PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DARI DILUSI MEREK DI INDONESIA
Penulis: Penulis I: Erikson Aritonang Penulis II: Agus Sardjono
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
ABSTRAK Nama
: Erikson Aritonang
Program Studi : Ilmu Hukum Judul
: Perlindungan Merek Terkenal Dari Dilusi Merek Di Indonesia
Skripsi ini membahas mengenai perlindungan merek terkenal dari Dilusi Merek di Indonesia. Adanya Dilusi Merek merupakan perluasan perlindungan bagi merek Terkenal. Tidak adanya pengaturan secara tegas dan khusus mengenai Dilusi Merek di Indonesia membuat adanya ketidakpastian bagi hakim dalam memutus perkara pada sengketa merek terkenal terhadap barang yang tidak sejenis. Suatu sengketa merek yang seharusnya dapat diselesaikan melalui Dilusi Merek akhirnya diselesaikan melalui Pelanggaran Merek biasa. Padahal secara nyata bahwa Dilusi Merek berbeda dengan Pelanggaran Merek pada umumnya. Sejauh ini hakim dalam memutus sengketa merek tidak sejenis menggunakan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal 6 ayat (2) sendiri masih perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Ketiadaan PP sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 membuat hakim tidak memiliki pedoman yang tetap dalam memutus sengketa merek terkenal tidak sejenis. Ketentuan mengenai merek terkenal juga belum diatur secara jelas dan utuh yang merupakan salah satu unsur utama agar suatu merek dapat dilindungi dari Dilusi Merek
Kata Kunci: Dilusi Merek, Merek Terkenal, Pelanggaran Merek.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
ABSTRACT Nama
: Erikson Aritonang
Program Studi : Ilmu Hukum Judul
: Perlindungan Merek Terkenal Dari Dilusi Merek Di Indonesia
This thesis discusses the protection of Well-Known mark from Trademark Dilution in Indonesia. Trademark Dilution is an extension of protection for Well-Known Mark. The absence of forcefully and specifically regulation about Trademark Dilution in Indonesia cause the uncertainty for the judge in deciding the case of well-known mark dispute especially on dissimilar goods. A trademark dispute that should have been resolved in Trademark Dilution is resolved through trademark infringement instead. Whereas, it is obvious that Trademark Infringement and Trademark Dilution are different in general. So far the judge in deciding well-known mark dispute on dissimilar goods use Article 4 and Article 6, paragraph (2) of Law Number 15 of 2001 about Trademark. Article 6, paragraph (2) itself still needs to be further regulated in Government Regulation. The absence of Government Regulation as mandated in Article 6 paragraph (2) of Law Number 15 of 2001 cause the judge does not have persistent guidelines in deciding well-known mark dispute on dissimilar goods. The provision about well-known mark also has not clearly defined and intact, which is one of the main elements for a mark in order that a mark can be protected under Trademark Dilution.
Keywords: Trademark Dilutiom, Well-Known Trademark, Trademark Infringement
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Pendahuluan Latar Belakang Persaingan usaha yang semakin ketat telah membuat para pelaku usaha berpikir dengan keras agar hasil produksinya dapat laku di pasar. Berkaitan dengan permasalahan ini, merek yang merupakan salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI), menjadi salah satu faktor penunjang kesuksesan para pelaku usaha. Di sini merek memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai pembeda antara produk satu dengan produk lainnya dalam hal asal-muasal dan kualitas dari suatu produk.1 Kadangkala, yang membuat suatu produk barang atau jasa menjadi mahal bukanlah produk itu sendiri, melainkan merek yang melekat pada produk tersebut. Persaingan usaha yang semakin ketat telah membuat para pelaku usaha berpikir dengan keras agar hasil produksinya dapat laku di pasar. Berkaitan dengan permasalahan ini, merek yang merupakan salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI), menjadi salah satu faktor penunjang kesuksesan para pelaku usaha. Di sini merek memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai pembeda antara produk satu dengan produk lainnya dalam hal asal-muasal dan kualitas dari suatu produk.2 Kadangkala, yang membuat suatu produk barang atau jasa menjadi mahal bukanlah produk itu sendiri, melainkan merek yang melekat pada produk tersebut. Dalam perkembangannya, suatu merek terkenal juga memerlukan tambahan perlindungan hukum dibandingkan dengan merek tidak terkenal. Hal ini merupakan sebagai penghargaan yang diberikan kepada pemilik merek terkenal atas reputasi/goodwill yang telah dibangun dan memerlukan waktu dan uang yang banyak. Sebelumnya dikemukakan, bahwa unsur
utama
dalam
suatu
pelanggaran
merek
adalah
adanya
kemungkinan
kebingungan/penyesatan. Namun, dalam beberapa kasus merek tidak terdapat adanya unsur kemungkinan kebingungan, akan tetapi tetap terjadi kerugian bagi merek tersebut sebagai akibat dari penggunaan tanpa izin dari pihak lain. Perlindungan yang diberikan kepada suatu pemilik merek terkenal tersebut dikenal dengan konsep Dilusi Merek (Trademark Dilution). 1
R. M. Suryodiningrat, Pengantar Ilmu Hukum Merek, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1976), 7.
2
R. M. Suryodiningrat, Pengantar Ilmu Hukum Merek, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1976), 7.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Frank I. Schecter3 pada tahun 1927. Menurut Black’s Law Dictionary, dilution adalah:4 “The act or an instance of diminishing a thing’s strength or lessening its value; The Impairment of a famous trademark’s strength, effectiveness, or distinctiveness through the use of the mark on an unrelated product, usually blurring the trademark’s distinctive character or tarnishing it with an unsavory association. Trademark dilution may occur even when the use is not competitive and it creates no likelihood of confusion.” Berdasarkan definisi tersebut, dapat diartikan bahwa dilusi adalah penurunan nilai suatu merek (daya pembeda/keunikan) pada merek terkenal berupa pengaburan atau pencemaran sebagai akibat dari penggunaan merek tanpa izin oleh pihak lain pada produk yang berbeda kelas dan jenis, tanpa melihat adanya kebingungan tentang asal-usul suatu produk pada konsumen dan adanya persaingan atau tidak pada pasar. Dalam perkembangannya, dikenal dua jenis dilusi, yaitu pengaburan (blurring)5 dan pencemaran (tarnishment)6. Dalam beberapa sengketa merek terkenal atas barang/jasa yang tidak sejenis di Indonesia, salah satunya adalah kasus antara NOKIA vs NOK IIA. NOKIA adalah perusahaan multinasional dari Finlandia yang bergerak di bidang komunikasi dan teknologi informasi. Produk utamanya telepon seluler yang telah dikenal secara luas di dunia internasional oleh masyarakat umum. Sedangkan NOK IIA adalah perusahaan yang memproduksi segala jenis pakaian dan aksesorisnya. Dalam kasus ini, NOKIA sebagai Penggugat mengajukan gugatan pembatalan kepada Tergugat atas mereknya yaitu Merek 3
Frank I. Schechter, The Rational Basis of Trademark Protection, 40 Harv. L. Rev., 813 (1927): “The value of the modern trademark lies in its selling power (which) depends for its psychological hold upon the public, not merely upon the merit of the goods upon which it is used but equally upon its own … singularity: … such … singularity is vitiated or impaired by its use (by another); and … the degree of its protection depends in turn upon the extent to which through the efforts or ingenuity of its owner, it is actually unique and different from other marks … Dilution happens when uniqueness begins to end”. 4
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Eight Edition. (St. Paul, Minnesota: West Publshing,
2007). 5
”Blurring is a form of dilution in which good will in a famous mark is eroded through the mark’s unauthorized use by others on or in connection with dissimilar products or services; Lessening of the fame of possessed by a famous mark.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary. 6
“Tarnishment is a form of dilution that occurs when a trademark’s unauthorized use degrades the mark and diminishes its distinctive quality.” Lihat Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
NOK IIA yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek milik Penggugat. Kasus serupa juga terjadi pada sengketa Merek RAMADA dan Merek SPY. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Merek 20017, perihal perlindungan merek terkenal khususnya untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Berkenaan dengan hal ini, sebenarnya Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departermen Hukum dan HAM telah membuat suatu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Merek Terkenal. Namun rencana pengesahan RPP ini ditunda karena UU Merek 2001 akan mengalami perubahan lagi. Dengan demikian, untuk sengketa merek terkenal terhadap barang tidak sejenis terdapat kekosongan hukum bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa yang ada. Sistem hukum di Indonesia yang tidak menganut asas precedent membuat hakim tidak wajib mengikuti putusan-putusan terdahulu sehingga tidak memiliki patokan dalam menyelesaikan setiap sengketa merek tidak sejenis yang melibatkan merek terkenal. Perlindungan merek terkenal dari Dilusi Merek (Trademark Dilution) telah diatur di beberapa negara seperti Amerika Serikat. Namun di Indonesia, ketentuan mengenai Dilusi Merek tidak diatur secara tegas dan khusus padahal terdapat beberapa sengketa merek yang bisa dilindungi dari Dilusi Merek. Sejauh ini, dalam memberikan perlindungan merek terkenal dari dilusi merek, hakim berpatokan pada Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (2) UU Merek 2001. Pasal 6 ayat (2) sendiri masih terdapat kekosongan hukum karena PP yang diamanatkan sampai saat ini juga belum diundangkan sehingga hakim tidak mempunyai pedoman yang tetap dalam memutus sengketa merek yang dimaksud. Hal ini juga menjadi diskusi karena pelanggaran merek sendiri berbeda dengan konsep Dilusi Merek.8 Hal tersebut yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perlindungan hukum bagi pemilik merek terkenal dari Dilusi Merek (Trademark Dilution). Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis akan membatasi ruang lingkup pokok permasalahan yang akan dibahas dan diteliti lebih lanjut yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi Persetujuan TRIPs dalam UU Merek di Indonesia mengenai konsep dilusi (dilution theory)? 7
Indonesia, UU Merek 2001, Pasal 6 ayat (2). “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” 8
Lebih lanjut, lihat hal 27 Skripsi ini.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
2. Apakah hakim dalam kasus (Kasus Merek RAMADA, Kasus Merek NOKIA, Kasus Merek SPY) telah menerapkan doktrin dilusi secara benar? 1.1.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian terdiri dari dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.1.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perlindungan merek terkenal dari praktik dilusi di Indonesia. 1.1.2. Tujuan Khusus Adapaun tujuan khusus yang ingin dicapai penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menjelaskan bagaimana implementasi Persetujuan TRIPs dalam UU Merek di Indonesia mengenai konsep dilusi (dilution theory). 2. Mengetahui apakah hakim dalam kasus merek “RAMADA”, merek “NOKIA”, dan merek “SPY” telah menerapkan doktrin dilusi secara benar.
