1
Periodic Review Inventory Model untuk Build-to-Order Supply Chain di Bawah Ketidakpastian Product-Mix Sobiroh Ulin Nuha, I Nyoman Pujawan Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected],
[email protected] Abstrak—Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model inventory management pada konteks BTO dengan menggunakan periodic review system. Dalam BTO, perusahaan akan menyimpan barang setengah jadi yang berupa modul-modul dimana satu modul terdiri dari beberapa tipe dan produk akhir hanya akan dibuat ketika datang permintaan dari konsumen. Ketidakpastian product-mix pun akan timbul karena konsumen akan memesan produk dengan konfigurasi yang berbeda. Dengan mengasumsikan satu modul dengan berbagai tipe dapat dipesan pada supplier tunggal, maka pengembangan model akan menggabungkan sistem stochastic periodic review (T, s, S) dan joint replenishment dimana besar s dan S bersifat dinamis. Percobaan numerik akan dilakukan pada model yang dikembangkan dengan membandingkan terhadap beberapa skenario dan didapatkan hasil bahwa model yang dikembangkan dapat meminimalkan total biaya persediaan. Kata Kunci—build-to-order supply chain (BOSC), periodic review, backorder, ketidakpastian product-mix, joint replenishment.
Penelitian secara mikro pada bidang penelitian ini masih sedikit dilakukan,seperti pada inventory management. Penelitian yang mengangkat permasalahan inventory management untuk BOSC dilakukan oleh Lee (1996). Dalam penelitiannya, Lee (1996) mengembangkan model sederhana untuk menentukan level inventory pada BTO dimana inventory yang disimpan berupa intermediate inventory. Intermediate inventory yang ada diatur dengan sistem periodic review dengan level maksimum yang tetap. Namun model ini masih memiliki beberapa kekurangan, yaitu adanya asumsi permintaan yang tetap serta tidak adanya pinalti biaya apabila terjadi shortage pada intermediate inventory. Selain itu berdasarkan skema BTO yang dikemukakan Lee (1996) pada Gambar 1terlihat bahwa model BTO yang dikembangkan mengakomodasi nilai t yang sama untuk semua variasi produk yang dihasilkan. Padahal dalam praktik di lapangan nilai t dapat berbeda-beda tergantung dari lead time komponen umum dari pihak pemasok atau waktu produksi dari perusahaan sendiri.
I. PENDAHULUAN Menurut Gunasekaran dan Ngai (2005) definisi buildto-order supply chain adalah sistem yang memproduksi barang dan jasa berdasarkan permintaan individu pelangggan dalam waktu dan harga yang kompetitif dengan memanfaatkan global outsourcing, aplikasi teknologi informasi dan standarisasi komponen serta strategi penundaan diferensiasi produk. Penerapan BOSC dapat membantu perusahaan untuk memenuhi permintaan pelanggan yang sangat bervariasi dengan lead time yang pendek sehingga perusahaan dapat responsif terhadap pasar. Namun penerapan BOSC bukanlah hal yang mudah, karena terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi seperti kemampuan dalam menangkap pola seasonal pada pasar, mengetahui detail perubahan permintaan yang akan berpengaruh terhadap product-mix, serta dari mana keuntungan terbesar perusahaan akan didapat (Waller, 2004). BOSC membutuhkan koordinasi yang erat antara pelanggan, suplier dan penyedia jasa logistik di sepanjang supply chain. Pada tahun 1990an mulai bermunculan penelitian yang membahas BOSC. Area permasalahan yang dibahas pun sangat beragam, mulai dari pemilihan desain produk, keputusan mengenai pengadaan dan pemilihan suplier, keputusan produksi, distribusi sistem informasi, hingga penelitian mengenai pengukuran kinerja dalam BOSC. Namun kebanyakan penelitian yang dilakukan merupakan penelitian secara makro yang mencakup supply chain secara keseluruhan.
T t Generic Production Process
Product Differentiation steps
Different Product Versions for Customer
Intermediate Inventory Stockpile (Generic Product)
Gambar 1. Model Build-to-Order (Lee, 1996)
Berbeda dengan model yang dikembangkan oleh Lee (1996), penelitian tugas akhir ini mengakomodasi sistem persediaan untuk BTO yang di dalamnya terdapat modul umum (common module) yang lebih banyak. Produk akhir yang dirakit akan terdiri dari beberapa modul dengan konfigurasi yang sama. Namun, masing-masing modul memiliki banyak variasi dan konsumen bebas memilih modul dengan variasi apa yang dikehendaki untuk dijadikan produk akhir. Dengan mengasumsikan bahwa dalam sistem hanya terdapat satu tahap proses produksi, maka sistem persediaan yang dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 2.
