Artikel
PERLU HADIRNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PERLINDUNGAN PROFESI Ignatius Ridwan Widyadharma, SH, MS, PhD*
J
IKA memperhatikan dimensi sosial terutama dalam keperanan hukum berikut aparat-aparatnya selalu mencakup kepentingan masyarakat dan mendorong peran serta masyarakat dalam penegakan hukum. Hal ini secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan masyarakat dalam hukum terutama penegak hukum wajib dijabarkan untuk berperan menjamin, melindungi kepentingan masyarakat dan diwujudkan dalam bentuk penegak hukum yang menjalankan ketertiban, ketentraman dan kedamaian. Kemudian hal tersebut di atas tampak jelas dalam uraian Bagir Manan (Varia Peradilan No 261, 2007:12) sebagai berikut: Setiap kekuasaan selalu mengandung potensi disalahgunakan (mesbruik van recht) atau dilaksanakan sewenang-wenang (arbitrary, willekeur), atau dilaksanakan dengan melampaui wewenang (detournement de pouvoir). Hal ini dapat terjadi karena dua hal. Pertama, Kekuasaan mengandung hak dan wewenang (recht en bevoegdheid) dan kedua, Hak dan wewenang, memberi posisi lebih terhadap subyek yang dituntut atau pencari keadilan. Untuk menjamin penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar dan adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu: asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara secara benar (produral due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan (substantive due process), asas harmonisasi antara kepentingan pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan) asas jaminan bebas dari segala bentuk tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan.” Ulasan dan uraian tersebut di atas dapat memberikan fakta dan kesan yang dapat dijadikan sebagai alur untuk mencari jalan keluar atau alternatif yang perlu dilengkapi dalam hukum dan perannya. Hal ini memiliki arti Agent of change terhadap hukum dan masyarakat, yang perlu dimanfaatkan kemudian dilembagakan sebagai kenyataan aturan dengan alur terjadinya Agent of modernization seba gai wujud meningkatnya peran masyarakat dalam hukum. Agent of change terhadap hukum dan masyarakat dapat dijadi kan sebagai gerobak pengangkut kemajuan terhadap hukum dan masyarakat sekaligus sebagai alat pendorong kemajuan, dan per kembangan yang wajib dikembangkan dengan sikap yang etis serta berpedoman pada etika yang hidup dalam masyarakatnya tersebut. Ini memberikan arti pula bahwa profesional dalam menjalankan pro fesinya dituntut berkarya dengan kendali etika profesinya tersebut yang kemudian dapat menjadi Agent of change dan Agent of moderni zation untuk mencapai kesepakatan dan kemauan bersama dalam suatu united legal opinion yang selaras dan berkeseimbangan. Kemudian jika dihubungkan dengan pendapat Brandeis (Liliana Tedjosaputro 1995:33), maka untuk dapat disebut sebagai Profesi Hukum, pekerjaan itu sendiri harus mencerminkan adanya dukung an yang berupa: 1. ciri-ciri pengetahuan (intelectual character); 2. diabdikan untuk kepentingan orang lain; 3. keberhasilan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan finansial;
38
4. didukung oleh adanya organisasi (association) profesi dan organisasi profesi tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik, serta pula bertanggungjawab dalam memajukan dan penyebaran profesi yang bersangkutan; dan 5. ditentukan adanya standar kualifikasi profesi. Hal tersebut di atas akan lebih lengkap dan mudah dipahami jika memperhatikan uraian Sonny Keraf (1998:47-49), yaitu: Pertama, adanya pengetahuan khusus. Profesi selalu mengandaikan adanya suatu pengetahuan atau keterampilan khusus yang dimiliki oleh sekelompok orang yang profesional untuk bisa menja lankan tugasnya dengan baik yang diperolehnya melalui pendidik an, pelatihan dan pengalaman. Kedua, adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Pada setiap profesi, khususnya profesi luhur pada umumnya selalu ditemukan adanya suatu aturan permainan dalam menjalankan atau mengemban profesi itu, yang biasanya disebut sebagai “Kode Etik” yang mana Kode Etik ini harus dipatuhi dan ditaati oleh semua anggota profesi yang bersangkutan. Ketiga, pengabdian kepada kepentingan masyarakat. Dalam rangka untuk mengabdikan jasa kepada masyarakat sebagai suatu pengabdian dan pelayanan tanpa pamrih apa pun. Keempat, biasanya ada izin khusus untuk bisa menjalankan suatu profesi. Dikarenakan setiap profesi, khususnya profesi luhur yang menyangkut kepentingan masyarakat seluruhnya yang bersangkut paut dengan nilai-nilai kemanusiaan, berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka diperlukan adanya suatu izin khusus dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi yang tidak becus. Kelima, kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi. Tujuan dari organisasi ini terutama adalah “menjaga” keluhuran profesi tersebut. Tugas pokoknya adalah menjaga agar standar keahlian dan keterampilan tidak dilanggar, kode etik tidak dilanggar, pengabdian kepada masyarakat tidak luntur dan tidak sembarangan orang memasuki profesi mereka. Berdasarkan pemikiran pandangan dari Sonny Keraf, mengenai ciriciri umum profesi tersebut di atas, maka perlu didalami dan disimpulkan bahwa kaum profesional adalah orang-orang yang memiliki tolok ukur perilaku yang berada di atas rata-rata. Di satu pihak ada tuntutan atau tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam kerangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, dapat diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik. Dikaitkan dengan hadirnya intelectual character dalam profesi, sebagai ciri pengetahuan yang memiliki knowledge atas ilmu yang diperlukan oleh si profesional dan didukung atau dilegalisasi oleh organisasi profesinya tersebut, maka oleh Sonny Keraf dalam profesi bisnis ditekankan bahwa profesi yang profesional harus dilengkapi dengan adanya izin khusus untuk dapat menjalankan profesi, dikarenakan setiap profesi, khususnya profesi luhur yang menyangkut kepentingan masyarakat seluruhnya yang bersangkut paut dengan nilai-nilai kemanusiaan, berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, sehingga diperlukan adanya suatu izin khusus dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi yang tidak becus. VARIA ADVOKAT - Volume 05, Agustus 2008
