PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN LISTRIK PADA PT. PLN (PERSERO) WILAYAH SUMATERA UTARA CABANG MEDAN
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
LIZA FAUZIA NIM : 040 200 255
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN LISTRIK PADA PT. PLN (PERSERO) WILAYAH SUMATERA UTARA CABANG MEDAN
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH: NAMA NIM BAGIAN
: LIZA FAUZIA : 040200255 : HUKUM KEPERDATAAN
Diketahui Oleh : Ketua Departemen Hukum Keperdataan
(Prof. Dr. TAN KAMELLO, SH, MS) NIP. 131 764 556
Pembimbing I
(Prof. Dr. TAN KAMELLO, SH, MS) NIP. 131 764 556
Pembimbing II
(MALEM GINTING, SH, M.Hum) NIP. 131 265 980
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008 Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah atas rahmat Allah SWT dengan rahmat dan hidayah-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam hal ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang penulis sampaikan dalam skripsi ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan ilmiah penulis, sehingga dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan dan sebagai bahan perbaikan penulisan skripsi ini. Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Papa dan Mama yang telah melahirkan, mendidik, membesarkan penulis serta memberikan dukungan pada saat penulisan skripsi ini. Juga kepada Mas Wim Andre yang telah menjadi panutan yang baik kepada penulis. Penulis sangat sayang kepada mereka bertiga. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH,M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Pembantu Dekan I, Bapak Pembantu Dekan II, Bapak Pembantu Dekan III, dan seluruh Dosen serta pegawai seluruh akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, sebagai ketua Departemen Hukum Keperdataan
Universitas
Sumatera
Utara
sekaligus
sebagai
Dosen
Pembimbing I, terima kasih penulis ucapkan yang telah berkenan memberikan penghargaan terhadap skripsi ini dan mau meluangkan waktunya. 4. Bapak Malem Ginting, SH, M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih penulis ucapkan yang telah berkenan memberikan penghargaan terhadap skripsi ini dan mau meluangkan waktunya. 5. Bapak M. Husni, SH, MH, sebagai Dosen Wali, yang memberikan bimbingan, saran,
motivasi,
bantuan
serta
menyemangati penulis
agar
penulis
menyelesaikan studi dengan baik. 6. Terima kasih buat ”Gendud” yang telah memberikan nasehat dan motivasinya selama ini. 7. Terima kasih buat teman-temanku Dela dan Yuliza yang dari kecil hingga sekarang tetap memberikan semangatnya. Pada Kak Wina, Kak Uli, Kak Nyonyon yang telah menjadi keluarga sementara. 8. Teman-teman yang ada di kampus Anty, Ami, Rindut, Tami, Ilsa, Tantri, Putri, Darma, Ajo Irul, Phai Koro, Faat, Wiwin, Galif, Hendry, Bang Tema yang telah memberikan suka dan duka selama lebih kurang 4 tahun bersama. Serta teman-teman yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Keluarga Dr. Mansyur No. 83, Prof. Tina Mariany Kariman, MA, Ph.D, Kak Fitri dan Tutut dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini serta saran untuk kesempurnaannya.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung. Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa-mahasiswa Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Medan, Mei 2008 Hormat Saya,
Liza Fauzia
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv ABSTRAKSI ...................................................................................................... vi BAB I
: PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Perumusan Masalah .................................................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................... 9 D. Keaslian Penulisan ..................................................................... 10 E. Tinjauan Kepustakaan ................................................................ 10 F. Metode Penelitian ....................................................................... 14 G. Sistematika Penulisan ................................................................. 15
BAB II
: PT. PLN (PERSERO) WILAYAH SUMATERA UTARA CABANG MEDAN ........................................................................................... 17 A. Sejarah PT. PLN (Persero) Cabang Medan ................................ 17 B. Bentuk dan Kelembagaan PT. PLN (Persero) Cabang Medan ... 20 C. Jenis-Jenis Pelayanan PT. PLN (Persero) Cabang Medan .......... 25 D. Hubungan
PT. PLN
(Persero)
Cabang
Medan
dengan
Konsumen ................................................................................... 32 BAB III
:
HAK-HAK KONSUMEN DALAM HUKUM POSITIF .......... 35
A. Makna Hak Secara Yuridis ......................................................... 35 B. Hak Subjek Konsumen Dalam Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ................................................................................... 38 Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
C. Hak-Hak Konsumen dalam Undang-Undang Kelistrikan ......... 45 D. Hubungan Antara Perlindungan Konsumen Dengan UndangUndang Kelistrikan dalam Prespektif Hak ................................ 51 BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DI SUMATERA UTARA ............................................ 58 A. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Konsumen Kelistrikan dan Pelaksanaan Norma Hukum Yang Melindungi Konsumen ....... 58 B. Pelayanan Kelistrikan Oleh PT. PLN (Persero) Cabang Medan Masih
Belum
Memberikan
Perlindungan
Hukum
Bagi
Konsumen .................................................................................. 64 C. Upaya-Upaya
Konsumen
dan
PT.
PLN
(Persero)
dalam
Mewujudkan Perlindungan Hukum Kelistrikan ........................ 69 BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 77 A. Kesimpulan ................................................................................ 77 B. Saran ......................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 81
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat ”konsumen”. Dengan memahami pengertian konsumen, maka perbedaan antara hukum konsumen dan perlindungan konsumen, antara hak-hak pokok dari konsumen dan keterkaitan hukum perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum yang lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen. Di dalam skripsi ini yang berjudul ”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN LISTRIK PADA PT. PLN (PERSERO) WILAYAH SUMATERA UTARA CABANG MEDAN” akan dibahas mengenai hak-hak konsumen listrik dan hubungannya dengan PT. PLN (Persero) Cabang Medan. Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah suatu perusahaan yang menyediakan kebutuhan listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia. PLN sebagai sumber tenaga listrik harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi seluruh pelanggan/konsumennya. Konsumen listrik sering dikecewakan oleh pelayanan yang diberikan oleh PT. PLN. Padahal di Indonesia telah memiliki berbeberapa peraturan perundang-undangan yang melindungi konsumen. Perundang-undangan yang melindungi konsumen antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 juga tentang Ketenagalistrikan, serta berbagai peraturan pemerintah yang mendukungnya. Di dalam skripsi ini dibutuhkan data yang akurat sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan dalam bentuk teori maupun prakteknya. Ada dua metode pengumpulan data yang digunakan yaitu Library Research (study kepustakaan) yaitu pencarian serta penelitian yang dilakukan berdasarkan sumber-sumber bacaan dan Field Research (study lapangan) yaitu suatu usaha yang dilakukan secara sistematis dan ilmiah untuk memperoleh suatu keterangan (informasi). Kesimpulan yang dapat ditarik dalam skripsi ini adalah hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh PLN serta pelayanan yang lebih baik diberikan oleh PLN sehingga tidak mengecewakan konsumen/pelanggan yang memakai jasanya dalam kehidupan sehari-hari. Yang lebih penting perlindungan hukum yang diterima konsumen apabila terjadi tidak dipenuhinya hak-hak konsumen oleh PLN. Saran yang dapat diberikan untuk skripsi adalah PLN harus dapat memenuhi hak-hak konsumen serta konsumen lebih meningkatkan kualitasnya agar konsumen tidak merasa dirugikan oleh kurangnya pelayanan yang diberikan oleh PLN.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi dan dimanfaatkan. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Kondisi seperti ini, di satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, sedangkan di sisi lain semakin terbuka kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun, kondisi dan fenomena tersebut, pada sisi lainnya dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, di mana konsumen berada pada titik yang lemah. Konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan dan penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Hal ini terutama sekali ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya Yayasan ini muncul berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan dari masyarakat, Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitas barang dan/atau jasa yang ditawarkan terjamin yang pada akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya disebut UUPK. Dalam penjelasan UUPK disebutkan bahwa peranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan upaya para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. UUPK ini mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia seutuhnya yang berlandaskan pada filosofi kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata juga terdapat ketentuan-ketentuan yang bertendensi melindungi konsumen, seperti dalam beberapa Pasal Buku III, Bab V, Bagian II yang dimulai dari Pasal 1365 . Salah satu isu konsumen yang sangat menarik pada saat ini adalah soal sering terjadinya pemadaman listrik yang terjadi di wilayah Medan dan sekitarnya serta beberapa masalah lainnya yang timbul antara Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan konsumen. Dalam hal ini kewajiban utama pelanggan PLN adalah membayar rekening listrik tepat waktu, sebaliknya pelanggan PLN berhak mendapatkan aliran listrik secara berkesinambungan dengan keadaan baik. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Bahkan apabila terjadi gangguan, pelanggan PLN berhak mendapatkan pelayanan untuk perbaikan terhadap gangguan penyediaan tenaga listrik atau penyimpangan atas mutu tenaga listrik yang disalurkan. Idealnya, antara hak dengan kewajiban berjalan secara pararel. Pelanggan membayar rekening listrik tepat waktu dan sekaligus pelanggan juga mendapatkan tenaga listrik secara berkesinambungan dalam keadaan baik. Banyak hal yang masih mewarnai masalah kelistrikan yang dialami masyarakat konsumen, antara lain: 1. kesalahan pencatatan tagihan rekening listrik, 2. antrian panjang dalam membayar rekening, 3. sikap petugas dalam melayani, 4. biaya penyambungan baru, 5. voltase listrik naik-turun (berakibat rusaknya alat-alat elektronik rumah tangga), 6. pembongkaran KWh meter/Alat Pembatas dan Pengukur (dengan alasan menunggak rekening beberapa bulan, padahal baru beberapa hari menyala segel tera tidak ada), 7. melaporkan kaca KWh meter pecah, malah dikenakan denda hampir Rp. 5 juta, padahal alat-alat lainnya dalam keadaan baik sesuai kesaksian kedua belah pihak dan berita acara, 8. pembayaran rekening dikaitkan dengan pembayaran pungutan/retribusi, 9. pemadaman listrik yang sering dilakukan secara sepihak oleh PLN. Kondisi yang terjadi dewasa ini adalah di saat pelanggan belum mendapatkan pelayanan secara optimal, PLN yang berdasarkan Keputusan Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Presiden (Keppres) No. 67 Tahun 1994 justru memperberat kewajiban pelanggan dengan ”menyesuaikan” Tarif Dasar Listrik (TDL). Hal ini dapat dipahami apabila pelanggan sangat ”peka” ketika PLN menaikkan tarif listrik. Guna meningkatkan citra PLN di mata masyarakat konsumen/pelanggan, PLN pada prinsipnya tidak menyetujui dikaitkan pembayaran rekening listrik dengan pungutan-pungutan lainnya, termasuk restribusi kebersihan, baik yang dimasukkan ke dalam rekening listrik maupun terpisah. Jika tidak ada informasi seperti ini, masyarakat tidak tahu padahal konsumen berhak tahu tentang hal ikhwal yang menyangkut layanan yang diterimanya dengan kompensasi pembayaran rekening. Luasnya jangkauan pelayanan umum PLN menunjukkan betapa tidak mudahnya untuk memberikan gambaran presepsi yang disampaikan masyarakat dengan baik, cukup, atau buruk. Namun, untuk menentukan presepsi demikian, diperlukan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan karakteristik jasa/pelayanan yang bersangkutan serta produk hukum/perundang-undangan yang mengaturnya. Hal ini tidak mudah diterapkan. Jika permasalahan pelayanan umum ini dilihat dari sudut masyarakat, khususnya konsumen yang memperoleh dan menggunakan pelayanan umum yang tersedia dengan
nilai tukar yang diberikannya dalam
bentuk tarif/biaya. Uraiannya tidak mungkin menjangkau berbagai sektor pelayanan umum yang tersedia. Pekerjaan berat ini menjadi tanggung jawab bersama, sebab menyangkut citra negara dan bangsa pada skala nasional maupun internasional. 1
1
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Intrumen Hukumnya (Jakarta: Citra Adhya Bakti, 2003), h. 171
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
PLN merupakan perusahaan negara yang bergerak di bidang pelayanan umum yang bersifat profit. Meskipun profit, perusahaan negara seperti ini sangat menguntungkan rakyat banyak sebab tujuannya lebih banyak diarahkan pada usaha memakmuran rakyat.2 Di dalam UUPK, konsumen dan pelaku usaha mempunyai hak dan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7, yakni: Pasal 4: Hak konsumen adalah: 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
2
Todong Mulya Lubis, ”Hukum dan Ekonomi,” Sinar Harapan (16 Januari 1992), h. 7
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau pengantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5: Kewajiban konsumen adalah: 1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. mengikuti uapaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Pasal 6: Hak pelaku usaha adalah: 1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 2. hak untuk mendapat perelindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik; 3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7 Kewajiban pelaku usaha adalah: 1. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. menjamin
mutu
barang
dan/atau
jasa
yang
diproduksi
dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Dari peraturan perundang-undangan yang ada, sekurang-kurangnya ada tiga peraturan yang dapat kita jadikan acuan. Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, dan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02P/451/M.PE/1991 tentang Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dengan Masyarakat. Sehubungan dengan mutu keandalan tenaga listrik PLN, misalnya, harus ada batas-batas keandalan dan kriteria yang lebih jelas, yaitu antara PLN dan konsumen harus ada saling pengertian. PLN harus dapat memahami tuntutan konsumen akan kejelasan kriteria mutu pelayanan yang jelas. Di sisi lain, konsumen juga harus memahami, tingkat kemampuan PLN dalam menyediakan tenaga listrik, memang belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan seluruh lapisan masyarakat, akan tetapi sedikit demi sedikit akan terus ditingkatkan. Berdasarkan data di tengah-tengah masyarakat, penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut di atas untuk dijadikan suatu bahan kajian yang berbentuk skripsi dengan judul: ”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN LISTRIK PADA PT. PLN (PERSERO) WILAYAH SUMATERA UTARA CABANG MEDAN.”
