PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH PASCA PENCABUTAN IZIN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI JIWA BIUMI ASIH JAYA (BAJ) OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: ISMADANI ROFIUL ULYA NIM: 1111048000056
KONSENTRASI
HUKUM
B I S N I S
PROGRAM STUDI ILMUHUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan asli hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta,
Maret 2015
Ismadani Rofiul Ulya
iii
ABSTRAK Ismadani Rofiul Ulya. NIM 1111048000056. Perlindungan Hukum Nasabah Pasca Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ) Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. iv+70+43. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupunm akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak lain yang berkepentingan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach) yakni mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat ahli, dan makalah-makalah. Penulis dalam penelitian ini menganalisis mengenai pengaruh pencabutan izin usaha perusahaan asuransi Bumi Asih Jaya (BAJ) yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Seperti diketahui dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 OJK mempunyai wewenang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan salah satunya adalah peransuransian. Pengkajian mengenai peransuransian sangatlah penting melihat perkembangan industri asuransi saat ini tumbuh pesat dan gagalnya perusahaan asuransi bisa berdampak sistemik karena melibatkan masyarakat secara luas. Jika suatu perusahaan dicabut izinnya maka secara mutatis dan muntadis perusahaan tersebut tidak boleh beroperasi lagi kata lainnya berhenti atau diam. Dicabutnya izin usaha Bumi Asih Jaya ini secara penegakan memang sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Peransuransian, namun disisi yang lain meninggalkan bekas goresan yang tidak kecil pada berbagai lini. Dosen Pembimbing
: Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA, MH.
Kata Kunci
: Asuransi, Bumi Asih Jaya (BAJ) , Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Daftar Pustaka
: 1999-2015
iv
KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ Puja dan puji syukur senantiasa terpanjatkan atas kehadirat Allah SWT dengan kenikmatan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan berbagai kemudahan. Shalawat serta salam penulis tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu memberi syafaat kepada umatnya dari setiap lafadz sholawat yang terucap. Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari dukungan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada: 1.
Bapak Dr. Asep Saifudin Jahar selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta jajaran dan staff Fakultas Syariah dan Hukum.
2.
Ketua Program Studi Ilmu Hukum sekaligus merupakan dosen pembimbing skripsi penulis Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA, MH dan Bapak Arip Purkon, MA selaku Sekretaris Program studi Ilmu Hukum yang senantiasa memberikan bimbingan, saran dan banyak ilmu kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
3.
Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahan. Bu Hafni, Bapak Nur Habibi, Prof. Atho, Prof. Salman, Prof. Zainudin, Prof. Masykuri, Bapak Irman Putrasidin, Pak Nahrowi, Prof. Abdullah, Pak Abu, dan
v
semua dosen yang telah mendidik penulis yang tidak bisa kami sebut semuanya tanpa mengurangi rasa hormat penulis. 4.
Seluruh Staff Fakultas Syariah dan Hukum, Staff Perpustakaan Utama, dan Staff Perpustakaan Fakultas, atas segala pelayanan yang diberikan kepada penulis.
5.
Kepada Orang Tua Penulis. Ayahanda Bachrudin Afi dan Ibunda Durrotul Afiyah. Kakak Penulis Masas Dani Nunjil Ilyasa, serta adik-adik penulis Salis Muhammad Fadhil Hidayat, Wuwuh Anida Arifah, dan Zidan Mughni Aji Danil Maulana yang tak terhingga memberikan kasih sayang dan do’a nya untuk kesuksesan penulis.
6.
Bapak Ahmad Sathori, Bang Edi Natalis, Pak Trisunu, Pak Hudiyanto selaku pegawai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah meluangkan waktunya dan sudi direpotin penulis untuk wawancara.
7.
Veny Eka Yogawati, Yasser Adnan, M. Sulthon, Kholis Bida, Mas Putro (FORTUNA), Hakim, Soghi, Anam, Dahlan, Mas Fadlan, dan Guru kita semua Maulana Syaikh Mukhtar Ali Muhammad yang telah memberikan perubahan besar terhadap pemikiran penulis. Semoga kesuksesan ada di pihak kita. Amin.
8.
Keluarga Besar
Himpunan Mahasiswa
Alumni Tebuireng (HIKMAT)
Jabodetabek dan Forum Konstitusi & Demokrasi (FOKDEM) yang telah menjadi ruang dan rumah bagi penulis untuk berkarya. Serta keluarga besar KKN SAGARA 2014 dan warga desa Muara yang memberikan pengalaman hidup kepada penulis.
vi
9.
Pergeragan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum (KOMFAKSYAHUM).
10. Seluruh teman-teman seperjuangan di Ilmu Hukum angkatan 2011, dan seniorsenior Ilmu Hukum yang telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan penulis. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalasnya. Amin. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum. Jakarta,
Penulis
vii
Maret 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii ABSTRAK ....................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ....................................................................................... v DAFTAR ISI .....................................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ix BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Identifikasi ................................................................................... 8 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 9 E. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................ 10 F. Kerangka Konseptual .................................................................... 11 G. Metode Penelitian .......................................................................... 12 H. Sistematika Penulisan .................................................................... 15 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG OJK A. Latar Belakang Lahirnya OJK ...................................................... 17 B. Prinsip-Prinsip Reformasi Keuangan ............................................. 21
viii
C. Asas-Asas OJK.............................................................................. 24 D. Model Pengawasan OJK ................................................................ 25 E. Tujuan OJK ................................................................................... 27 F. Fungsi, Peran, dan Kewenangan OJK ............................................ 28 G. Struktur OJK ................................................................................. 31 BAB III : PROFIL ASURANSI JIWA PT. BUMI ASIH JAYA (BAJ) A. Sejarah ......................................................................................... 33 B. Pengertian Asuransi ....................................................................... 37 C. Unsur Asuransi .............................................................................. 42 D. Tujuan Asuransi ............................................................................ 43 E. Prinsip Asuransi ............................................................................ 44 F. Perjanjian Asuransi........................................................................ 48 BAB IV : HASIL PENELITIAN A. Kewenangan OJK Terhadap Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Asuransi Bumi Asih Jaya (BAJ) ................................................... 51 B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Dicabutnya Izin Usaha Asuransi Bumi Asih Jaya (BAJ) 1. Kesehatan Keuangan ............................................................... 53 2. Pelanggaran Hukum ................................................................ 56 C. Akibat hukum dicabutnya izin Bumi Asih Jaya
ix
1. Terhadap Perusahaan ............................................................... 58 2. Terhadap Nasabah ................................................................... 62 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... 67 B. Saran-saran.................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 70 LAMPIRAN
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Pembimbing 2. Surat Telah Melakukan Wawancara 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara berkembang, yang mana masalah jumlah antara produsen dan konsumen selalu tidak seimbang. Konsumen lebih banyak jumlahnya daripada produsen. Menurut para ahli ekonomi Indonesia merupakan pusat pasar terbesar di dunia. Karena itu konsumen atau nasabah yang jumlahnya ribuan menjadi masalah serius di Indonesia. Sudah seharusnya keberadaan mereka mendapat perlindungan dan perlakuan hukum yang selayaknya. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia juga tidak lepas dari kompleksitas masalah-masalah terkait bisnis tersebut. Termasuk di dalamnya masalah dalam pertanggungan atau asuransi. Asuransi merupakan suatu perjanjian pertanggungan antara penanggung yang mengikatkan dirinya terhadap tertanggung, asuransi telah dikenal sejak lama dimulai pada zaman kebesaran Yunani1 dengan latar belakang pada saat itu adalah jual beli budak, perjanjian jual beli tersebut pada pokoknya memang sama dengan perjanjian asuransi pertanggungan yaitu bahwa bila budak tersebut meninggal maka akan diberi biaya untuk mengubur jenazah budak tersebut, pada saat ini mirip dengan asuransi jiwa. Perkembangan asuransi terbilang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan berbagai macam jenis asuransi seperti pada abad pertengahan mulai muncul mengenai
1
A. Junaedi Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, Cet. Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
h. 31
1
2
asuransi pengangkutan pada kapal untuk menghindari kerugian saat malapetaka yang tidak diharapkan. Bagi perusahaan asuransi di Indonesia masyarakat atau nasabah adalah objek pasar utama perusahaan tersebut. Dalam kegiatannya, masyarakat pengguna jasa asuransi (pemegang polis atau nasabah asuransi) sering kurang diperhatikan oleh pemerintah dalam memenuhi hak-haknya. Misalnya, saat perusahaan tidak membayarkan klaim para pemegang polis. Maka sering kali nasabah mengajukan proses kepailitan terhadap suatu perusahaan sebagai salah satu upaya penagihan utang, disamping berbagai cara penagihan utang lainnya yang dikenal oleh hukum, seperti penagihan melalui somasi, eksekusi jaminan utang, atau tagihan melalui prosedur pengadilan dengan prosedur biasa. 2 Tidak sedikit kasus tuntutan klaim berakhir sia-sia oleh kekalahan tertanggung, keadaan ini menjadi preseden yang kurang baik sehingga masyarakat menjadi merasa enggan berhubungan dengan asuransi. Dari kasus yang dialami tertanggung tersebut masyarakat beranggapan bahwa asuransi merupakan usaha untung-untungan atau perjudian. Hal ini yang dijadikan alasan sebagian ulama bahwa usaha perasuransian hukumnya adalah haram, meskipun sebagian ulama lain membolehkannya. 3 2
Istikhomah Dika Romadhona, Bambang Winarno, dan Djumikasih, “Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Bagi Perusahaan Asuransi Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Nasabah”, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. 3
h. 142-143
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Cet 1, (Jakarta: Kencana, 2004),
3
Masyarakat yang berposisi sebagai nasabah sering kali menjadi pihak yang dirugikan ketika sebuah perusahaan asuransi mengalami pailit atau kegagalan. Apabila sebuah perusahaan asuransi terjadi pailit atau karena suatu alasan dipailikan maka para nasabah akan menjadi pihak yang dirugikan karena tidak akan bisa meminta claim. Hal ini sungguh mencederai nilai-nilai yang terkandung pada prinsip Utmost Good Faith (itikad baik) dalam asuransi. 4 Nasabah/ konsumen asuransi pada prinsipnya merupakan pihak yang menitipkan uangnya kepada perusahaan asuransi guna mendapatkan perlindungan atau ganti rugi pada saat mereka mengalami peristiwa-peristiwa yang disepakati dalam polis asuransi. Maka apabila terjadi claim dan perusahaan asuransi tidak membayarkan klaim tersebut baik karena insolvensi atau karena suatu perusahaan dicabut izinnya atau bahkan karena suatu perusahaan asuransi dipailitkan tercederailah hak-hak pemegang polis yang tercantum dalam perjanjian.5 Ada beberapa alasan pentingnya perlindungan nasabah dalam suatu perusahaan asuransi. Pertama, karena besarnya peranan nasabah dalam membesarkan industri perasuransian (dengan kumpulan preminya) dipandang wajar bila perhatian dan perlakuan hukum terhadap nasabah ditempatkan pada porsi yang layak dan adil. Selama ini nasib nasabah belum mendapat perhatian yang proporsional sesuai
4
Man Suparman Sastrawidjadja dan Endang, Hukum Asuransi: Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Peransuransian, Cet.3, (Bandung: PT Alumni, 2004), h. 56 5
Pada prinsipnya asuransi adalah kesepakatan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung. Maka sesuai dengan asas pacta sun servanda berlakulah undang-undang antara kedua belah pihak.
4
dengan peranannya dalam menghidupkan industri perasuransian. Kedua, posisi dan kedudukan nasabah dalam banyak hal selalu lemah disebabkan dominasi penanggung (perusahaan asuransi) dalam menentukan syarat-syarat dan janji-janji khusus dalam perjanjian asuransi dengan kontrak bakunya. Ketiga, menjadikan momentum yang tepat untuk memperkuat posisi nasabah dengan segala kepentingannya, baik sebagai kreditur konkuren maupun kreditur preferen.6 Menurut data yang diterima OJK pusat sejak januari 2013 hingga Oktober 2014 OJK telah terima 25.684 pengaduan dan terbanyak adalah terkait Asuransi. 7 Hal tersebut juga yang memicu lahirnya UU Nomor 40 tahun 2014 tentang Asuransi sebagai jawaban atas kompleksitas yang biasa dihadapi oleh sistem pengaturan peransuranisan di Indonesia. Didalam UU Asuransi yang baru ini telah diintegrasikan pengaturan peransuransian melalui lembaga otoritas yakni OJK. Namun masih ada kekurangan yang harus dilengkapi terkait posisi kewenangan OJK terhadap perlindungan nasabah asuransi yang pailit. Kenyataannya OJK sebagai lembaga otoritas tidak mampu mencakup perlindungan nasabah yang mengalami dampak atas kepailitan perusahaan asuransi nasabah tersebut. UU No. 40 Tahun 2014 memuat kewenangan eksklusif yang dimiliki OJK. Apabila seorang ingin mengajukan pailit satu debitor, jika menyangkut perusahaan 6
Mulhadi, Kedudukan Tertanggung Dalam Perusahaan Asuransi, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, (Sumatera Utara, 2009), t.d, h. 5. 7
“OJK Terima 25.684 Pengaduan, Terbanyak Asuransi”, diakses pada pukul 16.10 WIB tanggal 22 November 2014 dari http://beritasore.com/2014/10/30/ojk-terima-25-684-pengaduanterbanyak-asuransi/
5
asuransi maka kewenangan boleh atau tidaknya ada pada OJK yang dulunya ada pada menteri keuangan.8 Pada dasarnya hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia. Hal itu disebabkan dalam setiap kehidupan dan setiap hubungan hukum, para pihak yang terkait mempunyai kepentingan masing-masing9. Maka dalam hal untuk melindungi stabilitas ekonomi dan melindungi konsumen dibentuklah badan yang bernama Otoritas Jasa Keuangan yang biasa kita sebut OJK berdasarkan UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawas dan pengatur kebijakan di bidang perbankan dan lembaga keuangan lainya. Lembaga ini seharusnya bisa menjadi alternatif dalam menyikapi proses dalam kepailitan perusahaan asuransi di Indonesia serta mampu melindungi kepentingan para nasabahnya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga baru yang terbentuk berdasarkan UU No 21 tahun 2011 diharapkan oleh berbagai pihak dapat menata dan memperbaiki sistem pada perbankan dan lembaga keuangan non bank. Termasuk memperbaiki setiap masalah dalam peransuransian, juga memberikan perlindungan kepada konsumen atau nasabah perusahaan asuransi. Peran OJK pada dasarnya adalah sebagai pengawas dan regulator di sektor microprudensial, yaitu pengaturan pengawasan, manajemen resiko dan penindakan 8
Amir Syamsudin, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Kepailitan, Jurnal Konstitusi, Vol 2 Nomor 2, (September, 2005), h. 87 9
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang, Cet 2, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h. 71
6
(administratif) terhadap kegiatan perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non bank, dengan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan kepentingan. Termasuk didalamnya memuat bahwa tujuan dibentuk OJK adalah perlindungan terhadap konsumen.
Pada penelitian
ini penulis
memfokuskan
penelitian
terhadap
nasabah/pemegang polis asuransi Bumi Asih Jaya (BAJ). PT Bumi Asih Jaya (BAJ) adalah perusahaan asuransi jiwa lokal yang telah berdiri sejak tahun 1967 dan memiliki ribuan nasabah pemegang polis diseluruh Indonesia. Namun sejak 2009 silam perusahaan ini mengalami kegagalan dalam mengelola kesehatan keuangan sehingga Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mengeluarkan peringatan kepada BAJ. Kemudian sejak 18 Oktober 2013 lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin BAJ karena tidak bisa memperbaiki tingkat kesehatannya. Pencabutan izin usaha BAJ oleh OJK ini membuat nasib nasabah asuransi menjadi tidak pasti bahkan memprihatinkan. Namun apa daya, para pemegang polis hanya bisa meratapi nasibnya karena tidak mungkin premi yang sudah mereka bayarkan dapat kembali. Itu sudah rahasia umum. Tentu hal ini bukan kesalahan pemegang polis yang tidak tahu apa-apa. BAJ sebagai pengelola dana masyarakat seharusnya memberitahukan kepada nasabah mengenai ketidaksehatan perusahaan miliknya.
7
Melihat keadaan nasabah asuransi BAJ yang mengenaskan sudah barang tentu menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mengambil tindakan. Untuk masalah perlindungan konsumen dibidang lembaga keuangan maka sesuai dengan UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.10 Namun, dalam menjalankan kewenangannya tersebut OJK juga dibatasi oleh Undang-Undang agar tidak menjadi lembaga super power. OJK hanya bisa melakukan sanksi administratif terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan. Lebih jauh lagi peran OJK terhadap perlindungan konsumen sebenarnya tidak bersinggungan langsung dengan konsumen karena OJK adalah lembaga pengawas dan regulator bukan lembaga eksekutor. Padahal besar sekali harapan masyarakat terutama para nasabah asuransi jiwa PT Bumi Asih Jaya terhadap OJK. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis, dan untuk mewujudkan kepastian hukum, asas kepentingan umum, dan asas yang membela serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut kedalam bentuk skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Nasabah Pasca Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ) Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”.
10
Lihat Pasal 4 huruf c UU No 21 Tahun 2011 berbunyi OJK dibentuk dengan tujuan agar mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
8
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian diatas maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah: 1.
Apa saja faktor yang menyebabkan kesehatan keuangan Asuransi Bumi Asih Jaya terganggu.
2.
Bagaimana OJK melakukan pengawasan terhadap perusahaan peransuransian,
3.
Bagaimana kedudukan nasabah dalam perusahaan peransuransian,
4.
Bagaimana kewenangan OJK dalam pencabutan izin usaha asuransi PT Bumi Asih Jaya.
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi masalah yang diteliti dan hanya fokus pada peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perlindungan nasabah perusahaan asuransi jiwa PT. Bumi Asih Jaya (BAJ). OJK yang mempunyai otoritas tertinggi dalam pengaturan dan pengawasan di sektor lembaga keuangan non-bank dalam hal ini perusahaan asuransi memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan untuk mengajuakan pailit dan melindungi kepentingan nasabah. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan, masih banyak nasabah yang tidak mendapatkan hak-haknya ketika perusahaan asuransi sudah dicabut izinnya dan sedang dimohonkan pailit. Padahal dibuatnya suatu undang-
9
undang adalah untuk melindungi kreditor dan membuat adanya kepastian hukum. Setelah adanya OJK seharusnya nasabah mendapatkan perlindungan terhadap hak- haknya termasuk ganti rugi atas perusahaan asuransi yang dipailitkan. Untuk mempermudah menjawab masalah tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana kewenangan OJK terhadap pencabutan izin usaha perusahaan asuransi jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ) ? b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan BAJ dicabut izinnya oleh OJK ? c. Apa akibat hukum pasca pencabutan izin usaha perusahaan asuransi jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ) ? D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dasar kewenangan OJK dalam melakukan pencabutan izin usaha perusahaan asuransi sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan non bank. b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan OJK mencabut izin usaha PT. Bumi Asih Jaya. c. Untuk mengetahui akibat dari dicabutnya izin usaha perusahaan asuransi jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ). 2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu :
10
a. Manfaat teoritis 1)
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada seluruh kalangan akademisi bagi perkembangan ilmu hukum. Terutama hokum bisnis.
