PERKAWINAN DINI DI KECAMATAN DEPOK KOTA YOGYAKARTA Oleh: Akh. Syamsul Muniri Alamat: Perumahan Bougenville Regency No. A 14 Lowok Waru Malang Email:
[email protected]
Abstrak Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah semestinya selaras dengan peraturan lainnya. Namun, kenyataannya terdapat ketidakselarasan mengenai usia perkawinan antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penelitian ini mengkaji tentang seseorang yang melakukan perkawinan usia 16 tahun dan 18 tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan berupa studi lapangan atau studi kasus. Data yang diambil hanya berupa data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui hasil observasi dan wawancara terhadap seseorang yang menikah di usia 16 tahun dan 18 tahun sekitar tahun 2002 di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang menikah usia 18 tahun secara psikis lebih matang kepribadiannya sehingga lebih bahagia dan kekal dibandingkan orang yang menikah usia 16 tahun. Oleh karena itu, tingkat pencapaian tujuan perkawinan bagi orang yang menikah usia 16 tahun tidak tercapai, sedangkan bagi orang yang menikah usia 18 tahun tercapai walaupun masih kurang maksimal. Dengan hasil penelitian ini maka usia minimal 16 tahun untuk dibolehkan melakukan perkawinan bagi wanita dalam Undang-Undang Perkawinan harus direvisi agar tercapai tujuan perkawinan. Abstract Regulations made by the government should be in harmony with other rules. In fact, there are inconsistencies in case of age of marriage within Act No. 23 of 2002 on Child Protection and the Law No. 1 of 1974 on Marriage. This study examines the person who did the marriage age of 16 years and 18 years. This study used a qualitative approach and field studies or case studies. Data were taken only in the form of primary data obtained directly from the people through observations and interviews with someone who was married at the age of 16 years and 18 years around 2002 in Depok, Sleman. The results showed that married people age 18 psychologically more mature personality, happier and eternal than married people age 16 years. Therefore, the level of achievement of the goals of marriage for people in the age of 16 years less achieved. Meanwhile, for people who married in the age of 18 years old could reach the aim although still far from maximum. With these results it is at least 16 years of age are allowed to perform marriages for women under the Marriage Act should be revised in order to achieve the purpose of marriage. Kata kunci: perkawinan dini, undang-undang perkawinan, undang-undang perlindungan anak
1
Pendahuluan Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah semestinya selaras dengan peraturan lainnya. Ada peraturan yang tidak sinkron di negara ini. Peraturan yang satu membolehkan, tetapi peraturan yang lain menafikan atau tidak membolehkan. Terkadang peraturan yang satu pengertiannya adalah ini, sedangkan peraturan lain pengertiannya itu. Dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat kontroversi dalam masalah batasan usia untuk melaksanakan perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan (UUP) menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dari kedua undang-undang tersebut maka seorang wanita yang ingin melakukan perkawinan pada usia 16 tahun akan terjerat oleh Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai pelanggaran hak anak. Dalam perspektif Komnas Perlindungan Anak, pernikahan di bawah usia 18 tahun melanggar hak anak untuk tumbuh dan berkembang, bersosialisasi, belajar, dan menikmati masa anak-anaknya. Undang-Undang perlindungan anak maupun undang-undang perkawinan merupakan hasil kompromi antara fraksi-fraksi yang terdapat dalam DPR RI. sebagai hasil kompromi tentu isinya tidak sepenuhnya memuaskan semua golongan, sehingga perlu adanya koreksi kembali oleh masyarakat, ahli-ahli hukum, badan-badan peradilan, dan lembaga legislatif jika terjadi persoalan-persoalan konkret yang memerlukan pemecahan. Perkembangan hukum keluarga dalam masyarakat kontemporer di beberapa dunia Islam termasuk Indonesia telah menentukan batas umur untuk dapat melangsungkan perkawinan, dan tentunya menurut kondisi negara masing-masing. Misalnya, Yaman Selatan menentukan lima belas tahun untuk pria dan wanita. Aljazair menentukan duapuluh satu tahun untuk pria dan delapan belas tahun bagi wanita. Irak menentukan delapanbelas tahun untuk pria dan wanita dan seterusnya. Penentuan bervariasi menurut kondisi Negara. 1 Sedangkan Indonesia enambelas tahun bagi perempuan dan sembilanbelas tahun bagi laki-laki. Dari ketentuan tersebut, bisa jadi sewaktu-waktu akan mengalami perubahan karena masyarakat yang dinamis akan selalu berkembang sehingga perubahan tidak dapat dihindari. Masalah usia yang ditentukan dalam undang-undang perkawinan, bagi Pemerintah Indonesia merupakan pengembangan hukum keluarga muslim tradisional yang terdapat dalam kitab-kitab fikih berbagai mazhab, sehingga patokan pada mimpi basah dan menstruasi tidak lagi dijadikan pedoman, tetapi usia yang telah ditentukan oleh undang-undang merupakan tuntutan masyarakat modern saat ini. Hal tersebut dilakukan mungkin dalam realita masyarakat banyak pernikahan dini (usia muda) tidak bahagia karena terjadi perselisihan atau pertengkaran yang menyebabkan perceraian. Sebab, walaupun secara biologis sebenarnya mampu, tetapi secara psikis dan ekonomis masih belum mampu. Lahirnya undang-undang perlindungan anak tidak terlepas dari hak asasi manusia karena Indonesia mengakui dan menjungjung tinggi setiap hak asasi manusia. Menurut Komnas Perlindungan Anak, seseorang yang masih berusia di bawah 18 tahun dianggap sebagai usia anak-anak yang harus dilindungi oleh keluarga, masyarakat, dan negara dalam hal kekerasan, diskriminasi, pemaksaan, perkembangan anak, dan lain sebagainya. Namun disisi lain, seorang anak yang menikah di usia dini (muda) 1
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 97.