B. Perumusan Masalah Keberadaan suatu pembahasan disebabkan oleh adanya permasalahan yang perlu dikaji, dianalisis dan dirumuskan permasalahan dan jawabannya. Permasalahanlah yang memberi arah penelitian dan pembahasan selanjutnya. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Untuk memberi arah yang jelas dari pembahasan dalam penulisaan skripsi ini, akan diketengahkan beberapa permasalahan yang ada antara PLN dengan konsumen. Adapun yang menjadi permasalahan
dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut: 1. Apakah hambatan yang timbul dari pihak PT. PLN (Persero) dalam memberikan pelayanan yang optimal terhadap konsumen? 2. Apa saja upaya yang dilakukan PT. PLN (Persero) dalam memenuhi hak-hak konsumen? 3. Bagaimana perlindungan hukum yang diterima konsumen terhadap pelayanan PT. PLN (Persero)?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. untuk mengetahui hambatan yang timbul dari pihak PT. PLN (Persero) dalam memberikan pelayanan terhadap konsumen, 2. untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan PT. PLN (Persero) dalam memenuhi hak-hak konsumen, dan 3. untuk mengetahui perlindungan hukum yang diterima konsumen terhadap pelayanan PT. PLN (Persero). Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi input baik secara teoretis maupun secara praktis: 1. secara teoretis hasil penelitian ini akan memberikan sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
2. secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan: a. bermanfaat bagi masyarakat luas sebagai konsumen listrik dan b. sebagai bahan rujukan bagi PT. PLN (Persero) sebagai perusahaan yang menyediakan
listrik
untuk
memperhatikan
pelayanannya
kepada
konsumen.
D. Keaslian Penulisan Skripsi ini berjudul ”Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan”. Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahanbahan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen serta undang-undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan atau media cetak maupun elektronik dan di samping itu dilakukan juga penelitian. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, penulis melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat diminta pertanggungjawaban dikemudian hari.
E. Tinjauan Kepustakaan Perlindungan konsumen menyangkut banyak aspek dan salah satunya adalah aspek hukum. Dalam berbagai kajian/penelitian hukum tentang Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
perlindungan konsumen terdapat seolah-olah sangat mengambang, bahkan kebijakan ekonomi yang ditempuh Orde Baru begitu mengabaikan kepentingankepentingan konsumen. Isu perlindungan konsumen hanya terdengar sepintas lalu, hilang oleh hiruk-pikuk pembangunan ekonomi lainnya yang sangat timpang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku efektif pada 20 April 2000 hingga dikeluarkannya sejumlah peraturan perundang-undangan pelaksanaan
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen (UUPK), belum banyak terdapat perubahan sikap perlakuan pelaku usaha terhadap konsumen. Hal ini jelas terlihat sebagian besar komoditas yang terdapat pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen. Norma-norma (perlindungan konsumen) lainnya di luar Undang-Undang Perlindunagn Konsumen (UUPK) ini, dijadikan acuan dengan menempatkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai sistem perlindungan (hukum) terhadap konsumen. Konstruksinya adalah dengan merujuk Pasal 64 (Bab XIV Ketentuan Peralihan). Melalui ketentuan tersebut dapat dipahami secara implisit bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan ketentuan khusus (Lex Specialis) terhadap ketentuan peraturan perundangundangan yang sudah ada sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), sesuai asas lex specialis de rogat lex generalis yang artinya, ketentuanketentuan di luar Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). 3
Melalui ketentuan
peralihan
ini,
Undang-Undang
3
Yusuf Sofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 10
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Konsumen(UUK)
tetap
berlaku
sepanjang
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen tidak menentukan lain. Menurut Cornelis LAY, 4 seorang sosiolog, hampir semua anak negeri disadarkan terhadap sejumlah persoalan pokok di seputar kelistrikan yang sekian lama diterima sebagai persoalan pribadi, kini bertukar raut dalam hitungan detik menjadi persoalan semua orang, akibat padamnya listrik (black-out). Pokok persoalan tersebut, antara lain: 1. kerawanan pada tingkat teknis yang terungkap lewat kesadaran atau keringkihan sistem jaringan interkoneksi kelistrikan kita pada kemungkinan sabotase; 2. akibat-akibat sosial di tengah-tengah masyarakat seperti terungkap melalui kesadaran berupa derajat ketergantungan masyarakat yang sudah kronis pada listrik sebagai bagian yang sangat penting dalam siklus hidup, terutama masyarakat perkotaan di Indonesia. Tidak kunjung diselesaikannya persoalan itu, ditanggapi masyarakat yang sering mengalami gangguan listrik dengan memplesetkan PLN sebagai Perusahaan Lilin Negara karena sedemikian seringnya lilin menggantikan fungsi listrik yang sering padam tanpa pemberitahuan. Merujuk prinsip-prinsip yang dianut Undang-Undang Ketenegalistrikan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PLN) wajib menyediakan tenaga listrik secara berkesinambungan dengan mutu dan keandalan yang baik (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 jo. Pasal 25 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989) yang sesuai dengan standar listrik Indonesia yang ditetapkan
4
Anyer, “Ketika Listrik Pun Padam,” Kompas (28 april 1997), h. 8
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Menteri Pertambangan dan Energi berdasarkan persetujuan Dewan Standarisasi Nasional (Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 jo. Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.
02P/451/M.PE/1991).
Pelanggaran terhadap prinsip ini tentu ada konsekuensi hukumnya kecuali terbukti dengan adanya keadaan mendesak di luar kemampuan manusia (force majure), seperti gempa bumi dan bencana alam. Dalam Pasal 25 ayat (3) PP No. 10/1989 disebutkan bahwa sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, PLN wajib: 1. memberikan pelayanan terbaik, 2. menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan keandalan yang baik, 3. memberikan perbaikan, apabila ada gangguan tenaga listrik, dan 4. bertanggungjawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap nyawa, kesehatan dan barang yang timbul karena kelalainnya. Di samping ke-4 kewajiban tersebut, menurut Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02P/451/M.PE/1991, Pasal 3 ayat (1) huruf e, PLN wajib: memberikan kompensasi berupa reduksi apabila terjadi penghentian sementara penyaluran tenaga listrik, yang berlangsung secara terus menerus melebihi jangka waktu 3 x 24 jam (tiga kali dua puluh empat jam) dengan ketentuan bahwa peraturan pelaksanaannya diatur Pengusaha dan disahkan oleh Direktur Jendral. Masalah yang diatur dalam peraturan tersebut di atas, sebenarnya sudah memberi dasar yang kuat tentang arti penting adanya standar mutu pelayanan PLN. Ada dua langkah yang dapat dilakukan sebagai penjabaran ketentuan di atas
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
yaitu perlunya aturan pelaksanaan yang mengatur detail ketentuan di atas dan mensosialisasikan peraturan tersebut kepada masyarakat luas. 5
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum empiris atau sosiologis di samping juga penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif 6 tentang perlindungan hukum terhadap konsumen listrik pada PT. PLN (Persero). 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan. 3. Sumber Data Bahan-bahan pustaka yang terdiri dari data resmi yang berasal dari PT. PLN (Persero) Cabang Medan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, buku-buku, hasil penelitian dan lainnya yang diperlukan dalam penelitian ini yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap data yang ada. 4. Alat Pengumpulan Data
5
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 58. 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), h.10. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Data primer diperoleh melalui studi dokumen yaitu menggunakan sumbersumber data primer yang berupa data resmi dari PT. PLN serta data sekunder yang diperoleh dari buku-buku, internet serta hasil penelitian. 5. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data kualitatif, yaitu suatu data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang aktual dan menyeluruh mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen.
G. Sistematika Penulisan Pada penyusunan skripsi ini, penulis menguraikan pembagian skripsi dalam 5 (lima) bab, yang mana setiap babnya terdiri dari beberapa sub bab. Pembagian ini dimaksudkan untuk mempermudah serta memperjelas penguraian permasalahan agar dapat lebih dimengerti, sehingga akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan yang benar dan saran untuk dapat diterapkan agar masyarakat sebagai pemakai jasa PT. PLN dapat dipahami tuntutannya. Adapun gambaran isi skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN yang terdiri atas beberapa sub bab, yakni: Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
PT. PLN (PERSERO) WILAYAH SUMATERA UTARA CABANG MEDAN, terdiri dari sub bab, yakni: Sejarah PT. PLN (Persero) Cabang Medan, Bentuk dan Kelembagaan PT. PLN
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
(Persero) Cabang Medan, Jenis-Jenis Pelayanan PT. PLN (Persero) Cabang Medan, dan Hubungan PT. PLN (Persero) Cabang Medan dengan Konsumen. BAB III :
HAK-HAK KONSUMEN DALAM HUKUM POSITIF, terdiri dari sub bab, yakni: Makna Hak Secara Yuridis, Hak Subjek Konsumen Dalam Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen, HakHak Konsumen dalam Undang-Undang Kelistrikan, dan Hubungan Antara
Perlindungan
Konsumen
Dengan
Undang-Undang
Kelistrikan dalam Prespektif Hak. BAB IV :
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DI SUMATERA UTARA, terdiri dari sub bab, yakni: Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Konsumen Kelistrikan dan Pelaksanaan Norma Hukum Yang
Melindungi Konsumen,
Pelayanan Kelistrikan Oleh PT. PLN (Persero) Cabang Medan Masih Belum Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, dan Upaya-Upaya Konsumen dan PT. PLN (Persero) dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Kelistrikan. BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN. Dalam bab ini akan dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahasan-pembahasan dalam skripsi ini dan diakhiri dengan beberapa sumbang saran untuk kemajuan pembangunan nasional. Sebagai pelengkap skripsi ini, pada bagian terakhir akan disertakan daftar kepustakaan.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
BAB II PT. PLN (PERSERO) WILAYAH SUMATERA UTARA CABANG MEDAN
A. Sejarah PT. PLN (Persero) Cabang Medan Sejarah kelistrikan di Sumatera Utara bukanlah merupakan hal yang baru. Jika listrik mulai ada di Indonesia pada tahun 1893 di Batavia (Jakarta), maka sekitar 30 tahun kemudian (1923) listrik mulai ada di Medan. Sentralnya di bangun di pertapakan kantor PLN Cabang Medan yang sekarang di Jalan Listrik No. 12, di bangun oleh NV NIGEN/OGEM perusahaan swasta Belanda. Kemudian menyusul pembangunan pembangkit tenaga listrik di Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan (1924), Tebing Tinggi (1927), Sibolga (NV ANIWM), Berastagi dan Tarutung (1929), Tanjung Balai (1931), milik Gementee Kotapraja, Labuhan Bilik (1936), dan Tanjung Tiram (1930). Dengan menyerahnya pemerintah Belanda kepada Jepang di Perang Dunia II, maka Indonesia dikuasai oleh Jepang berikut perusahaan listrik dan gas. Di masa penjajahan Jepang tidak ada penambahan mesin dan jaringan. Dengan jatuhnya Jepang ke tangan sekutu dan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka dikumandangkanlah Kesatuan Aksi Karyawan Perusahaan Listrik di seluruh penjuru tanah air yang kemudian menggunakan momen ini untuk mengambil alih perusahaan listrik dan gas bekas milik swasta Belanda dari tangan Jepang. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Pada bulan September 1945 delegasi buruh/pegawai listrik dan gas yang diketuai Kobarsjih menghadap pimpinan Komite Nasional Pusat Indonesia (KNPI) Pusat yang waktu itu diketuai oleh Kasman Singodimedjo untuk bersamasama menghadap Presiden Soekarno guna menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada Pemerintah Republik Indonesia. Serah terima tersebut kemudian berlanjut dengan pembentukan Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum melalui Peraturan Pemerintah tahun 1945 No. 1 tertanggal 27 Oktober 1945 yang sekarang dikenal dengan Hari Listrik Nasional. Sejarah kemudian membuktikan bahwa dalam suasana yang semakin memburuk dalam hubungan Indonesia-Belanda, pada 3 Oktober 1953 maka keluarlah Surat Keputusan Presiden No. 163 yang memuat ketentuan nasionalisasi Perusahaan Listrik milik swasta Belanda sebagai bagian dari perwujudan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai akibat dari aksi pengambilalihan itu, maka sejak tahun 1955 berdirilah Perusahaan Listrik Negara distribusi cabang Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) yang dikepalai oleh R. Soekarno (merangkap Kepala di Aceh) dan pada tahun 1959 dikepalai oleh Ahmad Syaifullah. Setelah Badan Pekerjaan Umum (BPU) Perusahaan Listrik Negara berdiri dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Tinggi No.16/1/20 tanggal 20 Mei 1961, maka organisasi pembangkit tenaga listrik di Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau diubah menjadi PLN Eksploitasi. Pada tahun 1965, BPU Perusahaan Listrik Negara dibubarkan dengan Peraturan Menteri Perusahaan Umum Tenaga Listrik No.9/PRT/64 dan Peraturan Umum Menteri Perusahaan
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Umum Tenaga Listrik No.1/PRT/65 ditetapkan pembagian daerah kerja PLN yang menjadi kesatuan daerah eksploitasi Sumatera Utara tetap sebagai Eksploitasi I. Sebagai tindak lanjut dari pembentukan PLN Eksploitasi I Sumatera Utara tersebut, maka dengan keputusan Direksi PLN No. KPTS/009/DIRPLN/66 tanggal 14 April 1966, PLN Eksploitasi I dibagi menjadi 6 cabang dan sektor yaitu cabang Medan, Binjai, Sibolga, Pematang Siantar, Rantau Parapat dan Padang Sidempuan. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1972 mempertegas kedudukan PLN sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dengan hak, wewenang dan tanggung jawab membangkitkan, menyalurkan, mendistribusikan tenaga listrik ke Wilayah Republik Indonesia. Dalam Surat Keputusan Menteri tersebut PLN Eksploitasi I Sumetera Utara diubah menjadi PLN Eksploitasi II Sumatera Utara. Menyusul Peraturan Menteri Perusahaan Umum Tenaga Listrik No. 013/PRT/75 yang berubah dari PLN Eksploitasi menjadi PLN wilayah. PLN Eksploitasi II menjadi PLN Wilayah II Sumatera Utara. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 23/1994 tanggal 16 Juni 1994 maka ditetapkan status PLN sebagai Persero. Adapun yang melatarbelakangi perubahan status tersebut adalah untuk mengantisipasi kebutuhan listrik yang terus meningkat dewasa ini. Pada abad ke-21, PLN harus mampu menggunakan tolak ukur Internasional dan harus mampu berswadaya tinggi, dengan manajemen yang berani, transparan, terbuka, desentralisasi, pusat laba (profit center) dan pusat kas (cost center). Perkembangan pembangkit tenaga listrik di Sumatera Utara terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat yang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah pelanggan, perkembangan fasilitas Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
pembangkit tenaga listrik, kemampuan pasokan pembangkit tenaga listrik dan indikasi-indikasi pertumbuhan lainnya. Untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan pembangkit tenaga listrik Sumatera Utara masa yang akan datang serta sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan jasa pembangkit tenaga
listrik,
maka
berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
No.
