historis sudah dibuat sejak saat transmigrasi BRN tahun 1951-1952 atau sebelum TGHK ditetapkan oleh pemerintah.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden Semua karakteristik responden yang menjadi parameter endogen dan eksogen dibahas pada masing-masing pengujian dalam bab berikutnya. Karakteristik responden yang diulas di dalam sub-bab merupakan parameter tambahan sebagai pelengkap analisis jika sewaktu-waktu diperlukan dan dapat dilihat pada Lampiran 8-B. 5.2
Analisis Kebijakan Kehutanan, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria, Tata Ruang, Dan Otonomi Daerah Terkait Dengan Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kehutanan Di Daerah
5.2.1 Definisi Kawasan Hutan Bahasan ini dimulai dengan menjabarkan definisi tentang kawasan hutan berdasarkan undang-undang tentang kehutanan yang berlaku di Indonesia. Seperti tercantum dalam pasal 1 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Menurut Santoso (2002), pengertian wilayah tertentu yang “ditunjuk” oleh Pemerintah sebagai hutan tetap, prosesnya dilaksanakan melalui kegiatan penunjukan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan yang dalam prakteknya meliputi 2 (dua) macam yaitu : •
Penunjukan kawasan hutan wilayah propinsi; dan
•
Penunjukan kawasan hutan partial per kelompok hutan.
Sedangkan pengertian wilayah tertentu yang “ditetapkan” Pemerintah sebagai hutan tetap, dalam pelaksanaannya melalui suatu proses yang disebut pengukuhan kawasan hutan yang didalam pasal 15 ayat 1 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mencakup kegiatan-kegiatan: a.
Penunjukan kawasan hutan.
b.
Penataan batas kawasan hutan dan pemetaan kawasan hutan, yang dilaksanakan oleh Panitia Tata Batas kawasan hutan yang diketuai Bupati/Walikota dan dituangkan ke dalam Berita Acara Tata Batas (BATB) kawasan hutan; dan
120
c.
Penetapan kawasan hutan, berupa pengesahan BATB tersebut butir b di atas dengan surat keputusan Menteri Kehutanan. Istilah “hutan negara” mengacu pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, mengenai klasifikasi hutan berdasarkan statusnya terdiri dari : a.
Hutan negara, adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah; dan
b.
Hutan hak, adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
5.2.2 Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat A. Evolusi Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Setempat di Dalam Desain Kebijakan Kehutanan Nasional 5 Tahun Menjelang Otda (1995-2000) Dalam semangat desentralisasi dan otonomi daerah, prinsip-prinsip demokrasi, keterbukaan, dan keinginan politis untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang baik (good governance) menjadi landasan Pemerintah dalam melakukan
reformulasi
kebijakan
pengelolaan
kehutanan.
Hal
tersebut
diwujudkan dengan terjadinya perubahan paradigma pembangunan kehutanan yaitu: (1) Pergeseran penekanan dari aspek ekonomi (orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi hutan; (2) Pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan pada pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan penekanan pada pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa, selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu lainnya, rekreasi, dan pengaturan iklim mikro; dan (3) Memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan berbasis masyarakat (Community Based Forestry) untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal (Hutabarat, 2001). Selain itu, pemerintah amat menyadari bahwa pengelolaan hutan yang berkesinambungan (sustainable forest management) tidak akan tercapai dengan baik tanpa partisipasi masyarakat setempat dalam segala aspek pengelolaan hutan. Perubahan paradigma secara konkrit dituangkan ke dalam berbagai
121
produk kebijakan dan peraturan yang secara evolutif mengatur desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat 1/. Perubahan
paradigma
pembangunan
kehutanan
nasional
menuju
pengelolaan sumberdaya hutan yang bertumpu pada masyarakat desa telah mendorong Pemerintah mengembangkan kebijakan hutan kemasyarakatan sejak awal dekade 90-an. Selama lima tahun terakhir menjelang tahun 2000, konsep dan kebijakan hutan kemasyarakatan (HKm) telah mengalami reformulasi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan (1995), kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi (1998),
lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada
kelompok-kelompok masyarakat setempat (1999) dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya (2000). Kebijakan HKm pada Tahun 1995.
Legitimasi kebijakan HKm pada
tahun tersebut diawali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.622 Kpts-II/95 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan (HKm). HKm didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat. Tujuan kebijakan HKm yaitu untuk: (1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan; (2) meningkatkan mutu dan produktivitas hutan sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya; dan (3) Menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Definisi masyarakat yang dilibatkan di dalam kebijakan tersebut adalah orang yang sumber kehidupannya dari hutan atau kawasan hutan yang secara sukarela berperan aktif dalam kegiatan HKm. Peserta adalah mereka yang ditunjuk oleh Dinas Kehutanan Dati I. Mereka dapat secara individual, kelompok, atau koperasi.
1
Desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab fungsi publik dari Pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah (Propinsi dan/atau Kabupaten/kota) atau organisasi pemerintah semi independen atau sektor swasta (Word Bank Institute, 1999). Hutabarat (2001) menyatakan bahwa tipe desentralisasi yang paling luas adalah devolusi, yaitu tipe desentralisasi yang dicirikan oleh pelimpahan wewenang secara otonom. Diberikannya sejumlah kewenangan oleh Pemerintah kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota seperti adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu contoh devolusi dan telah membentuk tatanan pemerintahan baru, termasuk dalam kebijakan dan peraturan pengelolaan kehutanan.
122
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan HKm mulai dari perencanaan, penanaman,
pemeliharaan,
pemasaran.
Jenis
perlindungan,
pohon
dan
pemungutan,
tanaman
yang
pengolahan,
ditanam
adalah
dan jenis
pohon/tanaman serbaguna yang dapat menghasilkan buah-buahan, getahgetahan, dan sebagainya yang bermanfaat bagi peserta. Luas maksimum areal hutan yang diijinkan untuk dikelola adalah 4 hektar per orang atau dikalikan jumlah anggota bagi kelompok atau koperasi pengelola. Peserta hanya diijinkan mengambil hasil hutan bukan kayu (HH-BK). Seluruh hasil non-kayu yang diangkut keluar dari areal hutan tersebut harus dilengkapi dengan dokumen yang menyertai pengangkutan dan masing-masing peserta wajib membayar iuran hasil hutan bukan kayu (IHH-BK) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di tingkat lapang, pelaksanaan kebijakan tersebut menghadapi dilema terutama berkaitan dengan hasil hutan yang boleh diangkut oleh masyarakat. Peraturan untuk menanam jenis pohon multi purposes tree species (MPTS) menyulitkan para petani kawasan yang pola pertaniannya amat beragam sesuai dengan kebutuhan subsisten (termasuk kayu rakyat) dan/atau pasar lokal. Terminologi
“penunjukan”
yang
dipergunakan
oleh
Pemerintah
dalam
menetapkan siapa peserta HKm yang memenuhi syarat, menunjukkan subjektivitas dan hegemoni kepentingan Pemerintah dalam mengelola hutan tertimbang mengedepankan kebutuhan masyarakat lokal. Kebijakan HKm pada Tahun 1998.
Perubahan pradigma kebijakan
HKm terjadi pada tahun 1998 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan
dan
Perkebunan
No.677/Kpts-II/1998
tentang
Hutan
Kemasyarakatan. Definisi HKm adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan
kepentingan
menyejahterakan
masyarakat.
Masyarakat
pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau disekitar hutan dengan ciri komunitas. Beberapa perubahan mendasar dalam SK yang dikeluarkan pada tahun 1998 dibandingkan dengan SK sebelumnya. Namun demikian, implementasinya masih menemui berbagai kendala. Perubahan pada SK tahun 1998 dan kendala yang dihadapi tersebut diantaranya yaitu: •
Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok dalam bentuk koperasi dan bukan perorangan. Keharusan dalam bentuk koperasi, pada beberapa kasus
123
mengakibatkan praktik birokratisme dan praktik KKN dalam perijinan pendirian koperasi. •
Masyarakat melalui koperasinya mengusulkan permohonan untuk mendapat hak pengusahaan atas kawasan hutan yang disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm). Model ini mendapat kritik dari pemerhati kehutanan terutama kalangan LSM yang menyatakan bahwa HKm adalah bentuk HPH baru berkamuflase atas nama masyarakat. Model ditengarai dapat semakin mempercepat kerusakan hutan. Apalagi di dalam SK tersebut pengusahaan hutan didefinisikan sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas azas kelestarian fungsi dan azas perusahaan.
•
Kepala Kantor Wilayah menetapkan kelayakan permohonan tersebut, tidak seperti SK sebelumnya yaitu pemerintah (Dinas Kehutanan Dati I) menunjuk kelompok pengelola. Artinya, terjadi penarikan (sentralisasi) kemenangan kembali ke pusat, semula kewenangan berada di daerah (Dinas Kehutanan Dati I) kini menjadi Kanwil Kehutanan.
•
Tidak ada batasan maksimum areal pengelolaan seluas 4 hektar per orang.
•
Kontrak pengelolaan HKm memiliki tenggang waktu selama maksimum 35 tahun.
•
Definisi HKm sebagai hutan negara yang “dicadangkan” dan “ditetapkan” oleh Pemerintah untuk dikelola masyarakat telah mendorong aparat kehutanan di daerah untuk melakukan “modifikasi” zona pengelolaan hutan dan berlomba mencadangkan areal hutan untuk HKm, contohnya di Propinsi Lampung (Lampiran 1). Hal ini terjadi diduga karena program HKm dipandangan memiliki peluang untuk “dijadikan proyek HKm”. Kebijakan HKm pada tahun 1999.
Model HKm tahun 1998 banyak
mendapat kritik dari para pemerhati kehutanan terutama dari kalangan perguruan tinggi dan LSM. Kritik terutama ditujukan pada hal-hal sebagai berikut: •
Persyaratan memperoleh hak pengelolaan yang demikian rumit menyulitkan masyarakat calon pengelola dan berkonsekuensi biaya tinggi. Misalnya pemetaan hamparan, proposal yang “layak”, dll.
•
Azas perusahaan mendapat kritik yang amat keras karena azas tersebut justru menutup peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola.
•
Hegemoni Pemerintah demikian kuat dalam mengontrol kegiatan HKm.
124
Atas beberapa kritik tersebut, pata tahun 1999 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.865/Kpts-II/1999 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Di dalam SK yang baru tersebut, terdapat beberapa kemajuan, namun juga terdapat beberapa kemunduran yang fundamental. Beberapa kemajuan tersebut diantaranya: •
Penghapusan azas perusahaan sebagai salah satu azas pengelolaan HKm, yang selanjutnya pengelolaannya berdasarkan azas kelestarian.
•
Pengubahan istilah dari “pengusahaan” menjadi “pemanfaatan” hutan kemasyarakatan.
•
Rencana pemanfaatan tidak hanya dinilai oleh Pemerintah, tetapi juga dinilai oleh lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum. Hal ini amat konstruktif
terutama
dalam
mengurangi
hegemoni
dan
subjektifitas
Pemerintah. •
Masyarakat menentukan sistem dan kelembagaan, sementara Pemerintah hanya sebagai fasilitator dan pemantau.
Dengan demikian, tidak ada
keharusan bagi masyarakat untuk berkelompok dalam bentuk lembaga koperasi, bagi Pemerintah yang terpenting kelompok tersebut eksis, akuntabel, dan memiliki ikatan komunitas yang layak sebagai sebuah kelompok pengelola. •
Hak dan kewajiban ditentukan Pemerintah bersama masyarakat; hal ini berbeda dengan SK-SK sebelumnya yaitu Pemerintah menetapkan hak dan kewajiban masyarakat pengelola secara sepihak tanpa mengindahkan konteks lokal. Satu kemunduran kebijakan HKm di dalam SK No.865 adalah
pengubahan istilah “Hak” Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan menjadi “Ijin” Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan.
Beberapa kalangan menganggap
penggunaan kata “ijin” mengaburkan “konsep negara” dalam definisi hutan negara. Dengan meminjam definisi negara merupakan kesatuan antara teritorial/wilayah-rakyat/masyarakat-Pemerintah, maka hutan negara haruslah memiliki pengertian fundamental bahwa masyarakat memiliki hak terhadap hutan.
Penggunaan
kata
“ijin”
merupakan
indikasi
sisa-sisa
hegemoni
Pemerintah yang masih dipertahankan di dalam pengelolaan HKm, demikian pandangan yang berkembang saat itu.
125
Kebijakan HKm pada tahun 2001. Terjadinya reformasi sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih ke arah desentralisasi telah melahirkan undang-undang otonomi daerah yaitu UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut harus
diikuti
dengan
perubahan
UU
dan
peraturan
pengelenggaraan
pemerintahan termasuk sektor-sektor pembangunan yang diantaranya adalah sektor kehutanan. Dalam rangka memenuhi semangat otonomi daerah tersebut, dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.
Beberapa perubahan penting
diantaranya adalah: •
HKm adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.
•
HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum.
•
Desentralisasi
pengelolaan
HKm,
yang
semula
perijinan
menjadi
kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan Bupati/Walikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri. •
Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan nonkayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.
•
Dibentuknya Forum Pemerhati Kehutanan dan terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi profesi kehutanan, tokoh masyarakat, pemerhati kehutanan, serta Forum Hutan Kemasyarakatan.
•
Format Rencana Pengelolaan HKm yang diusulkan oleh masyarakat lebih sederhana dari peraturan sebelumnya. Terlepas dari berbagai kemajuan, terutama apakah hasil hutan kayu
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, SK No.31/Kpts-II/2001 masih menyimpan kelemahan bahkan bagi sebagian kalangan semakin mengaburkan kapastian
126
hukum masyarakat pengelola HKm.
Indikasi tersebut ditemukan dengan
pengubahan istilah “Ijin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan” menjadi “Ijin Kegiatan Hutan Kemasyarakatan”. Perkembangan terakhir, legitimasi SK No.31/Kpts-II/2001 dipertanyakan oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.III/MPR/2001 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Menyadari hal tersebut, kemudian Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) mempersiapkan reformulasi naskah hukum HKm minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang hingga saat tersebut “belum selesai”. Tabel 5.2.1. Perbandingan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya hutan dalam evolusi kebijakan HKm nasional. No Isu Kebijakan HKm dan Perubahannya SK No:622 SK SK SK . kebijakan Kpts-II/1995
No:677/KptsII/1998
No.865/KptsII/1999
No.31/KptsII/2001 Kayu (pada blok budidaya Hkm di Hutan Produksi) Ijin Kegiatan Hutan Kemasyarakatan
1
Pemanfaatn hasil hutan kayu
Tidak ada akses
Tidak ada akses
Tidak ada akses
2
Askes pemanfatan kawasan
(Penunjukkan) Ijin HKm
Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (35 tahun)
Ijin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
B. Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Kebijakan Kehutanan Indonesia 2001 – 2010.
Setempat
dalam
Reformulasi kebijakan pada periode ini ditandai dengan ditempatkan isu akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan ke dalam kerangka kebijakan Pemberdayaan Masyarakat di sekitar hutan.
Pada tahun 2004,
Menteri Kehutanan mengeluarkan Permenhut No.P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam Dan Atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry.
Keluarnya permenhut ini sempat mengundang
pertanyaan besar dari pemerhati kebijakan kehutanan nasional yang menengarai bahwa saat tersebut terjadi pergulatan konsep pemikiran di dalam Departemen Kehutanan
tentang social forestry versus hutan kemasyarakan. Hal tersebut
terbukti dikemudian hari ketika diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6
127
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan 2/, serta Pemanfaatan Hutan sebagai penyempurnaan dari PP No.34 Tahun 2002, yang kemudian drevisi lagi melalu PP No.3 Tahun 2008 tentang Revisi atas PP No.6 Tahun 2007 tersebut. Di dalam PP ini tertulis bahwa pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat setempat oleh
pemerintah diatur dalam 3 bentuk
kebijakan yaitu: 1) Kemitraan, merupakan pengaturan akses masyarakat setempat terhadap kawasan hutan yang sudah dibebani ijin pemanfaatan di atasnya. Bentuk ini misalnya perlaku pada kawasan hutan yang dikelola oleh BUMN bidang kehutanan misalnya Perhutani di Pulau Jawa, 2) Hutan Kemasyarakan, sebagai penegasan kembali dari kebijakan terkait yang telah berevolusi sebelumnya, dan 3) Hutan Desa, kawasan hutan yangdikelola untuk masyarakat setempat oleh lembaga desa. Dari ketiga bentuk kebijakan tersebut, pertanyaan besar para pemerhati kehutanan tentang adanya kontra konsep pemikiran antara social forestry dan hutan kemasyarakatan terbukti! Apalagi pada perkembangan selanjutnya, fokus pengembangan turunan PP tersebut lebih diberikan pada Hutan Kemasyarakatan (dengan terbitnya Permenhut No.3 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan yang kemudian direvisi kembali melalui Permenhut No.18 Tahun 2009) dan Hutan Desa (dengan terbitnya Permenhut No.49 Tahun 2008 tentang Hutan Desa). Yang menarik adalah, hingga saat ini formulasi kebijakan tentang Hutan Adat masih belum rampung padahal hal ini secara tertulis diamanatkan di dalam UU Kehutanan No 41 Tahun 1999. Apabila kondisi tersebut terus berlangsung, dikhawatirkan
isu-isu
yang
berkaitan
dengan
penyelesaian
konflik
di
pembangunan sektor kehutanan dikhawatirkan tidak memperoleh porsi perhatian yang memadai.
2
Pada periode ini struktur peraturan perundang-undangan merujuk kepada Undang Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (yang kemudian diganti Undang Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Dalam UU No 10 Tahun 2004 tersebut, dinyatakan bahwa setelah Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, hirarki berikutnya adalah Peraturan Pemerintah. Menyesuaikan dengan UUU No.10 Tahun 2004, Departemen Kehutanan melakukan pembenahan tata peraturan sektoral. Dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan merupakan respon pembenahan tidak hanay payung kebijakan HKm, juga payung kebijakan hutan desa dan kemitraan.
128
5.2.3
Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Konflik Lingkungan Terkait Dengan Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Tempatan.
A. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup dalam UUPLH No.23/1997. Seperti diuraikan pada Bab-2, konflik atau sengketa dapat diartikan dari berbagai sudut pandangan. Demikian juja konflik atau sengketa lingkungan hidup. Namun pengertian sengketa lingkungan yang dikemukakan di sini adalah menurut hukum positif yang berlaku.
Menurut Pasal 1 angka 19 UUPLH,
sengketa lingkungan hidup adalah “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Meskipun menurut penjelasan otentik pasal tersebut disebutkan “cukup jelas”, namun di sini perlu diberi beberapa penjelasan berkaitan dengan pengertian sengketa lingkungan hidup itu. Pertama, sengketa adalah perselisihan, konflik atau kontroversi yang berkaitan dengan suatu tuntutan atau hak. Sengketa di sini ada kaitannya dengan perbedaan kepentingan.
Sengketa lingkungan hidup muncul sebagai
perselisihan akibat tuntutan orang akan hak-hak mereka yang “ditolak” oleh pihak lain. Misalnya dalam Pasal 5 ayat (1) UUPLH disebutkan, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Maka ketika ada pencemaran lingkungan misalnya, hak orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu telah dilanggar (baca: ditolak, tidak dihiraukan oleh pelaku pencemaran). Kedua, siapakah yang dimaksud dengan dua pihak atau lebih itu?. Yang dimaksud dengan dua pihak atau lebih itu adalah pihak pencemar dan/atau perusak lingkungan (pelaku) serta pihak korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Secara teoritis, pihak pelaku itu bisa orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum (ini sesuai dengan pengertian “orang” menurut Pasal 1 angka 24 UUPLH). Sementara itu pihak korban adalah manusia dan lingkungan hidup.
Seperti dikemukakan di atas, manusia yang menjadi
korban adalah manusia yang kehilangan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain manusia, yang juga menjadi korban ialah lingkungan hidup itu sendiri.
Apakah lingkungan hidup itu?. Menurut Pasal 1 angka 1 UUPLH,
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
129
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Terlepas dari kemungkinan bahwa definisi itu masih dapat diperdebatkan, yang jelas yang menjadi korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup itu sangat luas. Bahkan dengan mengutip definisi lingkungan hidup tersebut, kawasan hutan merupakan suatu ruang yang memenuhi unsur-unsur lingkungan hidup, sehingga sejatinya dapat ditafsirkan bahwa konflik status dan pemanfaatan kawasan hutan dapat menjadi salah satu yang diatur di dalam UUPLH. Lingkungan hidup memang tidak dapat menuntut “hak”nya seperti halnya manusia, atau berperkara sendiri di pengadilan, karena sifatnya yang inanimatif. Namun kepentingannya diwakili oleh Organisasi Lingkungan Hidup. Organisasi Lingkungan Hidup inilah yang menurut Pasal 38 UUPLH bertindak untuk dan atas nama atau mewakili lingkungan hidup yang menjadi korban itu. Organisasi Lingkungan Hidup mempunyai hak untuk mengajukan gugatan untuk mewakili kepentingan lingkungan hidup, meskipun bukan class action seperti halnya masyarakat. Di samping pihak-pihak yang disebutkan di atas, masih ada yang disebut sebagai “pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam penjelasan Pasal 31 UUPLH disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan di
luar
pengadilan
dilakukan
secara
sukarela
oleh
para
pihak
yang
berkepentingan (stakeholder), yaitu para pihak yang mengalami kerugian, yang mengakibatkan kerugian, instansi pemerintah yang terkait dengan subjek yang disengketakan serta dapat melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Keterlibatan instansi pemerintah yang dimaksud dapat saja menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas sebagai syarat yang diutamakan oleh UUPLH sendiri. Sekedar catatan saja, soal definisi itu sebenarnya dapat membingungkan pemahaman orang mengenai lingkungan hidup. Yang disebut lingkungan hidup menurut UUPLH sendiri tidak hanya soal pencemaran dan perusakan saja (tidak hanya soal daya dan keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia sendiri). Maka seharusnya sengketa lingkungan hidup mencakup semuanya itu, termasuk soal kewenangan atau bahkan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. Pembatasan yang ada dalam definisi di atas itu hanya akan menimbulkan “kekacauan” pada pemahaman teoritis mengenai pengertian lingkungan hidup itu sendiri.
130
B. Pengertian Penyelesaian Konflik Lingkungan Hidup dalam UUPLH
Dalam UUPLH tidak disebutkan pengertian penyelesaian sengketa atau konflik lingkungan hidup.
Walaupun demikian yang dimaksud dengan
penyelesaian sengketa di sini adalah prosedur yang dilalui untuk mencari atau mendapatkan keputusan, solusi atau penyelesaian atas sengketa lingkungan hidup (karena pencemaran dan/atau perusakan), baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Prosedur yang dimaksud di sini adalah tahapantahapan tertentu yang mesti dilalui sebelum sampai pada hasil akhirnya. Hasil akhir itu dapat berupa keputusan hakim (perdata), sanksi pidana (untuk proses peradilan pidana), dan kesepakatan (untuk penyelesaian di luar pengadilan). UUPLH mengenal dua jalur penyelesaian sengketa lingkungan, yaitu melalui pengadilan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39, serta di luar pengadilan yang diatur dalam Pasal 31 s/d Pasal 33. Khusus untuk penyelesaian di luar pengadilan, UUPLH menentukan bentuk-bentuk alternatif, misalnya melalui mediasi, arbitrase, negosiasi, dan lain-lain. Sebagai catatan, dalam Pasal 30 ayat (1) UUPLH disebutkan bahwa penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan itu dilakukan berdasarkan pada pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa. Pilihan sukarela tersebut hanya berlaku untuk perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang bersifat keperdataan.
Untuk tindak pidana
lingkungan hidup tidak ada pilihan lain, selain harus melalui pengadilan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 30 ayat (2) UUPLH yang menegaskan, bahwa penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUPLH sendiri. Tidak mungkin seseorang yang telah diduga atau disangka melakukan tindak pidana lingkungan, atau yang sedang disidik oleh penyidik lalu meminta agar tindak pidana itu diselesaikan di luar pengadilan saja, misalnya melalui negosiasi atau mediasi.
Penyelesaian di luar pengadilan hanya berlaku bagi kasus-kasus
lingkungan hidup yang bersifat perdata. Selanjutnya Pasal 30 ayat (3) UUPLH menyatakan, bahwa apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh, apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh dalah satu atau para pihak yang bersengketa. Ini
131
berarti, bagi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan masih terbuka kemungkinan untuk diselesaikan lagi melalui pengadilan, kalau dalam penyelesaian di luar pengadilan itu tidak tercapai kata sepakat.
Boleh juga
dikatakan, bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak bersifat final, jika salah satu atau para pihak yang sebelumnya memilih jalur itu menyatakan penyelesaian tersebut tidak berhasil. Pasal-pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan itu adalah Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 UUPLH. Dengan hanya tiga pasal itu, sebenarnya UUPLH sangat sedikit mengatur penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
Padahal, sering
disebutkan dalam berbagai pustaka, bahwa penyelesaian di luar pengadilan ini lebih menguntungkan para pihak sendiri, terutama pihak yang menderita kerugian. Dengan kekurangan pengaturan itu sebenarnya agak menghambat penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Karena kekurangan pengaturan itu pula, maka dibutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan agar pasal-pasal tersebut dapat dipergunakan, di antaranya: (1) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Jasa Penyedia Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkunagn Hidup Di Luar Pengadilan (2) Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 77 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan (LPJP2SLH) Pada Kementerian Lingkungan Hidup (3) Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 78 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pengelolaan Permohonan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan Pada Kementerian Lingkungan Hidup (4) Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 19 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran Dan Atau Perusakan Lingkungan Hidup
C. Penyelesaian Konflik Lingkungan dalam UU No.41/1997 Tentang Kehutanan dan UU Pokok No.5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria Sumberdaya hutan merupakan unsur yang meniasi bagian dari sistem lingkungan, oleh karenanya penyelesaian sengketa lingkungan secara teoritis mancakup
penyelesaian
sengketa
sumberdaya
hutan.
Mengenai
jalur
132
penyelesaian sengketa tersebut juga dapat terdapat di dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Pasal 74 ayat (1) UU itu menyebutkan, bahwa
penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Demikian juga, bahwa penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan itu (Pasal 75 ayat (1)). Selanjutnya dinyatakan pada Pasal 75 ayat (2) bahwa penyelesaian sengketa
kehutanan
di
luar
pengadilan
dimaksudkan
untuk
mencapai
kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan. Tidak ada satupun pasal yang memuat pengaturan tentang sengketa status lahan di dalam kawasan hutan, hal-hal yang berkaitan dengan topik tersebut lebih banyak diatur dalam UU Pokok Agrararia beserta peraturanperaturan yang menyertainya. Namun pada praktek yurisdiksi di lapang, masalah sengketa status tanah di dalam kawasan hutan seringkali sulit dilaksanakan. Ada resistensi kebijakan Departemen Kehutanan untuk mempertahankan luas kawasan hutan yang walau secara hukum pertanahan, kebijakan tersebut masih lemah. Menurut Harsono (1997), seharusnya dari pandangan hukum pertanahan, sebidang tanah yang tumbuh hutan di atasnya, pengusaan tanahnya diatur oleh Hukum Tanah (UUPA). Pengelolaan haknya diberikan kepada Departemen Kehutanan seperti yang dimandatkan dalam Undang-undang Kehutanan. Dalam hal ini pemberian dan pengakuan hak-hak atas tanah akan diterbitkan oleh BPN dengan menggunakan Hukum Pertanahan. Di sisi lain Sumardjono (2001) dan Fay dan Sirait (2004) pada saat proses revisi Undang Undang Pokok Kehutanan No.
5
tahun
1967
menyatakan
bahwa
ruang
lingkup
(Rancangan)
Undangundang Kehutanan seharusnya dibatasi pada pengaturan tentang pemanfaatan sumber daya hutan. Penentuan kawasan hutan diperlukan untuk membatasi luasnya kewenangan pengelolaan pemanfaatan sumber daya hutan dan tidak dimaksud untuk memberikan wewenang untuk mengatur tentang penguasaan tanah di dalam kawasan hutan tersebut. Pemberian hak untuk memanfaatkan kawasan hutan (HPH & HPHTI) dilakukan oleh Departemen Kehutanan, sedangkan pemberian hak atas tanah, misalnya HGU dan lain-lain dilakukan oleh BPN.
133
Dengan pemahaman dua argumentasi pakar hukum pertanahan tersebut maka Departemen Kehutanan hanya dapat memberikan hak pengusahaan dan hak pemungutan hasil hutan, sedangkan segala proses yang berkaitan dengan penguasaan atas tanah dilakukan oleh instansi lain (BPN). Berbeda halnya dengan UUPLH, Undang-undang Kehutanan tidak mengatur adanya lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 75 ayat (3) menyatakan bahwa dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi non-pemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan. Dengan demikian ada ruang hukum bagi LSM berperan dalam berbagai penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, namun ayat ini belum dilanjutkan dengan pembuatan peraturan yang melengkapinya. Akibatnya, ketika terdapat LSM yang mencoba melakukan mediasi sengketa kawasan hutan acapkali eksistensi hukum sebagai mediator “resmi” selalu dipertanyakan bahkan tidak jarang dianggap sebagai “provokator” terutama ketika pada kegiatan fact finding dalam proses mediasi tersebut ditemukan justri kebijakan kehutananlah yang menjadi penyebab sengketa. D. Isu Penyelesaian Konflik dalam Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Sektor Kehutanan. Sejauh ini amat disayangkan tidak ada turunan dari UU Kehutanan No.41 yang secara spesifik mengatur bagaimana penyelesaian konflik status dan pemanfaatan kawasan hutan yang timbul dari sebuah pelaksanaan kebijakan sektor kehutanan diselesaikan, termasuk mekanisme pengaduan apabila klaim/tuntutan datang dari masyarakat setempat dari dalam dan atau sekitar kawasan hutan. Pada tahun 2008 dikeluarkan Permenhut No.48 tapi hanya mengatur tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dengan Satwa Liar. Ada kesan bahwa pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, meletakkan
upaya
penyelesaian
sengketa/konflik
ditempuh
melalui
jalur
peradilan formal yang sulit diakses oleh masyarakat setempat, baik secara individu maupun kelompok, apalagi masyarakat di dalam dan/atau di sekitar hutan yang pada umumnya lemah secara sosial-politik. Dalam kemunduran
pelaksanaan yang
amat
kebijakan signifikan
hutan
bagaimana
kemasyarakatan, Departemen
terjadi
Kehutanan
134
memberikan perhatian dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Baik di dalam Permenhut No. 37 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut No. 18 Tahun 2009 tentang Perubahan atas PP No.37 Tahun 2007, tidak ada satupun pasal yang mengatur bagaimana konflik diselesaikan oleh masyarakat setempat dan bagaimanai masyarakat luar bisa melakukan pengawasan publik. Padahal, dibandingkan dengan SK Menhut No.31 Tahun 2001 tentang Hutan Kemasyarakatan yang lahir di awal deade reformasi nasional, walau dirasa masih amat terbatas, diatur bahwa: 1) Dalam rangka kesiapan kelembagaan masyarakat setempat, terbentuknya kelompok Hutan Kemsyarakatan setidaknya memiliki aturan-aturan internal kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan aturan lainnya dalam pengelolaan organisasi (Pasal 12 Ayat 1.a). 2) Apabila pengelolaan hutan kemasyarakatan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum dari segi lingkungan hidup, masyarakat luas dapat melakukan gugatan perwakilan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, dan; Apabila gugatan perwakilan diterima maka dapat dilakukan peninjauan kembali atas izin kegiatan hutan kemasyarakatan atau perubahan rencana pengelolaan (Pasal 54 Pengawasan oleh Masyarakat Luas, Ayat 1 dan Ayat 2). Implikasi dari pasal ini, masyarakat luas dapat melakukan kontrol publik, tidak hanya kepada masyarakat kelompok hutan kemasyarakatan namun juga kepada Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah selaku penyelenggara kebijakan, termasuk kontrol terhadap penyelesaian konflikkonflik yang ditimbulkan. Permasalahan pembangunan kehutanan secara umum disebabkan oleh lemahnya kapasitas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, masyarakat termasuk dunia usaha. Juga belum tersedianya pra-syarat pemungkin seperti kepastian hak atas sumberdaya hutan, infrastruktur ekonomi, dan lain-lain. Untuk itu, Dewan Kehutanan Nasional (DKN) yang terbentuk pada September 2006 melalui Kongres Kehutanan Indonesia IV dengan 4 perangkat presidium yang terdiri dari lima kelompok konstituen yaitu, pemerintah, bisnis, masyarakat, LSM, dan akademisi pada tanggal bulan Mei tahun 2007 telah menginisisasi konsolidasi para pihak untuk mempercepat restrukturisasi kehutanan. Pada akhir tahun 2007, DKN dalam laporan tahunannya merancang berbagai gagasan bagaimana konflik kehutaan di Indonesia akan diselesaikan (DKN, 2007). Di
135
dalam 4 agenda DKN (Hutan dan Tata Kepemerintahan, Hutan dan Ekonomi, Hutan dan Kemiskinan, dan Hutan dan Lingkungan), isu-isu yang berkaitan dengan
penyelesaian
konflik
(pendataan,
pengembangan
metodelogi,
penyelesaian, dan transformasi kelembagaan) menjadi salah satu prioritas dalam masing-masing agenda tersebut. Sebagai langkah lanjut, pada tahun 2009 DKN membentuk Desk Resolusi Konflik untuk melaksanakan agenda tersebut. Kehadiran DKN dan Desk Resolusi Konflik memberikan secercah harapan bagi khalayak kehutanan tentang terselesaikannya konflik-konflik kehutanan yang banyak terbengkalai hingga saat ini. Walaupun keterlibatan pemerintah dalam lahirnya dan bagaimana DKN bekerja cenderung dominatif sehingga banyak pihak meragukan apakah DKN mampu mengemban prinsip-prinsip netralitas dalam penyelesaian konflik kehutanan, namun publik menunggu hasil-hasilnya. E. Penyelesaian Konflik Di Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penyelesaian sengketa/konflik terdapat dalam Pasal 198 Ayat : (1)
Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(2)
Apabila
terjadi
perselisihan
antarprovinsi,
antara
provinsi
dan
kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. (3)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final. Pasal tersebut menggunakan istilah perselisihan dan yang diatur lebih
pada fungsi pemerintahan. Selain itu pula ia mengandung makna bahwa yang diselesaikan lebih pada perselisihan kewenangan antar tataran pemerintah dan/atau lembaga pemerintah. Namun demikian, apabila di dalam perselisihan terdapat materi yang menyangkut pengaduan masyrakat, dapat ditafsirkan bahwa pasal ini dapat menjadi landasan hukum oleh masyarakat sebagai dasar untuk menyampaikan pengaduan dan penyelesaian konflik, terutama yang berkaitan dengan tumpang tindih kewenangan
antar sektor (misalnya antara
Departemen Kehutanan dan BPN dalam kasus status tanah di kawasan hutan) maupun antar tataran pemerintah (misalnya batas fisik di lapang antara kawasan hutan konservasi dengan wilayah administrasi pemerintah setempat). Hanya
136
mekanisme penyelenggaraannya di daerah, hingga kini tidak pernah jelas! Kebuntuan upaya penyelesaian konflik terbentur pada: 1) Tidak tersedianya mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik melalu jalur non-peradilan yang diterapkan oleh instansi pemerintah daerah paling terkait yaitu Bapedalda, Dinas Kehutanan, dan Kantor BPN, baik secara sektoral maupun lintas sektoral. 2) Terjadinya pluralisme penafsiran oleh instansi eksekutif pemerintah dan yudikatif di daerah dalam menilai bahwa apakah suatu peristiwa konflik disebabkan oleh tumpang tindih antar-kebijakan atau muncul dari sebuah klaim oleh masyarakat, atau murni disebabkan oleh pelanggaran hukum. Contohnya, sekelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan di dalam kawasan karena keyakinannya bahwa lahan itu milik mereka, ditengarai sebagai perambah dan murni menjadi subyek pelanggaran hukum. 3) Kondisi butir (1) dan butir (2) tersebut mengakibatkan masyarakat melihat lembaga
legislatif
sebagai
pintu
alternative
bagi
mereka
dalam
menyampaiakn tuntutan serta upaya penyelesaian konflik lingkungan yang dihadapi. Banyak kasus diadukan ke DPRD, seperti kasus konflik status kawasan hutan lindung Registes 45B Sumberjaya kabupaten Lampung Barat yang telah diuraikan pada Bab-4, tapi kemudian itupun tidak menghasilkan opsi-opsi penyelesaian yang permanen dan bahkan hanya menjadi konsumsi kepentingan infrastruktur politik semata.
F. Penyelesaian Konflik Di Dalam UU Tata Ruang Orientasi penyelenggaraan tata ruang dipengaruhi oleh ideologi hukum tata ruang yang memayunginya (McAuslan, 1980) yaitu: 1) Private Interest Ideology – keberadaan hukum untuk melindungi hak dan kemerdekaan individual (common law perspective) 2) Public Interest (Orthodox public administration) Ideology – keberadaan hukum untuk memfasilitasi pengamblan keputusan oleh birokrasi (statutory perspective), dan 3) Public Participation Ideology – keberadaan hukum untuk menyediakan partisipasi publik secara lebih luas dalam pembuatan keputusan penataan ruang.
137
Konsensus pilihan terhadap salah satu ideologi hukum penataan ruang tersebut akan berimplikasi pada jawaban atas “apa, kenapa, bagaimana, kapan, dan oleh siapa” yang dipertanyakan dalam penataan ruang. Menurut Andi Oetomo (2006), secara hukum, di Indonesia, khususnya untuk ‘ruang darat/tanah’ berangkat dari “public interest ideology” (kepentingan umum di atas kepentingan privat), sehingga: •
Selain UUPA (UU No. 5/60) juga terdapat UU No. 20/1961 tentang “Pencabutan Hak Hak Tanah Dan Benda Benda Yang Ada Diatasnya”, disertai dengan Inpres No. 9 tahun1973 yang kemudian diganti dengan Keppres No 55 tahun 1993 dan akhirnya diganti kembali dengan Perpres 36 tahun 2005.
•
UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang juga menganut “public interest ideology”, termasuk dengan kelengkapannya seperti PP No. 69 Tahun 1996 Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang dan Permendagri No. 8 Tahun 1998 Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah. Berdasarkan hal tersebut yang di atas, nampak bahwa kebijakan
penataan ruang di Indonesia secara de jure mengindikasikan pemihakan pada “public interest ideology”. Namun dalam fakta penyelenggaraan penataan ruang yang justru dapat berjalan selama ini adalah apabila dilaksanakan secara “partisipatif” dan hal ini dapat dibuktikan dengan adanya PP No.69 Tahun 1996. Walaupun di dalam PP tersebut partisipasi masyarakat masih terbatas sebagai penyedia indormasi, secara de facto dapat dinyatakan bahwa kebijakan penataan ruang Indonesia menuju pada ideologi ke tiga, yaitu public participation ideology dimana pada prinsipnya digunakan proses negosiasi dan musyawarah dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang (kepentingan publik dan privat dari masyarakat sama-sama dipertimbangkan). Wacana konflik penataan ruang perlu ditinjau dari tipologi konflik di sektor ini. Menurut (Minnery, 1985), tipologi konflik dalam penataan ruang terdiri atas: 1) Konflik terhadap (over) penataan ruang; mencakup konflik dalam dimensi manusia, konflik dalam konteks sosial, dan konflik dalam konteks negarabangsa, 2) Konflik mengenai (of) penataan ruang; mencakup metoda (pendekatan), sistem dan desain, dan aspek politik,
138
3) Konflik dalam (in) penataan ruang; mencakup konflik sumber daya (alam, fisik, informasi, dll)), dan 4) Konflik melalui (through) penataan ruang; mencakup konflik akibat profesi, konflik antar organisasi (pemerintah versus organisasi profesional, dll.), konflik akibat alat dan teknik. Berdasarkan tipologi konflik tersebut, dapat diidentifikasi bahwa konflik lingkungan di dalam penataan ruang kawasan hutan di Indonesia mencerminkan semua tipologi, contohnya: •
Konflik hutan adat dan wilayah masyarakat adat merupakan contoh tipologi konflik terhadap penataan ruang dalam konteks pranata sosial kelembagaan masyarakat adat. Di dalam UU No.41 tentang Kehutanan, masyarakat adat diakui apabila kelembagannya masih berlangsung dan diakui oleh peraturan daerah. Hal ini tentunya amat absurd untuk didapati di lapang karena kelembagaan masyarakat adat sudah terleburkan oleh keluarnya Undangundang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selain itu, peraturan derah tentang masyarakat adat pada umumnya berisi dinamika masyarakat adat dalam hal budaya (customary ceremony) dan bukan dalam hal hak atas sumberdaya alam. Di Propinsi Lampung misalnya, pada tahun 1978 terjadi “penyerahan” secara masal oleh Kepala Negeri untuk melaksanan sistem penyelenggaraan pemerintah desa dan meninggalkan sistem pemerintahan negeri. Hal ini kemudian memicu konflik batas desa yang telah memecah unit social masyarakat adat secara geografi termasuk negeri-negeri yang berada di sekitar kawasan hutan.
•
Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan yang dipicu karena perbedaan antara metode teknis penunjukkan kawasan (iklim, fisik lahan, kepentingan stratgeis) yang dipakai oleh Departemen Kehutanan dengan pendekatan sejarah dan batas-batas alam yang dipakai secara tradisional oleh masyarakat setempat, merupakan contoh dari konflik mengenai penataan ruang.
•
Tipologi konflik dalam tata ruang dapat dicontohkan oleh konflik yang terjadi karena kompetisi terhadap penguasaan sumberdaya alam dan ini kerap terjadi pada sector-sektor pembanguan berbasis lahan sekala besar seperti pembukaan perkebuna kelapa sawit oleh swasta.
•
Konflik melalui tata ruang yang ditimbulkan dari perbedaan kepentingan profesi dan lembaganya dapat dicontohkan bagaimana saat ini terdapat
139
banyak konflik yang terjadi antara sektor pertambangan dan sektor kehutanan. Penyelesaian konflik penataan ruang di dalam kawasan hutan pada dasarnya sudah menjadi agenda politis oleh siapa saja yang memimpin kedua sektor tersebut. Pada tahun 2003 pada Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah selaku Ketua Tim BKTRN menyatakan bahwa dalam melaksanakan otonomi daerah dijumpai berbagai isu dan permasalahan pembangunan yang bersifat strategis yang membutuhan suatu pendekatan atau instrumen yang mampu menterpadukan kebijakan dan strategi pembangunan, serta mensinergikan pemanfaatan sumberdaya secara optimal bagi kepentingan masyarkat luas. Beberapa isu dan permasalahan dimaksud antara lain (1)
terjadinya konflik
penataan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, (2) terjadinya percepatan kerusakan lingkungan hingga taraf yang mengkhawatirkan, (3) terjadinya kesenjangan tingkat perkembangan antar wilayah di berbagai bagian wilayah nasional, serta (4) lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan penataan ruang, baik di pusat dan daerah. Sementara itu, Menteri Kehutanan Kabinet Bersatu Jilid-2. Zulkifli Hasan, menegaskan, dalam Program 100 Hari kepemimpinannya, pihaknya akan segera menyelesaikan konflik tata ruang kehutanan (Tempo interaktif, 16 November 2009) Komitmen-momitmen
serupa
acapkali
dilakukan
namun
sejarah
menunjukan bahwa yang diselesaikan hanya simpton-simpton dari suatu peristiwa konflik tanpa diikuti perubahan kebijakan secara sistemik dan siginifikan yang menjadi penyebabnya. Dengan mengambil contoh penetapan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), sejauh ini yang bersepakat hanya kepentingan antar sektor dan/atau antara tataran pemerintah, tanpa kesertaan masyarakat secara aktif apakah mereka menjadi bagian yang turut menyepakati TGHK tersebut. Pengaturan penyelesaian konflik penataan ruang sedikit sekali disinggung di dalam undang-undang Penataan Ruang yang terbaru yaitu UU NO.26 Tahun 2007. Di dalam Pasal 67 tentang Penyelesaian Sengketa hanya dijelaskan bahwa: 1) Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat (Ayat 1). 2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian
140
sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Ayat 2). Namun pada kenyataannya, apabila masyarakat tidak menyepakati pelaksanaan kebijakan penataan ruang, pada kasus pembebasan tanah misalnya, maka pemerintah cukup meninggalkan kompensasi uang ganti rugi di Pengadilan Negeri setempat yang dihitung perdasarkan estimasinya sendiri, sementara di lapangan pengambil alihan lahan dan pencabutan hak masyarakat atas tanah yang akan dijadikan untuk kepentingan umum terus dilakukan dan bahkan secara paksa 3/. Artinya, ketika pemerintah menafsirkan kepentingan publik atas perspektif development right, maka kebijakan pemerintah cenderung menganut public interest ideology dimana pembangunan adalah domain publik (pemerintah) dan ia berhak mengambil hak privat. Padahal, di dalam suatu kewenangan dimana didalamnya hak dan kewajiban melekat satu sama lain (Bagir Manan dalam Ridwan HR, 2006), maka pemerintah wajib menghargai hak privat warga negara terutama jika hak privat tersebut sebelumnya sudah diakui oleh negara. Apabila kecenderungan tersebut terus berlangsung, maka konflik penataan ruang termasuk kawasan hutan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan akan terus terjadi. Ke depan, selain dibutuhkan perubahan kebijakan secara sistemik, ideologi hukum penataan hutan yang sepatutnya ditempuh dengan public participation ideology secara utuh. . G. Pengaduan Perselisihan di Dalam UU Pelayanan Publik Seluruh lembaga pemerintah, bahkan termasuk badan usaha milik pemerintah, berdasarkan sudut pandang peningkatan pelayanan publik sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia wajib memiliki mekanisme mengelola pengaduan dan penyelesaian konflik seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 18 Juli 2009. Undang-undang ini penting karena umumnya konflik lingkungan yang terjadi di dalam pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2: 3
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
141
1) Kelompok pertama: Konflik yang muncul karena ditetapkan dan atau dilaksanakannya suatu peraturan dan/atau kebijakan pemerintah ternyata tidak mampu menjawab isu-isu yang baitan atas klaim masyarakat tempatan atas sumberdaya suatu kawasan hutan Negara. Misalnya klaim tanah oleh masyarakat adat, klaim kepemilikan tanah oleh masyarakat tempatan atau suatu kebijakan perluasan dan/atau penunjukkan kawasan hutan, 2) Kelompok kedua: Konflik yang muncul murni disebabkan oleh pelangaran yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat tempatan dan murni menjadi subjek KUHP. Misalnya pembalakkan liar, perburusan satwa lindung, dan lain-lain. Konflik yang tergolong ke dalam kelompok pertama tersebut adalah konflik-koflik yang sejatinya masuk ke dalam mekanisme pengaduan yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut. Dalam
Undang-undang
No.25
Tahun
2009
tersebut,
setiap
penyelenggara pemerintahan (bahkan termasuk didalamnya adalah BUMN) diwajibkan untuk membangun mekanisme untuk mengelola pengaduan. Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan bagi sebuah lembaga pemerintah untuk tidak membangun kelembagaan pengaduan dan penanganan konflik atas sebuah kewenangan yang diberikan kepadanya. Undang-undang ini penting untuk diselenggarakan oleh instansi sektoral. Untuk lebih jelasnya tentang bagaimana UU No. 25 tahun 2009 mengatur tentang kelembagaan pengaduan ini dapat dilihat dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Kotak-1 halaman berikut. 5.2.4
Pentingnya Kebijakan Afirmatif dan Kebijakan Responsif untuk Penyelesaian Konflik Lingkungan di dalam Kawasan Hutan Kebijakan afirmatif (affirmative policy) adalah kebijakan yang memberikan
kepastian
untuk
bertindak,
kemudahan-kemudahan,
atau
memberikan
pengecualian, termasuk jika payung hukum yang lebih tinggi belum tersedia. Hasil wawancara (pada saat penelitian ini berlangsung) dengan seorang praktisi hukum sumberdaya alam lembaga HuMA, Ricardo Sinamarta, menyatakan bahwa kebijakan afirmatif merupakan hasil dari kewenangan diskresioner, yaitu kewenangan untuk “menyimpang” dari struktur undang-undang karena beberapa hal yaitu: 1) Jika peraturan perundangan yang lebih tinggi tidak tersedia.
142
2) Jika peraturan dan perundangan yang mengatur tentang subjek tidak jelas. 3) Disusun untuk orientasi kemanfaatan dan kepentingan umum dan bukan orientasi kepastian karena kasus empirik memerlukan kebijakan segera, misalnya kelestarian lingkungan. Kotak-5.1 Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian di Dalam UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik.
(1) (2)
(3) (4)
Pasal 36 Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan Pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan. Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu. Penyelenggara berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Penyelenggara berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan.
Pasal 40 (1) Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (2) Masyarakat yang melakukan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan. (3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan; dan b. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Kewenangan diskresioner diberikan kepada pejabat atau badan tata usaha negara, dan dipergunakan untuk hal-hal yang “konkrit”. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut oleh Pemerintah Daerah, badan tata usaha di daerah memiliki kewenangan atributis yaitu kewenangan yang diberikan untuk membuat perda seperti halnya diatur dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lihat halaman 13 UU32/2004). Selain kebijakan afirmatif, dalam penyelanggaran ketata negaraan, pembuatan kebijakan responsif (responsive regulation) dapat dilakukan. Kebijakan responsif merupakan peraturan dan perundangan yang akomodatif terhadap kebutuhan empiris. Implikasinya bisa saja menyimpang secara struktural dari Tata Urutan Peraturan dan Perundang-undangan namun secara normatif masih berpijak kepada kepentingan umum yang menjadi tanggung-
143
jawab
pemerintah
untuk
melayaninya.
Oleh
karenanya,
bentuk-bentuk
penyelesaian konflik secara alternative (Arternative Dispute Resolution) diluar payung kebijakan yang mengatur untuk itu, dapat dibenarkan sepanjang para pihak yang berkonflik menyepakati untuk menempuhnya dan sepanjang kesepakatan yang dihasilkan adalah untuk kepentingan umum dalam arti luas. Fasilitasi pelaksanaan ADR tersebut dapat dilakukan oleh individu atau lembaga independen walau yang bersangkutan tidak memiliki sertifikasi sebagai seorang mediator misalnya. 5.3
Hasil dan Pembahasan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu konflik ada yang
tunggal dan ada yang majemuk dan bahkan bertingkat berbentuk seperti pohon masalah. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang menjadi akar konflik adalah majemuk terdiri dari 26 faktor (akar konflik) yang selanjutnya di dalam analisis jalur disebut sebagai peubah eksogen dan kemudian dikelompokkan ke dalam 9 sub-model. Penanganan konflik merupakan serangkaian upaya untuk menciptakan perdamaian. Dengan pertimbangan skala prioritas penyelesaian konflik, maka tentunya tidak semua akar konflik diselesaikan secara bersamaan, melainkan secara bertahap utamanya terlebih dahulu pada akar konflik yang paling peka dan paling berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Di dalam penanganan konflik, penanganan yang bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang bersengketa melalui penyelesaian akar konflik yang paling dominan disebut sebagai Pengelolaan Konflik (Fisher et al, 2001). Pengelolaan konflik (conflict management) berangkat dari pemahaman bahwa tidak semua konflik dapat diselesaikan
(conflict
settlement,
conflict
resolution),
konsekuensinya
penggunaan terminolgi conflict management mengandung makna bahwa pengendalian konflik tidak selamanya mensyaratkan sebuah penyelesaian sebagai hasil akhir namun dapat berupa perubahan situasi ke arah yang lebih baik dan konstruktif (Solberg dan Miina, 1997). Implikasinya terhadap analisis statistika yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah, pada masing-masing model tidak akan dilihat seberapa nyata (significance) masing-masing peubah eksogen (peubah penyebab) berpengaruh terhadap peubah endogen (peubah akibat), melainkan lebih diutamakan untuk mengetahui dari seluruh peubah
144
eksogen yang ada, peubah eksogen yang manakah yang paling berpengaruh terhadap peubah endogen dengan cara mengetahui koefisien jalur yang memiliki nilai terbesar. 5.3.1
Faktor-Faktor Eksternalitas
Yang
Mempengaruhi
Konflik
Dalam
Submodel
Pada submodel eksternalitas, peubah endogen motivasi keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) dipengaruhi oleh peubah-peubah eksogen bencana alam antropogenik (X1), penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden (X2), informasi pasar (X3), pengaruh pasar (X4), dan sarana pendukung (X5). Dari hasil analisis jalur diperoleh koefisien pengaruh masing-masing peubah eksogen seperti pada Persamaan (21) dan Gambar 5.1 berikut.
X6 = - 0,058*X1 – 0,024*X2 + 0,041*X3 + 0.049*X4 + 0.036*X5 ……
(21)
Keterangan: X6 = peubah akibat keputusan konversi lahan kawasan oleh responden X1 = peubah bencana alam antropogenik X2 = peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden X3 = peubah informasi pasar X4 = peubah pengaruh pasar X5 = peubah sarana pendukung
Bencana alam antropogenik (X1)
Penerimaan Kotor (X2)
-0,024
Informasi pasar (X3)
0,041
-0,058
Pengaruh Pasar (X4)
-0,049
Sarana pendukung (X5)
0,036
Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
Gambar 5.1. Diagram Jalur Sub-model Eksternalitas.
Dari kelima peubah eksogen yang dianalisis, peubah bencana alam antropogenik (X1) berpengaruh negatif sebesar 0,058 dan jika dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang paling tinggi mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan
145
hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Bencana alam antropogenik diukur dari ragam bencana akibat ulah manusia yang pernah dihadapi responden dalam mengolah lahan garapan mereka di luar kawasan. Di dalam penelitian ini, bencanabencana tersebut adalah: (1) kebakaran hutan, (2) erosi dan longsor, (3) banjir dan penggenangan, dan (4) serangan penyakit dan hama tanaman. Berpengaruh negatif menunjukkan bahwa semakin beragam bencana yang mereka hadapi di luar kawasan, maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin rendah. Berdasarkan hasil analisis deskriptif peubah eksogen X1, sebesar 70 persen responden menyatakan menghadapi 3 jenis bencana alam antropogenik (Tabel 5.3.1).
Sementara responden yang menyatakan menghadapi 4 jenis
bencana adalah sebesar 16 persen, sedangkan responden yang menyatakan menghadapi setidaknya 1 hingga 2 jenis bencana adalah sebesar 13 persen. Tabel 5.3.1. Analisa deskriptif peubah bencana alam antropogenik (X1) Peubah Eksogen
X1
Skor
Frekuensi
Persen
,00
1
1,00
0
0
2,00
2
2,0
3,00
11
11,0
4,00
70
70,0
5,00
16
16,0
Total
100
1,0
Deskripsi Skor SKOR = 1, jika responden menyatakan tidak pernah ada bencana antropogenik. SKOR = 2, jika responden memilih satu buah bencana antropogenik. SKOR = 3, jika responden memilih dua buah bencana antropogenik. SKOR = 4, jika responden memilih tiga buah bencana antopogenik . SKOR = 5, jika responden memilih empat buah bencana antropogenik.
100,0
Bencana antropogenik: (1) Kebakaran hutan, 2) Erosi dan longsor, 3) Banjir dan penggenangan, 4) Serangan penyakit dan hama tanaman. Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Berdasarkan analisis deskriptif tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin banyak bencana alam yang dihadapi oleh responden di luar kawasan (yang dicerminkan oleh nilai skor yang semakin tinggi) maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin surut/rendah. Hubungan terbalik tersebut dapat ditafsirkan bahwa responden memiliki perhitungan kehawatiran akan terjadinya bencana serupa jika membuka lahan dan bertani di dalam kawasan hutan. Rendah tingginya motivasi responden dalam mengkonversi lahan dicerminkan oleh ragam motivasi yang dimiliki
146
responden. Semakin beragam motivasi responden, semakin tinggi nilai skornya (Tabel 5.3.2). Penyelesaian konflik yang akan dilakukan adalah dengan mengintervensi akar konflik yang memiliki pengaruh terbesar baik berupa saran, rekomendasi, atau opsi. Di dalam sub-model ini, akar konflik X1 memiliki koefisien jalur X1 Æ X6 sebesar – 0,058 dan merupakan yang terbesar dibandingkan dengan koefisien jalur peubah eksogen lainnya. Temuan tersebut bukan berarti menganjurkan agar bencana lebih banyak terjadi sehingga responden bermotivasi rendah dalam mengkonversi lahan. Temuan ini lebih mengartikan bahwa bencana alam antropogenik yang pernah dialami oleh responden merupakan faktor penghalang bagi responden untuk masuk dan dalam mengkonversi lahan kawasan hutan. Semakin beragam bencana yang dihadapi, semakin rendah motivasi mereka, maka akan semakin kecil investasi yang akan mereka curahkan ke lahan garapan di dalam kawasan. Dalam kondisi demikian maka perlu dilihat faktor eksogen lainnya yang pengaruhnya setingkat di bawah peubah X1, yaitu peubah pengaruh pasar X4. Tabel 5.3.2. Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam memutuskan mengkonversi lahan hutan kawasan (X6) Peubah Endogen
X6
Skor
Frukensi
Persen
,00
2
2,0
1,00
43
43,0
2,00
29
29,0
3,00
7
7,0
4,00
14
14,0
5
5,0
Deskripsi Skor SKOR = 5, jika responden memilih 1, 2, dan 3. SKOR = 4, jika responden memilih 1 dan 2. SKOR = 3, jika responden memilih 1 dan 3. SKOR = 2, jika responden memilih 2 dan 3 SKOR = 1, jika responden memilih 2
Ragam motivasi atau yang melatar-belakangi responden dalam mengkonversi lahan ke dalam Total bentuk penggunaan saat ini. (1) Untuk dijual (berorientasi pasar) 100 100,0 (2) Untuk keperluan sendiri/keluarga (subsisten) (3) Atas saran/ajakan keluarga/kerabat/tetangga. Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11. 5,00
Peubah pengaruh pasar (X4) berpengaruh positif sebesar 0,049 dan jika dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berada pada posisi terbesar kedua dalam mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Pengaruh pasar di dalam hal ini diukur oleh banyaknya jumlah pembeli/penampung komoditas utama yang dihasilkan responden dari lahan garapan mereka di dalam kawasan.
147
Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak pasar komoditas maka akan semakin besar motivasi responden dalam mengkonversi lahan kawasan. Analisis deskriptif menghasilkan bahwa sebesar 95 persen responden menyatakan komoditas hasil utama mereka, yang pada umumnya adalah kopi, dijual kepada pedagang pengumpul atau pasar desa (Tabel 5.3.3).
Mereka
menyatakan bahwa perbedaan harga jual yang diterima dari pedagang pengumpul lebih rendah sebanyak Rp.100,- per kilogram kopi dibandingkan jika mereka menjual langsung ke pasar desa. Kecenderungan menjual kepada pedagang
pengumpul
lebih
disebabkan
oleh
biaya
transportasi
untuk
mengangkut kopi mereka dari dalam kawasan ke pasar desa. Pada dasarnya responden dapat menjual sendiri ke pasar namun mereka tetap tidak memperoleh nilai tambah karena biaya transportasi tersebut, bahkan responden kehilangan waktu yang dipergunakan untuk membawa dan menjual kopi ke pasar. Selain itu antar responden dengan pedagang pengumpul telah memiliki hubungan sosial-ekonomi yang relatif lama. Tidak jarang berbagai sarana produksi
pertanian
dan
bahkan
kebutuhan
rumah
tangga
responden
dibeli/diperoleh dari pinjaman tunai dan/atau inatura dari pedagang pengumpul. Tabel 5.3.3. Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar (X4) Peubah Eksogen
Skor
Frekuensi
Persen
,00
1
1,0
1,00
95
95,0
2,00
3
3,0
3,00
0
0
4,00
1
1,0
5,00
0
0
X4
Total
100
100,0
Deskripsi Skor SKOR = 5 (Pengaruh pasar amat kuat, regional, dan banyak pilihan pembeli), jika responden memilih keempatnya (1, 2 , 3 dan 4). SKOR = 4 (Pengaruh pasar amat kuat dan regional), jika responden memilih angka 1, 2, dan 3. SKOR = 3 (Pengaruh pasar kuat dan regional), jika responden memilih angka 1 dan 2. SKOR = 2 (Pengaruh pasar amat kuat namun lokal), jika responden memilih angka 2 dan 3. SKOR = 1 (Pengaruh pasar kuat namun lokal), jika responden memilih angka 2 atau 3 saja. SKOR = 0 Tidak menjawab.
Para-pihak berpengaruh dan yang selama ini membeli/menampung komoditas utama: (1) Perusahan, (2) Pasar Desa, (3) Pedagang pengumpul, (4) Lainnya. Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Hanya sebesar 3 persen yang menjual kepada pedagang pengumpul dan pasar desa. Pada umumnya lokasi lahan mereka relatif dekat dengan jalan desa.
148
Sebesar 1 persen di antara mereka menjual kopinya kepada perusahaan, pedagang pengumpul, dan pasar desa. Responden tersebut ternyata selain sebagai petani kawasan, juga menerima/membeli kopi dari petani lainnya. Sehingga apabila volume kopi yang akan dijual relatif banyak, maka ia akan menjualnya langsung ke perusahaan bermodal besar untuk menerima kopi dalam partai besar. Pelaku pasar seperti perusahan, pasar desa, dan pedagang pengumpul yang membeli hasil-hasil perkebunan, terutama kopi, dari lahan kawasan merupakan aset pembangunan ekonomi perdesaan. Tentunya amat naif apabila dalam upaya menekan motivasi responden mengkonversi lahan kawasan maka para penampung/pembeli hasil perkebunan tersebut dikurangi jumlahnya, apalagi fakta sejarah memaparkan bahwa: (1) Sejarah produksi kopi di Propinsi Lampung sama tuanya dengan sejarah pembentukan wilayah tersebut sejak masih berupa Kresidenan Lampung pada jaman kolonial Belanda hingga menjadi Propinsi Lampung pada tahun 1964. (2) Demikian pula wilayah Sumberjaya, sejak jaman Belanda tahun 1933 merupakan bagian dari daerah sentra produksi kopi yang membentang dari selatan yaitu Kecamatan Kota Agung, Wonosobo, Talang Padang, Pulau Panggung, lalu menuju ke utara melewati Kecamatan Suoh, Sekincau, dan Sumberjaya, kemudian ke utara lagi hingga Kabupaten Way Kanan Propinsi Lampung hingga ke Perbatasan Propinsi Sumatera Selatan (Verbist, B. dan G. Pasya, 2004). (3) Pada tahun 2003, Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, mendeklarasikan bahwa Propinsi Lampung merupakan Beranda Kopi Nasional Indonesia. (4) Demikian pula di dalam aspek kebijakan. Atas pertimbangan sejarah bahwa selain lada, produksi kopi adalah identitas mata pencaharian khas masyarakat Lampung, maka buah kopi di dalam kawasan hutan mendapat pengecualian dan diklasifikasikan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan tertuang di dalam Perda Propinsi Lampung No.7 Tahun 2000 tentang Iuran Hasil Hutan Bukan Kayu. Adanya fakta sejarah tersebut bukan berarti sama sekali tidak tersedia upaya yang patut dipertimbangkan untuk ditempuh untuk mengintervensi X4 agar
149
motivasi mengkonversi lahan dapat ditekan. Beberapa upaya yang patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut: (1) Pada tahun 2005, pasar kopi internasional hampir memboikot kopi asal Indonesia karena kopi-kopi tersebut ditengarai ditanam di dalam kawasan hutan sehingga menjadi salah satu penyebab degradasi hutan Indonesia saat itu. Walau hingga kini data statistik belum tersedia, kuat dugaan para pemerhati masalah kopi kawasan di Lampung menyatakan bahwa sebagian besar kopi Lampung berasal dari kawasan hutan. Pemboikotan tersebut akhirnya tidak terjadi, namun demikian ke depan resiko tersebut perlu diperdulikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh, yaitu melalui pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benar-benar
tidak
mengganggu
fungsi
kawasan
hutan
sesuai
peruntukkannya. Hal tersebut memerlukan dukungan pemerintah dalam regulasi tata niaga kopi. Menariknya, hasil wawancara pakar dengan WWF Lampung bahwa mereka sejak awal 2006 sudah mulai mempromosikan upaya tersebut dan secara positif direspon oleh pembeli (buyers) regional dan international untuk membeli kopi secara lacak produk yaitu tidak membeli kopi dari dalam kawasan terutama kawasan konservasi dan berupaya meyakini kopi yang dibeli berasal dari zona penyangga (buffer zone) kawasan hutan. Di samping itu, para pembeli dihimbau untuk berperan serta mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam kawasan. (2) Pemberian hak akses (access right) berupa ijin mengelola lahan kawasan hutan bisa menjadi opsi yang baik. Di dalam hak akses biasanya selalui disertai dengan tanggung jawab dan sanksi. Tanggung jawab seperti wajib menerapkan teknik konservasi tanah, jarak tanam ideal, dan sistem tanam kopi multi-tajuk berkombinasi dengan MPTS (Multi Purposes Tree Species), dan lainnya, bisa menjadi pilihan sistem tanam kopi yang secara bersamaan dapat
menyangga
fungsi
lindung
sebuah
kawasan.
Sanksi
berupa
pencabutan ijin dapat menjadi alat penegakkan hak dan tanggung jawab tersebut.
Bentuk hak akses yang dapat dipergunakan saat ini di dalam
kebijakan Kehutanan Indonesia misalnya Ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm)
150
yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan yang memungkinkan masyarakat memperoleh manfaat HHBK dari kawasan hutan lindung. (3) Secara simultan kedua upaya di atas perlu disinergikan dengan penguatan manajemen kawasan sehingga tidak terjadi perluasan areal deforestasi. Khusus areal yang sudah terdeforestasi perlu dilakukan upaya restorasi (tidak hanya flora namun bahkan fauna) melalui berbagai skema baik dengan dan/atau tanpa peran serta masyarakat. Pemberian hak akses seperti diuraikan sebelumnya, merupakan contoh skema restorasi dengan peran serta masyarakat reforestasi kawasan hutan. Peubah informasi pasar (X3) berpengaruh positif sebesar 0,041 dan jika dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berposisi ketiga paling mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak sumber informasi pasar maka akan semakin beragam keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan. Sebesar 51 persen reponden memperoleh informasi harga pasar dari satu sumber saja, sementara sebesar 39 persen memperoleh dari 2 sumber informasi (Lampiran 8-A Tabel 1). Sumber-sumber informasi harga pasar tersebut adalah 1) perusahaan, (2) pedagang pengumpul, (3) pasar desa, dan (4) kerabat/tetangga. Pedagang pengumpul dan kerabat/tetangga merupakan dua sumber utama yang menjadi referensi responden dalam memperoleh informasi harga pasar. Hal tersebut diduga menunjukkan adanya hubungan kepercayaan yang telah terjalin relatif lama antara mereka dengan sumber informasi. Peubah sarana pendukung
(X5) berpengaruh positif sebesar 0,036
terhadap motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan hutan lindung. Sarana pendukung diukur dengan jenis jalan untuk menuju lahan garapan di dalam kawasan. Pada umumnya jalan masuk menuju lahan garapan di kawasan adalah kombinasi (1) jalan desa yang bisa dilalui dalam segala cuaca bahkan oleh kendaraan roda empat, (2) jalan kering yang pada musim penghujan hanya bisa dilewati oleh ojeg dan (3) jalan setapak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Namun demikian terkadang jalan setapak tersebut tetap bisa dilalui oleh ojeg yang umumnya adalah motor trail, walaupun di musim penghujan. Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 60 persen responden menyatakan bahwa jalan masuk ke lahan garapan mereka adalah
151
kombinasi dari ketiga jenis jalan tersebut, sebesar 20 persen hanya jalan kering, dan sebesar 7 persen jalan segala cuaca (Lampiran 8-A Tabel 2). Berdasarkan
modal
transportasi
yang
sering
dipergunakan
oleh
responden khususnya dan masyarakat setempat pada umumnya, variasi jenis jalan dengan tingkat kesulitannya masing-masing tidaklah menjadi hambatan utama karena hampir semua lahan garapan yang telah memiliki jalan setapak dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua terutama ojeg motor trail yang mampu membawa beban hampir mencapai 400 kilogram kopi sekali angkut (Gambar 5.2.).
Gambar 5.2.a., Tahun 2003
Gambar 5.2.b., Tahun 2005
Gambar 5.2. Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan hutan (Sumber photo: Kusworo). Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan (Sumber photo: Peneliti).
Peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden (X2) berpengaruh negatif sebesar - 0,024 dan merupakan akar konflik yang paling rendah mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Namun demikian, peubah ini penting untuk dianalisis lebih seksama mengingat pengaruhnya yang justru negatif dapat ditafsirkan bahwa setiap kenaikan 100 persen penerimaan kotor reponden dari komoditas utama di dalam kawasan akan menurunkan motivasi responden untuk mengkonversi lahan sebesar 2,4 persen. Hal tersebut diduga disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
152
(1) Status lahan garapan yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis walau bagaimanapun juga adalah lahan kawasan hutan milik1 negara. (2) Sepanjang lahan tersebut adalah milik negara, maka responden tidak memiliki kepastian alas hak pemilikan atas lahan (land title) yang digarap mereka. (3) Atas kondisi tersebut diduga setiap manfaat atau keuntungan yang diperoleh responden dari dalam kawasan akan diinvestasikan olehnya di luar kawasan. Berdasarkan hasil perhitungan, sebesar 63% responden memperoleh penerimaan kotor senilai lebih besar dari total konsumsi beras rumah tangga per tahun (Lampiran 8-A Tabel 3). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya sebesar 63% responden berpeluang memperoleh kepastian cadangan pangan (food stock security) dari lahan kawasan yang dikelolanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hal tersebutlah yang menjadi faktor penyebab mengapa responden makin termotivasi mengkonversi lahan. Disebut berpeluang karena masih ada beberapa informasi yang perlu diungkap lebih tuntas yaitu: (1) Peubah eksogen tersebut masih berupa penerimaan kotor dan belum dikurangi biaya produksi. (2) Nilai peubah yang diperoleh tidak mencerminkan produktifitas lahan per hektar. (3) Adanya lahan responden yang belum berproduksi, dan (4) Memang karena nilai penerimaan kotornya lebih rendah dari nilai konsumsi beras rumah tangga. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sebesar 34% responden memperoleh nilai penerimaan kotor komoditas utama lebih rendah dari nilai total konsumsi beras rumah tangga per tahun. Terhadap keempat hal tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Sebagai informasi pelengkap, umumnya komoditas utama yang diusahakan oleh responden di dalam mengkonversi lahan kawasan adalah dengan menaman kopi (Coffea robusta). Ditemui hanya satu responden yang menanam cabai (Fructesen Sp) dan itupun hanya seluas 0,04 hektar, penerimaan kotor reponden yang bersangkutan ternyata lebih besar dari nilai konsumsi berasnya. Harga kopi yang diterima di tingkat responden bervariasi antara Rp.3.900,- hingga Rp. 4.500,- per kilogram. Sedangkan harga beras yang
1
Ada pemahaman bahwa apabila lahan kawasan hutan statusnya belum dikukuhkan maka kawasan tersebut belum resmi disebut sebagai kawasan hutan negara.
153
dikonsumsi oleh responden berkisar antara Rp.2.800,- hingga Rp.3.600,- per kilogram.
5.3.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi dan Ketimpangan Struktural
Konflik
Dalam
Submodel
Pada sub model persepsi dan ketimpangan struktural, terdapat dua persamaan jalur secara paralel, yang pertama yaitu sub-model ketimpangan struktural yang ditujukan untuk mengukur tingkat ordinasi responden (X10) dengan melihat pengaruh dari peubah eksogen tingkat partisipasi responden (X7), tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) dan tingkat keberdayaan responden (X9) seperti terlihat pada Persamaan (22) dan Gambar 5.3. X10 = 0,12*X7 + 0,18*X8 – 0,029*X9 ……….………….
(22)
Keterangan: X10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden X7 = peubah tingkat partisipasi responden X8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden X9 = peubah tingkat keberdayaan responden
Berdasarkan hasil analisis jalur diperoleh bahwa tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) berpengaruh positif sebesar 0,18 terhadap tingkat ordinasi responden (X10). Artinya semakin tinggi tingkat kesejahteraan sosial responden maka akan semakin tinggi pula tingkat ordinasi responden. Tingkat ordinasi dinyatakan tinggi apabila dalam setiap perundingan, responden diajak bicara dan kepentingannya diperhatikan/dipenuhi oleh pemerintah atau pihak lain yang menjadi lawan konflik (Lampiran 8-A Tabel 6).
Tingkat ordinasi responden (X10)
Tingkat keberdayaan responden (X9)
-0,029
0,12
0,18
Tingkat partisipasi responden (X7)
Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8)
Gambar 5.3. Diagram Jalur Sub-model Tingkat Ordinasi Responden.
154
Tingkat kesejahteraan sosial responden diukur dengan menggunakan baku pengukuran tingkat kesejahteraan sosial yang dipergunakan oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang menggolongkan kesejahteraan ke dalam kelompok: (1) Keluarga Pra Sejahtera, (2) Keluarga Sejahtera Tahap I, (3) Keluarga Sejahtera Tahap II, (4) Keluarga Sejahtera Tahap III, dan (5) Keluarga Sejahtera Tahap III Plus. Pada Tabel 5.3.4 terlihat bahwa hanya sebesar 12 persen responden masuk ke dalam kelompok Keluarga Pra-sejahtera, sisanya sebesar 88 persen adalah Keluarga Sejahtera.
Tabel 5.3.4. Analisis deskriptif peubah tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) Peubah eksogen
Skor
Frekuensi
Persen
1,00
12
12,0
2,00
50
50,0
3,00
31
31,0
4,00
7
7,0
Total
100
100,0
X8
Deskripsi Skor
SKOR = 1, jika responden adl Keluarga Pra Sejahtera SKOR = 2, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap I SKOR = 3, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap II SKOR = 4, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III SKOR = 5, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Semakin
tinggi
status
sosial
responden
semakin
tinggi
pula
kepentingannya diperhatikan oleh pihak lain. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa di dalam polarisasi konflik posisi tawar mereka akan cenderung bergeser manjadi pihak/kelompok yang powerful atau yang berkuasa. Kondisi tersebut merupakan suatu kekuatan/modal sosial yang dapat dipergunakan dalam memperjuangkan kepentingan mereka dalam setiap perundingan. Lalu bagaimana dengan mereka yang status sosialnya rendah (dalam kasus ini adalah 12 persen responden yang masuk dalam kelompok Prasejahtera)? Apalagi kelompok tersebut umumnya powerless (lemah) dicirikan oleh berbagai karakter seperti (1) umumnya adalah kelompok yang marjinal dan rentan secara sosial-ekonomi, (2) hak untuk bersuaraa (right to voice) lemah dan cenderung diabaikan oleh pihak yang kuat (powerfull), dan (3) terbatasnya ruang politik bagi mereka untuk mewujudkan kepentingannya. Disinilah peran para responden yang masuk dalam kelompok Keluarga Sejahtera dan powerfull.
155
Responden yang powerfull dan powerless pada dasarnya memiliki keterikatan kepentingan yang sama, yaitu sama-sama sebagai kelompok masyarakat yang memiliki lahan garapan di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Sebagai sebuah kelompok yang saling berketerikatan, maka responden yang powerless akan menempatkan dirinya sebagai bagian dari responden yang powerfull dalam mencapai kepentingan bersama, sebaliknya responden yang powerfull setidaknya memegang posisi mewakili kepentingan responden powerless. Pada interaksi yang demikian akan terjadi kesepakatankesepakatan sosial seperti adanya (1) keterwakilan (representativeness), (2) mandatasi, dan (3) kekuatan monolitik sebuah kelompok untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam menghadapi konflik dengan pihak lain (Isenhart dan Spangle, 2000; Moore, 1996). Sebaliknya, apabila posisi responden yang powerless terlepas dari ikatan kepentingan bersama dengan yang powerfull, maka peluang mereka untuk berhasil memperjuangkan kepentingannya akan kecil bahkan gagal. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Robinson (1998) bahwa satuan organisasi masyarakat lapisan bawah (gassroot communities) harus berbentuk kelompok sebab komunitas masyarakat perdesaan tidak dapat berfungsi sebagai individual yang otonom. Ketika individu-individu direnggangkan dari komunitasnya (baik sosial dan lingkungan alam) mereka menjadi mudah digoyahkan oleh kekuatan luar sehingga menurunkan efektifitas mereka dalam mencapai kegiatan dan kepentingan kolektif yang pada akhirnya posisi tawar yang bersangkutan dalam memperjuangkan kepentingannya akan melemah. Di Peubah tingkat partisipasi responden (X7) berpengaruh positif 0,12 terhadap tingkat ordinasi responden (X10). Artinya semakin tinggi tingkat partisipasi responden akan semakin tinggi tingkat ordinasi mereka. Tingkat partisipasi dinilai dari tipologi partisipasi secara kualitatif yang selama ini selama ini diperankan oleh responden. Di dalam penelitian ini, tingkat kualitas tipologi partisipasi dari buruk ke baik secara hirarkis terdiri atas tujuh macam (Pretty dan Ward, 2000) yaitu (1) partisipasi manipulatif dan dekoratif, (2) partisipasi pasif, (3) partisipasi memberi informasi dan konsultasi, (4) partisipasi insentif material, (5) partisipasi fungsional, (6) partisipasi interaktif, dan (7) partisipasi selfmobilization/mandiri.
Partisipasi manipulatif dan dekoratif yaitu keberadaan
kelompok masyarakat atau perorangan dibentuk oleh pemerintah dan untuk kepentingan sesaat oleh pemerintah, misalnya kelompok dibentuk karena ada bantuan/distribusi bibit dari pemerintah dan kelompok hanya eksis selama proyek
156
berlangsung). Partisipasi self-mobilization/mandiri yaitu kegiatan diinisiasi oleh masyarakat sendiri; hubungan kerja dengan lembaga pemerintah dibangun oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan mereka; pengelolaan sumberdaya alam (hutan) secara otonom diatur oleh masyarakat. Berdasarkan hasil analisis deskriptif (Lampiran 8A Tabel 4), sebesar 41% responden bentuk partisipasinya adalah partisipasi insentif material. Responden berpartisipasi hanya dalam tahap pelaksanaan dengan memperoleh insentif material. Mereka disertakan untuk berpartisipasi menyediakan tenaga kerja dan untuk partisipasi tersebut mereka mendapat insentif berbentuk upah kerja atau bibit. Selain dari tahap pelaksanaan, mereka tidak disertakan dalam tahap perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian. Pada saat penelitian berlangsung setidaknya ada 3 buah kegiatan proyek pemerintah yang mencerminkan tipologi tersebut yaitu: (1) Proyek Pengelolaan Lingkungan Hidup PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Way Besay. Proyek ini adalah proyek insentif yang disediakan bagi masyarakat oleh PLTA Way Besay untuk perlindungan bantaran sungai Way Besay yang bersumber di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Jumlahnya berkisar Rp.150 juta – Rp.200 juta per tahun. Proyek diserahkan ke Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat untuk kemudian dialokasikan ke masyarakat. Oleh Dinas kemudian dana tersebut diberikan kepada masyarakat berupa bibit dan upah kerja. Penerima umumnya masyarakat yang lahan garapannya berada di bantaran sungai. (2) Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Proyek ini adalah proyek dekonsentrasi
yang
sumber
dananya berasal dari BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Seputih - Sekampung. Jumlah dana berkisar Rp.75 juta per tahun yang pengelolaannya dilaksanakan Kehutanan
oleh dan
Dinas
Sumberdaya
Alam Kabupaten Lampung Barat. Dana
tersebut
dialokasikan
ke
kemudian masyarakat
Gambar 5.4. Kelompok petani hutan memperoleh insentif material berupa pupuk dari Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Petani kemudian menebarkan pupuk tersebut ke tanaman raboisasi di lahan garapan dalam kawasan dan untuk itu mereka memperoleh upah kerja. Lokasi: Dusun Rigis Jaya, Desa Gunung Terang, Sumberjaya, 3 Desember 2004. (Sumber photo: Peneliti)
157
berupa bibit, pupuk, dan upah kerja.
