PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI KOTA YOGYAKARTA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi
Oleh: Monica Arum Sukmajati NIM : 038114022
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PEI,AI<SANAANST NDAR PNLAYANANKEFARMASIAN DI A}OTEK DDRDASATX,{NKEPMENKIJ RI NOMOR TO27IMENKES/SK'X12OO4 DTKOTA YOGYAKARTA
Monic!Arumsul njali NIM:0381l4u2l Skripri i.i lelahdhct,{i!i oleh:
---.1 /'/
Ystim Srirlanlni,M.Si.,Apt. Tde$l : og-cA-tdb?
rues.l : ot-o! -rrol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
felg{bu
ShiPti
Pf,I-A(SANAAN STANDARPELAYANAN KEfAiMASIAN I'I POIDK BERDASARKAIIKEPMENIGS RI NOMOR IO27IMENI(ES/SK/Dfi,M4 DI KOIA YOGYA(ARTA Oleh; MOMCA ARUM SUKMAJATI N]M : 0381l.liD2 Dipert lulqtr
dibd.P3tr Pltriti! PoguJi Sltripri tr.kllL! f.@ti
UBir.dit
!Sd.t
Db'l4
P..t. luggtl I I Agurtrr 20{lt
[,ii r'r( ip.
?@bimbiDe I Du. Su1Mm, Ap1. leDbimbirg II : Yustim S.i Hrnini. M,Si,,Api.
2_ Yuslim Sri Ead4 M.Si.,Apt, t. Alis Widaya6M.Si.,Apt Ip&s Dju.lrko, S.Sj.,A'i-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kesuksesan berarti melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan dengan apa yang kita miliki. Kesuksesan adalah suatu proses, bukan hasil akhir-mengenai mengusahakan-nya, bukan keberhasilannya.
Wynn Davis
ku persembahkan kepada Bapa, Putra dan Roh Kudus, kepada keluargaku, kepada kekasihku, dan kepada almamaterku.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata Dharma. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 2. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing II yang juga telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan.
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan. 6. Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana. 7. Bapak dan Ibu Apoteker Kota Yogyakarta yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 8. Keluarga, terutama kedua orang tua, Bapak St. Kasidjan dan Ibu R. Sumaryati atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan. Kakak Wahyu dan Adik Agung atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama ini. 9. Made Arthawan Putra. There are lots of things that we’ve been through together n I would like to say thank you, for being everything to me. 10. Ozza, my brother. Terima kasih atas bantuannya sehingga komputer bisa kembali normal dan bisa digunakan untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman seperjuangan : Adi, Totok, Bambang dan Bangun atas kerjasama, bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. 12. Teman-teman The Sindens : Dee, Vera, Dita, Ana, Tata, Rosa, Sari dan Angger. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. 13. Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A atas kebersamaan dan keceriaan selama empat tahun ini. 14. Teman-teman Kost Difa. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. 15. Sifa, Ria, Livie dan Ami. Terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian selama ini. 16. Anna dan Mita atas pinjaman laptopnya.
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
U. MeliDd{ MeEyltas pinjM 18,sdu D.ld
ddlemt! !6da sd dalut
pihat ,@g tidat dapat!.!uiie pbulkm stu p€srhl. kempat n ini, p€n'nisjuga mnohon baal kepadaedu
aB ketoagd de teelahe yDg suelod drbrM
Ftrulis. Ol€hlffi
d€ne6 rndal lati pqulis magb@lka
stu
Muka4
pihak iE
rLn kilik yeg
YogyElon427 Jui 2007
t0 ..-
wv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAANKEASLIAN K,{RYA
tut! E@yatzk! dengd wgguhlya
bslM shipsi teg eya tulis ini
1id!t nd@t krt€ ataubqgie orug lai4 k€oali yeg telahdtuebdkmd,lah lolip@ dd.hftd p$ta&4 *bagaibdg lryahr€ laya ilnish.
YosD}rta, 27Jmi 2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL……………………………………………………….
i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………...
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………
iv
PRAKATA…………………………………………………………………
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………...
viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………….
xiii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
xvi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
xvii
INTISARI…………………………………………………………………..
xviii
ABSTRACT………………………………………………………………..
xix
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang………………………………………………………….
1
1. Rumusan masalah…………………………………………………..
3
2. Keaslian penelitian………………………………………………….
4
3. Manfaat penelitian…………………………………………………..
5
B. Tujuan Penelitian……………………………………………………….
6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Apotek……………………………………….
7
B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker……………………………………..
8
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Peraturan perundang-undangan…………………………………….
8
2. Apoteker sebagai suatu profesi……………………………………..
11
3. Peran apoteker………………………………………………………
14
C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek……………………………..
17
1. Asuhan kefarmasian………………………………………………...
17
2. Akuntabilitas praktek farmasi………………………………………
17
3. Manajemen praktis farmasi…………………………………………
18
4. Komunikasi farmasi………………………………………………..
18
5. Pendidikan dan pelatihan farmasi………………………………….
19
6. Penelitian dan pengembangan kefarmasian………………………..
19
7. Peraturan perundang-undangan……………………………………
20
D. Sumpah Apoteker……………………………………………………….
24
E. Kode Etik Apoteker…………………………………………………….
24
F. Keterangan Empiris…………………………………………………….
27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian…………………………………………
28
B. Batasan Operasional Penelitian…………………………………………
28
C. Instrumen Penilitian……………………………………………………..
29
D. Populasi dan Sampel…………………………………………………….
29
1. Populasi……………………………………………………………..
29
2. Sampel………………………………………………………………
30
E. Tata Cara Penelitian………...…………………………………………..
32
1. Pembuatan kuesioner……………………………………………….
32
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Pengujian kuesioner………………..……………………………….
32
3. Penyebaran kuesioner………………………………………………
34
4. Pengumpulan kuesioner…………………………………………….
34
5. Wawancara…………………………………………………………
35
F. Tata Cara Analisis Data…………………………………………………
35
G. Kesulitan Penelitian…………………………………………………….
36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Deskripsi Responden……………………………………………...
37
1. Umur responden…………………………………………………….
37
2. Posisi responden di apotek………………………………………….
38
3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek…………..
39
4. Adanya pekerjaan lain dari responden………………………………
40
5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu…………………
41
6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari…………………….
41
B. Pengelolaan Sumber Daya……………………………………………..
42
1. Sumber daya manusia………………………………………………
42
2. Sarana dan prasarana……………………………………………….
44
3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya…..
52
4. Administrasi………………………………………………………..
59
C. Pelayanan……………………………………………………………….
65
1. Skrining resep………………………………………………………
65
2. Penyiapan obat……………………………………………………..
71
3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi…………………………..
79
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Evaluasi Mutu Pelayanan……………………………………………….
81
1. Tingkat kepuasan konsumen………………………………………..
82
2. Dimensi waktu……………………………………………………...
83
3. Prosedur tetap………………………………………………………
83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……………………………………………………………..
87
B. Saran……………………………………………………………………
87
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
89
LAMPIRAN………………………………………………………………
92
BIOGRAFI PENULIS……………………………………………………
111
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL Hal. Tabel I
Posisi Responden di Apotek……………………….....
38
Tabel II
Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden……....
40
Tabel III
Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu..
41
Tabel IV
Pengambilan
Keputusan
di
Apotek
Selalu
Berdasarkan Persetujuan APA………………………..
43
Tabel V
Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek……………
45
Tabel VI
Apotek yang Memisahkan Produk Kefarmasian dengan Produk Lainnya. ……………………..............
46
Tabel VII
Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien………………….
47
Tabel VIII
Adanya Informasi Bagi Pasien……………………….
47
Tabel IX
Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi.
48
Tabel X
Adanya Ruang Tertutup untuk Konseling……………
48
Tabel XI
Adanya Ruang Racikan di Apotek…………………...
49
Tabel XII
Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien
50
Tabel XIII
Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek…………………………………….
53
Tabel XIV
Sumber Perolehan Obat di Apotek……………………
54
Tabel XV
Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke
Tabel XVI
Wadah Lain…………………………………………...
55
Informasi yang Disertakan Pada Wadah Baru ……….
56
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel XVII
Apotek yang Mempunyai Tempat Penyimpanan Khusus………………………………………………..
Tabel XVIII
57
Apotek yang Selalu Menyertakan Bukti/Faktur Pembelian dan Mencatat Setiap Obat yang Mereka Beli……………………………………………………
Tabel XIX
Apotek
yang
Selalu
Menyertakan
Faktur/Nota
Penjualan…………………………………………….. Tabel XX
62
Apotek yang Selalu Melakukan Pengisian Medication Record……………………………………
Tabel XXIV
61
Apotek yang Selalu Menyimpan Resep Secara Berurutan……………………………………………...
Tabel XXIII
61
Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Pengeluaran Narkotika dan Psikotropika…………………………..
Tabel XXII
60
Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Penjualan Dalam Buku Penjualan……………………………………….
Tabel XXI
59
63
Apotek yang Selalu Melakukan Skrining Resep Persyaratan Administratif…………………………….
66
Tabel XXV
Skrining Kesesuaian Farmasetik…………………….
67
Tabel XXVI
Skrining Pertimbangan Klinis……………………….
68
Tabel XXVII
Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep……..
Tabel XXVIII
69
Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien…………………………………….
xiv
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel XXIX
Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep Sebelum Diserahkan ke Pasien……………………….
Tabel XXX
72
Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung Dalam Penyerahan Obat ke Pasien…………………...
73
Tabel XXXI
Informasi Obat yang Diberikan Apoteker……………
74
Tabel XXXII
Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling Setiap Hari di Apotek…………………………………
Tabel XXXIII
Apoteker
yang
Memberikan
Konseling
Secara
Berkelanjutan………………………………………… Tabel XXXIV
Apoteker
yang
Pernah
Melakukan
76
77
Diseminasi
Informasi Kesehatan …................................................
79
Tabel XXXV
Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi ……
80
Tabel XXXVI
Apotek yang Pernah Melakukan Survey……………...
82
Tabel XXXVII
Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan…………..
83
Tabel XXXVIII
Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap
84
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR Hal. Gambar 1.
Diagram Umur Responden…………………………………
Gambar 2.
Diagram Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker di Apotek yang Sekarang…………………………………...
Gambar 3.
39
Diagram Waktu Kerja Responden di Apotek Dalam Sehari……………………………………………………….
Gambar 4.
