PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL BURUH DALAM OUTSOURCING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN Oleh Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H.,M.Hum1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember
abstract Penerapan outsourcing dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara hukum melanggar hak konstitusional buruh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Outsorcing dalam hal ini adalah menyangkut pemborongan jasa pekerja. Pelanggaran ini disebabkan karena tidak adanya hubungan kerja antara buruh outsourcing dengan pengusaha perusahaan pemberi kerja. Implikasi hukum karena tidak adanya hubungan kerja pada gilirannya menciptakan ketidakpastian hukum karena tidak adanya perlindungan hukum bagi buruh. Kata kunci : outsourcing, hak konstitusional
A.
Pendahuluan Konstitusi UUD 1945 telah mengamanatkan melalui Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28
ayat 2 menyangkut hak konstitusional setiap warga negara terhadap
buruhan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, termasuk hak konstitusional buruh. Selengkapnya sebagai berikut : Pasal 27 (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas buruhan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 (2) Setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut undang-undang ketenagakerjaan) merupakan penjabaran lebih lanjut dari konstitusi UUD 1
[email protected]
1
1945. Dengan demikian secara substantif undang-undang ketenagakerjaan tersebut harus mencerminkan amanat hak konstitusional sebagaimana Pasal 27 (2) dan Pasal 28 (2) UUD 1945. Berkaitan dengan dua pasal itu, dewasa ini muncul kecenderungan baru dalam dunia ketengakerjaan di Indonesia yang lajim dikenal dengan istilah outsourcing2 atau perjanjian pemborongan buruhan atau penyediaan jasa buruh. Outsourcing ini merupakan dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan sangat kompetitif. Kenyataan demikian pada gilirannya menuntut para pemilik modal untuk menyesuaikan tuntutan pasar yang berorientasi pada prilaku efisiensi dan efektifitas yang pada gilirannya menimbulkan eksploitasi oleh pengusaha terhadap buruh. Keberadaan outsourcing ini dalam undang-undang ketenagakerjaan diatur pada Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66.3 Akibat diterapkannya outsourcing, muncul gejolak buruh di Indonesia diseamping polemik yang terus menjadi headline berbagai media.
B.
Isu Hukum Berdasarkan kenyataan di atas maka isu hukum yang muncul adalah apakah
outsourcing yang telah dilembagakan dalam undang-undang ketenagakerjaan telah sesuai dengan hak-hak konstitusional buruh ?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian Outosurcing Outsourcing dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk
memproduksi atau melaksanakan suatu buruhan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia tenaga kerja. Ini berarti ada dua perusahaan yang terlibat, yakni perusahaan yang khusus menyeleksi, melatih dan memperkerjakan tenaga kerja yang 2
Aries Harianto, Diktat Kuliah : Hukum Penyelesaian perselisihan hubungan Industrial, (Jember, 2009), hlm.86 3 Muzni Tambusal-Dirjen PHI, Depnakertrans. Informasi Hukum Vol. 1 Tahun VI, 2004, http://www.nakertrans.go.id
2
menghasilkan suatu produk/jasa tertentu untuk kepentingan perusahaan lainnya. Dengan demikian perusahaan yang kedua tidak mempunyai hubungan kerja langsung dengan tenaga kerja yang bekerja padanya; hubungan hanya melalui perusahaan penyedia tenaga kerja.4 Istilah outsourcing secara eksplisit tidak ditemukan secara langsung dalam undangundangan ketenagakerjaan. Pasal 64 dalam undang-undang itu hanya disebutkan dengan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa buruh/buruh yang dibuat secara tertulis.5
2.
Outsourcing dalam Praktek Penerapan outsourcing dalam konteks pemborongan jasa buruh memiliki dampak
terhadap buruh maupun pengorganisasian buruh. Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut : a.
Dampak bagi Buruh Melahirkan ketidakpastian hukum dalam
upaya memberikan proteksi hukum
terhadap buruh outsourcing. Hal ini terjadi karena tidak adanya hubungan kerja dalam bentuk perjanjian kerja antara buruh outsourcing dengan pengusaha pada perusahaan pengguna outsourcing. Hubungan kerja hanya terjadi antara buruh outsourcing dengan pengusaha perusahaan penyedia jasa buruh outsourcing. Ketidakpastian semacam ini membuka ruang kesewenang-wenangan bagi perusahaan pemberi kerja dengan memanfaatkan celah hukum tidak adanya hubungan kerja antara pengusaha pemberi kerja dengan buruh outsourcing.
4
Richardus Eko Indrajarit, dalam Aries Harianto, Diktat Hukum Ketenagakerjaan, (Jember, Copi Corner, 2009), hlm.36 5 http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php, terakhir diakses tanggal 15 Agustus 2008
3
Di sinilah awal distorsi hak-hak konstitusional buruh mulai dipangkas. Hubungan kerja yang kabur sebagai wujud ketidakpastian perlindungan terhadap buruh pada gilirannya memperlemah posisi tawar buruh terhadap pengusaha terutama menyangkut akses pemenuhan akan hak-hak konstitusional sebagai buruh. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, menerima upah yang jauh lebih rendah daripada buruh tetap, terhindar dari penyediaan tunjangan-tunjangan seperti pensiun, asuransi kesehatan, kematian atau kecelakaan, sakit dibayar, cuti dibayar, tunjangan melahirkan6. b.