2
Customized end product
Module 1
Type 1
Type 2
Module 2
Type m
...
Type 1
Type 2
Module n
…..
...
Type m
Type 1
Type 2
Type m
...
akan ditentukan besar T untuk tiap modul i berdasarkan data historis. Kemudian pada setiap review point akan dilakukan perhitungan nilai s dan S pada setiap modul i dengan tipe j. Apabila jumlah persediaan kurang dari nilai s, maka akan dilakukan pemesanan modul sejumlah S dikurangi besar persediaan saat itu. Namun apabila jumlah persediaan masih lebih besar dari s maka tidak dilakukan pemesanan material hingga review point selanjutnya.
Intermediate inventory
II. METODE PENELITIAN
Gambar 2.Inventory dalam BTO Supply Chain
Berdasarkan Gambar di atas, maka dibutuhkan m modul untuk membuat satu produk akhir, sedangkan setiap modul memiliki n tipe sehingga jumlah n untuk modul ke-i tidak selalu sama ( . Banyaknya jumlah dan tipe modul mengakibatkan ketidakpsatian permintaan konfigurasi produk akhir semakin meningkat. Struktur BOSC pada model yang dikembangkan terdapat pada Gambar 3. Berdasarkan gambar tersebut maka model akan mengakomodasi permasalahan multi-supplier dimana modul sejenis akan disuplai dari supplier tunggal. Karena itu dalam pengadaan material akan digunakan kebijakan joint replenishment untuk dapat menekan biaya pengadaan. 1
3
2
n
1'
3'
2'
n'
13
Komponen
Persediaan
Manufaktur
Produksi/ Assembly
Supplier
13
Extended corporate
Kustomer Akhir
Gambar 3.Struktur BTO Supply Chain dalam Model
Model yang dikembangkan akan menggunakan sistem periodic review, dimana jumlah persediaan akan direview dalam rentang periode tertentu. Penelitian mengenai periodic review dengan joint replenishment sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Eynan dan Kropp (2007) dan Lee dan Chew (2005). Eynan dan Kropp (2007) membahas mengenai periodic review inventory system dan joint replenishment dengan variabel keputusan berupa Panjang periode review T dan jumlah pemesanan statis q selama satu time horizon dengan pendekatan Ekspansi Taylor. Penelitian Lee dan Chew (2005) mengangkat permasalahan yang sama, namun variabel keputusan T dan S bersifat dinamis. Pada setiap review point, selain pengecekan terhadap persediaan dilakukan pula perhitungan untuk menentukan Panjang periode review dan up-to-order level selanjutnya menggunakan data historis dimana permintaan antar jenis produk bersifat autokorelasi. Dengan menggasumsikan pola permintaan berdistribusi normal, penelitian akan menggabungkan kedua konsep penelitian sebelumnya dengan variabel keputusan berupa panjang periode reviewl T statis serta up-to-order level S dan reorder point s dinamis selama satu time horizon. Pada awal time horizon (disebut juga dengan predetermined level)
A.
Tahap Pendefinisian Permasalahan
Pada tahap ini dilakukan studi literatur penelitian di bidang BOSC. Dari studi literatur tersebut didapatkan gap penelitian yang ada dan memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut yaitu berupa kurangnya penelitian yang mengangkat permasalahan inventory dalam konteks BOSC. B.
Tahap Penetapan Batasan dan Asumsi Permasalahan
Batasan dan asumsi digunakan dalam pemodelan untuk menyederhanakan permasalahan sehingga dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmiah. C. Tahap Pengembangan dan Formulasi Model Pada tahap ini dilakukan pengembangan model untuk permasalahn inventory pada BTO yang mempertimbangkan shortage dan ketidakpastian product-mix. Pengembangan model dilakukan berdasarkan model acuan yaitu model dynamic periodic review Lee dan Chew (2005) untuk menetapkan nilai s yang bersifat dinamis serta model Eynan dan Krop (2007) menjadi model acuan untuk penetapan Panjang periode review. D. Tahap Percobaan Numerik Percobaan numerik dilakukan untuk melihat perbandingan ekspektasi biaya total dari strategi BTO dan BTS serta perbedaan total biaya yang dihasilkan apabila pada permintaan yang sama digunakan sistem periodic review yang lain (periodic review dengan nilai T yang tidak optimum, periodic review dengan nilai S dan s statis serta periodic review tanpa adanya joint replenishment). Perhitungan pada tiap periode
Update nilai s berdasar data historis
Perhitungan pada review period
Cek level inventory Permintaan datang
Inventory di bawah s?
