PERKEMBANGAN KEDUDUKAN WANITA DALAM SYSTEM PARTINEAL TERHADAP HAK-HAK PEWARISAN TANAH DI DAERAH KABUPATEN NIAS MARIATI ZENDATO, SH, M.HUM Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, Persatuan Perempuan menjadi agenda penting dan terutama mencari pemahaman yang sama tentang terminologi ernansipasi. Diketahui peranan perempuan secara hukum wanita Indonesia berpeluang sama dengan laki-laki untuk berprofesi dalarn pembangunan. Dalam UUD 1945 ditegaskan mengenai kesamaan dan kewajiban bagi penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan seperti bidang kesehatan, hak perseorangan, politik dan pekerjaan (pasal 27). Kemudian dalam UU perkawinan misalnya hak dan kewajiban wanita mendapatkan tempat yang layak, hal ini dimaksudkan agar hak dan kewajiban serta kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat sehubungan dengan itulah peran perempuan Indonesia semakin mengalami perkembangan sebagaimana kita lihat acta yang memegang peran penting di lembaga Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dan berbagai organisasi masyarakat. Sehubungan dengan uraian diatas tradisi yang telah berlangsung lama, sesungguhnya menciptakan situasi budaya yang positif bagi artikulasi peranan kaum perempuan dalam kehidupan sosial yang masih mengekang dalam lingkungan adat istiadatnya. Hal ini didudukkan wanita dalam pewarisan terhadap hak-hak atas tanah masyarakat yang menganut system patrilineal yang mengekang hak wanita dalam bagian warisan yang hanya diperoleh laki-laki sebagai ahli warisnya. Kemudian perkembangan yang mendorong untuk melepaskan dari keberadaan himpitan hukum adat tersebut maka telah dimodernisasi dalam system perundangundangan Agraria kita secara fungsional yang sekarang kita kenal dengan UUPA yang menegaskan bahwa pasal 9 (ayat 2) menyebutkan "Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya". Untuk menyingkapi hal tersebut diatas peneliti memberanikan diri untuk mengungkapkan serta mengkaji kedudukan wanita dalam hukum adat yang sistem patrilineal yang semakin lama tidak dipatuhi keadaannya oleh kerabatnya lagi tetapi anaknya perempuan diikutsertakan dalam pembagian hartanya. Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan kedudukan wanita dalam system patrilineal ini peneliti mengangkat suatu judul penelitian "Perkembangan Kedudukan Wanita dalam System Patrilineal terhadap kedudukan wanita dalam system Patrilineal terhadap hak pewarisan tanah di daerah Kabupaten Nias". B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka timbul beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
©2003 Digitized by USU digital library
1
1. Bagaimana kedudukan wanita Nias dalam hukum adat yang menganut system patrilineal? 2. Bagaimana kedudukan wanita dalam konteks perkembangan zaman terhadap hak-hak waris tanah? 3. Bagaimana pengaruh peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap perkembangan kedudukan wanita sekarang ini? TINJAUAN PUSTAKA Pada saat ini, dihadapkan pada tuntutan profesi dan keragaman perananan dalam keluarga dan masyarakat. Kondisi tersebut telah menjadi motivasi semakin banyak dilakukan kajian dan penelitian tentang wanita, kebudayaan dan kerja. Sehingga upaya peningkatan peran wanita semakin mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat. Keikutsertaan wanita Indonesia dalam pembangunan tidak terlepas dari peranan yang pemah dilakukan secara nyata oleh para tokoh perjuangan wanita sejak zaman dahulu. Peranan yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh wanita tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi pendorong dan sebagai sumber inspirasi bagi perkembangan pergerakan wanita Indonesia (Dr. Hj. Bainar 1998.246) Di Indonesia secara hukum kaum wanita dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama berdasarkan pasal 27 UUD 1945. Di tahun 1978 merupakan Tahun yang penting bagi wanita Indonesia, karena Pelita III di dalam GBHN secara EmpIisit memuat butir-butir tentang peranan wanita dalam pembangunan dan pembinaan bangsa sehingga kedudukan, peranan, kemamapuan, kemandirian dan ketahanan mental spritual wanita sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan kwalitas sumber daya manusia. Pandangan tradisional mengenai peranan wanita yang menyebabkan pemisahan yang tajam, sehingga kurang menguntungkan dalam pengembangan dirinya sebagai pribadi dan anggota masyarakat (Hj. Bainar, 1998). Wanita Tradisional adalah mereka yang harus menerima dengan sabar dan bahagia kedudukannya sebagai ibu rumah tangga yang berfungsi mendampingi dengan setia pada suami mereka, menguasai keperluan rumah tangga segala kewajiban dan segala kerja di dalamnya. Wanita Modern adalah mereka yang telah menerima dan mempunyai pola pikiran yang telah jauh berkembang dan menjangkau jauh kedepan disebabkan pendidikan, pengalaman dan kehidupan baru yang lebih luas nuansanya dan jangkauannya. (Hj. Bainar 1998.178) Melihat keberadaan dan kedudukan wanita dewasa ini semakin berkembang, dengan berlakunya UUPA sebagai produk hukum nasional di Negara kita sebagai tantangan dan pendapat yang menyangkut eksistensi dari UndangUndang Pokok Agraria tersebut dalam berbagai kaitannya dengan hukum adat. Dalam UUPA Pasal 5 menyebutkan: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini, dan dengan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang lain berlandaskan pada hukum agama. Kemudian bahwa di dalam Negara RI yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekononmiannya terutama bercorak Agraris, bumi, air dan ruang angkasa sebagai
©2003 Digitized by USU digital library
2
karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Maka hak wanita dalam UUPA No.5 Tahun 1960 pasal 9 ayat 2, menganut prinsip yaitu tidak ada perbedaan antara wanita dan laki-laki, kedua jenis kelamin tersebut mempunyai hubungan dengan Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 (A.P. Parlindungan 1998.88). Dalam susunan masyarakat hukum adat dengan system Patrilineal adalah suatu bentuk perkawinan garis keturunan kaum bapak dimaksudkan bahwa dalam pemberian harta warisannya hanya kepada anak laki-laki saja. Sehubungan dengan itu di dalam pasal 9 ayat 2 UUPA di atas serta hukum adat yang bermakna seperti yang dikemukakan oleh A.P. Parlindungan,SH berpendapat, hukum adat harus menyesuaikan kepada perkembangan masyarakat, tidak mungkin dipaksakan, harus di laksanakan sesuai dengan perkembangan kebutuhan melalui suatu pola yang disebut dengan logika UUPA artinya perpecahan persoalan Agraria hanya mungkin dalam pola dan rangka UUPA yang disalurkan melalui pola dan lembaga yang diatur oleh UUPA (H. Abdul Rahman 1994.76). Kemudian Budi Harsono mengemukakan norma-norma hukum adat yang dipergunakan harus bersih dari unsur-unsur asing harus di Saneer lebih dahulu. Jadi menyingkapi apa yang dikemukakan di atas, atas desakan dan tuntutan zaman hukum waris adat yang sistem patrilineal, tidak dapat sepenuhnya dipertahankan karena hukum haris adat ini hanya menguntungkan laki-laki sementara wanita tidak diperhatikan atau tidak dapat bagian apa-apa dari keluarganya. Dalam hal ini bertitik tolak dari Reduksi pasal 5 UUPA, bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat. Dalam ketentuan UU Rl No.39/l999 Pasal 1 menyebutkan: Hak Azasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerahnya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Kemudian dalam pasal 2 ayat (3) menyebutkan setiap orang berhak atas perlindungan Hak Azasi Manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa Diskriminasi. Kemudian dalam Rumusan Pancasila Dasar Demokrasi atau kerakyatan ditunjukkan pernyataan dalam pasal 9 ayat 2 dicantumkan pernyataan mengenai kesempatan yang sama. Dicantumkan pernyataan mengenai kesempatan yang sama bagi laki-laki dan wanita untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah, rnerupakan hasil perjuangan para anggota wanita dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada waktu pembahasan Rancangan UUPA. Dalam Naskah yang diajukan oleh Presiden kepada Dewan belum ada pernyataan demikian, ini juga sesuai dengan sikap pengadilan umum dalam mengadili perkara-perkara warisan antara anak laki-laki dan perempuan serta pembagian Harta Gono-gini antara suami istri yang bercerai dan suami masing-masing mendapatkan bagian yang sama, sebagai akibat perkembangan dan kenyataan fungsi dan andil wanita Indonesia dalam perjuangan mencari dan mengisi kemerdekaan (Boedi Harsono 1999.221). Kemudian dalam hubungannya pula dengan asas kebangsaan tersebut diatas ditentukan dalam pasal 9 ayat 2 UUPA bahwa Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (A.P. Parlindungan, 1998.289).
©2003 Digitized by USU digital library
3
Sebagaimana sudah ditegaskan dalam mukadimah daripada LN, 1960.104, bahwa hukum adat diberikan kembali dasar hukum yang sudah begitu lama tidak mendapatkan kedudukan, dengan memberikan tempatnya kembali maka sekaligus kita meniadakan dualisme dalam hukum yang kita kenai sebelum UUPA. Demikian pula Reorientasi dari pelaksanaan hukum Indonesia tentunya akan berhasil jika kita mampu untuk memahami jiwa dari hukum adat tersebut yang sekarang berusaha kita kembangkan dalam perundang-undangan modem. (A.P. Parlindungan 1998.58) Hukum adat bersifat dinamis maksudnya bahwa hukum adat itu senantisa berobah. Perubahan terutama sekali disebutkan adanya pergeseran nilai-nilai keadilan dalam masyarakat adat itu sendiri karena apa yang dirasakan adil dahulu belum tentu dirasakan adil pada masa sekarang ini dan masa yang akan datang. Proses pergeseran nilai hukum adat itu terutama sekali dalam bidang hukum waris tidak selamanya berjalan mulus akan tetapi tidak jarang menimbulkan korban jiwa, ini disebabkan karena adanya pertentangan kepentingan dari dua pihak, disatu pihak ingin tetap mempertahankan kaedah-kaedah yang lama karena dianggap lebih menguntungkan baginya sedangkan di pihak lain menuntut dilakukannya perobahan karena dirasakannya hukum adat yang lama itu tidak adil. (Laporan Pengabdian Masyarakat 2002). Pewaris adalah suatu proses perwalian/perpindahan harta, peninggalan/harta warisan seseorang yang telah meninggal/harta warisan seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya. (Makalah Mariati cs 2002). Hukum waris adat dari suatu suku bangsa Indonesia yang tradisionalnya sangat dipengaruhi sekali oleh system kemasyarakatan dan system pewarisan dari suku bangsa yang bersangkutan untuk diketahui bahwa system kemasyarakatan itu ada 3 macam yaitu: a. System Matrilineal yaitu system yang mewarisi garis ketutrunan menurut garis keibuan. Contohnya di Minangkabau. Pada masyarakat Minangkabau yang menjadi ahli waris ialah hanya anak dari si Ibu jika yang meninggal laki-laki maka yang menjadi ahli warisnya ialah hanya anak dari si ibu jika yang meninggal laki-laki maka yang menjadi ahli warisnya ialah saudaranya perempuan dan kemenakannya. b. System Patrilineal yaitu sistem yang menurut garis keturunan dari Bapak. c. System Parental, system yang menarik garis keturunan menurut garis keibu-an dan ke-bapak. Pada masyarakat Parental yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki dan anak perempuan secara bersama-sama namun bagian anak laki-laki lebih besar dari bagian anak perempuan. System Pewarisan juga ada 3 macam yaitu: a. System Kolektif yaitu bahwa harta warisan itu terdiri dari pewaris kepada ahli warisnya dalam keadan utuh tidak terbagi-bagi. b. System Masgraf yaitu warisan dari pewaris itu hanya beralih kepada anak lakilaki saja (Masyarakat laki-laki). c. System Individual yaitu harta warisan itu di bagi-bagikan kepada ahli warisnya yaitu anak laki-laki dan anak perempuan. Bahwa proses pergeseran hukum waris adat tersebut digambarkan secara umum ialah kearah pengakuan hak yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menerima warisan dari orang tuanya serta pengakuan janda sebagai ahli waris mendiang suaminya.