(3) Proyek GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Proyek ini dicanangkan sejak tahun 2003. Tahap-1 Penanaman di tahun 2004, kelompok memperolah insentif senilai Rp.2.600.000,- per hektar untuk dipergunakan pengadaan pupuk, transportasi, dan upah tanam (Tabel 5.3.5). Seluruh insentif diberikan kepada kelompok melalui mekanisme BLM (Bantuan Langsung ke Masyarakat), namun kemudian pada pelaksanaan di lapangan banyak didapati kasus bahwa insentif untuk pengadaan pupuk, transportasi pupuk, transportasi bibit dan biaya perawatan bibit diambil-alih oleh oknum aparat lapangan yang persentasenya yang cukup besar yaitu 58,46 persen (dari Rp.2.600.000,- per hektar). Pada Tahap-2 Perawatan dan Penyulaman, total nilai insentif adalah Rp.700.000,- per hektar. Pada pelaksanaan proyek GNRHL tersebut sebenarnya kelompok calon penerima BLM turut partisipasi di dalam tahap perencanaan kebutuhan bibit terutama spesies tanaman yang diminta, yaitu spesies tanaman yang sesuai dengan persyaratan tumbuh dan kesesuaian terhadap agro-ekosistem lokal. Namun dalam pelaksanaannya, bibit yang dialokasikan berbeda dengan apa yang diusulkan. Belum diketahui mengapa hal ini bisa terjadi. Sebagai catatan, dengan dalih baku mutu bibit dalam proyek masih
tersebut
pengadaan
menjadi
bibit
kewenangan
Departemen Kehutanan, sedangkan pengendalian
kualitas
bibit
yang
diberikan dilakukan oleh perguruan tinggi Universitas Lampung (UNILA). Ironisnya, hasil pengendalian kualitas bibit oleh UNILA hanya 60% bibit yang layak mutu, selebihnya tidak layak. Setiap hektar lahan GNRHL mendapat insentif berupa sebanyak 1100 bibit tanaman.
Di
dalam
sub-model
perbedaan
Gambar 5.5. Insentif GNRHL berupa bantuan bibit yang diterima oleh kelompok HKm – MWLS sedang ditranspor menuju hamparan lahan di dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis. Lokasi: Desa Tugusari Sumberjaya, 20 Januari 2005. (Sumber photo: Peneliti)
struktural
ini,
peubah
tingkat
keberdayaan responden (X9) memiliki pengaruh terendah terhadap peubah
158
tingkat ordinasi responden (X10)
dan bahkan pengaruhnya adalah negatif
ditunjukkan oleh koefisien jalur yang dihasilkan yaitu – 0,029. Walapun pengaruhnya relatif kecil, namun hal ini perlu dicermati karena logikanya, semakin berdaya sebuah kelompok maka akan semakin baik tingkat ordinasinya. Tingkat keberdayaan kelompok diukur dari keragaman responden dalam memperoleh (1) pendampingan hukum, (2) pengorganisasian kelompok, dan (3) penguatan usaha ekonomi rumah tangga baik yang diselenggarakan oleh LSM, perguruan tinggi, maupun instansi pemerintah. Berdasarkan hasil analisis deskriptif
pada (Lampiran 8A Tabel 5) ditemukan bahwa hanya sebesar 31
persen responden yang pernah mendapat ketiga jenis pendampingan tersebut. Sebesar 29 persen pernah mendapat dua jenis pendampingan, dan sebesar 20 persen hanya pernah mendapat satu jenis pendampingan. Yang mengejutkan yaitu sebesar 20 persen responden tidak pernah mendapat pendampingan sama sekali yang setelah diteliti lebih jauh ternyata: (1) Responden tersebut tidak menjadi anggota kelompok berkepentingan tertentu, misalnya menjadi anggota kelompok HKm dan kelompok tani lainnya. Tabel 5.3.5. Daftar insentif material dan upah kerja dalam pelaksanaan Proyek GNRHL di Sumberjaya, 2004.
No
Tahap
1
Tahap I Penanaman - Pupuk - Transportasi pupuk - Upah kerja penanaman - Upah kerja pemupukan - Upah kerja pelubangan - Upah kerja pelorongan - Biaya angkut bibit - Biaya perawatan bibit - Pembuatan papan naman - Pembangunan gubug kerja
Insentif yang tetap dikelola oleh kelompok penerima BLM – GNRHL (*)
Bagian yang diambil kembali dan dikerjakan oleh aparat Dinas Kabupaten (**) XX XX
X X X X XX XX X X
2
Tahap II Perawatan dan Penyulaman - Upah kerja perawatan X - Upah kerja penyulaman X - Upah mandor X Sumber: Wawancara dengan responden yang juga adalah anggota Kelompok HKm penerima bantuan GNRHL.
(2) Ada juga responden yang tidak pernah ikut dalam pendampingan karena selama ini diwakili oleh pengurus kelompoknya.
159
Pengaruh negatif peubah X9 terhadap peubah X10 tersebut amat penting sebagai
bahan
refleksi
bagi
para
pihak
yang
sering
melaksanakan
pendampingan di wilayah setempat diantaranya yaitu WATALA, ICRAF, YACILI, UNILA, dan beberapa unit teknis Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (seperti Dinas Kehutanan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Koperasi), terutama adanya kemungkinankemungkinan terdapatnya berbagai kelemahan pendamping/pendampingan yaitu: (1) Pendampingan tidak pernah didahului oleh kegiatan analisa kebutuhan (need assessement)? Jika pernah, apakah analisa kebutuhan tersebut kontekstual? (2) Adanya indikasi bahwa kegiatan pendampingan tersebut bersifat project driven oleh para pendamping. (3) Materi pendampingan belum bisa dicerna oleh masyarakat baik secara budaya maupun bahasa. (4) Kegiatan pendampingan tidak mampu mengantisipasi apakah responden pada tahap selanjutnya memiliki keberdayaan (sosial, ekonomi, dan politik) untuk menindak lanjuti hasil-hasil pendampingan. (5) Proses pendampingan yang kurang memperhatikan kemungkinan kelompok masyarakat yang didampingi di kemudian hari menjadi lebih powerfull dari pihak lain yang menjadi lawan konflik sehingga melakukan gaya mengelola konflik secara represif (menekan pihak/lawan konflik)2. Dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih jauh tentang efisiensi dan efektifitas kegiatan pendampingan yang dilakukan selama ini. Persamaan kedua di dalam sub model persepsi dan ketimpangan struktural adalah sub-model persepsi yang ditujukan untuk mengetahui pengaruh antara kelompok peubah eksogen
yang terdiri atas tingkat pendidikan
responden (X16), lama tinggal di kawasan (X17), dan kosmopolitansi responden (X18) terhadap kelompok peubah endogen yang terdiri atas persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14) sebagaimana terdapat pada Persamaan 23 dan Gambar 5.6. 2
Pada kondisi demikian, pendampingan dalam penanganan konflik perlu dilakukan kepada semua pihak yang secara aktual di dalam konflik tersebut sehingga terlebih dahulu tercipta kondisi dimana semua pihak memiliki kesetaraan posisi dan kepentingan.
160
X12 = 0.24*X16 - 0.075*X17 + 0.41*X18 X13 = 0.23*X16 - 0.14*X17 + 0.36*X18 X14 = 0.26*X16 - 0.10*X17 + 0.36*X18
…………… (a23) .…………… (b23) …………….. (c23)
Keterangan: X12 = peubah akibat persepsi tentang status kawasan hutan negara X13 = peubah akibat persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X14 = peubah akibat persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan X16 = peubah tingkat pendidikan responden X17 = peubah lama tinggal di kawasan X18 = peubah kosmopolitansi responden
Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12)
0,24 0,23 0,26
Tingkat pendidikan pesponden (X16)
- 0,075 Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)
-0,14 -0,10
Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14)
0,36 0,36
Lama tinggal di kawasan (X17)
0,41 Kosmopolitansi responden (X18)
Gambar 5.6. Diagram Jalar Sub-model Persepsi Berdasarkan perncematan terhadap persamaan a23, b23 dan c23, diperoleh keserupaan pola pengaruh peubah eksogen terhadap peubah endogen, yaitu: (1) Peubah eksogen kosmopolitansi responden (X18) memiliki nilai koefisien jalur yang paling tinggi dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,41 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), 0,36 terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan 0,36 terhadap persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14). (2) Peubah eksogen tingkat pendidikan responden (X16), memiliki nilai koefisien jalur pada posisi kedua dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,24 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), 0,23
161
terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan 0,26 terhadap persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14). (3) Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17), memiliki nilai koefisien jalur terendah dan negatif terhadap ketiga peubah endogen yaitu -0,075 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), - 0,14 terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan – 0,10 terhadap persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14). Peubah eksogen kosmopolitan responden (X18)
diukur dengan
keragaman sumber informasi dan pengetahuan responden dalam memahami Otonomi, status dan fungsi kawasan hutan lindung Bukit Rigis, yaitu bersumber dari
(1)
media
masa/buku
yang
didapat
secara
mandiri,
(2)
teman
dekat/tetangga/tokoh masyarakat setempat, (3) pendamping, (4) lembaga penelitian/perguruan tinggi/dinas pemerintah, atau (5) tidak pernah memperoleh informasi.
Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa semakin kosmopolitan
responden, maka semakin baik persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Hasil analisis deskriptif, hanya 7 persen responden yang menyatakan tidak/belum memiliki sumber informasi tentang status kawasan, fungsi hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Walau persentasi tersebut relatif kecil, hal tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja. Ketidak-tahuan masyarakat mengenai ketiga hal tersebut justru yang mungkin menjadi penyebab benih-benih konflik pada di masa lalu, saat ini, dan bahkan di masa yang akan datang. Peubah endogen X12, X13 dan X14 selanjutnya juga dipengaruhi secara positif oleh peubah eksogen tingkat pendidikan responden (X16). Berarti dapat ditafsirkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal responden, akan semakin baik persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Peubah eksogen X16 tersebut diukur dengan lamanya pendidikan formal yang ditempuh dengan deskripsi seperti tertulis pada Lampiran 8A Tabel 10. Dari deskripsi tersebut, respoden terbesar berlatar pendidikan formal lulus Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah, atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan formal tingkat dasar walau tidak tamat; yaitu sebesar 7 persen. Sebesar
16
persen
responden
tamat
pendidikan
formal
SLTP
Umum/Kejuruan/Madrasah Tsanawiyah atau pernah drop out. Lalu, sebesar 6
162
persen responden tamat pendidikan formal SMU/kejuruan/Madrasah Aliyah atau pernah drop out. Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17) meliputi kondisi-kondisi sebagai berikut yaitu: (1) adalah lamanya mereka menetap di dalam kawasan, (2) lamanya mereka menguasai lahan garapan di dalam kawasan walaupun mereka tidak menetap di sana melainkan menetap di desa sekitar kawasan. Peubah tersebut diukur dalam satuan tahun, kemudian diberi skor yang nilainya mencerminkan periode-periode penting berkaitan sejarah mobilisasi penduduk setempat yang dapat mempengaruhi status lahan mereka seperti terlihat pada Lampiran 8 A Tabel 11. Periode-periode penting tersebut yaitu: (1) Apabila berdasarkan lama tinggal mereka didapat bukti sejarah bahwa mereka mulai tinggal disana pada masa Transmigrasi BRN tahun 19511953, (Skor = 2). (2) Mereka yang mulai tinggal disana setelah masa Transmigrasi BRN (setelah tahun 1954) hingga tahun 1994 pada saat patok tata batas kawasan hutan lindung Register 45B mulai dikonstruksi (Skor = 3). (3) Mereka yang mulai tinggal disana setelah tahun 1994, yaitu tahun ditetapkannya Berita Acara Tata Batas (BATB) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis (Skor = 4). Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17) berpengaruh negatif terhadap peubah endogen X12, X13 dan X14. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa semakin tinggi nilai skor X17 maka semakin rendah persepsi dan pemahaman mereka terhadap status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Semakin tinggi nilai skor X17, mencerminkan semakin singkat lama tinggal responden di dalam kawasan dan kondisi demikian amat memungkinkan menjadi penyebab bahwasanya pemahaman responden terhadap status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan pun akan semakin lemah. Sejarah lama tinggal merupakan salah satu indikator penting terhadap menguat atau melemahnya status lahan garapan responden di dalam kawasan. •
Apabila responden menguasai lahan tersebut setelah BATB kawasan hutan lindung Register 45B ditetapkan, maka peluang status lahan garapan untuk diklasifikasikan sebagai lahan yang dapat di-enclave-kan adalah nil (=0). Berdasarkan fakta di lapangan, contoh lahan seperti ini adalah lahan yang
163
terletak di sekitar “Hutan Pinus” di Desa Sukapura yang konversinya terjadi pada era reformasi di awal tahun 2000-an. Bahkan disinyalir lahan-lahan yang terletak di tepi jalan raya tersebut adalah milik oknum pejabat pemerintah. Perlu penelitian lebih lanjut tentang ini. (Gambar 5.6.a) •
Apabila responden menguasai lahan tersebut antara masa transmigrasi BRN hingga saat sebelum BATB ditetapkan, atau, mereka menguasai lahan sejak masa transmigrasi BRN 1951-1953, maka lahan tersebut berpeluang untuk diklasifikasikan sebagai lahan yang dapat di-enclave-kan sehingga statusnya yang semula dikuasai berpeluang menjadi dikuasai dan dimiliki. Contohnya adalah beberapa bagian wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sumberjaya (Gambar 5.7.b).
Gambar 5.7.a
Gambar 5.7.b
Gambar 5.7. Areal penghijauan yang dahulunya dikenal dengan “Hutan Pinus” (Gambar 5.7.a, Juli 2006) kini telah terkonversi ke dalam bentuk penggunaan lain (Sumber photo: Nurka C. Ningsih, asisten peneliti). Gambar 5.7.b (Januari 2005) adalah rona fisik pemukiman penduduk Desa Sukapura yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, mereka adalah bagian dari Transmigrasi BRN tahun 1951-1953 (Sumber photo: Peneliti).
Pada beberapa kasus tidak selamanya semakin singkat lama tinggal semakin lemah persepsi dan pemahaman responden.
Sering juga ditemui
sebaliknya justru semakin lama masa tinggal semakin lemah persepsi dan pemahaman responden tentang status dan fungsi kawasan hutan. Indikasi ini misalnya terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan di Tahura (Taman Hutan Rakyat) Wan Abdul Rahman – Gunung Betung, Propinsi Lampung. Hasil wawancara dengan beberapa pakar kehutanan di Propinsi Lampung, terjadinya kasus tersebut memperkuat teori weapon of the weak (senjatanya orang-orang yang kalah) (Scott, 1985; Peluso, 1992): (1) Mereka pada dasarnya memiliki persepsi dan pemahaman yang baik, namun diduga berpura-pura tidak mengerti semata-mata untuk menghindari jeratan
164
hukum. Termasuk diantaranya pura-pura tidak tahu letak batas kawasan dan bukan kawasan hutan, merusak tanaman reboisasi karena mereka tidak memperolah manfaatnya, dan lain-lain. Tindakan-tindakan semacam itu merupakan contoh illustrasi visual seperti pada Gambar 5.8. (2) Mereka semula memiliki persepsi dan pemahaman yang baik, namun
kemudian berubah menjadi melemah dan bahkan kebingungan. Misalnya kasus di Dusun Pemerihan Desa Sukamarga Kecamatan Bengkunat Kabupaten Lampung Barat. Dusun tersebut berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Masyarakat semula mengerti bahwa lahan mereka berada dalam kawasan dan tidak boleh menggarap di dalamnya.
Namun ada sebagian anggota masyarakat yang dengan
tenaganya tetap menggarap karena disinyalir ternyata mereka memberi iuran tak resmi kepada oknum lapang. Akibatnya, kelompok masyarakat yang pertama jika ditanya apakah mereka paham tentang status lahan garapan mereka, mereka hanya menjawab dengan apatis “Embuhlah, aku ora ngerti!” (Bahasa Jawa yang artinya: “Entahlah, saya tidak tahu!”).
Gambar 5.8. Contoh “Weapon of the Weak” di Tahura Wan Abdul Rahman, Desember 2002. Pohon Sonokeling hasil reboisasi dikerat pangkal batangya oleh orang tidak dikenal hingga akhirnya pohon tersebut mati secara perlahan. Semakin subur pohon tersebut, maka tanaman bertajuk rendah dibawahnya perlahan-lahan menjadi tidak produktif. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab. (Sumber Photo: Peneliti)
(3) Selain itu banyak kasus terjadinya “penghilangan” atau penggeseran (kedalam atau keluar) patok batas kawasan hutan yang dilakukan oleh
165
orang-orang yang tidak dikenal sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap proses konstruksi tata batas kawasan hutan. Pada tahap selanjutnya, sub-model Persepsi dan Ketimpangan Struktural kemudian dibangun dengan memadukan persamaan (22) dan (23) serta dengan penambahan peubah eksogen baru yaitu peubah tindakan represif oleh pemerintah (X11), Pada Sub-model ini, yang semula X10, X12, X13, dan X14 adalah peubah endogen kemudian berubah menjadi peubah eksogen terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) seperti terlihat pada Gambar 5.9 dan persamaan (24). X15 = - 0.038*X10 + 0.25*X12 + 0.19*X13 – 0.078*X14 + 0.19*X11…(24) Keterangan: X15 = peubah akibat keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi X10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden X11 = peubah tindakah represif oleh pemerintah X12 = peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara X13 = peubah persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X14 = peubah persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12)
0,25
0,19 Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15)
-0,078
0,19 -0,038
Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)
Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14)
Tindakan represif oleh pemerintah (X11)
Tingkat ordinasi responden (X10)
Gambar 5.9. Diagram jalur Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural Berdasarkan hasil analisa jalur, dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) memiliki
166
koefisien jalur tertinggi dan berpengaruh positif terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) yaitu sebesar 0,25. Demikian pula peubah persepsi tentang fungsi lingkungan kawasan hutan negara (X13) berpengaruh positif terhadap peubah X15 yaitu sebesar 0,19 walaupun kekuatan pengaruhnya berada pada posisi kedua setelah peubah X12. Oleh karenanya dapat ditafsirkan bahwa semakin baik persepsi responden tentang status dan fungsi lingkungan kawasan hutan maka semakin intensif keterlibatan mereka di dalam peristiwa-peristiwa dialog dan negosiasi.
Hasil
analisis deskriptif, sebesar 49 persen responden menyatakan pernah terlibat dalam dialog dan negosiasi, keterlibatannya beragam dari amat jarang hingga amat sering (Lampiran 8A Tabel 13). Sedangkan lainnya sebesar 50 persen belum pernah terlibat dlaam dialog dan negosiasi, namun demikian berdasarkan catatan lapangan kepetingan mereka diperjuangkan oleh para wakil kelompok mereka serta adanya prose internalisasi hasil dialog oleh wakil ke dalam kelompok masing-masing. Jika ditinjau berdasarkan keterlibatan para pihak, pada saat ini bentuk dialog dan negosiasi yang berlangsung di lapang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) dialog bipatriat yang hanya melibatkan responden dengan pihak pemerintah, khususnya unit teknis sektor kehutanan seperti Dinas Kehutanan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat, Dinas Kehutanan Propinsi, atau BP DAS Seputih Sekampung; pada umumnya dialog dan negosiasi ini lebih banyak diprakarsai oleh unit teknis pemerintah, dan (2) dialog dan negosiasi multipihak yang melibatkan berbagai pihak berkepentingan, baik mereka yang kepentingannya terkait secara aktual maupun potensial; dan pada umumnya dialog dan negosiasi diprakarsai atas kepentingan dan kebutuhan bersama. Melalui dialog dan negosiasi multipihak tersebut dihasilkan berbagai prakarsa kebijakan setempat (Kotak 5.1) yang dapat diklasifikasikan sebagai kebijakan afirmatif.
Pada pola konvensional, substansi kebijakan
umumnya disusun bersama antara lembaga eksekutif dan legislatif. Sementara pada kasus Perda Kabupaten Lampung Barat Nomor: 11 Tahun 2004, subtansi disusun bersama wakil masyarakat non-parlemen secara partisipatif dan merupakan kebijakan responsif pemerintah kabupaten (Ayres dan Braithwaite, 1992) melalaui kewenangan atributis dan kewenangan diskresioner yang dimiliki. Pembahasan rancangan perda lebih sebagai proses ratifikasi di tingkat legislatif dan eksekutif.
167
Kotak 5.2 Beberapa Platform Dialog dan Negosiasi Multipihak Di Kabupaten Lampung Barat Di kabupaten Lampung Barat saat ini terdapat beberapa platform yang menjadi tempat dialog dan negosiasi kepentingan secara multipihak, diantaranya yaitu: (1) Tim Kajian Kebijakan – Tata Ruang dan Guna Lahan (TKK-TRGL) Kabupaten Lampung berbasis masyarakat (community based organisation/CBO), lembaga swadaya masyarakat baik lokal, regional, maupun internasional, unit teknis pemerintah kabupaten, perguruan tinggi, dan sektor swasta. Eksistensi TKKTRGL dinaungi oleh Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung Barat No:B/37/KPTS/02/2001. Sejak terbentuknya tim tersebut, tercatat beberapa output kebijakan penting yang secara substantif isinya merupakan kesepakatankesepakatan kepentingan antar pihak, diantaranya: a. Prakarasa tersusunnya Perda Kabupaten Lampung Barat No. 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat. b. Surat Keputusan Bupati Lampung Barat Nomor: 11 Tahun 2004 Tentang Panduan Teknis Indikator dan Kriteria Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Program Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat. c. Telaah Kebijakan (policy memo) tertanggal 20 Agustus 2001 tentang penundaan pemberlakuan Perda Propinsi Lampung No. 7 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pemungutan Terhadap Pengambilan Hasil Hutan Buka Kayu di Kawasan Hutan di Wilayah Kabupaten Lampung Barat. (2) Forum Dialog Pengelolaan Sumberdaya Alam – DAS Way Besay, pembentukan forum tersebut diprakarsai sejak tahun 2002 dan kemudian secara institusional keberadaannya dinaungi oleh Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung Barat Nomor:B/252/Kpts/IV.05/2003 tentang Pembentukan Forum Dialog Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Das Way Besay Kabupaten Lampung Barat. Fokus kegiatan forum pada pengelolaan sumberdaya hutan dikaitkan dengan perlindungan fungsi DAS dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Forum ini merupakan wujud nyata dari keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. (3) Waremtahu (Wadah Rembug Petani Hutan) Bukit Rigis – Sumberjaya. Wadah tersebut terbentuk pada tahun 2002 dan merupakan forum diskusi antar sesama kelompok HKm di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis – Sumberjaya. Didalam forum tersebut para anggota saling berdialog tentang halhal yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan HKm baik dari aspek kebijakan maupun teknis.
Pencapaian-pencapaian dalam dialog dan negosiasi multipihak tersebut memperkuat pandangan Chevalier (2001) tentang pentingnya multi-stakeholders capital dalam penangan konflik. Secara khusus Chevalier memisahkan multistakeholders capital dari social capital yang lebih luas. Dia menyatakan bahwa didalam ekosistem sosial terhadap berbagai komunitas atau kelompok atau bahkan fraksi yang masing-masing memiliki kepentingan. Apabila perbedaaan kepentingan antar kelompok bisa dikelola secara konstruktif, maka masingmasing kelompok tersebut memperoleh manfaat.
Hal tersebut penting
mengingat bahwa selama ada interaksi manusia dengan alam dan/atau antar
168
manusia, maka konflik akan selalu hadir ditengah-tengahnya (Wijardo et al, 2001), dan menurut Solberg dan Miina (1997) konflik terjadi hampir di semua jaringan sosial (social setting). Konflik dapat menciptakan perubahan dan konflik selalu memiliki dua sisi inheren yaitu potensi resiko (yang muncul akibat destruktif konflik) dan potensi manfaat (yang muncul akibat konstruktif konflik), konflik menjadi produktif dan positivism apabila konflik yang terjadi adalah konstruktif konflik. Pada peubah persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14), pengaruh yang terjadi justru sebaliknya yaitu berpengaruh negarif terhadap X15 sebesar – 0,078 dan berada pada posisi ke empat, peubah X14 seyogyanya memberikan pola pengaruh yang sama seperti hanya peubah X12 dan X13 berpengaruh positif terhadap X15.
Pengaruh negatif tersebut diduga
disebabkan oleh temuan-temuan berikut: (1) Sebesar 66 persen responden memiliki persepsi bahwa dalam desentralisasi pengelolaan
kawasan
hutan
merupakan
hal
dan
tanggung
jawab
masyarakat, pemerintah, pemerintah propinsi dan kabupaten (Lampiran 8A Tabel 9). Namun ketika diwawancara lebih jauh, diperoleh kesan bahwa mereka masih merasa tidak jelas secara konkrit apa hak dan tanggungjawab mereka.
Mereka memberi contoh diantaranya yaitu: masyarakat diminta
berpartisipasi untuk turut mengamankan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis, namun di sisi lain mereka mengetahui adanya berkubik-kubik kayu hasil pembalakan liar yang dikawal oleh oknum polisi keluar dari kawasan hutan tersebut dan ketika peristiwa tersebut dilaporkan ke pihak yang berwenang (Dinas Kehutanan dan PSDH Kabupaten Lampung Barat) tidak pernah terdengar tindak lanjutnya. Contoh lainnya adalah pada pelaksnaan GNRHL,
beberapa
komponen
kegiatan
ditanggungjawabkan
kepada
masyarakat, namun kemudian ditarik kembali oleh oknum Dinas Kehutanan (Lihat Tabel 5.3.5).
Konsistensi/inkonsistensi pelaksanaan peraturan dan
ketauladanan aparat di tingkat lapang merupakan faktor penting di dalam kasus tersebut. (2) Sebesar
32
persen
responden
menyatakan
tidak
paham
tentang
desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan, termasuk tidak mengerti apa hak dan tanggungjawab mereka.
Ketidakpahaman tersebut dapat
disebabkan oleh terbatasnya akses informasi responden tentang hal-hal yang
berkaitan dengan desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan.
169
Lazimnya di daerah perdesaan, informasi penting yang berkaitan dengan peraturan perundangan umumnya terakumulasi di tangan-tangan aparat desa, tokoh masyarakat dan individu yang menjadi elit kelompok masyarakat tertentu. Peubah tindakan represif oleh pemerintah (X11) berpengaruh positif sebesar 0,19 terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) dan merupakan peubah yang pengaruhnya berada pada posisi ketiga. Pengaruh positif tersebut dapat ditafsirkan bahwa semakin represif tindakan pemerintah yang dialami responden, maka responden akan semakin aktif terlibat dalam dialog dan negosiasi. Pola pengaruh tersebut sangat kasuistik.
Dikatakan kasuistik karena
pada penyelenggaraan sistem pemerintahan yang tirani, diktatorian, dan sentralism kecenderungan yang terjadi justru semakin represif tekanan dari pemerintah, maka semakin pasif masyarakat yang powerless terlibat di dalam dialog dan negosiasi karena tidak adanya kesetaraan posisi, tidak tersedianya ruang politik, dan pemandulan hak bersuara (marginalizing right to voice), artinya apabila kondisi tersebut diadopsi ke dalam model ini, maka pengaruh X11 terhadap X15 seharusnya negatif. Penelitian ini diselenggarakan pada suatu era reformasi yang sedang gencar-gencarnya menyelenggarakan sistem pemerintahan secara desentralistik dan otonomi. Prinsip-prinsip transparansi, partisipatif, keterwakilan merupakan beberapa contoh prinsip yang menjadi bagian kelengkapan dari proses penyelengaraan desentralisasi dan otonomi tersebut. Tersedianya ruang politik alternatif seperti platform-platform multipihak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan bagian dari upaya antisipasi apabila terjadi kasus kemandulan-kemandulan perjuangan politik pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan melalui jalur formal konvensional, misalnya kemandulan DPRD dalam memperjuangkan suara rakyat (lihat bab 4, bagaimana tim-tim penyelesaian sengketa tanah yang pernah dibentuk oleh Komisi A baik di DPRD kabupaten dan DPRD propinsi pada tahun 1994 tetap tidak menghasilkan sesuatu terhadap penyelesaian kasus sengketa status lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis).
Oleh karenanya, pada kondisi demikian,
pengaruh positif X11 terhadap X15 yang dibuktikan melalui model ini dapat saja terjadi dan secara logika dapat diterima.
170
Peubah tingkat ordinasi responden (X10) berpengaruh negatif sebesar 0.038 terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15). Artinya, semakin ordinasi atau semakin powerfull responden maka keterlibatannya secara aktif untuk berdialog dan bernegosisasi semakin rendah. Fakta ini mendukung teori penanganan konflik, bahwa ada beberapa prakondisi yang perlu terpapar (exposed) sebelum suatu perundingan dapat dengan sukses diselenggarakan dan memberikan manfaat, diantaranya yaitu: (1) Adanya mutual trust (rasa saling percaya) pada masing-masing pihak yang berkonflik
bahwa
satu
sama
lain
akan
memperoleh
manfaat
dari
penanganan konflik yang akan dilakukan baik melalui dialog, negosiasi, media atau bentuk penyelesaian konflik secara alternatif lainnya (Pretty dan Ward, 2001) (2) Adanya keseimbangan kekuatan antar pihak yang berkonflik sehingga dapat mendorong pihak-pihak tersebut ke meja perundingan. Apabila salah satu pihak amat ordinasi atau superior, maka pihak tersebut cenderung akan: (1)
berperilaku agitatif dan refresif dalam mencapai tujuannya dengan menghilangkan hak
dan kepentingan pihak lain, baik melalui
perundingan maupun tindakan fisik di lapang, atau (2)
akan mengabaikan kepentingan pihak lawan konflik, misalnya tidak mau diajak berunding.
Seperti telah dibahas sebelumnya, dalam penelitian ini ada tiga faktor yang mempengaruhi ordinasi responden yaitu tingkat keberdayaan responden, tingkat kesejahteraan sosial responden, dan tingkat partisipasi responden (Lihat Persamaan 5.3). Selain dari ketiga faktor tersebut perlu juga dilihat hal-hal yang dapat membuat responden memiliki superioritas “semu/sesaat” misalnya faktor kedekatan dirinya dengan pusat kekuasaan dalam pemerintahan (pejabat tertentu) atau partai politik yang sedang berkuasa pada saat itu (Borrini dan Feyerabend,
2000).
Faktor
yang
terakhir
tersebut
dapat
penyelenggaraan perundingan secara multipihak untuk diwujudkan.
mempersulit
171
5.3.3. Faktor-Faktor Kelangkaan
yang
Mempengaruhi
Konflik
Dalam
Submodel
Seperti dinyatakan oleh Buckles (1999), bahwa peningkatan kelangkaan sumberdaya alam (yang diantaranya disebabkan oleh terjadinya perubahan lingkungan, pertumbuhan penduduk dan peningkatan permintaan, serta pola pendistribusian yang tidak merata) merupakan penyebab timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan. Berdasarkan teori tersebut, submodel kelangkaan dikembangkan ke dalam persamaan jalur yang dapat dibangun sebagaimana terdapat pada Gambar 5.10 dan persamaan (25). Pemilihan keempat peubah di dalam persamaan tersebut sehingga menjadi peubah-peubah yang akan diteliti dilakukan dengan wawancara pakar sebelum penelitian ini dilaksanakan.
Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
0,15
0,31
Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19)
Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20)
- 0,10 Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan (X21)
Gambar 5.10. Diagram Jalur Sub-model Kelangkaan
X22 = 0.15*X19 + 0.31*X20 – 0.10*X21 …………………….(25) Keterangan: X19 = peubah penguasaan lahan pertanian di luar kawasan X20 = peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan X21 = peubah pendapatan rumah tangga responden di luar kawasan X22 = peubah akibat persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan
Berdasarkan hasil analisis jalur, peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20) memiliki pengaruh positif 0,31 terhadap peubah akibat persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan (X22) dan merupakan koefisien jalur tertinggi dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya.
Artinya, semakin lemah atau semakin tidak jelas status
kepemilikan lahan pertanian responden di luar kawasan, maka persepsi kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan semakin tinggi. Berdasarkan hasil
172
analisis deskriptif (Lampiran 8B Tabel 15) diperoleh fakta bahwa sebesar 36 persen responden tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan, memiliki lahan tapi tidak dilengkapi surat kepemilikan sebesar 2 persen, hanya dilengkapi dengan surat jual beli, bukti girik, atau pajak PBB sebesar 19 persen, telah dilengkapi dengan SKT (Surat Keterangan Tanah) sebesar 12 persen, dilengkapi dengan Akte Tanah sebesar 2 persen, dan telah memiliki sertifikat hak milik sebesar 29 persen. Hubungan pengaruh positif X20 terhadap X22 yang ditunjukkan oleh semakin lemahnya status kepemilikan tanah pertanian, maka semakin kuat persepsi mereka untuk memiliki lahan garapan di dalam kawasan hutan memperkuat pernyataan sejarawan Kuntowijoyo (1992) bahwa “jika negara tidak bertindak secara hati-hati dalam mendukung model, yaitu dengan alasan pembangunan tetapi tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan spesifik dari tanah atas pemiliknya, krisis legitimasi pasti terjadi. Sama halnya dengan krisiskrisis legitimasi di masa lampau, ketika negara dan modal melakukan eksploitasi atas tanah dan tenaga kerja”. Hal tersebut terbukti di dalam kasus penelitian ini, kelangkaan status kepemilikan lahan telah menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan legitimasi lahan kawasan hutan menjadi lemah sehingga lahanlahan tersebut diduduki oleh masyarakat. Pada perspektif lainnya, kelangkaan status kepemilikan lahan tersebut merupakan bukti dari adanya ketimpangan struktur agraria yang tidak hanya berupa ketimpangan penguasaan lahan antara masyarakat miskin dan kapitalis (Fauzi, 2000). Selanjutnya, peubah penguasaan lahan pertanian di luar kawasan (X19) adalah peubah pada posisi kedua yang berpengaruh secara positif terhadap X22 yaitu sebesar 0,15. Artinya semakin luas penguasaan lahan pertanian di luar kawasan semakin tinggi persepsi kebutuhan lahan garapan di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Pola hubungan tersebut sepertinya mementahkan asumsi teori ketimpangan penguasaan lahan saat ini yaitu semakin besar penguasaan lahan oleh masyarakat, maka seyogyanya semakin kecil kemungkinan mereka untuk menduduki lahan-lahan negara. Sebenarnya tidaklah demikian, ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam kasus penelitian ini yaitu: (1) Fakta adanya ketimpangan-ketimpangan distribusi penguasaan lahan pertanian.
Pada saat Departemen Transmigrasi masih ada, standar
penyediaan lahan bagi setiap keluarga transmigran adalah seluas 2 hektar
173
(terdiri atas 0,5 hektar untuk rumah dan pekarangan dan 1,5 hektar untuk lahan pertanian). Dengan luas lahan tersebut diasumsikan kebutuhan hidup setiap keluarga transmigran dapat tertopang dengan layak. Hasil analisis deskriptif terhadap X19 menunjukkan bahwa sebesar 10 persen responden yang memiliki lahan pertanian seluas ≥ 1,51 hektar, sebesar 9 persen memiliki 1,1 – 1,5 hektar, sebesar 18 persen memiliki 0,51 – 1 hektar. Ironisnya, diperoleh fakta bahwa sebesar 36 persen tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan dan mereka bahkan tinggal di dalam kawasan, lalu sebesar 27 persen pemilik lahan antara 0 - 0,5 hektar.
Berdasarkan
kenyataan ini, distribusi penguasaan lahan memiliki pengaruh penting terhadap persepsi responden atas kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan.
Gambar 5.11. Salah satu profil responden transmigran BRN yang saat ini tinggal dan bertani di dalam kawasan hutan lindung lokasi penelitian. Asisten peneliti diterima di “ruang tamunya” yang juga merangkap sebagai tempat tidur dan dapur, Maret 2005 (Sumber photo: Peneliti).
(2) Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 31/KptsII/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, akses mayarakat setempat untuk dapat mengelola kawasan hutan lindung menjadi terbuka, walaupun implementasinya masih memerlukan berbagai penyesuaian terutama pada lahan-lahan yang secara historis sudah digarap oleh masyarakat sejak jaman sebelum kemerdekaan dan masa transmigrasi BRN.
174
(3) Ketidakpastian akan masa depan diantaranya seperti pergulatan politik kekuasaan nasional dan lokal yang berimplikasi terhadap berubah-ubahnya kebijakan (termasuk kebijakan kehutanan, lingkungan, dan pertanian), kondisi perekonomian negara yang tidak kunjung pulih diindikasikan oleh inflasi dan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, serta inkonsistensi pelaksanaan kebijakan di tingkat lapang. Faktor yang terakhir (faktor ketidakpastian masa depan) tersebut juga diduga
merupakan
faktor
yang
menjadi
penyebab
mengapa
peubah
pendapatan rumah tangga responden di luar kawasan (X21) berpengaruh negatif terhadap peubah X22 dengan koefisien jalur sebesar -0.10 yang artinya semakin meningkat pendapatan rumah tangga responden yang diperoleh di luar kawasan semakin menurun persepsi responden tentang kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan hutan.
Seyogyanya semakin tinggi pendapatan
semakin rendah keinginan untuk menduduki lahan kawasan hutan negara. Namun demikian hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa, ternyata sebesar 70 persen responden berpendapatan minus artinya pengeluaran per bulan lebih besar dari pendapatan yang diterima, lalu sebesar 4 persen responden pendapatan dan pengeluaran per bulannya impas, dan hanya sebesar 26 persen responden yang pendapatannya surplus artinya lebih besar dari pengeluaran per buannya.
Pandangan lain yang patut untuk dipertimbangkan sebagai faktor
penyebab adalah bahwa kawasan hutan negara adalah public good (good atau benda dalam penelitian ini adalah lahan kawasan hutan negara) dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan oleh masyarakat luar, tanpa mensegmentasi
manfaatnya
untuk
kelompok
sebagaimana sebuah private good disediakan. ditafsirkan
secara
sempit
sehingga
dalam
tertentu
secara
ekslusif
Seringkali paham tersebut paraktiknya
hutan
negara
“dimanfaatkan” oleh pengguna (masyarakat, perusahaan, dan lain-lain) dengan anggapan apabila terjadi kerusakan merupakan tanggungjawab pemerintah untuk memulihkannya. Apabila kondisi tersebut berlangsung, maka kemudian yang terjadi adalah sebuah contoh nyata dari public land conflict dalam pengelolaan sumberdaya alam (Solberg dan Miina, 1997).
175
5.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Etik Lingkungan Di dalam teori ekologi prinsipal (radical ecology), etik lingkungan adalah salah satu paham (mashab, pemikiran) yang berkembang yang memiliki rantingranting yaitu etik egosentris (juga dikenal dengan etik antroposentris), etik homosentris, dan etik ekosentris (Merchant, 1992). Dalam perspektif lingkungan, paham etik antroposentris dipakai untuk mengartikulasikan bahwa secara individu manusia “diijinkan atau dimungkinkan” untuk mengektraksi sumberdaya alam bagi kesejahteraan dirinya atau komunitasnya namun
terbatas pada
tetangga dekat. Sementara pada etik homosentris sumberdaya alam diekstraksi untuk kepentingan komunal, misalnya seperti pada suatu komunitas sosial yang tata kehidupannya masih lekat diatur oleh institusi adat.
Sedangkan etik
ekosentris didasarkan pada pemahaman kosmotik yang didalamnya semua benda mati dan benda hidup (termasuk manusia) terikat dalam kesatuan tata nilai dan interaksi yang saling berketergantungan sehingga etik ini dipergunakan untuk mengartikulasikan bahwa ekstraksi sumberdaya alam oleh manusia harus menempatkan kepentingan makhluk lainnya. Oleh Buckles (1999), manifestasi etik lingkungan tersebut berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam mengelola sumberdaya alam, termasuk konflik-konflik yang ditimbulkan. Di dalam penelitian ini, etik lingkungan yang akan diteliti adalah etik antroposentris dan etik ekosentris.
Etik homosentris belum diperhitungkan
mengingat masyarakat wilayah Sumberjaya adalah masyarakat plural terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama. Atas pertimbangan tersebut, sub-model etik lingkungan dibangun ke dalam sebuah persamaan model seperti pada persamaan (26) dan Gambar 5.12.
X25 = 0.064*X23 + 0.073*X24 ……………………………….(26) Keterangan: X25 = peubah akibat manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik X23 = peubah etik antroposentris X24 = peubah etik ekosentrik
176
Etik Antroposentris (X23)
Etik Ekosentris (X24)
0,064
0,073
Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik (X25)
Gambar 5.12. Diagram jalur Sub-model Etik Lingkungan
Berdasarkan hasil analisis jalur menunjukkan bahwa peubah etik ekosentrik (X24) memiliki koefisien jalur terbesar dan berpengaruh positif 0.073 terhadap peubah etik lingkungan (X25).
Artinya semakin tinggi keyakinan
responden terhadap paham ekosentris, semakin baik etik lingkungan yang dimanifestasikan oleh responden dalam mengelola lahan garapannya (Lihat deskripsi skor pada Lampiran 8A Tabel 18).
Sementara itu peubah etik
ekosentris (X23) juga memberikan pengaruh positif sebesar 0.064 terhadap peubah X25. Artinya semakin responden tidak meyakini dan bahkan menolak paham antroposentris semakin baik etik lingkungan yang dimanifestasikan oleh mereka (Lihat deskripsi Skor pada Lampiran 8A Tabel 17).
Kedua peubah
eksogen (X23 dan X24) sama-sama berpengaruh positif terhadap peubah endogen manifestasi etik lingkungan (X25) dan walaupun kekuatan pengaruhnya berbeda namun nilai koefisien jalurnya relatif berdekatan. Manifestasi etik lingkungan responden (X25) adalah perilaku/praktik (berdasarkan paham dan keyakinan responden tentang keterkaitan antara tata sosial seseorang/kelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya) yang dilihat dari kegiatan mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Di
dalam penelitian ini, kegiatan-kegiatan responden yang diamati adalah (1) topografi, kemiringan lahan yang diusahakan, (2) usaha pencegahan erosi, (3) jenis tanaman yang ditanam, (4) cara membersihkan lahan (land clearing), (5) cara mengolah lahan, (6) penggunaan pupuk, (7) pengunaan pestisida, dan (8) golongan pestisida kimiawi yang digunakan (Lihat Lampiran 2 Tabel Pengukuran peubah etik lingkungan (X25)). Gambar 5.13.
Contoh visual di lapang seperti terlihat pada
177
Gambar 5.13.b
Gambar 5.13.a
Gambar 5.13. Pada Gambar 5.13.a (Desember 2004) terlihat bagaimana petani menggunakan teknik natural vegetatif strip dalam usaha mencegah erosi permukaan pada kebun kopi monokultur tua di dalam kawasan (Sumber photo: Agus Fahrmudin). Sementara itu Gambar 5.13.b (Mei 2005) menunjukkan bagaimana teknik polikultur diterapkan oleh petani dengan kombinasi kopi, kayu gelam (Glirisidae spi), dan pohon kemiri di lahan garapan mereka dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis; lima tahun yan lalu tutupan lahan di hamparan tersebut masih berupa alang-alang dan tanah terbuka (Sumber photo: Peneliti)
5.3.5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Eskalasi Konflik Konflik dapat mengalami eskalasi (peningkatan intensitas) dan dapat pula
sebaliknya mengalami deskalasi (peredaan ketegangan).
Eskalasi konflik
didefinisikan sebagai peningkatan tindakan kekerasan atau pemaksaan dan pada kondisi kasus tertentu disertai peningkatan keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik, sebaliknya deskalasi konflik adalah penurunan perjuangan destruktif dan terkadang disertai penurunan kekerasan dan keterlibatan para pihak tersebut (Kiesberg, 1998).
Deskalasi konflik selanjutnya menjadi konflik
tersembunyi (laten) atau bahkan akhirnya tidak ada konflik. Dalam konstruktif konflik, eskalasi konflik tidak selalu identik dengan peningkatan kekerasan namun wujudnya lebih berupa peningkatan kegiatan perundingan-perundingan yang berakhir dengan tercapainya kesepakatan antar pihak yang berkonflik. Konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakuti karena konflik pada dasarnya bisa dikelola (Borrini dan Feyerabend, 2000). Di dalam penelitian ini, sub-model eskalasi konflik dibangun dari gabungan persamaan jalur beberapa sub-model sebelumnya yaitu sub-model eksternalitas (persamaan 21), sub-model persepsi dan ketimpangan struktural (persamaan 22 dn 24), sub-model kelangkaan (Persamaan 25), dan sub-model etik lingkungan (Persamaan 26).
Pada rumusan persamaan jalur sub-model
eskalasi konflik, peubah endogen X6, X10, X15, X22, dan X25 dari kelima sub-model
178
sebelumnya berubah menjadi peubah eksogen terhadap peubah endogen eskalasi konflik (X26) sehingga menghasilkan Persamaan (27) dan grafis model sebagaimana ditayangkan pada Gambar 5.14.
X26 = 0.37*X6 + 0.066*X10 + 0.26*X15 + 0.16*X22 – 0.15*X25……(27) Keterangan X26 = peubah akibat eskalasi konflik X26 = peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responde X26 = peubah tingkat ordinasi responde X26 = peubah keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan bernegosiasi X26 = peubah persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan X26 = peubah manifestasi etik lingkungan responden dalam penangan konflik
Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15)
0,37 Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik (X25)
0,26 -0,15
Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
0,16 0,066 ESKALASI KONFLIK (X26)
Tingkat ordinasi responden (X10)
Gambar 5.14. Digram Jalur Sub-model Eskalasi Konflik
Berdasarkan hasil analisis jalur, peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) adalah peubah yang paling kuat mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik (X26) yaitu berpengaruh positif sebesar 0,37. Semakin tinggi motivasi responden mengkonversi lahan kawasan semakin eskalasi konflik yang terjadi.
Eskalasi konflik diukur dengan peningkatan ketegangan karena
perbedaan kepentingan dan keselarasan perilaku (gaya mengelol konflik) antar pihak, yang dimulai dari situasi tanpa konflik, potensi konflik, konflik laten, konflik permukaan, hingga menjadi konflik terbuka (Lampiran 84A Tabel 20).
179
Pola pengaruh X6 terhadap X26 tersebut selaras dengan sejarah konflik lahan pertanian yang terjadi di dalam kawasan hutan lindung Register 45 Bukit Rigis yang sebagian besar telah diuraikan sebelumnya pada Bab 4 penelitian ini. Peristiwa-peristiwa penyulut konflik yang berkaitan penggarapan lahan kawasan hutan lindung oleh masyarakat diantaranya adalah: • Era tahun 1951-1953; Pada era tersebut transmigrasi BRN ditempatkan di lahan-lahan yang pada saat ini termasuk dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.
Sebagian sudah berupa pemukiman, sebagian
lainnya berupa kebun kopi • Era tahun 1973-1986; terjadi gelombang migrasi spontan ke wilayah yang subur tersebut. Dalam satu dekade, penduduk yang semula berjumlah 37.557 jiwa meningkat menjadi dua kali lipat menjadi 57.598 jiwa (Gambar 4.7 Bab 4). Pada saat itu terjadi konversi kawasan hutan secara besar-besaran menjadi kebun kopi rakyat. Pada tahun 1973 kebun kopi di dalam kawasan semula luasnya 883 hektar, meningkat menjadi 3.390 hektar pada tahun 1986 (hasil interpretasi foto citra satelit LAND SAT oleh ICRAF, Tabel 4.11 Bab 4). Perkembangan tersebut menimbulkan kegemparan di Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung. • Era tahun 1990 – 1997: Eskalasi konflik terjadi. Pada awal era ini pemerintah mempersiapkan rencana tapak pembangunan PLTA Way Besay. Pada tahun 1994-1996 penduduk yang bertani di dalam kawasan “diturunkan” (diusir) keluar kawasan yang dikenang penduduk setempat dengan nama “Operasi Gajah”. Bahkan aparat kanwil Kehutanan menyebut Sumberjaya dengan kata lain yaitu “sumber bencana” • Era tahun 1997 – 2000: era ini adalah era transisi antara puncak eskalasi dan awal deskalasi konflik. Departemen Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
(HKm)
yang
memungkinkan
masyarakat
setempat
mengelola kawasan hutan lindung yaitu memanfaatkan hasil hutan bukan kayu.
Karena sebagian besar sejak dahulunya kawasan hutan lindung di
Daerah Lampung sudah berupa kopi, kebun-kebun tersebut dikecualikan untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat dan pengecualian ini ditegaskan dalam Perda Propinsi Lampung No. 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pemungutan Terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu Di Kawasan Hutan. Adanya kebijakan tersebut dan seiring dengan awal era reformasi
180
tahun 1999, penduduk yang semula diusir masuk kembali ke dalam kawasan untuk mengelola kebun-kebun kopi yang dahulu mereka tinggalkan. Kejadiaan tersebut mengkhawatirkan pihak Pemerintah Kabupaten Lampung Barat akan kemungkinan timbulnya erosi permukaan yang bisa menimbulkan pendangkalan Sungai Way Besay dan mendisfungsikan turbin PLTA Way Besay.
Sebuah penelitian erosi permukaan terhadap 6 macam teknik
tanaman kopi dilakukan oleh ICRAF di kebun kopi masyarakat dilakukan dengan teknik pengukuran secara langsung. Hasilnya menunjukkan sedimen permukaan maksimum yang ditimbulkan dari kebun kopi monokultur berusia 3 tahun tersebut yaitu 3 ton/hektar/tahun dan masih berada dibawah kemampuan dekomposisi tanah secara alami yaitu 15 ton/hektar/tahun (Dariah et al, 2004). Beberapa peneliti ICRAF membangun hipotesis baru bahwa sumber sedimen di DAS Way Besay diduga berasal dari jalan setapak dan jalan desa yang permukaan tanahnya terkupas. Hasil penelitian tersebut oleh masyarakat dijadikan sebagai lahan negosiasi kepada pemerintah kabupaten yang memiliki kewenangan mengeluarkan ijin HKm.
Persepsi
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat yang semula mentengarai kebun kopi masyarakat adalah sumber utama sedimentasi di Sungai Way Besay, secara perlahan mulai berkurang. • Era tahun 2001-2006: Pada era ini deskalasi konflik terus berlangsung, masyarakat diijinkan untuk tetap mengelola kebun kopinya (tanpa ada perluasan konversi lahan) di kawasan hutan lindung Bukit Rigis dengan menerapkan teknik konservasi lahan (konservasi lahan dan teknik tanam kopi multi
tajuk).
Hal
tersebut
secara
eksplisit
diindikasikan
dengan
dikeluarkannya 5 buah ijin HKm untuk lahan seluas 1968,7 hektar pada tahun 2000-2002 (Tabel 4.12 Bab 4).
Pada bulan Juni tahun 2006, kembali
dikeluarkan sebanyak 12 ijin HKm untuk lahan seluas 2964,5 hektar di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45 Bukit Rigis (Lampiran 10). Ijin diberikan berdasarkan kewenangan yang dimiliki Bupati kabupaten yang diatur oleh SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm. Berdasarkan peristiwa-peristiwa eskalasi dan deskalasi konflik yang terjadi, maka secara in situ dapat dinyatakan bahwa deskalasi konflik yang timbul akibat dari adanya konversi lahan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis dapat dilakukan dengan cara:
181
(1) Pemberian hak akses kepada masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan diyakini dapat mendeskalasi konflik, sekaligus mewujudkan “hutan lestari masyarakat sejahtera, sebuah visi Departemen Kehutanan. Dalam pidato politiknya tahun 2000 di hadapan DPRD Propinsi Lampung, Gubernur Lampung menyatakan bahwa “jangan berharap hutan akan lestari jika masyarakat tidak memperoleh manfaat darinya”.
Di Kawasan Hutan
Lindung Register 45B Bukit Rigis saat ini ada sekitar 2000 KK yang bermukim/bergubug di dalamnya, tentunya suatu hal yang beresiko untuk mengusir mereka mengingat biaya sosial yang ditimbulkan amat tinggi. Mengijinkan mereka untuk tetap merawat kebun kopinya sekaligus menjaga fungsi hutan lindung dapat menjadi kebijakan yang secara berkelanjutan mendorong deskalasi konflik akses lahan di dalam kawasan hutan di lokasi penelitian ini. (2) Mereka yang memperoleh hak akses merupakan aset sosial untuk menjaga hutan yang masih tersisa sekaligus berpartisipasi dalam reforestasi arealareal yang secara fisik diklasifikasikan sebaga areal perlindungan, sehingga tidak terjadi perluasan areal konversi. Peubah eksogen yang pengaruhnya pada posisi kedua adalah peubah keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan bernegosiasi (X15) yaitu berpengaruh positif sebesar 0,26 terhadap peubah eskalasi konflik (X26). Dengan demikian semakin aktif responden terlibat dalam perundingan baik melalui dialog maupun negosiasi, semakin meningkat eskalasi konflik yang terjadi.
Pola
pengaruh tersebut bukanlan suatu hal yang mustahil, pola-pola tersebut memang justru sering terjadi pada bentuk-bentuk konflik yang konstruktif (constructive conflict). Menurut Borrini dan Feyerabend (2000) konflik destruktif terjadi pada kondisi konflik tidak ditangani dengan arif sehingga menimbulkan perilaku yang menjurus saling tidak percaya, perseteruan, bahkan kekerasan (fisik/non fisik), sedangkan konflik konstruktif terjadi ketika konflik ditangani secara persuasif dengan mengedepankan azas manfaat yang akan diperoleh para pihak. Menurut Kriesberg (1998), di dalam konflik konstruktif biasanya dicirikan oleh: (1) Konflik diselesaikan
tanpa
kekerasan, lebih mengedepankan
upaya
persuasif, memaparkan azas manfaat di setiap perundingan, saling mengakui entitas legitimasi (legitimate entities) satu sama lain, dan tidak mengancam eksistensi pihak lain.
Para pihak berinteraksi dalam rangka
182
memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi bersama, yaitu konflik antar mereka dan selalu menciptakan outcome yang saling menguntungkan. (2) Outcome konstruktif yang dapat diterima oleh semua pihak selalu menjadi tujuan, termasuk di dalamnya adalah menciptakan dan menjaga hubungan baik, sehingga jika konflik terulang lagi di masa mendatang tetap bisa dikelola secara konstruktif. Suatu konflik destruktif atau konstruktif dapat terjadi di suatu lokasi yang sama namun biasanya pada waktu yang berbeda. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2005 ini berlangsung pada masa dimana konflik konstruktif di kawasan hutan lindung register 45B Sumberjaya.
Dengan menggunakan
gambar tersebut, beberapa penjelasan penting yang perlu dipaparkan berkaitan dengan keterlibatan/partisipasi masyarakat di dalam perundingan (terutama dialog dan negosiasi) yaitu: (1) Dialog konflik konstruktif, akhir tahun 2000: Berlangsung dialog lingkungan di Desa Tambakjaya.
Bupati Lampung Barat akhirnya membolehkan
masyarakat untuk tetap merawat kopinya sepanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dialog dihadiri oleh lebih dari 80 orang petani
kawasan hutan, belum termasuk Bupati, unit teknis pemerintah Propinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Barat, dan LSM (Yacili dan Watala) (2) Dialog konflik konstruktif, Mei 2002: Dilaksanakan lokakarya penyusunan teknis Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat. Dihadiri oleh 49 petani kawasan hutan, belum termasuk unit teknis pemerintah Propinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Barat, LSM (Yacili, Watala, LSPPM), lembaga penelitian (puslitanak Bogor dan ICRAF), dan perguruan tinggi (Universitas Lampung dan Institut Pertanian Bogor) (3) Dialog konflik konstruktif, desember 2002:
Dilaksanakan lokakarya
penyusunan naskah hukum Petunjuk Tehnis Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat. Dihadiri oleh 10 orang yang mendapat mandat dari lokakarya sebelumnya
183
Hingga awal tahun 2000, terjadi konflik antara masyarakat dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat: Kebun kopi masyarakat di dalam kawasan hutan lindung ditengarai sebagai sumber utama sedimen Sungai Way Besay
Dialog konflik konstruktif, akhir tahun 2000: Berlangsung dialog lingkungan di desa Tambakjaya. Bupati Lampung Barat akhirnya membolehkan masyarakat untuk tetap merawat kopi sepanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku. (Peneliti pada saat ini menjadi fasilitator dialog)
Outcome konstruktif, AprilAgustus 2002: Berdasarkan SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm, Bupati mengeluarkan 4 buah ijin HKm Muncul konflik baru, akhir 2002: Masyarakat berkeberatan menanan 1000 batang pohon MPTS di kebun, karena akan mematikan tanaman kopi mereka
Dialog konflik konstruktif, Mei 2002 Dilaksanakan lokakarya penyusunan teknis Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat Dialog konflik konstruktif, Mei 2002 Dilaksanakan lokakarya penyusunan naskah hukum Petunjuk Teknis Kriteria dan Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat
Outcome konstruktif Pebruari 2004: Diterbitkan SK Bupati Lampung Barat No. 11/2004 tentang Petunjuk Teknis Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat untuk lahan garapan di dalam kawasan yang sudah berupa kebun kopi hanya disyaratkan menanam tenaman MPTS sebanyak 400 batang sehingga kopi bisa tetap produktif Muncul Konflik baru, Mei 2005: Masyarakat masih belum memiliki land tenure security karena peta pencadangan areal HKm Kabupaten Lampung Barat belum tersedia. Areal pencadangan adalah kewenangan Departemen, namun belum ada indikasi mereka akan merespon hal tersebut.
Gambar 5.15. Adopsi Alur Konflik Konstruktif Kiersbeg (1998) Pada Sejarah Singkat Konflik Konstruktif Hak Akses (Hutan Masyarakat) di Kawasan Hutan Lindung Resgister 45B Sumberjaya, Tahun 2000-2005
184
Pada Gambar 5.15 tersebut terekam bagaimana keterlibatan aktif para pihak yang berkonflik untuk duduk bersama menyelesaikan konflik, mencapai outcome yang konstruktif, dan bagaimana para pihak dapat menjaga hubungan baik untuk untuk tetap berdialog menyelesaikan konflik yang muncul di kemudian. Kehadiran lembaga penelitian dan perguruan tinggi adalah bagian dari upaya agar azas manfaat dan saling menguntungkan selalu tetap eksis. Peubah
eksogen
persepsi
tingkat
kebutuhan
lahan
pertanian
tambahan (X22) adalah peubah terkuat ketiga yang mempengaruhi eskalasi konflik (X26) dan berpengaruh positif sebesar 0,16.
Semakin tinggi tingkat
kebutuhan lahan pertanian yang ingin digarap di dalam kawasan maka semakin eskalasi konflik yang terjadi. Pola pengaruh tersebut merupakan pola yang pada umumnya terjadi di hampir setiap kawasan hutan negara di Indonesia. Kekhawatiran pemerintah akan laju deforestasi yang semula pada tahun 1970an hanya 300.000 hektar/tahun lalu pada tahun 2000-an meningkat menjadi 2 juta hektar/tahun (data sebagaimana diulas pada Sub-bab 2.2), tentunya amat dimaklumi apabila setiap ada aksi deforestasi (terutama oleh pihak yang tidak bertanggung jawab) maka akan menimbulkan reaksi dari pemerintah khususnya Departemen Kehutanan. Pertanyaannya apakah reaksi tersebut akan menyulut konflik atau tidak? Hal tersebut amat tergantung bagaimana penanganannya di lapang. Agar tidak terjadi konflik di lapang, harus dipahami terlebih dahulu apakah suatu peristiwa deforestasi merupakan akibat dari suatu konflik lingkungan (environmental conflicts/disputes) atau disebabkan oleh kejahatan lingkungan (environmental crimes). Deforestasi di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Sumberjaya merupakan contoh nyata bagaimana konflik lingkungan terjadi. Deforestasi menjadi kebun kopi di kawasan tersebut sudah terjadi sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda, bahkan jauh sebelum tahun 1937 ketika para migran etnik Semendo datang dari Sumatera Selatan.
Oleh karenanya
penanganan deforestasi akibat konflik harus dibedakan dengan deforestasi akibat kejahatan lingkungan. Pada deforestasi akibat konflik perlu diketahui akar konfliknya, perbedaan kepentingan yang ada, lalu upaya-upaya penyelesaian yang bisa diterima oleh para pihak yang berkonflik termasuk manfaat-manfaat yang ingin dicapai. Sedangkan deforestasi oleh kejahatan lingkungan, misalnya pembalakkan liar, harus diselesaikan secara hukum formal tanpa diskriminasi sehigga masyarakat luas bisa melihat bahwa setiap warga negara memiliki posisi
185
yang sama di mata hukum tanpa dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, dan politik yang bersangkutan. Peubah manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konfik (X25) adalah peubah terkuat keempat yang mempengaruhi eskalasi konflik (X26) dan berpengaruh negatif sebesar – 0,15.
artinya semakin baik etik
lingkungan
eskalasi
dipraktikan
oleh
responden
maka
konflik
semakin
berkurang/menurun, atau dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa semakin baik etik lingkungan maka konflik akan semakin deskalasi. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, manifestasi etik lingkungan dilihat dari praktik responden melalui indikator-indikator kemiringan lahan yang diusahakan, usaha pencegarah erosi, jenis tanaman yang ditanam, cara membersihkan lahan (land clearing), cara mengolah tanah, penggunaan pupuk, penggunaan pestisida dan golongan pestisida kimiawi yang digunakan. Semakin baik manifestasi etik lingkungan responden, semakin baik pula praktik pengolahan lahan pertanian mereka di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Apabila manifestasi etik tersebut terus dilakukan dengan baik, tentunya resistensi pemerintah tidak akan terjadi dan konflik pun tidak perlu mencuat karena pada dasarnya manifestasi etik lingkungan tersebut secara implisit memang disyaratkan di dalam SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm.
Tabel 5.3.6.
menunjukkan beberapa indikator manifestasi etik lingkungan yang terdapat di dalam SK Menhutbun tersebut.
Tabel 5.3.6. Penelusuran indikator manifestasi etik lingkungan di SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm No Indikator manifestasi etik SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 lingkungan yang tentang Hutan Kemasyarakatan dipergunakan 1 2 3 4 5 6 7 8
Kemiringan lahan yang diusahakan Usaha pencegahan erosi Jenis tanaman yang ditanam Cara membersihkan lahan (land clearing) Cara mengolah lahan Penggunaan pupuk Penggunaan pestisida Golongan pestisida kimiawi yang digunakan
Bagian Kedua PENATAAN AREAL KERJA Pasal 27 ayat (1) Bagian Keempat PEMANFAATAN Pasal 38 ayat (4.a) Bagian Keempat PEMANFAATAN Pasal 38 ayat (3.b); Pasal 39 ayat (3.a) Bagian keempat PEMANFAATAN Pasal 38 ayat (3.a); Pasal 39 ayat (3.a) Bagian Keempat PEMANFAATAN Pasal 38 ayat (4.a); Pasal 39 ayat (4.a) Diatur di dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu kualitas lingkungan
186
Peubah eksogen yang pengaruhnya terlemah dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya adalah peubah tingkat ordinasi responden (X10), yaitu berpengaruh positif 0.066 terhadap peubah eskalasi konflik (X26). Dalam pola pengaruh tersebut, semakin ordinasi atau superior suatu pihak,semakin eskalasi konflik yang terjadi. Menurut Moore (1996) pola pengaruh tersebut utamanya terjadi pada konflik yang berakar dari perbedaan atau ketimpangan struktural yang diantaranya disebabkan oleh: (1) Bentuk-bentuk interaksi atau perilaku destruktif para pihak. Sejarah konflik destruktif seperti “Operasi Gajah” oleh Departemen Kehutanan untuk mengusir penduduk keluar dari Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis pada tahun 1994-1997 adalah “baik” dalam kasus ini. (2) Ketimpangangan pemilikan, penguasaan, dan distribusi atas sumberdaya alam. Saat ini petani HKm hanya diijinkan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (pengecualian buat kopi) dari kawasan hutan lindung. Dalam rencana kerja kelompok HKm, dikenal blok perlindungan dan blok budidaya. Ada hasrat petani HKm untuk diperbolehkan memanfaatkan kayu terutama dari pohon yang mereka tanam di blok budidaya.
Hasrat pemanfaatan kayu
itupun semata-mata untuk keperluan subsisten dan bukan untuk komersial. Apalagi Kabupaten Lampung Barat yang lebih dari 70 persen wilayahnya adalah kawasan hutan lindung dan konservasi, akan mengalami defisit kayu. (3) Ketimpangan
kekuasaan
dan
kewenangan.
Sebagian
besar
urusan
pengelolaan hutan masih menjadi kewenangan Pemerintah. Ketika terjadi konflik sosial (terutama yang berakhir dengan kerusuhan) antara pemerintah dengan masyarakat sekitar, pemerintah di daerah (Kabupaten atau Propinsi) menjadi lembaga terdepan untuk menyelesaikannya. Tidak jarang hal tersebut menimbulkan sentimen daerah yang tersirat dari ungkapan pernyatan mereka seperti “Kami selalu menjadi pihak yang memadamkan kebakaran”. Contoh lainnya, kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat di sekitar hutan selalu dibebankan ke daerah, sementara sebagian besar penerimaan/devisa
negara
dari
sumberdaya
hutan
menjadi
porsi
Pemerintah. (4) Adanya faktor fisik dan geografis yang dapat menghalangi berlangsungnya kerjasama. Tertundanya penyelesaian konflik yang terjadi di Sumberjaya tidak terlepas dari faktor ini.
Kasus konflik status lahan Desa Sukapura
seluas 302,5 hektar yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register
187
45B Bukit Rigis misalnya, belum kunjung selesai karena kewenangan penetapan desa enclave berada di Departemen Kehutanan – Jakarta. Berbagai upaya dialog oleh masyarakat di tingkat propinsi belum bisa memberikan kepastian bagi lebih dari 250 KK yang sudah menetap sejak tahun 1951-1953 dan menginginkan enclave tersebut. Beberapa kali wakil masyarakat menempuh perjalanan panjang dari Sumberjaya mendatangi Gubernur Lampung di Bandar Lampung dan Departemen Kehutanan di Jakarta, namun hingga kini belum ada respon. Menurut Moore (1996), penyelesaian konflik yang berakar pada ketimpangan struktural dapat ditempuh melalui upaya-upaya berikut: (1) Mendefinisikan dan menyeimbangkan peran para pihak secara jelas dan transparan. (2) Mengubah pola perilaku destruktif dalam setiap penyelesaian konflik (3) Merelokasi kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam untuk lebih adil dan merata. (4) Mengembangkan proses pengambilan keputusan secara lebih adil dan dapat diterima oleh semua pihak (5) Mengubah proses negosiasi dari perundingan berbasis posisi menjadi berbasis kepentingan. (6) Memodifikasi cara suatu pihak dalam mempengaruhi pihak lain yaitu dengan meningkatkan cara persuasif dan mengurangi cara pemaksaan. (7) Mengubah hubungan kedekatan lingkungan dan fisik para pihak dari semula cenderung berjauhan menjadi lebih berdekatan terutama secara sosial. (8) Mengubah keterbatasan waktu. Penyelesaian konflik adalah proses, ia tidak bisa ditargetkan harus selesai dalam waktu singkat, oleh karenanya para pihak dituntut kesabarannya dalam menyelesaikan ketimpangan struktural tersebut.
5.3.6
Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan Analisis Kebaikan Model.
5.3.6.1 Analisis Keragaan Model Secara Holistik Berdasarkan hasil analisis jalur terhadap 9 sub model yang ada, maka struktur hubungan antara submodel secara sederhana dapat dibangun seperti pada Gambar 5.16. Berdasarkan analisis jalur yang telah dilakukan sebelumnya,
188
maka dapat disimpulkan bahwa submodel eskalasi konflik (diwakili oleh peubah X26) yang terjadi dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis amat kuat dipengaruhi oleh Sub-model eksternalitas yang diwakili oleh peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) dengan nilai koefisien jalur X6 Æ X26 sebesar 0,37. Artinya untuk meredam eskalasi konflik yang terjadi tanpa bermaksud mengabaikan nilai penting peubah-peubah eksogen yang terdapat di dalam sub model lainnya, pengendalian terhadap konversi lahan kawasan dapat diprioritaskan terlebih dahulu. Di dalam sub-model eksternalitas, terdapat 5 peubah eksogen yang berpengaruh terhadap peubah endogen keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6). Dari kelimanya, peubah eksogen pengaruh pasar (X4) adalah akar konflik yang perlu mendapat intervensi.
Seperti telah dijelaskan
sebelumnya pada sub-bab 5.3.1, beberapa intervensi yang bisa dilakukan terhadap pengaruh pasar agar keputusan untuk mengkonversi lahan kawasan hutan tidak meningkat, diantaranya melalui: (1) Pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benar-benar tidak mengganggu fungsi kawasan sesuai peruntukannya. (2) Sebagai pelaku pasar, para pembeli dihimbau untuk berperan serta mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam kawasan.
Dana itu bisa diambil dari hasil penerimaan retribusi yang
dibebankan kepada AEKI, yaitu sebanyak Rp. 50,- untuk pembelian setiap 1 kilogram kopi rakyat. (3) Pemberian hak akses (access right) berupa ijin mengelola lahan kawasan hutan bisa menjadi opsi yang baik. Di dalam hak akses biasanya selalu disertai dengan tanggungjawab dan sanksi. Tanggungjawab seperti wajib menerapkan teknik konservasi lahan, jarak tanam ideal, dan sistem tanam kopi multi-tajuk berkombinasi dengan MPTS (Multi Purposes Tree Species), dan lainnya, bisa menjadi pilihan sistem tanam kopi yang secara bersamaan dapat menyangga fungsi lindung sebuah kawasan. (4) Secara simultan kedua upaya di atas perlu disinergiskan dengan penguatan manajemen kawasan, sehingga tidak terjadi perluasan areal deforestasi.
189
Sub-model Eksternalitas X6 = - 0.058*X1 – 0.024*X2 + 0.041*X3 + 0.049*X4 + 0.036*X5
Sub-model Persepsi X12 = 0.24*X16 – 0.075*X17 + 0.41*X18 X13 = 0.23*X16 – 0.14*X17 + 0.36*X18 X14 = 0.26*X16 – 0.10*X17 + 0.36*X18
Sub-model Ketimpangan Struktural
Sub-model Persepsi dan Ketimpangan Struktural X15 = - 0.038*X10 + 0.25*X12 + 0.19*X13 – 0.078*X14 + 0.19*X11
Sub-model Kelangkaan X22 = 0.15*X19 + 0.31*X20 – 0.10*X21
Sub-model Eskalasi Konflik X26 = 0.37*X6 + 0.066*X10 + 0.26*X15 + 0.16*X22 – 0.15*X25
X10 = 0,12*X7 + 0,18*X8 – 0,029*X9
Sub-model Etik Lingkungan X25 = 0,064*X23 + 0.073*X24
Gambar 5.16 Struktur Diagram Jalur yang Disederhanakan Berdasarkan Hubungan Antar Sub-Model 1 Apabila dalam meredam eskalasi konflik juga akan dilakukan terhadap sub-model lainnya, maka peubah yang menjadi target intervensi adalah peubah yang paling berpengaruh di masing-masing model seperti dinyatakan pada Tabel 5.3.7. Apabila semua peubah pada setiap sub-model akan diitervensi, maka nilai koefisien setiap jalur masing-masing model secara hirarkis dapat dipergunakan sebagai panduan untuk memprioritaskan mana yang kemudian akan diintervensi (Gambar 5.17).
1
X1 = peubah bencana alam antropogenik, X2 = peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden, X3 = peubah informasi pasar, X4 = peubah pengaruh pasar, X5 = peubah sarana pendukung, X6 = peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden, X7 = peubah tingkat partisipasi responden, X8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden, X9 = peubah tingkat keberdayaan responden, X10 = peubah tingkat ordinasi responden, X11 = peubah tingkat represif oleh pemerintah, X12 = peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara, X13 = peubah akibat persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan, X14 = peubah persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan, X15 = peubah keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan bernegosiasi, X16 = peubah tingkat pendidikan responden, X17 = peubah lama tinggal di kawasan, X18 = peubah kosmopolitan responden, X19 = peubah penguasaan lahan pertanian di luar kawasan, X20 = peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan, X21 = peubah pendapatan rumah tangga responden di luar kawasan, X22 = peubah persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan, X23 = peubah etik entroposentris, X24 = peubah etik ekosentrik, X25 = peubah manifestasi etik lingkungan responden dalam penangana konflik dan X26 = peubah akibat Eskalasi Konflik
190
Bencana alam antropogenik (X1)
-0,058
Harga komoditi (X2)
Informasi pasar (X3)
Pengaruh Pasar (X4)
-0,049
0,041
-0,024
Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
Etik Antroposentris (X23)
Etik Ekosentris (X24)
0,37 0,064 Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik (X25)
0,073
-0,15
Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19)
0,31 Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20)
0,24
Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12)
0,036
0,23
0,25
0,19
Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15)
-0,075
Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)
-0,14
Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14)
Lama tinggal di kawasan (X17)
0,41 0,36
0,26 Tindakan represif oleh pemerintah (X11)
-0,038
Tingkat pendidikan pesponden (X16)
0,26
-0,10 -0,078
0,19
Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
0,15
Sarana pendukung (X5)
0,36
Kosmopolit ansi responden (X18)
0,16 0,10
Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan (X21)
ESKALASI KONFLIK (X26)
0,066
Tingkat keberdayaan responden (X9)
Tingkat ordinasi responden (X10)
-0,029
0,12
0,18
Tingkat partisipasi responden (X7)
Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8)
Gambar 5.17. Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan dari Hutan
191
Tabel 5.3.7 Peubah yang paling berpengaruh pada masing-masing sub-model Sub-model
Peubah yang paling berpengaruh
Sub-model Eksternalitas X6 = - 0,058*X1 – 0,024*X2 + 0,041*X3 + 0,049*X4 + 0,036*X5 Sub-model Persepsi Sub-model Persepsi dan X12 = 0,24*X16 – 0,075*X17 + Ketimpangan Struktural X15 = - 0,038*X10 + 0,25*X12 + 0,41*X18 0,19*X13 – 0,078*X14 + X13 = 0,23*X16 – 0,14*X17 + 0,19*X11 0,36*X18 X14 = 0,26*X16 – 0,10*X17 + 0,36*X18 Sub-model Ketimpangan struktural X10 = 0,12*X7 + 0,18*X8 – 0,029*X9 Sub-model Kelangkaan X22 = 0,15*X19 + 0,31*X20 – 0,10*X21
X4 = peubah pengaruh pasar X12 = peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara, X18 = peubah kosmopolitan responden
Sub-model Etik Lingkungan X25 = 0,064*X23 + 0,073*X24
X25 = peubah etik ekosentrik
X8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden X20 = peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan
5.3.6.2 Analisis Kebaikan Model
Seperti telah dinyatakan di dalam Bab 3 Metodologi, analisis jalur merupakan analisis yang bersifat confirmatory, dimana model dibangun sebelum data diperoleh dan dianalisis dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana kesesuaian model dengan data yang digunakan (Bollen, 1989).
Untuk
kepentingan tersebut, penelitian ini menggunakan analisis Goodness of Fit Index (GFI) guna menilai kesesuaian model dengan data yang dipergunakan. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai GFI untuk model ini sebesar 0,83. Beberapa referensi menyatakan bahwa model dinyatakan baik dan sesuai dengan data yang dipergunakan apabila nilai GFI minimal 0,90, bahkan Sharma (1996) menyatakan nilai minimal GFI adalah 0,95. Namun demikian menurut pengalaman para peneliti, dalam penelitian ilmu sosial nilai GFI minimal 0,80 sudah cukup untuk menyatakan bahwa model sudah baik dan model sesuai dengan data yang dipergunakan. Selain GFI, juga terdapat alat analisis kebaikan model lainnya yaitu Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI). Dengan tetap menggunakan peubah yang ada, struktur hubungan pengaruh/lintasan dapat dibangun kembali sehingga menghasilkan beberapa model yang baru.
Dari beberapa model
tersebut kemudian dilakukan analisis AGFI. Model yang memiliki AGFI yang terbesar adalah model yang memiliki struktur yang paling baik. Model yang dipergunakan di dalam penelitian ini memiliki nilai AGFI sebesar 0.63. Apabila
192
model tersebut direstruktur dengan tetap mempergunakan peubah yang sama dan kemudian memperoleh nilai AGFI > 0,63, maka struktur model yang baru tersebut dapat dinyatakan lebih baik.
Oleh karenanya, untuk kepentingan
intervensi optimal dalam rangka menekan eskalasi konflik, perlu dilaksanakan penelitian lanjutan melalui restrukturisasi model yang dipergunakan sekarang sehingga dapat diketahui struktur model yang mana yang dapat memberikan nilai AGFI tertinggi.
5.4.
Analisis Gaya Mengelola Konflik Dan Polarisasi Konflik. Menurut Harris dan Reilly (2000), secara teoritis suatu konflik akan
melewati tahapan-tahapan tertentu yaitu: (1) tahap perdebatan atau perbedaan antar pihak pada kepentingan-kepentingan yang menjadi akar konflik, (2) tahap para
pihak
bersikap
terhadap
akar
konflik,
sikap
tersebut
kemudian
dimanifestasikan melalui gaya mengelola konflik, (3) tahap polarisasi yang dicirikan oleh adanya para pihak yang memiliki kepentingan yang sama akan membangun posisi berseberangan dan mengambil jarak dengan pihak lain, dan (4) tahap ledakan konflik yang sesungguhnya yang dapat bersifat destruktif atau konstruktif. Di dalam bagian sub-bab ini, bagaimana para pihak mensikapi akar konflik akan dianalisis melalui gaya mengelola konflik. Analisis gaya mengelola konflik dalam praktiknya diperlukan diantaranya untuk: (1) Mengambil keputusan apakah suatu perundingan bisa diselenggarakan dan dihadiri para pihak. Kehadiran para pihak yang berkonflik dipengaruhi oleh gaya
konflik
yang
terbangun
dari
kombinasi
sikap
mementingkan
kepentingan pihak lain (kooperatif) dan sikap mementingkan kepentingan pihaknya sendiri (asertif). Keputusan ini bisa dilaksanakan apabila pihakpihak yang berkonflik setidaknya menunjukkan gaya mengelola konflik secara akomodatif, kompromi, atau kolaborasi. (2) Mengambil keputusan apakah perundingan belum bisa dilaksanakan karena pihak-pihak yang berkonflik menunjukkan gaya mengelola konflik secara menghindar, atau represif. Apabila gaya mengelola konflik yang ditunjukkan utamanya adalah represif (saling menekan dan kompetisi destruktif) dan menghindar tidak ingin saling bertemu, maka pada kondisi tersebut perlu dilakukan upaya intensifikasi konflik. Intensifikasi konflik tidak identik dengan
193
eskalasi konflik. Intensifikasi konflik mengandung arti peningkatan frekuensi peristiwa konflik secara konstruktif dan dimaksud untuk mengungkap konflik-konflik laten/tersembunyi sehingga makin jelas terlihat
apa
saja
akar
konflik
yang
terjadi
untuk
dicarikan
penyelesaiannya.
5.4.1
Gaya Mengelola Konflik Para Pihak Dalam penelitian ini, beberapa responden wakil dari masyarakat yang
bertani di dalam kawasan hutan lindung Register 45B diambil untuk keperluan analisis. Kemudian dengan mempergunakan teknik snow bowling, mereka diwawancara siapa saja pihak lain (individu ataupun lembaga) yang dianggap sebagai pihak lawan baik lawan aktual maupun potensial. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, para pihak dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu: (1) Pihak masyarakat yang bertani di dalam kawasan hutan. (2) Pihak LSM, perguruan tinggi, ataupun lembaga penelitian yang memiliki kepentingan dengan kasus konflik yang terjadi atau yang memiliki kegiatan yang terkait dengan konflik tersebut. (3) Pihak aparat kecamatan, desa (pekon), atau lembaga swasta yang berada di lokasi sekitar konflik. (4) Pihak kabupaten yang diasumsikan memilik kepentingan terhadap konflik yang terjadi. Pada Bab 3 Metodologi direncanakan akan diambil sebanyak 30 responden yang mewakili keempat pihak tersebut. Namun berdasarkan perkembangan penelitian di lapang, jumlah tersebut meningkat menjadi 41 responden. Perkembangan tersebut tetap diakomodasi untuk dijadikan subjek analisis atas dasar pertimbangan keterwakilan secara multi stakeholders, hak untuk bersuara, dan kepentingan
penanganan
konflik
secara
lebih
komprehensif.
Komposisi
responden yang telah berubah tersebut seperti ditulis dalam Tabel 5.4.1. Gaya
mengelola
konflik
masing-masing
pihak
diukur
dengan
menggunakan pernyataan responden yang mewakili gaya-gaya yang akan dianalisis
dalam
penelitian
ini
yaitu:
(1)
menghindar,
(2)
kompetisi/represif/menekan, (3) akomodatif, (4) kompromi, dan (5) kolaborasi. Masing-masing gaya kemudian diberi skor sebagaimana ditulis dalam Tabel 3.12 dalam Bab 3. Pada penelitian lapang, semua responden diwawancara untuk mengetahui perbedaan gaya mengelola konflik masing-masing pihak terhadap 3
194
buah topik konflik di kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis yaitu: (1) konflik status lahan, (2) konflik penataan batas, dan (3) konflik hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan. Hasil wawancara kemudian dianalisis dengan uji perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antar nilai tengah (mean). Tabel 5.4.1 Komposisi Para Pihak Yang Dipilih Dalam Analsis Gaya Mengelola Konflik. Jumlah Responden Rencana Pelaksanaan No. Pihak Jumlah Jumlah Individu/Lembaga
1
LSM+PT+Litbang
7
10
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2. 3.
