02 RASIONALISME : TEORI TENTANG LEGITIMASI HADIRNYA MASYARAKAT NEGARA DAN HUKUM PENERTIBNYA Dalam sejarah pemikiran falsafati, datangnya abad 17 ditengarai sebagai datangnya abad ‘kelahiran kembali nalar (ratio, reason) manusia’, yang dalam istilah asingnya diistilahi the age of renaissance. Dikatakan demikian karena pada dan sejak masa itulah muncul dan berdominasinya kembali paham falsafati yang disebut ‘rasionalisme’. Rasionalisme – yang tak bisa dilepaskan dari asosiasinya dengan paradigma Galillean -- adalah suatu paham yang menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa alam gagasan dan kemampuan manusia mengembangkan potensi pikirannya -- dan bukan tradisi dan kepercayaan yang diikuti secara membuta – itulah yang harus dipercaya sebagai sumber pengetahuan manusia tentang dunia berikut isinya. Walaupun paham ini sebenarnya sudah pernah juga diutarakan oleh beberapa ahli filsafat pada jaman Yunani kuno, seperti Pythagoras dan misalnya, namun rasionalisme yang lebih mutakhir umumnya diasosiasikan dengan nama-nama ahli pikir yang hidup pada abad 17. Mereka ini antara lain René Descartes (1596-1650) dari Perancis, Baruch Spinoza (16321677) dari Belanda, dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dari Jerman. Ketiganya sama-sama berparadigma bahwa pengetahuan yang sejati tentang alam semesta ini hanya dapat diperoleh (pertama-tama!) lewat penalaran yang dituntun oleh logika. Dengan paham rasionalismenya itu, ketiganya sama-sama pula bereaksi terhadap tradisi pemikiran para penguasa yang selalu mendasarkan kebenaran pengetahuan pada otoritas para pemuka berikut tradisi-tradisi ajaran gereja yang selama ini mereka anut tanpa reserve macam apapun. Paham rasionalisme acapkali dilawankan dengan paham empirisme. Adapun yang disebut empirisme itu ialah paham yang mengedepankan keyakinan bahwa semua gagasan dan pengetahuan itu hanyalah boleh dikatakan berkebenaran apabila diawalmulakan dari pengalaman indrawi. Akan tetapi, lawan-melawankan seperti itu hanyalah terjadi pada asasnya saja. Seperti dinyatakan oleh Spinoza dan Leibniz, pada asasnya semua pengetahuan itu hanyalah bisa diperoleh melalui pendayagunaan nalar, bersaranakan prosedur logika yang deduktif, walaupun diakui oleh kedua pemikir ini bahwa dalam praktik – kecuali dalam matematika – upaya memperoleh pengetahuan dengan sepenuhnya menggunakan daya nalar akan sulit dilakukan. Demikianlah, pembedaan untuk seberang-menyeberangkan antara rasionalisme dan empirisme ini acapkali tak menghasilkan gambaran yang tajam. Orang masih saja bisa memperdebatkan apakah yang ada dalam gagasan manusia itu sebenarnya refleksi alam empirik sebagaimana yang terpersepsi melalui pancaindra, ataukah sebaliknya; bahwa yang tersimak itu sebenarnya tak lain daripada refleksi apa yang tengah ada di dalam gagasan. Tentang soal ini, Descartes pernah menyatakan bahwa pengetahuan yang sebenar-benarnya benar (seperti matematika!) hanya dapat diperoleh melalui jalan penalaran saja, walaupun keberhasilan mendapatkan pengetahuan yang lain (seperti misalnya fisika!) memerlukan pengalaman empirik. Dengan demikian, berbeda dengan matematika, fisika tak mungkin diperoleh melalui jalan logika semata melainkan memerlukan metode sains, ialah metode