1.2.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif9 yang
berfokus pada penelitian menarik asas-asas hukum10 dan penelitian ini bersifat eksploratoris11. Penulis akan meneliti bagaimana implementasi Persetujuan TRIPs dan instrumen internasional yang terkait dalam UU Merek 2001 Indonesia mengenai konsep dilusi. Dalam penelitian penulis akan mengkaji perlindungan merek terkenal dari praktik dilusi yang diterapkan dalam sengketa-sengketa merek yang ada, yaitu sengketa merek 9
Penelitian normatif acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Amiruddin., Zainal, Asikinn, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), 118. 10
Penelitian ini dapat dilakukan untuk mencari asas hukum baik yang dirumuskan secara tersirat maupun tersurat dan penting untuk melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan. Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1 (Depok: Badan Penerbit FH UI, 2005), 10. 11
Penelitian eksploratoris didebut juga penelitian menjelajah yang bertujuan unuk mencari data awal tentang suatu gejala. Ibid., 4.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
“RAMADA”, merek “NOKIA”, dan merek “SPY”, yang mana akan digunakan dalam rangka membahas pokok permasalahan. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.12 Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen mengingat penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:13 a. Bahan Hukum Primer merupakan bahan-bahan hukum primer yang memiliki kekuatan mengikat terhadap masyarakat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Paris Convention for the Protection of Industrial Property, TRIPs Agreement, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 Mengenai Daftar Kelas Barang dan Jasa, yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai Merek dan bahan hukum primer lainnya. b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku mengenai Hukum Merek, jurnal baik nasional maupun internasional, artikel internet, dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan erat dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Black’s Law Dictionary.
12
Ibid., 6.
13
Ibid., 30.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Tinjauan Umum Merek Terkenal Dan Dilusi Merek Di Indonesia Ketika membicarakan merek, maka kita tidak akan terlepas dari pembicaraan mengenai merek terkenal. Dalam literatur ditemukan ada beberapa istilah asing untuk menyebut merek terkenal yaitu, “famous mark”, “well-known mark”, dan “renown mark”.14 Istilah-istilah tersebut memberikan tingkatan atas keterkenalan sebuah merek.15 Dalam bahasa Indonesia kata asing “well-known mark”, Sulit untuk mengetahui keterkenalan atau kualifikasi “well-known” dan definisinya masih diperdebatkan. Jepang misalnya, selain ada kualifiikasi “well-known” ada juga klasifikasi ”famous”. Ada yang mendefinisikan “wellknown” jika terdaftar di beberapa negara. Tapi, sampai sekarang ketentuan pasti definisi “well-known” itu belum ada. Di Indonesia pengertian “well-known” sama dengan famous, yaitu terkenal. “well-known mark” diartikan sebagai merek terkenal yang memiliki reputasi yang tinggi (higher reputation). Lambangnya memiliki kekuatan yang memukau dan menarik sehingga jenis barang apa saja yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan sentuhan keakraban (familiar attachment) dan ikatan mitos (mythical context) kepada segal lapisan konsumen. Famous Mark merupakan merupakan tingkat derajat merek tertinggi yang diartikan sebagai merek termashur. Beberapa istilah lain yang juga dipergunakan sebagai istilah untuk merek termashur adalah “highly renown mark” atau “notorious mark”.16 Istilah ini merupakan superlative dari well-known, yang berarti bahwa merek termashur mempunyai derajat yang lebih tinggi dibanding dengan merek biasa (normal mark).17 Seperti halnya Indonesia, tiap-tiap negara mempunyai pengertian sendiri atas merek terkenal berikut kriteria yang dimaksud sebagai merek terkenal. Namun pengertian yang dimaksud harus tetap mengacu terhadap peraturan-peraturan internasional mengingat perlindungan terhadap merek terkenal juga terkait dengan perlindungan terhadap merek terkenal pihak asing yang bukan warga negaranya saja. Selain itu, beberapa persetujuan 14
Istilah well-known mark dan famous mark mengacu pada merek terkenal, sedangkan istilah renown mark mengacu pada merek termahsyur, yang dianggap mempunyai tingkatan keterkenalan lebih tinggi dibanding merek terkenal. Lihat Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke Masa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), 23. 15
Ibid., 23.
16
Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), 82-83. 17 Ibid., 85-86.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
persetujuan internasional menghendaki anggota-anggotanya tunduk pada ketentuan yang sudah disepakati bersama. Selain apa yang sudah diatur oleh persetujuan internasional ataupun nasional, para sarjana/ahli hukum di bidang intelektual mencoba merumuskan pengertian dan batasan-batasan yang disebut sebagai merek terkenal. Berikut ini adalah kriteria-kriteria untuk sebuah merek dapat dianggap sebagai merek terkenal berdasarkan pendapat para ahli/sarjana hukum, antara lain: 1. Richard Heath, selain mengkategorikan 2 parameter yang disebut sebagai merek terkenal18 terdapat pula beberapa kriteria yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur sebuah merek terkenal. “Some of the possible criteria which were mentioned in the discussions are as follows but they are not necessarily exhaustive:” a. Market share; b. Inherent registrability; c. Acquired distinctiveness; d. The nature of the goods or services; e. The nature of the channels of trade; f. The duration and extent of use; g. The duration and the extent of publicity. 2. Menurut Yahya Harahap, kriteria merek terkenal antara lain:19 a. Menjadi idaman atau pilihan berbagai lapisan konsumen b. Lambangnya memiliki kekuatan pancaran yang menarik c. Didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut: -
Presentasi nilai pemasaran yang tinggi;
18
“Well-known marks and to what extent they should be protected”, the two basic approaches are either quantitative (based upon percentages of the relevant sector of public) or quantitive (based on evaluating value for the mark) but neither of these have been accepted as a possible basis for definitions. The quantitative approach is probably more realistic and in that, to paramameters must be defined. First, the relevant sector of the public. Second, the portion of that sector to which the mark must be well-known. For the first parameter, account must be taken of the nature of the goods or services to which the mark applies. For the second parameter, a criteria must be established concering the required percentage of the relevant sector. In addition to those parameters, a method of evidence has to be established. Typically, market surveys would serve this purpose. It was agreed by the Committee of Experts that a better approach would be produce a non-exhaustive list of criteria which should be taken into account by Officers and Courts when determining whether a mark is well-known. Richard Heath International Symposiumc on Intellectual Property Alexandra – Egypt 25-27 Sept, 1996,http://www.reldekki.com/lib04.html., diakses 19 Juni 2013. 19 Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, 80-81.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
-
Presentasi tersebut harus dikaitkan dengan luasnya wilayah pemasaran di seluruh dunia;
-
Kedudukannya stabil dalam waktu yang lama;
-
Tidak terlepas dari jenis dan tipe barang;
3. The United States Federation Legislation, mempertimbangkan merek terkenal yang terdiri dari satu atau lebih kriteria, yaitu:20 “In determining whether a mark is distinctive and famous, a court may consider factor such as, but not limited to: a. The degree of inherent or acquired distinctiveness of the mark; b. The duration and extend of use of the mark in connection with which the goods or services with the mark is used; c. The duration and extend of advertising and publicity of the mark; d. The geographical extend of the trading area in which the mark in used; e. The channels of trade to the goods or services with which the mark is used; f. The degree of recognition of the mark or services in the trading areas and channels or the trade used by the mark;s owner and the person against whom the injunction is sought; g. The nature an extend of use the same or similar marks by third parties. 4. Prof. DR. Insan Budi Maulana, SH., L.L.M., jika memperhatikan ketentuan Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) TRIPs Agreement maka terdapat beberapa hal utama dalam menentukan suatu merek terkenal (well known mark) yaitu21: a. Pengetahuan masyarakat yang relevan terhadap merek tersebut; b. Pengetahuan masyarakat mengenai promosi merek tersebut; c. Perlindungan terhadap merek 2terdaftar (terkenal) diberikan pula terhadap barang atau jasa yang tidak serupa (baca: tidak sejenis) apabila dapat menimbulkan kesan meiliki hubungan dan pemilik terdaftar itu dirugikan atas penggunaannya.