078.K/023/DIR/1996 tanggal 8 Agustus 1996 dibentuk organisasi baru di bidang jasa pelayanan pembangkit tenaga listrik yaitu PT. PLN (Persero) Pembangkit dan Penyaluran Sumatera Bagian Utara. Pembentukan organisasi PT. PLN (Persero) Pembangkit dan Penyaluran Sumatera Bagian Utara yang terpisah dari PLN Wilayah II, maka fungsi-fungsi pembangkitan dan penyaluran yang sebelumnya dikelola PLN Wilayah II terpisah tanggung jawab ke PLN Pembangkit dan Penyalur Sumatera Bagian Utara. Sementara itu, PLN Wilayah II berkonsentrasi pada distribusi dan penyaluran tenaga listrik. Pada tahun 2002 dikeluarkan Keputusan Direksi yang menyatakan bahwa PT. PLN (Persero) Wilayah II Sumatera Utara diubah menjadi PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara.
B. Bentuk dan Kelembagaan PT. PLN (Persero) Cabang Medan Sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 023 Tahun 1994 status kelembagaan PLN diubah dari Perusahaan Umum (PERUM) menjadi PT. PLN (PERSERO), status PLN sebagai Persero ini efektif terhitung sejak Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 1 Aguatus 1994, karena sejak tanggal tersebut secara hukum, PLN merupakan subjek hukum dalam bentuk Badan Hukum Perdata. Sebenarnya pada Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
waktu PLN berstatus Perum berdasarkan PP No. 18 tahun 1972 yang kemudian diubah dengan PP No. 17 tahun 1990, kedudukan hukum PLN juga merupakan Badan Hukum hanya saja sifat badan hukumnya adalah Badan Hukum Publik. Meskipun antara PLN di sini Perum (dulu) dengan PLN sebagai PLN (sekarang) mempunyai kesamaan antara lain sama-sama menjadi Pemegang
PERUM PLN
PT. PLN (PERSERO)
1. Badan Hukum Publik
1. Badan Hukum Perdata
2. Ruang geraknya terbatas
2. Ruang geraknya lebih fleksibel
3. Tidak bisa Go Publik
3. Bisa Go Publik
4. Tidak bisa mendirikan anak perusahaan
4. Bisa mendirikan anak perusahaan
5. Orientasi Publik Utility
5. Orientasi komersil
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum (PKUK), namun terdapat beberapa perbedaan yang cukup prinsipil khususnya dilihat dari kepentingan bisnis antara lain sebagai berikut:
Dalam struktur organisasi PT. PLN (Persero) wilayah Sumatera Utara Cabang Medan mempunyai tugas pokok dan tanggung jawab unsur pelaksana cabang, yaitu: 1. Manager Cabang Manager Cabang bertugas untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan penjualan tenaga listrik, pelayanan pelanggan, pengoperasian dan pemeliharaan jaringan distribusi tenaga listrik di wilayah kerjanya secara efisien sesuai tata kelola perusahaan yang didukung oleh pelayanan, tingkat mutu dan keandalan Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
pasokan yang baik unutk memenuhi kebutuhan pelanggan serta melakukan pembinaan dan pemberdayaan unit asuhan di bawahnya. 2. Bagian Distribusi Bagian Distribusi ini mengkoordinasikan perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan sarana pendistribusian tenega listrik yang efektif dan efisien dengan kualitas serta keandalan yang baik menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Bagian distribusi ini mempunyai sub bagian yaitu: a. Sub Bagian Distribusi Sub
Bagian
Distribusi
ini
melaksanakan
pengoperasian
sistem
pendistribusian tenaga listrik dan penertiban jaringan distribusi tenaga listrik kepada pelanggan. b. Sub Bagian Pemeliharaan Distribusi Sub Bagian Pemeliharaan Distribusi ini melaksanakan pemeliharaan jaringan distribusi dan peneraan alat pembatas dan pengukur (APP) rangkaian sambungan untuk pelanggan. 3. Bagian Pemasaran Tugas Bagian Pemasaran ini melaksanakan kegiatan penyusunan prakiraan kebutuhan tenaga listrik, penjualan tenaga listrik, penyuluhan dan survei data pelanggan tenaga listrik di wilayah kerjanya. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana tersebut butir 2 di atas, Bagian Pemasaran mempunyai berfungsi untuk: a. melakukan penyusunan rencana penjualan tenaga listrik dan langkah pencapaiannya,
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
b. melaksanakan penyuluhan dan pemberian informasi tentang ketenagalistrikan dan prosedur pelayanan kepada calon pelanggan/pelanggan/masyarakat, c. melaksanakan pembinaan forum komunikasi dengan pelanggan tenaga listrik di wilayah kerjanya, dan d. merencanakan pengembangan dan pembinaan sarana pembayaran rekening listrik (Payment Point). 4. Bagian Komersial Bagian
Komersial
bertugas
untuk
melakukan
upaya
pencapaian
pendapatan, penyelamatan pendapatan dari penjualan tenaga listrik dan melaksanakan kebijakan penjualan tenaga listrik serta menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Pada bagian komersial mempunyai sub bagian yaitu; a. Sub Bagian Pembacaan Meter Sub Bagian Pembacaan Meter bertugas untuk melaksanakan pembacaan stand KWh meter, sebagai dasar proses pembuatan rekening dan melaksanakan pengawasan pelaksanaan pembacaan meter yang dilakukan oleh pihak Out Sourching. b. Sub Bagian Tata Usaha Langganan Sub
Bagian
Tata
Usaha
Langganan
bertanggungjawab
untuk
melaksanakan kegian administrasi tata usaha langganan meliputi ,pelayanan pelanggan, administrasi langganan, penagihan dan kegiatan pemutusan dan penyambungan. c. Sub Bagian Sistem Informasi
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Sub Bagian Sistem Informasi ini melaksanakan kegiatan perencanaan, pengembangan dan pemeliharaan sitem aplikasi teknologi informasi dalam rangka menunjang pelayanan penjualan tenaga listrik. 5. Bagian Keuangan Bagian Keuangan ini merupakan bagian yang mengkoordinasikan penyelenggaraan pengelolaan anggaran, keuangan, perpajakan, dan asuransi sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen dan membuat laporan keuangan dan akuntansi yang akurat dan tepat waktu. Pada bagian keungan mempunyai sub bagian yaitu: a. Sub Pengendalian Anggaran dan Keuangan Sub Pengendalian Anggaran dan Keuangan menyusun rencana kerja dan anggarannya serta melaksanakan pengelolaan dana dan luar kas. b. Sub Bagian Pengendalian Pendapatan Sub Bagian Pengendalian Pendapatan melaksanakan pemantauan anggaran belanja dan pendapatan cabang, pengurusan asuransi dan pencatatan pajak perusahaan. c. Sub Bagian Akuntansi Sub Bagian Akuntansi melasanakan pencatatan semua transaksi, aktiva lancar, aktiva tetap, PDP, kas dan Bank serta inventarisasi aktiva tersebut di atas sesuai dengan standar akuntansi keuangan dan kebijakan direksi. 6. Bagian SDM dan Administrasi Bagian SDM dan Administrasi melaksanakan pengelolaan kepegawaian, kesekretariatan, perbekalan dan keamanan. Pada bagian SDM dan administrasi mempunyai sub bagian yaitu: Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
a. Sub Bagian Sumber Daya Manusia Sub Bagian Sumber Daya Manusia melaksanakan kegiatan perencanaan pengurusan sumber daya manusia. b. Sub Bagian Sekretariat Sub Bagian Sekretariat melaksanakan tata usaha kesekretariatan dan pengurusan rumah tangga serta keamanan lingkungan kerja. c. Sub Bagian Perbekalan Sub Bagian Perbekalan melaksanakan kegiatan bidang perbekalan meliputi rencana persediaan, pengadaan dan penyimpangan barang/material, alat tulis kantor dan administrasi perbekalan. 7
C. Jenis-Jenis Pelayanan PT. PLN (Persero) Cabang Medan Jenis-jenis pelayanan yang diberikan oleh PT. PLN kepada konsumen diuraikan sebagai berikut, yaitu: 8 1. Pelayanan Pemberian Informasi Penyambungan Tenaga Listrik Kepada Calon Pelanggan, Pelanggan dan Masyarakat Umum Lainnya Dalam melaksanakan tugasnya Fungsi Pelayanan Pelanggan harus dapat memberikan informasi kepada pelanggan, calon pelanggan dan masyarakat umum lainnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyambungan listrik. 2. Pelayanan Permintaan Penyambungan Baru Pelayanan Permintaan Penyambungan Baru dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu
7
Materi Penyuluhan Tingkat Pelaksana TUL 1994 PT. PLN (Persero) Wilayah II Sumatera Utara. Tata Usaha Langgan Bagi Deputy, Kepala Kontrin, Kepala Cabang, Kepala Bagian Distribusi, Kepala Bagian Pelayanan Pelanggan, Kepala Rayon dan Kepala Ranting di PT. PLN (Persero).