yang mensintesiskan hasil penalaran (yang diperoleh lewat penyimpulan deduktif) dengan hasil observasi empirik (yang diperoleh lewat penyimpulan induktif). Teori Kaum Rasionalis Tentang Asal Masyarakat Dan Negara Pada era rasionalisme abad 17 ini jugalah lahirnya kembali pemikiran yang hendak mencoba menjelaskan asal muasal datangnya kehidupan bermasyarakat negara dan, lebih lanjut lagi, juga penalaran tentang dasar-dasar moral yang membenarkan hadirnya kekuasaan manusia atas sesama manusia. Diteorikan dalam suatu penalaran, bahwa terjadinya kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu tak ayal lagi berawal dari adanya apa yang dinamakan ‘kontrak sosial’, ialah perjanjian antar-individu yang menyepakatkan kehendak untuk hidup bersama dalam suatu organisasi negara. Bertolak dari paham rasionalisme, tak ayal lagi, ‘kontrak sosial’ adalah suatu konstruksi dalam alam pemikiran, dengan fungsinya sebagai dasar pembenar yang berperangai moral (rationale, reason of existence) tentang hadirnya kehidupan bernegara, dan tidak sebagai sebuah diskripsi tentang suatu kejadian dalam sejarah. Pada asasnya, ‘kontrak sosial’ adalah suatu fiksi, hasil teoretisasi di alam pemikiran, bahwa terbentuknya organisasi kehidupan bernegara, berikut lembaga-lembaga pemerintahannya, berasal dari kesediaan rakyat yang rasional untuk melepaskan sebagian dari hak-hak kebebasan kodratinya yang asasi, demi terselenggaranya kehidupan bersama yang tertib. Teori kontrak sosial ini menyiratkan adanya dasar moral pembenar bahwa kekuasaan para pejabat negara itu berasal tak dari sumber manapun knecuali dari persetujuan rakyat. Keterikatan rakyat pada segala bentuk aturan yang ditegakkan para pejabat kekuasaan negara, dengan demikian, akan termaknakan sebagai keterikatan atas dasar kedaulatan dan persetujuan mereka sendiri. Di sini terbangunlah konsep tentang terbatasinya kebebasan kodrati rakyat oleh suatu kekuatan yang tak lain daripada kebebasan rakyat itu sendiri, ialah kebebasan mereka untuk berkontrak sosial, yang termaknakan sebagai kebebasan untuk mengurangi kebebasan (sampai batas tertentu. Rasionalisme abad 17 yang mendasari teori terjadinya negara dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat, sebagaimana yang pada asasnya dipaparkan di muka ini, dikemukakan antara lain oleh Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), JeanJacques Rousseau (1712-1778), dan dengan simpulan yang berbeda-beda. Locke, dan kemudian juga Rousseau, disebut-sebut sebagai peletak dasar konsep demokrasi. Menurut kedua pemikir teori kontrak sosial ini, yang disebut ‘rakyat’ itu tak lain daripada sekumpulan individu-individu yang kesepakatan kontraktualnya tak begitu saja dimaknakan sebagai kesediaan untuk berserah diri dan melepaskan kebebasan individualnya secara total kepada sang penguasa. Penguasa adalah pejabat yang mengemban mandat rakyat untuk menjaga dan menjamin hak-hak rakyat yang asasi, yang manakala disalahgunakan akan memberikan hak kepada rakyat untuk mencabut mandat itu, kalau perlu dengan paksa: revolusi! Sama-sama bertolak dari teori kontrak sosial, tidak demikian halnya dengan apa yang disimpulkan dan diyakini oleh Hobbes. Berbeda dari Locke dan Rousseau, Hobbes justru tiba pada simpulan yang memberikan dasar pembenar pada model pemerintahan yang otokratik. Menurut Hobbes, yang hidup seabad sebelum Rousseau, dalam “keadaan alami sebelum terbentuknya masyarakat negara” setiap individu manusia akan berkebebasan secara tanpa batas. Dalam kehidupan natural-state itu, setiap individu manusia memiliki kebebasan untuk berbuat macam apapun dan/atau untuk menghaki objek macam apapun juga. Kebebasan tanpa batas seperti itu, wajarlah kalau akan berkonsekuensi pada terjadinya