20
12.
Jeremy Philips, Trademark Law “Principal Anatomy”, Oxford University Press, Desember 2003, hal.
21
Insan Budi Maulana, Bunga Rampai: Pandangan 21 Wanita terhadap Hak dan Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Yayasan Klinik Hak dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Krina Dwi, 2005), 208.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Prof Ahmad Zen Umar Purba, S.H., L.L.M. menyebutkan bahwa keterkenalan merek di suatu yurisdiksi tidak dengan sendirinya diterima sebagai merek terkenal di yurisdiksi lain.22 Pengertian merek terkenal (well-known mark) masih merupakan topik yang terus diperbincangkan karena hingga saat ini belum ada definisi tentang merek terkenal dan berpulang kepada negara-negara anggota masing-masing. Ketentuan yang dikeluarkan WIPO hanya sebagai perdoman/guidelines yang bersifat rekomendasi dalam mempertimbangkan apakah merek tersebut terkenal atau tidak. Pendapat ini juga senada dengan pendapat Prof. DR. Insan Budi Maulana, SH., L.L.M. dan Prof. DR. H. Syafrinaldi, S.H., L.L.M, yang mengatakan bahwa suatu negara yang turut menjadi peserta dalam persetujuan TRIPs berhak mengatur perlindungan merek terkenal di negaranya sendiri. 1.2.
Dilusi Merek Hukum merek tradisional pada dasarnya memberikan perlindungan bagi pemilik
merek terbatas pada merek yang sejenis dan berada dalam satu pasar.23 Unsur adanya kemungkinan kebingungan/penyesatan merupakan salah satu syarat yang diperlukan untuk membuktikan adanya pelanggaran merek. Secara rinci, bila konsumen pada produk barang/jasa tertentu mengalami kebingungan/penyesatan mengenai asal suatu prodok barang/jasa, maka unsur kemungkinan kebingungan/penyesatan terpenuhi, dan terjadi pelanggaran merek. Namun, pada merek terkenal, terdapat perlindungan tambahan bagi merek dari adanya penurunan daya pembeda suatu merek baik karena pencemaran maupun pengaburan. Perlindungan tersebut dikenal dengan nama Trademark Dilution. Konsep Dilusi pertama kali dikenalkan di Eropa tepatnya di Jerman pada tahun 1924. Konsep ini kemudian dikenalkan oleh Frank Schechter dalam artikelnya yang terkenal The Rational Basic of Trademark Protection24 pada tahun 1927. Frank Schechter adalah seorang pengacara yang kemudian melanjutkan kuliah doctor pada fakultas hukum Kolumbia, Amerika Serikat. Schechter merupakan penganut legal realism25 yang mendasarkan pemikirannya pada basis rasional. 22
Ahmad Zen Umar Purba, Hak dan Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: Alumni, 2005), 73. Robert Brauneis and Paul Heald, "Trademark Infringement, Trademark Dilution, And The Decline In Sharing Of Famous Brand Names: An Introduction And Emprical Study," The George Washington University Law School Public Law And Legal Theory Working Paper 510, No. 10-15 (August 2010): 1. 23
24
Keola R. Whittaker, “Trademark Dilution In A Global Age”, University of Pennsylvania Journal of International Economi Law 27, no. 3 (2006), 913. 25
Legal Realism is the theory that law is based, not on formal rules or principles, but instead on judicial decisions that should derive from social interests and public policy. • American legal realism — which
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Konsep dilution Frank Schechter dimaksudkan untuk menjembatani jurang pemisah antara doktrin hukum merek pada common law dengan perkembangan praktek komersial yang cepat. Pada intinya, hukum merek melindungi suatu merek dari penggunaan suatu merek oleh pihak lain hanya ketika penggunaannya menyebabkan kebingungan pada konsumen.26 Kebingungan itu sendiri terdiri dari beberapa bentuk. Pertama, source confusion yang terjadi dimana konsumen dapat bingung ketika dia mengira bahwa penggugat (pemilik merek) benar-benar menjual produk barang/jasa tergugat. Kedua, sponsorship confusion yang terjadi dimana konsumen dapat bingung ketika dia mengira bahwa penggugat memberikan izin, mensponsori produk barang/jasa tergugat dalam cara tertentu. Apapun bentuknya, kebingungan itu merupakan kualitas dari informasi yang diterima oleh konsumen.27 Frank Schechter berpendapat bahwa perlindungan terhadap daya pembeda dari merek merupakan satu-satunya basis rasional dari perlindungan merek.28 Buat Schechter, dilution merupakan teori umum dari pertanggungjawaban merek yang lebih ulung dari confusion theory. Seperti yang ditanamkannya, pemeliharaan keunikan dari merek akan mengangkat basis rasional terhadap perlindungannya. Jadi merek sebaiknya dilindungi dari penggunaan terhadap produk lain yang mengikis keunikan dan daya pembedanya.29 Dalam artikelnya dikatakan suatu merek memiliki kesan tersendiri pada konsumen yang mana konsumen membeli barang/jasa atas dasar merek tersebut. Penggunaan merek tersebut atau merek serupa pada barang/jasa yang lain dapat mengurangi kemampuan daya jual suatu merek yang berakibat mengurangi identitas dari merek tersebut secara perlahan dalam penggunaannya pada barang/jasa yang berbeda pasar. Dia mengusulkan kepada hakim flourished in the early 20th century — was espoused by such scholars as John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, and Karl Llewellyn. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Eight Edition; Lebih Lanjut, There are two general features of realist thought – and of Progressive legal thought more generally – are particularly salient to a discussion of Schechter. First, the realists focused on the way law actually worked in practice, and second, they approached the law pragmatically and instrumentally with an eye to making legal rules that served social interests well. The following discussion describes these features in somewhat more detail. Lihat Robert G. Bone, Schechter's Ideas in Historical Context and Dilution's Rocky Road, 18. 26
Robert G. Bone, "Enforcement Costs and Trademark Puzzles", Virginia Law Review, no. 90 (2004): 2104-2123. 27
Robert G. Bone, “Schechter's Ideas in Historical Context and Dilution's Rocky Road, "Fortcoming in 24 Santa Clara Computer & High Technology Law Journal, no. 08 (2008): 5. 28
Lihat Ibid., 4. “Stated : Schechter argued that protecting the distinctiveness of a mark was “the only rational basis” for trademark protection.” 29
Lihat Ibid., Schechter berpendapat sebagai berikut: He argued, so marks should be protected from uses on other products that erode their uniqueness and distinctiveness.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
dan pembuat Undang-Undang untuk mengadopsi doktrin dilusi sebagaimana yang telah digunakan di negara-negara Eropa. Berikut di bawah ini beberapa pengertian dari dilusi: 1. Dilusi menurut Black’s Law Dictionary adalah “The act or an instance of diminishing a thing’s strength or lessening its value; The impairment of a famous trademark’s strength, effectiveness, or distinctiveness through the use of the mark on an unrelated product, usually blurring the trademark’s distinctive character or tarnishing it with an unsavory association. Trademark dilution may occur even when the use is not competitive and creates no likelihood of confusion.”30 2. Dilusi menurut INTA (International Trademark Association) adalah “Dilution is the unauthorized use of a highly distinctive mark by another in a manner which tends to blur its distinctiveness or tarnish its image even without any likelihood of confusion. Dilution is when the unauthorized use of a famous mark reduces the public’s perception that the mark signifies something unique, singular, or particular.” Dari definisi mengenai dilusi di atas, dapat penulis ambil yang menjadi unsur-unsur dari dilusi, yaitu: 1. Hanya terjadi pada merek terkenal yang digunakan secara tanpa izin oleh pihak lain; 2. Merek digunakan pada barang dan/atau jasa yang berbeda jenisnya dengan barang dan/atau jasa bermerek terkenal; 3. Dapat terjadi bahkan ketika penggunaannya tidak menciptakan persaingan dan tidak menciptakan kebingungan pada konsumen. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa dilusi adalah penurunan nilai suatu merek (daya pembeda/keunikan) pada merek terkenal berupa pengaburan atau pencemaran sebagai akibat dari penggunaan merek tanpa izin oleh pihak lain pada produk yang berbeda kelas dan jenis, tanpa melihat adanya kebingungan tentang asal-usul suatu produk pada konsumen dan adanya persaingan atau tidak pada pasar. Dalam perkembangannya, terdapat dua jenis dilusi, yaitu dilusi karena pengaburan (dilution by blurring) dan dilusi karena pencemaran (dilution by tarnishment). Dilusi karena pengaburan terjadi ketika terdapat suatu merek memiliki persaman pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal dimana kedua merek tersebut merupakan produk yang berbeda secara substansial sehingga tidak menyebabkan kebingungan konsumen. Intinya, 30
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Eight Edition.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