2
Kabupaten
7
7
3
Masyarakat
8
9
4
Kecamatan dan Pekon
9
15
4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
TOTAL
30
41
Watala Bandar Lampung LPB Yacili ICRAF WCS Watala Sumberjaya Unila, Fakultas Hukum Unila, Fakultas Pertanian LSPPM ICRAF, Fasilitator HKm ICRAF, Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Kabid RRL, Dishut & PSDA Kabupaten Bapeda Kabupaten Bagian Organisasi dan Hukum Kabupaten BPLH Kabupaten BPN Kabupaten Ketua DPRD Kabid PSDA, Dishut & PSDA Kabupaten Waremtahu KMPH MWLS Kelompok Tani Semarang Jaya KPPSDA Setia Wana Bhakti KPPSDA Setia Wana Bhakti KMPH Rigisjaya II KMPH Rigisjaya II KMPH Bina Wana KMPH Bina Wana Pemangku Dusun Rigisjaya II Peratin Pekon Gn. Terang Sekretaris Pekon Gn. Terang Peratin Pekon Tribudisyukur Camat Kecamatan Sumberjaya Sekcam Kecamatan Way Tenong Kepala UPTD Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Peratin Pekon Simpangsari Manager Operasional PLTA Way Besay Peratin Pekon Semarangjaya Katua LHP Pekon Tribudisyukur Kaur Pemerintahan Pekon Sukapura Peratin Pekon Sukapura Wakil LHP Pekon Gunung Terang Penyuluh Lapangan UPTD Bukit Rigis
195
a. Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Status Lahan Berdasarkan hasil analisis nilai tengah, keempat pihak menyatakan bahwa mereka akan bersikap kompromi dan kolaborasi dalam menyelesaikan konflik status lahan di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Para pihak yang akan bersikap gaya mengelola konflik secara kolaborasi adalah (1) pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang, dan (2) pihak kabupaten. Kedua pihak tersebut memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 5,44 dan 5,31 atau dapat dinyatakan bahwa pihak LSM-perguruan tinggi-litbang bersikap lebih kolaboratif dari pihak kabupaten (Tabel 5.4.2). Selain itu, kedua pihak tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam menghadapi konflik status lahan, mereka akan membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama . Tabel 5.4.2 Hasil Analisis Statistik Perbedaan Nilai Tengah Para Pihak Terhadap Konflik. Pengelompokan Uji T–Scheffe (Nilai tengah yang memiliki notasi yang sama adalah secara statistik dinyatakan tidak berbeda nyata)
Nilai Tengah
n
Pihak
10 7 9 15
LSM+PT+Litbang Kabupaten Masyarakat Kecamatan dan Pekon
10 7 15 9
LSM+PT+Litbang Kabupaten Kecamatan dan Pekon Masyarakat
Konflik status lahan B B B
A A A
5.4400 5.3143 4.2889 4.2267
Konflik Penataan Batas B B B
A A A
5.5111 4.8571 4.4800 4.2444
Konflik hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan A A A A
5.3714 5.2133 5.0600 5.0444
7 15 10 9
Kabupaten Kecamatan dan Pekon LSM+PT+Litbang Masyarakat
Para pihak yang akan bersikap kompromi adalah (1) pihak masyarakat yang bertani di dalam kawasan, dan (2) pihak kecamatan-pekon yang memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 4,29 dan 4,23 atau pihak masyarakat lebih kompromistis dari pada pihak kecamatan-pekon. Selain itu, kedua pihak tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam menghadapi konflik status lahan, mereka akan berupaya menghindari kebuntuan, serta mengusulkan
196
jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan suatu pihak terhadap pihak lain. Seperti diuraikan sebelumnya, baik sikap kompromis maupun kolaboratif merupakan modal sosial untuk memulai suatu perundingan guna menyelesaikan konflik secara konstruktif. Upaya intensifikasi konflik dapat dikatakan relatif sedikit diperlukan terutama agar gaya kompromis berubah menjadi gaya kolaborasi. Upaya konkrit yang bisa ditempuh adalah dengan melalui pemberian pemahaman tentang manfaat-manfaat apa saja yang bisa diraih dan diterima oleh para pihak yang berkonflik jika konflik status lahan ditangani. Dari hasil analisis, yang menarik justru adalah secara statistik perbedaan yang nyata antara gaya konflik pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang terhadap gaya konflik pihak kecamatan-pekon. Perbedaan yang nyata tersebut didapat ketika dilakukan pengelompokkan nilai tengah, pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang memiliki notasi nilai tengah “A” dan pihak kecamatanpekon memiliki notasi “B”. Artinya gaya konflik kedua belah pihak secara statistik berbeda nyata (taraf uji 5 persen). Di lapang, hal tersebut dapat disebabkan oleh: (1) Tataran pemerintahan terdepan yang memiliki kewenangan mengelola urusan-urusan yang terkait dengan penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, serta penetapan status pemilikan tanah adalah tataran pemerintah kabupaten. Setiap terjadi penyelesaian konflik yang berkaitan dengan urusan perubahan status kawasan hutan, LSMperguruan tinggi-lembaga litbang lebih banyak berhubungan ke kabupaten dan amat jarang berhubungan dengan pihak kecamatan-pekon. Hal ini membuat partisipasi pihak kecamatan-pekon relatif termarjinalkan sehingga mereka amat sedikit mengetahui tentang urusan tersebut yang kelanjutannya berdampak pada perbedaan gaya pengelolaan konflik secara nyata. Menurut Kriesberg (1998), membaiknya gaya konflik suatu pihak memang dipengaruhi oleh sikap asertif dan kooperatif mereka, namun selain itu, juga dipengaruhi oleh kualitas pemahaman mereka terhadap akar masalah penyebab terjadinya konflik yang diantaranya diperoleh melalui keikutsertaan mereka dalam diskusi, dialog, dan perundingan. Konflik status wilayah Pekon (desa) Sukapura yang berada di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis adalah contoh menarik untuk diketahui (Lihat Kotak 2).
197
Kotak 5.3 Peran Serta Pihak Kecamatan (dan Desa) dalam Proses Kajian Perubahan Status Kawasan Hutan, Kasus Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya. Sebagian wilayah Pekon Supakura Kecamatan Sumberjaya yaitu seluas 302,5 berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis dan masyarakat meminta agar wilayah tersebut dikeluarkan dari “statusnya” sebagai kawasan hutan. Upaya penyelesaian kasus ini difasilitasi oleh sebuah LSM Yayasan Watala yang pendanaannya didukung oleh MFP-DFID melalui Yayasan Kemala. Fasilitasi upaya penyelesaian dimulai pada tahun 2002 dengan melakukan pemetaan partisipatif terhadap lahan yang statusnya berkonflik. Dengan dukungan kelembagaan dari ICRAF Asia tenggara, hasil pemetaan kemudian didialogkan ke instansi kabupaten yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA, Kantor BPN, Kantor BPLH, dan Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Lampung Barat. Sebagai tindak lanjut dialog, pada bulan November tahun 2003 terbitlah Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung Barat No.B/231/Kpts/01/2003 tentang Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah Di Hutan Lindung (Reg 45B) Sekitar Pekon Sukapura yang anggota Tim Kerjanya terdiri atas: • Ketua : Sekretaris Daerah Lampung Barat • Wk. Ketua : Assisten I Bupati • Sekretaris : Kepala Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat • Wk. Sekretaris : Kabag. Tata Pemerintahan • Anggota : - Dinas Kehutanan Propinsi Lampung - UPTD IPH Propinsi lampung - BPLH Lampung Barat - Bapeda Lampung Barat - Kepala Kantor BPN lampung Barat - Kabid Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat - Kabag Organisasi dan Hukum - Kasubag Pemerintahan Umum dan Organisasi - Bagian Pemerintahan Sekdakab - Kasubag Pemerintahan Pekon dan Kelurahan - Kasubag Lanwilda dan Tatakota - Kasi Pemerintahan Kecamatan Sumberjaya - Kasi Ekbang Kecamatan Sumberjaya - UPTD PHL Bukit Rigis 1. - Peratin Sukapura - Universitas Lampung - WATALA - Suparman (tokoh masyarakat) Tim tersebut dibentuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2.a) bahwa penetapan kawasan hutan dilakukan diawali proses penyampaian Berita Acara Tata Batas (BATB) dan peta tata batas yang telah ditandatangani oleh PTB (Panitia Tata Batas). Penyampaian BATB dan peta tata batas juga diberlakukan pada perubahan status kawasan hutan. Penunjukkan PTB adalah kewenangan Bupati/Walikota. Permohonan perubahan status juga harus didahului dengan studi kelayakan perubahan status yang dilaksanakan oleh sebuah Tim Terpadu yang ditetapkan oleh Bupati. Dengan demikian sudah tepat bahwa Bupati memiliki dasar untuk membentuk Tim. Permasalahannya, di dalam SK tersebut tampak jelas, bahwa dari 18 anggota Tim Terpadu, hanya 2 orang (dari tataran kecamatan dan pekon) yang diperan sertakan dalam studi kelayakan.
(2) Adanya proses perguliran kekuasaan dan pemekaran wilayah yang demikian cepat dan dinamis. Sejak September 2000 hingga Juli 2006 sudah terjadi pergantian Camat Kepala Wilayah Kecamatan Sumberjaya sebanyak 5 kali yaitu: Khotob, Paksi Marga, Irhan Jailan, Mulyono, dan Basis. Pada awal
198
jabatannya, Mulyono sebagai Camat mulai tahun 2005 menyatakan ketidak pahamannya tentang kegiatan fasilitasi yang dilakukan oleh pihak LSMperguruan tinggi-lembaga litbang di Sumberjaya. Hal tersebut merupakan petunjuk tidak terjadinya internalisasi penguasaan masalah status lahan di dalam struktur organisasi pemerintahan kecamatan. Selain itu, Kecamatan Sumberjaya yang pada tahun 2000 wilayah administratifnya meliputi seluruh DAS Way Besay dan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis, tahun 2003 dimekarkan menjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya di bagian timur dan Kecamatan Way Tenong di bagian barat. Pada tanggal 14 Agustus 2006, baru saja berlangsung pemekaran kecamatan baru yaitu Kecamatan Gedung Surian yang menempati wilayah utara kedua kecamatan sebelumnya. Kecamatan baru tersebut dipimpin oleh Muchlisin. Penyempurnaan sistem rentang kendali (span of control) pemerintahan yang semula ditujukan untuk memperlancar pelayanan pemerintah dan pembangunan wilayah berubah menjadi penomena “berbagi kekuasaan”, yang disertai dengan perubahan struktur pemerintahan yang baru tersebut, telah menyulitkan pihak LSMperguruan tinggi-lembaga litbang dalam mentransformasi pemahaman tentang upaya-upaya penyelesaian konflik status lahan. Akibatnya interaksi pihak LSM-perguruan tinggi-litbang terhadap kecamatan-pekon menjadi relatif lemah dan lebih banyak berinteraksi dengan tataran pemerintah kabupaten yang memang berkewenangan atas sebagian urusan administrasi status tanah dan lahan kawasan hutan. b. Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Analisis gaya konflik juga dilakukan terhadap konflik tata batas kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis. Pada analisis ini dihasilkan bahwa hanya pihak
LSM-perguruan
tinggi-lembaga
litbang
yang
bersikap
kolaboratif
(ditunjukkan oleh nilai tengah sebesar 5,51) dan menyatakan bahwa dalam menghadapi konflik tata batas kawasan hutan, mereka akan membawa kepentingan
semua pihak dalam iklim
kerjasama
yang terbuka
untuk
menghasilkan jalan keluar bersama (Tabel 5.4.2). Sementara ketiga pihak lainnya menunjukkan sikap kompomi dengan nilai tengah masing-masing yaitu pihak kabupaten sebesar 4,86, pihak kecamatan-pekon sebesar 4,48, dan pihak masyarakat sebesar 4,24; dengan demikian pihak kabupaten adalah pihak yang paling kompromis dan menyatakan bahwa dalam menghadapi konflik tata batas,
199
mereka akan berupaya menghindari kebuntuan, serta mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan suatu pihak terhadap pihak lain. Fakta bahwa pihak kabupaten bersikap kompromi diduga merupakan bagian dari langkah “kehati-hatian” mereka menyangkut keutuhan tata batas kawasan yang apabila “temu gelang” patok tata batas kawasan bisa dipertahankan maka luas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan tetap 8295 hektar. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan prioritas pembangunan Departemen Kehutanan tahun 2005-2009 tentang tata guna hutan kawasan yang “clean and clear”. Berbeda halnya pada konflik status lahan, pihak kabupaten memiliki gaya kolaboratif. Hal tersebut diduga oleh adanya pemahaman yang mendasar tentang sejarah terjadinya konflik-konflik status lahan di Kabupaten Lampung Barat yang sebagian besar disebabkan oleh “kelalaian” pemerintah dalam administrasi pertanahan, contohnya kasus Pekon Sukapura. Hal-hal yang berkaitan dengan akibat “kelalaian” pemerintah, nampaknya akan menjadi prioritas penanganan oleh kabupaten untuk dilakukan dan jika perlu melalui mengembalian hak-hak masyarakat atas tanah. Di dalam analisis gaya mengelola konflik tata batas, diperoleh temuan bahwa pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang memiliki gaya konflik yang secara statistik berbeda nyata dengan pihak masyarakat yang tinggal atau memilik lahan garapan di dalam kawasan. Hal tersebut ditunjukkan oleh gaya konflik kolaboratif pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang bernotasi “A”, sementara gaya konflik masyarakat adalah kompori bernotasi “B” (Tabel 5.4.2). Pola perbedaan ini memiliki faktor penyebab yang relatif sama dengan gaya konflik status lahan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Hal tersebut dapat dimaklumi karena urusan status dan tata batas kawasan hutan merupakan satu kesatuan yang diatur di dalam SK Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan,
Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
Hanya secara operasional, penataan batas lebih diatur di dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria Dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, terutama pada Bab IV Bagian Kedua tentang Penataan Batas Kawasan Hutan, Pasal 8 yang menegaskan bahwa Panitia Tata Batas (PTB) areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan dibentuk, diketuai, dan disyahkan oleh Bupati/Walikota. Akibat dari kedua peraturan tersebut, kecenderungan pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang semakin kuat untuk
200
menyampaikan pandangan-pandangan tentang penanganan konflik status dan tata batas kepada pihak kabupaten. Faktor lainnya adalah, indepedensi pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang dalam penyelesaian konflik tata batas ibarat “pisau bermata dua”. Di satu sisi apabila terjadi rekonstruksi tata batas dan menghasilkan penyusutan luas kawasan maka akan mengundang reaksi Departemen Kehutanan, apalagi di dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa sebesar 30 persen wilayah propinsi harus dipertahankan sebagai kawasan hutan. Sebaliknya jika hasilnya ternyata justru memperluas kawasan maka akan mengundang reaksi dari pihak masyarakat karena berkemungkinan mengurangi luasan lahan-lahan budidaya yang berlokasi di sekitar kawasan hutan. Bagi pihak masyarakat, apabila kondisi yang kedua tersebut terjadi, maka ada sebagian masyarakat yang akan “dirugikan” dalam arti menurunnya luas lahan garapan yang merupakan modal utama dalam bermatapencaharian di sektor pertanian. Untuk menghadapi resiko tersebut, diperlukan upaya-upaya yang bisa membangun pemahaman bahwa setiap penyeselaian tata batas melalui rekonstruksi sematamata untuk menyediakan kepastian pemilikan dan/atau penguasaan lahan (land tenure security) kepada semua pihak, baik pihak pemerintah maupun pihak masyarakat. Dengan demikian, kebijakan “clear and clean” dapat ditafsirkan secara lebih luas, tidak hanya untuk mempertahankan kawasan hutan negara seluas 30 persen wilayah, tetapi juga untuk mencegah terjadinya berbagai biaya sosial yang mungkin muncul akibat konflik yang berlarut-larut. Dari sudut pandang penanganan konflik, gaya konflik yang bersifat kompromis dan kolaboratif merupakan aset sosial yang bisa dijadikan petunjuk bahwa penyelesaian konflik tata batas kawasan bisa dilakukan dengan partisipasi semua pihak yang berkonflik dan melaksanakannya dengan cara-cara yang konstruktif. Kekhasan kedua gaya tersebut yang dicirikan dengan adanya keinginan untuk bekerjasama, saling menghargai kepentingan semua pihak, serta selalu berupaya mencari jalan keluar yang terbaik dan bermanfaat bagi semua pihak, dapat menjadi asupan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan kepentingan yang terjadi. Apalagi persoalan tata batas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis adalah persolaan nyata. Berdasarkan dokumen Berita Acara Tata Batas yang telah disyahkan oleh Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan tanggal 24 Maret 1994, penataan batas kawasan tersebut merupakan satu kesatuan dengan kawasan hutan lindung Register 43B Krui
201
Utara dan Register 44B Way Tenong Kenali. Sementara, tata batas antar register belum dikonstruksi sehingga dapat dinyatakan bahwa tata batas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis secara ekslusif belum temu gelang. Persoalan-persoalan tata batas tersebut di atas tidak hanya dapat menyulut konflik antara pihak pemerintah kabupaten dengan pihak masyarakat, namun lebih jauh bahkan dapat menyulut konflik antar pemerintah kabupaten. Potensi tersebut dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen ijin HKm yang dikeluarkan pada bulan Juni tahun 2006 seperti pada Tabel 5.4.3. Di dalam tabel tersebut, dari 19 ijin kelompok HKm yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (Lihat Lampiran 9), terdapat 5 buah ijin yang lokasinya berdasarkan TGHK Propinsi Lampung tahun 1991 berada di kabupaten lainnya dengan penjelasan sebagai berikut: (1) Kelompok HKm penerima ijin yang seluruh atau sebagian hamparannya berlokasi di kawasan hutan lindung register 34 Tangkit Tebak Kabupaten Lampung Utara (berbatasan dengan wilayah timur Kabupaten Lampung Barat). (2) Kelompok HKm penerima ijin yang seluruh hamparannya berlokasi di kawasan hutan lindung register 39 Kota
Agung
Tanggamus
Utara
Kabupaten
(berbatasan
dengan
wilayah selatan Kabupaten Lampung Barat). Kasus ijin HKm tersebut dapat diklasifikasikan sebagai suatu kebijakan yang melampaui kewenangan (beyond jurisdiction) penyelenggaraan
terutama
dalam tugas-tugas
pemerintahan yang berkaitan dengan urusan pengelolaan wilayah administratif kabupaten dan terjadi sebagai akibat dari (1) belum tuntasnya penataan batas antar register kawasan hutan, dan (2) belum tuntasnya penataan batas antar wilayah administratif kabupaten yang
Gambar 5.18. Konflik tata batas kawasan hutan hutan Register 33 Kota Agung Utara sudah terjadi sejak lama dan tak kunjung selesai. Pada bulan Maret 2003, peneliti memfasilitasi dialog lapangan antara Kepala Kantor TN Bukit Barisan Selatan, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus, Kepala Bagian RRL Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, aparat Pekon Trimulyo, dan kelompok HKm Tri Buana (Sumber Photo: Peneliti).
202
seharusnya menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi Lampung. Saat ini sedang dirintis negosiasi penataan batas kawasan hutan antara Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Lampung Utara terutama batas antara kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigisi Kabupaten Lampung Barat dengan kawasan hutan lindung Register 34 Tangkit Tebak Kabupaten Lampung Utara. Apabila upaya tersebut dapat tuntas dilakukan, maka manfaatnya tidak hanya bagi kedua tataran pemerintah, namun juga bagi kepastian akses masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan dari kawasan hutan lindung. Tabel 5.4.3 Daftar Ijin HKm (Juni 2006) yang Lokasinya Berpotensi Menimbulkan Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Antar Kabupaten. No
Nama Klp HKm
No SK
Lokasi Hamparan
KMPH Abung Jaya, HL,Reg 45B Bukit Rigis Pekon Pura jaya, 503.522/523/IV.05.2/2006 dan Reg 34 Tangkit Kec. Sumberjaya Tebak Lampung Utara 2 KMPH Wana Mulya, HL, Reg 39 Kota Agung Pekon Ciptawaras, 503.522/516/IV.05.2/2006 Utara Kec. Sumberjaya 3 KMPH Wana Jaya, HL, Reg 39 Kota Agung Pekon Mekarjaya, 503.522/518/IV.05.2/2006 Utara Kec. Sumberjaya 4 KMPH Wana Makmur, HL, Reg 34 Tangkit Pekon Purawiwitan, 503.522/519/IV.05.2/2006 Tebak Kec. Sumberjaya 5 KMPH Ribang Alam, HL, Reg 39 Kota Agung Pekon Muarajaya I, 503.522/513/IV.05.2/2006 Utara Kec. Sumberjaya Sumber: Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat, data diolah.
Luas (Ha)
1
2077,9
367,64
721
1576,82
3535,56
c. Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Akses Dengan menggunakan definisi akses yang beralas hak (access based right) menurut Ribot dan Peluso (2003) seperti diuraikan di dalam Bab 4, dapat dinyatakan hak masyarakat atas akses mengelola lahan kawasan hutan adalah kemampuan (ability) masyarakat untuk memperoleh manfaat melalui pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan yang diatur oleh hukum (hukum positif dan hukum adat) serta peraturan dan perundangan yang terkait lainnya. Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa akses beralas hak juga mencakup tanggungjawab dan sanksi yang diterapkan. Definisi ini sengaja diulas kembali untuk memberikan pengertian dasar tentang hak akses dalam membahas gaya konflik di sub-bab ini.
203
Berdasarkan hasil analisis gaya konflik para pihak terhadap hak akses masyarakat dalam mengelola lahan dalam kawasan hutan, diperoleh fakta bahwa semua pihak bersikap kolaboratif dengan nilai tengah masing-masing yaitu pihak kabupaten sebesar 5,37, pihak kecamatan-pekon sebesar 5,21, pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang sebesar 5,06, dan pihak masyarakat sebesar 5,04 (Tabel 5.4.2). Dengan membandingkan nilai tengah keempat pihak, kabupaten adalah pihak yang paling kompromistis. Selain itu, seluruh pihak tersebut tidak memiliki perbedaan gaya konflik yang nyata ditunjukkan oleh nilai tengah yang semuanya bernotasi “A”. Pihak kabupaten yang bersikap amat kolaboratif untuk membawa kepentingan semua pihak bekerjasama secara terbuka untuk menghasilkan jalan keluar terkadap konflik hak akses tidak terlepas dari beberapa hal sebagai berikut: (1) Dari total luas wilayah Kabupaten Lampung Barat 474.989 hektar, sebesar 77,76 persen wilayahnya adalah kawasan hutan dan tidak satupun peruntukkannya adalah kawasan hutan produksi. Kalaupun ada yaitu kawasan hutan produksi terbatas (HPT) berupa repong damar di pesisir barat kabupaten yang pada tahun 2000 ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI) yang secara hukum hanya boleh untuk disadap getah damarnya. Terbatasnya kawasan budidaya (yaitu hanya 22,24 persen dari total luas wilayah daratan) memotivasi pemerintah kabupaten untuk mengoptimalkan pengelolaan kawasan hutan, khususnya
pengelolaan
pengurusannya
sudah
kawasan dilimpahkan
yang kepada
sebagian pemerintah
kewenangan kabupaten,
diantaranya HKm. (2) Keinginan yang kuat pemerintah Kabupaten Lampung Barat
untuk
membangun wilayahnya berbasis sumberdaya hutan tercermin dari visi Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten Lampung Barat Tahun 20032007 yaitu “Terwujudnya Masyarakat Lampung Barat Yang Madani Berbasis Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Pariwisata“. Pada berbagai kesempatan dialog penanganan konflik pengelolaan hutan yang pernah terjadi, I Wayan Dirpha - Bupati Lampung Barat yang terdahulu, acapkali menegaskan bahwa dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, kesejahteraan masyarakat adalah prioritas kesatu di atas kepentingan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Walaupun berbeda asal partai politik, Bupati penerusnya saat
204
ini – Erwin Nizar, tetap melanjutkan kebijakan pembangunan kehutanan yang telah dirintis oleh bupati sebelumnya. (3) Adanya kebijakan Departemen Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diatur di dalam Surat Keputusan Menteri No.31/Kpts-II/2001 yang memberikan kewenangan kepada kabupaten dalam memberikan ijin HKm bagi masyarakat setempat dijadikan peluang emas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berbasis pengelolaan sumberdaya hutan. Sejak Tahun 2001 hingga Juni 2006, Kabupaten Lampung Barat telah menerbitkan sebanyak 24 ijin HKm meliput areal kawasan hutan lindung seluas 13.897,81 hektar yang memberi hak akses terhadap 6.535 keluarga petani hutan untuk mengelola areal HKm tersebut (Data diolah dari Tabel 4.12 dan Lampiran 9). Pemberian ijin tersebut menempatkan Kabupaten Lampung Barat termasuk sebagai kabupaten yang paling proaktif dalam melaksanakan kebijakan HKm di daerah. (4) Pemberian hak akses mengelola areal kawasan hutan lindung tersebut didukung
oleh
kebijaksanaan
Bupati
yaitu
untuk
sementara
belum
menerapkan pelaksanaan Perda Propinsi Lampung No.7/2000 tentang Retribusi Izin Pemungutan Terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu Di Kawasan Hutan hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar dapat tertopang oleh kegiatan HKm mereka. Padahal di dalam perda tersebut dinyatakan bahwa dari penerimaan retribusi, 50 persen untuk pemerintah kabupaten, dan sisanya 50 persen disetorkan kepada pemerintah Propinsi Lampung (Pasal 10 ayat (1)). (5) Kebijakan kabupaten dalam mengeluarkan ijin HKm dan kebijaksanaan mereka dalam menunda penerapan Perda Propinsi Lampung No.7/2000 tidak terlepas dari dukungan analisis mitra kabupaten terutama LSM. Lembaga litbang, dan perguruan tinggi. Setidaknya tercatat beberapa LSM, lembaga litbang, dan perguruan tinggi yang memberikan analisis pendukung pengambilan keputusan diantaranya Watala, Yacili, WWF Lampung, LATIN, Beguwai Bejama, PMPRD, ICRAF Asia Tenggara, Puslitanak Bogor, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. (6) Sebagai wujud tanggung jawab, pelaksanaan kebijakan HKm oleh Kabupaten Lampung Barat disertai dengan mekanisme pengendalian yang diatur di dalam Keputusan Bupati Lampung Barat Nomor: 11 Tahun 2004 Tentang
205
Panduan Teknis Indikator Dan Kriteria Monitoring Dan Evaluasi Pelaksanaan Program Hutan Kemasyarakatan Di Kabupaten Lampung Barat. Mekanisme tersebut menuai sukses. Bahkan pada tanggal 11 Agustus 2006, kelompok HKm Mitra Wana Lestari Pekon Simpangsari Kecamatan Sumberjaya memperoleh penghargaan dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan sebagai kelompok “Inisiator Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang telah berhasil mengubah padang alang-alang kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis seluas 250 hektar menjadi sistem wanatani kebun kopi multi tajuk yang secara teknis dapat menyangga fungsi hidroorologis kawasan hutan tersebut. Penghargaan tersebut hanya diberikan kepada 10 inisiator terbaik se-Indonesia.
d. Pemanfaatan Hasil Analisis Gaya Konflik Untuk Penanganan Konflik Selanjutnya Walaupun secara statistik terdapat perbedaan nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing pihak, besarnya nilai tengah pada semua konflik yang diuji (status, tata batas, dan hak akses) masih berkisar antara 4,23 hingga 5,51. Artinya semua pihak bersikap ingin mengelola konflik baik secara kompromi atau kolaborasi. Sebagaimana telah diuraikan pada awal sub-bab ini, kedua gaya tersebut sudah dapat dipergunakan sebagai petunjuk awal untuk dilakukannya penyelesaian-penyelesaian konflik konstruktif melalui perundingan baik berupa dialog, negosiasi dan bentuk-bentuk penyelesaian konflik alternatif lainnya. Sebelum gaya konflik tersebut diuji secara statistik interveren, pengujian secara deskriptif tabulatif nilai tengah telah terlebih dahulu dilakukan pada saat penelitian lapang dilaksanakan. Hal tersebut dibutuhkan untuk meyakini apakah negosiasi (yang dikemas dalam bentuk Semiloka Pengembangan Model Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis dan merupakan bagian dari pendekatan partisipatif dalam penelitian ini) dimungkinkan untuk dilaksanakan. Pengujian secara deskriptif tabulatif tersebut juga merupakan bagian dari upaya pengambilan keputusan peneliti untuk masuk kembali (re-entry) ke dalam situasi konflik sebagaimana telah diuraikan pada teknik CAPS (Collaborative Analytical, Problem-solving Process or Approach) yang dipergunakan dalam penelitian ini (Gambar 3.3, Bab 3 Metodologi). Untuk memastikan keinginan responden berpartisipasi dalam semiloka tersebut,
206
mereka juga diminta mengisi borang (form) konfirmasi kehadiran (Lampiran 11). Selain itu dalam rangka melengkapi analisis konflik yang terjadi, sebelum memasuki tahap semiloka, juga dilakukan analisis polarisasi konflik sebagaimana akan dibahas dalam sub-bab berikut.
5.4.2 Polarisasi Konflik Ketika konflik akan meletus, hubungan antara pihak berlawanan cenderung mengeskalasi pertikaian terutama pada konflik destruktif. Ada tiga perubahan fundamental yang biasanya terjadi pada situasi tersebut (Kriesberg, 1998) yaitu: (1) Para pihak yang berlawanan semakin sering terlibat dalam perdebatan yang saling menjatuhkan baik melalui media masa, pertemuan-pertemuan, bahkan unjuk rasa. Dalam kondisi ini, tidak jarang materi perdebatan menjadi tidak masuk logika karena para pihak terjebak dalam emosi kemarahan (the logic on contentious interaction). (2) Terjadinya perluasan akar konflik (the expansion of the issues), dari semula akar konfliknya hanya beberapa kemudian jadi bertambah banyak 1/. (3) Terjadinya ketidak seimbangan tegangan menimbulkan polarisasi hubungan dan keberpihakan (polarization of relations) dimana pihak-pihak yang memiliki kepentingan sama akan cenderung berdiri pada satu kutub (standing point), sedangkan hubungan dengan pihak-pihak yang berbeda kepentingan menjadi regang (segregasi). Analisis polarisasi penting dilakukan dalam rangka untuk mengetahui pihak-pihak
mana
yang
saling
berseberangan,
untuk
mengelompokkan
perbedaan kepentingan, dan untuk memisahkan pihak mana yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam berkonflik2/. Teknik kualitatif sederhana yang sering dipergunakan untuk menganalisis polarisasi konflik adalah teknik 1
2
Pada tahun 2004, di Desa Colo, Pulau Flores, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur pernah terjadi pengusiran penduduk keluar dari kawasan hutan lindung karena mereka berkebun kopi di dalamnya. Pada peristiwa pengusiran terjadi perlawanan sehingga timbul korban jiwa di pihak masyarakat akibat tindakan represif pihak keamanan, disinyalir sebanyak 4 jiwa penduduk desa tewas sia-sia. Kejadian tersebut menghentak Pemerintah di Jakarta sehingga menurunkan Tim Komnas HAM ke lokasi, mengusut kejadian, dan memperadilankan Bupati Manggarai yang hingga kini prosesnya belum selesai. Akar konflik meluas dari semula berakar pada adanya kebun kopi di dalam kawasan hutan kemudian bertambah dengan pelanggaran hak azasi manusia. Pada Tahun 2005, peneliti pernah memediasi konflik pengelolaan areal HKm Kopontren Darrussadiqien seluas 1024 hektar di Kabupaten Lombok Barat. Terdapat 25 pihak yang terlibat dalam konflik, dan hanya 8 pihak diantaranya yang merupakan pekonflik aktual yang kemudian menandatangani Naskah Kesepakatan Penyelesaian Konflik.
207
pemetaan polarisasi pihak-pihak yang berkonflik serta perbedaan kepentingan yang terjadi dengan menggunakan diagram (Fisher at al, 2001). Berdasarkan pengalaman peneliti, untuk mempermudah pelaksanaanya dilakukan dengan tahap-tahap berikut 3/: (1) Tahap pertama berdasarkan hasil teknik snow bowling, para pihak dipetakan ke dalam kisi-kisi yang memiliki dua sumbu pihak, lalu masing-masing kotak kuadran diisi dengan perbedaan kepentingan (Lampiran 12). Pada tahap ini pernyataan responden yang bersifat miskomunikasi antar pihak, tidak dimasukkan ke dalam kisi-kisi. (2) Tahap kedua yaitu memindahkan perbedaan tersebut ke dalam sebuah diagram peta konflik (Gambar 5.19) dan mengelompokkan para pihak berdasarkan kesamaan sesuai dengan masing-masing isu konflik (Tabel 5.4.4). Berdasarkan hasil analisis kualitatif polarisasi pada konflik status lahan, posisi para pihak Bappeda Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, ICRAF, dan Kecamatan/pekon beregangan dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat dengan menyatakan bahwa dinas tersebut tidak menyelesaikan masalah konflik status lahan di dalam kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis (Tabel 5.4.4). Pernyataan tersebut dilandaskan pada penyelesaian kasus konflik status lahan seluas 302,5 hektar di Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya yang belum selesai. Dengan menggunakan tabel yang sama, analisis polarisasi pada konflik tata batas memperoleh perbedaan-perbedaan sebagai berikut: •
Posisi para pihak Bappeda Lampung Barat, BPN Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, dan ICRAF beregangan dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat dengan menyatakan bahwa dinas tersebut tidak menyelesaikan masalah tata batas kawasan. Hal ini didasari oleh tidak tuntasnya konflik tata batas lahan pengganti pembangunan infrastruktur PLTA Way Besay seluas 50 hektar, dan konflik tata batas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat dengan kawasan hutan lindung Register 34 Tangkit Tebak Kabupaten Lampung Utara, dan batas dengan kawasan hutan lindung Register 39A Kota Agung Utara Kabupaten Tanggamus sebagaimana diuraikan sebelumnya.
3
Tehnik sederhana ini dikembangkan oleh peneliti pada saat mediasi konflik pengelolaan HKm di Kabupaten Lombok Barat. Teknik ini dapat dilakukan baik secara Participatory Appraisal (PA) maupun Rapid Appraisal (RA).
208
Tidak menjaga kelestarian lingkungan
Tidak menyelesaikan tata batas dan status
Bapeda Lambar
Tata batas tidak tuntas.
• Penyelesaian masalah status, akses, tata batas hanya untuk kepentingan Dishut. • Tidak menyelesaikan kasus penebangan liar. • Tidak ada kepastian tentang HKm definitif
Lemah persepsi tentang akses
DPRD Lambar
Diskan
Tidak tuntas menyelesaian tata batas, status, dan akses
Masyarakat Petani
Dishut Propinsi
Tidak mendukung akses bagi masyarakat
Tidak peduli dengan ketersediaan air masyarakat. Aparat kecamatan dan pekon tidak pernah memberikan bimbingan.
ICRAF
Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging.
Penyalah gunaan PAD/ retribusi
BPLH Lambar
Pungli kepada petani HKm terutama yang ijinnya belum terbit.
Status lembaga ini tidak jelas.
Oknum Dinas melakukan illegal logging.
Akses hanya kepentingan Dishut Dishut tidak menyelesaikan tata batas
Watala
Yacili
LSM hanya oportunis Tidak mendukung penyelesaian tata batas
PLTA
Tata batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan menduduki tanah marga Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging.
Gambar 5.19
Departemen Kehutanan
Propinsi dan Pusat kurang mendukung akses bagi masyarakat. Sistem tanam GERHAN tidak sesuai dengan kondisi Sumberjaya.
Melanggar tata batas
Lembaga Kecamatan dan Pekon Disperi ndag
Dishutkab Lampung Barat
Perguruan Tinggi
Tidak membantu pembangunan ekonomi masyarakat
Polisi/TNI
Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging.
UPTD Bukit Rigis BPN
Peta Perbedaan Kepentingan Antar Pihak Dalam Konflik Status, Tata Batas, dan Akses Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Utara.
209
Tabel 5.4.4. Pengelompokkan Perbedaan Para Pihak Berdasarkan Pernyataan Mereka Terhadap Masing-masing Isu Konflik Pernyataan Pihak Bappeda Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, ICRAF, Kecamatan/pekon Dishut Lampung Barat tidak menyelesaikan masalah konflik status lahan di dalam kawasan
Isu Å Konflik Æ
Pernyataan Pihak
Status Å Lahan Æ
Dishut Lampung Barat
Bappeda Lampung Barat, BPN Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, ICRAF. Dishut Lampung Barat tidak menyelesaikan masalah tata batas kawasan
BPN LSM (Yacili, Watala, ICRAF) hanya opportunist
Dishut Lampung Barat Petani/masyarakat melanggar tata batas
Tata Å Batas Æ Kawasan
Kecamatan dan Pekon
ICRAF BPN tidak mendukung penyelesaian tata batas
PLTA Way Besay, BPN Lampung Darat
Tata batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan menduduki tanah marga
Dishut Kabupaten
Yacili Akses hanya kepentingan Dishut Kabupaten
Status lembaga Yacili tidak jelas
Dishut Lampung Barat, Watala, ICRAF
Dishutprop, Departemen Kehutanan
Propinsi dan Pusat kurang mendukung akses bagi masyarakat.
Dishut Lampung Barat, masyarakat, Kecamatan/pekon, UPTD Bukit Rigis
Polisi/TNI
Oknum polisi/TNI melakukan illegal ligging.
DPRD Lampung Barat
Masyarakat
Masyarakat lemah persepsi tentang akses
UPTD Bukit Rigis
Dishut Lampung Barat
Oknum Dishut melakukan illegal logging
UPTD Bukit Rigis PLTA tidak membantu pembangunan ekonomi masyarakat
Masyarakat Petani Aparat kecamatan dan pekon tidak pernah memberikan bimbingan
PLTA Way Besay Å Akses Æ Kecamatan dan Pekon
Masyarakat Petani PLTA tidak perduli dengan kebutuhan air masyarakat
PLTA Way Besay
Masyarakat Petani Tidak memberikan kepastian tentang ijin HKM definitif
Dishut Lampung Barat
Masyarakat Petani Oknum polisi pungli kepada petani terutama yang ijinnya belum terbit
BPLH Lampung Barat, Kecamatan dan Pekon Dishut menyalah gunakan PAD/retribusi hasil hutan
Polisi/TNI
Dishut Lampung Barat
Sumber: Wawancara, data diolah.
•
Posisi pihak kecamatan dan pekon beregangan dengan Kantor PLTA Way Besay Lampung Barat. Pihak kecamatan/pekon menyatakan bahwa tata batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan menduduki tanah masyarakat. Kasus ini berawal ketika pembangunan PTLA Way Besay dimulai pada tahun 1994. Pada saat itu, untuk membangun infrastruktur diperlukan lahan
210
kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis seluas 50 hektar tepatnya di Pekon Sukapura. Karena tujuannya adalah untuk pembangunan infrastruktur strategis, pihak kehutanan mengijinkan pemakaian lahan tersebut dengan mekanisme “tukar pakai”. Pihak PLTA diwajibkan mencari lahan pengganti dengan luasan yang sama. Selama tenggat waktu 1994-2000, pihak PLTA berupaya memenuhi kewajiban tersebut dengan membeli lahan masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan. Pembelian, pembebasan, dan sertifikasi
lahanpun
dilakukan.
Hamparan
lahan
tersebut
letaknya
berkelompok di Dusun Bodong, Pekon Sukajaya, Kecamatan Sumberjaya. Pada akhir tahun 2000, sertifikasi selesai dilakukan dilanjutkan dengan serah terima lahan pengganti tersebut dari pihak PLTA Way Besay kepada Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Proses pembebasan lahan tersebut masih meninggalkan masalah tata batas yaitu: (1) tata batas antara lahan yang dibebaskan dengan lahan masyarakat di lapang masih tidak tuntas, bahkan masyarakat merasa tidak mendapat harga ganti rugi yang pantas (2) dengan masuknya lahan pembebasan ke dalam kawasan hutan lindung, tata batas kawasan hutan yang baru belum direkonstruksi. Akibat kedua hal tersebut, hingga saat ini banyak masyarakat yang masih mengelola bahkan mendiami lahan yang telah dibebaskan tersebut. •
Posisi pihak Kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) Lampung Barat beregangan dengan pihak LSM (Yacili, Watala, ICRAF). Pihak BPN menyatakan bahwa dalam konflik-konflik tata batas yang terjadi, LSM hanyalah lembaga-lembaga yang opportunist yaitu mencari peluang untuk kepentingan sendiri. Sebaliknya, ICRAF menyatakan justru BPN Lampung Barat adalah lembaga yang saat ini secara operasional belum mendukung penyelesaian tata batas di lapang. Polarisasi pada konflik akses pengelolaan lebih beragam dibandingkan
dengan konflik status dan tata batas (Tabel 5.4.4). Pada konflik akses terjadi keregangan hubungan terjadi pada kepentingan-kepentingan berikut: •
Keregangan hubungan terjadi antara LSM Yacili (Yayasan Cinta Alam) dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat. Pihak Yacili menyatakan bahwa hak akses masyarakat dalam mengelola kawasan hutan hanyalah untuk kepentingan dinas dalam rangka memperoleh retribusi hasil hutan semata. Sebaliknya pihak dinas menyatakan bahwa Yacili adalah LSM yang “statusnya” tidak jelas.
211
Sebagaimana LSM lainnya (Kotak 3), Yacili adalah LSM yang turut meramaikan kegiatan pendampingan masyarakat petani dalam memperoleh ijin HKm di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Gaya pendampingannya yang konfrontatif membuat lembaga tersebut kurang disukai oleh pihak lain terutama instansi pemerintah. Namun demikian, hingga kini lembaga tersebut masih aktif. Kotak 5.4 Beberapa LSM yang Melakukan Pendampingan Masyarakat Petani di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. • •
•
• • • •
FP3KLB (Forum Peduli Petani “Perambah” Kawasan Lampung Barat). Berdiri tahun 1998. Dipimpin oleh Sobran dan beralamat di Pekon Pura Jaya. Mereka memfasilitasi 4 kelompok tani untuk memperoleh ijin HKm. MPKH (Masyarakat Peduli Kawasan Hutan). Berdiri tahun 1999. Dipimpin oleh Banan, bekas Peratin Pekon Purajaya. Mereka memfasilitasi Pekon Tribudisyukur dan Simpang Sari untuk memperoleh ijin HKm. Sebanyak 8 kelompok diantaranya berasal Pekon Tribudi Sukur. Yacili (Yayasan Cinta Alam). Berdiri tahun 2000. Dipimpin oleh Rahmat. Alamat di Dusun Suka Raja Pekon Way Tenong, Kecamatan Sumberjaya. Pada tahun 2003 mendampingi masyarakat melakukan penghijauan di Hutan Kalpataru. Hutan tersebut adalah hutan rakyat yang pada tahun 1985 mendapat penghargaan Kalpataru oleh Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Hutan tersebut merupakan sumber air irigasi Pekon Way Tenong di daerah hilir. Sementara lokasi hutan berada di wilayah lain di hulu yaitu di Dusun Talang Tegajul Pekon Padang Tambak, yang setelah terjadi pemekaran menjadi Pekon Tambak Jaya. Lokasi tersebut berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis dan Taman Nasional Bukit Barisan. Pada tahun 2002 terjadi konversi hutan Kalpataru oleh masyarakat Tambak Jaya yang umumnya adalah suku Sunda dan Jawa. Peristiwa tersebut menyulut kemarahan masyarakat Pekon Way Tenong yang umumnya Suku Semendo karena hutan tersebut merupakan sumber air irigasi mereka. Hampir terjadi konflik antar etnis. Pada tahun yang sama, dilakukan mediasi oleh Yacili dan Lembaga Konservasi Abada 21 (LK21) dari Bandar Lampung. Instansi pemerintah juga turut memediasi diantaranya Bapedalda Propisi Lampung, Bupati Lampung Barat, dan Dinas Kehutanan Lampung Barat. Dharma Putra. Berdiri tahun 1998. Melakukan pendampingan di Pekon Fajar Bulan. Kegiatannya kurang terpublikasi. TUL (Tunas Utama Lampung). Mereka adalah LSM dari Bandar Lampung. Datang ke Pekon Sukapura bulan Januari 2000. Mereka mengumpulka uang dari petani untuk “menguruskan” ijin HKm. Mereka kemudian diusir oleh Kepala Pekon Sukapura. Bina Usaha Tani (BUT). Berdiri tahun 1999 di Pekon Purajaya. Mereka memasok kebutuhan pupuk dan pestisida bagi petani yang pada umumnya petani kawasan hutan. WATALA. Berdiri tahun 1978. Sebuah LSM yang cukup mapan dan beralamat di Bandar Lampung. Datang ke Sumberjaya tahun 1995 dan melakukan pendampingan terhadap masyarakat petani yang lahan pertaniannya terbenam oleh reservoir DAM PLTA Way Besay. Mereka mendampingi hingga tahun 1999 terutama pendampingan alih mata pencaharian dari pertanian lahan kering ke perikanan air tawar. Kemudian sejak bulan Juni tahun 1999 mereka aktif mefasilitasi kelompok tani untuk memperoleh ijin HKm dan turut aktif melakukan mediasi konflik di Sumberjaya.
212
•
Yang menarik adalah keregangan yang terjadi antara pihak-pihak Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat, Watala, dan ICRAF terhadap Dinas Kehutanan
Propinsi
Lampung
dan
Departemen
Kehutanan.
Mereka
menyatakan bahwa propinsi dan departemen di tingkat lapang kurang mendukung pemberian hak akses bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Hal tersebut terutama berkaitan dan pencadangan areal HKm Kabupaten Lampung Barat yang hingga kini prosesnya terkatung-katung. Ketidak tegasan kebijakan Departemen Kehutanan tentang keberlanjutan kebijakan HKm juga menjadi faktor penyulut lainnya. Sebagai contoh, alas hukum kebijakan HKm tidak ternaungi di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan sehingga terjadi status quo pelaksanaan HKm di daerah. (Sebagai catatan, saat ini sedang berlangsung revisi PP tersebut dan sudah pada bulan Agustus 2006 sudah mencapai tahap pembahasan naskah revisi ke-43). •
Keregangan lainnya terjadi antara pihak-pihak Dishut Lampung Barat, masyarakat, Kecamatan/pekon, UPTD Bukit Rigis terhadap pihak POLRI/TNI. Mereka menyatakan bahwa di hutan lindung Register 45B Bukit Rigis terjadi pembalakan liar yang dilakukan oleh oknum aparat oknum polisi/TNI. Sudah pernah dilaporkan tetapi tidak ada proses hukum yang ditegakkan.
•
Keregangan terjadi antara UPTD (Unit Pelaksana Teknid Daerah) Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis terhadap Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat. Mereka menyatakan bahwa pembalakan liar dilakukan oleh oknum polisi hutan dinas tersebut.
•
Keregangan juga terjadi antara pihak masyarakat terhadap oknum polisi/TNI yang kerapkali melakukan pungutan liar terutama kepada petani kawasan yang proses perijinannya belum selesai. Pada kasus ini nampak sekali bahwa ketika petani tidak memiliki kepastian hak akses akan menjadi objek pemerasan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
•
Pihak masyarakat petani beregangan dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat. Mereka menyatakan bahwa dinas tidak memberikan kepastian tentang ijin HKm denitif yang berlaku untuk 25 tahun. Hal tersebut menimbulkan ketidak pastian terhadap kelompok yang masa berlaku ijin sementara 5 tahunnya sudah habis.
213
Di samping para pihak yang terlibat konflik secara aktual, juga terdapat para pihak yang potensial terlibat konflik yaitu Dinas Perikanan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung Barat.
Pihak aktual seperti Dinas
Kehutanan dan PSDA Lampung Barat, BPLH (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup) Lampung Barat mentengarai bahwa tekanan penduduk terhadap kawasan sehingga menimbulkan konflik akan dapat dikurangi apabila kedua pihak potensial tersebut serius melaksanakan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani sekitar kawasan terutama melalui pemberdayaan ekonomi rumahtangga. Kasus ini memberi petunjuk lemahnya koordinasi pembangunan lintas sektoral di tataran Pemerintah Kabupaten Lampung Barat. Dalam suatu peristiwa konflik, sering didapati bahwa secara internal suatu pihak mengalami perpecahan kepentingan yang menjurus kepada konflik intern. Di dalam kasus ini perpecahan justru terjadi antara UPTD Bukit Rigis dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat yang berada dalam satu garis hirarki, yaitu UPTD Bukit Rigis mentengarai adanya oknum dinas yang melakukan pembalakkan liar. Kepentingan yang tidak monolitik di dalam suatu pihak sering menjadi faktor penghambat penanganan-penanganan konflik ketika pihak tersebut berhadapan dengan pihak luar (Isenhart dan Spangle, 2000).
5.4.3 Kebersediaan Responden dan Preferensi Bentuk Perundingan
Polarisasi hubungan dan keberpihakan dalam konflik status, tata batas, dan akses yang terjadi antar pihak tidak seharusnya menjadi ancaman bagi penyelesaian konflik. Seperti telah dianalisis sebelumnya, semua pihak yang menjadi responden penelitian ini memiliki gaya konflik yang kompromis dan kolaboratif. Hal tersebut merupakan petunjuk penting bahwa mereka memiliki keinginan untuk menyelesaikan koflik secara konstruktif. Keinginan para pihak untuk menyelesaikan konflik juga ditentukan oleh bagaimana pihak tersebut mencitrakan peran diri/lembaganya dalam proses penyelesaian tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 64,4 persen menyatakan bahwa dirinya atau lembaganya memiliki tugas pokok dan fungsi yang turut bertanggungjawab terhadap penyelesaian konflik (Tabel 5.4.5), sebesar 14,6 persen menyatakan tidak sesuai, dan sebesar 22 persen tidak menjawab. Mereka yang tidak menjawab memberi alasan bahwa (1) mereka
214
merasa kesulitan mencitrakan peran tersebut, (2) pencitraan diri/lembaga merupakan tugas dari wakil kelompok/pihak yang akan ikut dalam perundingan.
Tabel 5.4.5 Pernyataan Responden Tentang Kesesuaian Tupoksi Lembaganya Terhadap Penyelesaian Konflik Pernyataan Responden Valid
Frekuensi
Tidak sesuai dengan tupoksi
Missing
Persen
6
14,6
Sesuai dengan tupoksi
26
63,4
Total
32
78,0
Tidak menjawab
Total
9
22,0
41
100,0
Sumber: Wawancara, data dioleh dengan SPSS.
Penelusuran lebih jauh dilakukan dengan mewawancarai responden yang menyatakan tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga mereka. Temuan yang cukup mengejutkan adalah, 2 responden diantaranya yaitu (1) Kepala Bidang Reboisasi hutan dan Rehabilitasi Lahan (RRL) Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat dan (2) Kepala Biro Hukum Sekretariat Kabupaten Lampung Barat menyatakan bahwa penyelesaian konflik bukan menjadi bagian dari tugas mereka. Lebih mengenaskan lagi, dengan alasan tersebut Kepala Biro Hukum menyatakan tidak berkeinginan hadir di dalam negosiasi penyelesaian konflik yang akan diselerenggarakan melalui penelitian ini. Berbeda halnya dengan Kepala Bidang RRL, responden tersebut menyatakan kesediaannya untuk hadir. Tabel 5.4.6 menunjukkan persentase kesediaan responden untuk menghadiri perundingan.
Sebesar 68,3 persen responden menyatakan akan
hadir langsung termasuk di dalamnya adalah Ketua DPRD Kabupaten Lampung Barat
dan
sebesar
17,1
persen
akan
diwakili
oleh
anggota
lembaga/kelompoknya. Sebesar 9,8 persen menyatakan tidak akan hadir dengan alasan mereka sudah berapa kali berdialog namun tidak pernah ada penyelesaian yang dihasilkan. Terhadap sikap responden yang terakhir tersebut, perlu
dilakukan
intensifikasi
konflik
secara
persuasif
dengan
memberi
pemahaman tentang manfaat yang bisa diperoleh oleh semua pihak apabila konflik diselesaikan, serta didahului dengan rekonstruksi saling percaya bahwa semua pihak mau menyelesaikannya secara konstruktif .
215
Tabel 5.4.6 Kebersediaan Responden Untuk Hadir dalam Perundingan Pernyataan kesediaan hadir dalam perundingan Valid
Tidak bersedia Bersedia hadir langsung Bersedia hadir diwakili Total
Missing
Tidak menjawab
Total
Frekuensi
Persen
4
9,8
28
68,3
7
17,1
39
95,1
2
4,9
41
100,0
Berdasarkan hasil analisis gaya konflik dan kebersediaan responden untuk berunding, selanjutnya melalui wawancara dilakukan analisis kualitatif preferensi responden tentang bentuk perundingan yang diinginkan. Seperti telah diuraikan pada Bab 2, beberapa bentuk perundingan yang sering dipergunakan dalam penyelesaian konflik yaitu negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi, dan proses hukum (ligitasi). Pada analisis preferensi ini, 1 bentuk lainnya yaitu konsiliasi ditambahkan ke dalam pilihan, sehingga total menjadi 6 pilihan (Kotak 4). Sebelum memilih preferensinya, responden diberi kesempatan untuk memahami definisi bentuk-bentuk tersebut. Kotak 5.5 Preferensi Bentuk Perundingan Yang Mencerminkan Oleh Pernyataan Responden
(1) Saya merasa sulit untuk memulai KOMUNIKASI karena masing-masing pihak sulit untuk
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
saling bertemu untuk mengetahui perbedaan yang terjadi. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu menjembatani komunikasi agar penyelesaian perbedaan bisa dimulai. (KONSILIASI). Saya merasa sulit untuk melakukan pertemuan dengan pihak lain untuk menyampaikan perbedaan yang saya miliki. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu memfasilitasi PERTEMUAN termasuk menyusun agenda waktu dan tempat, bentuk pertemuan, peran masing-masing pihak, dan mempersiapkan agar jika mungkin pertemuan tersebut bisa menghasilkan kesepakatan. (FASILITASI) Saya menginginkan masing-masing pihak secara sukarela untuk bertatap muka langsung untuk sama-sama mengidentifikasi perbedaan, saling memahami perbedaan kepentingan dan kebutuhan, mencoba untuk menemukan berbagai pilihan penyelesaian konflik, dan saling menawarkan syarat, kondisi, dan manfaat dari setiap kesepakatan yang ingin dicapai. (NEGOSIASI). Saya merasa sudah tidak bisa lagi bertemu dengan pihak lain karena perbedaan kepentingan yang terjadi sudah terlalu parah. Saya memerlukan pihak yang netral yang bisa memediasi tapi tidak mencampuri proses pengambilan keputusan. (MEDIASI) Saya ingin perbedaan ini diselesaikan secara hukum tapi dilakukan diluar proses peradilan umum. Saya membutuhkan seorang ahli hukum (Arbiter) yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri tapi harus bisa diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya melalui arbitrase. (ARBITRASE). Saya amat meyakini kebenaran kepentingan saya, dan saya melihat tidak ada jalan lain bahwa perbedaan dengan pihak lain harus diselesaikan melalui jalur Peradilan Umum. Saya memerlukan pengacara dan saksi ahli yang bisa mendukung dan memperjuangkan kepentingan saya.(LIGITASI).
Sumber: Moore (1996); Kriesberg (1998); Isenhart dan Spangle (2000); dan Margono (2000).
216
Berdasarkan
hasil
wawancara,
preferensi
para
pihak
untuk
menyelesaikan konflik yang paling tinggi adalah dengan cara bernegosiasi yaitu sebesar 58,5 persen untuk konflik status lahan, 46,3 persen untuk konflik tata batas, dan 56,1 persen untuk konflik hak akses (Tabel 5.4.7). Sedangkan cara fasilitasi adalah merupakan preferensi yang kedua yaitu konflik status lahan sebesar 26,8 persen, konflik tata batas sebesar 22 persen, dan konflik hak akses sebesar 29,3 persen.
Tabel 5.4.7 Preferensi Responden Terhadap bentuk Perundingan Preferensi bentuk bentuk perundingan yang diinginkan responden Konflik status lahan Valid Konsiliasi
Frekuensi
Persen 2
4,9
Fasilitasi
11
26,8
Negosiasi
24
58,5
Mediasi
3
7,3
Arbitrase
1
2,4
41
100,0
Total Konflik tata batas Valid Konsiliasi
8
19,5
Fasilitasi
9
22,0
Negosiasi
19
46,3
Mediasi
3
7,3
Arbitrase
2
4,9
41
100,0
Total Konflik hak akses Valid Konsiliasi
3
7,3
Fasilitasi
12
29,3
Negosiasi
23
56,1
Mediasi Total
3
7,3
41
100,0
Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS.
Dalam persentase yang relatif kecil, ada preferensi responden yang memilih penyelesaian konflik status lahan dan konflik tata batas diselesaikan melalui arbitrase, yaitu masing-masing sebesar 2,4 persen dan 4,9 persen. Hal tersebut menjadi petunjuk bahwa ada sebagian kecil responden yang menginginkan konflik status lahan dan tata batas diselesaikan secara hukum tapi dilakukan di luar proses peradilan umum dengan cara menggunakan jasa seorang ahli hukum (arbiter) yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri serta diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya melalui arbitrase.
217
Responden yang menginginkan arbitrase adalah masyarakat petani dan LSM. Alasan mereka yaitu selama ini sudah sering dilakukan upaya penyelesaian konflik status dan tata batas melalui perundingan ataupun berupa dialog, namun tidak ada keputusan yang berkekuatan mengikat semua pihak agar hasil kesepakatan dialog dilaksanakan. Oleh karenanya arbitrase menjadi pilihan sehingga semua pihak terikat oleh keputusan tersebut, namun keterikatannya tidak diperoleh melalui peradilan formal. Hal yang terakhir tersebut dapat dibuktikan bahwa berdasarkan hasil wawancara tak satupun responden yang memiliki preferensi terhadap bentuk ligitasi dalam menyelesaikan konflik status, tata batas, dan hak akses di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Pada dasarnya sebagian besar responden baik secara individual maupun antar kelembagaan pernah menyatakan perbedaan kepentingannya kepada pihak lawan berkonflik dalam rangka menyelesaikan konflik status, tata batas, dan hak akses . Pada masing-masing konflik, responden mendapat tanggapan yang berbeda-beda yaitu (Tabel 5.4.8): (1) Pada konflik status lahan dan tata batas, jumlah responden terbanyak adalah mereka yang pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan (Skor=4). Masing-masing yaitu sebesar 46,3 persen pada konflik status lahan dan sebesar 41,5 persen pada konflik tata batas. Bahkan jumlah responden yang menyatakan bahwa perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian secara nyata serta para pihak yang berbeda kepentingan tidak berinisiatif untuk berunding (Skor=1), menempati posisi kedua yaitu sebesar 26,8 persen pada konflik status lahan dan sebesar 34,1 persen pada konflik tata batas. (2) Pada konflik hak akses, tanggapan terhadap perbedaan kepentingan justru relatif lebih baik dibandingkan dengan konflik status lahan dan tata batas. Jumlah responden terbanyak adalah mereka yang pernah menyatakan perbedaan kepentingan dan mendapat tanggapan penyelesaian yang memuaskan dari pihak lain (Skor=5), yaitu sebesar 46,3 persen. Lalu jumlah responden yang mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan (Skor=4) sebesar 39 persen. Berdasarkan analisis kualitatif tersebut dapat dinyatakan bahwa para pihak dalam menyelesaikan konflik hak akses hasilnya relatif lebih memuaskan dibandingkan penyelesaian-penyelesaian yang dilakukan pada konflik status lahan dan tata batas kawasan hutan.
218
Tabel 5.4.8 Upaya Responden Dalam Menyatakan Perbedaan Kepentingan dalam konflik Status Lahan, Tata Batas, dan Hak Akses. Upaya yang pernah dilakukan responden dalam menyatakan perbedaan kepentingan Konflik Status Lahan Valid
Missing
11
2,00
4
9,8
4,00
19
46,3
5,00
6
14,6
Total
40
97,6
1
2,4
41
100,0
14
34,1
Total
Missing
1,00
3
7,3
4,00
17
41,5
5,00
4
9,8
Total
38
92,7
3
7,3
41
100,0
1,00
2
4,9
2,00
3
7,3
4,00
16
39,0
5,00
19
46,3
Total
40
97,6
1
2,4
Total
Missing
26,8
2,00
Tidak menjawab
Konflik Hak Akses Valid
Persen
1,00
Tidak menjawab
Konflik Tata Batas Valid
Frekuensi
Tidak menjawab
Total
41 100,0 Keterangan: (1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatif untuk berunding. (2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. (3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis. (4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan. (5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS
Tingginya preferensi para pihak untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan fasilitasi (Tabel 5.4.7), cukup untuk dijadikan landasan yang kuat dalam pengambilan keputusan untuk memenuhi tujuan keempat penelitian ini yaitu mengembangkan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif berdasarkan pada pengalaman yang diperoleh para pihak yang berkonflik dan akan dilakukan melalui Semiloka Pengembangan Model Konflik Lingkungan
219
Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Untuk tujuan tersebut, responden kembali diwawancara tentang komitmennya untuk tetap hadir selama semiloka. Hasilnya menunjukkan bahwa sebesar 75,6 persen responden menyatakan bersedia (“ya”), dan sebesar 14,6 persen menyatakan ragu-ragu (Tabel 5.4.9). Keragu-raguan dalam menjawab karena kehadirannya mungkin akan diwakilkan, atau akan hadir pada hari pertama dan hari berikutnya diteruskan oleh wakilnya. Selain itu tidak semua responden secara psikologis siap memasuki perundingan terbuka. Kondisi tersebut adalah konsekuensi yang harus diterima oleh sebuah penelitian partisipatif. Responden adalah subjek penelitian dan bukanlah semata-mata objek penelitian. Mereka berperan serta secara sukarela dan melakukannya berdasarkan manfaat yang bisa mereka peroleh. Tabel 5.4.9 Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan Valid
Missing
Ragu-ragu
Frekuensi
Persen 6
14,6
Ya
31
75,6
Total
37
90,2
Tidak menjawab
Total
4
9,8
41
100,0
Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS.
5.5. Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik Berdasarkan analisis gaya mengelola konflik, diperoleh kepastian bahwa keempat kelompok pihak (kabupaten, LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang, masyarakat, kecamatan-pekon) bersikap kolaboratif dan kompromis dalam menghadapi perbedaan kepentingan atas hak akses ke dalam kawasan, status lahan, dan tata batas. Kedua sikap tersebut merupakan landasan yang cukup untuk melakukan pengembangan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif didasarkan kepada pengalaman yang diperoleh para pihak yang bersengketa; dengan cara mempertemukan keempat pihak kedalam suatu dialog penyelesaian konflik. Menurut Wilson dan Morren (1990), kognisi adalah wujud aksi dari pengetahuan (the action of knowing) seseorang atau suatu proses manusia mengkonversi persepsinya tentang dunia dan kehidupannya ke dalam suatu ilmu pengetahuan. Kognisi adalah bagian/elemen dari jiwa manusia yang mengolah
220
informasi, pengetahuan, pengalaman, dorongan, perasaan, dan sebagainya, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri sendiri sehingga terjadi simpulansimpulan yang selanjutnya menghasilkan prilaku (Sarwono, 1999). Di dalam kognisi sosial, elemen-lemen tersebut saling berhubungan antar-individu dan/atau antara individu dengan kelompok1/. Pengembangan model penanganan konflik secara kognitif dimaksudkan sebagai sebuah pendekatan membangkitkan elemen-elemen tersebut secara langsung terutama berdasarkan kognisi konsonansi para pihak agar diperoleh hasil yang konstruktif. Seperti
diuraikan
pada
Bab-3
Metodologi
pengembangan
model
penanganan konflik lingkungan secara kognitif dilakukan dengan pendekatan analisa sistem lunak (soft system analysis) secara partisipatoris. Penggunaan analisis sistem tersebut merupakan jawaban atas kelemahan analisis sistem keras (hard system analysis) yang cenderung reduksionis (Checkland dan Scholes, 1990). Metode Sistem Analisis Sosial (Social Analysis System = SAS) yang dikembangkan oleh Chevalier (2003) yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan analisis sistem lunak.
Dalam penelitian ini, penggunaan SAS
tersebut didukung oleh: 1) Teknik
CAPS
(Collaborative
Analytical,
Problem-solving
Process
or
Approach) yaitu teknik berintervensi dalam situasi konflik melalui fasilitasi dialog, konsultasi pihak ketiga yang independen, penanganan konflik interaktif, dan proses diskusi berupa lokakarya (workshop). Dalam penelitian ini, dialog tersebut dikemas berupa Semiloka Penanganan Model Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang diselenggarakan selama 4 hari (pada tanggal 24 – 27 Mei 2005) di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. 2) Dialog
intensif
selama
semiloka
berlangsung
dilakukan
dengan
menggunakan Metode Delphi. Salah satu kelemahan metode ini adalah para
1
Di dalam Teori Disonansi Kognitif (The Theory of Cognitive Dissonance) yang dikembangkan oleh Festinger pada tahun 1957, bentuk hubungan antar elemen ada 3 macam yaitu: (1) hubungan yang tidak relevan karena antar elemen tidak saling mempengaruhi, (2) hubungan disonansi yaitu hubungan menjadi tidak relevan karena antar elemen saling bertentangan dan menimbulkan konflik, dan (3) hubungan konsonansi yaitu hubungan antar elemen relevan dan tidak saling bertentangan sehingga mendorong deskalasi konflik (Sarwono, 1999). Teori Disonansi Kognitif adalah salah satu teori yang sering dipergunakan dalam analisis psikologis sosial terutama mengapa konflik menjadi eskalasi atau deskalasi. Disonansi kognitif merupakan salah satu penghalang psikologis yang membuat konflik tidak bisa diselesaikan (Arrow et al, 1995). Perbedaan kepentingan (divergence interests) yang destruktif merupakan output dari sebuah spiral konflik yang terjadi karena disonansi kognitif (Rubin et al, 1994). Dalam bentuk yang berlawanan, konsonansi kognitif merupakan fator psikologi sosial yang berkontribusi kepada proses pergerakan deskalasi konflik (Kriesberg, 1998).
221
peserta yang terlibat dalam mengartikulasikan pendapatnya kemungkinan berlebihan sehingga berpotensi kehilangan argumentasi ilmiah karena keinginannya
kuat
untuk
memperjuangkan
kepentingannya.
Untuk
mengeliminasi potensi tersebut, dalam melaksanakan metode ini juga dihadirkan beberapa pakar yang dianggap relevan yaitu: •
A. Kusworo, PhD. (Spesialis Antropologi, WWF Lampung)
•
Armen Yaser, SH, MH (Ahli Hukum Tata Negara, Universitas Lampung)
•
Ir. Martua Sirait, MS (Ahli Kebijakan Publik, Sumberdaya Alam dan Agraria, ICRAF Asia Tenggara - Bogor)
•
Ir. Ubaidillah, MS (Ahli Tata Guna Hutan, Badan Planologi Departemen Kehutanan)
•
Ir.
Asripin,
MS
(Ahli
Kebijakan
Pembangunan
Regional,
Pusat
Pengendalian Hutan (Pusdalhut) Regional I - Departemen Kehutanan) •
Ir. Mujiono (Ahli Perpetaan dan Sertifikasi Tanah - BPN Kabupaten Lampung Barat), dan
•
Ir. Warsito (Ahli Kehutanan, Kepala Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat).
Gambar 5.20. Semiloka Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang diselenggarakan selama 4 hari (pada tanggal 24 – 27 Mei 2005) di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat (Sumber photo: Rozi, asisten peneliti).
222
3) Sebelum semiloka diselenggarakan, pelatihan mini (mini training) Sistem Analisis Sosial dilakukan bagi calon fasilitator semiloka. Selain peneliti, mereka adalah: •
Ir. Agus Mulyana, MS (Ahli Antropologi dan Metode Resolusi Konflik, CIFOR – Bogor)
•
Ir. Suwito (Ahli pemberdayaan masyarakat, Working Group Tenure)
•
Ir. Nurka C. Ningsih (Ahli pemberdayaan masyarakat, asisten peneliti, ICRAF Asia Tenggara – Bogor)
Selain pelatihan SAS, terhadap fasilitator juga dilakukan pengenalan situasi konflik yang terjadi. Kegiatan ini diselenggarakan selama 2 hari sebelum semiloka. Sebagaimana peruntukkannya bahwa Metode SAS dirancang untuk dapat dipergunakan dalam situasi heterogenitas budaya, bahasa, dan disparitas pengetahuan responden pemakainya (Chevalier, 2001), maka notasi ukuran kualitatif/kuantitatif
yang
dipergunakan
antar-kelompok
diskusi
Delphi
berkemungkinan berbeda, misalnya sekala sekor. Dalam kondisi tersebut yang terpenting adalah adanya kesepakatan para peserta untuk memaknai setiap sekor atau notasi kualitatif yang dipergunakan selama semiloka. Sesuai dengan pemilahan pokok konflik yang dilakukan pada analisis gaya konflik, selama semiloka para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok dialog yaitu, (1) dialog konflik status lahan, kasus Desa Sukapura, (2) dialog konflik tata batas, dan (3) dialog konflik akses. Namun pada penelitian ini, hanya pembahasan hanya disajikan hanya mengenai konflik status lahan kasus Pekon (Desa) Sukapura. 5.5.1 Tahapan Sistem Analisis Sosial Selama 3,5 hari efektif dan bahkan dilanjutkan dengan malam hari, Sistem Analisis Sosial (SAS) dipergunakan langsung oleh para pihak dan pelaksanaannya dibagi ke dalam 3 tahap secara berangkai2/. Pada masingmasing tahap dipergunakan beberapa alat analisis yaitu sebagai berikut (Gambar 5.21): 2
(1) Sebelum ketiga tahap SAS dimulai, terdapat tahap pendahuluan yang menggunakan beberapa alat analisis untuk mengukur harapan, persamaan/perbedaan pengertian tentang konflik, dan simulasi (game) kompetisi sumberdaya alam. Tahap pendahuluan tersebut ditujukan untuk mengurangi ketegangan psikologis antar-pihak agar diskusi (FGD) selama Semiloka bisa berlangsung secara kondusif dan konstruktif. (2) Selain itu, atas persetujuan para pihak, Tahap Analisis Posisi Para Pihak (dengan Teknik Analisis Posisi, Kepentingan, dan Kebutuhan) tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan waktu. Pembatalan ini diasumsikan tidak mengurangai kualitas Metode SAS yang dipergunakan.
223
Tahap 1: Analisis Dasar Masalah •
Analisis Pohon Masalah
•
Analisis Faktor Pemacu
•
Analisis Rentang Waktu
Tahap 2: Analisis Profil Para Pihak •
Analisi Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimiasi.
•
Analisis Pihak Kuat-Lemah
Tahap 3: Analisis Upaya Penanganan Konflik •
Analisis Skenario Ideal Diurai
•
Analisis Sekario Pilihan
•
Analisis Mengukur Dukungan
Setiap analisis terdiri dari seperangkat langkah-langkah penggunaan seperti tercantum dalam Lampiran 13. Beberapa deskripsi operasional penting yang dipergunakan di dalam analisis tersebut perlu diurai terlebih dahulu untuk mempermudah memahami hasil analisis.
Tahap 1: Analisis Dasar masalah • Rekonstruksi Pohon Masalah • Faktor Pemacu • Rentang Waktu
Tahap 2: Analisis Profil Para Pihak • Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimiasi. • Analisis Pihak KuatLemah
Tahap 3: Analisis Upaya Penanganan Konflik • Skenario Ideal Diurai • Sekario Pilihan • Mengukur Dukungan
Gambar 5.21 Tahap-tahap Sistim Analisis Sosial Dalam Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik Lingkungan (Chevalier, 2003).
Beberapa deskripsi operasioanl SAS yang dipergunakan yaitu sebagai berikut (Chevalier, 2003): •
Pemangku Kepentingan (stakeholder): adalah mereka/pihak yang sangat berpengaruh atau dipengaruhi oleh persoalannya.
•
Kekuatan (Power): kemampuan untuk memenangkan kepentingannya dengan menggunakan kekuatan ekonomi dan keuangan, politik, fisik dan
224
daya paksa, informasi dan komunikasi yang dimiliki.
Disarankan untuk
melihat kekuatan dalam konteks potensi spesifik yang bersangkutan. Misalnya NGO biasanya mempunyai kekuatan di bidang komunikasi dan informasi.
Jika
kemampuan
komunikasi
dan
informasi
itu
sangat
mempengaruhi situasi, baru bisa dikatakan sebagai kekuatan. •
Kepentingan (Interest): mengindikasikan tinggi rendahnya dampak yang mungkin timbul dari situasi atau kegiatan terhadap kepentingan para pemangku
kepentingan.
Tambahkan
tanda
(+)
atau
(-)
untuk
mengindikasikan apakah dampak keseluruhan dapat digolongkan positif (menguntungkan) atau negatif (merugikan). Jika kepentingannya rendah (I=Low), maka tidak usah diberi (+) atau (-). •
Legitimasi/keabsahan: adalah pengakuan dari pihak lain atas status, respect/penghargaan, dan klaim (yang bisa diaplikasikan pada situasi tertentu) yang ada pada suatu pemangku kepentingan.
•
Pada masing-masing kekhasan (P, I, dan L) terdapat beberapa indikator yang melekat seperti terdapat dalam Gambar 5.2.2.
KEKHASAN (SALIENCY)
INDIKATOR POWER (P) Mencakup kepemilikan seperangkat sumberdaya yang dapat dipergunakan suatu pemangku untuk melawan pemangku lain dalam rangka mewujudkan kepentingannya.
• •
• •
INTEREST (I) Merupakan peluang keuntungan/kerugian yang diterima pemangku apabila dia mempertahankan kepentingannya; diukur dari selisih kualitatif antara manfaat – biaya selama mempertahankan kepentingannya. LEGITIMACY (L)
•
•
• • • •
Kekuatan finansial dan ekonomi Kewenangan politis (kantor, peran dan organisasinya diakui secara kelembagaan dan perundangan yang berlaku) Kemampuan untuk menggunakan kekuatan dan tekanan kepada pihak lain yang menjadi korban Penguasaan informasi dan komunikasi Beri indikator kualitatif “I-“ apabila biaya sosial mempertahankan kepentingan tinggi, sementara manfaat sosial rendah. Beri indikator kualitatif “I+“ apabila manfaat sosial mempertahankan kepentingan tinggi, sementara biaya sosial rendah. Status diakui Respektasi diperolah dari pihak lain Memiliki prestise. Hak dan tanggungjawabnya diakui.
Gambar 5.22. Indikator Kekhasan Power, Interest, dan Legitimacy (Chevalier, 2003).
•
Para pemangku kepentingan memiliki kombinasi kekhasan seperti terdapat pada Tabel 5.5.1 berikut.
225
Tabel 5.5.1. Indeks Kekhasan (saliency) Pemangku Kepentingan. Tingkat
Kombinasi PIL
Mempunyai Power yang sangat kuat, Interest terpengaruh, dan Legitimasi tinggi. Mempunyai Power yang sangat kuat, Interest terpengaruh, tetapi Legitimasi/klaim lemah atau tidak diakui. Tingkat 2 Mempunyai Power yang sangat kuat, Legitimasi tinggi, namun Interest tidak terpengaruh. Tidak mempunyai Power atau sangat lemah, Interest terpengaruh, dan Legitimasi/klaim tinggi atau diakui. Tingkat 3 Mempunyai Power yang sangat kuat, tapi Interest tidak terpengaruh, dan Legitimasi rendah atau tidak diakui. Power sangat lemah, Interest terpengaruh, namun Legitimasi/klaim tidak diakui. Tingkat 4 Tidak mempunyai Power atau sangat lemah, Interest terpengaruh, dan Legitimasi/klaim tidak diakui pemangku kepentingan yang tidak Tingkat 5 mempunyai ketiganya (Power, Interest, dan Legitimasi). Sumber: Chevalier, 2003. Tingkat I
•
Posisi
Tipologi Kekhasan
Klasifikasi
PIL
Dominan
PI
Bertenaga
PL
Berpengaruh
IL
Rentan
P
Dorman/ Tidur
L
Berperhatian
I
Marginal Lain-lain
didefinisikan sebagai upaya memperjuangkan hasil atau rencana
tertentu untuk memenuhi tuntutan/kebutuhan seketika.
Posisi cenderung
lebih konkrit, jelas, dan kurang fleksibel. •
Aliansi didefinisikan sebagai hubungan persatuan antara individu, kelompok, atau entitas lainnya yang biasanya ditujukan untuk berkorporasi karena memiliki kepentingan bersama (common interests). Aliansi berkonotasi formal dibandingkan dengan koalisi walaupun kedua istilah tersebut memiliki arti serupa (Yarn, 1999).
5.5.2
Model Pengelolaan Konflik Status Lahan; Kasus Status Wilayah Pekon (Desa) Sukapura Yang Berada di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Pengembangan model kognitif pengelolaan konflik status lahan di dalam
kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis dilaksanakan secara FGD (focussed group discussion). Diskusi kelompok ini didampingi oleh: •
Ahli Antropologi dari WWF Lampung
•
Ahli hukum tata tegara dari Fakultas Sosial Politk Universitas Lampung, dan
•
Ahli tata guna hutan dari Badan Planologi Departemen Kehutanan.
226
Secara keterwakilan, pihak-pihak yang berperan serta dalam kelompok ini adalah: 1) Bappeda Kabupaten Lampung Barat. 2)
Dinas Kehutanan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat.
3)
Peratin (Kepala) Pekon Sukapura.
4)
Tokoh Masyarakat Pekon Sukapura
5)
LSM Watala
6)
Badan Planologi Departmen Kehutanan
7)
Fakultas Sosial Politik – Universitas Lampung
8)
Kantor BPN Kabupaten Lampung Barat
9)
Kecamatan Sumberjaya
10)
DPRD Kabupaten Lampung Barat
11)
BPLH Kabupaten Lampung Barat
5.5.2.1 Analisis Dasar Masalah Konflik Status Lahan Pada tahap ini, dengan menggunakan tehnik analisis pohon masalah para pihak melakukan rekonstruksi akar masalah yang menyebabkan terjadinya konflik status lahan yang hasilnya seperti ditayangkan pada Gambar 5.24. Dalam menulis akar masalah, adalah akar yang hingga saat ini belum ditangani atau sedang tapi sulit ditangani. Berdasarkan hasil diskusi, para pihak sepakat untuk membahas konflik status lahan di Pekon Sukapura sebagai subjek yang akan dicarikan pemecahannnya. Dari sekian akar masalah, beberapa diantaranya merupakan akar yang relevan dengan kasus bahasan yaitu: •
Lahan Pekon Sukapura dibuka oleh masyarakat sudah dengan ijin pada saat Transmigrasi BRM 1951-1952.
•
Penetapan kawasan hutan (TGHK) tahun 1991 tidak atas dasar kesepakatan dengan masyarakat setempat, dan
•
Terjadi pengambilalihan lahan oleh pemerintah dan juga oleh masyarakat dengan landasan yang berbeda yaitu fungsi lindung versus pendapatan.
Dampak dari akar masalah tersebut adalah: •
Ketidak jelasan penangaan konflik status lahan dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab untuk terus membuka dan/atau
227
menduduki lahan. Misalnya kasus pembukaan Hutan Pinus, kasus pendirian menara telpon seluler, dan sebagainya. •
Tidak adanya jaminan pengelolaan lahan bagi masyarakat dan tidak adanya kepastian hukum atas status lahan yang mereka tempati. Apabila bagan rekonstruksi pohon masalah Gambar 5.24 disandingkan
dengan alur model faktor-faktor yang menyebabkan konflik lingkungan seperti telah diuraikan dalam sub-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesamaan faktor penyebab diantaranya, kelangkaan lahan, status lahan, dan pendapatan rumah tangga. Hal tersebut merupakan petunjuk adanya keserupaan sistem berpikir yang dikembangkan antara model yang dibangun secara hard system analysis dengan model pohon masalah yang dibangun secara soft system analysis.
5.5.2.2. Faktor Pemacu dan Peredam Konflik
Analisis ini dipergunakan untuk memahami pandangan para pihak tentang faktor pemacu yang memperkeruh status
masalah/konflik
lahan.