2)
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan menjadi proses dan hasil pengetahuan hukum kepailitan dan berguna sebagai bahan pustaka pada penelitian yang sejenis.
b. Manfaat praktis. 1) Semoga penelitian bisa menjadi acuan pemerintah terkait penelitian ini agar lebih amanah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. 2) Penelitian ini dilakukan untuk persyaratan kelulusan penulis. E. Tinjauan (Rivew) Studi Terdahulu Buku yang membahas mengenai perlindungan terhadap nasabah perusahaan asuransi adalah buku dengan judul “Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Peransuransian” yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Man Suparman Satrawidjadja, S.H,S.U dan Endang, S.H ditebitkan oleh PT Alumni Bandung tahun 2004. Buku ini berisi mengenai perlindungan pemegang polis asuransi. Kemudian sejak mulai di berlakukannya UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan sudah banyak penelitian mengenai OJK salah satunya penelitian tentang “Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran Fidusia (Tinjauan Yuridids Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012)
11
oleh Nazia Tunisia Alham mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum angkatan 2010 program studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Penelitian mengambil titik fokus terhadap peran OJK terhadap wajib tidaknya pendaftaran jaminan fidusia pada lembaga pembiayaan kendaraan bermotor. Penelitian selanjutnya adalah skripsi Arif Hanany, mahasiswa Ilmu Hukum angkatan 2009 Fakultas Syariah dan Hukum 2013 dengan judul “Perlindungan Konsumen Perbankan Oleh OJK (Studi Komparatif Perlindungan Konsumen Perbankan Oleh Bank Indonesia). Penelitian ini lebih fokus kepada perpindahan kewenangan Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan terhadap perlindungan konsumen perbankan. Sedang, pada penelitian ini penulis fokus kepada peran OJK dalam melindungi nasabah perusahaan asuransi terkait proses pengajuan pailit. Siapakah sajakah yang behak mengajukan pailit perusahaan asuransi, dan dimana peran Otoritas Jasa Keuangan dalam mengambil langkah-langkah demi menjamin perlindungan nasabah. Jadi penelitian penulis dengan judul “Perlindungan Hukum Nasabah Pasca Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ) Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)” belum pernah dibuat. F. Kerangka Konseptual Kerangka
konsepsional
merupakan
kerangka
yang
menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Namun demikian, suatu
12
kerangka konsepsional belaka, kadang dirasakan masih bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi operasional yang akan menjadi pegangan konkret di dalam proses penelitian. Dengan demikian suatu kerangka konsepsional dapat pula mencangkup definisi-definisi operasional. 11 Definisi yang kiranya perlu untuk dijelaskan pada penelitian ini adalah : 1.
Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya OJK adalah
lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2011. 2.
Perusahaan Asuransi Perusahaan asuransi yang di teliti adalah perusahaan asuransi jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ).
3.
Pencabutan Izin Usaha Pencabutan Izin Usaha adalah suatu tindakan mencabut izin usaha suatu peruahaan oleh lembaga yang berwenang sehingga perusahaan tersebut tidak boleh lagi melakukan kegiatan usaha.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
11
Soerjono Soekanto dan Sri Majmudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Cet IX, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hlm. 132-133
13
Untuk mengkaji pokok permasalahan, penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif12. Namun, penelitian ini juga bisa menggunakan penelitian hukum empiris yang berfungsi sebagai informasi pendukung. 2. Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan konsep (konseptual aproach) karena penelitian ini bersifat yuridis normatif. 13 3. Sumber Penelitian Sumber penelitian yang yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data hukum sebagaimana telah dijelaskan oleh Sri Mamujdi dibagi menjadi tiga yaitu:14 a. Bahan hukum primer, berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengikat serta berkaitan dengan studi ini.
12
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian terhadap sestematik hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet IX, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hal. 13. 13
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet V, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 94
Sri Mamudji dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 30
14
b. Bahan hukum sekunder, berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk buku-buku, makalah-makalah, serta litreratur-literatur terkait dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tertier, merupakan bahan penjelasan mengenai bahan hukum tersier maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya. 4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara library research (study kepustakaan) yaitu mengumpulkan data-data dari peraturan perundang-undangan, buku, artikel, dan media-media online. Kemudian berdasarkan data yang telah dikumpulkan penulis mengklasifikasi permasalahan untuk dikaji secara komprehensif. 5. Pengolahan Dan Analisa Data Adapun bahan hukum yang diperoleh harus bersifat preskriptif
15
untuk
memberi petunjuk dan sesuai dengan aturan yang berlaku, dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan penulis secara sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dibuat. Adapun cara pengolahan bahan hukum dianalisis untuk melihat seberapa besar dan jauh peran OJK dalam melindungi kepentingan nasabah asuransi yang pailit.
15
Karena ilmu hukum pada dasarnya bukan bicara “apa yang ada” (empirik-deskriptif), tapi “apa yang seharusnya” (preskriptif). Asrori S. Karni, “Metode Penelitian dan Karakter Ilmu Hukum”, Bahan Ajar, t.d
15
6. Metode Penulisan Dalam penyusunan Penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terbagi dalam lima bab, yang dirinci sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan Pendahuluan dalam Bab I ini diuraikan oleh penulis mengenai latar belakang masalah; identifikasi masalah; pembatasan dan
perumusan
masalah yang akan diteliti; tujuan dan manfaat penelitian; tinjauan penelitian terdahulu; kerangka konseptual; metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan Umum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Bab II ini akn diuraikan oleh penulis mengenai landasan teory OJK yang meliputi latar belakang lahirnya OJK, Tujuan dibentuknya OJK, Fungsi, Peran, dan Kewenangan OJK, serta struktur OJK. BAB III: Profil PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ)
16
Dalam Bab III ini akan diuraikan mengenai profil perusahaan asuransi Bumi Asih Jaya dan asuransi pada umumnya menurut UU No 40 Tahun 2014 tentang peransuransian. BAB IV: Hasil Penelitian. Dalam Bab IV ini akan dibahas mengenai kewenangan OJK terhadap pencabutan izin usaha perusahaan asuransi Bumi Asih Jaya, faktor-faktor penyebab dicabutnya izin usaha BAJ oleh OJK, serta akibat dari dicabutnya izin usaha BAJ. BAB V : Penutup Dalam Bab V yakni bab terakhir dalam penelitian ini berisi kesimpulan dan saran penulis.
BAB II TINJAUAN UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN A. Latar Belakang Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan Selama ini pengaturan dan pengawsan di sektor jasa keuangan dilakukan oleh dua lembaga yaitu Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal ModalLembaga Keuangan (Bapepam-LK). BI bertugas mengatur dan mengawasi sektor keuangan bidang perbankan dan Bapepam-LK bertugas mengatur dan mengawasi sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini dinilai oleh para pengamat tidak efektif karena BI yang seharusnya mengatur moneter dipaksa ikut dalam pengawasan microprudential. Inilah alasan muncul gagasan pemisahan kewenangan BI, padahal ide untuk melepaskan fungsi perbankan oleh BI sudah muncul sejak pemerintahan Presiden B.J Habibie ketika merancang RUU tentang Bank Indonesia (BI).1 Otoritas jasa keuangan adalah sebuah lembaga yang terbentuk akibat dari Undang- Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang dibuat berdasarkan pasal 34 Undang- Undang No 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Didalamnya pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawas di sektor keuangan yang bersifat independen, selambat lambatnya akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga ini bertugas mengawasi lembaga perbankan, 1
Zulkarnain sitompul, “menyambut kehadiran otoritas jasa keuangan”, No. 2, Tahun VII, (Pilars, 12-18 Januari 2004), h. 1
17
18
asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat2. Menurut penjelasan Undang- undang tersebut banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Hal ini dalam undang- undang disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).3 Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup 2
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2010, h. 3 3
Penjelasan merupakan rangkuman dari penjelasan Undang- Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, h. 4
19
signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, negara senantiasa memberikan perhatian yang serius terhadap
perkembangan
kegiatan
sektor
jasa
keuangan
tersebut,
dengan
mengupayakan terbentuknya kerangka peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komprehensif. 4 Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio5. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Untuk menjamin tercapainya tujuan dibentuknya OJK, maka OJK harus menajdi bagian dari sistem penyelnggaraan negara yang terintegrasi baik dengan 4
5
Ibid
adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.
20
lembaga-lembaga negara lainnya. Disamping itu untuk melaksanakan fungsinya dengan baik OJK harus mempunyai independensi didalam menjalankan fungsinya agar terhindar dari kepentingan-kepentingan kelompok (interest group). Meski secara normatif OJK berada di luar pemerintah dan bersifat independent, namun sebagian kalangan masih meragukan independensi OJK6. Adapun dalam mengaktualisasikan indepensi OJK, lembaga ini memiliki strutur lembaga yang memuat unsur chek and balance. Hal ini dilakukan pada pemisahan antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan OJK. Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan komisioner dan fungsi pengawasan dilakukan oleh struktur dibawahnya yang bertugas mengawasi disetiap sektor lembaga keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard7, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Dengan melihat kewenangan pengaturan dan pengawasan yang dimiliki OJK, maka OJK merupakan suatu lembaga yang memiliki kewenangan yang sangat
6
Independensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hukumonline.com.html, diakses pada 07 Desember 2014 7
kerugian.
Keadaan mental seseorang yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya suatu
21
berpengaruh terhadap penyelenggaraan jasa keuangan. OJK menjadi lembaga yang sangat “powerfull”8. B. Prinsip-Prinsip OJK Adapun dalam menjalankan tugas dan fungsinya OJK harus mempunyai prinsip-prinsip yaitu: 1. Independensi Lembaga yang memiliki otoritas melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan harus memiliki independensi dalam melaksanakan tugasnya.
Hal ini disebabkan lembaga tersebut bertugas
mengawasi sektor jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dimungkinkan dapat terjadi benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya lembaga, lembaga pengawas keuangan harus independen atau bebas dari intervensi-intervensi pihak-pihak yang berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang mana independensinya dapat dipertanggung jawabkan. 2. Integrasi Semakin pesatnya perkembangan di bidang teknologi juga berakibat semakin kompleksnya kegiatan di sektor jasa keuangan, semakin banyaknya inovasi finansial yang canggih (shipisticated) serta kecenderungan yang tidak
8
Inosentius Samsul , “Perlindungan konsumen pasca dibentuk OJK”, (NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013), h. 155
22
bisa dihentikan pada entitas bisnis berbentuk konglomerasi dan adanya praktik-praktik arbitrase peraturan (regulatory arbitrage) dari entitas bisnis jasa keuangan adalah merupakan alasan-alasan pokok perlunya dilakukan suatu pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan (yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non bank) secara terintegrasi. Penjelasan ringkas mengenai konglomerasi dan arbitrase adalah sebagai berikut: a. Konglomerasi Pertumbuhan dari berbagai entitas bisnis membentuk dan memunculkan suatu konglomerasi di sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini merupakan sebuah tantangan bagi lembaga otoritas (OJK) untuk mengatur dan mengawasi kegiatan keuangan yang berbentuk konglomerasi, sehingga dapat tercipta sistem keuangan yang sehat. b. Arbitrase peraturan Arbitrase peraturan adalah suatu istilah yang merujuk pada praktikpraktik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan dengan memilih yurisdiksi dari dua otoritas dan memanfaatkan regulasi yang lebih longgar.
Dengan
hadirnya
OJK
diharapkan
mampu
melakukan
sinkronisasi di dalam regulasi sehingga menciptakan kesamaan dan standar dalam aktifitas di sektor keuangan.
23
3. Menghindari benturan kepentingan Adanya benturan kepentingan yang terjadi pada suatu lembaga tidak jarang terjadi di setiap negara. Di Indonesia Bank Indonesia memiliki dua fungsi sekaligus yaitu pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan sekaligus sebagai pengatur kebijakan moneter. Adanya dua fungsi dalam satu lembaga ini mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan sehingga dalam menjalankan fungsinya menjadi tidak maksimal. Penggunaan instrumen-instrumen moneter berupa bantuan likuditas untuk menyehatkan perbankan yang mengalami gagal Bank9, cenderung lebih dipilih oleh bank sentral dari pada
menggunakan pengaturan dan pengawasan yang
mengedepankan peraturan kehati-hatian (prudensial regulation). Hal ini dilakukan karena Bank Sentral takut dikatakan gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas perbankan, sehingga mendorong untuk melakukan instrumen moneter (lender of the last resort) yang pada dasarnya tidak menyelesaikan inti permasalahan yang ada pada perbankan sebagai akibat dari prudensial regulation. Adanya benturan kepentingan atau fungsi ganda yang ada dalam tubuh bank sentral perlu dihindari dengan memisahkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dengan fungsi utamanya dalam otoritas moneter.
9
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2010, h. 10-11
24
C. Model Pengawasan OJK Pada dasarnya model pengawasan di dunia dibagi menjadi tiga macam, yaitu10: 1. Multi Supervisiory Model, yaitu model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh banyak lembaga atau lebih dari dua otoritas. Simtem model yang pertama ini memisah setiap sektor jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan jasa keuangan lainnya masing-masing dari mereka diatur oleh regulator yang berbeda. Model ini diterapkan oleh negara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina. 2. Twin Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Model ini membagi dua pengaturan yang berbeda. Pertama, pengaturan terhadap lembaga keuangan prudential seperti bank dan perusahaan asuransi. Kedua, pengaturan terhadap perusahaan efek, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya yang diatur oleh otoritas tersendiri. Model ini diterapkan oleh negara-negara Australia dan Canada. 3. Unified Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi pada satu otoritas jasa keuangan. Model ini menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan seperti 10
Ibid
25
perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya dibawah lembaga otoritas jasa keuangan. Model seperti ini sudah mulai diterapkan oleh negara-negara pada tahun 1997 yang pertama kali oleh negara Norwegia. Saat ini model seperti ini sudah dilakukan oleh lebih 30 Negara di dunia seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Berdasarkan model-model pengawasan yang telah diterangkan diatas dan pengalaman krisis perbankan di Indonesia yang sebelumnya menggunakan model multi supervisiory model, serta struktrur sistem keuangan yang berlaku saat ini, maka model yang tepat untuk pengaturan dan pengawasan sistem sektor jasa keuangan adalah model unified supervisiory model. Sistem ini mengintegrasi seluruh sektor jasa keuangan dalam lembaga tunggal yang disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Istilah otoritas digunakan karena untuk mencerminkan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsi pengaturan (regulation) dan fungsi pengawasan (supervisi) 11. D. Asas-Asas OJK Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas sebagai berikut12: a. asas independensi, 13 yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 11
12
Ibid, h. 11
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, h. 12
26
b. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; c. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum; d. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan
Otoritas
Jasa
Keuangan,
dengan
tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan e. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
13
Ada penambahan asas pada penjelasan UU No 21 Tahun 2011 yaitu asas independensi yang sebelumnya tidak dicantumkan di naskah akademik
27
g. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip “checks and balances”. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan. Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisioner melalui pembagian tugas yang jelas demi pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Tugas anggota Dewan Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. E. Tujuan OJK Sesuai dengan pasal 4 UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan, dibentuknya OJK memiliki tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan berjalan lancar. Adapun tujuan dibentuknya OJK yaitu 14: terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; a. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
14
Pasal 4 UU No 21 Tahun 2011
28
b. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Yang dimaksud dengan “melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat” termasuk perlindungan terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan15. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. F. Peran, Fungsi, dan Wewenang OJK OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
15
Penjelasan pasal 4 UU No 21 Tahun 2011
29
a. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan b. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; Selain itu pengaturan dan pengawasan OJK harus memperhatikan aspek kehati-hatian bank, manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang, pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan, dan pemeriksaan bank. OJK juga berwenang dalam pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: a. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; b. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; c. sistem informasi debitur; d. pengujian kredit (credit testing); dan e. standar akuntansi bank. Adapun untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang menetapkan peraturan pelaksanaan UndangUndang OJK, menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, menetapkan peraturan dan keputusan OJK, menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan, menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan
30
tugas OJK, menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu, menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan, menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban, dan menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Kemudian untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK berwenang antara lain: a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; e. melakukan penunjukan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
31
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan h. memberikan dan/atau mencabut: 1) izin usaha; 2) izin orang perseorangan; 3) efektifnya pernyataan pendaftaran; 4) surat tanda terdaftar; 5) persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6) pengesahan; 7) persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8) penetapan lain, Sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. G. Struktur OJK Struktur Otoritas Jasa Keuangan terdiri dari Dewan Komisioner dan Pelaksana Kegiatan Operasional. Adapun Dewan Komisioner OJK terdiri atas16: 1. Ketua merangkap anggota; yang diketuai oleh 2. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; 3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; 4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota; 5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; 16
http/www.ojk.go.id
32
6. Ketua Dewan Audit merangkap anggota; 7. Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen; 8. Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan 9. Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat Eselon I Kementerian Keuangan Kemudian pelaksana kegiatan Operasional terdiri atas: 1. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I; 2. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II; 3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan Sektor Perbankan; 4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan Sektor Pasar Modal; 5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang Pengawasan Sektor IKNB; 6. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko; dan 7. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
BAB III PROFIL ASURANSI JIWA PT. BUMI ASIH JAYA (BAJ) A. Sejarah PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya berdiri atas gagasan K.M Sinaga pada tahun 1957 ketika dia masih bekerja pada Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912 di Jakarta. Gagasan ini semakin berkembang selagi dia berkunjung ke Australia tahun 1960. Disana beliau mengikuti latihan kerja selama 6 bulan pada salah satu perusahaan asuransi bernama Temperance and Gneral Mutual life Society. Salah satu yang dapat dilihat, diilhami dan dipelajarinya di negari kangguru itu adalah perusahaan asuransi jiwa itu memiliki peranan yang besar dalam kehidupan manusia karena dapat menghasilkan dana dan sekaligus merupakan manifestasi dari gotong royong.1 Pada tahun 1963 K.M Sinaga kembali ke tanah air dan sekaligus melanjutkan pekerjaanya pada Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912. Di saat melaksanakan pekerjaanya, beliau selalu mengalami banyak permasalahan, untuk itu beliau meminta saran kepada atasanya yaitu Notohamiprojo (presiden direktur Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912/non aktif), yang pada saat itu menjabat sebagai menteri keuangan Indonesia. Pertemuan itu berlangsung dengan suasana yang baik dan gagasan yang dikemukakan oleh K.M Sinaga untuk mendirikan asuransi jiwa dihargai dengan baik.
1
“Profil Perusahaan”, artikel diakses pada 24 http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab3/2012-1-00621-SI%20Bab%203.pdf
33
Februari
2015
dari
34
Pada tahun 1965, K.M Sinaga diberhentikan dengan hormat dari Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912 tanpa penghargaan, walaupun sebelumnya dia telah mendapat predikat “Bintang Dinas Liar” karena posisi yang dimilikinya dalammemajukan perusahaan. Namun demikian keadaan tersebut menimbulkan semangat dan dorongan untuk mendirikan perusahaan asuransi jiwa. Kelima pendiri Bumi Asih Jaya adalah K.M Sinaga, Djasarlim Sinaga, SH, Simatupang (Alm), Dr. H Sinaga (Alm). Nama bumi diambil dari Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912 dimana K.M Sinaga bekerja dulu, sedangkan Asih berasal dari kata asih, sedangkan Jaya berasal dari kata Jayakarta. Pertama kali beroperasi Bumi Asih Jaya di Jl. Solo No. 4, Jakarta Pusat. Pada bulan agustus 1967 dibuat surat permohonan izin untuk mendirikan asuransi yang secara resmi diajukan kepada departemen kehakiman dengan melampirkan akte notaris dan draf aktuaris. Dan akhirnya izin resmi untuk mendirikan PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya itu diterima pada bulan agustus 1967.2 BAJ Life berdiri sejak 10 Juni 1967. Perusahaan ini memiliki jaringan pemasaran di 12 kantor cabang, 142 kantor distrik dan 131 kantor sektor. Per akhir 2007, total aset mencapai Rp 717,4 miliar dan pendapatan premi Rp 432,49 miliar. 3 Pada saat Bumi Asih Jaya berdiri, kondisi perekonomian Indonesia dilanda inflasi yang sangat tinggi, maka kepercayaan masyarakat terhadap asuransi hilang.