keunikan suatu merek terkenal (daya pembeda) telah berkurang bahkan menghilang. Contoh kasus dilusi karena pengaburan yaitu terjadi pada peritel pakaian dalam wanita (lingerie) Victoria’s Secret yang menuntut sebuah toko alat-alat kebutuhan pria yang menggunakan nama yang mirip yaitu Victor’s Secret. Dilusi karena pencemaran terjadi ketika penggunaan suatu merek terkenal oleh pihak lain yang penggunaannya bertentangan/tidak sesuai dengan kesan yang telah dibentuk dan dipertahankan oleh pemilik merek terkenal. Contoh klasik dilusi karena pencemaran yaitu penggunaan merek terkenal dalam konteks pornografi dan obat-obatan terlarang. Contoh kasus dilusi karena pencemaran yaitu terjadi pada American Express (Amex) yang menuntut sebuah perusahaan kondom karena perusahaan tersebut menggunakan slogan “do not leave home without it”, sebuah slogan yang selama ini telah digunakan Amex. Dalam kasus ini, Amex harus bisa membuktikan bahwa penggunaan slogan tersebut oleh produsen kondom mengakibatkan tercemarnya reputasi Amex di mata konsumennya. Sebenarnya, terdapat satu lagi jenis Dilusi Merek, yaitu dilusi karena generalisasi (dilution by generalitation). Dilusi karena generalisasi terjadi karena suatu merek yang sangat terkenal bisa menyebabkan dilusi terhadap merek itu sendiri. Hal ini disebabkan daya atau kekuatan dari merek terkenal tersebut sehingga menyebabkan masyarakat mengidentikkan suatu merek merek terkenal dengan produk-produk sejenisnya yang dihasilkan oleh produsen lain. Contoh: merek “ODOL” yang pada awalnya digunakan untuk produk pasta gigi, namun karena kekuatan dari merek tersebut membuat kata “ODOL” digunakan untuk menyebut berbagai merek pasta gigi yang dihasilkan oleh berbagai merek pasta gigi yang dihasilkan oleh berbagai produsen, merek “THERMOS” untuk produk vacuum dispenser, yang mana saat ini masyarakat masih menggunakan kata “THERMOS” untuk meyebut vacuum dispenser dari berbagai merek. Namun, dalam skripsi ini Penulis tidak membahas membahas dilusi karena generalisasi (dilution by generalitation) karena dilusi karena Penulis membahas mengenai perlindungan merek terkenal dari dilusi merek. Perlindungan dalam hal ini berarti melindungi suatu pemilik merek terkenal dari penyalahgunaan oleh pihak lain. Sedangkan dilusi karena generalisasi terjadi karena kekuatan merek itu sendiri bukan karena penyalahgunaan oleh pihak lain terhadap merek terkenal tersebut. Konsep Dilusi sendiri harus dibedakan dengan pelanggaran merek. Dalam perkembangannya, terdapat 2 (dua) macam pelanggaran merek dan 3 (tiga) bentuk pelanggaran merek. Kedua macam pelanggaran merek, yaitu:
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
1. Memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang sudah terdaftar milik orang lain; dan 2. Memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan merek yang sudah terdaftar milik orang lain. Ketiga bentuk pelanggaran merek, yaitu: 1. Trademark Piracy (Pembajakan Merek) Pembajakan merek terjadi ketika suatu merek, biasanya merek terkenal asing yang belum terdaftar kemudian didaftarkan oleh pihak lain yang tidak berhak. Akibatnya permohonan pendaftaran pemilik merek yang asli ditolak oleh kantor merek setempat karena dianggap serupa dengan merek yang sudah terdaftar sebelumnya. Ketentuan mengenai pembajakan diatur dalam ketentuan Pasal 61 Persetujuan TRIPs dan Pasal 68 ayat (2) UU Merek 2001. 2. Counterfeiting (Pemalsuan) Pemalsuan merek dapat terjadi ketika suatu produk palsu atau produk dengan kualitas lebih rendah ditempeli dengan merek terkenal. Pemalsuan apabila dikualifikasikan, maka pemalsuan merupakan persamaan pada keseluruhannya. Ketentuan mengenai pemalsuan pada Pasal 6 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), dan Pasal 90 UU Merek 2001. 3. Imitations of Labels and Packaging (Peniruan label dan kemasan suatu produk). Pelanggaran merek yang mirip dengan pemalsuan merek adalah peniruan label dan kemasan produk. Bedanya, pada pemalsuan merek label atau kemasan produk yang digunakan adalah tiruan dari yang aslinya, sedangkan pada peniruan, label yang digunakan adalah miliknya sendiri dengan menggunakan namanya sendiri. Imitasi dapat dikualifikasikan sebagai persamaan pada pokoknya. Berlainan dengan konsep dilusi, pada konsep pelanggaran merek, titik tolaknya terletak pada merek yang berfungsi sebagai pemberi informasi berkaitan dengan asal-usul suatu produk. Dengan kata lain, kebingungan pada konsumen merupakan faktor utama untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran merek atau tidak. Apabila terdapat gugatan tentang pelanggaran merek tanpa terjadinya kebingungan pada konsumen mengenai asal-usul suatu barang, maka tidak telah terjadi suatu pelanggaran merek. Dengan fungsi sebagai pemberi informasi yang menjadi titik tolaknya, maka sudah tentu harus terdapat kompetisi antara para produsen. Apabila tidak terjadi kompetisi, maka tidak telah terjadi pelanggaran merek.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi merek pada saat ini tidak hanya memberikan informasi mengenai asal-usul suatu barang, namun juga berfungsi sebagai sarana pemasaran suatu produk, yang mana hal ini berlaku bagi merek terkenal. Informasi mengenai asal-usul suatu barang dimaksudkan untuk menghindari kebingungan pada konsumen, namun dengan berkembangnya fungsi merek sebagai alat pemasaran bagi merek terkenal, maka merek itu sendiri telah memiliki nilai tersendiri. Hal inilah yang secara khusus dicakup dalam konsep dilusi. Dilusi secara khusus berkaitan dengan fungsi merek sebagai alat pemasaran bagi suatu merek terkenal. Dilusi merupakan tindakan yang mengakibatkan berkurangnya nilai suatu merek akibat penggunaannya oleh pihak lain yang tidak berhak, tanpa memperhatikan jenis barangnya dan juga tanpa memperhatikan apakah konsumen terkecoh atau tidak.31 Nilai yang dimiliki oleh merek tersebut pada dasarnya merupakan goodwill yang dimiliki oleh pemilik merek sebagai hasil dari usaha promosi yang dilakukannya. Dengan demikian, karena dilusi terjadi akibat dari fungsi pemasaran suatu merek maka kebingungan pada konsumen tidak menjadi pokok persoalan utama lagi. Hal ini demikian karena fungsi merek sebagai pemberi informasi tentang asal-usul suatu barang bukan merupakan pokok permasalahan penyebab timbulnya dilusi. Berkaitan dengan konsep dilusi dan juga pelanggaran merek, konsep persaingan curang juga perlu dibahas. Berdasarkan Black’s Law Dictionary, persaingan curang adalah32: “Persaingan yang tidak wajar atau persaingan yang curang dalam perdagangan dan komersial, terutama praktik-praktik yang mencoba untuk menjual dengan menipu barang-barang atau jasa-jasa miliknya dengan mengimitasi atau memalsukan nama, merek, atau karakteristik pembeda milik kompetitor lain; suatu wadah hukum untuk melindungi pemakai pertama terhadap kompetitor yang mengimitasi atau memalsukan.” Kemudian, dalam perumusan Pasal 10bis ayat (2) Konvensi Paris, persaingan curang adalah setiap perbuatan mengenai persaingan yang bertentangan dengan praktik-praktik wajar (honest practices) dalam industri dan perdagangan.33 Jadi, apabila melihat definisi-definisi 31
Margareth Barret, Intellectual Property Cases and Materials, (St. Paul, Minnesota: West Publishinh Co, 1995), 801. Lihat juga Keola R. Whittaker, Trademark Dilution In A Global Age, 909. 32
Unfair competition is dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, especially the practice of trying to palm off one’s own goods or services for those of another by imitating or counterfeiting a competitor’s name, brand, or, distinctive characteristic; the body of law protecting the first user against an imitating or counterfeiting competitor. Henry Campbell Black, Black;s Law Dictionary. 33
Any act of competition contrary to honest practices in industrial or commercial matters constitutes an act of unfair competition.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
yang telah dijabarkan di atas, maka suatu persaingan dalam bidang komersial dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Persaingan antar pengusaha dalam bidang industri dan perdagangan; 2. Itikad tidak baik; dan 3. Perbuatan yang berlawanan dengan praktik-praktik yang wajar. Berdasarkan ketentuan Konvensi Paris, yang termasuk ke dalam ruang lingkup persaingan curang34: 1. Semua perbuatan, yang dengan cara apapun, dapat menciptakan kekeliruan berkenaan dengan asal-usul suatu barang atau berkenaan dengan usaha-usaha industri atau perdagangan dari pihak pengusaha yang sedang bersaing; 2. Pemberitahuan yang palsu sehingga dapat mendiskreditkan perusahaan, barang atau aktivitas industri dan dagang dari pihak pengusaha yang bersaing; 3. Semua indikasi dan perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat barang, proses pembuatannya, ciri-ciri serta cara penggunaannya maupun tujuan atau kuantitas dari barang bersangkutan. Dari uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa dilusi berbeda dengan persaingan curang. Apabila melihat titik tolaknya, dilusi bertitik tolak pada fungsi merek sebagai sarana pemasaran, sedangkan persaingan curang bertitik tolak pada fungsi merek sebagai sarana informasi mengenai asal-usul produsen suatu produk. Selain itu, pada dilusi tidak dibutuhkan pembuktian mengenai kebingungan pada konsumen, sedangkan pada konsep persaingan curang, pembuktian mengenai kebingungan pada konsumen merupakan hal yang mutlak. 2.5.
