KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK KARO DI DESA AJIBUHARA KECAMATAN TIGA PANAH KABUPATEN TANAH KARO YOPITA ARIHTA Pembimbing I : Ulfiah Hasanah, SH., M.Kn Pembimbing II : Rahmad Hendra, SH., M.Kn Alamat : Jl. Letkol Hasan Basri No. 54 A Pekanbaru Email :
[email protected] ABSTRACT Humans created god in the two types of men and women who have an interest and need each other to form a marital bond to form a family. Inheritance system is one way of transfer of ownership of property and material rights of the heir to the heir. Inheritance law karo society is patrilineal patrilineal, the division of his estate is also distinguished. Legacy that is not moving, such as land, houses given to boys, while the legacy that moves like pakean and gold given to the woman. Giving legacy is the biological child of the testator. While the child who is a foster child inheritance obtained limited to the proceeds of livelihood and excluding inheritance. The existence of a foster child in the middle of the Batak Karo interesting to discuss because if the adoptive parents died boys are entitled to inherit from his adoptive parents. This study is the direct legal research sociological researchers to conduct research on the location completely and clearly about the issues examined by interviewing the head and the Karo Batak Karo Batak people. The result of this study is the first that the village Ajibuhara a foster son has fully inherited the position and rights of property search adoptive parents but are not entitled to inherit treasures like biological children through the procedures and customary provisions applicable. Second, the implementation of village Ajibuhara adoption should be done with the intent to bring the event adatdengan other communities know that there has been no event of adoption of the village. Suggestions of this study is the first, to the people who have adopted children in order to perform all procedures according to customary adoption and inheritance so that the position adopted child becomes clear. Second, the traditional dean Karo Batak society to be more prudent in deciding the adoption community. Keywords: Position Adopted, Heritage, Batak Karo, Customary Law
1 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
A. Latar Belakang Masalah Hukum waris di Indonesia masih bersifat majemuk, masih berlaku 3 (tiga) sistem hukum kewarisan yakni Hukum kewarisan KitabUndang-Undang Hukum Perdata, Islam dan Hukum Adat.1 Hukum Waris Masyarakat Karo adalah masyarakat patrilineal, menurut garis keturunan ayah, maka hukum adat (waris) berdasarkan garis ayah, maka pembagian warisan juga dibedakan, antara anak pria sebagai penerus klen2 dan anak wanita. Menurut hukumadat patrilineal sesungguhnya, ahli waris adalah anak laki-laki tertua dan anak bungsu. Pada masyarakat batak antara keturunan laki-laki dan perempuan dalam pewarisan dalam ketentuan pokoknya hanya anak lakilaki yang mewarisi harta peninggalan bapaknya sedangkan anak perempuan mendapat harta peninggalan berbentuk hibah, yaitu pemberian orang tua sewaktu masih hidup.3 Adanya kemungkinan orang tua belum memiliki anak setelah lama berkeluarga sehingga berusaha mengangkat anak sebagai pengganti anak kandungnya, atau ada orang tua yang ingin mengangkat anak orang lain sebagai bentuk kepedulian sosialmeskipun mereka memiliki anak kandung sendiri.
Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat sifatnya variatif, artinya di suatu daerah mungkin berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya. Pengadilan Negeri pun memberikan penetapan prinsip hukum yang sama pada anak angkat yang dapat menjadi ahli waris terhadap harta warisan orang tua angkatnya, sebagaimana hak-hak dan kedudukan yang dimiliki anak kandung.4 Pengadilan Agama memberikan penetapan yang berbeda terhadap hak waris anak angkat dimana anak angkat tidak diperbolehkan menjadi ahli waris orang tua angkatnya, tetapi anak angkat memperoleh wasiat wajibah dari orang tua angkatnya.5 Pengetua adat di kabupaten karo memberikan pendapat yang berbeda bahwa anak angkat dalam suatu keluarga itu berhak mendapatkan harta warisan yang sama dengan anak kandung, walaupun pada hakikatnya hak waris yang didapat anak angkat hanya sebatas harta hasil mata pencarian tidak termasuk harta pusaka, hal ini telah lama dilakukan oleh masyarakat karo khususnya di Kabupaten Tanah Karo.6 Keberadaan anak angkat ditengah masyarakat adat khususnya adat batak karo, menarik untuk 4
1
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 16 2 Klen Adalah Marga Atau Nama Keluarga,Lihat: B Pasaribu,2003,Adat Batak, Jakarta, Yayasan Obor. Isbn-97998046-0-4, hlm. 46-47. 3 Djaja S. Meliala & Aswin Peranginangin, Op. Cit., hlm. 54
Rahmah Al Hadi, Analisis Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Menurut Kompliklasi Hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitas Riau, 2013, hlm. 54 5 Ibid. 6 Wawancara dengan Rasmi Sinuhaji, Pengetua Adat di Desa Ajiuhara, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Tanah Karo, Propinsi Sumatera Utara, Senin Tanggal 1 September 2013
2 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
dibahas karena apabila orang tua angkat meninggal dunia apakah anak angkat khususnya anak laki-laki dapat diperhitungkan sebagai orang yang berhak mendapat harta waris dari orang tua berupa harta pusaka, dan harta tidak bergerak yang dijaga keberadaannya sebagai milik klen atau penerus marga, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hukum waris masyarakat Batak Karo. Maka penulis mengangkat judul “Kedudukan Anak Angkat dalam Pewarisan Menurut Adat Batak Karo di Desa Ajibuhara Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Tanah Karo” B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Karo di Desa Ajibuhara? 2. Bagaimanakah pelaksanaan pewarisan anak angkat pada masyarakat Batak Karo di Desa Ajibuhara? C. Kerangka Teoritis 1. Hukum Waris Batak Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum
kekeluargaan), dinyatakan oleh Undang-Undang diwarisi oleh ahli warisnya.7 Di Indonesia hukum waris adalah bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau sekelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan, oleh karena sistem garis keturunan yang berbeda, yang menjadi dasar dari sistem sosial suku-suku bangsa atau kelompokkelompok etnik.8 Sistem pewarisan yang ada pada masyarakat adat batak karo adalah sistem pewarisan patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih banyak pengaruhnya daripada kedudukan wanita di dalam pewarisan. Pembagian warisan dalam hukum adat bisa terjadi pada saat hidupnya si pewaris (yang 9 mewariskan). Hal ini sangat bagus untuk menghindari pertentangan dan pertikaian dalam keluarga. Pada hakekatnya subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu : a) Garis pokok keutamaan, b) Garis pokokpenggantian.10 Ketentuan hukum adat waris di Tanah Karo menentukan, bahwa 7
Effendi Perangin,Loc. Cit. Soerjono Soekanto dan Yusuf Usman, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 25-26. 9 R. Badri, Perkawinan Menurut UndangUndang Perkawinan dan KUHP, CV. Amin, Surabaya, hlm. 225. 10 Soejono Soekamto, Op,cit. Halaman 67 8
3 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
hanya keturunan anak laki-laki yang berhak untuk mewarisi harta pusaka. Yang dimaksud harta pusaka atau barang adat yaitu barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian-pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini adalah barang kepunyaan. Misalnya, tanah kering dan hutan. 2. Pengangkatan Anak Menurut penelitian dalam lingkungan hukum adat Batak Karo bahwa seorang anak angkat laki-laki sepenuhnya mempunyai kedudukan dan hak mewarisi atas harta benda peninggalan orang tua angkatnya. Pada masyarakat Karoanak berfungsi untuk mempertahankan dan mempererat hubungan kekeluargaan dengan kalimbubu dan anak beru. Anak laki-laki diharapkan akan meneruskan ikatan hubungan dengan kalimbubu, sementara anak perempuan mengikat kekeluargaan dengan anak beru. Oleh karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari, ada kalanya suami-istri yang tidak mempunyai anak mengangkat anak orang lain menjadi anaknya. Cuma supaya seseorang anak dianggap sah oleh kerabat dan masyarakat adat sebagai anak angkat maka harus melalui tata cara dan ketentuan peradatan sebagai saluran hukum perpindahan anak dari status semula dan pengukuhannya dalam keluarga baru yang mengangkatnya. Dalam masyarakat Karo dikenal tiga macam/bentuk pengangkatan anak yaitu : a. Anak angkat Yaitu mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri melalui upacara adat karo. b. Anak anduh
Adalah anak pelihara, dimana anak salah seorang saudara diambil untuk dipelihara, dengan tujuan memancing lahirnya anak dalam keluarga tersebut. c. Perkuanak Adalah orang yang sudah besar, kemudian diakui sebagai anak. D. Kerangka Konseptual Adapun kerangka konseptual yang mendukung dalam hal penulisan ini adalah : 1. Ahli Waris adalah seorang atau beberapa orang yang menerima harta warisan.11 2. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.12 3. Pewaris adalah seseorang meninggalkan harta warisan.13 4. Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan yang benar-benar hidup dimasyarakat adat itu, maupun 11
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, CV. Rajawali, 1983, hlm. 288. 12 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, No. 23 Tahun 2002, LN No.109 Tahun 2002,TLN No. 4235 13 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Loc. Cit.