Artikel Tentunya dengan memperha tikan seorang profesional dalam menjalankan profesinya, wajib menguasai ilmunya dan wajib pula dilengkapi izin khusus untuk praktik, maka di sini juga terlihat kewajiban untuk melindungi si profesional dalam menjalankan profesinya, bahkan dapat ditekankan izin praktik wajib dihormati dan diamankan oleh undang-undang, penguasa dan semua pihak yang menempatkan diri sebagai pene gak hukum. Kesemuanya tersebut di atas dapat dipahami bahwa tentang profesional dan profesi yang merupakan asset dari rule of laws dan legalisme yang sedemikian tersebut tentunya memiliki dominasi pemikiran mengenai hukum itu sendiri dalam rangka penegakan hukum. Hal ini dimaksudkan bahwa persoalan idealisme dalam hal bangunan kerja dari si profesional yang menjalankan profesi, dan sikap bermoral yang wajib dipatuhi sekaligus dapat menempatkan suatu kepercayaan, wajib dapat kukuh diterima dan menjadi tonggak dari si profesional yang menjalankan profesinya, kemudian dapat tampak jelas dan nyata keberadaannya serta peruntukannya. Jika memperhatikan sebagai arahan, dua profesi hukum, yaitu Advokat dan Notaris, maka kedua-duanya memiliki undang-undang yang mengaturnya. Advokat diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dan Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomot 30 Tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut dijumpai sebagian besar hanya berkisar pada pengaturan pekerjaannya, akan tetapi sangat sedikit yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kedua profesi tersebut demikian juga hal ini terjadi pada profesi-profesi yang lainnya. Kesemuanya tersebut di atas menimbulkan permasalahan da lam kehidupan profesi, terutama hubungan di antara sesama profesi tersebut, dalam hal, misalnya bolehkah polisi memaksa Advokat untuk menyerahkan suatu bukti surat milik seorang tersangka yang sedang dikuasai oleh Advokat dan kemudian etiskah jika polisi kemudian bersikap jika si Advokat tidak menyerahkan bukti surat tersebut padanya, maka akan digunakan alat paksa, antara lain menjadikan si Advokat yang menguasai barang bukti tersebut sebagai perkara pidana tersendiri dengan berlandaskan pedoman Pasal 225 KUHP, yaitu “Barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi perintah yang sah untuk menyerahkan suatu tulisan yang dituduh palsu atau dipalsukan, atau yang dimaksudkan untuk dipersamakan dengan surat yang lain, yang dituduh palsu atau dipalsukan itu, atau yang keasliannya disangkal atau tidak diakui, dihukum di dalam perkaraperkara pidana, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan dan di dalam perkara-perkara lainnya, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan”. Demikian juga Notaris yang dipanggil sebagai saksi karena akta yang dibuatnya tidak mau hadir, kemudian dipaksa dengan cara tidak menjalankan perintah penguasa yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 224 jo 522 KUHP, yang bunyinya sebagai berikut: Pasal 224 KUHP : “Barangsiapa menurut undang-undang telah dipanggil sebagai saksi, sebagai ahli atau sebagai juru, dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban menurut undang-undang yang harus dilakukannya di dalam kedudukannya yang demikian dihukum: 1. di dalam perkara-perkara pidana, dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan; 2. di dalam perkara-perkara lainnya, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan. Pasal 522 KUHP : “Barangsiapa secara melawan hukum tidak VARIA ADVOKAT - Volume 05, Agustus 2008
memenuhi panggilan yang sah untuk bertindak sebagai saksi, seba gai saksi ahli atau sebagai juru bahasa, dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah”. Sedangkan dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dijumpai 2 (dua) pasal yang cukup kuat untuk dapat menguasai berkas dan dokumen kliennya sebagaimana tersebut diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 19 tentang Advokat, yang bunyinya sebagai berikut: Pasal 17 UU Nomor 18 Tahun 2003: “Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Pasal 19 UU Nomor 18 Tahun 2003 : Ayat (1) : “Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Ayat (2) : Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya de ngan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. Tetapi dalam kenyataannya si Advokat tidak dapat mudah bertahan dengan pasal tersebut di atas, yang jelas dalam kenyataannya akan mengalami gangguan dari pihak yang berkepentingan. Uraian permasalahan yang telah diketengahkan di atas cukup memberikan suatu duga dan prasangka tentang bagaimana peran kehidupan serta mekanisme profesi yang dewasa ini tampak dalam realitanya tidak saling hormat-menghormati dan menghargai sesama profesi, tetapi justru mencari alasan untuk pembenaran pekerjaannya saja. Sedangkan adanya profesi hukum tersebut keberadaannya sesungguhnya merupakan bagian dari penegak-penegak hukum yang patut dihormati dan yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan fungsi sebagai profesi yang berdiri bebas mandiri dan bertanggung jawab untuk hadirnya dan tegaknya hukum serta keadilan bagi masyarakat yang menjadi konsep landasan pekerjaan sesama profesi adalah hormat menghormati, saling menghargai terhadap sesama dan di antara profesi yang selalu tertuang dalam kode etik profesi dari masing-masing profesi. Perlu juga dapat disikapi tentang kenyataan yang terjadi dalam praktik. Jika ada orang bekerja atau menampakkan diri sebagai polisi yang nyatanya ia bukan polisi, pasti seorang polisi palsu itu akan diproses dan diadili. Demikian pun jika ada orang yang bukan Notaris menampakkan diri sebagai Notaris nyatanya ia bukan Notaris jelas-jelas orang tersebut akan diproses dan diadili juga. Kemudian jika seorang menjalankan pekerjaan yang seharusnya itu pekerjaan Advokat, seperti mendampingi seorang pengadu ke Kepolisian atau juga dalam mengajukan eksekusi perdata ke pengadilan. Hal tersebut menjadi tanda tanya besar dengan cukup digaris-bawahi mungkin ini dibolehkan oleh para pengemban profesi. Sedangkan untuk menjadi Advokat wajib dipenuhi ketentuan yang sangat penting yaitu berijasah sarjana hukum, lulus ujian yang diada kan oleh Organisasi Advokat (Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003) yang kemudian dibuktikan dengan kartu tanda anggota Advokat. Selain tersebut di atas juga Advokat sebagai penegak hukum dan termasuk dalam jajaran catur wangsa, ini masih menimbulkan pertanyaan atau pendapat tentang masuk tidaknya Advokat dalam jajaran penegak hukum-catur wangsa menurut pendapat dari beberapa kalangan. Walaupun dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan dengan tegas dalam Pasal 5 “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan dan wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia”.