Perlindungan Merek Terkenal Dilusi Merek di Indonesia Perlindungan Merek terkenal terhadap dilusi di Indonesia tidak memiliki pengaturan
secara tegas dan khusus. Namun, dalam UU Merek No. 15 Tahun 2001 perlindungan merek terkenal terhadap dilusi diatur secara implisit, yaitu pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 34
The following in particular shall be prohibited: 1. all acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; 2. false allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; 3. indications or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead the public as to the nature, the manufacturing process, the characteristics, the suitability for their purpose, or the quantity, of the goods. Terjemahan diambil dari Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, 38.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Merek 2001 tentang penggunaan merek terkenal milik orang lain pada barang dan/atau jasa yang tidak sejenis. Dalam Pasal 6 ayat (2) UU Merek 200135 dinyatakan bahwa permohonan pendaftaran suatu merek dapat ditolak apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang atas jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini didasarkan pada unsur dilusi yang paling utama, yaitu unsur merek terkenal dan unsur barang dan/atau jasa yang tidak sejenis. Ketentuan dalam pasal 6 ayat (2) ini merupakan implementasi dari Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs yang mana ketentuan tersebut merupakan perluasan dari ketentuan dalam Pasal 6bis Konvensi Paris. Hal ini tidak seperti di Amerika Serikat. Di Amerika perlindungan merek terkenal dari dilusi diatur secara tegas dan khusus di dalam Trademark Dilution Revision Act of 2006. Hampir semua negara bagian di Amerika Serikat juga memberikan perlindungan merek terkenal dari dilusi. Amerika memberikan perlindungan bagi pemilik merek terkenal secara nasional dari dilusi karena pengaburan dan dilusi karena pencemaran. Sedangkan di Eropa, perlindungan merek terkenal dari praktik dilusi diatur dalam Trademark Directive 2008/91/EC of The European Parliament and of The Council. Sedangkan definisi dilusi secara legal tidak terdapat di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia begitu juga di Eropa yang tidak mengenal adanya istilah dari dilusi. Namun, dalam pengaturannya di European Trademark Directive istilah dilusi sama dengan “detriment to the distinctive character or reputation of the mark”. Hal tersebut diatur dalam ketentuan pada Pasal 4 ayat (4) huruf (a) Trademark Directive. Untuk memperoleh perlindungan dari dilusi, suatu merek haruslah memiliki reputasi atau merupakan merek terkenal atau merek termahsyur. Penjelasan dari Pasal 6 ayat 1 huruf (b) UU Merek 2001 menyatakan bahwa suatu merek dapat dikatakan sebagai merek terkenal bila: 1. Reputasi merek diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran; 2. Adanya Investasi di beberapa negara di dunia; dan 3. Adanya Sertifikat pendaftaran merek di beberapa negara. Memang, kriteria mengenai merek terkenal tidak diatur secara khusus dan tegas dalam peraturan perundang-undangan merek di Indonesia. Oleh karena itu, dalam praktik keputusan 35
Indonesia, UU Merek 2001, Pasal 6 ayat (2).
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi) juga dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menentukan kriteria merek terkenal. Selain itu, ketentuan dalam Persetujuan TRIPs dan WIPO Joint Recommendation Concerning Provisions on the Protection of WellKnown Marks juga relevan untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan apakah suatu merek memiliki reputasi sebagai merek terkenal atau tidak. Di Indonesia juga tidak terdapat perbedaan antara merek terkenal (well-known marks) dengan merek termahsyur (famous marks). Di Amerika Serikat salah satu syarat suatu merek untuk memperoleh perlindungan dari dilusi yaitu merek tersebut haruslah merek terkenal secara nasional. Suatu merek yang memperoleh reputasi (niche market fame36) tidak bisa memperoleh perlindungan dari dilusi. Di Indonesia, suatu merek untuk memperoleh perlindungan hukum, maka merek tersebut haruslah didaftarkan terlebih dahulu. Hal ini mengingat karena Hukum Merek Indonesia menggunakan sistem konstitutif yaitu suatu merek baru bisa mendapatkan perlindungan hukum apabila merek tersebut telah didaftarkan. Dalam ketentuan Pasal 61 ayat 2 huruf (a)37 dinyatakan bahwa suatu merek dapat dihapus pendaftarannya atas prakarsa Direktorat Jenderal bila merek tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakain terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal. Sedangkan di Amerika Serikat, suatu merek untuk mendapatkan perlindungan dari dilusi maka merek tersebut harus digunakan di Amerika Serikat. Pendaftaran tidak merupakan suatu kewajiban melainkan hanya sebagai legitimasi dalam perlindungan merek terkenal dari dilusi.38 Jadi, pendaftaran saja tanpa adanya penggunaan secara nyata merek tersebut di wilayah Amerika tidak membuat merek tersebut mendapatkan perlindungan merek terkenal dari dilusi. Di Inggris, bagi merek lokal Inggris (merek terkenal di wilayah Inggris), merek eropa asing (merek asing terkenal di wilayah Eropa walau hanya di satu negara), dan merek yang dilindungi pada ketentuan dalam Pasal 6bis Konvensi Paris (merek harus terkenal di wilayah Inggris), maka merek tersebut tidaklah harus digunakan di wilayah Inggris namun syarat pendaftaran haruslah dipenuhi untuk mendapat perlindungan merek terkenal dari dilusi. 36
Niche Fame Market adalah istilah yang diberikan pada suatu merek yang memiliki reputasi merek terkenal terbatas pada produknya saja atau terbatas pada ruang lingkup tertentu. Lihat Keola R. Whittaker, Trademark Dilution In A Global Age, 916. 37
Indonesia, UU Merek 2001, Pasal 61 ayat 2 huruf (a).