2
3
Ibid
Fery Kristianto, “Asuransi Bumi Asih Diduga Bermasalah”, diunduh tanggal 24 February pukul 20.00 WIB dari http://keuangan.kontan.co.id/news/asuransi-bumi-asih-diduga-bermasalah
35
Untuk mengembangkan kepercayaan terhadap asuransi, Bumi Asih Jaya mencoba memasarkan polis dalam dolar Amerika setelah memperoleh izin dari biro lalu lintas devisa Bank Indonesia. Dengan demikian Bumi Asih Jaya adalah perusahaan asuransi jiwa yang pertama menjadi polis dalam mata uang dolar. Memasuki dekade ke lima, Bumi Asih Jaya memiliki jaringan pemasaran yang luas dan tersebar di seluruh Indonesia. Dengan dukungan 274 kantor pemasaran, 35 kantor pemasaran askol dan 24 kantor pemasaran agency. Bumi Asih Jaya memiliki lebih dari 6000 orang tenaga kerja yang professional. Untuk memenuhi cita-cita. Sebagai perusahaan multinasional Bumi Asih Jaya mengembangkan usahanya dengan mendirikan beberapa anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Kegiatan bisnis anak perusahaan Bumi Asih Jaya juga telah merambah ke seluruh Indonesia. Untuk memperluas jaringan bisnisnya di luar negeri, dukungan internasional sangat dibutuhkan. Untuk itu Bumi Asih Jaya menjalin hubungan kerjasama dengan beberapa perusahaan asuransi dan reasuransi asing seperti Gibraltar life (Jepang) dan Munich Re (Jerman). Selain itu Bumi Asih Jaya juga terdaftar sebagai anggota organisasi internasional seperti LIMRA, FALIA, MIA, dan IIC. Direktur Keuangan BAJ Life, mengaku perusahaannya sedang terlilit masalah. Sejak tahun 2009, mereka terkena Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Namun, ia
36
enggan merinci penyebab PKU itu.4 Sesuai regulasi, penyebab PKU karena perusahaan asuransi tidak bisa memenuhi modal minimal. PKU menjadikan perusahaan tidak boleh mencari nasabah baru. Namun, kejayaan Bumi Asih Jaya ini tidak berlangsung seperti yang diharapkan karena pada 18 Oktober 2013 silam OJK mencabut izin PT tersebut.5 Saat ini BAJ life sedang menanti ajalnya karena pada januari 2015 tim hukum OJK mengajukan pailit perusahaan tersebut dan sampai saat ini masih di proses. 6 Adapun produk-produk asuransi Bumi Asih Jaya sampai sebelum dicabut izinnya adalah7: 1. Asuransi Perorangan Termasuk asuransi perorangan antara lain: Asih Dana Multiguna (ADM), Asih Dana Bertahap Plus (ADP), Asih Tabungan Mandiri (ATM), Asih Tabungan Ibadah Rohani (AIR), Asih Seumur Hidup (ASH), Asih Siharum (ASR), Asih Tabungan Hari Tua Bertahap (ATB), Asih Beasiswa Mandiri (ABM ), Asih Generasi Sejahtera (AGS), Asih Beasiswa Eksekutif (ABE), Asih Proteksi Berjangka (APB). 2. Asuransi Kolektif 4
Ibid
5
“Ini Alasan OJK Cabut Izin BAJ”, diunduh tanggal 24 Februari 2015 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5269275d99c1e/ini-alasan-ojk-cabut-izin-usaha-baj 6
Wawancara dengan Ahmad Satori, bagian pengawasan asuransi OJK, Jakarta. 26 Februari,
2015. 7
“Profil Perusahaan”, artikel diakses pada 24 http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab3/2012-1-00621-SI%20Bab%203.pdf
Februari
2015
dari
37
Asuransi kolektif antara lain: Jaminan Perawatan Kesehatan (JPK), Asuransi Jiwa Kredit (AJK), Asih Bancassurance – Kolektif (ABA), Asih Proteksi Berjangka – Kolektif (APB), Asih Perlindungan Keluarga (APG), Asih Jangka Warsa Penduduk KTP (AJP), Asih Travel Assurance (ATA), Asih Hotel Assurance (AHA), Asih Perlindungan Hotel (API), Asih Perlindungan Pendidikan (APP), Asih Perlindungan Kecelakaan (APK), Asih tabungan Mandiri 60 (ATM 60), Asih Tabungan mandiri 50 (ATM 55), Asih Tabungan Dasawarsa (ATD), Asih Tabungan Pancawarsa (ATP). B. Pengertian Asuransi Usaha asuransi merupakan suatu mekanisme yang memberikan perlindungan pada tertanggung apabila terjadi risiko di masa mendatang. Apabila risiko tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang diperjanjikan antara penanggung dan tertanggung. Mekanisme perlindungan ini sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis yang penuh dengan risiko. Secara rasional, para pelaku bisnis akan mempertimbangkan untuk mengurangi risiko yang dihadapi. Pada tingkat kehidupan keluarga atau rumah tangga, asuransi juga dibutuhkan untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang akan dihadapi apabila ada salah satu anggota keluarga yang menghadapi risiko cacat atau meninggal dunia. Peransuransian8 adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam perundang-undangan dan perusahaan perasuransian. Istilah peransuransian berasal
8
SebeluJmnya dalam UU No 2 Tahun 1992 disebut “Usaha Peransuranisan” kemudian diubah menjadi “Perasuransian” pada UU No 40 Tahun 2014.
38
dari kata “asuransi” yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Asuransi ialah jaminan yang diberikan oleh penanggung (suatu perusahaan asuransi) kepada tertanggung (nasabah asuransi atau pemegang polis asuransi). Suatu asuransi ditetapkan dengan polis (surat asuransi) untuk menaggung kerugian atau risiko yang mungkin terjadi dengan membayar premi oleh pemegang polis asuransi. Adapun pengertian asuransi dapat dimengerti melalui beberapa pengertian yaitu:
Istilah perasuransian melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di bidang
usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Pasal 2 huruf (a) UndangUndang Nomor 2 Tahun 1992 Jo Pasal 1 Undang-Undang No 40 Tahun 2014 menentukan: “Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertangtungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.” Sedangkan Usaha Asuransi Umum adalah “usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.”
39
Menurut ketentuan pasal 246 KUHD Asuransi adalah “pertangguangan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengaitkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen” Menurut Undang-undang No. 2 Th. 1992 tentang Usaha Perasuransian Jo Undang-Undang No 40 Tahun 2014 Tentang Peransuransian. Asuransi atau Pertanggungan Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a.
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b.
memberikan tertanggung
pembayaran atau
yang
pembayaran
didasarkan yang
pada
didasarkan
meninggalnya pada
hidupnya
tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Menurut Paham Ekonomi Asuransi merupakan suatu lembaga keuangan karena melalui asuransi dapat dihimpun dana besar, yang dapat digunakan untuk membiayai
pembangunan,
disamping
bermanfaat
bagi
masyarakat
yang
40
berpartisipasi dalam bisnis asuransi, serta asuransi bertujuan memberikan perlindungan atau proteksi atas kerugian keuangan (financial loss), yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak diduga sebelumnya (fortuitious event). Asuransi menurut pandangan Islam dinamakan Takaful, secara bahasa takaful berarti menolong, mengasuh, memelihara, memberi nafkah, dan mengambil alih perkara seseorang. Takaful dalam pengertian fiqh muamalah adalah saling memikul resiko di antara sesama muslim sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resio yang lain. Saling pikul rsiko dimaksud, dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cara setiap orang mengeluarkan dana kebajikan9. Takaful dalam pengertian dimaksud sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah (5) ayat 2. (2 :5 :وَﺗَﻌَﺎوَﻧُﻮا ﻋَﻠَﻰ اْﻟﺒِﺮﱢ وَاﻟﺘﱠﻘْﻮَى وَﻻَ ﺗَﻌَﺎوَﻧُﻮا ﻋَﻠَﻰ اْﻹِﺛْﻢِ وَاﻟْﻌُﺪْوَانِ وَاﻟﺘﱠﻘُﻮا ﷲ اِنﱠ اﷲَ ﺷَﺪِﯾْﺪٌ اﻟْﻌِﻘَﺎبِ )اﻟﻤﺎﺋﺪة Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah amat pedih.
Dengan demikian menurut keterangan diatas, asuransi adalah adanya perikatan atau (aqad) antara Penanggung dan Tertanggung berdasarkan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. 10
9
Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Cet 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 4
10
C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Cet IV, (Jakarta: sinar grafika, 2008), h. 178
41
Dalam pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Usaha asuransi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) 11 jenis, yaitu: a. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa tidak pasti. b. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang
dikaitkan
dengan
hidup
atau
meninggalnya
seseorang
yang
dipertanggungkan. c. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam asuransi utang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. Menurut Abdul Kadir Muhammad usaha penunjang asuransi dikelompokkan menjadi 5 (lima)12, yaitu: a. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung. Ketentuan ini mengatur bahwa perusahaan pialang asuransi dilarang menempatkan penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah pada perusahaan asuransi atau perusahaan
11
Dalam UU No 40 Tahun 2014 tidak disebutkan mengenai asuransi kerugian hanya disebut asuransi umum dan ditambah mengenai asuransi syariah. 12
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cet 3, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), h. 30
42
asuransi syariah yang merupakan afiliasi dari pialang asuransi atau perusahaan pialang asuransi
yang
bersangkutan.
UU Perasuransian
mengamanatkan pengaturan lebih lanjut atas ketentuan di UU dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan OJK. OJK akan menyiapkan Peraturan OJK sebagaimana diamanatkan oleh UU Perasuransian13. b. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan
reasuransi
dan
penanganan
penyelesaianganti
kerugian
reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan Perusahaan Asuransi. c. Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan. d. Usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria. 14 e. Usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung. C. Unsur Asuransi Dari ketentuan pasal 246 KUHD dapat disimpulkan bahwa asuransi mempunyai tiga unsur, yakni15: a. Adanya premi16 13
“Undang-Undang Perasuransian Baru Akan Percepat Perkembangan Industri Asuransi” SIARAN PERS NO.SP-07/DKNS/OJK/01/2015 14
Pada UU Perasuransian, konsultan aktuaria tidak lagi merupakan usaha perasuransian tetapi merupakan salah satu profesi penyedia jasa bagi perusahaan perasuransian. Konsultan aktuaria harus terdaftar pada OJK. 15
h. 178
C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,
43
b. Adanya ganti rugi c. Adanya peristiwa yang belum tentu terjadi Kalau dilihat dari persetujuan atau perjanjiannya dari hukum perdata, asuransi termasuk perjanjian “untung-untunga”17 yang diatur menurut pasal 1774 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu, demikian juga persetujuan pertanggungan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.” Kemudian pasal 225 KUHD menyatakan bahwa “Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dlam suatu akta yang dinamakan polis.” Bagian dari asuransi yang paling penting adalah keberadaan polis. Polis ialah surat yang dikeluarkan oleh penanggung sbagai bukti bahwa seseorang/suatu perusahaan/suatu badan hukum telah menutup pertangungan dengan perusahaan asuransi (pertanggungan). D. Tujuan Asuransi Tujuan utama asuransi/ pertanggungan adalah: a. Apabila perusahaan/perorangan menderita suatu musibah yang telah ditentukan dalam perjanjian kerugian atau polis maka akan ada yang menanggung.
16
Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau peranjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat (Jo Pasal 1 UU No 40 Tahun 2014). 17
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, h. 179
44
b. Tanggung jawab perusahaan/perorangan itu kepada pihak ketiga seolah-olah dipikulkan kepada pihak penanggung. Dengan demikian, maka tujuan pokoknya ialah untuk memperkecil risiko yang harus dihadapi Tertanggung apabila terjadi peristiwa yang merugikan Tertanggung (perusahaan/perorangan). Dengan demikian tujuan hukum dan tujuan ekonominya adalah pembagian risiko atau pemindahan risiko (transfer of risk)18. E. Prinsip-Prinsip Asuransi Perusahaan asuransi dalam kegiatannya, secara terbuka mengadakan penawaran atau menawarkan sesuatu perlindungan atau proteksi serta harapan pada masa yang akan datang kepada individu- individu atau kelompok- kelompok dalam masyarakat atau institusi- institusi lain, atas kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak tertentu atau belum pasti.19 Maka dari itu Asuransi dilengkapi juga dengan beberapa prinsip. Hal ini supaya sistem perjanjian asuransi itu dapat dipelihara dan dipertahankan, sebab suatu norma tanpa dilengkapi dengan prinsip cenderung untuk tidak mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum asuransi tersebut antara lain20: a. Prinsip Kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable Interest) 18
Ibid
19
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika,
1999), h.6 20
H. Man Sastrawidjaja, dan Endang, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian, Cet 3, (Bandung: Penerbit Alumni, 2004), h. 55
45
Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 250 KUHD yang menentukan bahwa: “Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi”. Apabila disimpulkan, maka saat ditutupnya perjanjian asuransi itu harus ada kepentingan. Menurut Molengraff21, kepentingan di sini mempunyai arti luas, yaitu kepentingan yang dapat dinilai dengan uang maupun kepentingan yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti hubungan kekeluargaan, jiwa, dan anak-istri. b. Prinsip itikad baik Prinsip itikad baik dalam perjanjian asuransi yaitu adanya unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung itu sangat penting. Penanggung percaya bahwa tertanggung akan memberikan segala keterangan dengan benar. Di lain pihak tertanggung juga percaya kalau terjadi peristiwa, penanggung akan membayar ganti rugi. Saling percaya ini pada dasarnya adalah itikad baik. Prinsip itikad baik harus dilaksanakan dalam setiap perjanjian (Pasal 1338 ayat 3 KUHPERDATA) termasuk dalam perjanjian asuransi. c. Prinsip keseimbangan
21
H. Man Sastrawidjaja, dan Endang, ibid, h. 56
46
Prinsip keseimbangan dalam asuransi sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 246 KUHD merupakan penggantian kerugian. Ganti rugi di sini mengandung arti bahwa penggantian kerugian dari penanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh tertanggung. Keseimbangan yang demikianlah yang dinamakan prinsip keseimbangan. Salah satu contohnya pada Pasal 252 KUHD.22 Mengapa unsur “indemniteit” atau ganti rugi yang seimbang itu harus ada pada asuransi kerugian adalah berdasarkan ratio: untuk mencegah seseorang untuk memperkaya diri sendiri melawan hukum. d. Prinsip subrogasi Apabila peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya itu dalam perjanjian asuransi terjadi, maka tertanggung dapat menuntut penanggung untuk memberikan ganti rugi. Akan tetapi apabila sebab terjadinya kerugian itu diakibatkan oleh pihak ketiga maka berarti tertanggung itu dapat menuntut penggantian kerugian dari 2 sumber. Sumber pertama dari penanggung serta sumber kedua dari pihak ketiga. Untuk mencegah terjadinya penyimpanganpenyimpangan seperti di atas, undang-undang mengaturnya yaitu dalam Pasal 284 KUHD. Prinsip subrogasi ini menetapkan bahwa apabila karena alasan apapun terhadap objek yang sama pihak tertanggung memperoleh juga ganti rugi dari pihak ketiga, maka prisipnya tertanggung tidak boleh mendapat ganti rugi dua 22
Ibid, h. 56
47
kali sehingga ganti rugi dari pihak ketiga tersebut akan menjadi hak penanggung. Pihak tertanggung bahkan harus bertanggungjawab jika ia melakukan tindakan yang dapat menghambat pihak tertanggung untuk mendapat hak dari pihak ketiga tersebut. Hal ini dapat disimpangi jika tidak disebutkan dengan jelas dalam perjanjian asuransi23. Dengan adanya ketentuan demikian berarti secara otomatis berdasarkan undang-undang, apabila terjadi kerugian yang menimpa tertanggung oleh pihak ketiga, maka penanggung
dapat
menggantikan
kedudukan
tertanggung
untuk
melaksanakan hakhaknya terhadap pihak ketiga tersebut. e. Prinsip Sebab Akibat Sebab timbulnya kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian kepada tertanggung apabila peristiwa yang menjadi sebab timbulnya kerugian itu disebutkan dalam Polis. Akan tetapi tidaklah mudah untuk menentukan suatu peristiwa itu merupakan sebab timbulnya kerugian, sehingga timbulnya kerugian yang dijamin oleh Polis. Terlebih-lebih apabila peristiwa itu merupakan sebab timbulnya kerugian, sehingga dapat ditentukan, apakah hal tersbut masuk bagian tanggungjawab penanggung atau bukan. f. Prinsip Kontribusi Apabila dalam suatu polis ditandangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing penanggung itu menurut imbangan dari jumlah untuk mana
23
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet 2, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2005), h.257.
48
mereka menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari kerugian itu yang diderita oleh tertanggung. Prinsip kontribusi ini terjadi apabila ada asuransi berganda (double insurance) sebagaimana dimaksud Pasal 278 KUHD). g. Prinsip Follow The Fortunes Prinsip ini hanya berlaku bagi re-asuransi, sebab di sini hanya penanggung pertama dengan penanggung ulang. Dalam hal ini penanggung ulang mengikuti suka-duka penanggung pertama. Prinsip ini menghendaki bahwa tindakan penanggung ulang tidak boleh mempertimbangkan secara tersendiri terhadap obyek asuransi. Akibatnya segala sesuatu termasuk peraturan dan perjanjian yang berlaku bagi penanggung pertama berlaku pula bagi penanggung ulang. F. Perjanjian Asuransi Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Pada dasarnya perjanjian asuransi tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang ada dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikat diri; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut:
49
a. Suatu perbuataan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih; b. Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang satu (yang berpiutang/kreditor) berhak untuk suatu prestaswi dari yang lain. (yang berhubungan/debitor)
yang
juga
berkewajiban
melaksanakan
dan
bertanggung jawab atas suatu prestasi. Perjanjian asuransi dalam dunia asuransi dinakamakan polis. Sebagaimana pada KUHDagang pasal 256 menyebutkan ketentuan isi polis, kecuali mengenai suatu asuransi jiwa, yakni24: a. Hari ditutupnya asuransi b. Nama orang yang menutup asuransi untuk tanggungan sendiri atau untuk seorang ketiga c. Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang diasuransikan d. Jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi e. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung f. Saat bahaya mulai berlaku untuk tanggungan penanggung dan saat berakhirnya hal tersebut, g. Premi asuransi, dan h. Pada umumnya semua keadaan yang kiranya penting bagi penanggung untuk diketahui, dan segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak. 24
Man Suparman Satrawijdaja dan Endang, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Peransuransian, Cet 3, (Bandung:Alumni, 2004), h. 146
50
Sedangkan
untuk
ketentuan
polis
asuransi
jiwa
menurut
menurut
KUHDagang yang disebutkan pada pasal 304 memuat 25: a. Hari ditutupnya asuransi b. Nama tertanggung c. Nama orang yang jiwanya diasuransikan d. Saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi penanggung e. Jumlah uang untuk mana diadakan asuransi f. Premi asuransi tersebut Pada hakikatnya selalu terdapat unsur-unsur yang ada dalam hukum perikatan pada setiap jenis perjanjian termasuk perjanjian asuransi. Jadi, pada perjanjian asuransi di samping harus mengandung kelima unsur pokok termaksud, mengandung pula unsur-unsur lainnya yang menunjukkan ciri-ciri khusus dalam karakteristik perjanjian asuransi inilah nanti yang membedakannya dengan jenis perjanjian pada umumnya dan perjanjian-perjanjian lain. Mengingat arti pentingnya perjanjian asuransi sesuai dengan tujuannya, yaitu sebagai suatu perjanjian yang memberikan proteksi, maka perjanjian ini sebenarnya menawarkan suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian ekonomis yang mungkin diderita karena suatu peristiwa yang belum pasti. Jadi Perjanjian asuransi itu diadakan dengan maksud untuk memperoleh suatu kepastian atas kembalinya keadaan (ekonomi) sesuai dengan semula sebelum terjadi peristiwa.