37
42
Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA……………………………………………
44
Gambar 5.
Adanya Ruang Racikan di Apotek………………………….
50
Gambar 6.
Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek……………..
51
Gambar 7.
Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya………………………………………….
58
Gambar 8.
Pelaksanaan Kegiatan Administrasi………………………..
64
Gambar 9.
Pelaksanaan Skrining Resep………………………………..
70
Gambar 10.
Pelaksanaan Penyiapan Obat……………………………….
78
Gambar 11.
Pelaksanaan
Promosi,
Edukasi
dan
Tindak
Lanjut
Terapi……………………………………………………….
81
Gambar 12.
Bentuk Survey………………………………………………
82
Gambar 13.
Pelaksanaaan Evaluasi Mutu Pelayanan……………………
84
Gambar 14.
Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Gambar 15.
Apotek Kota Yogyakarta…………………………………...
86
Skema Alur Pelayanan Resep Apotek XYZ……………….
110
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN Hal. Lampiran 1.
Surat Pengantar Kuisioner Penelitian……………………….
92
Lampiran 2.
Kuesioner Penelitian………………………………………..
93
Lampiran 3.
Surat Izin Penelitian………………………………………..
99
Lampiran 4.
Sumpah/Janji Apoteker…………………………………….
100
Lampiran 5.
Kode Etik Apoteker Indonesia……………………………..
102
Lampiran 6.
Jalur Distribusi Obat…………………….............................
105
Lampiran 7.
Hasil Wawancara …………………………………………..
106
Lampiran 8.
Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan
Lampiran 9.
Konsumen………………………………………………….
109
Contoh Alur Pelayanan Resep……………………………..
110
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTISARI
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta dan sedikit mengkaji pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.
Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient’s life. As the consequences of the orientation change, pharmacist are demanded to improving their knowledge, skill and attitude in the course of direct interaction with patient. Pharmacist also have to understand and realize the possibility of medication error happen in service process. Therefore the pharmacist, in their practices, has to conform with the specified standard in order to prevent injurious event. This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta and briefly studying the pharmacist’s comprehension concerning the definition of medication record and counseling. This respondent’s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic. Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Yogyakarta.
Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi
tersebut,
apoteker
dituntut
untuk
meningkatkan
pengetahuan,
keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004a). Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat yaitu Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 (Anonim, 2004a).
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2
Apoteker di apotek dalam menjalankan profesinya harus berpedoman pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia tahun 2004, salah satu standar prosedur operasional apoteker di apotek hal manajemen praktis farmasi adalah merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker di apotek adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek, termasuk di dalamnya melaksanakan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebagai pedoman praktek apoteker di apotek. Apoteker di apotek harus memberikan pelayanan yang profesional pada masyarakat sesuai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan
bahwa
pelaku
usaha
dilarang
memproduksi
dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan. Bila melanggar ketentuan tersebut, maka sesuai pasal 62 ayat 1 akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa apoteker di apotek harus menjalankan praktek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3
kefarmasian sesuai standar yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sehingga masyarakat terhindar dari pelayanan yang tidak profesional. Apoteker di apotek dalam menjalankan praktek kefarmasian mendapatkan perlindungan hukum bila praktek kefarmasian tersebut dijalankan sesuai standar yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Menurut pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan. Berdasarkan keterangan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah ditetapkan tersebut telah sepenuhnya dilaksanakan oleh apoteker di apotek, terutama apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.
1. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut : Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4
2. Keaslian penelitian Sejauh yang peneliti ketahui belum pernah dilakukan penelitian mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta. Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu : a. Pemahaman Apoteker Tentang Pelayanan Apoteker dalam Praktek Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Apotek di Apotek-Apotek Kota Yogyakarta (Tobondo, 2000). Penelitian dari Tobondo ini menekankan pada pemahaman apoteker tentang pelayanan apoteker dalam praktek kefarmasian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan apoteker di apotek. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada penelitian Tobondo tidak mengkhususkan diri atau berpedoman pada suatu undangundang tertentu, sedangkan pada penelitian ini berpedoman pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. b. Pendapat Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Peran Apoteker (Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit) (Regziana, 2007). Penelitian dari Regziana ini menekankan pada penerimaan dokter umum terhadap
peran
apoteker
berdasarkan
Kepmenkes
Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 dan harapan dokter umum terhadap peran apoteker di masa mendatang. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5
pada penelitian Regziana subyek penelitian merupakan dokter umum, sedangkan pada penelitian ini subyek penelitian adalah apoteker di apotek. Penelitian Regziana meneliti mengenai peran apoteker di Rumah Sakit berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, sedangkan penelitian ini meneliti mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian
di
Apotek
berdasarkan
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta. b. Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai : 1) bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam pengelolaan apotek. 2) bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang tertarik dalam pelayanan perapotekan. 3) bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6
B. Tujuan Penelitian Mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.
.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Apotek Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek ialah suatu tempat dimana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Pasal 2 menyebutkan bahwa tugas dan fungsi apotek, ialah : a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat. b. penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi : obat, obat asli Indonesia, kosmetika, alat-alat kesehatan dan sebagainya. (Anonim, 1965) Pada perkembangannya fungsi apotek yang diatur pada Peraturan Pemerintah tersebut mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan adanya Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur tugas dan fungsi apotek yaitu : a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat. c. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. (Anonim, 1980)
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8
Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 10 menyebutkan, yang dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah meliputi : a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. c. layanan informasi mengenai perbekalan farmasi. (Anonim, 1993b) Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a).
B. Tinjauan UmumTentang Apoteker 1. Menurut peraturan perundang-undangan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Anonim, 2004a). Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin (Anonim, 2002). Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek (Anonim, 1993b). Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping (Anonim, 2002). Apabila apoteker pengelola apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9
melakukan tugasnya, apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus-menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (Anonim, 2002). Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan
bahwa
tenaga
kesehatan
dalam
melakukan
tugasnya
berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 1992). Hal ini juga ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 22 ayat 1 (c) yang menyebutkan bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk : a. menghormati hak pasien b. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan. (Anonim, 1996) Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 7 menyebutkan bahwa seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyatakan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10
pemeliharaan (Anonim, 1999). Permenkes Nomor 922 tahun 1993 menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi : a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. (Anonim, 1993) Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurangkurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Anonim, 2004a). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu tugas apoteker adalah memberikan informasi kepada pasien yang datang ke apotek, sehingga kewajiban apoteker, baik apoteker pengelola apotek atau apoteker pendamping atau apoteker pengganti adalah berada di apotek selama jam buka apotek dan memberikan informasi kepada pasien yang datang ke apotek. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 menyatakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pada pasal 86 yaitu barang siapa dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1, telah diuraikan sebelumnya, dipidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11
2. Apoteker sebagai suatu profesi Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan konsumen atau kliennya (Harding, 1993). Banyak kriteria untuk menentukan suatu pekerjaan adalah suatu profesi, menurut Sulasmono (1997) antara lain : 1. unusual learning, yaitu di didik dan menerima pengetahuan yang khas dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain atau bidang yang berbeda. 2. pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan mementingkan kepentingan orang lain). 3. telah mengucapkan sumpah. 4. memiliki kode etik 5. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992). 6. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lain). 7. memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja). 8. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional 9. bersifat otonomi dan independensi. 10. bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita. 11. confidental relationship dalam pelayanannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12
Menurut ISFI (2004), profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas. 2. pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi. 3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian. 4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom. 5. memberlakukan kode etik keprofesian. 6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan. 7. proses pembelajaran seumur hidup. 8. mendapat jasa profesi. Menurut Trait Theory, Apoteker dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan beberapa ciri khusus, yaitu : 1. memiliki ilmu pengetahuan khusus yang berasal dari pelatihan jangka panjang (specialized knowledge and lengthy training). Agar dapat diterima menjadi salah satu anggota profesi, seseorang harus menjalani pendidikan intensif yang bervariasi dengan spesialisasi tinggi. Untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan di perguruan tinggi farmasi baik di jenjang S-1 maupun jenjang pendidikan profesi. Pada saat menempuh masa pendidikan, apoteker dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang disesuaikan dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan penggunaan obat secara klinis (Harding, 1993). Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-masa selanjutnya (Sirait, 2001).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13
2. monopoli dalam praktek (monopoly of practice). Monopoli pekerjaan yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh Negara (Harding, 1993). Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 menyebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pada pasal 63 ayat (1) disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa profesi farmasi dan pekerjaan kefarmasian memiliki pengakuan secara hukum di Indonesia, dan bahwa pekerjaan kefarmasian tersebut hanya apoteker yang memiliki kewenangan untuk menjalankannya. 3. pengaturan diri (self regulation). Organisasi profesi diperbolehkan untuk mengatur sistem pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota profesi dan memperkirakan seseorang yang berkompeten dalam menjalankan pekerjaannya (Harding, 1993). Organisasi profesi farmasi adalah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14
Surat Kepmenkes Nomor 41846/KB/121 tanggal 16 September 1965 menyatakan bahwa Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia disingkat ISFI sebagai organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana apoteker Indonesia yang menghimpun seluruh tenaga kesehatan sarjana di bidang farmasi yakni sarjana apoteker. Wujud pengaturan diri tersebut antara lain dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker, Kode Etik Apoteker Indonesia dan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia. 4. orientasi pelayanan (service orientation). Pernyataan ini menandakan bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi keinginan klien dan tidak diperbolehkan memaksa klien hanya demi keuntungan pribadi semata. Hal ini ditegaskan pada pasal 53 UndangUndang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 1992).
3. Peran apoteker Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional dan dalam pengelolaan apotek tersebut, apoteker harus senantiasa memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15
belajar sepanjang karier, membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Anonim, 2004a). Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “Seven Star of Pharmacist” meliputi : 1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu
maupun
kelompok,
apoteker
harus
mengintegrasikan
pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi. 2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. 3. Comunicator.
Apoteker
mempunyai
kedudukan
penting
dalam
berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16
4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan
yang
diharapkan
meliputi
keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. 5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif. 7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagi ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan. (Anonim, 2004b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17
C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Sistem praktek kefarmasian dapat diartikan sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur dan fungsi jaringan
pelayanan
kefarmasian.