8
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
a. Sistem paket Sistem paket adalah pelayanan permintaan penyambungan tenaga listrik baru yang termasuk pelayanan pemasangan instalasi pelanggan. b. Sistem bukan paket Sistem bukan paket adalah pelayanan permintaan penyambungan tenaga listrik baru yang tidak termasuk pelayanan pemasangan instalasi pelanggan. 3. Pelayanan Permintaan Perubahan Daya Pelayanan Permintaan Perubahan Daya dilakukan apabila terjadi keadaan yang daya tersambung harus disesuaikan dengan daya menurut ketentuan Tarif Dasar Tenaga Listrik yang berlaku atau Perubahan Tegangan Listrik. Atas dasar laporan hasil penelitian dan atau informasi yang diterima dari pencatatan, kemudian Fungsi Pelayanan Pelanggan akan merekamnya ke dalam komputer atau mencatat pada agenda TUL I-02. 4. Pelayanan Permintaan Berhenti Sebagai Pelanggan b. Atas permintaan pelanggan Yang dimaksud dengan permintaan berhenti sebagai pelanggan adalah permintaaan berhenti sebagai pelanggan PLN yang diajukan oleh nama yang tercantum dalam rekening listrik. Permintaan berhenti sebagai pelanggan tidak dapat dipenuhi/dilayani apabila permintaan tersebut diajukan melalui telepon, karena bermasalah (data tidak lengkap/tidak absah/terdapat hutang pelanggan yang belum dilunasi) Bagi pelanggan yang minta berhenti sebagai pelanggan, apabila kelebihan Uang Jaminan Listrik (UJL) maka UJL harus dikembalikan kepada pelanggan
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
setelah diperhitungkan dengan tunggakan rekening listrik dan atau kewajiban lainnya yang belum dilunasi. b. Berhenti sebagai pelanggan bukan atas permintaan pelanggan yang bersangkutan Permintaan berhenti sebagai pelanggan yang diajukan oleh orang/badan hukum yang bukan pelanggan dijawab antara lain bahwa permintaan tidak dapat dipenuhi karena peminta tidak tercatat sebagai pelanggan PLN. 5. Pelayanan Permintaan Perubahan Nama Pelanggan Pelayanan Permintaan Perubahan Nama Pelanggan, terdiri dari: -
Ganti nama pelanggan adalah perubahan nama pelanggan yang tidak berakibat adanya perpindahan alas hak sebagai pelanggan listrik.
-
Balik nama pelanggan adalah perubahan nama pelanggan yang berakibat adanya perpndahan alas hak sebagai pelanggan.
6. Pelayanan Permintaan Perubahan Golongan Tarif Permintaan Perubahan Golongan Tarif adalah permintaan untuk merubah golongan tarif dengan daya yang tetap. Permintaan perubahan golongan tarif terdiri dari: a. Perubahan atas permintaan pelanggan. Permintaan perubahan golongan tarif ini atas dasar permintaan pelanggan yang karena peruntukkan tenaga listriknya telah berubah. b. Perubahan bukan atas permintaan pelanggan. Perubahan golongan tarif bukan atas permintaan pelanggan, dimaksudkan untuk
merubah
golongan
tarif
yang
dilakukan
oleh
PLN
sesuai
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
peruntukkannya atau karena untuk menyesuaikan dengan ketentuan TDL yang berlaku. 7. Pelayanan Permintaan Penyambungan Sementara Pelayanan Permintaan Penyambungan Sementara adalah penyambungan yang diperuntukkan untuk penyambungan daya atau penambahan daya jangka pendek. Permintaan penyambungan sementara dapat diberikan untuk: -
Bangunan/persil yang sudah mendapat sambungan tenaga listrik yang sah.
-
Bangunan/persil yang belum ada sambungan tenaga listrik yang sah.
8. Pelayanan Pembayaran Tagihan Susulan Pelayanann Pembayaran Tagihan Susulan berfungsi melayani pelanggan menerima dokumen sehubungan dengan proses penertiban pemakai aliran tenaga listrik (P2TL) dari fungsi yang berwenang. Fungsi pelayanan pelanggan menerima dokumen sehubungan dengan proses P2TL dari fungsi yang berwenag. a
Penetapan besarnya tagihan susulan Fungsi pelayanan pelanggan berdasarkan dokumen P2TL yang diterima
dari fungsi yang berwenang akan menghitung besarnya tagihan susulan yang kemudian ditetapkan oleh Kepala Cabang. b
Pembayaran tagihan susulan Untuk penerimaan pembayaran biaya tersebut dilakukan kegiatan
mencetak kwitansi dan merekam pembayaran dan tanggal bayar. B. Pelaksanaan/Tindak lanjut P2TL. Tagihan susulan Penertiban Pemakaian Aliran Tenaga Listrik (P2TL) yang telah diselesaikan pembayarannya, maka: Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
a
Sambungan tenaga listrik diputus, SLP/SMP tidak diambil, maka fungsi pelayanan pelanggan pembayarannya, maka:
b
-
perintah kerja penyambungan kembali, dan
-
berita acara penyambungan kembali.
sambungan tenaga listrik diputus, SLP/SMP diambil, maka fungsi pelayanan pelanggan akan membuat/menyiapkan: -
perintah kerja pemasangan SL,
-
berita acara pemasangan SL, dan
-
PDL.
9. Pelayanan Permintaan Pemutusan Sementara Dengan Penyambungan Kembali Tenaga Listrik Yang dimaksud Pelayanan Permintaan Pemutusan Sementara Dengan Penyambungan Kembali Tenaga Listrik adalah pemutusan tenaga listrik karena bangunan/instalasi pelanggan diperbaiki untuk jangka waktu tertentu maksimal satu tahun dan yang bersangkutan masih tercatat sebagai pelanggan PLN. Selama pemutusan sementara, rekening tetap diterbitkan (hanya biaya beban saja). Apabila permintaan penyambungan kembali melebihi jangka waktu satu tahun maka permintaan penyambungan tersebut diberlakukan sebagai permintaan pemasangan penyambungan kembali dengan membayar Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Pelanggan. 10. Pembongkaran Tenaga Listrik Tanpa Penyambungan Kembali Yang
dimaksud
dengan
Pembongkaran
Tenaga
Listrik
Tanpa
Penyambungan Kembali adalah pembongkaran sambungan tenaga listrik yang tidak disambung kembali pada pelanggan yang sama karena peraturan pemerintah Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
atau bukan karena kemauan pelanggan maupun bukan kemauan PLN, misalnya: perubahan peruntukkan fungsi lahan, terkena proyek peremajaan wilayah, dan lain sebagainya. 11. Pelayanan Pengaduan Pelanggan a. Pengaduan perbaikan/penggeseran instalasi PLN Yang dimaksud dengan Pengaduan perbaikan/penggeseran instalasi PLN adalah permintaan perbaikan/penggeseran instalasi PLN untuk kepentingan pelanggan yang bersangkutan. b. Pengaduan rekening listrik Yang dimaksud dengan Pengaduan Rekening Listrik adalah pengajuan yang diajukan pelanggan karena adanya dugaan kesalahan perhitungan tagihan dalam pembayaran rekening listrik. c. Pengaduan lain-lain Yang dimaksud Pengaduan lain-lain adalah penerimaan pengaduan diluar butir 1 dan 2 tersebgut di atas, misalnya bersifat teknis maupun aministratif 12. Pelayanan Permintaan Pembayaran Kembali (Restitusi) Yang dimaksud dengan Pelayanan Permintaan Pembayaran Kembali (Restitusi) adalah pengembalian uang kepada pelanggan karena sesuatu hal atau adanya kesalahan perhitungan. 13. Pelayanan Permintaan Angsuran Yang dimaksud Pelayanan Permintaan Angsuran adalah pelayanan terhadap pelanggan-pelanggan yang akan membayar kewajibannya (BP, tagihan susulan P2TL atau tunggakan rekening listrik). 14. Pelayanan Permintaan Reduksi Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Yang dimaksud Pelayanan Pemberian Reduksi adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan musiman berdasarkan Edaran Direksi No. 012.E/471/DIR/1994 yaitu: a. Penggilingan beras dan pabrik gula dapat diberikan reduksi atas Biaya Beban sebesar 50% namun KWh yang digunakan dihitung penuh dengan ketentuan pemakaina KWh tidak melebihi tiga jam dari daya tersmbung. b. Untuk pompa irigasi, bukan tambak udang dapat diberikan reduksi atas Biaya Beban sebesar 75%. c. Pompa pengendali banjir (Tarif S) dapat diberikan reduksi atas Biaya Beban sebesar 75%. 15. Historis Data Pelanggan Historis Data Pelanggan adalah data untuk memenuhi kebutuhan informasi tentang pelanggan. Historis data pelanggan akan menyimpan data pelanggan pada waktu pertama kali menjadi pelanggan dan perubahan data pelanggan yang pernah terjadi selama jadi pelanggan serta kondisi pelanggan. Pembuatan dan persiapan historis data pelanggan dilakukan melalui komputer. 16. Pengawasan Peremajaan Data Pelanggan Yang dimaksud dengan Pengawasan Peremajaan Data Pelanggan adalah proses Perubahan Data Pelanggan (PDL) di komputer karena adanya mutasi/koreksi yang dilakukan berdasarkan PDL. Pengawasan peremajaan data pelanggan dilakukan antara lain dengan memeriksa dan menyesuaikan data pelanggan di Laporan Peremajaan dengan PDL yang bersangkutan. Apabila dalam pemeriksaan/penyesuaian data tersebut diketemukan kelainan/penyimpangan dari
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
mutasi/koreksi data pelanggan yang seharusnya, maka tindakan yang dilakukan adalah: a
mengulang atau memutasikan pelanggan tersebut Fungsi Pengolahan Data,
b
mengkoreksi rekening listrik bulan ini sesuai dengan mutasi/koreksi data pelanggan yang seharusnya.
17. Pelayanan Pembayaran Dimuka Rekening Listrik Yang dimaksud dengan Pelayanan Pembayaran Dimuka Rekening Listrik adalah pembayaran penggunaan tenaga listrik (rekening listrik) yang belum dibukukan sebagai penjualan tenaga listrik atau atas pemakaian Tenaga Listrik yang belum dipergunakan. 18. Pencatatan Data Pelanggan Yang dimaksud dengan Pencatatan Data Pelanggan adalah pencatatan terhadap setiap terjadi penambahan pelanggan baru dan perubahan data pelanggan. Perubahan-perubahan dicatat pada Kartu Pelanggan Tarif Tunggal Tanpa KVArh atau Kartu Pelanggan Tarif Ganda dan Tunggal dengan KVArh. 19. Nomor Pelanggan Yang dimaksud dengan Nomor Pelanggan adalah nomor yang diberikan kepada setiap pelanggan yang merupakan identitas pelanggan sebagai akibat penyambungan baru tenaga listrik. Nomor pelanggan ini tidak menunjukkan jumlah pelanggan sebagai akibat penyambungan baru tenaga listrik.