Mengubah status hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Modus yang biasa dilakukan menyertai outsourcing adalah :
-
Melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap seluruh buruhnya dengan alasan bangkrut dan kemudian menawarkan pesangon. Setelah itu perusahaan dibuka lagi biasanya dengan nama baru dan menerima
buruh
melalui
perusahaan penyedia jasa buruh / perusahaan outsourcing. Dalam hal iniakhirnya semua buruh menjadi buruh outsourcing. Pihak pengusaha berpendapat bahwa ”Dari mana buruh itu direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan urusan kita sebagai pemakai”7. Inilah satu kondisi yang memperlihatkan bahwa buruh adalah barang dagangan dan outsourcing tidak lain hanyalah trifficking yang dilegalkan. -
Menutup satu bagian tertentu di perusahaan, dengan alasan bagian tersebut bukan merupakan kegiatan pokok (non core business). Buruh di bagian itu di PHK dan kemudian ditawarkan untuk terus bekerja tetapi melalui penyediaan jasa buruh.
6 7
Celia Mather, pengingkaran hak-hak konstitusional buruh, (_________ 2008), hal 37. Komang Primanda, Perekrutan Buruh, (_______________2008), hal 31.
4
Akibat perubahan status buruh (dari buruh tetap menjadi buruh outsourcing) secara hukum menyebabkan perubahan hak yang merugikan buruh. Berdasarkan undangundang ketenagakerjaan jenis buruhan yang dapat dioutsourcing hanyalah buruhan yang tidak menyangkut kegiatan pokok (non core business). Sementara undangundang ketenagakerjaan tidak mengatur tentang perbedaan buruhan pokok (core business) dan non buruhan pokok (non core business) -
Menunggu sampai ada buruh yang pensiun atau mencari-cari kesalahan individual buruh untuk kemudian dilakukan PHK secara perorangan. Selanjutnya untuk mengganti buruh yang pensiun atau di PHK digunakan buruh outsourcing. Padahal jenis pekerjaan dari buruh yang dipensiun atau di PHK adalah pekerjaan pokok (core core business)
-
Secara
tidak
langsung
mematikan
hak
buruh
untuk
memperjuangkan
kepentingannya dan mematikan hak mogoknya. Ini terjadi karena tuntutan dan pemogokan yang dilakukan oleh buruh outsourcing dapat dengan mudah direspon oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan PHK. 2.
Pengorganisasian Buruh
-
Pada Serikat Buruh ‘tradisional’ yang anggotanya adalah buruh tetap, buruh outsourcing umumnya tidak dijadikan anggota. Selain karena jangka waktu kerjanya tidak tentu (tergantung kontrak kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja), juga karena hubungan kerja buruh outsourcing bukan dengan pemberi kerja (sebagaimana buruh tetap) melainkan dengan perusahaan penyedia jasa buruh.
-
Mematahkan solidaritas antar buruh Hal ini terjadi terutama di perusahaan yang menggunakan buruh outsourcing hanya sebagian saja. Perbedaan tingkat kesejahteraan antara buruh tetap dan buruh 5
outsourcing sangat efektif mematahkan solidaritas antar buruh dalam rangka memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. D.
Penutup
1.
Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengaturan outsourcing dalam
undang-undang ketenagakerjaan tidak memberikan perlindungan hukum kepada buruh outsourcing. Hubungan kerja hanya terjadi antara buruh outsourcing dengan pengusaha perusahaan penyediaan jasa pekerja. Kenyataan demikian membuka ruang kesewenangwenangan bagi pengusaha pengguna buruh outsourcing untuk mendistorsi hak-hak konstitusional pekerja. Bahkan pelembagaan outsourcing dalam undang-undang ketenagakerjaan cenderung digunakan sebagai modus yang merugikan buruh outsourcing atas hak-hak yang seharusnya diterima. 2.
Saran Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap buruh outsourcing agar
sesuai dengan hak-hak konstitusional pekerja sebagaimana diatur dalam UUD 1945, maka mendesak untuk dilakukan revisi undang-undang ketenagakerjaan. Revisi tersebut menyangkut outsourcing (pemborongan penyediaan jasa pekerja) dengan harapan agar keberadaan outsourcing itu dapat meningkatkan kesejahteraan, harkat dan martabat pekerja sesuai konstitusi serta prinsip-prinsip dasar ILO.
6
DAFTAR BACAAN
Aries Harianto, Diktat Kuliah : Hukum Penyelesaian perselisihan hubungan Industrial, (Jember, 2009), hlm.86 Celia Mather, pengingkaran hak-hak konstitusional buruh, (_________ 2008), hal 37. Komang Primanda, Perekrutan Buruh, (_______________2008), hal 31. Muzni Tambusal-Dirjen PHI, Depnakertrans. Informasi Hukum Vol. 1 Tahun VI, 2004, http://www.nakertrans.go.id Richardus Eko Indrajarit, dalam Aries Harianto, Diktat Hukum Ketenagakerjaan, (Jember, Copi Corner, 2009), hlm.36 http://www.nakertrans.go.id/arsip tanggal 15 Agustus 2008
berita/naker/outsourcing.php,
terakhir
diakses
7
8