PERMENKES 17 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA AKSI PENGEMBANGAN INDUSTRI FARMASI DAN ALAT KESEHATAN & PERMENKES 30 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENKES 1148 TAHUN 2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI
O UT L I N E Sosialisasi Permenkes 17/2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan
Industri Farmasi dan Alat Kesehatan Sosialisasi Permenkes 30/2017 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes
1148/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi
RENCANA AKSI PERCEPATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI FARMASI DAN ALAT KESEHATAN
DIREKTORAT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN 2017
MENGAPA INDUSTRI FARMASI PERLU DIKEMBANGKAN?
Menekan harga obat, utamanya obat inovasi atau obat baru, dan obat yang belum ada generiknya.
Mengurangi ketergantungan impor bahan obat dan alat kesehatan
Mendorong pengembangan dan penguasaan teknologi, serta kompetensi R&D
Mendorong diversifikasi produk farmasi baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor
Penguatan infrastruktur sosial mengingat obat merupakan barang yang spesifik
Indonesia memiliki potensi sumber daya (bahan baku dan SDM) serta peluang ekonomi yang besar
Indonesia merupakan negara pharmerging countries yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang besar (rerata 12% pertahun)
Meningkatkan daya saing industri farmasi Indonesia baik secara lokal maupun global
Penguatan bidang kefarmasian nasional diperlukan sebagai pengembangan industri strategis, karena: Obat merupakan komponen yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan, memiliki fungsi sosial dan berguna meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
INPRES NO. 6 TAHUN 2016 AMANAT UNTUK KEMENTERIAN KESEHATAN Menyusun dan menetapkan rencana aksi untuk Pengembangan IF dan alkes Memfasilitasi pengembangan ke arah biopharmaceuticals, vaksin, natural dan API kimia
Mendorong dan mengembangkan R&D sediaan farmasi dan alkes menujukemandirian IF dan alkes Memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri melalui e-catalogue Mengembangkan sistem data dan informasi terintegrasi dari kebutuhan masyarakat, produksi, distribusi sampai pelayanan kesehatan serta IF dan alkes Menyederhanakan system dan proses perizinan Melakukan koordinasi dengan BPJSK untuk memperluas faskes sesuai kebutuhan
PROSES PENYUSUNAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI FARMASI INDONESIA
Inpres No. 6 Tahun 2016
Permenkes 87 dan 88/ 2013 Peta jalan pengembangan BBO, BBOT
Paket Kebijakan Ekonomi XI
Permenkes 17/2017 Rencana Aksi Percepatan Penyusunan Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
LATAR BELAKANG PENYUSUNAN PERMENKES 17/2017 meningkatkan produktifitas dan daya saing melalui upaya kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
industri prioritas agar dapat memenuhi kebutuhan nasional, perlu mendorong industri farmasi dan alat kesehatan; untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan produksi alat kesehatan, bahan baku obat, dan bahan baku
obat tradisional; dan meningkatkan koordinasi dan sinergisme antar pemangku kepentingan dalam pengembangan industri farmasi
Indonesia.
Pasal 3 Pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan dengan mempertimbangkan kapabilitas industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri dengan prioritas kebutuhan obat dan alat kesehatan nasional.
Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Rencana Aksi Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
BAB I PENDAHULUAN
•Latar Belakang •Tujuan Umum dan Khusus •Sasaran
BAB II ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN
•Analisis Situasi •Tantangan
BAB III KERANGKA PIKIR
• Rencana berpikir pengembangan transformasi
BAB IV KEBIJAKAN DAN STRATEGI
•Kebijakan •Strategi
BAB V RENCANA AKSI
BAB VI PENUTUP
•Berisikan Skema Matrik Pelaksanaan Inpres
Draft RENAKSI : 3 Feb 2017
BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Melalui paket kebijakan ekonomi XI pemerintah mendukung percepatan pengembangan Industri
Farmasi dan Alkes.
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pegembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, menjadikan pengembangan Industri farmasi sebagai upaya bersama Kementerian/Lembaga terkait. Mewujudkan upaya kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan
dalam negeri.
Terciptanya kondisi dimana masyarakat dapat memperoleh obat dengan mudah (accessible), terjangkau
(affordable), tersedia dimanapun dibutuhkan (available), dan berkesinambungan (sustainable).
Mendorong industri farmasi Indonesia untuk ikut berkontribusi pada peningkatan ekonomi nasional, yaitu
meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), penghematan dan peningkatan devisa (substitusi impor), serta penyerapan tenaga kerja nasional. Sementara itu, dari sisi aspek teknologi, rencana aksi ini dapat mendorong transfer dan penguasaan teknologi farmasi terkini.