©2003 Digitized by USU digital library
4
Kemudian dalam Yurisprudensia Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARl) antara lain: 1. Yurisprudensia MARl No.100/K/Sip/1961 yang menetapkan bahwa hak waris antara laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan dari orang tuanya adalah sama dalam arti sama besar. 2. Yurisprudensia MARl No.100/K.Sip/1967 yang menetapkan bahwa janda adalah sebagai ahli waris daripada mendiang suaminya dengan ketentuan: a. Harta peninggalan diwarisi oleh anak laki-laki dengan perempuan dengan hak yang sama. b. Harta pewarisan (harta pencaharian bersama atau gono-gini pertama) dibagi dua bagian, setengah untuk bagian janda setengah lagi untuk di bagi secara bersama-sama antara janda dan anak-anaknya. 3. Yurisprudensi MARl No.3190/K./Pdt/1985 menentukan bahwa: a. Bila janda mempunyai keturunan maka janda akan menuntut ke ahli waris kelompok penggantinya yaitu Saudara almarhum suaminya. b. Janda karena itu berhak mewarisi seluruh harta peninggalan suaminya baik harta pencaharian maupun harta asal. Dalam uraian diatas ternyata perkembangan hukum dalam hukum adat tentang pewarisan semakin lama semakin nyata dalam kedudukan hak wanita telah mengarah kepada pengakuan kekuasaan hak antara laki-laki dan perempuan. Jika dilihat dari komposisi rumah tangga dalam suatu perkawinan di Nias monogami, anggota inti rumah tangga adalah suami, istri dan anak-anak mereka sekandung atau tiri termasuk satu atau lebih anggota tambahan. Tipe keluarga ini disebut Sambua Ngambato (keluarga bathin). Keluarga bathin (famili di Nias) adalah pokok dan dasar. Keluarga besar (Extended Family) atau Join Families adalah bentuk tingkat kedua disamping keluarga Nucclear. Rumah tangga selalu ditentukan dengan Bowoago (periuk masak). Bila dikatakan bahwa sebuah keluarga telah memiliki periuk masak sendiri berarti bahwa secara ekonomi keluarga bathin itu telah bebas dan merdeka dari orang lain (Bambowo Laiya MA, 1983,63) Hubungan keluarga mempunyai tempat penting dalam masyarakat kita misalnya sebagai faktor dalam susunan persekutuan hukum dalam hukum perkawinan dan dalam hukum waris. Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikutnya.(H.Hilman Hadikusumo, 1992,211). Maka dengan demikian di dalam penulisan ini, khusus di daerah Nias menganut sistem keturunan yang Patrilineal sehingga peranan dan kedudukan wanita semakin lama mengalami perubahan. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan penelitian Adapun tujuan yang di harapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui lebih jauh tentang keberadaan wanita Nias dalam kedudukan di tengah-tengah keluarganya yang menganut sistem patrilinear. 2. Untuk mengetahui kekuasaan hukum adat dasar dari UUPA terhadap kesetaraan hak wanita dengan pria dalam peralihan warisan di tengah-tengah masyarakan Nias. 3. Untuk memperoleh gambaran sejauhmana perkembangan peran perempuan Nias dalam meningkatkan sumber pengetahuan pengenalan terhadap perundangundangan dan hukum yang diperoleh.
©2003 Digitized by USU digital library
5
4. Untuk mengetahui sejauh mana respon tokoh-tokoh masyarakat dalam pergeseran nilai adat istiadat sistem patrilinear pada masyarakat Nias. B. Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memecahkan masalah hal-hal wanita dalam memperoleh hak dalam pewarisan ditengah-tengah keluarga. 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka pengembangan studi hukum kajian wanita khususnya dalam Hukum pertanahan di Indonesia. 2. Secara politis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukkan kepada pemerintah khususnya aparat pelaksanaan dalam menyelesaikan setiap permasalahan pertanahan, apakah harus bersifat aktif atau bersifat pasif karena disini dituntut kebijaksanaan dari peran serta pemerintah, terutama masyarakat adat daerah. 3. Sebagai kerangka semua penelitian berikutnya dalam kehidupan yang lebih luas. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yuridis analisis Dengan metode ini dimaksudkan akan dapat menggambarkan kedudukan wanita dalam system Patrilineal terhadap hak-hak pewarisan tanah di daerah Kabupaten Nias. Pendekatan yang ditakukan adalah pendekatan penetitian kualitatif yang termasuk dalam metode penelitian Hukum non doktrinal riset. Metode Penelitian non doktrinal dimaksudkan untuk mengkaji keberadaan Hukum dalam masyarakat. Pendekatan semacam ini dalam literatur penelitian Hukum dikenal juga dengan pendekatan penelitian Hukum Strategi/Empiris. (Soerjono Soekanto 1984) B. Tehnik Pengumpulan Data Langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Primer Data dikumpulkan melalui wawancara sebagai instrumen penelitian dengan panduan quesioner dijalankan dengan menggunakan angket daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu dan apabila diperlukan atau sebagai data penunjang maka data dapat diperoleh melalui informasi seperti: 1. Tokoh Masyarakat Perempuan Nias. 2. Tokoh-tokoh Masyarakat Nias 3. Pejabat Pemda Kabupaten Nias 4. Perempuan Nias khususnya masyarakat. 2. Data Sekunder dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan (Library Research/dari arsip). Hal ini dilakukan untuk melengkapi bahan-bahan primer. C. Lokasi, populasi dan Sampel 1. Lokasi pada penelitian ini adalah di Daerah Kabupaten Nias Kecamatan Gunung Sitoli. 2. Populasi pada penelitian di dasarkan wilayah (kecamatan) yang banyak memberikan sampel, dilakukan secara populasi sampling yang kemudian dipilih 4 Desa/Kelurahan yang ada di kecamatan Gunung Sitoli antara lain: a. Kelurahan Gunung Sitoli b. Desa Saombo c. Desa Mudik d. Desa sisobahili Dari setiap desa diambil 4 desa/kelurahan yang dijadikan sebagai sampel atau 3 desa dan serta kelurahan. Dari setiap Desa/Kelurahan ditentukan sebanyak 10
©2003 Digitized by USU digital library
6