Tidak
Update nilai S berdasar data historis Terjadi shortage, update jumlah shortage
Terjadi shortage?
Ya
Lakukan produksi, update jumlah inventory on hand
Hitung biaya simpan per periode
Perhitungan biaya pada satu planning horizon
Tidak melakukan order hingga review period selanjutnya
Ya
Cek persediaan material
Material tersedia?
Tidak
Tidak
Order sejumlah material hingga mencapai up-tolevel S
Ya
Order sebanyak S-x ditambah jumlah shortage
Hitung biaya shortage per periode
Hitung biaya pemesanan
Total biaya inventory
Gambar 4. Algoritma Perhitungan Jumlah dan Biaya Persediaan
3
III. PENGEMBANGAN MODEL A. Notasi Model Berikut ini merupakan notasi yang digunakan dalam model. Biaya total untuk sistem persediaan material Panjang periode review untuk modul i tipe j Panjang periode review untuk modul i secara keseluruhan apabila seluruh tipe dipesan dalam jangka waktu yang sama Panjang periode review apabila didekati dengan permintaan deterministik Lead time untuk modul i tipe j Rata-rata permintaan selama satu unit waktu terhadap modul i dengan tipe j Rata-rata permintaan kondisional selama satu unit waktu terhadap modul i tipe j Permintaan aktual yang terjadi untuk modul i dengan tipe j Standar deviasi untuk modul i pada periode t Biaya simpan per unit per unit waktu untuk modul i tipe j Major ordering cost untuk tiap pengadaan modul tipe i apapun kombinasi dan jumlah yang dipesan Minor ordering cost untuk setiap pengadaan modul i dengan tipe j Pinalty cost untuk setiap terjadi shortage pada modul i dengan tipe j Reorder point untuk modul i dengan tipe j pada periode review ke-r Up-to-order level untuk modul i dengan tipe j pada periode review ke k Faktor pengali untuk periode pengadaan tipe j pada modul i Pengali faktor safety stock Service level untuk modul i tipe j Jumlah persediaan modul i tipe j pada periode review ke-r Jumlah pemesanan modul i dengan tipe j pada periode review ke-r B. Model Matematis Perhitungan dimulai sebelum time horizon untuk menentukan nilai T kemudian selama time horizon akan dihitung nilai s dan S. 1) Model pada Predetermined Level Fungsi ekspektasi biaya total untuk setiap periode dari sistem persediaan dengan periodic review adalah sebagai berikut:
(1)
Berdasarkan prosedur heuristik yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh Eynan dan Kropp (2007), maka dapat ditentukan nilai dan untuk seluruh sebagai berikut: 1. Hitung 2. Urutkan item dari dari terkecil hingga terbesar 3. Gunakan s sebagai nilai l terkecil dengan fungsi
4. (integer) s.t. 5.
Dengan
(2)
Dan
(3) Sedangkan
merupakan nilai T deterministik yang dapat
dihitung dengan persamaan
.
2) Model dan pada Selama Time horizon Pada setiap periode review r akan dilakukan perhitungan nilai s dan S untuk setiap modul yang tersedia. Berdasarkan Blanc (2011), s merupakan reorder point dalam continuous review dan base stock untuk periodic review (T,S) model. Dalam continuous review, S dapat didekati dengan menjumlahkan reorder point s dengan kuantitas pemesanan ekonomis Q* (EOQ). Reorder point pada periodic review harus dapat mengakomodasi kebutuhan permintaan selama lead time material dan panjang periode review serta fluktuasi permintaan pada jangka waktu tersebut. Sehingga penentuan reorder point s dan order-up-to level S pada setiap periode review r dapat dinotasikan sebagai berikut.