25
Ibid, h. 149
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Kewenangan OJK Mencabut Izin Usaha Perusahaan Asuransi Bumi Asih Jaya (BAJ) Izin usaha adalah suatu persetujuan atau pemberian izin dari pihak yang berwenang atas penyelenggaraan suatu kegiatan usaha oleh pengusaha/perusahaan. Dicabutnya izin usaha merupakan peristiwa dicabutnya kegiatan usaha suatu perusahaan oleh lembaga yang berwenang. Dalam hal perusahaan asuransi kewenangan mengenai perizinan usaha maupun pencabutan usaha berada penuh pada OJK. Pencabutan Izin Usaha peransuransian sebelumnya adalah milik BapepamLK yang beralih kepada OJK setelah diberlakukannya UU No 21 Tahun 2011 Tentang OJK. Maka dari itu sampai saat ini ada beberapa aturan dari Bapepam-LK yang masih bisa digunakan selama tidak bertentangan Undang-Undang yang baru.1 Adapun aturan yang menyebutkan kewenangan OJK sebagai lembaga yang berwenang mencabut izin usaha perasuransian disebutkan dalam pasal 60 ayat 2 UU 40/2014 “Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) UU No 40 Tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a.
menyetujui atau menolak memberikan izin Usaha Perasuransian;
1
Wawancara dengan Ahmad Sathori, Bagian Pengawas Peransuransian OJK, Jakarta.26 Februari 2015
51
52
b.
mencabut iain Usaha Perasuransian;
c.
menyetujui atau menolak memberikan pemyataarl pendaftaran bagi
konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian; d.
membatalkan pemyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan
publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian. Sebenarnya pencabutan izin usaha peransuransian bisa dilakukan oleh OJK maupun perusahaan asuransi itu sendiri sebagaimana disebutkan dalam pasal 42 ayat (1) UU No 40 Tahun 2014 yakni: Perusahaan Perasuransian yang menghentikan kegiatan usahanya wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penghentian kegiatan usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Selain itu kewenangan OJK juga disebutkan pada Pasal 53 POJK No 1 tentang Perlindungan konsumen. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; dan e. Pencabutan izin kegiatan usaha
53
Namun sebelum melakukan pencabutan izin usaha OJK harus melalui prosedurprosedur yang telah ditetapkan oleh undang-undang yakni2: 1.
Peringatan 1
2.
Peringatan 2
3.
Peringatan 3
4.
Peringatan 4, berupa Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU)
Setelah tahapan itu dilalui dan jika perusahaan tidak memenuhi peringatan yang disampaikan oleh OJK,
barulah OJK dengan pertimbangannya berhak
mencabut izin usaha suatu perusahaan. B. Faktor-Faktor Penyebab Dicabutnya Izin BAJ Menurut ketentuan dalam UU No 2 Tahun 1992 regulator hanya mengamanatkan regulator hanya sampai pada pencabutan usaha 3. Kemudian proses likuidasi dilakukan oleh likuidator yang ditunjuk oleh RUPS. Ada dua faktor penyebab dicabutnya izin BAJ. Faktor utamanya adalah masalah kesehatan keuangan4 dan manajemen resiko yang tidak baik. Sebenarnya manajemen resiko termasuk bagian dari penyebab kesehatan keuangan.5
2
Wawancara dengan Pak Ahmad Sathori, Bagian Pengawas Asuransi OJK
3
Wawancara dengan Pak Ahmad Sathori, Bagian Pengawas Asuransi OJK
4
“Ini Alasan OJK Cabut Izin BAJ”, diunduh tanggal 24 Februari 2015 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5269275d99c1e/ini-alasan-ojk-cabut-izin-usaha-baj 5
Wawancara dengan Pak Ahmad Sathori, Bagian Pengawas Asuransi OJK
54
Dari data OJK per Agustus 2013 tercatat bahwa total ekuitas BAJ minus Rp570 miliar. Sementara dana liabilitasnya lebih dari Rp1 triliun. Dari dana liabilitas tersebut, terdapat utang klaim yang wajib dibayarkan BAJ sebesar Rp85,6 miliar dari 10.584 pemegang polis. 6 1. Kesehatan keuangan Kesehatan keuangan perusahaan asuransi adalah Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM)7 yaitu suatu jumlah minimum tingkat solvabilitas yang ditetapkan, yaitu sebesar jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan
dan
kewajiban.
BTSM
terdiri
dari
komponen-komponen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.05/2005 yang diuraikan dalam Lampiran PER-02/BL/2008 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Adapun komponen-komponen BTSM (Risk Based Capital) terdiri dari8:
6
“Ini Alasan OJK Cabut Izin BAJ”, diunduh tanggal 24 Februari 2015 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5269275d99c1e/ini-alasan-ojk-cabut-izin-usaha-baj 7
Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, “Press relase penerbitan peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan”, 2008 8
Ibid
55
a. kegagalan pengelolaan kekayaan; b. ketidak-seimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban; c. ketidak-seimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang; d. perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan; e. ketidak-cukupan premi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh; f. ketidak-mampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar klaim. Menurut Ahmad Sathori faktor yang menyebabkan pencabutan izin BAJ oleh OJK adalah karena masalah admisi9. Adapun penyebab lemahnya tingkat kesehatan keuangan BAJ adalah : a.
Salah investasi
b.
Perolehan dan Penjualan premi yang tidak menguntungkan
c.
Inefesiensi10
d.
Penghitungan kewajiban yang tidak sesuai
e.
Modal yang kurang
9
yaitu tingkat kesehatan keuangan yang tidak sesuai semestinya
10
Adanya pengeluaran yang tidak wajar
56
Pasal 53 POJK Nomor 1 tentang Perlindungan konsumen. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a.
Peringatan tertulis;
b.
Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c.
Pembatasan kegiatan usaha;
d.
Pembekuan kegiatan usaha; dan
e.
Pencabutan izin kegiatan usaha
2. Masalah Hukum Dicabutnya izin suatu perusahaan pastilah ada alasan-alasan krusial yang menjadi pertimbangan regulator. Dalam kasus pencabutan izin usaha BAJ ini OJK lah yang berwenang sebagai regulator. Faktor penyebab dicabutnya izin usaha BAJ yang kedua ini adalah karena permasalahan/ problem terkait dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 mengamanatkan mengenai kesehatan keuangan sebagaimana terdapat pada pasal 19 yakni: a.
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan
Asuransi
Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib mematuhi ketentuan mengenai kesehatan keuangan. b.
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan
Asuransi
Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib melakukan evaluasi
57
secara berkala terhadap kemampuan Dana Asuransi atau Dana Tabarru' untuk memenuhi klaim atau kewajiban lain yang timbul dari polis. c.
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan
Asuransi
Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib merencanakan dan menerapkan
metode
mitigasi
risiko
untuk
menjaga
kesehatan
keuangannya. Menurut Ahmad Sathori bagian pengawas perasuransian OJK, BAJ telah melanggar ketentuan-ketentuan admisi, tidak mengindahkan peringatan-peringatan OJK secara berkala tentang kesehatan keuangannya namun BAJ tidak mampu menyelesaikan sanksinya hingga OJK mengeluarkan Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) terhadap perusahaan BAJ. 11 Setelah pengawasan terhadap PKU BAJ tetap tidak bisa menyelesaikan kewajibannya maka OJK mencabut izin usaha BAJ. Faktor-faktor yang mempengaruhi dicabutnya izin usaha BAJ ini sejatinya adalah kesalahan perusahaan sendiri karena tidak sesuai aturan dan tidak bisa memanajemen keuangan dengan baik. Sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat
ﻋَﻠﻰ َ ﻻ َانْ َﻗﺎﻟُﻮا َر ﱠﺑ َﻨﺎاﻏْ ِﻔﺮَْﻟ َﻨﺎ ذُﻧُﻮْ َﺑ َﻨﺎ َوِاﺳْ َﺮا َﻓ َﻨﺎ ِﻓﻲ َاﻣْ ِﺮ َﻧﺎ َو َﺛ ﱢﺒﺖْ َاﻗْ َﺪا َﻣ َﻨﺎ َواﻧْﺼُﺮْ َﻧﺎ ن ﻗَﻮْﻟَﮭُﻢْ اِ ﱠ َ َوﻣَﺎ ﻛَﺎ (147 : 3 :ﻦ )ال ﻋﻤﺮان َ ْاﻟْ َﻘﻮْ ِم اْﻟﻜ ِﻔ ِﺮﯾ Artinya: Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa,”Ya Tuhan kami, ampunillah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami” dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.
11
Wawancara dengan Ahmad Sathori, Bagian Pengawas Peransuransian OJK, Jakarta.26 Februari 2015
58
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa setiap sesuatu harus dilakukan sesuai aturan yang ada, tidak boleh berlebih lebihan. Pada kasus pencabutan izin usaha BAJ, OJK sebagai lembaga pengawas perasuransian menemukan inevesiensi dan penyalahgunaan investasi sehingga terjadi kesehatan keuangan yang tidak sesuai standar undang-undang. C. Akibat Hukum Dicabutnya Izin Asuransi BAJ 1.
Bagi perusahaan Sesuai dengan pasal 43 Ayat 1 UU No 40 Tahun 2014 Perusahaan
Perasuransian yang dicabut izin usahanya wajib menghentikan kegiatan usahanya. Setelah penghentian usaha ini suatu perusahaan seperti mati suri. Karena semua majanemen dan operasional perusahaan harus dihentikan. Adapun kewajiban yang harus dilakukan suatu perusahaan setelah izinnya dicabut adalah sebagaimana disebutkan dalam UU No 40 Tahun 2014: “Pada UU Perasuransian diatur bahwa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang dicabut izin usahanya wajib menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan yang bersangkutan dan membentuk tim likuidasi. Dalam hal RUPS tidak dapat diselenggarakan atau RUPS dapat diselenggarakan tetapi tidak berhasil memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan dan tidak berhasil membentuk tim likuidasi, maka OJK memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan dan membentuk tim likuidasi. Selain itu terdapat pula hal-hal baru yang diatur pada UU Perasuransian”, antara lain:
59
1) Ketentuan mengenai pengendali. Ketentuan ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib menetapkan paling sedikit 1 (satu) pengendali dan pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas kerugian perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang disebabkan oleh Pihak dalam pengendaliannya. 2) Ketentuan mengenai pemegang saham pengendali. Ketentuan ini mengatur bahwa setiap pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) perusahaan perasuransian yang sejenis. Bagi pemegang saham pengendali yang memiliki lebih dari 1 (satu) perusahaan perasuransian maka wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang paling lama 3 (tiga) tahun. 3) Ketentuan mengenai program asuransi wajib. Ketentuan ini mengatur bahwa program asuransi wajib harus diselenggarakan menyelenggarakan
secara
kompetitif
program
asuransi
dan
pihak
wajib
yang
harus
dapat
memenuhi
persyaratan yang ditetapkan OJK. 4) Ketentuan mengenai penjaminan polis. Ketentuan ini mengatur bahwa perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis,
60
penyelenggaraan program penjaminan polis diatur dengan undangundang. 5) Ketentuan mengenai Pengelola Statuta OJK sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai otoritas jasa keuangan. Pengelola Statuter mempunyai tugas antara lain: a. Menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana peserta perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah; b. Menyusun perusahaan
langkah-langkah asuransi
apabila
syariah,
perusahaan
perusahaan
asuransi,
reasuransi,
atau
perusahaan reasuransi syariah tersebut masih dapat diselamatkan; c. Mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah apabila perusahaan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan; dan d. Melaporkan kegiatannya kepada OJK. 6) Ketentuan mengenai asuransi syariah. Ketentuan ini mengatur bahwa usaha asuransi syariah dan reasuransi syariah harus diselenggarakan oleh entitas tersendiri (full fledge). Perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah dengan nilai dana tabarru’ dan dana investasi peserta telah
61
mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai dana asuransi, dana tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya UU Perasuransian, perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi tersebut wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah. 7) Ketentuan mengenai larangan penempatan asuransi pada perusahaan asuransi terafiliasi. Ketentuan ini mengatur bahwa perusahaan pialang asuransi dilarang menempatkan penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah yang merupakan afiliasi dari pialang asuransi atau perusahaan pialang asuransi yang bersangkutan. UU Perasuransian mengamanatkan pengaturan lebih lanjut atas ketentuan di UU dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan OJK. OJK akan menyiapkan Peraturan OJK sebagaimana diamanatkan oleh UU Perasuransian. UU Perasuransian mengamanatkan pengaturan lebih lanjut atas ketentuan di UU dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan OJK. OJK akan menyiapkan Peraturan OJK sebagaimana diamanatkan oleh UU Perasuransian. Sebenarnya keadaan hukum antara suatu perusahaan yang dicabut izin usahanya dengan perusahaan yang dipailitkan perbedaan pokoknya ada pada keberlakuan badan hukum itu sendiri. Jika suatu perusahaan dicabut izin usahanya
62
status perusahaan tersebut masih ada ada dan sah sebagai badan hukum dan jika perusahaan yang pailit atau dipailitkan perusahaan tersebut tidak cakap hukum dan semua tindakan perusahaan ada pada kurator.12 Khusus untuk perusahaan asuransi berlakulah lex spesialis derogat lex generalli yang diatur oleh UU No 40 Tahun 2014 tentang Peransuransian dan Peraturan OJK, sehingga setelah perusahaan BAJ dicabut izin usahanya segala urusan diserahkan kepada tim likuidator.13 2.
Bagi Nasabah/Pemegang Polis Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) konsumen didefenisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pada alenia kedelapan UUPK, perlindungan konsumen mengacu pada filosofi pembangunan nasional,
termasuk
pembangunan
hukum
didalamnya
yang
memberikan
perlindungan konsumen yang berlandaskan kepada pancasila dan UUD 1945. Ketentuan mengenai perlindungan konsumen pada UUPK sifatnya adalah prefentif dan universal. UUPK merupakan gambaran ideal dari seorang konsumen dan pelaku usaha. Namun, dalam UUPK disebutkan bahwa konsumen bisa
12
13
Diskusi dengan Dra. Hafni Muchtar selaku dosen hukum perusahaan penulis.
Tim likuidator adalah tim independent untuk mengurus harta perusahaan. Wawancara Dengan Ahmad Sathori, Bagian Pengawas Peransuransian OJK, Jakarta. 26 Februari 2015
63
melakukan pembelaan konsumen melalui pengadilan. 14 Adapun telah dibentuk lembaga perlindungan nasional sifatnya hanya sebagai regulator dan pengawas. Kemudian di dalam pasal 1 UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pengertian Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.15 Menilik beberapa pengertian diatas konsumen adalah istilah hukum yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan sedang nasabah adalah sebutan untuk konsumen dibidang perbankan dan peransuranisan. Jadi, konsumen/nasabah asuransi adalah setiap orang yang terikat ke dalam sebuah perjanjian asuransi. Keputusan konsumen saat memilih dan menggunakan produk dalam sektor jasa merupakan pengambilan keputusan oleh konsumen dalam memilih, membeli, memakai serta memanfaatkan produk, jasa, gagasan, atau pengalaman dalam rangka memuaskan kebutuhan dan hasrat konsumen. Kemudian setelah adanya pencabutan izin usaha suatu perusahaan maka berlakulah prinsip struktured kreditors sebagaimana dijelaskan pada hukum kepailitan, yang mana terdapat keditor-kreditor yang harus didahulukan dalam 14
Laksanto Utomo, Aspek Hukum Kartu Kredit dan Perlindungan Konsumen, Cet 1, (Bandung: PT Alumni, 2011), h. 205 15
Jo Pasal 1 Ayat (2) dan (3) No 1/POJK.07/2013
64
pembagian harta pailit debitor. Adapun prinsip ini mengklasifikasikan kreditor dalam tiga macam, yaitu16: 1. Kreditor separatis; yaitu pemegang hak tanggungan, gadai, dan agunan lainnya; 2. Kreditor preferen; kreditor yang diatur berdasarkan pasal 1139 dan pasal 1149 KUHPerdata; 3. Kreditor konkuren atau kreditor bersaing. Dikatakan bersaing karena sesungguhnya adanya kepailitan adalah untuk melindungi kreditor konkuren yang tidak mempunyai keistimewaan sehingga kedudukannya satu sama lain sama, sehingga dibuatnya kepailitan ini agar tidak terjadi main hakim sendiri di antara kreditor bersaing. 17 Dalam hal perusahaan asuransi tersebut diajukan pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pailit, kekayaan perusahaan asuransi tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri Keuangan (sekarang OJK)18 diberi wewenang untuk meminta Pengadilan Niaga agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit sehingga harta kekayaan perusahaan tidak
16
M. Hadi Subhan, h. 32
17
H. Man. S. Sastrawidjadja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Ed 1, Cet 2, (Jakarta: PT Alumni, 2010), h. 35 18
Lihat UU No 40 Tahun 2014
65
dipergunakan untuk kepentingan pengurusan atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. 19 Dari ketentuan di atas, terlihat bahwa pemegang polis harus diprioritaskan dengan medudukkan para pemegang polis dengan kedudukan yang utama dan lebih tinggi (preferen) dari kreditor lainnya. 20 Selain itu, dalam kepailitan perusahaan perasuransian, Menteri Keuangan (sekarang OJK) diberikan kewenangan untuk mencegah berlangsungnya kegiatan yang tidak sah dari perusahaan perasuransian yang telah dicabut ijin usahanya tersebut dari kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat21. Sebenarnya hal yang terjadi pada BAJ adalah dicabutnya izin usaha BAJ oleh OJK. Karena status perusahaan yang dicabut izinnya oleh OJK seperti status perusahaan yang dipailitkan, maka nasabah/ pemegang polis dari suatu perusahaan yang dicabut izinnya disamakan dengan nasabah perusahaan yang dipailitkan. Dengan begitu, permintaan claim oleh nasabah tidak lagi kepada manajemn asuransi tapi dilakukan oleh tim likuidasi. 22 Namun, kenyataanya menurut pengawasan OJK BAJ masih melayani permohonan klaim dari nasabah yang seharusnya sudah diserahkan kepada tim likuiditor. Hal ini menyebabkan nasabah asuransi BAJ dalam
19
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi, Cet 1, (Bandung : PT Alumni, ,2007), h. 38 20
Jo UU No 40 Tahun 2014
21
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi, h. 39
22
Wawancara Dengan Ahmad Sathori
66
keadaan diliit kebingunan dalam ketidakpastian. 23 Padahal sebenarnya jika suatu perusahaan dalam likuidasi terdapat beberapa usaha untuk menyelesaikan utang piutang, yaitu antara lain dengan24: a. Perdamaian (di luar pengadilan); b. Gugatan melalui pengadilan; c. Perdamaian dalam pengadilan d. Ditagih secara individual e. Penundaan pembayaran f. Perdamaian penundaan pembayaran g. Kepailitan; dan h. Perdamaian dalam kepailitan; Jadi, baik dalam UUPK maupun UUOJK pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan pengawas.
UUOJK sebagai lex spesialis secara spesifik
mengatur mengenai perlindungan konsumen dibidang lembaga keuangan. Jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha maka bisa melakukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Namun baik OJK maupun nasabah ataupun tim likuidator BAJ jarang memperhatikan hal-hal seperti itu sehingga yang paling terkena dampak dari dicabutnya izin perusahaan BAJ adalah nasabah/pemegang polis bumi asih jaya.