orang yang dijadikan sebagai responden dengan demikian jumlah responden keseluruhannya ada 40 orang. D. Tehnik Analisis Data Pengertian analisis dimaksud sebagai suatu penjelasan dan penginterprestasian secara logis sistematis dan konsisten. Dalam rangka penelitian ini analisis data yang dilakukan dengan cara memadukan ke dua tehnik analisis data yaitu dengan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Kedua tehnik tersebut dipergunakan pada hakekatnya untuk saling melengkapi analisis data yang diperoleh baik pada waktu konstruksi pengolahan maupun analisis data dengan kedua pendekatan tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai perkembangan kedudukan wanita dalam system patrilineal terhadap hakhak pewarisan tanah di daerah Nias. PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Daerah Penelitian: a. Letak Geogratis dan pembagian Daerah Administrasi Kabupaten Nias I berada disebelah Sarat Pulau Sumatera jaraknya ± 8 mil laut dari Kabupaten Tapanuli Tengah, terletak di 0° 12° -1° 32° Lintang Utara (LU) dun 97°-98° Bujur Timur (BT). b. Luas wialyah. Kabupaten Nias mempunyai wilayah 5.625 atau 7,8 % dari luas propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 132 buah gugusan pulau yang panjangnya ± 120 Km dan lebar 40 km memanjang sejajar pulau Sumatera. Pembagian daerah administratif Kabupaten Nias terdiri dari: 1. Kecamatan sebanyak 22 kecamatan 2. Kelurahan sebanyak 6 kelurahan 3. Desa sebanyak 651 Desa 4. Lorong pada kelurahan sebanyak 26 lorong Kabupaten Nias ibu kotanya yaitu Gunung Sitoli. c. Batas Wilayah Kabupaten Nias berbatasan dengan: 1. Sebelah Utara dengan Pulau-Pulau Banka propinsi Daerah Istimewa Aceh 2. Sebelah Selatan dengan pulau-pulau Mentawai propinsi Sumatera Barat. 3. Sebelah Timur dengan pulau-pulau Mursala dengan Kabupaten Tapanuli Tengah. 4. Sebelah Barat dengan Samudra Hindia. d. Keadaan Tapagrafi/Topographic Situation Kondisi alamnya/topografi berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan tingginya diatas permukaan laut bervariasi antara 0 –800 terdiri dari daratan rendah sampai bergelombang sampai berbukit-bukit 28,8 % dari berbukit sampai pegunungan 51,2 % dari keseluruhan luas daratan. c. Iklim Kabupaten Nias Kabupaten Nias terletak di daerah khatulistiwa maka curah hujannya tinggi rata-rata curah hujan pertahun 3145.1mm dan banyaknya hari hujan dalam setahun 273 hari atau rata-rata 23 hari perbulan pada tahan 2000. Akibat banyaknya curah hujan maka kondisi alamnya sangat lembab dan basah musim kemarau dan silih berganti dalam setahun. Saat ini jumlah penduduk kabupaten Nias tahun 1990 adalah sebesar 588.643 jiwa dan tahun 2000 naik menjadi 678.347 jiwa atau dalam kurun waktu 10 tahun
©2003 Digitized by USU digital library
7
meningkat dengan laju pertumbuhan pertahun 1.43 %. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 1980 -1990 yang sebesar 2,32 % (Data Statistik 1980.1990). TABEL 1 PEMBAGIAN DAERAH ADMINISTRASI PEMERINTAH KABUPATEN NIAS No Kecamatan Banyaknya Desa Kelurahan Lorong 1 Pulau-pulau Batu 46 1 4 2 Hibala 15 3 Teluk Dalam 39 1 4 4 Amandraya 18 5 Lahusa 15 6 Gomo 31 Bawõlato 7 16 8 Idano Gawo 26 9 Lolowau 32 10 Lõlõmatua 18 11 Sirombo 36 12 Mandrehe 62 13 Gidõ 49 14 Lõlõfitu Moi 35 15 Gunung Sitoli 57 16 Hiliduho 39 3 14 17 Alasa 27 18 Esiwa 12 19 Lahewa 27 1 4 20 Afulu 9 21 Tuhemberua 31 22 Lotu 14 Jumlah 651 6 26 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Source Nias dalam angka 2000 (Nias in figures 2002) Dari tabel yang diketahi bahwa kecamatan di Kabupaten Nias berjumlah 27 Kecamatan dan Desa berjumlah 651 Kelurahan sebanyak 6 dan lorong 26. Kemudian seperti diketahui perkembangan wilayah kabupaten Nias, terakhir dengan berlakunya UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dengan responden dengan kpks Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 2000 tentang pembentukan Kecamatan, maka melalui Perda Kabupaten Nias No.6 Tahun 2000 tanggal 24 November 2000 tentang pembentukan 5 (lima) Kecamatan di Kabupaten Nias. 5 (lima) kecamatan pembuatan yang masih tersisa selama ini akhirnya ditetapkan sebagai kecamatan yang definitif masing-masing kecamatan Hibala, kecamatan Bawõlato, kecamatan Namõhalu, Esiwa, Kecamatan Lotu dan Kecamatan Afulu, bahwa perubahan-perubahan pemerintah Kabupaten Nias mengikuti perubahanperubahan di daerah yang berskala secara Nasional. Kemudian dalam Tabel berikut ini, jumlah penduduk menurut jenis kelamin.
©2003 Digitized by USU digital library
8
TABEL II Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex ratio menurut Kecamatan Polpulation by Sex & Sex ratio by Sub regency 2000
Dari label di atas terlihat dan jumlah penduduk baik laki-laki maupun perempuan berjumlah 678.347 jiwa untuk seluruh kecamatan atau jumlah penduduk Kabupaten Nias dan menunjukkan Sex Rationya dari hasil final sensus penduduk ini tahun 2000 jumlah penduduk perempuan lebih banyak dan laki-laki. Dari tabel diatas menunjukkan di daerah lokasi penelitian Kecamatan Gunung Sitoli terlihat jumlah laki-laki 34.933 per semester, perempuan 34.887 jiwa dari yang telah dilakukan peneliti dilaporkan bahwa ke-4 Desa yang telah diambil sampelnya menggambarkan bahwa perkembangan kedudukan wanita di Nias saat ini mengalami perkembangan terutama kedudukan wanita dalam masyarakat adat Nias. 1. Kedudukan Wanita Dalam Masyarakat Adat Nias. A. Kedudukan Wanita dalam keluarga
©2003 Digitized by USU digital library
9
TABEL III Status Perempuan dalam Pewarisan No 1
Status Hanya sebagai anggota keluarga
Jumlah -
N=37 (%) -
2
Diperhitingkan dalam pewarisan
37
100
3
Tidak digolongkan sebagai pewaris dalam Hukum Adat
-
-
4
Tergantung pada situasi keluarga
-
-
37
100
Jumlah