perkelahian oleh semua terhadap semua, bellum omnium contra omnes, dan setiap manusia akan berlaku sebagai serigala bagi sesamanya; homo homini lupus! Maka ... Maka, demikian menurut penalaran Hobbes, situasi yang tidak menguntungkan itu hanya akan dapat diatasi apabila manusia-manusia -- yang masing-masing berkebebasan dalam keadaan alami itu – bersedia membentuk suatu komunitas politik lewat suatu kontrak sosial. Lewat kontrak sosial itu, individu-individu manusia akan dapat menikmati hakhaknya sebagai warga komunitas, asal saja mereka bersedia untuk berlaku patuh pada hukum yang berhakikat sebagai hasil kesepakatan kontraktual, dan juga untuk tunduk mutlak kepada penguasa yang bertugas menegakkan hasil kesepakatan kontraktual. Karena sang penguasa ini berposisi sebagai pihak ketiga yang bukan partisipan kontrak sosial, maka sang penguasa ini tak akan sekali-kali terikat pada kontrak sosial tersebut. Dari sinilah datangnya simpulan Hobbes, sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Leviathan, bahwa kontrak sosial -- yang bertujuan menjaga tertib sosial dengan memberikan mandat penuh kepada penguasa itu -- akan membenarkan penyelenggaraan pemerintahan otokratik yang absolut. Tentang Hak Dan Jaminan Perlindungan Hak Warga Teori kontrak sosial – yang lebih beresensikan upaya menemukan dasar pembenar yang rasional bagi eksistensi negara dan hak-hak warganegara (daripada merupakan upaya untuk mendiskripsikan terbentuknya kehidupan bernegara sepanjang proses kesejarahannya yang faktual) – menyatakan bahwa hak pada hakikatnya adalah kebebasan warga untuk berbuat apapun demi terselenggaranya kehidupan pribadi yang sejahtera. Hak macam ini dinyatakan bersifat kodrati, yang oleh sebab itu – menurut nalarnya -- tidak berasal dari sumber manapun kecuali dari kodrat kelahiran manusia sebagai manusia itu sendiri. Kontrak sosial bukanlah sumber hak, melainkan “hanya” postulat yang bermaksud menegaskan saja adanya hak kodrati warga yang asasi, yang dalam kehidupan bernegara tetap terlindungi dan dijamin tidak akan diingkari oleh sesiapapun. Hak yang dimiliki warganegara berkat kelahirannya sebagai manusia adalah hak kodrati yang secara asasi bersifat mutlak, yang oleh sebab itu tidak akan bisa dibenarkan (atas dasar alasan apapun!) untuk dikurangi ataupun diambil-alih, apalagi dirampas. Kontrak sosial “hanyalah” kesepakatan tentang cara dan sarana yang diputuskan guna menjamin bagaimana hak tetap bisa dilindungi dan bagaimana kekuasaan publik bisa dibentuk demi terlindunginya hak-hak manusia dalam statusnya sebagai warganegara itu. Kontrak sosial adalah kesepakatan yang rasional untuk menentukan seberapa luas kebebasan warga (yang pada asasnya tak terbatas) dan di lain pihak seberapa besar kewenangan pejabat negara (yang pada asasnya terbatas). Bertolak dari hasil penalaran bahwa hak-hak itu diperoleh dari kesepakatan kontraktual, maka mereka yang melanggar kesepakatan – misalnya melakukan kejahatan yang berhakikat melanggar hak orang lain – harus dianggap telah meninggalkan kesepakatan, dan dengan demikian juga kehilangan haknya (untuk sementara ataupun untuk seterusnya), dan akan serta merta akan mendapat hukuman. Menjadi warga masyarakat-negara tidaklah cuma akan memperoleh jaminan perlindungan hak-haknya sendiri akan tetapi juga dibebani kewajiban untuk menjamin hak-hak warga yang lain. Dari sinilah datangnya kepahaman bahwa hak seseorang akan berkonsekuensi pada datangnya kewajiban pada orang lain, dan sebaliknya, bahwa kewajiban seseorang itu merupakan konsekuensi pengakuan seseorang warga peserta perjanjian tentang adanya hak orang lain.