Praktek
kefarmasian
adalah
upaya
penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat. Sistem pelayanan kefarmasian meliputi struktur sistem pelayanan kefarmasian dan fungsi sistem pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004b). 1. Menurut
Standar
Kompetensi
Farmasis
Indonesia
hal
asuhan
kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal. b. memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri. c. memberikan pelayanan informasi obat. d. memberikan konsultasi obat. e. membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses terapi. f. melakukan monitoring efek samping obat. g. pelayanan klinik berbasis farmakokinetik. h. pelaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan yang setara. i. melakukan evaluasi penggunaan obat. (Anonim, 2004b)
2. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi. b. merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku. c. bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. d. melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18
e. melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”. (Anonim, 2004b)
3. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal manajemen praktis farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. b. merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkannya ke dalam rencana kerja (Plan of Action). c. merancang, membuat ,melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu pelayanan. d. merancang organisasi kerja yang meliputi : arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen. e. merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian. f. memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah kepada kepuasan konsumen. (Anonim, 2004b)
4. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal komunikasi farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19
b. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat. c. memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat kefarmasian. d. memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi. (Anonim, 2004b)
5. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal pendidikan dan pelatihan farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian. b. merencanakan dan melakukan aktifitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan. c. berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian. e. mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat. (Anonim, 2004b)
6. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal penelitian dan pengembangan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah: a. melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain. b. menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian. (Anonim, 2004b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20
7. Menurut peraturan perundang-undangan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah sebagai berikut : a. Pengelolaan sumber daya 1) Sumber daya manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional . Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. 2) Sarana dan prasarana Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. Apotek harus memiliki : 1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. 3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien 4. Ruang racikan. 5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21
3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out) 3.1 Perencanaan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan : a. Pola penyakit. b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat. 3.2 Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. 3.3 Penyimpanan. 1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa. 2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. 4) Administrasi. Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi : 4.1. Administrasi umum. Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4.2. Administrasi pelayanan. Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. b. Pelayanan 1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep. Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif : - Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep. - Tanda tangan/paraf dokter penulis resep. - Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta. - Cara pemakaian yang jelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22
- Informasi lainnya. 1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. 1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. 1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan. Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. 1.2.2. Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. 1.2.4. Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. 1.2.5. Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. 1.2.6. Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23
1.2.7. Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya. 2) Promosi dan edukasi. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya. 3) Pelayanan residensial (Home Care). Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record). c. Evaluasi mutu pelayanan Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. 2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). 3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk : • Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; • Adanya pembagian tugas dan wewenang; • Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek; • Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; • Membantu proses audit. Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut: • Tujuan : merupakan tujuan protap. • Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan. • Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur. • Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan. • Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar. • Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian. (Anonim, 2004a)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24
D. Sumpah Apoteker Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sumpah apoteker harus diucapkan sebelum apoteker melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Apoteker dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya hendaknya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji apoteker (ISFI, 2001). Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya, sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada lampiran 4.
E. Kode Etik Apoteker Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai ramburambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25
tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini, 2006). Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005 dapat dilihat pada lampiran 5. Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu : 1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented) Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26
2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented) Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan bekal ilmu manajerial demi kelangsungan “hidup” apotek itu sendiri. (Anief, 1995) Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa apotek melakukan bisnis yang beretika. Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005). Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah : 1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27
2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan. 3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain. 4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra. 5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain. (Isdaryadi, 2005) Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang bersangkutan dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada anggota yang melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005).
F. Keterangan Empiris Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu : pengelolaan sumber daya, pelayanan, dan evaluasi mutu pelayanan. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Yogyakarta berdasarkan tiga parameter utama dari Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.
Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001). Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003). Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).
B. Batasan Operasional Penelitian 1. Pelaksanaan adalah penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menurut pendapat responden. 2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29
3. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
dikatakan
telah
dilaksanakan
apabila
persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum dilaksanakan. 5. Apotek adalah 23 apotek sampel yang berada di wilayah Kota Yogyakarta. 6. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuisioner. 7. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan selama bulan September-November 2006.
C. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang : 1. karakteristik responden. 2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, bendabenda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30
peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua apotek yang ada di Kota Yogyakarta. Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, diketahui bahwa jumlah apotek di Kota Yogyakarta tahun 2006 adalah sebanyak 113 apotek.
2. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976), penelitian deskriptif ukuran minimum yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen (Sevilla, dkk, 1993). Namun demikian tidak ada satu formula pun yang dapat digunakan secara umum untuk semua penelitian (Pratiknya, 2001). Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001). Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menetapkan sampel sebesar 20% dari populasi yaitu sebanyak 23 apotek. Penentuan sampel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31
menggunakan metode proportional cluster non random sampling dimana apotek dikelompokkan berdasarkan kecamatan terlebih dahulu sehingga diperoleh jumlah apotek tiap kecamatan, yaitu Kecamatan Gondokusuman 12 apotek, Kecamatan Jetis 11 apotek, Kecamatan Tegalrejo 3 apotek, Kecamatan Danurejan 8 apotek, Kecamatan Pakualaman 4 apotek, Kecamatan Gedongtengen 4 apotek. Kecamatan Ngampilan 5 apotek, Kecamatan Kraton 5 apotek, Kecamatan Gondomanan 6 apotek, Kecamatan Wirobrajan 7 apotek, Kecamatan Mantrijeron 15 apotek, Kecamatan Mergangsan 5 apotek, Kecamatan Umbulharjo 20 apotek dan Kecamatan Kotagede 8 apotek. Jumlah apotek menggambarkan jumlah responden. Kemudian dilakukan pengambilan sampel sebesar 20% dari jumlah apotek di setiap kecamatan sehingga diperoleh jumlah sampel yang berbeda di tiap kecamatan sesuai jumlah apotek yang berada di kecamatan tersebut, yaitu Kecamatan Gondokusuman 2 apotek, Kecamatan Jetis 2 apotek, Kecamatan Tegalrejo 1 apotek, Kecamatan Danurejan 2 apotek, Kecamatan Pakualaman 1 apotek, Kecamatan Gedongtengen 1 apotek, Kecamatan Ngampilan 1 apotek, Kecamatan Kraton 1 apotek, Kecamatan Gondomanan 1 apotek, Kecamatan Wirobrajan 1 apotek, Kecamatan Mantrijeron 3 apotek, Kecamatan Mergangsan 1 apotek, Kecamatan Umbulharjo 4 apotek dan Kecamatan Kotagede 2 apotek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32
E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan kuesioner Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004). Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan.
2. Pengujian kuesioner a. Uji pemahaman bahasa Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima apotek di luar populasi penelitian.
b. Uji validitas isi Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33
tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004). Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran
terhadap
konsep
(pengertian)
variabel
sebagaimana
dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner akan tercapai.
c. Uji reliabilitas Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34
Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).
3. Penyebaran kuesioner Kuesioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan mendampingi dalam pengisian kuesioner agar dapat menjelaskan kepada responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan pada bulan September – November 2006.
4. Pengumpulan kuesioner Kuesioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil setelah
ditinggal
selama
beberapa
waktu.
Jumlah
kuesioner
yang
dikembalikan sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan yaitu sebanyak 23 buah sesuai jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35
5. Wawancara Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985). Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis, 2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Wawancara yang dilakukan mengenai pengertian konseling dan pengertian medication record. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden yang bersedia untuk di wawancarai. Hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 7.
F. Tata Cara Analisis Data Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik (Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif dalam bentuk persentase dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik/diagram. Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apabila persentasenya lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36
Kefarmasian
di
Apotek
berdasarkan
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2007 tersebut.
G. Kesulitan Penelitian Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu : 1. tidak semua Apoteker di apotek Kota Yogyakarta bersedia menjadi responden. 2. tidak dilakukannya orientasi untuk membuat sampling frame, yang bertujuan untuk menentukan jumlah apoteker yang bersedia mengisi kuesioner sebagai populasi, sebelum menentukan jumlah sampel. 3. tidak dilakukannya wawancara kepada responden berkaitan dengan alasan responden terhadap tiap jawaban yang diberikan. 4. sulit untuk mengetahui perbandingan tingkat pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dari setiap responden.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Deskripsi Responden Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi : umur, posisi di apotek, pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang, adanya pekerjaan lain, waktu kerja di apotek dalam seminggu dan waktu kerja di apotek dalam sehari. 1. Umur responden Hasil penelitian menunjukkan responden yang berada pada rentang usia antara 21-35 tahun sebesar 73,92%, 36-50 tahun sebesar 4,35% dan yang berusia lebih dari 50 tahun sebesar 21,74%. Gambaran mengenai rentang usia responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Umur Responden 21.74% 4.35%
21-35 thn 36-50 thn >50 thn
73.92%
Gambar 1. Diagram Umur Respoden Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden, yaitu sebanyak 73,92% berada dalam rentang usia antara 21-35 tahun yang mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38
seseorang. Menurut penelitian yang dilakukan Harvard Growth Study, proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mampu berpikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku (Azwar, 1999). Berdasarkan keterangan tersebut diharapkan responden dapat memahami dan mengisi kuesioner dengan lebih baik.
2. Posisi responden di apotek Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993, apoteker di apotek ada yang disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
95,65%
responden
merupakan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan sisanya sebesar 4,35% merupakan Apoteker Pendamping. Tabel I. Posisi Responden di Apotek No
Posisi responden di apotek
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Apoteker Pengelola Apotek
22
95,65
2
Apoteker Pendamping
1
4,35
23
100
Total
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39
Tabel I di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden merupakan apoteker, baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping sesuai yang diharapkan oleh peneliti sehingga diharapkan responden dapat mengisi kuesioner dengan baik dan dapat diketahui pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek tersebut, karena seorang apoteker lebih paham mengenai segala sesuatu yang terjadi di apotek dibandingkan staf lainnya.
3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama kurang dari 1 tahun sebesar 4,35%, 1-5 tahun sebesar 60,87%, 6-10 tahun sebesar 13,04% dan yang bekerja lebih dari 10 tahun sebesar 21,74%. Gambaran mengenai pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut. Pengalaman Kerja sebagai Apoteker di Apotek 21.74%
4.35% <1 thn 1-5 thn 6-10 thn
13.04% 60.87%
Gambar 2.
> 10thn
Diagram Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker di Apotek yang Sekarang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40
Gambar 2 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (95,65%) telah memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama lebih dari 1 tahun sehingga diharapkan bahwa responden telah memahami mengenai kinerja di apotek mereka yang sekarang dan dapat mengisi kuesioner dengan baik.