38
15 U.S.C. § 1125(c)(2)(A)(iv).
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa perlindungan merek terkenal dari dilusi di Indonesia tidak diatur secara khusus dan tegas dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun, pengaturan mengenai konsep dilusi diatur secara implisit dalam ketentuan pada Pasal 6 ayat (2) UU Merek 2001 sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Oleh karena itu, hakim dalam menyelesaikan sengketa merek yang memenuhi unsur-unsur untuk dilindungi dari dilusi, menggunakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) atau ketentuan pasal 4 UU Merek 2001 yang mengatur mengenai itikad baik. Berbeda dengan Amerika Serikat yang telah mengatur secara khusus dan tegas mengenai Dilusi Merek. Sedangkan di Eropa, tidak dikenal istilah dilusi namun terdapat istilah yang searti yaitu “causing detriment to the distinctive character” yang diatur dalam ketentuan pada Pasal 4 ayat (4) huruf (a) Trademark Directive. Pengaturan mengenai Dilusi di Eropa juga digabung dengan pengaturan mengenai persaingan curang. Syarat suatu merek mendapat perlindungan dari dilusi adalah bahwa merek tersebut adalah merek terkenal. Ketentuan mengenai merek terkenal dalam UU Merek 2001 Indonesia tidak diatur secara tegas melainkan hanya terdapat pada Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf (b) UU Merek 2001. Indonesia juga tidak mengenal pembedaan antara merek terkenal (well-known mark), merek termahsyur (famous mark), dan merek terkenal yang terbatas pada produk dan ruang lingkup tertentu (niche market). Hal ini mengingat belum adanya PP mengenai merek terkenal sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU Merek 2001. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat, kriteria mengenai merek terkenal telah diatur secara tegas dan khusus. Di Amerika Serikat, hanya merek terkenal yang memiliki daya pembeda dan dikenal secara nasional yang memperoleh perlindungan dari dilusi. Sedangkan merek terkenal yang dilindungi dalam Pasal 6bis Konvensi Paris namun mereknya tidak digunakan di Amerika, tidak mendapat perlindungan dari dilusi. Di Eropa, misalnya di Jerman, kriteria tertentu mengenai merek terkenal tidak diperlukan. Hal seperti, pangsa pasar, angka penjualan suatu produk barang/jasa, dan lain sebagainya dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kriteria merek terkenal.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Pembahasan Berdasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus sengketa Merek SPY maka penulis akan menganalisis apakah hakim dalam putusannya telah menerapkan konsep dilusi secara benar. Hal yang perlu untuk diketahui bahwa tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai dilusi merek di dalam peraturan perundang-undangan merek di Indonesia. Namun, secara implisit dilusi merek diatur dalam Pasal 6 ayat 2 UU Merek 2001 bahwa pendaftaran suatu merek wajib ditolak bila mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis. Jadi, dalam hal ini penulis ingin menganalisis apakah hakim dalam putusannya menggunakan pasal tersebut dan menerapkan konsep dilusi dalam putusannya. Sebelum menganalisis putusan hakim dalam sengketa merek terlebih dahulu kembali penulis rumuskan bahwa yang dimaksud dengan dilusi adalah penurunan nilai suatu merek (daya pembeda/keunikan) pada merek terkenal berupa pengaburan atau pencemaran sebagai akibat dari penggunaan merek tanpa izin oleh pihak lain pada produk yang berbeda kelas dan jenis, tanpa melihat adanya kebingungan tentang asal-usul suatu produk pada konsumen dan adanya persaingan atau tidak pada pasar. Dari definisi mengenai dilusi di atas, dapat penulis ambil yang menjadi unsur-unsur dari dilusi, yaitu: 1. Hanya terjadi pada merek terkenal yang digunakan secara tanpa izin oleh pihak lain; 2. Merek digunakan pada barang dan/atau jasa yang berbeda jenisnya dengan barang dan/atau jasa bermerek terkenal; 3. Dapat terjadi bahkan ketika penggunaannya tidak menciptakan persaingan dan tidak menciptakan kebingungan pada konsumen. Dari ketiga unsur-unsur tersebut, terdapat dua (2) hal lagi yang akan penulis masukkan dalam analisis putusan Majelis Hakim dalam sengketa Merek Ramada yaitu mengenai persamaan pada pokoknya dan unsur itikad baik. Pertama, penulis akan menganalisis apakah Merek SPY adalah merek terkenal. Dalam pertimbangannya menentukan apakah Merek SPY adalah merek terkenal atau tidak, Majelis Hakim
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
mendasarkan pada penjelasan Pasal 6 ayat 1 UU Merek 2001. Dalam penjelasan pasal tersebut, dapat dijabarkan yang menjadi kriteria merek terkenal adalah sebagai berikut39: 1. Pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan; 2. Reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran; 3. Investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya; 4. Bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara; 5. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek. Ketentuan ini bersifat kumulatif yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Paris, apabila ada sengketa merek yang menyangkut perbedaan interpretasi di dalam menilai suatu merek apakah merek tersebut merek terkenal atau tidak, harus dibuktikan berdasarkan kondisi atau fakta hukum di negara hakim yang memeriksa dalam sengketa tersebut dalam hal ini Indonesia mengingat keterkenalan suatu merek dalam satu yurisdiksi tidak dengan sendirinya harus diterima sebagai merek terkenal di yurisdiksi lain.40 Dengan demikian kewajiban Penggugat di dalam sengketa ini adalah memberikan fakta-fakta hukum tentang keterkenalan merek Penggugat di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, sejauh mana pengetahuan umum masyarakat Indonesia atas merek Penggugat, bagaimana reputasi merek Penggugat di Indonesia, promosi-promosi produk dengan memakai merek yang dilakukan di Indonesia yang mempunyai keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lainnya. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa merek Spy milik Penggugat untuk melindungi barang dalam kelas 25 dan 9 adalah merek terkenal. Mengenai hal ini, penulis sependapat dengan Majelis Hakim. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti yang diajukan Penggugat di dalam persidangan. Pada surat bukti P-1 sampai dengan P-11 dengan sah terbukti bahwa Merek SPY milik Penggugat telah terdaftar atas nana Penggugat di beberapa Negara besar didunia seperti, Australia, California Amerika Serikat, Jerman, New Zealand, Inggris Raya dan Irlandia Utara. Terdaftarnya merek milik Penggugat yaitu merek SPY dapat penulis katakan bahwa pemilik merek telah melakukan investasi di beberapa 39
Indonesia, UU Merek 2001, Penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf (b).
40
Lihat Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs , 74.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
negara. Hal ini mengingat dari beberapa negara diatas seperti Amerika Serikat mensyaratkan bahwa selain adanya syarat pendaftaran, syarat suatu merek harus digunakan di dalam wilayah Amerika. Adanya syarat tersebut, secara otomatis dapat dikatakan bahwa Penggugat telah melakukan investasi. Selanjutnya, Penggugat juga mengajukan bukti surat (bukti P-1141) berupa brosur yang digunakan Penggugat untuk melakukan promosi. Dari bukti tersebut dapat dikatakan bahwa merek milik Penggugat yaitu merek SPY telah melakukan promosi untuk barangbarang produksinya yang berada dibawah perlindungan Merek SPY miliknya. Adanya pendaftaran di beberapa negara dan promosi yang telah dilakukan dapat penulis katakan bahwa merek milik Penggugat yaitu merek SPY adalah merek terkenal setidaknya di bidang usahanya yang relevan yaitu produksi barang berupa Kacamata. Kedua, analisis selanjutnya yaitu apakah merek Penggugat yaitu merek SPY merupakan merek dengan produk barang dan/atau jasa yang berbeda jenis dengan merek milik Tergugat yaitu merek SPY. Merek milik Penggugat yaitu merek SPY merupakan merek yang dilekatkan pada produk berupa Kacamata dan Kacamata anti silau yang terdaftar pada kelas 9. Dalam surat bukti P-1 sampai dengan P-7 yaitu surat bukti pendaftaran merek di beberapa negara menunjukkan bahwa pendaftaran merek milik Penggugat termasuk dalam kelas 25 yaitu untuk barang-barang berupa t-shirt, kemeja, celana pendek, celana, kaos oblong, celana; topu anti silau, sepatu, sandal, dan sabuk pinggang, kacamata, dan kacamata hitam (anti silau). Sedangkan untuk pendaftaran merek milik Penggugat di Indonesia, merek milik Penggugat terdaftar untuk barang-barang yang dilindungi dalam kelas 9 yaitu dalam hal ini optik. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat memiliki keterkaitan jenis dalam hal ini pakaian (barang yang mana merek Tergugat dilekatkan) dengan Kacamata (barang yang mana merek Penggugat dilekatkan). Penulis kurang sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim mengenai keterkaitan jenis barang antara merek milik Penggugat dengan
merek milik
Tergugat karena menurut Penulis kacamata dengan Pakaian merupakan barang yang tidak berkaitan. Hal ini mengingat karena kacamata yang diproduksi oleh Penggugat lebih dari sekedar dari barang aksesori melainkan kacamata khusus untuk melindungi mata dari sinar matahari. Akseori dalam hal ini berarti barang tambahan. Apabila kacamata yang diproduksi oleh Penggugat merupakan kacamata yang semata-mata hanya sebagai aksesori maka dapat dikatakan terdapat kaitan antara merek milik Penggugat dengan Tergugat. 41