39
Artikel Hal tersebut di atas tampak sekali tidak ada penghormatan dalam saling menghargai sesama profesi hukum, tampak juga dalam kasus class action perkara Walikota Semarang vs Pengusaha Taksi Sekota Semarang dalam mana kuasa hukum Walikota didominasi oleh ahli hukum yang tidak memiliki izin praktek yang ditentukan oleh UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya pada Pasal 30 UU Advokat tersebut dan kuasa hukum mana tetap diperkenankan oleh hakim untuk bersidang atau beracara di pengadilan ( www.suaramerdeka.com/cybernews 13 Januari 2008 : 23.29 wib). Keadaan dan realita yang ada dalam kehidupan profesi dan sesama profesi jelas dan tampak sebagai a house devided can not stand sebagaimana pernah diucapkan oleh Abraham Lincoln. Apa ini memiliki arti juga ada profesi, ada aturan dan ada etika yang memuat penghormatan sesama profesi dan/atau profesi lainnya. Tetapi pada kenyataan juga memudarkan idealnya suatu harapan jika para pemegang profesi tidak mau menghormati dalam kebersamaan. Dalam perjalanan hukum, pernah juga terjadi kasus Malpraktek dimana tidak terlebih dulu dilalui penilaian oleh para pengawas/dewan yang menanggapi kode etik, perkara disidang dalam perkara pidana sebagaimana terjadi dalam kasus dr. Setianingrum (pada tahun 1981 sebagaimana oleh Ninik Mariyanti (1988 : 73 - 74) ditulis sebagai berikut: Di awal tahun 1981, dokter Setianingrum, seorang dokter Puskesmas dari Wedarijaksa (Kabupaten Pati) Jawa Tengah, terpaksa diadili di sidang Pengadilan Negeri Pati, karena telah menyebabkan pasiennya, Ny. Rukmini meninggal dunia karena kejutan anfilatik akibat reaksi alergi dari suntikan streptomisip yang diberikan kepadanya. Pihak penyidik (Kepolisian) mengajukan kasus kematian Ny. Rukmini atas dasar Pasal 359 KUH Pidana ( yang merupakan salah satu pasal tentang kematian karena adanya kealpaan ). Pengadilan Negeri Pati dalam kasus ini menjatuhkan putusan: menghukum dokter Setianingrum selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan (Putusan Pengadilan Negeri Pati tanggal 2 September 1981). Upaya banding yang ditempuh rupanya tidak merupakan vonis Pengadilan Negeri tersebut, karena dokter Setianingrum tetap terpidana, karena Pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) dengan keputusannya tertanggal 19 Mei 1982 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pati, Baru kemudian ditingkat kasasi, atas protes para dokter, Mahkamah Agung membebaskan dokter Setianingrum dari tuduhan menyebabkan kematian karena lalai (Pasal 359 KUH Pidana) Pertimbangan Mahkamah Agung dalam membebaskan dokter Setianingrum tersebut adalah bertolak dari penyuntikan streptomisin itu sulit untuk dihindari dan hal ini dapat merenggut nyawa pasien dalam waktu yang singkat. Hal-hal demikian inilah yang sebenarnya sangat penting untuk diketahui oleh para penegak hukum, agar dapat dijadikan suatu pertimbangan tersendiri apabila menghadapi kasus-kasus semacam ini. Jika menghormati sesama profesi dan/atau juga antar profesi tersebut dijalankan secara baik, maka citra hukum hukum yang ditegakkan akan tampak nyata. Begitulah dapat terpahami jika mendalami Miranda Case tahun 1966 yang terjadi di negara bagian Arizona Amerika (Indriyanto Seno Adji 1998 : 29) yang ditulis dan dilukiskan sebagai berikut: Miranda didakwa melakukan tindak pidana di suatu tempat Negara bagian Arizona, tetapi pada saat polisi melakukan penangkapan ternyata tidak memberitahukan hak tersangka untuk diam (Have the right to remain silent) dan mendapat bantuan hukum (right to have a counsel), sehingga kelalaian pejabat polisi/penyidik itu membawa konsekuensi terhadap pembebasan terdakwa oleh Mah-
40
kamah Agung Amerika Serikat yang dikenal dengan case law sistemnya. Oleh karena itu,kasus Miranda ini merupakan“peringatan” bagi pejabat penegak hukum untuk menjalankan kewajibannya terhadap tersangka sesuai dengan aturan undang-undang, bahkan para penegak hukum, khususnya penyidik, mempergunakan istilah tersebut sebagai Miranda Warning. Penyelenggaraan profesi hanya boleh dilakukan jika memenuhi persyaratan, antara lain sebagai berikut: (1).Memiliki ilmu ; (2). Berorganisasi ; (3). Memiliki Kode Etik ; Yang kemudian diikat dengan kenyataan adanya izin/tanda pengenal. KUH Pidana juga telah menetapkan bahwa mereka yang tidak diperkenankan menyelenggarakan profesi yang menurut undang-undang perlu izin dan melakukannya tidak karena terpaksa dihukum dengan hukuman denda sebagaimana diatur dalam Pasal 512 KUHP sebagai berikut: (1) Barangsiapa yang tanpa terpaksa dan tanpa diizinkan menjalankan pekerjaan yang menurut undang-undang umum perlu memakai izin, dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. (2) Barangsiapa yang dizinkan untuk menjalankan pekerjaan, yang menurut undang-undang umum perlu memakai izin tanpa terpaksa melalui batas kekuasaannya dalam menjalankan pekerjaan itu, dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya dua ribu dua ratus lima puluh rupiah. (3) Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lewat dua tahun, sejak pemidanaan yang dahulu telah menjadi tetap terhadap sibersalah karena pelanggaran itu juga, maka dalam hal yang tersebut pada ayat pertama denda itu boleh diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya dua bulan, dan dalam hal tersebut pada ayat kedua dengan pidana kurungan selama-lamanya satu bulan. Di dalam menjalankan profesi, tentunya harus dipenuhi persyaratan pendidikan khusus untuk pekerjaan profesi tersebut yang kemudian juga berada dalam suatu organisasi profesi yang memiliki kode etik sebagai pengendalinya (lihat Pasal 512 KUHP tersebut di atas). Bahwa ternyata di dalam praktek perjalanan hukum, pasal tersebut tidak dianggap hanya berstatus sebagai angin lalu saja oleh para profesional yang menjalankan profesi, bahkan ada kalanya dilakukan kemudahan-kemudahan bagi para pelaku yang melanggarnya. Oleh karenanya untuk