4 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah yang terdiri dari lurah, penghulu agama, pembatu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.14 E. Metode Penelitian Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian hukum sosiologis, penelitian hukum sosiologis dapat berupa penelitian yang hendak melihat korelasi antara hukum dengan masyarakat, yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat. 2. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang penulis dapatkan/peroleh secara langsung melalui responden dengan cara melakukan penelitian di lapangan mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan masalah yang diteliti. b. Data Sekunder 1) Bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan dan KUH Perdata
14
Bushar Muhammad, Op. Cit., hlm. 27
yangberkaitan dengan masalah penelitian. 2) Bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar. 3) Bahan hukum tertieryang diperoleh melalui kamus dan ensiklopedi yang mendukung dari data primer dan sekunder dalam penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentudalam hal ini wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh keterangan-keterangan yang jelas. Teknik pelaksanaan wawancara adalah dengan wawancara tidak berencana (tidak berpatokan), yakni penulis dalam mengajukan pertanyaan tidak terikat pada aturan-aturan yang ketat.Alat yang digunakan adalah pedoman wawancara yang memuat pokok-pokok yang ditanyakan. b. Studi Kepustakaan Mengkaji, menelaah dan menganalisis berbagai literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang sesuai dengan permasalahan penelitian. 5
JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
4. Lokasi Penelitian Penelitian hukum ini mengambil lokasi di Desa Ajibuhara, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Tanah Karo Sumatera Utara karena penulis mengangkat judul di lokasi tersebut dimana penelitian pewarisan anak angkat menggunakan koresponden dari Masyarakat Karo. 5. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah : 1) Pengetua adat (ketua adat) Desa Ajibuhara Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Tanah Karo Sumatera Utara. 2) Masyarakat yang melakukan pengangkatan anak di Desa Ajibuhara Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Tanah Karo Sumatra Utara. Sample ditetapkan melalui metode purposive dimana kategori yang ditetapkan oleh peneliti sendiri. 6. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif yaitu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku nyata yang akan diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. Dari pembahasan tersebut, akan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang bersifat umum kepada khusus. Unsur-unsur hukum waris KUHPerdata :15
1) Pewaris Adalah orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaan. 2) Ahli waris Adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris. 3) Harta warisan Adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada ahli waris. Keseluruhan kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama ahli waris disebut boedel. Syarat umum pewarisan salah satunya pada buku kedua KUHPerdata, yaitu:16 a. Ada orang yang meninggal dunia. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Kematian ini adalah kematian alamiah wajar. b. Untuk memperoleh harta peninggalan ahli waris harus hidup pada saat pewaris meninggal. Menurut Pasal 836 KUHPerdata, untuk bertindak sebagai ahli waris, si ahli waris harus hadir pada saat harta peninggalan jatuh meluang (warisan terbuka).17 Aturan Pasal 2 ayat 2 KUHPerdata, mengenai bayi dalam kandungan ibu, dianggap sebagai subjek hukum, dengan syarat :18 a. Telah dibenihkan; 16
Ibid., hlm. 14 Ibid. 18 Ibid. 17
15
Ibid.