2
khususnya perempuan seringkali terjadi dalam masyarakat. Mereka menikah di usia muda mungkin lebih merasa aman, tentram, dan sejahtera dalam hidupnya. Dengan lahirnya undang-undang perlindungan anak maka batas usia 16 tahun dalam undang-undang perkawinan perlu dikaji kembali dalam masyarakat. Undangundang perkawinan yang menentukan batas usia minimal untuk perempuan dibolehkan melakukan perkawinan saat umur 16 Tahun merupakan pelanggaran yang dilegalkan oleh undang-undang, sebab usia 16 tahun bagi perempuan berarti termasuk usia anak-anak menurut undang-undang perlindungan anak. Tujuan perkawinan dalam perspektif undang-undang perkawinan adalah untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Adanya kata ketuhanan yang Maha Esa berarti secara tegas menyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga mempunyai unsur batin/rohani. Dalam perspektif undang-undang perkawinan, perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan jasmani saja, tetapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih substansial dan berdimensi jangka panjang.2 Dalam psikologi perkembangan, umur 16 dan 18 tahun tergolong masa remaja. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.3 Dengan demikian, maka umur 16 tahun termasuk pada golongan masa remaja pertengahan. Sedangkan usia 18 merupakan masa peralihan dari masa remaja pertengahan menuju masa remaja akhir. Pada usia remaja awal, perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung/marah atau mudah sedih/murung). Sedangkan remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya. Remaja empat belas tahun seringkali mudah marah, mudah terangsang, dan emosinya cenderung meledak, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja enam belas tahun mereka tidak mempunyai keprihatinan. Jadi, adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.4 Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosioemosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Apabila lingkungan tersebut cukup kondusif, dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling manghargai, dan penuh tanggung jawab maka remaja cenderung dapat mencapai kematangan emosionalnya. Sebaliknya, apabila kurang dipersiapkan untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua atau pengakuan dari teman sebaya, mereka akan cenderung mengalami kecemasan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional.5
2
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 45-46. 3 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 190. 4 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 197. 5 Ibid., hlm. 197.