4. Adanya pekerjaan lain dari responden Hasil penelitian menunjukkan bahwa 52,17% responden memiliki pekerjaan lain, selain sebagai apoteker di apotek dan sisanya yaitu sebesar 47,83% tidak memiliki pekerjaan selain sebagai apoteker di apotek. Tabel II. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden Pekerjaan lain selain sebagai apoteker
No
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Memiliki
12
52,17
2
Tidak memiliki
11
47,83
Total
23
100
Ada tidaknya pekerjaan lain selain sebagai apoteker di apotek, apa pun jenis pekerjaannya, sedikit banyak akan berpengaruh pada jam kehadiran dan kinerja apoteker di apotek. Menurut Surat Kepmenkes RI Nomor 831/Ph/64/b apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang apoteker
yang
bekerja
penuh
(full-time).
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41
diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai apoteker di apotek dan di pekerjaan lainnya sesuai Kode Etik Apoteker pasal 6, seorang apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bekerja di apotek 3-5 hari seminggu sebesar 30,43% dan yang bekerja 6-7 hari seminggu sebesar 69,57%. Tabel III. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu No 1 2 3
Waktu kerja di apotek dalam seminggu < 3 hari 3-5 hari 6-7 hari Total
Jumlah 0 7 16 23
Persentase (%) n = 23 0 30,43% 69,57% 100
Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja adalah 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Tabel III memperlihatkan bahwa sebagian besar responden bekerja 6-7 hari sehingga dapat disimpulkan bahwa responden telah memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana contoh apoteker yang bekerja di apotek perusahaan negara (Kimia Farma).
6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bekerja di apotek kurang dari 4 jam sehari sebesar 4,35%, yang bekerja 4-6 jam sehari sebesar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42
39,13% dan yang bekerja lebih dari 6 jam sehari sebesar 56,52 %. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. Waktu Kerja di Apotek dalam Sehari
39.13%
4.35%
< 4 jam 4-6 jam > 6 jam 56.52%
Gambar 3. Diagram Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Sehari Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam 1 (hari). Gambar 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden bekerja lebih dari 6 jam sehari sehingga dapat disimpulkan bahwa responden telah memenuhi ketentuan waktu kerja minimal dalam sehari yang berlaku.
B. Pengelolaan Sumber Daya 1. a. Sumber daya manusia Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 antara lain menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi dan menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43
farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek salah satunya adalah
merancang,
melaksanakan,
memonitor
dan
evaluasi
dan
mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku dan bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. Tabel IV.
No
Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA Berdasarkan persetujuan APA
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
18
78,26
2
Tidak
5
21,74
23
100
Total
Tabel IV menunjukkan bahwa apotek yang setiap keputusannya selalu diambil berdasarkan persetujuan APA sebesar 78,26%, dimana hal ini juga dinyatakan oleh responden yang merupakan apoteker pendamping. Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan APA dalam penelitian ini mencakup perencanaan, pengadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Hasil penelitian tersebut secara tidak langsung menggambarkan kualitas
seorang
apoteker
terutama
Apoteker
Pengelola
Apotek.
Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 20 menyebutkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti di dalam pengelolaan apotek. Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja asisten apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Karena itulah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44
sudah seharusnya keputusan yang diambil di apotek selalu berdasarkan persetujuan Apoteker Pengelola Apotek.
b. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sumber daya manusia.
100.00% 78.26%
Ya
50.00%
Tidak 21.74%
0.00%
Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sumber daya manusia telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, yaitu sebesar 78,26%.
2. Sarana dan prasarana a. Papan petunjuk apotek Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 menyebutkan bahwa papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45
tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm. Selanjutnya pasal 6 ayat 3 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 tentang persyaratan apotek menyebutkan bahwa papan nama harus memuat : nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor surat izin apotek dan nomor telepon, kalau ada. Tabel V. Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek No
Papan yang tertulis kata apotek
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ada
23
100
2
Tidak Ada
0
0
23
100
Total Penelitian
ini
mengacu
pada
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hanya menyebutkan bahwa pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek dan tidak membahas lebih lanjut mengenai syarat-syarat lainnya seperti yang tersebut diatas. Tabel V menunjukkan bahwa semua apotek (100%) mempunyai papan yang tertulis kata apotek pada halaman depan apotek mereka sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993 ayat 2 dan 3, sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi dan apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Kepmenkes
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46
RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 8 menyebutkan bahwa apotek dilarang menyalurkan barang atau menjual jasa yang tidak ada hubungannya dengan fungsi pelayanan kesehatan. Tabel VI.
No
Apotek yang Memisahkan Produk Kefarmasian dengan Produk Lainnya Diberikan pada tempat yang terpisah
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
14
60,87
2
Tidak
9
39,13
23
100
Total
Tabel VI menunjukkan bahwa apotek yang menempatkan produk kefarmasian terpisah dari produk lainnya sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
sebesar
60,87%
dan
39,13%
sisanya
menempatkan produk kefarmasian tidak terpisah dari produk lainnya.
c. Ruang tunggu bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Hal ini juga diatur dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 yang pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47
salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu. Tabel VII. Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien No
Ruang tunggu bagi pasien
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ada
23
100
2
Tidak Ada
0
0
23
100
Total
Tabel VII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki ruang tunggu
bagi
pasien
sesuai
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004.
d. Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien, termasuk penempatan materi informasi tersebut. Informasi disini contohnya berupa brosur, leaflet atau poster. Tabel VIII. Adanya Informasi Bagi Pasien No
Brosur/informasi mengenai kesehatan
Jumlah
Persentase (%) n = 22
1
Ada
22
95,65
2
Tidak Ada
1
4,35
22
100
Total
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48
Tabel VIII menunjukkan bahwa apotek yang menyediakan informasi bagi pasien sebesar sebanyak 95,65% dan 4,35% sisanya tidak menyediakan informasi bagi pasien. Tabel IX. Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi Tempat khusus untuk mendisplay
No
Jumlah
Persentase (%) n = 22
1
Ada
19
86,36
2
Tidak Ada
3
13,64
22
100
Total
Tabel IX menunjukkan bahwa dari apotek yang menyediakan informasi bagi pasien tersebut, 86,36% di antaranya memiliki tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut dan 13,64% sisanya tidak memiliki tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut.
e. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Tabel X. Adanya Ruang Tertutup untuk Konseling Ruang tertutup untuk konseling
No
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ada
4
17,39
2
Tidak Ada
19
82,61
23
100
Total
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49
Tabel X menunjukkan bahwa hanya 17,39% apotek yang mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien dan selebihnya sebesar 82,61% tidak mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Ruang tertutup berfungsi untuk menjaga privacy dan kenyamanan pasien selama konseling berlangsung sehingga konseling dapat berjalan dengan baik.
f. Ruang racikan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur pada Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang peracikan. Tabel XI. Adanya Ruang Racikan di Apotek No 1 2 3 4
Ruang racikan Kering saja Basah saja Kering+Basah Tidak punya Total
Jumlah 4 0 17 2 23
Persentase (%) n = 23 17,39 0 73,91 8,70 100
Tabel XI menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 73,91% apotek mempunyai ruang racikan kering dan ruang racikan basah, 17,39% apotek yang hanya mempunyai ruang racikan kering dan terdapat 8,70% apotek yang tidak mempunyai ruang racikan, baik ruang racikan kering maupun ruang racikan basah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50
Ruang Racikan 17.39% 8.70%
Kering Kering+Basah Tidak punya 73.91%
Gambar 5. Adanya Ruang Racikan di Apotek
g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 disebutkan bahwa apotek harus memiliki sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan salah satu fasilitas untuk menjaga sanitasi di apotek agar dapat terjaga dengan baik. Tabel XII. Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien No 1 2 3
Keranjang sampah Staf saja Pasien saja Staf +pasien Total
Jumlah 1 0 22 23
Persentase (%) n = 23 4,35 0 95,65 100
Tabel XII menunjukkan bahwa 95,65% apotek mempunyai keranjang sampah untuk staf dan keranjang sampah untuk pasien sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dan 4,35% sisanya hanya mempunyai keranjang sampah untuk staf.
h. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sarana dan prasarana 100% 100% 50%
100%
95.65%
91.30% 95.65%
60.87% 17.39%
0% papan petunjuk apotek tempat produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah untuk staf+pasien
Gambar 6. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan prasarana sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan sarana dan prasarana yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi adanya papan petunjuk apotek (100%), tersedianya ruang tunggu (100%), tersedianya tempat display informasi (95.65%), tersedianya keranjang sampah untuk staf dan pasien (95,65%) dan penempatan produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya (60,87%). Namun demikian masih terdapat pengelolaan sarana dan prasarana yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi tersedianya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52
ruang konseling tertutup (17,39%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. a. Perencanaan Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat (Hartini dan Sulasmono, 2006). Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang perlu diperhatikan adalah pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat. a) Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obatan untuk penyakit tersebut. b) Tingkat perekonomian masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obatobatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53
c) Budaya masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obatobatan khususnya obat-obat tanpa resep. (Hartini dan Sulasmono, 2006) Tabel XIII. Latar Belakang Perencanaan Farmasi di Apotek No 1 2 3 4
Latar Belakang Perencanaan Pola penyakit Pola penyakit dan kemampuan masyarakat Kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat Pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat Total
Pengadaan
Sediaan
3
Persentase (%) n = 23 13,04
1
4,35
1
4,35
18
78,26
23
100
Jumlah
Tabel XIII menunjukkan bahwa apotek yang memperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 78,26%, selebihnya sebesar 13,04% hanya memperhatikan pola penyakit, 4,35% hanya memperhatikan pola penyakit dan kemampuan masyarakat dan 4,35% hanya memperhatikan kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat.