6 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
b. Dilahirkan hidup; dan/atau c. Ada kepentingan yang menghendaki. Ada suatu keadaan dimana seseoarang tidak dapat mengetahui saat yang tepat kapan seseorang meninggal dunia demikian pula tidak secara tepat diketahui apakah seorang ahli waris hidup pada saat sipewaris meninggal dunia. Hal ini terjadi apabila sipewaris dan ahli waris meninggal dalam keadaan yang sama.19 Pasal 831 KUHPerdata menentukan : “ jika beberapa orang, dimana yang satu dipanggil sebagai ahli waris dari yang lain, meninggal dunia dalam kecelakaan yang sama atau pada hari yang sama tanpa diketahui mana yang meninggal lebih dahulu maka diadakan dugaan bahwa mereka meninggal pada saat yang sama, sehingga tidak ada peralihan harta peninggalan dari yang satu kepada yang yang lain.” Prinsip umum pewarisan: 20 1. Pada asasnya yang dapat beralih pada ahli waris hanya hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan saja. 2. Dengan meninggalnya seseorang, seketika itu segala hak dan kewajiban pewaris beralih pada ahli warisnya (hak saisine). Hak saisine berarti berarti ahli waris demi hukum memproleh kekayaan pewaris tanpa menuntut penyerahan. Berkaitan dengan hak 19 20
Ibid.,hlm.15 Ibid., hlm. 15-16.
saisine juga dikenal heriditatis petitio, yaitu hak ahli waris untuk menuntut, khusus berkaitan dengan warisan. 3. Yang berhak mewaris pada dasarnya adalah keluarga sedarah dengan pewaris. 4. Pada asasnya harta peninggalan tidak boleh dibiarkan dalam keaadan tidak terbagi Pasal 1066 KUHPerdata. 5. Pada asasnya setiap orang, termasuk bayi yang baru lahir, cakap mewaris, kecuali mereka yang dinyatakan tak patut mewaris Pasal 838 KUHPerdata. Pasal 838 KUHPerdata mengatur tentang orang-orang yang tidak patut yang menjadi ahli waris onwaardig sebagai berikut:21 1. Orang yang telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris dalam hal ini sudah ada keputusan hakim, akan tetapi jika sebelum keputusan hakim itu dijatuhkan, sipembunuh telah meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat menggantikan kedudukannya. Pengampunan (grasi) tidak menghapuskan keadaan “tidak patut mewaris”. 2. Orang yang dengan keputusan hakim pernah dipersalahkan memfitnah sipewaris, berupa fitnah dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih berat. Dalam hlm ini harus ada keputusan hakim yang menyatakan, bahwa yang bersangkutan bersalah karena memfitnah. 3. Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah sipewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya. 21
Effendi Perangin, Op. Cit., hlm. 10
7 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
4. Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris. F. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Angkat 1. Pengertian Anak Angkat Mengenai defenisi adopsi, terdapat beberapa sarjan yang telah memberikanpendapatnya, diantaranya adalah Surojo Wigjodiporo, menurut beliau adopsi adalahsuatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikianrupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut/diangkatitu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tuadan anak kandungnya sendiri.22 Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan ataukesayangan”.23 2. Syarat Pengangkatan Anak Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan anak adalah sebagai berikut: a. Mendapat persetujuan dari orang tua kandung calon anak angkat. b. Keadaan kemampuan ekonomi orang tua yang akan mengangkat anak sangat memungkinkan dalam arti bahwa mereka nantinya dapat menjamin kehidupan masa depan anak angkatnya sehingga anak tersebut tidak terlantar hidupnya. 22
Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1973, hal. 123 23 Tamakiran, Asas-Asas Hukum
Waris, Puionir jaya, Bandung, 1972, hal 32