3
Hak-Hak Anak dalam Keluarga, Masyarakat, dan Negara Pengertian tentang hak anak dipahami sebagai suatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang dilengkapi dengan kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh sistem hukum atau tertib hukum kepada anak yang bersangkutan.6 Dalam diri anak, hal yang paling mendasar kebutuhan anak itu adalah kasih sayang. Hubungan emosional yang amat dekat dan penuh kemesraan ibu menjadi taruhan survival anak memasuki dunia kehidupan. Bahkan hubungan itu telah terbentuk sejak dalam kandungan. Sedemikian dekatnya unsur cinta kasih itu, sehingga tempat janin dalam bahasa arab, disebut rahm (rahim, secara etomologis berarti cinta kasih). 7 Usaha penumbuhan dan peningkatan pertumbuhan oleh orang tua bagi anaknya tidak hanya terbatas segi fisik semata-mata. Oleh karenanya, seorang anak harus mendapatkan kasih sayang mulai dari keluarganya, masyarakatnya, negara, dan bangsanya. Sangat disayangkan, banyak keluarga yang tidak mencukupi kasih sayang terhadap anaknya. Banyak anak yang jatuh menjadi korban kebodohan orang tua dan ketidaktahuan mereka akan kenyataan yang penting itu, karena buruknya keadaan atau lingkungan hidupnya yang menyebabkan hancur kejiwaannya akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan kasih sayang. Kebutuhan akan kasih sayang merupakan kebutuhan pertama yang ingin dipenuhi oleh anak. Anak memerlukan suatu perasaan kasih sayang yang memberikan kehangatan baginya. Berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan ketika anak lahir ia berpindah dari temperatur yang stabil dan jauh dari berbagai pengaruh, kepada kehidupan di luar rahi, yang panasnya berubah-ubah dan berbagai pengaruh yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Oleh karena itu, ia memerlukan suatu pengganti yang mencakup pemeliharaan, kasih sayang, perasaan hangat, dan santun.8 Fakta menunjukkan akhir-akhir ini anak menghadapi berbagai permasalahan. Anak tidak nyaman di jalan. Menurut data Ditlantas Metro Jaya 2006 dari 1.128 korban meninggal karena kecelakaan lalu-lintas, 20 persennya adalah anak. Meningkatnya persentase anak dengan gizi buruk dari 8,3 persen menjadi 10,1 persen atau dari 1,8 juta di tahun 2004 menjadi 2,3 juta di tahun 2006. Bidang pendidikan, Angka Partisipasi Murni (APM) SD 95 persen dan APM 67 persen atau 28 persen putus sekolah. Dengan demikian, pantaslah rendah kualitas pendidikan Indonesia, sehingga rata-rata anak Indonesia bersekolah 6,7 tahun. Hal ini disebabkan tingginya angka kawin muda, yaitu 34,3 persen.9 Dalam masyarakat ada praktik perjodohan terhadap anaknya, biasanya anak sejak kecil sudah dijodohkan oleh orang tuanya, bahkan menikah secara sirri di usia muda. Menurut penelitian Indraswari, pada umumnya pelaku kawin muda untuk pertama kalinya menjelang akil balig atau segera setelah akil balig. Dalam penelitian lapangan ditemukan sebagian besar responden menikah muda karena desakan keluarga (orang tua). Dilihat dari latar belakang keluarga asal (orang tua), sebagian besar responden berasal dari keluarga yang berpendidikan rendah, berpenghasilan rendah, dan sejak lama menerapkan praktik kawin muda. 10 Dengan adanya praktik kawin muda melalui perjodohan, berarti secara tidak sadar orang tua telah merampas hak anak dalam memilih pasangan hidupnya. Dari kasus di atas, seharusnya anak bebas berpendapat termasuk memilih pasangan hidupnya. Orang tua harus dapat menghargai pendapat anak sebagaimana 6
Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 29. 7 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religious, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 84. 8 Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa; dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat Alih Bahasa, Zakiah Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 56. 9 Tb. Rachmat Sentika, Peran Ilmu Kemanusiaan dalam Meningkatkan Mutu Manusia Indonesia melalui Perlindungan Anak, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 11, 6, Agustus 2007, hlm. 233. 10 Indraswari Dkk, Menakar “Harga” Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 137.
4
prinsip hukum perlindungan anak, yaitu penghargaan terhadap pendapat anak. Asas penghargaan terhadap anak adalah penghormatan atas hak-hak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika keputusan tersebut menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.11 Dalam konteks perlindungan anak, sebagai implementasi hak-hak anak, Irwanto menyebutkan beberapa prinsip perlindungan anak. Pertama, anak tidak dapat berjuang sendiri. Kedua, anak sebagai generasi penerus dan modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa, dan keluarga sehingga hak-haknya harus dilindungi. Ironisnya, ternyata anak tidak dilindungi hak-haknya. Banyak pihak terlalu berkuasa yang harus dia lawan sendiri. Karena negara dan masyarakat berkepentingan akan mutu warganya, maka negara harus ikut campur dalam urusan perlindungan hakhak anak. Ketiga, kepentingan terbaik anak (the best interest of the child). Agar perlindungan anak terselenggara dengan baik maka perlu dianut sebuah prinsip bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip the Best Interest of the Child digunakan karena dalam banyak hal anak adalah korban, termasuk korban ketidaktahuan (ignorance) karena usia perkembangannya. Selain itu, tidak ada kekuatan yang dapat menghentikan tumbuh kembang anak. Jika prinsip ini diabaikan maka masyarakat akan menciptakan monster yang lebih buruk di kemudian hari. Keempat, ancangan daur kehidupan (life-circle approach). Perlindungan terhadap anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin yang berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik bagi ibunya. Jika ia telah lahir maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan kesehatan primer yang memberikannya pelayanan imunisasi dan lain-lain, sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan cacar dan penyakit. Anak dalam masa prasekolah dan sekolah diperlukan keluarga, lembaga pendidikan dan lembaga sosial, keagamaan yang bermutu. Inilah periode kritis dalam pembentukan kepribadian seseorang. Anak harus memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri. Pada saat anak berumur 15-18 tahun, dia memasuki masa transisi ke dalam dunia dewasa. Periode pendek ini penuh risiko karena secara kultural seseorang akan dianggap dewasa dan secara fisik telah cukup sempurna untuk menjalankan fungsi reproduksinya. Perlindungan hak-hak mendasar bagi para dewasa juga diperlukan agar generasi penerus mereka tetap bermutu. Orang tua yang terdidik akan mementingkan sekolah anak-anak mereka. Orang tua yang sehat jasmani dan rohaninya akan selalu menjaga tingkah laku kebutuhan fisik maupun emosional anak-anak mereka. Demikian seterusnya. Kelima, lintas sektoral. Nasib anak bergantung dari berbagai faktor yang makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran yang terjadi, sistem pendidikan yang menekankan hafalan dan materi yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagainya tidak dapat ditangani sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan.12 Hak anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, 11
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 146. Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 106-107. 12
5
masyarakat, pemerintah dan negara meliputi (1) tumbuh kembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; (2) memperoleh nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; (3) beribadah menurut agamanya, berfikir dan berkreasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya; (4) mendapatkan bimbingan dari orang tuanya, atau diasuh dan diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat orang lain bila orang tuanya dalam keadaan terlantar sesuai dengan ketentuan yang berlaku; memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial; (5) memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya; (6) menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangandirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan; (7) beristirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi, sesuai dengan minat bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri; (8) anak yang memiliki kemampuan berbeda (cacat) berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; (9) mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan serta ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya; (10) dirahasiakan identitasnya bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual maupun berhadapan dengan hukum; dan (11) mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya bagi anak yang menjadi korban dan pelakunya dijerat hukum sebagai perilaku tindak pidana.13 Dengan bertambahnya kesadaran tentang hak-hak anak maka usaha untuk memenuhi hak-hak kebutuhan anak seperti pertumbuhan, perkembangan fisik, mental dan sosial, Pemerintah harus melakukan sosialisasi dan pembinaan. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak tentu diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang mantap dan memadai. Sesungguhnya Pemerintah sudah memiliki sederet aturan untuk melindungi, menyejahterakan dan memenuhi hak-hak anak, seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebenarnya Pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, seharusnya sudah dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan anak. Hak-hak anak yang dituangkan dalam Konvensi Hak Anak bukan pula sekadar hak-hak anak dalam keadaan sulit dan tertindas sehingga perlu dilindungi, akan tetapi juga memasuki wilayah kesejahteraan anak yang lebih luas baik secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hak-hak untuk terjamin kebebasannya menyatakan pendapat dan memperoleh informasi merupakan wujud dari perluasan hak-hak anak yang lebih maju (progressive rights).14 Dalam keluarga, orang tua harus dapat memperhatikan hak anak mulai dari pengasuhan, sosial maupun pendidikan anak. Oleh karena itu, maka dibahas tentang hak pengasuhan anak, sosial anak, dan pendidikan anak. Usia yang Ideal dalam Perkawinan Sebelum seseorang memasuki pintu perkawinan untuk membina suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera maka sebaiknya mempertimbangkan dan memperhatikan usia. Usia kawin yang terlalu muda atau terlalu tinggi (tua) tentu akan berpengaruh dalam kehidupan berkeluarga. Menurut Abd. Al-Rahim Umran, usia kawin 13
Mufidah Ch, dkk, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? (Malang: Pilar Media bekerja sama dengan Pusat Studi Gender UIN Malang, 2006), hlm. 16-18. 14 Ibid., hlm. 109.