b. Pengadaan Persediaan barang di apotek diadakan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada. Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian dan penerimaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54
barang (Hartini dan Sulasmono, 2006). Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
menyebutkan
bahwa
untuk
menjamin
kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. Pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk di dalamnya golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika dapat berasal langsung dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (pasal 3 Permenkes 918 Nomor 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar Farmasi) maupun apotek lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur pengadaan sediaan farmasi yang resmi hanya melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain. Tabel XIV. Sumber Perolehan Obat di Apotek No
Sumber Perolehan Obat
1 2 3 4 5 6
Jumlah
PBF PBF+apotek PBF+toko obat PBF+apotek+toko obat PBF+toko obat+swalayan PBF+apotek+toko obat+swalayan Total
10 6 1 4 1 1 23
Persentase (%) n = 23 43,47 26,09 4,35 17,39 4,35 4,35 100
Tabel XIV menunjukkan bahwa apotek yang memperoleh obatobatan
melalui
jalur
resmi
sesuai
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 1993 sebesar 69,56%, selebihnya ada yang memperoleh obat melalui jalur tidak resmi. Bagan jalur distribusi obat dapat dilihat pada lampiran 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55
c. Penyimpanan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Tabel XV. Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke Wadah Lain No
Pernah memindahkan isi ke wadah lain
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
7
30,43
2
Tidak
16
69,57
23
100
Total
Tabel XV menunjukkan bahwa apotek pada umumnya (69,57%) selalu menyimpan obat/bahan obat dalam wadah asli dari pabrik, namun terdapat 30,43% apotek yang pernah memindahkan isi obat dari wadah asli ke wadah lain. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Gambaran mengenai informasi yang disertakan apoteker pada wadah baru dapat dilihat pada Tabel XVI berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56
Tabel XVI. Informasi yang Disertakan pada Wadah Baru No 1 2 3
4
Informasi yang disertakan Tidak ada informasi Tanggal kadaluwarsa+aturan pakai Produsen+tanggal kadaluwarsa+aturan pakai+cara penyimpanan Produsen+tanggal kadaluwarsa+nomor batch+aturan pakai+cara penyimpanan Total
1 3
Persentase (%) n=7 14,29 42,85
1
14,29
2
28,57
7
100
Jumlah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, informasi yang harus dicantumkan pada wadah baru sekurang-kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Tabel XVI menunjukkan bahwa apotek yang mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 28,57%, selebihnya tidak mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa seperti yang telah ditentukan. Pencantuman ini dimaksudkan bilamana terjadi penarikan suatu obat karena sub standard dan bila apoteker tidak menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin, maka Surat Izin Apotek yang bersangkutan akan dicabut. Hal ini sesuai dengan pasal 25 Permenkes Nomor 922 tahun 1993. Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004
juga
menyebutkan bahwa semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. Kepmenkes Nomor 278
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57
tahun 1981 pasal 4 menyebutkan bahwa apotek harus mempunyai ruang penyimpan obat. Tabel XVII. Apotek yang Mempunyai Tempat Penyimpanan Khusus No
Tempat penyimpanan khusus
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ada
23
100
2
Tidak Ada
0
0
23
100
Total
Tabel XVII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki tempat
penyimpanan
khusus
untuk
obat-obat
tertentu.
Tempat
penyimpanan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini contohnya adalah tempat penyimpanan khusus untuk narkotika (pasal 7 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981) dan lemari pendingin yang digunakan untuk menyimpan obat-obat tertentu yang mudah rusak atau meleleh pada suhu kamar seperti serum dan vaksin (pasal 9 Kepmenkes RI Nomor 278 tahun 1981). Dengan mengetahui adanya tempat penyimpanan khusus di apotek tersebut secara tidak langsung dapat menggambarkan apakah apotek tersebut memperhatikan kesesuaian dan kelayakan tempat dengan kestabilan obat pada saat penyimpanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58
d. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
100.00% 78.26%
69.19%
69.57%
50.00%
28.57%
0.00% perencanaan meliputi : pola penyakit+kemampuan masyarakat+budaya masyarakat pengadaan melalui jalur resmi penyimpanan dalam wadah asli pabrik informasi yang disertakan pada wadah baru meliputi : tgl kadaluwarsa+nmr batch
Gambar 7. Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Perbekalan Kesehatan Lainnya
Farmasi
dan
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi perencanaan (78,26%), penyimpanan dalam wadah asli pabrik (69,57%) dan pengadaan (69,19%). Namun demikian masih terdapat pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi penyertaan informasi pada wadah baru (28,57%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59
4. Administrasi Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan. 1) Administrasi umum Administrasi umum ini meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. a. Pencatatan dan pengarsipan transaksi pembelian Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pembelian dan penerimaan. Tabel XVIII. Apotek yang Selalu Menyertakan Bukti/Faktur Pembelian dan Mencatat Setiap Obat yang Mereka Beli No
Selalu disertai bukti/faktur pembelian dan dicatat
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
23
100
2
Tidak
0
0
23
100
Total
Tabel XVIII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu menyertakan bukti/faktur pembelian untuk setiap obat yang mereka pesan/beli dan selalu dicatat dalam buku penerimaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60
b. Pencatatan dan pengarsipan transaksi penjualan Pasal 12 Kepmenkes RI Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa setiap penjualan harus disertai dengan nota penjualan. Pasal 13 (d) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia blangko faktur dan blangko nota penjualan. Tabel XIX. Apotek yang Penjualan
Selalu
Dilengkapi faktur/nota penjualan
No
Menyertakan
Faktur/Nota
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
19
82,61
2
Tidak
4
17,39
23
100
Total
Tabel XIX menunjukkan bahwa apotek yang selalu menyertakan faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan yang mereka lakukan sebanyak 82,61% dan 17,39% sisanya tidak selalu menyertakan faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan yang mereka lakukan. Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku penjualan dan penerimaan obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak setiap transaksi penjualan selalu dicatat dalam buku penjualan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61
Tabel XX. Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Penjualan Dalam Buku Penjualan No
Dicatat dalam buku penjualan
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
22
95,65
2
Tidak
1
4,35
23
100
Total
Tabel XX menunjukkan bahwa terdapat 4,35% apotek yang tidak selalu mencatat setiap transaksi penjualan yang terjadi. Apotek yang selalu mencatat setiap transaksi penjualan dalam buku penjualan sebesar 95,65%.
c. Pengeluaran narkotika dan psikotropika Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (g) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan obat narkotika dan psikotropika. Tabel XXI. Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Pengeluaran Narkotika dan Psikotropika Dicatat dalam buku pencatatan
No
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
23
100
2
Tidak
0
0
23
100
Total
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 menyebutkan bahwa apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan pada pasal 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 disebutkan bahwa apotek wajib membuat laporan berkala mengenai pengeluaran narkotika. Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa
semua
apotek
(100%)
selalu
melakukan pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika.
2) Administrasi pelayanan Administrasi pelayanan ini meliputi pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. a. Pengarsipan resep Gambaran mengenai pengarsipan resep dapat dilihat pada Tabel XXII berikut. Tabel XXII. Apotek yang Selalu Menyimpan Resep Secara Berurutan No
Selalu menyimpan resep secara berurutan
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
23
100
2
Tidak
0
0
23
100
Total
Pasal 7 Kepmenkes Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Hasil penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63
menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu menyimpan resep menurut urutan tanggal dan nomor resep.
b. Medication record Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication record adalah catatan pengobatan setiap pasien. Tabel XXIII. Apotek yang Selalu Medication Record No
Selalu melakukan pengisian medication record
Melakukan
Pengisian
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
9
39,13
2
Tidak
14
60,87
23
100
Total
Hasil penelitian menunjukkan 60,87% apoteker selalu melakukan pengisian medication record dan terdapat 39,13% apoteker yang tidak selalu melakukan pengisian medication record. Melalui wawancara lepas kepada beberapa responden, responden mempunyai persepsi yang hampir sama mengenai pengisian medication record, yaitu catatan pengobatan setiap pasien yang memuat antara lain data pribadi pasien (nama, usia, jenis kelamin, alamat), nomor resep, nama dokter, riwayat obat yang pernah digunakan pasien dan riwayat penyakit pasien. Berdasarkan hasil wawancara pada salah satu responden yang menyatakan tidak selalu melakukan pengisian medication record, diketahui bahwa pelaksanaan pengisian medication record hanya dilakukan pada pasien tertentu, yaitu pasien yang lansia dan pasien
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64
dengan penyakit tertentu seperti TBC dan diabetes. Berdasarkan hasil wawancara tersebut terlihat bahwa pemahaman apoteker mengenai medication record sudah sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, tetapi belum dalam pelaksanaannya.
3) Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi
100%
100%
82.61%
95.65%
100%
100% 39.13%
50% 0% pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pelaksanaan pengisian medication record
Gambar 8. Pelaksanaan Kegiatan Administrasi Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian
administrasi,
meliputi
administrasi umum dan administrasi pelayanan sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Kegiatan administrasi yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi pencatatan dan pengarsipan pembelian (100%), pencatatan narkotika dan psikotropika (100%), pengarsipan resep (100%), pencatatan penjualan (95,65%), penyertaan bukti/faktur penjualan (82,61%). Namun demikian,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65
masih terdapat kegiatan administrasi yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi pengisian medication
record
(39,13%)
sehingga
perlu
ditingkatkan
lagi
pelaksanaannya.
C. Pelayanan 1. Skrining resep Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Skrining resep dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Medication error yang berusaha diminimalisir melalui skrining resep ini adalah dispensing error yang merupakan lingkup tanggung jawab farmasis. a. Persyaratan administratif Hasil penelitian menunjukkan 95,65% apotek selalu melakukan skrining resep persyaratan administratif dan 4,35% sisanya tidak selalu melakukan skrining resep persyaratan administratif. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXIV berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66
Tabel XXIV. Apotek yang Selalu Melakukan Persyaratan Administratif No
Persyaratan administratif
Skrining
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
22
95,65
2
Tidak
1
4,35
23
100
Total Menurut
Kepmenkes
RI
Resep
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004
persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter; tanggal penulisan resep; tanda tangan/paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta; cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya. Pada
penelitian
administratif
yang
ini
tidak
dilakukan
dijabarkan
karena
mengenai
responden
persyaratan
dianggap
sudah
mengetahui dan memahami mengenai persyaratan administratif beserta cakupannya.