Brosur asli dari produk barang-barang merek SPY Penggugat, untuk melindungi kelas barang 9 daftar no. 354036 tanggal 16 Februari 1996, yaitu Kacamata dan Kacamata pelindung sinar matahari.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Ketiga, analisis selanjutnya yaitu apakah terdaftarnya merek dari Tergugat I menimbulkan kemungkinan kebingungan bagi konsumen dan/atau menciptakan persaingan dalam pasar atau tidak. Hal ini mengingat telah penulis katakan bahwa merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat merupakan barang yang tidak sejenis, maka hal ini umumnya menjadi bukti yang kuat bahwa konsumen tidak akan mengalami kebingungan dalam waktu yang dekat dan dapat dikatakan tidak memenuhi unsur pelanggaran karena salah satu unsur pelanggaran adalah terciptanya kemungkinan kebingungan bagi konsumen. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada merek terkenal karena merek terkenal mendapatkan perlindungan tambahan dari peniruan merek oleh pihak lain terhadap produk barang/jasa yang tidak sejenis. Mengingat merek milik Penggugat adalah merek terkenal maka hal tersebut memenuhi unsur dari dilusi yang telah disebutkan di atas sehingga dapat dikatakan bahwa telah terjadi kemungkinan dilusi pada merek milik Penggugat yaitu merek SPY. Sebelumnya, hal yang perlu diketahui adalah apakah merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat terdapat persamaan pada pokoknya. Dalam menentukan menentukan persamaan pada pokoknya, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) maka yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Adanya persamaan bentuk; 2. Adanya persamaan bunyi atau ucapan; 3. Cara penulisan huruf/kata; atau 4. Penempatan unsur-unsur pokok. Dalam penjelasan tersebut, dapat penulis katakan syarat persamaan pada pokoknya sifatnya alternatif yaitu salah satu dari syarat di atas terpenuhi maka merek yang dimaksud memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang lain. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa terbukti ada persamaan pada pokoknya antara merek SPY milik Penggugat dengan merek SPY milik Tergugat. Mengenai persamaan pada pokoknya, penulis sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim. Hal ini dapat dilihat berdasar surat bukti P-1 yaitu bukti pendaftaran mereknya dengan surat bukti P-2 yaitu bukti pendaftaran merek milik Tergugat. Apabila dibandingkan, maka dapat terbukti bahwa antara merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat terdapat persamaan mengenai bentuk huruf, cara penulisan, cara penempatan, dan cara pengucapan. Merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat sama-sama terdiri dari 3 huruf yaitu huruf S, huruf P, dan huruf Y yang mana jika diucapkan dapat menimbulkan adanya persamaan bunyi diantara kedua merek tersebut.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Namun adanya persamaan pada pokoknya antara merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat, menurut penulis tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa hal tersebut dapat menyesatkan/menciptakan kemungkinan kebingungan pada konsumen sebagaimana yang dikemukakan Majelis Hakim dalam pertimbangannya. Hal ini karena merek milik Penggugat dengan merek Tergugat merupakan produk jasa yang tidak sejenis. Semakin tidak berkaitan/berbeda jenis antara merek dagang/jasa yang satu dengan merek dagang/jasa yang lain maka semakin kecil terjadinya kemungkinan kebingungan/penyesatan pada konsumen. Merek milik Penggugat yang merupakan merek yang digunakan dalam usaha jasa perhotelan dengan merek milik Tergugat yang digunakan dalam usaha jasa jual beli ekspor impor dapat penulis katakan berada dalam pasar yang berbeda dan tidak berkaitan sehingga dapat dikatakan bahwa tidak tercipta adanya persaingan antara merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat. Dalam kasus ini, bila dibandingkan dengan kedua kasus sebelumnya yaitu kasus merek RAMADA dengan kasus merek NOKIA, kasus merek SPY memiliki ketidakterkaitan produk barang/jasa paling kecil mengingat produk Penggugat dengan produk Tergugat sama-sama dilekatkan pada tubuh manusia. Bagaimanapun, konsumen tidak akan terkecoh/bingung bila pertama kali melihat merek milik Tergugat yaitu merek SPY. Namun seiring berjalannya waktu, maka konsumen akan mengaitkan merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat sehingga keunikan nilai merek milik Penggugat akan terdegradasi akibat adanya merek milik Tergugat. Dalam kasus merek SPY, Majelis Hakim menerapkan Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs dalam pertimbangannya untuk mengisi kekosongan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) UU Merek 2001. Menurut penulis, diterapkannya Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs merupakan hal yang tepat karena belum ada sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) UU Merek 2001 mengingat sengketa yang terjadi dalam kasus merek Ramada adalah sengketa merek yang tidak sejenis. Menurut hemat Penulis berdasarkan pada ketiga sengketa merek di atas, Hakim telah menerapkan konsep dilusi secara benar. Namun penerapan ini dilihat secara garis besarnya saja atau dengan kata lain dari permukaannya saja mengingat Indonesia tidak memberikan pengaturan secara tegas dan khusus mengenai Dilusi Merek. Dari ketiga sengketa merek di atas, hanya pada sengketa Merek RAMADA Majelis Hakim menyinggung mengenai Dilusi Merek walaupun hanya sedikit. Secara umum, ketiga sengketa merek di atas telah memenuhi unsur-unsur suatu merek dapat dilindungi dari Dilusi Merek. Mengenai keterkenalan suatu merek, dalam UU Merek
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
2001 ketentuan mengenai kriteria merek terkenal telah diatur lebih rinci walaupun masih diletakkan pada bagian penjelasan belum diatur dalam ketentuan dalam pasal. Pada akhirnya, penilaian terhadap keterkenalan suatu merek tergantung kepada penilaian hakim yang memeriksa sengketa suatu merek. Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, ketentuan mengenai kriteria merek terkenal telah diatur lebih rinci dibanding dengan di Indonesia. Di Amerika, pemerintah membedakan antara Famous Mark (widely recognized by the general consuming public as a trademark) dengan Well-Known Mark/Niche Market (marks which are famous in a limited product market). Oleh karena itu, salah satu syarat suatu merek dapat dilindungi dari Dilusi Merek, maka merek tersebut harus merupakan merek terkenal yang telah diakui secara luas oleh masyarakat umum. Merek yang hanya memiliki reputasi di pada pasar tertentu tidak dan hanya diakui oleh masyarakat tertentu tidak dilindungi dari Dilusi Merek. Menurut hemat Penulis, bila ketentuan mengenai kriteria merek terkenal menurut undang-undang merek Amerika diterapkan pada ketiga kasus di atas maka hanya Merek NOKIA saja yang diberikan perlindungan dari Dilusi Merek. Hal ini mengingat Merek NOKIA adalah merek yang telah dikenal secara luas di dunia Internasional juga di Indonesia oleh masyarakat umum. Sedangkan Merek RAMADA dan Merek SPY adalah merek yang telah dikenal secara luas di dunia Internasional juga di Indonesia oleh masyarakat tertentu (terbatas pada produk barang/jasa tertentu). Pada ketiga sengketa merek di atas, Majelis Hakim menggunakan Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek jo. Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs dan Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dalam memutus sengketa merek (dalam hal ini sengketa merek tidak sejenis). Namun menurut Penulis, penggunaan Pasal 4 UU Merek 2001 kurang tepat jika diterapkan untuk menyelesaikan merek yang dilindungi dari Dilusi Merek. Hal ini bila kita melihat pada frasa yang terdapat pada penjelasan Pasal 4 UU Merek 2001 “berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen”, sehingga bila dimasukkan kedalam salah satu unsur suatu merek dilindungi dari Dilusi Merek yaitu penggunaan merek yang bahkan tidak menciptakan adanya kemungkinan kebingungan dan terciptanya persaingan, maka unsur adanya itikad tidak baik tidak terbukti. Hal ini bisa menjadi bumerang karena Tergugat dalam pembelaanya bisa menggunakan dalil bahwa penggunaan merek milik Tergugat tidak menimbulkan adanya kemungkinan kebingungan dan terciptanya persaingan melalui pembuktian persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya. Namun, mengingat ketentuan mengenai Dilusi Merek tidak
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
diatur secara khusus dan tegas maka penggunaan Pasal 4 UU Merek 2001 tetap dimungkinkan. Dapat diambil kesimpulan, hakim telah menerapkan konsep dilusi pada sengketa merek di Indonesia melalui Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek jo. Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs dan Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Kesimpulan dan Saran 4.1.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka Penulis
memperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam Persetujuan TRIPs, konsep dilusi tidak diatur secara khusus dan tegas namun secara implisit ketentuan mengenai Dilusi Merek diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs. Sedangkan implementasi TRIPs dalam UU Merek di Indonesia mengenai konsep dilusi dalam hal ini implementasi Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs terdapat dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa suatu permohonan merek harus ditolak bila mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis. Adanya pengaturan mengenai penggunaan merek terkenal milik orang lain pada barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sudah dapat menjelaskan bahwa perlindungan merek terkenal dari Dilusi Merek telah diatur dalam Persetujuan TRIPs begitu juga dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 2. Apabila melihat pertimbangan hukum dan putusan yang diambil oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara yang mengandung konsep dilusi didalamnya, maka dapat dilihat secara tidak langsung bahwa hakim telah menerapkan dan memberikan perlindungan merek terkenal dari dilusi merek secara benar. Hal ini mengingat bahwa Indonesia merupakan anggota dari Persetujuan Pembentukan WTO (World Trade Organization) dan telah meratifikasinya dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1994, yang mana telah membuat Indonesia secara otomatis terikat pada Persetujuan TRIPs. Namun demikian, seperti halnya dengan Persetujuan TRIPs, peraturan perundang-undangan di Indonesia, pengaturan mengenai Dilusi Merek belum diatur secara khusus dan utuh. Dari ketiga putusan (Kasus Merek RAMADA, Kasus Merek NOKIA, Kasus Merek SPY) yang Penulis analisis, hanya dalam kasus merek RAMADA Majelis Hakim menyinggung mengenai teori dilusi merek walaupun hanya sedikit saja. Dari ketiga putusan tersebut, merek milik Penggugat berhak menerima perlindungan merek terkenal dari Dilusi Merek karena unsur-unsur suatu merek untuk dilindungi dari Dilusi Merek telah dipenuhi. Secara umum, berdasarkan putusan-putusan Hakim yang telah dijabarkan dalam sengketa-sengketa merek yang telah dibahas, para Hakim mengacu kepada ketentuan
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (3) Persetujuan TRIPs dan/atau ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang mengatur perlindungan merek terkenal pada barang dan/atau jasa yang tidak sejenis. Selain itu, dalam kasus merek yang memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan dari merek terkenal, para penggugat dalam masing-masing perkara mengajukan gugatannya berdasarkan pendaftaran merek atas dasar itikad tidak baik sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 UU Merek 2001. 4.2.