Dari hasil isian quesioner yang disampaikan ternyata menjawab status perempuan dalam pewarisan hanya status anggota kleuarga dan tidak diperhitungkan dalam pewarisan antara 37 orang atau 100 % jadi berdasarkan system yang dimiliki oleh masyarakat Nias yaitu system Patrilineal dimana peranan yang sangat besar dan dominan adalah ditangan kaum laki-laki atau bergaris keturunan kaum Bapak. Sementara perempuan hanya meniadi pelengkap dalam masyarakat, salah satu kehidupan wanita Nias dalam Hukum keluarga berdasarkan Hukum Adat merupakan budaya tradisional yang sebagian telah berubah namun mempunyai pengaruh sampai sekarang ternyata dalam tanya jawab bahwa status perempuan hanya sebagai anggota keluarga tidak terjawab, juga status perempuan digolongkan sebagai pewaris dalam keluarga tidak terjawab, juga status perempuan tergantung pada situasi keluarga, jadi memahami kehidupan/kedudukan wanita dalam keluarga menurut adat Nias yang sebenarnya. a. Perempuan Nias menurut tradisi bahwa nenek moyang Ono Niha yang turun ke Tanõ Niha (Daerah Nias) adalah laki-laki, oleh karena itu yang meneruskan generasi adalah laki-laki sekaligus dari seluruh tanggung jawab (Mariati Zendrato, dalam wawancara). b. Yang menaikkan status sosial (Bosi) dalam masyarakat Nias untuk mencapai kuasa, wibawa dan kedudukan yang lebih tinggi adalah laki-laki bukan perempuan. Laki-laki dengan nama keluargalah yang melaksanakan pesta adat yang disebut Owasa (Pesta Adat Besar) misalnya pemberian gelar Balugu, dan pendirian batu kebesaran (Gowe Zalawa), perempuan raja pelaksanaan seperti ini hanya duduk sebagai pelengkap. c. Yang menjadi pemimpin dalam mengambil keputusan dalam masyarakat Nias mulai dari keluarga sampai pada kesatuan masyarakat Nias yang terbesar adalah laki-laki. B. Kedudukan Terkondusif
Wanita
Nias
Dalam
©2003 Digitized by USU digital library
Lingkungan
Sosial
Budaya
Yang
10
TABEL IV Pengaruh Hukum Adat Menghambat Kemajuan Perempuan No 1
Pengaruh Hukum Adat Ya
Jumlah 37
N=37 % 100%
2
Tidak
-
-
Jumlah
37
100%
Dari jawaban Quesioner yang menunjukkan bahwa Ya atau Benar pengaruh Hukum Adat sangat menghambat perkembangan kaum Wanita Nias 37 orang (100%). Sedangkan yang menjawab tidak, tidak ada, ini disebabkan karena mendorong kedudukan dari peran perempuan Nias sangat dipengruhi oleh nilai-nilai sosial budaya, citra baku (Streo type) masyarakat Nias masih cenderung beranggapan perempuan kaum lemah oleh karena itu perlu dilindungi. Perempuan hanya dijatahkan pada kedudukannya karena hanya sebagai pengasuh anak dan pekerja dirumah. C. Kedudukan Wanita Nias Dalam Kelembagaan. Di dalam masyarakat Nias Perempuan dalam kelembagaan tidak dapat mengadakan pesta adat untuk menaikkan derajat atau statusnya, sebagaimana diuraikan diatas, nilai perempuan yang diskriminatif menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, tidak produktif, malah kehadiran wanita di forum publik cenderung disepelekan, wanita itu dianggap melampaui kodrat wanitanya. Misalnya berkarya, berbisnis, berorganisasi dll. D. Kedudukan Wanita Dalam Hubungannya Dengan Keluarga. Hubungan keluarga dalam Hukum Adat Nias merupakan Hukum Adat yang mengatur kedudukuan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tuanya yang mengatur pertalian darah. 1. Kedudukan wanita sebagai anak. a. Sebelum berkeluarga atau sebelum menikah dipelihara oleh orang tuanya, dan segala keperluannya ditanggung oleh orang tuanya sebagai anak yang sah. b. Setelah berkeluarga tetap sebagai anak yang sah dari orang tuanya tetapi dalam tanggung jawab penuh adalah suaminya dan mertuanya (Orang tua suaminya). 2. Kedudukan Wanita sebagai Anak Piatu Apabila orang tuanya meninggal baik bapak atau ibunya jika masih dibawah umur atau sudah dewasa maka yang berhak memelihara dan melindunginya adalah pihak saudara bapaknya dan setelah berkeluarga adalah suami dan mertuanya. 3. Kedudukan Wanita sebagai Anak Angkat Mengangkat anak apabila yang sama sekali bukan keluarganya, anak tersebut dimasukkan dalam keluarga yang mengangkatnya sebagai anak sendiri dan berkedudukan sama sebagai anak kandung yang mengangkatnya. Dalarn hal ini orang tua yang mengangkatnya kurang memenuhi persyaratan-persyaratan misalnya menjamu makan semua masyrakat dan keluarga anak yang diangkat, orang tua, saudara pihak hapak dan ibu dan pengetua adat, juga dengan membayar dengan emas sebesar 3 fanulo (30 gram) untuk berikan kepada pengetua adat dan pihak paman (saudara laki-laki dari ibu sianak).
©2003 Digitized by USU digital library
11
Dari apa yang diuraikan diatas menggambarkan dengan sejujurnya keberadaan wanita Nias yang tergolong tradisi yang tidak mutlak mengikuti perkembangan zaman dan masih dikekang oleh adat istiadat baik kekerabatan dan pola tingkah laku dalam rumah tangga dan masyarakat. II. Perkembangan Kedudukan Wanita Nias Zaman yang serba modem ini telah memberikan kesempatan kepada wanita Nias untuk berkembang seluas-luasnya. Berkarya sesuai dengan bakat profesi yang diembannya, sejalan dengan waktu yang terus berubah dalam memahami segala kekurangan dan mengaktualisasikan diri dalam kontek kemajuan tanpa melupakan status sebagai perempuan dalam quesioner berikut ini: TABEL V Ahli Waris Dalam Keluarga Adalah Anak Laki-Laki No 1
Setuju Ya
Jumlah 37
N=37 % 100%
2
Tidak
-
-
Jumlah
37
100%
Dari hasil quesioner yang terjawab ternyata pada umumnya tidak setuju baik ahli waris dalam keluarga berada ditangan anak laki-laki sepenuhnya 37 orang (100 %) sedangkan yang menjawab Ya tidak ada. Kemudian dalam tabel berikut ini: TABEL VI Mengetahui UUPA sebagai Salah Satu Pendukung Hak Bagi Perempuan N = 37 No Mengetahui Jumlah % 1 Ya 30 orang 81,08 2
Tidak Jumlah
7 orang 37
18,92 100%
Dari jawaban responden rnenunjukkan bahwa 30 orang (81,08 %) yang menjawab mengetahui UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai salah satu UU yang menguatkan posisi perempuan dalam kedudukannya sama dengan laki-laki menguasai hak atas tanah. Sementara yang sama sekali tidak mengetahui 7 orang atau (18,92 %) ini menunjukkan bahwa rendahnya pengetahuan perempuan Nias dalam pendidikan dan pengenalan terhadap produk Undang-undang baik yang lama maupun yang baru. Dimana pengaruh budaya patrilineal yang masih kuat atau ruang gerak perempuan Nias masih dibatasi. Kemudian tabel berikut ini.