b. Kesesuaian farmasetik Menurut
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004
kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Gambaran mengenai pelaksanaan skrining resep kesesuaian farmasetik dapat dilihat pada Tabel XXV berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67
Tabel XXV. Skrining Kesesuaian Farmasetik
No 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10
Skrining kesesuaian farmasetik yang dilakukan Tidak melakukan Dosis Bentuk sediaan+lama pemberian Bentuk sediaan+dosis+cara pemberian+lama pemberian Bentuk sediaan+dosis+stabilitas+cara pemberian Bentuk sediaan+dosis+potensi+cara pemberian+lama pemberian Bentuk sediaan+dosis+potensi+stabilitas+inkomp atibilitas+cara pemberian Bentuk sediaan+dosis+stabilitas+inkompatibilitas +cara pemberian+lama pemberian Dosis+stabilitas+inkompatibilitas+cara pemberian+lama pemberian Bentuk sediaan+dosis+potensi+stabilitas+inkomp atibilitas+cara pemberian+lama pemberian Total
1 1 1
Persentase (%) n=23 4,35 4,35 4,35
1
4,35
1
4,35
1
4,35
1
4,35
1
4,35
2
8,70
13
56,52
23
100
Jumlah
Tabel XXV menunjukkan bahwa apotek yang melakukan skrining resep kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 56,52%, selebihnya belum melakukan skrining resep kesesuaian farmasetik secara menyeluruh, sehingga kemungkinan terjadinya medication error masih relatif besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68
c. Pertimbangan klinis Menurut
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004
pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat. Tabel XXVI. Skrining Pertimbangan Klinis
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
Skrining pertimbangan klinis yang dilakukan
1 1 1 1 1 1 1
Persentase (%) n = 23 4,35 4,35 4,35 4,35 4,35 4,35 4,35
2
8,70
2
8,70
1
4,35
11
47,82
23
100
Jumlah
Tidak melakukan Alergi Efek samping Durasi+jumlah obat Alergi+efeksamping+jumlah obat Efek samping+interaksi+jumlah obat Alergi+efek samping+interaksi+durasi Alergi+efek samping+durasi+jumlah obat Alergi+efek samping+interaksi+jumlah obat Efek samping+interaksi+durasi+jumlah obat Alergi+efek samping+interaksi+durasi+jumlah obat Total
Tabel XXVI menunjukkan bahwa apotek yang melakukan skrining resep pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi , durasi dan
jumlah
obat
sesuai
1027/MENKES/SK/IX/2004
dengan sebesar
Kepmenkes 47,82%,
RI
selebihnya
Nomor belum
melakukan skrining resep sehingga kemungkinan terjadinya medication error masih relatif besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69
d. Konsultasi dengan dokter penulis resep Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan bahwa resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan bahwa jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Konsultasi dengan dokter penulis
resep
juga
dapat
dimanfaatkan
untuk
membangun
dan
meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan pasal 25 Kode Etik Apoteker Indonesia. Tabel XXVII. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep No
Selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
18
78,26
2
Tidak
5
21,74
23
100
Total
Tabel XVII menunjukkan bahwa apotek yang selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep sebesar 78,26% dan 21,74% sisanya tidak selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70
e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep
100.00%
95.65% 78.26% 56.52%
50.00%
47.82%
0.00% persyaratan administratif kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian pertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat konsultasi dengan dokter penulis resep
Gambar 9. Pelaksanaan Skrining Resep Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi skrining resep persyaratan administratif (95,65%), konsultasi dengan dokter penulis resep (78,26%) dan skrining resep kesesuaian farmasetik (56,52%). Namun demikian, masih terdapat skrining resep yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase di bawah 50%, meliputi skrining resep pertimbangan klinis (47,82%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71
2. Penyiapan obat a. Etiket Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat menyebabkan
terjadinya
medication
error
karena
pasien
salah
membaca/mengartikan apa yang tertulis di etiket, karena itulah maka etiket harus jelas dan dapat dibaca. Tabel XXVIII. Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien Pernah terjadi keluhan tentang etiket
No
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
2
8,70
2
Tidak
21
91,30
23
100
Total
Tabel XXVIII menunjukkan bahwa terdapat 91,30% apotek yang tidak pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien dan 8,70% sisanya pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien karena tidak jelas atau sulit dibaca sehingga dapat menyebabkan terjadinya medication error.
b. Penyerahan obat Menurut
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004
sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72
Tabel XXIX.
Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep Sebelum Diserahkan ke Pasien
Selalu melakukan pengecekan sebelum diserahkan ke pasien
No
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
23
100
2
Tidak
0
0
23
100
Total
Tabel XXIX menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien. Pemeriksaan akhir (medication review) dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak farmasis. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Hal ini juga tertera pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian yang menyebutkan bahwa salah satu standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah memberikan pelayanan informasi obat dan memberikan konsultasi obat. Pasal 7 Kode Etik Apoteker Indonesia menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah memberikan informasi mengenai obat kepada pasien sehingga apoteker
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73
sebaiknya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien agar dapat menjalankan kewajiban tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 juga menyebutkan bahwa jika apoteker tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan informasi kepada pasien maka akan dikenakan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Tabel XXX. Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung Dalam Penyerahan Obat ke Pasien
No
Selalu terlibat dalam penyerahan obat
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
15
65,22
2
Tidak
8
34,78
23
100
Total
Tabel XXX menunjukkan bahwa apotek yang apotekernya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien sebesar 65,22% dan 34,78% sisanya tidak selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk memberikan informasi kepada pasien.
c. Informasi obat Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa informasi obat yang harus diberikan kepada pasien sekurangkurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74
waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari. Tabel XXXI. Informasi Obat yang Diberikan Apoteker No 1 2
3
Informasi Obat yang diberikan Cara pemakaian obat+jangka waktu pengobatan Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan+ makanan dan minuman yang harus dihindari+aktivitas yang harus dihindari Total
Jumlah
Persentase (%) n = 23
2
8,70
8
34,78
13
56,52
23
100
Tabel XXXI menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan informasi kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
sebesar
56,52%,
selebihnya
belum
memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien. Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat pasien mengkonsumsi obat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75
d. Konseling Menurut
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004
konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga menyebutkan bahwa apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti sengaja tidak memberikan batasan mengenai pengertian konseling karena peneliti bermaksud mengetahui kesesuaian antara pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mengenai pengertian konseling. Melalui wawancara lepas kepada beberapa responden, sebagian besar dari mereka mempunyai pemahaman yang hampir sama mengenai pengertian konseling yaitu konseling adalah proses tanya jawab searah antara pasien dengan apoteker, dimana apoteker hanya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pasien. Dari sini terlihat bahwa apoteker mempunyai pemahaman yang berbeda/tidak sesuai dengan yang tertera pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Responden juga berpendapat bahwa konseling dan konsultasi itu mempunyai pengertian yang sama, padahal konseling dan konsultasi mempunyai pengertian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76
berbeda. Jika konseling merupakan proses dua arah, konsultasi merupakan proses satu arah dan ada perbedaan status, baik dalam hal pengalaman maupun pengetahuan. Salah seorang responden berpendapat bahwa konseling merupakan proses searah, sedangkan konsultasi merupakan proses dua arah. Berdasarkan hasil wawancara ini terlihat kalau apoteker belum mengetahui pengertian konseling yang sebenarnya. Namun demikian, walaupun mempunyai pemahaman yang berbeda namun dalam pelaksanaannya apoteker sering melakukan apa yang disebut konseling karena mereka juga menerima masukan dari pasien yang mungkin lebih mengetahui dari dokter yang menangani pasien tersebut, tentang obatobatan yang sering mereka konsumsi. Tabel XXXII. Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling Setiap Hari di Apotek No
Selalu menyediakan jam konseling setiap hari
Jumlah
Persentase (100%) n = 23
1
Ya
20
86,96
2
Tidak
3
13,04
23
100
Total
Tabel XXXII di atas menunjukkan bahwa apoteker yang menyatakan bahwa mereka selalu menyediakan jam konseling bagi pasien setiap harinya di apotek sebesar 86,96%, selebihnya yaitu sebesar 13,04% belum menyediakan jam konseling setiap hari. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77
TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling
secara
berkelanjutan.
Gambaran
mengenai
pelaksanaan
pemberian konseling secara berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel XXXIII berikut. Tabel XXXIII. Apoteker yang Berkelanjutan
Memberikan
1
Memberikan konseling secara berkelanjutan Ya
2
Tidak
No
Total
Konseling
Secara
Jumlah
Persentase (%) n = 23
15
65,22
8
34,78
23
100
Tabel XXXIII menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma dan penyakit kronis lainnya hanya sebesar 43,48% dan apoteker yang tidak memberikan konseling secara berkelanjutan sebesar 56,52%. Penderita penyakit tertentu seperti yang telah disebutkan membutuhkan jangka waktu pengobatan yang tidak sebentar untuk dapat sembuh dan harus teratur meminum obat yang telah diberikan, karena itulah apoteker seharusnya memberikan perhatian khusus kepada mereka, salah satunya adalah dengan memberikan konseling secara berkelanjutan guna mendukung proses penyembuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78
e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian penyiapan obat 100.00%91.30%
100% 86.96% 65.22%
65.22%
56.52%
50.00%
0.00% etiket jelas&dapat dibaca
pengecekan resep sebelum diserahkan
keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat
jam konseling setiap hari
konseling secara berkelanjutan
informasi yang diberikan meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari
Gambar 10. Pelaksanaan Penyiapan Obat Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, maliputi pengecekan resep sebelum diserahkan kepada pasien (100%), penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca (91,30%), adanya jam konseling setiap hari (86,96%), keterlibatan apoteker secara langsung dalam penyerahan obat (65,22%), adanya konseling secara berkelanjutan (65,22%) dan pemberian informasi oleh apoteker kepada pasien (56,52%).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79
3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi a. Diseminasi informasi kesehatan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi,
antara
lain
dengan
penyebaran
leaflet/brosur,
poster,
penyuluhan dan lain-lainnya. Tabel XXXIV. Apoteker yang Pernah Informasi Kesehatan No
Pernah melakukan diseminasi informasi kesehatan
Melakukan
Diseminasi
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
15
65,22
2
Tidak
8
34,78
23
100
Total
Tabel XXXIV menunjukkan bahwa apoteker yang pernah melakukan diseminasi (penyebaran) informasi kesehatan hanya sebanyak 30,43% dan 69,57% sisanya tidak pernah melakukan diseminasi (penyebaran) informasi kesehatan.
b. Tindak lanjut terapi Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80
(pelayanan residensial), khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Tabel XXXV. Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi No
Melakukan tindak lanjut terapi
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
10
43,48
2
Tidak
13
56,52
23
100
Total
Tabel XXXV menunjukkan bahwa apoteker yang melakukan tindak lanjut terapi, misalnya dengan mengunjungi pasien atau komunikasi melalui telepon untuk memantau keadaan pasien hanya sebanyak 43,48%, sedangkan 56,52% sisanya tidak melakukan tindak lanjut terapi. Selain melakukan konseling secara berkelanjutan, tindak lanjut terapi dengan kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon merupakan salah satu bentuk perhatian khusus yang seharusnya dilakukan apoteker guna mendukung proses penyembuhan pasien, terutama bagi pasien lansia atau pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81
c. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi 100.00% 65.22% 50.00%
43.48%
0.00% diseminasi informasi kesehatan
tindak lanjut terapi
Gambar 11. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi belum dilaksanakan dengan baik secara menyeluruh. Pelayanan promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi diseminasi informasi kesehatan (65,22%) dan yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi pelayanan tindak lanjut terapi (43,48%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
D. Evaluasi Mutu Pelayanan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82
1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apotek yang pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen hanya sebanyak 21,74%, sedangkan sebanyak 78,26% apotek tidak pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVI berikut. Tabel XXXVI. Apotek yang Pernah Melakukan Survey No
Pernah melakukan survey tingkat kepuasan konsumen
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
5
21,74
2
Tidak
18
78,26
23
100
Total
Survey ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pasien/pengunjung apotek mengenai kinerja di apotek dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi oleh APA agar dapat meningkatkan mutu pelayanan di apotek mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari apotek yang pernah melakukan survey tersebut, 40% di antaranya melakukan survey dengan angket dan 60% dengan wawancara.