D. Hubungan PT. PLN (Persero) Cabang Medan dengan Konsumen Dalam Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi menurut Tata Usaha Pelanggan (TUL) 1994, Pelanggan didefinisikan sebagai Pemakai Tenaga Listrik Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
PLN dengan landasan hak yang sah atau dengan kata lain pemakai tenaga listrik tanpa alas hak yang sah bukan merupakan Pelanggan dan oleh karena itu TUL 1994 hanya mengatur hubungan PLN dengan pelanggan. Hubungan hukum antara PLN dengan pelanggan didasarkan pada suatu alas hak yang disebut perjanjian jual beli tenaga listrik yang sepenuhnya tunduk pada hukum perjanjian sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang antara lain menyebutkan bahwa Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pasal BW). Hubungan antara PLN dengan Pelanggan didasarkan pada hubungan perdata tersebut membawa konsekuensi sebagai berikut: 1. PLN hanya berwenang mengambil tindakan secara langsung terhadap pelanggan berdasarkan ketentuan dalam jual beli tenaga listrik sedangkan terhadap non pelanggan PLN tidak dapat mengambil tindakan secara langsung misalnya mengenakan tagihan susulan terhadap non pelanggan. 2. Hubungan antara PLN dengan orang atau badan hukum yang menjadi pihak dalam Perjanjian jual beli tersebut. Kegiatan yang sudah, sedang, dan akan dilakukan PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan adalah penjualan tenaga/arus listrik, pelayanan pelanggan, pengoperasian dan pemeliharaan jaringan distribusi tenaga listrik di wilayah kerjanya secara efisien sesuai dengan tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan kebijakan Kantor Induk untuk menghasilkan pendapatan perusahaan yang didukung dengan pelayanan. Kegiatan ini dimulai dari PLN pembangkit yang merupakan sektor dari perusahaan yang menghasilkan arus listrik melalui pembangkit. Arus listrik ini Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
kemudian disalurkan ke PLN Pusat Penyaluran dan Pengatur Beban Sumatera (P3BS). Pada PLN P3BS ini arus listrik pertama sekali disalurkan ke Unit Pengatur Beban (UPB) yakni ke transmisi. Kemudian arus akan disalurkan ke Unit Pelayanan Transmisi (UPT) yaitu ke Gardu Induk (GI). Unit Pelayanan Transmisi ini akan dibagi ke dalam beberapa Penyulang dari daerah yang bersangkutan. Dari PLN P3BS arus kemudian disalurkan ke wilayah Sumatera Utara melalui Gardu Induk ke Jaringan Tegangan Menengah (JTM) atau disebut juga Penyulang seperti yang terdapat pada UPT . Antara GI dan JTM terdapat KWh batas yang bertujuan untuk membatasi arus listrik yang akan didistribusikan. Dari JTM arus listrik dialirkan ke Jaringan Tegangan Rendah (JTR) yang kemudian akan didistribusikan ke Sambungan Rumah (SR). PLN Wilayah Sumatera Utara akan menyalurkan arus listrik tersebut ke PLN Wilayah Sumatera Utara. Proses penjualan arus listrik ini diawali dengan adanya alat ukur pemakaian arus listrik yang biasa disebut KWh Meter bangunan atau rumah yang menggunakan arus listrik. Pada KWh Meter ini akan terdapat Stand Awal dan Stand Akhir yang selisih antara keduanya adalah yang disebut dengan jumlah pemakaian yakni dalam satuan KWh. Jumlah pemakaian ini akan dikalikan dengan tarif per Kw yang tarif akan ditentukan berdasarkan lokasi pemakai arus listrik.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
BAB III HAK-HAK KONSUMEN DALAM HUKUM POSITIF
A. Makna Hak Secara Yuridis Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. Hak ternyata juga tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, melainkan juga kehendak. Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum adalah: 1. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki title atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat korelatif. 3. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commision) atau tidak melakukan (ommision) sesuatu perbuatan. 4. Commision atau Ommision itu menyangkut seseuatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak. 5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai title, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Oleh Soerjono Soekanto, hak dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Hak searah atau relatif, muncul dalam hukum perikatan atau perjanjian misalnya hak menagih atau melunasi prestasi. 2. Hak jamak atau absolut, yang terdiri dari: a. Hak dalam Hukum Tata Negara pada penguasa menagih pajak, pada warga hak asasi; b. Hak kepribadian, hak atas kehidupan, hak tubuh, hak kehormatan, dan kebebasan; c. Hak kekeluargaan, hak suami-istri, hak orang tua, hak anak; d. Hak atas objek materiil, hak cipta, merek dan paten. Hak dalam bahasa Belanda disebut Subjectief Recht, sedangka Objectief Recht artinya hukum. Dalam konteks ini, hak sebagai hukum subjektif umumnya dibagi 2 (dua) yaitu: 1. Hak Mutlak (absolut)
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Hak Mutlak (absolut) ialah memberikan kekuasaan atau wewenang kepada yang bersangkutan untuk bertindak, dipertahankan, dan dihormati orang lain. Hak multak dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu: a. Hak asasi manusia; b. Hak publik, misalnya hak atas kemerdekaan dan kedaulatan, hak negara memungut pajak; c. Hak keperdataan, misalnya: hak menuntut ganti rugi, hak kebebasan orang tua, hak perwalian, hak pengampuan, hak kebendaan dan hak immaterial. 2. Hak Relatif (nisbi) Hak Relatif (nisbi) ialah memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang-orang tertentu untuk menuntut kepada orang lain tertentu untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jika membicarakan tentang perlindungan konsumen tidak lain adalah membicarakan hak-hak konsumen. Presiden Amerika Serikat J. F. Kennedy dalam pesannya kepada Congress tanggal 15 Maret 1962 dengan judul A Special message of Pritection the Consumer Interest, menjabarkan 4 (empat) hak konsumen sebagai berikut: 9 1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety); 2. Hak memilih (the right to choose); 3. Hak mendapatkan informasi (the right to be informed); 4. Hak untuk di dengar (the right to be heard); PT. PLN (Persero) dalam melaksanakan hak informasi konsumen dilakukan dengan beberapa jalan:
9
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 1986), h. 127.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
1. Melalui jalur online dengan menggunakan pesawat telepon dengan nomor 123, dalam hal pelanggan yang mengalami gangguan dapat meminta informasi mengenai gangguan yang dialami oleh pelanggan yang nantinya akan dilayani oleh petugas yang akan menerangkan dan akan menindak lanjutinya kemudian untuk dilakukan pemerikasaan. 2. Mendatangi langsung kantor PLN dan membuat laporan pengaduan tentang gangguan yang dialami oleh pelanggan dengan mengisi formulir pengaduan pelanggan yang telah disediakan oleh petugas dan mendapatkan informasi mengenai gangguan tersebut dan akan ditindak lanjuti oleh PLN. 3. Apabila ada melihat Mobil Unit Pelayanan Gangguan yang kebetulan sedang melintas, dapat langsung melaporkan kepada petugasnya tentang informasi gangguan yang dialami oleh pelanggan. Mobil unit itu akan segera meneruskan laporan anda ke petugas piket di kantor pelayanan gangguan melalui
komunikasi
radio.
Selanjutnya
petugas
piket
itu
akan
mengkoordinasikan pelayanan gangguan untuk pelanggan yang bersangkutan. 4. Bahkan sekarang ini lagi dikembangkan suatu sistem baru, yaitu untuk memberikan informasi kepada pelanggan mengenai tagihan rekening listrik yang harus dibayar oleh pelanggan melalui media Short Message Service (SMS), yaitu dengan mengirimkan sms ke nomor tertentu yang telah ditentukan. Namun hal ini masih di uji coba dan belum diperkenalkan secara luas. 5. Sekarang ini PT. PLN (Persero) telah membuat suatu akses baru yang bisa digunakan konsumen yaitu melalui website dari PT. PLN (Persero). Dalam hal ini konsumen bisa mengakses website PT. PLN (Persero) Pusat yaitu melalui Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
situs di http://www.pln.co.id ataupun melalui website PT. PLN (Persero) Wilayah II Sumatera Utara di http://www.plnsumut.co.id. Konsumen dapat mengetahui informasi tentang PT. PLN (Persero) dan juga dapat mengajukan keluhannya langsung ke website tersebut. 10
B. Hak Subjek Konsumen dalam Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Kata ”konsumen” pertama kali masuk dalam substansi GBHN pada tahun 1983. Pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya GBHN harus menguntungkan konsumen. Lima tahun kemudian katakata itu dirasakan tetap relevan untuk dimuat kembali sehingga dalam GBHN 1988 dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus menjamin kepentingan konsumen. Selanjutnya dalam GBHN 1993 kembali dinyatakan, pembangunan ekonomi
itu
harus
melindungi
kepentingan
konsumen.
Kata-kata
”menguntungkan”, ”menjamin kepentingan”, atau ”melindungi kepentingan” itu pada hakikatnya merupakan rumusan yang sangat abstrak dan normatif. 11 Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan konsumen dan dua jenis kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsip-prinsip pengaturan di bidang perlindungan konsumen. UUPK menyebutkan lima prinsip pengaturan yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan, serta kepastian hukum.
10
http://www.plnsumut.co.id. A.Z Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Hukum Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), h. 72. 11
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentu saja prinsip-prinsip tersebut bukan sesuatu yang khas ”hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Yang termasuk kelompok ini adalah: 1. Prinsip ”Let the buyer Beware” Doktrin ”let the buyer beware” sebagai dasar dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Akhirnya, konsumen pun didikte oleh pelaku usaha. Jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan mudah berdalih dengan mengatakan, semua itu karena kelalaian konsumen sendiri.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Doktrin yang mengatakan ”let the buyer beware” itu ditentang oleh pendukung gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme). Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual-beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli (konsumen) jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati). 2. Prinsip ”The Due Care Theory” Doktrin
(prinsip atau teori)
ini menyatakan
bahwa
pelaku
usaha
mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha, seseorang harus dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. 3. Prinsip ”The Privity of Contract” Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikannya. Artinya, konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability). Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum (tortious liability). Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Walaupun demikian, ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang jasa. Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip
ini
pertanggungjawabannya
menyatakan, secara
seseorang
hukum
jika
baru
dapat
ada unsur
dimintakan
kesalahan
yang
dilakukannya. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 12 yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: 1) adanya perbuatan, 2) adanya unsur kesalahan,
12
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermassa, 1987), h. 310.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
3) adanya kerugian yang diderita, dan 4) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal 4 (empat) variasi, 13 yaitu: 1) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan
bahwa
kerugian
ditimbulkan
oleh
hal-hal
di
luar
kekuasaannya. 2) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian. 3) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahnnya. 4) Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik. Dari uraian di atas jelas terlihat beban pembuktian terbalik (omkering van bewijlast) diterima dalam prinsip tersebut. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijlast diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada Pasal 17 dan 18. Namun, dalam praktiknya 13
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain dalam Bidang Penerbangan (Bandung: Alumni, 1986), h. 18. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
pihak Kejaksaan RI sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23. Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (Absolute liability). Pada strict liability, harus ada hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya, sementara pada absolute liability hubungan itu tidak selalu ada. 14 Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminology di atas. Dalam Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa
14
E. Saefullah Wirapradja, Tanggung Jawab Penganangkut dalam Hukum Udara Internasional dan Nasional (Yogyakarta: Liberty, 1989), h. 51.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Menurut R.C. Hoeber, 15 biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, dan asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya, ditentukan, bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali lipat harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
C. Hak-Hak Konsumen dalam Undang-Undang Kelistrikan
15
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 64.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka kita harus kembali kepada undang-undang. Undang-undang ini, dalam hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legeslatif), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum satu dan yang lainnya. Baik perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang, keduanya itu membentuk perikatan di antara para pihak yang membuatnya. perikatan tersebut yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau yang tidak boleh dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perikatan. Berikut ini adalah hak konsumen yang diberikan/dibebankan oleh undangundang tentang Perlindungan Konsumen. menuruit ketentuan Pasal 4 UndangUndang Perlindungan konsumen, Konsumen memiliki hak sebagai berikut: 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, 2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau 3. jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, 4. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, 5. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, 6. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, 7. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen, Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
8. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, 9. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau pengantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, 10. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang pernggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman, maupun tidak membahayakan konsumen dan penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensai sampai ganti rugi. Hak-hak konsumen juga terdapat dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, yang isinya: 1. mendapat pelayanan yang baik, 2. mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik, 3. memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar, Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
4. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik, dan 5. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sesuai syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik. Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disususn kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut: 1. Hak konsumen mendapatkan keamanan Konsumen berhak mendapatkan keamanan dan barang atau jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama. 2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar Setiap produk yang dikenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk. Dengan penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat konsumen. Adalah mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
besarnya. Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara sewajarnya oleh pelaku usaha.itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proposional dan diberikan secara tidak diskriminatif. 3. Hak untuk didengar Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. 4. Hak untuk memilih Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentuka pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga berhak menentukan produk mana yang akan dibeli. 5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. 6. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatka ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masingmasing pihak. 7. Hak untuk mendapatkan penyelasaian hukum Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausula eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelasaian hukum, termasuk
advokasi.
Dengan
kata
lain,
konsumen
berhak
menuntut
pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu. 8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. 16 Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik. 9. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang
16
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), h. 119.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Persaingan curang atau disebut dengan ”persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik pelanggan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan ekonominya. 10. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal tetapi dapat melalui media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat. Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen
untuk
mendapatkan
”pendidikan
konsumen”
ini.
Pengertian
”pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi yang lebih komperhensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.
D. Hubungan Antara Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Kelistrikan dalam Prespektif Hak.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Efektif tidaknya perlindungan konsumen suatu negara tidak semata-mata bergantung pada lembaga konsumen, tetapi juga kepedulian pemerintah, khususnya melalui institusi yang dibentuk untuk melindungi konsumen. Sekuat apapun lembaga konsumen suatu negara, tetapi jika tidak diimbangi oleh lembaga sejenis dalam birokrasi pemerintah, tidak akan membuahkan hasil yang optimal. Pertanyaannya memperjuangkan
adalah
konsumen
apa dalam
kontribusi
lembaga
memperoleh
konsumen
keadilan?