4
Penentuan reorder point s pada perode review ke-r
Penentuan order up-to-level S pada periode review ke-r
IV. PERCOBAAN NUMERIK
(4)
Percobaan numerik dilakukan dengan empat skenario, yaitu dengan inventory model yang dikembangkan, skenario nilai T yang ditentukan di awal, inventory model dengan S dan s yang bersifat statis serta percobaan numerik tanpa joint replenishment dimana seluruh percobaan numerik akan menggunakan parameter yang sama. Tabel 1. Parameter Modul dalam Percobaan Numerik Modul
Lead Time
permintaan
M11
7
kondisional per unit waktu untuk modul i tipe j untuk periode ke depan. Penentuan jumlah permintaan kondisional ini dilakukan dengan menggunakan peramalan moving average dengan persamaan berikut:
M12
5
M13
8
(5)
Ordering Cost Mayor
Minor
Non Joint
Holding Cost
Backorder Cost
Prosessor
merupakan
rata-rata
3000
1675
3000
0.6
16
1875
3000
0.5
17
800
3000
0.8
19
Memori M21
3
1500
2500
0.4
14
M22
7
700
2500
0.4
15
M23
5
1050
2500
0.6
16
M24
8
400
2500
0.6
18
675
7000
0.5
6
775
7000
0.4
7
400
7000
0.5
8
2500
Hard Disk
(6) Dimana nilai n merupakan parameter yang ditentukan diluar model. Dengan menggunakan nilai n yang sama, besar standar deviasi kondisional dapat dihitung dengan menggunakan formula standar deviasi biasa. Pemesanan modul akan dilakukan apabila jumlah persediaan pada saat periode review lebih kecil dari pada reorder poin . Namun pada konteks joint replenishment, akan terdapat peristiwa dimana besar lead lebih besar dari pada panjang periode review. Hal time ini akan menyebabkan material sejumlah q yang dipesan pada periode review sebelumnya ( belum diterima pada saat periode review . Sehingga terdapat dua aturan dalam pengambilan keputusan untuk pemesanan material, yaitu: 1. Apabila Aturan pengambilan keputusan dalam kondisi ini akan sama dengan aturan pada umumnya, yaitu pemesanan material dilakukan apabila posisi persediaan lebih kecil dari reorder point. Sehingga pemesanan dilakukan bila memenuhi syarat: 2. Apabila Pada kondisi ini, pemesanan material akan dilakukan apabila jumlah persediaan material memenuhi pertidaksamaan”
Dimana a merupakan nilai integer terkecil pada persamaan
M31
3
M32
4
M33
6
7000
Tabel 2. Data Permintaan Modul Selama Satu Time horizon Tipe
Modul 1
Modul 2
Modul 3
Rata-rata
Stdev
Rata-rata
Stdev
Rata-rata
Stdev
Tipe 1
245.3
51.4
153.4
28.7
244.0
46.9
Tipe 2
207.2
43.8
183.9
36.3
211.6
40.6
Tipe 3
251.2
49.0
191.8
37.0
239.8
46.0
165.3
36.3
Tipe 4
A. Percobaan Numerik untuk Model yang Diusulkan Tabel 3. Data Perhitungan T Optimum Modul
Lead Time
M13 M11 M12 M23 M24 M22 M21 M33 M32 M31
8 7 5 5 8 7 3 6 4 3
T*
T'is
Kij
3.01 4.99 6.15 3.02 4.31 4.46 7.10 2.74 3.49
6.43 5.86 5.93 7.93 6.20 5.80 6.05 11.53 8.54 7.67
1 1 2 1 1 1 2 1 1 1
4.43
Ti 6
6
7
F[z(kijTi)] 0.7777 0.8256 0.5008 0.8272 0.8387 0.7732 0.5968 0.3605 0.5615 0.8435
5
B. Percobaan Numerik dengan T ≠ T*
Berdasarkan beberapa percobaan numerik yang telah dilakukan tampak bahwa model yang dikembangkan menghasilkan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan model lain dalam percobaan numerik ini. E. Perbandingan Biaya BTO dan BTS Tabel 5. Data Permintaan Produk Akhir
C. Percobaan Numerik dengan (T, s, S) Statis
Produk
D. Percobaan Numerik tanpa Joint Replenishment Tabel 4. Data Perhitungan T Optimum untuk non-JR Modul
Lead Time
Biaya Pesan
T*
F[z(Tij)]
M13
8
3000
6
0.76
M11
7
3000
7
0.78
M12
5
3000
5
0.77
M23
5
2500
8
0.74
M24
8
2500
7
0.78
M22
7
2500
6
0.76
M21
3
2500
6
0.76
M33
6
7000
5
0.11
M32
4
7000
8
0.27
M31
3
7000
6
0.33
111 112 113 121 122 123 131 132 133 141 142 143
Ratarata 28 15 19 20 14 25 30 11 34 19 16 14
Sigma 21 8 13 13 10 16 18 6 18 14 12 8
Ratarata 211 212 213 221 222 223 231 232 233 241 242 243
Sigma 13 7 18 28 25 16 6 21 27 18 14 15
Ratarata 11 4 12 22 12 10 4 13 19 16 12 10
Sigma 311 312 313 321 322 323 331 332 333 341 342 343
Percobaan numerik dilakukan dengan membandingkan biaya penyimpanan per unit waktu yang terjadi. Dengan biaya simpan, pengadaan, waktu tunggu, dan servis level berturut-turut 10, 60, 15 dan 80% maka didapatkan bahwa dengan servis level metode BTO menghasilkan total biaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode BTS. Adapun perhitungan biaya total untuk perbandingan antara BTO dan BTS adalah sebagai berikut: BTO