mengukuhkan dan menghormati sesama profesi atau antar profesi, perlu adanya aturan yang lebih tegas dan tepat yang dapat dijadikan payung dari kehidupan profesi, yaitu dengan dilahirkannya dan dihadirkan Undang-Undang tentang Perlindungan Profesi yang satu dan menyeluruh. Ini memiliki arti bahwa ada ketentuan yang mengikat, bukan bersifat delik aduan, bukan pula suatu aturan yang masuk kategori pelanggaran. Tetapi harus dilindungi dengan aturan pedoman yang dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan, jika ada subyek hukum yang menampakkan diri dan menjalankan pekerjaan profesi tanpa memenuhi aturan tentang pengangkatan profesi tersebut, demikian juga pada mereka yang memberikan kesempatan kehadiran profesi yang tidak memenuhi ketentuan profesi, tetapi berkenan berpraktek atau menjalankan pekerjaannya tersebut. Sehingga kehadiran Undang-Undang tentang Perlindungan Profesi diharapkan dapat lebih menggigit tentang kehadiran profesi, kukuhnya profesi dan ketaatan profesi dalam melayani masyarakat dan tegaknya hukum. *Penulis adalah Pengajar dalam mata kuliah Profession Responbility pada Fakultas Hukum (S1) UNDIP dan UNIKA maupun Magister Hukum (S2) UNTAG dan UNIKA Semarang, serta berprofesi sebagai Advokat di Semarang sejak tahun 1968 sampai dengan.sekarang.
VARIA ADVOKAT - Volume 05, Agustus 2008
Artikel
STUDI DAN ANALISIS KASUS
POTENSI PERMOHONAN PAILIT TERHADAP KLAIM ASURANSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG KEPAILITAN** Syamsudin Manan Sinaga, SH, MH*
I
ndonesia sudah lama mempunyai Undang-undang tentang Kepailitan atau Faillissements-Verordening, sebagaimana diatur dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Undang-undang Kepailitan ini, tidak mampu lagi memenuhi tuntutan para pelaku ekonomi/kalangan bisnis, sehingga perlu dibuat Undang-undang Kepailitan baru, produk nasional, yang dapat mengantisipasi perkembangan global, khususnya mengatasi krisis moneter di Indonesia. Krisis moneter yang melanda Indonesia dan beberapa negara Asean sejak pertengahan tahun 1997, disebabkan merosotnya nilai mata uang negara-negara tersebut terhadap mata uang asing, khususnya terhadap Dollar Arnerika Serikat. Indonesia adalah negara yang paling parah dilanda krisis tersebut. Persentase penurunan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan penurunan nilai tukar mata uang negara-negara Asean lainnya. Depresiasi nilai tukar mata uang Rupiah yang fluktuatif pernah mencapai puncaknya Rp 15.000,- per Dollar Amerika Serikat. Kemudian menurun sampai dengan Rp. 7.000-an per Dollar Amerika Serikat, dan relatif stabil di tingkat ini selama enam bulan (Nopember 1999 sampai minggu ketiga April 2000) dan menjadi Rp. 9.000,-an per Dollar Amerika Serikat sampai awal Nopember 2000. Fluktuasi mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat tersebut berpengaruh negatif terhadap seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengaruh yang paling besar kontribusinya adalah bagi kalangan bisnis. Kalangan bisnis mempunyai kesulitan pembiayaan untuk mengelola usahanya dalam melakukan pinjaman/utang atau pun memenuhi kewajibannva membayar utang. Untuk mengatasi kesulitan yang dialami kalangan bisnis atau debitor atau perusahaan, diperlukan Undang-undang Kepailitan modern yang memberikan kesempatan pada perusahaan untuk memulihkan usahanya. Upaya ini juga demi kepentingan kreditur dan investor. Sebab, kesalahan bukan terletak pada debitor atau perusahaan tersebut, akan tetapi karena krisis moneter yang melanda Indonesia. Untuk memberikan kesempatan kepada kreditor dan debitor atau perusahaan mengupayakan penyelesaian yang adil, cepat, terbuka, dan efektif mengenai utang-piutang mereka, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, tanggal 22 April 1998, selanjutnya disebut Perpu Kepailitan. Perpu ini kemudian telah disetujui menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, tanggal 9 September 1998, selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan (UUK). Penyelesaian masalah utang-piutang berdasarkan Undang-undang Kepailitan tersebut ditempuh melalui Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga (Commercial Court) berwenang mengadili perkara permohonan pailit (bankruptcy petition) dan perkara penundaan pembayaran utang (suspension of payment petition). Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Kepailitan adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang diresmikan berdirinya oleh Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 1998 dan mulai beroperasi menerima perkara sejak tanggal 1 September 1998. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 1999, tanggal 18 Agustus 1999, di bentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang. Kebijakan Pemerintah Indonesia membentuk Pengadilan Niaga guna menangani masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
VARIA ADVOKAT - Volume 05, Agustus 2008
utang (PKPU) dan membentuk institusi-institusi lainnya adalah dalam rangka pembangunan ekonomi, khususnya untuk memulihkan ekonomi yang jatuh akibat krisis moneter yang melanda Indonesia. Globalisasi yang sudah merasuki semua aspek kehidupan; ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya. sehingga ketergantungan antar bangsa semakin meningkat dan pengaruh negera maju terhadap negera berkembang semakin kuat. Dalam era perdagangan bebas sekarang ini, yang diperdagangkan bukan hanya barang dan jasa, tetapi juga uang. Sehingga mata uang suatu negara seperti Rupiah Indonesia misalnya, tidak bisa ditentukan kursnya oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, tetapi ditentukan oleh pasar global. Pergerakan pasar uang, saham atau komoditi lainnya, semakin ditentukan oleh sentimen dan persepsi yang erat kaitannya dengan masalah kepercayaan terhadap institusi pemerintah/negara dan otoritas moneter. Pemerintah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif, sehingga