untuk
Jawabannya
bergantung kepada kondisi perkembangan hukum masing-masing negara tetapi paling tidak bisa dikategorikan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Apabila secara mendasar hak-hak konsumen belum diakomodir dalam hukum positif, peran lembaga konsumen adalah mendorong legislasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 2. Apabila suatu negara sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka lembaga konsumen berkewajiban mengawasi implementasi dan penerapan hukum dari undang-undang tersebut di lapangan. Dari segi substansi, ada 3 (tiga) pendekatan dalam upaya melindungi konsumen di bawah undang-undang ini, yaitu: 1. Pendekatan holistik. Pada pendekatan holistik ada undang-undang
yang secara khusus
mengatur masalah perlindungan konsumen, sekaligus menjadi payung undangundang sektoral yang berdimensi konsumen. 2. Pendekatan sektoral.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Pendekatan sektoral artinya hak-hak konsumen diakomodir dalam undangundang sektoral. Misalnya, hak-hak konsumen pangan diatur dalam UndangUndang Pangan. 3. Pendekatan gabungan. Penedekatan gabungan adalah selain ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, masih harus dipertegas lagi dalam undang-undang sektoral. Problem lain yang dihadapi sebagian lembaga konsumen, khususnya di negara berkembang adalah mekanisme konsumen menuntut ganti rugi kepada produsen (redress mechanism). Hukum acara perdata konvensional, pada umumnya kurang akomodatif dalam menampung kepentingan konsumen ini. Untuk itu mendesak adanya reformasi hukum acara perdata. Hal-hal baru yang dapat diperkenalkan dalam rangka membedakan posisi konsumen adalah: 1. Small Claim Court. Small Claim Court ini adalah sejenis peradilan kilat, dengan hakim tunggal, tanpa ada keharusan menggunakan pengacara, biaya ringan dan tidak ada upaya banding. Sengketa konsumen, tidak jarang nilai nominalnya sangat kecil, sehingga sangat tidak praktis bagi konsumen jika harus menuntut produsen ke peradilan umum, selain biayanya mahal, butuh waktu lama dan prosedurnya rumit. Small Claim Court ini memberi akses kepada konsumen untuk menuntut produsen, walaupun nilai nominal kasus kecil. 2. Class Action Class Action dalam sengketa konsumen, pada umumnya yang menjadi korban bersifat massal. Secara teknis, agak susah bagi konsumen yang dirugikan apabila mengajukan gugatan perdata (Pasal 123 HIR). Dalam hal ini harus Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
membuat surat kuasa khusus kepada pengacara, padahal kasusnya sama. Dengan gugatan class action terhadap kasus yang sama, cukup diwakili oleh beberapa korban yang menuntut secara perdata ke pengadilan. Apabila dalam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berpihak kepada korban dimenangkan, maka korban lain yang tidak mengajukan gugatan, juga dapat meminta ganti rugi tanpa harus mengajukan gugatan baru. 3. Beban Pembuktian Terbalik Beban Pembuktian Terbalik dalam sengketa konsumen adalah apabila konsumen mengajukan gugatan, maka konsumen harus membuktikan bahwa produsen melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian di pihak konsumen. Selama tahun 1997 hingga awal tahun 2008, peristiwa yang menempatkan konsumen sebagai korban dari ketidakadilan pihak produsen atau pemerintah silih berganti. Dari kecelakaan jasa transpotasi (kereta api, pesawat udara, kapal laut dan bus), kasus keracunan makanan, likuidasi 16 bank bermasalah sampai pemadaman aliran listrik yang disuplai PT PLN. Kesan yang dapat disimpulkan dari semua data di atas adalah bahwa posisi konsumen di Indonesia masih sangat lemah. Dari aspek hukum, lemahnya posisi konsumen terjadi tidak hanya dari aspek materi hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum. Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci tentang perlindungan konsumen, khususnya dari aspek hukum, akan dibahas satu kasus yang dimensi perlindungan konsumennya sangat lemah, yaitu peristiwa pemadaman listrik yang sering terjadi dari awal tahun 2006 hingga awal tahun 2008. Ada 3 (tiga) bagian dalam tulisan ini, yaitu: Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
1. menguraikan soal pemadaman berikut akibat yang timbul dan diderita oleh konsumen jasa kelistrikan, juga alasan yang dikemukakan PT PLN selaku produsen yang menjelaskan mengapa terjadi pemadaman tersebut, 2. dasar hukum termasuk hukum positif yang mengatur hak-hak konsumen jasa kelistrikan, dan 3. agenda ke depan yang dapat dilakukan dalam rangka memperkuat posisi konsumen jasa kelistrikan. Pada awal tahun 2006 terjadi pemadaman aliran listrik di seluruh wilayah kota Medan. Bagi kepentingan konsumen jasa kelistrikan, pemadaman tersebut mempunyai dua arti istimewa, pertama, dari segi cakupan wilayah, pemadaman kali ini terbilang cukup luas dari berada dalam wilayah strategis pelayanan PT PLN, yaitu kota Medan dan kedua, dari segi waktu, lamanya waktu pemadaman, rata-rata 12 jam sehari dengan waktu pemadaman pagi, sore dan malam yang sekali pamadaman lamanya 4 jam. Kerugian yang di derita konsumen akibat pemadaman tersebut cukup beragam. Konsumen yang secara langsung dirugikan tidak hanya konsumen (pelanggan PLN) yang tetapi masyarakat yang secara langsung tidak mempunyai hubungan hukum dengan PT PLN pun juga dirugikan akibat tidak berfungsinya berbagai fasilitas umum yang powernya disuplai oleh PT PLN, seperti lampu pengatur lalu lintas, Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU), dan lain sebagainya. Nilai nominal yang diderita konsumen juga beragam, bergantung apakah ia sebagai pelanggan rumah tangga atau pelanggan bisnis. Untuk pelanggan rumah tangga, bentuk kerugian mulai dari tidak bisa mandi karena pompa air tidak berfungsi dan tidak bisa menonton televisi, sampai harus membeli lilin atau Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
emergency lamp sebagai ganti lampu penerangan dan kerusakan barang elektronik lainnya sebab tiba-tiba terjadi pemadaman listrik tanpa pemberitahuan sebelumnya. Untuk membantu para konsumen ada dasar hukum untuk melakukan perbuatan hukum yang dapat ditujukan kepada PT PLN adalah: 1. Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, disebutkan: ”Pemegang Kuasa usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum wajib memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.” 2. Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik disebutkan bahwa: a b
c
Tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib disediakan secara terus menerus; Penyediaan tenaga listrik hanya dapat dihentikan untuk sementara jika memenuhi salah satu atau lebih dari ketentuan dibawah ini: a) Diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan pemeliharaan, perluasan atau rehabilitasi instalasi ketenagalistrikan; b) Terjadi gangguan pada instalasi ketenagalistrikan; c) Terjadi keadaan yang dianggap membahayakan keselamatan umum; d) Atas perintah yang berwajib dan atau pengadilan; Pelaksanaan ketentuan ayat (2) huruf a terlebih dahulu diberitahukan kepada masyarakat selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum penghentian penyediaan tenaga listrik.
3. Pasal 26 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan listrik, disebutkan bahwa: ”Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai hak untuk mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik.” 4. Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: 02P/451/M.PE/1991 tentang hubungan pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan
dan
pemegang
izin
usaha
ketenagalistrikan
untuk
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
kepentingan umum dengan masyarakat, dinyatakan dalam menyediakan tenaga listrik pengusaha wajib melakukan hal-hal seperti: a
memberi pelayanan yang baik,
b
menyediakan tenaga listrik secara berkesinambungan dengan mutu dan keandalan yang baik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri tentang Persyaratan Penyambungan Tenaga Listrik. Lemahnya posisi konsumen jasa kelistrikan di Indonesia, adalah imbasan
dari atmosfir perlindungan konsumen di Indonesia yang juga masih sangat lemah. Dari perspektif perlindungan konsumen, agenda ke depan yang dapat dilakukan adalah: 1. Mengubah format politik ekonomi Suatu realita adalah terhadap serangkaian kasus konsumen yang memakan korban massal pemerintah selalu memihak kepada produsen. Hal ini, tidak lain cerminan dari format politik dan ekonomi yang belum menempatkan kepentingan masyarakat banyak (konsumen) sebagai basis kebijakan. Perlindungan terhadap konsumen mensyaratkan adanya pemihakan kepada yang lemah (konsumen) dan setiap keputusan yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak harus berorientasi kepada kepentingan publik. 2. Adanya lembaga dalam struktur kekuasaan yang secara khusus menangani perlindungan konsumen Idealnya adalah perlindungan konsumen dilakukan secara simultan dari dua arah yaitu dari arus bawah, ada lembaga konsumen yang kuat dan tumbuh dari bawah dan tersosialisasi secara merata di masyarakat. Sedangkan dari atas ditopang oleh struktur kekuasaan, ada lembaga (institusi) yang secara khusus Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
mengurus masalah perlindungan konsumen. Hal ini jelas semakin tinggi lembaga tersebut dalam struktur kekuasaan, semakin besar kekuatan yang dimiliki. Kasus di Indonesia, jelas terlihat ditengah sengketa konsumen semakin banyak, beban lembaga konsumen semakin berat, karena belum adanya instansi dalam struktur kekuasaan yang menyelesaikan masalah perlindungan konsumen. 3. Mendesak adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen Salah satu kendala dalam memperjuangkan hak-hak konsumen adalah belum adanya peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur masalah perlindungan konsumen.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DI SUMATERA UTARA
A. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Konsumen Kelistrikan dan Pelaksanaan Norma Hukum yang Melindungi Konsumen. Untuk persoalan yang menyangkut keadilan, bukanlah barang haram di negara hukum. Penyelesaian di luar pengadilan bisa jadi lebih baik. Itulah sebabnya mengapa sebelum proses peradilan perkara (perdata), hakim meminta para pihak untuk berdamai (menyelesaikan atas dasar kesepakatan para pihak). Atas dasar wewenang deskresi, PLN dapat memberikan kompensasi dalam bentuk reduksi kepada rumah tangga, misalnya dengan memperhatikan angka rata-rata pemakaian per hari tiga bulan terakhir serta lamanya padamnya listrik, tanpa harus Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
terpaku pada regulasi kelistrikan. Penyelesaian seperti ini dirasakan lebih mempertimbangkan kemaslahatan bersama. Seperti yang telah disebutkan di dalam Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa ”Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Ketentuan berikutnya dari Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatakan ”Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat di tempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa”. Dari Pasal 45 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ayat (2) dan (4) ini dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan ada dua macam, yaitu yang pertama langsung melalui pengadilan negeri dan kedua, gugatan melalui pengadilan apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa dianggap gagal atau tidak berhasil. Menurut Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen tentang gugatan ke pengadilan dan class action, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: 1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan. 3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. 4. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Selama ini jika ada beberapa kasus konsumen ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) diselesaikan melalui beberapa jalur, misalnya: meminta keterangan dari PLN melalui surat yang biasanya melalui surat ini, beberapa kasus bisa diselesaikan tanpa harus melalui jalur hukum lebih lanjut. Jika penyelesaian melalui jalur ini tidak dapat menyelesaikan kasus, selanjutnya YLKI akan melakukan mediasi dengan mempertemukan kedua belah pihak. Jika tidak dapat menyelesaikan permasalahan, jalurnya adalah lembaga peradilan yang berlaku, seperti yang pernah dilakukan YLKI dengan menggugat PLN pada waktu terjadi pemadaman listrik se-Jawa dan Bali pada tahun 1997, yang telah diputus oleh pengadilan. Dari uraian tersebut jelas terlihat 2 (dua) hal penting mengenai penyelesaian sengketa konsumen, yaitu: 1. Bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan alternatif penyelesaian perselisihan melalui badan luar sistem peradilan yang disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 17, selain melalui Pengadilan Negeri. 17
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 242. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
2. Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha bukanlah suatu pilihan penyelesaian sengketa melaui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan sengketa melaui badan peradilan. Oleh karena untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan sebelum melalui BPSK, maka dapat ditempuh melalui: konsumen langsung mengadu dn menggugat pelaku usaha dalam hal ini PT. PLN (Persero), bentuk penyelesaian dan besarnya ganti rugi diserahkan pada kesepakatan para pihak dengan syarat bahwa untuk tercapainya penyelesaian sengketa, kedua belah pihak harus mempunyai kemampuan dan iktikad baik. Pengaduan gugatan dan ganti rugi di ajukan melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) sesuai dengan tujuan didirikannya untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen, sebagai contoh adalah YLKI. Pengaduan dan gugatan ganti rugi diajukan
melalui Direktorat
Perindungan Konsumen dan akan memberikan bantuan penyelesaian sengketa dengan bertindak sebagai katalisator maupun mediator. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka penyelesaian diserahkan kepada para pihak untuk diteruskan melalui BPSK atau Pengadilan Negeri. Komoditas listrik menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga dimensi keadilan akan mudah dirasakan bila terlampau sering dikorbankan. Dengan meminjam Roescoe Pound, dimensi keadilan dapat dilaksanakan dengan maupun tanpa hukum. Terlampau terpaku pada regulasi bisa jadi lebih banyak mengorbankan keadilan. Sebaliknya tanpa regulasi pun, itu berarti anarkhis. Yang
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
penting, bagaimana mengharmonisasikan gerak antara diskresi yang luas dengan regulasi yang tegas dan terperinci. Hal ini sepenuhnya pilihan mana yang akan dilakukan PLN maupun konsumen/pelanggan. Berbagai peraturan yang sudah ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Di bidang hukum perdata ketentuan dalam Burgelijk Wetboek (BW) hanya memberikan perlindungan kepada ”pembeli” (Pasal 1473-1512) atau pihak-pihak yang terkait dalam suatu perjanjian (Pasal 1320-1328), padahal BW tidak berlaku lagi bagi warga Indonesia asli/pribumi, kecuali bila pribumi yang bersangkutan menundukkan dirinya secara sukarela atau pernah mengalami proses hukum (gelijks telling). Berbagai perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, perumusannya begitu luas sehingga tidak dapat secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Demikian juga bagian terbesar dari ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, yaitu berbagai peraturan sektoral yang biasanya berbentuk keputusan menteri, belum mampu dimanfaatkan secara langsung untuk melindungi kepentingan. Bahkan pengertian ”konsumen” itu sendiri hampir tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedudukan konsumen Indonesia dalam sistem perekonomian nasional masih berada pada keadaan memprihatinkan. 18 Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985, pengaturan terhadap perlindungan konsumen tidak secara jelas diungkapkan dalam undang-undang ini. Hal ini bisa dilihat terutama sekali pada Pasal 15 dan 16, yaitu:
18
Agus Brotosusilo, Instrumen/Aspek-aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1997), h. 3-4.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
1.
