BAB II
PERJALANAN SUARA PERS DI TAPANULI
2. 1. Latar Belakang Munculnya Pers di Tapanuli Salah satu unsur yang berperan penting dalam menyebarkan informasi serta menumbuhkan kesadaran sekaligus memberi motivasi tentang sesuatu tujuan bagi rakyat adalah pers. Kemampuan yang dimiliki oleh pers dalam menyampaikan informasi kepada seluruh rakyat Tapanuli dalam jangka waktu yang singkat tidak diragukan lagi, oleh karena itu pers atau dalam hal ini surat kabar di Tapanuli berperan aktif sebagai penyebar informasi mengenai seluruh kegiatan ataupun kebijaksanan yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu. Disamping itu rakyat juga dapat menjadikan pers sebagai sarana penyalur aspirasi dan pendapat, melakukan kritik (kontorl sosial) terhadap penguasa kolonial di Tapanuli dengan memuat berita-berita yang dianggap penting bagi kepentingan rakyat Tapanuli. Menyadari sepenuhnya bahwa media massa (surat kabar), mempunyai tugas utama sebagai penyebar luas informasi kepada khalayak ramai, maka peranan dan tanggung jawab ini sesungguhnya tidak terlepas dari peran wartawan dalam mengumpulkan, meliput dan sekaligus menulis berita yang pada akhirnya akan disampaikan kepada para pembacanya di Tapanuli. Awal kemunculan pers di Tapanuli maupun di daerah lain di Nusantara tidak terlepas kaitannya dengan keadaan pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu pers muncul sebagai akibat dari kegiatan perdangan yang membuat orang membutuhkan informasi bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pada masa itu konsep nasionalisme
Universitas Sumatera Utara
sengaja dikesampingkan, sehingga sebagian surat kabar isinya bersifat keagamaan dan kesukuan. Pada tahun 1906, pengawasan preventif terhadap pers telah ditiadakan lagi. Hal ini dilatarbelakangi karena telah terbukanya kebebasan pers di daerah jajahan Belanda pada waktu itu, sehingga ada anggapan bahwa dunia persuratkabaran sudah dapat menguasai pengaruh peraturan preventif tersebut. Oleh karena itu situasi baru juga ikut mendorong terlaksananya hak preventif tersebut. Menjelang akhir abad ke 19, seorang tokoh politik terkenal Belanda yang bernama Van Deventer melakukan pendobrakan terhadap kekolotan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Hal ini diupayakan lewat ungkapan bahwa sesungguhnya Belanda telah berhutang budi terhadap rakyat Indonesia, untuk itu mereka wajib membayarnya. Maka pada tahun1903 parlemen Belanda menerima undang-undang desentarlisasi yang isinya adalah membuka kesempatan bagi daerah-daerah jajahan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri khususnya di bidang ekonomi. Maka hak berserikat dan berkumpul perlu diberikan dengan diadakannya dewan-dewan perwakilan, hak tersebut intinya adalah untuk menyatakan pendapat secara tertulis atau dengan media apapun termasuk salah satunya surat kabar 6.
2. 2. Beberapa Surat Kabar Pada Masa Kolonial Perkembangan yang dilakukan oleh persuratkabran di Tapanuli dari waktu ke waktu, tentu saja semuanya mengarah pada tujuan politik perjuangan yakni keinginan terbebas dari penguasa kolonial Belanda. Banyaknya surat kabar yang terbit di Tapanuli setelah kebangkitan nasional, tentu saja berita yang disampaikan tidak lagi sebagai suara6
Moh Said, Sejarah Pers Sumatera Utara Dengan Masyarakat Yang dicerminkan (1885- Maret 1942), Medan : Percetakan Waspada , 1976, hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
suara milik Belanda atau pun bagi pendatang Tionghoa tetapi isinya banyak memuat berita mengenai bidang ekonomi baik perdagangan maupun sengketa tanah rakyat, melainkan sudah mengarah pada pemberitaan tentang kepentingan republik, khususnya seputar peristiwa yang terjadi di Tapanuli. Kendatipun Sibolga, Tarutung, Balige dan Padang Sidempuan merupakan kota kecil, namun tidak pernah sepi dari penerbitan surat kabar, karena pada masa itu banyak surat kabar yang pernah terbit di masing-masing wilayahnya. Oleh karena itu orientasi pemberitaannya juga berbeda, antara lain ada yang mengarah pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan agama yang akhirnya mengarah ke orientasi tentang cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia.
2. 2. 1. Postaha Pada tahun 1914 tidak lama setelah Soetan Casayanang Soripada kembali dari negeri Belanda, maka diterbitkanlah sebuah majalah berbahasa Batak di Padang Sidempuan yang bernama “Poestaha”. Pada kepala surat kabar tersebut terdapat pernyataan Soetan Casayang yang mengatakan bahwa “na ni togoe-togoe ni naoeli boeloeng Soetan Casayang Soripada”. Penerbit Mangaradja Bangoen yang berasal dari Padang Sidempuan dan pembantu redaktur bernama Mangradja Tagor Moeda Kemampuan yang dimiliki oleh surat kabar ini tidak kuat untuk membiayai hidupnya sendiri ketika itu. Maka selanjutnya beliau menjadi guru sekolah di Bukit Tinggi, dari sana dikirim karangan-karangan untuk mengisi pemberitaan Poestaha. Dalam perkembangannya surat kabar ini diasuh dengan baik dan akhirnya berhasil masuk dan diterima di kalangan rakyat, yang walaupun oplahanya tidak lebih besar dari 500 eksemplar. Akhirnya pada tahun 1930, surat kabar Poestaha berhenti dalam penerbitannya lantaran kurangnya biaya administrasi.