©2003 Digitized by USU digital library
12
TABEL VII Hak Permpuan dalam Keluarga Terhadap Pembagian Warisan N= 37 No 1
Hak Dalam Keluarga Setuju
Jumlah 4
% 10,81
2
Tidak Setuju
-
-
3
Ragu-ragu
-
-
4
Setuju Sekali
33
89,19
Jumlah
37
100%
Dari jawaban quesioner ternyata bahwa menjawab setuju 4 orang (10,81 %) dan yang setuju sekali 33 orang (89,19 %)jadi sesungguhnya jawaban yang hampir sama tujuan dan artinya itu menunjukkan kesungguhan perempuan Nias ingin mempunyai hak dalam kekuasaan terhadap anak laki-laki dan tentu menuntut haknya. Menurut Responden mengemukakan bahwa etnis Nias mengenal beberapa jenis harta yang diwariskan yaitu rumah, pertapakan, alat-alat rumah tangga yang berharga, emas, kebun, tanah kosong artinya tanah yang tak ada tanaman ekonomisnya. TABEL VIII Perkembangan pergeseran Nilai Hukum Adat No 1
Perkembangan pergeseran Nilai Hukum Adat Perempuan Nias sudah boleh berbicara dalam keluarga
Jumlah -
N=37 % -
2
Sudah dapat tampil dalam forum besar adat ditengahtengah masyarakat Selain ab diatas telah memperoleh warisan dari orang tua Semua yang disebut pada poin abc diatas Jumlah
-
-
-
-
37 37
100 100%
3 4
Dari jawaban responden yang berjumlah 37 orang atau (100 %) ternyata bahwa perkembangan yang terjadi di dalam Hukum Adat Nias terhadap himpitan adat istiadat yang terjadi selama ini sudah mulai nyata dalam kehidupan kaum perempuan yaitu sudah dapat diperkenankan berbicara di depan Wttum, sudah dapat tampil dalam forum besar dalam acara adat ditengah-tengah masyarakat luas juga bagi perempuan Nias mengakui bahwa pembagian harta dalam keluarga yang selama ini hanya diberikan kepada anaknya laki-laki tetapi sekarang ini anaknya perempuan mendapat bagian sesuai dengan pemberian orang tuanya. Kemudiun resonden mengemukakan bahwa pembagian warisan seperti ini lama kelamaan nilai patrilineal dalam garis keturunan dalam hak warisan semakin lama
©2003 Digitized by USU digital library
13
semakin bergeser nilainya. Kemudian dalam wawancara peneliti kepada responden menemukan bahwa yang menyebabkan adanya kesadaran orang tua dalam pemberian bagian kepada anaknya perempuan karena orang tua merasa anak perempuan adalah sama ciptaan Tuhan kemudian pola pikir orang tua yang sudah maju atau yang sudah berpendidikan dan mernpunyai pengalaman yang luwes, jadi mereka mengetahui akan kemajuan dan predikat perempuan sama-sama mempunyai hak baik dalam pendidikan maupun dalam Hukum dan Kesehatan. Pelaksanaan seperti ini masih sebagian di kecamatan/desa dan tentu keluarga yang sudah maju pola pemikirannya. TABEL IX Reaksi Tokoh-tokoh Masyarakat/Pengetua Adat N=37 No Reaksi Tokoh-tokoh Masyarakat Jumlah % 1 Mendukung 2 5,41 2
Tidak mendukung
-
-
3
Ragu-ragu
-
-
4
Ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung Jumlah
35 37
94,59 100%
Dari jawaban Responden dalam quesioner menunjukkan laki-laki 2 orang (5,41%) yang menjawab mendukung, Sementara tidak mendukung tidak menjawab, juga yang ragu-ragu tidak menjawab tetapi yang mendukung dan ada yang tidak mendukung menjawab sebanyak 35 orang (94,59%). Membuktikan bahwa tokohtokoh masyarakat atau Pengetua Adat sebagian ada yang memberi dukungan untuk perempuan leluasa dalam mengembangkan karyanya atau menyetarakan proporsi perempuan dengan laki-laki dalam keluarga sebagian tidak mendukung karena alasan adat istiadat yang mereka anggap sudah baku dan mengurangi harga diri saudara laki-laki atau menurunkan martabat keluarga atau juga berpandangan bahwa harta yang diwariskan kepada perempuan tidak meneruskan warisan keluarga karena perempuan dianggap telah pindah kepada keluarga suaminya. Pemberian warisan kepada anak perempuan dari jawaban responden dilaksanakan melalui kebijaksanaan orang tua membagi hartanya melalui keluarga ini dan saudara terdekat dalam tabel berikutnya: TABEL X Persamaan Pembagian Warisan yang diterima N=37 No Persamaan Pembagian Warisan yang diterima Jumlah % 10 27,03 1 Menurut Kebijaksanaan Keluarga 2
Anak Laki-laki lebih banyak prioritasnya
27
72,97
3
Pembagian harta secara adil Jumlah
37
100%
©2003 Digitized by USU digital library
14
Dari jawaban responden sebanyak 10 orang (27,03 %) mengatakan menurut kebijaksanaan keluarga dan sebanyak 27 orang (72,97 %) mengatakan anak lakilaki lebih banyak prioritasnya sementara pembagian harta secara adil tidak terjawab. Dari jawaban responden bahwa berjumlah 5 orang (13,5%) mengatakan kebijaksanaan yang dilakukan melalui kesepakatan keluarga inti. Keluarga inti yang dimaksud adalah suatu unit terkecil dan merupakan suatu dasar dari susunan masyarakat yang terdiri dari suami istri, sementara melalui kesepakatan keluarga dan masyarakat tidak terjawab oleh responden namun responden menjawab banyak berjumlah 32 orang (86,49 %) mengatakan dalam kebijaksanaan pembagian harta adalah inisiatif orang tua melalui keluarga inti dengan saudara-saudara terdekat (maksudnya saudara baik pihak saudara orang tua laki-laki maupun saudara dari orang tua perempuan). Dihadirkan saudara-saudara dari kedua orang tua ini untuk menghindari hal-hal yang mungkin terjadi di kemudian hari dan tentu sebagai sanksi dalam pergeseran harta warisan yang diberikan. Untuk mengetahui persetujuan saudara dari laki-laki mengemukakan dalam tabel berikut ini: TABEL XI Keberadaaan Saudara Laki-laki Dalam Keluarga Menyikapi Pembagian Harta Untuk Saudara Perempuan No
Keberadaaan Saudara Laki-laki Dalam Keluarga
1
Setuju
2
Tidak Setuju Jumlah
Jumlah
N= 37 %
1
2,70%
36
97,30%
37
100%
Dari jumlah Responden menyatakan setuju 1 orang (2,70 %) dan setuju dan tidak keberatan 36 orang (97,30 %) dalam hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya saudara laki-laki dalam menyikapi pembagian haria pada tingkat perkembangan keadaan sekarang ini bila dibandingkan pada tahun sebelumnya sangat jauh. Sekarang mereka mendukung dan tidak keberatan yang dalam hal ini tergantung kebijaksanaan orang tua, mengingat kemajuan zaman yang tidak dapat dielakkan dan sebagai sumber Hukum dalam pengaturan Hak Azasi Manusia yang pada dasarnya manusia dianugerahi jiwa, bentuk jiwa dan struktur kemampuan, kemauan serta menjamin kesejahteraan hidupnya. III.Kedudukan Wanita Nias antara Adat dan Perundang-undangan Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah pembangunan manusia scutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat yang adil dan makmur material dan spritual. Pembangunan masyarakat sangat dipengaruhi oleh pembinaan unit terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Oleh sebab itu perlu kemandirian dimana sangat mempengaruhi mantra ruang, waktu, budaya dan etika dimana sifat kemandirian itu bermulti dimensi. Dalam dimensi kemanusiaan, lelaki dan wanita mempunyai hak dan kewajiban untuk menata hari depannya sendiri sesuai dengan fitrah kemandirian dan dianalisasikan dalam realitas lingkungan sosial, ekonomi, budaya, ekologi dan politik. Dengan demikian perwujudan kemandirian merupakan keseimbangan dinamis antara hak dan kewajiban yang mengacu kepada situasi lingkungan dan berbagai peraturan dan
©2003 Digitized by USU digital library
15
perundang-undangan yang mengkondisikan lingkungan tersebut walau sulit untuk dirumuskan dalam rumusan tunggal. Kemandirian perempuan yang kami maksud adalah "Keyakinan wanita terhadap potensi yang dimiliki dalam mengorganisasi diri sendiri sehingga berkemampuan memanipulasi dan merealisasi sumber dengan internal dan eksternal untuk mencapai tujuan hidup". (Makalah, Aida Vitayala Syafri Hubus,1992). Karena itu wanita sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat meningkatkan kualitasnya dalam bertindak sebagai pelaku utama dan penggunaan kemanfaatan terbesar dari semua upaya pembangunan sebagaimana dalam hak dan kebebasan dalam UUD 1945 pasa127. Berkaitan dengan itu khusus wanita Nias salah satu bagian kaum Wanita Indonesia yang masih perlu perjuangan dalam mengisi pembangunan nasional, merupakan Sumber Daya yang dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945 itu merangkul hak-hak setiap warga negara, dalam menuntut hak dan kewajibannya, baik dalam pendidikan, mendapatkan kehidupan yang layak, maupun berkomunikasi dengan publik. Salah satu perundang-undangan adalah: Materi Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Undang-Undng Perkawinan mengungkapkan: - Kedudukan anak dalam hukum keluarga Berdasarkan pertalian darah maka yang dibicarakan adalah kedudukan anak kandung. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang kedudukan anak, hak dan kewajibannya terhadap orang tua disebut dalam pasal 42 dan 43 bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang sah dan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Menurut hukum keluarga adat masyarakat Nias, anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Maksudnya sudah dipestakan diberi jujuran (mahar) dan telah diberkati sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Karena di Kabupaten Nias sangat dipengaruhi oleh adat istiadat dan agama. Selesai acara perkawinan, si pengantin wanita dibawa kerumah pengantin laki-laki secara ditandu (dijunjung) atau Lafabea. Jadi betul-betul keluarga suami istri yang sah dan salah satu bukti harkat dan martabat Wanita Nias dijunjung tinggi dan dihormati. Apabila perkawinan itu lahir diluar perkawinan yang disebut Ono Horõ (anak haram) atau anak yang kawin darurat untuk menutup malu, dalam hal ini pada waktu masih dalam kandungan calon suami istri itu dipestakan oleh kedua belah pihak secara diam-diam, malah wanita disuruh jalan kaki kerumah pengantin laki-laki dan melalui pintu belakang rumah dan pengaruhnya digereja dikeluarkan dari warga jemaat gereja, diumumkan ditengah-tengah jemaat, apabila masuk jadi warga jemaat kembali, maka sebelumnya diberikan pengarahan oleh pimpinan gereja, dan baru diterima kembali serta anak yang lahir dibaptis digereja. Bagi yang beragama Islam dalam masyarakat Nias kedudukan anak mengikuti hukum agama Islam sendiri baik dalam perkawinan yang sah maupun yang lahir diluar perkawinan yang sah.