Pemegang
Kuasa
Usaha
Kelistrikan
dan
Pemegang
Izin
Usaha
Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum wajib: a. menyediakan tenaga listrik, b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat, dan c. memperhatikan keselamatan kerja dan keselamatan umum. 2.
Ketentuan
tentang
hubungan
antara
Pemegang
Kuasa
Usaha
Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum dengan masyarakat yang menyangkut hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing diatur dengan Peraturan Pemerintah. Apabila dikaji, sebenarnya rumusan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 sudah tercantum jelas tentang perlindungan konsumen terutama Pasal 33 mengamanatkan bahwa pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib memberikan
pelayanan
yang
sebaik-baiknya
kepada
masyarakat
dan
memperhatikan hak-hak konsumen sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen. Selain itu, konsumen tenaga listrik mempunyai hak mendapat pelayanan yang baik, mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik, memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar, mendapat pelayanan perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik dan mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan./atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian jual-beli tenaga listrik sebagaimana tercantum dalam Pasal 34. Namun karena Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 sudah dicabut maka di dalam perundang-undangan setingkat undang-undang yang mengenai Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
ketenagalistrikan tidak jelas dan tidak tegas mengatur tentang perlindungan konsumen dan hal ini sangatlah meresahkan karena hal ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman terlebih-lebih setelah keluarnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Beberapa perundang-undangan yang lain di bawah undang-undang yang mengatur masalah ketenagalistrikan adalah: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik yang diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, mengatur tentang Jenis dan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPL), tata cara permohonan IUPL, serta kewajiban dan tanggung jawab pemegang IUPL. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik, mengatur tentang usaha penunjang tenaga listrik, izin usaha penunjang tenaga listrik, syarat-syarat penyediaan dan pengusahaan, instalasi dan standarisasi ketenagalistrikan, serta hubungan pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan pemegang izin usaha ketenagalistrikan dengan masyarakat. 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2001 tanggal 30 Juni 2001 yang diganti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2003 tentang harga jual tenaga listrik yang disediakan oleh PT. PLN (Persero). Di dalam Keputusan Presiden ini ditentukan tarif/harga jual tenaga listrik yang mempertimbangkan keadilan, kemampuan daya beli masyarakat, biaya produksi dan efisiensi pengusahaan, skala pengusahaan dan interkoneksi sistem yang dipakai. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1995 tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik Presiden Republik Indonesia. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1995 ini perlindungan konsumen diatur dalam Bab III tentang kewajiban dan tanggung jawab pemegang izin usaha penunjang tenaga listrik terutama Pasal 9 dan Pasal 10. 5. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 1836/K/36/MEM/2002 tentang ketentuan pelaksanaan harga jual tenaga listrik tahun 2003 yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara.
B. Pelayanan Kelistrikan Oleh PT. PLN (Persero) Cabang Medan Masih Belum Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Keberadaan suatu peradilan tata usaha negara sering dianggap sebagai unsur utama berdirinya suatu negara hukum (rechtstaat). 19 Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Kualifikasi gugatan yang lazim digunakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, adalah wanprestasi (default) atau perbuatan melawan hukum (tort).
19
Miriam Budiardjo, Dasar-DasarIlmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 58.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Apabila
ada
hubungan
kontraktual
anatara
konsumen
dengan
pengusaha/perusahaan, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen, tidak lain karena tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha. Jadi, jika tidak ada hubungan kontraktual antara konsumen dengan pengusaha, maka tidak ada tanggung jawab (hukum) pengusaha kepada konsumen. Dalam ilmu hukum, inilah yang disebut sebagai doktrin privity of contract. Di dalam doktrin ini terkandung prinsip “tidak ada hubungan kontraktual, tidak ada hubungan tanggung jawab” (no privity - no liability principle). Ketika banyaknya masalah yang timbul di bidang kelistrikan, masyarakat menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Dari berbagai masalah yang ada, sebenarnya inti pokok persoalannya pada hak dan kewajiban kedua belah pihak, dalam hal ini, PLN selaku produsen jasa kelistrikan dan warga selaku konsumen. Reaksi konsumen untuk menuntut ganti rugi, misalnya, merupakan cerminan adanya kesadaran bahwa sebagai konsumen, mereka mempunyai hak, sebaliknya, sikap tegas PLN akan memberi ganti rugi kepada konsumen yang hak-haknya belum mampu dipenuhi oleh pihak PLN. Konsekuensi hukumnya tidak hanya sekedar permintaan maaf, melainkan kalau perlu pemberian ganti rugi kepada para pelanggan/konsumen akibat padamnya listrik. Konsekuensi ini wajar mengingat bila konsumen diduga merugikan PLN, padahal belum tentu terbukti kebenarannya menurut hukum, konsumen terpaksa membayar dugaan kerugian tersebut karena berkepentingan agar listriknya tidak diputus. Posisi lemah pelanggan/konsumen ini berlaku sebaliknya bagi PLN. Terhentinya penyediaan tenaga listrik dalam batas-batas Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
tertentu ternyata dilindungi undang-undang melalui standar mutu dan keandalan. Artinya harus ada penetapan standar jumlah dan lama terhentinya penyediaan tenaga listrik karena gangguan. Bila PLN melanggar standar itu, terbuka peluang kecil untuk mengajukan gugatan ganti rugi. Dimensi hukum padamnya listrik jelas tidak menggembirakan bagi pelanggan/konsumen listrik. Dalam perspektif perlindungan (hukum) terhadap konsumen, setidaknya dua hal mengemuka di sini. Pertama, di tengah-tengah minimnya konsekuensi hukum padamnya listrik, PLN terlampau egois menghitung kerugian ekonomisnya ketimbang kerugian ekonomis yang dialami berbagai lapisan pelanggan/konsumennya. Evaluasi masalah-masalah teknis kelistrikan cenderung menyalahkan perusahaan pembuat peralatan-peralatan PLN. Ini terlihat pada keinginan PLN mengajukan komplain pada perusahaan tersebut. Tentu saja hal ini mengundang pertanyaan pasokan peralatan tersebut tidak memenuhi standar dan prosedur di PLN? Hal-hal teknis demikian perlu kiranya transparansi kebijakan kepada masyarakat agar diketahui bagaimana mata rantai kegiatan penyediaan tenaga listrik secara berkesinambungan. Kedua, dimensi keadilan bagi pelanggan/konsumen untuk mendapatkan ganti rugi banyak dikorbankan, khususnya konsumen rumah tangga. Hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dari PLN hanyalah hiasan UndangUndang Ketenagalistrikan. Ketika konsumen menjumpai masalah, konsumen dihadapkan pada berbagai pembatasan yang sah menurut hukum. Tidak mudah menyingkap tabir pembatasan hukum demikian. Dibandingkan pelanggan listrik untuk kepentingan bisnis/biasa, khusus bagi konsumen rumah tangga tidak mudah memformulasikan besarnya kerugian secara material akibat padamnya listrik, Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
misalnya: terhambatnya kegiatan-kegiatan rumah tangga sehari-hari atau tidak berfungsinya perangkat elektronik rumah tangga karena listrik padam. Akan tetapi masih dijumpai peluang yang sangat kecil untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada PLN atas dasar perbuatan melawan hukum (tort) sesuai ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo. Pasal 25 ayat (3) butir d Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989. Melalui instrumen ini, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian (burden of proof) yang berat, karena harus membuktikan unsur-unsur: 1. Perbuatan melawan hukum; 2. Kesalahan/kelalaian tergugat; 3. Kerugian yang dialami konsumen/pelanggan; 4. Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen. Pasal 25 ayat (3) d Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 mengetengahkan bahwa PLN bertanggungjawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap nyawa, kesehatan, dan barang yang timbul karena kelalaiannya. Dugaan adanya kelalaian dapat terjadi pada waktu: 1. pelaksanaan pekerjaan, 2. tidak
segera
melakukan
tindakan
pengamanan
perbaikan,
padahal
laporan/informasi telah disampaikan, dan 3. tindakan-tindakan lain yang dapat menimbulkan kerugian selama pemberian pelayanan tenaga listrik. Bentuk kelalaian yang ketiga ini, memberikan kesempatan bagi hakim untuk menafsirkannya secara proposional kasus demi kasus dengan berbagai Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
model penafsiran hukum. Diharapkan hal-hal yang tidak jelas diatur dalam berbagai regulasi kelistrikan, putusan hakim akan memberikan pemecahannya, bahkan mungkin mengisi kekosongan hukum dan untuk memulainya bukan pekerjaan mudah, tetapi bila tidak dimulai diperkirakan tidak akan ada perbaikan nasib konsumen. Alternatif mengajukan gugatan ”class action” yang sudah ada dasar hukum positifnya yang ketentuan class action diatur dalam Pasal 46 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Ayat (1) tersebut merumuskan: ”Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: ...b) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama”. Ayat (2) menentukan: ”Gugatan yang diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,... diajukan kepada peradilan umum”. Pada penjelasannya dinyatakan bahwa gugatan kelompok (class action) diakui undang-undang ini. Lebih lanjut dikemukakan dalam penjelasan itu bahwa gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu di antaranya adalah adanya bukti transaksi.
C. Upaya-Upaya Konsumen dan PT. PLN (Persero) dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Kelistrikan. Hukum positif (ius constitutum) merupakan substansi hukum yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Waktu tertentu yang dimaksud di sini adalah ketika suatu peristiwa hukum itu terjadi. Hukum positif dengan kata lain, hukum
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
yang sedang berlaku, bukan hukum di masa lampau atau hukum yang dicitacitakan (ius constituendum). Dalam visi Aliran Hukum Positif (Positivisme Hukum), hukum yang berlaku (hukum positif) itu harus memenuhi unsur keberlakuan (Geltung) yuridis. Hukum tersebut boleh saja mengabaikan unsur filosofis dan sosiologis, tetapi tidak dapat meninggalkan unsur yuridis. Suatu peraturan dikatakan memenuhi unsur keberlakuan yuridis apabila peraturan itu dilahirkan oleh lembaga yang berwenang dan melalui proses yang benar. Dengan demikian hukum positif semata-mata mementingkan formalitas, bukan isi (materi) dari peraturan itu. Disebut hukum positif semata-mata karena ia masih berlaku sampai saat ini. 20 Hukum positif merupakan substansi dari suatu sistem hukum. Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum mempunyai tiga unsur, yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. 21 Menurut norma hukum positif Indonesia, landasan yuridis tertinggi terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 27 ayat (1). Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa segala warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal tersebut pada dasarnya memberi landasan konstitusional bagi perlindungan konsumen di Indonesia karena dalam ketentuan itu secara jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum konsumen tidak boleh lebih rendah daripada produsen atau pemasar produk si produsen. Mereka memiliki hak-hak yang seimbang satu sama lainnya.
20 21
Shidarta, Op. Cit., h. 10. Lawrence M. Friedman, American Law (New York: W.W. Norton & Co.,1985), h. 5
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
A. Z. Nasution mengatakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaedah-kaedah yang bersifat mengatur juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Sejalan dengan batasan hukum konsumen, hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum dan/atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang, sedangkan hukum konsumen berperan pada hubungan dan masalah yang para pihak berimbang dalam kedudukan sosial ekonomis, daya saing maupun tingkat pendidikan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
yang
mengatur dan memberikan arah bagi restrukturisasi sektor ketenagalistrikan membawa perubahan yang besar dalam bisnis energi khususnya listrik ke depan, melalui restrukturisasi industri, implementasi mekanisme pasar, reformasi tarif listrik, rasionalisasi partisipasi swasta, dan redefinisi peran pemerintah. Dengan dibukanya pasar sektor ketenagalistrikan maka PT PLN ke depan tidak akan lagi memonopoli pemegang kuasa usaha di bidang ketenagalistrikan. UU No. 20 Tahun 2002 juga mengupayakan agar tenaga listrik dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, menjaga keselamatan ketenagalistrikan dan kelestarian fungsi lingkungan, serta memanfaatkan sebesar-besarnya tenaga kerja, barang dan jasa produksi dalam negeri.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Jasa kelistrikan diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Jasa Ketenagalistrikan. Dari segi hubungan konsumen-produsen dalam penyelenggaraan jasa ketenagalistrikan, apa yang diatur dalam undang-undang ini masih kurang
bentuk
perlindungan
yang
diberikan kepada konsumen.