Selain
itu,
juga
bertujuan mengurai hal-hal yang dapat meredam konflik sehingga tidak berkembang semakin buruk. Faktor
pemacu
menimbulkan
yang
dapat
dampak
negatif
dapat
dibatasi
kadang-kadang
Gambar 5.23. FGD Kelompok Status Lahan tentang Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih)
oleh faktor peredam yang mampu memberikan berlawanan,
dampak misalnya
yang dampak
positif
yang
bisa
menghetikan
masalah
berkembang menjadi semakin buruk. Para pihak bisa memiliki pandangan yang berbeda
tentang
faktor
pemacu
dan
faktor
peredam
terjadinya
suatu
masalah/konflik, dalam kondisi demikian apabila perbedaan tersebut tidak dapat disepakati maka fakor-faktor tersebut cukup dikumpulkan.
228
Tidak adanya kemantapan kawasan Hutan Lindung
Dimanfaatkan pihak ketiga
Tidak ada jaminan pengelolaan bagi masyarkat
Fungsi Lindung kawasan hutan menurun
Tidak ada kepastian hukum
Rusaknya SD Air dan ekologi
Lingkungan terancam rakyat tidak aman (rawan bencana)
Kawasan/hutan semakin rusak
Konflik Status Lahan
Pengambilalihan lahan
Masyarakat perlu lahan untuk pendapatan
Lahan sudah dibuka penduduk dengan ijin Pemda ingin fungsi lindung
Penetapan kawasan hutan tidak atas dasar kesepakatan berbagai pihak
Tidak lengkap administrasi desa
Kurangnya ketaatan terhadap hukum
Tidak memiliki alasan hak
Kurangnya penegakan hukum
Terbatasnya Tidak lengkap data & informasi wilayah Kurang sosialissi
Penduduk bertambah, lahan makin langka
Gambar 5.24. Bagan Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat.
229
Berdasarkan analisis faktor pemacu dan peredam, diperoleh beberapa faktor yang memacu terjadinya konflik status lahan di Pekon Sukapura yaitu: •
Faktor-faktor yang amat kuat (skor=5) memacu konflik adalah adanya reformasi, biaya hidup semakin tinggi, keinginan masyarakat untuk meningkatkan status lahan, dan pertambahan jumlah penduduk.
•
Faktor-faktor yang kuat (skor=4) memacu konflik adalah alternatif mata pencaharian sangat terbatas, nilai ekonomi lahan tinggi, dan adanya advokasi/pendampingan masyarakat.
•
Faktor-faktor yang berkekuatan sedang (skor=3) memacu konflik adalah terjadinya rawan bencana alam akibat kerusakan hutan dan adanya upaya penertiban oleh pemerintah secara represif. Faktor pemacu yang lemah (skor=2) adalah adanya tanaman tumpangsari di dalam kawasan hutan. 5
5
5
5
5
Reformasi
Aji mumpung (Status Quo)
4
Pertambahan jumlah penduduk
4
Alternatif mata pencaharian sangat terbatas
Biaya hidup semakin tinggi
Adanya advokasi, pendampingan Kondisi masyarakat yang relatif terdidik
2 Adanya tanaman tumpangsari di wilayah hutan
Adanya keinginan masyarakat untuk meningkatkan status lahan Penyuluhan Lingkungan
1
3
Upaya penertiban oleh pemerintah
2
3 Terjadinya rawan bencana alam akibat kerusakan hutan
FAKTOF PEMACU
3
4
Nilai ekonomi lahan tinggi
4 4
5
4
3
4
5
Keterangan: Sekor 1 = Amat lemah, 2 =: Lemah, 3 = Sedang, 4 = Kuat, dan 5 = Amat kuat
Gambar 5.25. Faktor Pemacu dan Peredam Konflik Status Lahan
Dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat (SK Tim)
4
3
Keinginan untuk bermusyawarah
3
2
Menjaga Hutan secara ketat
2
Komoditas yang diinginkan petani
1
Adanya Pertanian Konservatif (Intensifikasi, Diversifikasi usaha tani berwawasan konservasi)
0
FAKTOR PEREDAM
•
5
230
Dengan analisis yang sama, para pihak juga menyepakati beberapa faktor yang dapat meredam laju konflik status lahan di Pekon Sukapura, yaitu: •
Faktor yang amat kuat dapat meredam konflik status adalah (1) Dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat yang telah mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung Barat No.B/231/Kpts/01/2003 tentang Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah Di Hutan Lindung (Reg 45B) Sekitar Pekon Sukapura, dan (2) adanya praktik pertanian berwawasan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat yang bertani di dalam kawasan.
•
Keinginan para pihak untuk bermusyawarah dan adanya penyuluhan lingkungan disepakati para pihak sebagai faktor-faktor yang secara kuat meredam konflik.
•
Kondisi masyarakat yang relatif terdidik dan niat baik untuk menjaga kawasan disepakati sebagai faktor-faktor yang berpengaruh sedang dalam meredam konlfik.
5.5.2.3 Sejarah Konflik Status Lahan Pekon Sukapura (Analisis Rentang Waktu) Pekon Sukapura berada di pinggir jalan raya antara kota Bandar Lampung dengan kota Liwa ibu kota Kabupaten Lampung Barat, tepatnya dari titik kilometer 175 sampai dengan kilometer 180; sepanjang 5 km. Wilayah Pekon Sukapura, seluruhnya seluas 1.350 ha dengan batas-batas sebagai berikut. •
Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Dwikora Kabupaten Lampung Utara
•
Di sebelah selatan berbatasan dengan Pekon Simpang Sari dan Pekon Way Petai
•
Di sebelah timur berbatasan dengan kawasan hutan lindung Bukit Rigis Register 44B.
•
Di sebelah barat berbatasan dengan bukit Benatan/ gunung Benatan (Gunung Remas) Semula merupakan lokasi pemukiman baru bagi penduduk yang berasal
dari Kabupaten Dati II Tasik Malaya, Propinsi Jawa Barat, melalui transmigrasi Biro Rekonstruksi Nasional (BRN). Para transmigran datang ke daerah pemukiman baru tersebut terdiri atas 2 rombongan yang diberangkatkan dari Jawa Barat pada tahun 1951 dan 1952, dengan jumlah keseluruhan sebanyak
231
250 kepala keluarga (KK) dand anggota keluarga sebanyak 680 jiwa. Jadi jumlah keseluruhan adalah 930 jiwa. Kedua rombongan tersebut dipimpin oleh bapak R.E. Sukrawinata, Bapak Tanu Wijaya, dan bapak E. Kanta Atmaja, sebagai ketua umum adalah bapak Ahmad Bandaniji Suja’i dan ibu Hj.Siti Mulyati, pada saat ini kelima pimpinan tersebut sudah meninggal dunia (Rusyandi dan Endang, 2000). Sejak pendaftaran, persiapan, pemberangkatan, penempatan, dan semua pengaturan-pengaturanya, para anggota transmigrasi dipimpin/diselenggarakan oleh sebuah organisasi LOBA Pembangun 3/. Organisasi ini bergerak di bidang pertanian, perikanan, koperasi, dan bidang-bidang lainnya. Berdasarkan hasil penelusuran di lapang, saat penelitian berlangsung masih terdapat beberapa saksi hidup yang mengetahui sejarah mobilisasi transmigran BRN ke Pekon Sukapura (Tabel 5.5.2). Pekon Sukapura resmi sebagai sebagai desa administratif pada tanggal 20 Januari 1954, sejak tanggal itu pula ia resmi menjadi desa definitif yang mempunyai pemerintahan sendiri dan dipimpin oleh seorang tokoh LOBA Pembangunan yaitu A. Bandaiji Suja’i. Diberi nama Sukapura diambil dari nama desa asal pemimpin LOBA tersebut yaitu desa Sukapura Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasik Malaya jawa Barat. Setelah menjadi desa definitif sepenuhnya, maka untuk lancarnya roda pemerintahan didesa, ditentukan wilayah kerja yaitu pembagian kedusunan yang pada awalnya terdiri atas 2 dusun yaitu Dusun Rasamaya
dan
Dusun
Tirtadaya.
Sehubungan
dengan
perkembangan
pembangunan pemukiman dan selalu bertambahnya jumlah penduduk, saat ini mekar menjadi 3 dusun. Dusun terakhir (ke-3) diberi nama Dusun Galunggung. Pada awal pendudukan dan pendirian Pekon Sukapura sejak tahun 19511952, tanah pekarangan telah diatur/diukur dan setiap KK diberi satu kapling tanah berukuran 20x20m2. Tetapi sejak penataan batas kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis yang dialksanakan pada tahun 1994, Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung menyatakan bahwa dari luas keseluruhan pekon yaitu 1.350 ha, yang masuk kawasan hutan negara seluas ± 500 ha. Adanya ketentuan batas kawasan tersebut menimbulkan keresahan warga pekon. Bentuk dan
3
LOBA adalah akronim dari Loe Orang Bangsa Apa. Berdasarkan wawancara dengan saksi hidup sejarahnya, LOBA dahulunya adalah unit-unit tentara rakyat yang bergrilya di daerah Tasik Malaya hingga wilayah pantai selatan Ciamis Propinsi Jawa Barat sebelum tahun 1952. Unit-unit tersebut kemudian direkrut oleh TNI ke dalam Badan Rekonstruksi Nasional (BRN). Menurut sejarahnya, entitas LOBA tidak berbeda dengan Tentara Pelajar (TP) hanya yang terakhir ini berasal dari kalangan pemuda dan pelajar.
232
komposisi penggunaan lahan Pekon Sukapura pada tahun 2004 seperti terdapat dalam Tabel 5.5.3. Tabel. 5.5.2. Daftar Nama Transmigran BRN Tahun 1951-1952 Yang Masih Hidup Sebagai Saksi Sejarah Pekon Sukapura. No
Nama
Umur (tahun)
1 Odo Rusyandi 74 2 Djalil Suyandi 78 3 Sarli 79 4 Juhana 88 5 Supri Supardi 68 6 Saja 76 7 Suliman 71 8 Karwan 73 9 Madnan 80 10 Emen 75 11 Sarkasih 76 12 Hari Kusnadi 70 13 E.Rohama 72 14 Sarjan 72 15 Ija 78 16 Jeki Mustari 71 17 Sumarya 72 18 Suparman 71 19 Dawami 76 20 Sarmad 74 21 U.Husnan 84 22 Ojo Satori 72 23 Sayadi 95 24 Sukma 88 25 Oji Rosidi 86 26 Rainan 91 27 Jarkasih 87 28 Samud 77 29 Sulasdin 71 30 Sarja 74 31 Juhandi 72 32 Sapjan 72 33 Ganda 71 Sumber: Wawancara dan penelusuran lapang.
Pekerjaan
Keterangan
Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani
Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif
Tabel 5.5.3. Penggunaan lahan Pekon Sukapura, 2004. No
Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Pekarangan/Pemukiman Perkebunan Perladangan Sawah Kolam Tanah Desa Hutan kawasan/LPH Jumlah Sumber: Monografi Pekon Sukapura 2005.
75 630 100 19,25 15 6,50 504,75 1350
1 2 3 4 5 6 7
233
Dari
frontier
pahlawan
pembangunan
menjadi
perambah
hutan.
Keresahan warga Pekon Sukapura tersebut tidak terlepas dari konflik status lahan pekon yang berada di dalam kawasan hutan lindung. Mereka yang dahulunya adalah frontier-frontier pembuka wilayah dan oleh pemerintah disebut sebagai pahlawan pembangun wilayah Pekon Sukapura khususnya dan Kecamatan Sumberjaya umumnya, kini disebut sebagai perambah yang menduduki kawasan hutan negara secara ilegal. Sebuah sebutan yang identik dengan pelaku kriminal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Berbagai pristiwa penting terjadi sejak berdirinya pekon hingga saat ini. Berdasarkan hasil analisis rentang waktu oleh para pihak, diperoleh 26 peristiwa penting yang berkaitan dengan konflik yang terjadi seperti dirangkum di dalam Tabel 5.5.4. Berdasarkan hasil analisis rentang waktu tersebut terdapat beberapa peristiwa penting yang menjadi perdebatan panjang antar pihak yaitu: •
Pengwajiban IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) pada tahun 1952 dianggap oleh masyarakat sebagai pengakuan langsung atas penguasaan mereka atas lahan yang mereka tempati di dalam kawasan hutan.
•
Penurunan masyarakat pada tahun 1994/1995 dengan Operasi Gajah merupakan tindakan represif sepihak oleh pemerintah tanpa melihat asal-usul penguasaan lahan oleh masyarakat yang secara resmi ditempatkan oleh pemerintah di wilayah tersebut. Diharapkan kejadian serupa tidak terulang.
•
Pembukaan dan pendudukan lahan di areal Hutan Pinus pada tahun 1999 yang disinyalir diantara pelakunya adalah pejabat pemerintah kabupaten merupakan bentuk diskriminasi terhadap masyarakat. Demikian pula halnya dengan pendirian menara telpon selular pada tahun 2002 dan 2003 yang menurut Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat terjadi tanpa seijin mereka melainkan atas ijin Camat. Kasus terakhir adalah bentuk ikonsistensi pemerintah daerah atas penanganan status lahan di wilayah setempat. Pembentukan Tim Pengkajian Permohonan Pelepasan Kawasan Hutan di Pekon Sukapura oleh Bupati Lampung Barat pada tahun 2003 dinilai baru berupa perhatian politis Kabupaten Lampung Barat karena pelaksanaannya di lapang belum konkrit. Banyak faktor-faktor non-teknis yang bisa diatasi namun tidak dilakukan. Misalnya, pada bulan Desember 2005 Tim tersebut yang diwakili oleh Asisten 2 Bupati, Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten, Biro Tata Pemerintahan, Camat Wilayah Kecamatan Sumberjaya, difasilitasi
234
Tabel 5.5.4. Analisis Rentang Waktu Beberapa Peristiwa Penting Yang berkaitan dengan Konflik Status Lahan Pekon Sukapura di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya. Tahun 1951 1952
Peristiwa Transmigrasi Masyarakat melalui BRN Transmigrasi Masyarakat melalui BRN Sudah dikenakan IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah), yang kemudian menjadi PBB (Th 1980-an)
1953
20 Jan 1954
Pemecahan Penduduk Sukapura ke dua tempat, sebagian ke Pekon Tribudi Syukur Kecamatan Sumberjaya, dan sebagian ke Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan Sukapura Menjadi Desa definitif
1965
Pemberian izin tumpangsari {Pekon Tribudi Syukur} oleh Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung.
1979
Pembangunan SD Inpres
1982
Wakil masyarakat Sukapura menghadap ke DepHut untuk mengajukan pembebasan lahan.
1983
Pemasangan jalur listrik ke Pekon Sukapura oleh PLN atas program pemerintah
1994
Pembangunan PLTA Way Besay Penetapan Batas Defenitif (BATB)
1994/1995
Operasi Gajah, penurunan masyarakat dari kawasan oleh pemerintah
1996
Rencana membeli tanah untuk mengganti lahan kawasan yang ada pekon Sukapura dengan lahan yang ada di Biha.
1998
Pengajuan status tanah Pekon Sukapura saat kepala desa Bapak Amilin dilengkapi dengan buku sejarah pekon kepada Departemen, tapi tidak digubris.
1999
Mengajukan proposal izin pemanfaatan lahan (HKm) {Pekon Tribudi Syukur} Terjadi pendudukan dan pembukaan lahan di areal Hutan Pinus
2000
Keluar izin HKm awal 3 (tiga) tahun yang dikeluarkan oleh Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung
2000
Peninjauan ulang terhadap pelepasan kawasan di Desa Sukapura, Kecamatan Sumberjaya
2002
Pembangunan 1 buah menara telpon seluler Indosat. Pemetaan partisipatif lahan yang diajukan untuk pelepasan.
2003 a.
Dibentuk Tim Pengkajian Permohonan Pelepasan Kawasan Hutan di Pekon Sukapura oleh Bupati Lampung Barat dan APBD
2003 b.
Diskusi PEMDAKAB (Camat + UPTD IPH) tentang status lahan.
2003 c.
Pembangunan 2 (dua) menara telpon seluler Telkomsel dan Pro-XL di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.
2004 d.
Camat Sumberjaya mengirim surat permohonan pelepasan kawasan di Pekon Sukapura kepada Bupati Lampung Barat
2004 Jan - 2005
Silaturahmi dan dialog Sekjen DepDagri dengan masyarakat Pekon Sukapura, Anggota DPRD. Harus disertai dukungan politik dari DPRD Kabupaten.
Semiloka Pengembangan Model Penangananan Konflik Lingkungan Dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis. Sumber: Hasil diskusi para pihak dalam Semiloka.
Mei-2005 •
Proyek GNRHL di lahan garap (kebun) Pekon Sukapura, sementara di pekarangan tidak dilakukan.
235
oleh LSM Watala dan Working Group Tenure untuk berdialog dengan Menteri Kehutanan cq Badan Planologi. Hasilnya adalah: (1) Departemen Kehutanan menilai masalah status lahan Pekon Sukapura adalah masalah penting yang memerlukan penyelesaian, (2) Pemerintah Kabupaten diminta mengajukan surat kepada Menteri Kehutanan untuk menurunkan Tim Terpadu Pusat yang terdiri atas Departemen Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, LIPI, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, dan Perguruan Tinggi setempat. Surat tersebut hingga kini belum ditindaklanjuti oleh kabupaten dengan alasan tidak ada biaya untuk menanggung logistik Tim Terpadu Pusat tersebut. Hal tersebut berpotensi menyulut pesimisme masyarakat Pekon Sukapura atas upaya penyelesaian status lahan, padahal berdasarkan hasil wawancara ulang paska penelitian lapang, masyarakat bersedia bergotong-royong untuk memikul biaya tersebut. •
Para pihak sepakat bahwa dialog dengan Sekjen Depdagri dan beberapa cendikiawan dari Institut Pertanian Bogor pada tanggal 14 Januari 2005 merupakan bagian dari sejarah upaya deskalasi konflik status lahan Pekon Sukapura. Hal yang terpenting dalam dialog tersebut yaitu upaya masyarakat perlu ditempuh melalui jalur politik terutama dukungan dari legislatif, DPRD Kabupaten Lampung Barat.
•
Kegiatan
Semiloka
Pengembangan
Model
Penangananan
Konflik
Lingkungan Dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis yang dilaksanakan pada bulan Mei 2005 disepakati oleh para pihak sebagai bagian dari upaya mencari jalan keluar penyelesaian konflik status lahan. 5.5.2.4 Profil Para Pihak Dalam Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Analisis Profil Para Pihak sering juga disebut dengan tehnik Analisis Stakeholder (pemangku kepentingan) atau Teknik Analisis PIL (Power, Interest, Legitimacy, atau Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimasi). Tehnik tersebut akan melihat kekhasan (saliency) dan posisi para pemangku kepentingan, dan berdasarkan kekhasan dan posisi yang dimiliki mereka akan dilakukan konstruksi terhadap kekhasan itu. Tujuan teknik tersebut adalah: (1) memberikan gambaran bagi para pemangku kepentingan yang nyata (aktual) maupun potensial untuk terlibat dalam situasi atau rencana tertentu, dan (2) menggunakan indeks kekhasan (saliency) sebagai kriteria pelibatan pemangku kepentingan dalam
236
menyelesaikan konflik. Selama semiloka, terdapat 11 pihak yang dianalisis konstruksi kekhasannya seperti dalam Tabel 5.5.5. Tabel 5.5.5. Analisa Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimasi Para Pihak Yang Berkonflik Dalam Kasus Status Lahan Pekon Sukapura No
Para pemangku Kepentingan
Kekuatan (Power-P)
1 Dishut dan PSDA Lambar Kuat 2 Bapeda Lambar Lemah 3 Baplan Dephut Kuat 4 Watala Kuat 5 DPRD Lambar Kuat 6 BPLH Lambar Kuat 7 Kecamatan Sumberjaya Lemah 8 Pekon Sukapura Kuat 9 BPN Lambar Lemah 10 Masyarakat Lemah 11 Perguruan Tinggi Lemah Sumber: Para pihak dalam Semiloka, data diolah.
Kepentingan (Interest-I)
Legitimasi (L)
I-Positif I-Negatif I-Negatif Netral I-Positif Netral I-Positif I-Positif Netral I-Positif Netral
L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat
Kategori P, I+, L I-, L P, I , L P, L P, I+, L P, L + I ,L P, I+, L L + I ,L L
Berdasarkan hasil analisis profil dengan melihat kombinasi kekuatan, kepentingan, dan legitimasi para pihak, diperoleh beberapa tingkat kekhasan para pihak dalam sengketa status lahan yaitu sebagai berikut (Gambar 5.26): •
Kekhasan Tingkat 1: Adalah kelompok dominan yang mempunyai kekuatan yang sangat kuat, kepentingan terpengaruh, dan legitimasi tinggi. Mereka adalah Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1), Badan Planologi Departemen Kehutanan (3), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5), dan Peratin Pekon Sukapura (8).
•
Kekhasan Tingkat 2: Adalah kelompok berpengaruh yang mempunyai kekuatan yang sangat kuat, legitimasi tinggi, namun kepentingan tidak terpengaruh. Mereka adalah LSM Watala (4) dan BPLH Lampung Barat (6).
•
Kekhasan Tingkat 3: Adalah kelompok rentan yang tidak mempunyai kekuatan atau sangat lemah, kepentingan terpengaruh, dan legitimasi/klaim tinggi atau diakui. Mereka adalah Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2) dan masyarakat Pekon Sukapura (10).
•
Kekhasan Tingkat 4: Adalah kelompok berperhatian yaitu mereka yang memiliki
power
sangat
lemah,
kepentingan
terpengaruh,
namun
legitimasi/klaim tidak diakui. Mereka adalah Kantor Kecamatan Sumberjaya ( 7), Kantor BPN Lampung Barat (9), dan Universitas Lampung (11).
237
Kekuatan
Kepentingan P, Dorman/Tidur
I, Marjinal PI, Bertenaga
PIL, Dominan 1+, 3-, 5+, 8+ PL, Berpengaruh 4, 6
IL, Rentan 2-, 10+
L, Berperhatian 7, 9, 11
Legitimasi Gambar 5.26. Diagram Venn Kekhasan (saliency) ke-12 Pihak dalam proses penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura dalam kawasan hutan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Keterangan: 1 = Dinas Kehutanan dan PSDA Lambar; 2 = Bappeda Lambar; 3 = Badan Planologi Departemen Kehutanan; 4 = LSM Watala; 5 = DPRD Kabupaten Lampung Barat; 6 = BPLH Lampung Barat; 7 = Kecamatan Sumberjaya; 8 = Peratin Pekon Sukapura; 9 = Kantor BPN Lampung Barat; 10 = Wakil Tokoh Masyarakat; dan 11 = Perguruan Tinggi Universitas Lampung.
Seperti diuraikan sebelumnya, pada kelompok dominan terdapat 4 pihak yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1), Badan Planologi Departemen Kehutanan (3), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5), dan Peratin Pekon Sukapura (8). Walaupun keempatnya memiliki kekhasan yang sama, namun berdasarkan hasil diskusi selama semiloka, terdapat perbedaan di dalam kepentingan (Interests) yaitu: •
Kepentingan
pihak
Badan
Planologi
Departemen
Kehutanan
akan
-
terpengaruh secara negatif (“-“) ditunjukkan oleh notasi “ I “. Secara aktual artinya apabila konflik status lahan terselesaikan dan klaim masyarakat dipenuhi, maka pihak Badan Planologi akan kehilangan aset kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis seluas 302,5 hektar.
238
•
Kepentingan pihak-pihak Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat, DPRD Kabupaten Lampung Barat, dan Peratin Pekon Sukapura terpengaruh secara positif (“+”) ditunjukkan oleh notasi “I+”. Secara aktual artinya apabila konflik status lahan terselesaikan dan klaim masyarakat dipenuhi, maka: o
Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat akan memperoleh manfaat yaitu: biaya sosial yang ditimbulkan oleh konflik bisa dicegah, meningkatnya kawasan budidaya seluas 302,5 hektar dan hal tersebut akan menyediakan ruang tambahan baru bagi pembangunan wilayah non kawasan Kabupaten Lampung Barat yang 77,76% luas daratannya adalah kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
o
DPRD Kabupaten Lampung Barat akan memperoleh manfaat berupa stabilitas politik kawasan Sumberjaya, khususnya Pekon Sukapura, melalui penyediaan kepastian penguasaan lahan terutama bagi konstituen infra struktur politik di daerah.
o
Peratin Pekon Sukapura akan memperoleh manfaat yaitu; semakin jelasnya
wilayah
definitif
pekon
akan
semakin
memastikan
perencanaan dan pelaksanakan program pembangunan pekon termasuk pengelolaan sumber-sumber Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Pekon (APPKP) terutama yang berasal dari sumberdaya lahan. Selain itu, kepastian penguasaan lahan akan memberikan stabilitas
sosial
dan
ekonomi
bagi
warga
pekon
dalam
bermatapencarian. Masyarakat Pekon Sukapura (10) dan Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2) adalah pihak yang kekhasannya masuk ke dalam kelompok rentan. Kelompok ini dicirikan sebagai kelompok yang memiliki kepentingan dan legitimasi namun tidak memiliki kekuatan. Berdasarkan hasil analisis para pihak selama semiloka, keduanya berada dalam satu kelompok, tetapi memiliki kepentingan yang berbeda: •
Bappeda Kabupaten Lampung Barat secara struktural tidak memiliki otoritas sebagai kekuatan penentu dalam penetapan dan perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan termasuk perubahan status lahan di dalam kawasan. Namun demikian lembaga tersebut adalah lembaga yang memiliki legitimasi sebagai sebuah lembaga koordinatif pembangunan daerah.
239
Kepentingannya notasi “ I
-
akan terpengaruh secara negatif (“-“) ditunjukkan oleh
“. Hingga pada saat penelitian, secara aktual lembaga tersebut
masih berpijak bahwa Tata Ruang Kabupaten Lampung Barat adalah instrumen kebijakan yang harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk dalam penyelesaian konflik status lahan di Pekon Sukapura. •
Masyarakat Pekon Sukapura secara formal tidak memiliki kekuatan penentu dalam penetapan dan perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan termasuk perubahan status lahan di dalam kawasan. Namun demikian, legitimasinya atas klaim status lahan diakui oleh pihak lain walaupun pengakuan tersebut belum disertai dengan pelepasan kawasan hutan. Pengakuan pihak lain tersebut terjadi karena adanya bukti-bukti sejarah bahwa konflik status lahan di Pekon Sukapura memang terjadi karena kelalaian pemerintah masa lalu yang mentransmigrasikan BRN ke wilayah tersebut tanpa ditindak lanjuti dengan administrasi sertifikasi lahan. Kepentingan masyarakat akan terpengaruh secara positif (“+“) ditunjukkan oleh
notasi
“I+“,
artinya
mereka
akan
memperoleh
manfaat
atas
terselesaikannnya konflik status lahan dengan dimungkinkannya sertifikasi lahan sehingga diperoleh kepastian status penguasaan lahan dalam bentuk hak milik atas tanah atau hak-hak lainnya. 5.5.2.5 Analisis Hubungan Antara Yang Kuat dan Lemah Menurut Chevalier (2003), berdasarkan hasil analisis PIL tersebut, potensi para pihak untuk saling beraliansi dan/atau bekerjasama serta sebaliknya yaitu potensi untuk saling berkonflik dapat dianalisis. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan indikator interest sebagai indikator penentu. Penggunaan indikator tersebut atas argumentasi bahwa konflik dapat terjadi apabila ada perbedaan kepentingan antar-pihak dimana ketika kepentingan (+) dari suatu pihak mengakibatkan kepentingan pihak lainnya menjadi (-). Pada saat kapan konflik atau kerjasama berpotensi terjadi adalah sebagai berikut (Chevailer, 2003): 1) Jika pada hasil analisis PIL terdapat dua pihak memiliki kekhasan yang sama (misalnya keduanya sama-sama memiliki kepentingan positif (+) atau keduanya sama-sama memiliki kepentingan (-)), maka aliansi dan kerjasama berpotensi terjadi.
240
2) Jika pada hasil analisis PIL terdapat dua pihak memiliki kekhasan yang berbeda (misalnya suatu pihak (+) dan yang lainnya (-)), maka konflik berpotensi terjadi. Berdasarkan Tabel 5.5.5 dan Gambar 5.26, pada kasus konflik status lahan di Pekon Sukapura, maka dapat diperkirakan siapa saja yang berpotensi dapat bekerjasama dan siapa saja yang berpotensi untuk berkonflik, yaitu sebagai berikut (Gambar 5.27): •
Diagram Hubungan 1: Konflik antar-pihak yang dominan dapat terjadi antara masing-masing Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), dan Peratin Pekon Sukapura (8+) terhadap Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−).
•
Diagram Hubungan 2: Hubungan aliansi dan kerjasama antara pihak kuatlemah (Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), Peratin Pekon Sukapura (8+), dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+)) berkemungkinan terjadi lalu berkonflik dengan pihak kuat lainnya (Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−)). Demikian pula sebaliknya, aliansi pihak kuat-lemah (Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−) dan Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−)) berkemungkinan terjadi lalu berkonflik dengan pihak kuat lainnya (masingmasing yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), dan Peratin Pekon Sukapura (8+)).
•
Diagram Hubungan 3: Konflik kepentingan berpotensi terjadi antara pihak yang lemah (rentan). Dalam hal ini yaitu antara Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−) dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+).
•
Diagram Hubungan 4: Konflik perbedaan kepentingan berpotensi terjadi antara pihak yang kuat/dominan (masing-masing Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), Peratin Pekon Sukapura (8+), dan Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−)) terhadap dan pihak yang lemah/rentan (masing-masing Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−) dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+)).
•
Diagram Hubungan 5: Konflik perbedaan kepentingan terjadi antara aliansi pihak kuat-lemah (yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), Peratin Pekon Sukapura
241
(8+), dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+)) dengan pihak lemah/Rentan (yaitu Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−). No
Diagram Hubungan
Deskripsi hubungan Potensi Aliansi dan/atau konflik antara yang Konflik kuat dan yang lemah Konflik perbedaan kepentingan ANTAR pihak yang kuat (Dominan, Bertenaga)
Elit horizontal. 1+ ↔ 3− 5+ ↔ 3− 8+ ↔ 3−
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA aliansi pihak kuat (dan diantaranya memiliki aliansi dengan pihak lemah) DENGAN pihak kuat lainnya (Dominan, Bertenaga) Konflik perbedaan kepentingan ANTAR pihak lemah (Rentan, Marjinal)
Elit horizontal, terkadang menyeret kelompok lapisan bawah (1+, 5+, 8+) ↔ 3− (1+, 5+, 8+; 10+) ↔ 3− (3−; 2−) ↔ 1+ (3−; 2−) ↔ 5+ (3−; 2−) ↔ 8+ Horizontal antar lapisan bawah 10+ ↔ 2−
4
Konflik kepentingan pihak kuat pihak lemah
5
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA aliansi pihak kuat dan pihak lemah DENGAN pihak lemah (Rentan, Marjinal)
Vertikal antara elite dengan lapisan bawah. 1+ ↔ 2− 5+ ↔ 2− 8+ ↔ 2− 3− ↔ 10+ Vertikal antara aliansi elitlapisan bawah dengan lapisan bawah (1+, 5+, 8+; 10+) ↔ 2− − − + (3 ; 2 ) ↔ 10
6
Konflik perbedaan kepentingan ANTAR aliansi pihak kuat-lemah.
1
2
3
perbedaan ANTARA DENGAN
Horizontal, total dan multiclass. (1+, 5+, 8+; 10+) ↔ (3−; 2−)
Gambar 5.27. Diagram Analisis Hubungan Antara yang Kuat dan yang Lemah dalam Kasus Konflik Status Lahan Pekon Sukapura (Sumber: Diskusi selama semiloka, mengadopsi mengadopsi Matriks Analisis Hubungan Kuat-Lemah - Chevalier (2003).
•
Diagram hubungan 6: Konflik perbedaan kepentingan terjadi antar aliansi pihak kuat-lemah, yaitu aliansi pihak berkepentingan positif (Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat
242
(5+), Peratin Pekon Sukapura (8+), dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+)) dengan aliansi pihak berkepentingan negatif (yaitu Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−) dan Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−)). Secara aktual diagram hubungan tersebut terbukti bahwa hingga saat ini para pihak (1+), ( 5+), ( 8+), dan (10+) adalah pihak-pihak di kabupaten yang tidak saling bertentangan dalam memposisikan dirinya terhadap kasus stasus lahan Pekon Sukapura, keempatnya sama-sama menginginkan penyelesaian kasus tersebut dan bahkan melakukan upaya kolektif untuk menegosiasikan pelepasan areal kepada pihak Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−). Di sisi lain, pihak Bappeda Kabupaten Lampung Barat memiliki kepentingan bernotasi negatif (2−), merupakan cermikan dari sikapnya yang memposisikan bahwa revisi tata ruang kabupaten dapat dilakukan apabila pelepasan areal sudah terlebih dahulu mendapat persetujuan Departemen Kehutanan. 5.5.2.6 Analisis Cara Penanganan Konflik A. Mengurai Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Analisis Mengurai Skenario Ideal dimaksudkan untuk melihat dan mempertajam
beberapa
isu-isu
penting
yang
berkaitan
erat
dengan
upaya/sekario ideal dalam menyelesaikan masalah konflik status lahan. Pada kasus Pekon Sukapura, para pihak melakukan ramifikasi4/ terhadap hubungan sebab-akibat akar konflik yang paling relevan berdasarkan Gambar 5.23. Hubungan sebab-akibat dan ramifikasi tersebut diperti ditayangkan dalam Gambar 5.28.
4
Ramifikasi adalah pengambilan berbagai skenario/upaya sebagai implikasi upaya pemecahan akar konflik.
243
Skenario Penyelesaian Konflik 1) Pelepasan kawasan 2) Relokasi penduduk 3) Mengukur ulang ulang Reg 45 B Bukit Rigis; 4) Revisi tata ruang wilayah kabupaten Lampung Barat
Tidak adanya kemantapan kawasan Hutan Lindung
Tersedianya kepastian hukum status lahan
Tidak ada kepastian hukum Ramifikasi
Penyelesaian Konflik Status Lahan
Konflik Status Lahan
Penetapan kawasan hutan yang legitimate berdasarkan kesepakatan berbagai pihak
Penetapan kawasan hutan tidak atas dasar kesepakatan berbagai pihak Hubungan sebab-akibat Akar Konflik Status
Skenario Penyelesaian Konflik dan Dampak Yang Diharapkan
Gambar 5.28. Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Bedasarkan Ramifikasi Terhadap Hubungan Sebab-Akibat Akar Konflik.
Berdasarkan Gambar 5.28 tersebut, para pihak memutuskan untuk menilai 4 buah skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura yaitu: 1) Melalui pelepasan kawasan dengan dua buah pilihan yaitu: a. Pelepasan perdasarkan prosedur yang berlaku dengan mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts-11/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan b. Tukar
menukar
lahan,
lahan
dilepaskan
namun
masyarakat
disyaratkan menyediakan lahan pengganti, beban biaya pengadaan lahan baru ditanggung oleh masyarakat. 2) Relokasi penduduk, beban biaya pengadaan lahan dan infra struktur ditanggung oleh pemerintah 3) Mengukur ulang luasan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis; gagasan ini bersifat spekulatif dengan asumsi : a. Apabila setelah dikurangi luas areal yang dilepaskan ternyata luas kawasan tidak berubah, maka tidak perlu proses pelepasan. b. Apabila setelah dikurangi luas areal yang dilepaskan ternyata luas kawasan menjadi berkurang, maka perlu proses pelepasan.
244
4) Melakukan revisi tata ruang wilayah Kabupaten Lampung Barat dengan memasukkan areal yang diklaim menjadi areal non kawasan hutan. Gagasan ini muncul dari asumsi bahwa secara tata urutan peraturan dan perundangundangan, Perda Kabupaten yang memayungi tata ruang memiliki status sumber hukum yang lebih kuat dari sebuah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.256/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung. Berdasarkan 4 skenario tersebut, para pihak kemudian melakukan pemeringkatan dengan mempergunakan matriks Analisis Mengurai Skenario Ideal (Chevalier, 2003). Dalam analisis tersebut, perkalian faktor kepentingan dan faktor kemungkinan dipergunakan sebagai dasar perhitungan. Hasilnya seperti terdapat pada Tabel 5.5.6. Tabel 5.5.6
Pemeringkatan Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura
Skenario ideal
Pemeringkatan Pentingnya Elemen (1=rendah, 10=tinggi)
Kondisi utama yang harus dipenuhi Uraian Prakondisi Tingkat yang diperlukan Kemungkinan untuk mencapai prakondisi tujuan tersebut (Satu per elemen) terpenuhi (%)
A (1) 1. Pelepasan kawasan hutan yang diklaim
(2)
(3)
Tingkat Kepentingan Elemen & Nilai Kelayakan
B
AxB
(4)
(5)
Dukungan para pihak tingkat 9 100 kabupaten dan (Peringkat 1) masyarakat Kesediaan 2. Relokasi 1,2 4 masyarakat untuk 30 penduduk (Peringkat 4) dipindahkan Dukungan Dinas Kehutanan Lampung Barat bahwa tata batas kawasan 3. Pengukuran hutan lindung Reg 6 ulang luas 6 100 45B yang belum ( Peringkat 3) kawasan hutan temu gelang merupakan peluang rekalkulasi luas kawasan Saat ini Revisi Tata 4. Revisi Tata Ruang Kabupaten 6,4 Ruang 8 sedang berlangsung 80 ( Peringkat 2) Kabupaten dan belum diperdakan Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Analisis Mengurai Skenario Ideal – Chevalier (2003).
Berdasarkan
9
Tabel
5.5.6,
pemeringkatan sebagai berikut:
para
pihak
sepakat
terhadap
hasil
245
1) Peringkat 1: Pelepasan kawasan hutan seluas 302,5 dengan nilai sekor 9. 2) Peringkat 2: Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 6,4. 3) Peringkat 3: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 6. 4) Peringkat 4: Relokasi penduduk dengan nilai sekor 1,2.
B. Memilih Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Langkah selanjutnya, para pihak kembali menguji keempat sekenario untuk kemudian dipilih sebagai skenario yang akan dilaksanakan. Langkah tersebut dilakukan dengan mengadopsi Teknik Memilih Skenario (Chevalier, 2003) dengan mempergunakan kriteria pengambilan keputusan yang masingmasing diberi sekor relatif dalam sekala tertentu. Sebanyak 4 buah kriteria disepakati untuk dipergunakan yaitu: 1) Perkiraan biaya yang diperlukan; semakin banyak biaya yang diperlukan, semakin rendah sekornya. 2) Perkiraan waktu penyelesaian; semakin lama waktu penyelesaian, semakin rendah sekornya. 3) Perkiraan ketersediaan sumberdaya manusia pelaksana penyelesaian; semakin banyak tersedia, semakin tinggi sekornya. 4) Perkiraan keberlanjutan dukungan; semakin tinggi dukungan, semakin tinggi sekornya. Untuk melakukan perhitungan tersebut, para pihak kemudian mengembangkan sekor bagi masing-masing kriteria seperti ditayangkan pada Tabel 5.5.7. Tabel 5.5.7
Kriteria Biaya (Rp.juta) Waktu (bln) Ketersediaan SDM Keberlanjutan (dilihat dari dukungan semua pihak)
Penetapan Kriteria, Sekala, dan Sekor Masing-masing Skenario Penyeselaian 1
2
≥ 200
Sekor dan Sekala (dapat bervariasi) 3 4 5 6 7 15l-200
101-500
≥ 24
0-24
0-21
0-18
0-15
Langka
Sedikit
Cukup
Banyak
Berlebihan
Tidak Menduk ung
Tidak menduk ung, tapi tidak mengh alangi
Ragu-ragu
8
51-100 0-12
0-9
Setuju bersyar at
9 l-50
0-6
0-3
Mendu kung Penuh
Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Prefered Options – Chevalier (2003).
246
Dengan mempergunakan kriteria dan sekor sebagaimana tertulis di dalam Tabel 5.5.7, para pihak kemudian menguji sebanyak 5 buah skenario dari semula 4 buah yang ditetapkan. Penambahan menjadi 5 buah skenario adalah sebagai akibat dari adanya 2 buah opsi pelepasan yaitu (1) pelepasan berdasarkan prosedur yang mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts11/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, dan (2) pelepasan melalui tukar menukar lahan (atau sering dikenal dengan istilah ”tukar pakai”). Berdasarkan kriteria biaya, waktu, dan ketersediaan
SDM
sebagaimana
disepakati
sebelumnya,
para
pihak
menghasilkan kesepakatan tingkat lanjut sebagai berikut: 1) Peringkat ke 1: Pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur dengan nilai sekor 14. 2) Peringkat ke 2: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 13. 3) Peringkat ke 3: Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 9. 4) Peringkat ke 4: Pelepasan dengan tukar menukar lahan dan Relokasi, masing-masing nilai sekor 6. Secara rincik perhitungan peringkat tersebut tertulis pada Tabel 5.5.8. Dalam tabel tersebut terbaca bahwa kriteria biaya yang banyak dan waktu penyelesaian yang lama mengakibatkan skenario pelepasan dengan tukar menukar lahan dan skenario relokasi menempati peringkat terakhir. Tabel 5.5.8 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, dan Ketersediaan Sumberdaya Manusia. Skenario/Opsi yang diinginkan (Prefered options) KRITERIA Biaya (Rp.juta) Waktu (bulan) Ketersediaan SDM Keberlanjutan (dilihat dari dukungan semua pihak)
TOTAL PERINGKAT
5 6 3 -
Pelepasan dengan tukar menukar lahan 1 1 4 -
14 1
6 4
Pelepasan Sesuai Prosedur
Relokasi
Pengukuran Ulang
Revisi Tata Ruang
1 1 4 -
5 6 2 -
1 5 3 -
6 4
13 2
9 3
Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Prefered Options – Chevalier (2003).
247
C.
Analisis Mengukur Dukungan Terhadap Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Analisis Mengukur Dukungan dilakukan untuk menentukan tingkat
dukungan yang layak/pantas dar para pihak yang hasilnya diperlukan untuk mewujudkan pelaksanaan skenario pilihan (Chevalier, 2003). Kecenderungan dukungan masing-masing pihak dipetakan ke dalam skala yang dipilih dapat dihitung dengan menggunakan satu dari empat metoda yaitu: 1) Dengan mengangkat tangan tanda setuju atau mendukung. 2) Pernyataan verbal (tanpa diskusi) disampaikan secara langsung kepada pihak lain. 3) Penunjukkan kartu (card display), misalnya kartu merah untuk menolak dan kartu hijau untuk mendukung. 4) Perhitungan suara rahasia (secret ballot), dilakukan pada situasi konflik dimana masih terdapat kesungkanan pihak lemah kepada pihak kuat. Pada kasus konflik status lahan Pekon Sukapura, pengukuran dukungan dilakukan perhitungan suara rahasia yang hasilnya disajikan berupa gradient polling.
Jika ada indikasi bahwa pernyataan dukungan para pihak ingin
dirahasiakan, maka pada saat penayangan, dilakukan kodifikasi terhadap masing-masing pihak sehingga identitasnya tidak diketahui oleh pihak lain (yang tahu hanya fasilitator/peneliti dan kerahasiaannya dijamin). Sebelum
melakukan
perhitungan
akhir
terhadap
dukungan
yang
diputuskan, para pihak terlebih dahulu menyepakati penggunaan sekor dan sekala dukungan terhadap skenario seperti ditayangkan pada Tabel 5.5.9. Tabel 5.5.9
Sekor Dukungan Masing-masing Penyelesaian Konflik Status Lahan
DUKUNGAN
Pihak
SEKOR DUKUNGAN 5
1
3
Menolak
Tidak suka, tetapi tidak akan meng halangi
Ragu-ragu
Terhadap
7 Setuju dengan catatan
Skenario
9 Mendukung
Dari 11 pihak yang berpartisipasi dalam penghitungan dukungan terhadap skenario penyelesaian konflik status lahan, pihak DPRD Kabupaten Lampung Barat berhalangan hadir dan menyerahkan dukungannya kepada Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat sebagai lembaga teknis kabupaten yang terkait langsung. Adapun hasil perhitungan secara rahasia seperti ditayangkan pada Gambar 5.30.
248
Berdasarkan perhitungan
hasil
dukungan
seperti
ditayangkan pada Gambar 5.30 dan Lampiran 14, selanjutnya para pihak melakukan dukungan
penghitungan kolektif
semua
tingkat pihak
dengan cara menghitung nilai ratarata dukungan (X) = (Jumlah total nilai dukungan)/jumlah pihak. Lalu masukkan nilai rata-rata dukungan “X” tersebut ke dalam Tabel 5.5.10. kemudian disekor ulang.
Gambar 5.29. Peneliti sedang memandu penghitungan hasil Analisis Gradient Pooling secara secret ballot terhadap skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih)
Hasil perhitungan di dalam Tabel 5.5.10 tersebut menunjukkan bahwa nilai sekor dukungan kolektif untuk pelepasan sesuai prosedur adalah 9 (mendukung), revisi tata ruang sekornya 7 (setuju dengan catatan), relokasi dan pengukuran ulang luas kawasan masing-masing sekornya 5 (ragu-ragu), dan pelepasan dengan tukar menukar lahan sekornya 1 (menolak). Nilai sekor dukungan kolektif tersebut kemudian dijumlahkan dengan nilai sekor indikator lainnya seperti tertulis di dalam Tabel 5.5.8 sebelumnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.5.11, bahwa dengan adanya penambahan kriteria dukungan para pihak, maka diperoleh peringkat baru yang disepakati oleh para pihak yaitu: 1) Peringkat ke 1: Pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur dengan nilai sekor 23. 2) Peringkat ke 2: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 18. 3) Peringkat ke 3: Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 16. 4) Peringkat ke 4: Relokasi dengan nilai sekor 11. 5) Peringkat ke 5: Pelepasan dengan tukar menukar lahan dengan nilai sekor 7.
249
7
Pelepasan Sesuai Prosedur
Sekor Dukungan
Sekor Dukungan
Pengukuran Ulang Luas Kaw asan 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7
5
3
5
5
5
3
1 1
2
3
1
4
5
6
7
8
9
10
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9
9
7
7
7
7
7
5
1
Pihak Yang Berkonflik
9
2
5
3
4
5
6
7
8
9
10
Pihak Yang Berkonflik Relokasi
Tukar Lahan
7 6 5 4 3
7
7
3
3
7
Sekor Dukungan
Sekor Dukungan
10 9 8 7
3
3
2 1 0
1 1
2
3
4
5
1 6
7
8
9
10
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5
3
1 1
Pihak Yang Berkonflik
3
1 2
3
4
1 5
3
3
1 6
1 7
8
9
10
Pihak Yang Berkonflik
Sekor Dukungan
Revisi Tata Ruang 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9
7
7
5
5
7
5
5
Keterangan Sekor Dukungan: 1 = Menolak 2 = Tidak Suka tetapi tidak mengganggu 3 = Ragu-ragu 4 = Setuju dengan catatan 5 = Mendukung
5
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pihak Yang Berkonflik
Gambar 5.30. Grafik Gradient Pooling Hasil Perhitungan Secara Rahasia Tentang Dukungan Para Pihak Terhadap Beberapa Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier (2003); Notasi para pihak pada Lampiran 14).
250
Tabel 5.5.10 Sekor Dukungan Kolektif Semua Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan.
SKENARIO PENYELESAIAN
Pelepasan Sesuai Prosedur Pelepasan dengan tukar menukar lahan
SEKOR DUKUNGAN KOLEKTIF 3 5 7 2,6-4 4,1-5,5 5,6-7
1 1-2,5 Menolak
Tidak suka, tetapi tidak akan meng halangi
Ragu-ragu
9 7,1-9
Setuju dengan catatan
Mendukung
7,2 (Sekor = 9) 2,2 (Sekor = 1) 4,2 (Sekor = 5) 4,2 (Sekor = 5)
Relokasi Pengukuran Ulang
5,8 (Sekor = 7) Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier (2003); Lampiran 14). Revisi Tata Ruang
Tabel 5.5.11 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, Ketersediaan Sumberdaya Manusia, dan Dukungan Para Pihak. Skenario/Opsi yang diinginkan (Prefered options) KRITERIA Biaya (Rp.juta) Waktu (bulan) Ketersediaan SDM Keberlanjutan (dilihat dari dukungan semua pihak)
TOTAL PERINGKAT
5 6 3 9
Pelepasan dengan tukar menukar lahan 1 1 4 1
23 1
7 5
Pelepasan Sesuai Prosedur
Relokasi
Pengukuran Ulang
Revisi Tata Ruang
1 1 4 5
5 6 2 5
1 5 3 7
11 4
18 2
16 3
Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Prefered Options – Chevalier (2003).
D.
Pengambilan Keputusan Skenario Terpilih dan Penyusunan Upaya Ke Depan Untuk Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. Berdasarkan seluruh rangkaian analisis selama semiloka yang dilakukan
oleh para pihak khususnya oleh kelompok diskusi konflik status lahan, memutuskan bahwa upaya penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya yang berada di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan ditempuh melalui usulan pelepasan areal kawasan sesuai dengan prosedur peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal tersebut
251
diperkuat dengan pertimbangan kualitatif yang berkembang selama diskusi bahwa: 1) Apabila status areal yang diklaim diubah melalui skenario revisi tata ruang tanpa
menunggu
proses
pelepasan
kawasan
dikhawatirkan
akan
menimbulkan polemik baru yaitu benturan kewenangan pusat-daerah dan benturan-benturan peraturan perundangan lainnya yang dapat berpotensi mengeskalasi konflik. 2) Skenario pengukuran ulang luas kawasan amat spekulatif dan dikhawatirkan hasilnya tidak bisa mengakomodir kepentingan semua pihak. 3) Skenario relokasi/bedol desa, pemindahan masyarakat ke daerah yang mempunyai
kondisi
geografis
yang
memungkinkan
untuk
dijadikan
pemukiman, memilik resiko waktu yang lama serta belum adanya kepastian tataran pemerintah yang mana yang akan menanggung biaya relokasi. Selain itu pengalaman relokasi melalui program transmigrasi lokal penduduk kawasan hutan lindung tersebut pada tahun 1994-1996 dari Pekon Dwi Kora (yang bertetanggaan dengan Pekon Sukapura) ke daerah Mesuji Kabupaten Tulang Bawang menyisakan sejarah buruk tentang gagalnya mereka beradaptasi dengan agroekosistem baru (berupa lahan rawa-rawa) di daerah tujuan. 4) Skenario tukar menukar lahan amat tidak populer di mata masyarakat karena keberadaan mereka di areal tersebut sudah lebih dari 2 generasi dan kedatangan awal mereka adalah atas program transmigasi BRN yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat berprinsip bahwa kondisi tersebut adalah akibat dari kelalaian pemerintah yang tidak melakukan administrasi sertifikasi kepemilikan lahan sejak ketika pertama kali mereka ditempatkan. Beranjak dari pilihan atas skenario tersebut, para pihak kemudian mengembangkan 6 tahap penting yang perlu ditempuh dalam proses pelepasan sesuai prosedur yaitu sebagai berikut (Gambar 5.31): 1) Tahap permohonan ulang pelepasan areal yang diklaim oleh masyarakat kepada Bupati Lampung Barat. 2) Bupati merespon permohonan tersebut dan sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati No. B/231/Kpts/01/2003 menugaskan Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B Sekitar Pekon Sukapura untuk melakukan kajian pendukung. Beberapa peraturan teknis yang direkomendasikan untuk dipergunakan sebagai dasar kajian diantaranya: (1)
252
Surat Keputusan Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan No.724/A/VII-2/94 tentang Petunjuk Pelaksana/Teknis Penyelesaian Enclave Dalam Kawasan Hutan; (2) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.70/KptsII/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Status dan Fungsi Kawasan Hutan; (3) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.32/KptsII/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan hutan; dan (4) Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.48/Menhut-II/2004
tentang
Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Status dan Fungsi Kawasan Hutan. 1. Permohonan masyarakat
2. Pengkajian oleh Tim Terpadu Kabupaten
3. Surat Permohonan dari Bupati kepada Menteri Kehutanan cq Baplan dilampiri Persetujuan DPRD Kabupaten dan Hasil Kajian Tim Daerah 5. Dukungan institusi dan kegiatan lapang oleh masyarakat dan pemda
4. Kunjungan Lapang oleh Tim Terpadu Pusat
6 Hasil Kajian Tim Terpadu Pusat
Pembahasan lintas Dirjen di dalam Departemen Kehutanan
Pelepasan areal dan Penunjukan Ulang Kawasan Hutan
Rekonstruksi Tata Batas
Penetapan Ulang Kawasan Hutan
Gambar 5.31. Skema Tahap-tahap Penting Dalam Skenario Pelepasan Lahan Kawasan Sesuai Prosedur (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka).
3) Penyampaian permohonan pelepasan oleh Bupati kepada Menteri kehutanan dilampiri persetujuan DPRD Kabupaten dan Hasil Kajian Tim Terpadu. Perlunya persetujuan DPRD Kabupaten sempat memunculkan perdebatan. Berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.70/Kpts-II/2001
persetujuan tersebut memang disyaratkan, namun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.48/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001, persetujuan tersebut tidak
253
disyaratkan lagi (perubahan pada Pasal 16 ayat 4). Namun demikian akhirnya para pihak memutuskan bahwa bagaimanapun juga dukungan politik dari DPRD Kabupaten tetap diperlukan, oleh karenanya walaupun tidak disyaratkan, persetujuan dari DPRD Kabupaten akan tetap disertakan. Hal tersebut selaras dengan arahan Sekretaris Jenderal Menteri Dalam Negeri dalam kunjungan lapangnya ke lokasi. 4) Tim Terpadu Pusat melakukan kunjungan dan kajian lapang. Tim terpadu Pusat adalah tim gabungan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan terdiri dari lembaga pemerintah terkait Pusat dan Daerah yang mempunyai kompetensi dan otoritas ilmiah, bersifat independen dan okyektif dalam melaksanakan tugasnya. 5) Pemerintah Kabupaten dan masyarakat memberikan dukungan institusi dan kegiatan lapang terhadap Tim terpadu Pusat yang melakukan kajian. 6) Berdasarkan hasil kajian Tim Terpadu Pusat, hasil kajian tersebut dibahas dari aspek hukum dan teknis oleh Eselon I lingkup Depatemen Kehutanan untuk kemudian disampaikan sebagai saran/pertimbangan teknis kepada Menteri Kehutanan. Berdasarkan saran/pertimbanagn teknis tersebut, Menteri Kehutanan dapat memberikan persetujuan pelepasan areal dan melakukan penunjukan ulang kawasan yang diikuti dengan rekonstruksi tata batas yang dilaksanakan oleh Panitia Tata Batas (PTP). PTB kemudian membuat Berita Acara Tata Batas (BATB) dan Peta Tata Batas yang baru untuk kemudian oleh Menteri dijadikan sebagai dasar Penetapan Ulang Kawasan Hutan. Sebagai catatan dialog, kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis saat ini berstatus ”penunjukkan” sesuai dengan Keputusan Menteri
Kehutanan
dan
Perkebunan
No.256/Kpts-II/2000
tentang
Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± 1.004.735 hektar. Menurut Undang-Undang No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (atau sering disingkat dengan UUPA), sebenarnya hal tersebut dapat memberi peluang bahwa sepanjang masyarakat dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah (domain verklaring), maka mereka tidak menjadi objek penunjukkan/penetapan kawasan. Dualisme Undang-undang Kehutanan dan UUPA tersebut yang diduga menyebabkan saat ini terdapat adanya 11 buah sertifikat hak milik di dalam kawasan hutan linsung Register 45B Bukit Rigis.
Namun demikian, atas
dasar semangat penyelesaian konflik secara konstruktif, para pihak sepakat
254
untuk memenuhi UU No.41/199 tentang Kehutanan terutama Pasal 1 Ayat (3) yaitu ” Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap ” walapun pada Ayat (4) dinyatakan bahwa ” Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah ”. Untuk
itu
para
pihak,
khususnya
masyarakat,
tetap
berkeinginan
menyelesaikan konflik status lahan melalui skenario pelepasan lahan sesuai “prosedur”. Berdasarkan
kesepakatan
para pihak, keenam tahap yang akan
ditempuh
dalam
skenario
tersebut dimandatkan kepada Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B sekitar Pekon Sukapura sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Lampung
Barat
No.B/231/Kpts/01/2003. langkah
yang
Langkah-
direkomendasikan
kepada Tim tersebut diantaranya
Gambar 5.32. Nara sumber dari Fakultas Sosial Politik - Universitas Lampung memberikan analisis hukum dalam pengembangan tahap penting skenario pelepasan lahan kawasan hutan secara prosedural (Sumber photo: Peneliti)
yaitu: •
Tim membentuk kelompok kerja (Pokja) yang bertugas mengkaji: (1) Pokja I mengkaji aspek sosial – ekonomi (termasuk aspek hukum) (2) Pokja II mengkaji aspek fisik lahan.
•
Di tingkat Pekon Sukapura: (1) Pelibatan aparat pekon, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta mereka yang pernah terlibat dalam penyusunan proposal pengajuan pelepasan kawasan sejak tahun 1994-an (sebelum terbentuknya tim terpadu kabupaten). (2) Pemetaan partisipatif dalam pengajuan status pelepasan lahan difasilitsi oleh LSM Watala. (3) Pendataan penduduk dibantu oleh masyarakat dan difasilitasi oleh LSM, aparat pekon dan aparat kecamatan. Pengukuran tingkat dukungan para pihak yang berkonflik terhadap
skenario terpilih merupakan faktor penentu. Tanpa dukungan para pihak maka
255
sebaik apapun skenario yang dipilih dalam penyelesaian konflik akan sulit diwujudkan. Jika dianalisis lebih dalam, walapun dukungan kolektif terhadap sekenario pelepasan sesuai prosedur memiliki sekor = 9 yaitu didukung oleh semua pihak, namun jika dilihat dukungan secara individual terdapat beberapa pihak yang masih ragu-ragu. Hasil perhitungan secara rahasia (secret ballot) yang ditayangkan pada Gambar 5.33 menunjukkan bahwa terdapat dua pihak yaitu pihak ke-2 dan pihak ke-9 yang menyatakan ragu-ragu (sekor = 5) dalam mendukung skenario pelepasan. Kedua pihak tersebut adalah Peratin (Kepala) Pekon Sukapura dan LSM Watala (Lampiran 14). Selama proses analisis dilakukan hingga kini, kedelapan
Pelepasan Sesuai Prosedur
pihak yang lain tidak mengetahui kedua
Kerahasian untuk
pihak
tersebut.
tersebut
mengatasi
Sekor Dukungan
identitas
ditujukan hambatan-
hambatan psikologis agar dialog tetap
berlangsung
secara
konstruktif dan para pihak tidak
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9
9
7
7
7
7
7
5
1
saling menyalahkan satu sama lain.
9
2
5
3
4
5
6
7
8
9
10
Pihak Yang Berkonflik
Bagi peneliti yang secara tidak
Gambar 5.33. Grafik Gradient Polling dukungan para pihak terhadap skenario pelepasan lahan sesuai prosedur Pekon Sukapura
langsung juga melakukan mediasi
konflik, indikasi keragu-raguan dari kedua pihak tersebut merupakan informasi yang
teramat
penting
untuk
melakukan
intensifikasi
konflik
melalui
wawancara/dialog terpisah. Teknik wawancara terpisah tersebut dikenal dengan sebutan sebagai systematic client consultation (World Bank, 1995). Setelah semiloka, dilakukan wawancara ulang terhadap kedua pihak tersebut dengan hasil-hasil sebagai berikut: 1) Peratin Pekon Sukapura merasa ragu-ragu karena pada dasarnya selama ini beberapa tokoh masyarakat telah berulang kali mencoba mendialogkan upaya penyelesaian konflik status lahan kepada instansi pemerintah terkait terutama sektor kehutanan. Upaya tersebut bahkan sudah dimulai sejak pelaksanaan konstruksi tata-batas yang kontraversial yang dilakukan pada tahun 1994, namun tidak ada hasil yang konkrit. Penyelesaian konflik status lahan hingga kini masih status quo. 2) Keragu-raguan serupa juga datang dari LSM Watala mengacu kepada pelaksanaan Surat Keputusan (SK) Bupati No.B/231/Kpts/01/2003 tentang
256
Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B Sekitar Pekon Sukapura. Sejak dikeluarkannya SK tersebut, hingga dilangsungkannya semiloka belum ada langkah-langkah konkrit bahwa Tim akan bekerja secara intensif. Disinyalir hal tersebut diantaranya disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari DPRD Kabupaten Lampung Barat terhadap kebutuhan anggaran bagi operasional kerja tim. Tercatat bahwa sudah dua Tahun Anggaran (TA) kabupaten yaitu TA 2004 dan TA 2005, usulan kebutuhan anggaran kandas dalam rapat anggaran antara pihak eksekutif dan legislatif Kabupaten Lampung Barat (TA 2004), sedangkan pada TA 2005 anggaran keluar pada bulan November 2005 sehingga tidak dapat dipergunakan. Untuk menghadapi sikap keragu-raguan tersebut, selain melalui upaya intensifikasi konflik, juga perlu dilakukan upaya rekonstruksi rasa saling percaya (Pretty dan Ward, 2001). Upaya yang terakhir tersebut merupakan modal sosial yang penting terutama dalam mewujudkan kegiatan kolaboratif yang amat diperlukan bagi penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura. Selain itu, tentunya komitmen dari pihak aktual lainnya amat diperlukan. Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah melakukan intervensi terhadap faktor femacu dan peredam konflik terutama faktor-faktor yang paling relevan dengan pencapaian keberhasilan skenario penyelesaian. 5.6 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Berdasarkan Integrasi Hasil Analisis
5.6.1
Konstruksi Model Penelitian Penanganan Konflik Seperti telah diruraikan pada Bab 2 sebelumnya, batasan konflik
lingkungan pengelolaan hutan yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki dan/atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dalam pengelolaan hutan karena adanya perbedaan-perbedaan hubungan/komunikasi sosial, kepentingan, data dan informasi, nilai, dan struktural, yang terjadi di dalam suatu ruang, sehingga fungsi lingkungan dari hutan menjadi terganggu. Berdasarkan kerangka pemikiran model yang akan dikembangkan sebagamana dipaparkan pada Gambar 1.3 di Bab -1, fokus penelitian diberikan pada; Bagaimanakah peta konflik di lokasi studi (hal ini mencakup akar/faktor penyebab konflik, gaya konflik, polarisasi konflik); Pendekatan penanganan dan metode seperti apa yang
257
menjadi pilihan para pihak yang berkonflik; dan Bagaimanakah umpan balik terhadap kebijakan penyelesaian konflik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian dijawab dengan melakukan: 1) Analisis faktor penyebab konflik; memetakan akar konflik dan para pihak yang berkonflik. . 2) Analisis gaya mengelola konflik; Memilih bentuk alternatif penyelesaian konflik. 3) Pelaksanaan alternatif penyelesaian terpilih Secara diagram alur, kegiatan tersebut kemudian menghasilkan model kegiatan penelitian yang dilakukan (Gambar 5.34). 1) Analisis Faktor Penyebab Konflik; Memetakan akar konflik dan para pihak yang berkonflik. Analisis faktor penyebab konflik di dalam penelitian ini beranjak dari informasi awal bahwa di lokasi terjadi konflik lingkungan di dalam kawasan hutan. Informasi tersebut kemudian dideskripsikan menjadi berbagai peubah (faktor) penyebab konflik melalui wawancara pakar, yaitu para pihak atau orangorang yang dianggap mengetahui tentang konflik yang terjadi. Proses informasi awal tersebut apabila diaplikasikan ke dalam proses administrasi sebuah mekanisme pengaduan penyelesaian perselisihan, dapat disebut sebagai “Tahap Penerimaan Pengaduan”. Terkait dengan penelitian ini, berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor penyebab konflik, hasil penelitian menunjukkan bahwa sub-model eksternalitas yang diwakili oleh peubah konversi lahan memiliki koefisien jalur terbesar. Hal tersebut memperkuat kesimpulan teori empiris yang dinyatakan oleh Buckles (1999) bahwa konflik sumberdaya alam terjadi oleh karena adanya eksternalitas negatif, dimana sebuah aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah mengakibatkan masalah lingkungan di wilayah lainnya1/.
1
Konversi lahan yang terjadi di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45 Bukit Rigis telah memicu terjadinya erosi permukaan, baik yang bersumber dari lahan hutan yang terkonversi ke dalam bentuk lain seperti pertanian kopi monokultur tanpa pendekatan teknis konservasi tanah, maupun dari jalan tanah yang menghubungi kebun kopi monokultur di dalam hutan kawasan. Penelitian ini tidak mengkuantifikasi volume erosi permukaan, tetapi secara fisik dilaporkan oleh unit pembangkit listrik DAM Way Besay bahwa proses pendangkalan akibat sedimentasi erosi. permukaan terjadi di badan sungai Way Besay yang membentang mengelilingi kawasan hutan tersebut.
258
2) Mengidentifikasi Gaya Konflik dan Memilih Alternatif Penyelesaian Mengidentifikasi Gaya Konflik
Keinginan dan Komitmen Untuk Memulai ADR
Alternatif Penyelesaian
1) Memetakan Akar Konflik dan Para Pihak Yang Berkonflik
Gambar 5.34. Model Penelitian Penanganan Konflik Lingkungan yang Dihasilkan.
3) Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Terpilih a.
Pemetaan Ulang Akar Konflik Secara Kolaboratif
b. Ramifikasi dan Pengembangan Proposal Penyelesaian
d. Membuat Kesepakatan/Keputusan
c. Mengurai dan Memilih Proposal Ideal
Pelaksanan Kesepakatan/Keputusan
Monitoring dan Evaluasi, serta Pembelajaran
259
Kegiatan analisis tersebut, baik dengan menggunakan alat analisis yang dipakai, atau alat analisis lain yang sesuai dengan kebutuhan, dalam administrasi dapat disebut sebagai “Tahap Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian”. 2) Analisis gaya mengelola penyelesaian konflik.
konflik;
Memilih
bentuk
alternatif
Ketika hasil analisis faktor penyebab konflik kemudian dikembalikan kepada para pihak yang berkonflik, mereka kemudian mengkaitkannya dengan konflik-konflik yang umumnya terjadi dalam pengelolaan suatu kawasan hutan di lokasi penelitian, yaitu
konflik status lahan kawasan, konflik tata batas, dan
konflik akses pengelolaan kawasan. Terhadap ketiga jenis konflik pengelolaan kawasan tersebut, analisis jenis gaya mengelola konflik yaitu saling menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, dan kolaborasi, kemudian diujikan. Yang menarik adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya konflik yang dominan dimanivestasikan oleh para pihak yaitu gaya kolaborasi dan kompromi. Hal tersebut bertolak belakang tengan pernyataan Harris dan Reilly (2000) bahwa perbedaan kepentingan di dalam suatu konflik akan menyulut ledakan sosial yang destruktif. Pada kasus yang diteliti, hal tersebut tidak terjadi. Sejak tahun 2000, ruang dialog sudah amat terbuka sehingga konflik-konflik di lokasi penelitian diselesaikan secara konstruktif walau tidak semuanya berakhir dengan sebuah kesepakatan. Hal tersebut merupakan sebuah temuan empiris dan menjadi sebuah aset sosial bagi upaya penyelesaian konflik ke depan. Walapun konflik telah mempolarisasikan bentuk-bentuk hubungan sosial para pihak berdasarkan kesamaan kepentingan, penelitian ini menemukan bahwa semua pihak beritikad untuk menyelesaikan konfliknya melalu negosiasi dan fasilitasi. Tak satupun dari mereka yang ingin menempuh jalur hokum formil (litigasi) dan ini
merupakan
indikasi
bahwa
bentuk-bentuk
ADR
(alternative
dispute
rersolutuon) yang mengusung keharmonisan hubungan jangka panjang menjadi prioritas utama. Hasil tersebut amat penting dalam menentukan plihan ADR yang akan diambil kemudian (Gamal dan Sirait, 2011). Pengujian selanjutnya menunjukkan bahwa dalam rangka penyelesaian konflik status lahan, semua pihak memilih fasilitasi sebagai pilihan ADR yang akan ditempuh. Hal tersebut selaras dengan Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif (Alternative Dispute
Resolution)
Berdasarkan
Gaya
Bersengketa
dikembangkan oleh Gamal dan Sirait (2011). Lihat Kotak-5.
Para
Pihak
yang
260
Kotak-5.6 Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif (Alternative Dispute Resolution) Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak . Apabila ditemui gaya sengketa (setidaknya salah satu pihak) adalah agitasi (menyerang), maka ini dapat dikategorikan sebagai gaya destruktif. Ada dua hal yang bisa dilakukan dalam kondisi ini: Pertama, para pihak ditawarkan menyelesaikan sengketanya melalui jalur hukum formal (ligitasi); Kedua, mediator mengambil inisiatif melakukan upaya de-eskalasi (penurunan) tegangan persengketaan, melalui diplomasi setengah kamar (shuttle diplomacy) dan parsial kepada masingmasing pihak, mengajak para pihak secara persuasif untuk meninggalkan gaya agitasi destruktif, hingga mencapai suatu kondisi dimana gaya bersengketa mereka berubah ke gaya-gaya lainnya. Masih serumpun dalam gaya ini, apabila gaya bersengketa adalah kompetisi dan konstruktif, maka para pihak dapat ditawarkan untuk menempuhnya melalui proses mediasi atau arbitrasi. Apabila ditemui gaya bersengketanya adalah kolaborasi, maka penanganan penyelesaian melalui perundingan (negosiasi) dapat ditawarkan. Gaya kolaborasi memiliki ciri penting bahwa selain ingin memperjuangkan kepentingannya, pihak tersebut juga memahami dan menerima urgensi kepentingan pihak lawan. Kondisi ini merupakan modal para pihak (multi-stakeholders capital) yang amat penting untuk dimulainya (gear up) sebuah proses kerjasama. Apabila ditemui gaya bersengketanya adalah akomodasi, maka ada dua bentuk penangana penyelesaian sengketa yang dapat ditawarkan yaitu mediasi atau fasilitasi. Kekhasan gaya ini untuk mengorbankan kepentingannya demi kepentingan pihak memiliki dua implikasi: Pertama, apabila pengorbanannya adalah mutlak tanpa syarat dan tidak berdampak buruk kepada pihak yang mau berkorban, maka yang ditawarkan adalah fasilitasi pertemuan/dialog; Kedua, apabila pengorbanannya bersyarat atau setidaknya kelak akan berdampak tidak baik bagi salah satu pihak, terutama pihak yang berkorban, maka yang ditawarkan adalah sebuah proses mediasi, dimana mediator membantu para pihak melakukan analisis resiko dari sebuah pengorbanan yang akan diberikan. Apabila gaya bersengketa adalah kompromi, maka bentuk penanganan penyelesaian yang dapat ditawarkan adalah fasilitasi. Kekhasan gaya ini adalah para pihak pengambil jalan tengah tanpa mepermasalahkan lagi siapa yang dimenangkan atau siapa yang dirugikan. Di dalam budaya melayu Sambas, Kalimantan Barat, hal ini dikenal dengan “belah semangka”, artinya objek sengketa dibagi sama rata tanpa melihat lagi siapa seharusnya yang berhak mendapat bagian lebih besar atau lebih kecil. Dalam gaya ini, tidak dikenal istilah kemenangan sejati dari sebuah perjuangan kepentingan. Oleh karenanya, penanganan melalui fasilitasi dialog untuk mematerialkan hasil kompromi adalah sebuah tawaran penyelesaian yang patut dipertimbangkan. Gaya bersengketa yang menghindar merupakan gaya sengketa yang miskin akan social capital ataupun multi-stakeholder capital. Pada gaya ini, pihak terebut tidak memiliki kepedulian atas kepentingannya dan kepentingan pihak lain. Apatis adalah ciri pihak yang memilik gaya ini. Konflik laten adalah sebuah kondisi yang kerap kali menjadi ciri utama, dan berkemungkinan besar setiap saat bisa meledak tidak terkendali. Tidak ada pilihan penanganan penyelesaian sengketa yang sebaiknya ditawarkan pada saat tersebut, terkecuali upaya intensifikasi konflik, dimana mediator membantu para pihak refleksi untuk melihat hal-hal yang menjadi perbedaan (jika ada), agar para pihak memahami apa perbedaan yang sedang terjadi dan bagaimana pentingnya perbedaan tersebut untuk dicarikan penyelesaiannya. Pada akhirnya upaya intensifikasi ini ditujukan agar pihak yang bersangkutan bersikap kolaborasi, atau setidaknya kompromi atau akomodasi. Sumber: Gamal dan Sirait, 2011.
. Di dalam praktek pelaksanaan ADR, melaksanakan analisis gaya mengelola konflik kerapkali terlupakan. Padahal hal tersebut amat penting untuk mengetahui bagaimana keinginan para pihak menyelesaikan konfliknya. Tidak jarang, pihak ketiga yang ingin membantu penyelesaian konflik serta merta menawarkan mediasi, sementara gaya konflik para pihak adalah agitasi dan/atau
261
mengindar. Ketika hal itu terjadi, biasanya pelaksanaan pilihan ADR yang ditawarkan menjadi tidak efektif, mengulang insiatif proses penyelesaian dari awal, atau bahkan gagal membantu para pihak menyelesaikan perselisihannya. Rangkaian analisis yang dimulai dari analisis gaya mengelola konflik dan memiliih bentuk alternatif penyelesaian, di dalam proses adminitrasi pengaduan dan penyelesaian perselisihan dapat disebut sebagai “ Tahap Keputusan Untuk Merespon Pengaduan dan Penentuan Pendekatan Penyelesaian “. Tentunya, untuk memperkuat keyakinan para pihak bahwa semua berniat dan bersedia memasuki proses penyelesaian yang sesungguhnya, masih memerlukan indikator-indikator kepastian. Di dalam penelitian ini, setelah semua pihak setuju memilih fasilitasi sebagai pilihan ADR yang akan ditempuh, kemudian dilakukan pengukuran kebersediaan berperan-serta yang menghasilkan bahwa sebesar 85,5% responden akan menghadiri proses fasilitasi. Pada beberapa kasus, seringkali kebersediaan tersebut dimaterialkan ke dalam sebuah kesepakatan awal, misalnya, para pihak kemudian membangun Naskah Kesepahaman Untuk Memulai Perundingan yang kemudian dapat diikuti oleh Kesepakatan tentang Aturan Main atau Tata Laksana Perundingan. 3) Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Terpilih Alternatif penyelesaian yang dipilih oleh para pihak yang berkonflik adalah dengan menempuh penyelesaian melalui fasilitasi. Fasilitasi adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat seseorang fasilitator yang netral dan tidak memiliki otoritas pengambil keputusan, yang diterima oleh semua kelompok yang berkonflik untuk memimpin diskusi tentang penyelesaian konflik yang terjadi, melalui seperangkat prosedur yang disepakati (Isenhart dan Spangle, 2000). Terkadang sulit membedakan antara fasilitasi dan mediasi. Namun kondisi psikologis yang paling mendasar membedakan keduanya adalah, mediasi dilakukan ketika para pihak yang berkonflik tidak dapat lagi berdialog secara langsung dan memerlukan pihak ketiga (mediator), sementara pada pendekatan fasilitasi, para pihak masih bisa berdialog secara langsung, hanya dalam rangka untuk memperoleh penyelesaian yang lebih efektif diperlukan pihak ketiga selaku fasilitator. Di dalam model penelitian ini, fasilitasi dilaksanakan melalui sebuah lokakarya. Seperangkat prosedur ditawarkan dan disepakati oleh para pihak yang berkonflik bahwa, dalam rangka memutuskan kesepakatan, akan ditempuh melalui tahap-tahap:
262
1) Pemetaan Ulang Akar Konflik Secara Kolaboratif. 2) Ramifikasi dan Pengembangan Proposal Penyelesaian. 3) Mengurai dan Memilih Proposal Ideal. 4) Membuat Kesepakatan/Keputusan. Pilihan tentang teknis dan cara bagaimana melaksanakan keempat tahap tersebut tentunya amat beragam. Namun di dalam penelitian ini, cara-cara yang mempromosikan pendekatan partisipatif dalam menganalisis konfik yang terjadi, data dan informasi yang diperlukan, pengembangan usulan penyelesaian, memprioritaskan usulan penyelesaian yang akan ditempuh terlebih dahulu, hingga kemudian memutuskan untuk melaksanakannya, amatlah diutamakan. Pendekatan partisipatif yang dilakukan adalah pendekatan partisipatif mandiri dimana para pihak turut terlibat hingga pengambilan keputusan dan memahami kemungkinan-kemungkinan resiko dan manfaat di kemudian hari atas keputusan yang diambil.
5.6.2
Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan, Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan, dan Umpan Balik. Menurut Andi (2005), hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup,
regulasi perundang-undangannyapun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang kehutanan. “UndangUndang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup”. Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan
mengadopsi
sebagian
ketentuan
penyelesaian
sengketa
sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat dilihat dan dibandingkan antara ketentuan Pasal 30 UndangUndang No. 23 Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pada tabel di bawah ini.
263
Tabel 5.6.1
Perbandingan antara UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Penyelesaian Sengketa.
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 30
Pasal 74
1.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
1.
Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
2.
Sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
2.
3.
Telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Pasal 75 ayat (1)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan perbandingan kedua undang-undang tersebut, maka Model Pengananan Konflik Lingkungan di Dalam Kawasan Hutan, secara yuridis merujuk kepada Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup termasuk peraturan-peraturan yang terkait dengan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Diluar Pengadilan, yang di dalam lingkungan hidup yang terbaru, yaitu UU No.32/2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(UUPPLH), dinyatakan bahwa “Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup” (Pasal 85 Ayat 3). Mengkaitkan penanganan konflik lingkungan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan karena di dalam UUPPLH bagian penjelasan umum disebutkan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, diberlakukannya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi pada bidang hukum lain seperti (1) sanksi administrasi, dan (2) sanksi perdata, dan (3) alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian penggunaan hukum pidana dalam ketentuan undang-undang pengelolaan
264
lingkungan hidup merupakan “upaya terakhir” (ultimum remedium) sebagaimana terkandung di dalam asas subsidiaritas. Berdasarkan uraian tersebut sebelumnya, maka konsetualisasi Model Kelembagaan
Penanganan
Konflik
Lingkungan,
termasuk
mekanisme
pengaduan yang dikembangkan di dalam penelitian ini merujuk secara hirarkis kepada peraturan dan kebijakan Lingkungan Hidup khususnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Mediasi (di bidang pertanahan), dan Arbitrase. Selain itu, hal lainnya yang menjadi bahan pertimbangan adalah kenyataan bahwa berdasarkan latar belakang kelembagaan para pihak yang berkonflik, polarisasi konflik lingkungan dapat dipilah-pilah sebagai berikut: 1) Konflik antar-kelompok masyarakat. 2) Konflik antara masyararakat dengan swasta. 3) Konflik antara masyarakat dengan pemerintah 4) Konflik antar-lembaga swasta. 5) Konflik antara swasta dan lembaga pemerintah 6) Konflik antar-lembaga pemerintah. Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman menyiratkan bahwa objek perselisihan yang ranah penyelesaiannya melalui lembaga ini adalah objek-objek yang terkait dengan maladministrasi (yaitu perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan). Artinya polarisasi konflik yang menyeret lembaga pemerintah menjadi salah satu pihak terlapor, maka proses penyelesaian perselisihan tersebut dapat menjadi hal yang diurus oleh ORI (Ombudsman Republik Indonesia). Dengan demikian, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan juga dapat ditempuh melalui ORI (atau kantor ombudsman di daerah). Selain itu, di dalam UU PPLH, pemerintah telah memperluas siapa-siapa saja yang dapat melakukan mediasi, yaitu dengan menyertakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang minimal berpengalaman kerja selama 2 tahun di bidang lingkungan hidup dapat menjadi mediator sepanjang mereka memiliki tenaga mediator dan diminta oleh para pihak yang berkonflik. Lalu bagaimana halnya dengan pilihan ADR lainnya seperti konsiliasi dan fasilitasi? (Negosiasi dalam hal ini tidak dimasukan karena
265
pada
kondisi
tersebut
menyelesaikannya
semua
sendiri
pihak secara
yang
berkonflik
langsung
masih
melalui
mampu proses
perundingan/musyawarah). Pengembangan Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan juga mencakup sebuah mekanisme pengaduan dalam satu kesatuan. Agar kelembagaan yang memuat mekanisme pengaduan dan penanganan konflik cukup kredibel maka dalam rancangannya perlu memperhatikan enam prinsip dasar yang dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (CAO, 2008). Enam prinsip itu adalah sebagai berikut: 1) Legimate: Struktur tata kelola penyelenggaraan mekanisme harus jelas, transparan, dan cukup independen untuk menjamin agar proses pengelolaan pengaduan dapat menjamin setiap pihak yang berkoflik dapat diperlakukan secara adil dan setara tanpa peluang adanya intervensi dari pihak tertentu 2) Accessible: Mekanisme pengaduan semestinya dapat diketahui secara luas terutama oleh pihak-pihak yang kemungkinan berkepentingan untuk dapat mengaksesnya. Termasuk di dalamnya adalah tersedia cara untuk membantu mereka yang karena satu atau lain hal kemungkinan memiliki hambatan untuk mengaksesnya. Hambatan ini dapat disebabkan oleh faktor bahasa, kemampuan baca-tulis, kesadaran, keuangan, jarak, atau rasa takut akan adanya pembalasan dari pihak yang diadukan. 3) Predictable:
Mekanisme harus jelas dan prosedurnya diketahui dengan
adanya kejelasan waktu untuk setiap tahapnya, jelas untuk setiap tipe dari proses dan kejelasan dari outcome (keluaran hasil) yang dapat (ataupun tidak dapat) diberikan dan tersedianya cara yang jelas untuk memantau outcome. 4) Equitable: Mekanisme ini mestilah menjamin bahwa pihak yang mengadu mendapatkan akses yang cukup pada sumber informasi, advis, dan keahlian yang diperlukan agar dapat terlibat secara setara dan mendapatkan perlakukan adil dalam proses penyelesaian ketidaksepahaman. 5) Rights-compatible: mekanisme mestilah menjamin bahwa keluaran hasil dan penyelesaiannya sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional.