23
24
Wawancara Dengan Ahmad Sathori
Andrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Cet 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 185
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis mendapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebagaiamana yang diatur dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2014 Tentang Peransuransian, kewenangan pencabutan izin usaha perushaan peransuransian yang dulunya berada pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan. Undangudang peransuransian dan undang-undang OJK secara hukum memberikan lex spesialis terhadap perusahaan peransuransian. Pasal 60 ayat (2) Undang-undang peransuransian mengatakan “Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) UU No 40 Tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a.
menyetujui atau menolak memberikan izin Usaha Perasuransian;
b.
mencabut iain Usaha Perasuransian;
c.
menyetujui atau menolak memberikan pemyataarl pendaftaran bagi
konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian; d.
membatalkan pemyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan
publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian.
67
68
2. Faktor-Faktor penyebab dicabutnya izin PT Asuransi Bumi Asih Jaya (BAJ) adalah karena adanya admisi yaitu pelanggaran BAJ terhadap ketentuan yang berlaku dan tingkat kesehatan perusahaan yang tidak sesuai sebagaimana mestinya. Adapun pelanggaran-pelanggaran BAJ terhadap ketentuan adalah tidak mengindahkan sanksi yang diberikan oleh OJK sedangkan mengenai penyebab lemahnya tingkat kesehatan keuangan BAJ sehingga OJK mencabut izinnya adalah : a. Salah investasi b. Perolehan dan Penjualan premi yang tidak menguntungkan c. Inefesiensi d.
Penghitungan kewajiban yang tidak sesuai
e. Modal yang kurang 3. Secara garis besar akibat dari dicabutnya izin usaha BAJ berpengaruh terhadap keadaan perusahaan dan nasabah perusahaan. Sesuai dengan pasal 43 Ayat 1 UU No 40 Tahun 2014 Perusahaan Perasuransian yang dicabut izin usahanya wajib menghentikan kegiatan usahanya. Setelah penghentian usaha ini suatu perusahaan seperti mati suri. Karena semua majanemen dan operasional perusahaan harus dihentikan. Adapun kondisi nasabah BAJ dari laporan yang ada di OJK juga dar berita yang beredar setelah BAJ dicabut izinnya sangat memprihatinkan. Nasabah tidak tahu
69
bagaimana nasib uang mereka yang selama ini telah mereka bayarkan polis. Keadaan tersebut membuat banyak nasabah mengadukan pelayanan konsumen kepada OJK, namun OJK hanya bisa menampung aduan dari konsumen BAJ dan memonitoring proses likuidasi BAJ karena kewenangan mengenai pemberesan harta perusahaan termasuk pelayanan klaim nasabah BAJ ada pada tim likuidator. B. Saran-saran 1. OJK sebagai lembaga pengawas dan pengatur lembaga keuangan sebaiknya lebih memperhatikan perlindungan atas nasabah lembaga keuangan melalui regulasi-regulasi yang dibuat oleh OJK. Juga memperhatikan keadaan nasabah pasca suatu perusahaan dilikuidasi. 2. Harus segera dibentuk lembaga penjamin simpanan bagi perusahaan asuransi yakni sebagai penjaminan bagi pemegang polis sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi semakin tinggi. 3. Bagi masyarakat
pengguna jasa asuransi sebaiknya memperhatikan
perusahaan yang akan menjadi tujuan asuransinya baik dari segi pendaftaran perusahaan juga dari segi kesehatan keuangan perusahaan. 4. Pemerintah, yaitu OJK sebagai lembaga yang berwenang harus terus memonitoring proses likuidasi perusahaan BAJ agar hak-hak pemegang polis bisa terlindungi. 5. Harus ada diskusi maupun kajian-kajian lebih mendalam terhadap topik asuransi dan OJK.
70
DAFTAR PUSTAKA AlQur’an Al Karim Ali, AM. Hasan, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Cet 1, Jakarta: Kencana, 2004. Ali, Zainuddin. Hukum Asuransi Syariah. Cet 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayarn di Indonesia. Cet 2. Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2002. Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modern di Era Global. Cet 2, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2005. Ganie, Junaedy. Hukum Asuransi Indonesia. Ed 1, Cet 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Husain, Umar. Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis. Cet Keenam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004. Irawan, Bagus. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi. PT. Alumni, Bandung, 2007. Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Cet IV. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. M, Subhan Hadi. Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, Dan Praktik Di Pengadilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Man, H. Sastrawidjaja, dan Endang. Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian. Bandung: Penerbit Alumni, 2004. Mamudji Sri, dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Ed Revisi. Jakarta: Prenada Media Group, 2010. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Cet 3, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Marwan dan Jimmy, Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher, 2009. Rejeki Hartono, Sri. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika, 1999. Remy Sjahdeini, Sutan. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Cet Iv Edisi Baru. Jakarta: Pustaka Grafiti, 2010.
71
S. Sastrawidjaja, Man. Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang. Bandung:PT. Alumni, 2010. Soekanto, Soerjono dan Sri Majmudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Cet IX, Jakarta: Rajawali Press, 2006. Suparman Sastrawidjadja, Man dan Endang, Hukum Asuransi: Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Peransuransian.Cet 3, Bandung: PT Alumni, 2004. Salman, Otje, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Cet 3, Bandung: Refika Aditama, 2012 Sutedi, Andrian, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Cet 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Utomo, Laksanto, Aspek Hukum Kartu Kredit dan Perlindungan Konsumen, Cet 1, Bandung: PT Alumni, 2011. Undang- Undang/ Perundang-Undangan UU No. 40 Tahun 2014 POJK/No.1/2013 UU No. 21 Tahun 2011 UU No. 37 Tahun 2004 UU No. 4 Tahun 1998 UU No. 2 Tahun 1999 KUHPer (BW) KUHDagang Atrikel/ Jurnal/Skripsi Inosentius Samsul , “Perlindungan konsumen pasca dibentuk OJK”, NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013. Istikhomah Dika Romadhona, Bambang Winarno, dan Djumikasih, Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Bagi Perusahaan Asuransi Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Nasabah, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Jurnal Konstitusi, Vol 2 Nomor 2, September, 2005 Mulhadi. “Kedudukan Tertanggung Dalam Perusahaan Asuransi”. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara, t.d 2009.
72
S. Asrori Karni, “Metode Penelitian dan Karakter Ilmu Hukum”, Bahan Ajar Internet http://hukumonline.com/ http://ojk.go.id/ “Profil Perusahaan”, artikel diakses pada 24 Februari http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab3/2012-1-00621-SI%20Bab%203.pdf
2015
dari
Fery Kristianto, “Asuransi Bumi Asih Diduga Bermasalah”, diunduh tanggal 24 February pukul 20.00 WIB dari www.kontan.co.id Wawancara Wawancara dengan Pak Hudiyanto Bagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen (EPK) 22 Januari 2015 Wawancara dengan Pak Ahmad Satori Bagian Pengawas Peransuransian 26 Februari 2015
q,D PRESIDEN
R EP
UBLIK
IND ONES IA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN
DENGAN RAHMATTUHANYANG MAHA ESA PRESIDDN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
!,ahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, a.mrnah, dan kompetitif akan meningkatkan pelindungan bAgi pemegang polis, tertanggung, atau
:
peserta, dan berperan mendorong pembangunan nasional; b.
bahwa dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi
perkembangan industri
perasuransian
serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global, perlu mengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun lgg2 tentang Usah; Perasuransian dengan undang-undang yang baru;
c.
Mengingat
:
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk UndangUndang tentang Perasuran sian;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPI'BLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANGTENTANG PERASURANSIAN. BAB I
PRESIDEN
REPUBLIK
IN D
ONES IA
-2BAB I KETENTUAN UMUM Pasa] I
Dalam Undang-Undang ini yarrg dimaksud dengan:
l. Asuransi adalah peg'anjian antara dua pihak,
yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan
pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan
manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
2.
didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan pe{anjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara: a. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yanrg didasarkal pada meninggatrya peserta atau pembayaran yang didasarkan pa.da hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 3. Prinsip
$).) -r!p4{ PRESIDEN
R
EPLIBLIK
IN D ONES IA
-33. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4.
5.
6.
7.
8.
Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegarlg polis, tertanggung, atau pihak Lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam pe{anjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
jasa pertangtungan atau pengelolaan
9. Usaha.
PRESIDEN
R
EPUBLIK INDONESIA
-49.
Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan kinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran Iain kepada peserta atau pihak lain yang
berhak pada waktu tertentu yang diatur
dalam
perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dala. 10. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya. 11. Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau
asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama
pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
t2. Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatar reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian ttaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan penjaminan,
perusahaan perusahaan reasuransi, atau
penjaminan syariah, perusahaan reasuransi syariah yang melalukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
13. Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim dan/ atau jasa konsultasi atas objek asuransi. 14. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusa-haan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. 15.
Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
16. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah.
17. Pihak.
$).) -r!p4{ R
PRESIOEN EPUBL IK INDONESIA
-5t7. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum. 18.
Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusatraan reasuransi syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dilikuidasi.
19.
Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau tidak
langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama.
20. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang
timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim
asuransi.
2L.
Dana Tabarm'adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
22.
Pernegang Polis adalah Pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau peru sahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain.
23. Tertanggung adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam pedanjian Asuransi atau pe{anjian reasuransi.
24.
Peserta
m R EP
PRESIDEN I]EL IK IN D ONES IA
-624. Peserta adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana rliatur dalam perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
25. Objek Asuransi adalah jiwa dan raga,
26.
27.
kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya. Pialarl,g Asuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang asuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dalam melakukan penutupan asuransi atau asuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim. Piallang Reasuransi adalah orang yang beke{a pada perusahaan pialang reasuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusaJraan reasuransi syariah dalam melakukan penutupan
reasuransi atau reasuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim.
28. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan
atas narna Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
29. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan
oleh
Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuralsi atau pe{anjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
30. Kontribusi.
R
PRESIDEN EPI.IBL IK IN D ONES IA
-7
-
30. Kontribusi adalah sej umlah uang yang ditetapkan oleh
Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan pe{anjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah untuk memperoleh manfaat dari Dana Tabarm'dan/atau dana investasi Peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari progrErm asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
31. Afrliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka
dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain atau sebaliknya.
32. Program Asuransi Wajib adalah program yang diwajibkan peraturan perundang-undangan bagr seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat guna mendapatkan pelindungan dari risiko tertentu, tidak termasuk program yang diwajibkan undang-undang untuk memberikan pelindungan dasar bagi masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam penetapan manfaat dan Premi atau Kontribusinya. 33. Pengelola Statuter adalah Pihak yang ditunjuk oleh
Otoritas Jasa Keuangan untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau peru sahaan reasuransi syariah.
34. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 35. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga pengatur darr pengawas seli:tor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai otoritas jasa keuangan. 36. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undangundang mengenai otoritas jasa keuangan. 37. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.
38. Menteri
q,D R
PRESIDEN EFUBL IK IND ONES IA
-838. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. BAE}
II
RUANG LINGKUP USAHA PERASURANSIAN Pasal 2
(1) Perusahaan asuransi umum
hanya
dapat
menyelenggarakan: a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan lini usalta asuransi kecelakaan diri; dan b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi
Umum lain. (2t
(3)
Perusahaan asuransi jiwa
hanya dapat termasuk lini Asuransi Jiwa menyelenggarakan Usaha usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. Pasal 3
(1)
Perusahaan asuransi umum syariah hanya dapat menyelenggarakan: a. Usaha Asuransi Urnum Syariah, termasuk lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah; dan
b. (2t
(3)
Usaha Reasuralsi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah Lain. Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah termasuk lini usaha anuitas berdasarkan Prinsip Syariah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggaralan Usaha Reasuransi Syariah. Pasal 4
f).) -ag4{ R
PRESIDEN EPL]BL IK INDONESIA
-9Pasal 4
(l) Perusahaan piatang asuransi hanya
dapat
menyelenggarakan Usaha Pialang Asurarsi.
(2t
Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat
Us$a Pialang Reasuransi. Perusahaan penilai kerugian asuransi hanya dapat menyelenggarakan
(3)
menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi. Pasal 5 (1)
(2\
(3)
Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha
Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (21 serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besamya didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB III BENTUK BADAN HUKUM DAN KEPEM]LIKAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN Pasal 6
(1) Bentuk badan
hukum
penyelenggara Usaha
Perasuransian adalah: a. perseroan terbatas; b. koperasi; atau c. usaha bersama yang telah ada pada saat UndangUndang ini diundangkan.
(2) Usaha
PRESIDEN
REPUEL.IK INOONESIA _ 10_
(21 Usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dinyata}an sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 7
(1)
Perusahaan Perasuransian hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum
b. warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum
Indonesia yang secara Langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; atau
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a, bersama-sama dengan warga negara asing atau badan hukum asing yang harus merupakan Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak
perusahaannya bergerak di
bidang
Usaha
Perasuran sian yang sejenis. (21
Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menjadi pemilik Perusahaan Perasuransian hanya melalui transaksi di bursa efek.
(3)
Ketentuan lebih lanj ut mengenai kriteria badan hukum asing dan kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Perusahaan Perasuransian diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV PERIZINAN USAHA Pasal 8
(1)
Setiap Pihak yang melakukan Usaha Perasuransian wajib terlebih dahulu mendapat izin u saha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk
fl,D R
PRESIDEN EPUBL IK INDONESIA
- 1l
(2\
-
Untuk mendapatlan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan mengenai: a. anggaran dasar; b. susunan organisasi; c. modal disetor; d. Dana Jaminan; e. kepemilikan; f. kelayakan dan kepatutan pemegang saham dan Pengendali; e. kemampuan dan kepatutan direksi dan dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
(3)
(4)
koperasi atau usaha bersama sebaga im6ns dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan auditor internal; h. tenaga ahli; i. kelayakan rencana kerja; j. kelayakan sistem manajemen risiko; k. produk yang akan dipasarkan; perikatan dengan pihak terafiliasi apabila ada dan 1. kebijakan pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha; m. infrastruktur penyiapan dan penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan; n. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing, dalam hal terdapat penyerlaan langsung pihak asing; dan o. hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang sehat. Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan jenis usaha yang akan dijalankan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 9
(1)
Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak
permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian paling lama 30 (tiga puluh) hari ke{a sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam
R
PRESIDEN IN DONES IA
EPLIBLIK
-12(21 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal (1)
l0
Perusahaan Perasuransian wajib melaporkan setiap pembukaan kantor di luar kantor pusatnya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(21
Kantor Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah di luar kantor pusatnya yang memiliki
kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/ atau keputusan mengenai penerimaan atau penolakan klaim
(3)
(41
setiap saat wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan. Perusahaan Perasuransian bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap kantor yang dimiliki atau dikelolanya atau yang pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan nama Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB V PEMELENGGARAAN USAHA Pasal l
(1) {2)
l
Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 12
PRESIDEN
REPt]BLIK INDONESIA
_13Pasal 12 (1)
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang
setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor intemal, dan Pengendali setiap saat wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dart tata cara
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat Jasa Keuangan.
(l) diatur dalam Peraturan Otoritas
Pasal 13
(l)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib menetapkan paling sedikit I (satu) Pengendali.
(21 Ddam hal terdapat Pengendali lain yang belum ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
(3)
perusahaan reasuransi syariah, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan Pengendali di luar Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Pengendali sebagaimana dimal<sud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 14
(1) Setiap Pihak yang ditetapkan sebagai l2l
Pengendali
sebagaimsla dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Perubahan Pengendali wajib dilaporkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Pihak yang telah ditetapkan menjadi Pengendali
tidak
dapat berhenti menjadi Pengendali tanpa persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan
$-.D PRESIDEN
REFI,]ElLIK
IND ONES IA
-14-
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh persetujuan berhenLi sebagai Pengendali sebagaimana dirnaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 15
Pengendali wajib
ikut
bertanggung jawab atas kerugian
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang disebabkan oleh Pihak dalam pengendaliannya. Pasal 16 (1)
Setiap Pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada I (satu) perusahaan asuransi jiwa, 1 (satu) perusahaan asuransi umum, 1 (satu) perusahaan reasuransi, 1 (satu) perusahaan asuransi jiwa syariah, I (satu) perusahaan asuransi umurr syariah, dan I (satu) perusahaan reasuransi syariah.
(2t
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila pemegang saham pengendali adalah Negara Republik Indonesia.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 17
(1)
(21
Perusahaan Perasuransian wajib mempeke{akan tenaga ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya, dalam rangka memastikan penerap.rn manajemen asuralsi yang baik. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib mempekerjakan aktuaris dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya, untuk secara independen dan sesuai dengan standar praktik yang berlaku mengelola dampak keuangan dari risiko yang dihadapi perusahaan.
(3) Ketentuan
PRESIDEN
R
EPUELIK INDONESIA
- 15mengenai jenis, jumlah, dan persyaratan tenaga a-l.li sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut
Pasal 18
(t)
(2t
Perusahaan Perasuransian dapat bekerja sanrla dengan atau melaksanakan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya. Perusahaan Perasuransian wajib memastikan bahwa pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki izin untuk menjalankan usahanya dari instansi yang
pihak lain dalam rangka memperoleh bisnis
berwenang. (3)
Perusahaan Perasuransian wajib memiliki dan
menerapkan standar seleksi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan ke{a sama sebagaimana dimaksud pada ayat (l ). (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 19
(1)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib mematuhi ketentuan mengenai kesehatan keuangan.
(2t
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah wajib melakukan evaluasi secara berkala
terhadap kemampuan Dana Asuransi atau Dana Tabamt' untuk memenuhi ktaim atau kewajiban lain yang timbul dari polis. (3)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib merencanakan dan menerapkan metode mitigasi risiko untuk menjaga kesehatan keuangannya. (4) Ketentuan
$-,D R EF
PRESIDEN LIBL,IK INDONESIA
-16(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan metode mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 20
(1)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib membentuk Dana Jaminan dalam bentuk
dan jumlah yarlg ditetapkan oleh Otoritas
Jasa
Keuangan. (2t
(3) (4t
Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) waj ib disesuaikan jumlahnya dengan perkembangan usaha, dengan ketentuan tidak kurang dari yang d ipersyaratlan pada awal pendirian. Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang diagunkan atau dibebani dengan hak apa pun. Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dipindahkan atau dicairkan
setelah
mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (s)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (l), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasa]
(1)
(21
2l
Kekayaan dan kewajiban yang terkait dengan hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta wajib dipisahkan dari kekayaan dan kewajiban yang lain dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. Untuk perusahaan asuransi jiwa syariah, kekayaan dan kewajiban Peserta untuk keperluan saling menolong dalam menghadapi risiko wajib dipisahkan dari kekayaan dan kewajiban Peserta untuk keperluan investasi'
(3) Perusahaan
$.).) -t!sy4{ PRESIDEN
R EP
UBLIK INOONESIA
-t7(s)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan kesesuaian antara kekayaan dan kewajiban dalam
menginvestasikan kekayaan Pemegang
(4)
Polis,
Tertalggung, atau Peserta. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2ll, dan investasi kekayaan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 22
(1)
(2t (3)
(4)
Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan laporan, informasi, data, dan/ atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui sistem data elektronik.