Permasalahan yang sering ditimbulkan PT. PLN (Persero) adalah masalah pemadaman listrik yang terkadang tanpa pemberitahuan, masalah penghitungan rekening listrik dan tidak stabilnya tegangan yang masuk ke pelanggan. Setelah laporan pengaduan diterima maka akan dikerahkan petugas ke lapangan untuk mengecek apa yang sesungguhnya penyebab gangguan yang dialami oleh pelanggan. Baru setelah diketahui oleh petugas dilaporkan ke kantor untuk dilakukan langkah-langkah perbaikan sesuai dengan bidangnya masingmasing. Mengenai masalah pemadaman listrik, menurut hasil penelitian dilapangan ternyata penyebabnya ada beberapa hal, yaitu: 1. akibat kerusakan instalasi jaringan penyaluran listrik kepada pelanggan, 2. akibat defisit daya yang dikirimkan oleh pembangkit listrik kepada PLN untuk didistribusikan, dan 3. gangguan alam, seperti bencana alam. Masalah pemadaman listrik ini sebenarnya merupakan suatu permasalahan yang sangat sulit ditanggulangi. Apabila dilihat dari susunan organisasi dari PT. PLN (Persero) ini ternyata terbagi kedalam 2 (dua) bagian yang terpisah. Bagian yang pertama adalah PT. PLN (Persero) Pembangkit dan Penyalur (Kitlur) yang merupakan unit dari PT. PLN (Persero) yang mengurusi masalah penyediaan daya listrik dan penyalurannya. Sedangkan yang kedua adalah PT. PLN (Persero) Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Wilayah yang mengurusi masalah pendistribusian/penyaluran listrik kepada pelanggan. Bagian inilah yang langsung berhubungan dengan pelanggan atau bisa dikatakan dengan singkat bahwa PT. PLN (Persero) Pembangkit dan Penyalur (Kitlur) adalah bagian produksi (supplier) dan PT. PLN (Persero) Wilayah sebagai Penyalur (Distributor). Masalah pemadaman itu di benarkan dilakukan oleh PLN sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 03.P/451/M.PE/1991 dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan pemeliharaan, perbaikan gangguan, perluasan atau rehabilitasi instalasi PT. PLN (Persero) yang berkaitan dengan instalasi pelanggan, 2. terjadi sesuatu hal pada instalasi yang membahayakan kelangsungan penyaluran tenaga listrik dan/atau keselamatan umum serta keamanan jiwa manusia, 3. dianggap membahayakan keselamatan umum serta keamanan daerah dan/atau negara, 4. atas perintah instansi yang berwajib dan/atau pengadilan, dan 5. apabila terdapat perubahan standard dalam bidang kelistrikan. Banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen yang dilakukan oleh PLN, konsumen berhak menuntut kompensasi kepada PLN. Konsumen juga dapat mengajukan gugatan apabila benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah adanya bukti transaksi. Kalau dilihat dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, maka dimungkinkan bagi konsumen untuk menuntut PT. PLN (Persero) yang isi pasalnya adalah sebagai berikut: Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
1. ”Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. 4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
Di dalam ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, dikatakan bahwa dalam hal pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha, distributor menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memberikan ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dengan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui BPSK atau dengan cara memajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: 1. Konsiliasi Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak di mana pada akhirnya kepentingan-kepentingan bergerak mendekat (moving closer) dan selanjutnya dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak (a measure of goodwill). Rekonsiliasi menyatakan secara tidak langsung kebersamaan pihak-pihak yang bersengketa yang dahulu berkongsi, kini mereka berselisih. 2. Mediasi Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga (a third party), suatu pihak luar yang netral (a neutral outside) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang disepakati. Sesuai dengan batasan tersebut mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak. Sesuai dengan sifatnya, mediasi tidak dapat diwajibkan (compulsory), tetapi hanya dapat terjadi jika kedua belah pihak secara sukarela (voluntary) berpartisipasi. Pada akhirnya suatu kesepakatan akan tercipta tanpa cara-cara merugikan (nonviolent means), setidaknya suatu hubungan baik (relationship) tercipta tanpa konflik. 3. Arbitrase Arbitrase 22 merupakan suatu metode penyelesaian sengketa dalam masalah-masalah perdata (civil matters) yang dapat disetujui oleh kedua belah pihak, yang dapat mengikat (binding) dan dapat dilaksanakan/ditegakkan. Para pihak diwajibkan untuk pergi ke arbitrase atas suatu masalah tertentu sebagai bagian dari suatu perjanjian tentang prosedur penyelesaian sengketa (dispute resolutions procedures) yang telah disepakati para pihak terdahulu. Sebelum para pihak terlibat dalam proses, hasil keputusan arbitrase (the status of the outcome of arbitration) harus disetujui para pihak tersebut. Di kalangan dunia usaha, umumnya lebih mendayagunakan lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketa usaha dan dagang yang terjadi daripada mnyelesaikannya melalui lembaga litigasi atau peradilan. Jika dibandingkan
22
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
lembaga pengadilan, maka lembaga arbitrase mempunyai beberapa kelebihan. 23 Kelebihan tersebut antara lain: 1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, 2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif, 3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, di samping jujur dan adil, 4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, 5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan. Sifat rahasia arbitrase ini dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan disebabkan adanya penyingkapan informasi bisnis kepada umum. Selain itu, hal ini juga dapat melindungi mereka dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibatnya, seperti kehilangan reputasi, bisnis, pemicu bagi tuntutan-tuntutan lainnya, yang dalam proses pengadilan dapat mengakibatkan pemeriksaan sengketa secara terbuka dan umum. Tidak banyak kasus yang sampai ke pengadilan antara PLN dengan konsumen yang dirugikan atas pelanggaran hak-hak konsumen yang dilakukan
23
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 4-5.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
oleh PLN. Dua hal yang harus diperhatikan pekerja bantuan hukum (litigasi maupun nonlitigasi). Pertama, menempatkan korban sebagai subjek utama, di mana kepentingan para korban itulah yang harus menjadi agenda pokok dan penentu arah suatu kegiatan advokasi. Kepentingan dan ambisi-ambisi pribadi para pekerja bantuan hukum tidak boleh turut bermain dalam proses gugatan tersebut. Kedua, hal-hal teknis persiapan gugatan perwakilan/kelompok (class action), seperti: 1. pengumpulan fakta-fakta hukum (investigasi), 2. pembuatan opini hukum, 3. pengorganisasian, termasuk pembentukan jaringan kerja, 4. penyadaran (konsientisasi) masuarakat korban serta kampanye publik melalui pertemuan-pertemuan dengan masyarakat korban, 5. litigasi (pembuatan surat gugatan), 6. penentuan wakil dalam melakukan gugatan kelompok.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Sebagai hasil akhir dari pembahasan permasalahan pada skripsi ini, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hambatan-hambatan yang timbul dari PT. PLN dalam praktiknya banyak dilakukan. Antara lain luasnya jangkauan pelayanan umum PLN menunjukkan bahwa tidak mudahnya memberikan pelayanan/jasa yang bersangkutan serta produk hukum atau perundang-undangan yang mengaturnya, peralatanperalatan kelistrikan yang kurang optimal dalam menyalurkan tenaga listrik kepada konsumen sehingga mengakibatkan matinya listrik yang sangat merugikan konsumen dalam berbagai bidang. Bahwa Sumber Daya Manusia Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
(SDM) yang berkerja pada PLN harus ditingkatkan guna meningkatkan citra PLN di mata pelanggan dan mendapatkan SDM yang sesuai. Berbagai perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan konsumen,
perumusannya begitu luas sehingga tidak dapat secara langsung melindungi kepentingan konsumen. 2. Upaya yang dilakukan PT. PLN dalam memenuhi hak-hak konsumen bahwa PT. PLN tetap berusaha memberikan pelayanan yang maksimal sehingga sehingga sebagian besar hak-hak para konsumen dapat dipenuhi. Hal ini jelas terlihat dengan perhatian PLN dalam memenuhi kebutuhan konsumen, akan tetapi konsumen juga harus memahami situasi dan kondisi PT. PLN pada saat ini. Dalam arti, bahwa banyak sekali peralatan yang harus diperbaiki secara bertahap dan di ganti tetapi karena situasi keuangan pemerintah pada saat ini kurang memungkinkan bagi PLN untuk dapat memenuhi keinginan konsumen. Disamping itu, PT. PLN juga memberikan pelayanan gangguan listrik ataupun menghubungi pesawat 123 atau dapat mendatangi langsung ke kantor PLN terdekat dengan memberikan laporan tentang gangguan yang dialami oleh pelanggan. 3. Perlindungan hukum yang diterima oleh konsumen terhadap pelayanan PT. PLN yaitu beberapa kasus konsumen ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) diselesaikan melalui beberapa jalur, misalnya: meminta keterangan dari PLN melalui surat yang biasanya melalui surat ini, beberapa kasus bisa diselesaikan tanpa harus melalui jalur hukum lebih lanjut. Jika penyelesaian melalui jalur ini tidak dapat menyelesaikan kasus, selanjutnya YLKI akan melakukan mediasi dengan mempertemukan kedua belah pihak. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
Jika tidak dapat menyelesaikan permasalahan, jalurnya adalah lembaga peradilan yang berlaku atau melalui sengketa di luar pengadilan yakni Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
B. Saran Dari kesimpulan tersebut, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan akan bermanfaat bagi perkembangan perlindungan hukum terhadap konsumen di masa yang akan datang. Adapun saran-saran tersebut adalah: 1. Bahwa PLN harus lebih mengetahui kekurangan yang ada dalam peralatan kelistrikan dan harus lebih dipersiapkan apabila terjadi kerusakan atau mengganti peralatan yang rusak agar pelanggan/konsumen tidak dirugikan oleh kejadian tersebut. Pemerintah harus mengusahakan/mengupayakan agar seluruh pengelola ketenagalistrikan membeli asuransi untuk pembayaran kerugian konsumen jika terjadi kerusakan alat-alat elektronik yang diakibatkan oleh padamnya lsitrik secara tiba-tiba seperti yang terjadi belakangan ini. Jaminan asuransi itu untuk mengatasi kejadian yang tidak dapat diduga sebelumnya, sehingga dapat dipakai untuk membayar kerugian konsumen dan perusahaan itu sendiri. 2. Jika terjadi pemadaman listrik maka pembayaran rekening listrik pelanggan harus disesuaikan dengan padamnya listrik yang terjadi. Apabila ada kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) maka harus dibarengi dengan kepuasan pelayanan PLN yang diterima oleh pelanggan. Pemberian informasi yang dilakukan oleh PLN jika melakukan pemadaman listrik harus diberitahukan jauh sebelum
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
terjadinya pemadaman listrik, artinya dilakukan 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat jam) agar pelanggan dapat mengatisipasi jika terjadi pemadaman listrik. 3. Sebenarnya rumusan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 sudah tercantum jelas tentang perlindungan konsumen terutama Pasal 33 mengamanatkan bahwa pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan memperhatikan hak-hak konsumen sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen. Selain itu, konsumen tenaga listrik mempunyai hak mendapat pelayanan yang baik, mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik, memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar, mendapat pelayanan perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik dan mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian jual-beli tenaga listrik sebagaimana tercantum dalam Pasal 34.
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Brotosusilo, Agus, 1997, Instrumen/Aspek-aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta. Budiardjo, Miriam, 1986, Dasar-DasarIlmu Politik, Gramedia, Jakarta.. Friedman, Lawrence M, 1985, American Law, W.W. Norton & Co., New York Hardjasoemantri, Koesnadi, 1994, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Materi Penyuluhan Tingkat Pelaksana TUL 1994 PT. PLN (Persero) Wilayah II Sumatera Utara. Nasution, A.Z, 1995, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Hukum Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Shofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Intrumen Hukumnya, Citra Adhya Bakti, Jakarta. Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
------------------. 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UndangUndang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung. Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta. Subekti, R, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermassa, Jakarta. Sudaryatmo, 1996 Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Suherman, E, 1986, Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain dalam Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung. Tata Usaha Langgan Bagi Deputy, Kepala Kontrin, Kepala Cabang, Kepala Bagian Distribusi, Kepala Bagian Pelayanan Pelanggan, Kepala Rayon dan Kepala Ranting di PT. PLN (Persero). Usman, Rachmadi, 2002, Hukum Arbitrase Nasional, Gramedia, Jakarta. Wirapradja, E. Saefullah, 1989, Tanggung Jawab Penganangkut dalam Hukum Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta. B. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenegalistrikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 1836/K/36/MEM/2002 tentang ketentuan pelaksanaan harga jual tenaga listrik tahun 2003 yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2001 tanggal 30 Juni 2001 yang diganti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2003 tentang harga jual tenaga listrik yang disediakan oleh PT. PLN (Persero) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1995 tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik Presiden Republik Indonesia Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02P/451/M.PE/1991 tentang Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dengan Masyarakat. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik C. Artikel Harian Anyer, “Ketika Listrik Pun Padam,” Kompas (28 april 1997): 8 Lubis, Todong Mulya, ”Hukum dan Ekonomi,” Sinar Harapan (16 Januari 1992): 7 D. Internet Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009
http://www.plnsumut.co.id http://www.pln.co.id
Liza Fauzia : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Listrik Pada PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Cabang Medan, 2008. USU Repository © 2009