266
6) Transparent: mekanisme ini mestilah memastikan adanya transparansi dalam proses dan keluaran untuk memenuhi kebutuhan dan kepedulian publik dan mestilah
mengupayakan
sedapat
mungkin
prinsip
transparansi
ini.
Mekanisme yang melibatkan aktor bukan negara tidak dapat ditawarkan lagi harus lebih transparan terkait dengan penerimaan pengaduan dan elemenelemen kunci dalam keluaran hasilnya. 5.6.2.1 Konseptualisasi
Model
Kelembagaan
Penanganan
Konflik
Lingkungan Sebelum para pihak yang berkonflik masuk ke dalam sebuah proses ADR, terkait dengan keberadan peraturan dan perundangan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, para pihak perlu terlebih dahulu memastikan apakah konflik yang terjadi karena kasus maladministrasi atau bukan. Hal tersebut diperlukan agar para pihak memperoleh pelayan/bantuan dari pihak ketiga yang berkompeten. Apabila kasusnya adalah maladministrasi, maka penyelesaian perselisihan dapat didaftarkan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang memiliki mandat berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman. Setelah itu, barulah kemudian para pihak memasuki proses ADR didahului dengan penndaftaran pengaduan (Lihat Gambar 5.35). Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan sepertti terlihat pada Gambar 5.35 tersebut, terdiri dari beberapa tahapan umum sebagai berikut: 1. Registrasi dan Penerimaan Pengaduan Pada tahap ini harus tersedia sistem yang transparan dalam registrasi dan penerimaan pengaduan. Agar para pihak dapat mudah menyampaikan komplain maka pengaduan awal dapat dilakukan lewat berbagai cara (missal fax, surat dengan alamat P.O. Box khusus untuk menerima pengaduan, serta dapat juga lewat website/email yang khusus untuk pengaduan). Jika memungkinkan sebaiknya pengaduan disampaikan langsung. Untuk mengakomodir kepentingan mereka yang tidak dapat baca tulis maka pelapor/pengadu (complainant) dapat menunjuk orang yang mereka percaya untuk mewakili kepentingan mereka. Disini harus jelas, kewenangan apa saja yang bisa diperankan oleh wakil tersebut. Seluruh pengaduan yang masuk dicatat dan masing-masing diberi nomor registrasi. Setelah itu, disampaikan konfirmasi kepada pihak mengajukan komplain dilakukan lewat telpon, surat, atau pun email dengan menyebutkan nomor registrasinya. Nomor registrasi ini diperlukan pihak yang mengajukan
267
pengaduan untuk mengecek perjalanan registrasi kasusnya. Informasi tentang tata cara pengajuan pengaduan sepatutnya disebar-luaskan melalui media yang ada. Tentukan Lembaga Penyelesaian non-maladministrasi
maladministrasi
Lembaga Swadaya Masyarakat, Penyedia Jasa Mediasi, Tim Adhoc Sektoral, Arbiter
Ombudsman Republik Indonesia
Penerimaan dan Registrasi Pengaduan
Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian
Menentukan Keputusan Untuk Merespon Pengaduan
Pengaduan ditolak
Karena kasus pidana murni
Pengaduan Diputuskan Untuk Ditangani
Karena kasus tidak eligible
Tentukan Pendekatan
Pelaksanaan Pendekatan
Komunikasikan Keputusan
Selesai?
Tidak selesai?
Pemantauan Evaluasi, dan Pembelajaran
Menimbang ulang Pilihan Penyelesaian
LITIGASI
Mengulang ADR tetapi dengan Revisi
Gambar 5.35. Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan
268
2. Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian Dilakukan seleksi untuk mengklasifikasi/mengkodifikasi jenis-jenis atau tipe komplain yang diterima. Pengkajian dilakukan untuk menetapkan apakah konflik yang diadukan masuk dalam ruang lingkup mandat dari mekanime pengaduan serta apakah pihak pelapor dianggap eligible untuk mengajukan keberatan.
Selanjutnya dilakukan penentuan keputusan terhadap setiap
pengaduan yang masuk. 3. Keputusan untuk Merespon Pengaduan Semua keputusan terhadap proses dan langkah apa yang akan dilakukan terhadap setiap komplain harus dikomunikasikan kembali kepada pihak yang mengajukan komplain. Bila diputuskan karena satu dan lain hal pengaduan ditolak, maka penjelasan tentang alasannya perlu disampaikan secara rinci dan jelas. Informasi tentang keputusan, proses, dan tahapan dari setiap aduan dapat dicek oleh pihak pelapor setiap saat lewat media yang tersedia. 4. Menentukan Pendekatan dan mengimplementasikannya Untuk komplain yang diputuskan untuk ditangani lewat mekanisme penanganan sengketa, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membentuk tim untuk melakukan evaluasi terhadap komplain. Kegiatan ini intinya adalah melakukan proses klarifikasi atas persoalan dalam materi aduan, mengumpulkan informasi yang lebih lengkap tentang bagaimana pandangan berbagai pihak tentang situasi tersebut, dan mengidentifikasi bagaimana persoalan itu dapat diselesaikan. Penanganan materi aduan dapat dilakukan dengan memilih cara-cara sebagai berikut: (a). Penyelesaian dilakukan dengan membentuk tim bersama (joint-team) dimana pengadu dan pihak terlapor terlibat dalam dialog untuk memecahkan konflik secara bersama-sama; (b). Dengan mengundang pihak ke-tiga yang independen yang dapat membantu proses mediasi. Setidaknya ada empat proses yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan pendekatan ini : a. Pihak terlapor mengusulkan penyelesaiannya; b. Pelapor dan terlapor menentukan secara bersama-sama; c. Pelapor dan terlapor mengusulkan pihak ke-tiga yang independen untuk melakukan mediasi; d. Pelapor dan terlapor sepakat menggunakan proses penyelesaian secara adat istiadat setempat (CAO, 208). Tidak ada rumus baku untuk menentukan mana
269
cara yang paling tepat digunakan untuk setiap persoalan karena setiap masalah biasanya punya karakteristiknya sendiri. Sehingga dalam penanganan satu masalah salah satu atau bahkan dua dari tiga cara tersebut dapat dipilih baik digunakan secara bergantian maupun digunakan secara paralel untuk suatu aspek dalam masalah yang kompleks. Untuk itu kunci utamanya adalah kemampuan untuk mengkaji akar persoalan dan memilah-milahnya secara tepat untuk menentukan mana pendekatan yang tepat digunakan untuk setiap aspek dari persoalan. Terkait dengan membangun kesepakatan dengan menggunakan proses penyelesaian secara adat istiadat setempat, ketika kesepakatan tersebut mengani hak-hak tertentu, maka yang perlu diperhatikan adalah perbedaan kekhasan antara hak positif dan hak normatif (Stone, 2001). Penyelesaian secara adat biasanya lebih mengedepankan hak-hak normatif, sehingga dalam hal ini penggunaan peraturan dan perundangan secara kaku sebagai dasar pertimbangan penyelesaian perselisihan sebaiknya dihindari, terutama konflik perdata, administrasi, dan kebijakan. Tabel 5.6.2 Perbedaan antara Hak Positif dan Hak Normatif (Stone, 2001) Hak Positif
Hak Normatif
•
Hak adalah sesuatu yang bisa diklaim kembali oleh kekuasaan negara.
•
•
Hak berasal dari kekuasaan pemerintah
•
•
Orang dapat memiliki hak hanya kepada hal-hal yang mereka klaim dan untuk mana negara mendukung mereka.
•
Hak adalah apapun yang mampu dilakukan, dimiliki, atau diharapkan oleh seseorang dalam suatu masyarakat tertentu yang berasal dari sesama warga negara dan dari pemerintah. Hak berasal dari beberapa sumber lain selain kekuasaan, misalnya dari moralitas, agama, rasionalitas, atau hukum alam. Orang dapat memiliki hak untuk hal-hal yang secara aktif tidak mereka klaim, dan untuk mana negara tidak mendukung mereka.
5. Melakukan Pendokumentasian dan Penelusuran Setiap langkah-langkah penanganan komplain dan konflik serta apapun hasilnya perlu secara rinci terdokumentasi dan disimpan dengan rapih. Semua kesepakatan penyelesaian yang dicapai oleh pihak yang berkonflik harus tercatat dengan baik. Sehingga mereka dan tim evaluasi dapat setiap saat melakukan
270
penelusuran tentang proses penanganan perselisihan atau komplain untuk setiap kasus yang masuk. 6. Evaluasi, Monitoring, dan Pembelajaran Evaluasi dan monitoring perlu secara berkala dilakukan untuk mengetahui apakah kesepakatan penyelesaian yang dicapai oleh para pihak telah dipenuhi, terutama oleh pihak penyepakat yang berkewajiban untuk itu. Apakah kesepakatan juga telah dilakukan dengan sesuai dengan prosedur dan sejalan dengan prinsip-prinsip dasar dari mekanisme pengaduan. Hasil ini tidak saja berguna baik pihak penyepakat dan pihak-pihak terkait lainnya, tapi juga diperlukan sebagai umpan balik bagi penyempurnaan proses dan prosedur dari mekanisme pengaduan dan penanganan konflik yang dipergunakan. Melengkapi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan, diperlukan berbagai prosedur penilaian (assessment) dan alat analisis yang dipergunakan di setiap tahap di dalam model tersebut. Sejauh ini, dari UUPPLH, UU Ombudsman, UU Arbitrase, dan peraturan tentang Mediasi, belum tersedia prosedur dan alat analisis, baik baku maupun pilihan, yang bisa dijadikan sebagai bahan rujukan. Beberapa Prosedur Penilaian (assessment) dan Alat Analisis yang Perlu dipersiapkan tersebut diantaranya (CAO, 2008): •
Prosedur
Assessment
(siapa
yang
melakukan
assessment
dan
bagaimana cara melakukannya) •
Prosedur untuk menentukan siapa individu di pihak terlapor yang paling tepat
untuk
diminta
menangani
complain
yang
terkait
dengan
kewenangannya •
Prosedur untuk menentukan apa langkah penanganan perselisihan yang paling tepat untuk suatu komplain yang dilaporkan (dengan juga berkonsultuasi dengan pihak pelapor)
•
Prosedur untuk membuat keputusan tentang usulan kesepakatan penyelesaian masalah (termasuk misalnya penyelesaian ganti rugi dan kompensasi)
•
Prosedur tentang kerangka waktu yang tepat untuk setiap langkah dari proses penanganan pengaduan (termasuk waktu untuk pemilihan ADR, screening pengaduan, assessment, dan resolusi)
•
Prosedur tentang penjelasan tentang eligibility, hasil assessment, usulan penyelesaian dan hal lainnya yang dianggap perlu
271
5.6.2.2 Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan.
Penting untuk dikaji berikutnya adalah bagaimana peluang aplikasi Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan dalam penyelesaian konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung dikaitkan dengan kebijakan yang ada, terutama dikaitkan dengan peluang kebijakan yang ada sebagai prakondisi penentu depat terlaksananya model kelembagaan tersebut. Setidaknya kajian ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, diantaranya yaitu: 1. Demokrasi dan hak untuk bersuara. Dalam hal ini, semua pihak pelapor memiliki hak untuk menyampaikan aspirasinya (right to voice) atas semua ketidak puasan atau konflik yang dirasakan tanpa perasaan takut. Demikian pula sebaliknya pihak terlapor memilik hak untuk memberikan tanggapan. Akan halnya tipologi konflik yang terjadi antara mayarakat/swasta terhadap pemerintah, maka demokrasi dan hak untuk bersuara merupakan spirit dalam menghadapi tantangan (barier) ketika konflik yang terjadi memiliki kekhasan adanya hegemoni Negara yang kerapkali prinsip-prinsip impartial sulit ditegakkan.
Undang-Undang No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dapat menjadi alas hukum yang menjamin hak bagi setiap warga Indonesia untuk bersuara. 2. Hak untuk memperoleh informasi. Transparansi merupakan salah satu kunci
utama agar penyelesaian konflik dapat terselenggara. Transparansi penting bagi sebuah upaya penyelesaian konflik. Tanpa adanya transparansi (keterbukan) terhadap akses informasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk sumbersaya hutan, maka akan sulit dibangun kerangka penyelesaian bagi sebuah konflik. Undang-undang No.14 Tahun 2008
tentang
Keterbukaan
Informasi
Publik
menjamin
bahwa
hak
memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan Negara yang baik 3. Penyelesain konflik adalah bagian dari Pelayanan Publik yang harus disediakan oleh pemerintah. Dalam Undang-undang No.25 Tahun 2009 tersebut, setiap penyelenggara pemerintahan (bahkan termasuk didalamnya adalah BUMN) diwajibkan untuk membangun mekanisme untuk mengelola
272
pengaduan. Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan bagi sebuah lembaga pemerintah untuk tidak membangun kelembagaan pengaduan dan penanganan konflik atas sebuah kewenangan yang diberikan kepadanya. Undang-undang ini penting untuk diselenggarakan oleh instansi sektoral. Bahkan Menteri Penertiban Aparatur Negara teah memerintahkan semua lembaga pemerintah untuk membuat mekanisme pengaduan.
5.6.2.3 Umpan Balik Terhadap Kebijakan-kebijakan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Pada dasarnya, penelitian yang dilakukan ini adalah sebuah peniltian empiris beranjak dari realita konflik yang terjadi di lapang. Realita tersebut termasuk pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penanganan konflik lingkungan. Menurut Hempel (1996), beberapa pelaksanaan kebijakan memberikan implikasi yuridis berupa: 1) Kebijakan tetap dilaksanakan dengan justifikasi, misalnya dengan menambah beberapa kebijakan turunan sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi regulatif kebijakan induk. 2) Dilakukan penyesuaian ulang (reformulasi) dan reformasi kebijakan, terutama jika terdapat sebagian dari materi kebijakan yang tidak mampu menjawab permasalahan. 3) Kebijakan dihentikan dan memulainya dari tahap awal kembali, terutama ketika kebijakan tersebut secara menyeluruh tidak dapat difungsikan sebagai regulatory instrument. Dari undang-undang dan peraturan penanganan konflik lingkungan yang diatur di dalam UUPPLH, UU Kehutanan, UU Ombudsman, UU Arbitrase dan perturan Mediasi (pertanahan khususnya), penangan konflik merupakan salah satu unsur batang tubuh kebijakan tersebut, sehingga apabila diperlukan penyempurnaan unsur/pasal yang mengatur penyelesaian konflik ridak mengharuskan seluruh substansi batang tubuh dibatalkan. Merujuk kepada pemikiran Hempel (1996), maka tindakan yuridis material yang perlu dilakukan adalah sebatas reformulasi kebijakan dan/atau melakukan justifikasi melalui formulasi kebijakan turunan terhadap kebijakan induknya. Di dalam penanganan konflik lingkungan di kawasan hutan, Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang lingkungan hidup
273
dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Tetapi dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas (asas yang menyatakan bahwa hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir). Undang-undang kehutanan tidak menganut asas subsidiaritas dalam penggunakan instrumen hukum pidana untuk penyelesaian perkara pidana di bidang kehutanan, undang-undang kehutanan juga tidak mengatur mekanisme proses perkara pidana tersendiri, oleh karena itu proses perkara pidana pengangkutan hasil hutan kayu secara ilegal misalnya diselenggarakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada “undang-undang tertentu”, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang Kehutanan adalah salah satu yang dimaksud sebagai “undang-undang tertentu” tersebut. Permasalahan di lapangan adalah apabila aktifitas illegal logging tersebut misalnya adalah implikasi dari sebuah kasus beli tentang tidak jelasnya status lahan kawasan atau tumpang tindih klaim lahan atas sebuah kawasan? Pada kondisi demikian, UU Kehutanan perlu ditinjau kembali khususnya terkait dengan penerapan asas subsidiaritas pada kasus-kasus yang terlanjur “dipidanakan” padahal kasus belie nya terjadi karena kegagalan kebijakan kehutanan. Dalam kasus konflik, untuk ketenangan publik, hukum harus memberikan perlindungan substansial bagi seseorang atau sekelompok orang (Stone, 2001).
VI. KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan untuk menjawab tujuan dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa/konflik lingkungan secara eksplisit diatur di dalam Undang-Undang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana penyelesaiannya dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: melalui jalur pengadilan dan jalur diluar pengadilan. Khusus mekanisme di luar jalur pengadilan, diperkuat oleh PP No.54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Di dalam UU Kehutanan menyebutkan, bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Keduanya UUPPLH dan UU Kehutanan menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pelanggaran pidana, namun demikian dalam pelaksanaannya UUPPLH mengedepankan asas subsidiaris. Turunan UUPA tidak ada yang secara tegas menyatakan bagaimana sengketa lingkungan, khususnya sumberdaya lahan, di dalam kawasan hutan diselesaikan melalui kedua cara tersebut. Namun demikian, dalam rangka penanganan sengketa /konflik pertanahan, BPN mengeluarkan Petunjuk Teknis No. 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. Hingga saat ini belum ada contoh kasus penanganan sengketa lahan di dalam kawasan yang menggunakan juknis tersebut. Di dalam Undang-undang Penataan Ruang, pengaturan penyelesaian konflik penataan ruang sedikit sekali disinggung. UU ini hanya menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa
penataan
ruang
pada
tahap
pertama
diupayakan
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat, apa bila tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan
atau
di
luar
pengadilan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan. Hingga saat ini belum ada turunan kebijakan yang mengatur tentang itu.
275
Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
penyelesaian
sengketa/konflik
mengandung
makna
bahwa
yang
diselesaikan lebih pada perselisihan kewenangan antar tataran pemerintah dan/atau lembaga pemerintah. Di dalam Undang-undang Pelayanan Publik dinyatakan bahwa setiap penyelenggara pemerintahan (bahkan termasuk didalamnya adalah BUMN) diwajibkan untuk membangun mekanisme untuk mengelola pengaduan. Amanat
penyelesaian
konflik
lingkungan
tidak
secara
konsisten
ditindaklanjuti kedalam turunan kebijakan. Dari kelima kebijakan yang dikaji, hanya turnan UUPPLH dan UUPA yang mengatur penyelesain konflik termasuk caracaranya seperti fasilitasi, mediasi, arbitrase, dan lain-lain. Pelaksanaan
penyelesaian
konflik
lingkungan
di
daerah
penelitian,
khususnya penyelesaian di luar pengadilan, tidak ada satupun yang ditempuh melalui kebijakan tersebut di atas. Hal tersebut disebabkan oleh belum tersedianya mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik di daerah. Di samping itu, karena masih lemahnya sosialisasi Undang-Undang yang telah dihasilkan tersebut, sejauh ini masyarakat menyampaikan tuntutannya melalui DPRD atau dengan difasilitasi oleh LSM sehingga masyarakat bisa berdialog dengan lembaga pemerintah. Sebelum tahun 2000 sebanyak dua kali masyarakat mencoba mencari penyelesaian melalui DPRD, namun tidak menghasilkan solusi apapun. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konflik dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, dapat disimpulkan bahwa . •
Pada submodel eksternalitas, peubah bencana alam antropogenik (X1) berpengaruh negatif sebesar 0,058 dan merupakan akar konflik yang paling tinggi mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan (X6) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Bencana alam antropogenik diukur dari ragam bencana akibat ulah manusia yang pernah dihadapi responden dalam mengolah lahan garapan mereka di luar kawasan. Di dalam penelitian ini, bencana-bencana tersebut adalah: (1) kebakaran hutan, (2) erosi dan longsor, (3) banjir dan penggenangan, dan (4) serangan penyakit dan hama tanaman. Berpengaruh negatif menunjukkan bahwa semakin beragam bencana yang mereka hadapi di luar kawasan, maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin rendah.
276
Hubungan terbalik tersebut dapat ditafsirkan bahwa responden memiliki perhitungan kehawatiran akan terjadinya bencana serupa jika membuka lahan dan bertani di dalam kawasan hutan. Rendah tingginya motivasi responden dalam mengkonversi lahan dicerminkan oleh ragam motivasi yang dimiliki responden. •
Pada sub model persepsi dan ketimpangan struktural, terdapat dua persamaan jalur secara paralel, yang pertama yaitu sub-model ketimpangan struktural yang ditujukan untuk mengukur tingkat ordinasi responden (X10) yang berdasarkan hasil analisis terbesar dipengaruhi positif oleh oleh tingkat kesejahteraan sosial
responden
(X8)
sebesar
0,18.
Artinya
semakin
tinggi
tingkat
kesejahteraan sosial responden maka akan semakin tinggi pula tingkat ordinasi responden. Persamaan kedua di dalam sub model persepsi dan ketimpangan struktural adalah sub-model persepsi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa
peubah eksogen kosmopolitansi responden (X18) memiliki nilai koefisien jalur yang paling tinggi dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,41 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), 0,36 terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan 0,36 terhadap persepsi tentang
desentralisasi
pengelolaan
kawasan
hutan
(X14).
Hal
tersbut
menunjukkan bahwa semakin kosmopolitan responden, maka semakin baik persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Pada tahap selanjutnya, sub-model Persepsi dan Ketimpangan Struktural kemudian dibangun dengan memadukan persamaan (22) dan (23) serta dengan penambahan peubah eksogen baru yaitu peubah tindakan represif oleh pemerintah (X11). Berdasarkan hasil analisa jalur, dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) memiliki koefisien jalur tertinggi dan berpengaruh positif terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) yaitu sebesar 0,25. Oleh karenanya dapat ditafsirkan bahwa semakin baik persepsi responden tentang status dan fungsi lingkungan kawasan hutan maka semakin intensif keterlibatan mereka di dalam peristiwa-peristiwa dialog dan negosiasi. •
Pada Submodel Kelangkaan, berdasarkan hasil analisis jalur, peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20) memiliki
277
pengaruh positif 0,31 terhadap peubah akibat persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan (X22) dan merupakan koefisien jalur tertinggi dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya. Artinya, semakin lemah atau semakin tidak jelas status kepemilikan lahan pertanian responden di luar kawasan, maka persepsi kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan semakin tinggi. Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh fakta bahwa sebesar 36 persen responden tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan, sisanya surat kepemilikan tanah tidak kuat. •
Pada Submodel Etik Lingkungan, peubah etik ekosentrik (X24) memiliki koefisien jalur terbesar dan berpengaruh positif 0.073 terhadap peubah etik lingkungan (X25). Artinya semakin tinggi keyakinan responden terhadap paham ekosentris, semakin baik etik lingkungan yang dimanifestasikan oleh responden dalam mengelola lahan garapannya.
•
Pada Submodel Eskalasi Konflik, eskalasi konflik dibangun dari gabungan persamaan jalur beberapa sub-model sebelumnya yaitu sub-model eksternalitas, sub-model persepsi dan ketimpangan struktural, sub-model kelangkaan, dan sub-model etik lingkungan. Berdasarkan hasil analisis jalur, peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) adalah peubah yang paling kuat mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik (X26) yaitu berpengaruh positif sebesar 0,37. Semakin tinggi motivasi responden mengkonversi lahan kawasan semakin eskalatif konflik yang terjadi.
Eskalasi konflik diukur dengan peningkatan ketegangan karena
perbedaan kepentingan dan keselarasan perilaku (gaya mengelol konflik) antar pihak, yang dimulai dari situasi tanpa konflik, potensi konflik, konflik laten, konflik permukaan, hingga menjadi konflik terbuka. Kebaikan model ditunjukkan sejauh mana kesesuaian model dengan data yang digunakan. Untuk kepentingan tersebut, dilakukan analisis penelitian ini menggunakan analisis Goodness of Fit Index (GFI) guna menilai kesesuaian model dengan data yang dipergunakan, dan diperoleh nilai GFI 0,83. Dalam penelitian ilmu sosial nilai GFI minimal 0,80 sudah cukup untuk menyatakan bahwa model sudah baik dan model sesuai dengan data yang dipergunakan.
278
Selain GFI, kebaikan model juga dianalisis dengan Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) khusunya untuk menilai kebaikan struktur model. Model yang dipergunakan di dalam penelitian ini memiliki nilai AGFI sebesar 0.63. Berdasarkan hasil hasil analisis gaya mengelola konflik dapat disimpulkan bahwa: •
Pada konflik status lahan, para pihak yang akan bersikap kolaboratif adalah (1) pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang, dan (2) pihak kabupaten. Kedua pihak tersebut memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 5,44 dan 5,31 atau dapat dinyatakan bahwa pihak LSM-perguruan tinggi-litbang bersikap lebih kolaboratif dari pihak kabupaten. Para pihak yang akan bersikap kompromi adalah (1) pihak masyarakat yang bertani di dalam kawasan, dan (2) pihak kecamatan-pekon yang memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 4,29 dan 4,23 atau pihak masyarakat lebih kompromistis dari pada pihak kecamatan-pekon.
•
Pada kasus konflik tata batas kawasan kutan, hanya pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang yang bersikap kolaboratif (ditunjukkan oleh nilai tengah sebesar 5,51) dan menyatakan bahwa dalam menghadapi konflik tata batas kawasan hutan, mereka akan membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama. Sementara ketiga pihak lainnya menunjukkan sikap kompomi dengan nilai tengah masingmasing yaitu pihak kabupaten sebesar 4,86, pihak kecamatan-pekon sebesar 4,48, dan pihak masyarakat sebesar 4,24. Fakta bahwa pihak kabupaten bersikap kompromi diduga merupakan bagian dari langkah “kehati-hatian” mereka menyangkut keutuhan tata batas kawasan yang apabila “temu gelang” patok tata batas kawasan bisa dipertahankan maka luas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan tetap 8295 hektar.
•
Pada konflik hak akses masyarakat terhadap pemanfaatan lahan dalam kawasan hutan, diperoleh fakta bahwa semua pihak bersikap kolaboratif dengan nilai tengah masing-masing yaitu pihak kabupaten sebesar 5,37, pihak kecamatan-pekon sebesar 5,21, pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang sebesar 5,06, dan pihak masyarakat sebesar 5,04.
279
Walaupun secara statistik terdapat perbedaan nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing pihak, besarnya nilai tengah pada semua konflik yang diuji (status, tata batas, dan hak akses) masih berkisar antara 4,23 hingga 5,51. Artinya semua pihak bersikap ingin mengelola konflik baik secara kompromi atau kolaborasi. Kedua gaya tersebut sudah dapat dipergunakan sebagai petunjuk awal untuk dilakukannya penyelesaian-penyelesaian konflik konstruktif melalui perundingan baik berupa dialog, negosiasi dan bentuk-bentuk penyelesaian konflik alternatif lainnya. Berdasarkan hasil analisis kebersediaan responden dan preferensi bentuk perundingan, dapat disimpulkan bahwa: •
Sebesar 68,3 persen responden menyatakan akan hadir langsung termasuk di dalamnya adalah Ketua DPRD Kabupaten Lampung Barat dan sebesar 17,1 persen akan diwakili oleh anggota lembaga/kelompoknya. Sebesar 9,8 persen menyatakan tidak akan hadir dengan alasan mereka sudah berapa kali berdialog namun tidak pernah ada penyelesaian yang dihasilkan..
•
Hasil
wawancara
menunjukkan
bahwa,
preferensi
para
pihak
untuk
menyelesaikan konflik yang paling tinggi adalah dengan cara bernegosiasi yaitu sebesar 58,5 persen untuk konflik status lahan, 46,3 persen untuk konflik tata batas, dan 56,1 persen untuk konflik hak akses. Sedangkan cara fasilitasi adalah merupakan preferensi yang kedua yaitu konflik status lahan sebesar 26,8 persen, konflik tata batas sebesar 22 persen, dan konflik hak akses sebesar 29,3 persen. •
Dalam persentase yang relatif kecil, ada preferensi responden yang memilih penyelesaian konflik status lahan dan konflik tata batas diselesaikan melalui arbitrase, yaitu masing-masing sebesar 2,4 persen dan 4,9 persen. Mereka adalah masyarakat petani dan LSM dedngan alas an yaitu selama ini sudah sering dilakukan upaya penyelesaian konflik status dan tata batas melalui perundingan ataupun berupa dialog, namun tidak ada keputusan yang berkekuatan mengikat semua pihak agar hasil kesepakatan dialog dilaksanakan.
•
Tingginya preferensi para pihak untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan fasilitasi, cukup untuk dijadikan landasan yang kuat dalam pengambilan keputusan untuk memenuhi tujuan keempat penelitian ini yaitu mengembangkan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif. Untuk tujuan tersebut,
280
75,6 persen responden menyatakan bersedia untuk hadir, dan sebesar 14,6 persen menyatakan ragu-ragu. Keragu-raguan dalam menjawab karena kehadirannya mungkin akan diwakilkan, atau akan hadir pada hari pertama dan hari berikutnya diteruskan oleh wakilnya. Berdasarkan hasil Semiloka Pengembangan Model Kognitif Penyelesaian Konflik Konflik Status Lahan; Kasus Status Wilayah Pekon (Desa) Sukapura Yang Berada di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, dapat disimpulkan bahwa: •
Dalam analisis rekonstruksi masalah konflik status lahan, ketika bagan rekonstruksi pohon masalah disandingkan dengan alur model faktor-faktor yang menyebabkan konflik lingkungan seperti telah diuraikan dalam analisis sebelumnya, diperoleh beberapa kesamaan faktor penyebab diantaranya, kelangkaan lahan, demikina
dapat
status lahan, dan pendapatan rumah tangga. Dengan disimpulkan
adanya
keserupaan
sistem
berpikir
yang
dikembangkan antara model yang dibangun secara hard system analysis dengan model pohon masalah yang dibangun secara soft system analysis. •
Dalam analisis faktor pemacu konflik, disimpulkan: •
Berdasarkan analisis faktor pemacu dan peredam, diperoleh beberapa faktor yang memacu terjadinya konflik status lahan di Pekon Sukapura yaitu: Faktor-faktor yang amat kuat (skor=5) memacu konflik adalah adanya reformasi, biaya hidup semakin tinggi, keinginan masyarakat untuk meningkatkan status lahan, dan pertambahan jumlah penduduk.
•
Faktor-faktor yang kuat (skor=4) memacu konflik adalah alternatif mata pencaharian sangat terbatas, nilai ekonomi lahan tinggi, dan adanya advokasi/pendampingan masyarakat.
•
Faktor-faktor yang berkekuatan sedang (skor=3) memacu konflik adalah terjadinya rawan bencana alam akibat kerusakan hutan dan adanya upaya penertiban oleh pemerintah secara represif.
•
Faktor pemacu yang lemah (skor=2) adalah adanya tanaman tumpangsari di dalam kawasan hutan.
281
•
Berdasarkan hasil analisis rentang waktu oleh para pihak, diperoleh 26 peristiwa penting yang berkaitan dengan konflik yang terjadi. Beberapa peristiwa yang menjadi perdebatan panjang yaitu:: •
Pengwajiban IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) pada tahun 1952 dianggap oleh masyarakat sebagai pengakuan langsung atas penguasaan mereka atas lahan yang mereka tempati di dalam kawasan hutan.
•
Penurunan masyarakat pada tahun 1994/1995 dengan Operasi Gajah merupakan tindakan represif sepihak oleh pemerintah tanpa melihat asalusul penguasaan lahan oleh masyarakat.
•
Pembukaan dan pendudukan lahan di areal Hutan Pinus pada tahun 1999 yang disinyalir diantara pelakunya adalah pejabat pemerintah kabupaten merupakan bentuk diskriminasi terhadap masyarakat.
•
Berdasarkan hasil analisis profil dengan melihat kombinasi kekuatan, kepentingan, dan legitimasi para pihak, diperoleh beberapa tingkat kekhasan para pihak dalam sengketa status lahan yaitu: •
Kekhasan Tingkat 1: Adalah kelompok dominan yang mempunyai kekuatan yang sangat kuat, kepentingan terpengaruh, dan legitimasi tinggi. Mereka adalah Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1), Badan Planologi Departemen Kehutanan (3), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5), dan Peratin Pekon Sukapura (8).
•
Kekhasan Tingkat 2: Adalah kelompok berpengaruh yang mempunyai kekuatan yang sangat kuat, legitimasi tinggi, namun kepentingan tidak terpengaruh. Mereka adalah LSM Watala (4) dan BPLH Lampung Barat (6).
•
Kekhasan Tingkat 3: Adalah kelompok rentan yang tidak mempunyai kekuatan atau sangat lemah, kepentingan terpengaruh, dan legitimasi/klaim tinggi atau diakui. Mereka adalah Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2) dan masyarakat Pekon Sukapura (10).
•
Kekhasan Tingkat 4: Adalah kelompok berperhatian yaitu mereka yang memiliki
power
sangat
lemah,
kepentingan
terpengaruh,
namun
legitimasi/klaim tidak diakui. Mereka adalah Kantor Kecamatan Sumberjaya (7), Kantor BPN Lampung Barat (9), dan Universitas Lampung (11).
282
•
Berdasarkan analisis hubungan antara yang kuat dan lemah, dapat disimpulkan pihak-pihak mana saja yang berpotensi dapat bekerjasama dan siapa saja yang berpotensi untuk berkonflik.
•
Berdasarkan hasil analisis mengurai skenario ideal penyelesaian konflik status lahan, disimpulkan bahwa ada 4 skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura dengan peringkat masing-masing yaitu yaitu: 1) Peringkat 1: Pelepasan kawasan hutan seluas 302,5 dengan nilai sekor 9. 2) Peringkat 2: Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 6,4. 3) Peringkat 3: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 6. 4) Peringkat 4: Relokasi penduduk dengan nilai sekor 1,2.
•
Berdasarkan analisis memilih skenario ideal penyelesaian konflik status lahan dengan menamabah parameter biaya, waktu, ketersedian SMD dan keberlanjutan dukungan, disimpulkan bahwa Pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur adalah peringkat pertama darisemua skenarion yang ada.
•
Berdasarkan hasil analisis dukungan terhadap skenario ideal penyelesaian konflik status lahan, dapat disimpulkna bahwa pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur berada pada peringkat ke 1 dengan nilai sekor 23. Dari keseluruhan penelitian yang dilakukan, semua alat analisis yang
dilakukan dapat dipergunakan sebagai komonen pembangunan model analisis penanganan konflik (Gambar 3.54). Model analisis tersebut amat penting sebagai alat bantu penilaian (assessment) atas sebuah perselisihan/konflik dan upaya penyelesaiannya. Selain sebagai alat bantu peniliaan, rangkaian analisis dapat membantu para pihak dalam memutuskan dan mengukur dukungan atas kesepatan penyelesaian konflik yang dicapai. Selain model analisis, juka dikembangkan model kelembagaan penanganan konflik lingkungan (Gambar 5.35). Model ini terdiri dari berbagai tahap yaitu: (1) Registrasi dan Penerimaan Pengaduan, (2) Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian, (3) . Keputusan untuk Merespon Pengaduan, (4) Menentukan Pendekatan dan mengimplementasikannya, (5) Melakukan Pendokumentasian dan Penelusuran, dan (6) Evaluasi, Monitoring, dan Pembelajaran. Aplikasi model tersebut mensyaratkan beberapa prakondisi diantarnya: (1) terjaminnya pelaksanaan demokrasi dan hak untuk bersuara, (2) terjaminnya kebebasan informasi publik dalam rangka
283
mewujudkan transparansi yang menjadi faktor penting konflik dapat diselesaikan, dan (3) mekanisme pengaduan oleh yang dijamin keberadaannya oleh pemerintah sebagai bagian dari pelayanan publik.
6.2 Saran
Sebagai tindak lanjut
kajian kebijakan UUPPLH, dan Undang-undang
Pelayanan Publik, di daerah perlu dikembangkan sebuah kelembagaan dan mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa diluar pengadialan yang netral dan independen dan bisa di akses oleh masyarakat.
Kelembagaan tersebut
sebaiknya berada di tingkat desa/kelurahan, dan/atau berjenjang ke tingkat kabupaten, propinsi, hingga nasional sesuai dengan kewenangan regulatory atas subjek dan objek konflik yang dihadapi. Pemerintah Daerah dengan kewenangan atributis yang dimilikinya seperti diatur di dalam UU No.32 Tahun 2004, berhak dan wajib membentuk kelembagaan tersebut dan payung kebijakkannya bisa dalam bentuk Perda. Kelembagaan juga bisa dikembangkan di tingkat KPH (Kesatuan Pemangku Hutan). Apabila kelembagaan tersebut disediakan oleh suatu unit kerja pemerintah atau satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), yang harus menjadi perhatian adalah azas netralitas dari lembaga/satuan kerja tersebut, terutama ketika lembaga pemerintah menjadi salah satu pihak yang berkonflik di dalamnya. Yang tak kalah penting juga adalah, penguatan penafsiran terhadap UU Kehutanan sehingga asas subsidiaritas dipergunakan dalam kasus konflik yang kemudian dipidanakan. Dalam pengelolaan konflik, penyelesaian disarankan dilakukan secara ordorial dengan mengembangkan resolusi konflik pada akar konflik yang paling sensitif/berpengaruh.
Berdasarkan
hasil
analisis
model
faktor-faktor
yang
mempengaruhi konflik lingkungan di Kawasan Hutan lindung Register 45B Bukit Rigis, maka upaya de-eskalasi konflik di kawasan ini disarankan dengan terlebih dahulu mengembangkan resolusi terhadap akar konflik
(peubah) keputusan
konversi lahan kawasan oleh responden. Hal tini dapat ditempuh melalui: 1) Pemberian hak atau ijin akses kepada masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan diyakini dapat mendeskalasi konflik. Dalam pidato politiknya tahun 2000 di hadapan DPRD Propinsi Lampung,
Gubernur Lampung
menyatakan bahwa “jangan berharap hutan akan lestari jika masyarakat tidak
284
memperoleh manfaat darinya”. Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis saat ini ada sekitar 2000 KK yang bermukim/bergubug di dalamnya, tentunya suatu hal yang beresiko untuk mengusir mereka mengingat biaya sosial yang ditimbulkan amat tinggi. Mengijinkan mereka untuk tetap merawat kebun kopinya sekaligus menjaga fungsi hutan lindung dapat menjadi kebijakan yang secara berkelanjutan mendorong deskalasi konflik akses lahan di dalam kawasan hutan di lokasi penelitian ini. Untuk melaksanakan ini, perlu didukung dengan sistem zonasi pemenfaatan kawasan hutan lindung tersebut serta penerapan manajemen konservasi lahan dan agroforestri sistem multi tajuk. 2) Mereka yang memperoleh hak akses merupakan aset sosial untuk menjaga hutan yang masih tersisa sekaligus berpartisipasi dalam reforestasi areal-areal yang secara fisik diklasifikasikan sebaga areal perlindungan, sehingga tidak terjadi perluasan areal konversi. Kedua upaya tersebut, disarankan perlu dilengkapi dengan upaya mereduksi pengaruh pasar, diantaranya: a. Pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benarbenar tidak mengganggu fungsi kawasan sesuai peruntukannya. b. Sebagai pelaku pasar, para pembeli dihimbau untuk berperan serta mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam kawasan. Dana itu bisa diambil dari hasil penerimaan retribusi yang dibebankan oleh AEKI, yaitu sebanyak Rp. 50,- untuk pembelian setiap 1 kilogram kopi rakyat. Sebelum suatu upaya resolusi konflik dilaksanakan, disarankan terlebih dahulu dilakukan: 1) Pemetaan akar konflik, para pihak yang berkonflik, dan polarisasi perbedaan kepentingan yang terjadi. 2) Mengetahui gaya para pihak dalam mengelola konflik sehingga prefersni cara penyelesaian dapat dilakukan secara tepat apakah mediasi, negosiasi, fasilisasi, dan lain-lain. 3) Mengetahui keinginan dan komitmen para pihak untuk menyelesaikan secara kolaboratif dan bertemu langsung.
285
Upaya penyelesaian konflik di luar pengadilan merupakan suatu peluang bagi masyarakat dalam menyempaikan klaim-klaim yang memerlukan penyelesaian oleh para pihak terkait. Dari peraturan dan perundangan yang ada, sejauh ini bagaimana upaya tersebut dilakukan baru sebatas penyedian prosedur secara umum dan belum ada juknis (metodelogi, alat penilaian/assessment) sepesifik yang bisa membantu. Model kognitif penyelesaian konflik denga metode SAS dapat menjadi seperangkat alat yang disarankan untuk dipergunakan. Terkait dengan penanganan konflik lingkungan di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis, dan dalam rangka melengkapi hasil analisis model kognitif penyelesaian konflik status lahan kawasan, disarankan untuk dilakukan analisis serupa kada kasus konflik tata batas dan konflik akses sehingga upaya resolusi konflik lingkungan yang akan dilakukan bisa lebih komprehensif.
286
DAFTAR PUSTAKA
(Bappeda) Badan Perencanaa Pembangunan Daerah Propinsi Lampung dan ICRAF. 2003. Studi Tindak Pembaikan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Propinsi Lampung. Bandar Lampung. (BPDAS) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih - Way Sekampung. 2002. Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Lampung. (BPS)
Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. 2005. Lampung Dalam Angka. Bandar Lampung.
(CAO)
Compliance Advisory Ombudsman. 2008. A Guide to Designing and Implementing Grievance Mechanisms for Development Projects. The Office of the Compliance Advisor/Ombudsman. Washington DC.
(CRMP) Coastal Resources Management Project. 1999. Atlas Sumber Daya Pesisir. US-AID – Propinsi Lampung. Bandar Lampung. (Dephut) Departemen Kehutanan (2002). Rekalkulasi Areal Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi. Pusat Perpetaan Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. (Dephut) Departemen Kehutanan dan FAO. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume 2. (Dephutbun) Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Pembangunan Hutan Berkelanjutan; Cerminan iman dan takwa. Jakarta. (Dephutbun) Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2001a. Program Kehutanan Nasional. Makalah. Lokakarya I Kajian Perencanaan dan Kebijakan Kehutanan Tangal 23-24 Oktober 2001 di Bogor. (Dephutbun) Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2001b. Isu-Isu Pokok Yang Diidentifikasikan Oleh Pokja NFP Dephut Untuk Menyusun Pernyataan Kesepakatan Hutan Nasional Melalui Partisipasi MultiStakeholders. Makalah. Pusren Dephutbun. Lokakarya I Kajian Perencanaan dan Kebijakan Kehutanan Tangal 23-24 Oktober 2001 di Bogor. (KLH) Kementerian Lingkungan Hidup. 1995. Agenda 21 Indonesia. Jakarta. (LATIN) Lembaga Alam Tropica Indonesia. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin. Bogor.
287 (WALHI) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2001. Hutan Hancur, Moratorium Manjur; Usulan proses pelaksanaan komitmen pemerintah Indonesia untuk penyelamatan hutan tropis Indonesia yang tersisa. Makalah. Lokakarya I Kajian Perencanaan dan Kebijakan Kehutanan Tangal 2324 Oktober 2001 di Bogor. Andi Hamzah. 2005, Penegakan Hukum Lingkungan. Cetakan pertama. Sinar Grafika, Jakarta. Agustino, L. 2001. Kekerasan dan Pengendalian Konflik. Jurnal Analisis CSIS tentang Konflik Sosial; Tantangan Domestik dan Global. Tahun XXX/2001. No.3. CSIS. Jakarta. Andi Oetomo, 2006. Ideologi Hukum Penataan Ruang Di Indonesia. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung. Arrorw, J.K., R.H. Mnookin, L. Ross, A. Tversky, dan R.B.Wilson. 1995. Barriers To Conflict Resolution. W.W.Norton and Company. New York. Atje, R., L. Christianty, T. Feridhanusetyawan dan K. Roesad. 2001. Hutan Sebagai Aset Strategis. Jurnal Analisis CSIS tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan dan Peran Lembaga Donor. Tahun XXX/2001. No.2. CSIS. Jakarta. Avruch, K., P.W. Black dan J.A. Scimecca. 1991. Conflict Resolution; CrossCultural Perspective. Praeger Publishers. Westport. USA Ayres, I., dan J. Braithwaite. 1992. Responsive Regulation; Transcending the Deregulation Debate. Oxford University Press. New York. BBC, 2010. Memotret Kondisi Hutan Indonesia. Http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/06/100609_hut anindo.shtml Bernard, H.R. 1998. Research Methods in Cultural Anthropology. Chapter 4. Sampling. Sage Publications. London. Bollen, K.A. 1989. Structural Equations With Latent Variables. John Wiley and Sons, Inc. Canada. Borrini, G. dan Feyerabend. 2000. Co-Management of Natural Resources; Organizing, Negotiating and Learning-by-Doing. IUCN. Yaounde. Cameroon. Buckles, D. 1999. Cultivating Peace; Conflict and Collaboration in Natural Resources Management. International Development Research Center (IDRC) in collaboration with The World Bank Institute. Ottawa. Canada. Burton, J. dan F. Dukes. 1990. Conflict; Readings in Management and Resolution. MacMillan Press LTD. London.
288
Checkland, P. dan J. Scholes. 1990. Soft Systems Methodology in Action. John Wiley & Sons. New York. Chevalier, M.J. 2001. Stakeholder Analysis and Natural Resource Management. Carleton University. Ottawa. Canada. Chevalier, M.J. 2003. Social Analysis System. International Development Research Centre and Carleton University. Ottawa. Canada. Cunningham, P.W. dan B.W. Saigo. 1995. Environmental Science; A Global Concern. Wm.C. Brown Publishers. Dubuque. USA. Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan Maswar. 2004. Erosi dan Aliran Permukaan Pada Lhan Berbasis Tanaman Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. Jurnal Agrivita. Volume-26. Maret 2004. Universitas Brawijaya. Dewan Kehutanan Nasional, 2007. Satu Tahun Dewan Kehutanan Nasional; Selesai Tidak Selesai, Harus Selesai. Jakarta. Diamond, L. dan A.J. McDonald. 1996. Multi-Track Diplomacy; A system Approach to Peace. Kumarian Press. Connecticut. USA. Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. 2002. Statistik Kehutanan Propinsi Lampung Tahun 2002. Bandar Lampung. Dinata, A. E. P. (2002). Deteksi perubahan lahan menggunakan citra satelit multisensor di Sumberjaya, Lampung. Jurusan manajemen hutan, Fakultas kehutanan. Bogor, Institut Pertanian Bogor dan ICRAF-SEA, Bogor, Indonesia. Dirpa, I.W. 2002. Pemberian Kepastian Hak Bagi Masyarakat Melalui Redeliniasi Kawasan Hutan di Kabupaten Lampung Barat. Makalah Bupati Lampung Barat. Disampaikan dalam Pertemuan Teknis Sekjen Departemen Kehutanan. Jakarta. Dunn, N.W. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Eriyatno. 1999. Ilmu SIstem; Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid Satu. IPB Press. Bogor. Fahmudin, A., A.N. Ginting, dan M. van Noordwijk. 2002. Pilihan Teknologi Agroforestri/Konservasi Tanah Untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi Di Sumberjaya, Lampung Barat. ICRAF South East Asia. Bogor. Fauzi, N. 2000. Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta. Fauzi, N. 2000. Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.
289 Fay, C. dan G. Pasya. 2001. Sistem Pendukung Negosiasi (Spn); Suatu Pendekatan Untuk Penyelesaian Masalah Konflik Di Kawasan Hutan. Makalah. Tidak dipublikasikan. International Center For Research on Agroforestry (ICRAF) – SE Asia. Bogor. Fay, C. dan M. Sirait. 2004. Kerangka Hukum Negara dalam Mengatur Agraria dan Kehutanan Indonesia: Mempertanyakan Sistem Ganda Kewenangan atas Penguasaan Tanah. Prosiding Panel G Sumberdaya Tenure, Kemiskinan & Kertahanan Pangan; Suatu Pengantar Kondisi di Indonesia. The International Conference on Land Tenure, Jakarta, 11-13 October 2004. ICRAF SE Asia. Bogor. Fisher, S., D.I. Abdi, J. Ludin, R. Smith, S. Williams, dan S. Williams. 2001. Mengelola Konflik; Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. The British Council, Indonesia. Jakarta. Gamal P. dan M.T. Sirait. 2011. Analisis Gaya Bersengketa. Publikasi Samdhana. Bogor. Gilpin, A. 1996. Dictionary of Environment and Sustainable Development. John Wiley & Sons Publication. New York. Hall,
R. (1998). Tukey's HSD Post Hoc http://web.umr.edu/~psyworld/tukeyssteps.htm.
Test
Steps.
Hamimah, S.N. 2001. Kebijakan Hutan Kemasyarakatan Sebagai Salah Satu Pemecahan Masalah Perambahan Kawasan Hutan Di Indonesia. Makalah di sampaikan pada Seminar Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Aktifitas Sosial Ekonomi Dalam Kaitannya Dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Direktur Bina Hutan Kemasyarakatan Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bandar Lampung, 11 Oktober 2001. Harris, P., dan B. Reilly. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. International IDEA. Jakarta. Harsono, B. 1997. Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1. Cetakan ke 8. Djambatan. Jakarta. Hempel, L.C. 1996. Environmental Governance, the Global Challenge. Island Press. Washington DC. Hendricks, W. 1992. How to Manage Conflict. Rockhurst College Continuing Education Centre. Hutabarat, S. 2001. Perkembangan Kehutanan Indonesia Pada Era Reformasi. Jurnal Analisis CSIS tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan dan Peran Lembaga Donor. Tahun XXX/2001. No.2. CSIS. Jakarta. Indrawan, A. 2000. Handout Mata Kuliah PSL 504 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Tidak dipublikasikan. PSL. PPs-IPB. Bogor.
290 Isenhart, M.W. dan M. Spangle. 2000. Collaborative Approaches To Resolving Conflict. Sage Publications, Inc. London. Jones,
J. 1996. Introduction to Statistics; Math-170. Lecture http://www.richland.cc.il.us/james/ml170/. (27 Juli 2004).
Note.
KOMPAS, 2011. Menteri LH Keluhkan Kerusakan Hutan. Http://nasional.kompas.com/read/2011/06/07/17490029/Menteri.LH.Kel uhkan.Kerusakan.Hutan Kriesberg, L. 1998. Constructive Conflicts; From Escalation to Resolution. Rowman and Littlefield Publishers, Inc. New York. Kuntowijoyo. 1992. Masalah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman. Lembaga Penyadaran Rakyat Perdesaan. Yogyakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 167 Tahun 1999. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 206 Tahun 2000. Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Margono, S. 2000. Alternative Dispute Resolution Dan Arbitrase; Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Marzali, A. 2001. Kekerasan Sosial Di Kalimantan; Sebuah Analisis Antropologi Sosiokultural. Jurnal Analisis CSIS tentang Konflik Sosial; Tantangan Domestik dan Global. Tahun XXX/2001. No.3. CSIS. Jakarta. Mattjik, A.A. dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan; Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. IPB Press. Bogor. McAuslan, P. 1980. The Ideologies of Planning Law. Pergamon Press, Oxford McKinnon, E. (1993). “A note on finds of early Chinese Ceramics associated with megalithic remains in Northwest Lampung.” Journal of Southeast Asian Studies 24(2): 227-238. Merchant, C. 1992. Radical Ecology; The Search For a Livable World. Routledge. London. Mikkelsen, B. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris Dan Upaya-Upaya Pemberdayaan; Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Minnery, R.J. 1985. Conflict management in urban planning. Aldershot, Hants, England.
291 Miser, J.H. dan E.S. Quade. 1985. Handbook of Systems Analysis. Elsevier Science Publishers B.V. Amsterdam. The Netherlands. Mitchell, C. dan M. Banks. 1996. Handbook of Conflict Resolution; The Analitycal Problem-solving Approach. Pinter. London. Moore, W.C. 1996. The Mediation Process; Practical Strategies for Resolving Conflict. Jossey-Bass Publishers. San Francisco. Muhshi, M.A. 2001. Menumbuhkembangkan Sistem Hutan Kerakyatan di Kalangan Masyarakat Adat/Masyarakat Lokal. Makalah. Lokakarya Penguasaan Lahan di Kawasan Hutan (National Workshop on Land Tenure) dan Pembentukan Kelompok Kerja Penanganan Masalah Penguasaan Lahan Di Kawasan Hutan (Multi-stakeholder Working Group on Land Tenure). Kerjasama Departemen Kehutanan – NRM Program – ICRAF – DFID. Tanggal, 27-28 November 2001, Bogor. KpSHK. Murdiyarso, D., M. van Noordwijk, dan D.A. Suyamto. 1998. Modeling Global Change Impacts on the Soil Environment. BIOTROP-GCTE/Impacts Center for Southeast Asia (IC-SEA). Bogor. Indonesia. Nawawi, H. dan M. Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Nazir. 1999. Metode Penelitian. Cetakan Keempat. Ghalia Indonesia. Jakarta. Neter, J.,
W. Wasserman, dan M.H. Kutner. 1992. Applied Linear Statistical Models: Regression, Analysis of Variance, and Esperimental Designs 3rd Ed." ---------------------.
Noordwijk, van M. 2000. Forest conversion and watershed functions in the humid tropics. Proceedings IC-SEA/NIAES workshop Bogor 2000. ICRAFSouth East Asia Program. Bogor. Pasya, G. dan G.F. Suratmo. 2002. Inventarisasi Konflik Pengelolaan Kawasan Hutan Yang Berkaitan Dengan Isu Lingkungan Dan Strategi Pengendaliannya. Makalah Topik Khusus PSL 700. Tidak dipublikasikan. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Pearce, D. dan D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN – The Word Conservation Union. IUCN Publications Services Unit. Cambridge. UK. Peluso L, N. 1992. Rich Forests, Poor People; Resource Control and Resistence in Java. University of Callifornia Press. Los angeles. Pretty, J. dan H. Ward. 2001. Social Capital and The Environment. World Development Vo.29, No.2, pp.209-227, 2001. Elsevier Science. Great Britain.
292 Rais, A. 2000. Demokrasi Politik, Ekonomi, dan Lingkungsn Hidup Era Otonomi Daerah. Keynote Speaker Ketua MPR-RI. Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup di Era Otonomi. Tidak dipublikasikan. MenegKLH-Universitas Sahid. Jakarta. Ribot, J.C., dan N.L. Peluso. 2003. A Tehory of Access. Journal – Rural Sociology, Volume 68. Issue 2, 2003. World Resources Institute. Washington DC. Riddell, J.C. 1987. Land tenure and Agroforestry: A Regional Overview, dalam land, Trees and tenure: Proceedings of International Workshop on Tenure Issues in Agroforestry, John B. Raintree (ed), p. 35-78, Nairobi dan Medison: ICRAF dan Land Tenure Center. Nairobi. Robinson, E.C. 1998. Greening at The Grassroots; Alternative Forestry Strategies in India. Sage Publications, London. Rubin, J.Z., D.G. Pruitt, K.H. Sung. 1994. Social Conflict; Escalation, Stalemate, and Sttlement. McGraw Hill. New York. Rusyandi, O. dan N. Endang. 2000. Sukapura Tohaga Jalaran Sabilulungan. Halaman 3-7. Tidak dipublikasikan. Sumberjaya. Santosa, M.A. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. Indonesian Center For Environmental Law (ICEL). Jakarta. Santoso, H. 2002. Rasionalisasi Kawasan Hutan Di Indonesia; Kajian Keadaan Sumberdaya Hutan Dan Reformasi Kebijakan. Badan Planologi Departemen Kehutanan. Jakarta. Sarwono, S.W. 1999. Psikologi Sosial, Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka. Jakarta. Sarwono, S.W. 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka. Jakarta. Scott C.J. 1985. Weapons of the Weak; Everyday Forms of Peasant Resistence. Yale University Press. London. Sharma S. 1996. Applied MultivariateTechniques. New York : John Wiley & Sons. Soerianegara, I. 1978. Pengelolaan Sumberdaya Alam. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pasca Sarjana – Institut Pertanian Bogor. Solberg, B. dan S. Miina. 1997. Conflict Management and Public Participation in Land Management. European Forest Institute. Finland. Supranto. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan Interpretasi. Rineka Cipta. Jakarta. Suratmo, G.F. 1999. Strategi Dalam Menghadapi Masalah Lingkungan Dunia. Handout Matakuliah PSL 702. Pasca Sarjana IPB. Bogor.
293
Suratmo, G.F. 2001. Panduan Penelitian Multi Disiplin. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryanegara, I. dan A. Idrawan. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suyanto S, Dennis R, Kurniawan I, Stolle F, Maus P, Applegate G. 2000. The Underlying Causes and Impacts of fires in Southeast Asia. Site 1. Sekincau, Lampung Province, Indonesia. ICRAF-SEA. Bogor: Stone, D. 2001. Policy Paradox: The art of political decision making. W.W. Norton & Company Inc. New York. Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka LATIN. Bogor. Tarumingkeng, R.T. 1994. Dinamika Populasi; Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Thoha, M. 1983. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT Rajawali. Jakarta. Verbist, B dan G. Pasya. 2004. Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik, dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat. Jurnal Agrivita Volume 26. Edisi Maret 2004. Universitas Brawidjaya. Malang. Verbist, B. 2001. Land Use and Its Changes in Sumberjaya. Prosiding Seminar Sistem Pendukung Negosiasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Terpadu; Memberdayakan “Sumberjaya” Menjadi “Sumber Kejayaan” Bagi Lampung Barat. Liwa – Lampung Barat, 31 Januari 2001. ICRAF - Asia Tenggara. Bogor. Verbist, B., A. Ekadinata, S. Budidarsono. 2004. Penyebab Alih Guna Lahan dan Akibatnya Terhadap Dungsi Daerah Aliran Sungai Pada Lansekap Agroforestri Berbasis Kopi Di Sumatera. Jurnal Agrivita Volume 26. Edisi Maret 2004. Universitas Brawidjaya. Malang. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Warsito. 2006. Pelaksanaan dan Tantangan Program Hutan Kemasyarakatan di Lampung Barat. Makalah Disampaikan Pada Seminar “Pengembangan Mekanisme Jasa Lingkungan dan Pengelolaan Hutan” di Bandar Lampung, 29 Maret 2006. Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Wijardjo, B., I. Malik, N. Fauzi, dan A. Royo. 2001. Konflik; Bahaya Atau Peluang. BSP Kemala. Pustaka Pelajar. Bandung. Wilson, K. dan G.E.B. Morren. 1990. Systems Approaches for Improvement in Agriculture and Resource Management. Macmillan Publishing Company. New York.
294 World Bank Institute. 1995. The World Bank Participation Sourcebook. World Bank. Washington DC. World Bank Institute. 1999. Decentralization Briefing Notes. Eds. J. Litvack and J.J. Seddon. The IBRD/The World Bank. Washington. World Bank. 1995. The World Bank Participation Sourcebook. World Bank. Washington D.C.. Yarn, D.H. 1999. Dictionary of Conflict Resolution. Jossey-Bass Publishers. San Francisco. Yasmi, Y. 2002. Conflict in Forest Management; A Study for Collaborative Forest Management in Indonesia. Msc Thesis Tropical Forestry. Unpublished. Wageningen Universiteit. Netherlands.
Lampiran 1. Konflik-konflik Status, Kepemilikan, Dan Pemanfaatan Lahan Di Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung, Tahun 1999. No. 1 1
2.
3.
Reg. 1 Luas Lokasi Pal Beton
Reg. 2 Luas Lokasi Pal Beton
Reg. 3 Luas Lokasi Pal beton
Lokasi 2 Way Pisang 18.700 Ha Dati II Lampung Selatan 397 Pal (B 320 s/d B 621-1) (B 1-62 s/d B 36)
Pmt. Taman 2.790 ha Dati II Lampung Selatan 225 Pal (B 96 s/d B 320)
Gn. Rajabasa 4.900 ha Dati II Lampung Selatan 1.314 Pal (B1 s/d B. 1.315)
Dasar 3 - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai KHP - HP tetap: 6.321 Ha - HPK:12.779 Ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - RTRWP Lampung Sesuai Pemda No. 10 Tahun 1993 yang telah dipaduserasikan TGHK Menhut no. 67/Kpts-I/1991
-
-
-
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai KHP seluas 18.700 ha - HP tetap: 6.321 Ha - HPK:12.779 Ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRW - HPT seluas 2.705 Ha - HPK selouas 85 Ha
-
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan lindung 4.900 ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP
-
-
-
-
Uraian Masalah 4 Kawasan HPK seluas 12.379 ha habis pemukiman dan garapan HPT seluas 6.321 Ha masuk dalam HTI PT. Dharmala Hutan Lestari dan sudah ditanami 2.200 Ha namun mengalami pengerusakan oleh masyarakat Ada 2 (dua) desa masing-masing desa Karang sari dan Tataan (Kecamatan Penegahan) menuntut lahan sampai kawasan HPT supaya keluar menjadi hak milik Sebagian telah digunakan untuk proyek Rawa Seragi dan diland Reformkan untuk sawah-sawah. Terdapat di desa-desa: mandalasari, Bukit Rasa, Sukapura, Sidodadi (terdapat didlm KH) Seluruh kawasan tidak ada vegetasi dan telah menjadi pemukiman Pencadangan area: Komopta Polri 1000 ha PT Prima Wira Nugraha 100 Ha PT. Lampung Indah Sejahtera Abadi: 100 Ha PT. Batu Penjuru Makmur: 50 Ha Terdapat lahan usaha transmigrasi tahun 1974 asal banyuwangi dan jember Rekomendasi gurbenur untuk PT. Lampung Indah Sejahtera Abadi, Pt. Prima Wira Nugraha untuk budidaya hortikultura terdapat potensi tata air potensi wisata yanga da belum digarap secara profesional terdapat desa disekitar kawasan yakni; Rajabasa, Canti
Penanganan Masalah 5 - telah dilakukan pertemuan di Tk. I tanggal 6 Nopember 1997 membahas tuntutan 2 desa dengan kesimpulan: # lokasi yang dimohon masyarakat berada dalam kawasan HPT diluar desa induk # Prnsip didukung tapi bila tidak bisa dilepas akan dilakukan HKm # lahan yang diminta masyarakat telah diberikan ke DHL melalui surat Menhutbun no. 388/KptsII/1996 - Peninjauan Lapangan atas SPT dinas no. 824 Tanggal 28 feb 1998 peninjauan di batalkan karena suasana di lapangan panas dan ada pemilihan kepala desa - Redesain
-
-
-
-
-
Keterangan 6 Pernah diberikan HPH kultur kepada PT. Jaka Utama Jaya oleh Kepala Dinas Kehutanan no. 002/PH/1974 tanggal 29 feb 1974 Menhut memerintahkan mencabut dengan surat no 562/menhut-II/89 tgl 26 April 1989 Pencabutan oleh kepala dinas kehutanan dengan surat no. 30/3/1990 tanggal 18 Agustus 1990 Terdapat didesa-desa: Mandalasari, Bukit Rasa, Suka Pura, Sidodadi (terdapat dlm KH)
-
-
1
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi seluas 2.900 ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi seluas 6.400 ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP
4.
Reg. 4 Luas Lokasi Pal beton
Rawa Seragi 2.900 ha Dati II Lampung Selatan -
5.
Reg.5 Luas Lokasi Pal beton
Way Ketibung I 6.400 ha Dati II Lampung Selatan 159 Pal (B 1.179 s/d 1.020
6.
Reg.6 Luas Lokasi Pal beton
Way Buatan 1.050 ha Dati II Lampung Selatan 230 Pal (B 1 s/d 1B)
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung 1.050 ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP
7.
Reg.9 Luas Lokasi
Tn. Way Kambas 1.200 ha Dati II Lampung Tengah (saat ini Kabupaten Lampung Timur)
- Diusulkan sbg kawasan reservasi pada Tahun 1935 - Ditetapkan sbg kawasan cagar alam No.771 berdasarkan Staadblad van Nederlansch-Indie 1937 No.38 - Pada Tahun 1939, wilayah Kuala Penet I dan Penet V dikeluarkan dari kawasan - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP
Agar dalam peta TGHK/RTRWP diputihkan
- termasuk areal persawahan proyek rawas eragi yang sudah ada persetujuan prinsip pelepasan dari Menteri Pertanian - sudah berubah menjadi persawahan dan di land reform - terdapat desa didalam kawsan yakni Trimoro Mukti, Titi wangi, Rawa Selapan, Bali Agung
-
-
- digarap masyarakat dan telah berkembang pemukiman (desadesa) yakni, sidodai, Sidoasri, Beringin Kencara, Sinar Palembang, Sinar Pasman - terdapat persoalan tanh di desa trans Tanjungan dengan PT. DHL terkait areal HTI - terdapat areal pabrik tepung tapioka PT. Langgeng Cakra Lestari seluas 30 ha. Yang sudah ijin prinsip menhut namun pelaksanaan areal pengganti belum diserahkan - terdapat umbulan/talang sederhana - perambah hutan tahun 1980 sebanyak 455 KK - hampir seluruh kawasan telah diusahakan masyarakat dalam bentuk tanaman tahunan/cengkeh dan tanaman semusim padi - pernah ada pemohon tambang golongan “C” an. Sdr. Man Hasan seluas 200 ha, namun belum terealisasi - masalah gangguan gajah - masalah batas dengan masyarakat yang dekat perusahaan perkebunan pisang - Klaim tanah adat
-
-
-
-
pada TA. 1996/1997 masuk dalam kegiatan proyek pengelolaan kawasan lindung
-
-
terdapat desa disekitar kawasan yakni; Karang Sari, Sidodadi, Sidomulyo, Rajabasa Lama
2
8.
Reg. 8 Luas Lokasi Pal Beton
Way Rumbia 47.920 ha Dati II Lampung Tengah -
9.
Reg.9b Luas Lokasi Pal paralon
Gunung Seminung 420 ha Dati II Lampung Barat 75 Pal (B.1 s/d B.75)
10
Reg. 15 Luas Lokasi
Muara Sekampung 37.500 ha Dati II Lampung tengah
11.
Reg. 17 Luas Lokasi Pal beton
Batu Serampok 1.595 ha Dati II Lampung selatan 323 Pa (B1 s/d B80)
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi seluas 49.920 ha - Besluit Lampung no. 98/D/1958 tanggal 8 Desember 1958 dilepas 18.517 Ha untuk trans - SK Gurbernur nomor 102/B/5/III/70 tanggal 4 Desember 1970 telah dilepas untuk transmigrasi seluas 7.190 ha - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung 420 ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung 1.050 ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP
- Terdapat HPH Kultur Wilangsari - Telah dilepas untuk keperluan land An. Yus Kartono/Ali Cs atas SK Menhut No. 176.21.I . 1993 seluas 350 ha - HPTI Agro Dangluang SK Menhut no. 388 namun tidak berjalan - Terdapat 28 desa di dalam kawasan untuk dilepas dengan jumlah KK = 9.142 KK
- Sudah dikoordinasikan di Tingkat I - Upaya Redesign terhadap HPK
Terdapat Desa didalam kawasan pada kec. Yakni sbb: - Seputih suradaya. # Rajawali, rawabatik, Gaya Baru VIII, beringin jaya, Cempaka Ilir, cabang - Rumbia: # Bina Karya I, Bina Karya II, Bina Karya III, Bina Karya IV, Bina Karya V - Purbolinggo: # kalipasir
- penebangan oleh oknum untuk mengambil kayu atas laporan masyarakat irigasi ke sungai/persawahan desa Sukabanjar akan terganggu
-
-
- alih fungsi kawasan ke fungsi persawahan prosesnya belum tuntas - masalah baru alih fungsi dari irigasi ke areal tambak udang - permohonan konversi sudah diajukan masyarakat memberikan dana ke pemda untuk pengukuran - dalam proses untuk pelepasan ini justru dari kehutanan belum mengadakan survei karena belum ada pendanaan untuk itu sehingga belum ada rekomendasi. Pertimbangan teknis pelepasan dari kehutanan - belum ada penyelesaian pelepasan dari kehutanan - adanya penambangan golongan C oleh PT. RIP dan PT B. Sari Kencana - Pada akhir-akhir ini banyak yang dibuka olrh masyarakat - Penambangan oleh PT. Bata Makmur - Hampir Seluruh Areal telah digarap
-
-
- Penambangan pasir dan Batu oleh PT. Sari Karya telah dihentikan
-
terdapat desa di dalam kawasan yankni pada kecamatan jabung: # labuan Ratu, Mulyosari, Sumure Kucing, purworejo, Kedung Ringin, Rejo Mulyo, Adi Rejo, Gn. Mekar, Pasir Bakti, Asahan, Marga Batu, Sumberjaya.
-
Terdapat desa didalam kawasan yakni pada kecamatan ketibung antara lain: neglasari, suban, merbau, mataram, babatan, karang rejo Belum terdeteksi kemungkinan persoalan kebun kopi kawasan hutan lidung
3
12.
Reg. 17B Luas Lokasi Pal Beton
Bukit Serarukuh 1.596 ha Dati II Lampung Barat 221 Pal (B1 s/d B 221)
13.
Reg. 18 Luas Lokasi Pal Beton
Titi Bungur 4.000 ha Dati II Lampung Selatan 167 Pa (B1 s/d B 167)
14.
Reg. 19 Luas Lokasi Pal Paralon
Gunung Betung 22.244 ha Dati II Lampung Selatan 1.314 Pal (B1 s/d 1.315)
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung 1.050 ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung 1.050 ha - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati II Lampung - perda no. 10 Tahun 1993 tentang padu serasi dengan RTRWP - Besluit resident Lampung no. 16 tanggal 17 Juli 1925 ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung (tahura) - Perda no 10 tahun 1993 paduserasi + TGHK
-
-
-
- pencurian tanaman jati dan sengon oleh masyarakat - pada areal yang masuk KHP telah merupakan perladangan dan/ persawahan - terdapat desa di dalam kawasan pada kec.: sbb: Natar: Tri Rahayu, Sidorejo, bangun rejo, Sinar Beringin Beringin Tataan: Sinar Bandung - Penggarapan lagi lahan hutan oleh gerakan tani serikat islam - Ada kekeliruan penetapan batas #Tanaman reboisasi diluar #Tanah masyarakat di dalam - Pemusnahan tanaman kopi reg. 19 tahun 1996/1997 610 ha - Pemasangan jalur listrik sepanjang 1,5 km - RCTI, TVRI - Masalah yang terakhir adanya penjarahan pada tanaman reboisasi - Pengrusakan pos jagawana - Pengkaplingan lahan - Jual beli lahan #desa cipadang #padang cermin - Penjarahan desa sukadadi oleh warga masyarakat diluar desa, masuk ke HL sekitar 1Km s/d 2 km dari batas kawasan - Terjadi perusakan papan-papan laranagn dan himbauan diambil, pos diratakan dan kayunya diambil (lap. Masyarakat desa sukadadi bulan desember 1998)
- persetujuan menhut bahwa Reg. 18 Titi bungur dikelola oleh PT. Inhutani
-
- Prinsip keberatan oleh kanwil surat no. 27 14/98 tgl 25 agt 1995 - Sudah diinformasikan ke kanwil kehutanan - Sudah dilaksanakan anggaran 1996/1997 610 ha - Tokoh masyarakat sudah dibina untuk aktif dalam pengamanan hutan namun kekuatan masyarakat dari luar menyerbu kawasan - Sebenarnya sudah ada kelompok tani di empat desa yaitu: Bogorrejo, Sukadadi, pampangan. Dikhawatirkan akan terjadi benturan antar masyarakat sekitar hutan dengan para penjarah. - Selain itu masyarakat desa kebagusan (dusun triharjo)mengajukan pengesahan kelompok tani HKm yang dibina desa tersebut.
-
Masyarakat desa sekitar rimba sosialisasi HKm Terdapat desa disekitar kawasan , yakni pada kecamatan padang cermin: Padang manis, Muara Tiga, Lawang Agung.
4
15.
Reg. 20 Luas Lokasi Pal paralon
Pmt. Kuboato 4.400 ha Dati II Lampung Selatan 1.314 Pal (B1 s/d B 1.315)
16.
Reg. 21 Luas Lokasi Pal Beton Pal Paralon
17.
Reg. 22 Luas Lokasi Pal Beton
Perintian Batu 7.412 ha Dati II Tgm 170 Pa (B1 s/d B124) 2.66 Pa (B1 s/d B 266) Way Waya 9.565 ha Dati II Lampung Tengah 505 Pal (B1.597 s/d B1.724) -
Pal Paralon
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-I/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
18.
Reg. 22B Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Kubu Nicik 7.9219,46 ha Dati II Lampung Barat 611 Pal (SM1 s/d SM 611) 337 Pal (B68 s/d B 163)
- Besluit resident Lampung no. 80 tanggal 8 Maret 1930 ditunjuk sebagai TNBSS - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
19.
Reg. 24 Luas Lokasi Pal beton Pal parlon
20
Reg. 25 Luas Lokasi Pal beton Pal pralon
Bukit Punggur 20.381 ha Dati II Lampung Utara 480 Pal (B1 s/d B480) Gunung Tanggang 3.380 ha Dati II Lampung Selatan 279 Pal (B1 s/d B279) -
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
terdapat desa disekitar kawasan yakni pada kecamatan padang cermin, antara lain: banjar, Bunursebrang, Hanauberak, Peryandingan, Sukajaya.
- aadanya penambangan emas secara liar
- penghentian kegiatan oleh dinas kehutanan dengan surat no. 522.2210.2.95 tanggal 15 juli 1995 - rapat koordinasi lingkup pemda tgl 25 april 1995 ttg penambangan emas
-
- persoalan kebun kopi di dalam kawasan hutan
-
-
- areal kegiatan HKm oleh PT. Inhutani V - Terjadi pencurian kayu dan perambahan lahan baru untuk kebun/ladang - Terdapat potensi tambang emas, granit, batu marmer dan lainnya - Terdapat penambangan emas yang tidak jela sperijinannya di KHL tersebut - masyarakat di inclave way haru mohon jalan melewati TNBS - terjadi pencurian kayu
- Telah dibentuk kelompok-kelompok tani - Bekerjasama dengan pesantren untuk membangun HKm - Pernah melakukan penelitian oleh kecamatan
-
- bupati telah mengajukan permohonan ke menhut melalui gurbenur - pemohon hanya sebatas menyampaikan surat permohonan tetapi biaya yang ditimbulkan untuk itu belum jelas sedangkan untuk tim dishut kelokasi belum ada anggarannya 9dalam rutin tidak ada) karena seharusnya dari pemohon - telah dilakukan reboisasi
-
-
terdapat desa disekitar kawasan pada kecamatan kasul yakni: desa itih ringkih
-
-
terdapat desa disekitar kawasan pada kecamatan cermin yakni: Desa Baturaja, Banding agung, maja
- terdapat areal kebun kopi di KHL - perambahan dan penguasaan lahan oleh amsyarakat
- terdapat areal kebun kopi di KHL - perambahan dan penguasaan lahan oleh masyarakat
Terdapat desa disekitar kawasan, yakni pada kecamatan kalirjo antara lain: sendang mulyo, sendang baru
5
21.
Reg. 26 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Serkung Peji 690 ha Dati II Lampung Selatan 134 Pal (B1 s/d B41) Pmt. Sulah 3.380 ha Dati II Lampung Selatan 550 Pal
22.
Reg. 22 Luas Lokasi Pal beton
23
Reg. 28 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
24
Reg. 30 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon Pal Kayu
25
Reg. 31 Luas Lokasi Pal beton
26.
Reg. 32 Luas Lokasi Pal beton
Bukit Rindingan 6.960 ha Dati II Lampung Selatan 388 Pal (B1779 s/d B 2122)
27
Reg. 34 Luas Lokasi Pal beton Pal pralon
Tangkit tebak 6.960 ha Dati II Lampung Utara 374 Pal (B 409 s/d B 782) -
Pematang Neba 13.220 ha Dati II Lampung Selatan 571 Pal (B1 s/d B145) Gn. Tanggamus 3.380 ha Dati II Tanggamus 67 Pal (BHL 2112 s/d BHL2179) 288 Pal (BHL 2907 s/d BHL2678) 498 Pal (BHL 2679 s/d BHL2179) Pmt. Arahan 1.505 ha Dati II Lampung Selatan 24 Pal (BHL 1 s/d BHL 3335)
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
- Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 307 tanggal 31 Maret 1941 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
- terdapat areal kebun kopi di KHL - perambahan dan penguasaan lahan oleh amsyarakat
-
-
- terdapat areal kebun kopi di KHL - perambahan dan penguasaan lahan oleh masyarakat
-
-
terdapat desa disekitar kawasan pada kecamatan Cukuh balak yakni: Desa Kecamarga , Putih Doh
- terdapat areal kebun kopi di KHL - perambahan dan penguasaan lahan oleh masyarakat
-
-
terdapat desa disekitar kawasan pada kecamatan pagelaran, yakni desa tamansari
- terdapat areal kebun kopi di KHL - perambahan dan penguasaan lahan oleh masyarakat
-
-
- terdapat areal kebun kopi di KHL - perambahan dan penguasaan lahan oleh masyarakat
-
-
- Terdapat areal kebun kopi di KHL - Perambahan dan penguasaan lahan oleh masyarakat
-
-
- Terdapat areal kebun kopi di KHL - Penjarahan dan pengaplingan lahan - Pengrusakan tanaman reboisasi - Penebangan liar
- Rehabilitasi
-
Taerdapat desa di dalam kawasan pada kecamatan bukit kemuning, yakni Desa Dwikora
6
28.
Reg. 35 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Way Ketibung 3.800 ha Dati II Lampung utara 374 Pal (B 409 s/d 782) -
- Besluit resident Lampung no. 99 tanggal 7 pebruari 1933 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
29
Reg. 37 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Way Kibang 30.000 ha Dati II Lampung Tengah 595 Pal (BHP 1774 409 s/d BHP 1824 = B HP 1-HP 545)782) -
- Besluit resident Lampung no. 99 tanggal 7 Pebruari 1933 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
30
Reg. 38 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Gunung Balak 25.620 ha Dati II Lampung Tengah 1000 Pal (B 1 s/d 171) -
- Besluit resident Lampung no. 99 tanggal 7 pebruari 1993 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
31.
Reg. 39 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Kota Agung 102.110 ha Dati II Lampung Selatan 634 Pal (B HL 1043 = B H_1 s/d B HL 500) 425 Pal (B HL 2907 s/d BHL 3332)
- Besluit resident Lampung no. 657 tanggal 7 Desember 1935 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
- Terdapat areal eks HPH Kultur Daya Karya Kalianda yang masih dikuasai perusahaan - Terdapat areal pinjam pakai kebun percobaan UNILA - Tuntutan masyarakat ingin dilepas - Terdapat areal lembaga penelitian hutan bogor berupa tanaman kemiri - Terdapat areal Eks HPH Kultur PT. Hanni Yadicc yang dikuasai PT. DHL untuk HTI - Terdapat potensi tambang marmeryang belum diolah sepenuhnya walau sudah ada ijin prinsip menteri (masih proses) - Terdapat areal yang dulu untuk penenpatan Transos (Ds. Pancasila/relung helok) - Terdapat kantor kecamatan perwakilan, telah berkembang persawahan semi teknis - Upaya pengukuran detail mulai dilakukan pemda Ltengah - Perusakan, penjarahan HTI PT. DHL - terdapat areal untuk camping ground Pramuka Saka Wana Bhakti LT - Penjarahan dan pengkaplingan lahan - penebangan tanaman reboisasi. Puluhan truk tiap hari masuk kawasan - upaya pengamanan sulit dilakukan - tuntutan desa-desa yang masih ada - kemungkinan terjadi konflik antar penjarah, masyarakat - Penjarahan dan pengkaplingan lahan - penebangan tanaman reboisasi. Puluhan truk tiap hari masuk kawasan - upaya pengamanan sulit dilakukan - tuntutan desa-desa yang masih ada - kemungkinan terjadi konflik antar penjarah, masyarakat
- Redesain
-
- penghentian ppenjarahan - pembangunan HTI (sulit) - Redesign
-
-
Redesign Reboisasi Usulan untuk HKm Masuk Agenda TPF
- Redesign
Terdapat desa didalam kawasan pada kecamatan Ketibung yakni desa sumberagung, tarahan tanjungan, way sulam, talang jawa,karang pucung
Terdapat desa didalam kawasan pada kecamatan, yakni sbb #MetroKbang: Morgototo, Kibang, margajaya, Sumberagung, Purbosembodo #sekampung: Karyamukti, Umbul Brebes, #batanghari: Buana Sakti #sukadana: Jayaguna, Umbul sinar Baru
Desa sidorejo, bandar agung, itik rindai, penengahan, purwokencono, mojopahit - Terdapat desa didalam kawasan pada kecamatan yakni sebagai berikut: #labuan maringgai: itik randai, bandar agung #jabung: pematang tahalo, brawijaya, baoh, giri mulya, peniangan, griraya, sidodadi, sidorejo -
7
32
Reg. 40 Luas Lokasi Pal beton
Pal paralon 33.