c. Apabila anak yang akan diangkat itu dapat berbicara dan mengerti maka harus ada persetujuan dari anak itu sendiri. d. Mampu merawat, mendidik, magasuh, maupun memenuhi keutuhan hidup anak angka tersebut. e. Bersedia untuk memperlakukan anak angkat seperti anak kandung sendiri. Menurut Undang-Undang terdapat 2 cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu sebagai berikut :24 a. Secara Ab Intestato (ahli waris menurut Undang-Undang) dalam Pasal 832 KUHPerdata. Menurut ketentuan Undang-Undang ini, yang berhak menerima bagian waarisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun diluar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini dibagi dalam 4 golongan yang masingmasing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua,ketiga dan golongan keempat. b. Secara Testamentair ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat testamen dalam Pasal 899 KUHPerdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testamen. B. Hukum Waris 1. Pengertian Hukum Waris Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban di antara anggota masyarakat khususnya bidang keluarga. Soepomo menjelaskan 24
Effendi Perangin, Op. Cit., hlm. 4
8 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
bahwa hukum waris memuat peraturan yang mengatur proses penerusan serta peralihan barang berwujud dan barang tidak berwujud dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.25 Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh Undang-Undang diwarisi oleh ahli warisnya.26 Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Jadi harta peninggalan baru terbuak jika sipewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.27 Dengan perkataan lain para ahli waris mengisi kekosongan yang terjadi karena kematian, satu dan lain dalam konteks subjek-subjek hukum.28 25
F. Satriyo Wicaksono, Hukum Waris : Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan, Visi Media, Jakarta, 2011, hlm. 2 26 Effendi Perangin,Loc. Cit. 27 Ibid. 28 M.J.A. van Mourik, Studi Kasus Hukum Waris, PT. Eresco, Bandung, 1993, hlm. 1
Disamping para ahli waris masih pula ada pihak-pihak lain yang dapat memperoleh sesuatu atas kekuatan hukum waris. Pihak tertentu yang berdasarkan wasiat pewaris, diberi hak atas suatu benda tertentu, disebut penerima hibah wasiat atau legataris. Dengan demikian sang legataris memiliki hak tagih terhadap para ahli waris. Perolehan legataris tersebut berlangsung atas kekuatan hukum waris.29 Menurut Undang-Undang terdapat 2 cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu sebagai berikut :30 a. Secara Ab Intestato (ahli waris menurut Undang-Undang) dalam Pasal 832 KUHPerdata. Menurut ketentuan Undang-Undang ini, yang berhak menerima bagian waarisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun diluar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini dibagi dalam 4 golongan yang masingmasing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua,ketiga dan golongan keempat. b. Secara Testamentair ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat testamen dalam Pasal 899 KUHPerdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testamen. 2.
Hukum Waris Adat Batak Karo Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang 29 30
Ibid. Effendi Perangin, Op. Cit., hlm. 4
9 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu : a) Garis pokok keutamaan, b) Garis pokok 31 penggantian. Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongangolongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari pada golongan yang lain. Garis pokok pengganti adalah hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara orang-orang didalam kelompok orang-orang keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Pada kenyataanya pendapat yang dikemukakan diatas hanya menunjukan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusastraan klasik Karo kaum wanita tidak kalah perannya dibandingkan laki-laki. Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat Karo.32 3. Pengangkatan Anak Pengangkatan anak atau adopsi adalah lembaga hukum adat WNI golongan timur asing tionghoa. Dalam KUHPerdata tidak ada ketentuan tentang lembaga itu. Anak angkat adalah suatu perbuatan hukum dalam konteks hukum adat kekeluargaan (keturunan). Apabila 31
67
32
Soejono Soekamto, Op,cit. Halaman
Wawancara dengan Rasmi Sinuhaji, Pengetua Adat di Desa Aji Buhara, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Tanah Karo, Propinsi Sumatera Utara, Senin Tanggal 1 September 2013