6
mengandung makna biologis, sosio-kultural, dan demografis. Secara biologis, hubungan kelamin dengan istri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan nyeri kemaluan, cabikan, dan robekan. Lagi pula, jika terjadi kehamilan maka hal itu akan membawa risiko besar terhadap ibu maupun anak. Secara sosio-kultural, pasangan tersebut (terutama istri) harus mampu memenuhi tuntutan sosial perkawinan, mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak. Umur yang terlalu muda bisa mengakibatkan tidak hadirnya unsur yang disebutkan dalam alQur’an, yaitu hidup dalam ketenteraman (sakan). Ini juga berarti unsur persetujuan sukarela tidak hadir pada usia muda dan perkawinan dapat berakhir dengan kegagalan atau perceraian. Secara demografis (kependudukan), usia kawin yang lebih tinggi merupakan salah satu cara dalam mengurangi kesuburan tanpa penggunaan kontrasepsi.15 Jika dilihat dari segi kependudukan dan kesejahteraan keluarga, perkawinan usia muda mempunyai pengaruh negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Dari segi demografi perkawinan usia muda, pada umumnya sering diasosiasikan dengan tingkat kelahiran tinggi sehingga pada tahun 1974 Pemerintah Indonesia membentuk undangundang perkawinan yang di dalamnya mengatur tentang usia laki-laki dan wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan. Kemudian BKKBN melancarkan kampanye agar gadis-gadis menunda perkawinan minimal 16 tahun dan melahirkan anak pertama minimal usia 29 tahun. Oleh karena usia perkawinan pertama para wanita mempunyai pengaruh terhadap fertilitas, maka tepatlah jika itu dijadikan kebijaksanaan untuk membantu penurunan fertilitas.16 Sebenarnya batas usia yang tercantum dalam undang-undang perkawinan tersebut bila dikaji lebih lanjut lebih menitikberatkan pada pertimbangan segi kesehatan. Menurut Bimo Walgito, 17 hal itu dapat dibaca pada penjelasan dari undang-undang tersebut bahwa untuk menjaga kesehatan suami, isteri, dan keturunan perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan. Dengan kalimat itu tampak yang menonjol dalam meletakkan batas umur dalam perkawinan lebih atas dasar pertimbangan kesehatan daripada mempertimbangkan baik segi psikologik maupun segi sosialnya. Bimo Walgito menjelaskan bahwa dalam hal umur dikaitkan dengan perkawinan memang tidak adanya ukuran yang pasti, artinya bahwa umur sekian itu yang paling baik. Sekiranya itu ada, hanyalah merupakan patokan yang tidak bersifat mutlak, karena hal tersebut bersifat subyektif, masing-masing individu mempunyai ukuran sendiri-sendiri. Namun demikian, untuk memberikan jawaban persoalan umur berapakah merupakan umur yang ideal, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan. Pertama, kematangan fisiologik atau kejasmanian. Kedua, kematangan psikologik. Ketiga, kematangan sosial, khususnya sosial-ekonomik. Keempat, tinjauan masa depan atau jangkauan ke depan. Kelima, perbedaan perkembangan antara pria dan wanita. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peranan suami dalam memberikan pengarahan lebih menonjol maka sebaiknya umur untuk melangsungkan perkawinan terhadap wanita sekitar umur 23-24 tahun. Sedangkan terhadap pria sekitar umur 26-27 tahun. Pada umumnya usia tersebut telah mencapai kematangan kejasmanian, psikologik, dan keadaan normal pria umur sekitar 26-27
15
Abd. Al-Rahim Umran, Islam dan KB, Alih Bahasa Muhammad Hasyim (Jakarta: Lentera, 1997),
hlm. 18. 16 A. Rahmat Rosyadi dan Soerono Dasar, Indonesia: Keluarga Berencana Ditinjau dari Hukum Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 85. 17 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada, 1984), hlm. 25.
7
tahun telah mempunyai sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga sebagai akibat perkawinan tersebut.18 Sarwono berpendapat bahwa umur yang sebaik-baiknya bagi perkawinan meliputi suatu masa yang terdiri atas beberapa tahun, dan sungguhpun dipandang dari segi kedokteran pada umur 18 tahun itu telah tercapai kematangan biologis seorang gadis, jika diperhitungkan dengan fakta-fakta lainnya, perkawinan lebih baik dilakukan usia antara 20-24 tahun. Banyak faedahnya bagi perkawinan umur tersebut dibandingkan dengan perkawinan umur yang agak tinggi. Selain faedahnya dari sudut anatomis, yakni melahirkan lebih mudah jika di bawah umur 30 tahun bagi kehidupan keluarga, juga lebih menguntungkan apabila seseorang kawin dalam usia agak muda, sebab ada kemungkinan ia masih sempat melihat anak dan cucunya yang telah mencapai sukses dalam kehidupan mereka. Kalau seseorang kawin usia 40 tahun, maka pada waktu ia berusia 