Universitas Sumatera Utara
2. 2. 2. Tapian Na Oeli Pada tahun 1919 terbit pula sebuah surat kabar bernama “Tapian Na Oeli”, dengan semboyannya “soposio rantjangna godang, paradatan paroehmaen, inganan ni ratigoran, parosoe-roesoeon nihoela dohot dongan”. Model surat kabar ini mempunyai format setengah bentuk surat kabar biasa dengan satu setengah lembar, yang terbit 2 kali seminggu. Penerbit surat kabar tersebut adalah Koeriabond di Sibolga dan yang menjadi redakturnya atau Veranwoor delijk yang bernama Achmad Amin, yang pernah menjadi redaktur surat kabar di Pematang Siantar. Surat kabar ini menggunakan bahasa Indonesia dalam pemberitaannya namun sebagian lagi
memakai bahasa Batak. Dalam
perjalanannya, tidak beberapa lama setelah surat kabar ini terbit, pemimpin redaksinya Achmad Amin mendapat masalah sehubungan dengan karangannya yang berjudul “B” (tidak diketahui apa isi beritanya). Oleh karena itu beliau dihadapkan ke pengadilan rapat di Sibolga, dimana beliau dikenakan sanksi berupa denda sebesar f 200 atau ganti 40 hari kurungan, karena melanggar pasal 156 Hukum Pidana Hindia Belanda (Wetboek Strafrecht Voor Ned Indie). Dengan beritanya, Achmad Amin membuat suatu peristiwa yang unik yang merupakan bagian dari catatan sejarah juga. Dimana di depan sidang beliau mempertahankan bahwa karangannya yang menjadi perkara dimuat karena disuruh oleh Mangradja Soangkoepon seorang penasehat koeria Bond, penerbit Tapian Na Oeli dimana beliau itu sendiri yang menjadi tim redaksinya. Tidak puas dengan tuduhan yang dilontarkan oleh Achmad Amin, akhirnya ia bersumpah dimesjid pada hari Jumaat. Maka akhirnya Amin pun dijatuhi hukuman, oleh karena itu kasus ini dijadikan sebagai bahan
Universitas Sumatera Utara
diskusi oleh sarjana orientalis Belanda yang mengatakan bahwa mengucapkan sumpah di mesjid tidak dibutuhkan oleh hukum Islam. Ketika tahun 1920, surat kabar Tapian Na Oeli dalam pemberitaannya terbit dengan mempergunakan slogan ‘rawe-rawe rantas’ dan akhirnya penerbitannya berakhir, hal ini disebabkan karena terbitnya surat kabar baru di Sibolga bernama Hindia Sepakat 2. 2. 3. Hindia Sepakat Pada tanggal 31 Agustus 1920, terbit sebuah surat kabar baru di Sibolga bernama Hindia Sepakat, yang terbit setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu, dibawah penerbitan N.V.Handel Maatschappij Boekhandel en Drukkerij Kemadjoan Bangsa Sibolga, dengan direkturnya Dja Endar Bongsoe, sedangkan yang menjadi pemimpin redaksinya adalah Abdul Manap gelar Mangaradja Hoetagogar, sementara yang menjadi redakturnya adalah Achmad Amin 7. Surat kabar ini mempunyai sebuah slogan yang cukup membawa pengaruh terhadap upaya perkembangannya yakni “penjokong dan pembantoe kemadjoean jang lajak bagi koetamaannja bangsa dengan pendoedoek”. Dalam perkembangan selanjutnya surat kabar ini cukup memberi kesan yang dapat dipercaya oleh para pembacanya, hal ini disebabkan karena tulisan-tulisan yang dimuat oleh pimpinan redaksi cukup berani serta berjiwa kerakyatan. Hal ini tercermin dari kata-kata ‘sama rata dan sama rasa’ yang selalu diperhatikan dalam memuat berita. Dalam setiap tulisannya surat kabar ini juga memakai istilah-istilah dalam bahasa Indonesia seperti pemakaian kata ralat, lajur, dan istilah ruas untuk kata ganti alinea. Oleh karena ituhal ini menunjukkan adanya kenginan dari si pemimpin untuk memperkaya pemakaian kata
7
Abdul Manap berasal dari seorang pendidik dan pernah menjadi Onder Wijer (kepala sekolah di Lokseumawe), kemudian beliau pindah ke Sibolga lalu terjun dalam bidang pergerakan rakyat, dalam kedudukannya itu beliau berhasil menjadi anggota dewan local di Padang Sidempuan. Ibid., hlm. 85.
Universitas Sumatera Utara
dalam bahasa Indonesia, dengan tujuan agar fungsinya dapat lebih ditingkatkan menjadi bahasa pers dalam arti luas. Dalam setiap pemberitaannya surat kabar Hindia Sepakat selalu memuat tulisan yang mengandung ungkapan rasa nasionalisme terhadap bangsa, seperti judul tulisan “sayangilah bangsamu, dan cintailah tanah airmu’yang ditulis oleh tim redaktur Achmad Amin. Selain tulisan beliau terdapat juga tulisan seorang tokoh yang cukup terkenal di Tapanuli ketika itu bernama Soetan Koemala Boelan, dimana beliau sering memuat tulisan dan kritikan yang bernada tajam kepada pihak Belanda. Berikutnya ada juga yang bernama Parada Harahap beliau adalah anggota pimpinan redaksi wartawan. Beliau pernah memuat tulisan dalam surat kabar Hindia Sepakat, tulisannya mengarah pada peraturan pidana yang baru berlaku pada waktu itu dengan judul ‘pers dengan artikel 315 Wetboek Van Strafrecht’. Tulisan dari Parada Harahap mencatat perubahan kedudukan seorang wartawan yang apabila dituntut pasti selalu dihadapkan kepada pengadilan rad justisi, maka dengan adanya peraturan baru tersebut setiap wartawan tertuduh tidak lagi dibawa ke pengadilan Rad Justisi tetapi ke lanrat atau magi straatsgerecht atau ke tempat rapat. Dalam langkah selanjutnya, di Sibolga Abdul Manap terkenal sebagai seorang tokoh pemimpin rakyat dan namanya sangat populer dalam mengatasi setiap permasalahan, bahkan namanya terkenal sampai ke Loekseumawe untuk itu beliau diminta untuk datang kesana, namun dalam pemberitaan sebuah surat kabar dikatakan tidak boleh sembarangan untuk masuk ke Aceh karena adanya peraturan ‘passenstelsel’. Peranan yang ditunjukkan oleh Abdul Manap dapat terlihat dari keikutsertaannya dalam memprakarsai suatu peraturan rakyat Sumatera yang akhirnya dilaksanakanlah rapat
Universitas Sumatera Utara
raksasa di Sibolga. Sebagai seorang pemimpin beliau sangat disegani dan dihormati oleh rakyat karena dianggap dapat mengatasi setiap permasalahan dalam setiap organisasi Syarekat Islam di Sibolga. Dalam setiap pemberitaanya, surat kabar Hindia Sepakat dikenal sebagai surat kabar yang cukup ekstrims serta dicap sangat radikal, hal ini disebabkan karena surat kabar tersebut banyak menentang tindakan-tindakan pihak kolonialisme Barat di Tapanuli. Pada akhir tahun 1921 Abdul Manap dihadapkan ke pengadilan rapat di Sibolga atas tuntutan penyelidikan terhadap tulisan yang berjudul ‘Madona’, yang dimuat dalam surat kabar Hindia Sepakat pada tanggal 28 Oktober tahun 1920 no 13, yang isinya mengecam praktek residen Vortsman. Oleh karena itu Abdul Manap tidak bersedia untuk memberikan penjelasan siapa sebenarnya penulis dari karangan Madona tersebut, bahkan ia tidak bertanggung jawab terhadap semua tulisan yang dimuat oleh surat kabar Hindia Sepakat 8 Di dalam pengadilan tersebut ia menolak untuk duduk dibangku persidangan, maka ia hanya berdiri dan akhirnya Abdul Manap dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, tetapi beliau naik banding dan oleh pihak pengadilan dia hanya dihukum 3 bulan penjara, di penjara Cipinang Jakarta. Oleh karena itu, maka surat kabar Hindia Sepakat akhirnya dipimpin oleh Abdul Xarim, beliau merupakan bekas pimpinan N.I.P yang berada di Langsa yang sebelumnya pernah berhenti dari B.O.W di Padang. Selama memimpin surat kabar ini, Abdul Xarim pernah mengalami masalah dalam pemberitaannya, oleh karena 8