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasttransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan posisi keuangan, kine{a keuangal, dan kondisi kesehatal keuangan perusahaan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan media elektronik. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib menyediakan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan risiko yang dihadapinya kepada pihak yang berkepentingan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan. (s)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan laporan keuangan yang telah diaudit paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan keuangan tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Ketentuan
f,,D PRESIDEN REPIJBL..IK IN D ONES IA
-18-
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 23
(1)
(2t
Laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak dapat dibuka oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak lain, kecuali kepada: a. polisi dan jaksa untuk kepentingan penyidikan; b. hakim untuk kepentingan peradilan; c. pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan; d. Bank Indonesia untuk pelaksanaan tugasnya; atau e. pihak lain berdasarkan peraturan perundangundangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 24
(1)
(2t
(3)
Penutupan asuransi atas Objek Asuransi harus
didasarkan pada asas kebebasan memilih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuralsi Syariah. Penutupan Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan memperhatikan daya tampung Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaal reasuransi syariah di dalam negeri. Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasa] 25
m R
PRESIDEN EP'JBL IK IN DONES IA
-19Pasal 25
Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali da-lam hal: a. tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang memiliki kemampuan menahan atau mengelola risiko asuransi atau risiko asuransi syariah dari Objek Asuransi yang bersangkutan; atau b. tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia yang bersedia melakukan penutupan asuransi atau asuransi syariah atas Objek Asuransi yang bersangkutan. Pasal 26
(1)
Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi standar perilaku usaha yang mencakup ketentuan mengenai: a. polis; b. Premi atau Kontribusi;
c. urderutititrg dan d. e.
f.
g.
h.
pengenalan Pemegalg Polis, Tertanggung, atau Peserta; penyelesaian klaim; keahlian di bidang perasuransian; distribusi atau pemasaran produk; penarlganan keluhan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta; dan standar lain yang berhubungan dengan penyelen ggaraan usaha.
(21 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar perilaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal2T
(1)
Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pialang
R
PRESIDEN EPUBL IK IND ONES IA
_20(2t
Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup serta memiliki reputasi yang baik.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 28
(1)
(21
(s)
(41
(s) (6)
(71
Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh Pemegang Polis atau Peserta kepada Perusahaart Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, atau dibayarkan melalui Agen Asuransi. Agen Asuransi hanya dapat menerima pembayaran Premi atau Kontribusi dari Pemegang Polis atau Peseria setelah mendapatkan persetujuan dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. Pertanggungan dinyatakan mulai berlaku dan mengikat para Pihak terhitung sejak Premi atau Kontribusi diterima oleh Agen Asuransi. Agen Asuransi dilarang menahan atau mengelola Premi atau Kontribusi. Agen Asuransi dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi. Dalam hat Premi atau Kontribusi dibayarkan mela-lui Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21, Agen Asuransi wajib menyerahkan Premi atau Kontribusi tersebut kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam jangka waktu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Perusahaan Asuransi atau Peru sahaan Asuransi Syariah wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul apabila Agen Asuransi telah menerima Premi atau Kontribusi, tetapi belum menyerahkannya kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tersebut.
(8) Perusahaan
PRESIDE N
R
EPUBLIK INDONESIA
-21-
(8)
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib membayarkan imbalan jasa keperantaraan kepada Agen Asuransi segera setelah menerima hemi atau Kontribusi. Pasal 29
(l)
(21
Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh Pemegang Polis atau Peserta kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, atau dibayarkan melalui perusahaan pialang asuransi. Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
kepada perusahaan reasuransi atau
perusahaan reasuransi syariah, atau dibayarkan melalui perusahaan pialang reasuransi. (3)
(41
(s)
Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi dilarang menahan atau mengelola Premi atau Kontribusi. Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi. Dalam hal Premi atau Kontribusi dibayarkan melalui perusahaan pialang asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) atau melalui perusahaan pialang reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2l', perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi wajib menyerahkan Premi atau Kontribusi tersebut kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dalam jangka waktu yang diatur
(6)
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal penyerahan Premi atau Kontribusi dilakukan oleh perusahaan pialang asuransi atau perusahaan
pialang reasuransi setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul dari kerugian yang terl'adi setelah berakhirnya
jangka waktu tersebut.
(7) Perusahaan
PRESIDEN
REPUBLIK
IN D ONES IA
-22(71 Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi mendapatlan imbalan jasa keperantaraan dari Pemegang Polis atas jasa keperantaraannya. Pasal 30
(1)
(21
(3)
Perusahaan pialang asuransi dilarang menempatkan penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang merupakan Afiliasi dari Pialang Asuransi atau perusahaan pialang asuransi yang bersangkutart. Perusahaan pialang reasuransi dilarang menempatkan
penutupan reasuransi atau penutuPan reasuransi syariah pada perusahaan rieasuransi atau perusahaan
reasuransi syariah yang merupatan Afiliasi dari Pialang Reasuransi atau perusahaan pialang reasuransi yang bersangkutan. Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi bertanggung jawab atas tindakan Pialang Asuransi dan Pialang Reasuransi yang memberikan rekomendasi kepada Pemegang Polis terkait penutupan asuransi atau penutupan reasuransi. Pasa] 31
(1)
(21
Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Perasuransian wajib memberikan informasi yang benar, tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan.
(3) Perusahaan
PRESIDEN
REPi]t]LIK
IND ON ES IA
_23(3)
(4)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi wajib menangani klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim,
atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan
(s)
penyelesaian atau pembayaran klaim. Ketentuan Iebih lanjut mengenai penanganan klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 32
(1)
(2)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan perusahaan pialang asuransi w4iib menerapkan kebljakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan perusahaan pialang asuransi wajib mendapatkan informasi yang cukup mengenai calon Pemegang Polis,
Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang terkait dengan penutupan asuransi atau asuransi syariah untuk dapat menerapkan kebljakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan kebijakan anti pencucian uang dal pencegahan pendanaan
terorisme bagr Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan perusahaan pialang asuransi
sglagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 33
R
PRESIDEN IN DONES IA
EPUBLIK
-24Pasal 33
Setiap Orang dilarang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. Pasal 34
atau pihak yang berwenang menandatangani polis dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dikenai sanksi Anggota direksi
dan/
pembatasan kegiatan usaha dilarang menandatangani polis baru. BAB VI TATA KELOLA USAHA PERASURANSIAN BERBENTUK KOPERASI DAN USAHA BERSAMA Pasal 35 (1)
(2t
(3)
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggaral
(a) Anggota
PRESIDEN
R
EPUBLIK INDONESIA
-25(4)
Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan. (s)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VII PENINGKATAN KAPASITAS ASURANSI, ASURANSI SYARIAH, REASURANSI, DAN REASURANSI SYARIAH DALAM NEGERI Pasal 36
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaar reasuransi syariah wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi syariah dalam negeri. Pasal 37
Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan mendorong peningkatan kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi syariah dalam negeri guna memenuhi kebutuhan pertanggungan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi syariah dalam negeri. Pasal 38
q.D R
PRESIDEN EPUBL IK INDONESIA
-26Pasal 38
Pemerintah dapat memberikan fasilitas fiskal kepada perseorangan, rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong pemanfaatan jasa asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuraresi syariah dalam pengelolaan risiko sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII PROGRAM ASURANSI WAJIB Pasal 39 (1)
(2t
Frogram Asuransi Wajib harus diselenggarakan secara kompetitif.
Pengaturan Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pding sedikit memuat:
a. cakupan kepesertaan; b. hak dan kewajiban Tertanggung atau Peserta; c. Premi atau Kontribusi; d. manfaat atau santunan; e. tata cara klaim dan pembayaran manfaat
(3)
(4)
(s)
atau
santunan; f. kriteriapenyelenggara; g. hak dan kewajiban penyelenggara; dan h. keterbukaan informasi. Pihak yang dapat menyelenggarakan Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan. Penyelenggara Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menawarkan manfaat tambahan dengan tambahan Premi atau Kontribusi.
Penyelenggara Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilarang memaksa Pemegang Polis untuk menerirna tawaran manfaat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). BAB
Ix
$-,D R
PRESIDEN EPUEL IK IND ONES IA
-27
-
BAE} IX
PERUBAHAN KEPEMILIKAN, PENGGABUNGAN, DAN PELEBURAN Pasal 40 (1)
Setiap
perubahan kepemilikan wajib terlebih dahulu
Perasuransian
Perusahaan memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (21
(3)
Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perubahan kepemilikan yang mengakibatkan terdapatnya penyertaan langsung oleh pihak asing di dalam
Perusahaan Perasuransian, pihak asing tersebut harus merupakan Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang Usaha Perasu ransian yang sejenis. Ketentuan mengenai Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha sejenis atau kepemilikan perusahaan induk atas anak perusahaan yang bergerak di bidang
Usaha Perasuransian yang sejenis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib tetap dipenuhi selama pihak asing tersebut memiliki penyertaan pada Peru sahaan Perasuransian. (4)
(s)
Perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian melalui transaksi di bursa efek dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang tidak menyebabkan perubahan pengendalian pada Perusahaan Perasuransian tersebut. Untuk memperoleh persetujuan, perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan: a. perubahan kepemilikan tersebut tidak mengurangi hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah; dan b. perubahan kepemilikan tersebut tidak mengurangi hak penanggung, penanggung ulang, atau pengelola, bagr perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(6) Ketentuan
PRESIDEN
REPUBLIK
IN D
ONES IA
_28-
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
dan persyaratan perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal
(1)
(2t
(3)
4l
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penggabungan atau peleburan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan antar Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaEln reasur€rnsi syariah yang bidang u sahanya sejenis. Untuk memperoleh persetujuan, penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
a.
penggabungan atau peleburan tersebut tidak mengurangi hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah; dan
b.
kondisi keuangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah hasil penggabungan
atau peleburan tersebut harus tetap memenuhi
(4)
ketentuan tingkat kesehatan keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB X
R EP
PRESIDEN I]BL IK IND ONESIA
_29BAB X PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN Pasal 42
(l) Perusahaan Perasuransian yang menghentikan kegiatan usahanya wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penghentian kegiatan usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2\
(3)
(4)
Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (l) wajib terlebih dahulu menyelesaikan seluruh kewajibannya. Dalam hal Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah menyelesaikan seluruh kewajibannya, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian yalg bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyelesaian kewajiban Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 43
(1) (21
Perusahaan Perasuransian yang dicabut izin usahanya wajib menghentikan kegiatan usahanya. Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (f) huruf c, dan pegawai Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah dilaralg mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, atau
menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sejak dicabut izin usahanya. Pasal 44
q,D PRESIDEN
F{
EP
URLIK
IND ONES IA
-30Pasal 44
(l)
Paling Lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah yang dicabut izin usahanya wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud da-lam Pasal 6 ayat (1) huruf c untuk memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan yang bersangkutan dan membentuk tim likuidasi. (21 Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (l) rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dima]<sud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
tidak dapat diselenggarakan atau rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dapat diselenggarakan, tetapi tidak berhasil memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan dan tidak berhasil membentuk tim likuidasi, Otoritas Jasa Keuangan: a. memutuskan pembubaran badan hukum peru sahaan dan membentuk tim likuidasi; b. mendaftarkan dan memberitahukan pembubaran badan hukum perusahaan kepada instansi yang berwenang, serta mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran yang luas; c. memerintahkan tim likuidasi melaksanakan likuidasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan d. memerintahkan tim likuidasi melaporkan hasil pelalsanaan likuidasi.
(3) Ketentuan tebih lanjut mengenai pembentukan
tim
likuidasi dan pelaporan hasil pelaksanaan likuidasi oleh tim likuidasi sebagairnala dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 45
$1.) -$ay4{ R EP
PRESIDEN UBL IK INDONESIA
-31
-
Pasal 45 (1)
Sejak terbentuknya tim likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat {21, tanggung jawab dan kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah da-lam likuidasi
(2t
(3)
dilaksanakan oleh tim likuidasi. Tim likuidasi berwenang mewakili Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah da-lam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengal penyelesaian hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. Ketentuan lebih Ianjut mengenai pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 46
(1)
Sejak terbentuknya tim likuidasi, direksi dan dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam likuidasi tidak memiliki kewenangan sebagai direksi dan dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(2) Pemegang
i.D PRESIDEN IK IND ONESIA
R EF I,.II-]I.,
-32(21
Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan pegawai Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam likuidasi wajib memberikan data, informasi, dan dokumen yang diperlukan oleh tim likuidasi.
(3)
Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, at€.u yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (l) huruf c, dan pegawai Perusahaan Asuralsi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam likuidasi dilarang menghambat proses likuidasi. Pasal 47 (1)
Seluruh biaya pelaksanaan likuidasi yang tercantum
dalam daftar biaya likuidasi menjadi beban
aset Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya. (2t
Dalam ha.l terdapat sisa hasil likuidasi setelah dilakukan
pembayaran atas seluruh kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaEln reasuransi syariah dalam Iikuidasi, sisa hasil likuidasi tersebut merupakan hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegarlg saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.
Pasal 48
PRESIDEN
R
EPUBLIK INDONESIA
-33Pasal 48
(1) Dalam hal terdapat sisa hasil likuidasi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2), tagihan yang timbul dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak proses [kuidasi selesai diajukan melalui Otoritas Jasa Keuangan kepada pemegang saham atau yang setara dengan pemegarlg saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama ssla ga i p6qna dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.
(21 Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada sisa hasil likuidasi yang merupakan hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c. Pasal 49
(1) Tim likuidasi harus bertindak adil dan objektif dalam melaksanal
hal teg'adi benturan kepentingan antara kepentingan pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimala dimaksud dalam Pasal 6 ayat (l) huruf c dan kepentingan Pemegang Polis, lbrtanggung, atau Peserta, tim likuidasi harus
(21 Dalam
mengutamakan kepentingan Pemegang
Polis,
Tertanggung, atau Peserta. Pasal 5O (1)
Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
atau
perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
reasuransi,
(2) Tata
.
PRESIDEN REPURL.IK IND ONES IA
-34l2t
(3)
Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
atau
perusahaan reasuransi syariah (1) tidak dapat sebagaimana dimaksud pada ^yat putusan mengeksekusi diajukan dalam rangka
reasuransi, pengadilan.
Pasal 51
(1) Kreditor menyampaikan permohonal kepada Otoritas Jasa Keuangal untuk mengajukan permohonan pemyataan pailit kepada pengadilan niaga.
(2) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau
menolak permohonan yang disampaikan oleh kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
(3)
(4)
Datam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan yang disampaikan oleh kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasalnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan dari kreditor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 52
(1)
Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas
pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya.
(2) Dalam
$-.D PRESIOEN
R
EPUBLIK INDONESIA
-35(2)
Dalam hd Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dipaifitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi
harus digunakan terlebih dahulu untuk (3)
(41
memenuhi
kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas marfaat asuransi. Dalam hal terdapat kelebihan Dana Asuransi setelah
pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kelebihan Dana Asuransi tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi. Dalam hat Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah dipailittan atau dilikuidasi, Dana Tabamt' dan dana investasi peserta tidak dapat digunakan untuk membayar kewajiban selain kepada Peserta.
BAB XI PELINDUNGAN PEMEGANG POLIS, TERTANGGUNG, ATAU PESERTA Pasal 53 (1) (21
(3)
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang' Pada saat program penjaminan polis berlaku berdasarkan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketentuan mengenar Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d
dan Pasal 20 dinyatakan tidak berlaku untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
(4)
'
Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dibentuk paling lama 3 (tiga) tahun sejak UndangUndang ini diundangkan. Pasal 54
R
PRESIDEN EPT]EL IK INDONESIA
-36Pasal 54 (1)
(2t (3)
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asurarsi. kmbaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan imparsial. I-embaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
final dan mengikat
(4)
Kesepakatan mediasi bersifat para Pihak.
(s)
Ketentuan Iebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
bagi
BAB XII PROFESI PEI{YEDIA JASA BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN Pasal 55
(1)
Profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian terdiri atas: a. konsultan aktuaria; b. akuntan publik;
c. penilai; dan d. profesi lain yang ditetapkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk dapat menyediakan jasa bagi Perusahaan Perasuransian, profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan
PRESIDEN R EPTJEII,..IK IN D ONES IA
-37 (3)
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyarat€rn dan tata cara pendaJtaran profesi penyedia jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
l2l diatur dalam
Pasal 56
(r)
(21
(3)
(4)
Pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) menjadi batal apabila izin profesi yang bersangkutan dicabut oleh instansi yang berwenang.
Jasa dari profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (l) yang diberikan sebelum dibatalkannya pendaftaran profesi dinyatakan tetap berlaku, kecuali apabila jasa yang diberikan tersebut merupakan penyebab dibatalkannya pendaftaran atau dicabutnya izin profesi yang bersangkutan. Dalam hal pendaftaran profesi penyedia jasa menjadi batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan atau penilaian atas jasa lain yang diberikan profesi penyedia jasa tersebut kepada Perusahaan Perasuransian untuk menentukan berlaku atau tidak berlakunya jasa tersebut. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memutuskan bahwa jasa yang diberikan oleh profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku, Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Perusahaan Perasuransian yang menggunakan jasa profesi penyedia jasa tersebut untuk menunjuk profesi penyedia lain untuk melakukan kembali jasa yang sama. BAB XIII PENGATURAN DAN PENGAWASAN Pasal 57
(1) Pengaturan dan pengawasan kegiatan
Usaha Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Menteri
R
FRESIDEN EPIJ?L IK IND ONES IA
-38(21 Menteri menetapkan kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional. Pasal 58
Otoritas Jasa Keuangan harus mengupayakan terciptanya persaingan usaha yang sehat di bidang Usaha PerasurEmsian. Pasal 59 (1)
Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak tertentu untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan sebagian dari fungsi pengaturan dan pengawasan.
(2t
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan dan pelaksanaan sebagian fungsi pengaturan dan pengawasan oleh pihak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 60
Dalam rangka pelaksanaan fungsi
(1)
pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan peraturan perundangundangan di bidang perasuransian.
(2t
Dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. menyetujui atau menolak memberikan izin Usaha Perasuransian; b. mencabut iain Usaha Perasuransian;
c. menyetujui atau menolak memberikan d.
pemyataarl pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian; membatalkan pemyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain
yang memberikan jasa kepada
Perusahaan
Perasuransian;
e. mewajibkan
PRESIDEN IN DONES IA
REPLIi]LIK
-39-
e. f.
Perasuransian Perusahaan mewajibkarl menyampaikan laporan secara berkala; melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dan pihak lain yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;
c.
menetapkan Pengendali dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah; h. menyetujui atau mencabut persetujuan suatu Pihak menjadi Pengendali Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau peru sahaan reasuransi syariah; 1.
j.
mewajibkan suatu Pihak untuk berhenti menjadi Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau peru sahaan reasuransi syariah ; melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama (l) huruf 6 ayat Pasal sebagaimana dimaksud dalam c, dewan pengawas syariah, aktuaris peru sahaan, auditor internal, dan Pengendali; k. menonal,rtifkan direksi, dewal komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan Pengelola Statuter; memberi perintah tertulis kepada: 1.
l.
pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai
hal
tertentu, atas biaya
Perusahaan kepada Perasuransian dan disampaikan Otoritas Jasa Keuangan;
2.
Perusahaan
m PRESIOEN
R
EPLIBLIK INDONESIA
_40-
2. Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah untuk mengalihkan seba gran atau seluruh portofolio pertanggungannya kepada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain;
3.
Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu guna memenuhi
ketentuar peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian;
4.
Perusahaan Perasuransian
untuk
memperbaiki
atau menyempurnakan sistem pengendalian
intern untuk mengidentifrkasi dan menghindari pemanfaatan Perusahaan Perasuransian untuk
kejahatan keuangan;
m.
5.
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk menghentikan pemasaran produk asuransi tertentu; dan
6.
Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak kompeten, tidak memenuhi kualifrkasi tertentu, tidak berpengalaman, atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perasuransian;
mengenakan
kepada
Perusahaan Perasuransian, pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham,
sanksi
direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan/atau auditor internal; dan melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 61
R EP
PRESIDEN UBL-IK INDONESIA
-4tPasal 6 I (1)
Pemeriksaan sslagaimana dimaksud dalam Pasal 6O ayat (2) huruf f dilakukan secara berka-la dan/atau sewaktu-
waktu. (2t
Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain
untuk dan atas nama Otoritas Jasa
Keuangan
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3)
Untuk tujuan pemeriksaan, anggota direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
anggota anggota
direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
6 ayat (l) huruf c,
dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal,
pegawai liain, pemegang saham, Pengendali, pihak
teraliliasi, dan pihak yang menerima pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian wajib memberikan keterangan
dan/atau data, kesempatan untuk melihat
semua
pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dan hal lain yang diperlukan oleh pemeriksa.
