Volume 04 | Januari - April 2012
OPINIO JURIS
PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945 Dr. Harjono, SH., MCL
Pendahuluan Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara oleh karenanya pembuatan perjanjian internsional yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaran negara sudah seharusnya didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai fondasi dalam penyusunan sistem hukum negara, oleh karena itu pembuatan perjanjian international juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik di antara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara pemerinrtahan negara mengenai dasar-dasar konstitusional yang mengatur pembuatan perjanjian internasional. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang perjanjian internasional. Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan perjanjian international menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat; “There are wholes, they have elements and those elementshave relations which form structure “. Lebih lanjut dinyatakan; ” Sourse – based system have legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority or validity to higher rules. These relations
are classically formed into a pyramidal and hierrarical structure with one ultimate rule, ‘basic norm‘ or ‘legal science fiat‘ at the top. The wholeness factor is provided by the structure itself and by its function of providing the authoritative basis for all law in community“1. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagimana di atas uraian di bawah ini akan meninjau perjanjian internasioanal dalam sistem UUD 1945. Dasar Hukum Dasar hukum perjanjian international dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan: • Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain • Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. • Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 tersebut satu-satunya pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan di dalamnya adanya kata “perjanjian internasional“. Oleh karena itu perlu dikaji lebih
1 1
8
Charles Sampford “ The Disorder of Law , a Critique of Legal Theory “, Basil Blackwell 1989, h. 16
OPINIO JURIS
dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal perjanjian internasional. Pasal 11 UUD 1945 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam susbstansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD 1945 ini mengalami perubahan yang sangat signifikan dibandingkan dengan Bab III UUD 1945 sebelum perubahan. Di samping perubahan isi pasalpasal, perubahan UUD 1945 juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu; Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C. Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain“, dan setelah perubahan UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD 1945 setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan; ”Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat“, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi; ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat“. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan berbunyi; ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan UU dari tangan Presiden ke DPR. Perubahan demikian juga menyebab-
Volume 04 | Januari - April 2012
kan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi; • kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), • kekuasaan membentuk UU (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan), kekuasaan sebagai kepala negara. Setelah perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi dua kekuasaan saja yaitu: • kekuasaan eksekutif • kekuasaan sebagai kepala negara. Bab III UUD 1945 megandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 di mana di dalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut, UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili negara dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Pasal 11 UUD 1945 memang tidak dimaksudkan untuk menentukan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional tetapi semata-mata menetapkan bahwa Presidenlah, dan bukan lembaga negara yang lain, yang mewakili negara Indonesia untuk melakukan hubungan dengan negara lain . Bentuk hukum Sebuah perjanjian internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam 9
Volume 04 | Januari - April 2012
hal ini antar negara yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah perjanjian internasional terceminkan kehendak dua pihak. Setiap negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili negara tersebut dan dari wakil itu pulalah pihak negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden-lah akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya negara lain tersebut tidak perlu berhubungan dengan lembaga negara Indonesia yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden. Pasal 11 UUD 1945 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah undang-undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan undang-undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila 10
OPINIO JURIS
Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dalam bentuk hukum undang-undang. Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain diwadahi bentuk hukum UU maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan undang-undang dan hal yang demikian tersebut akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain mempunyai karakterikstik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian tepaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan UU harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu rancangan undang-undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak. Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan perjanjian in-
OPINIO JURIS
ternasional diwadahi dalam bentuk UU. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan di antara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan UU menimbulkan persoalan. UU adalah bagian dari hukum nasional sedangkan perjanjian dengan negara lain merupakan kesepakatan antar negara yang berada di luar ranah urusan internal negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh UU apakah ini tidak berarti bahwa kehendak negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal negara lain karena digantungkan kepada pengesahan UU. Bagi pihak lain yang diperkukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan UU. Praktik pengesahan perjanjian internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebelum disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya. Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari perjanjian internasional. Dalam sebuah perjanjian internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran perjanjian internasional yang telah disepakati, maka diper-
Volume 04 | Januari - April 2012
lukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila perjanjian internasional dituangkan dalam bentuk hukum UU dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan antara naskah yang telah disetujui oleh wakil masing-masing negara dengan yang disahkan dalam UU apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran UU tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalam UU Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah perjanjian internasional yang dilampirkan dalam UU ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal UU telah diundangkan sebagaimana mestinya. Karena perjanjian internasional diberi bentuk hukum UU tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan UU juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan perjajian internasional. Dalam ketentuan UUD 1945, Pasal 20 ayat (5) menyatakan, ”Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah mengajukan naskah perjanjian internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanise pembuatan UU, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi UU terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian me11
Volume 04 | Januari - April 2012
nyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam perjanjian internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian. Bentuk perjanjian dalam UU juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan perjanjian internasioanl dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan UU. Dalam banyak undang-undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usualan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk UU, sebagai misal pengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di negara lain tidak selalu memberi bentuk perjanjian internasional sebagai undang-undang atau statute/law. Amerika Serikat menentukan dalam konstitusi bahwa perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk UU, karena UU dibuat oleh Congres namun demikian perjanjian internasional tetap mengikat negara tersebut. Persetujuan DPR Dalam Pembuatan Perjanjian Internasional Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. 12
OPINIO JURIS
Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat perjanjian internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek hukum internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara pemerintah Indonesia dengan negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia. Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga negara maupun warganya. Ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal. Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Di samping membuat perdamaian dan membuat penjanjian dengan negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat “perjanjian internasional lainnya“ yang; (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
OPINIO JURIS
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara perjanjian internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan negara sebagai subyak hukum perdata. UUD 1945 mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat perjanjian internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah perjanjian internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional lainnya. Pengertian “ yang lain “tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan negara lain“. Dengan demikian termasuk dalam pengertian perjanjian internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan subyek hukum internasional lain selain negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan subyek hukum internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara“. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik hukum internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demiki-
Volume 04 | Januari - April 2012
an karena menyangkut kepentingan bangsa. Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan organisasi internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena pihaknya bukan negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu perjanjian internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasional lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian hukum publik internasional. Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan negara atau bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan financial negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Kekuatan Mengikat Perjanjian internasional. Perjanjian internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari kewajiban untuk terikat adalah kehen13
Volume 04 | Januari - April 2012
dak masing-masing pihak. Di sisi lain masingmasing negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili negara tersebut dalam berhubungan dengan negara lain. Perjanjian internasional yang lahir atas dasar kesepakatan menempatkan para pihak dalam posisi setara dan oleh karenanya perjanjian international mempunyai dasar “good faith“ antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudian disepakati bersama. Apabila suatu perjanjian internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip “good faith and mutual trust“ antar pihaknya, dengan demikian “pacta sunt servanda“ menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada perjanjian international yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pi14
OPINIO JURIS
hak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya perjanjian internasinoal tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum perjanjian internasional di dalam negeri, asas pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas resiprosity yaitu bahwa pelaksanaan perjanjian internasinal tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan perjanjian internasional yang bersangkutan di negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara resiprosity ini dapat dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada negara yang bersangkutan melalui jalur diplomatic. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai perjanjian international hanya membebani kewajian secara sepihak saja. Pemberlakukan perjanjian international ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi. Pemberian tempat perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi . Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai The Law of Treaty, dasar mengikat perjanjian internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan perjanjian internasional diwadahi dalam
OPINIO JURIS
bentuk undang-undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan perjanjian internasional dengan negara lain dan menerima ketentuan The Law of Treaty sebagai acuannya, maka The Law of Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber hukum international. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-udangan yang ada. Sementara itu, hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur. Oleh karena itu, hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu di antaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat international. Perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh negara- negara di dunia, maka secara sub-
Volume 04 | Januari - April 2012
stantive dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak negara, oleh karenanya hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam perjanjian interasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu perjanjian internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil. Dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh hukum nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Di samping sumber hukum materiil, hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah undang-undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman hakim bahkan wajib untuk mendasakan putusannya pada undang-undang. Kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum bagi hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil perjanjian internasional yaitu undangundang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan perjanjian international secara substantive telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat perjanjian internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai 15
Volume 04 | Januari - April 2012
sumber hukum didasarkan atas bentuk formil undang-undang padahal bukan. Status perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi lah yang menjadikan perjanjian internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau statute yang dibuat oleh Congres merupakan sumber hukum bagi hakim, sedangkan perjanjian international tidak dituangkan dalam bentuk law atau statute yang dibuat oleh Congres, tetapi perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat. Namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa perjanjian internasional sebagai the law of the land. Meskipun perjanjian internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang terdapat dalam perjanjian internasional. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari perjanjian internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau article III dari Convention on Recognation and Enforcement of Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi, ”Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article“. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnya hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusan arbitrasi asing asalkan dilaksanakan “under the condition laid down in the following article“ sebagaimana disyaratkan Article III tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda den16
OPINIO JURIS
gan pelaksanaan dari article yang terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan, ”Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish asa criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income“. Pasal atau article ini tidak dapat diterapkan oleh hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah legislative lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat public yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya. Pengetahuan hakim tentang perjanjian internasional diperlukan manakala hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan perjanjian internasional. Kesimpulan Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum perjanjian international dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain. 2. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi
OPINIO JURIS
perjanjian internasional adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan UU. 3. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk perjanjian internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-hal yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan UU, bukan didasarkan atas pembedaan antara perjanjian internasional publik dan privat. 4. Perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan men-
Volume 04 | Januari - April 2012
jadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU, sehingga perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UU. 5. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat perjianjian internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan. 6. Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk atau wadah UU menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru.
17