Reg. 41 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
34
Reg. 42 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
35
Reg. 43 Luas Lokasi
Gedong Wani 102.110 ha Dati II Lampung Selatan 634 Pal (B HL 1043 = B H_1 s/d B HL 500) 425 Pal (B HL 2907 s/d BHL 3332) Saka 12.00 ha Dati II Lampung utara 124 Pal (B 1 s/d B 232) Rebang 13.151,50 ha Dati II Lampung Utara 459 Pal (B 1 s/d B 250) Titi Bungur II 8.200 ha Dati II Lampung Selatan -
Pal beton Pal paralon
36.
Reg. 43B Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Krui Utara 14.030 ha Dati II Lampung Barat 696 Pal (B 1224 s/d B 1920) -
- Besluit resident Lampung no. 372 tanggal 12 Juli 1937 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
- Idem Reg. 35 dan 37 - Terdapat areal eks. HPH Kultur PT LPF, PT Mitsugoro - Terdapat areal tanaman lamtorogung LIPI - Areal HTI PT DHL dijarah dan dirusak serta dikapling oleh masyarakat terorganisir
- Penghentian penjarahan telah ada dialog2 dgn para tokoh masyarakat tsb, dengan pemda dan kehutanan laporan telah disampaikan ke menhutbun - Pembangunan HTI - Redesign - Upaya Represi tidak mungkin
-
Terdapat desa didalam kawsan pada kec. Tj. Bintang, yakni Desa Wawasan, jaya Agung, Sinar Rejeki, Purwo Tani, Sidoarjom Sinar Ogan, Jati Baru, kertosari, Sidodadi Asri, margodadi, rejomulyo, bangun sari.
- Besluit resident Lampung no. 32 tanggal 19 Januari 1938 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Lindung - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 645 tanggal 10 Oktober 1939 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung - Besluit resident Lampung no. 646 tanggal 10 Oktober 1938 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
-
-
-
belum terdeteksi secara detil, tapi mungkin sudah jadi kebun kopi terletak diperbatasan dengan sumsel
- Terdapat konflik lahan akibat kekeliruan skala dalan SK Menhut - Ada keinginan dan upaya masyarakat untuk dapat menguasai areal ini - Telah dikelola PT inhutani V
-
-
- Telah berubah menjadi perdesaan (permukinan, persawahan dan ladang) - Fasilitas ekonomi (pasar, tokotoko,dsb) perhubungan (jalan aspal,jembatan dsb) kantor-kantor dan sarana prasarana lainnya terdapat didesa-desa definitif - Tuntutan untuk proses pelepasan - Terdapat tanaman jati/ sengon - Sebagian dirambah untuk perkebunan kopi, jenis tanamnya rawan erosi - Terjadi penebangan liar dan pencurian kayu dari hutan alam yang tersisia
- Redesign TGHK (HPHK)
-
- Reboisasi - Kegiatan Kawasan Lindung - Perlu sosialisasi HPHKm
Terdapat desa disekitar kawasan pada kecamatan sbb #Belalau: Argomulyo, Hulung, kanali, Luas #Balik Bukit: Bahway #Perwakilan Sukau: Pagar Dewa #Perwakilan Sekincau: Busungan, Rahayujaya, Sidomulyo
- Besluit resident Lampung no. 117 tanggal 19 Maret 1935ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
Terdapat desa didalam kawasan pada kecamatan Sukoharjo, yakni desa Waringinsari, Adiluwih, Sukoharun, Bandungsari
-
8
37.
38.
Reg. 44 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Reg. 45 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Muara II 32.375 Ha Dati II Lampung Utara 909 Pal (B 1 s/d B 909)
Sungai Buaya 43.100 Ha Dati II Lampung Utara 1106 Pal (B 1 s/d B 1105)
- Besluit resident Lampung no. 249 tanggal 12 April 1940 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
- Besluit resident Lampung no. 249 tanggal 12 April 1940 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
- Terdapat konflik lahan dengan masyarakat yang mengklaim terhadap perluasan register 44 oleh beberapa kelompok pada areal yang sama #Negeri besar: 5000 ha #rading kembang: 1200 ha #Gn. Terang: 500 Ha # Gn. Terang: 2.600 Ha # Gn. Terang: 8.500 ha # Gn. Terang: 500 ha total: 18.300 ha - Areal perluasan telah ditanami karet, gmelina dsb oleh HTI - Telah diadakan pembahasan dengan para penggugat baik dengan inhutani V maupun pemda tk II tapi masyarakat tidak puas - Masyarakat minta dialog langsung dengan kakanwil dephutbun, dialog tgl 22 des 1998 menyepakati beberapa butir: #areal perluasan tersebut dulunya bukan register, tapi eks HPH yang menurut TGHK dan RTRWP dijadikan kawasan hutan #masyarakat penggugat tidak pernah merasa melepaskan hak-nya #terhadap areal sengketa masyarakat dapat berusaha tani yang diatur bersama PT Inhutani #kanwil hutbun segera menyampaikan masalah ini kepada menhutbun untuk penyelesaian - Terdapat klaim masyarakat desa talang batu (dusun talang gunung) - terjadi penjarahan, pengkaplingan dan jual beli lahan oleh oknumoknum tidak bertanggungjawab - terdapat penambangan oleh PT BNIL sejak tahun 1991, namun belum tuntas juga, areal ini ditanami singkong - terdapat tuntutan masyarakat desa translok sekitar hutan terhadap kawasan sekitar desa - adanya permohonan pelepasan 60 ha untuk terminal dan penyebrangan kecamatan Simpang pematang
-
-
-
-
- sudah diadakan dialog antara perusahaandengan masyarakat desa talang batu, namun belum ada kesepakatan final, baru tahap kesepakatan, tidak saling serang antar masyarakat dengan karyawan perusahaan
-
9
39
Register 45B Luas Lokasi Pal beton
Bukit rigis 8.265 ha. Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat
- Besluit Residen No.117 tanggal 19 Maret 1935 - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
40.
Reg. 46 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Way hanakau 20.195 Ha Dati II Lampung Utara 780 Pal (B 1 s/d B780) -
- Besluit resident Lampung no. 249 tanggal 12 April 1940 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
41
Reg. 47 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Way terusan 105.000 Ha Dati II Lampung Tengah 174 Pal (B 1545 s/d B 1718)
- Besluit resident Lampung no. 249 tanggal 12 April 1940 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
- Sebanyak 2000 kk perambah bertanam kopi didalam kawasan - Seluas 6.265 ha telah terkonversi olah masyarakat menjadi lahan pertanian - Rawan kebakaran - Areal merupakan daerah hulu DAS Tulang bawang, sumber air PLTA way besay - Seluas 350 hektar merupakan wilayah definitive Desa Sukapura dan sudah berupa pemukinan padat - Terdapat perambahan oleh masyarakat pendatang membentuk desa serupa indah, yang disponsori oleh oknum-oknum - Terdapat konflik dengan transmigrasi, dari pihak trans mengeluarkan SKT-SKT padahal areal ini sudah jelas batas-batas kawasannya serta ada kesepakatan batas antara kanwilhut dengan kanwil trans, namun dilanggar oleh transmigran - Rawan terhadap kebakaran, penjarahan baru serta pengkaplingan - Areal ini merupakan wilayah HPT-II. Budi Lampung sejahtera dan PT Inhutani V - Tuntutan-tuntutan dalam era reformasi makin gencar - Dilepas untuk pembangunan perkebunan tebu dan industri gula, tambak udang - Proses penyelesaian kewajiban perusahaan belum sepenuhnya dilaksanakan, terutama perkembangan bagi puluhan ribu KK perambah serta peserta plasma dalam perusahaan tersebut - Terdapat potensi tanaman HTI yang siap panen diareal ini yang rawan penjarahan - Areal pengganti PT. BSS siareal perluasan ini sudah dibebaskan kembali diduduki masyarakat
- Pernah dilakukan pengosongan kawasan pada tahun 1994-1997 - Masyarakat kembali masuk kawasan pada 1998-1999 -
-
-
-
-
-
terdapat desa didalam kawasan pada kec. Pakuan ratu, yakni desa tanjung serupa, serupa indah, bandung sari
10
- Permasalahan bandar udara branti, sudah ada ijin prinsip pelepasan mehut, namun harus ada areal pengganti - Terdapat areal pembebasan untuk pembangunan perusahaan karyawan kehutanan Lampung oleh koperasi rimbawan - Sudah berupa perkampungan Sumber: Datashet Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung, 1999; khusus Register 9 dan Register 45b datanya diperbaharui. 42.
Reg. 48 Luas Lokasi Pal beton Pal paralon
Branti 1.168 Ha Dati II Lampung Selatan -
- Besluit resident Lampung no. 249 tanggal 12 April 1940 ditunjuk sebagai Kawasan hutan Produksi - Keputusan Menteri Kehutanan no. 67 Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang TGHK Propinsi Dati I Lampung
-
-
terdapat desa didalam kawasan pada kecamatan Natar yakni; desa branti raya, Handuyang, Sinar Jati, Sukadamai, Bancarrejo, Purwosari, Kresnowidodo, Pancasila, Trimulyo.
11
Halaman 1 dari 26
KUESIONER PENELITIAN KONFLIK LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN Di Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung Barat Propinsi Lampung
Sebelum memulai wawancara agar…..!: 1. Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. 2. Menanyakan kesediaannya untuk menjadi responden Dalam memulai wawancara agar!: Menanyakan kepada responden; Terhadap semua informasi yang mereka berikan apakah responden ingin identitasnya dirahasiakan? (1) Ya.
(2) Tidak perlu.
Propinsi/kabupaten
: Lampung/Lampung Barat
Kecamatan
: Sumberjaya / Way Tenong
Desa
: ……………………………..…………………………..
Pemangku
: …………………………………………………………
Nama Kawasan Hutan
: Hutan Lindung Bukit Rigis
Pewawancara
:
Waktu wawancara (tgl, pukul)
:Tgl………………………/Pukul …………..
Catatan !:
Halaman 2 dari 26
A. JATIDIRI/IDENTITAS RESPONDEN Kode Peubah
Uraian
01
Nama Responden
02
Jenis kelamin
(1) Laki-laki
03
Umur
……………….Tahun………bulan
04
Suku/etnis
05
Status kependudukan
06
Agama
07
Kedudukan di dalam keluarga
1) Kepala RT, 2) Istri, 3) ……………
08
Status dalam perkawinan
(1) Belum Menikah
(2) Menikah
(3) Cerai Hidup
(4) Cerai Mati
(2) Perempuan
(1) Setempat
(2) Pendatang
09
Lama tinggal di desa (Sejak/Tahun)
09a
Asal tempat sebelumnya (desa/wilayah)
10
(X17) Lama tinggal di talang/kawasan (Sejak/tahun) (X16) Pendidikan formal terakhir ( dan hitung
……………/…………….tahun (1) Permanen; (2) Non permanen Jenjang pendidikan terakhir……………….
lama mengikuti pendidikan formal)
Lama tempuh……………………….Tahun
11
12
Pekerjaan Utama
13
Pekerjaan Sampingan
14
Jumlah anggota keluarga
15
Jumlah tanggungan keluarga (Lihat Tabel B halaman 2 !!)
16
……………………………………(Jiwa)
Alamat (Desa, dan alamat rumah) Permanen Non permanen
17
Status di desa (di kelompok/organisasi) Keterlibatan Formal
1. 2. 3.
Non formal
1. 2. 3.
18
……………………………………(Jiwa)
Organisasi yang manakah saudara terlibat paling aktif?
Halaman 3 dari 26
B. KARAKTERISTIK ANGGOTA RUMAHTANGGA RESPONDEN B.
Karakteristik Rumah Tangga 1)
1. Anggota Rumah Tangga Nama
Umur (tahun)
L/P
Asal
01
02
03
04
01
L/P
Lokal/Pendatang
02
L/P
Lokal/Pendatang
03
L/P
Lokal/Pendatang
04
L/P
Lokal/Pendatang
05
L/P
Lokal/Pendatang
06
L/P
Lokal/Pendatang
07
L/P
Lokal/Pendatang
08
L/P
Lokal/Pendatang
09
L/P
Lokal/Pendatang
10
L/P
Lokal/Pendatang
11
L/P
Lokal/Pendatang
12
L/P
Lokal/Pendatang
No
1) 2) 3) 4)
Hubungan dengan KRT 05
2)
Pendidikan Formal 3) terakhir
Status 4) Perkawinan
Suku/Etnik
Lama Tinggal di desa (tahun)
06
07
08
09
Anggota rumah tangga adalah semua orang yang tinggal di dalam satu rumah dan makan dari satu dapur, serta mereka yang tinggal di luar rumah akan tetapi kehidupan mereka bergantung dari rumah tangga yang bersangkutan. Kode : (1) Kepala rt (2) Istri/Suami (3) Anak Laki-laki (4) Anak Perempuan (5) Menantu (6) Cucu (7) Orang Tua/Mertua (8) Famili Lain (9) Pembantu rt (10) Lainnya Kode : (1) Tidak pernah sekolah (2) Belum usia sekolah (3) TK (4) SD / M. Ibtidaiyah (5) SLTP Umum/kejuruan/M. Tsanawiyah (6) SMU/kejuruan/M. Aliyah (7) Diploma I/II(8) Diploma III/Sarmud (9) Diploma IV/S1(10) S2/S3 Kode : (1) Belum Kawin (2) Kawin (3) Cerai Hidup (4) Cerai Mati
Halaman 4 dari 26
C. PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN RESPONDEN
C.1 Pemilikan Lahan Diluar Kawasan Plot
Luas (hektar) 1)
(X19)
Sejak Kapan (Tahun)/ Sudah berapa tahun
Asal Usul lahan 2)
Status lahan saat ini 4)
Jenis tumbuhan dominan
(X20)
Produksi pertahun (berat/ volume per hektar)
Alasan pemilihan tumbuhan 4)
1 2 3 4 Total Keterangan: 1) Berdasarkan jenis tumbuhan dominan, berapa harga lahan saat ini: Rp……….………. Per hektar 2) Darimanakah asal-usul/sejarah lahan pertanian yang saudara miliki? (1) Membuka lahan hutan dengan inisiatif sendiri, (2) Membuka lahan hutan dengan dorongan kelompok, (3) Membuka lahan hutan atas seijin pihak kehutanan, (4) Warisan orang tua, (5) Tanah adat, (6) Membeli dari orang lain (sebutkan siapa………………..), (7) Menyewa dari orang lain (sebutkan siapa………………..) 3) Bagaimanakan status penguasaan lahan nya? (1) Hak Milik (2) Menyewa dari orang lain. (3) Sakap/garap/pakai bagi hasil, (4) Lainnya sebutkan ……………… 4) (X20) Apabila lahan tersebut milik sendiri, bagaimanakah status hukum kepemilikan lahan pertanian Saudara yang berada di luar kawasan saat ini: (1) Sertifikat HM/HGU/HGB (Oleh BPN) (2) Akte Tanah (Oleh Camat atau PPAT) (3) Surat Keterangan Tanah (oleh Perwatin) (4) Surat jual beli atau ganti lahan garapan, bukti girik, bukti Pajak PBB (5) Tanpa surat keterangan satupun 5) Menurut persepsi responden, apakah dengan luas lahan pertanian yang dimiliki saat ini sudah cukup utuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? YA atau TIDAK. 6) (X22) Jika YA, berapakah tambahan luas lahan pertanian minimal yang dibutuhkan agar bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga? ……………………….. hektar.
Halaman 5 dari 26
7) (X21) Berapakah pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari usaha pertanian dan non pertanian dari luar lahan kawasan hutan? Hitung jumlah realnya Rp. ………………../bulan. (Diperoleh dari selisih perhitungan: Tabel 6a-6b)
6. Karakteristik Ekonomi Rumah Tangga 6a. Sumber Penghasilan 01
Penghasilan perbulan dari : Item
Rangking
Pendapatan
A. Hasil Pertanian Rp.
•
Kopi
•
Buah-buahan
•
Padi
•
Singkong
•
Pisang
•
Lombok
• • •
Sayur-sayuran
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
Kacang Tanah
Rp.
Lainnya
Rp.
B. Hasil Hutan •
Kayu (termasuk Fee)
Rp.
•
Sarang Burung Walet
Rp.
•
Madu
Rp.
•
Lainnya
Rp.
C. Hasil Berburu dan Perikanan •
Pancing
Rp.
•
Jala
Rp.
•
Berburu
Rp.
•
Pasang Jerat
Rp.
D. Hasil Non-pertanian •
………………………….
•
………………………….
Rp.
•
…………………………
Rp.
Total Pendapatan
Rp.
Rp.
Keterangan
Halaman 6 dari 26
02.
Penghasilan tak tetap (misalnya: pertukangan, dsb) Frekuensi dalam satu tahun
Item
Pendapatan bersih per rumah tangga
1.
Rp.
2.
Rp.
3.
Rp. Total Pendapatan Tidak Tetap
Keterangan
Rp.
Berikan penjelasan secara deskriptif mengenai kegiatan untuk memperoleh penghasilan tidak tetap di atas
b. Pengeluaran Rumah Tangga 01
Perkiraan total pengeluaran Rumah Tangga per bulan : a. Total : Rp ……………………… (Tanyakan rinciannya!) b. Rincian : No.
Jenis Pengeluaran
Biaya/bulan (Rp)
1
Makanan dan minuman
Rp
2
Pendidikan
Rp
3
Listrik
Rp
4
Air/PDAM
Rp
5
Alat-alat pertanian
Rp
6
Kesehatan
Rp
7
Transportasi
Rp
8
Pakaian
Rp
9
Rokok
Rp
10
Pajak
Rp
11
Perbaikan rumah
12
Lainnya… Jumlah Pengeluaran
Rp
Keterangan
Halaman 7 dari 26
CATATAN: (berisi catatan tambahan untuk pertanyaan C.1.1 s/d C.1.6)
C.2 Lahan Di Dalam Kawasan 1. Bagaimanakah bentuk penggunaan lahan sebelumnya (sebelum digarap) Jenis vegetasi/pohon dominan Tenam Campaka Gelam Lainnya, sebutkan
Tahun 65
70
75
80
85
90
95
00
01
02
03
1. Medang 2. Cemara 3. …………… …. Keterangan: 1) Agar direkam kapan perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian dengan melihat jenis komoditas pertanian yang dibudidayakan. 2) Untuk mengetahui pohon/komoditas yang dominan, pengisian setiap kolom tahun dilakukan secara rangking: 1,2,3,4 dst.
2. Penggunaan Lahan Kawasan Dalam Setahun Terahir PLot
Luas (hektar)
Sejak Kapan Asal (Tahun)/Sudah Usul berapa tahun lahan1)
Jenis tumbuhan dominan
Produksi Alasan pertahun pemilihan (berat/volume tumbuhan 2) per hektar)
1 2 3 4 Total Keterangan: 1) Asal-usul lahan garapan di dalam kawasan: 1) Membuka lahan hutan dengan inisiatif sendiri, 2) Membuka lahan hutan dengan dorongan kelompok, 3) Membuka lahan hutan atas seijin pihak kehutanan, 4) Warisan orang tua, 5) Membeli/Ganti rugi garapan dari orang lain (sebutkan siapa……………………………) 6) Menyewa dari orang lain (sebutkan siapa…………………………………………..), 7) Dulunya adalah lahan garapannya yang saat ini dibuka kembali (reopening)
Halaman 8 dari 26
2) Pertanyaan tentang paratik pertanian? (Pertanyaan ini juga untuk mengukur praktik ekosentris responden selama bertani di dalam kawasan melengkapi x13) •
•
•
Bagaimanakah sistem oleh tanah responden di lahan garapan yang ada di kawasan? (Untuk mengukur praktik responden dalam teknik konservasi tanah) .............................................. ....................................................................... ....................................................................... .......................................................................................... .......................................... Bagaimanakah cara responden mengatasi hama penyakit tanaman ? (Untuk mengukur kepedulian petani thdp pendekatan PHT). ............................................................................... ............................................................................................................................................... ... ............................................................................................................................................... ... Pupuk dan pestisida apa saja yang dipergunakan? Berapa dosisnya>.................................... ............................................................................................................................................... ... ............................................................................................................................................... ...
3) (X2) Berapa harga setempat komoditas dominan per berat/volume: Rp. ……………. (Per kg) / (per m3). Jika diketahui, berapa harga pasar sesungguhnya?: Rp. …………. (Per kg) / (per m3). Hitung produktifitas per hektarnyanya : (Total panen x harga setempat)/luas lahan= Rp. ……………….. per hektar. 4) Berapakah harga beras yang biasanya Saudara konsumsi = Rp. ………………per kg. 5) Berapakah konsumsi beras untuk rumah tangga Saudara setiap bulannya: …………..…kg/bulan 6) (X3) Darimanakah sumber responden dalam memperoleh informasi harga komoditi utama yang dibudidayakan? (Boleh pilih lebih dari satu) 1) Perusahaan, 2) Pedagang pengumpul, 3) Pasar desa, 4) Kerabat/tetangga. 7) (X4) Siapakah yang selama ini membeli/menampung komoditas utama tersebut? (Boleh pilih lebih dari satu) (1) Perusahan (sebutkan siapa)…………………….., (2) Pasar Desa, (3) Pedagang pengumpul (sebutkan siapa?)………………, (4) Lainnya (sebutkan)………. 8) (X5) Untuk mencapai lahan garapan yang anda kelola di dalam kawasan, apakah prasarana transportasi berikut tersedia ? (Boleh pilih lebih dari satu) 1) Jalan segala cuaca (dapat ditempuh baik musim hujan dan kemarau), 2) Jalan kering (tidak dapat/sulit ditempuh pada musim hujan). 3) Jalan setapak
Halaman 9 dari 26
9) Dengan moda transportasi apakah responden mencapai lokasi lahan garapan tersebut? (Boleh pilih lebih dari satu) 1) Berjalan kaki 2) Kendaraan roda dua 3) Kendaraan roda empat 4) Kendaraan air 10) Berdasarkan moda yang paling sering dipergunakan, berapakah rata-rata waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai lokasi lahan garapan di dalam kawasan:………………..…(jam/menit) 11) (X6) Apakah motivasi atau yang melatar-belakangi responden dalam mengkonversi lahan ke dalam bentuk penggunaan saat ini? (Boleh pilih lebih dari satu) (1) Untuk dijual (berorientasi pasar) (2) untuk keperluan sendiri/keluarga (subsisten) (3) Atas saran/ajakan keluarga/kerabat/tetangga. Jelaskan mengapa?............................................................................................................... ………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………….. 12) (X1) Selama mengelola lahan di dalam kawasan, apakah anda pernah mengalami peristiwa bencana alam seperti berikut? (Boleh pilih lebih dari satu) 1) Kebakaran hutan. 2) Erosi dan longsor. 3) Banjir dan penggenangan. 4) Serangan penyakit dan hama tanaman. 13) Selama mengelola lahan di dalam kawasan, apakah Saudara pernah mengalami gangguan satwa liar? (1) YA (2) TIDAK. Jika YA, sebutkan kerugiannya (Boleh lebih dari satu): 1) Rusaknya ladang. 2) Rusaknya rumah. 3) Korban Jiwa/luka manusia. 4) Korban kematian satwa. 14) Sebutkan satwa apakah yang paling sering menggangu? ........................................................ Seberapa seringkah gangguang tersebut menyerang Saudara (Pilih satu saja): 1) Setiap hari 2) Beberapa hari dalam seminggu 3) Beberapa hari dalam sebulan 4) Beberapa hari dalam enam bulan terakhir 5) Sekali-kali dalam setahun CATATAN: (Beri catatan enumerator terhadap pertanyaan 2.1 s/d 2.11 di bawah ini !! )
Halaman 10 dari 26
3. Investasi Non Pertanian di Dalam Lahan Kawasan Yang Digarap PLot
Bentuk investasi 1)
Sejak Kapan (Tahun)/Sudah berapa tahun
Berapakah nilai investasi (Rp)
Keterangan
1
a. …. a. …. b. …. b. …. c. …. c. …. 2 a. …. a. …. b. …. b. …. c. ….. c. …. 3 a. …. a. …. b. …. b. …. c. …. c. …. 4 a. …. 1) …. b. …. 2) …. c. …. 3) …. Keterangan: 1) Bentuk investasi: (a) Rumah tempat tinggal, (b) Gubug ladang, (c) Jalan masuk, (c) Lainnya sebutkan…….. CATATAN: ………………..
D. PERSEPSI DAN PERBEDAAN STRUKTURAL D.1 Perbedaan Struktural 1) Berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung Bukit Rigis oleh pemerintah. Tipe partisipasi apakah yang paling sering diminta oleh pemerintah selama ini kepada Saudara dalam program/proyek pengelolaan hutan? (Pilih satu saja!) (X7) (1) Manipulatif dan dekoratif (Keberadaan masyarakat dibentuk oleh pemerintah dan untuk kepentingan sesaat oleh pemerintah. Misal: Kelompok dibentuk karena ada bantuan/distribusi bibit dari pemerintah dan kelompok hanya eksis selama proyek berlangsung). (2) Pasif (Masyarakat hanya diberitahu kegiatan apa yang sedang dilakukan tanpa memiliki kemampuan untuk mengubah apa yang akan terjadi). (3) Memberi informasi dan konsultasi (Masyarakat lebih berperan sebagai agen informasi; lembaga pemerintah mengendalikan proses analisis masalah dan mendefinisikan serta mendesain solusi permasalahan; pengambilan keputusan dalam menyusun desain pembangunan tidak diserahkan kepada masyarakat). (4) Insentif material (Masyarakat berpartisipasi hanya dalam pelaksanaan dalam kaitannya dengan insentif material. Misalnya masyarakat setempat disertakan untuk berpartisipasi menyediakan tenaga kerja dan untuk partisipasi tersebut mereka mendapat insentif berbentuk upah kerja). (5) Fungsional ( Pemerintah melibatkan masyarakat sebagai cara untuk mencapai tujuan program/proyek, terutama dalam upaya menghemat biaya. Misalnya meminta masyarakat berpartisipasi dalam menyediakan tenaga kerja sukarela; namun masyarakat berpeluang untuk turut serta secara bersama mengatur pengelolaan sumberdaya yang tersedia.)
Halaman 11 dari 26
(6) Interaktif (Kegiatan diinisiasi oleh lembaga pemerintah bekerjasama dengan masyarakat; Terkadang kegiatan dalam rangka merespon permintaan masyarakat; Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, pengembangan rencana tindak dan perumusan kegiatan atau penguatan kelembagaan untuk pelaksanaan dan pengelolaan; Masyarakat dapat mempengaruhi determinasi bagaimana menggunakan sumberdaya yang tersedia akan dipergunakan). (7) Self-mobilization/Mandiri (Kegiatan diinisiasi oleh masyarakat sendiri; Hubungan kerja dengan lembaga pemerintah dibangun oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan mereka; Pengelolaan sumberdaya hutan secara otonom diatur oleh masyarakat).
Catatan tambahan: Dari tipe partisipasi yang dipilih, berikan contoh kegiatannya? …………………………………………………………………………………………………………………….. Apakah responden puas dengan tipe partisipasi yang mereka jalani selama ini? Jelaskan mengapa…………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………… Tipe partisipasi apa yang diinginkan oleh responden?............................................................................ …………………………………………………………………………………………………………… ………… 2) (X8) Tingkat Kesejahteraan Responden adalah tingkat kesejahteraan keluarga dengan menggunakan Indikator Keluarga Sejahtera yang ditetapkan oleh BKKBN. Agar enumerator melakukan analisis tingkat kesejahteraan dengan dipandu oleh check list di bawah ini. INDIKATOR
Tingkat KESRA Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal yaitu kebutuhan dasar secara minimal yaitu kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan, atau keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikatorindikator Keluarga Sejahtera Tahap I. Indikator Keluarga Sejahtera Tahap I adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, tatapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya yaitu kebutuhan akan pendidikan, Keluarga Berencana, Interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transfortasi. Keluarga Sejahtera Tahap II adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal serta telah dapat memenuhi •
• • • • •
Melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut masing-masing. Makan dua kali sehari atau lebih Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan. Lantai rumah bukan dari tanah. Kesehatan ( anak sakit atau PUS ingin ber KB dibawa ke sarana / petugas Kesehatan).
Seluruh indikator Keluarga Sejahtera I ditambah dengan indikator sebagai berikut : • Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut
SKOR 1
2
3
Halaman 12 dari 26
masing-masing. Makan daging / ikan / telur sebagai lauk-pauk paling kurang sekali dalam seminggu. • Memperoleh pakaian baru dalam satu tahun terahkir. • Luas lantai tiap penghuni rumah satu 8 m2. • Anggota keluarga sehat dalam tiga bulan terahkir, sehingga dapat melaksanakan fungsi masing-masing. • Keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap. • Bisa baca tulis latin bagi seluruh anggota keluarga dewasa yang berumur 10 s/d 60 tahun. • Anak usia sekolah (7 s/d 15 tahun) bersekolah. • Anak hidup dua atau lebih, keluarga masih PUS, saat ini memakai kontrasepsi. Seluruh indikator Keluarga Sejahtera Tahap I dan II ditambah indikator sebagai berikut : • Upaya keluarga untuk meningkatkan / menambah pengetahuan agama. • Keluarga mempunyai tabungan. • Makan bersama paling kurang sekali sehari. • Ikut serta dalam kegiatan masyarakat. • Rekreasi bersama / penyegaran paling kurang dalam 6 bulan. • Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, majalah. • Angota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi. •
Seluruh indikator Keluarga Sejahtera Tahap I, II dan III ditambah dengan indikator sebagai berikut : • Memberikan sumbangan secara teratur ( waktu tertentu ) dan sukarela dalam bentuk materiil kepada masyarakat. • Aktif sebagai pengurus Yayasan / Instansi.
seluruh kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan yaitu kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
Keluarga Sejahtera Tahap III adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan kebutuhan pengembangan, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat secara teratur (dalam waktu tertentu) dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan, serta berperan serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan lain sebagainya. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus ; adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun pengembangan serta telah dapat memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.
4
5
3) (X9) Keberdayaan responden adalah kegiatan pemberdayaan yang pernah diikuti responden dalam kaitan dengan penanganan konflik pengelolaan status dan fungsi kawasan hutan Bukit Rigis. Kegiatan tersebut haruslah kontinu diindikasikan oleh adanya proses yang pernah dan sedang berlangsung. Apakah Saudara pernah mengikuti pendampingan-pendampingan berikut? (Boleh pilih lebih dari satu) a. Pendampingan hukum dan berhasil. b. Penguatan pengorganisasian kelompok untuk menangani konflik dan berhasil. c. Penguatan usaha ekonomi rumah tangga dan berhasil melepas ketergantungan ekonomi. (Skor: 5=a-b-c; 4= a-b; 3=a-c; 2=b-c; dan 1=a atau b atau c.)
Halaman 13 dari 26
Catatan untuk pertanyaan no 3: Pendampingan Hukum: 1) Apa konfliknya……………….. 2) Siapa pendampingnya……………….. 3) Mulai kapan pendampingan………………….hingga……………………. 4) Apa bentuk penyelesaiannya: (a) Fasilitasi, (b) negosiasi, (c) mediasi, (d) Arbitrasi, (e) Ligitasi 5) Apa hasil yang dicapai hingga saat ini………………..
Pendampingan Pengorganisasian Kelompok: 1) Apa tujuan khususnya……………….. 2) Siapa pendampingnya……………….. 3) Mulai kapan pendampingan………………….hingga……………………. 4) Apa hasil yang dicapai hingga saat ini………………..
Pendampingan penguatan usaha ekonomi rumah tangga: 1) Apa tujuan khususnya……………….. 2) Siapa pendampingnya……………….. 3) Mulai kapan pendampingan………………….hingga……………………. 4) Apa bentuk penyelesaiannya: (a) Fasilitasi, (b) negosiasi, (c) mediasi, (d) Arbitrasi, (e) Ligitasi 5) Apa hasil yang dicapai hingga saat ini………………..
4) (X10) Saudara menggarap/bertani di dalam kawasan hutan. Apakah dalam penetapan status dan fungsi kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis selama ini, Saudara merasa … (Pilih satu saja) 1) Responden samasekali belum tahu tentang status dan fungsi kawasan hutan Bukit Rigis. 2) Responden tahu kawasan dari pihak ketiga, tetapi tidak pernah diberitahu tentang penetapan satus dan fungsi kawasan oleh pemerintah. 3) Responden hanya diberitahu oleh pemerintah tanpa diberi kesempatan bertanya jika masyarakat tidak sepakat dengan status dan fungsi kawasan. 4) Responden diajak bicara tetapi kepentingan masyarakat masih diabaikan (tidak ditindaklanjuti) oleh pemerintah. 5) Responden diajak bicara dan kepentingannya diperhatikan/dipenuhi oleh pemerintah. Jika diajak bicara atau diberitahu oleh pemerintah, seingat saudara kapan pertama kali itu dilakukan?.................................................................................................................................... Jika ada penjelasan lain, tambahkan disini…………………………………………………........ ……………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………
Halaman 14 dari 26
D.2 Persepsi 1) (X11). Tindakan represif oleh pemerintah. Bagaimanakah cara yang PERNAH dilakukan pemerintah dan yang PALING MENCEMASKAN Saudara dalam penanganan status dan fungsi hutan bukit rigis? (Pilih satu saja) (1) Pemindahan/penurunan masyarakat secara persuasif. (2) Pengabaian masyarakat di dalam kawasan tanpa memberikan solusi dan kepastian hukum. (3) Pemindahan/penurunan masyarakat dengan cara intimidasi non fisik. (4) Penebangan/pemusnahan kebun garapan masyarakat di dalam kawasan. (5) Pemindahan masyarakat secara paksa dan secara fisik ke luar dari kawasan hutan. Berikan penjelasan atas jawaban yang dipilih: • Apa yang dipahami responden terhadap pernyataan yang dipilih? ............... ............................
•
Berikan uraian/rekaman sejarah/peristiwa tindakan pemerintah yang pernah responden ketahui dan/atau alami di kawasan hutan lindung Bukit Rigis........ .............................................
2) (X12) Persepsi tentang status kawasan hutan negara. Pernyataan verbal responden akan pemahamannya tentang STATUS kawasan hutan lindung bukit rigis dan keingintahuannnya.” (Pilih satu saja) (1) Saya tidak tahu dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung dan semua itu adalah urusan negara dan bukan urusan saya. (2) Saya tahu tapi amat tidak paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. (3) Saya tahu tapi tidak paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. (4) Saya tahu dan paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. (5) Saya tahu dan amat paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung.
Penelusuran silang oleh enumerator, mintakan penjelasan responden terhadap pemahaman mereka atas pertanyaan-pertanyaan berikut: • Apa yang dimasud STATUS? ………………….
•
Apa yang dimaksud KAWASAN? …………..
•
Apa yang dimaksud HUTAN? …………………
•
Apa yang dimaksud HUTAN LINDUNG? ………………..
Halaman 15 dari 26
3) (X13). Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan. Berikan pilihan pernyataan verbal responden mengenai pemahamannya tentang fungsi kawasan hutan lindung Bukit Rigis. (Pilih satu saja) (1) Saya tidak tahu dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung dan semua itu adalah urusan negara dan bukan urusan saya. (2) Saya tahu tapi amat tidak paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. (3) Saya tahu tapi tidak paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. (4) Saya tahu dan paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. (5) Saya tahu dan amat paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pernyataan yang dipilih?......... .......................................................................................................................................................... ........................................................................................................................................................
Tanyakan, apakah responden pernah mendengar istilah fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial? Jika pernah uraikan pemahaman mereka! ................................................................................................................................................... Kapan mereka pertama kali mendengar istilah itu?................................................................... Siapa yang memberitahukannya?.............................................................................................
4) Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14). Apa responden pahami tentang DESENTRALISASI/OTONOMI pengelolaan kawasan hutan lindung? Uraikan dengan singkat................................................................................................................................................. ............................................................................................................................................................ ............................................................................................................................................................ ............................................................................................................................................................ Untuk enumerator: Apakah kata kunci berikut terdapat dalam penjelasan responden ttg desentralisasi/otonomi PSDH? (a) Pemda Propinsi atau pusat hanya mengatur PSDH. (b) PSDHL oleh pemda kabupaten. (c) Masyarakat berhak dan bertanggung jawab ikut mengelola. (d) Tidak mengerti tentang desentralisasi/otonomi PSDH. (Skor: 5 = a-b-c; 4 = b-c, 3 = b atau c, 2 = a-b, 1 = d. )
Halaman 16 dari 26
5) (X15). Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi. Berapa kalikah responden pernah mengikuti dialog/negosiasi/pertemuan untuk membahas perbedaan? …………………..kali Menurut pendapat Saudara, frekuensi keterlibatan dialog tersebut dapat dikatakan: (1) Tidak pernah (2) Amat jarang (3) Jarang (4) Sering (5) Amat sering Apakah ada dialog dan negosiasi yang menghasilkan kesepakatan? Sebutkan peristiwanya ……………………………………………………………………………………….kapan………………… dan apa hasilnya……………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………… Adakah pihak ketiga yang membantu/memfasilitasi dialog/negosiasi, sebutkan siapa saja, sejak kapan, dan apa saja kegiatan nya ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… 6) (X18) Kosmopolitansi responden. Tingkat keterbukaan responden terhadap dunia luas dan pembaharuan yang ditentukan berdasarkan jumlah macam informasi yang digunakan. Selama ini dari mana sajakah informasi (berupa peraturan, dokumen-dokumen sejenis, peta-peta) yang diperoleh responden dalam memahami otonomi, status dan fungsi kawasan hutan lindung Bukit Rigis. (Boleh pilih lebih dari satu): a. Media masa/buku yang didapat secara mandiri. b. Teman dekat/tetangga/tokoh masyarakat setempat, c. Pendamping d. Lembaga penelitian/perguruan tinggi/dinas pemerintah. e. Tidak pernah memperoleh informasi. (Skor: 5 = empat sumber selain e; 4 = tiga sumber selain e; 3 = dua sumber selain e; 2 = satu sumber selain e, 1 = e)
Catatan lapangan enumerator terhadap pertanyaan D.2.1 s/d D.2.6:
Halaman 17 dari 26
E. ETIK LINGKUNGAN 1) (X23) Etik Antroposentris adalah paham dan keyakinan responden bahwa manusia adalah dominan terhadap alam dan oleh karenanya alam dapat dimanfaatkan semata-mata kehidupan dirinya. Berikan pernyataaan ini : “Manusia adalah khalifah diatas bumi ini, bumi beserta isinya diciptakan oleh Tuhan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan umat manusia.” Lalu tanyakan keyakinan responden: (Pilih salah satu) (1) Amat meyakini (2) Meyakini (3) Tidak meyakini (4) Amat tidak meyakini (5) Menolak paham tersebut Jelaskan alasan dari pernyataan yang dipilih:
Enumerator lakukan pemeriksaan silang dengan pola hidup dan pola konsumsi SDA, beri catatan dibawah ini:
2) Etik Ekosentris (X24) adalah paham dan keyakinan responden bahwa manusia adalah bagian dari alam dan oleh karenanya pemanfaatan sumberdaya alam harus memperhatikan kepentingan mahluk lain. Berikan pernyataaanini : “Manusia hidup menyatu dengan alam dan setara dengan mahluk lainnya. Pemenuhan kebutuhan manusia wajib memperhatikan kebutuhan mahluk lain dan kebutuhan hidup mereka di masa mendatang”. Lalu tanyakan keyakinan responden: (Pilih salah satu) (1) Menolak paham tersebut (2) Amat tidak meyakini (3) Tidak meyakini (4) Meyakini (5) Amat meyakini Jelaskan alasan dari pernyataan yang dipilih:
Enumerator lakukan pemeriksaan silang dengan pola hidup dan pola konsumsi SDA, beri catatan dibawah ini:
Halaman 18 dari 26
3) Manifestasi etik lingkungan responden (X25) adalah perilaku/praktik (berdasarkan paham dan keyakinan responden tentang keterkaitan antara tata sosial seseorang/kelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya) yang dilihat dari kegiatan mereka dalam PSDA. (Agar dilengkapi semuanya)
Indikator dan spesifikasinya 1. Topografi, kemiringan lahan yang diusahakan 1.1 Lebih dari 45% 1.2 30-45% 1.3 3-30% 1.4 0-3% 2. Usaha pencegahan erosi Sama sekali tidak dilakukan Hanya dilakukan di lahan miring Dilakukan juga di lahan datar 3. Jenis tanaman yang ditanam Di lahan miring Tanaman semusim (Padi, palawija, dan semacamnya) Tanaman keras (kayu-kayuan) atau tanaman tahunan 3.2 Di lahan datar 3.2.1 Tanaman semusim (Padi, palawija, dan semacamnya) 3.2.2 Tanaman keras (kayu-kayuan) atau tanaman tahunan 4. Cara membersihkan lahan (land clearing) Menebas dan membakar hutan Menggunakan herbisida Membakar rumput dan tumbuhan pengganggu lainya Ditebas tetapi tidak dibakar 5. Cara mengolah tanah Dibajak dan digaru Dibajak Digaru Dicangkul Di injak-injak pakai ternak/manusia Tidak diolah, hanya dibersihkan 6. Penggunaan pupuk Pupuk buatan kimiawi Dosis melebihi anjuran Dosis sesuai anjuran Pupuk alami, organik (pupuk kandang, pupuk hijau) Tidak pernah pakai pupuk 7. Penggunaan pestisida Pestisida buatan, kimiawi Dosis melebihi anjuran Dosis sesuai anjuran Pestisida alami Tidak pernah menggunakan pestisida 8. Golongan pestisida kimiawi yang digunakan Golongan yang tidak diperbolehkan Golongan yang diperbolehkan Total Skor Minimum = 0, maksimum = 20 SKOR = 1; Jika total nilai berada antara 16-20 = sangat baik; SKOR = 2; Jika total nilai berada antara 12-16 = baik; SKOR = 3; Jika total nilai berada antara 8-12 = sedang; SKOR = 4; Jika total nilai berada antara 4-8 = buruk; SKOR = 5; Jika total nilai berada antara 0-4 = sangat buruk;
Skor 0 1 2 3 0 1 2
0 1 0 1 0 0 1 2 0 1 1 1 2 3
0 1 2 3
0 1 2 3 0 1
Halaman 19 dari 26
4) ESKALASI KONFLIK (X26). Peningkatan perbedaan yang menyebabkan bergesernya tipe konflik dari tanpa konflik menjadi konflik terbuka. Dalam menghadapi perbedaan/konflik tentang status lahan, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, bagamanakah bentuk konflik yang pernah terjadi: Indikator dan spesifikasinya 1. Tanpa Konflik Kesan umum masalah status, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis adalah baik. Setiap kelompok/pihak hidup berdampingan secara damai. Jika ada perbedaan selalu dibicarakan secara transparan 1) Tidak ada perbedaan kepentingan yang terjadi. 2) Perilaku masyarakat dengan pemerintah selama ini selaras. 2. Potensi Konflik 1) Terjadi perbedaan kepentingan yang dangkal dan tidak prinsipal. 2) Perilaku masyarakat dengan pemerintah selama ini selaras, dan selalu ada pemecahan. 3. Konlik Laten
Skor
1
2
Sifatnya tersembunyi dan, seperti telah disebutkan di atas perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. 1) Terjadi perbedaan kepentingan yang mendalam/prinsip antara masyarakat dan pemerintah terhadap masalah masalah status, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis. 2) Perilaku antara masyarakat dengan pemerintah selaras tetapi tidak ada pemecahan perbedaan pandangan 4. Konflik Permukaan Memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahfahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. 1) Terjadi perbedaan kepentingan yang dangkal/tidak prinsipal antara masyarakat dan pemerintah terhadap masalah masalah status, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis. 2) Perilaku antara masyarakat dengan pemerintah bertentangan dan terjadi konfrontasi secara terbuka.
3
4
5. Konflik Terbuka Adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 1) Terjadi perbedaan kepentingan yang mendalam/prinsipal antara masyarakat dan pemerintah terhadap masalah masalah status, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis. 2) Perilaku antara masyarakat dengan pemerintah bertentangan dan terjadi konfrontasi secara terbuka.
5
Halaman 20 dari 26
LEMBAR TAMBAHAN (Ambil 3 responden dari setiap site)
F. PETA KONLIK F.1. Pihak Lain Yang Diangggap Memiliki Perbedaan Kepentingan (POLARISASI KONFLIK). Pihak lain yang berbeda kepentingan. Pemerintah daerah. LSM, Perguruan tinggi. Swasta
Kelompok masyarakat Lainnya sebutkan
Nama Lembaganya
Isu/akar perbedaan
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… …… ……. ……. ……
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… …… ……. ……. ……
1)
Sejak kapan terjadinya (Tahun) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… …… ……. ……. ……
Keterangan: 1) Isu/akar perbedaan (Boleh lingkari lebih dari satu diurut berdasarkan perbedaan yang paling dominan): 1) Status lahan, 2) Tata batas, 3) Akses untuk menggarap, 4) Isu lingkungan: (a) erosi, (b) kebakaran hutan, (c) gangguan satwa, (d) banjir, (e) tanah longsor, (e) lainnya sebutkan……………. CATATAN: Buatlah sejarah eskalasi dan deeskalasi konflik yang terjadi berdasarkan tahun dan peristiwa! Tahun
Peristiwa
Keterangan Tambahan ……………………………
Halaman 21 dari 26
F.2. Gaya/Sikap Dalam Mengelola Perbedaan CATATAN: Pertanyaan dibawah kotak ini diajukan kepada setiap isu/akar perbedaan yang terjadi yaitu: 1) Status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 2) Penetapan tata batas batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 3) Hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis 1) Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini Pernyataan responden
Saya menjauhi ketidak-sepakatan dan selalu menghindari diskusi terbuka tentang perbedaan
Saya yakin dengan posisi dan pandangan/pendapat saya dan menggunakan kekuatan/kemampuan saya agar pandangan/pendapat saya diterima pihak lain Saya mencoba untuk mengakomodasi (memenuhi) kepentingan orang/pihak lain dan rela mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Gaya Pengel olaan Konflik (1) Saling menghindar (2) Kompetitif /represif (3) Akomodatif
Untuk menghindari kebuntuan, saya mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan saya dan harapan pihak lain.
Kompromi
Saya mencoba membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama.
Kolaborasi
(3)
(5)
Skor tingkat ketegasan responden dalam memilih gaya 1,0 = Tidak mungkin 1,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 1,4 = Tergantung 1,6 = Kemungkinan besar dilakukan 1,8 = Pasti dilakukan 2,0 = Tidak mungkin 2,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 2,4 = Tergantung 2,6 = Kemungkinan besar dilakukan 2,8 = Pasti dilakukan 3,0 = Tidak mungkin 3,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 3,4 = Tergantung 4,6 = Kemungkinan besar dilakukan 5,8 = Pasti dilakukan 4,0 = Tidak mungkin 4,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 4,4 = Tergantung 4,6 = Kemungkinan besar dilakukan 4,8 = Pasti dilakukan 5,0 = Tidak mungkin 5,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 5,4 = Tergantung 5,6 = Kemungkinan besar dilakukan 5,8 = Pasti dilakukan
2) Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini Pernyataan responden
Saya menjauhi ketidak-sepakatan dan selalu menghindari diskusi terbuka tentang perbedaan
Saya yakin dengan posisi dan pandangan/pendapat saya dan menggunakan kekuatan/kemampuan saya agar pandangan/pendapat saya diterima pihak lain Saya mencoba untuk mengakomodasi (memenuhi) kepentingan orang/pihak lain dan rela mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Gaya Pengel olaan Konflik (1) Saling menghindar (2) Kompetitif /represif (3) Akomodatif
Skor tingkat ketegasan responden dalam memilih gaya 1,0 = Tidak mungkin 1,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 1,4 = Tergantung 1,6 = Kemungkinan besar dilakukan 1,8 = Pasti dilakukan 2,0 = Tidak mungkin 2,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 2,4 = Tergantung 2,6 = Kemungkinan besar dilakukan 2,8 = Pasti dilakukan 3,0 = Tidak mungkin 3,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 3,4 = Tergantung 4,6 = Kemungkinan besar dilakukan 5,8 = Pasti dilakukan
Halaman 22 dari 26
Untuk menghindari kebuntuan, saya mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan saya dan harapan pihak lain.
(3) Kompromi
Saya mencoba membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama.
(5) Kolaborasi
4,0 = Tidak mungkin 4,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 4,4 = Tergantung 4,6 = Kemungkinan besar dilakukan 4,8 = Pasti dilakukan 5,0 = Tidak mungkin 5,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 5,4 = Tergantung 5,6 = Kemungkinan besar dilakukan 5,8 = Pasti dilakukan
3) Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini Pernyataan responden
Gaya Pengel olaan Konflik
Saya menjauhi ketidak-sepakatan dan selalu menghindari diskusi terbuka tentang perbedaan
(1) Saling menghindar
Saya yakin dengan posisi dan pandangan/pendapat saya dan menggunakan kekuatan/kemampuan saya agar pandangan/pendapat saya diterima pihak lain Saya mencoba untuk mengakomodasi (memenuhi) kepentingan orang/pihak lain dan rela mengorbankan kepentingan diri sendiri.
(2) Kompetitif /represif (3) Akomodatif
Untuk menghindari kebuntuan, saya mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan saya dan harapan pihak lain.
Kompromi
Saya mencoba membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama.
Kolaborasi
(3)
(5)
Skor tingkat ketegasan responden dalam memilih gaya 1,0 = Tidak mungkin 1,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 1,4 = Tergantung 1,6 = Kemungkinan besar dilakukan 1,8 = Pasti dilakukan 2,0 = Tidak mungkin 2,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 2,4 = Tergantung 2,6 = Kemungkinan besar dilakukan 2,8 = Pasti dilakukan 3,0 = Tidak mungkin 3,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 3,4 = Tergantung 4,6 = Kemungkinan besar dilakukan 5,8 = Pasti dilakukan 4,0 = Tidak mungkin 4,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 4,4 = Tergantung 4,6 = Kemungkinan besar dilakukan 4,8 = Pasti dilakukan 5,0 = Tidak mungkin 5,2 = Kemungkinan kecil dilakukan 5,4 = Tergantung 5,6 = Kemungkinan besar dilakukan 5,8 = Pasti dilakukan
F.3. Pihak lain yang dianggap memiliki kesamaan kepentingan dan turut berupaya 1. Pihak lain yang memilik kesamaan kepentingan Pihak lain yang Kesamaan kepentingan Pemerintah daerah LSM, Perguruan tinggi Swasta
Kelompok masyarakat
Nama Lembaganya
Isu/akar persamaan
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
…… …. ….. ……. …… …… …… …. …. ……. …… ……
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… ……
1)
Sejak kapan terjadinya (Tahun) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… ……
Halaman 23 dari 26
Lainnya sebutkan
1) ……. 2) ……. 3) ……
1) ……. 2) ……. 3) ……
1) ……. 2) ……. 3) ……
Keterangan: 4) Isu/akar perbedaan (Boleh lingkari lebih dari satu diurut berdasarkan perbedaan yang paling dominan): 1) Status lahan, 2) Tata batas, 3) Akses untuk menggarap, 4) Isu lingkungan: (a) erosi, (b) kebakaran hutan, (c) gangguan satwa, (d) banjir, (e) tanah longsor, (e) lainnya sebutkan……………. 5) Apakah kepentingan anda dan kelompok anda dibantu oleh pihak tersebut?YA atau TIDAK. Jika YA, sebutkan nama pihaknya……………………………………………………………………. CATATAN: Buatlah sejarah perjuangan yang terjadi berdasarkan tahun dan peristiwa! Tahun
Peristiwa
Keterangan Tambahan ……………………………
2. (Kaitkan dengan pertanyaan No. A-18, halaman 2) Apakah kepentingan anda selaku individu terlindungi oleh organisasi/kelompok anda ? a. Amat dibantu b. Dibantu c. Kadang-kadang d. Hampir tidak pernah e. Tidak pernah Berikan contoh apa saja yang pernah dibantu? …………………………………………………………
F.4 Upaya Responden Terhadap Penyelesaian Konflik. CATATAN: Pertanyaan dibawah kotak ini diajukan kepada setiap isu/akar perbedaan yang terjadi yaitu: 1) Status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 2) Penetapan tata batas batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 3) Hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis
Halaman 24 dari 26
1) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini ……... (Pilih satu yang utama)
(1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding.
(2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan.
(3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis.
(4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan.
(5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. 2) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini ……. (Pilih satu yang utama) 1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding. 2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. 3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis. 4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan. 5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. 3) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini …….(Pilih satu yang utama) 1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding. 2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. 3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis. 4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan. 5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. G. PILIHAN STRATEGI PENANGANAN KONFLIK 1) Terhadap perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis. (Pilih satu saja)
(1) Saya merasa sulit untuk memulai KOMUNIKASI karena masing-masing pihak sulit untuk saling bertemu untuk mengetahui perbedaan yang terjadi. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu menjembatani komunikasi agar penyelesaian perbedaan bisa dimulai. (KONSILIASI). (2) Saya merasa sulit untuk melakukan pertemuan dengan pihak lain untuk menyampaikan perbedaan yang saya miliki. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu memfasilitasi PERTEMUAN termasuk menyusun agenda waktu dan tempat, bentuk pertemuan, peran masing-masing pihak, dan mempersiapkan agar jika mungkin pertemuan tersebut bisa menghasilkan kesepakatan. (FASILITASI)
Halaman 25 dari 26
(3) Saya menginginkan masing-masing pihak secara sukarela untuk bertatap muka langsung untuk sama-sama mengidentifikasi perbedaan, saling memahami perbedaan kepentingan dan kebutuhan, mencoba untuk menemukan berbagai pilihan penyelesaian konflik, dan saling menawarkan syarat, kondisi, dan manfaat dari setiap kesepakatan yang ingin dicapai. (NEGOSIASI). (4) Saya merasa sudah tidak bisa lagi bertemu dengan pihak lain karena perbedaan kepentingan yang terjadi sudah terlalu parah. Saya memerlukan pihak yang netral yang bisa memediasi tapi tidak mencampuri proses pengambilan keputusan. (MEDIASI) (5) Saya ingin perbedaan ini diselesaikan secara hukum tapi dilakukan diluar proses peradilan umum. Saya membutuhkan seorang ahli hukum (Arbiter) yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri tapi harus bisa diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya melalui arbitrase. (ARBITRASE). (6) Saya amat meyakini kebenaran kepentingan saya, dan saya melihat tidak ada jalan lain bahwa perbedaan dengan pihak lain harus diselesaikan melalui jalur Peradilan Umum. Saya memerlukan pengacara dan saksi ahli yang bisa mendukung dan memperjuangkan kepentingan saya.(LIGITASI). Pertanyaan tambahan: •
•
Apakah responden sudah memahami pilihan yang akan ditempuh? ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………….. Apakah responden sudah mempertimbangkan resiko biaya, kelestarian hubungan dengan pihak lawan, dan kekuatannya dalam mempengaruhi hasil yang diharapkan? ............................................................................................................................................................ ............................................................................................................................................................ ...........................................................................................................................
2) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Konsiliasi. Fasilitasi. Negosiasi. Mediasi. Arbitrase. Ligitasi.
Pertanyaan tambahan: •
Apakah responden sudah memahami pilihan yang akan ditempuh? ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………….. Apakah responden sudah mempertimbangkan resiko biaya, kelestarian hubungan dengan pihak lawan, dan kekuatannya dalam mempengaruhi hasil yang diharapkan? ............................................................................................................................................................ ............................................................................................................................................................ ...........................................................................................................................
3) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini (1) Konsiliasi.
Halaman 26 dari 26
(2) (3) (4) (5) (6)
Fasilitasi. Negosiasi. Mediasi. Arbitrase. Ligitasi.
Pertanyaan tambahan: •
Apakah responden sudah memahami pilihan yang akan ditempuh? ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………..
Apakah responden sudah mempertimbangkan resiko biaya, kelestarian hubungan dengan pihak lawan, dan kekuatannya dalam mempengaruhi hasil yang diharapkan? ............................................................................................................................................................ ............................................................................................................................................................ .........................................................................................................................
WAWANCARA SELESAI PASTIKAN SEMUA INFORMASI SUDAH DITANYAKAN DAN DICATAT JANGAN LUPA UCAPKAN TERIMA KASIH BANYAK
Halaman 1 dari 12
KUESIONER PENELITIAN CONFLICT MANAGEMENT STYLE KONFLIK LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN Di Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung Barat Propinsi Lampung
Sebelum memulai wawancara agar…..!: 1. Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. 2. Menanyakan kesediaannya untuk menjadi responden Dalam memulai wawancara agar!: Menanyakan kepada responden; Terhadap semua informasi yang mereka berikan apakah responden ingin identitasnya dirahasiakan? (1) Ya.
(2) Tidak perlu.
Propinsi/kabupaten
: Lampung/Lampung Barat
Kecamatan
: Sumberjaya / Way Tenong
Desa
: ……………………………..…………………………..
Pemangku
: …………………………………………………………
Nama Kawasan Hutan
: Hutan Lindung Bukit Rigis
Pewawancara
:
Waktu wawancara (tgl, pukul)
:Tgl………………………/Pukul …………..
Catatan !:
Halaman 2 dari 12
A. JATIDIRI/IDENTITAS RESPONDEN Kode
Peubah
Uraian
01
Nama Responden
02
Jenis kelamin
(1) Laki-laki
03
Umur/tanggal lahir
……………….Tahun………bulan
04
Suku/etnis
05
Status kependudukan
06
Agama
07
Status dalam perkawinan
(2) Perempuan
(1) Setempat
(2) Pendatang
(1) Belum Menikah
(2) Menikah
(3) Cerai Hidup 08
Alamat rumah
(4) Cerai Mati
……………… ……………… …………….
09
Lama tinggal di desa (Sejak/Tahun)
10
Asal tempat sebelumnya (desa/wilayah)
11
(X17) Lama tinggal di talang/kawasan (Sejak/tahun)
……………/…………….tahun (1) Permanen; (2) Non permanen
12
Pekerjaan Utama
(1) PNS
(2) Swasta
(3) Pensiunan PNS (4) Lainnya (sebutkan) 13
Diangkat/ sejak tahun
……………..
14
Nama Lembaga/instansti/unit tempat
Nama………..
bekerja saat ini
Bidang/Biro…. Subbid/Seksi………
15
Alamat lembaga
Desa…………………………… Kecamatan …………………… Kota …………………………… Kabupaten ……………………
16
Pangkat/golongan saat ini (jika ada)
Halaman 3 dari 12
17. URAIKAN SEBANYAK MAKSIMAL 5 RIWAYAT JABATAN TERAKHIR (Catatan: Status sbg staf tetap dihitung sbg jabatan) No.
Nama Jabatan
Terhitung mulai Tanggal
1
Hingga Tanggal
Unit Kerja/Bidang/Seksi Nama……….. Bidang/Biro…. Subbid/Seksi……… Nama………..
2
Bidang/Biro…. Subbid/Seksi……… Nama………..
3
Bidang/Biro…. Subbid/Seksi……… Nama………..
4
Bidang/Biro…. Subbid/Seksi……… Nama………..
5
Bidang/Biro…. Subbid/Seksi……… Catatan: Jabatan ke 5 adalah jabatan saat ini. 18
Berapa jumlah staf yang saudara pimpin
(1) …………………… orang
pada jabatan saat ini
(2) Tidak ada
19. Gambarkan struktur organisasi tempat anda bekerja saat ini:
Halaman 4 dari 12
20. Uraikan dengan ringkas TUPOKSI Bidang/Seksi unit kerja anda saat ini: 1) ………………………………………. 2) ….. 3) ….. 4) …. 5) ….. 6) ………………………………. 21. Pekerjaan Sampingan jika ada: 1) ……………………… Sejak tahun………… 2) …………………….. Sejak tahun ……….. 3) …………………….. Sejak tahun ……….. 4) ……………………. Sejak tahun………… 22. Jika ada, sebutkan keterlibatan anda dalam organisasi diluar unit kerja saudara No.
23
Nama organisasi
Jabatan dalam Organisasi
Sejak
Hingga
Organisasi yang manakah saudara terlibat paling aktif?
24. RIWAYAT PENDIDIKAN No
Pendidikan
1 2
SD SMP
3
SMA
4 5 6 7 8
Diploma S1 S2 S3 Gelar kehormatan (Proff)
Tahun masuk
Tahun Lulus
Penyelenggara/Tempat
Halaman 5 dari 12
B. PETA KONFLIK SEBELUM MEMULAI PERTANYAAN BERIKUT, RESPONDEN DITANYA DULU APA BAGAMANAKAH SEPENGETAHUAN MEREKA TENTANG MASALAH PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG BUKIT RIGIS, DAN DAS WAY BESAY, SUMBERJAYA, DAN WAY TENONG JIKA MEREKA TIDAK TAHU SAMA SEKALI, PEWAWANCARA AGAR BERCERITERA TENTANG HAL TERSEBUT DIATAS TERMASUK INDIKASI KONFLIK YANG ADA. B.1. Gaya/Sikap Dalam Mengelola Perbedaan (AGAR RESPONDEN MENJAWAB ATAS DASAR JABATAN PROFESINYA) CATATAN: Pertanyaan dibawah kotak ini diajukan kepada setiap isu/akar perbedaan yang terjadi yaitu: 1) Status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 2) Penetapan tata batas batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 3) Hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis 1) Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini Pernyataan responden
Saya menjauhi ketidak-sepakatan dan selalu menghindari diskusi terbuka tentang perbedaan
Gaya Pengel olaan Konflik (1) Saling menghindar
Saya yakin dengan posisi dan pandangan/pendapat saya dan menggunakan kekuatan/kemampuan saya agar pandangan/pendapat saya diterima pihak lain Saya mencoba untuk mengakomodasi (memenuhi) kepentingan orang/pihak lain dan rela mengorbankan kepentingan diri sendiri.
(2) Kompetitif /represif (3) Akomodatif
Untuk menghindari kebuntuan, saya mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan saya dan harapan pihak lain. Saya mencoba membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama.
(4) Kompromi
(5) Kolaborasi
Skor tingkat ketegasan responden dalam memilih gaya 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,2 2,4 2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4 4,6 4,8 5,0 5,2 5,4 5,6 5,8
= Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan
Halaman 6 dari 12
2) Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini Pernyataan responden
Saya menjauhi ketidak-sepakatan dan selalu menghindari diskusi terbuka tentang perbedaan
Gaya Pengel olaan Konflik (1) Saling menghindar
Saya yakin dengan posisi dan pandangan/pendapat saya dan menggunakan kekuatan/kemampuan saya agar pandangan/pendapat saya diterima pihak lain Saya mencoba untuk mengakomodasi (memenuhi) kepentingan orang/pihak lain dan rela mengorbankan kepentingan diri sendiri.
(2) Kompetitif /represif (3) Akomodatif
Untuk menghindari kebuntuan, saya mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan saya dan harapan pihak lain. Saya mencoba membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama.
(4) Kompromi
(5) Kolaborasi
Skor tingkat ketegasan responden dalam memilih gaya 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,2 2,4 2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4 4,6 4,8 5,0 5,2 5,4 5,6 5,8
= Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan
3) Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini Pernyataan responden
Saya menjauhi ketidak-sepakatan dan selalu menghindari diskusi terbuka tentang perbedaan
Gaya Pengel olaan Konflik (1) Saling menghindar
Saya yakin dengan posisi dan pandangan/pendapat saya dan menggunakan kekuatan/kemampuan saya agar pandangan/pendapat saya diterima pihak lain Saya mencoba untuk mengakomodasi (memenuhi) kepentingan orang/pihak lain dan rela mengorbankan kepentingan diri sendiri.
(2) Kompetitif /represif (3) Akomodatif
Untuk menghindari kebuntuan, saya mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan saya dan harapan pihak lain. Saya mencoba membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama.
(4) Kompromi
(5) Kolaborasi
Skor tingkat ketegasan responden dalam memilih gaya 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,2 2,4 2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4 4,6 4,8 5,0 5,2 5,4 5,6 5,8
= Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan = Tidak memberikan komentar = Kemungkinan kecil dilakukan = Tergantung = Kemungkinan besar dilakukan = Pasti dilakukan
Halaman 7 dari 12
4) Apakah pandangan saudara tersebut sesuai dengan kepentingan TUPOKSI lembaga/unit tempat anda bekerja? a. TIDAK SESUAI (jika memilih ini, pindah ke pertanyaan 6) b. SESUAI (Jika memilih ini pindah kepertanyaan 5) 5) Apakah pandangan dan kepentingan anda selaku individu terlindungi oleh lembaga/unit tempat anda bekerja? a. Amat dibantu b. Dibantu c. Kadang-kadang d. Hampir tidak pernah e. Tidak pernah Berikan contoh apa saja yang pernah dibantu? ………………………………………………………… ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... ......... 6) Apa yang anda lakukan jika pandangan anda tidak sesuai dengan TUPOKSI lembaga/unit tampat anda bekerja? ….. ………………………………………………………………. …………………………………………………………….. ……………………………………………………………….. B.2. PIHAK LAIN YANG DIANGGGAP MEMILIKI PERBEDAAN KEPENTINGAN (POLARISASI KONFLIK). Pihak lain yang berbeda kepentingan. Pemerintah daerah. LSM, Perguruan tinggi. Swasta Kelompok masyarakat Lainnya sebutkan
Nama Lembaganya
Isu/akar perbedaan 1)
Sejak kapan terjadinya (Tahun)
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… …… ……. ……. ……
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… …… ……. ……. ……
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… …… ……. ……. ……
Keterangan: 1) Isu/akar perbedaan (Boleh lingkari lebih dari satu diurut berdasarkan perbedaan yang paling dominan): 1) Status lahan, 2) Tata batas, 3) Akses untuk menggarap, 4) Isu lingkungan: (a) erosi, (b) kebakaran hutan, (c) gangguan satwa, (d) banjir, (e) tanah longsor, (e) lainnya sebutkan……………. CATATAN: BERDASARKAN SEPENGETAHUAN RESPONDEN, Buatlah sejarah eskalasi dan deeskalasi konflik yang terjadi berdasarkan tahun dan peristiwa!
Halaman 8 dari 12
Tahun
Peristiwa
Keterangan Tambahan ……………………………
B.3. PIHAK LAIN YANG DIANGGAP MEMILIKI KESAMAAN KEPENTINGAN DAN TURUT BERUPAYA 1. Pihak lain yang memilik kesamaan kepentingan Pihak lain yang Kesamaan kepentingan Pemerintah daerah LSM, Perguruan tinggi Swasta Kelompok masyarakat Lainnya sebutkan
Nama Lembaganya
Isu/akar persamaan 1)
Sejak kapan terjadinya (Tahun)
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
…… …. ….. ……. …… …… …… …. …. ……. …… …… ……. ……. ……
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… …… ……. ……. ……
…… …. ….. ……. …… …… …… …… …… ……. …… …… ……. ……. ……
Keterangan: 1) Isu/akar perbedaan (Boleh lingkari lebih dari satu diurut berdasarkan perbedaan yang paling dominan): 1) 2) 3) 4)
Status lahan, Tata batas, Akses untuk menggarap, Isu lingkungan: (a) erosi, (b) kebakaran hutan, (c) gangguan satwa, (d) banjir, (e) tanah longsor, (e) lainnya sebutkan…………….
2) Apakah kepentingan anda dan kelompok anda dibantu oleh pihak tersebut?YA atau TIDAK. Jika YA, sebutkan nama pihaknya……………………………………………………………………. CATATAN: BERDASARKAN SEPENGETAHUAN RESPONDEN, Buatlah sejarah eskalasi dan deeskalasi konflik yang terjadi berdasarkan tahun dan peristiwa
Halaman 9 dari 12
Tahun
Peristiwa
Keterangan Tambahan ……………………………
B.4 Upaya Responden Terhadap Penyelesaian Konflik. CATATAN: Pertanyaan dibawah kotak ini diajukan kepada setiap isu/akar perbedaan yang terjadi yaitu: 1) Status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 2) Penetapan tata batas batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 3) Hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis 1) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini ……... (Pilih satu yang utama)
(1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding.
(2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan.
(3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis.
(4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan.
(5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan.
2) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini ……. (Pilih satu yang utama) 1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding. 2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. 3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis. 4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan. 5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. 3) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini …….(Pilih satu yang utama)
Halaman 10 dari 12
1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding. 2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. 3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis. 4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan. 5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. C. PILIHAN STRATEGI PENANGANAN KONFLIK 1) Terhadap perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis. (Pilih satu saja)
(1) Saya merasa sulit untuk memulai KOMUNIKASI karena masing-masing pihak sulit untuk saling
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
bertemu untuk mengetahui perbedaan yang terjadi. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu menjembatani komunikasi agar penyelesaian perbedaan bisa dimulai. (KONSILIASI). Saya merasa sulit untuk melakukan pertemuan dengan pihak lain untuk menyampaikan perbedaan yang saya miliki. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu memfasilitasi PERTEMUAN termasuk menyusun agenda waktu dan tempat, bentuk pertemuan, peran masing-masing pihak, dan mempersiapkan agar jika mungkin pertemuan tersebut bisa menghasilkan kesepakatan. (FASILITASI) Saya menginginkan masing-masing pihak secara sukarela untuk bertatap muka langsung untuk sama-sama mengidentifikasi perbedaan, saling memahami perbedaan kepentingan dan kebutuhan, mencoba untuk menemukan berbagai pilihan penyelesaian konflik, dan saling menawarkan syarat, kondisi, dan manfaat dari setiap kesepakatan yang ingin dicapai. (NEGOSIASI). Saya merasa sudah tidak bisa lagi bertemu dengan pihak lain karena perbedaan kepentingan yang terjadi sudah terlalu parah. Saya memerlukan pihak yang netral yang bisa memediasi tapi tidak mencampuri proses pengambilan keputusan. (MEDIASI) Saya ingin perbedaan ini diselesaikan secara hukum tapi dilakukan diluar proses peradilan umum. Saya membutuhkan seorang ahli hukum (Arbiter) yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri tapi harus bisa diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya melalui arbitrase. (ARBITRASE). Saya amat meyakini kebenaran kepentingan saya, dan saya melihat tidak ada jalan lain bahwa perbedaan dengan pihak lain harus diselesaikan melalui jalur Peradilan Umum. Saya memerlukan pengacara dan saksi ahli yang bisa mendukung dan memperjuangkan kepentingan saya.(LIGITASI).
Pertanyaan tambahan: •
•
Apakah responden sudah memahami pilihan yang akan ditempuh? …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ….. Apakah responden sudah mempertimbangkan resiko biaya, kelestarian hubungan dengan pihak lawan, dan kekuatannya dalam mempengaruhi hasil yang diharapkan? ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... .................................................................................
Halaman 11 dari 12
2) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Konsiliasi. Fasilitasi. Negosiasi. Mediasi. Arbitrase. Ligitasi. Pertanyaan tambahan: •
Apakah responden sudah memahami pilihan yang akan ditempuh? …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ….. Apakah responden sudah mempertimbangkan resiko biaya, kelestarian hubungan dengan pihak lawan, dan kekuatannya dalam mempengaruhi hasil yang diharapkan? ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... .................................................................................
3) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini (1) Konsiliasi. (2) Fasilitasi. (3) Negosiasi. (4) Mediasi. (5) Arbitrase. (6) Ligitasi. Pertanyaan tambahan: •
Apakah responden sudah memahami pilihan yang akan ditempuh? …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ….. Apakah responden sudah mempertimbangkan resiko biaya, kelestarian hubungan dengan pihak lawan, dan kekuatannya dalam mempengaruhi hasil yang diharapkan? ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ......................................................................................................................
D. KEIKUTSERTAAN DALAM RENCANA PENYELESAIAN SENGKETA DIMASA MENDATANG 1) Dalam rangka penyelesaian masalah/konflik tersebut sebelumnya, apakah saudara bersedia hadir jika diundang duduk bersama dan berunding dengan pihak2 yang berbeda kepentingan? 1) Bersedia dan akan menghadiri langsung. 2) Bersedia, namun jika berhalangan saya akan mewakilkan kepada staf/kolega sejabat yang mengerti tentang masalah tersebut. (Sebutkan namanya……………., dan yakinkan apakah wakilnya akan bersedia datang?) 3) Tidak bersedia, karena sdh berapa kali saya bertemu namun tidak pernah ada penyelesaian yang dihasilkan.
Halaman 12 dari 12
2) Jika anda bersedia hadir dalam pertemuan/perundingan, apakah anda bersedia dan komitmen menghadiri pertemuan tersebut secara terus-menerus dengan tanpa meninggalkan pertemuan? (selama 2 s/d 3 hari) 1) YA 2) Ragu-ragu 3) Jika anda bersedia bertemu, apakah anda menargetkan hasil pertemuan harus berupa kesepakatan semua pihak? 1) YA 2) TIDAK 4) Jika kemungkinan hasilnya adalah sepakat untuk tidak sepakat, apakah anda tetap ingin hadir? 1) YA 2) TIDAK 5) Jika kemungkinan hasilnya adalah sepakat untuk tidak sepakat, apakah anda tetap berkeinginan untuk hadir dalam pertemuan/perundingan berikutnya? 1) YA 2) TIDAK
WAWANCARA SELESAI PASTIKAN SEMUA INFORMASI SUDAH DITANYAKAN DAN DICATAT JANGAN LUPA UCAPKAN TERIMA KASIH BANYAK
Halaman 1 dari 11
KUESIONER PENELITIAN KONFLIK LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN Di Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung Barat Propinsi Lampung
PETUNJUK PENGISIAN TABULASI A. JATIDIRI/IDENTITAS RESPONDEN Kode Peubah
Uraian
01
Nama Responden
02
Jenis kelamin
(1) Laki-laki
03
Umur
……………….Tahun………bulan
04
Suku/etnis
05
Status kependudukan
06
Agama
07
Kedudukan di dalam keluarga
1) Kepala RT, 2) Istri, 3) ……………
08
Status dalam perkawinan
(1) Belum Menikah
(2) Menikah
(3) Cerai Hidup
(4) Cerai Mati
(2) Perempuan
(1) Setempat
(2) Pendatang
09
Lama tinggal di desa (Sejak/Tahun)
09a
Asal tempat sebelumnya (desa/wilayah)
10
(X17) Lama tinggal di talang/kawasan (Sejak/tahun) (X16) Pendidikan formal terakhir ( dan hitung
……………/…………….tahun (1) Permanen; (2) Non permanen Jenjang pendidikan terakhir……………….
lama mengikuti pendidikan formal)
Lama tempuh……………………….Tahun
11
12
Pekerjaan Utama
13
Pekerjaan Sampingan
14
Jumlah anggota keluarga
……………………………(Jiwa)
15
Jumlah tanggungan keluarga (Lihat Tabel B)
Usia 15 tahun ke bawah ……………(Jiwa)
16
Alamat (Desa, dan alamat rumah) Permanen Non permanen
17
Status di desa (di kelompok/organisasi) Keterlibatan Formal
1. 2. 3.
Non formal
1. 2. 3.
18
Organisasi yang manakah saudara terlibat paling aktif?
Halaman 2 dari 11
C. PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN RESPONDEN
C.1 Pemilikan Lahan Diluar Kawasan 1) (X19) Luas penguasaan lahan pertanian di luar kawasan : …………………hektar (Cukup hitung luas totanya saja dalam hektar) 2) (X20) Apabila lahan tersebut milik sendiri, bagaimanakah status hukum kepemilikan lahan pertanian Saudara yang berada di luar kawasan saat ini: (1) Sertifikat HM/HGU/HGB (Oleh BPN); SKOR = 1 (Status lahan luar kawasan amat pasti, dorongan kebutuhan lahan tambahan amat rendah) (2) Akte Tanah (Oleh Camat atau PPAT); SKOR = 2 (Status lahan luar kawasan pasti, dorongan kebutuhan lahan tambahan amat rendah) (3) Surat Keterangan Tanah (oleh Perwatin); SKOR = 3 (Status lahan luar kawasan pasti, dorongan kebutuhan lahan tambahan rendah) (4) Surat jual beli atau ganti lahan garapan, bukti girik, bukti Pajak PBB. SKOR = 4 (Status lahan luar kawasan tidak pasti, dorongan kebutuhan lahan tambahan tinggi) (5) Tanpa surat keterangan satupun. SKOR = 5 (Status lahan luar kawasan amat tidak pasti, dorongan kebutuhan lahan tambahan amat tinggi). 3) (X21) Berapakah pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari usaha pertanian dan non pertanian dari luar lahan kawasan hutan? (Cukup hitung pendapatan per bulannnya saja, skoring dilakukan kemudian) Pendapatan per bulan (Rp) = Total Penghasilan (Rp/bulan) – Total Pengeluaran (Rp/bulan) = Rp…………………../bulan. 4) (X22) Menurut responden, berapakah tambahan luas lahan pertanian minimal yang dibutuhkan agar bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga? ……………………….. hektar. (Cukup diisi luas hektarnya, skor dilakukan kemudian)
C.2. Pengelolaan Lahan Di Dalam Kawasan 1) (X1) Selama mengelola lahan di dalam kawasan, apakah anda pernah mengalami peristiwa bencana alam seperti berikut? (Boleh pilih lebih dari satu) Beri nilai: SKOR = 5, jika responden menyatakan tidak pernah ada bencana antropogenik. SKOR = 4, jika responden memilih satu buah bencana antropogenik. SKOR = 3, jika responden memilih dua buah bencana antropogenik. SKOR = 2, jika responden memilih tiga buah bencana antopogenik . SKOR = 1, jika responden memilih empat buah bencana antropogenik.
Halaman 3 dari 11
2) (X2) Berapa harga setempat komoditas dominan: Rp. ……………. (Per kg). Hitung PRODUKTIVITAS KOMODITI dominan per hektar = (Total panen x harga diterima) luas lahan = Rp. ……………….. per hektar. Hitung KONVERSI PRODUKTIVITAS komoditi dominan dalam sekala beras = Produktifitas komoditi dominan (Rp/hektar) Harga beras yang dikonsumsi per (Rp/kg) = ………………kg/hektar.(Angka ini dijadikan sbg X2) Berapakah konsumsi beras untuk rumah tangga Saudara setiap bulannya: …………..…kg/bulan Lalu hitung RASIO KECUKUPAN PANGAN per kapita = (Konversi Produktivitas/Konsumsi beras per bulan) Jumlah anggota RT termasuk KK
= ……………. kk/ kapita
3) (X3) Darimanakah sumber responden dalam memperoleh informasi harga komoditi utama yang dibudidayakan? (Boleh pilih lebih dari satu) 1) Perusahaan, 2) Pedagang pengumpul, 3) Pasar desa, 4) Kerabat/tetangga. SKOR = 5 (amat terbuka), jika responden memilih empat pilihan. SKOR = 4, (terbuka) jika responden memilih tiga pilihan. SKOR = 3, (terbatas) jika responden memilih dua pilihan. SKOR = 2, (amat terbatas) jika responden memilih satu pilihan. SKOR = 1, (tertutup) jika responden tidak mempunyai sumber informasi harga. 4) (X4) Siapakah yang selama ini membeli/menampung komoditas utama tersebut? (Boleh pilih lebih dari satu) (1) Perusahan (2) Pasar Desa (3) Pedagang pengumpul (4) Lainnya. Beri nilai: SKOR = 5 (Pengaruh pasar amat kuat, regional, dan banyak pilihan pembeli), jika responden memilih keempatnya (1, 2 , 3 dan 4). SKOR = 4 (Pengaruh pasar amat kuat dan regional ), jika responden memilih angka 1, 2, dan 3. SKOR = 3 (Pengaruh pasar kuat dan regional), jika responden memilih angka 1 dan 2. SKOR = 2 (Pengaruh pasar amat kuat namun lokal), jika responden memilih angka 2 dan 3. SKOR = 1 (Pengaruh pasar kuat namun lokal), jika responden memilih angka 2 atau 3 saja. 5) (X5) Untuk mencapai lahan garapan yang anda kelola di dalam kawasan, apakah prasarana transportasi berikut tersedia ? (Boleh pilih lebih dari satu) 1) Jalan segala cuaca (dapat ditempuh baik musim hujan dan kemarau), 2) Jalan kering (tidak dapat/sulit ditempuh pada musim hujan). 3) Jalan setapak Beri nilai: SKOR = 5, jika responden memilih angka 1. SKOR = 4, jika responden memilih angka 1 dan 2. SKOR = 3, jika responden memilih angka 2. SKOR = 2, jika responden memilih angka (1, 2, dan 3), atau (1 dan 3), atau (2 dan 3) SKOR = 1, jika responden memilih angka 3 saja.
Halaman 4 dari 11
6) (X6) Apakah motivasi atau yang melatar-belakangi responden dalam mengkonversi lahan ke dalam bentuk penggunaan saat ini? (Boleh pilih lebih dari satu) (1) Untuk dijual (berorientasi pasar) (2) untuk keperluan sendiri/keluarga (subsisten) (3) Atas saran/ajakan keluarga/kerabat/tetangga. Beri nilai: SKOR = 5, jika responden memilih 1, 2, dan 3. SKOR = 4, jika responden memilih 1 dan 2. SKOR = 3, jika responden memilih 1 dan 3. SKOR = 2, jika responden memilih 2 dan 3 SKOR = 1, jika responden memilih 2
D. PERSEPSI DAN PERBEDAAN STRUKTURAL D.1 Perbedaan Struktural 1) (X7) Tipe partisipasi apakah yang paling sering diminta oleh pemerintah. (Pilih satu saja!) (1) SKOR = 1. Partisipasi Manipulatif dan dekoratif (2) SKOR = 2. Partisipasi Pasif (3) SKOR = 3. Partisipasi Memberi informasi dan konsultasi (4) SKOR = 4. Partisipasi Insentif material (5) SKOR = 5. Partisipasi Fungsional (6) SKOR = 6. Partisipasi Interaktif (7) SKOR = 7. Partisipasi Self-mobilization/Mandiri 2)
(X8) Tingkat Kesejahteraan Responden adalah tingkat kesejahteraan keluarga dengan menggunakan Indikator Keluarga Sejahtera yang ditetapkan oleh BKKBN. Agar enumerator melakukan analisis tingkat kesejahteraan dengan dipandu oleh check list di bawah ini. Cukup jelas. Beri: SKOR = 1, jika responden adl Keluarga Pra Sejahtera SKOR = 2, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap I SKOR = 3, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap II SKOR = 4, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III SKOR = 5, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
3)
(X9) Keberdayaan responden adalah kegiatan pemberdayaan yang pernah diikuti responden dalam kaitan dengan penanganan konflik pengelolaan status dan fungsi kawasan hutan Bukit Rigis. SKOR = 5; jika responden mendapat tiga pendampingan a, b, dan c SKOR = 4; jika responden mendapat dua pendampingan a dan b. SKOR = 3; jika responden mendapat dua pendampingn a dan c; SKOR = 2; jika responden mendapat dua pendampingan b dan c; SKOR = 1; jika responden mendapat satu pendampingan hanya a atau b atau c.
4) (X10) Saudara menggarap/bertani di dalam kawasan hutan. Apakah dalam penetapan status dan fungsi kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis selama ini, Saudara merasa … (Pilih satu saja) 1) SKOR = 1. Responden samasekali belum tahu tentang status dan fungsi kawasan hutan Bukit Rigis. 2) SKOR = 2. Responden tahu kawasan dari pihak ketiga, tetapi tidak pernah diberitahu tentang penetapan satus dan fungsi kawasan oleh pemerintah. 3) SKOR = 3. Responden hanya diberitahu oleh pemerintah tanpa diberi kesempatan bertanya jika masyarakat tidak sepakat dengan status dan fungsi kawasan. 4) SKOR = 4. Responden diajak bicara tetapi kepentingan masyarakat masih diabaikan (tidak ditindaklanjuti) oleh pemerintah. 5) SKOR = 5. Responden diajak bicara dan kepentingannya diperhatikan/dipenuhi oleh pemerintah.
Halaman 5 dari 11
D.2 Persepsi 1) (X11). Tindakan represif oleh pemerintah. Bagaimanakah cara yang PERNAH dilakukan pemerintah dan yang PALING MENCEMASKAN Saudara dalam penanganan status dan fungsi hutan bukit rigis? (Pilih satu saja) (1) SKOR = 1. Pemindahan/penurunan masyarakat secara persuasif. (2) SKOR = 2. Pengabaian masyarakat di dalam kawasan tanpa memberikan solusi dan kepastian hukum. (3) SKOR = 3. Pemindahan/penurunan masyarakat dengan cara intimidasi non fisik. (4) SKOR = 4. Penebangan/pemusnahan kebun garapan masyarakat di dalam kawasan. (5) SKOR = 5. Pemindahan masyarakat secara paksa dan secara fisik ke luar dari kawasan hutan. 2) (X12) Persepsi tentang status kawasan hutan negara. (1) SKOR = 1. Saya tidak tahu dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung dan semua itu adalah urusan negara dan bukan urusan saya. (2) SKOR = 2. Saya tahu tapi amat tidak paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. (3) SKOR = 3. Saya tahu tapi tidak paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. (4) SKOR = 4. Saya tahu dan paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. (5) SKOR = 5. Saya tahu dan amat paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. 3) (X13). Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan. (1) SKOR = 1. Saya tidak tahu dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung dan semua itu adalah urusan negara dan bukan urusan saya. (2) SKOR = 2. Saya tahu tapi amat tidak paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. (3) SKOR = 3. Saya tahu tapi tidak paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. (4) SKOR = 4. Saya tahu dan paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. (5) SKOR = 5. Saya tahu dan amat paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. 4) (X14). Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan Apa responden pahami tentang DESENTRALISASI/OTONOMI pengelolaan kawasan hutan lindung? Identifikasi apakah terdapat kata kunci berikut dalam penjelasan responden ttg desentralisasi/otonomi PSDH? (a) Pemda Propinsi atau pusat hanya mengatur PSDH. (b) PSDHL oleh pemda kabupaten. (c) Masyarakat berhak dan bertanggung jawab ikut mengelola. (d) Tidak mengerti tentang desentralisasi/otonomi PSDH. Lalu beri: SKOR = 5 ; jika ada tiga kata kunci a, b, dan c. SKOR = 4 ; jika ada dua kata kunci b dan c. SKOR = 3 ; jika ada satu kata kunci b atau c. SKOR = 2 ; jika ada dua kata kunci a dan b; atau satu kata kunci hanya a. SKOR = 1 ; Jika kata kunci hanya d.
Halaman 6 dari 11
5) (X15). Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi. Cukup Jelas. Beri skor sesuai dengan jawaban responde. (1) Tidak pernah; SKOR = 1 (2) Amat jarang; SKOR = 2 (3) Jarang; SKOR = 3 (4) Sering; SKOR = 4 (5) Amat sering; SKOR = 5 6) (X16) Pendidikan formal terakhir ………….. (Cukup jelas) (1) SKOR = 1 ; Tidak pernah sekolah (2) SKOR = 2 ; Belum usia sekolah (3) SKOR = 3 ; TK (4) SKOR = 4 ; SD / M. Ibtidaiyah atau drop out (5) SKOR = 5 ; SLTP Umum/kejuruan/M.Tsanawiyah atau drop out (6) SKOR = 6 ; SMU/kejuruan/M. Aliyah atau drop out (7) SKOR = 7 ; Diploma I/II (8) SKOR = 8 ; Diploma III/Sarmud (9) SKOR = 9 ; Diploma IV/S1 7) (X17) Lama tinggal/bertani di talang/kawasan.: ……………….tahun. (Cukup dihitung lamanya berapa tahun, skoring dilakukan kemudian) 8) (X18) Kosmopolitansi responden. Tingkat keterbukaan responden terhadap dunia luas dan pembaharuan yang ditentukan berdasarkan jumlah macam informasi yang digunakan. Sumber informasi responden dalam memahami otonomi, status dan fungsi kawasan hutan lindung Bukit Rigis. (Boleh pilih lebih dari satu): a. Media masa/buku yang didapat secara mandiri. b. Teman dekat/tetangga/tokoh masyarakat setempat, c. Pendamping d. Lembaga penelitian/perguruan tinggi/dinas pemerintah. e. Tidak pernah memperoleh informasi. Beri nilai: SKOR = 5; Jika responden mendapat empat sumber selain e; SKOR = 4; Jika responden mendapat tiga sumber selain e; SKOR = 3; Jika responden mendapat dua sumber selain e; SKOR = 2; Jika responden mendapat satu sumber selain e, SKOR = 1; Jika responden hanya memilih e.
E. ETIK LINGKUNGAN 1) (X23) Etik Antroposentris adalah paham dan keyakinan responden bahwa manusia adalah dominan terhadap alam dan oleh karenanya alam dapat dimanfaatkan semata-mata kehidupan dirinya. (1) Amat meyakini; SKOR = 1 (2) Meyakini; SKOR = 2 (3) Tidak meyakini; SKOR = 3 (4) Amat tidak meyakini; SKOR = 4 (5) Menolak paham tersebut; SKOR = 5
Halaman 7 dari 11
2) (X24) Etik Ekosentris adalah paham dan keyakinan responden bahwa manusia adalah bagian dari alam dan oleh karenanya pemanfaatan sumberdaya alam harus memperhatikan kepentingan mahluk lain. (Cuku jelas,
(1) (2) (3) (4) (5)
Menolak paham tersebut; SKOR = 1 Amat tidak meyakini; SKOR = 2 Tidak meyakini; SKOR = 3 Meyakini; SKOR = 4 Amat meyakini; SKOR = 5
3) (X25) Manifestasi etik lingkungan responden adalah perilaku dan praktik (berdasarkan paham dan keyakinan responden tentang keterkaitan antara tata sosial seseorang/kelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya) yang dilihat dari kegiatan mereka dalam PSDA. (Agar dilengkapi semuanya) (Jumlahkan total skor terlebih dahulu (antara Minimum = 0, hingga maksimum = 20, lalu beri nilai skor akhir). Kriteria penilaian: SKOR = 5; Jika total nilai berada antara 0-4 = sangat buruk; SKOR = 4; Jika total nilai berada antara 4-8 = buruk; SKOR = 3; Jika total nilai berada antara 8-12 = sedang; SKOR = 2; Jika total nilai berada antara 12-16 = baik; SKOR = 1; Jika total nilai berada antara 16-20 = sangat baik; 4) (X26) ESKALASI KONFLIK. Peningkatan perbedaan yang menyebabkan bergesernya tipe konflik dari tanpa konflik menjadi konflik terbuka. (Cukup Jelas, tulis angka skor yg terpilih: 1, 2, 3, 4, atau 5)
Halaman 8 dari 11
LEMBAR TAMBAHAN (Ambil 3 responden dari setiap site)
F. PETA KONLIK F.1. Pihak Lain Yang Diangggap Memiliki Perbedaan Kepentingan (POLARISASI KONFLIK). (Buat tabel frekuensi)
F.2. Gaya/Sikap Dalam Mengelola Perbedaan 1) (G1). Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini (Pilih salah satu SKOR dalam kisaran 1,0 hingga 5,8, lalu masukkan ke Table) 2) (G2) Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini (Pilih salah satu SKOR dalam kisaran 1,0 hingga 5,8, lalu masukkan ke Table) 3) (G3) Dalam menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini (Pilih salah satu SKOR dalam kisaran 1,0 hingga 5,8, lalu masukkan ke Table)
F.3. Pihak lain yang dianggap memiliki kesamaan kepentingan dan turut berupaya 1. Pihak lain yang memilik kesamaan kepentingan (Buat Tabel Frekuensi) 2. (SK) (Kaitkan dengan pertanyaan No. A-18, halaman 2) Apakah kepentingan anda selaku individu terlindungi oleh organisasi/kelompok anda ? a. Amat dibantu b. Dibantu c. Kadang-kadang d. Hampir tidak pernah e. Tidak pernah
Halaman 9 dari 11
F.4 Upaya Responden Terhadap Penyelesaian Konflik. CATATAN: Pertanyaan dibawah kotak ini diajukan kepada setiap isu/akar perbedaan yang terjadi yaitu: 1) Status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 2) Penetapan tata batas batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, 3) Hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis
1) (UR-1) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini ……... (Pilih satu yang utama)
(1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding.
(2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan.
(3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis.
(4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan.
(5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. 2) (UR-2) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini ……. (Pilih satu yang utama) 1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding. 2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. 3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis. 4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan. 5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. 3) (UR-3) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini …….(Pilih satu yang utama) 1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatis untuk berunding. 2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. 3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis. 4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan. 5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan.
Halaman 10 dari 11
G. PILIHAN STRATEGI PENANGANAN KONFLIK 1) (PK-1) Terhadap perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus status lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis. (Pilih satu saja)
(1) Saya merasa sulit untuk memulai KOMUNIKASI karena masing-masing pihak sulit untuk
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
saling bertemu untuk mengetahui perbedaan yang terjadi. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu menjembatani komunikasi agar penyelesaian perbedaan bisa dimulai. (KONSILIASI). Saya merasa sulit untuk melakukan pertemuan dengan pihak lain untuk menyampaikan perbedaan yang saya miliki. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu memfasilitasi PERTEMUAN termasuk menyusun agenda waktu dan tempat, bentuk pertemuan, peran masing-masing pihak, dan mempersiapkan agar jika mungkin pertemuan tersebut bisa menghasilkan kesepakatan. (FASILITASI) Saya menginginkan masing-masing pihak secara sukarela untuk bertatap muka langsung untuk sama-sama mengidentifikasi perbedaan, saling memahami perbedaan kepentingan dan kebutuhan, mencoba untuk menemukan berbagai pilihan penyelesaian konflik, dan saling menawarkan syarat, kondisi, dan manfaat dari setiap kesepakatan yang ingin dicapai. (NEGOSIASI). Saya merasa sudah tidak bisa lagi bertemu dengan pihak lain karena perbedaan kepentingan yang terjadi sudah terlalu parah. Saya memerlukan pihak yang netral yang bisa memediasi tapi tidak mencampuri proses pengambilan keputusan. (MEDIASI) Saya ingin perbedaan ini diselesaikan secara hukum tapi dilakukan diluar proses peradilan umum. Saya membutuhkan seorang ahli hukum (Arbiter) yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri tapi harus bisa diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya melalui arbitrase. (ARBITRASE). Saya amat meyakini kebenaran kepentingan saya, dan saya melihat tidak ada jalan lain bahwa perbedaan dengan pihak lain harus diselesaikan melalui jalur Peradilan Umum. Saya memerlukan pengacara dan saksi ahli yang bisa mendukung dan memperjuangkan kepentingan saya.(LIGITASI).
2) (PK-2) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus penetapan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini. (1) Konsiliasi. (2) Fasilitasi. (3) Negosiasi. (4) Mediasi. (5) Arbitrase. (6) Ligitasi. 3) (PK-3) Selama menghadapi perbedaan pandangan/kepentingan dengan pihak lain tentang kasus hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Bukit Rigis, selama ini (1) Konsiliasi. (2) Fasilitasi. (3) Negosiasi. (4) Mediasi. (5) Arbitrase. (6) Ligitasi.
WAWANCARA SELESAI PASTIKAN SEMUA INFORMASI SUDAH DITANYAKAN DAN DICATAT JANGAN LUPA UCAPKAN TERIMA KASIH BANYAK
Lampiran - 5 : Data Hasil Overlay Peta Penutupan Lahan Tahun 2000 dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Propinsi Lampung.
KAWASAN
HUTAN O
Hp
Hs
Hrp
O
0,60
0,11
HL
5.951,54
46.081,81
2.411,60
34.230,34
129.971,82
51.482,09
TN TNL
0,20
CAL
Hms
Ht
3.409,75
Pt
1.135,18
16.834,70
235.928,90
43.236,69
Tr
Sw
TIDAK ADA DATA Tm
T
0,39
0,05
0,01
634,87
195.781,87
347,29
1.367,25
1.723,73
64.459,00
667,92
237,00
Tb
Pm
A
Rw
Jumlah 0,43
18,20
Tad 0,02
Jumlah 0,02
JUMLAH TOTAL 1,80
2.707,45
237.689,54
25.504,09
25.504,09
317.685,60
2.475,74
127.312,71
5.170,80
368.412,41
0,00
10.820,25
2.753,97
2.753,97
0,00
0,00
2.753,97
9.688,38
0,00
0,00
9.688,38
10.067,44
13.747,88
65.249,50
71.607,08 28.825,18
1.495,58
75.403,45
1.662,61
71.620,19
5.425,43
10.579,94
6.867,85
184.725,41
140.037,63
0,00 263.376,96
82.718,87
0,00
3.409,75
18.377,30
147.010,53
589.848,35
3.224,90
6.121,52
79.759,74
352.398,94
143,39 233.071,07
133,40
1,07
Aw
5.170,80
9.238,63
14.379,23
Pc
0,00
512,50
54.442,86
Pk 0,15
35.697,43
13,11
20.512,08
S
0,04
54.491,97
AIR Jumlah
Br
10.820,25
HP 3,82
B
47,02
9.238,63
HPT
Jumlah 0,71
9.688,38
TAHURA
APL
Hmp
0,57
10.819,68
CA
NON HUTAN
Hrs
3.994,24
67.684,76
4.823,39
509,74
320,73
1.264,76
15.615,67
628,63
13,59
41.046,44
33.477,67
1.269.978,62
64.341,69
35.630,90
9.702,81
1.149,65
0,00
359.655,79
41.213,71
141.219,11
65,98 1.613.520,31
0,00
70.808,97
37.758,49
9.702,81
1.149,65
41.385,37
10.833,03
10.833,03
21.734,27
96.809,81
3.503,73
3.503,73
171.933,73
65.436,94 12,04
118,44 97.363,87
4.705,10
1.662,61
211,42
2.127.708,80
0,00 84.266,79
84.266,79
327,81 151.107,83
2.656.949,29
0,00 129.278,46
0,00
129.278,46
76.016,88 2.396.701,00 327,81 3.376.076,10
Sumber : Badan Planologi Kehutanan (2002) 3.376.076,10 Kode
Keterangan
Hp
Hutan Lahan Kering Primer
Pk
Perkebunan
Tb
Pertambangan
HL
Hrp
Hutan Rawa Primer
Pm
Pemukiman
Tr
Transmigrasi
TN
Hrs
Hutan Rawa Sekunder
Pt
Pertanian Lahan Kerin Lanud
Airport
Hs
Hutan Lahan Kering Sekunder
Rw
Rawa
Tad
Hmp
Hutan Mangrove Primer
S
Savana
A
Hms
Hutan Mangrove Sekunder
Sw
Sawah
Aw
Awan
B
Semak/Belukar
T
Tanah Terbuka
HP
Br
Belukar Rawa
Tm
Tambak
HPT
Hutan Produksi Terbatas
Pc
Pertanian Lahan Kering Campur Semak
Tr
Transmigrasi
APL
Areal Penggunaan Lain
Hutan Lindung Taman Nasional
TNL
Taman Nasional Laut
Tidak Ada Data
CA
Cagar Alam
Tubuh Air
CAL
Cagar Alam Laut
TAHURA
Taman Hutan Raya Hutan Produksi Tetap
Page 1
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
Nama Responden Karmani Misman Tamim Misran Usep Muhajir Lesmono Rusdi Salafudin Samid Midiyanto Solihin Maman Kasmiah Maskan Khoirul Huda Sarman Ujang Supriyatna Samiun Amas Murdiman Wahono Sadiono Olih Musman Uus Herman Sukmana Aceng Usup. B Endang Usup. A Lili Padli Jahri Suroso Muhadi Asep Trisbaya Sutrisno Imam Widi Adi Sutarkim Kamin Sudarman Sutarman Misni Sulistiono Erikson Silaban Eko Budiono Abdul Casmita Jumadi Erwanto Muayat wagimin Gimin Idi Nasihin Mursidi
X6
X10 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 2 4 4 0 4 4 5 4 4 4 4 1 3 1 1 4 1 2 2 5 3 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 3 1 3 5 5
X15 1 1 1 4 4 5 2 2 3 2 1 2 2 2 2 1 2 5 2 2 2 2 2 2 3 2 2 4 4 3 2 4 1 2 2 2 2 1 2 3 2 2 2 1 2 2 2 2 3 3 3 2 2
2 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 4 4 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2 2 3 3 5 1 4 4 4 1 1 1 1 4 4 2 2 3
X22 2 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 1 0 2 0 0 0 0 2 2 0 3 1 2 1 0 0 0 2 0 1 1 1 1 2 0 1 1 0 0 2 1,5 1,5 2 1 1 1 1 1 0 2 1 0
X25
X26.1 4 2 2 2 1 2 3 2 3 3 1 2 2 2 3 1 2 1 2 2 2 3 3 2 2 2 2 1 2 2 2 3 2 2 2 2 4 2 3 2 2 2 3 3 2 3 2 3 3 2 2 2 2
1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 3 3 2 2 2 1 2 2 2 3 3 4 1 1 4 3 1 1 1 1 1 1 3 3 3 3 3
56 57 58 59 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104
Supardi Yoyo Subinar Ifan Daryana Sukarna Komarudin Ahidin Ruswanda Herman Amilin Sutisman Yoyo Sumitro Makir Idin Nahrudin Yaya Hajarnaya Tata Rukanta Johari Sutarman Kardijan Odoh Yamat Kadir Mukhtar Subari Bambang Sutedjo Suwandi Harsono Suyono Mat Liyas Muhidin Engkos Kosasih Kosim Lijaya Rustandi Kusuranto Sutarman Rasmanto Sajudin Endang Karmana Ading Suwarna Edi Sarwadi Ating Haryono Rukanta Warmanto Sahman Anta Kusuma Ahyat Juwan
4 4 4 4 4 1 1 2 1 1 1 2 1 3 2 2 1 1 2 3 5 1 2 1 1 1 1 2 2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3 1 2 1 1 2 1 1 0 1 2 3 4 5 Total
2 43 29 7 14 5 100 Total
1 1 2 4 3 2 2 2 5 3 2 4 3 2 2 2 2 2 4 2 1 3 2 1 2 2 1 1 1 2 4 2 3 2 0 3 2 2 4 4 5 4 5 1 2 2 2 0 1 2 3 4 5
1 16 53 13 12 5 100 Total
2 4 2 2 2 2 1 2 1 4 2 1 2 1 4 1 1 1 2 2 2 3 2 1 1 1 1 1 1 3 2 4 4 2 0 4 1 1 3 2 1 1 2 1 1 1 3 0 1 2 3 4 5
1 50 27 7 14 1 100
0 0 1 0 3 0 1,5 1 0 0 0 2 2 0 2,5 1,75 2 2 2 0 0 0 3 2 2 2 0 0 0 0 1,5 2,5 0 0 0 0 0 1 1 1 1,5 1 0 0,5 0,5 1 0 46,000 -46,000 70,000
0 <=0.5 >0.5-1
94,000 6 100
>1,5-2 >2 Total
3 3 2 4 2 1 1 2 3 2 1 2 3 1 1 2 2 3 3 1 3 3 3 4 3 2 1 2 2 3 2 3 2 2 0 3 1 2 3 5 3 2 2 2 2 2 1
46,000 0,000 70,000 3,000 94,000 6,000
0 1 2 3 4 5 Total
1 14 52 28 4 1 100 Total
3 3 4 3 3 3 1 2 2 3 3 2 2 3 3 3 2 3 3 2 2 2 3 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 1 1 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 0 1 2 3 4 5
0 36 38 23 3 0 100
P R E L I S
2.30
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2000 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file C:\DATA\DATA.PR2: !PRELIS SYNTAX: Can be edited SY=C:\DATA\DATA.PSF OU MA=KM SM=data.cor XM XB XT
Total Sample Size =
100
Univariate Summary Statistics for Continuous Variables Variable -------X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14
Mean ---3.970 995.827 2.550 1.050 2.310 2.030 4.170 2.330 2.580 2.340 3.340 2.970 3.260 2.830
St. Dev. -------0.717 970.433 0.702 0.359 0.950 1.267 1.544 0.779 1.986 1.075 1.320 1.096 1.060 1.407
T-Value ------55.361 10.262 36.339 29.258 24.310 16.023 27.002 29.902 12.993 21.764 25.307 27.100 30.754 20.107
Skewness --------1.968 1.824 0.177 6.038 1.428 0.916 -0.190 0.259 0.057 0.824 -0.815 -0.550 -0.956 -0.379
Kurtosis -------9.337 3.434 0.817 48.278 2.371 -0.225 -0.368 -0.216 -1.632 0.330 -0.128 -0.401 0.336 -1.421
Minimum Freq. Maximum Freq. ------- ----- ------- ----0.000 1 5.000 16 0.000 6 5000.000 1 0.000 1 4.000 9 0.000 1 4.000 1 1.000 12 5.000 7 0.000 2 5.000 5 1.000 5 7.000 7 1.000 12 4.000 7 0.000 20 5.000 31 0.000 1 5.000 5 0.000 3 5.000 16 0.000 1 5.000 3 0.000 1 5.000 4 0.000 1 5.000 5
1
X15 1.860 1.119 X16 4.450 0.999 X17 21.610 16.141 X18 2.860 1.092 X19 0.578 0.747 X20 1.550 1.617 X21*********394328.433 X22 0.873 0.991 X23 1.860 0.652 X24 3.970 0.643 X25 2.230 0.815 X26 1.930 0.844
16.617 44.556 13.388 26.192 7.736 9.588 -4.093 8.806 28.543 61.758 27.372 22.869
1.032 1.910 0.596 0.189 1.489 0.633 0.502 1.112 1.040 -3.466 0.352 0.443
-0.071 0.000 8.413 1.000 -0.756 0.000 -0.198 0.000 1.701 0.000 -1.158 0.000 1.963********* 1.616 0.000 5.874 0.000 19.159 0.000 0.924 0.000 -0.720 1.000
1 5.000 1 9.000 6 54.000 1 5.000 36 3.000 36 5.000 1********* 46 5.000 1 5.000 1 5.000 1 5.000 36 4.000
1 2 3 9 1 2 1 1 1 9 1 3
Test of Univariate Normality for Continuous Variables Skewness Variable Z-Score P-Value X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26
-5.925 5.656 0.752 10.165 4.819 3.458 -0.808 1.095 0.244 3.172 -3.145 -2.234 -3.580 -1.579 3.799 5.817 2.398 0.803 4.958 2.531 2.053 4.023 3.824 -8.022 1.470 1.830
0.000 0.000 0.452 0.000 0.000 0.001 0.419 0.273 0.808 0.002 0.002 0.025 0.000 0.114 0.000 0.000 0.016 0.422 0.000 0.011 0.040 0.000 0.000 0.000 0.141 0.067
Kurtosis Z-Score P-Value 5.276 3.589 1.554 7.554 2.983 -0.361 -0.773 -0.336 -60.770 0.830 -0.110 -0.876 0.840 -10.253 0.024 5.105 -2.295 -0.290 2.477 -5.297 2.690 2.404 4.501 6.379 1.688 -2.121
0.000 0.000 0.120 0.000 0.003 0.718 0.439 0.737 0.000 0.407 0.912 0.381 0.401 0.000 0.981 0.000 0.022 0.772 0.013 0.000 0.007 0.016 0.000 0.000 0.091 0.034
Skewness and Kurtosis Chi-Square P-Value 62.933 44.869 2.979 160.389 32.116 12.090 1.250 1.312 3693.043 10.751 9.900 5.758 13.523 107.627 14.432 59.897 11.018 0.728 30.719 34.464 11.450 21.960 34.880 105.040 5.011 7.849
0.000 0.000 0.225 0.000 0.000 0.002 0.535 0.519 0.000 0.005 0.007 0.056 0.001 0.000 0.001 0.000 0.004 0.695 0.000 0.000 0.003 0.000 0.000 0.000 0.082 0.020
2
Histograms for Continuous Variables X1 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 0 0.0 0.500 0 0.0 1.000 0 0.0 1.500 2 2.0 2.000 0 0.0 2.500 11 11.0 3.000 0 0.0 3.500 70 70.0 4.000 16 16.0 4.500 X2 Frequency Percentage Lower Class Limit 35 35.0 0.000 33 33.0 500.000 12 12.0 1000.000 9 9.0 1500.000 2 2.0 2000.000 1 1.0 2500.000 5 5.0 3000.000 2 2.0 3500.000 0 0.0 4000.000 1 1.0 4500.000 X3 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 0 0.0 0.400 0 0.0 0.800 0 0.0 1.200 51 51.0 1.600 0 0.0 2.000 0 0.0 2.400 39 39.0 2.800 0 0.0 3.200 9 9.0 3.600 X4 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 0 0.0 0.400 95 95.0 0.800 0 0.0 1.200
3
3 0 0 0 0 1
3.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0
1.600 2.000 2.400 2.800 3.200 3.600
X5 Frequency Percentage Lower Class Limit 12 12.0 1.000 0 0.0 1.400 60 60.0 1.800 0 0.0 2.200 20 20.0 2.600 0 0.0 3.000 0 0.0 3.400 1 1.0 3.800 0 0.0 4.200 7 7.0 4.600 X6 Frequency Percentage Lower Class Limit 2 2.0 0.000 43 43.0 0.500 0 0.0 1.000 29 29.0 1.500 0 0.0 2.000 7 7.0 2.500 0 0.0 3.000 14 14.0 3.500 0 0.0 4.000 5 5.0 4.500 X7 Frequency Percentage Lower Class Limit 5 5.0 1.000 15 15.0 1.600 0 0.0 2.200 2 2.0 2.800 41 41.0 3.400 0 0.0 4.000 17 17.0 4.600 0 0.0 5.200 13 13.0 5.800 7 7.0 6.400
4
X8 Frequency Percentage Lower Class Limit 12 12.0 1.000 0 0.0 1.300 0 0.0 1.600 50 50.0 1.900 0 0.0 2.200 0 0.0 2.500 31 31.0 2.800 0 0.0 3.100 0 0.0 3.400 7 7.0 3.700 X9 Frequency Percentage Lower Class Limit 20 20.0 0.000 20 20.0 0.500 0 0.0 1.000 14 14.0 1.500 0 0.0 2.000 5 5.0 2.500 0 0.0 3.000 10 10.0 3.500 0 0.0 4.000 31 31.0 4.500 X10 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 16 16.0 0.500 0 0.0 1.000 53 53.0 1.500 0 0.0 2.000 13 13.0 2.500 0 0.0 3.000 12 12.0 3.500 0 0.0 4.000 5 5.0 4.500 X11 Frequency Percentage Lower Class Limit 3 3.0 0.000 10 10.0 0.500 0 0.0 1.000 11 11.0 1.500 0 0.0 2.000 18 18.0 2.500
5
0 42 0 16
0.0 42.0 0.0 16.0
3.000 3.500 4.000 4.500
X12 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 0 0.0 0.500 12 12.0 1.000 0 0.0 1.500 16 16.0 2.000 0 0.0 2.500 34 34.0 3.000 0 0.0 3.500 34 34.0 4.000 3 3.0 4.500 X13 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 8 8.0 0.500 0 0.0 1.000 12 12.0 1.500 0 0.0 2.000 26 26.0 2.500 0 0.0 3.000 49 49.0 3.500 0 0.0 4.000 4 4.0 4.500 X14 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 32 32.0 0.500 0 0.0 1.000 1 1.0 1.500 0 0.0 2.000 20 20.0 2.500 0 0.0 3.000 41 41.0 3.500 0 0.0 4.000 5 5.0 4.500
6
X15 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 0 0.0 0.500 50 50.0 1.000 0 0.0 1.500 27 27.0 2.000 0 0.0 2.500 7 7.0 3.000 0 0.0 3.500 14 14.0 4.000 1 1.0 4.500 X16 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 1.000 0 0.0 1.800 0 0.0 2.600 70 70.0 3.400 16 16.0 4.200 0 0.0 5.000 11 11.0 5.800 0 0.0 6.600 0 0.0 7.400 2 2.0 8.200 X17 Frequency Percentage Lower Class Limit 17 17.0 0.000 15 15.0 5.400 16 16.0 10.800 9 9.0 16.200 9 9.0 21.600 8 8.0 27.000 8 8.0 32.400 5 5.0 37.800 3 3.0 43.200 10 10.0 48.600 X18 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 7 7.0 0.500 0 0.0 1.000 31 31.0 1.500 0 0.0 2.000 36 36.0 2.500
7
0 16 0 9
0.0 16.0 0.0 9.0
3.000 3.500 4.000 4.500
X19 Frequency Percentage Lower Class Limit 52 52.0 0.000 11 11.0 0.300 11 11.0 0.600 8 8.0 0.900 8 8.0 1.200 2 2.0 1.500 2 2.0 1.800 1 1.0 2.100 2 2.0 2.400 3 3.0 2.700 X20 Frequency Percentage Lower Class Limit 36 36.0 0.000 29 29.0 0.500 0 0.0 1.000 2 2.0 1.500 0 0.0 2.000 12 12.0 2.500 0 0.0 3.000 19 19.0 3.500 0 0.0 4.000 2 2.0 4.500 X21 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 -1217350.000 6 6.0 -980925.000 9 9.0 -744500.000 22 22.0 -508075.000 25 25.0 -271650.000 24 24.0 -35225.000 8 8.0 201200.000 2 2.0 437625.000 0 0.0 674050.000 3 3.0 910475.000
8
X22 Frequency Percentage Lower Class Limit 46 46.0 0.000 2 2.0 0.500 22 22.0 1.000 6 6.0 1.500 18 18.0 2.000 2 2.0 2.500 3 3.0 3.000 0 0.0 3.500 0 0.0 4.000 1 1.0 4.500 X23 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 0 0.0 0.500 22 22.0 1.000 0 0.0 1.500 70 70.0 2.000 0 0.0 2.500 5 5.0 3.000 0 0.0 3.500 1 1.0 4.000 1 1.0 4.500 X24 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 0 0.0 0.500 1 1.0 1.000 0 0.0 1.500 1 1.0 2.000 0 0.0 2.500 3 3.0 3.000 0 0.0 3.500 85 85.0 4.000 9 9.0 4.500 X25 Frequency Percentage Lower Class Limit 1 1.0 0.000 0 0.0 0.500 14 14.0 1.000 0 0.0 1.500 52 52.0 2.000 0 0.0 2.500
9
28 0 4 1
28.0 0.0 4.0 1.0
3.000 3.500 4.000 4.500
X26 Frequency Percentage Lower Class Limit 36 36.0 1.000 0 0.0 1.300 0 0.0 1.600 38 38.0 1.900 0 0.0 2.200 0 0.0 2.500 23 23.0 2.800 0 0.0 3.100 0 0.0 3.400 3 3.0 3.700
Correlation Matrix
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23
X1 -------1.000 -0.004 -0.168 0.006 -0.031 -0.066 -0.105 0.054 -0.193 -0.013 -0.139 -0.053 0.024 0.005 0.020 0.047 0.222 -0.057 0.037 -0.029 -0.055 0.002 -0.182
X2 --------
X3 --------
X4 --------
X5 --------
X6 --------
1.000 -0.123 0.009 0.149 -0.023 -0.072 0.250 0.016 0.152 -0.219 0.003 -0.070 0.057 -0.033 0.082 0.253 0.072 -0.172 -0.051 -0.271 -0.036 -0.044
1.000 0.291 0.105 0.072 -0.031 -0.188 0.001 0.098 0.189 -0.083 -0.045 -0.078 0.112 -0.040 -0.166 0.036 0.131 0.051 0.241 -0.036 -0.073
1.000 0.073 0.063 -0.034 -0.023 -0.041 0.086 0.092 0.004 0.045 -0.083 0.093 -0.063 -0.005 0.095 0.079 0.144 0.096 0.032 -0.143
1.000 0.043 -0.105 0.024 -0.123 0.024 -0.053 -0.059 -0.161 -0.149 0.298 -0.031 0.338 -0.026 0.165 -0.092 -0.074 0.069 -0.043
1.000 -0.163 0.072 0.085 -0.089 -0.024 0.073 0.167 0.122 -0.018 0.125 -0.113 0.040 -0.154 -0.038 -0.129 0.055 0.201
10
X24 X25 X26
0.020 -0.023 -0.004
0.163 -0.004 0.192
0.059 -0.224 0.151
0.182 -0.109 0.145
-0.167 -0.028 0.267
0.038 0.120 0.352
X8 --------
X9 --------
X10 --------
X11 --------
X12 --------
1.000 -0.001 0.178 0.086 0.154 0.079 0.181 -0.062 0.145 0.320 0.257 0.101 -0.025 0.042 0.104 0.092 0.141 -0.057 0.174
1.000 -0.008 0.005 0.217 0.235 0.162 -0.036 -0.021 -0.255 0.154 -0.217 -0.037 -0.015 0.078 0.087 0.140 0.010 -0.180
1.000 -0.025 0.360 0.232 0.212 0.074 0.101 0.023 0.290 -0.149 -0.068 0.050 0.032 -0.003 0.190 0.129 0.038
1.000 0.014 -0.122 -0.192 0.190 -0.117 0.058 0.124 0.303 0.252 0.210 0.339 0.044 0.119 0.143 0.130
1.000 0.546 0.612 0.293 0.382 -0.135 0.494 -0.050 -0.088 0.002 -0.043 0.079 0.285 0.234 0.162
X14 --------
X15 --------
X16 --------
X17 --------
X18 --------
1.000 0.126 0.386 -0.161 0.458 -0.091 -0.052 -0.060 -0.054 0.007 0.184 0.228 0.083
1.000 0.111 0.165 0.265 0.101 -0.018 -0.128 -0.032 0.111 0.008 0.135 0.235
1.000 -0.087 0.318 0.048 -0.017 0.094 -0.013 0.113 0.068 0.033 0.313
1.000 -0.095 0.103 -0.076 -0.189 -0.038 -0.027 -0.042 -0.029 0.157
1.000 -0.031 0.010 0.063 0.004 0.086 0.138 0.196 0.285
Correlation Matrix
X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26
X7 -------1.000 -0.005 0.178 0.111 -0.172 0.242 0.152 0.130 -0.068 0.074 -0.319 0.158 -0.195 -0.188 0.063 -0.114 -0.006 -0.097 -0.128 -0.161
Correlation Matrix
X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26
X13 -------1.000 0.511 0.252 0.356 -0.198 0.442 -0.044 0.081 -0.054 0.073 0.039 0.234 0.234 0.179
11
Correlation Matrix
X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26
X19 -------1.000 0.353 0.368 0.228 -0.106 -0.106 0.037 0.115
X20 --------
X21 --------
X22 --------
X23 --------
X24 --------
1.000 0.041 0.364 -0.041 0.016 -0.059 0.058
1.000 -0.031 -0.134 -0.035 0.106 -0.067
1.000 0.050 0.073 0.268 0.131
1.000 -0.034 0.061 0.055
1.000 0.071 0.089
Correlation Matrix
X25 X26
X25 -------1.000 -0.020
X26 --------
X1 -------3.970
X2 -------995.827
X3 -------2.550
X4 -------1.050
X5 -------2.310
X6 -------2.030
X7 -------4.170
X8 -------2.330
X9 -------2.580
X10 -------2.340
X11 -------3.340
X12 -------2.970
X13 -------3.260
X14 -------2.830
X15 -------1.860
X16 -------4.450
X17 -------21.610
X18 -------2.860
X19 -------0.578
X20 X21 --------------1.550-161403.420
X22 -------0.873
X23 -------1.860
X24 -------3.970
1.000
Means
Means
Means
Means
12
Means X25 -------2.230
X26 -------1.930
Standard Deviations X1 -------0.717
X2 -------970.433
X3 -------0.702
X4 -------0.359
X5 -------0.950
X6 -------1.267
X8 -------0.779
X9 -------1.986
X10 -------1.075
X11 -------1.320
X12 -------1.096
X14 -------1.407
X15 -------1.119
X16 -------0.999
X17 -------16.141
X18 -------1.092
X20 X21 --------------1.617 394328.433
X22 -------0.991
X23 -------0.652
X24 -------0.643
Standard Deviations X7 -------1.544 Standard Deviations X13 -------1.060 Standard Deviations X19 -------0.747 Standard Deviations X25 -------0.815
X26 -------0.844
The Problem used
58704 Bytes (= 0.1% of available workspace)
13
L I S R E L
8.30
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2000 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file C:\DATA\DATA.SPJ: ANALISA DATA Observed Variables X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26 Covariance Matrix From File C:\DATA\DATA.COR SY Sample Size = 100 Relationships X15 = X10 X12 X13 X14 X26 = X6 X10 X15 X22 X25 X6 = X1 X2 X3 X4 X5 X10 = X7 X8 X9 X12 = X16 X17 X18 X13 = X16 X17 X18 X14 = X16 X17 X18 X15 = X11 X22 = X19 X20 X21 X25 = X23 X24 Path Diagram Number of Decimals = 5 Admissibility Check = Off Iterations = 500 Method of Estimation: Maximum Likelihood End of Problem
14
Sample Size =
100
W_A_R_N_I_N_G: Total sample size is smaller than the number of parameters. Parameter estimates are unreliable. ANALISA DATA Covariance Matrix to be Analyzed
X6 X10 X12 X13 X14 X15 X22 X25 X26 X1 X2 X3 X4 X5 X7 X8 X9 X11 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X23 X24
X6 -------1.00000 -0.08913 0.07340 0.16712 0.12185 -0.01838 0.05538 0.12047 0.35153 -0.06571 -0.02315 0.07215 0.06332 0.04254 -0.16267 0.07173 0.08536 -0.02429 0.12493 -0.11303 0.03957 -0.15380 -0.03773 -0.12942 0.20089 0.03832
X10 --------
X12 --------
X13 --------
X14 --------
X15 --------
1.00000 0.36021 0.23186 0.21214 0.07352 0.03162 0.12892 0.03763 -0.01284 0.15203 0.09773 0.08639 0.02432 0.11084 0.17820 -0.00814 -0.02534 0.10065 0.02343 0.29047 -0.14919 -0.06799 0.04972 -0.00346 0.19029
1.00000 0.54586 0.61222 0.29297 -0.04309 0.23406 0.16152 -0.05257 0.00278 -0.08340 0.00385 -0.05888 0.24177 0.15365 0.21694 0.01411 0.38159 -0.13542 0.49445 -0.04977 -0.08751 0.00212 0.07892 0.28546
1.00000 0.51063 0.25233 0.07276 0.23416 0.17863 0.02365 -0.07016 -0.04481 0.04514 -0.16105 0.15167 0.07851 0.23476 -0.12159 0.35589 -0.19769 0.44193 -0.04361 0.08075 -0.05366 0.03861 0.23392
1.00000 0.12580 -0.05373 0.22825 0.08343 0.00490 0.05719 -0.07824 -0.08299 -0.14902 0.12961 0.18062 0.16213 -0.19152 0.38552 -0.16123 0.45758 -0.09104 -0.05172 -0.06012 0.00683 0.18410
1.00000 -0.03220 0.13536 0.23546 0.01988 -0.03263 0.11188 0.09304 0.29763 -0.06790 -0.06231 -0.03581 0.18981 0.11114 0.16467 0.26479 0.10136 -0.01842 -0.12751 0.11134 0.00814
X3 --------
Covariance Matrix to be Analyzed
X22 X25 X26 X1 X2
X22 -------1.00000 0.26820 0.13116 0.00167 -0.03604
X25 --------
X26 --------
X1 --------
X2 --------
1.00000 -0.02042 -0.02265 -0.00426
1.00000 -0.00351 0.19170
1.00000 -0.00367
1.00000
15
X3 X4 X5 X7 X8 X9 X11 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X23 X24
-0.03614 0.03231 0.06923 -0.11442 0.10411 0.07776 0.33861 -0.01289 -0.03772 0.00434 0.22753 0.36425 -0.03138 0.05030 0.07323
-0.22351 -0.10883 -0.02779 -0.12773 -0.05712 0.01037 0.14261 0.03290 -0.02921 0.19553 0.03738 -0.05867 0.10630 0.06126 0.07117
0.15095 0.14508 0.26666 -0.16128 0.17373 -0.18047 0.13041 0.31338 0.15740 0.28521 0.11508 0.05812 -0.06698 0.05547 0.08919
-0.16761 0.00589 -0.03069 -0.10480 0.05405 -0.19337 -0.13853 0.04725 0.22151 -0.05702 0.03706 -0.02919 -0.05518 -0.18200 0.01994
-0.12332 0.00947 0.14892 -0.07158 0.24961 0.01594 -0.21873 0.08227 0.25329 0.07231 -0.17154 -0.05126 -0.27147 -0.04356 0.16342
1.00000 0.29080 0.10528 -0.03123 -0.18750 0.00072 0.18869 -0.03963 -0.16636 0.03559 0.13133 0.05120 0.24146 -0.07290 0.05934
Covariance Matrix to be Analyzed
X4 X5 X7 X8 X9 X11 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X23 X24
X4 -------1.00000 0.07257 -0.03372 -0.02348 -0.04111 0.09171 -0.06341 -0.00532 0.09537 0.07947 0.14363 0.09569 -0.14254 0.18171
X5 --------
X7 --------
X8 --------
X9 --------
X11 --------
1.00000 -0.10511 0.02415 -0.12302 -0.05268 -0.03140 0.33790 -0.02590 0.16490 -0.09238 -0.07387 -0.04339 -0.16652
1.00000 -0.00512 0.17833 -0.17237 0.07433 -0.31905 0.15802 -0.19525 -0.18752 0.06311 -0.00622 -0.09656
1.00000 -0.00091 0.08624 0.14472 0.32033 0.25667 0.10115 -0.02526 0.04166 0.09191 0.14096
1.00000 0.00493 -0.02088 -0.25507 0.15429 -0.21694 -0.03744 -0.01474 0.08680 0.14038
1.00000 -0.11725 0.05797 0.12448 0.30337 0.25233 0.21002 0.04416 0.11930
Covariance Matrix to be Analyzed
X16 X17 X18 X19 X20 X21 X23 X24
X16 -------1.00000 -0.08675 0.31770 0.04841 -0.01720 0.09400 0.11330 0.06844
X17 --------
X18 --------
X19 --------
X20 --------
X21 --------
1.00000 -0.09483 0.10273 -0.07647 -0.18941 -0.02733 -0.04203
1.00000 -0.03068 0.00973 0.06255 0.08574 0.13786
1.00000 0.35271 0.36805 -0.10630 -0.10617
1.00000 0.04105 -0.04123 0.01604
1.00000 -0.13408 -0.03495
16
Covariance Matrix to be Analyzed X23 -------1.00000 -0.03424
X23 X24
X24 -------1.00000
ANALISA DATA Number of Iterations = 11 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Structural Equations
X6 =
- 0.058048*X1 - 0.024161*X2 + 0.041283*X3 + 0.049237*X4 + 0.036436*X5, Errorvar.= 0.98798 , R² = 0.012019 (0.11158) (0.11226) (0.11830) (0.11514) (0.11198) (0.15430) -0.52024 -0.21522 0.34896 0.42764 0.32539 6.40312
X10 = 0.11689*X7 + 0.17877*X8 - 0.028820*X9, Errorvar.= 0.95495 , R² = 0.045048 (0.10967) (0.10792) (0.10967) (0.14914) 1.06583 1.65657 -0.26278 6.40312 X12 = 0.24496*X16 - 0.075341*X17 + 0.40948*X18, Errorvar.= 0.69385 , R² = 0.30615 (0.097188) (0.092570) (0.097260) (0.10836) 2.52049 -0.81388 4.21016 6.40312 X13 = 0.23061*X16 - 0.14402*X17 + 0.35501*X18, Errorvar.= 0.73257 , R² = 0.26743 (0.099863) (0.095118) (0.099937) (0.11441) 2.30927 -1.51414 3.55233 6.40312 X14 = 0.26056*X16 - 0.10402*X17 + 0.36494*X18, Errorvar.= 0.71579 , R² = 0.28421 (0.098713) (0.094022) (0.098786) (0.11179) 2.63953 -1.10635 3.69424 6.40312 X15 =
- 0.038401*X10 + 0.24854*X12 + 0.18866*X13 - 0.077508*X14 + 0.19343*X11, Errorvar.= 0.85544 , R² = 0.14989 (0.10222) (0.10958) (0.10890) (0.10928) (0.10216) (0.13360) -0.37568 2.26811 1.73238 -0.70924 1.89341 6.40312
X22 = 0.15388*X19 + 0.31412*X20 - 0.10091*X21, Errorvar.= 0.84740 , R² = 0.15260 (0.11735) (0.10921) (0.10991) (0.13234) 1.31122 2.87630 -0.91816 6.40312
17
X25 = 0.063776*X23 + 0.073354*X24, Errorvar.= 0.99087 , R² = 0.0091277 (0.10999) (0.10999) (0.15475) 0.57983 0.66691 6.40312 X26 = 0.37178*X6 + 0.065984*X10 + 0.26303*X15 + 0.15761*X22 - 0.15159*X25, Errorvar.= 0.78112 , R² = 0.25060 (0.097603) (0.097646) (0.097356) (0.097622) (0.097603) (0.12199) 3.80909 0.67575 2.70178 1.61449 -1.55314 6.40312
Reduced Form Equations X6 = 0.0*
- 0.058048*X1 - 0.024161*X2 + 0.041283*X3 + 0.049237*X4 + 0.036436*X5 + 0.0*X7 + 0.0*X8 + 0.0*X9 + 0.0*X11 (0.11158) (0.11226) (0.11830) (0.11514) (0.11198) -0.52024 -0.21522 0.34896 0.42764 0.32539 + 0.0*X16 + 0.0*X17 + 0.0*X18 + 0.0*X19 + 0.0*X20 + 0.0*X21 + 0.0*X23 + 0.0*X24
, Errorvar.= 0.98798, R² = 0.012019
X10 = 0.0*X1 + 0.0*X2 + 0.0*X3 + 0.0*X4 + 0.0*X5 + 0.11689*X7 + 0.17877*X8 - 0.028820*X9 + 0.0*X11 + 0.0*X16 + 0.0*X17 (0.10967) (0.10792) (0.10967) + X17 + 1.06583 1.65657 -0.26278 + 0.0*X18 + 0.0*X19 + 0.0*X20 + 0.0*X21 + 0.0*X23 + 0.0*X24, Errorvar.= 0.95495, R² = 0.045048
+
X12 = 0.0*X1 + 0.0*X2 + 0.0*X3 + 0.0*X4 + 0.0*X5 + 0.0*X7 + 0.0*X8 + 0.0*X9 + 0.0*X11 + 0.24496*X16 - 0.075341*X17 (0.097188) (0.092570) 2.52049 -0.81388 + 0.40948*X18 + 0.0*X19 + 0.0*X20 + 0.0*X21 + 0.0*X23 + 0.0*X24, Errorvar.= 0.69385, R² = 0.30615 (0.097260) 4.21016 X13 = 0.0*X1 + 0.0*X2 + 0.0*X3 + 0.0*X4 + 0.0*X5 + 0.0*X7 + 0.0*X8 + 0.0*X9 + 0.0*X11 + 0.23061*X16 - 0.14402*X17 (0.099863) (0.095118) 2.30927 -1.51414 + 0.35501*X18 + 0.0*X19 + 0.0*X20 + 0.0*X21 + 0.0*X23 + 0.0*X24, Errorvar.= 0.73257, R² = 0.26743 (0.099937) 3.55233
18
X14 = 0.0*X1 + 0.0*X2 + 0.0*X3 + 0.0*X4 + 0.0*X5 + 0.0*X7 + 0.0*X8 + 0.0*X9 + 0.0*X11 + 0.26056*X16 - 0.10402*X17 (0.098713) (0.094022) 2.63953 -1.10635 + 0.36494*X18 + 0.0*X19 + 0.0*X20 + 0.0*X21 + 0.0*X23 + 0.0*X24, Errorvar.= 0.71579, R² = 0.28421 (0.098786) 3.69424 X15 = 0.0*X1 + 0.0*X2 + 0.0*X3 + 0.0*X4 + 0.0*X5 - 0.0044889*X7 - 0.0068651*X8 + 0.0011067*X9 + 0.19343*X11 (0.012669) (0.018738) (0.0051397) (0.10216) 196* -0.35431 -0.36638 0.21533 1.89341 + 0.084196*X16 - 0.037834*X17 + 0.14046*X18 + 0.0*X19 + 0.0*X20 + 0.0*X21 + 0.0*X23 + 0.0*X24 (0.046978) (0.034245) (0.062085) 1.79223 -1.10481 2.26247
93008
, Errorvar.= 0.93008, R² = 0.075706
X22 = 0.0*X1 + 0.0*X2 + 0.0*X3 + 0.0*X4 + 0.0*X5 + 0.0*X7 + 0.0*X8 + 0.0*X9 + 0.0*X11 + 0.0*X16 + 0.0*X17 + 0.0*X18 + 0.15388*X19 + 0.31412*X20 - 0.10091*X21 + 0.0*X23 + 0.0*X24, Errorvar.= 0.84740, R² = 0.15260 (0.11735) (0.10921) (0.10991) 1.31122 2.87630 -0.91816 X25 = 0.0*X1 + 0.0*X2 + 0.0*X3 + 0.0*X4 + 0.0*X5 + 0.0*X7 + 0.0*X8 + 0.0*X9 + 0.0*X11 + 0.0*X16 + 0.0*X17 + 0.0*X18 + 0.0*X19 + 0.0*X20 + 0.0*X21 + 0.063776*X23 + 0.073354*X24, Errorvar.= 0.99087, R² = 0.0091277 (0.10999) (0.10999) 0.57983 0.66691 X26 = 6106*
- 0.021581*X1 - 0.0089826*X2 + 0.015348*X3 + 0.018305*X4 + 0.013546*X5 + 0.0065325*X7 + 0.0099904*X8 (0.041868) (0.041803) (0.044166) (0.043074) (0.041783) (0.013328) (0.019078) -0.51546 -0.21488 0.34750 0.42497 0.32421 0.49014 0.52366 - 0.0016106*X9 + 0.050878*X11 + 0.022146*X16 - 0.0099517*X17 + 0.036947*X18 + 0.024252*X19 + 0.049508*X20 (0.0067881) (0.032812) (0.014828) (0.0097316) (0.021300) (0.023828) (0.035165) -0.23727 1.55056 1.49351 -1.02262 1.73460 1.01783 1.40787 - 0.015904*X21 - 0.0096678*X23 - 0.011120*X24, Errorvar.= 1.02874, R² = 0.013038 (0.019927) (0.017798) (0.018146) -0.79812 -0.54321 -0.61280
19
Correlation Matrix of Independent Variables X1 -------1.00000 (0.15617) 6.40312
X2 --------
X2
-0.00367 (0.11043) -0.03323
1.00000 (0.15617) 6.40312
X3
-0.16761 (0.11197) -1.49689
-0.12332 (0.11127) -1.10831
1.00000 (0.15617) 6.40312
X4
0.00589 (0.11043) 0.05331
0.00947 (0.11044) 0.08573
0.29080 (0.11501) 2.52856
1.00000 (0.15617) 6.40312
X5
-0.03068 (0.11048) -0.27773
0.14892 (0.11165) 1.33382
0.10528 (0.11104) 0.94811
0.07257 (0.11072) 0.65544
1.00000 (0.15617) 6.40312
X7
-0.10480 (0.11104) -0.94384
-0.07158 (0.11071) -0.64649
-0.03122 (0.11049) -0.28262
-0.03372 (0.11049) -0.30516
-0.10511 (0.11104) -0.94660
1.00000 (0.15617) 6.40312
X8
0.05405 (0.11059) 0.48873
0.24961 (0.11382) 2.19303
-0.18750 (0.11236) -1.66880
-0.02348 (0.11046) -0.21255
0.02415 (0.11046) 0.21860
-0.00512 (0.11043) -0.04637
X9
-0.19337 (0.11248) -1.71919
0.01594 (0.11045) 0.14433
0.00072 (0.11043) 0.00656
-0.04111 (0.11052) -0.37192
-0.12302 (0.11126) -1.10566
0.17833 (0.11217) 1.58977
X11
-0.13853 (0.11149) -1.24258
-0.21873 (0.11304) -1.93494
0.18869 (0.11238) 1.67903
0.09171 (0.11089) 0.82695
-0.05268 (0.11058) -0.47634
-0.17237 (0.11206) -1.53819
X16
0.04725 (0.11055) 0.42736
0.08227 (0.11080) 0.74243
-0.03963 (0.11052) -0.35863
-0.06341 (0.11065) -0.57305
-0.03140 (0.11049) -0.28419
0.07433 (0.11074) 0.67124
X17
0.22151 (0.11311) 1.95839
0.25329 (0.11392) 2.22342
-0.16636 (0.11195) -1.48603
-0.00532 (0.11043) -0.04816
0.33790 (0.11657) 2.89880
-0.31905 (0.11592) -2.75243
X1
X3 --------
X4 --------
X5 --------
X7 --------
20
X18
-0.05702 (0.11061) -0.51547
0.07231 (0.11072) 0.65309
0.03559 (0.11050) 0.32210
0.09537 (0.11093) 0.85975
-0.02590 (0.11047) -0.23441
0.15802 (0.11180) 1.41339
X19
0.03706 (0.11051) 0.33540
-0.17154 (0.11204) -1.53100
0.13133 (0.11138) 1.17912
0.07947 (0.11078) 0.71739
0.16490 (0.11192) 1.47334
-0.19525 (0.11252) -1.73530
X20
-0.02919 (0.11048) -0.26420
-0.05126 (0.11058) -0.46357
0.05120 (0.11058) 0.46300
0.14363 (0.11156) 1.28741
-0.09238 (0.11090) -0.83302
-0.18752 (0.11236) -1.66898
X21
-0.05518 (0.11060) -0.49892
-0.27147 (0.11443) -2.37240
0.24146 (0.11361) 2.12543
0.09569 (0.11094) 0.86261
-0.07387 (0.11073) -0.66709
0.06311 (0.11065) 0.57037
X23
-0.18200 (0.11225) -1.62144
-0.04356 (0.11054) -0.39410
-0.07289 (0.11072) -0.65835
-0.14254 (0.11155) -1.27784
-0.04339 (0.11054) -0.39256
-0.00622 (0.11043) -0.05635
X24
0.01994 (0.11045) 0.18053
0.16342 (0.11190) 1.46046
0.05934 (0.11063) 0.53639
0.18171 (0.11224) 1.61894
-0.16652 (0.11195) -1.48742
-0.09656 (0.11095) -0.87033
X17 --------
X18 --------
Correlation Matrix of Independent Variables X8 -------1.00000 (0.15617) 6.40312
X9 --------
X9
-0.00091 (0.11043) -0.00828
1.00000 (0.15617) 6.40312
X11
0.08624 (0.11084) 0.77804
0.00493 (0.11043) 0.04467
1.00000 (0.15617) 6.40312
X16
0.14472 (0.11158) 1.29698
-0.02088 (0.11046) -0.18906
-0.11725 (0.11119) -1.05452
1.00000 (0.15617) 6.40312
X17
0.32033
-0.25507
0.05797
-0.08675
X8
X11 --------
X16 --------
1.00000
21
(0.11596) 2.76244
(0.11397) -2.23810
(0.11062) 0.52407
(0.11085) -0.78261
(0.15617) 6.40312
X18
0.25667 (0.11401) 2.25127
0.15429 (0.11174) 1.38082
0.12448 (0.11128) 1.11858
0.31770 (0.11587) 2.74185
-0.09483 (0.11093) -0.85484
1.00000 (0.15617) 6.40312
X19
0.10115 (0.11100) 0.91130
-0.21694 (0.11300) -1.91982
0.30337 (0.11540) 2.62882
0.04841 (0.11056) 0.43787
0.10273 (0.11101) 0.92539
-0.03068 (0.11048) -0.27770
X20
-0.02526 (0.11047) -0.22865
-0.03744 (0.11051) -0.33882
0.25233 (0.11389) 2.21550
-0.01720 (0.11045) -0.15577
-0.07647 (0.11075) -0.69043
0.00973 (0.11044) 0.08808
X21
0.04166 (0.11053) 0.37691
-0.01474 (0.11044) -0.13346
0.21002 (0.11284) 1.86121
0.09400 (0.11092) 0.84745
-0.18941 (0.11239) -1.68522
0.06255 (0.11065) 0.56534
X23
0.09191 (0.11090) 0.82874
0.08680 (0.11085) 0.78310
0.04416 (0.11054) 0.39951
0.11330 (0.11114) 1.01945
-0.02733 (0.11047) -0.24739
0.08574 (0.11084) 0.77358
X24
0.14096 (0.11152) 1.26395
0.14038 (0.11151) 1.25885
0.11930 (0.11121) 1.07270
0.06844 (0.11069) 0.61830
-0.04202 (0.11053) -0.38022
0.13786 (0.11148) 1.23668
Correlation Matrix of Independent Variables X19 -------1.00000 (0.15617) 6.40312
X20 --------
X20
0.35271 (0.11710) 3.01206
1.00000 (0.15617) 6.40312
X21
0.36805 (0.11767) 3.12772
0.04105 (0.11052) 0.37139
1.00000 (0.15617) 6.40312
X23
-0.10630 (0.11105) -0.95719
-0.04123 (0.11053) -0.37302
-0.13408 (0.11142) -1.20338
X19
X21 --------
X23 --------
X24 --------
1.00000 (0.15617) 6.40312
22
X24
-0.10617 (0.11105) -0.95604
0.01604 (0.11045) 0.14520
-0.03495 (0.11050) -0.31627
-0.03424 (0.11050) -0.30988
1.00000 (0.15617) 6.40312
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 157 Minimum Fit Function Chi-Square = 287.49203 (P = 0.00) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 255.98523 (P = 0.00000) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 98.98523 90 Percent Confidence Interval for NCP = (59.06642 ; 146.81277) Minimum Fit Function Value = 2.90396 Population Discrepancy Function Value (F0) = 1.20714 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.72032 ; 1.79040) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.087686 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.067735 ; 0.10679) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.0018392 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 7.85348 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (7.36666 ; 8.43674) ECVI for Saturated Model = 8.56098 ECVI for Independence Model = 9.20191 Chi-Square for Independence Model with 325 Degrees of Freedom = 702.55675 Independence AIC = 754.55675 Model AIC = 643.98523 Saturated AIC = 702.00000 Independence CAIC = 848.29117 Model CAIC = 1343.38824 Saturated CAIC = 1967.41474 Normed Fit Index (NFI) = 0.59079 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.28454 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.28540 Comparative Fit Index (CFI) = 0.65438 Incremental Fit Index (IFI) = 0.76081 Relative Fit Index (RFI) = 0.15291 Critical N (CN) = 70.26553
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.082711 Standardized RMR = 0.082360
23
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.83410 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.62910 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.37309 The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate X10 X12 8.5 0.32 X12 X13 11.1 0.36 X12 X14 16.7 0.44 X13 X12 11.1 0.38 X13 X14 8.7 0.33 X14 X12 16.7 0.46 X14 X13 8.7 0.32 X22 X25 8.2 0.29 X15 X5 11.3 0.35 The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate X13 X12 11.1 0.26 X14 X12 16.7 0.32 X14 X13 8.7 0.24 X13 X12 11.1 0.26 X14 X12 16.7 0.32 X14 X13 8.8 0.24 X16 X12 13.0 -0.55 X16 X13 11.1 -0.54 X16 X14 19.7 -0.78 X16 X16 19.2 2.14 X17 X16 10.0 -0.79 X18 X12 26.3 -0.58 X18 X13 14.9 -0.44 X18 X14 13.6 -0.44 X18 X16 30.0 1.12 X18 X17 9.6 -0.50 X18 X18 21.6 1.05 X24 X16 8.7 -0.58 X24 X17 8.1 1.16 X24 X18 10.9 -0.42
The Problem used
750408 Bytes (= Time used:
1.1% of Available Workspace)
3.172 Seconds
24
1
Lampiran 8-A. Tabulasi Analisis Deskriptif Tabel 1. Analisis deskriptif peubah informasi pasar (X 3 ) Peubah
Skor
X3
,00
1
1,00
0
2,00
51
3,00
39
4,00
9
5,00
0
Total
Frekuensi
Persen
100
Deskripsi Skor
1,0 SKOR = 5 (amat terbuka), jika responden memilih empat pilihan. 0 SKOR = 4, (terbuka) jika responden memilih tiga 51,0 pilihan. 39,0 SKOR = 3, (terbatas) jika responden memilih dua pilihan. 9,0 SKOR = 2, (amat terbatas) jika responden memilih 0 satu pilihan. SKOR = 1, (tertutup) jika responden tidak mempunyai sumber informasi harga. 100,0 Sumber informasi harga pasar: (1) Perusahaan, (2) Pedagang pengumpul, (3) Pasar desa, dan (4) Kerabat/tetangga.
Tabel 2. Analisis deskriptif peubah sarana pendukung (X 5 ) Peubah
Skor
X5
1,00
12
2,00
60
3,00
20
4,00
1
5,00
7
Total
Frekuensi
Persen
100
Deskripsi Skor
12,0 SKOR = 5, jika responden memilih angka 1. SKOR = 4, jika responden memilih angka 1 dan 2. 60,0 SKOR = 3, jika responden memilih angka 2. 20,0 SKOR = 2, jika responden memilih angka (1, 2, dan 1,0 3), atau (1 dan 3), atau (2 dan 3) SKOR = 1, jika responden memilih angka 3 saja. 7,0
100,0
Untuk mencapai lahan garapan yang anda kelola di dalam kawasan, apakah prasarana transportasi berikut tersedia : (1) Jalan segala cuaca (dapat ditempuh baik musim hujan dan kemarau), (2) Jalan kering (tidak dapat/sulit ditempuh pada musim hujan), dan (3) Jalan setapak.
Tabel 3. Analisis deskriptif peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden (X 2 ) Peubah
Skor
X2
1
34
2
3
3
63
Total
Frekuensi
Persen
100
Deskripsi Skor
34,0 Skor 1 = Defisit (penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras 3,0 yang dikonsumsi responden, kurang dari total 63,0 konsumsi beras rumah tangga per tahun) Skor 2 = Berimbang (penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden, sama dengan total konsumsi beras rumah tangga per tahun) 100,0 Skor 3 = Surplus (penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden, lebih besar dari total konsumsi beras rumah tangga per tahun)
2
Tabel 4. Analisis deskriptif peubah tingkat partisipasi responden (X7) Peubah X7
Skor
Frekuensi
1,00
5
2,00
15
Persen
5,0 SKOR = 1. Partisipasi Manipulatif dan 15,0
3,00
2
2,0
4,00
41
41,0
5,00
17
17,0
6,00
13
13,0
7,00 Total
7 100
Deskripsi Skor
7,0 100,0
dekoratif SKOR = 2. Partisipasi Pasif SKOR = 3. Partisipasi Memberi informasi dan konsultasi SKOR = 4. Partisipasi Insentif material SKOR = 5. Partisipasi Fungsional SKOR = 6. Partisipasi Interaktif SKOR = 7. Partisipasi Selfmobilization/Mandiri
Tabel 5. Analisis deskriptif peubah tingkat keberdayaan responden (X 9 ) Peubah X9
Skor
Frekuensi
Persen
Deskripsi Skor
,00
20
20,0
1,00
20
20,0
2,00
14
14,0
SKOR = 5; jika responden mendapat tiga pendampingan a, b, dan c SKOR = 4; jika responden mendapat dua pendampingan a dan b. SKOR = 3; jika responden mendapat dua pendampingn a dan c; SKOR = 2; jika responden mendapat dua pendampingan b dan c; SKOR = 1; jika responden mendapat satu pendampingan hanya a atau b atau c. Pendampingan: a) Pendampingan hukum dan berhasil. b) Penguatan pengorganisasian kelompok untuk menangani konflik dan berhasil. c) Penguatan usaha ekonomi rumah tangga dan berhasil melepas ketergantungan ekonomi.
3,00
5
5,0
4,00
10
10,0
5,00
31
31,0
Total
100
100,0
Tabel 6. Analisis deskriptif peubah tingkat ordinasi responden (X 10 ) Peubah X10
Skor ,00
Frekuensi 1
Persen 1,0
1,00
16
16,0
2,00
53
53,0
3,00
13
13,0
4,00
12
12,0
5,00
5
5,0
Total
100
100,0
Deskripsi Skor SKOR = 1. Responden samasekali belum tahu tentang status dan fungsi kawasan hutan Bukit Rigis. SKOR = 2. Responden tahu kawasan dari pihak ketiga, tetapi tidak pernah diberitahu tentang penetapan satus dan fungsi kawasan oleh pemerintah. SKOR = 3. Responden hanya diberitahu oleh pemerintah tanpa diberi kesempatan bertanya jika masyarakat tidak sepakat dengan status dan fungsi kawasan. SKOR = 4. Responden diajak bicara tetapi
3
kepentingan masyarakat masih diabaikan (tidak ditindaklanjuti) oleh pemerintah. SKOR = 5. Responden diajak bicara dan kepentingannya diperhatikan/dipenuhi oleh pemerintah.
Tabel 7. Analisis Deskriptif persepsi tentang status kawasan hutan negara (X 12 ) Peubah X12
Skor Frekuensi ,00 1 1,00 12 2,00 16 3,00 34 4,00 34 5,00 3 Total 100
Persen Deskripsi Skor SKOR = 1. Saya tidak tahu dengan yang dimaksud 1,0 STATUS kawasan hutan lindung dan 12,0 semua itu adalah urusan negara dan 16,0 bukan urusan saya. 34,0 SKOR = 2. Saya tahu tapi amat tidak paham dengan 34,0 yang dimaksud STATUS kawasan hutan 3,0 lindung. 100,0 SKOR = 3. Saya tahu tapi tidak paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. SKOR = 4. Saya tahu dan paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung. SKOR = 5. Saya tahu dan amat paham dengan yang dimaksud STATUS kawasan hutan lindung.
Tabel 8. Analisis deskriptif persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X 13 ) Peubah X13
Skor Frekuensi ,00 1 1,00 8 2,00 12 3,00 26 4,00 49 5,00 4 Total 100
Persen Deskripsi Skor SKOR = 1. Saya tidak tahu dengan yang dimaksud 1,0 FUNGSI kawasan hutan lindung dan 8,0 semua itu adalah urusan negara dan 12,0 bukan urusan saya. 26,0 SKOR = 2. Saya tahu tapi amat tidak paham dengan 49,0 yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan 4,0 lindung. 100,0 SKOR = 3. Saya tahu tapi tidak paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. SKOR = 4. Saya tahu dan paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung. SKOR = 5. Saya tahu dan amat paham dengan yang dimaksud FUNGSI kawasan hutan lindung.
4
Tabel 9. Analisis deskriptif persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X 14 ). Peubah X14
Skor ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Total
Frekuensi 1 32 1 20 41 5 100
Persen 1,0 32,0 1,0 20,0 41,0 5,0 100,0
Deskripsi Skor Identifikasi apakah terdapat kata kunci berikut dalam penjelasan responden ttg desentralisasi/otonomi PSDH? (a) Pemda Propinsi atau pusat hanya mengatur PSDH. (b) PSDH oleh pemda kabupaten. (c) Masyarakat berhak dan bertanggung jawab ikut mengelola. (d) Tidak mengerti tentang desentralisasi/otonomi PSDH. Lalu beri: SKOR = 1 ; Jika kata kunci hanya d. SKOR = 2 ; jika ada dua kata kunci a dan b; atau satu kata kunci hanya a. SKOR = 3 ; jika ada satu kata kunci b atau c. SKOR = 4 ; jika ada dua kata kunci b dan c. SKOR = 5 ; jika ada tiga kata kunci a, b, dan c.
Tabel 10. Analisis deskriptif tingkat pendidikan responden (X 16 ) Peubah X16
Skor 1,00 4,00 5,00 6,00 9,00 Total
Frekuensi 1 70 16 11 2 100
Persen 1,0 70,0 16,0 11,0 2,0 100,0
Deskripsi Skor Pendidikan formal yang ditempuh: SKOR = 1 ; Tidak pernah sekolah SKOR = 2 ; Belum usia sekolah SKOR = 3 ; TK SKOR = 4 ; SD / M. Ibtidaiyah atau drop out SKOR = 5 ; SLTP Umum/kejuruan/M.Tsanawiyah atau drop out SKOR = 6 ; SMU/kejuruan/M. Aliyah atau drop out SKOR = 7 ; Diploma I/II SKOR = 8 ; Diploma III/Sarmud SKOR = 9 ; Diploma IV/S1
Tabel 11. Analisis deskriptif lama tinggal di kawasan (X 17 ), Peubah X17
Skor Frekuensi Persen 1,00 6 6,0 2,00 9 9,0 3,00 59 59,0 4,00 26 26,0 Total 100 100,0
Deskripsi Skor Skor = 1 , responden tidak menjawab, cenderung riwayat kedatangannya tidak ingin diketahui orang lain Skor =2, Berdasarkan lama tinggal, kedatangannya terjadi pada periode Transmigrasi BRN (thn 51-53) Skor = 3, Berdasarkan lama tinggal, kedatangannya terjadi pada periode pasca Transmigrasi BRN hingga tahun 1994 (sebelum BATB Reg 45 dibuat). Skor = 4, Berdasarkan lama tinggal, responden datang setelah BATB 1994 dibuat.
5
Tabel 12. Analisis deskriptif kosmopolitansi responden (X 18 ) Peubah X18
Skor Frekuensi ,00 1 1,00 7 2,00 31 3,00 36 4,00 16 5,00 9 Total 100
Persen Deskripsi Skor Sumber informasi responden dalam memahami 1,0 otonomi, status dan fungsi kawasan hutan lindung 7,0 Bukit Rigis. (Boleh pilih lebih dari satu): 31,0 a) Media masa/buku yang didapat secara 36,0 mandiri. 16,0 b) Teman dekat/tetangga/tokoh masyarakat 9,0 setempat, c) Pendamping 100,0 d)
Lembaga penelitian/perguruan tinggi/dinas pemerintah. e) Tidak pernah memperoleh informasi. Beri nilai: SKOR = 5; Jika responden mendapat empat sumber selain e; SKOR = 4; Jika responden mendapat tiga sumber selain e; SKOR = 3; Jika responden mendapat dua sumber selain e; SKOR = 2; Jika responden mendapat satu sumber selain e, SKOR = 1; Jika responden hanya memilih e.
Tabel 13. Analisis deskriptif keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X 15 )
Peubah
X15
Skor
Frekuensi
Persen
,00
1
1,0
1,00
50
50,0
2,00
27
27,0
3,00
7
7,0
4,00
14
14,0
5,00
1
1,0
Total
100
100,0
Deskripsi skor
Tidak menjawab; SKOR = 0 Tidak pernah; SKOR = 1 Amat jarang; SKOR = 2 Jarang; SKOR = 3 Sering; SKOR = 4 Amat sering; SKOR = 5
Tabel 14. Analisis deskriptif peubah penguasaan lahan diluar kawasan (X 19 ) Peubah X19
Skor
Frekuensi
1,00
36
2,00
27
3,00
18
4,00
9
5,00
4
6,00
6
Total 100
Persen
Deskripsi Skor
36,0 Skor 1 = Tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan 27,0 Skor 2 = Memiliki lahan seluas 0 hingga 0,5 18,0 hektar Skor 3 = Memiliki lahan seluas 0,51 hingga 1 9,0 hektar 4,0 Skor 4 = Memiliki lahan seluas 1,1 hingga 1,5 6,0 hekatr Skor 5 = Memiliki lahan seluas 1,51 hingga 2 hektar 100,0 Skor 6 = Memiliki lahan seluas lebih besar dari 2 hektar
6
Tabel 15. Analisis deskriptif peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X 20 ) Peubah X20
Skor 1,00
Frekuensi 29
2,00
2
3,00
12
4,00
19
5,00
2
6,00
36
Total
100
Persen
Deskripsi Skor
29,0 SKOR = 1 Sertifikat HM/HGU/HGB (Oleh BPN). (Status lahan luar kawasan amat pasti, 2,0 dorongan kebutuhan lahan tambahan 12,0 amat rendah). 19,0 SKOR = 2 Akte Tanah oleh Camat atau PPAT. (Status lahan luar kawasan pasti, 2,0 dorongan kebutuhan lahan tambahan 36,0 amat rendah), SKOR = 3 Surat Keterangan Tanah oleh Perwatin. (Status lahan luar kawasan pasti, dorongan kebutuhan lahan tambahan rendah) SKOR = 4 Surat jual beli atau ganti lahan garapan, bukti girik, bukti Pajak PBB. (Status lahan luar kawasan tidak pasti, 100,0 dorongan kebutuhan lahan tambahan tinggi) SKOR = 5 Tanpa surat keterangan satupun. (Status lahan luar kawasan amat tidak pasti, dorongan kebutuhan lahan tambahan amat tinggi). SKOR = 6 Tidak memiliki lahan di luar kawasan.
Tabel 16. Analisis deskriptif peubah pendapatan rumah tangga di luar kawasan (X 21 ) Peubah X21
Skor
Frekuansi
1,00
70
2,00
4
3,00
26
Total
100
Persen
Deskripsi Skor
70,0 4,0 Skor = 1, Defisit Skor = 2, Seimbang 26,0 Skor = 3, Surplus 100,0
Tabel 17. Analisis deskriptif peubah persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan (X 22 ) Peubah X22
Skor ,00
Frekuensi 46
1,00
2
2,00
22
3,00
5
4,00
19
5,00
6
Total
100
Persen
Deskripsi SKor
46,0 Skor 0 = Tidak menjawab dan tdk bsa mengestimasi 2,0 Skor 1 = Butuh lahan 0 hingga 0,5 hektar 22,0 Skor 2 = Butuh lahan 0,51 hingga 1 hektar 5,0 Skor 3 = Butuh lahan 1,1 hingga 1,5 hekatr Skor 4 = Butuh lahan 1,51 hingga 2 hektar 19,0 Skor 5 = Butuh lahan lebih besar dari 2 hektar 6,0 100,0
7
Tabel 17. Analisis deskriptif peubah etik antroposentris (X 23 ) Peubah X23
Skor
Frekuensi
,00
1
1,00
22
2,00
70
3,00
5
4,00
1
5,00
1
Total 100
Persen
Deskripsi Skor
1,0 Saya berkeyakinan berkeyakinan bahwa manusia adalah dominan terhadap alam dan 22,0 oleh karenanya alam dapat dimanfaatkan 70,0 semata-mata untuk kehidupan dan 5,0 kesejahteraan dirinya. SKOR = 1, Amat meyakini. 1,0 SKOR = 2, Meyakini. 1,0 SKOR = 3, Tidak meyakini. SKOR = 4, Amat tidak meyakini. SKOR = 5, Menolak paham tersebut. 100,0 Catatan: satu responden tidak menjawab.
Tabel 18. Analisis deskriptif peubah etik ekosentris (X 24 )
Peubah X24
Skor
Frekuansi
,00
1
1,00
1
2,00
1
3,00
3
4,00
85
5,00
9
Total
100
Persen
Deskripsi Skor
1,0 Saya berkeyakinan bahwa manusia adalah bagian dari alam dan oleh karenanya 1,0 pemanfaatan sumberdaya alam harus 1,0 memperhatikan kepentingan mahluk lain. SKOR = 1, Menolak paham tersebut. 3,0 SKOR = 2, Amat tidak meyakini. 85,0 SKOR = 3, Tidak meyakini. 9,0 SKOR = 4, Meyakini. SKOR = 5, Amat meyakini. 100,0 Catatan: satu responden tidak menjawab.
Tabel 19. Analisis deskriptif peubah etik lingkungan (X 25 )
Peubah X25
Skor
Frekuansi
,00
1
1,00
14
2,00
52
3,00
28
4,00
4
5,00
1
Total
100
Persen
Deskripsi Skor
1,0 Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik adalah perilaku praktek 14,0 (berdasarkan paham dan keyakinan responden 52,0 tentang lingkungan hidup disekitarnya) yang 28,0 dilihat dari kegiatan mereka dalam PSDA. 4,0 SKOR = 1; Jika total nilai berada antara 16-20 = 1,0 sangat baik; SKOR = 2; Jika total nilai berada antara 12-16 = baik; SKOR = 3; Jika total nilai berada antara 8-12 = sedang; 100,0 SKOR = 4; Jika total nilai berada antara 4-8 = buruk; SKOR = 5; Jika total nilai berada antara 0-4 = sangat buruk; Catatan: satu responden tidak menjawab.