BAB I PENDAHULUAN TUJUAN UMUM DAN KHUSUS TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi Indonesia
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi Indonesia
ini disusun dengan tujuan mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dalam negeri serta percepatan pengembangan industri farmasi.
2016-2020 ini diharapkan akan menjadi panduan untuk peningkatan industri farmasi agar mampu secara mandiri menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan manfaat, terjangkau oleh masyarakat; Mendukung upaya industri farmasi untuk memiliki daya
saing di dalam negeri dan ekspor, dan Dapat bertransformasi menjadi industri berbasis riset
serta pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta meningkatkan utilisasi / kapasitas industri.
BAB I PENDAHULUAN SASARAN
Seluruh pihak terkait dapat melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing
KEMENKES
KEMENTERIAN/ LEMBAGA
INDUSTRI
TRANSFORMASI INDUSTRI
BAB II ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN
BAB II
Analisis Situasi Tantangan
Struktur Industri dan Pasar Bahan Baku Obat GlobalBioteknologi Analisis Potensi Ekonomi Industri Farmasi Indonesia Natural
Bioteknologi Natural Vaksin Kimia
BAB II ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN TANTANGAN
Kebijakan yang ada dirasakan masih belum komprehensif dan terintegrasi satu sama lain
Industri kimia dasar dalam negeri masih belum mampu menyediakan bahan kimia dasar yang dibutuhkan,
Perkembangan jenis obat dan turunannya yang sangat cepat sangat sulit untuk dapat diikuti oleh peneliti Indonesia;
Mendukung pengembangan bahan baku obat melalui penyiapan regulasi yang dapat mempermudah pengembangan bahan baku obat di Indonesia;
Industri peralatan dan mesin untuk memproduksi bahan baku obat masih belum dikuasai, baik teknologi sintesis maupun teknologi pemurnian
Menyediakan industri kimia dasar dan industri pendukung lain sebagai bahan baku pembuatan sediaan farmasi melalui kerjasama dengan kementerian terkait;
Terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan keterampilan yang diperlukan; namun banyak sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas yang hengkang dan bekerja di luar negeri;
Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia di saran penelitian, dan institusi lainnya agar dapat menghasilkan penelitian yang up to date;
Perlunya penguasaan terhadap teknologi maupun transfer teknologi yang dapat mendukung produksi bahan baku obat;
Mengembangkan kurikulum pendidikan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan industri farmasi serta menyelaraskan metode penelitian pada riset-riset farmasi yang diadakan sesuai dengan persyaratan/standar yang berlaku terutama di industri;
Pelaksanaan pemberdayaan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bahan baku sediaan farmasi; dan
Meningkatkan prioritas penggunaan produk dalam negeri.
Kurang fokusnya penelitian dan pengembangan yang berorientasi pada pengembangan bahan baku obat kimia, herbal, dan bioteknologi.
Pemanfaatan sumber daya alam baik tumbuhan, hewan, biota laut, bahan tambang dan mineral, serta gas bumi yang masih terbatas;
Ketidakpastian penggunaan produk dalam negeri oleh industri swasta maupun pengadaan pemerintah;
Pasar bahan baku nasional yang relatif kecil dibandingkan dengan kapasitas minimal produksi untuk satu industri bahan baku obat, keadaannya produsen bahan baku dari China dan India sudah jauh lebih maju dan sangat ekonomis.
BAB III KERANGKA PIKIR
MENUJU INDUSTRI FARMASI YANG TERINTEGRASI Impor (API/ Active pharmaceutical ingredients & Eksipien)
R&D
UJI KLINIS
Intermediate
API
Formulasi
Manufaktur
Distribusi
Formulasi
Manufaktur
Distribusi dan Ekspor
BAB IV KEBIJAKAN DAN STRATEGI SKENARIO PENGEMBANGAN 2017-2019 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
2019-2021 INDUSTRI FARMASI PRODUK BIOTEKNOLOGI
EPO (Erythropoetin) GCSF (Granulocyte Colony Stimulating Factor) Probiotic Insulin Stem cell protein (Wound care and cosmetics) Somatropin EGF (Epidermal Growth Factor) Enoxaparin Plasma Fractionation (albumin, Immunogbulin)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Blood Fractionation Growth Hormone Interferon Trastuzumab Insulin MAB (oncology) Rituximab, Bevacizumab
1. 2.
2022-2025 MAB (Monoclonal Anti Body) Insulin analogue
BAB IV KEBIJAKAN DAN STRATEGI SKENARIO PENGEMBANGAN 2017-2019 1. 2. 3. 4. 5.