masyarakat (nasional dan internasional) percaya untuk berinvestasi di Indonesia. Salah satu langkah yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia adalah membuat Undang-undang Kepailitan dan mendirikan Pengadilan Niaga untuk menangani masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pembentukan Undang-undang Kepailitan dan mendirikan Pengadilan Niaga sebagai sarana bagi kreditor dan debitor untuk menyelesaikan utang-piutang mereka adalah dalam rangka menanggulangi krisis di bidang hukum dan di bidang ekonomi dengan sasaran terkendalinya nilai kurs Rupiah pada tingkat yang wajar. Undang-undang Kepailitan produk nasional adalah pengesahan dan Perpu Nomor 1 Tahun 1998. Perpu ini, berdasarkan Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan Pemerintah Republik Indonesia dengan Dana Moneter Internasional, disepakati untuk diterbitkan tanggal 22 April 1998. Undang-undang Kepailitan tersebut, mengatur mekanisme penyele saian utang melalui pengadilan (in-court). Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga (Commercial Court) yang mempunyai kompetensi absolut menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, dan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud sampai sekarang belum ada, sehingga Pengadilan Niaga, saat ini hanya menangani perkara kepailitan dan perkara penundaan kewajiban pembayaran utang. Sejak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat beroperasi dua tahun tanggal 1 September 1998-31 31 Agustus 2000, perkara pailit, seratus sembilan puluh dan perkara penundaan kewajiban pembayaran utang, empat puluh dua. Perkara pailit yang kasasi, tujuh puluh empat dan perkara penundaan kewajiban pembayaran utang, enam. Perkara Pailit yang diajukan peninjauan kembali, tiga puluh enam sedangkan perkara penundaan kewajiban pembayaran utang, tiga. (Untuk lebih jelasnya lihat tabel). Dari jumlah perkara tersebut, dua diantaranya menyangkut tentang perusahaan asuransi yaitu: 1. Perkara No. 55/PAILIT/1999 China Trust Commercial Bank sebagai Pemohon melawan PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) sebagai Termohon. Dalam perkara tersebut, Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, menolak permohonan pailit dan Pemohon. 2. Perkara No. 48/PAILIT/2000 ; Frederick Rachmat, HS., sebagai Pemohon melawan PT. Wataka General Insurance. Dalam perkara tersebut, Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, mempailitkan PT. Wataka General Insurance. Kedua perkara tersebut dijadikan bahan studi kasus yang akan dibahas pada bagian berikutnya dari makalah ini.
41
Artikel perkara pailit dan pkpu pada pengadilan niaga jakarta pusat kasasi dan peninjauan kembali pada mahkamah aguNg RI
Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum, mengatakan “Wewenang Kejaksaan untuk mengajukan permohonan pailit adalah untuk dan atas nama kePerkara Perkara pentingan umum”. Pasal 2 ayat (2)nya mengatakan “KePengadilan Niaga Perkara Kasasi Peninjauan No Bulan dan Tahun jaksaan dapat mengajukan permohonan Jakarta Pusat Kembali pernyataan pailit dengan alasan kepentingan umum apabila: Pailit PKPU Pailit PKPU Pailit PKPU a. Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar se10 3 - - 1 September 1998 dikitnya satu utang yang telah jatuh 4 2 4 1 - 2 Oktober 1998 waktu dan dapat ditagih. 7 1 - 3 November 1998 b. Tidak ada pihak yang mengajukan 10 5 4 - 4 Desember 1998 permohonan pailit. 8 1 3 - 5 Januari 1999 Pasal 20 Undang-undang No 2 Ta5 3 2 6 Februari 1999 hun 1992 tentang Usaha Perasuransian 9 1 - 5 7 Maret 1999 selanjutnya disebut Undang-undang Per asuransian/UUP mengatakan: 3 1 4 3 8 April 1999 (1) “Dengan tidak mengurangi berlaku8 2 1 - 9 Mei 1999 nya ketentuan dalam Peraturan Ke9 5 4 10 Juni 1999 pailitan, dalam hal terdapat penca 5 1 5 1 11 Juli 1999 butan izin usaha sebagaimana 11 1 6 2 12 Agustus 1999 dimaksud dalam Pasal 18, maka 10 1 4 5 13 September 1999 menteri, berdasarkan kepentingan 13 3 7 1 14 Oktober 1999 umum dapat memintakan kepada 12 3 5 2 15 November 1999 Pengadilan agar perusahaan yang 7 1 5 1 16 Desember 1999 bersangkutan dinyatakan pailit. 5 2 2 2 17 Januari 2000 (2) Hak pemegang polis atas pembagian 9 1 1 1 1 18 Februari 2000 harta kekayaan perusahaan yang di8 1 3 1 19 Maret 2000 likuidasi merupakan hak utama”. 6 2 1 2 20 April 2000 Apabila suatu Perusahaan Asuran si telah dicabut izin usahanya, maka 9 4 3 3 1 21 Mei 2000 kekayaan perusahaan tersebut perlu dil6 1 1 1 1 22 Juni 2000 indungi agar para pemegang polis tetap 8 5 2 1 - 23 Juli 2000 dapat memperoleh haknya secara pro8 1 4 2 - 2 24 Agustus 2000 porsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri 190 42 74 6 36 3 Jumlah Keuangan diberi wewenang berdasarkan Undang-undang Perasuransian *PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) untuk meminta pengadilan agar PeruSumber: Bagian Administrasi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, 15 September 2000 sahaan Asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan YANG BERWENANG MENGAJUKAN PERMOHONAN PAILIT TERperusahaan tidak dipergunakan untuk HADAP ASURANSI kepentingan Pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Pasal 1 Undang-undang Kepailitan mengatakan; Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan per(1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak mem- mintaan pailit tersebut, maka Menteri Keuangan dapat mencegah berbayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat di- langsungnya kegiatan tidak sah dan perusahaan yang telah dicabut izin tagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang usahanya, sehingga kemungkinan terjadi kerugian yang lebih luas pada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya masyarakat dapat dihindarkan. Dalam hal terjadi kepailitan, pemegang sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditur. polis mempunvai hak utama, artinya hak pemegang polis