(41 Untuk tujuan pemeriksaan, pihak yang pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (l) huruf c, dewan pengawas syariah, alrtuaris perusahaan, auditor internal, pegawai lain, pemegang saham, Pengendali, pihak terafiliasi, dan pihak yang menerima pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha untuk kepenLingan Perusahaal Perasuransian, wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Usaha Perasuransian yang diperlukan oleh pemeriksa.
(5) Ketentuan
PRESIDEN
R
EPI,]BLIK IND ONES IA
_42_
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta kriteria dan tata cara penugasan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 62
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat menonaktilkan
direksi, yang dewan komisaris, atau setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, serta menetapkan Pengelola Statuter untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, dalam hal: a. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut telah dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha; b. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut memberikan informasi kepada
Otoritas Jasa Keuangan bahwa
menurut pertimbangannya perusahaan diperkirakan tidak
mampu memenuhi kewajibannya atau
akan
menghentikan pelunasan kewajiban yang jatuh tempo;
c. menurut perLimbangan Otoritas Jasa
d.
Keuangan, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut diperkirakan tidak mampu memenuhi kewajiban atau akan menghentikan pelunasan kewajiban yang jatuh tempo; menurut perLimbangan Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusa-haan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perasuransian atau secara finansial dinilai tidak sehat; atau
e. menurut
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-43-
e. menurut pertimbangan Otoritas Jasa
Keuangan, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
12)
(3)
syariah tersebut dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan/atau melakukan kejahatan keuangan. Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas: a. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana peserta Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah; b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sesuai dengan Undang-Undang ini; c. menyusun langi
direksi dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/ atau dewan pengawas syariah tidak dapat melakukan tindakan selaku direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) hurufc, dan/atau dewan pengawas syariah; dan
b. direksi
$).) -fl64€ PRESIDEN R EF L]tsL
IK
IN D
ONES IA
-44-
b. direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
direksi dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (I) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif w4jib membantu Pengelola Statuter dalam menjalankan fungsi kepengurusan.
(4) Direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum
(5) (6)
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif dilarang mengundurkan diri selama fungsi kepengurusarl diambil alih oleh Pengelola Statuter. Otoritas Jasa Keuangan setiap saat dapat
memberhentikan Pengelola Statuter. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan, tugas, masa tugas, dan pemberhentian Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) serta hak dan kewajiban direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dal /atau dewan pengawas syariah nonaktif sebagaimana dimalsud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 63
(1)
Pengelola Statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib di bidang perasuransian.
mematuhi peraturan perundang-undangan (21
wajib mematuhi setiap perintah tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari Pengelola Statuter
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(3) Pengelola
PRESIDEN
R EP
IJALIK
IND ONES IA
_45_ (3)
Pengelola Statuter mengambil alih pengendalian dan pengelolaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah sejak tanggal penetapan sebagai Pengelola Statuter.
(41
Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenEutg dan fungsi direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud datam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/ atau dewan pengawas syariah dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
(s)
atau perusahaan reasuransi syariah. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4l', Pengelola Statuter juga memiliki kewenangan: a. membatalkan atau mengakhiri pe{anjian yang dibuat oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dengan pihak ketiga, yang menurut Pengelola Statuter dapat merugikan
kepentingan perusahaan
dan Pemegang
Polis,
Tertanggung, atau Peserta; dan
b. melakukan pengalihan sebagian atau
seluruh portofolio pertanggungan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, yang menurut Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian Iebih besar bagi Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. Pasal 64
Pengelola Statuter bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusa-haan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan/atau pihak ketiga jika kerugian tersebut disebabkan oleh kecurangan, ketida\iujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perasuransian. Pasal 65
PRESIDEN R EPI.,]BL
IK
IND ONES IA
_46_ Pasal 65
(l) Pengendalian dan pengelolaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah oleh Pengelola Statuter berakhir apabila Otoritas Jasa Keuangan memutuskan: a. pengendalian dan pengelolaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah oleh Pengelola Statuter tidak diperlukan lagi; atau
b. (2t
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah telah dicabut izin usahanya.
Pengelola Statuter
wqiib
mempertanggungjawabkan
segala keputusan dan tindakannya dalam mengenda-likan
dan mengelola Perusahaan Asuransi,
Perusahaan atau perusahaan reasuransi syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
Pasal 66
(1)
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (21 huruf I diberikan dalam hal Otoritas Jasa
Keuangan berkesimpulan bahwa
Perusahaan
Perasuransian:
a. b.
c. d.
menjalankan kegiatan usahanya dengan cara tidak hati-hati dan tidak wajar atau tidak sehat secara finansial;
diperkirakan akan mengalami keadaan keuangan memenuhi kewajibannya; melanggar peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian; dan /atau
yang tidak sehat atau akan gagal
terlibat kejahatan keuangan.
(2) Perintah
PRESIDEN L.IK IN DONES IA
R EPUB
-47
-
(2t
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat diberikan kepada Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(3)
Perusahaan Perasuransian dan/atau Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusa.haan reasuransi, atau perusahaal reasuransi syariah wajib mematuhi perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4)
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dijadikan alasan oleh pihak yang melakukan perjanjian dengan Perusahaan Perasuransian
untuk membatalkan atau menolak
pery'anjian,
menghindari kewajiban yang ditentukan di dalam pe{anjian, atau melakukan hal apa pun yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Perusahaan Perasuransian. (s)
Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berhak mendapatkan ganti kerugian dari Perusahaan Perasuransian apabila menderita kerugian yang
disebabkan oleh perintah tertulis yang diberikan kepada Perusahaan Perasuransian. (6)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku apabila pihak yang bersangkutan merupakan pihak teraliliasi atau pihak yang terkait dengan keadaan yang menyebabkan dikeluarkannya perintah tertulis tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 67
Pihak lain yang ditunjuk atau ditugasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana rl imaksud dalam Pasa.l 59 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (21 dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Otoritas Jasa Keuangan atau diwajibkan oleh undang-undang. BAB XIV
PRESIDEN IK IN DONES IA
R EPUR I-
_48_ BAB xIV ASOSIASI USAHA PERASURANSIAN Pasal 68
(1)
Setiap Perusahaan Perasuralsian wajib menjadi anggota salah satu asosiasi Usaha Perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya.
(2)
Asosiasi Usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertuls dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 69
(1)
Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan atau mendelegasikan wewenang tertentu kepada asosiasi
Usaha Perasuransian dalam rangka
pengatura-n
dan/atau pengawasan Usaha Perasuransian. (21
Ketentuan lebih
lanjut mengenai penugasan
atau pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XV SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 70
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi
administratif kepada Setiap Orang yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaan nya. Pasal 71
i.D PRESIDEN
REPL]BLIK
IN D ONES IA
_49_ Pasal
7l
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 3 ayat (1), ayat (21, dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), ayat (21, dan ayat (3), Pasal 7 ayat (l), Pasal 10 ayat (l) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasaf 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (l), ayat(21, dan ayat (3), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasa.l 17 ayat (l) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1), ayat (21, ayat (3), dan ayat (4), Pasal 2l ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 22 ayat (l), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 29 ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (3), dan ayat (a), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (21, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 39 ayat (5), Pasal 40 ayat (l) dan ayat (3), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (l) dan ayat (21, Pasal 46 ayat l2l dan ayat (3), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (21, Pasal 68 ayat (1), dan Pasal 86 dikenai sanksi administratif.
(2t
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (
1) berupa:
a. b.
peringatantertulis; pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; c. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu; d. pencabutan izin usaha; e. pembatalan pemyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi; f. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan alrtuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain
yang memberikan jasa
g. h.
bagr Perusahaan Perasuransian; pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi; denda administratif; dan/ atau i.
larangan . .
.
R
PRESIDEN EPUBL IK IND ONES IA
-50-
i. larangan menjadi
pemegang saham, Pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, Pengendali, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau u saha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud da-lam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pada Perusahaan Perasuransian. (s)
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai kondisi Perusahaan Perasuransian membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain.
(41
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, dan ayat (3), serta besaran denda sanksi administratif seb,gaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 72
(1)
Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuralsi, atau perusahaan reasuransi syariah dikenai sanksi peringatan tertulis atau pembatasan kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan
a. b.
:
penambahan modal;
penggantian direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, al
c. direksi
PRESIDEN
REPI,]BLIK INDONESIA
-51
-
c. direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum
d.
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah menyerahkan pengendalian dan pengelolaan kegiatan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah kepada Pengelola Statuter; Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan kepada Perusahaan Asuransi,
e.
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain; dan/atau Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusalraan reasuransi syariah melakukan tindakan yang dinilai dapat mengatasi kesulitan atau tidak melakukan tindakan yang dinilai dapat memperburuk kondisi perusahaan.
(2t
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin usaha Perusaluan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(3)
Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta instansi yang berwenang untuk memblokir sebagian atau seluruh kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha karena tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas atau dicabut izin usahanya.
(4) Pencabutan
R EP
PRESIDEN UBL IK iNDONESIA
-52(4)
Pencabutan blokir terhadap sebagian atau seluruh kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(s)
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pemblokiran sebagaimana dimalsud pada ayat (3) dan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XVI KETENTUAN PIDANA Pasal 73
(1)
Setiap Orang yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, usaha asuransi syariah, Usaha Reasuransi, atau Usaha Reasuransi Syariah tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud datam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.OO0.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2)
Setiap Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau Usaha Pialang Reasuransi tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap
PRESIDEN
R
EPUBLIK
IND ONES IA
-53-
(3)
Setiap Orang yang menjalankaa kegiatan Usaha Penilai
Kerugian Asuransi tarpa iarr usaha sebagaimana
rlimaksud dalam Pasal 8 ayat (l) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 74 (1)
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang
setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama s€bagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan laporan, informasi, data, dan/ atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (l) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2t
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang
setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sensaja memberikan informasi, dar.a, dan/atau dokumen kepada pihak yang berkepentingan sebagaimala dimaksud dalam Pasal 22 ayat (a) dan Pasal 46 ayat (21 yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Pasal 75
R EP
PRESIOEN UBL IK IN D ONES IA
-54Pasal 75
Setiap Orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan / atau menyesatkan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 76
Setiap Orang yarrg menggelapkan Premi atau Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) dan Pasal 29 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Iima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 77
Setiap Orang yang menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset
atau menurunkan nilai aset Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaal reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (21 tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Pasal 78
Setiap Orang yang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 79
PRESIDEN IN OONESIA
REPUBLIK
-55Pasal 79
Anggota direksi dan/atau pihak yang menandatangani polis baru dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang sedang dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 8O
Setiap Orang, yang ditunjuk atau ditugasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang menggunakan atau mengungkapkan informasi apapun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Otoritas Jasa Keuangan atau diwajibkan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20. 0OO. 000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Pasal 81
(1)
Dalam hd tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, atau Pasal 80 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi, Pengendali, dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. (21 Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh b. c.
Pengendali
dan/atau pengurus yang berlindak untuk dan atas nama korporasi; dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukarr
i,D R
PRESIOEN EPUBL IK INDONESIA
-56-
d.
dilakukan dengan malsud memberikan manfaat bagi korporasi. Pasal 82
Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah). BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 83 (1)
(2t
(3)
Perusahaan Perasuransian yang telah mendapatkan izin usaha pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan telah mendapat izn usaha berdasarkan Undang-Undang ini. Perusahaan agen asuransi yang telah mendapatJ
Izin atau persetujuan yang telah diberikan Perusahaan Perasuransian berkenaan
kepada dengan kelembagaan dan penyelenggaraan Usaha Perasuransian
pada saat diundangkannya Undang-Undang
ini,
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 84 (1)
Perusahaan konsultan aktuaria yang telah mendapat izin
usaha pada saat diundangkannya Undang-Undang ini tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya. (21
Dengan diundangkannya Undang-Undang ini, perizinan usaha, pembinaan, dan pengawasan perusahaan konsultan aktuaria dilakukan oleh Menteri. Pasal 85
q,D PRESIDEN
R
EPUBLIK INOONESIA
-57Pasal 85
(1)
Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, setiap Pihak yang menjadi pemegang saham pengendali pada lebih dari I (satu) perusahaan asuransi jiwa, I (satu) perusahaan asuransi umum, 1 (satu) perusahaan reasuransi, 1 (satu) perusahaan asuransi jiwa syariah, 1 (satu) perusahaan asuransi umum syariah, dan 1 (satu) perusahaan reasuransi syariah wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) pafing lama 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
(21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi bag, Pihak yang tidak melakukan penyesuaian pemegang saham pengendali diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 86
Usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasa-l 6 ayat (1) huruf c wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan f,eraturan pelaksanaannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini. Pasal 87
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah dengan nilai Dana
Tabamt' dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarnt', dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini, Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi tersebut w4Jib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah.
(2) Ketentuan
PRESIOEN
R
EPUBLIK INDONESIA
-58-
(21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah
dan sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 88
(1)
Perusahaan Perasuransian yang belum memenuhi ketentuan dalam Pasal 7 ayat (ll huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dengan mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada warga
negara Indonesia atau melakukan perubahan kepemilikan melalui mekanisme penawzuan umum (inifial
pttblic offenng pding lama 5 (lima) tahun (2t
sejak
diundangkannya Undang-Undang ini. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian kepemilikan sglagairnana dimaksud pada ayat (l) dan sanksi bagr Perusahaan Perasuransian yang tidak melakukan penyesuaian kepemilikan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
Ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan yang mewajibkan penutupan asuransi atau asuransi syariah oleh seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 90
R EP
PRESIDEN UBL IK INDONESIA
-59Pasal 90 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (I*mbaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan kmbaran
b.
c.
Negara
Republik Indonesia Nomor 3467) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; ketentuan mengenai permohonan pemyataan pailit oleh Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2OO4 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan kmbaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443) dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi; dan semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasurarsian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan kmbaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasa] 91
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 92
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
PRESIDEN
R
EPUBLIK INDONESIA
-60-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam kmbaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 17 Oktober 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 17 Oktober 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, REPUBLIK INDONESIA,
ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 337
Satinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Deputi Perundang-undangan Perekonomian,
Silvanna Djaman
PRESIDEN
R
EPUBLIK
IND ONES IA
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN
I.
UMUM
Pembangunan nasional memerlukan dan mengharuskan dilakukannya penyesuaian dalam berbagai hal terhadap perkembangan kondisi dan aspirasi masyarakat. Dalam industri perasuransian, baik secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. I€.yanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Selain perkembangan di dalam industri perasuransian, terjadi pula perkembangan di industri jasa keuangan yang lain. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan ini mengakibatkan semakin menipisnya batasan dan perbedaan jenis layanan yang diberikal oleh industri jasa keuangan. Perkembangan demikian menuntut adanya sistem pengaturan dan pengawasan selrtor keuangan yang lebih baik dan terpadu. Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13; Tambahan l,embaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467] tidalc lagr cukup untuk menjadi dasar pengaturan dan pengawasan industri perasuransian yang tela,h berkembang. Penyempumaan terhadap peraturan
perundang-undangan mengenai perasuransian harus dilakukan untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif serta meningkatkan perzmnya dalam mendorong
pembangunan nasional. Upaya untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif secara umum dilakukan, baik dengan penetapan ketentuan baru maupun dengan penyempumaan ketentuan yang telah ada. Upaya tersebut diwujudkan antara lain dalam bentuk: l. penetapan landasan hukum bagi penyelen trgaraar. Usaha Asuransi Syariah dan Usaha Reasuransi Syariah;
2. penetapan
R
PRESIDE N EPUBL IK INDONESIA
-22.
penetapan status badan hukum bagi Perusahaan Asuransi berbentuk usaha bersama yalg telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan;
3. penyempurnaan pengaturan mengenai kepemilikan
perusahaan
perasuransian yang mendukung kepentingan nasional;
4. pemberian amanat lebih besar kepada Perusahaan Asuransi
5.
dan
Perusahaan Asuransi Syariah untuk mengelola kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pemasarErn layanan jasa asuransi dan asuransi syariah, termasuk kerja sama keagenan; dan penyempurnaan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga tata kelola perusahaan yang baik, kesehatan keuangan, dan perilaku usaha yang
sehat.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional tedadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya seharihari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia dan penutupan Objek Asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas Perusahaar Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaErn reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebiliakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri. Undang-Undang ini juga mengharuskan penyelenggaraan Program Asuransi Wajib, misalnya asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga bagi pengendara kendaraan bermotor, secara kompetitif dan memungkinkan pemberian fasilitas frskal kepada perseorangan, rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong peningkatan pemanfaatan Asuransi atau Asuransi Syariah dalam rangka pengelolaan risiko.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan. Pengaturan lebih lanjut yang diamanatlan Undang-Undang ini kepada Otoritas
Jasa Keuangan, terutama dalam hal pengaturan lini usaha dan produk Asuransi dan Asuransi Syariah serta pengaturan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, akan menentukan besar atau kecilnya peran industri perasuransia.rr tersebut.
Pengaturan
R
PRESIDEN EFIJBI- IK IND ONESIA
-3Pengaturan dalam Undang-Undang ini juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yErng lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik (best practices) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I Cukup jelas. Pasal 2 Ayat
( 1)
Berdasarkan mekanisme pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri lebih tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun, mengingat Objek Asuransi yang dipertanggungkan dalam kedua lini usaha dimaksud menyangkut diri manusia, lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh perusa-haan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3
Usaha asuransi syariah dan Usaha Reasuransi Syariah berbeda dari usaha asuransi konvensional dan usaha reasuransi konvensional. Usaha asuransi dan Usaha Reasuransi yang dikelola secara konvensional menerapkan konsep transfer risiko, sedangkan usaha asuransi syariah dan Usaha Reasuransi Syariah merupakan penerapan konsep berbagi risiko (risk slnringl. Mengingat perbedaan konsepsi yang mendasari penyelenggaraan usaharrya, usaha asuransi syariah dan Usaha Reasuransi Syariah yang saat ini diperkenankan dalam bentuk unit di dalam perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional akan didorong untuk diselenggarakan oleh entitas yang terpisah.
Pasal 4
PRESIDEN REPIIE]L,IK INDONESIA
-4Pasal 4
Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Pihak yang bermaksud menyelenggarakan Usaha Asuransi
Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, atau Usaha Asuransi Jiwa Syariah dengan bentuk badan hukum usaha bersama setelah Undang-Undang ini diundangkan,
didorong untuk menjadi berbentuk koperasi
dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) HaJ yang diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain tata kelola, persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama. Pasal 7
Ayat (1)
Dalam kehidupan perekonomian yang semakin terbuka dan berkembang cepat, dibutuhkan layanan jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko yang semakin beragam dan berkualitas oleh
Perusahaan Perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif. Untuk itu, Perusahaan Perasuransian perlu dibangun dengan permodalan yang kuat, yang bersumber, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
i,D PRESIDEN IK IN DONES IA
R EPUTIL
-5Huruf b Kepemilikan pihak asing pada Perusahaan Perasuransian dibatasi secara kualitatif. Pembatasan secara kualitatif dilakukan dengan mempersyaratkan bahwa pada saat pendirian Perusahaan Perasuransian, pihak asing yang dapat menjadi pemilik adalah badan hukum asing yang memiliki Usaha Perasurzulsian yang sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis. Persyaratan badan hukum asing harus mempunyai Usaha Perasuransian yang sejenis dimaksudkan agar mitra asing yang akan menjadi salah satu pemilik Perusahaan Perasuransian di Indonesia tersebut merupakan Perusahaan Perasuransian yang benar-benar mempunyai pengalaman usaha di bidangnya sehingga diharapkan terjadi transfer modal dan transfer pengetahuan dan teknologi kepada pihak Indonesia. Ayat
(21
Cukup jelas. Ayat (3)
Ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah antara lain mengenai pembatasan kepemilikan badan hukum asing secara kuantitatif. Pembatasan tersebut dapat berupa persentase maksimum kepemilikan asing pada Perusahaan Perasuransian.