Konstitusi Dan Konstitusionalisme Dalam konsepnya yang lebih kongkrit-faktual, seperti yang kita temui dalam kajiankajian ilmu hukum yang mendasarkan diri pada paham pasca-rasionalisme yang disebut positivisme, ‘kontrak sosial’ adalah suatu proses perjanjian dan kesepakatan yang melahirkan apa yang disebut ‘konstitusi’. Adapun yang disebut ‘konstitusi’ dalam konsepnya “yang modern” ini ialah tatanan yang menjadi bangunan dasar suatu organisasi negara, yang berfungsi sebagai rujukan normatif – yang akan memberikan dasar pembenar, baik secara moral maupun secara legal kepada -- segala aktivitas para pejabat pengemban kekuasaan negara. Suatu konstitusi – yang dalam tradisi hukum tatanegara negara-negara Eropa Kontinental lebih dikenali sebagai undang-undang dasar, yang oleh sebab itu selalu tertulis -menetapkan batas-batas kewenangan setiap institusi dan mengatur hubungan kewenangan antara lembaga-lembaga negara, seperti antara lain antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudisial. Batas-batas kewenangan yang dinyatakan secara normatif dalam dan oleh konstitusi itu sesungguhnya tak hanya dimaksudkan untuk menyeimbangkan besaran kekuasaan masing-masing lembaga negara terhadap sesamanya, akan tetapi juga untuk menegaskan batas-batas kewenangan lembaga-lemabaga negara tersebut di hadapan hak kebebasan warganegara. Demikianlah ajarannya, bahwa apabila lembaga-lembaga negara itu – baik terhadap sesamanya maupun di hadapan hak warganegara – pada asasnya terbatas, sedangkan hak-hak konstitusional warganegara (yang dinalar sebagai bagian dari hak kodrati) pada asasnya tidak terbatas. Pembatasan, apabila diperlukan hanya bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan para warganegara sendir, lewat suatu proses ysng mestilah dilaksanakan dalam suasana yang bebas. Inilah asas atau ajaran atau paham ideologik yang disebut konstitualisme. Demikian itulah nalar paham konstitusionalisme dalam kajian hukum positif – yang merupakan derivasi dari paham filsafat rasionalisme tentang hak-hak kodrati manusia – bahwa sekalipun menurut kodrat alaminya setiap individu manusia itu dilahirkan sebagai makhluk yang berkebebasan penuh (on nee libre, kata Rousseau) tetapi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu manusia itu terikat di mana-mana (mais ils sont dans suffrage partout, kata Rousseau pula), dengan catatan bahwa keterikatan itu datangnya dari manusia yang menurut kodratnya pula bisa berkehendak bebas itu. Dari rasionalitas seperti ini, dapatlah dinyatakan bahwa kebebasan manusia, juga untuk mengikatkan diri, itulah yang menentukan besar-kecilnya keterikatannya itu. Dengan perkataan lain, keterikatan itulah yang merupakan fungsi kebebasan, dan bukan sebaliknya. Karena konstitusi itu sesungguhnya bukan cuma merupakan sehimpunan aturan formal yang tertulis sebagai hukum undang-undang belaka, melainkan suatu ide dan ideologi, maka setiap konstitusi harus dikaji tidak sebatas membaca apa yang dituliskan di situ. Setiap konstitusi harus dikaji dengan kemahiran membaca ide hukum yang terkandung di dalamnya, ialah rasionale yang mendasari kebenaran suatu konstitusi. Suatu konstitusi yang dibentuk tanpa berawalkan proses politik yang memfasilitasi ... warganegara untuk secara bebas menyepakatkan isi sebuah konstitusi akan mendegradasi setiap konstitusi menjadi tak lebih daripada suatu dokumen yang hanya memuat huruf-huruf mati yang tak bermakna belaka. Dari paradigma konstitusionalisme ini pulalah datangnya penjelasan mengapa suatu konstitusi hanya bisa disebut ‘konstitusi dalam arti yang sebenarnya’ apabila konstitusi itu berasal dari kesepakatan warga dan kemudian daripada itu juga berisikan jaminan akan terlindunginya hak-hak kebebasan warga yang asasi dalam kehidupan bernegara. Adapun yang dimaksud dengan kebebasan – dalam maknanya sebagai hak-hak manusia warganegara yang asasi – di sini ini ialah hak-hak mereka untuk ikut berpolitik dalam urusan
ketatanegaraan dan ketatapemerintahan, seperti antara lain untuk berorganisasi, untuk berpendapat, dan juga untuk ikut dalam proses pemilihan untuk memilih dan dipilih. Dalam perkembangan yang lebih kemudian, yang dimaknakan sebagai ‘hak yang asasi akan kebebasan’ ini tak lagi hanya ‘kebebasan untuk (freedom to)’ akan tetapi juga ‘terbebas dari (freedom from)’, seperti misalnya terbebas dari kemiskinan dan/atau terbebas dari rasa ketakutan.