40% Angket Wawancara 60%
Gambar 12. Bentuk Survey
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83
2. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 8,70% apotek yang menetapkan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) dan 91,30% sisanya tidak menetapkan lama pelayanan per pasien. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVII berikut. Tabel XXXVII. Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan No
Menetapkan lama pelayanan
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ya
2
8,70
2
Tidak
21
91,30
23
100
Total
Penetapan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) bertujuan agar apoteker cepat tanggap dalam melayani pasien sehingga pasien tidak menunggu terlalu lama untuk mendapatkan obat. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan lama waktu untuk tiap pembuatan dan pengambilan setiap sediaan, misalnya salep, puyer, kapsul, sirup, baik dalam sediaan tunggal maupun campuran sehingga pasien mendapatkan kepastian waktu.
3. Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 47,83% apotek yang mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien dan 52,17%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84
sisanya tidak mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVIII berikut. Tabel XXXVIII. Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap No
Ada prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien
Jumlah
Persentase (%) n = 23
1
Ada
11
47,83
2
Tidak ada
12
52,17
23
100
Total
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 prosedur tetap ini antara lain bermanfaat untuk memastikan bahwa praktek yang baik dapat tercapai setiap saat dan adanya pembagian tugas dan wewenang di apotek. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya alur pelayanan resep di apotek sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik karena tidak terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang. Contoh alur pelayanan resep dapat dilihat pada lampiran 8.
4. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan 100.00% 50.00%
47.83% 21.74%
8.70%
0.00% survey tingkat kepuasan konsumen waktu pelayanan per pasien prosedur tetap
Gambar 13. Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan belum dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, yaitu untuk pelaksanaan survey tingkat kepuasan konsumen sebesar 21,74%, penetapan waktu pelayanan per pasien sebesar 8,70% dan untuk penetapan prosedur tetap sebesar 47,83%, sehingga perlu ditingkatkan pelaksanaannya.
E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Yogyakarta Berdasarkan Tiga Parameter Utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian
di
Apotek
berdasarkan
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta karena masih terdapat persentase pelaksanaan di bawah 50% pada tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, yaitu pengelolaaan sumber daya, pelayanan maupun evaluasi mutu pelayanan (Gambar 14). Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang paling rendah tingkat pelaksanaannya berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah bagian evaluasi mutu pelayanan, karena semua persentase pelaksanaannya masih di bawah 50% sehingga perlu perhatian yang lebih agar dapat ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86
100.00%
50.00%
0.00% Pengelolaan Sumber Daya
Pelayanan
pengambilan keputusan di apotek (78,26%) penempatan produk yg terpisah (60,87%) tempat display informasi (95,65%) ruang racikan (91,30%) perencanaan (78,26%) penyimpanan (69,57%) pencatatan&pengarsipan pembelian (100%) pencatatan penjualan (95,65%) pengarsipan resep (100%) persyaratan administratif (95,65%) pertimbangan klinis (47,82%) etiket jelas&dapat dibaca (91,30%) keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (65,22%) konseling secara berkelanjutan (65,22%) diseminasi informasi kesehatan (65,22%) survey tingkat kepuasan konsumen (21,74%) prosedur tetap (47, 83%)
Evaluasi Mutu Pelayanan papan petunjuk apotek (100%) ruang tunggu (100%) ruang konseling tertutup (17,39%) keranjang sampah (95,65%) pengadaan (69,19%) informasi pada w adah baru (28,57%) penyertaan bukti/faktur penjualan (82,61%) pencatatan narkotika&psikotropika (100%) pengisian medication record (39,13%) kesesuaian farmasetik (56,52%) konsultasi dengan dokter (78,26%) pengecekan resep sebelum diserahkan (100%) jam konseling setiap hari (86,96%) informasi yg diberikan pada pasien (56,52%) tindak lanjut terapi (43,48%) w aktu pelayanan per pasien (8,70%)
Gambar 14. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa Apoteker di apotek-apotek di Kota Yogyakarta belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian
di
Apotek
berdasarkan
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan masih terdapatnya persentase pelaksanaan yang kurang dari 50%, yaitu : adanya ruang konseling tertutup, informasi yang disertakan pada wadah baru meliputi tanggal kadaluwarsa dan nomor batch, pengisian medication record, pelaksanaan skrining resep pertimbangan klinis, pelaksanaan tindak lanjut terapi dan pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan.
B. SARAN 1. Dalam rangka menindak lanjuti hasil penelitian ini, diharapkan adanya respon positif dari pihak Departemen Kesehatan, ISFI dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk mensosialisasikan pelaksanaan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004
dengan
mengadakan
pelatihan,
bimbingan,
penyuluhan dan seminar terutama mengenai medication record, pelayanan residensial, menghindari medication error, manfaat/tujuan ruang konseling tertutup, adanya jam konseling bagi pasien, pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan apotek sehingga Apoteker Pengelola Apotek di Kota Yogyakarta
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88
dapat melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004 dengan persepsi dan pemahaman yang sama dengan adanya Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan Juknis (Petunjuk Teknis) dari instansi yang terkait. 2. Perlu peningkatan kesadaran Apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta akan pentingnya pemahaman perundang-undangan terutama Keputusan Menteri mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. 3. Perlu dilakukan penelitian sejenis pada tingkat populasi yang lebih besar seperti penelitian pada tingkat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengacu pada pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian dengan responden yang berbeda yaitu Apoteker di Rumah Sakit. 5. Perlu diadakannya wawancara pada penelitian selanjutnya, mengenai alasan responden untuk tiap jawaban yang diberikan sehingga dapat diketahui latar belakang sudah dilaksanakan maupun belum dilaksanakannya Standar Pelayanan Kefarmasian tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89
DAFTAR PUSTAKA
Adi, R., 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, 79-82, Granit, Jakarta Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Anonim, 1962, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Lafal Sumpah/Janji Apoteker, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1965, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1980, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 278/MENKES/SK/V/1981 Tentang Persyaratan Apotik, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 280/MENKES/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotik, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981c, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26/MENKES/ PER/I/1981, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta Anonim, 1992, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1993a, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1993b, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90
Anonim, 1995, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 184/MENKES/PER/II/1995 Tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti da Izin Kerja Apoteker, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1996, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1997a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1997b, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta Azwar, S., 1999, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Azwar, S., 2003, Reliabilitas dan Validitas, 4-8, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Budiharjo, 1981, Kode Etik Kefarmasian, Pembinaan Profesi Apoteker Pengelola Apotek, Jilid B, 4-5, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Pelaksanaan Departemen Kesehatan Republik Indonesua, Jakarta Harding, dkk, 1993, Sociology for Pharmacists; an Introduction, The Macmillan, London
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91
Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2006, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-Undangan Terkait Apotek, Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ISFI, 2001, Draft Hasil Rapat Kerja Nasional I, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Semarang Isdaryadi, F. Wisnu., 2005, Bisnis Berwawasan Etika, Ombudsman, No.II, 10-11 Kontour, R., 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, 105, PPM, Yogyakarta Mardalis, 2006, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, 24-69, Bumi Aksara, Jakarta. Nawawi, H., 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Pratiknya, A.W., 2001, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, 67-68, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Salim, P. dan Yenny Salim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi III, Modern English Press, Jakarta Sirait, M., 2001, Tiga Dimensi Farmasi: Ilmu-Teknologi, Pelayanan Kesehatan dan Potensi Ekonomi, Institut Darma Mahardika, Jakarta Sevilla, C.G., dkk, 1993, Pengantar Metode Penelitian, diterjemahkan oleh Alimuddin Tuwu, edisi pertama, 160-163, UI-Press, Jakarta Sulasmono, 1997, Profesi di Apotek Sekarang dan Masa Depan dengan Analisis SWOT, Diskusi Kuliah Pengantar Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Trisna, Y., 2007, Mencegah Medication Error, Makalah Seminar Patient Safety and Drug Information, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Wahyuni, B., 2005, Publik Tidak Boleh Ditipu Lagi, Ombudsman, No.II, 25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
L.bpim
1. Sunt Pctrg! $ KtrBioftr
P€lelitirr
UniveEitas Sanard Dhama
Apot€kerPengelola Apotek
Delam ranqka m€nyeleeikanjenjang studi S-1, *ya bermaksud menqadalan p€nelldan dengan judui 'Pelaksanaanstanda. Pelayanan KefarnasiEn
dl
AooGk
Aerdasarkan
Keomenkes RI Nomor 1027/MENKES/SVIV2004 di KotaYoqyakarta", Sehlbungandenganhal ltu, saya mohon kerelaanBapalrlbu (ntuk menjawabpertanyaanberikut denganJengkapdan suai denqankondlsJ yans sebenarnya.semua Inromasr yang Bapali/Ibuberikan akan dijaga kedhasianny6d€mi kepentinqan ilmiah, AtasbantuanBapaldlb!sayaucapkanteilma kasih,
NIi4:034114022
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN
PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI KOTA YOGYAKARTA
I.
Data Responden Petunjuk Pengisian : Lingkarilah jawaban yang benar No 1.