Pembatasan secara kuantitatif membutuhkan fleksibilitas guna menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan dan ketersediaan dana dalam negeri.
Batas kepemilikan badan hukum asing dalam
Perusahaan
Perasuransian dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rat
Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (a)
q.D R EP
PRESIDEN IND ONESIA
IJBI.IK
-6Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan usaha antara lain berupa persyaratan kompetensi atau keahlian di bidang Usaha Perasuransian sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangaa termasuk bagi pengurus dan tenaga ahli asing. Pasal 9
Ayat (l)
Waktu 30 (tiga puluh) hari kerja mencakup waktu untuk mengklarifikasi data atau informasi dalam dokumen yang
dipersyaratkan untuk mendapatkan izin usaha. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1)
Pemenuhan persyaratan kemampuan dan kepatutan bagi anggota dewan pengawas syariah mencakup integritas dan kompetensi terkait tugas dan fungsi dewan pengawas syariah serta pengalaman dan keahlian di bidang usaha perasuransian syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Penetapan Pengendali diperlukan agar Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan Pihak yang dimintai pertanggungiawaban, selain direksi dan komisaris, apabila terjadi kegagalan perusalraan untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta akibat pengaruh Pihak tersebut dalam pengelolaan perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14
R
PRESIDE N EPUBL IK IND ONESIA
-7
-
Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Persetujuan ini diperlukan antara lain agar Prhak yang tidak lagi menjadi Pengendali dipas'ikan tidak lagi memiliki kewajiba;r untuk ikut bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang disebabkan oleh Pihak yang sebelumnya berada dalam pengendaliannya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat
(21
Pengecualian dalam ketentuan ini dimaksudkan agar negara dapat memiliki dan/atau mengendalikan lebih dari satu perusahaan dengan usaha sejenis dalam rangka menyediakan jasa asuransi bagi kelompok masyarakat tertentu atau daerah tertentu, menjadi perintis kegiatan usaha asuransi yang belum dapat dilaksanakan oleh pihak swasta, atau menyelenggarakan kemanfaatan umum lain yang strategis bagi masyarakat. Ayat (3)
Hal yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain besar kepemilikan saham dan tata cara konsolidasi perusahaan.
Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
R
PRESIDEN EPL]BI- IK IN D ONES IA
-8Ayat (3)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara Iain mengenai jenis, jumlah, persyaratan, tugas, tanggung jawab, dan HaJ yang
wewenang tenaga ahli dan alrhraris.
Pasal 18 Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "standar seleksi'adalah persyaratan minimum bagi Pihak vang akan dijadikan mitra kerja sama oleh Perusahaan Perasuransian. Yang dimaksud dengan 'akuntabilitas' adalah adanya keyakinan Perusahaan Perasuransian atas kemampuan dan pengalaman dari perusahaan yalg diajak bekeqia sarna dan adanya kejelasan pertanggungjawaban oleh Perusahaan Perasuransian atas kegiatan atau fungsi yang dilaksanalan oleh pihak lain tersebut. Ayat (4) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain mengenai jenis, nilai, dan jangka waktu pengalihan fungsi yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, termasuk perusahaan penilai kerugian asuransi, kepada pihak lain terutama pihak asing. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan agar Dana Asuransi atau Dana Tabarnt' dapat dikelola dengan baik, mengingat Dana Asuransi atau Dana Tabamt' dimaksud merupakan dana yang akan digunakan perusahaan untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. Kewajiban melakukan evaluasi atas Dana Asuransi atau Dana Tabamt' juga dilakukan di negara lain. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Pasal 20
$-.# R
PRESIDEN EPUBL.IK IN D ONES IA
-9Pasal 20 Ayat (l) Dana Jnminan dibentuk untuk memberikan jaminan atas penggantian sebagian atau seluruh hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dalam hal perusahaan harus dilikuidasi. Dengan demikian, Dana Jaminan merupakan bagian dari upaya melindungi Pemegang Polis, Te rtanggun g, atau Peserta.
Ayat (2) Pada umumnya, perkembangan usaha mengakibatkan bertambahnya kewajiban perusahaan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. HaI ini juga berarti bertambah pula besar hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta yang perlu dijamin pengembaliannya jika perusahaan dilikuidasi. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar penggunaan Dana Jaminan untuk mengembalil
ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan Dana
Ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Jaminan meliputi pengaturEln jenis aset yang dapat digunakan sebagai Dana Jaminan, jumlah Dana Jaminan minimum yang harus dimiliki perusahaan, penyesuaian besar Dana Jarninan berdasarkan volume usaha, tata cara pemindahan atau pencairan Dana Jaminan, dan penatausahaannya. Pasal 21
Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a)
Pemisahan kekayaan dan kewajiban dilaksanakan dengan tetap memperhatikan keseirnbangan a-rrtara pengembangan u saha dan pelindungan konsumen. Pasal22
$-,D PRESIDEN IK INDONES IA
R EP IJB I-
- 10Pasal 22
Ayat (1)
Iaporan yang wajib disampaikan Perusahaan Perasuransian kepada Otoritas Jasa Keuangan antara lain laporan keuangan, laporan kegiatan usaha, dan laporan program dukungan reasuransi otomatis. Selain itu, dalam keadaan atau untuk tujuan tertentu, Perusahaan Perasuransian juga dapat diwajibkan menyampaikan laporan yang bersifat tematik misalnya profil risiko dan pelaksanaan tata kelola
perusahaan.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan yang diumumkan paling sedikit meliputi rasio kesehatan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. Pengumuman melalui media elelrtronik dilakukan pada situs perusahaan dan situs Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain mengenai jenis, bentuk, dan susunan laporan atau pengumumErn, serta jadwal dan batas waktu penyampaian laporan dan pengumuman. Pasal 23 Cukup jelas.
Pasd24 Cukup jelas. Pasal 25
Cukup jelas. Pasal 26
$-,D PRESIDEN
REPI]BLIK
IND ONES IA
- 11Pasal 26
Ayat (1)
Ketentuan mengenai standar perilaku usaha bagt Perusahaan Asuransi Syariah dan perusahaan reasuransi syariah mengacu pula pada Prinsip Syariah.
Ayat
(21
Pengaturan mengenai standar perilaku usaha dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan disesuaikan dengan jenis usaha Perusahaan Perasuransian masing-masing.
PaseJ27 Cukup jelas. Pasal 28
Cukup jelas. Pasal 29
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7)
Imbalan jasa keperantaraan dapat dibayarkan langsung oleh Pemegang Polis atau menjadi bagian dari Premi. Dalam hal imbalan jasa keperantaraan merupakan bagian dari Premi, dalam polis atau dokumen yang merupakan kesatuan dengannya dimuat perincian mengenai bagran premi yang diteruskan kepada Perusahaan Asuransi dan imba-lan jasa keperantaraan yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi.
Pasal 30
Cukup jelas. Pasal 3 1
FRESIDEN
REPI]RL.IK INDONES IA
-12Pasal 31
Ayat (1) Cukupjelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan ditakukan dengan segera, dalam waktu sesingkatsingkatnya, dan secara cekatan. Yang dimaksud dengan "sederhana.' adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan bersifat lugas dan tidak rumit. Yang rlirnaksud dengan "mudah diakses" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan diselenggarakan di kantor perusahaan atau tempat lain yang mudah dikunjungi, atau diselenggarakan dengan memanfaatkan telanologi yang memudahkan orang untuk menyampaikan klaim atau keluhan dan mendapatkan tanggapan. Yang dimaksud dengan "adil" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan dilakukan dengan berpegang kepada kebenaran, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenairg. Ayat (4) Tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim antara lain: a. memperpanjang proses penyelesaian klaim dengan meminta penyeraJran dokumen tertentu, yalg kemudian diikuti dengan meminta penyerahan dokumen lain yang pada dasarnya berisi hal yang sama; b. menunda penyelesaian dan pembayaran klaim karena menunggu penyelesaian dan / atau pembayaran klaim reasuransinya;
c. tidak meLakukan penyelesaian klaim yang merupakan bagran dari penutupan asuransi karena alasan adanya keterkaitan dengan penyelesaian klaim yang merupakan bagian lain dari penutupan asuransi dalam 1 (satu) polis yang sama; d. memperlambat penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi, apabila jasa penilai kerugian asuransi dibutuhkan dalam proses penyelesaian klaim; dan e. menerapkan prosedur penyelesaian klaim yang tidak sesuai dengan praktik usaha asuransi yang berlaku umum.
Ayat (s)
q.D R
PRESIDEN EPL]BL IK IN D ONES IA
-13Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 32
Cukup jelas. Pasal 33
Cukup jelas. Pasal 34
Cukup jelas. Pasal 35
Ayat (1)
Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa koperasi atau usaha bersama memiliki keterbatasan kemampuan untuk menambah modal. Namun, di sisi lain koperasi atau usaha bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
Ayat (2)
Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menegaskan
konsep pertanggungan bersama dan berbagi risiko antaranggota, dan menghindari adanya anggota yang hanya menjadi pemodal bagi usaha asuransi yang dijalankan oleh Perusah.ran Asur.rnsi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (l) hurufc. Ayat (3) Ketentuan ini juga dimaksudkal untuk menegaskan konsep pertanggungan bersama dan berbagi risiko antaranggota, dan menghindari adanya anggota yang hanya menjadi pemodal Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan 'persyaratan keuangan" antara lain besaran simpanan pokok dan simpanan wajib yang harus disetor oleh anggota. Pasal 36
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah agar benar-benar menjalankal fungsinya sebagai penanggung dan/ atau penanggung ulang. Optimalisasi
PRESIDEN
R
EPUBLIK
IND ONES IA
-14Optimalisasi pemanfaatan kapasitas reasuransi dalam negeri dilakukan dengan menempatkan sebanyak-banyalnya pertanggungan ulang asuransi pada Perusahaan Asuransi dan/atau perusahaan reasuransi di dalam negeri, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan tetap memperhatikan prinsip manajemen risiko, terutama penyebaran risiko. Pasal 37
Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat melakukan langkah- langkah, seperti: a. membentuk perusahaan reasuransi baru; b. menggabungkan beberapa badan usaha milik negara yang bergerak di bidang perasuransian dan menugaskan perusahaan hasil penggabungan tersebut menjadi perusahaan reasuransi; c. memberikan fasilitas untuk pembentukan pool atau konsorsium asurarrsi untuk risiko tertentu, misalnya risiko bencana alam; atau d. menghindari pengenaan pqiak berganda terhadap industri perasuransian.
Pasal 38
Cukup jelas. Pasal 39
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Otoritas Jasa Keuangan harus menetapkan persyaratan bagi pihak yang akan menyelenggarakan Program Asuransi Wajib, misalnya besar modal dan ketersediaan infrastruktur usaha'
Ayat (4) Yang dimaksud dengan "manfaat tambahan" adalah besaran manfaat yang diberikan dan bukan tambahan jenis manfaat. Ayat (5) Cukup jeLas. Pasal 40 Ayat (1)
Perubahan kepemilikan mencakup antara lain perubahan komposisi saham, pengambilalihan, dan penambahan pemegang saham baru. Ayat (2)
f,,D R
PRESIDEN EPUEJLIK INDONESIA
- 15Ayat
12\
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 41
Cukup jelas. Pasal 42
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)
HaI yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain adanya transfer portofolio pertanggungan atau pengembalian hak Pemegang Polis atau Tertanggung sebelum Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi tersebut menghentikan kegiatan usahanya.
Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44
Ayat (1)
Likuidasi perusahaan yang telah dicabut izin usahanya perlu segera
dilakukan untuk melindungi kepentingan Pemegang Polis,
Tertanggu ng, atau Peserta. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
$).) -r)c>.€ PRESIDEN REPLiPL.IK lN D ONESIA
-16Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (l) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hal yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain: a. mekanisrne pembubaran badan hukum Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah; b. jumlah anggota tim likuidasi; c. penghasilan tim likuidasi; d. tata cara pelaksanaan likuidasi; e. jangka waktu likuidasi; f. pengawasan pelaksanaan likuidasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; g. tata cara pengalihan aset dan kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah; dan h. pertanggungiawaban tim likuidasi. Pasal 46
Cukup jelas. Pasal 47
Cukup jelas. Pasal 48
Ayat (l)
Tagihan diajukan melalui Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan untuk memudahkan proses penagihan, tetapi Otoritas Jasa Keuangan tidak melakukan verifikasi terhadap tagihan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 49
Cukup jelas. Pasal 50
PRESIDEN
REPUBLIK
IN D ONES
IA
-t7Pasal 50 Ayat (1)
Sejalan dengan ruang lingkup tugas Otoritas Jasa Keuangan yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, maka kewenangan pengajuan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang semula dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beralih menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang ini. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 51
Cukup jelas. Pasal 52
Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1)
Program penjaminan polis dimaksudkan untuk menjamin pengembalian sebagiarr atau seluruh ha} Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi. Selain itu, keberadaan program penjaminan polis dimaksudkan untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian pada umumnya sehingga diharapkan dapat
meningkatlarr minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi. Ayat(21
Cukup jelas. Ayat (3) CukupjeLas. Ayat (a) Cukup jelas.
Pasal 54
R EI]
FRESIDEN UEL IK IND ONES IA
-18_ Pasal 54
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan 'independen" adalah tidak dipengaruhi oleh pihak lain. Yang dimaksud dengan "imparsid" adalah tidak berpihak pada salah satu pihak yang bersengketa. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan openilai' adalah penilai aset.
Huruf d Cukup jelas. Ayat
(21
Ketentuan ini didasarkan pertimbangan bahwa Usaha Perasuransiar memiliki karakteristik yarrg khas sehingga profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian harus memenplf ftqalifikasi tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57
PRESIDEN
REPtJtsLIK
IN D
ONES IA
-19Pasal 57 Ayat (1)
Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian oleh Otoritas Jasa Keuangan antara Iain aspek tata kelola, perilaku usaha, dan kesehatan keuangan.
Yang dimaksud dengan upengawasan' antara lain analisis laporan,
pemeriksaan, dan penyidikan. Ayat (2) Kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dal reasuransi untuk mendukung perekonomian nasiona-l melputi hal kepemilikan asing atas Perusahaan Perasuransian, peningkatan kapasitas asuransi, asuransi s,yariah, reasuransi, dan reasuransi syariah dalam negeri, serta pemberian fasilitas fiskal kepada perseorangan, rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59
Cukup jelas. Pasal 6O
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf
e
Cukup jelas.
Huruf
f
Cukup jelas.
Huruf g
PRESIDEN iK INDONESIA
R EP UE'_
-20Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Hurufj Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas. Huruf I Angka 1 Cukup jelas. Arrdr'a2 Cukup jelas, Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Yang dimaksud dengan produk asuransi tertentu yang dapat dihentikan pemasarannya adalah produk yang dapat merugikan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, produk yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan dan norrna yang berlaku di masyarakat, darr/atau produk yang dapat membahayakan keuangan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusaha€u1
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. Angka 6 Cukup jelas.
Huruf m Cukup jelas.
Hurufn
Cukup jelas. Pasal 61
R
PRESIDEN EPI.]RL IK IN D ONESIA
-2tPasal 61
Ayat (1) Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cana pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dan/ atau pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan. Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuralsian dapat dilakukan terhadap seluruh aspek penyelenggaraErn kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian dan/atau terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian. Sedangkan pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan dilakukan hanya terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian. Pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian apabila:
a. data, dokumen, dan/atau keterangan dari
Perusahaan yang Perasuransian diperiksa tidak dapat memberikan dasar yang cukup bagi pegawai Otoritas Jasa Keuangan dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan untuk membuat kesimpulan atas hasil pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan; dan /atau
Perasuransian yang diperiksa terhadap kesimpulan hasil pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa
b. adanya tanggapan Perusahaan Keuangan.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan 'pihak lain" adalah badan, lembaga, institusi, atau orang, baik dari dalam maupun luar Otoritas Jasa Keuangan. Pihak tersebut antara lain akuntan publik, konsultan aktuaria, penilai kerugian, pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik Kepolisian Republik Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Pasal 62
Ayat (r) Cukup jelas.
Ayat (2)
q,D R
PRESIDEN EPLIAL !K INDONESIA
-22 Ayat
-
(21
Huruf a Yang dimaksud dengan "kekayaan" antara Lain surat berharga, tanah, gedung, dan kendaraan. Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf
e
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)
ini didasarkan bahwa direksi dan komisaris nonaktif Perusahaan Perasuransian dianggap pihak yang paling mengetahui keadaan keuangan dan operasional Perusahaan Perasuransian yang sedang diambil alih kepengurusannya oleh Pengelola Statuter. Ketentuan
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 63
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat
(21
Yang dimaksud "perintah tertulis' adalah perintah secara tertulis untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (s)
$-,D PRESIDEN
R
EPUBLIK INDONESIA
-23Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 64
Cukup jelas. Pasal 65
Cukup jelas. Pasal 66
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat
(21
Ketentuan ini didasarkan bahwa Pengendali mempunyai per.rnan penting, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan suatu Perusahaan Perasuransian.
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 67
Informasi yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan dapat berupa informasi yang sifatnya rahasia, antara lain informasi yang terkait dengan stabilitas perekonomian nasional dan informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan Usaha Perasuransian dari persaingan usaha lidak sehat. Informasi rahasia tersebut dapat dialses oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan atau pihak yang ditunjuk dan/atau diberi tugas oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 68
Ayat (l)
Pengaturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran asosiasi ddam mengatur para anggotanya (self regulatory) d* melancarkan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
$).) -ilt>^-€ R
PRESIDEN EPLIBL IK INDONESIA
-24Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 69
Ayat (1) Penugasan atau pendelegasian wewenang tertentu dari Otoritas Jasa Keuangan kepada asosiasi antara lain penyusunan standar etika usalra dan tata perilaku (ade of anduc{, pembentukan profil risiko dan tabel mortalita, serta pelaksanaan dan penetapan sertifikasi keagenan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7O
Cukup jelas. Pasal 7l Ayat (1) Cukup jelas. Ayat
(21
Cukup jelas. Ayat (3)
Contoh kondisi yang membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta antara lain kondisi keuangan peru sahaan memburuk secara drastis, pemegang saham tidak kooperatif, dan/atau direksi dan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, tidak memiliki jalan keluar untuk mengatasi permasalahan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 72
Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasa-l 74
Cukup jelas. Pasal 75
#).) -r,},c>^4
PRESIDEN REF]UBL.IK INDONESIA
-25Pasal 75
Cukup jelas. Pasa-l 76
Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78
Cukup jelas. Pasal 79
Cukup jelas. Pasal 80
Cukup jelas. Pasal
8l
Cukup jel;as. Pasal 82
Cukup jelas. Pasal 83
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "izin" adalah izin di luar izin usaha. Contoh izin atau persetujuan antara lain izin untuk memasarkan produk asuransi dan persetujuan untuk banwos surance. Pasal 84
Cukup jelas. Pasal 85
Cukup jelas. Pasal 86
Cukup jelas. Pasal 87
PRESIDEN
R
EPUBLIK INDONESIA
-26Pasal 87
Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain mengenai kewajiban membuat rencana keda dan kewajiban perusahaan menginforrnasikan rencana pemisahan kepada Pemegang Polis dan Peserta.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ketentuan yang wajib disesuaikan termasuk ketentuan mengenai aspek Program Asuransi Wajib yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan mengenai dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang dan dana kecelakaan lalu lintas jalan. Pasal 9O
Cukup jelas. Pasal 91
Cukup jelas. Pasal 92
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5618