Dengue (Demam Berdarah) MR (Measles Rubella) HB (Hepatitis-B) Hexavalent Sabin IPV (Inactivated Polio Vaccine) 6. Rotavirus 7. Typhoid Vi-Conj 8. Rabies
2019-2021 2022-2025 Industri Farmasi Produk Vaksin 1. DTaP (Diphteri, Tetanus, 1. HPV (Human Papiloma Virus) acellular Pertussis) 2. New TB Recombinant 2. Hexavalent 3. MenACWY 4. New OPV type 2 5. Pneumococcal 6. Rotavirus 7. Rabies 8. BCG (Freezed-Dry)
SKENARIO PENGEMBANGAN 2017-2019
2019-2021
2022-2025
Industri Farmasi Produk Natural 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Dehidro-di-Isoeugenol (Ekstrak biji pala) Curcuma xanthorriza Curcuma domestica Gingerol Phylantin (ekstrak daun meniran) Piperin (ekstraksi lada hitam) Steviosid (pemanis non kalori) Xanthorhizol (komponen minyak atsiri khas temulawak) Zederone Ekstrak sambung nyawa Ekstrak temulawak Ekstrak seledri (antihipertensi) Ekstrak kumis kucing (antihipertensi) Palm sugar Ekstrak Cinnamomum burmanii Fitoestrogen (Trigonella foenum-graceum) Dermifix WoundHealing(Centella asiatica) Ekstrak Phaleria macrocarpa Ekstrak Lumbricus rubellus Ekstrak Zingiber officinale Ekstrak Lagoerstroia speciosa Kaempferia galanga
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Glucosamin Omega-3 Resveratrol (anti oksidan alami) Vinca alkaloid derivates Isolat gandarusa Isolat alga coklat (wound care) Isolat mikroba simbion karang laut (antibiotik) Isolat Guazuma longifolia Geraniol Green Chiretta Aspergillus niger Marine algae
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Andrographolide (anti malaria) Etil-p-metoksi Sinamat Ekstrak cacing tanah (thrombolisis) Vinca rosea Piper longum Polygonum cuspidatum Stevia rebaudiana
SKENARIO PENGEMBANGAN 2016-2018
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
2019-2021 2022-2025 Industri Farmasi Produk Bahan Baku Obat Kimia Statin derivates (menurunkan kadar 1. Ascorbic Acid (vit. C) 1. Metformin kolesterol: Simvastatin, Atorvastatin, 2. Cephalosporin (7 – ACA) 2. Amlodipine rosuvastatin) 3. 7-AVCA 3. Glimepiride Pantoprazole 4. 7-ACCA 4. Lanzoprazole Clopidogrel 5. 7-ADCA 5. Atorvastatin ARV (Entecavir, Tenofovir) 6. ARV (Entecavir, Tenofovir) 6. Hydrotalcite Beta-Lactam (Amoxycillin) 7. Vitamin B5 7. retinol Pharma Salt(NaCl pharma-grade) 8. Vitamin C Dextrose pharma-grade 9. Vitamin E Lyophilisation 10. Folic Acid Pen-G 11. Picolinic Acid Magnesium stearate 12. Bioflavonoids Paracetamol 13. Beta-caroten Amoxicillin 14. Ergocalciferol Rifampicin 15. Colecalciferol Neomycin 16. Biotin Phenylpropanolamine 17. Beta-caroten Guaifenesin 18. Anthocyanoside Stevioside 19. Potassium Glucose 20. Copper
BAB V RENCANA AKSI Menyusun dan menetapkan rencana aksi pengembangan industri farmasi;
Memfasilitasi pengembangan industri farmasi terutama ke arah biopharmaceutical, vaksin, Natural dan API;
I N P R E S
Mendorong dan mengembangkan penyelenggaraan riset dan pengembangan sediaan farmasi dalam rangka kemandirian industri farmasi; Memprioritaskan penggunaan produk sediaan farmasi dalam negeri melalui e-tendering dan e-purchasing berbasis e-catalogue; Mengembangkan sistem data dan informasi secara terintegrasi yang berkaitan dengan kebutuhan produksi dan distribusi sediaan farmasi, pelayanan kesehatan serta industri farmasi; Mengembangkan sistem data dan informasi secara terintegrasi yang berkaitan dengan kebutuhan produksi dan distribusi sediaan farmasi, pelayanan kesehatan serta industri farmasi;
Melakukan koordinasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan untuk meningkatkan kapasitas BPJS sebagai payer dan memperluas kontrak.
BAB VI PENUTUP Rencana aksi industri farmasi disusun untuk meningkatkan koordinasi dan sinergisme antar pemangku kepentingan
dalam pengembangan industri farmasi Indonesia.
Pelaksanaan upaya kemandirian obat dan bahan baku obat dalam negeri sangat memerlukan komitmen, dalam
pengorganisasian, penggerakan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dari semua pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing.
Dengan landasan koordinasi dan sinergisme yang dilaksanakan dengan komprehensif dan paripurna, diharapkan
semua pemangku kepentingan bersedia dan mampu berintegrasi dan bersinergi dalam melakukan transformasi dan pengembangan industri farmasi Indonesia sebagai salah satu industri andalan nasional, sehingga terwujudnya kemandiran obat dan bahan baku obat di dalam negeri. Serta pelaksanaan transformasi industri farmasi menjadi industri berbasis riset yang memiliki keunggulan kompetitif.
PERMENKES NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENKES NOMOR 1148 TAHUN 2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI
DIREKTORAT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN 2017
LATAR BELAKANG Bahwa masyarakat perlu dilindungi dari peredaran obat dan bahan obat yang tidak memenuhi
persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/manfaat; dan Bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi perlu disesuaikan dengan kebutuhan hukum dalam pendistribusian obat dan bahan obat Oleh karena itu, pada Permenkes 30/2017 beberapa ketentuan dalam Permenkes 1148/2011 tentang
Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah dengan Permenkes 34/2014, diubah pada pasal sebagai berikut: Pasal 13 Pasal 14A Pasal 19 Pasal 20
Permenkes 1148/2011 1)
2)
3) 4)
5)
Pasal 13 PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF dan/atau melalui importasi. Pengadaan bahan obat melalui importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat dari PBF pusat.
Permenkes 34/2014 1)
2)
3) 4)
5) 6)
Pasal 13 PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF dan/atau melalui importasi. Pengadaan bahan obat melalui importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat dari PBF pusat. PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan pengadaan obat atau bahan obat harus berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker penanggung jawab dengan mencantumkan nomor SIKA.
Permenkes 30/2017 1)
2) 3) 4)
5)
6)
Pasal 13 PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF dan/atau melalui importasi. Pengadaan bahan obat melalui importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat dari PBF pusat atau PBF Cabang lain yang ditunjuk oleh PBF pusatnya. PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan pengadaan obat atau bahan obat harus berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker penanggung jawab dengan mencantumkan nomor SIPA.
Permenkes 1148/2011 1.
2.
3.
4.
Pasal 14 Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Apoteker penanggung jawab dilarang merangkap jabatan sebagai direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang. Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambatlambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja.
Permenkes 34/2014
Permenkes 30/2017
Pasal 14A sebagai sisipan di antara Pasal 14 dan Pasal 15
Pasal 14A 1) Dalam hal apoteker penanggung jawab tidak dapat melaksanakan tugas, PBF atau PBF Cabang harus menunjuk apoteker lain sebagai pengganti sementara yang bertugas paling lama untuk waktu 3 (tiga) bulan. 2) PBF atau PBF Cabang yang menunjuk apoteker lain sebagai pengganti sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan provinsi setempat dengan tembusan Kepala Balai POM.
1.
2.
Pasal 14A Dalam hal apoteker penanggung jawab tidak dapat melaksanakan tugas, apoteker yang bersangkutan harus menunjuk apoteker lain sebagai pengganti sementara yang bertugas paling lama untuk waktu 3 (tiga) bulan. Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Permenkes 1148/2011 Pasal 19 PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi sesuai surat pengakuannya.
Permenkes 34/2014 1. 2.
3.
Pasal 19 PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi sesuai surat pengakuannya. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi terdekat untuk dan atas nama PBF Pusat yang dibuktikan dengan Surat Penugasan/Penunjukan. Surat Penugasan/Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disahkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dimaksud.
Permenkes 30/2017 1. 2.
3.
4.
Pasal 19 PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di daerah provinsi sesuai dengan surat pengakuannya. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di daerah provinsi terdekat untuk dan atas nama PBF pusat yang dibuktikan dengan Surat Penugasan/Penunjukan. Setiap Surat Penugasan/Penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku hanya untuk 1 (satu) daerah provinsi terdekat yang dituju dengan jangka waktu selama 1 (satu) bulan. PBF Cabang yang menyalurkan obat dan/atau bahan obat di daerah provinsi terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menyampaikan pemberitahuan atas Surat Penugasan/Penunjukan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan provinsi yang dituju dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi asal PBF Cabang, Kepala Balai POM provinsi asal PBF Cabang dan Kepala Balai POM provinsi yang dituju.
Permenkes 1148/2011
Permenkes 34/2014
Permenkes 30/2017
Pasal 20 PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek, apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis kefarmasian penanggung jawab.
Pasal 20 PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek, apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan mencantumkan nomor SIPA, SIKA, atau SIKTTK.
Pasal 20 1) PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pemegang SIA, apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan mencantumkan nomor SIPA atau SIPTTK. 2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyaluran obat berdasarkan pembelian secara elektronik (EPurchasing) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.