Pertanyaan Berapakah umur Anda?
Jawaban a. 21-35 tahun b. 36-50 tahun c. >50 tahun
2.
Apakah posisi Anda di apotek ?
a. APA b. Apoteker Pendamping c. Apoteker Pengganti
3.
Berapa lama pengalaman Anda bekerja sebagai
a. <1 tahun
Apoteker di apotek yang sekarang?
b. 1-5 tahun c. 6-10 tahun d. >10 tahun
4.
Apakah Anda memiliki pekerjaan yang lain?
a. Ya b. Tidak
5.
Berapa hari rata-rata Anda bekerja di apotek
a. <3 hari
dalam seminggu?
b. 3-5 hari c. 6-7 hari
6.
Berapa lama rata-rata Anda bekerja di apotek
a. <4 jam
dalam satu hari?
b. 4-6 jam c. >6 jam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94
II.
Kuesioner Tentang Pengelolaan Sumber Daya Petunjuk Pengisian: Berilah tanda ╳ pada jawaban yang sesuai
No
Pertanyaan
YA
Apakah pada halaman depan apotek Anda terdapat 1 papan yang tertulis kata apotek? Apakah apotek Anda memiliki ruang tunggu bagi 2 pasien? a. Apakah di apotek Anda tersedia informasi berupa brosur, leaflet atau poster mengenai kesehatan (misalnya obat-obat baru)? 3 b. Jika ya, apakah ada tempat khusus untuk mendisplay
informasi
tersebut
(misalnya
penempatan brosur dalam suatu wadah)? Apakah apotek Anda memiliki ruangan tertutup untuk 4 konseling bagi pasien? Apakah apotek Anda memiliki : 5
a. ruang racikan kering? b. ruang racikan basah? Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang
6 tersedia untuk staf? Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang 7 tersedia untuk pasien? Apakah dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi Anda memperhatikan : 8
a. pola penyakit? b. kemampuan masyarakat? c. budaya masyarakat?
TIDAK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95
1. Dari manakah Anda memperoleh obat-obatan? a. PBF b. Pabrik farmasi c. Apotek lain d. Toko obat 9 e. Swalayan 2. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu disertai bukti/faktur pembelian? 3. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu dicatat dalam buku penerimaan? Adakah tempat penyimpanan khusus (misalnya lemari 10
pendingin atau tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika) untuk obat tertentu (misalnya serum, vaksin)? 1. Apakah apotek Anda pernah memindahkan isi obat dari wadah asli ke wadah lain? 2. Jika ya, apakah informasi di bawah ini Anda sertakan pada wadah baru tersebut?
11
a.Produsen (pabrik) b.Nomor batch c.Tanggal kadaluarsa d.Aturan pakai e.Cara penyimpanan Apakah pelayanan produk kefarmasian (misalnya obat, kosmetik, makanan) diberikan pada tempat yang
12 terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya (misalnya pembalut wanita, alat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96
kontrasepsi, popok bayi)? Apakah setiap penjualan selalu dilengkapi dengan 13 faktur atau nota penjualan? Apakah setiap penjualan selalu dicatat dalam buku 14 penjualan? Apakah setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika 15
selalu dicatat dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika? Apakah setiap resep selalu disimpan menurut urutan
16 tanggal dan nomor urut resep? 17
III.
Apakah Anda selalu melakukan medication record?
Kuesioner Tentang Pelayanan Petunjuk Pengisian: Berilah tanda ╳ pada jawaban yang sesuai No 18
Pertanyaan Apakah Anda selalu melakukan skrining resep, meliputi : 1. PERSYARATAN ADMINISTRATIF 2. KESESUAIAN FARMASETIK : a. Bentuk sediaan b. Dosis c. Potensi d. Stabilitas e. Inkompatibilitas f. Cara pemberian g. Lama pemberian 3. PERTIMBANGAN KLINIS : a. Alergi
YA
TIDAK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97
b. Efek samping c. Interaksi e. Durasi f. Jumlah obat Apakah Anda selalu melakukan konsultasi dengan 19
dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep? Apakah
20
anda
selalu
melakukan
pengecekan
kesesuaian antara obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien? Apakah apoteker selalu terlibat langsung dalam
21 penyerahan obat kepada pasien? Apakah Anda selalu memberikan infomasi mengenai: a. Cara pemakaian obat b. Cara penyimpanan obat 22 c. Jangka waktu pengobatan d. Makanan dan minuman yang harus dihindari e. Aktivitas yang harus dihindari Apakah pernah terjadi keluhan dari pasien mengenai 23 etiket (tidak jelas/sulit dibaca)? Apakah keputusan yang diambil di apotek (mencakup perencanaan, pegadaan dan penyimpanan sediaan 24 farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya) selalu berdasarkan persetujuan APA ? Apakah Anda menyediakan jam konseling setiap hari 25 bagi pasien?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98
Apakah Anda juga menyediakan jam konseling secara berkelanjutan, terutama untuk penderita penyakit 26 tertentu
seperti
cardiovascular,
diabetes,
TBC,
asthma, dan penyakit kronis lainnya? Apakah Anda melakukan tindak lanjut terapi (misalnya 27
melalui komunikasi telepon dengan pasien atau mengunjungi pasien)? Apakah
Anda
(penyebaran)
pernah
melakukan
diseminasi
informasi
kesehatan
(misalnya
28 penyebaran
brosur
dan
poster,
melakukan
penyuluhan)?
IV.
Kuesioner Tentang Evaluasi Mutu Pelayanan Petunjuk Pengisian: Berilah tanda ╳ pada jawaban yang sesuai No
Pertanyaan 1. Apakah pernah dilakukan survey mengenai tingkat
29 kepuasan konsumen? 2. Jika ya, apakah survey tersebut berupa: a.Angket b.Wawancara Apakah Anda menetapkan lama pelayanan (waktu 30 pelayanan maksimal per pasien)? Apakah ada prosedur yang tertulis dan tetap dalam 31 pelayanan pasien?
YA
TIDAK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100
Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker
Lafal Sumpah/Janji Apoteker berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 : (1) Sebelum
seorang
mengucapkan
apoteker
sumpah
melakukan
menurut
cara
jabatannya, agama
yang
maka
ia
dipeluknya,
harus atau
mengucapkan janji. Ucapan sumpah dimulai dengan, kata-kata “Demi Allah” bagi mereka yang beragama Islam, dan sumpah untuk agama lain, pemakaian kata-kata “Demi Allah”…..disesuaikan dengan kebiasaan agama masingmasing.
(2) Sumpah/Janji itu berbunyi sebagai berikut : 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan; 2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai apoteker; 3. Sekalipun
diancam,
saya
tidak
akan
mempergunakan
pengetahuan
kefarmasian saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; 4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguhsungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial; 6. Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsyafan. (Anonim, 1962)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102
Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA Mukadimah Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu : BAB I Kewajiban Umum Pasal 1 : sumpah/janji Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker. Pasal 2 Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia. Pasal 3 Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. Pasal 4 Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. Pasal 5 Didalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Pasal 6 Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103
Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Pasal 8 Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundangundangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi khususnya.
BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Penderita Pasal 9 Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarkat dan menghormati hak azasi penderita dan melindungi mahluk hidup insani. BAB III Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Pasal 10 Setiap Apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Pasal 11 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik. Pasal 12 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya. BAB IV Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Petugas Kesehatan Lainnya Pasal 13 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104
Pasal 14 Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya. BAB V Penutup Pasal 15 Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasian sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105
Lampiran 6. Jalur Distribusi Obat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 106
Lampiran 7. Hasil Wawancara (P) : Peneliti (R) : Responden
Responden 1 P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record? R : medication record itu adalah catatan pengobatan pasien. P : setiap pasien atau hanya pasien tertentu saja? R : Seharusnya setiap pasien, tapi disini kami baru melakukan pada pasien tertentu saja kayak yang udah lansia atau yang punya penyakit tertentu yang butuh dikontrol. P : keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record? R : semuanya tentang pasien. Nama pasien, macam-macam obat yang rutin di pakai, terutama untuk pasien yang lansia, yang punya penyakit seperti TBC itu harus dikontrol, misalnya dengan di telepon pada akhir bulan untuk mengetahui perkembangannya. P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling? R : konseling itu proses tanya jawab antara pasien dengan apoteker. P : pasien tanya dan anda menjawab? R : iya. P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau berbeda?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 107
R : kalau konseling itu lebih spesifik, kita memberi tahu mereka tentang semuanya. P : maksud Anda prosesnya searah?bagaimana dengan konsultasi? R : iya. Kalau konsultasi itu dua arah.
Responden 2 P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record? R : medication record itu catatan mengenai data-data tentang pasien, penyakitnya, pola pengobatannya. P : setiap pasien? keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record? R : iya, setiap pasien. Ada nama pasien, nomor resep, alamat pasien, alamat dokter terutama untuk resep yang ada narkotikanya, riwayat penyakit. P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling? R : konseling itu proses dimana kalau pasien tanya mengenai obat-obatan dan penyakit. P : maksud Anda proses tanya jawab? R : iya. Jika pasien bingung bisa tanya terus kita beri penjelasan. P : hanya pasien saja yang bertanya dan Anda hanya menjawab? R : gak juga. Kadang kita juga harus bertanya untuk mengetahui kondisi pasien yang sebenarnya. P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau berbeda? R : menurut saya konseling dan konsultasi itu sama cuma beda istilah saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 108
Responden 3 P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record? R : medication record itu data atau catatan yang memuat data pasien. P : setiap pasien atau hanya pasien tertentu saja? R : setiap pasien yang datang. P : keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record? R : data pribadi pasien ; nama, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, terus obat yang dikonsumsi, data dokter, pemberian obat. P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling? R : konseling itu penyebaran informasi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang ditanyakan pasien, penyakit, obat, efek samping. P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau berbeda? R : sama, hanya beda istilah. Menurut saya konsultasi itu proses dari konseling.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 109
Lampiran 8. Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan Konsumen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110
Lampiran 9. Contoh Alur Pelayanan Resep
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 111
BIOGRAFI PENULIS
Monica Arum Sukmajati, anak kedua dari pasangan St. Kasidjan dan R. Sumaryati. Lahir di Palembang, pada tanggal 5 September 1985. Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis adalah TK&SD Xaverius 5 Palembang, SMP&SMU Xaverius 1 Palembang dan melanjutkan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta.