PENGEMBANGAN MODEL PENANGANAN TINDAKAN BULLYING PADA SISWA SMA/SMK DI KOTA YOGYAKARTA Oleh: Siti Hafsah Budi Argiati Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta ABSTRACT This research is aimed to produce a treatment method for bullying in high schools/vocational schools in the city of Yogyakarta. More specifically, the research is expected to (1) describe the intensity of bullying among students, (2) identify problems that occur in the field, (3) describe the perceptions of teachers, students, and parents on the implementation of the handling of bullying. The study was conducted at six senior high schools/vocational schools in the city of Yogyakarta as a whole, amounted to 353 students, 115 school staffs and 47 parents of students. Data obtained using the documentation, the scale, indepth interviews, and observation technique. The scale is designed to identify the victims and perpetrators of bullying and the perception of teachers, learners, and parents to acts of bullying in schools. Observation technique is used to examine the teaching and learning process. While interview is used to dig deeper understanding in matters related to the handling of bullying. The study will conclude by outlining a treatment model whereby to meet the challenge of school bullying.
Key words: model, bullying, senior high school / vocational school
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah metode treatmen untuk mencegah terjadinya bullying atau intimidasi di SMA / SMK di kota Yogyakarta. Lebih khusus, penelitian ini diharapkan (1) menggambarkan intensitas bullying di kalangan siswa, (2) mengidentifikasi masalah yang terjadi di sekolah, (3) mendeskripsikan persepsi guru, siswa, dan orang tua pada pelaksanaan penanganan bullying. Penelitian dilakukan di enam sekolah tinggi / sekolah SMK di kota Yogyakarta secara keseluruhan, dengan jumlah subjek sebesar 353 siswa, 115 staf sekolah dan 47 orang tua siswa. Data yang diperoleh dengan menggunakan dokumentasi, skala, wawancara mendalam, dan teknik observasi. Skala ini didesain untuk mengidentifikasi korban, pelaku bullying, persepsi guru, peserta didik, dan orang tua yang putra atau putrinya melakukan tindakan bullying di sekolah. Teknik observasi digunakan untuk mengamati proses belajar mengajar. Sedangkan wawancara digunakan untuk menggali pemahaman yang lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan penanganan bullying. Penelitian ini akan menyimpulkan dengan menguraikan model pengobatan dimana untuk memenuhi tantangan bullying di sekolah .
Kata kunci : Model , bullying, SMA / SMK
Sejak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pendidikan telah disadari sebagai suatu jalan untuk mencapai kemajuan negara. UUD RI 1945 telah mengamanatkan kepada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengacu pada pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, tujuan dari dilaksanakannya program pendidikan nasional tidak lain adalah untuk "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Pada tahun 2009 - 2011, kota Yogyakarta mengeluarkan sebuah tematik pembangunan yang berbunyi "Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas dengan Dukungan SDM yang Profesional". Maksud "Kota Pendidikan Berkualitas" adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan di kota Yogyakarta harus memiliki standar kualitas yang tinggi, memiliki keunggulan kompetitif dalam ilmu dan teknologi, menciptakan keseimbangan antara kecerdasan intelegensia (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ), sistem kebijakan pendidikan yang profesional serta penyediaan sarana prasarana pendidikan yang memadai. Makna lain pendidikan yang berkualitas ditunjukkan pada sistem pendidikan sejak input, proses dan output yang berkualitas, dari jenjang pendidikan terendah hingga jenjang pendidikan tertinggi, termasuk pendidikan yang ada di dalam keluarga dan masyarakat. Citra kota Yogyakarta tidak terlepas dari kondisi para pelajarnya. Saat ini tercatat terdapat 35.318 pelajar SMA, SMK dan MA Negeri dan swasta mengikuti proses belajar mengajar (Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, 2012). Keberhasilan mereka tidak terlepas dari peran pendidik yang berkualitas. Kepala sekolah, guru bidang studi, serta guru Bimbingan dan Konseling (BK) mempunyai peran penting dalam pembentukan kepribadian pelajar. Banyaknya kasus bullying di lingkungan sekolah, berikut perkelahian atau tawuran antar pelajar yang marak di beritakan di media massa beberapa waktu
terakhir, tentunya menjadi concern tersendiri berkaitan dengan arah sistem pendidikan di tanah air. `Bullying' seakan telah menjadi `bagian hidup' pelajar. Kasus bullying dalam bentuk paling `ringan' seperti kata-kata, hingga yang paling `keras' seperti kekerasan fisik, mudah ditemukan di lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan, tindak bullying nyaris sudah terjadi di banyak sekolah maupun perguruan tinggi selama bertahun-tahun. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya tawuran pelajar sering terjadi dan memakan korban yang tidak sedikit. Di Jabodetabek misalnya, sejak Januari 2012 hingga 26 September 2012, terdapat 103 kasus yang mengakibatkan setidaknya 17 remaja tewas dalam tawuran (Tempo, September 2012). Sedangkan di kota Yogyakarta, tindak tawuran pelajar kerap kali terjadi, disebabkan oleh jumlah sekolah yang cukup banyak dan lokasinya yang saling berdekatan (RMOL, September 2012). Hal tersebut diperparah dengan kemunculan jumlah geng pelajar yang hampir ada di tiap sekolah dan sering mengarah pada tindak kriminalitas (Seputar Indonesia, Januari 2012). Penelitian yang dilakukan Psikolog Diena dari Sejiwa (2005-2007) pada pelajar usia 9 sampai 19 tahun di 3 kota; Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya menunjukkan bahwa 70% siswa mengaku pernah mendapat perlakuan bullying. Hasil penelitian tersebut menempatkan kota Yogyakarta pada posisi tertinggi. Hasil penelitian terhadap siswa di kota Yogyakarta ini menunjukkan bahwa tindakan bullying dapat memberikan berbagai macam dampak negatif seperti; korban
bullying
merasa
tertekan/gugup,
konsentrasi
berkurang,
tidak
nyaman/terancam, malu, dan kehilangan kepercayaan diri. Tindakan bullying juga menstimulus reaksi korban untuk membalas tindakan bullying selanjutnya. Fakta ini sangat memprihatinkan. Apabila hal ini terus terjadi, sekolah akan menjadi tempat yang tidak nyaman, bahkan cenderung menakutkan bagi para pelajar. Karena dampaknya yang sangat luar biasa, terutama bagi korban, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengembangan model penanganan tindak bullying.
Definisi Bullying Dalam bahasa sederhana, bullying digunakan untuk menjelaskan berbagai
perilaku kekerasan yang sengaja dilakukan secara terencana oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa lebih berkuasa terhadap seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya melawan perlakuan tersebut. Dalam kamus bahasa, bullying adalah orang yang mengganggu orang yang lemah, dapat pula diartikan sebagai anak yang lebih tua mengganggu anak yang lebih muda (Sadely, 2003). School bullying, bentuk bullying yang terjadi di ranah pendidikan, dapat berbentuk verbal seperti ancaman, mengejek, atau ancaman fisik, seperti serangan maupun pencurian (Hendershot, dkk, 2006). Kekuatan fisik dan psikologis yang tidak seimbang, baik yang nyata atau yang merupakan anggapan, juga merupakan makna lain dari bullying (Woods & White, 2005). Perilaku bullying mengandung risiko berbahaya dan kerugian bagi orang lain maupun pelakunya. Tindakan ini dapat terjadi dalam lingkup yang luas baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Perilaku bullying merupakan bentuk perilaku agresi yang saat ini menjadi isu serius, seperti tawuran siswa, perselisihan antar pribadi, pelecehan terhadap guru maupun orangtua siswa yang dapat mengakibatkan luka fisik bahkan kematian. Buss (dalam Berkowitz, 2003) mengatakan bahwa para pelaku agresi sering tidak menunjukkan tujuan mereka yang sebenarnya ketika mereka menyerang seseorang, dan kalaupun mereka ingin jujur, mungkin mereka tidak dapat mengatakan perilaku bullying banyak mempunyai kesamaan elemen dengan perilaku agresif. Sebagai tambahan, bullying dapat berbentuk perilaku sosial seperti mengucilkan diri dari temanteman bergaul (Due dkk, 2005). Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mengelompokkan perilaku bullying dalam 5 bentuk, yaitu: (1) Kontak fisik langsung, (2) Kontak verbal langsung, (3) Perilaku non-verbal langsung, (4) Perilaku non-verbal tidak langsung, dan (5) Pelecehan seksual. Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku bullying adalah perilaku yang berasosiasi negatif yaitu mengarah pada perilaku menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental yang dianggap sebagai mekanisme untuk melepaskan energi destruktif sebagai cara melindungi stabilitas intra fisik pelakunya.
Pengembangan Model Penanganan Tindakan Bullying Berbagai penelitian telah dilakukan berkenaan dengan reaksi terhadap tindak school bullying. Banyak pengasuh sekolah percaya bahwa cara yang paling tepat untuk mengurangi school bullying adalah dengan penerapan disiplin dan pengembangan supervisi. School bullying dapat berbentuk verbal seperti ancaman, mengejek, atau ancaman fisik seperti serangan maupun pencurian (Hendershot, dkk, 2006). Kekuatan fisik dan psikologis yang tidak seimbang, baik yang nyata atau yang merupakan anggapan juga merupakan makna lain dari bullying
(Woods
dan
White,
2005).
Berikut
adalah
langkah-langkah
pengembangan model penanganan tindakan school bullying. 1. Program Prevensi Program Kampanye untuk mengurangi agresi di sekolah (Olweus, 1993) dengan tujuan utama: a. Meningkatkan kesadaran meningkatkan pengetahuan tentang perilaku agresi. Mengajak guru dan orangtua terlibat secara aktif dalam program ini. b. Mengembangkan peraturan di kelas yang jelas untuk memerangi perilaku agresi, seperti: "we will not bully other" " we will help student who suffer bullying other" „
we will help student who suffer bullying by other”
c. Menyediakan dukungan dan perlindungan untuk korban agresi. Program ditujukan dengan target 3 kelompok tersebut, yaitu guru, orang tua dan siswa. 2. Program kampanye menyusun 4 langkah konkret/operasional, a. Buklet untuk personil sekolah yang mendeskripsikan bagaimana perilaku agresi terjadi/ sebab-sebab munculnya perilaku agresi dan cakupan agresi dalam sekolah dan menawarkan saran praktis agar guru dan personil sekolah dalam mengontrol atau mencegah perilaku agresi. b. Buklet menekankan pentingnya kesadaran guru dan orang dewasa lainnya di sekolah untuk bertanggung jawab mengontrol agresi
interpersonal
dan
mengutamakan
pentingnya
setiap
orang
mengawasi siswa selama jam istirahat. c. Buklet juga mendorong guru untuk melakukan intervensi saat terjadi bullying dan dapat memberikan siswa pesan jelas (clear message) bahwa: "agresi tidak diperkenankan di sekolah kita". d. Buklet menyarankan guru berinisiatif berbicara serius dengan korban, pelaku dan orangtua siswa jika memang terjadi. 3. Program Prevensi Buklet juga didesain untuk orangtua berisi: a. Informasi dasar dan menawarkan bantuan pada orangtua korban dan pelaku. b. Kaset video dipersiapkan,
memperlihatkan sebuah episode
kehidupan keseharian dua orang anak yang menjadi korban agresi. c. Siswa
diminta
untuk
mengisi
kuesioner
pendek,
tanpa
menyebutkan nama, menyediakan informasi tentang frekuensi masalah agresi sebagai pelaku ataupun sebagai korban di sekolah dan menjelaskan bagaimana guru dan orangtua merespon, termasuk seberapa kesadaran dan kepedulian guru dan orangtua tentang masalah agresi dan seberapa siap menyelesaikan masalah agresi tersebut. Hasil Riset Olweus (1993) yang didasarkan pada kuesioner tersebut di atas dari 2500 siswa, 112 kelas, meliputi kelas 4 sampai dengan kelas 7, dari 42 sekolah dasar/primary school dan sekolah menengah pertama/junior high school di Bergen, Norwegia, menunjukkan adanya penurunan perilaku agresi, setelah 8 hingga 20 bulan setelah program kampanye dilakukan. Berdasarkan hasil rating teman sebaya (peer rating) yang dilakukan oleh teman sekelas menunjukkan bahwa jumlah siswa yang dianiaya di dalam kelas dan jumlah siswa yang menganiaya siswa lain menurun. Selain itu, perilaku antisosial seperti vandalisme, mencuri, membolos juga menurun secara signifikan. Siswa melaporkan lebih puas dengan kehidupan sekolah. 4. Pelatihan "guru penyemai potensi". Pelatihan "pelayanan prima". Pelatihan
"anti bullying di sekolah". Target: siswa senior dan pengurus OSIS MOS "seru tanpa bullying di sekolah". a. Pelatihan "guru penyemai potensi" bertujuan, (1) Memotivasi diri mereka sendiri untuk melayani siswa dan menjarankan peran sebagai pendidik, (2) Berperan sebagai suri tauladan yang mampu menginspirasi siswa untuk menjadi individu yang lebih baik. Menjalani kehidupan dengan menjunjung nilai-nilai keluhuran seperti integritas yang tinggi, saling menghargai, tanggung jawab, toleransi, kerendahan hati, cinta. b.
"
Anti-Bullying di Sekolah" bertujuan, (1) Mengidentifikasi
berbagai tindakan bullying, serta pelaku dan korbannya. (2) Memahami dampak negatif bullying terhadap kehidupan dan masa depan korban, (3) Membangun kesadaran tentang nilainilai yang kondusif untuk terciptanya budaya sekolah yang lebih manusiawi dan bebas dari perilaku bullying, (4) Mengembangkan kebijakan anti-bullying, (5) Membantu siswa untuk menghadapi bullying secara asertif, (6) Mengambil langkah awal untuk membangun sistem anti-bullying yang anggotanya meliputi guru dan siswa. c. "Masa Orientasi Tanpa bullying" bertujuan (1) Mengidentifikasi berbagai tindakan bullying, serta pelaku dan korbannya, (2) Memahami dampak negatif bullying terhadap kehidupan dan masa depan korban, (3) Memiliki kesadaran tentang konsep diri yang positif sehingga mampu menjadi bagian dari budaya sekolah yang manusiawi dan bebas dari perilaku bullying, (4) Mampu menciptakan acara MOS yang seru, berkesan, dan bermakna namun tanpa ada tindakan bullying dari siswa senior kepada siswa junior. d. Interpersonal Problem Solving Skills Training (IPSST) Langkah-langkah IPSST 1) Anak dilatih agar mampu mengungkapkan pendapat yang berbeda, tanpa rasa takut.
2) Anak dilatih untuk memikirkan akibat dari perbuatan sosial. 3) Anak dibantu untuk mengembangkan sifat kepekaan untuk menyelesaikan masalah interpersonal. 4) Anak
dilatih
untuk
mengembangkan
cara
berfikir
menyelesaikan masalah interpersonal. e. Parent
Management Training (PMT)
1) Program PMT difokuskan pada interaksi antara anak dengan orang tua yang sesuai dengan perilaku prososial. 2) Menggunakan reward dan punisment untuk membentuk perilaku anak.
Dinamika psikologis School Bullying
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan riset dan pengembangannya. Pada tahun pertama, dilakukan studi tentang tindak bullying siswa SMA/SMK. Selain itu dilakukan juga identifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi para guru dan siswa ketika mereka terlibat dalam penanganantindak bullying. Persepsi guru, siswa, dan orang tua murid juga dideskripsikan pada tahun pertama. Need Survey dan Need Analysis juga dilakukan pada tahun pertama untuk pengembangan model penanganan untuk tindak, penyusunan modul dan media penanganan yang akan dilaksanakan pada tahun kedua. Berdasarkan studi lapangan dan kajian teoritis yang relevan dikembangan suatu model, modul, dan
media penanganan tindak bullying. Model dan modul tersebut diuji, direvisi, dan divalidasi serta disosialisasikan pads tahun ketiga. Berikut disampaikan tahapan kegiatan penelitian pada tahun pertama. Model penanganan tindak bullying pada siswa SMA/SMK
Deskripsi perilaku bullying siswa SMA/SMK
Identifikasi perilaku bullying
Persepsi guru siswa dan orangtua siswa
Kegiatan Tahun Pertama Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif yang merupakan desain yang bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha memanipulasi setting penelitian melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena dalam situasi di mana fenomena tersebut ada (Purwandari, 2002). Penelitian deskriptif dilakukan dengan membuat gambaran secara sistenatis, faktual, akurat, mengenai fakta-fakta dan sifat populasi. Penelitian deskriptif menempatkan peneliti sebagai pengamat dasar adanya suatu hal yang menarik perhatian (Moleong, 2005). Subjek penelitian ini adalah guru, siswa, dan orang tua siswa di 6 SMA/SMK yang ada di kota Yogyakarta. Selanjutnya, penelitian ini melibatkan 120 orang guru SMA/SMK, 50 Orang tua siswa dan 400 orang siswa SMA/SMK di kota Yogyakarta. Pengambilan subjek digunakan tehnik Purposive yaitu dengan cara melakukan penelitian terhadap subjek secara individual berdasarkan ciri-ciri yang telah ditentukan dalam karakteristik dari penelitian (Azwar, 2003). Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dokumentasi, skala, wawancara mendalam, DKT (diskusi terarah dan observasi. Skala didesain untuk menjaring korban, pelaku tindak bullying yang dihadapi dan dilakukan oleh siswa dan untuk menjaring persepsi guru, peserta didik, dan orang tua murid terhadap tindak bullying di sekolah yang digunakan sebagai subjek penelitian. Teknik observasi digunakan melihat pelaksanan proses belajar mengajar. Teknik
wawancara digunakan menggali lebih dalam terkait dengan penanganan tindak bullying, permasalahan yang tilnbul, persepsi, dan sebagainya yang terkait dengan rumusan masalah yang diajukan. Analisis data dimulai sejak tahun pertama pelaksanaan penelitian, yakni dengan mendeskripsikan persepsi siswa terhadap tindakan bullying, persepsi orang tua siswa terhadap tindakan bullying yang dialami anaknya, persepsi staf sekolah terhadap tindakan bullying yang dilakukan oleh siswa di lingkungan sekolah. Untuk analisis, digunakan program SPSS versi 12,0. Dan prosentase terbesar akan diperoleh kesimpulan mengenai suatu fenomena persepsi. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian diketahui beberapa perilaku bullying yang dialami siswa di Yogyakarta sebagai berikut: 1. Persepsi Siswa terhadap Perilaku Bullying a. Bentuk-bentuk Bullying Beberapa tindakan bullying yang sering dialami siswa/I di sekolah antara lain: 1) Bullying Fisik, 2) Bullying Psikologis Hasil penelitian dapat di lihat pada data-data frekuensi bullying fisik dan psikologis yang tercantum dalam tabel 1.
Tabel 1 Bentuk Bullying Fisik dan Psikologis (N=353) No 1 2
F % No Bentuk Bullying Psikologls F % Bentuk Bullying Fisik Ditendang/didorong 182 52 1 Diejek/di olok-olok 183 52 Dipukul 169 48 2 Disoraki 173 49
3
Ditendang
132 38 3
4
Dijegal/diinjak kaki Dilempar dengan barang Diinjak
5 6
171 48
129 37 4
Dijuluki dengan sebutan yg tidak Dihina/dicaci baik
130 37 5
Digosipkan
153 43
115 33 6
Di bentak-bentak
153 43
152 43
7
Dijambak/ditampar 96 27 7
Dituduh
141 40
8
Ditolak
Diancam
132 37
9
Dipalak/dikompas 64 18 9 Difitnah 10 Dimaki-maki 11 Dipermalukan di depan umum
b.
62 18 8
128 36 90 25 89 26
Faktor penyebab mendapatkan perlakuan dan Dampak dari tindakan Bullying.
Tabel 2 Penyebab Mendapatkan Perlakuan dan Dampak dari Tindakan Bullying (N=353) No
Penyebab
F
%
No
Dampak Tindakan Bullying Merasa tertekan/gugup
F
%
1
Sulit bergaul
118 33 1
2
Fisik kecil/lemah/cacat
94 26 2
3
Menantang bully
67 19 3
4
Orangtua miskin/kaya
59 17 4
Mati
5 6
56 16 5 54 15 6
Kehilangan Percaya diri dan sakit hati Stres
100 28 87 27
7
Kurang percaya diri Mempunyai logat tertentu/gagap Sulit bergaul/canggung
44 12 7
69 20
8
Over percaya diri
43 12 8
Tidak bahagia/tidak berguna Membalas bully
9
42 12 9
Menangis
52 15
10
Cantik/ganteng/tidak cantik/ganteng Rebutan pacar
38 11 10
Kasar dan dendam
54 15
11
Kurang pandai
27
Berbohong
44 12
8
11
Konsentrasi berkurang Tidak nyaman/terancam
194 55 130 37 108 31 1107 30
54 15
c.
Reaksi yang Dilakukan Setelah Mendapatkan Bullying dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Reaksi yang Dilakukan setelah Mendapat Bullying (N=353) No Reaksi Tindakan Bullying F % 1
Mengabaikan tindakan pelaku
153
43
2
Membalas tindakan pelaku
127
36
3
Memaklumi tindakan pelaku
121
34
4
Diam saja karena tidak berdaya
63
18
5
Melarikan diri dari pelaku
30
8
d.
Pelaku dan Tempat Dilakukannya Bullying Tabel 4 Pelaku dan Tempat Bullying Terjadi (N=353) Tempat Tindakan No No Pelaku Tindakan Bullying F Bullying % 1 Di Kantin 221 63 1 Teman sekolah
F % 281 80
2 Tempat parkir 3 Jalan menuju sekolah 4 Di sekolah
99 28 2 Gank yang punya kekuasaan 76 22 42 12 3 Orang tak dikenal 72 20 63 8 4 Guru 63 18
5 Dirumah
27
8
6 Di kelas
26
7
e.
Persepsi Pelaku Tindak Bullying Tabel 5 Pelaku Tindak Bullying (N=352) No Pernyataan 1 Ancaman 2 Mengganggu adik kelas 3 Melakukan pelecehan kepada wanita
Frekuens Prosentas 248 70 i e 125 36 90 31
4 5
Merendahkan dengan sinis kepada orang yang Mengejek/menjulurkan lidah lebih lemah
111
31
102
29
2. Persepsi Orang tua terhadap Tindakan bullying Seri A Tabel 6 Persepsi Orang Tua Terhadap Tindakan Bullying (N=27) No Pernyataan 1 Saya merasa anak saya nyaman di sekolah
TT T S S 26 11 59
2 Guru/orang dewasa di sekolah melaporkan anak saya ada masalah 3 Anak saya bercerita pads saya mengenai kejadian bullying di sekolah
11
40 44
15
48 22
4 Anak saya sedang belajar ketrampilan sosial di sekolah yang akan membantu mengurangi bullying 5 Anak saya menjadi korban bullying di sekolah
44
11 15
30
44 11
6 Anak saya melakukan tindakan bullying di sekolah
11
81
4
TT
TS
S
93
7
0
100 96 93 100
0 0 0 0
0 4 7 0
70
0
0
30
0
0
Seri B Tabel 7 Persepsi Orang Tua Terhadap Tindakan Bullying (N=27) No 1
2 3 4 5 6 7
Pernyataan Anak anda tidak masuk sekolah karena tidak nyaman di sekolah/perjalanan ke sekolah Apakah seseorang mengancam atau melukai anak anda di sekolah Apakah anak anda terlibat perkelahian secara fisik di sekolah anda membicarakan tentang bullying di Apakah sekolah anak Apakah anda ands membicarakan tentang bullying dengan staf Jikasekolah ya apakah anda merasa bahwa staf sekolah akan menindaklanjuti Jika tidak apakah anda akan datang ke sekolah
3. Persepsi Staf Sekolah Terhadap Tindakan Bullying Tabel 8 Observasi Tindakan Bullying (N=115) Tidak Pernah Sering N Pernyataan pernah o 1 Staf memantau siswa sebelum dan sesudah 18 19 63 sekolah Staf berada di halaman sekolah selama 36 48 16 2 pergantian jam pelajaran Ada beberapa staf yang siswa di kantin selama 37 44 19 3 jam istirahat 4 Siswa saling bersikap baik satu dengan yang 13 7 80 lain Apakah diantara siswa saling mengatakan 51 23 26 5 sesuatu yang bermakna? Apakah diantara siswa saling mengatakan 18 30 52 6 sesuatu yang baik Apakah diantara siswa saling mengambil 42 28 30 7 sesuatu yang bermakna? 8 Apakah diantara siswa saling 95 5 0 memukul/mendorong? 9 Apakah diantara siswa saling membantu 18 26 46 Apakah diantara siswa saling mengatakan 91 9 0 10 sesuatu yang Berapa kali seseorang mengancam/melukai 67 22 11 11 menyakitkan? siswa di sekolah Tabel 9 Observasi Tindakan Bullying (N=115) No
Pernyataan
Ya Tidak
1
Apakah anda mengamati tindakan bullying di sekolah
58
42
2
Apakah anda pemah melaporkan perilaku bullying
32
58
3
Apakah pemah diskusi tentang bullying
28
72
Tabel 10 Siswa Merasa Tidak Nyaman dan Tempat Terjadinya Bullying Tempat-tempat Meresahkan
No 1 2 3 4 5 6 7
Diluar sekolah Kamar mandi Ruang kelas Kantin Ruang kelas Ruang ganti Halaman sekolah
Tempat Terjadinya Bullying F %
F % No 11 8 8 5 5 3 1
10 7 7 4 4 3 1
1 2 3 4 5 6 7
Ruang kelas Ruang ganti Luar sekolah Kantin Halaman sekolah Kamar mandi Bus
20 10 2 1 1 1 1
17 9 2 1 1 1 1
Tabel 11 Kekhawatiran staf sekolah Terhadap Bullying (N=115)
1
2 3
Tidak Serius/ Nyaman pernah sering
Pernyataan
No
Seberapa nyamankah anda dengan siswa pelaku bullying
54
23
5
Seberapa seriuskah masalah bullying di sekolah Seberapa seringkah terjadinya bullying di sekolah
58
18
1
59
14
1
Tabel 12 Tindakan dan Penanganan Apabila Terjadi Bullying (N=115) No
Tindakan
F % No
Mengingatkan pada pelaku Melaporkan pada sekolah/orang tua
65 57 1
3
Memberikan hukuman
31 27 3
4
Ragu-ragu
12 10 4
1 2
46 40 2
Penanganan F % Membantu mengawasi 46 50 pelaku bullying Memberikan dukungan 31 37 pengasuhan Mendukungsekolah saat memberikan konsekuensi 22 19 pada pelaku bullying Memberikan pelatihan / 3 11 kebijaksanaan
Pembahasan Permasalahan yang dialami siswa SMA/SMK, yang mayoritas sedang menginjak masa remaja, pada dasarnya sangatlah kompleks, sebagai hasil interaksi dari berbagai penyebab antara lain; keadaan remaja itu sendiri, yaitu berkaitan dengan masalah pertumbuhan fisik biologis serta perkembangan psikis remaja yang sedang mengalami banyak perubahan (masa transisi), berikut sumber masalah yang berasal dari lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial (Gardner, 1988). Penelitian yang dilakukan terhadap siswa SMA/SMK di kota Yogyakarta ini menunjukkan bahwa dari 353 siswa yang menjadi subjek penelitian, terdapat 244 (69,3%) siswa mengungkapkan pemah mengalami tindakan bullying di sekolah, baik itu dari teman, guru maupun orangtua. Jumlah tersebut dapat dikatakan cukup mengejutkan dan memprihatinkan bagi semua kalangan, khususnya bagi orangtua dan pendidik, terutama kenyataan bahwa hal tersebut paling banyak terjadi di sekolah, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa71,68% tindakan bullying diperoleh dari teman sekolah. Merujuk pada hasil penelitian tersebut, diperlukan adanya usaha dari sekolah untuk membentuk kebij akan sekolah yang anti bullying. Menurut Andrew Mellor, pakar anti bullying dari Skotlandia, ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan kebijakan sekolah yang anti bullying, yaitu: kejujuran, keterbukaan, pemahaman dan tanggung jawab. Banyaknya remaja yang mengalami gangguan perilaku bullying disebabkan oleh faktor lingkungan (contoh; kemiskinan, orang tua berpendidikan rendah, dan lingkungan rumah yang tidak harmonis). Penyebab pokok seperti: gangguan mental, skor IQ rendah (75 sampai 90), dan buruknya pengawasan dari guru dan orang tua juga dapat memberikan kontribusi pada faktor-faktor lingkungan atau menjadi penyebab gangguan perilaku bullying yang saling berkaitan. Namun, gangguan perilaku bullying yang terus menerus ada dan meningkat secara signifikan dapat pula terjadi karena bimbingan dan pengawasan pendidikan yang kurang tepat, tingkat kecerdasan, dan status sosial-ekonomi keluarga, serta ketidakmampuan untuk menghargai orang lain (contoh; ganguan-
gangguan yang berkembang yang dapat juga terjadi pada area kemampuan menangani konflik diantara pelajar, perasaan sensitif, dan ekspresi menghina orang atau kelompok lain). Semuanya merupakan penyebab munculnya perilaku bullying di kalangan pelajar. Dampak dominan dari perlakuan bullying yang dialami oleh korban adalah berkurangnya konsentrasi, mencapai 41,46%. Akibat konsentrasi yang berkurang tentu berdampak pada menurunnya prestasi remaja. Siswa yang menjadi korban bullying biasanya menunjukkan beberapa sikap dan perilaku yang berbeda dari teman-teman lainnya, seperti; perilaku distress, depresi, atau kesedihan mendalam, takut atau enggan masuk sekolah, tertutup pada guru atau orang dewasa lainnya terhadap masalah yang dihadapinya, menghabiskan waktu sendirian karena merasa terisolasi, membutuhkan uang dalam jumlah banyak tanpa alasan yang jelas, pulang ke rumah dalam kondisi memar-memar di tubuh, dan menunjukkan kemerosotan prestasi akademik (Handwerk dalam Bolton dan Graeve, 2010). Sedangkan dampak bullying yang paling memprihatinkan berkaitan dengan psikologis para pelajar, yang akhirnya berpengaruh pada tumbuhnya perasaan inferior dan gangguan mental. Dari hasil penelitian terhadap siswa kota Yogyakarta, diperoleh beberapa tanda-tanda seorang pelajar yang menjadi korban bullying di sekolah. Prosentase dampak perilaku bullying mengindikasikan, bahwa 37% siswa/i merasa konsentrasi belajar mereka berkurang, yang berimbas pada menurunnya prestasi akademik. Reaksi korban setelah mendapat bullying adalah membalas perlakuan pelaku, yaitu 49,56%. Dengan membalas perlakuan bully, tentunya akan menurunkan situasi belajar mengajar yang kondusif di lingkungan sekolah. Hal ini jika dibiarkan dapat berakibat pada terjadinya perkelahian antar pelajar maupun perkelahian massal antar kelompok, karena masing-masing, dengan dalih solidaritas, akan membantu siswa yang dianggap sebagai teman. Namun demikian, rata-rata korban bullying enggan melaporkan kejadian yang dialaminya di sekolah kepada orangtua dan guru. Dengan alasan bahwa melaporkan tindakan bullying tidak akan menyelesaikan masalah. Sebuah dilema terjadi saat korban
bullying melaporkan pada guru, maka guru akan memanggil dan menegur sang pelaku, berikutnya pelaku bullying akan kembali menghadang korban dan memberikan siksaan yang lebih keras (Argiati, 2010). Pelaku bullying akan memberi ancaman jika korban berani melapor, dan dari sisi korban, ancaman pelaku bullying lebih nyata dan lebih menakutkan dibanding dengan konsekuensi jika tidak melapor ke guru. Akibatnya, para korban bullying beranggapan bahwa mendiamkan perilaku bullying adalah pilihan terbaik. Ada beberapa reaksi yang dimunculkan seseorang apabila mereka menerima perlakuan bullying dari temannya. Ada sebagian yang mampu menahan dan mengkontrol emosinya dan mengabaikan perlakuan bullying yang diterimanya, ada yang memendam perlakuan bullying dan tidak berani bergaul dengan temannya karena merasa malu atas kejadian yang diterimanya serta merasa terisolasi dari teman-teman yang lainnya. Namun ada sebagian yang membalas perlakuan bullying, bahkan dengan balasan yang lebih menyakitkan. Reaksi yang paling banyak dilakukan pelajar Yogyakarta setelah mendapat perilaku bullying adalah dengan mengabaikan tindakan perilaku bullying yaitu sejumlah 43%. Ditinjau dari perspektif perbedaan gender tentang perilaku bullying pada remaja, hasil penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) menunjukkan bahwa remaja laki-laki usia 15 tahun lebih cenderung melakukan bullying dengan kontak fisik langsung, sementara remaja perempuan lebih cenderung melakukan bullying dengan perilaku tidak langsung. Namun tidak ditemukan perbedaan dalam kecenderungan melakukan bullying verbal langsung. Pada usia 18 tahun, kecenderungan remaja laki-laki, melakukan bullying dengan kontak fisik menurun tajam, dan kecenderungannya untuk menggunakan perilaku verbal langsung dan perilaku tidak Wigging meningkat, meskipun anak perempuan masih memiliki tingkat kecenderungan yang lebih tinggi dalam hal ini. Dalam penelitian ini secara skala hanya melihat bentuk bullying secara fisik dan psikis, adapun untuk melihat bullying dalam bentuk pelecehan seksual dilaksanakan melalui wawancara dan observasi. Dari skala yang telah dibagikan ke beberapa sekolah menengah di kota Yogyakarta yang sekaligus menjadi subjek dalam penelitian, yaitu Sekolah Taman Madya (32 pelajar), SMKN 2 (68 pelajar),
SMA 8 (47 pelajar), SMK Muh 3 (59 pelajar), SMK Muh 5 (58 pelajar), dan SMU Muh 1 (97 pelajar), ditemukan beberapa hasil bentuk bullying fisik dan psikis yang banyak terjadi pada pelajar di sekolah di kota Yogyakarta. Berdasarkan prosentase perilaku bullying di atas, dari 353 pelajar kota Yogyakarta, terdapat satu diantara dua pelajar secara signifikan mengalami korban bullying baik secara fisik maupun psikis. Bukti nyata ditunjukkan dengan banyaknya frekuensi penelitian yang terdaftar pada tabel 1 yang menunjukkan bahwa 72% pelajar mengaku pernah terkena bullying, dan sedikitnya 2% pelajar akan mengancam adik kelas jika tidak memberikan uang. Perhatian terhadap perilaku bullying yang dilakukan oleh para pelajar merupakan hal penting, dan seharusnya para orang tua, guru dan stakeholder berusaha keras untuk mengidentifikasi perilaku pelajar korban bullying maupun pelaku bullying dan memberi intervensi sejak awal. Perilaku bullying pelajar merupakan prediksi yang sangat memungkinkan untuk menunjukkan gangguan merosotnya prestasi akademik para pelajar kota Yogyakarta. Banyaknya perilaku bullying pada pelajar Kota Yogyakarta sering disebabkan oleh faktor-faktor kesulitan bergaul di lingkungan sekolah mereka, hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yaitu menunjukkan 33% paling tinggi jika dibandingkan dengan faktor-faktor bullying lainnya. Pelajar yang mengalami gangguan intimidasi (korban bullying) maupun pelaku bullying seharusnya memperoleh pengukuran perhatian secara penuh dari semua pihak-pihak terkait, yaitu: orang tua, guru dan stakeholder; mulai dari kepala sekolah hingga para penjual di kantin sekolah. Dampak positif yang timbul dengan mengajak semua stakeholder untuk ikut terlibat dalam penanganan bullying pelajar secara keseluruhan dapat meningkatkan kesadaran untuk berperilaku lebih positif dan dapat menimbulkan dampak positif pada prestasi belajar siswa. (Handwerk dalam Bolton, 2010). Perilaku bullying di kalangan pelajar yang tidak ditangani sejak awal dapat mempengaruhi
keterampilan-keterampilan
dasar
membina
keharmonisan
hubungan secara keseluruhan di lingkungan sekolah, yang menyebabkan pelajar mudah melakukan tindakan kekerasan seperti tawuran antar pelajar. Secara
keseluruhan, untuk memutus mata rantai terjadinya bullying, pemerintah, sekolah dan orangtua harus bekerjasama dengan mengajak remaja untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan positif sehingga dapat mengurangi perilaku bullying. Penutup dan Saran Penelitian ini menemukan bahwa dari 353 siswa (69,3%) pernah mendapatkan bullying di sekolah. Selain itu ditemukan pelaku bullying 71,68% diperoleh dari teman sekolah. Penyebab paling besar korban mendapat perlakuan bullying 29,20% adalah anak yang kurang mempunyai kepercayaan diri. Dampak perlakuan bullying yang dialami oleh korban yang paling banyak adalah konsentrasi berkurang yaitu 41,46%. Reaksi korban yang dilakukan setelah mendapat bullying adalah membalas perlakuan pelaku yaitu 49,56%. Berdasarkan prosentase perilaku bullying di atas bahwa sekurang-kurangnya dari sejumlah 353 pelajar kota Yogyakarta ada satu diantara tiga pelajar secara signifikan mengalami korban bullying baik secara fisik maupun psikis. Untuk mewujudkan tujuan nasional dan cita-cita bangsa dalam membentuk peradaban bangsa yang bermartabat, model penanganan tindak bullying pada siswa ini sangatlah penting untuk dilakukan. Peran sekolah dan orangtua dalam mengatasi bullying sangatlah penting, karena ketidaktahuan sekolah dan orangtua menjadi salah satu faktor dominan mengapa tindak bullying masih sering terjadi di sekolah. Sehubungan dengan hal itu diperlukan pelatihan bagi korban, pelaku, orang tua dan guru dalam menangani tindak bullying. Bagi siswa korban bullying perlu diberikan; 1) Model pelatihan kepercayaan diri; antara lain dengan membina persahabatan dan nenghentikan kecenderungan untuk berpikir negatif, 2) Model pelatihan asertivitas, dan 3) Pendekatan kognitif (bias dengan persuasi). Bagi pelaku bullying perlu diberikan model pelatihan keterampilan sosial, seperti kemampuan untuk menerima perbedaan, memahami orang lain, menunjukkan rasa empati, dan belajar memaafkan kesalahan orang ain Bagi guru perlu diberikan; 1) Model pelatihan manajemen kelas, dan 2) Model pelatihan pendidikan pendisiplinan siswa. Sedangkan bagi orang tua perlu diberikan; 1) Model pelatihan komunikasi efektif orang tua-anak (family system
approach), dan 2) Model pelatihan parent management. Daftar Pustaka Argiati, SHB, 2008, Efektivitas Pelatihan Asertivitas untuk Meningkatkan Ketahanan istri rentan korban kekerasan suami, Proceding Seminar. Nasional Pendidikan Berkarakter Bangsa, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Argiati, SHB, 2009, Perilaku Bullying siswa SMA di Kota Yogyakarta, Proceding, Seminar Nasional Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Argiati, SHB, 2010, Pengembangan Model Penanganan Tindak Bullyingpada Siswa SMA/SMK Kota Yogyakarta, Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UST Argiati, SHB, 2010, Pengembangan Model Penanganan Tindak Bullying pada Siswa SMAISMK Kota Yogyakarta, Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UST Azwar, S. 2001. Metodologi Penelitian Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Berkowitz, L, 2003. Emotional Behavior, Jakarta: CV Teruna Grafica Buss, A.H., and Perry, M. 1992. The Aggresion Questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology. 63 (3). Hurlock, E. B. 1973. Adolenscent Development. Fourth Edition. Tokyo: McGraw-Hill Book Company, Inc. John Naisbit, 1982, Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives. Monks, F .j. Knoers, A. M. P dan Haditono, S.R. (2004). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moleong, J.L., 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Pepler dan Craig, 1989. "Bullying" Dalam dunia Pendidikan: Mengenal korban Lebih Jauh. Diambil dari http://www.popsy. wordpress.com/2007. 15 Mei 2007. Poerwandari, E. K.2001. Pendekatan Kualitatif dalam Psikologi. Jakarta: LPSP Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ramli, A. M. Nora, B.M, Siti, M.S. 2005. Gejala Buli. Diambil dari http://seminar pendidikan.com. kertas2012.pdf. 13 April 2008
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S.R. (2005). `Gencetgencetan' di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah Kognitif tentang arti, skenario, dan dampak 'gencet-gencetan'. Journal Psikologi Sosial, 12 (01), 1-13 Samhadi, S. H. 2007. Budaya Kekerasan Di Lembaga Pendidikan. diambil dari http://64.203.71.11/kompascetak/0704/ 14/fokus/3456065/ htm. tanggal 15 April 2008 Sears, D.O. fredman, J.L., and Paplan, L. A.1994. Social Psychology. New Jersey. Prentice Hall: Inc.