mempun(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat juga di- vai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lain, kecuajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum. ali dalam hal kewajiban untuk negara. sesuai dengan peraturan perun(3) Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan dang-undangan yang berlaku. pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Menurut penulis, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah (4) Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek, kepentingan bangsa dan negara, dan atau kepentingan masyarakat permohonan pernyataan pailit, hanya dapat diajukan oleh Badan luas, dan atau kepentingan pembangunan. Pengawas Pasal Modal”. Dalam konteks Kepailitan, kepentingan umum dapat timbul jika anUndang-undang Kepailitan, tidak membatasi berapa jumlah kreditor tara lain: untuk dapat mempailitkan debitor dan tidak juga memberikan batasan a. Debitor melarikan diri ; minimum jumlah piutang seorang kreditor yang dapat mengajukan perb. Debitor menggelapkan harta kekayaannya ; mohonan pailit. Pokoknya, apabila syarat substansial untuk mempailitc. Debitor mempunyai utang kepada bumn dan badan usaha lain kan debitor dapat dipenuhi, maka Pengadilan Niaga harus mempailitkan yang menghimpun dana dari masyarakat ; debitor tersebut. d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan Syarat substansial tersebut yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undana dari masyarakat luas ; dang-undang Kepailitan: Pertama, ada utang Kedua, utang tersebut telah e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak koperatif ; jatuh tempo dan dapat ditagih ; Ketiga, ada dua atau lebih kreditor. Yang menjadi masalah adalah siapakah yang berwenang untuk Berdasarkan Pasal I ayat (2) UUK, Kejaksaan demi kepentingan mempailitkan perusahaan asuransi demi kepentingan umum? Apakah umum dapat mengajukan permohonan pailit. Kejaksaan atau Menteri Keuangan? Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2000, tentang Pasal 20 ayat (1) UUP mengatakan : “Dengan tidak mengurangi ber-
42
VARIA ADVOKAT - Volume 05, Agustus 2008
Artikel lakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, ... dst”. Artinya adalah apabila diatur dalam Undang-undang Kepailitan, maka diberlakukanlah Undang-undang Kepailitan tersebut, namun apabila tidak diatur dalam Undang-undang Kepailitan, maka diberlakukanlah Undang-undang Perasuransian untuk mempailitkan perusahaan asuransi demi kepentingan umum. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUK jo. Pasal 1 PP. No. 17 Tahun 2000, maka Kejaksaanlah yang berwenang demi kepentingan umum mempailitkan perusahaan asuransi, apabila tidak ada pihak yang mempailitkannya. Dalam hal Menteri Keuangan hendak mempailitkan perusahaan asuransi demi kepentingan umum, maka Menteri Keuangan meminta Kejaksaan untuk mempailitkan. Jika ada pihak, baik orang perseorangan maupun badan hukum mempailitkan perusahaan asuransi, hal tersebut dapat saja dilakukan sesuai Pasal 1 ayat (1) UUK jo. Pasal 2 ayat (2)b PP. No. 17 Tahun 2000. Jadi potensi mempailitkan perusahaan asuransi dapat muncul atas inisiatif Kejaksaan demi kepentingan umum dan atau atas inisiatif kreditor/pemegang polis asuransi. PENGERTIAN UTANG Dalam praktek beracara di Pengadilan Niaga selama ini, timbul masalah mengenai “apa yang dimaksud dengan utang” dalam kaitannya dengan persyaratan substansial untuk mempailitkan debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan. Masalah tersebut timbul, karena tidak ada batasan pengertian/defenisi mengenai “apa yang dimaksud dengan utang” dalam undang-undang tersebut, sehingga timbul berbagai pendapat dengan argumentasi masing-masing. Menurut Penulis ada dua aliran yang memberikan pengertian tentang utang. Pertama, aliran sempit, mengartikan utang adalah kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dan penjanjian utang-piutang (perjajian kredit) saja, yaitu berupa utang pokok dan/atau bunganya. Kedua, aliran luas, berpendapat bahwa utang adalah bukan saja kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian utang-piutang saja, tetapi juga kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dan perjanjian atau undang-undang”. Aliran sempit dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung No. 03 KIN/1998, dalam perkara PT. Modernland Realty Ltd., dkk., melawan Drs. Husein Sani, dkk mengatakan : “Pengertian “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 harus diartikan dalam konteks pemikiran Konsiderans tentang maksud diterbitkannya undang-undang tersebut dan tidak dapat dilepaskan kaitan dari padanya. Sehingga karenanya tidak meliputi bentuk wanprestasi lain yang tidak berawal pada konstruksi hukum pinjam meminjam uang”. Mahkamah Agung dalam perkara tersebut berpendapat bahwa yang dimaksud dengan utang adalah uang yang timbul dari perjanjian pinjam meminjam uang saja. Aliran luas dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung berikut ini: 1) Putusan No. 04 K/N/1999, dalam perkara PT. Jawa Barat Indah melawan Sumeini Omar Sandjaya, dkk., mengatakan: “Utang adalah suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu yang timbul karena perjanjian perikatan atau undang-undang, termasuk tidak hanya kewajiban debitor membayar, akan tetapi juga hak kreditor menerima dan mengusahakan pembayaran”. 2) Putusan No. 18 K/N/1999, dalam perkara PT. Mustika Bukit Kencana melawan Tekman Koentjoro Njoto, mengatakan : Pengertian utang adalah utang baik yang timbul karena undang-undang maupun karena perikatan, yaitu segala bentuk kewajiban debitor yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menganut aliran luas dalam meng artikan utang. Hal ini dapat dilihat dari putusan No.62/PAILIT/1999/ PN.NIAGA/JKT.PST., dalam perkara Royal Bank of Canada (Asia) Ltd., melawan PT. Ometraco Corporation mengatakan: ”Yang dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kerditor untuk mendapatkan pembayarannya dari harta kekayaan debitor”. Selain pengertian utang dalam arti luas seperti yang didefinisikan dalam putusan tersebut, dapat juga dilihat dalam putusan lainnya, walaupun tidak diberikan definisi utang, yaitu dalam putusan No. 07/PAIL-