60 tahun anaknya baru berusia 20 tahun. Seorang anak yang baru berusia 20 tahun belum dapat hidup mandiri, malah kebanyakan baru lepas dari SMU atau sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Bagaimana pula keadaannya jika ayahnya wafat dalam usia lebih muda (45-53 tahun). Dalam hal ini ibu tinggal dengan beban anak-anak 100% masih bergantung kepadanya. Demikianlah salah satu faedah apabila perkawinan dilakukan dalam usia agak lebih muda untuk menjaga kepentingan tersebut.19 Perbedaan umur antara calon suami dan calon istri, telah dimaklumi sekurangkurangnya keduanya sebaya. Akan lebih baik jika calon suami lebih tua sedikit daripada calon istrinya. Perbedaan umur 2-3 tahun, suami lebih tua ataupun sebaliknya, masih dapat dianggap dalam tingkatan sebaya. Perbedaan usia, misalnya calon suami lebih tua 5, 10 atau 12 tahun, belumlah merupakan suatu perbedaan yang besar. Bahkan perbedaan seperti itu akan ada faedahnya jika perkawinan mereka sampai pada usia yang lebih panjang. Jika suami kelak berusia 55 tahun, pada waktu itu istrinya berusia 43 tahun, mereka masih dapat menjadi pasangan yang ideal bagi kehidupan suami istri, baik jasmani maupun rohaninya.20 Sesungguhnya Islam dalam menentukan masa perkawinan tidak menitikberatkan pada usia tertentu, akan tetapi lebih menekankan kepada faktor kemampuan seseorang. Dalam al-Qur’an mengenai usia kawin ada ayat yang harus dijadikan sebagai rujukan meskipun tanpa mengkhususkan pada usia tertentu, yaitu:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta bendanya. Dan janganlah kamu makan harta anakanak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa sebelum mereka dewasa (QS. an-Nisa’: 6). Oleh karenanya, setiap orang tua yang beragama Islam harus menyadari salah satu dari pengertian akad nikah itu adalah serah terima amanah. Anak merupakan amanah Allah kepada orang tua dan pada saat pernikahan berlangsung, amanah Allah itulah yang diserahterimakan kepada mantu yang langsung sebagai penanggung jawab amanah selanjutnya. Seharusnya orang tua yang menyerahkan amanah ini setelah lebih dahulu menilai kematangan anaknya dan kemampuan calon suami anaknya. Dalam hal seperti ini orang tua sangatlah berhatihati, karena inilah yang merupakan tanggung jawab terakhir orang tua kepada Allah. Salah menilai dapat mengakibatkan beratnya tanggung jawab vertikal dan juga tanggung jawab horizontal.21
18
Ibid., hlm. 29-31.
19
Sutan Marajo Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 23. 20 Ibid., hlm. 23-24. 21 A. Rahmat Rosyadi dan Soerono Dasar, Indonesia: Keluarga Berencana …… Op. Cit., hlm. 95.
8
Tingkat Pencapaian Tujuan Perkawinan Bagi yang Menikah di Usia 16 Tahun dan Usia 18 Tahun Setiap orang tentu menginginkan kebahagiaan. Begitu pula dalam perkawinan setiap pasangan suami isteri mengharapkan perkawinannya bahagia dan sejahtera serta kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dalam menjalankan rumah tangga merupakan hal yang tidak mudah. Hal tersebut tergantung pada usaha setiap masing-masing individu pasangan anggota rumah tangga. Setiap orang yang memasuki kehidupan perkawinan pastilah membawa harapan, kebutuhan, dan keinginan. Kebutuhan-kebutuhan dalam perkawinan yang bersifat fisiologik, psikologik, sosial maupun religi menghendaki adanya pemenuhan. Oleh karenanya, manusia berbuat ataupun bertingkah laku, akan selalu dikaitkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Apabila kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, maka hal tesebut dapat menimbulkan berbagai macam masalah yang akan mengganggu kehidupan psikologik dari individu yang bersangkutan. Dari hasil observasi dan wawancara salah satunya dengan NK (nama inisial) dan DW (nama inisial) mereka berdua tidak memiliki cacat fisik maupun mental. Namun di sisi lain, jika dilihat dari segi tingkat kedewasaan, DW yang menikah pada umur 18 tahun terlihat lebih dewasa dari pada NK yang menikah pada umur 16 tahun. Hal tersebut dapat terlihat dari kondisi psikis dan tingkah laku mereka ketika menjalankan kehidupan berumah tangga. Ketika dalam rumah tangga terjadi banyak permasalahan, perselisihan serta percekcokan, namun NK tidak mampu mengatasinya sehingga mengakibatkan perceraian. Sedangkan DW mampu menyelesaikan segala permasalahan dan perselisihan dalam kehidupan rumah tangga sehingga dapat mempertahankan perkawinannya hingga sekarang. Kebahagiaan dalam rumah tangga NK tidak tercapai karena ia tidak dapat memahami tujuan perkawinan yang sebenarnya. Sebab, hanya dengan modal rasa suka sama suka yang membuat NK dalam memutuskan untuk berumah