8
Tabel 20. Analisis deskriptif peubah eskalasi konflik (X26) Peubah X26
Skor
Frekuensi
Persen
Deskripsi skor
1,00
36
36,0
2,00
38
3,00
23
4,00
3
38,0 Skor = 1, Tanpa konflik 23,0 Skor = 2, Potensi konflik Skor = 3, Konflik laten 3,0 Skor = 4, Konflik permukaan 0 Skor = 5, Konflik terbuka
5,00
0
Total
100
100,0
Keterangan 1. Tanpa Konflik Kesan umum masalah status, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis adalah baik. Setiap kelompok/pihak hidup berdampingan secara damai. Jika ada perbedaan selalu dibicarakan secara transparan 1) Tidak ada perbedaan kepentingan yang terjadi. 2) Perilaku masyarakat dengan pemerintah selama ini selaras. 2. Potensi Konflik 1) Terjadi perbedaan kepentingan yang dangkal dan tidak prinsipal. 2) Perilaku masyarakat dengan pemerintah selama ini selaras, dan selalu ada pemecahan. 3. Konlik Laten Sifatnya tersembunyi dan, seperti telah disebutkan di atas perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. 1) Terjadi perbedaan kepentingan yang mendalam/prinsip antara masyarakat dan pemerintah terhadap masalah masalah status, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis. 2) Perilaku antara masyarakat dengan pemerintah selaras tetapi tidak ada pemecahan perbedaan pandangan 4. Konflik Permukaan Memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalah-fahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. 1) Terjadi perbedaan kepentingan yang dangkal/tidak prinsipal antara masyarakat dan pemerintah terhadap masalah masalah status, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis. 2) Perilaku antara masyarakat dengan pemerintah bertentangan dan terjadi konfrontasi secara terbuka. 5. Konflik Terbuka Adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 1) Terjadi perbedaan kepentingan yang mendalam/prinsipal antara masyarakat dan pemerintah terhadap masalah masalah status, akses, dan tata batas kawasan hutan lindung Bukit Rigis. 2) Perilaku antara masyarakat dengan pemerintah bertentangan dan terjadi konfrontasi secara terbuka.
LAMPIRAN 9. DAFTAR KELOMPOK PENERIMA IZIN HKM DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT, JUNI 2006. No
Nama Klp HKm
No SK
Lokasi Hamparan
Pekon, Kecamatan
Luas hamparan (Ha) 244,5
Jumlah anggota Klp (Org) 65
1
KMPH Sumber Sari
503.522/514/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
2
KMPH Lirikan
503.522/513/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
Simpang Sari, Kec. Sumberjaya Tugusari, Sumberjaya
290
92
3
KMPH Laksana Bawah
503.522/512/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
Tugusari, Sumberjaya
142,5
70
4
KMPH Ulu Petai Lestari
503.522/511/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
Tugusari, Sumberjaya
150
109
5
KMPH Mekarsari Jaya
503.522/510/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
Tugusari, Sumberjaya
270,5
54
6
KMPH Laksana jaya
503.522/509/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
Tugusari, Sumberjaya
184,5
115
7
KMPH Simpang Kodim
503.522/525/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
Tugusari, Sumberjaya
97,5
79
8
KMPH Tritunggal
503.522/524/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
90
97
9
KMPH Gunung Raya
503.522/522/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis
776,75
317
10
KMPH Abung Jaya
503.522/523/IV.05.2/2006
2077,9
800
11
KMPH Sido Makmur
503.522/513/IV.05.2/2006
HL,Reg 45B Bukit Rigis dan Reg 34 Tangkit Tebak HL,Reg 45B Bukit Rigis
Tribudisyukur, Sumberjaya Muara Jaya II, Sumberjaya Pura jaya, Sumberjaya
362,611
271
12
KMPH Wana Mulya
503.522/516/IV.05.2/2006
367,64
203
13
503.522/517/IV.05.2/2006
185,74
138
14
KMPH Wana Marga Rahayu KMPH Wana Jaya
Puramekar, Sumberjaya Ciptawaras, Sumberjaya Semarangjaya, Sumberjaya Mekarjaya, Sumberjaya
721
419
15
KMPH Wana Makmur
503.522/519/IV.05.2/2006
1576,82
627
16
KMPH Ribang Alam
503.522/513/IV.05.2/2006
3535,56
1390
17
KMPH Asahan Lestari
503.522/521/IV.05.2/2006
169,902
214
18
KMPH Air Pakuan
503.522/527/IV.05.2/2006
Purawiwitan, Sumberjaya Muarajaya I, Sumberjaya Muarajaya II, Sumberjaya Sukapura, Sumberjaya
389,19
223
19
KPH Way Lipung/Argomulyo
503.522/526/IV.05.2/2006
Luas dan Argomulyo, Kec. Belalau TOTAL
296,5
170
11929,113
5453
503.522/518/IV.05.2/2006
HL, Reg 39 Kota Agung Utara HL,Reg 45B Bukit Rigis HL, Reg 39 Kota Agung Utara HL, Reg 34 Tangkit Tebak HL, Reg 39 Kota Agung Utara HL,Reg 45B Bukit Rigis HL,Reg 44B Way Tenong Kenali HL,Reg 43B Krui Utara
Data diolah dari Dinas Kehutan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat.
Masa berlaku izin
5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006 5 tahun, sejak 30 Juni 2006
LAMPIRAN 10. HASIL UJI STATISTIKA ANALISIS NILAI TENGAH BERPASANGAN
The SAS System
15:07 Thursday, June 16, 2005
57
The GLM Procedure Class Level Information Class KLP
Levels 4
Values Kab Kec LSM Masy
Data for Analysis of G1 G3 Number of Observations Read Number of Observations Used
41 41
Data for Analysis of G2 Number of Observations Read Number of Observations Used
41 40
NOTE: Variables in each group are consistent with respect to the presence or absence of missing values.
1
The SAS System
15:07 Thursday, June 16, 2005
58
The GLM Procedure Dependent Variable: G1
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
12.97945025
4.32648342
4.54
0.0083
Error
37
35.25079365
0.95272415
Corrected Total
40
48.23024390
Source KLP
Source KLP
R-Square
Coeff Var
Root MSE
G1 Mean
0.269114
20.67103
0.976076
4.721951
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
12.97945025
4.32648342
4.54
0.0083
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
12.97945025
4.32648342
4.54
0.0083
2
The SAS System
15:07 Thursday, June 16, 2005
59
The GLM Procedure Dependent Variable: G3
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
0.57435385
0.19145128
0.25
0.8635
Error
37
28.77784127
0.77777949
Corrected Total
40
29.35219512
Source KLP
Source KLP
R-Square
Coeff Var
Root MSE
G3 Mean
0.019568
17.07207
0.881918
5.165854
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
0.57435385
0.19145128
0.25
0.8635
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
0.57435385
0.19145128
0.25
0.8635
3
The SAS System
15:07 Thursday, June 16, 2005
60
The GLM Procedure Tukey's Studentized Range (HSD) Test for G1 NOTE: This test controls the Type I experimentwise error rate, but it generally has a higher Type II error rate than REGWQ.
Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 37 Error Mean Square 0.952724 Critical Value of Studentized Range 3.80389 Minimum Significant Difference 1.204 Harmonic Mean of Cell Sizes 9.509434 NOTE: Cell sizes are not equal.
Means with the same letter are not significantly different.
Tukey Grouping
Mean
N
KLP
A A A A A
5.4400
10
LSM
5.3143
7
Kab
4.2889
9
Masy
4.2267
15
Kec
B B B B B
4
The SAS System
15:07 Thursday, June 16, 2005
61
The GLM Procedure Tukey's Studentized Range (HSD) Test for G3 NOTE: This test controls the Type I experimentwise error rate, but it generally has a higher Type II error rate than REGWQ.
Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 37 Error Mean Square 0.777779 Critical Value of Studentized Range 3.80389 Minimum Significant Difference 1.0879 Harmonic Mean of Cell Sizes 9.509434 NOTE: Cell sizes are not equal.
Means with the same letter are not significantly different.
Tukey Grouping
Mean
N
KLP
A A A A A A A
5.3714
7
Kab
5.2133
15
Kec
5.0600
10
LSM
5.0444
9
Masy
5
The SAS System
15:07 Thursday, June 16, 2005
62
The GLM Procedure Dependent Variable: G2
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
8.66274603
2.88758201
2.83
0.0518
Error
36
36.67225397
1.01867372
Corrected Total
39
45.33500000
Source KLP
Source KLP
R-Square
Coeff Var
Root MSE
G2 Mean
0.191083
21.36071
1.009294
4.725000
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
8.66274603
2.88758201
2.83
0.0518
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
8.66274603
2.88758201
2.83
0.0518
6
The SAS System
15:07 Thursday, June 16, 2005
63
The GLM Procedure Tukey's Studentized Range (HSD) Test for G2 NOTE: This test controls the Type I experimentwise error rate, but it generally has a higher Type II error rate than REGWQ.
Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 36 Error Mean Square 1.018674 Critical Value of Studentized Range 3.80880 Minimum Significant Difference 1.263 Harmonic Mean of Cell Sizes 9.264706 NOTE: Cell sizes are not equal.
Means with the same letter are not significantly different.
Tukey Grouping
Mean
N
KLP
A A A A A
5.5111
9
LSM
4.8571
7
Kab
4.4800
15
Kec
4.2444
9
Masy
B B B B B
7
1
Lampiran 10A. Analisis Deskritif Gaya Mengelola Konflik GMK terhadap Status Lahan
Frequency Valid
Saling menghindar Kompetitif/rep resif Akomodatif Kompromi Kolaborasi Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
2,4
2,4
2,4
4
9,8
9,8
12,2
4
9,8
9,8
22,0
15 17 41
36,6 41,5 100,0
36,6 41,5 100,0
58,5 100,0
GMK terhadap Tata Batas
Frequency Valid
Missing Total
Kompetitif/repr esif Akomodatif Kompromi Kolaborasi Total System
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
7,3
7,5
7,5
1 12 24 40 1 41
2,4 29,3 58,5 97,6 2,4 100,0
2,5 30,0 60,0 100,0
10,0 40,0 100,0
GMK terhadap akses
Frequency Valid
Saling menghindar Kompetitif/repr esif Akomodatif Kompromi
Missing Total
Kolaborasi Total System
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
2,4
2,5
2,5
4
9,8
10,0
12,5
2
4,9
5,0
17,5
17 16 40
41,5 39,0 97,6
42,5 40,0 100,0
60,0 100,0
1 41
2,4 100,0
2
Kesesuaian dg Tupoksi
Frequency Valid
Tidak sesuai dengan tupoksi Sesuai dengan tupoksi Total
Missing Total
System
Percent
Valid Percent
6
14,6
18,8
18,8
26
63,4
81,3
100,0
32 9
78,0 22,0
100,0
41
100,0
Keterlindungan secara individu
Valid
Missing Total
2,00 3,00 4,00 5,00 Total System
Frequency 1 2 19
Percent 2,4 4,9 46,3
Valid Percent 3,8 7,7 73,1
4 26 15 41
9,8 63,4 36,6 100,0
15,4 100,0
Cumulative Percent 3,8 11,5 84,6 100,0
Upaya responden terhadap konflik Status
Valid
1,00 2,00 4,00 5,00 Total
Missing Total
System
Frequency 11 4 19 6
Percent 26,8 9,8 46,3 14,6
Valid Percent 27,5 10,0 47,5 15,0
40 1 41
97,6 2,4 100,0
100,0
Cumulative Percent 27,5 37,5 85,0 100,0
Upaya responden terhadap konflik Tata Batas
Valid
1,00 2,00 4,00 5,00
Missing Total
Total System
Cumulative Percent
Frequency 14 3
Percent 34,1 7,3
Valid Percent 36,8 7,9
Cumulative Percent 36,8 44,7
17
41,5
44,7
89,5
4 38 3
9,8 92,7 7,3
10,5 100,0
100,0
41
100,0
3
Upaya responden terhadap konflik Akses
Valid
Missing
1,00 2,00 4,00 5,00 Total System
Total
Frequency 2 3
Percent 4,9 7,3
Valid Percent 5,0 7,5
16 19 40
39,0 46,3 97,6
40,0 47,5 100,0
1
2,4
41
100,0
Cumulative Percent 5,0 12,5 52,5 100,0
Pilihan cara penanganan thdp konflik status
Valid
Konsiliasi Fasilitasi Negosias i Mediasi Arbitrase Total
Frequency 2 11
Percent 4,9 26,8
Valid Percent 4,9 26,8
Cumulative Percent 4,9 31,7
24
58,5
58,5
90,2
3 1 41
7,3 2,4 100,0
7,3 2,4 100,0
97,6 100,0
Pilihan cara penanganan thdp konflik tata batas
Valid
Konsiliasi Fasilitasi Negosias i Mediasi Arbitrase Total
Frequency 8 9
Percent 19,5 22,0
Valid Percent 19,5 22,0
Cumulative Percent 19,5 41,5
19
46,3
46,3
87,8
3 2
7,3 4,9
7,3 4,9
95,1 100,0
41
100,0
100,0
Pilihan cara penanganan thdp konflik akses
Valid
Konsiliasi Fasilitasi Negosias i Mediasi Total
Frequency 3 12
Percent 7,3 29,3
Valid Percent 7,3 29,3
Cumulative Percent 7,3 36,6
23
56,1
56,1
92,7
3 41
7,3 100,0
7,3 100,0
100,0
4
Kebersediaan untuk berunding
Valid
Missing Total
Tidak bersedia Bersedia hadir langsung Bersedia hadir diwakili Total System
Frequency 4
Percent 9,8
Valid Percent 10,3
Cumulative Percent 10,3
28
68,3
71,8
82,1
7
17,1
17,9
100,0
39 2
95,1 4,9
100,0
41
100,0
Komitmen untuk tetap hadir
Valid
Missing Total
Ragu-ragu Ya Total System
Frequency 6 31 37 4 41
Percent 14,6 75,6 90,2 9,8 100,0
Valid Percent 16,2 83,8 100,0
Cumulative Percent 16,2 100,0
Lampiran 11. FORM KONFIRMASI KESEDIAAN LANGSUNG/BERWAKIL Semiloka Pengembangan Model Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Bersama ini kami konfirmasikan bahwa (mohon pilih satu): (1) Kami bersedia berpartisipasi dalam Semiloka dan bertindak atas nama lembaga yang kami pimpin. (2) Karena sesuatu dan lain hal, kami belum dapat berpartisipasi dalam Semiloka dan kami tidak memiliki wakil/utusan pengganti. (3) Karena sesuatu dan lain hal, kami belum dapat berpartisipasi dalam Semiloka dan untuk itu kami mengutus nama berikut di bawah ini sebagai wakil pengganti yang bertindak atas nama lembaga yang kami pimpin. Demikian konfirmasi kesediaan dari kami. Partisipan Langsung: Nama
: ………………………………………………………………………………………..
Jabatan
: ………………………………………………………………………………………..
Instansi
: ………………………………………………………………………………………..
Alamat Instansi
: ……………………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………………..
Nomor telp/fax yang bisa dihubungi:…………………………………………………………………..
Tandatangan
: ………………………………………………………………………………………..
Partisipan Utusan (Hanya diisi jika kebersediaan diwakilkan): Nama
: ………………………………………………………………………………………..
Instansi/Asal desa
: ………………………………………………………………………………………..
Alamat
: ……………………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………………..
Nomor telp/fax yang bisa dihubungi:………………………………………………………………….. Tandatangan
: ………………………………………………………………………………………..
Lampiran 12. Matriks Perbedaan Kepentingan Masyarak at Petani Kawasan
Dishut prop/Pusat Kec & Pekon
Dishutpro p/pusat
Penyelesaian masalah status, akses, tata batas hanya untuk kepentingan Dishut. Tidak menyelesaik an kasus penebangan liar. Tidak ada kepastian tentang HKm definitif
Masyarakat Petani Kawasan
Dishutkab Lambar
Dishutkab Lambar
Tidak mematuhi tata batas.
Kec. & Pekon
BPLH Lambar
Aparat kecamatan dan pekon tidak pernah memberikan bimbingan.
Watala
Yacili
Pungli kepada petani HKm terutama yang ijinnya belum terbit.
Propinsi dan Pusat kurang mendukung akses bagi masyarakat. Sistem tanam GERHAN tidak sesuai dengan kondisi Sumberjaya.
Dishut tidak serius menangani tata batas, status, akses, ilegal logging, kebakaran hutan, banjir. Dishut tidak transparan mengelola retribusi hasil hutan.
Polisi/ TNI
Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging.
Tidak serius menangani kebakaran hutan dan banjir.
Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging
ICRAF
PLTA
BPN Lambar
UPTD Bk Rigis
Akademis i/Pakar Pergurua n Tinggi
Bapeda Lambar
DPRD Kab Lambar
Tidak peduli dengan ketersediaan air masyarakat.
Status lembaga ini tidak jelas
Tata batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan mendudukita nah marga
1
Dishut melakukan penyalah gunaan PAD
BPLH Lambar Polisi/TNI
Tidak serius menyelesaia n tata batas, status, dan akses. Akses hanya untuk kepentingan dinas kehutanan Bata batas tidak tuntas Beda paham tentang fungsi hutan.
Watala
Yacili
ICRAF
Tidak mendukung akses bagi masyarakat Tidak ada aksi terhadap kerusakan lingkungan di Bukit Rigis. Tidak mendukung akses bagi masyarakat
Tidak mendukung penyelesaian tata batas.
PLTA BPN Lambar
Oportunis terhadap permaslahan kawasan hutan.
Dishut tidak menyelesaik an tata batas kawasan.
UPTD Bk.rgs
Oknum Dinas Kehutanan melakukan illegal logging.
Akademisi/ pakar PT
Tidak menuntaskan masalah status, tata batas, akses kawasan
Oportunis terhadap permaslahan kawasan hutan. Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging
Oportunis terhadap permaslahan kawasan hutan. Tidak memperhatik an penigkatan ekonomi masyarakat.
Terlalu banyak penelitian saja.
Bapeda Lambar DPRD Kab. Lambar
Lemah persepsi ttg akses
2
1
Lampiran 13. Panduan Sistem Analisis Sosial dan Aplikasinya Dalam Upaya Penyelesaian Konflik
Disadur oleh: Gamal Pasya Dari: •
Sistem Informasi Sosial/Pemangku Kepentingan; Terjemahan (DFID-WN, 2003) • The Social Analysis Systems (Chevalier, J.M., 2003)
Diadopsi Pada Semiloka Pengembangan Model Kognitif Bagi Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Sumberjaya - Lampung Barat, 24-27 Mei 2005
World Agroforestry Centre - Bappeda Propinsi Lampung
2
DAFTAR ISI
Tahap Pendahuluan: • Analisis Harapan •
Analisis Konstruksi Pikiran Tentang Konflik
•
Analisis Konstruksi Kesepakatan dan Kesalah-pahaman
Tahap 1: Analisis Dasar Masalah •
Analisis Pohon Masalah
•
Analisis Faktor Pemacu
•
Analisis Rentang Waktu
Tahap 2: Analisis Profil Para Pihak •
Analisi Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimiasi.
•
Analisis Pihak Kuat-Lemah
Tahap 3: Analisis Posisi Para Pihak •
Analisis Posisi, Kepentingan, dan Kebutuhan
Tahap 4: Analisis Upaya Penanganan Konflik •
Analisis Skenario Ideal Diurai
•
Analisis Sekario Pilihan
•
Analisis What If
•
Analisis Mengukur Dukungan
3
Pendahuluan: • Analisis Harapan • Analisis Konstruksi Pikiran Tentang Konflik • Analisis Konstruksi Kesepakatan dan Kesalahpahaman (Hari kesatu, 24 Mei 2005)
4
I. ANALISIS HARAPAN; TEHNIK JARINGAN RADAR (Radar Webbing) Waktu: 30 menit Tujuan :
1. menangkap dan mengevaluasi harapan-harapan peserta 2. mengajak membangun visi, dan mengetahui sejauh mana harapan peserta Dengan menggunakan tehnik ini, ada 3 sisi yang akan dilihat, yaitu: 1. 2. 3.
Masalah dan konflik status lahan di dalam kawasan HL Bukit Rigis Masalah dan konflik batas kawasan HL Bukit Rigis Masalah dan konflik akses pengelolaan lahan di dalam kawasan HL Bukit Rigis
Tahapan : 1.
Gambar segitiga. Ujung aksis terluar, diberi judul : Konflik Status Lahan, Konflik Batas, dan Konflik Akses Pengelolaan. Tujuan lokakarya ini adalah belajar lebih banyak tentang ketiga hal ini. Akan baik sekali jika segitiga ini diberikan warna tertentu (misal hitam) sehingga bisa dibedakan dengan segitiga di dalamnya yang akan digambarkan kemudian dengan warna yang berbeda.
2.
Langkah berikutnya, gambarkan garis yang menghubungkan ketiga titiktitik sudut dari segitiga tersebut dan bertemu di tengah ( sebagai titik tengah). Jika kita mau menggunakan skor sampai dengan 10, maka titik tengahnya diberikan skor 0 sedangkan titik luar diberikan skor 10. Sesuai dengan harapan anda, skor 0 adalah tanpa pengetahuan, sedangkan skor 10 adalah kondisi ideal. Lalu masing-masing partisipan diminta memberi skor yang mencerminkan pengetahuannnya terhadap ketiga konflik tersebut.
3.
Masing-masing partisipan diminta menyiapkan selembar kertas dan menulis namanya di pojok kanan atas (kertas ini agar dikumpulkan ke fasilitator untuk kemudian dilakukan penilaian lagi setelah semiloka). Lakukan penilaian terhadap pengalaman kita sekarang (current competency level) bagi masing-masing aspek penilaian tersebut. Lakukan penilaian ini secara individual, juga lakukan penilaian secara kelompok dengan menghitung rata-rata skor dari seluruh parftisipan. (Jangan isi skor 0 atau 10. Jika anda mengisinya, maka lokakarya ini tidak ada gunanya dan anda dipersilahkan pulang.)
4.
Tarik garis yang menghubungkan ketiga titik-titik tersebut sehingga berbentuk segitiga baru di dalam segitiga hitam yang telah tergambar pada langkah pertama. Berilah warna hijau untuk segitiga ini.
5.
Gambarkan harapan anda, mau sampai di mana anda pada masingmasing aspek selama 3 hari lokakarya ini? berilah skor pada masingmasing aspek dan tarik garis yang menghubungkan skor-skor tersebut
5
sehingga membentuk segitiga baru. Segitiga ini disebutkan dengan harapan pembelajaran (learning expectation). Berilah warna hijau segitiga tersebut. 6.
Hitung persentase perkembangan dalam tiga wilayah ini (Konflik status, konflik batas, dan konflik akses pengolahan lahan)
Konflik Status 10
7
3
3 4 7 9 10 10
Konflik Akses Gambar 1.
Konflik Batas
Ilustrasi metode jaringan radar untuk mengukur kemajuan proses pembelajaran. Keterangan: - Segitiga terdalam = tingkat pengetahuan saat ini (sebelum semiloka) - Segitiga tengah = tingkat kemampuan harapan - Segitiga luar = tingkat kemampuan ideal
Langkah berikutnya di akhir semiloka: • Mintalah partisipan menilai akan pemahaman mereka setelah mengikuti semiloka. • Lalu menghitung presentase perkembangan partisipan dalam memahami konflik yang ada. Untuk masing-masing aksis tersebut, akan dihitung berapa persen naik/turunnya. Langkah yang ditempuh adalah ssebagai berikut: o Tingkat kemajuan pemahaman konflik batas = (9-7)/10 x 100% = ........% o Tingkat kemajuan pemahaman konflik status = (7-3)/10 x 100% = ........% o Tingkat kemajuan pemahaman konflik akses = (4-3)/10 x 100% = ........% • Hitung juga persentase kemajuan agregat seluruh peserta. (Untuk ini dilakukan oleh fasilitator).
6
2. ANALISIS KONSTRUKSI; PEMAHAMAN LOKAL TENTANG ARTI KONFLIK Waktu : 30 menit Tujuan: 1.
2.
3.
Teknik analisis konstruksi merupakan teknik psikologi klinis untuk mengkontruksi pikiran yang kemudian diidentifikasikan secara nominal. Teknik ini mulai dipergunakan oleh para ahli psikologi klinis mulai tahun 1950-an. Untuk mendapat gambaran secara interaktif dan dinamis tentang pemahaman dan persepsi partisipan tentang arti konflik, mengkontruksi pikiran, membandingkan konstruksi pikiran antar partisipan terhadap ranah tertentu. . Untuk melakukan penilaian terhadap kadar atau tingkatan kesepakatan/ketidak sepakatan dan pemahaman/salah paham yang muncul anatr perorangan atau antar kelompok.
Langkah-langkah: 1.
2.
3. 4. 5.
6.
Mintalah partisipan untuk menuliskan kata-kata atau istilah sinonim lokal (persamaan kata dalam bahasa LOKAL) dengan KONFLIK. Misalnya: amuk, amarah..... dll. Berdasarkan hasil curah-pendapat tersebut, lali mintalah partisipan membuat 9 kolom dan mengelompokkan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dalm satu kolom. Pengelompokkan dibuat secara sistematis mulai dari konflik yang sifatnya lunak (letakkan di kiri) hingga yang paling keras. (Lihat baris ke-1, tabel) Lalu peringkatkan sinonim tersebut berdasarkan kecendrungan eskalasi konflik dari 1 sampai 9. (Contoh ilustrasi, baris ke-2, tabel). Lalu mintalah partisipan memberi skor berdasarkan sifat konflik, mulai dari tertutup, permukaan, terbuka. (Isilah baris ke-3, tabel) Lalu dengan cara yang sama, lakukan pengulangan skoring untuk penambahan kriteria berikut: a. Kebutuhan rentang waktu untuk penyelesaian: Jangka pendek Jangka Panjang. (Isilah baris ke-4, tabel). b. Kecenderungan jumlah orang yang terlibat konflik: Satu orang banyak orang. (Isilah baris ke-5, tabel). c. Kecenderungan cakupan ruang konflik secara spasial : Lokal lintas wilayah. (Isilah baris ke-6, tabel). d. Kebutuhan upaya resolusi konflik: Solusi informal solusi formal.(Isilah baris ke-7, tabel) Lalu lakukan uji konstruksi pikiran terhadap konflik status lahan, konflik batas, dan konflik akses di kawasan HL bukit rigis. Berdasarkan konstruksi pikiran partisipan, saat ini dimanakan posisi ketiga konflik tersebut (baris ke-8, 9, dan 10, tabel) berada pada rentang konstruksi pikiran tentang makna konflik (baris ke-1, tabel), lalu berilah tanda bintang „* “.
7
3
4
5 6 7 8 9 10
7. 8.
4
5
6
Perang
3
Amuk
2
Carok
Cekcok, pertengkaran
1
Tinggi
Perselisihan, perseteruan, pertikanan Perkelahian, tawuran, baku hantam
Amarah
Eskalasi (rendah tinggi) (Tertutup Permukaan Terbuka) Jangka pendek Jangka panjang Satu orang banyak orang Lokal lintas wilayah Solusi informal solusi formal Konflik status Konflik batas Konflik akses
2
Sedang
Permusuhan
1
Rendah
Mutung
Konstruksi pemahaman lokal
No Kelompok
7
8
9
*..?? *..?? *..??
Setelah itu ajaklah peserta melihat bagaimana posisi ketiga konflik tersebut terhadap kriteria-kriteria eskalasi, sifat, waktu penyelesaian, keterlibatan, ruang spasial, hingga solusi. Berdasarkan konstruksi CATATAN UNTUK PENYIMPULAN: pemahaman lokal, yang memiliki nilai di tengah (3 s/d 7) adalah unsur ranah yang berpeluang untuk dilakukan MEDIASI, NEGOSIASI, atau FASILITASI.
8
3. ANALISIS KONSTRUKSI; KESEPAKATAN DAN KESALAHPAHAMAN Waktu: 30 menit Tujuan : Membandingkan pandangan para pihak yang satu dengan yang lainnya, menuju diagnosa dari tingkatan ketidaksepakatan/kesalahpahaman, mengenai pokok persoalan yang ada. Tahapan : (dilakukan pembagian kelompok, kriteria pembagian kelompok ditentukan atas kesepakatan peserta). Peserta yang kemudian menjadi dua (2) kelompok ini, bermain peran bahwa pada kenyataannya mereka merupakan dua kelompok dengan kepentingan yang berbeda. Tabel 2. Bagan Skenario Ketidaksepakatan dan Kesalahpahaman Kesalahpahaman Kesepakatan
Ketidaksepakatan
Kesepahaman
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Peserta sepakat tetapi tidak mengetahuinya Skenario 4
Peserta sepakat, tetapi salah satu tidak mengetahuinya Skenario 5
Peserta sepakat dan kedua-duanya mengetahuinya Skenario 6
Peserta tidak sepakat tetapi tidak mengetahuinya
Peserta tidak sepakat tetapi salah satu tidak mengetahuinya
Peserta tidak sepakat dan kedua-duanya mengetahuinya
Dalam mengembangkan pengelolaan hutan lindung yang dihubungkan dengan akses mengelola kawasan, masalah tata batas dan status kawasan, maka kita punya beberapa tujuan : 1. Hak kelola 2. Pelestarian 3. Kesejahteraan 4. Kedamaian/ketenangan 5. 6. 7. 8. 9. Kedua kelompok harap menuliskan tujuan tersebut dan membuat daftar prioritas dari tujuan - buat pula perkiraan prioritas kelompok lawan - masing-masing kelompok menuliskan hasil kelompoknya pada papan tulis dengan format yang telah disediakan (Hasil diskusi ditabulasikan dan di beri skor)
9
Analisis Dasar Masalah: • Analisis Pohon Masalah • Analisis Faktor Pendesak • Analisis Rentang Waktu (Hari Kedua, 25 Mei 2005)
10
1. Tehnik Pohon Masalah (Problem Tree)
Waktu: 120 menit Bahan : Kertas metaplan, layar, alat tulis. Tujuan : 1. Mengetahui hubungan sebab-akibat antara permasalahan dan dampak secara bertingkat. 2. Adalah penting untuk memahami perbedaan pandangan antar para pemangku kepentingan terhadap penyebab dan akibat dari suatu masalah.
Jika membayangkan sebuah pohon, masalah pokok ada ditengah-tengah, penyebab dari masalah ada pada bagian akar, sedangkan akibat (ramifikasi) dari masalah ada di cabang-cabang pohon. Dari pokok masalah yang ada, kita bisa mengembangkannya menjadi akibat-akibat primer dan skunder. Demikian juga sebab, bisa dikembangkan menjadi sebab-sebab primer dan skunder. Sebelum mengembangkan tehnik pohon masalah, yang perlu diperhatikan adalah, sebenarnya masalah tersebut tidak terjadi dengan sendirinya secara bersamaan. Selalu saja ada alur sejarah masalah; salah satu bentuk pengembangan alur sejarah adalah ketika semua peristiwa kunci kita perlakukan sebagai peristiwa pokok. Setiap peristiwa kita analisa sendiri-sendiri. Dengan demikian akan menjadi banyak pohon-pohon masalah, pada suatu alur sejarah. Langkah-langkah: 1. Seluruh peserta di bagi kedalam 3 kelompok TOPIK MASALAH yaitu Konflik Status, Konflik Batas, dan Konflik Akses. PembAgian kelompok secara stratifikasi dan sebaiknya ada keterwakilan dari setiap pihak. Masing-masing kelompok bekerja secara terpisah, didampingi seorang fasilitator dan seorang nara sumber yang memahami tentang topik tersebut. 2. Masing-masing fasilitator pada masing-masing kelompok menyiapkan gambar pohon masalah; batang pohon masalah ditulis topik konfliknya. Lihat ilustrasi berikut. ATAU bisa saja pohon masalah dibuat dalam bentuk diagram alur bertingkat. 3. Lalu masing-masing peserta diminta menulis maksimal 5 – 6 akar masalah terpenting pada kertas metaplan, kemudian ditempel ke akar pohon masalah. Setiap metaplan HANYA BERISI SATU AKAR MASALAH. 4. Dalam menulis akar masalah, upayakan bahwa akar masalah tersebut adalah akar yang hingga saat ini BELUM DITANGANI, ATAU SEDANG TAPI SULIT DITANGANI. 5. Demikian juga, dengan cara serupa setiap peserta diminta maksimal 5-6 akibat terpenting yang ditimbulkan berkaitan dengan akar masalah. Akibta tersebut adalah akibat yang hingga saat ini BELUM DITANGANI, ATAU SEDANG TAPI SULIT DITANGANI.
11
6. Atas kesepakatan peserta, fasilitator dapat mengembangkan akar masalah menjadi sebab primer dan skunder. Demikian juga, akibat bisa dikembangkan menjadi akibat primer dan sekunder. Hubungan pengaruh sebab akibat bisa langsung dan tidak langsung; khusus pada diagram alur, jika itu terjadi beri bentuk garis yang berbeda antara keduanya. 7. Lalu mintalah masing-masing peserta menuliskan usulan pemecahan masalah yang berkaitan dengan setiap akar masalah dan akibat yang ditimbulkan. 8. Agar hindari: a. Menulis lebih dari satu akar masalah pada satu meta plan b. Menulis akar masalah dan dampak dalam satu metaplan. Dampak harus ditulis dalam metaplan terpisah. c. Mempuat beberapa metaplan yang berisi akar masalah yang sama, atau berisi dampak yang sama. Akibat? Akibat? Akibat?
Akibat?
Pemecahan?
Akar masalah?
Gambar 2.
Konflik status lahan
Akar masalah?
Akar masalah?
Pemecahan?
Akar masalah?
Pohon masalah Konflik Status Lahan di Dalam Kawasan HL (pohon serupa juga dikembangkan untuk konflik batas dan konflik akses.
12
(Ilustrasi diagram alur pohon masalah satu tingkat….)
Konflik Status Lahan
Akar level 1
Akar level 1
Akar level 1
Akar level 1
(Ilustrasi diagram alur pohon masalah lebih dari satu tingkat….)
Konflik Status Lahan
Akar level 1
Akar level 1
Akar level 1
Akar level 1
Akar level 2
Akar level 2
Akar level 2
Akar level 2
Gambar 3.
Ilustrasi Pohon Masalah Dengan Diagram Alur Bertingkat Tunggal Dan Jamak.
13
2. FORCE FIELDS ANALYSIS: Analisis Daya Pemacu dan Peredam Waktu: 60 menit. Tujuan: Untuk memahami pandangan para pihak tentang faktor pemacu yang mencetuskan masalah/konflik. Analisis ini juga bertujuan mengurai hal-hal yang dapat meredam masalah sehingga tidak berkembang semakin buruk. Prinsip-prinsip Force Fields Analysis: 1. Faktor pemacu yang dapat menimbulkan dampak negatif kadang-kadang dapat dibatasi oleh faktor peredam yang mampu memberikan dampak yang berlawanan, misalnya dampak positif yang bisa menghetikan masalah berkembang menjadi semakin buruk. 2. Para pemangku bisa memiliki pandangan yang berbeda tentang faktor pencetus dan faktor peredam terjadinya suatu masalah/konflik. Langkah-langkah: 1. Gambarlah garis horizontal yang melambangkan inti masalah pada masing-masing kelompok topik sengketa (dalam hal ini Kelompok Konflik Status, Konflik Batas, dan Konflik Akses). 2. Bidang di atas garis horizontal diisi dengan batang/poligon faktor pencetus. 3. Bidang di bawah garis horizontal diisi dengan batang/poligon faktor peredam. 4. Lakukan rating terhadap semua faktor pencetus dan peredam dengan menggunakan sekala: 1 (lemah) s/d 5 (kuat).
5 3
Faktor Pencetus
Konflik Status Lahan
Faktor Peredam
3 5
14
5. Lalu lihat hubungan antara faktor pencetus dan peredam. Hubungan antara keduanya disebut balancing loop (simpal keseimbangan). 6. Masing-masing pemangku kepentingan dapat menyiapkan analisis mereka lalu kemudian mereka saling membandingkan hasilnya. Tips bagi fasilitator: 1. Jika partisipan tidak sepaham terhadap faktor-faktor tertentu yang menjadi pencetus dan peredam, maka lakukan pengambilan keputusan dengan cara menentukan sejauh mana pentingnya faktor tersebut lalu sepakati untuk dibahas kemudian hari. 2. Ketika membandingkan hasil analisis antar pemangku kependingan, yakinkan bahwa karakteristik antar kelompok adalah berbeda (misal antar kelompok masyarakat petani dan pemerintah), dan yakinkanlah pula bahwa anggota yang ada di dalam satu kelompok memiliki karakter yang sama (misal kelompok masyarakat petani semua anggotanya harus petani).
15
3. Timeline Analysis; Analisis Rentang Waktu Waktu: 60 Menit Tujuan: Analisis rentang waktu ditujukan untuk membantu mengidentifikasi berbagai kejadian yang menciptakan berbagai situasi pencetus konflik dan untuk memahami bagaimana masalah/konflik berevolusi sepanjang waktu. Apa saja prinsip-prinsip yang dapat membantu pelaksanaan teknis analisis ini: 1. Untuk lebih terkait dengan masalah/konflik, diperlukan pemahaman tentang akar situasi dan kejadian paling awal yang menjadi penyebab asal-muasal timbulnya konflik. 2. Para pemangku kepentingan mungkin saja memiliki perbedaan ingatan tentang tempat, waktu, dan kejadian yang paling awal hingga konflik saat ini terjadi. Langkah-langkah: 1. Identifikasi masalah dan situasi yang akan dianalisis (dalam hal ini Konflik Status Lahan, Konflik Batas, dan Konflik Akses). 2. Rekam tempat, nama dan tanggal (bisa bulan dan tahun) suatu kejadian yang menjadi awal situasi konflik seperti saat ini terjadi. 3. Berikan judul kejadian pada metaplan, lalu lengkapi dengan data-data seperti: tanggal/bulan/tahun, masalah pada kejadian saat itu, nama atau para pemangku kepentingan yang terlibat, dan apa saja tindakan mereka saat itu. 4. Dengan metode seperti butir (3) sebelumnya, buat daftar kejadian/perubahan berikutnya yang menjadi rangkaian peristiwa yang terkait dengan situasi konflik saat ini. 5. Lakukan langkah (3) dan (4) tersebut terutama bagi kejadian-kejadian yang terpenting hingga tenggat waktu sampai pada saat sekarang. 6. Rangaki semua metaplan berurutan secara kronologis (chronological order). Untuk menyederhanakan analisis, perlakukan kejadian-kejadian kecil (yang tidak begitu signifikan pengaruhnya terhadap situasi konflik saat ini) sebagai kejadian sekunder (satellites events or changes). 7. Masing-masing pemangku kepentingan agar menyiapkan Analisis Tenggat Waktu masing-masing , lalu kemudian saling membandingkan dan saling melengkapi.
16
Contoh kartu metaplan tunggal: Judul Kejadian: Tanggal: Pemangku Kepentingan:
Penataan Batas Kawasan Hutan Produksi Tetap Sindang Keramat 26 Agustus, 1984 Departemen Kehutanan, Masyarakat, Pihak Swasta
Kejadian: • Departemen Kehutanaan bersama pihak ketiga (kontraktor) melakukan penataan batas di lapang. Masyarakat menolak kegiatan itu karena merasa tidak dilibatkan, sedangkan di lapangan masih ada masalah tumpang tindih klaim antara lahan kawasan dan non kawasan yang menjadi milik masyarakat. Di sisi lain, terdapat pihak swasta yang memiliki konsesi HGU pada kawasan hutan produksi tersebut yang masih disengketakan oleh masyarakat.
Contoh Analisis Rentang Waktu yang disusun dari rangkaian kartu metaplan jamak: Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Produksi Tetap Sindang Keramat. Agustus 1984: Des 1984:
Maret 85:
Agustus 1985:
Penataan Batas dilakukan oleh Departemen kehutanan, terjadi penolakan oleh masyarakat. Dephut mengerahkan jagawana dibantu kepolisian untuk mengosongkan kawasan. Terjadi peristiwa kontra aksi oleh masyarakat di lapang. Insiden tidak terhindarkan, rebanyak 2 orang masyarakat meninggal dunia dan 15 cedera berat-ringan. Di pihak petugas, 2 orang cedera ringan. Dilakukan perundingan antara pemangku kepentingan terkait. Masyarakat menolak hasil perundingan karena keputusan di ambil secara sepihak. Masyarakat dibantu oleh lembaga mediasi.
(…dst…)
Gambar 4. Contoh Kartu Analisis Rentang Waktu
17
Analisis Profil Para Pihak: • Analisis Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimas • Analisis Hubungan Antara Yang Kuat- Yang Lemah (Hari Ketiga, 26 Mei 2005)
18
1. Tehnik Analisa Kekuatan, Kepentingan dan Legitimasi (Analisys of Power, Interests, dan Legitimacy = PIL) Waktu: 60 menit Tehnik ini sering juga disebut dengan tehnik Analisis Stakeholder (pemangku kepentingan) atau Teknik Analisis PIL (Power, Interest, Legitimacy). Tehnik ini akan melihat kekhasan (saliency) dan posisi para pemangku kepentingan, dan berdasarkan kekhasan dan posisi yang dimiliki mereka akan dilakukan konstruksi terhadap kekhasan itu. Tujuan : 1. Memberikan gambaran bagi para pemangku kepentingan yang nyata (aktual) maupun potensial untuk terlibat dalam situasi atau rencana tertentu. 2. Menggunakan indeks kekhasan (saliency) sebagai kriteria pelibatan pemangku kepentingan dalam menyelesaikan konflik. Deskripsi operasional:
Pemangku Kepentingan (stakeholder): adalah mereka yang sangat berpengaruh atau dipengaruhi oleh persoalannya Kekuatan (Power): kemampuan untuk memenangkan kepentingannya dengan menggunakan kekuatan ekonomi dan keuangan, politik, fisik dan daya paksa, informasi dan komunikasi yang dimiliki. Disarankan oleh fasilitator untuk melihat kekuatan dalam konteks spesifik proyek yang bersangkutan. Misalnya NGO biasanya mempunyai kekuatan di bidang komunikasi dan informasi. Jika kemampuan komunikasi dan informasi itu sangat mempengaruhi situasi, baru bisa dikatakan sebagai kekuatan. Kepentingan (Interest): mengindikasikan tinggi rendahnya dampak yang mungkin timbul dari situasi atau proyek terhadap kepentingan para pemangku kepentingan. Tambahkan tanda (+) atau (-) untuk mengindikasikan apakah dampak keseluruhan dapat digolongkan positif (menguntungkan) atau negatif (merugikan). Jika kepentingannya rendah (I=Low), maka tidak usah diberi (+) atau (-). Legitimasi/keabsahan: adalah pengakuan dari pihak lain atas status, respect/penghargaan, dan klaim (yang bisa diaplikasikan pada situasi tertentu) yang ada pada suatu pemangku kepentingan. Pada masing-masing kekhasan (P, I, dan L) terdapat beberapa indikator yang melekat seperti terdapat dalam tabel berikut:
19
KEKHASAN (SALIENCY)
INDIKATOR POWER (P) (mencakup kepemilikan seperangkat sumberdaya yang dapat dipergunakan suatu pemangku untuk melawan pemangku lain dalam rangka mewujudkan kepentingannya)
• •
• •
Kekuatan finansial dan ekonomi Kewenangan politis (kantor, peran dan organisasinya diakui secara kelembagaan dan perundangan yang berlaku) Kemampuan untuk menggunakan kekuatan dan tekanan kepada pihak lain yang menjadi korban Penguasaan informasi dan komunikasi
INTEREST (I) (merupakan peluang keuntungan/kerugian yang diterima pemangku apabila dia mempertahankan kepentingannya; diukur dari selisih kualitatif antara manfaat – biaya selama mempertahankan kepentingannya)
•
Beri indikator kualitatif “I-“ apabila biaya sosial mempertahankan kepentingan tinggi, sementara manfaat sosial rendah. Beri indikator kualitatif “I+“ apabila manfaat sosial mempertahankan kepentingan tinggi, sementara biaya sosial rendah.
LEGITIMACY (L)
• • • •
Status diakui Respektasi diperolah dari pihak lain Memiliki prestise. Hak dan tanggungjawabnya diakui.
•
Gambar 5. Indikator Kekhasan PIL
Tabel. Indeks Kekhasan (saliency) Pemangku Kepentingan. Tingkat Tingkat I
Tingkat 2
Tingkat 3
Tingkat 4
Tingkat 5
Kombinasi PIL Mempunyai Power yang sangat kuat, Interest terpengaruh, dan Legitimacy tinggi. Mempunyai Power yang sangat kuat, Interest terpengaruh, tetapi Legitimacy/klaim lemah atau tidak diakui. Mempunyai Power yang sangat kuat, Legitimacy tinggi, namun Interest tidak terpengaruh. Tidak mempunyai Power atau sangat lemah, Interest terpengaruh, dan Legitimacy/klaim tinggi atau diakui. Mempunyai Power yang sangat kuat, tapi Interest tidak terpengaruh, dan Legitimacy rendah atau tidak diakui. Power sangat lemah, Interest terpengaruh, namun Legitimacy/klaim tidak diakui. Tidak mempunyai Power atau sangat lemah, Interest terpengaruh, dan Legitimacy/klaim tidak diakui pemangku kepentingan yang tidak mempunyai ketiganya (Power, Interest, dan Legitimacy).
Tipologi Kekhasan
Klasifikasi
PIL
Dominan
PI
Bertenaga
PL
Berpengaruh
IL
Rentan
P
Dorman/ Tidur
L
Berperhatian
I
Marginal Lain-lain
20
Diagram Venn dari ketujuh indikator kekhasan pemangku kepentingan tersebut adalah sebagai berikut:
Power
Interest P, Dorman/Tidur
I, Marjinal PI, Bertenaga
PIL, Dominan PL, Berpengaruh
IL, Rentan
L, Berperhatian
Non stakeholder
Legitimacy
Gambar 5. Diagram Venn Kekhasan (saliency) Pemangku Kepentingan.
Langkah-langkah analisis: 1. Bersama-sama partisipan, buatlah tabel Kekhasan Pemangku Kepentingan. Contoh ilustrasi pada tabel berikut. Tabel.
Kekhasan Pemangku Kepentingan dengan Diagnosis PIL. Contoh Kasus: KONFLIK STATUS LAHAN (imajiner).
Para Pemangku kepentingan (1) Dinas Kehutanan Kab BPN PLTA LSM Aparat Pekon Masyarakat Baplan
Kekuatan (Power – P) (2)
Kepentingan Legitimasi (Interest-I) (Legitimacy_L) (3)
(4)
Kategori PIL (5)
21
2. Pada kolom-1 buatlah daftar para pihak yang berkepentingan untuk masingmasing kasus konflik (Status, Batas, dan Akses), lalu masukkan kedalam tabel. 3. Pada kolom-2, indikasikan tinggi-rendahnya kekuatan yang dapat digunakan oleh pemangku tersebut pada situasi konflik yang ada. Beri nilai rendah bagi pemangku yang tidak dapat mendayagunakan kekuatan mereka pada situasi konflik. 4. Pada kolom-3, indikasikan dampak yang mungkin muncul dari situasi konflik terhadap kepentingan (I) para pemangku; jangan lupa untuk memberi tanda (+) untuk dampak positif, dan tanda (-) untuk dampak negatif. 5. Pada kolom-4, indikasikan apakah klaim yang diajukan oleh seorang pemangku kepentingan secara luas dianggap absah (L) atau tidak. Beri nilai rendah (low) jika klaimnya tidak diakui atau amat lemah. 6. Lalu pada kolom-5, diskusikan kategori PIL pemangku kepentingan berdasarkan indeks kekhasan. Contoh pada ilustrasi tabel lengkap, sebagai berikut. Tabel.
Kekhasan Pemangku Kepentingan dengan Diagnosis PIL. Contoh Kasus: KONFLIK STATUS LAHAN (imajiner)
Para Pemangku kepentingan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
(1) Dinas Kehutanan Kab BPN PLTA LSM Pemerintah Pekon Masyarakat Baplan cq. UPTD IPH
Kekuatan (Power – P)
Kepentingan (Interest-I)
Legitimasi (Legitimacy_L)
Kategori PIL
(2) Rendah
(3) Tinggi (+)
(4) Tinggi
(5) I+L
Tinggi Rendah Tinggi Rendah Rendah Tinggi
Rendah Tinggi (-) Rendah Tinggi (+) Tinggi (+) Tinggi (-)
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi
PL I-L PL I+L I+ PI-L
7. Lalu buatlah Diagram Venn Kekhasan Pemangku Kepentingan. Diagram Venn ini dipergunakan untuk melihat potensi konflik atau kerjasama akan terjadi.
22
Power
Interest P (Dorman) PI (Bertenaga)
I (Marjinal) 6+,
PIL (Dominan) 7-, PL (Berpengaruh); 2, 4,
IL (Rentan) 1+, 3-, 5+
L (Berperhatian)
Legitimacy
Gambar 6. Simulasi Diagram Venn Kekhasan (saliency) Pemangku Kepentingan Konflik Status Lahan.
8. CATATAN UNTUK PENYIMPULAN: Berdasarkan hasil diagnosis PIL tersebut, antar para pemangku kepentingan dapat berpotensi untuk beraliansi dan/atau bekerjasama, namun sebaliknya juga dapat bersengketa satu sama lainnya. Hal ini dapat dianalisis dengan menggunakan indikator Interest sebagai killer criteria. Penggunaan indikator tersebut atas argumentasi bahwa konflik dapat terjadi apabila ada perbedaan kepentingan antar pemangku dimana ketika kepentingan (+) dari suatu pemangku mengakibatkan kepentingan pemangku lainnya menjadi (-). Misalnya, suatu pihak mendapat keuntungan dari pembukaan hutan berupa pendapatan, namun pihak lainnya mendapat kerugian berupa bencana banjir. Pada saat kapan konflik atau kerjasama berpotensi terjadi adalah sebagai berikut: • Jika pada hasil dignosis PIL terdapat dua pemangku memiliki kekhasan yang sama (misalnya keduanyata sama-sama (+) atau keduanya samasama (-)), maka aliansi dan kerjasama berpotensi dapat dibangun. • Jika pada hasil dignosis PIL terdapat dua pemangku memiliki kekhasan yang berbeda (misalnya suatu pemangku (+) dan yang lainnya (-)), maka konflik berpotensi terjadi.
23
Dari Tabel diagnosis PIL pada contoh kasus KONFLIK STATUS, maka dapat diperkirakan siapa saja yang berpotensi dapat bekerjasama dan siapa saja yang berpotensi untuk berkonflik, yaitu sebagai berikut:
2. 3. 4. 5.
6. 7.
(1) Dinas Kehutan an Kab BPN PLTA LSM Pemerint ah Pekon Masyara kat Baplan cq. UPTD IPH
(5) I+L
Interest Netral
Positif
Negatif
(2)
(3)
(4)
1+ PL I-L PL I+L
2 34 5+
I+
6+
PI-L 7-
Potensi Kerjasama Antar Antar (+) (-) (5) (6) Dapat terjadi antara UPTD IPH (7-) dan PLTA (3-)
1.
Kategori PIL
Dapat terjadi antara Dishut (1+), Pemerintah Pekon (5+), dan Masyarakat (6+)
Pemangku kepentingan
Potensi Konflik
(7) Potensi konflik dapat terjadi secara bilateral dan atau aliansi antara pemilik I+ (Dishut, Pekon, dan Masyarakat) dengan pemilik I(PLTA dan UPTD IPH). Sementara BPN dan LSM adalah netral, kecuali suatu saat mereka memiliki Interest.
Keterangan: Pemangku yang beraliansi atau berkonflik disebut: pesengketa actual. Pemangku yang netral disebut: pesengketa potensial.
24
2. Analisis Hubungan Antara Yang Kuat - Yang Lemah (Uppers and Lowers Analysis) Waktu: 45 menit Tujuan: 1. Merupakan kelanjutan dari Teknik Analisis PIL. 2. Ditujukan untuk meningkatkan pemahaman tentang keragaman hubungan (polarisasi) konflik vertikal dan horizontal antar pemangku kepentingan, antar aliansi pemangku kepentingan, atau antar aliansi dengan pemangku kepentingan tunggal. Definisi beberapa bentuk hubungan (polarisasi) konflik: No
Diagram Hubungan
Deskripsi hubungan konflik antara yang kuat dan yang lemah
Polarisasi
1
Konflik perbedaan kepentingan ANTAR pihak yang kuat (Dominan, Bertenaga)
Elit horizontal.
2
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA aliansi pihak kuat (dan diantaranya memiliki aliansi dengan pihak lemah) DENGAN pihak kuat lainnya (Rentan, Marjinal)
Elit horizontal, terkadang menyeret kelompok lapisan bawah
3
Konflik perbedaan kepentingan ANTAR pihak lemah (Rentan, Marjinal)
Horizontal antar lapisan bawah
4
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA pihak kuat DENGAN pihak lemah
Vertikal antara elite dengan lapisan bawah.
5
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA aliansi pihak kuat dan pihak lemah DENGAN pihak lemah (Rentan, Marjinal)
Vertikal antara aliansi elitlapisan bawah dengan lapisan bawah
6
Konflik perbedaan kepentingan ANTAR aliansi pihak kuat-lemah.
Horizontal, total dan multiclass.
25
Langkah-langkah: 1. Diskusikan kembali tabel kemungkinan terjadinya konflik dan kerjasama dari hasil Diagnosis PIL sebelumnya.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
(1) Dinas Kehutanan Kab BPN PLTA LSM Pemerintah Pekon Masyarakat
Baplan cq. UPTD IPH
(5)
Interest Netral
Positif
Negatif
(2)
(3)
(4)
I+L PL I-L PL
1+ 2 34
I+L
5+
I+
6+
PI-L
7-
Potensi Kerjasama Antar Antar (+) (-) (5)
(6) Dapat terjadi antara UPTD IPH (7-) dan PLTA (3-)
1.
Kategori PIL
Dapat terjadi antara Dishut (1+), Pemerintah Pekon (5+), dan Masyarakat (6+)
Pemangku kepentingan
Potensi Konflik
(7) Potensi konflik dapat terjadi secara bilateral dan atau aliansi antara pemilik I+ (Dishut, Pekon, dan Masyarakat) dengan pemilik I(PLTA dan UPTD IPH). Sementara BPN dan LSM adalah netral, kecuali suatu saat mereka memiliki Interest.
2. Dari tabel tersebut lalu dibangun skenario kemungkinan terjadinya hubungan polarisasi konflik perbedaan kepentingan antar aliansi, antar yang kuat, atau antar kuat dan lemah. Lihat ilustrasi berikut. No
Diagram Hubungan
Deskripsi hubungan konflik antara yang kuat dan yang lemah
Kemungkina n polarisasi konflik (3-) ↔ (1+) Horizontal antar elit
1
Konflik perbedaan kepentingan ANTAR pihak yang kuat (Dominan, Bertenaga)
2
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA aliansi pihak kuat (dan diantaranya memiliki aliansi dengan pihak lemah) DENGAN pihak kuat lainnya (Rentan, Marjinal)
(3-, 7-) ↔ (1+) Horizontal antara aliansi elit dengan elit
3
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA pihak kuat DENGAN pihak lemah
(3-) ↔ (5+) (3-) ↔ (6+) (7-) ↔ (5+) (7-) ↔ (6+) Vertikal antara elit dan lemah
26
4
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA aliansi pihak kuat dan pihak lemah DENGAN pihak lemah (Rentan, Marjinal)
5
Konflik perbedaan kepentingan ANTAR aliansi pihak kuat-lemah.
(3-, 7-) ↔ (1+) (3-, 7-) ↔ (5+) (3-, 7-) ↔ (6+) Vertikal antara aliansi elit dengan lemah (3-, 7-) ↔ (1+, 5+, 6+) (3-, 7-) ↔ (5+, 6+) Vertikal antara aliansi elit dan aliansi lemah
3. Jika waktu masih tersedia (atau didiskusikan pada kesempatan lain): • Diskusikan bagaimana kerjasama aliansi atau konflik yang sedang terjadi bisa membuat situasi konflik semakin mudah atau semakin sulit diselesaikan. • Diskusikan indikator dan cara-cara yang bisa ditempuh untuk membangun saling-percaya antar sesama pemangku kepentingan. • Diskusikan upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk memberdayakan pemangku kepentingan yang memiliki kekhasan marjinal dan rentan, misalnya melalui: o Kegiatan dan misi pencarian fakta o Membangun koalisi atau aliansi o Meningkatkan ketersediaan sumberdaya bagi mereka o Penguatan organisasi lokal o Membangun visi bersama dan saling berbagi tujuan/kepentingan o Mempromosikan kejujuran dan kemauan baik. o Melibatkan pihak ketiga atau aktor baru (misal NGO, mediator) o Menciptakan proses yang lebih demokratis. o Menciptakan peluang untuk kepemimpinan yang diterima oleh semua pihak. o Mengangkat dan mengedepankan tradisi/budaya lokal/setempat o Memanfaatkan sumberdaya kelembagaan dan pluralisme hukum yang tersedia. o Mendidik setiap individu kelompok akan hak dan tanggungjawab. o Meningkatkan kepedulian publik. • Diskusikan juga bagaimanakah upaya agar pemangku yang memiliki kekhasan dorman/tidur bisa turut membantu menyelesaikan konflik.
27
Analisis Posisi Para Pihak: • Analisis Posisi, Kepentingan, dan Kebutuhan (Hari Ketiga, 26 Mei 2005)
28
1. Tehnik Analisis Posisi, Kepentingan dan Kebutuhan (Position, Interests and needs = PIN) Waktu: 60 menit Tujuan : 1. Merupakan kelanjutan dari Analisis PIL. 2. Untuk membantu mengidentifikasi kepentingan-kepentingan para pemangku yang terlibat di dalam konflik atau kerjasama. 3. Untuk membantu mengidentifikasi kemungkinan dapat dilaksanakannya negosiasi dan kerjasama berdasarkan posisi, kepentingan, dan kebutuhan. Batasan/definisi : Posisi didefinisikan sebagai upaya memperjuangkan hasil atau rencana tertentu untuk memenuhi tuntutan/kebutuhan seketika. Posisi cenderung lebih konkrit, jelas, dan kurang fleksibel. Langkah-langkah analisis dan diagnosis: Bagian-1, Langkah-langkah: 1. Gambar sebuah tabel dengan tujuh kolom seperti pada tabel ilustrasi. 2. Di dalam kolom 1, tuliskan kategori kekhasan para pemangku kepentingan. 3. Di dalam kolom 2, berdasarkan hasil analisis PIL, tempatkan semua pemangku sesuai dengan kategorinya. 4. Gunakan kolom 3 sampai 7 untuk mengindikasikan posisi ahir yang diambil atau didukung oleh masing-masing pemangku berkaitan dengan situasi konflik, dari sangat tidak menguntungkan (-2) netral (0) hingga sangat menguntungkan (+2). Lakukan hal tersebut dengan menyisipkan huruf P (berarti Posisi) bagi tiap pemangku kepentingan di dalam kolom yang sesuai. 5. Dengan menggunakan skala yang sama (-2 0 +2), indikasikan perkiraan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh situasi atau rencana kerja terhadap tiap pemangku; lakukan hal itu dengan menyisipkan huruf I (Interest) bagi tiap pemangku kepentingan di dalam kolom yang sesuai yaitu: a. Sisipkan di dalam kolom tidak menguntungan (-1) apabila biaya lebih besar dari keuntungan, atau b. Di dalam kolom menguntungkan (+1) jika keuntungan lebih lebih besar dibandingkan biaya. 6. Tips: Untuk mengklarifikasikan perbedaan antara posisi dengan kepentingan serta memfasilitasi perubahan yang terkait, diskusikan setiap pisisi yang diajukan dengan pertanyaan: „Mengapa?“ atau „Mengapa tidak?“ sampai kepentingan-kepentingan utama dapat dimunculkan. 7. Gunakan sekala serupa, lokasikan atau tempatkan perkiraan dampak dari situasi atau rencana terhadap kebutuhan-kebutuhan tiap pemangku (didefiniskan sebagai kepentingan dasar, dapat mencakup jaminan pemenuhan pangan, namun juga jaminan kelangsungan (survival) finansial atau politik); lakukan hal tersebut dengan menyisipkan huruf N (Need = Kebutuhan) untuk tiap pemangku kepentingan di dalam kolom yang sesuai;
29
Diskusikan perbedaan antara kepentingan dengan kebutuhan pemangku kepentingan. 8. Gambarkan anak panah untuk menunjukkan arah perubahan potensial pemangku kepentingan dari posisi menuju kepentingan dan dari kepentingan menuju kebutuhan; gunakan garis tebal tipis atau warna untuk mengindikasikan besar-kecil kemungkinan adanya perubahan, sepanjang kondisi tertentu terjadi.
Situasi: Penyelesaian Konflik Status Lahan (Bisa juga diisi dengan prioritas pemecahan masalah) Tingkatan Kekhasan (1) Tingkat-1 • Dominan Tingkat-2 • Bertenaga • Berpengaruh Tingkat-3 • Rentan • Dorman Tingkat-4 • Berperhatian • Marginal
Pemangku Kepentingan (2)
Sangat tidak menguntun gkan
Tidak meng untungkan
Menguntungkan
Sangat menguntungkan
-2
-1
0
+1
+2
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
BAPLAN (7-)
N-I
P
N-I N-I
BPN (2) LSM (4) Dishut (1+) PLTA (3-) Pekon (5+)
Masyarakat (6+)
Netral
P N-I P
P P I-N P N
P
Bagian-2, Diagnosis: 9. Diskusikan sebaran ahir (keseluruhan) dari posisi dan tingkatan kekhasan (hal ini untuk mengantisipasi jika ada pemangku yang ingin mengubah PIN nya serupa dengan pemangku lain, atau bahkan mengubah PIN nya dengan PIN pemangku lain). 10. Diskusikan juga perubahan potensial dari jarak yang teramati antara posisikepentingan kebutuhan (misalnya apakah jarak panah akan terkoreksi semakin dekat atau terkoreksi semakin jauh); Telaah kondisikondisi apa saja yang memungkinkan terjadinya perubahan menuju visi bersama atau negosiasi yang dilandaskan pada kepentingan (interest based negotiations). 11. Diskusikan cara bagaimana tingkat kekhasan dapat diubah untuk memberdayakan pemangku yang memiliki kepentingan dan kebutuhan yang absah dan mendesak, dengan tujuan menyetarakan posisi tawar masingmasing pemangku (leveling the playing field); temukan juga cara bagaimana pemangku yang kurang tampak atau dorman dapat dilibatkan.
I
I-N
30
Analisis Cara Penanganan Konflik: • Teknik Mengurai Skenario Ideal • Memilih Skenario • Pengutamaan Pilihan Secara Gradient Polling • What if (Bagaimana Jika Tidak Memungkinkan) (Hari Keempat, 27 Mei 2005)
31
1. Tehnik Mengurai Skenario Ideal (Elaborating Ideal Scenario) Waktu: 120 menit Bahan: Semua rencana kegiatan yang direncanakan dari hasil Analisis Pohon Masalah Tujuan : Membantu para pihak membangun visi masa depan bersama dan menyusun skala prioritas dalam skenario idela yang akan dikembangkan Langkah-langkah: Bagian 1: Membayangkan (visualizing) Masa Depan 1. Seluruh peserta kembali berkumpul sesuai dengan kelompok topik konflik masing-masing (Konflik Status, Konflik Batas, Konflik Akses). 2. Berdasarkan rencana kegiatan (upaya pemecahan masalah), setiap kelompok mengurutkan elemen-elemen yang membentuk bagian-bagian dari skenario ideal, menguraikan aktivitas lanjutan mereka, tanpa mendiskusikan perincian nyata dari setiap skenario tersebut maupun urutan-urutan prioritas terkait. 3. Diskusikan dan cakupkan elemen-elemen yang berkaitan dengan kekuatan (strength) dan hubungan-hubungan positif yang teramati dalam situasi sekarang dan masa lalu. 4. Gambar suatu piktogram (misalnya dengan menggunakan kertas bergaris atau krayon) berbentuk binatang nyata maupun mitos (mythical) yang menyangkut elemen-elemen kunci dari skenario ideal, termasuk di dalamnya adalah karakteristik dari kegiatan dan para pemangku. 5. Tiap kelompok mempresentasikan skenario idela dan pictogram mereka secara singkat, dengan memberikan penekanan pada keunikan dan keaslian gagasan kelompok dan impian-impian mereka tentang masa depan. Bagian 2: Mengurai Impian (Skenario) 6. Gambar Tabel Skenario dengan lima buah kolom. 7. Di dalam kolom-1: cakupkan dan daftarkan semua elemen (tujuan) positif yang akan menjadi bagian dari masa depan ideal (merujuk langkah ke-2), batasi agar jumlah elemen kunci tidak terlalu banyak, katakanlah antara 3 s/d 5, agar tidak terlalu sulit untuk ditelusuri.
Tabel.
Tehnik Skenario Ideal Diurai (imajiner)
32
Kasus : KONFLIK STATUS LAHAN
Elemen-elemen scenario ideal
Pemeringkatan Elemen (1=rendah, 10=tinggi)
Kondisi utama yang harus dipenuhi Uraian Prakondisi yang Tingkat diperlukan untuk Kemungkinan mencapai tujuan kondisi tersebut (Satu per terpenuhi (%) elemen)
A (1) Penyiapan para pemangku untuk bekerja sama Mengembangkan opsi metode, teknik, dan studi pendukung Pengkondisian para pemangku untuk siap bernegosiasi Menyusun agenda dan strategi negosiasi
Membangun komitmen untuk melaksanakan keputusan bersama
(2) 10
10
9
8
7
(3) Adanya saling percaya, tujuan bersama Pemahaman masalah, ketersedian data, tenag ahli, dan dana Adanya platform/ forum sebagai wadah pengkondisin Tersedianya keinginnan bersama untuk menyeselaikan konflik status lahan Tersedianya sumberdaya yang cukup untuk melaksanakan kesepakatan
Tingkat Kepentingan Elemen & Nilai Kelayakan
B
AxB
(4)
(5)
60
6 (Peringkat 3)
80
8 (Peringkat 2)
100
9 (Peringkat 1)
70
5,2 (Peringkat 4)
50
3,5 (Peringkat 5)
Prioritas = Kepentingan x Kemungkinan (berhasil) 8. Dalam kolom-2, urutkan masing-masing elemen positif dari nilai 1 (terendah) hingga 10 (tertinggi) berdasarkan kadar kepentingan (importance) relatifnya. 9. Di dalam kolom-3, uraikan secara singkat SATU kondisi penting (principal condition) yang menjadi syarat sehingga setiap elemn positif dapat muncul. 10. Di dalam kolom-4, indikasikan peluang kondisi tersebut dapat terpenuhi dalam kurun waktu yang ditentukan (sebutkan dengan rinci), dengan memperhatikan bahwa mungkin saja sebagian/seluruh kondisi tersebut tidak tersedia atau sebagian/seluruh kondisi tersebut tidak berada dibawah kendali pemangku. Gunakan sekala sekala dengan kisaran dari 0% (kondisi/prasyarat TIDAK mungkin dipenuhi) hingga 100% (kondisi/prasyarat pasti terpenuhi); jika perlu sisipkan tanda tanya jika masa depan kondisi tersebut tidak dapat diduga. 11. Di dalam kolom-5, kalikan nilai dalam kolom-2 dengan kolom-4 untuk memperoleh Nilai/Kadar Kepentingan dan Kelayakan Elemen yang lebih realistik; Semakin tinggi nilainya, semakin besar alasan untuk optimis.
33
12. Berbagi dan bandingkanlah diskusi skenario ideal kelompok anda dengan kelompok lainnya (kelompok Konflik Batas dan Konflik Akses); apabila dimungkinkan, rundingkan dan susun skenario secara terpadu yang terintegrasi sehingga menjadi Skenario Penyelesaian Konflik Status, Batas, dan Akses Pengelolaan Kawasan Huatan Lindung Bukit Rigis.
Bagian 3: Menilai Visi Secara Keseluruhan 13. Konstruksikan sebuah Maktriks Skenario Ideal ke dalam Diagram Scatter berkuadaran empat dengan dua poros/garis yang berpotongan; tempatkan Kolom A pada poros vertikal yang berada diatas atas garis horizontal dengan nilai 6 sampai 10, sedangkan di bawah garis horizontal beri nilai 5 sampai 1; Lalu tempatkan Kolom B di atas garis horizontal lalu beri nilai 0% pada ujung terkiri hingga 100% pada ujung terkanan. 14. Masukan masing-masing elemen skenario ideal ke dalam kwadran sesuai dengan ordinat (peringkat, kemungkinan). Misalnya elemen Menyusun Agenda dan Strategi Negosiasi (8,70%). (Peringkat elemen) 10 Penting & Tidak Berkemungkinan
Penting & Berkemungkinan 8 (8,70%) Menyusun agenda dan strategi negosiasi
0%
5, 50%
100% (Kemungkinan) 70%
Tidak Penting & Tidak Berkemungkinan
Tidak Penting & Berkemungkinan 1
Gambar 8. Diagram Scatter Nilai Penting dan Peluang Skenario Ideal 15. Diskusikan seluruh sebaran elemen skenario ideal meliputi: a. Elemen-elemen penting yang kemungkinan besar bisa dicapai (kuadran kanan atas).
34
b. Elemen-elemen penting tapi kemungkinnan tidak tercapai (kuadran kiri atas). c. Elemen-elemen tidak penting tapi bemungkinan tercapai (kuadran kanan bawah). d. Elemen-elemen tidak penting dan kemungkinan tidak tercapai (kuadran kiri bawah).
35
2. Tehnik Memilih Skenario (Alternatif Scenario) Tujuan : Menilai/menguji skenario-skenario alternative menuju masa depan ideal Tahapan : Bagian 1 : Kriteria Evaluasi, Skala dan Indikator 1. Buatlah suatu daftar skenario ideal terpilih yang sudah disepakati. 2. Diskusikan kriteria (wktu, biaya, SDM, dan keberlanjutan) yang dibutuhkan untuk menilai/menguji manfaat dari seluruh skenario; masukkan kedalam kolom 1. 3. Pada baris paling atas, masukkan skala maksimum yang akan digunakan untuk menilai/menguji pilihan-pilihan anda 4. Diskusikan bobot relatif dari masing-masing kriteria dan sesuaikan skala tiap-tiap kriteria tersebut (misalnya, skala dapat bervariasi dari 1 sampai 5, 1 sampai 7 atau 1 sampai 9). 5. Diskusikan dan masukkan indikator-indikator bagi seluruh kriteria ke dalam masing-masing ruang/sel (misalnya, biaya 1 sampai dengan 3 = kurang dari 100 ribu rupiah) Tabel. Skenario Alternatif Untuk Opsi yang diinginkan (Preferred Options) untuk PELEPASAN SESUAI PROSEDUR (imajiner)
Kriteria Biaya (Rp.juta) Waktu (bln) Ketersediaan SDM
Keberlanjutan (dilihat dari dukungan semua pihak)
Skala (dapat bervariasi) 1 201250 0-27 Langk a
Tidak Mendu kung
2
0-24
3 15l200 0-21
Sedikit
Cukup Tidak mendu kung, tapi tidak mengh alangi
4
0-18 Banya k
5 101150 0-15 Berlebi han
Raguragu
6
7
8
51-100 0-12
0-9
Setuju bersya rat
9 l-50
0-6
0-3
Mendu kung Penuh
Bagian 2 : Penilaian/Pengujian Pilihan 6. Gambar sebuah tabel Penilaian/Pengujian Pilihan di bawah; masukkan daftar skenario ke dalam kolom-1 tabel di bawah.
36
7. Pada baris paling atas, masukkan daftar kriteria dan indikasikan nilai maksimumnya dalam tanda kurung. 8. Gunakanlah tiap-tiap kriteria untuk menilai/menguji pilihan-pilihan yang ada satu-persatu dan catat hasil perkiraan atau penilaian dalam masingmasing ruang/sel yang terkait; gunakan dua kolom terakhir untuk menjumlahkan nilai dan mencatat pemeringkatan terakhir satu persatu. Tabel. PENGUJIAN BEBEBARAPA SKENARIO PENYELESAIAN KONFLIK STATUS LAHAN. Pilihan Sesuai Prosedur Relokasi Ukur Ulang Tata Ruang
Biaya (max 7)
Waktu
KRITERIA Ketersediaan Keberlanjut SDM an
Peringkat Jumlah
5
6
3
9
23
1
1 5
1 6
4 2
1 5
7 18
3 2
1
5
3
9
18
2
9. (Bisa dilakukan di lain waktu) Setelah merampungkan analisis, lanjutkan dengan Project Manager Analisis untuk merancang aktivitas apa yang dibutuhkan untuk menjalankan alternative apa yang dipilih; catat setiap keputusan atau kebijakan riset-aksi management yang tepat guna bgi setiap aktivitas (manusia/orang, tujuan-sasaran, jangka waktu,) metoda, informasi, sumberdaya.
37
3. Tehnik Pilihan yang dikehendaki dan Gradient Polling; (Preferred Options and Gradient Polling) Tujuan : Menentukan tingkat dukungan yang layak/pantas sebagaimana diperlukan untuk mewujudkan suatu rencana atau mewujudkan pilihan yang diutamakan. Tahapan : Bagian I : Merumuskan Tingkat Dukungan yang Dibutuhkan 1. Pilih dan rumuskan suatu rencana atau skenario pilihan tertentu yang jelas untu dipaparkan kepada kelompok dalam rangka mengantisipasi keputusan yang akan diambil. 2. Ukur tingkat kesepakatan yang diperlukan untuk menjamin penerimaan usulan/proposal tersebut; anggota kelompok dapat mendiskusikan faktorfaktor yang menunjuk pada kebutuhan untuk memberikan dukungan penuh (enthusiastic), seperti yang dirangkumkan ke dalam daftar di bawah; hapus, formulasikan ulang atau tambahkan faktor-faktor lain bilamana perlu, dengan menggunakan formulasi yang cenderung mendukung pencarian dukungan penuh (ethusiastic support). 3. Isi table di atas, indikasikan nilai yang relevan bagi tiap factor sebagaimana berlaku utuk pilihan yang diutamakan atau rencana yang diusulkan; gunakan skala 1 s/d 9 bagi semua factor; atau variasikan skala enurut tingkat kepentingan tiap factor; kata-kata atau gambar dapat dipergunakan untuk merumuskan makna tiap nilai/angka USULAN/SKENARIO:
…………………………………………………….. ……………………………………………………. 1= Salah (tidak berlaku), 9= Benar (berlaku sepenuhnya)
SKALA YANG DISARANKAN : KRITERIA PENGUKURAN/ PENILAIAN : Keseluruhan Tingkat Kepentingan Hasil (Taruhannya tinggi dan konsekuensi kegagalan sangat berat ) Keberlanjutan/Umur Hasil Yang Diharapkan (Keputusan tidak dapat ditarik kembali) Kebutuhan Untuk Melibatkan Pemangku Kepentingan (Banyak pemangku kepentingan akan terpengaruh secara signifikan) Pemberdayaan Anggota Kelompok (Pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam keseluruhan proses) Nilai Prosentase (total score/maximum score)
Nilai ............. Nilai ………. Nilai ……….
Nilai………..
…………..% .
38
4. Untuk mengubahnya ke dalam nilai prosentase, jumlahkan total nilai dan bagi hasilnya dengan nilai maksimum (total dari semua nilai maksimum); semakin tinggi prosentasenya, semakin tinggi kebutuhan akan dukungan penuh sebagauimana diekspresikan melalui gradient polling Bagian II. Gradient Polling 5. Sebelum melakukan pemungutan suara akhir atau mengambil keputusan, anggota kelompok mungkin ingin melakukan polling pendapat dan mendiskusikan tingkatan dukungan atau non dukungan berkenaan dengan usulan tertentu, dengan menggunakan skala kesetujuan terdiri dari (kurang lebih 9) gradients seperti :
1 Menolak DUKUNGAN
SKALA DUKUNGAN 3 5 7 Tidak suka, tetapi tidak akan meng halangi
Ragu-ragu
Setuju dengan catatan
9 Mendukung
Apabila akan dilakukan tingkat dukungan kolektif dari semua pihak, maka hitung nilai rata-rata dukungan = (Jumlah total nilai dukungan)/jumlah pihak = x. Lalu masukkan nilai “x” tersebut ke dalam tabel berikut untuk memperoleh nilai dukungan kolektif semua pihak.
SKALA DUKUNGAN DUKUNGAN KOLEKTIF
1-2,5
2,6-4
4,1-5,5
5,6-7
7,1-9
Menolak
Tidak suka, tetapi tidak akan meng halangi
Ragu-ragu
Setuju dengan catatan
Mendukung
6. Kecenderungan individual dipetakan ke dalam skala yang dipilih dapat dihitung dengan menggunakan satu dari empat metoda : - Angkat tangan - Pernyataan verbal (tanpa diskusi) - Penunjukkan kartu (card display) - Perhitungan suara rahasia (secret ballot) TIPS FASILITATOR: Pada situasi konflik dimana masih terdapat kesungkanan pihak lemah kepada pihak kuat, sebaiknya menggunakan perhitungan suara rahasia. 7. Hasilnya dapat dicatatkan ke atas flipchart, dan seketika memberikan gambaran yang jelas tentang tingkat dukungan atau penolakan kelompok terhadap suatu usulan tertentu. TIPS FASILITATOR: Jika ada indikasi bahwa pernyataan dukungan para pihak ingin dirahasiakan, maka pada saat penayangan, lakukan kodifikasi terhadap pemangku sehingga identitasnya tidak diketahui oleh pemangku lain (yang tahu hanya fasilitator dan kerahasiaannya dijamin).
39
4. Tehnik pemantauan: Bagaimana Jika.... (What if) Tujuan : Membantu para pihak menghadapi faktor-faktor yang sulit diduga dalam mewujudkan pilihan yang diutamakan Tahapan : 1. Buat daftar faktor-faktor INPUT kunci (forces) yang secara langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan skenario karena faktor tersebut sulit diprediksi. Lalu pilih yang paling menjadi kunci. Misalnya: • Judul: SKENARIO PELEPASAN KAWASAN • Daftar input penting: • Ketersediaan Dana • Provokator/spekulan • Perubahan kebijakan • Pilih faktor input terpenting tapi susah diprediksi: Ketersediaan Dana • Lalu ukur tingkat kesulitannya, misal: ( Ketersediaan dana: mudah di prediksi (10) sulit diprediksi (1)) 2. Buat beberapa faktor yang mencirikan dampak positif dari skenario terpilih, lalu pilih satu dampak positif yang diharapkan. • Judul: SKENARIO PELEPASAN KAWASAN • Daftar dampak positif: • Kepastian pemilikan lahan bagi masyarakat. • Wilayah desa semakin definitif. • Kerawanan sosial bisa dicegah. • Kerusakan lingkungan bisa dicegah. • Mencegah laju perambahan • Dampak positif yang paling diharapkan: Kepastian pemilikan lahan bagi masyarakat. • Lalu ukur tingkat dampaknya, misal: ( Dampak positif: Tinggi (10) rendah (1))
3. Tempatkan kedua faktor tersebut sepanjang poros/garis vertikal dan horizontal pada matriks tunggal (lihat contoh di bawah), dengan kedua ujung dari masing-masing poros/garis merujuk pada hasil (outcomes) yang paling berlawanan (misalnya pemerintah yang baru terpilih versus pemerintahan yang sama dipilih kembali); matriks yang dihasilkan akan memuat empat kuadran yang mewakili atau menunjuk pada skenarioskenario yang paling berbeda, tidak pasti dan signifikan serta besar pengaruhnya terhadap suatu situasi atau rencana tertentu.
40
Dana pasti tersedia 10
Dana pasti, pemilikan lahan tidak pasti
Pemilikan lahan tidak pasti
Dana pasti, pemilikan lahan pasti
0
10 Pemilikan lahan, pasti
5
Dana tidak pasti, pemilikan lahan tidak pasti
0
Dana tidak pasti, pemilikan lahan pasti
Dana tidak pasti tersedia
Gambar 1. Diagram Scatter But What if.........? 4. Diksusikan posisi masing-masing skenario. Apabila pada posisi tersebut skenario memiliki indikator tidak pasti, maka diskusikan jalan keluarnya.
41
Daftar Pustaka Chevalier, M.J. 2003. The Social Analysis System. Carleton University. Ottawa. Canada. Prosiding Lokalatih Sistem Informasi Pemangku kepentingan Bagi Praktisi Pengelolaan Sumber daya Alam. World Neighbors – MFP-DfID. 2003. 71 hlm Chevalier, M.J. 2003. Dokumen Lokalatih Sistem Informasi Sosial (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia). Carleton University – IDRC. Ottawa. Canada. 53 hlm