VARIA ADVOKAT - Volume 05, Agustus 2008
IT/1998/PN.NIAGA/JKT.PST., dalam perkara Drs. Husein Sani, dkk., melawan PT. Modernland Realty Ltd., dan putusan No. 27/PAILIT/1998/ PN.NIAGA/JKT.PST., dalam perkara Sumeni Omar Sandjaya, dkk., melawan PT. Jawa Barat Indah. Apabila dikaji Pasal 37, 38, 39, 237 Undang-Undang Kepailitan dan Pasal 1139, 1149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), kedua undang-undang ini menganut aliran luas dalam mengartikan utang. Harga barang yang belum dibayar pembeli, uang sewa yang belum dibayar penyewa, upah buruh yang belum dibayar majikan, pajak yang belum dibayar oleh wajib pajak, dan lain-lain, dapat dikategorikan sebagai utang menurut kedua undang-undang tersebut. Henry Campbell Black, mengatakan: Debt. A sum of money due by certain and express agreement. A specified sum of money owing to one person from another, including not only obligation of debtor to pay but right of creditor to receive and enforce payment. A fixed and certain obligation to pay money or some other valuable thing or things, either in the present or in the future. In a still more general sense, that which is due from one person to another, wheter money, goods, or services. In a broad sence, any duty to respond to another in money, labor, or services; it may even mean a moral or honorary obligation, un enforcetable by legal action. Also, sometimes an aggregate of separate debts, or the total sum of the existing claims against a person or company. A. Abdurrachman, mengatakan : Utang (debt) ialah sesuatu yang diutangkan seseorang kepada orang lain, termasuk uang, barang-barang, atau jasa-jasa. Kontroversi tentang defenisi utang berakibat kepada kewenangan Pengadilan Niaga. Aliran sempit mengatakan, hanya utang yang timbul dan hubungan hukum utang-piutang yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga Sedangkan aliran luas mengatakan, selain utang yang timbul dari hubungan hukum utang-piutang, utang yang timbul dari perjanjian jual beli, sewa-menyewa, pemborongan, perburuhan, dan lainlain, juga merupakan kewenangan Pengadilan Niaga. STUDI/ANALISIS KASUS ASURANSI Penulis mengangkat dua kasus yang menyangkut perusahaan asuransi yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai bahan kajian dalam seminar ini. 1) Perkara No. 55/PAILIT/1999/PN.NIAGA.JKT.PST., China Trust Commercial Bank (Pemohon) melawan PT. Asuransi Jasa Indonesia (Termohon). Duduk Perkara. - Termohon adalah penjamin utang (guarantor) dan PT. Tripatria Citra Sarana (PT.TCS) yang mengeluarkan Surat Sanggup Atas Bawa (Global Note) sejumlah US $ 50,000,000.00 berdasarkan Akta Penjaminan tanggal 6 Mei 1997, sedangkan Pemohon adalah pemegang sebagian dari Surat Sanggup yakni US $ 5,000,000.00 ; - Termohon telah melepaskan hak istimewanya berdasarkan Pasal 1832 KUHPerdata ; - Termohon juga mempunyai kreditor lain yaitu: 1. Sanwa International Finance Limited ; 2. Agricole Indosuez ; 3. IBJ Leasing ; 4. MTB Leasing ; 5. Shinhan Finance ; 6. BNI Cabang New York ; - Utang Termohon kepada Pemohon jatuh tempo tanggal 6 Nopember 1998; - Petitum Pemohon supaya Termohon dinyatakan pailit; - Pemohon mengajukan bukti P.1 — P.15. Tanggapan Termohon. - Menolak semua dalil yang dikemukakan Pemohon dengan alasan. 1. Surat Kuasa Pemohon tidak sah ; 2. Surat Kuasa diberikan oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan ; 3. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa perkara ini; 4. Perjanjian antara Pemohon dan Termohon batal demi hukum karena mengandung unsur Unconscionability ; 5. Pemohon tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit ;
43
Artikel 6. Permohonan Pailit bertentangan dengan asas kepentingan umum ; 7. Permohonan Pailit bertentangan dengan Pasal 6 ayat (3) UUK ; - Permohonan pailit Pemohon tidak memenuhi unsur Pasal 1 ayat (1) UUK; - Termohon mengajukan bukti T. I — T.5. Putusan dan Pertimbangan Hukum Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga menolak permohonan Pemohon dengan alasan. - Perkara ini memerlukan pembuktian yang rumit dan teliti sehingga tidak dapat diselesaikan melalui Pengadilan Niaga tetapi melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri; - Tidak ada kreditor dan atau Pemohon yang berkualitas sebagai Kreditor. Putusan dan Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung. Dalam putusan No. 033 K/N/1999 di tingkat kasasi, menolak permohonan kasasi dan China Trust Commercial Bank dengan alasan sebagai berikut: - Permohonan pailit tidak memenuhi syarat Pasal 6 ayat (3) UUK yang mensyaratkan pembuktian sederhana, sedangkan kasus ini pembuktiannya tidak sederhana sehingga harus dibuktikan di Pengadilan Negeri; - Termohon kasasi adalah perusahaan asuransi, sehingga ber dasarkan Pasal 1 ayat (14), Pasal 17 dan Pasal. 20 ayat (4) U.U. No. 