tangga. Padahal tujuan perkawinan adalah membangun rumah tangga yang bahagia dan kekal, dan kebahagiaan dalam perkawinan bukan berarti dalam mencapainya tidak ada hambatan dan kendala yang dapat menimpanya di kemudian hari, akan tetapi banyak kendala dan rintangan sehingga butuh mental yang matang dan kokoh untuk dapat mengatasi segala permasalahan dalam perkawinan. Berbeda dengan DW, ia memiliki tujuan yang tepat dan komitmen yang kuat dalam perkawinan sehingga dengan menikah maka DW mengharapkan perkawinannya dapat bahagia dan kekal. Dalam mencapai kebahagiaan tersebut DW menyadari banyak rintangan dan hambatan yang harus ia tempuh dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Dalam mengarungi rumah tangga, DW dapat merasakan kebahagiaan karena ia memiliki orientasi dan komitmen dalam perkawinan. Sebab, menurut DW kepuasan dan kebahagiaan dalam perkawinan lebih banyak ditentukan oleh orientasi perkawinan yang ingin dicapai. Meskipun tidak memiliki harta yang banyak namun DW tetap selalu merasa cukup dan bahagia dengan kondisi ekonominya, dan meskipun dalam rumah tangga terjadi permasalahan dan perselisihan, namun ia tetap mengatasinya dengan baik. Jadi orientasi itulah yang lebih banyak mempengaruhi kehidupan perkawinan DW. Selain orientasi perkawinan, dalam rumah tangga DW juga terdapat komitmen yang selalu dibangun atas dasar kesadaran antara suami isteri. Dengan komitmen yang kokoh dan baik diharapkan akan timbul kesediaan untuk saling berbagi dan saling memaafkan satu sama lain. Meskipun sudah menikah NK masih tetap memiliki sifat egois (mementingkan diri sendiri), sehingga hal ini menunjukkan perkembangan kepribadiannya tidak menuju ke arah positif. Seseorang yang sudah menikah seharusnya perasaan egoisme berkurang dan akan tumbuh perasaan ikut memiliki. Dalam menjalani kehidupan
9
berumah tangga NK tidak memiliki kemampuan untuk bertenggang rasa dengan orang yang dicintainya dan tidak mau ikut merasakan kesusahan serta penderitaan yang dialami oleh suaminya. Ketika suaminya tidak bekerja atau penghasilannya tidak mencukupi kehidupan rumah tangga, NK hanya bisa marah-marah dan pergi ke rumah orang tuanya dengan meninggalkan suami di rumah sendirian. NK juga mengalami kegoncangan akan identitas dirinya. Ia belum siap menerima peralihan dari masa remaja (lajang) menjadi seorang isteri dan peralihan dari seorang isteri menjadi seorang ibu sebagai suatu identitas baru. Berbeda dengan DW, ia lebih siap menerima identitas baru sebagai isteri dan sebagai ibu. Seseorang yang mampu menerima dan menemukan perubahan sebagai identitas baru maka ia akan menyadari perkembangan kepribadiannya yang harus dicapai. Dalam psikologi, konsep tentang identitas menunjukkan kepada suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, sekalipun terjadi perubahan. Menurut data di lapangan, orang yang menikah di umur 18 tahun secara psikis lebih matang kepribadiannya dibandingkan orang yang menikah di umur 16 tahun. Hal tersebut dapat dilihat dari kepribadian DW yang menikah di umur 18 tahun ternyata lebih menunjukkan kedewasaan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam rumah tangga dibandingkan dengan NK yang menikah di umur 16 tahun. Dalam perkawinan, masing-masing individu diharapkan memiliki kematangan pribadi. Ketika seseorang sudah menikah maka seharusnya kepribadiannya makin sempurna, dari segi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dan secara emosi makin matang dan dewasa. Namun dalam perkawinan yang dialami oleh NK dari aspek psikologi perkembangan menunjukkan kepribadiannya tidak berkembang kapasitasnya walaupun sudah menikah. Seseorang yang ingin memasuki pintu perkawinan harus ada kesiapan mental, kesiapan mental seseorang ditunjukkan dengan kematangan pribadi. Biasanya orang yang memiliki kematangan pribadi adalah orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan. Dengan demikian, orang tersebut akan mampu mengembangkan fungsi pikiran dan dapat mengendalikan emosi, serta mampu menempatkan diri untuk mengatasi kelemahan dalam menghadapi tantangan baik dari diri sendiri maupun orang lain. Apabila suami isteri belum matang dari segi pribadi maka dalam menjalankan kehidupan rumah tangga akan sering terjadi pertengkaran, percekcokan, bahkan jika dibiarkan terus menerus akan mengarah kepada perceraian. Hal tersebut terjadi dalam perkawinan NK. Dengan tidak adanya kematangan pribadi sehingga ia kurang dapat menerima dan memahami pasangannya. Sebab, ketika ada perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga dianggap suaminya tidak menyayanginya lagi, padahal hanya butuh penyesuaian diri antara pasangan suami dan isteri. Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Kebahagiaan adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi dan non-materi ataupun lahir dan batin. Sedangkan kekal berarti mampu mempertahankan ikatan perkawinannya hingga akhir hayatnya. Kemudian berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa berarti berdasarkan keyakinan terhadap agama. Dari hasil penelitian, tingkat pencapaian tujuan perkawinan bagi orang yang menikah di umur 16 tahun, tidak berhasil. Sedangkan tingkat pencapaian tujuan perkawinan bagi orang yang menikah di umur 18 tahun masih kurang tercapai, sebab kebutuhan yang bersifat materi ataupun ekonomi keluarga masih belum tercapai secara maksimal. Untuk mencapai tujuan perkawinan yang bahagia dan kekal maka setiap individu harus mempersiapkan diri dari segi kemampuan mental dan ekonomi yang kokoh. Meskipun menikah pada umur 16 tahun secara biologis telah mampu, namun kemampuan secara ekonomis dan psikis masih diragukan kemampuannya. Idealnya
10
perkawinan seseorang harus memiliki tiga kemampuan, yaitu biologis, psikis, dan ekonomis sehingga dapat membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dari segi biologis diharapkan proses pematangan organ reproduksi berfungsi dengan baik, dari segi psikis diharapkan mental seseorang dan kematangan pribadinya mampu berkembang dan dapat menyelesaikan segala permasalahan dalam rumah tangga, dan dari segi ekonomi diharapkan segala kebutuhan sandang maupun pangan, keuangan, perumahan, dan kesehatan keluarga dapat terpenuhi dengan baik. Penutup Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pencapaian tujuan perkawinan bagi orang yang menikah di umur 16 tahun ternyata tidak tercapai. Sedangkan bagi orang yang menikah di umur 18 tahun ternyata tercapai walaupun masih kurang maksimal. Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Berdasarkan data di lapangan, orang yang menikah di umur 18 tahun secara psikis lebih matang kepribadiannya sehingga lebih bahagia dan kekal dibandingkan orang yang menikah di umur 16 tahun. Hal tersebut dapat dilihat dari kepribadian DW yang menikah di umur 18 tahun ternyata lebih menunjukkan kedewasaan dalam menyelesaikan berbagai masalah rumah tangga dibandingkan dengan NK yang menikah di umur 16 tahun. Dalam perkawinan, setiap individu diharapkan memiliki kematangan pribadi. Ketika seseorang sudah menikah maka seharusnya kepribadiannya makin sempurna, dari segi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, serta secara emosi makin matang dan dewasa. Namun, perkawinan yang dialami oleh NK ternyata kepribadiannya tidak berkembang kapasitasnya walaupun sudah menikah. Agar tidak terjadi kontroversi terhadap masalah perkawinan antara undangundang perkawinan dan undang-undang perlindungan anak maka diharapkan Pemerintah melakukan amandemen atau merevisi Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan redaksi bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 18 (delapan belas) tahun.
Daftar Pustaka A. Rahmat Rosyadi dan Soerono Dasar. 1986. Indonesia: Keluarga Berencana Ditinjau dari Hukum Islam. Bandung: Pustaka. Abd. Al-Rahim Umran. 1997. Islam dan KB. Alih Bahasa, Muhammad Hasyim. Jakarta: Lentera. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana. Bimo Walgito. 1984. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Darwan Prinst. 1997. Hukum Anak Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Desmita. 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Indraswari Dkk. 1999. Menakar “Harga” Perempuan. Bandung: Mizan. Maulana Hassan Wadong. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan anak. Jakarta: Gramedia. Mohammad Daud Ali. 2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
11
Mufidah Ch, dkk. 2006. Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan?. Malang: Pilar Media bekerja sama dengan Pusat Studi Gender UIN Malang. Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak Musthafa Fahmi. 1977. Kesehatan Jiwa; dalam Keluarga, sekolah dan masyarakat Alih Bahasa, Zakiah Daradjat. Jakarta: Bulan Bintang. Nurcholish Madjid. 2000. Masyarakat Religious. Jakarta: Paramadina. Sutan Marajo Nasaruddin Latif. 2001. Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga. Jakarta: Pustaka Hidayah. Syamsu Yusuf LN. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja. Tb. Rachmat Sentika. 2007. Peran Ilmu Kemanusiaan dalam Meningkatkan Mutu Manusia Indonesia Melalui Perlindungan Anak, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 11, 6, Agustus 2007.
12