Rasionalisme Versus Saintisme Rasionalisme menjelaskan ihwal terbentuknya kehidupan bernegara dari suatu fiksi tentang eksistensi manusia yang diberkati kebebasan karena kodrat kelahirannya sebagai manusia. Rasionalisme memang bukan saintisme. Berbeda dengan rasionalisme, saintisme selalu menuntut agar setiap pernyataan, demi kebenaran, haruslah didasari bukti-bukti empirik. Saintisme menolak simpulan kaum rasionalis tentang asal muasal kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena selama ini tak pernah ada bukti-bukti sejarah dan prasejarah mengenai adanya kehidupan manusia “pra-kontrak sosial”, di mana tak dikenal adanya hubungan atau ikatan sosial macam apapun. Penjelasan saintifik justru didapati pada belahan akhir abad 19 ketika teori evolusi selesai dihipotesiskan oleh Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace, dengan benar-benar kemungkinan terjadinya mutasi gen oleh Georg Mendel. Garis perkembangan evolusi biologik, dan kemudian juga evolusi kehidupan bermasyarakat, berarah dari pangkal eksistensi makhluk-makhluk dari tahap prototipikal yang terdiri dari satuan-satuan yang masing-masing berciri ‘kecil dalam hal ukurannya, homogen dalam hal struktur dan fungsinya, serta independen dalam hal eksistensinya’ ke tahapnya yang baru, yang ‘berukuran besar, berstruktur heterogen, dan berkeadaan interdependen’. Analog dengan perkembangan evolusioner dalam alam kehidupan biologik, salah seorang perintis teori ilmu pengetahuan sosial bernama Emil Durkheim, dalam bukunya yang berjudul De La Division Du Travaille memaparkan suatu simpulan bahwa kehidupan bermasyarakat manusia berikut tertib hukumnya dapat pula dihipotesiskan sebagai hasil perkembangan evolusi biologik. Pada tahap kehidupan bermasyarakat yang lebih awal, yang dikatakan masih berada pada tahap ‘bersolidaritas mekanik’, masyarakat itu tertengari berkenyataan ‘kecil dalam hal ukurannya, homogen dalam hal struktur dan fungsinya, serta independen dalam hal eksistensinya’. Evolusi masyarakat, berseiring dengan terjadinya pembagian kerja yang kian terspesialisasi, bergerak secara pasti dari tahap awal yang dikatakan bersolidaritas mekanik ke tahap berikutnya yang dikatakan bersolidaritas organik. Inilah tahap lanjutan yang tertengarai berkenyataan ‘lebih besar dalam hal ukurannya, lebih heterogen dalam hal struktur dan fungsinya, serta lebih interdependen dalam hal eksistensinya’. Demikianlah penjelasan Durkheim, bahwa pembagian kerja dalam organisasi kehidupan manusia telah menggerakkan perkembangan masyarakat manusia dari wujudnya, dari wujudnya yang simpleks ke kehidupan agregatief yang lebih kompleks. Dalam seabad sepeninggal Durkheim kita menyaksikan bagaimana kehidupan bermasyarakat manusia berkembang, dari wujudnya sebagai dusun-dusun kecil ke wujudnya yang mutakhir sebagai struktur kehidupan kota yang lebih heterogen, untuk terus berlanjut sepanjang sejarah ke agregasi-agregasi yang lebih berunglingkup luas, mula-mula dalam wujud satuan-satuan negara nasional, untuk kemudian berlanjut ke interdependensi yang regional dan bahkan global. Memang Durkheim tidak pernah secara eksplisit meramalkan secara ekplisit akan terjadinya proses globalisasi, dengan interdependensi antar-bangsa yang amat berkelanjutan,
namun, apabila dikaji dengan benar, teori evolusi sosial Durkheim secara diam-diam telah meramalkan terjadinya transformasi yang tidak terbayangkan seabad sebelumnya dalam kehidupan umat manusia sejagad [**].