Surat kabar ini dicetak di Tapanuli pada percetakakan Tapanoeli Drukkerij, pada penerbitan pertamanya Xarim berkomunikasi dengan pembacanya dimulai dengan ucapan ‘Assalamoe Alaikoem’. Di bagian atas surat kabar itu bersemboyan Chotbah Merdeka, dan kata perkenalannya berjudul Matahari Terbit yang menyebutkan bahwa Indonesia harus dimerdekakan oleh Nederland dan mudah-mudahan dikabulkan oleh Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, beliau juga menganjurkan agar bangsa Indonesia jangan dianggap sebagai timun terhadap Belanda, tetapi sebaliknya Indonesia harus dapat menjadi durian terhadap siapa pun. Ibid., hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
itu beliau harus berurusan dengan pihak yang berwajib untuk mempertanggung jawabkan tindakannya. Maka akhirnya Xarim dan rekannya Pedo Al Mansur berhenti dari surat kabar tersebut dan selanjutnya mereka kembali ke Langsa untuk menerbitkan sebuah surat kabar baru bernama ‘Oetoesan Raiat’. 2. 2. 4. Sinar Merdeka Parada Harahap merupakan orang ke-2 di Sumatera Utara yang menggunakan kata atau istilah “Merdeka” pada nama surat kabarnya. Hal ini menunjukkan bahwa Parada Harahap sejak zaman kebangkitan sudah memiliki kesadaran yang kuat untuk segera menjadi bangsa yang merdeka. Maka keinginan beliau pun segera terwujud dengan menerbitkan sebuah surat kabar ternama yakni ‘Sinar Merdeka’ pada tahun 1914 yang terbit di Padang Sidempuan. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan persuratkabaran selanjutnya, maka Parada Harahap ikut aktif dalam menceritakan suka dan duka diawal permulaan kegiatannya pada waktu itu. Parada Harahap merupakan seorang sosok yang selfmademen/otodidak, sejak dari masa mudanya Parada Harahap sudah terlihat aktif dalam arti ingin mengetahui apa saja tentang sesuatu yang belum pernah diketahuinya. Maka di Padang Sidempuan, sebuah kota yang tidak terlalu jauh dari kampung halaman atau tempat kelahirannya (Pargarutan), sudah terbit sejak tahun 1914 sebuah mingguan berbahasa Batak bernama ‘Postaha’, dan dari penerbitan inilah Parada Harahap telah mengenal surat kabar sejak ia masih kecil. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan pengetahuan yang sederhana timbul keinginan dalam hatinya untuk segera merantau dari Tapanuli ke Sumatera Timur pada tahun 1916. Maka akhirnya ia bekerja menjadi krani pada perkebunan Soengai Dapdap
Universitas Sumatera Utara
milik H.A.P Mij, sebuah kantor besar Boenoet di daerah Kisaran. Dari sini beliau mengirim berbagai tulisan ke Pewarta Deli, dan dengan memakai nama terang ‘Parada Harahap Soengai dadapeer’. Maka akhirnya beliau dikenal oleh para pembaca surat kabar karena tulisannya yang pernah dimuat oleh harian Pewarta Deli yang berjudul “Ach, naib Bangsaku”, yang membahas mengenai persoalan ekonomi dimana ia telah mengatakan kelemahan posisi bangsa Indonesia dalam menghadapi pihak asing terutama orang Tionghoa. Parada Harahap juga menyoroti soal masalah perkawinan bangsa Indonesia yang dikatakannya terlalu cepat menikah, namun akhirnya beliau tidak betah tinggal di Kisaran dan akhirnya pindah ke Medan dan tinggal di Krugerstraat 12. Selanjutnya muncul keinginan darinya untuk segera membangun sebuah ormas perkebunan dan akhirnya pada tanggal 16 November 1918 ia berhasil mengumpulkan para anggota untuk membentuk sebuah organisasi perkebunan dengan nama ‘Estate Klerken Bond’, maka dari usahanya tersebut terbitlah sebuah majalah pembawa suara karyawan bernama “De Cranie”. Disamping itu beliau juga mensponsori penerbitan sebuah majalah khusus wanita, dimana seorang tokoh wanita yang menjadi guru bernama Tengku A. Sabariah sangat tertarik dengan rencananya tersebut, maka terbitlah nomor percobaan pada tanggal 15 Mei 1919 dengan direksinya adalah T.A Sabariah dan redaksinya bernama Butet Satidjah dan tim pembantunya adalah A.S Hamidah, sedangkan yang menjadi pemimpin umumnya adalah Parada Harahap sendiri, selanjutnya setelah beliau menikah dengan istrinya bernama Setiaman, maka nama istrinya pun ikut tercantum dalam dewan redaksi9.
9
Wawancara dengan Mangaraja Siahaan tanggal 12 April 2008 di Sibolga
Universitas Sumatera Utara
Merasa tidak puas tinggal di Medan dengan segala kegiatannya itu, akhirnya Parada Harahap kembali ke Tapanuli dan menjadi pemimpin redaksi surat kabar berbahasa Batak bernama Poestaha. Sambil memimpin mingguan tersebut, Parada Harahap berhasil membangkitkan animo Mangradja Bangun Batari yang merupakan direktur ‘N.V.Partopan Tapanoeli’, untuk segera menerbitkan surat kabar baru, maka lahirlah surat kabar Sinar Merdeka. Disini Parada Harahap mulai menonjolkan bakatnya sebagai pejuang pena. Dalam penerbitan surat kabarnya nomor pertama pada tanggal 3 Agustus, beliau mendapatkan masalah yang akhirnya harus dirasakannya juga, karena menjelang surat kabar tersebut terbit sudah banyak bahan-bahan yang terkumpul di mejanya. Satu diantara berita tersebut adalah kasus seorang manteri-polisi Sutan Naparas di Sipirok. Dalam kasus ini Parada Harahap banyak mengungkapkan sisi buruk dari Sutan Naparas yang juga sangat kejam. Pengalaman pahit yang didapatkan oleh Parada Harahap selama beliau mendirikan surat kabar ini, bukan merupakan suatu penghalang baginya untuk tetap menerbitkan berita pada masa itu. Beliau juga merupakan salah satu tokoh pers yang paling sering diperkarakan dan diadili oleh pemerintah kolonial Belanda, namun sedikit pun tidak terlihat kegentaran dihatinya. Hal ini dilakukan dengan mengancam kesombongan penjajahan, yang dimuat dalam satu tulisannya yang mengatakan bahwa ‘kontrolir Belanda Van de Meulen ini adalah tidak lebih muda dari seorang babu yang menjaga anak-anak’, oleh karena itu dari pemberitaan ini akhirnya menimbulkan pertengkaran antara Parada Harahap dengan Belanda. Sejak berita itu diturunkan ada saja hantaman dan masalah yang dilancarkan oleh pihak Belanda terhadapnya. Selain berita itu, Parada Harahap juga pernah menulis dan menceritakan
Universitas Sumatera Utara
dalam surat kabarnya bahwa beliau pernah ditangkap di tengah jalan sehinnga dia tidak diperbolehkan untuk pulang. Parada Harahap akhirnya ditahan dalam tahanan selama 2 hari, selanjutnya dia di keluarkan kembali karena berita yang dimuatnya telah dibaca oleh Residen yang menyebabkan Residen tersebut turun tangan. Akibat dari tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap dirinya, selanjutnya bukan membuat beliau menjadi jera bahkan berita-berita yang dimuat oleh surat kabarnya pun semakin radikal dan sangat keras menghantam pemimpinan Belanda di Tapanuli. Oleh sebab itu hal ini sangat dirasakan di kalangan pegawai-pegawai Belanda, untuk itu mereka menjadi sangat hati-hati terhadap apa saja yang dimuat oleh surat kabar Sinar Merdeka, sebab berita itu akan sampai kepada parket pokrol jendaral (Jaksa Agung). Setiap nomor yang terbit selalu saja ada terdapat kolom yang digaris merah dan dikirim kepada pembesar justisi Belanda. Oleh karena itu wajar saja kalau masyarakat rendahan Suara Merdeka menjadi tumpuan harapan untuk menyampaikan segala keluh kesah mereka dan ratap tangis terhadap perbuatan serta tindakan sewenang-wenang para pegawai-pegawai Belanda. Dimana saat itu Tapanuli dalam suasana gelap dari keadilan. Tampilnya Parada Harahap oleh rakyat dianggap sebagai pahlawan pena yang sangat berperan dalam merebut kemenangan di medan perang. Selama 2 tahun Parada Harahap berada di Padang Sidempuan, maka tidak kurang 12 kali beliau menghadapi delik pers. Untuk itu tidak kurang dari 7 bulan juga ia harus keluar masuk penjara. 2. 2. 5. SOARA BATAK Tepat bulan November 1919 lahirlah sebuah surat kabar bernama “Soara Batak”. Surat kabar ini diterbitkan oleh Saban Sabtu oleh suatu badan hokum yang sengaja dibentuk sebagai oleh N.V. Soara Batak yang terbit di Tarutung. Tujuan dari penerbitan
Universitas Sumatera Utara
surat kabar ini adalah sebagai pembawa suara kumpulan “Hatopan Kristen Batak”. Surat kabar ini kemudian dicetak oleh Philemon bin Haroen Siregar di Tarutung, sedangkan yang menjadi pimpinan redaksinya adalah M.H Manulang, beliau adalah seorang tokoh yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Tapanuli sebagai pemimpin rakyat, dimana sebelumnya beliau juga pernah mendirikan surat kabar tersebut di Balige. Terkesan dari nomor permulaan awal terbitnya, surat kabar ini lahir karena hasil dorongan hati yang keras supaya daerah tanah Batak memiliki sarana media pers sendiri. Soara Batak lahir karena masyarakat Kristen Batak di Tapanuli sudah mulai jenuh dan bosan terhadap dominasi yang berasal dari Rijnsche Zending, yakni sebuah organisasi Kristen Protestan yang berpusat di Barmen Jerman. Sehubungan dengan kesediaan pemerintah Hindia Belanda untuk menyerahkan konsesi perkebunan besar asing di wilayahnya kepada H.V.A.(Handles Vereeniging Amsterdam) yang sudah terdengar beritanya sejak tahun 1916 dan akhirnya terjadi juga. Oleh karena itu masyarakat Tapanuli hanya bisa terdiam melihat tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Tapanuli, khususnya bagi masyarakat di bagian Utara yang merupakan penduduk asli Batak yang homogen terhadap hukum-hukum adat yang sudah mereka rasakan dari abad ke abad. Maka dari itu, melalui surat kabar Soara Batak akhirnya M.H. Manullang berusaha untuk ikut bergerak memperjuangkan segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yang dianggap telah merugikan rakyat Tapanuli. Perasaan anti kolonialisme M.H. Manullang sangat tajam sebagaimana dapat dilihat pada kupasan berikut: “Saudara-saudara kita jang menjadi koeli selamanja hidoep sebagai kerbau pedati dan kerbau badjak, kena hantam poekoel, tjoetji maki dan berbagai siksaan kaoem planters (toean-toean keboen) sedjak dari ketjil sampai chef-nja semoea memandang sebagai perkakas jang tidak berperasaan boleh dipengapakan sadja”.
Universitas Sumatera Utara
Gaya tulisan M.H. Manullang memang bisa dibilang provokatif untuk ukuran masa itu. Barangkali ini juga sebagai cerminan dari tipologi masyarakat Batak yang kalau bicara biasanya lugas dan tagas. Ketika Soara Batak pertama kali terbit, surat kabar ini juga sudah langsung menyatakan solidaritasnya dan menyindir pedas atas penangkapan dan penahanan terhadap Parada Harahap. Sebagaimana diketahui, Parada Harahap dikenal sebagai raja delik pers dari Sumatera Utara. Kehidupan bermasyarakat dan berpolitik yang ia lalui selama tujuh tahun (19101917) di Pulau Jawa, membuat MH Manullang cukup matang untuk berjuang melawan kekejaman pemerintah kolonial dan gaya otoriterisme petinggi Zending. Pergaulannya dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam seperti, H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan Abdul Muis telah memberikan manifest baru dalam perjuangan. Dukungan mereka menebalkan tekad M.H. Manullang untuk meninggalkan sekolah Methodist, dan kembali ke Tarutung, Tapanuli, daerah asalnya. Model organisasi Syarikat Islamlah yang mengilhami M.H Manullang mendirikan Hatopan Kristen Batak (Hatopan berarti Syarikat) pada tahun 1918 di Tapanuli Utara. Dengan tema Hamajuon Bangso Batak dan Patanakkohon Hakristenon (mewujud nyatakan kekristenan), organisasi ini segera mendapat sambutan luas. Atas dukungan teman-temannya, seperti Guru Polin Siahaan, Sutan Sumurung Lumbantobing, dan lain-lainnya, serta tokoh-tokoh Sarikat Tapanuli, HKB berkembang pesat sebagai komunitas yang gigih memperjuangkan perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama. Maka langkah selanjutnya MH. Manullang bersama dengan pemimpin gereja setempat mengadakan pertemuan, rapatrapat besar, kongres untuk mendesak perbaikan kehidupan dan hubungan yang harmonis antar masyarakat setempat dengan pemerintah Belanda. Di sisi lain, HKB banyak dihujat
Universitas Sumatera Utara
oleh pemerintah kolonial Belanda dan petinggi zending Jerman, yang menuduh M.H Manullang sudah ‘menjual’ imannya kepada pemeluk agama lain. Mereka yang menghujat tidak menyadari, bahwa Hatopan Kristen Batak menjadi poros para nasionalis Indonesia yang karismatis. Perjuangan M.H. Manulang dalam menentang penjajah semakin gigih setelah Pemerintah Belanda, melalui perantaraan kesultanan-kesultanan ciptaannya di daerah Sumatra Timur, membagi-bagi tanah pribumi kepada perkebunan besar tanpa menghiraukan hak rakyat. Tanah dinyatakan milik “kesultanan” yang kemudian disewakan kepada Belanda. Pemerintah kolonial memberikan konsesi kepada pemodal perkebunan untuk mengolahnya. Rakyat yang ingin menggarap tanah harus menyewa kepada Pemilik Afdeling. Penguasaan atas tanah ini menyengsarakan rakyat, karena merupakan sumber kehidupan bagi rakyat. Akal-akalan itulah yang ditentang oleh MH.Manullang. Beliau
menyadarkan,
menghimpun dan
menyuarakan tuntutan
masyarakatnya dengan menerbitkan surat kabar Soeara Batak pada tahun 1919. Dalam setiap pemberitaannya surat kabar Soara Batak
juga banyak menulis
tentang keberadaan pemerintah kolonial Belanda di Tapanuli seperti sentilan-sentilan tajam, “Kandang koeda assitent resident lebih cantik dari boei”. Dalam edisi perdananya, Manullang juga menulis sebuah manifesto, yang mencerminkan sikap anti kolonial sekaligus tumbuhnya kesadaran akan rasa nasionalismenya, yang kerap dicampurbaurkan dengan bangsa Tapanuli. Sebagaimana masa kolonialisme merupakan masa perubahan, pergerakan dan konflik yang ditujukan untuk mencapai hak-hak asasi manusia, persamaan hak, hak nasional, perkumpulan-perkumpulan muncul di mana-mana yang tujuannya untuk mencapai kemerdekaan dan kehidupan yang baik. Perkumpulan-
Universitas Sumatera Utara
perkumpulan bangsa Indonesia bermunculan bagaikan jamur dimusim hujan, dalam sebuah tulisan beliau mengatakan, “Dalam perjalanan waktu bahwa bangsaku, bangsa Batak, telah mulai mengerti arti solidaritas, bukankah begitu? ….. Saudara-saudaraku! Lihatlah tanah kita yang disewakan oleh Guibernur Jenderal kepada para kapitalis karena kita tidak mengerjakannya. Tanah kita itu …. menghasilkan untung besar; semua pemegang saham Eropa dan Amerika dengan gembira membagi-bagi keuntungan yang berlipat ganda…….”
Pada bulan Desember 1920, Manullang terkena delik pers ketika surat kabar Soara Batak memuat tulisan tentang konsesi “Pansoer Batu”10. Sebelum terkena pers delik pada surat kabar yang dipimpinnya, M.H. Manullang juga pernah menulis kasus Pansoer Batu pada surat kabar Poestaha, yang terbit di Padang Sidempuan. Pada Poestaha edisi 4 Juli 1919, M.H. Manullang menulis: “Teman-teman Batak! Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah (kapitalis bermata putih). Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya ……. sekarang kita mengetahui bahwa pemerintah hanyalah bersandiwara”. Manullang sendiri akhirnya dihadapkan ke raad van justisi (Pengadilan Tinggi) Padang. Sesudah perkaranya diproses selama kurang lebih setahun oleh raad van justisi, Manullang kemudian diputuskan untuk menjalani hukuman kurungan selama setahun di penjara Cipinang, Jakarta. Pengganti Manullang adalah Soetan Soemoeroeng, yang juga dikenal memiliki sikap anti kolonialis Belanda. Sama halnya dengan Manullang, Soemoeroeng juga terkena delik pers, ketika Soara Batak pada terbitan 2 dan 6 Juni tahun 1921 mengupas soal konsesi Sioebanoeban dan Pansoer Batoe. Soemoerong 10
Pansoer Batu adalah areal tanah seluas 1.020 bau yang hendak disewakan (erfacht) kepada pengusaha perkebunan Eropa. Namun masyarakat Pansoer Batu menolak menyewakan tanah mereka dan tetap menanami tanah tersebut. Akibatnya sebanyak 12 orang pemimpin rakyat ditahan selama 12 hari dan disuruh membayar denda f 10 karena dituduh sebagai dalang yang mempengaruhi rakyat Pansoer Batoe untuk melawan kebijakan pemerintah Belanda. op. cit., hal.122
Universitas Sumatera Utara
kemudian disidang oleh Pengadilan Kerapatan Besar Tarutung pada tanggal 7 Februari 1924. Kemudian diputuskan bahwa Soemoeroeng dihukum 1,5 tahun penjara karena dianggap telah melanggar pasal 207 dan 145 KUHP Hindia Belanda, yaitu memberi rasa malu dan menerbitkan bibit kebencian antara rakyat dan pemerintah. Maka pada tanggal 5 Juni 1924, Residen Sibolga memperteguh putusan rapat, dan setelah grasi Soemoeroeng ditolak Gubernur Jendral Hinda Belanda, maka pada tanggal 27 Oktober Soemoeroeng dibawa ke Sibolga untuk menjalani hukumannya. Akibatnya Soeara Batak tidak terbit lagi. M.H Manullang sendiri sekeluar dari penjara Cipinang pada tahun 1924, kemudian menerbitkan koran baru bernama Persamaan. Tahun 1928 merupakan tahun-tahun tersibuk yang penuh dengan kobaran semangat juang yang ditunjukan oleh rakyat dalam menumbuhkan rasa nasionalisme, maka sejalan dengan itu juga dunia persuratkabaran semakin melancarkan tugasnya sebagai pembawa dan pemberi berita terhadap rakyat Tapanuli khususnya. Untuk itu para tokoh-tokoh pers berupaya keras untuk tetap menerbitkan surat kabar baru menjelang dilaksanakannya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang cukup menggugah kesadaran rakyat untuk bangkit melawan ketidakadilan di wilayahnya sendiri. Oleh karena itu adapun surat kabar yang pernah terbit di Tapanuli pada masa tersebut antara lain ; 2. 2. 6 Bendera Kita Sebuah surat kabar ternama yang terbit 3 kali seminggu tercatat bernama Bendera Kita terbit di kota Sibolga pada tanggal 4 Januari 1925, di bawah pimpinan seorang wartawan revolusioner bernama Jesayas Siahaan. Surat kabar Bendera Kita mulai terbit diawali dengan sebuah kritikan tajam yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda yang ingin melakukan propaganda ke Tapanuli bernama Hemmers yang
Universitas Sumatera Utara
mengatakan bahwa “supaya orang-orang Kristen jangan melawan Belanda tetapi harus membantunya”. Selanjutnya Hemmers juga mengatakan bahwa kapitalis-kapitalis perlu menanamkan modalnya untuk kemajuan Tapanuli. Dalam pemberitaannya surat kabar Bendera Kita mengingatkan kepada pembacanya betapa orang-orang Belanda dulunya telah berperang untuk mendapatkan kemerdekaan dari Spanyol selama 80 tahun lamanya, pada hal bila dikaji semua orang mengetahui bahwa Belanda dan Spanyol sama-sama pemeluk Kristen. Terhadap kaum kapitalis Bendera Kita menjelaskan bahwa menurut Kristen orang-orang kaya akan sukar untuk masuk surga dari pada orang miskin, selain itu terhadap kapitalis sendiri menurut surat kabar Bendera Kita menyimpulkan bahwa orang-orang Jawa hanya menjadi budak modern di perkebunan berita ini disampaikan pada tanggal 11 Maret 1926. Dalam perkembangan selanjutnya, maka Jesayas Siahaan ditangkap dengan alasan karena beliau telah menjadi aktivis komunis, oleh karena itu maka pimpinan surat kabar Bendera Kita digantikan oleh S.M Simanjutak. Dalam kepemimpinannya beliau pernah menerbitkan sebuah berita pada tanggal 23 Juli tahun 1927 yang berjudul ‘pemerintah harus digoelisten’ (dihukum), yang menjelaskan bahwa perlu diadakannya pemeriksaan ke Digoel (penjara), karena semakin cepat akan semakin baik. Selanjutnya secara pribadi beliau juga tidak sependapat apabila kekuasaan Belanda diusir sekarang juga dari Indonesia, dengan alasan bahwa tidak menghendaki jika akibat dari peraturan keras pemerintah dapat membuat orang-orang yang tidak bersalah akan turut dipenjarakan juga. Dalam pemberitaan berikutnya pada tanggal 30 Juli 1927, surat kabat Bendera Kita berusaha membahas masalah siapa orang yang menjadi mata-mata Belanda yang
Universitas Sumatera Utara
semula telah menonjolkan diri justru sekarang telah menjadi pemimpin yang cukup berani berterus-terang mengupas kebusukan dan keburukan pemerintah. Menurut keterangan yang didapat melalui surat kabar Bendera Kita juga menjelaskan bahwa pada dasarnya dengan memberi kesempatan kepada seorang kaki tangan seperti ini, maka pemerintah
sebetulnya
tidak
menindas
gerakan
revolusioner
melainkan
akan
mendukungnya. Selanjutnya maka pada tanggal 10 September 1927, surat kabar ini telah berhenti dalam penerbitannya lantaran kelemahan di bidang administrasi. 2. 2. 7. Soeara Tapanoeli Pada tahun 1925 tepat dibulan Maret, tebitlah sebuah surat kabar bernama Soeara Tapanoeli yang terbit di Sibolga di bawah pimpinan Amir Hoesin yang terbit 3 kali seminggu. Surat kabar Soeara Tapanoeli terbit dalam edisi berbahasa Indonesia. Dalam penerbitannya surat kabar tersebut lebih banyak menyuarakan berita-berita yang berisikan suara-suara pembaharuan untuk rakyat di bidang politik yang cukup kritis dan tajam. Dalam setiap pemberitaannya Soeara Tapanoeli juga selalu membuat dan menempatkan gambar-gambar berupa karikatur tangan yang berisikan sindiran-sindiran lucu yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda. Kegemaran dalam membuat karikatur yang berbau politis pada waktu itu belumlah biasa dalam surat kabar Indonesia maupun di kalangan pers Belanda sendiri. Karikatur yang dimuat oleh surat kabar Soeara Tapanoeli pada masa tersebut berisikan sindiran terhadap diskriminasi antara terjajah dengan penjajah yang intinya bangsa penjajah selalu bertindak sebagai pemimpin dalam segala kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat pribumi. Dalam pemberitaan selanjutnya dibulan Agustus tahun 1925, Soeara Tapanoeli pernah membahas mengenai pandangan politik yang salah dari pembesar Belanda yang
Universitas Sumatera Utara
cukup konservatif karena telah melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orangorang pribumi berupa pemungutan pajak dan kerja rodi. Maka Soeara Tapanoeli berusaha mengupas masalah pengembalian kepercayaan dengan menggantikan gubernur jenderal lama Fock kepada gubernur yang baru bernama De Graeff. Surat kabar tersebut telah memusatkan pandangannya pada keperluan supaya fungsi dewan negeri dan susunannya harus benar-benar diperbaiki, dengan tujuan agar rakyat mendapat kesempatan untuk turut serta dalam mengurus segala kebijakan politik yang berlaku di Tapanuli khususnya di Sibolga. Dalam pemberitaannya Ahmad Hoesin sebagai salah seorang anggota redaksi Soeara Tapanoeli juga telah menyadari bahwa masalah yang dihadapi oleh rakyat bukan hanya soal politik, tetapi juga seputar masalah ekonomi juga harus diselesaikan mengingat pada waktu itu kota Sibolga merupakan pusat bandar perdagangan untuk wilayah Tapanuli. Oleh karena itu melalui pemberitaannya Soeara Tapanoeli berupaya keras agar rakyat dapat mengetahui segala informasi yang berkembang pada masa itu. Karena kelemahan di bidang administrasi, maka pada tahun 1926 surat kabar Soeara Tapanoeli akhirnya berhenti dalam penerbitannya. 2. 2. 8. Soeara Sini Pada bulan Mei 1929, sebuah surat kabar bernama Soeara Sini terbit di Sibolga, di bawah pimpinan redaksi Saroehoem. Dalam penerbitannya surat kabar ini terbit sekali sebulan, melalui percetakan Tapanoeli, surat kabar ini mampu membuat berita setengah halaman. Oleh karena kondisi percetakan yang kurang memuaskan, selanjutnya surat kabar ini pindah ke Tarutung di bawah percetakan Bataksche Electrische Drukkerij Mij. Dalam pemberitaannya, surat kabar ini banyak mengupas tentang masalah-masalah
Universitas Sumatera Utara
politik dan sosial yang terjadi di Tapanuli. Di daerah ini, Soeara Sini mendapat perhatian dan dukungan lantaran berita-berita yang disampaikan cukup tajam dan radikal dalam menentang setiap kebijakan Belanda di Tapanuli. Oleh karena itu Saroehoem dijuluki sebagai “Soekarno Van Tapanoeli”. Namun perkembangan surat kabar ini tidak begitu lama yakni hanya dua tahun saja, hal ini lantaran banyaknya kekurangan khususnya di bidang administarsi 2. 2. 9. Bintang Batak Pada akhir tahun 1928 tepatnya di bulan November, terbitlah sebuah surat kabar dalam edisi berbahasa Indonesia di Sibolga bernama Bintang Batak, di bawah pimpinan redaksi G. Ph.Siagian. Surat kabar ini terbit seminggu sekali. Dalam setiap penerbitannya Bintang Batak banyak mengupas berita mengenai persoalan ekonomi, hal ini disebabkan karena pada masa itu krisis ekonomi sedang melanda dunia yang dikenal dengan Malaise yang imbasnya sampai ke Tapanuli. Dalam setiap kesempatan surat kabar ini berusaha mendesak supaya penguasa kolonial agar lebih banyak memberi peluang kepada penduduk pribumi untuk dapat mengerti bagaimana cara mencari sumber kehidupan. Selain itu para petani pribumi juga diarahkan agar selalu berhati-hati dalam menghadapi ancaman kesulitan ekonomi. Surat kabar Bintang Batak juga menyoroti masalah tentang banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh penguasa di bidang pemeliharaan keamanan, pada hal disisi lain biaya tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan peningkatan kesehatan penduduk pribumi, sebab menurut keterangan yang diperoleh dikatakan bahwa di wilayah tersebut belum ada dibangun sebuah rumah sakit. Dalam pemberitaannya pada tanggal 13 November 1929 diungkapkan bahwa seorang pegawai Belanda telah melanggar seorang anak-anak, namun dalam kejadian dia
Universitas Sumatera Utara
hanya mengacuhkan begitu saja anak tersebut. Selain berita tersebut, juga diungkapakan bagaimana hukuman yang diberikan oleh pihak kolonial kepada penduduk ketika ia berhutang pajak sebesar f 5.81, maka sanksi atas hutang tersebut ia harus membayar dua kali lipat dari nilai hutang sebelumnya. Berita-berita yang diterbitkan oleh surat kabar Bintang Batak tidak hanya membahas masalah seputar ekonomi, tetapi juga membahas mengenai persoalan sosial dan agama di Tapanuli. Salah satu diantaranya adalah mengenai perkembangan kekristenan Batak akibat dari pengaruh Rijnschzending Jerman yang ingin berkuasa di Tapanuli, sehingga menimbulkan anggapan bahwa pengaruh dominasi zending dengan pemeluk Kristen Batak telah melahirkan ungkapan “Berdikari” berdiri di atas kaki sendiri. Dari masalah-masalah yang disampaikan, maka telah membawa kemajuan besar dalam dunia persuratkabaran di Tapanuli. Dengan banyaknya berita-berita yang muncul telah membuat rakyat semakin mandiri dan mampu dalam mengatasi setiap persoalan yang ada. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya putera-putera Batak yang mendapatkan pendidikan di sekolah hasil dari proses misi zending Jerman ke tanah Batak pada waktu itu. Dalam perkembangan selanjutnya, diakhir tahun 1931 keberadaan surat kabar ini sudah mulai goyah dan akhirnya berhenti dalam penerbitan lantaran banyaknya persoalan yang dihadapi khususnya di bidang ekonomi.
2. 3. Beberapa Surat Kabar Kecil Sekitar tahun 1926-1928 Tahun 1926 sampai dengan 1928 merupakan tahun-tahun tersibuk yang penuh dengan kobaran semangat juang yang ditunjukan oleh rakyat dalam menumbuhkan rasa nasionalisme, maka sejalan dengan itu juga dunia persuratkabaran semakin melancarkan
Universitas Sumatera Utara
tugasnya sebagai pembawa dan pemberi berita terhadap rakyat Tapanuli khususnya. Untuk itu para tokoh-tokoh pers berupaya keras untuk tetap menerbitkan surat kabar baru menjelang dilaksanakannya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang cukup menggugah kesadaran rakyat untuk bangkit melawan ketidakadilan di wilayahnya sendiri. Oleh karena itu adaupun surat kabar yang pernah terbit di Tapanuli pada masa tersebut antara lain; 1. Pada tahun 1926 terbit sebuah surat kabar di Balige bernama Siadji Panoetoeri di bawah pimpinan Soetan Pangaribuan. Surat kabar ini terbit 2 kali sebulan. 2. Pada tahun 1926 juga terbit sebuah harian tercatat bernama Parbarita Batak, terbit di Tarutung di bawah pimpinan redaktur H.Panggabean. 3. Pada tahun 1927 terbit sebuah majalah wanita bernama Parsaoelian Ni Soripada yang terbit di Tarutung di bawah pimpinan Ny Siahaan. 4. pada tahun 1927 terbit sebuah surat kabar bernama Anak Batak di bawah pimpinan Walter P.Raja Tobing yang terbit di Sibolga, surat kabar ini terbit sebulan sekali. 5. Pada tahun 1928 di Sipirok terbitlah sebuah harian bernama Pardomoean di bawah pimpinan Soetan Pangoerabaan, surat kabar ini terbit 1 kali dalam sebulan. Semua penerbitan surat kabar di atas pada dasarnya mengarah pada pemberitaan tentang kepentingan rakyat baik di bidang politik, sosial maupun ekonomi yang selalu berusaha keras untuk tetap menentang segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Tapanuli menjelang periode Sumpah Pemuda.
Universitas Sumatera Utara
2. 4. Pers Tapanuli Diakhir Kekuasaan Belanda Setelah berlanjutnya perang di Eropa, maka semakin banyak ramalan yang muncul yang mengatakan bahwa perang akan menjalar sampai ke Asia sehubungan dengan dikuasainya Perancis oleh Jerman. Hal ini disebabkan karena jajahan Perancis di Indo-Cina tidak akan dibiarkan terlantar begitu saja oleh bangsa yang dari sejak dulu telah simpatik melihat keadaan di wilayah yang dikuasai tersebut. Dalam hal ini adalah Jepang, oleh karena itu Jepang menjadi pusat perhatian sekaligus Indonesia dari jajahan Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya, menjelang agresi Jepang yang sudah dianggap akan terjadi, maka Jepang mengadakan pertemuan tingkat menteri di Jakarta dengan melakukan perundingan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Indonesia yang diwakilkan oleh gubernur jenderal Van Mook. Adapun tujuan atau isi dari perundingan tersebut adalah terdengar kabar bahwa Jepang mencoba menarik Hindia Belanda ke dalam kegiatan Jepang dalam perang Asia Timur Raya, dengan tujuan supaya Belanda mau mensuplai segala produk bahan baku yang diperlukan oleh Jepang dalam proses perang nanti. Mendengar keputusan tersebut tentu saja hal ini ditolak secara tegas oleh pihak Belanda dengan harapan bahwa Belanda tetap saja ingin menguasai seluruh Asia Tenggara termasuk Indonesia. Selanjutnya dalam suatu kesempatan tidak lama setelah gagalnya perundingan dengan Jepang, maka gubernur jend Jhr Tjarda Van Stachouwer mengadakan pidato di depan radio Nirom, beliau bermaksud ingin membicarakan persoalan politik yang terjadi, tetapi sama sekali tidak memberi harapan akan perubahan hasil dari komisi visman terhadap banyaknya perbedaan pendapat yang sedang berkembang di Indonesia saat itu.