seseorang anak telah diangkat sebagai anak angkat, maka dia akan didudukkan dan diterima dalam suatu posisi yang dipersamakan baik biologis maupun social yang sebelumnya tidak melekat pada anak tersebut. Dalam masyarakat Karo dikenal tiga macam/bentuk pengangkatan anak yaitu : d. Anak angkat Yaitu mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri melalui upacara adat karo yakni: 1) Belum ada anak Bila belum ada anak kandung, maka upacara pengesahannya dilakukan dengan perkahkah bohan. Anak itu akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. 2) Sudah ada anak Adakalanya juga pengangkatan anak itu dilakukan, walaupun sudah ada anak kandung. Misalnya, karena belum mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan. Dalam keadaan demikian pengangkatannya tidak dilakukan dengan perkakah bohan. Anak itu hanya sebagai ahli waris terbatas sepanjang harta gono-gini kedua orang tua angkatnya. e. Anak anduh Adalah anak pelihara, dimana anak salah seorang saudara diambil untuk dipelihara, dengan tujuan memancing lahirnya anak dalam keluarga tersebut. Menurut adat Karo 10
JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
anak anduh bukan menjadi ahli waris dari orangtua anduh-nya tersebut. Akan tetapi, apabila kemudian juga tidak ada lahir anak dalam keluarga itu, maka kedudukannya dapat ditingkattkan menjadi anak angkat dengan mengadakan upacara perkahkah bohan yang dihadiri oleh sembuyak, kalimbubu, anak beru. f. Perkuanak Adalah orang yang sudah besar, kemudian diakui sebagai anak. Ini banyak terjadi sekarang ini misalnya Karena tidak kawin dengan putri kalimbubu atau dengan putra anak beru. Kemudian istri atau suami yang berasal dari Suku Karo itu diakui sebagai putri kalimbubu atau putra anak beru. Untuk itu, biasanya diadakan runggun (musyawarah) adat yang dihadiri oleh Sembuyak, Senina, Sepemeren33, Separibanen34, Kalimbubu, dan Puang Kalimbubu35, Anak Beru36 dan Anak Beru Menteri37.
33
Sepermen adalah orang-orang yang bersaudara karena ibu mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama, Lihat : Ibid., hlm. 47 34 Separibanen adalah orang-orang yang bersaudara karena istri mereka bersaudara (sembuyak) atau beru istri mereka sama, Lihat : Ibid., hlm. 47 35 Puang Kalimbubu yaitu kalimbubu dari kalimbubu, Lihat : Ibid., hlm. 54 36 Anak Beru adalah perempuan dan dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari keluarga (merga) tertentu, Lihat : Ibid., hlm. 47 37 Anak Beru Mentri adalah anak beru dari anak Anak Beru, Lihat : Ibid., hlm. 50
Adapun tata cara dan ketentuan pengangkatan anak dalam adat Karo adalah sebagai berikut :38 a. Upacara pengangkatan harus dilakukan dalam suatu Runggun Adat sangkep si telu (di hadapan anak beru, senina dan kalimbu) dan pengangkatan harus mendapat persetujuan dari mereka. b. Dalam upacara adat pengangkatan harus ada jamuan makan yang disebut perkahkah bohan, yaitu suatu pesta jamuan makan yang lauk-pauknya terdiri atas sayursayuran bercampur daging yang dimasak dalam bumbu muda (bohan=bumbu muda bekas tempat memasak). Selesai upacara jamuan makan, dua buah bamboo muda bekas tempat masakan tadi dipukulkan keras-keras agar bunyinya yang nyaring didengar khayalak ramai atau para hadirin dalam perjamuan makan tersebut. c. Setelah pengumuman pemberian marga yang diikuti pengakuan bebere (kemenakan) dari pihak saudara laki-laki ibu angkat, serentak dengan itu pula pihak kalimbumbu menyerahkan kain perembah (semacam kain selendang) sebagai simbolik penggendong anak yang diresmikan. Demikian pula puang kalimbumbu menyerahkan kainndawa (semacam kain ulos selimut sebagai simbolik perlindungan kepada anak). d. Kepada pihak anak beru diberikan sekedar uang atau barang oleh pihak pengangkat anak sebagai permintaan agar anak beru mempermakani atau menjaga anak 38
Lulik Djatikumoro, Hukum Pengangkatan Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 71
11 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
tadi supaya tumbuh menjadi sehat dan besar. Demikian juga kepada kepala kampung diberikan sejumlah uang oleh ayah angkat sebagai pemberitahuan bahwa anak itu adalah anggota keluarga yang sah dari ayah angkat.
BAB III Pelaksanaan Pewarisan Anak Angkat pada Masyarakat Batak Karo di Desa Ajibuhara. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan kepada responden, dalam hal proses pembahagian harta warisan dalam masyarakat adat Batak Karo di Desa Ajibuhara, Harta apa saja yang diperoleh Anak Angkat di Desa Ajibuhara, dan berapa bagian harta yang didapat anak angkat di Desa Ajibuhara tersebut, yaitu : 1) Proses Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Anak Angkat di Desa Ajibuhara Kecamatan Tiga Panah Proses pelaksanaan pembagian harta warisan anak angkat di Desa Ajibuhara Kecamatan Tiga Panah itu dilakukan dengan cara Musyawarah para waris dimana, Cara ini sangat banyak digunakan pada penduduk setempat di tempat saya melakukan penelitian. Cara yang digunakan adalah para ahli waris (orang tua angkat ) dalam membagikan harta warisan dengan melakukan musyawarah terlebih dahulu atas bahagian-bahagian yang akan dibagi kepada para waris. Dalam hal ini, semua anak angkat mendapat bahagian yang sama besar bahagiannya seperti anak kandung
dan biasanya mereka juga memberikan bahagian kepada anak perempuan yang bahagiannya lebih kecil dari anak laki-laki kandung maupun anak angkat. Biasanya dalam musyawarah tersebut, hanya anak laki-laki ataupun anak Angkat laki-laki dari keturunan ayahnya saja yang membagikan harta warisan tersebut. 2) Harta yang diperoleh Anak Angkat dalam mewarisi harta Orangtua Angkatnya di Desa Ajibuhara Kecamatan Tiga Panah Menurut Rasmi Sinuhaji salah satu pengetua adat yang ada didesa Ajibuhara, bahwa harta warisan yang diperoleh untuk anak angkat itu sama saja seperti hal nya anak kandung pada Batak Karo itu dimana tidak ada perbedaan dalam proses pembagian nya, tetapi anak angkat hanya bisa mendapatkan harta pencarian bersama dari orang tua angkatnya dimana disebut “erta bekas encari” dimana harta ini diperoleh orang tua angkatnya selama perkawinan. Harta waris menurut hukum adat Batak Karo di Ajibuhara adalah keseluruhan harta kekayaan pewaris, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Barang–barang yang berwujud dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: 1. Barang jabu (harta rumah) 2. Barang darat (barang diluar rumah) 3) Bagian-bagian harta warisan kepada anak angkat dan anak kandung secara tradisi di Desa Ajibuhara Kecamatan Tiga Panah yakni ; Maksud pembahagian warisan secara tradisi yang sudah ditetapkan 12
JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
adalah pembahagian warisan yang ada di desa Ajibuhara tersebut sudah menjadi tradisi dan sudah ditetapkan bahagian haknya, yaitu: 2/3 untuk semua anak laki-laki termasuk juga bagian untuk anak angkat dan 1/3 untuk semua anak perempuan dari seluruh harta si pewaris ini berlaku juga untuk pembagian kepada anak angkatnya. Dalam hal ini, harta warisan yang didapat anak angkat dan anak kandung perempuan bukan lagi berupa pemberian melainkan sudah menjadi hak anak perempuan untuk mendapatkannya. Contoh : bila dalam suatu keluarga terdiri dari 2 (dua) orang anak laki dan 2 (dua) orang anak perempuan maka bahagian untuk 2 (dua) orang anak laki-laki adalah 2/3 bahagian dan untuk bahagian 2 (dua) orang anak perempuan mendapat 1/3 bahagian. Jadi setiap anak laki-laki memperoleh 2/6 bahagian dan setiap anak memperoleh 1/6 bahagian. Biasanya dalam pembahagian ini, besar bahagian untuk anak laki-laki sama besar bahagian diantara anak laki-laki tersebut dan besar bahagian untuk anak perempuan sama besar bahagian diantara anak perempuan tersebut. Hal ini berlaku juga untuk anak angkat tetapi anak angkat tersebut hanya mendapatkan warisan berupa harta pencarian dari orangtua angkatnya, bukan berupa harta pusaka.
G. Kesimpulan 1. Anak laki-laki yang sah merupakan ahli waris dalam masyarakat adat Batak Karo terhadap seluruh harta kekayaan baik harta pencarian maupun harta
pusaka. Sedangkan kedudukan anak angkat di desa Ajibuhara merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti hal nya anak sah, namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta pencarian/ harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka anak laki-laki tidak berhak. Hal ini didasari pada adat Batak Karo yang menaruh harapan kepada anak khususnya anak lakilaki untuk dapat menerusukan ikatan hubungan dengan kalimbubunya, sehingga pengangkatan anak dianggap wajar untuk dilakukan. 2. Pelaksanan pewarisan pada anak angkat di desa Ajibuhara harus dilakukan dengan melalui proses adat, dimana hal itu dilakukan supaya masyarakatmasyarakat lain mengetahui bahwa telah ada acara pengangkatan anak di desa tersebut. Pelaksanaan pewarisan pada anak angkat di desa Ajibuhara dilaksanakan dengan cara pembahagian harta warisan dalam masyarakat adat Batak Karo di Ajibuhara, ada dua cara pembahagian, yaitu : a) Musyawarah para waris. b) Pembahagian warisan secara tradisi yang sudah ditetapkan. Dimana Anak angkat Di Batak Karo itu hanya mendapatkan harta pencarian dari orang tua yang 13
JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
mengangkatnya 2/3 bagian untuk laki-laki dan 1/3 bagian untuk perempuan dimana pembagian warisan itu dilakukan setelah orangtuanya meninggal dunia dan masih hidup tergantung kesepakatan masing-masing. H. Saran 1. Kepada masyarakat yang memiliki anak angkat agar melakukan semua prosedur pengangkatan anak supaya kedudukan anak angkat tersebut jelas kedudukan dan pembagian warisannya. 2. Kepada pengetua adat agar lebih bijaksana dalam menetapkan pengangkatan anak melalui musyawarah para waris ataupun pembagian warisan secara tradisi karena hal lain berkaitan dengan status dan pembagian warisan bagi anak angkat tersebut. I. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ali, Zainuddin , 2008, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Amanat, Anisitus, 2003, Membagi Warisan Berdasarkan PasalPasal Hukum Perdata BW, Rajawali Pers, Jakarta. Ashshofa, Burham, 2000, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Budiono, Abdul Rachmad, 1999, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hadikusuma, Hilman, 2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Meliala, Djaja S dan Aswin Peranginangin, 1978, Hukum Perdata Adat Karo dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Tarsito, Bandung. Mourik, M.J.A Van, 1993, Studi Kasus Hukum Waris, PT Eresco, Bandung. Muhhammad, Bushar, 1981, AsasAsas Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta. Pasaribu, B, 2003, Adat Batak, Yayasan Obor, Jakarta. Perangin, Effendi, 2010, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Prints, Darwan, 2004, Adat Karo, Bina Media Printis, Medan. Sjahrif, Surini Ahlan dan Nurul Ilmiah, Hukum Kewarisan Perdata Barat : Pewarisan Menurut Undang-Undang, Kencana, Jakarta. Soemadibingrat, H.R. Otje, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT Alumni, Bandung. Soepomo, 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta. Usman, Suparman, 1993, Ikhtisar Hukum Waris : Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Darul Ulum press, Serang. Wicaksono, Satriyo, F , 2011, Hukum Waris : Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan, Visi Media, Jakarta. B. Jurnal Rahmah Al Hadi, 2008-2009, Analisis Wasiat Wajibah Terhadap 14
JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015
Anak Angkat Menurut Komplikasi Hukum Islam, Program S1 Fakultas Hukum, Universitas Riau. C. Peraturan Perundang-Undangan Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cet. 39, Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109) Undang-Undang Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 123)
15 JOM FAKULTAS HUKUM VOLUME II NO. 1 Februari 2015