6
Dimana D merupakan permintaan untuk produk akhir p pada waktu u sedangkan W merupakan waiting cost dari konsumen. persamaan terakhir menunjukkan biaya yang harus dikeluarkan apabila konsumen harus menunggu penyelesaian permintaannya lebih lama sebanyak P periode dibandingkan dengan BTS BTS
Semakin besar variasi prduk akhir dan juga holding cost untuk produk akhir tersebut maka menyebabkan biaya strategi BTS semakin besar. Sedangkan apabila semakin besar biaya tunggu (waiting cost) yag terjadi akibat mundurnya decoupling point maka menyebabkan semakin besar biaya dari strategi BTO yang dikeluarkan V. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Pada penelitian yang dilakukan telah dikembangkan periodic review inventory model berupa (R,s,S) policy dalam build-to-order suply chain 2. Penentuan panjang periode review dapat mempengaruhi besar biaya persediaan yang dikeluarkan 3. Model yang dikembangkan akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan static periodic review selama pola permintaan semakin fluktuatif 4. Model yang dikembangkan akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan non joint replenishment selama biaya pengadaan mayor semakin tinggi 5. BTO akan lebih baik digunakan daripada BTS ketika ketidakpastian permintaan dan variasi produk yang dimiliki semakin tinggi, begitu pula dengan biaya penyimpanan produk akhir. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing atas bantuannya selama ini dalam pengerjaan tugas akhir serta berbagai pihak yang telah mendukung penulis selama ini. DAFTAR PUSTAKA Blanc, Hans. (2011). Advanced inventory management: models and algorithms. Handbooks of Advanced Qualitative Logistics, Tilburg University: Netherlands Chopra, M., Meindl, P. (2004). Supply chain management: strategy, planning and operation, second edition. Pearson Prentice Hall: New Jersey Eynan, A., Kropp, D. H. (2007). Effective and simple EOQlike solutions for stochastic demand periodic review systems. European Journal of Operation Research, vol. 180, hal. 1135-1143
Gunasekaran, A., Ngai, EWT. (2005). Build-to-order supply chain management: a literature review and framework for development. Operation Management, vol. 23, no. 5, hal. 423-451 Gunasekaran, A., Ngai, EWT. (2009). Modeling and analysis of build-to-order supply chains. European Journal of Operational Research, vol. 195, no. 2, hal. 319-334 Hariga, Moncer. (1994). Two new heuristic procedures for the joint replenishment problem. Operational Research Society, vol. 45, no. 4, hal. 463-471 Hsu, H.-M., Wang, W.-P. (2004). Dynamic programming for delayed product differentiation. European Journal of Operational Research, vol. 156, hal. 183-193 Jensen, P. A., Bard, J. F. (2003). Operation research models and methods. John Wiley and Sons: New Jersey Lagodimos, A.G., Chistou, I.T., Skouri, K. (2012). Computing globally (s, S, T) inventory policies. Omega, vol. 40, hal. 660-671 Lee, H. L., Tang, C. S. (1997), Modeling the cost and benefit to renew competitive advantage. Organizational Dynamics, vol. 31, no. 1, hal. 40-53 Lee, L. H., Chew, E. P. (2005). A dynamic joint replenishment policy with auto-correlated demand. European Journal of Operation Research, vol. 165, hal. 729-747 Lin, C-C., Wang, T-H. (2011). Build-to-order supply chain network design under supply and demand uncertainties. Transportation Research Part B, vol. 45, hal. 1162-1176 Nilsson, A., Segerstedt, A., Sluis, E. (2007). A new iterative heuristic to solve the joint replenishment problem using a spreadsheet technique. Production Economics, vol. 108, hal. 399-405 Pujawan, I. N., ER, Mahendrawathi. (2010). Supply chain management edisi kedua. Penerbit Guna Widya: Surabaya Tersine, R. J. (1994). Principles of inventory and materials management, fourth edition. Prentice Hall: New Jersey Viale, J. D. (1996). Basic of inventory management: from warehouse to distribution center. Axzo Press: New York Wagner, T., Guralnik, V., Phelps, J. (2003). TAEMS agents: enabling dynamic distributed supply chain management. Electronic Commerce Research and Application, vol. 2, hal. 114-132 Waller, B. (2004). Market responsive manufacturing for the automotive supply chain. Manufacturing Technology Management, vol. 15, no. 1, hal. 10-19