Universitas Sumatera Utara
Oleh sebab itu banyak berita-berita yang tersiar di Indonesia mengenai hasil perundingan tersebut, yang akhirnya menyebar juga sampai ke Tapanuli. Banyak surat kabar di Tapanuli memuat berita mengenai perdebatan yang terjadi antara Jepang dengan Belanda. Tentu saja dalam pikiran para tokoh-tokoh pers beranggapan bahwa pihak Hindia Belanda akan kalah dengan Jepang, maka tentu saja penderitaan rakyat pun pasti berakhir juga. Sejak Jepang mengobarkan perang kembali, maka banyak surat-surat kabar menjadi rebutan publik, hal ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui perkembangan apa yang sedang terjadi di masing-masing daerah. Hal ini terlihat dengan banyaknya berita yang memuat mengenai segala aktifitas dan gerak-gerik Belanda yang dianggap mencurigakan, sebab ada kemungkinan bahwa Jepang akan merebut ibukota dan sekaligus wilayah Indonesia sudah diperhitungkan oleh Belanda. Oleh sebab itu, adapun jenis-jenis surat kabar yang terbit di Tapanuli menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda antara lain ; 1. Drukkerij Tapian Na Oeli, terbit tahun 1940 di Padang Sidempuan dibawah pimpinan redaksi Maringan Napitupuluh, terbit setiap hari Sabtu dalam edisi berbahasa Batak terkadang bahasa Indonesia. 2. Anak Batak terbit tahun 1940 di Tarutung dibawah pimpinan J.R.Siahaan, terbit setiap hari sabtu dalam edisi berbahasa Batak. 3. Batak Bergerak terbit tahun 1941 di Tarutung dibawah pimpinan redaksi Soetan Amir Hamzah, redaksi B.Sihombing, Batara Soboe, A.L.Tobing. terbit dalam edisi berhasa Indonesia dan Batak, terbit setiap hari Jumat.
Universitas Sumatera Utara
4. Partongkoean terbit tahun 1939 di Balige dibawah pimpinan redaksi H. Panjaitan terbit dalam edisi berbahasa Batak, terbit sepuluh hari sekali. 5. Oetoesan terbit tahun 1939 di Padang Sidempuan dibawah pimpinan redaksi Baginda Kali Djoendjoengdan A.H. Daulay. Terbit dalam edisi berbahasa Indonesia merupakan surat kabar nasional, terbit setiap hari Senin dan Sabtu.
2. 5. Gema Pers Pada Masa Pendudukan Jepang Berbicara mengenai pers di masa pendudukan Jepang rasanya tidak sempurna apabila belum mengarah pada masalah ekspansi Jepang ke seluruh Asia Timur Raya, yang beritanya sangat populer ketika itu. Rencana ekspansi ini berawal sejak Jepang dipimpin oleh kaum reaksioner militer nasionalis dan fanatik pada tahun 1930. Keinginan Jepang yang cukup kuat tersebut bukanlah persoalan baru dalam sejarah Jepang, hal ini didukung dengan adanya kepercayaan Jepang 2000 tahun yang lalu dimana kaisar Jepang pertama bernama Jimmu Tenno memerintahkan sabda suci “Hakko Ichiu” agar mempersatukan delapan penjuru dunia di bawah pimpinan panji-panji Nippon. Akhirnya Jepang bergerak merebut Asia Tenggara, setelah tanggal 8 Desember 1941 melakukan penyerbuan paling hebat terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat terbesar di Pearl Harbour. Oleh karena itu dalam peristiwa tersebut sejarah mencatat bahwa Amerika mengalami kerugian yang amat besar baik korban jiwa maupun materil. Peristiwa ini yang melatarbelakangi Jepang bergerak menuju Indonesia untuk kembali menancapkan kekuasaannya sebagai pemenang dalam perang dunia ke II. Untuk wilayah Sumatera pasukan Jepang melakukan penyerbuan di bawah pimpinan Letnan
Universitas Sumatera Utara
Jend Tomoyuki Yamashita, dimana Jendral ini telah berhasil menaklukan Malaya dan Singapura secara hebat dengan menempatkan pasukan di Singapura. Dalam perkembangan berikutnya ternyata Jepang berhasil untuk menaruh kekuasaan sekaligus pengaruhnya di wilayah Indonesia termasuk pulau Sumatera dan khususnya Tapanuli pada tanggal 24 Maret 1942. Jepang akhirnya dapat menguasai seluruh Tapanuli dengan menempatkan satu divisi (divisi ke 4) di Sumatera bagian tengah sebagai divisi cadangannya. Setelah Jepang berhasil menguasai Tapanuli pada tanggal 24 Maret 1942, maka seluruh penerbitan surat kabar dan berkala lainnya tidak dibenarkan lagi terbit oleh Jepang. Maka langkah selanjutnya yang dilakukan Jepang adalah dengan menerbitkan sebuah surat kabar ternama bernama “Tapanuli Sinbun”. Harian ini terbit dalam dua edisi yakni edisi bahasa Indonesia dan Tionghoa. Untuk penerbitan surat kabarnya Jepang mempekerjakan tenaga ahli Indonesia yang diambil dari bekas anggota redaksi Bendera Kita yang pernah terbit di Tarutung di bawah pimpinan J. Siahaan pada tahun 1931, sedangkan untuk edisi Tionghoa diambil dari beberapa bekas tenaga dari harian beraksara Cina bernama New China Times yang berkedudukan di Sibolga. Surat kabar Tapanuli Sinbun ini dipimpin oleh Hadley Hasibuan yang bertindak sebagai pimpinan redaksi. Harian ini terbit pada sore hari, oleh karena itu sebelum dicetak terlebih dahulu di sensor oleh tim dinas penerangan Jepang bernama Bunkaka. Pada umumnya berita-berita yang dimuat oleh surat kabar ini tentu saja adalah berita mengenai kepentingan politik Jepang yaitu cita-cita ‘Asia Timur Raya’, untuk berita-berita luar negeri hanya bersumber dari kantor berita Jepang bernama Domei. Surat kabar Tapanuli Sinbun dengan kedua edisi terbitannya berkantor dan
Universitas Sumatera Utara
dicetak di percetakan Syarikat Tapanuli yang terletak di jalan Sisingamangaraja Sibolga 11. Penyerahan Jepang kepada sekutu merupakan moment yang cukup baik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia keseluruh dunia. Oleh karena itu kantor berita milik Jepang Domei dijadikan sebagai tempat bekerja para pemuda-pemuda Indonesia yang telah menyadari benar betapa pentingnya kemerdekaan bagi bangsanya. Oleh sebab itu mereka segera menyebarluaskan berita proklamasi Indonesia merdeka yang telah diumumkan oleh Presiden Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dua dari tenaga redaksi masing-masing Dr.A.P.Parlindungan Hutagalung dan Bakara L.Tobing ditugaskan untuk segera memperbanyak isi surat kabar sehubungan pada waktu itu sedang berlangsung sidang persiapan kemerdekaan dan adanya pidato-pidato Bung Karno, yang kemudian disusul dengan diberitakannya peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia. Salinan teks proklamasi kemudian langsung diperbanyak
lalu
disalurkan
kepada
tokoh-tokoh
pergerakan.
Maka
akhirnya
pengumuman mengenai berita proklamasi dapat didengar dan dilihat langsung oleh rakyat Tapanuli pada tanggal 29 Agustus 1945 tepatnya di lapangan Simare-mare Tarutung yang bertepatan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri. Dengan penuh semangat yang berkobar dan dengan perasaan yang puas akhirnya rakyat Tapanuli dapat merasakan kemerdekaan terbebas dari belenggu penjajahan 12.
11
Tim penulisan Pemda Prop Sumut, Propinsi Sumatera Utara, Medan : Kementerian Penerangan, 1953, hlm. 85. 12 Wawancara dengan Pandapotan Hutagalung tanggal 28 April 2008 di Tarutung.
Universitas Sumatera Utara