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian, pernyataan pailit hanya dapat diajukan melalui Menteri Keuangan. Sehingga ada peraturan khusus dalam kepaiitan terhadap Perusahaan asuransi. Analisis Putusan - Pemohon tidak dapat membuktikan sebagai pemegang Surat Sanggup (Global Note). Bukti kepemilikan atas Surat Sanggup (bukti P-3 dan P-4) disangkal oleh Termohon dengan mengajukan bukti T-3 berupa perjanjian pembayaran yang mengatur pengalihan Global Note harus dilakukan secara hati-hati, sehingga kepemilikan Pemohon atas Global Note tersebut, harus dikuatkan dengan bukti-bukti lain. Karena bukti-bukti yang mendukung adanya utang yang diajukan oleh Pemohon di counter oleh Termohon dengan mengajukan bukti lain, sehingga pembuktiannya rumit dan tidak sederhana lagi sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (3) UUK, sehingga Pengadilan Niaga menolak permohonan pailit dan Pemohon: - Pengadilan Niaga tidak mempertimbangkan tanggapan Termohon mengenai asas kepentingan umum dikaitkan dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian ; Pasal 1 ayat (2) UUK mengatakan permohonan pailit dapat juga diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum. Jadi, apabila ada suatu perkara kepailitan yang menyangkut kepentingan umum, maka Kejaksaan-lah yang mengajukan permohonan pailit; Permohonan pailit baru dapat diajukan oleh Kejaksaan, apabila belum ada orang yang mempailitkan debitor tersebut. Namun sampai sekarang belum ada permohonan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum; - Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Niaga yang menolak permohonan pailit dan Pemohon. 2) Perkara No. 48/PAILIT/2000/PN.NIAGA/JKT.PST. Frederick Rachmat (Pemohon) melawan PT. Wataka General Insu rance/WGI (Termohon). Duduk Perkara - Termohon adalah sebagai penjamin utang dan PT. Cipeles Harum Sentosa (CHS) PT. CHS telah membuat 6 (enam) perjanjian kerjasama modal dengan Pemohon tanggal 12 Desember 1997. Pemohon adalah pemegang Surety Bond yang dituangkan dalam perjanjian. Ke enam perjanjian tersebut telah jatuh tempo tanggal 30 Juni 1998 ; - Termohon sebagai penjamin telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda pihak yang dijamin, lebih dahulu disita dan dijual guna melunasi utangnya (Pasal 1832 KUHPerdata) ; - Jumlah utang Termohon kepada Pemohon berdasarkan Surely Bond (jaminan pembayaran uang) Rp. 579.427.000,- ; - Selain kepada Pemohon, Termohon juga berutang kepada kreditor lain: 1. PT. Inti Manunggaling Wargo ; 2. PT. Cipta Daya Guna Mandiri. - Petitum Pemohon agar Termohon dinyatakan pailit ; - Pemohon mengajukan bukti P.1 — P.41, dan untuk kreditor lain, buktinya KL 1.1- KL 1.9 serta KL II.1- KL II.12. Tanggapan Termohon - Menolak permohonan pailit dan Pemohon ; - Termohon tidak mempunyai utang secara langsung kepada Pemohon; - Termohon mengajukan bukti T. 1 — T.5.
44
Putusan dan Pertimbangan Hukum Pengadilan Niaga. - Menyatakan PT. WGI, pailit dengan pertimbangan sebagai berikut: • Termohon telah melepaskan hak istimewanya sesuai bukti P.19 — P.25 sehingga Pemohon dapat langsung mengajukan pailit terhadap Termohon ; • Semua unsur Pasal 1 ayat (1) UUK telah terpenuhi dan terbukti. Putusan dan Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Pada tingkat Kasasi dengan putusan No. 029 K/N/2000, Permohonan Kasasi dan PT. WGI, ditolak. Artinya, PT. WGI tetap pailit dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam memutus perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang. Analisis Putusan - Dalam perkara tersebut yang menjadi masalah adalah apakah Penjamin (Guarantor) dapat langsung di pailitkan tanpa mempailitkan terlebih dahulu debitor (utama)? ; - Penjamin terdiri dari Penjamin Pribadi (Personal Guarantee) dan Penjamin Perusahaan (Corporate Guarantee); - PT. WGI (Termohon) sebagai penjamin utang dan PT. CHS dapat langsung dipailitkan tanpa mempailitkan terlebih dahulu PT. CHS, apabila PT. WGI telah melepaskan hak istimewanya sesuai dengan Pasal 1832 KUHPerdata, atau boleh juga sekaligus mempailitkan dua-duanya; yaitu: PT. CHS sebagai debitor utama selaku Termohon 1 dan PT. WGI sebagai Penjamin selaku Termohon 2; Dalam hal PT. WGI sebagai Penjamin tidak melepaskan hak istimewanya, maka ia dapat menuntut supaya aset debitor lebih dahulu disita dan dijual (Pasal 1832 ayat (1) KUHPerdata) dan meminta pemecahan utang apabila ada beberapa penjamin (Pasal 1837 KUHPerdata); - Pasal 1820 KURPerdata mengatakan “Penanggungan/penjaminan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, apabila debitor tidak memenuhinya”. - Penjamin (Guarantor) dapat menjadi debitor apabila : 1. Debitor (utama) wanprestasi, lalu asetnya dijual, namun hasilnya belum cukup untuk melunasi utangnya. Untuk memenuhi kekurangan itu adalah kewajiban Penjamin ; 2. Guarantor melepaskan hak-hak istimewanya yaitu: 1) Menuntut supaya aset debitor lebih dahulu disita dan dijual ; 2) Meminta pemecahan utang, apabila ada beberapa Penjamin. - Baik di tingkat pertama, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, maupun di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung, Termohon PT. WGI tetap dinyatakan pailit ; - Pengadilan Niaga mengatakan, karena Termohon telah melepaskan hak istimewanya dan seluruh syarat substansial dari Pasal 1 ayat (1) UUK telah terpenuhi dan terbukti, maka Termohon dinyatakan pailit.: - Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat karena dianggap putusannva tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang. KESIMPULAN DAN PENUTUP - Dari 190 (seratus sembilan puluh) perkara pailit yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ada 2 perkara yang menyangkut perusahaan asuransi sebagai Termohon ; Dalam perkara No. 55/PAILIT/1999/PN.NIAGA.JKT.PST., permohonan dari China Trust Commercial Bank untuk mempailitkan PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero), ditolak oleh Pengadilan, sedangkan dalam Perkara No.48/PAILIT/2000/PN.NIAGA. JKT.PST permohonan dari Frederick Rachmat, untuk mempailitkan PT. Wataka General Insurance, dikabulkan oleh Pengadilan ; - Potensi untuk mempailitkan perusahaan asuransi dapat muncul atas inisiatif Kejaksaan demi kepentingan umum dan atau atas inisiatif kreditor/pemegang polis; - Kejaksaan akan mengajukan permohonan pailit atas perusahaan asuransi, baik diminta oleh Menteri Keuangan maupun tidak, demi kepentingan umum, sepanjang orang lain tidak mengajukan permohonan pailit ; - Penjamin (guarantor) dapat Iangsung dipailitkan apabila ia telah melepaskan hak-hak istimewanya menurut Pasal 1832 KUHPerdata. * Penulis adalah dosen tetap pada LEMDIKLAD IKADIN. ** Makalah ini disampaikan dalam pendidikan LEMDIKLAT IKADIN.
VARIA ADVOKAT - Volume 05, Agustus 2008