Saran Berdasarkan pada pembahasan dan kesimpulan sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka Penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Pemerintah sebaiknya mengatur mengenai Konsep Dilusi Merek dalam Rancangan Undang-Undang Merek yang baru di Indonesia untuk memberikan perlindungan tambahan kepada pemilik merek terkenal. 2. Sebelumnya, Pemerintah sebaiknya memberikan pengaturan yang tegas dan khusus mengenai merek terkenal dan persamaan pada pokoknya dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. 3. Sebaiknya para hakim Pengadilan Niaga diberikan pelatihan mengenai Hak Kekayaan Intelektual sehingga dapat menguatkan dasar hakim dalam memutus sengketa HKI (Hak Kekayaan Intelektual) khususnya sengketa merek dan hakim yang sudah diberikan pelatihan tidak dimutasi karena bila dimutasi ke Pengadilan yang bukan Pengadilan Niaga menyebabkan ketidakefektifan Pengadilan Niaga dalam memutus sengketa HKI karena harus memberikan pelatihan HKI kembali mengingat waktu dan biaya yang dibutuhkan tidak sedikit.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Council Regulation (EC) 40/94 of 20 December 1993 on the Community Trademark. Federal Trademark Dilution Act of 1995, Public Law 104-98, 109 Stat. 985 (codified as amended at 15 U.S.C § § 1125, 1127 (2000)). First Council Directive of The European Parliament, Trademark Directive. Codified Version. 2008. Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia. Undang-Undang Tentang Merek. UU No. 15 Tahun 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN. No, 4131. Indonesia. Undang-Undang Tentang Merek. UU No. 14 Tahun 1997, LN No. 31 Tahun 1997, TLN. No, 3681. Indonesia. Undang-Undang Tentang Merek. UU No. 19 Tahun 1992, LN No. 81 Tahun 1992, TLN No. 3490. Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Kelas Barang Atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek. PP No. 24 Tahun 1993, LN No. 31 Tahun 1993. International Bureau of WIPO. Paris Convention for the Protection of Industrial Property. 1883. International Bureau of WIPO, Trademark Law Treaty and Regulations, WIPO Pub. No. 225, 1994. The Lanham Act of 1946, Public Law, Public Law 790489, 60 Stat. 427 (1946) (codified as amended at 15 U.S.C. § § 1051-1127 (2007)).
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
The Trademark Dilution Revision Act of 2006, Public Law 109-312, 120 Stat. 1730 (2006). The original bill that became the TDRA was first introduced in February 2005. WTO, Agreement On Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights. 1994. Buku Adisumarto, Harsono. Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik Perindustrian. Cet. 2. Jakarta: Akademika Pressindo, 1990. Asikin, Amirudin dan H. Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Barret, Margareth. Intellectual Property Cases and Materials. St. Paul, Minnesota: West Publishinh Co, 1995. Bodenhausen, G.H.C. Guide to the Application of the Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Cet. 3. BIRPI: WIPO Publication, 2004. Correa, Carlos., dan Abdulqawi A. Yusuf. Intellectual Property and International Trade The TRIPs Agreement. Alphen aan den Rijn, Netherlands: Kluwer Law International, 2008. Citrawinda, Cita. Hak Kekayaan Intelektual Tantangan Masa Depan. Jakarta: FH UI, 2003. Dinwoodie, Graeme B. Trademark Law and Theory: A Handbook of Contemporary Research. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing Limited, 2008. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007. Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah. Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia. Cet. 3. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Gautama, Sudargo. Hukum Merek Indonesia. Bandung: Alumni, 1977. Gautama, Sudargo. Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Intenasional TRIPs, GATT, Putaran Uruguay 1994. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1994.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Harahap, M. Yahya. Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992. Cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Hasibuan, H. D. Effendy. Perlindungan Merek: Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat. Cet. 1. Jakarta: Program Pascasarjana FH UI, 2003. Kaligis, O.C. Teori & Praktek Hukum Merek Indonesia. Cet. 1. Bandung: PT. Alumni, 2008. Lindsey, Tim et al. Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar. Cet. 5. Bandung: PT. Alumni, 2006. Mamudji, Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Margono, Suyud dan Longginus Hadi. Pembaruan Perlindungan Hukum Merek. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2002. Maulana, Insan Budi. Bianglala HaKI (Hak Kekayaan Intelektual). Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005. Maulana, Insan Budi. Bunga Rampai: Pandangan 21 Wanita terhadap Hak dan Kekayaan Intelektual. Jakarta: Yayasan Klinik Hak dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Krina Dwi, 2005. Maulana, Insan Budi. Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Cet. 1. Bandung: PT Alumni, 2005. Saidin, H. OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Cet. 4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Schechter, Roger E. dan John R. Thomas. Intellectual Property the Law of Copyrights, Patents, and Trademarks. USA: Thomson West, 2003.
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI-Press, 1986. Stim, Richard. Patent, Copyright & Trademark. Ed. 9. USA: Consolidated Printers, Inc, 2007. Suryodiningrat, R.M. Pengantar Ilmu Hukum Merek. Jakarta: Pradya Paramita, 1975. Tim Redaksi Tatanusa. Himpunan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga Dalam Perkara Merek. Cet. 1. Jakarta: PT. Tatanusa, 2002. WIPO. Joint Recommendation Concerning Provisions on the Protection of Well-Known Marks. Geneva: World Intellectual Property Organization, 2000. Yuhassarie, Emmy. Hak Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya. Cet. 1. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004. Yusnita, Irnie Mela. Prosedur Pemeriksaan Substantif Merek. Jakarta : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2011. Jurnal Assaf, Katya. “The Dilution of Culture and The Law of Trademarks.” The Intellectual Property Law Review 49, no. 1 (2008). http://ssrn.com/abstract=1410590, (diakses 12 Mei 2013). Bartow, Ann. “Likelihood of Confusion.” San Diego Law Review 41, 1 (2004). http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=544923, (diakses 12 Mei 2013). Bomhard, Verena von., and Imogen Fowler. "Dilution in the European Union: The Dilution Debate: An Industry View.” The Global Analysis of Dilution (Mei 2008). Bone, Robert G. "Enforcement Costs and Trademark Puzzles." Virginia Law Review, no. 90 (2004).
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
Bone, Robert G. “Schechter's Ideas in Historical Context and Dilution's Rocky Road. "Fortcoming in 24 Santa Clara Computer & High Technology Law Journal, no. 08 (2008). Brauneis, Robert., and Paul Heald. “Trademark Infringement, Trademark Dilution, And The Decline In Sharing Of Famous Brand Names: An Introduction And Emprical Study." The George Washington University Law School Public Law And Legal Theory Working Paper 510, no. 10-15 (August, 2010). Callmann, Rudolf. “Trade-Mark Infringement And Unfair Competition.” Law And Contemporary Problems, (1939). Dinwoodie, Graeme. “Dilution as Unfair Competition: European Echoes.” Legal Research Paper Series 37, (2013). http://ssrn.com/abstract=2249044, (diakses 30 Juni 2013). Dogan, Stacey L. “What Is Dilution, Anyway?” Michigan Law Review First Impressions 105. no. 103 (2006). http://students.law.umich.edu/mlr/ firstimpressions/vol105/dogan.pdf, (diakses 20 Juni 2013). Jacoby, Jacob. “The Psychological Foundations of Trademark Law: Secondary Meaning, Acquired Distinctiveness, Genericsm, Fame, Confusion And Dilution.” New York University Center for Law and Business, (1998). http://papers.ssrn.com/paper.taf?abstract_id=229325, (diakses 12 Mei 2013). Janis, Mark D. “International Comparative Aspects of Trademark Dilution.” Faculty Publications 362, (2008). http://www.repository.law.indiana.edu/ facpub/362, (diakses 4 Juni 2013). Katz, Jeffrey C. and David A. Weems, "Almost Famous? Comments On The Trademark Dilution Revision Act." The Metropolitan Corporate Counsel, February 2007. Llewellyn, Paul C. “Trademark Dilution Revisions: Proof of Fame, Dilution.” New York Law Journal 240. no. 47 (2008).
McCabe, Kathleen. “Dilution-by-Blurring: A Theory Caught in the Shadow of Trademark Infringement.” Fordham Law Review 68. no. 5 (2000). http://ir. lawnet.fordham.edu/flr/vol68/iss5/13 (diakses 2 Mei 2013).
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013
McCarthy, J. Thomas. “Dilution of a Trademark: European and United States Law Compared.” The Trademark Reporter 94, no. 6 (2004). Schechter, Frank I. “The Rational Basis of Trademark Protection.” Harvard Law Review 40, no. 813 (1927). Simon, Ilanah. “The Actual Dilution Requirement In The United States, United Kingdom and European Union: A Comparative Analysis.” Journal of Science & Technology Law 12, no. 2 (2006). http://papers.ssrn.com/sol3/ papers.cfm?abstract_id=964234, (diakses 2 Mei 2013). Strasser, Mathias. “The Rational Basis of Trademark Protection Revisited: Putting the Dilution Doctrine into Context.” Fordham Intellectual Property, Media and Ent. Law Journal, (2000). Whittaker, Keola R. “Trademark Dilution In A Global Age.” University of Pennsylvania Journal of International Economi Law 27, no. 3 (2006).
Perlindungan merek..., Erikson Aritonang, FH UI, 2013