©2003 Digitized by USU digital library
16
- Kewajiban anak menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 terhadap Orang tuanya. Bahwa anak wajib menghormati orang tuanya dan menaati kehendak mereka yang baik {pasal 46 (1) } dan apabila sudah dewasa maka anak wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas bila mereka memerlukan bantuannya {Pasal 46 (2) }. Didalam masyarakat Nias, kewajiban anak kepada orang tuanya seperti biasanya mereka sangat menghormati dan taat akan nasehat orang tuanya. Dalam hal kedewasaan mereka, hanya pada waktu mereka berkeluarga lebih-lebih anak lakilaki menjadi penanggung jawab terhadap orang tuanya (penerus generasi) kecuali salah satu anak wanita dianggap sebagai pekerja dirumah, sebagai sumber penghasilan dari keluarga. Karena hasil jerih payahnya untuk bantuan keluarga orang tua, dan bantuan perkawinan saudaranya laki-laki di dalam pendidikan. Apabila anak wanita telah berkeluarga kewajibannya masih tetap membantu keluarganya. Dalam hal kedewasaan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 anak yang dalam mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin ada dibawah kekuasaan orang tuanya {pasal 47 (1)). Sedangkan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali {pasa150 (I)}. Dalam hal ini menurut hukum adat Nias, kedewasaan hanya dipandang sudah dapat mencari nafkah dan dapat menghidupkan istrinya dan laki-laki itu telah disunat (Famoto), sedangkan si wanita sudah dapat tanda (haid) maka dapat dilangsungkan perkawinan. Dan dalam lembaga perwalian perkawinan tidak ada, baik sebelum dan sesudah perkawinan, tetapi langsung oleh orang tua dan kerabat. Dari apa yang diutarakan diatas secara Hukum hak perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama berdasarkan UUD 1945 dan dalam UUPA No.5 1960 pasa1 (9). Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih mempunyai kesulitan-kesulitan merealisasikan kesamaan hak tersebut. Tarik-menarik pemahaman tentang gerakan dan peran perempuan dalam menduduki porsi kesamaan hak tersebut apalagi dengan lingkungan adat yang kuat atau dalam konteks pergumulan ditengah-tengah kehidupan sosial budaya. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentraformasikan sistem dan struktur yang tidak adil menuju sistem yang adil baik perempuan maupun lakilaki. Dimensi laki-laki maupun perempuan tak terabaikan dalam dinamika kehidupan masyarakat Nias. Kesetaraan gender menjadi penting bagi perkembangan peradaban masyarakat dalam berbagai seting perubahan. Untuk itu perubahan global dikalangan kaum wanita Nias yang sudah dinyatakan secara lama-kelamaan tergesernya nilai Patrilineal dilingkungan adat Nias yang mengedepankan persoalanpersoalan perempuan menjadi pokok satu isu tentang lingkungan hidup demokrasi. Sehingga dalam kehidupan kedepan proses pembangunan hak-hak privasi kaum perempuan dalam ekonomi, politik, pendidikan hukum, militer, mendapat perhatian khusus. Penelitian ini menunjukkan bahwa wanita selama dibangku sekolah tidak kurang prestasinya, tetapi dengan bertambah umurnya dan setelah terjun dalam masyarakat tingkat prestasi wanita lebih dari pria, dalam masyarakat motivasi berprestasi sering dilihat sebagai karakteristik pria yang berkaitan dengan daya saing dan kemandiriannya. Gerakan Pembangunan semakin terasa dan membawa perempuan Nias menyatukan persepsi dari masyarakat tradisi menjadi masyarakat
©2003 Digitized by USU digital library
17
yang modern. Yang dapat menghambat kedudukan wanita sebagai mitra sejajar adalah citra dan konsep diri wanita itu sendiri, dalam mana ia menguatkan diri ditengah-tengah masyarakat yang tentu menimbulkan tekanan bagi kepribadiannya. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Dalam konstitusi kita persamaan hak pria dan wanita telah terjamin yang dapat terlihat dalam pasal 27 UUD 1945 dan kemudian dalam GBHN 1993 mengenai peran wanita dalam pembangunan bangsa. bahwa wanita baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber daya, insani pembangunan mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pernbangunan disegala bidang. Pandangan tradisional adat, dalam lingkungan masyarakat yang sistem Patriakhat menyebabkan pemisahan yang sangat tajam diantara peranan pria dan perempuan dan yang menempatkan wanita dalam kedudukan kurang menguntungkan dalam perkembangan dirinya sebagai pribadi dan anggota masyarakat. 2. Dengan adanya UUP A No.5/1960 dalam pasal 9 mengemukakan prinsip persamaan hak antara pria dan wanita terhadap hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa sehingga semakin peluang wanita dalam memperoleh hak-hak atas pewarisan dalam keluarga. Sekaligus pergeseran nilai-nilai sosial budaya masyarakat adat Nias dalam pewarisan semakin nyata. 3. Dari hasil penelitian dalam perkembangan kedudukan wanita dalam masyarakat menunjukkan bahwa dalam masyarakat Nias sudah terjadi pergeseran nilai terhadap sosial budaya yang menghimpit kaum perempuan Nias melalui proses perkembangan zaman yang semakin lama semakin terjadi. Harus diakui bahwa tingkat pendidikan kaum perempuan Nias jauh lebih rendah hila dibandingkan pendidikan yang diperoleh kaum laki-laki. Hal ini karena ruang gerak kaum perempuan sangat terbatas, serta pengaruh terhadap system garis keturunan yang dominan adalah laki-laki dalam perolehan warisan dalam keluarga menunjukkan bahwa selama ini prioritas utama adalah laki-laki tetapi sekarang di daerah Kabupaten Nias sudah diperhitungkan perempuan Nias dalam keluarga jadi kedudukan perempuan dalam posisi di tengah-tengah keluarga dalam pembagian harta orang tua telah dapat diperhitungkan berarti wanita Nias telah mampu melalui peran dalam pembangunan sehingga membuka cakrawala pemikiran tokoh-tokoh masyarakat dan orang tua serta keluarga semua pihak. B. Saran 1. Merasa terpanggil mengusulkan agar kedudukan wanita Nias dalam keluarga menjadi topik untuk membuka perbandingan dengan wanita di daerah lain karena sejauh ini, penelitian yang dilakukan mempunyai pengaruh dalam peningkatan kemajuan perempuan untuk melepaskan diri dari system adat yang mengikat ruang gerak kaum perempuan selama ini. 2. Sudah sepantasnya agar Hukum Waris Adat bagi kaum wanita yang system garis Patrilineal perlu ketegasan dalam pembagian harta warisan dengan tidak pemberian secara prihatin atau karena sayang dengan anaknya perempuan bila perlu dibuat Undang-undangnya. DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Parlindungan A.P., Komentar atas UUPA, Penerbit CV. Mandar Madju Bandung 1998. 2. Boedi Harsono, Hukum Agraria lndonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang. Pokok Agraria. isi dan pelaksanaannya, Penerbit Djambatan edisi Revisi 1999.
©2003 Digitized by USU digital library
18
3.
Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dan perundang-undangan Agraria Indonesia" akademika Pressindo, Jakarta 1994. 4. Hj. Bainar, Wacana Perempuan Dalam Ke-Indonesiaan dan Kemodrenan, P.T. Pustaka Eidesindo (UII 1998) 5. Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Republik Indonesia No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM), Penerbit, HARVINDO 2000. 6. UU RI. No. 1. Tahun 1974, tentang UU Perkawinan. 7. Hasil penelitian, Kedudukan Wanita dalam Hukum Kekeluargaan dan Hukum Waris pada Masyarakat Nias 1998. 8. Badan Pusat Statistik Kabuputen Nias, Nias Dalam Angka Nias In Figures, 2000 9. M. Yahya Harahap, 1993, Kedudukan Janda, Duda, dan Anak Angkat dalam Hukum Adat. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 10. Bamoowo Laiya, 1983, Solidaritas kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia. Penerbit Gajah Mada University Press. 11. H.Hilman Hadikusumo,SH., 1993, 23, Hukum Waris, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 12. Rehngena Purba, 1994, Makalah dalam Acara Simposium Hukum Waris lndonesia. 13. Majalah Refleksi No.O4/XVIII/Des/1995, Perempuan ditingkat Global dan lokal.
©2003 Digitized by USU digital library
19